Upload
t7890
View
5
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bacaan
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Pajak Secara Umum
II.1.1 Definisi dan Unsur Pajak
Pajak merupakan sumber pendapatan kas negara yang digunakan untuk
pembelanjaan dan pembangunan negara dengan tujuan akhir kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat.
Definisi menurut pasal 1 nomor 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjelaskan:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Berikut ini adalah definisi pajak dari beberapa ahli:
1. Definisi pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH,
yang dikutip dari buku Perpajakan karangan Mardiasmo (2011:1):
“Pajak adalah iuran rakyat iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”
2. Definisi pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani dikutip
dari buku Perpajakan Indonesia karangan Waluyo (2011:2):
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian bahwa
pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah atau
pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat
ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak
antara lain sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya
yang bersifat dapat dipaksakan.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi
atau jasa timbal individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
4. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
pemerintah.
II.1.2 Definisi Wajib Pajak dan Penanggung Pajak
Berdasarkan pasal 1 nomor 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Sedangkan pengertian Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau
badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Badan seperti yang terurai dalam dua pengertian diatas berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 pasal 1 nomor 3 adalah sekumpulan
orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga
dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.
II.1.3 Fungsi Pajak
Pajak memiliki peranan penting dalam tata kelola negara, khususnya
membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan.
Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi seperti yang
terdapat dalam buku Waluyo (2011:6), yaitu:
1. Fungsi anggaran (budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya guna pembiayaan pembangunan.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Suatu fungsi dimana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah untuk mencapai
tujuan tertentu. Misalnya dalam rangka melindungi produksi dalam negeri,
pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
3. Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat
dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang
efektif dan efisien.
4. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai
semua kepentingan umum, termasuk untuk membiayai pembangunan.
II.1.4 Hambatan Pemungutan Pajak
Dalam proses pemungutan pajak, tentunya pemerintah menghadapi
berbagai hambatan. Menurut Mardiasmo (2011:8), hambatan dalam
pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. Perlawanan pasif, yaitu masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang
dapat disebabkan antara lain:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan
baik.
2. Perlawanan aktif, meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara
langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya antara lain:
a. Tax Avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak
melanggar undang-undang.
b. Tax Evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara
melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).
II.1.5 Timbul dan Hapusnya Utang Pajak
Ada 2 ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak menurut H. Bohari
(2010:111) dalam bukunya Pengantar Hukum pajak yaitu:
1. Ajaran formil
Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh
fiskus. Ajaran ini diterapkan pada official assessment systems.
2. Ajaran Materiil
Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai
pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self
assessment systems.
Hapus dan berakhirnya utang pajak menurut Muhammad Djafar Saidi
(2011:208) dan Widyaningsih (2011:246) dapat disebabkan beberapa hal:
1. Pembayaran
2. Kompensasi
3. Daluarsa
4. Pembebasan dan penghapusan
II.1.6 Tarif Pajak
Ada 4 macam tarif pajak yang dijelaskan dalam buku Wirawan Ilyas
dan Richard Burton (2010:58) yaitu:
1. Tarif sebanding / proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang
dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional
terhadap besarnya yang dikenai nilai pajak.
Contoh : untuk penyerahan BKP dikenakan PPN 10%
2. Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang
dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh : besarnya tarif Bea Materai untuk Cek dan Bilyet Giro dikenakan
Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas pengenaan
besarnya harga nominal.
3. Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai
pajak semakin besar.
Contoh : pasal 17 UU Pajak Penghasilan
4. Tarif degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai
pajak semakin besar.
II.2 Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas, konsisten, dan konsekuen
diharapkan akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak
dalam membayarkan utang pajaknya, sehingga penerimaan negara dari sektor pajak
dapat meningkat dan dapat menyelamatkan penerimaan pajak yang tertunda.
Kegiatan penagihan pajak dilakukan oleh seksi penagihan di Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Penagihan pajak dilakukan oleh fiskus atau
jurusita kepada penanggung pajak.
II.2.1 Pengertian dan Latar Belakang Tindak Penagihan Pajak
Menurut UU Nomor 19 tahun 2000 pasal 1 nomor 9 penagihan pajak
adalah:
Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak dapat melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, serta menjual barang yang telah disita.
Jadi penagihan pajak adalah suatu proses yang diawali dengan timbulnya
utang pajak kemudian dilanjutkan dengan tindakan-tindakan agar utang pajak
beserta biaya penagihan pajak dilunasi oleh penanggung pajak. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa latar belakang terjadinya tindak penagihan adalah
timbulnya utang pajak.
Pelaksanaan penagihan pajak dibagi menjadi 2 (dua) menurut Husna
(2009) sesuai dengan SE-2/PJ.75/2004 tentang kebijakan Penagihan Pajak
tahun 2004 yaitu:
a. Penagihan secara persuasif (soft collection)
Penagihan dengan cara persuasif adalah tindakan yang dilakukan
oleh fiskus (jurusita pajak) dengan cara menghubungi wajib pajak atau
penanggung pajak melalui telepon, mengundang wajib pajak atau
penanggung pajak untuk memperoleh kejelasan penyelesaian utang
pajaknya, mengirim surat pemberitahuan dan himbauan pelunasan utang
dan meminta kepada wajib pajak atau penanggung pajak agar secara
sukarela menyerahkan harta kekayaannya untuk pelunasan utang
pajaknya.
b. Penagihan tindakan keras (hard collection)
Penagihan tindakan keras dilakukan terhadap wajib pajak atau
penanggung pajak yang nonkooperatif. Penagihan dengan cara ini
merupakan kelanjutan dari penagihan pajak dengan cara persuasif, dimana
dalam penagihan ini fiskus harus bertindak lebih tegas dan keras dalam arti
mulai menerbitkan surat perintah penagihan pajak seketika dan sekaligus,
penyampaian surat paksa, melakukan penyitaan, mengumumkan
pelelangan di media masa, melaksanakan pelelangan, melakukan
pencegahan keluar negeri sampai pada pelaksanaan peyanderaan.
II.2.2 Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak
Dalam UU Nomor 19 tahun 2000 pasal 1 nomor 8 pengertian utang
pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi
berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan
Pajak atau surat sejenisnya berasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Sedangkan biaya penagihan pajak, adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa,
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan
Lelang, Jasa Penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
II.2.3 Pejabat dan Jurusita Pajak
Pengertian Pejabat dikutip dalam buku Mardiasmo (2011:119) sesuai
dengan UU Nomor 19 tahun 2000 pasal 1 nomor 5 adalah pejabat yang
berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat
Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan
surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan
Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut
Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Menteri Keuangan berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak pusat,
sedangkan Kepala daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak
daerah.
Pengertian Jurusita Pajak dikutip dalam buku Irwansyah Lubis
(2011:297) sesuai dengan UU Nomor 19 tahun 2000 pasal 1 nomor 6 adalah
pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan
sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
Tugas Jurusita Pajak adalah:
1. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus.
2. Memberitahukan Surat Paksa.
3. Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan.
4. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.
Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta bantuan
kepada Kepolisian, Kejaksaan, Departemen yang membidangi hukum dan
perundang-undangan, Pemerintah Daerah setempat, Badan Pertahanan
Nasional, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank
atau pihak lain. Jurusita Pajak menjalankan tugas di wilayah kerja Pejabat
yang mengangkatnya, kecuali ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau
Keputusan Kepala Daerah.
Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak berwenang memasuki
dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat
lain untuk menemukan objek sita di tempat usaha, di tempat kedudukan, atau
di tempat tinggal Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga
sebagai tempat penyimpanan objek sita. Objek sita, adalah barang Penanggung
Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak.
II.2.4 Penagihan Seketika dan Sekaligus
Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak
yang dilaksanakan oleh Jurusita pajak kepada penanggung pajak tanpa
menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak
dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak. Jurusita pajak
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus berdasarkan Surat Perintah
Penagihan Seketika dan Sekaligus. Kondisi yang mengharuskan Surat tersebut
diterbitkan berdasarkan UU No. 19 tahun 2000 pasal 6 ayat 1 yaitu:
1. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
atau berniat untuk itu;
2. Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang
dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan
perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
3. Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan
usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya,
atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau
melakukan perubahan bentuk lainnya;
4. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
5. Terjadinya penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan.
Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus sekurang-kurangnya memuat:
1. Nama Wajib Pajak atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
2. Besarnya utang pajak;
3. Perintah untuk membayar; dan
4. Saat pelunasan pajak.
II.2.5 Surat Teguran
Surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat
yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada
Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya, yang diterbitkan 7 (tujuh) hari
setelah tanggal jatuh tempo pembayaran utang pajak.
Surat Teguran tidak diterbitkan dalam hal hal sebagai berikut:
1. Dalam hal penagihan seketika dan sekaligus.
2. Dalam hal permohonan Penanggung Pajak atas angsuran atau penundaan
dikabulkan.
II.2.6 Surat Paksa
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak. Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan
kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Penerbitan Surat Paksa dilakukan setelah
lewat dari 21 hari sejak diterbitkannya Surat Teguran. Isi Surat Paksa tersebut
adalah memerintahkan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak untuk membayar
sejumlah tunggakan pajak tersebut ke kantor pos dan giro atau ke bank yang
ditunjuk, ditambah biaya penagihan dalam waktu 2x24 jam sesudah
pemberitahuan surat paksa tersebut.
Surat Paksa sekurang-kurangnya meliputi:
1. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak
2. Dasar penagihan
3. Besarnya utang pajak dan
4. Perintah untuk membayar
Menurut UU No 19 tahun 2000 pasal 8 yat 1, Surat Paksa diterbitkan apabila:
1. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya diterbitkan
Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis
2. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, atau
3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum
dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
1. Penanggung Pajak.
2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja ditempat
usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan
tidak dapat dijumpai.
3. Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat, atau yang mengurus harta
peninggalannya apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta
warisan belum dibagi.
4. Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta
warisan telah dibagi.
Surat paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
1. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik
modal.
2. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan, apabila
Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana
dimaksud dalam (1).
Dalam hal Wajib pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan
kepada Kurator, Hakim Pengawas, atau Balai Harta Peninggalan. Sedangkan
dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa
diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan
pemberesan, atau likuidator.
Catatan:
- Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan
pelaksanaan Surat Paksa.
- Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan
sebelum lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah Surat
Paksa diberitahukan.
II.2.7 Penyitaan
Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang
penanggung pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak
menurut peraturan perundang-undangan. Apabila utang pajak tidak dilunasi
oleh penanggung pajak dalam waktu 2x24 jam setelah surat paksa
diberitahukan maka pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan (SPMP). Penyitaan dilakukan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak dan
dapat dipercaya. Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak membuat
Berita Acara Pelaksanaan Sita (BAPS) yang ditandatangani oleh Jurusita
Pajak, Penanggung Pajak dan saksi-saksi.
Barang yang dapat disita dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu barang
bergerak dan tidak bergerak. Barang bergerak termasuk mobil, uang tunai, dan
deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lain
yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya,
piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain. Kemudian barang yang
tidak bergerak termasuk tanah dan bangunan.
Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita
oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Terhadap barang
yang telah disita tersebut, Jurusita menyampaikan Surat Paksa kepada
Pengadilan Negeri atau instansi yang berwenang. Pengadilan Negeri dalam
sidang berikutnya barulah menetapkan barang tersebut sebagai jaminan
pelunasan utang pajak. Pengadilan Negeri kemudian menentukan pembagian
hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahului negara
untuk tagihan pajak.
Penyitaan juga dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali. Maksudnya
disini adalah apabila nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak atau setelah hasil lelang ternyata tidak cukup
juga, maka dapat dilakukan penyitaan tambahan.
II.2.8 Lelang
Definisi lelang dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 pasal 1
nomor 17 adalah penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran
harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau
calon pembeli. Pada Undang-Undang yang sama pasal 26 dijelaskan pula
mengenai penjualan secara lelang yang dilakukan melalui Kantor Lelang dan
dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 hari terhitung sejak
Pengumuman Lelang. Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud
dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 hari terhitung sejak
penyitaan.
Lelang dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh
wajib pajak belum memperoleh keputusan keberatan, dan lelang juga dapat
dilaksanakan walaupun tidak dihadiri penanggung pajak. Apabila hasil lelang
sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan
utang pajak, maka pelaksanaan lelang dihentikan dan sisa barang serta
kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung
Pajak paling lambat 3 hari setelah pelaksanaan lelang tersebut.
Namun demikian ada beberapa barang yang disita yang dikecualikan
dari penjualan secara lelang. Barang tersebut antara lain uang tunai, deposito,
tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham atau surat berharga lainnya,
piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain (Peraturan Pemerintah
Nomor 135 Tahun 2000 yang ditetapkan tanggal 20 Desember 2000 tentang
Tata Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara
Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa).
Barang-barang tersebut diatas digunakan untuk membayar biaya
penagihan pajak dan utang pajak dengan cara:
1. Uang tunai disetor ke kas negara atau ke kas daerah.
2. Deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu dipindahbukukan ke rekening kas
negara atau kas daerah atas permintaan Pejabat kepada bank yang
bersangkutan.
3. Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, Yang diperdagangkan di
bursa efek, dijual oleh Pejabat melalui bursa efek sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan yang tidak diperdagangkan di bursa efek langsung dijual
oleh Pejabat kepada pembeli.
4. Piutang yang hak menagihnya beralih kepada Pejabat berdasarkan berita
acara persetujuan pengalihan hak, dijual oleh Pejabat kepada pembeli.
5. Penyertaan modal pada perusahaan lain yang penguasaannya beralih
kepada Pejabat berdasarkan akte persetujuan pengalihan hak dijual oleh
Pejabat kepada pembeli.
6. Hasil penjualan barangsitaan sebagaimana dimaksud pada nomor 3, 4, dan
5 disetor ke kas negara atau kas daerah.
II.3 Pemblokiran dan Penyitaan Pada Bank
Dasar hukum yang terkait dan mengatur mengenai pemblokiran dan penyitaan
harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank dalam rangka penagihan
pajak adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 dan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER - 109/PJ./2007 yaitu Perubahan Atas Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor Kep-627/PJ/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran
dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam
Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
II.3.1 Pemblokiran Pada Bank
Dalam melaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa, Jurusita
Pajak berwenang melaksanakan pemblokiran dan penyitaan terhadap harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank. Penyitaan terhadap
harta kekayaan Penanggung Pajak dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih
dahulu.
Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap
harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan
jumlah atau nilai. Pemblokiran diajukan oleh Pejabat kepada pimpinan bank
tempat harta kekayaan Penanggung Pajak tersimpan disertai salinan Surat
Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan
pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak seketika setelah
menerima permintaan pemblokiran dari Pejabat. Pimpinan bank atau pejabat
bank yang ditunjuk membuat berita acara pemblokiran yang akan disampaikan
kepada Penanggung Pajak dan Pejabat yang meminta pemblokiran.
Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak
yang diblokir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada
Pejabat menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak.
II.3.2 Harta Kekayaan Yang Diblokir
Harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank meliputi
rekening, simpanan, dan bentuk simpanan lain yang lazim dalam praktek
perbankan.
1. Rekening adalah dana yang tersimpan pada bank dalam bentuk rekening
koran.
2. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito,
sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu.
3. Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
4. Deposito Berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan
dengan bank.
5. Sertifikat Deposito Berjangka adalah simpanan dalam bentuk deposito
yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.
6. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan
cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Penyitaan atas kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di bank
berupa saldo rekening koran, simpanan, giro, deposito berjangka, tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan
pemblokiran terlebih dahulu bertujuan untuk memindahbukukan saldo
rekening tersebut ke kas negara untuk keperluan pembayaran pajak. Melalui
mekanisme pemblokiran tersebut, hasil pencairan tunggakan pajak tergantung
dari besar atu kecilnya saldo rekening yang diblokir. Dengan adanya
pemblokiran tersebut Penanggung Pajak tidak dapat melakukan transaksi
bisnis kepada pihak ketiga.
II.3.3 Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan
Prosedur sebelum pemblokiran
Pemblokiran dilakukan setelah penagihan dengan surat paksa
dilakukan. Setelah 2x24 jam surat paksa diterbitkan apabila masih tidak ada
tanggapan barulah dilakukan tindakan berikutnya yaitu dilakukan pemblokiran
dan penyitaan.
Sebelum pelaksanaan pemblokiran mula-mula Jurusita melaporkan ke
Kepala Penagihan Pajak lalu Kepala Penagihan Pajak menyampaikan ke
Kepala Pelayanan Pajak sehubungan dengan surat permohonan pemblokiran
yang akan dikirimkan ke bank. Surat tersebut dikirimkan ke seluruh bank yang
ada di Indonesia. Dilakukan pengiriman ke semua bank jika pejabat KPP tidak
mengetahui nomor rekening si penanggung pajak. Atau jika ada indikasi si
penanggung pajak memiliki lebih dari 1 (satu) nomor rekening.
Surat tersebut diajukan kepada Pimpinan Bank tempat harta kekayaan
Penanggung Pajak tersimpan disertai dengan Salinan Surat Paksa dan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan. Pemblokiran dapat dilakukan tanpa
meminta persetujuan dari Bank Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan agar
saldo dalam rekening tersebut tidak dipindahkan oleh penanggung pajak.
Setelah dilakukan pemblokiran, barulah fiskus meminta surat kuasa dari
penanggung pajak untuk mengetahui isi rekening tersebut. Jika penanggung
pajak tidak mau memberikan surat kuasa kepada fiskus, maka fiskus dapat
meminta persetujuan kepada Bank Indonesia.
Pemblokiran rekening bank
Setelah diterimanya surat tersebut Pimpinan bank atau pejabat bank
yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan
Penanggung Pajak. Kemudian Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk
membuat berita acara pemblokiran yang nantinya akan disampaikan kepada
Penanggung Pajak dan Pejabat yang meminta pemblokiran.
Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak
yang diblokir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada
Pejabat menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak.
Penyitaan rekening bank
Penyitaan dilakukan oleh jurusita pajak untuk menguasai barang
penanggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyitaan dapat
dilaksanakan terhadap semua barang penanggung pajak, baik yang berada
ditempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan penanggung pajak atau di
tempat lain sekalipun penguasaannya berada di tangan pihak lain.
Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan
pada bank dilaksanakan sebagai berikut:
1. Jurusita Pajak setelah menerima berita acara pemblokiran memerintahkan
kepada Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar
memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut
kepada Jurusita Pajak.
2. Kalau Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada bank untuk
memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut
kepada Jurusita Pajak, Pejabat meminta Gubernur Bank Indonesia melalui
Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank memberitahukan saldo
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dimaksud kepada
Pejabat.
3. Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank
diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan.
4. Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan ditandatangani
oleh Jurusita Pajak saksi-saksi dan pimpinan bank atau pejabat bank yang
ditunjuk.
5. Jurusita Pajak menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita
kepada Penanggung Pajak dan pimpinan bank yang bersangkutan.
II.3.4 Pencabutan Pemblokiran
Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank
setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Kalau jumlah yang diblokir lebih besar dari yang disita maka permintaan atas
sisa tersebut dapat diajukan untuk meminta pencabutan pemblokiran oleh
Pejabat kepada bank. Namun apabila tunggakan belum dilunasi maka
pemblokiran sampai kapanpun belum bisa dicabut. Seperti yang terurai pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 135 tahun 2000 pasal 5
ayat 3 huruf f yaitu “Pejabat mengajukan permintaan pencabutan
pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak
dan biaya penagihan pajak”.
II.3.5 Pemindahbukuan ke Kas Negara
Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak penyitaan,
Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak,
Pejabat segera meminta kepada pimpinan bank untuk memindahbukukan harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas negara atau kas
daerah sejumlah yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita. Namun
sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari tersebut Penanggung Pajak dapat
mengajukan permohonan kepada Pejabat untuk menggunakan barang sitaan
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.