Upload
putriseptina
View
43
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
1 | R e t i n o b l a s t o m a
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas referat yang
berjudul Retinoblastoma. Referat ini membahas kelainan pada mata, dimulai dari anatomi
dan fisiologi, patofisiologi, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan, hingga komplikasi yang
dapat timbul dari penyakit Retinoblastoma.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dokter-dokter pembimbing yang telah banyak mengajarkan dan membimbing selama
proses pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak.
2. Para petugas medis dan non medis di RS yang telah bersedia membagikan ilmu dan
pengalaman selama bertugas dan mendukung terciptanya suasana belajar yang baik
selama bertugas merawat pasien anak.
3. Teman-teman diskusi dan senior yang saling memberikan saran dan kritik agar referat
yang kami susun dapat semakin baik.
4. Pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu yang turut berkontribusi
membantu menyelesaikan proses pembuatan referat dan proses pembelajaran Ilmu
Kesehatan Anak selama di RS.
Demikianlah apa yang dapat kami sampaikan. Di dunia ini tidak ada gading yang tak retak,
demikian pula dengan referat yang kami susun. Karena itu kami mohon maaf apabila terdapat
kata-kata yang kurang tepat maupun kurang berkenan dan membuka hati bagi saran dan kritik
yang membangun.
Akhir kata, semoga referat yang kami susun dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Selamat membaca.
Yogyakarta, Februari 2014
Tim Penulis
2 | R e t i n o b l a s t o m a
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………………..1
Daftar Isi……………………………………………………………………………………2
BAB I Pendahuluan………………………………………………………………………...3
BAB II Pembahasan
Anatomi dan Fisiologi…………………………………………………………………..4
Embriologi………………………………………………………………………………9
Epidemiologi…………………………………………………………………………...10
Etiopatogenesis…………………………………………………………………………11
Diagnosis……………………………………………………………………………….11
Patofisiologi…………………………………………………………………………….12
Manifestasi Klinis………………………………………………………………………13
Diagnosis Banding……………………………………………………………………..14
Klasifikasi………………………………………………………………………………15
Penatalaksanaan………………………………………………………………………..16
Komplikasi……………………………………………………………………………..19
Prognosis……………………………………………………………………………….19
BAB III Penutup……………………………………………………………………………21
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………....22
3 | R e t i n o b l a s t o m a
BAB I
PENDAHULUAN
Mata adalah salah satu indera yang jika kehilangan fungsinya dapat menimbulkan akibat
besar dalam hidup seseorang. Begitu pula tumbuh kembang anak yang baik harus didukung
dengan kemampuan indera penglihatan yang baik. Sehingga menjaga kesehatan mata adalah
suatu hal yang perlu didikte lagi.
Retinoblastoma adalah salah satu penyakit kanker primer pada mata yang paling sering
dijumpai pada bayi dan anak. Penyakit ini tidak hanya dapat mengakibatkan kebutaan,
melainkan juga kematian. Di negara berkembang, upaya pencegahan dan deteksi dini belum
banyak dilakukan oleh para orang tua. Salah satu sebabnya adalah pengetahuan yang masih
minim mengenai penyakit kanker tersebut.
Dalam penelitian menyebutkan bahwa 5-10% anak usia prasekolah dan 10% anak usia
sekolah memiliki masalah penglihatan. Namun seringkali anak-anak sulit menceritakan
masalah penglihatan yang mereka alami. Karena itu, skrining mata pada anak sangat
diperlukan untuk mendeteksi masalah penglihatan sedini mungkin.
Skrining dan pemeriksaan mata anak sebaiknya dilakukan pada saat baru lahir, usia 6 bulan,
usia 3-4 tahun, dan dilanjutkan pemeriksaan rutin pada usia 5 tahun ke atas. Setidaknya anak
diperiksakan ke dokter mata setiap 2 tahun dan harus lebih sering apabila telah ditemukan
masalah spesifik atau terdapat faktor risiko.
4 | R e t i n o b l a s t o m a
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi dan Fisiologi
Retina merupakan suatu struktur sangat kompleks yang terbagi menjadi 10 bagian,
terdiri dari fotoreseptor (sel batang dan kerucut) dan neuron, beberapa diantaranya (sel
ganglion) bersatu membentuk serabut saraf optic, seperti pada Gambar 1.1.
Bertanggung jawab untuk mengubah cahaya menjadi sinyal listrik. Retina akan
meneruskan rangsangan yang diterimanya berupa bayangan benda sebagai rangsangan
elektrik ke otak sebagai bayangan yang dikenal pada retina terdapat sel batang sebagai
sel pengenal sinar dan sel kerucut yang mengenali frekuensi sinar. Sel kerucut
bertanggung jawab untuk penglihatan siang hari.1
Gambar 1.1 Skema Struktur Retina (Arno, 1995)
5 | R e t i n o b l a s t o m a
Subgroup dari sel kerucut responsive terhadap panjang gelombang pendek, menengah,
dan panjang (biru, hijau, merah). Sel-sel ini terkonsentrasi di fovea yang menjadi pusat
penglihatan. Sel batang untuk penglihatan malam. Sel-sel ini sensitive terhadap cahaya
dan tidak memberikan sinyal informasi panjang gelombang (warna). Sel batang
menyusun sebagian besar fotoreseptor di retina bagian lainnya, seperti yang terlihat
pada Gambar 1.2. 1
Gambar 1.2 Struktur Histologi Retina
(http://www.glaucoma.org/glaucoma/anatomy-of-the-eye.php)
Retina adalah jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan, yang melapisi 2/3
bagian dalam posterior dinding bola mata. Retina membentang ke anterior sejauh
korpus siliaris dan berakhir pada ora serata dengan tepi yang tidak rata. Di sebagian
besar tempat, retina dan epitel pigmen retina mudah terpisah sehingga dapat terbentuk
suatu ruang yang disebut subretina. Akan tetapi pada diskus optikus dan ora serata,
retina dan epitel pigmen retina saling melekat kuat. 2
Retina terdiri dari 10 lapisan yang berturut-turut dari dalam ke luar adalah sebagai
berikut:2
a) Lapisan membran limitans interna
6 | R e t i n o b l a s t o m a
b) Lapisan serat saraf yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan
menuju nervus optikus
c) Lapisan sel ganglion
d) Lapisan pleksiformis dalam yang mengandung sambungan sel ganglion dengan
sel amakrin dan bipolar
e) Lapisan inti dalam yang mengandung badan-badan sel bipolar, amakrin, dan
horizontal
f) Lapisan pleksiformis luar yang mengandung sambungan sel bipolar dan
horizontal dengan sel-sel fotoreseptor
g) Lapisan inti luar yang mengandung akson sel fotoreseptor (batang dan kerucut)
h) Lapisan membran limitans eksterna
i) Lapisan fotoreseptor yang mengandung badan-badan sel batang dan kerucut
j) Lapisan epitel pigmen retina
Fotoreseptor batang dan kerucut terletak di lapisan terluar retina sensorik yang
avaskular dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mengawali proses
penglihatan. Setiap sel kerucut mengandung rodopsin, yaitu pigmen penglihatan yang
fotosensitif. Saat rodopsin menyerap cahaya, akan terjadi perubahan bentuk 11-cis-
retinal (komponen kromofor pada rodopsin) menjadi all-trans-retinol. Perubahan
bentuk ini akan memicu terjadinya kaskade penghantar kedua, dimana rangsangan
cahaya akan diubah menjadi impuls saraf. Impuls ini kemudian dihantarkan oleh jaras-
jaras penglihatan melalui nervus optikus menuju korteks penglihatan oksipital. 3
Baik sel batang ataupun kerucut mengandung bahan kimia rodopsin dan pigmen
kerucut yang akan terurai bila terpapar cahaya. Bila rodopsin sudah mengabsorbsi
energi cahaya, rodopsin akan segera terurai akibat fotoaktivasi elektron pada bagian
retinal yang mengubah bentuk cis dari retinal menjadi bentuk all-trans. Bentuk all-
trans memiliki struktur kimiawi yang sama dengan bentuk cis namun struktur fisiknya
berbeda, yaitu lebih merupakan molekul lurus daripada bentuk molekul yang
melengkung. Oleh karena orientasi tiga dimensi dari tempat reaksi retinal all-trans
tidak lagi cocok dengan tempat reaksi protein skotopsin, maka terjadi pelepasan
dengan skotoopsin. Produk yang segera terbentuk adalah batorodopsin, yang
merupakan kombinasi terpisah sebagian dari retianal all-trans dan opsin. Batorodopsin
sendiri merupakan senyawa yang sangat tidak stabil dan dalam waktu singkat akan
rusak menjadi lumirodopsin yang lalu berubah lagi menjadi metarodopsin I.
7 | R e t i n o b l a s t o m a
Metarodopsin I ini selanjutnya akan menjadi produk pecahan akhir yaitu metarodopsin
II yang disebut jugarodopsin teraktivasi, yang menstimulasi perubahan elektrik dalam
sel batang yang selanjutnya diteruskan sebagai sinyal ke otak.4
Rodopsin selanjutnya akan dibentuk kembali dengan mengubah all-trans retinal
menjadi 11-cis retinal. Hal ini didapat dengan mula-mula mengubah all-trans retinal
menjadi menjadi all-trans retinol yang merupakan salah satu bentuk vitamin A.
Selanjutnya, di bawah pengaruh enzim isomerase, all-trans retinol diubah menjadi 11-
cisretinol lalu diubah lagi menjadi 11-cis retinal yang lalu bergabung dengan skotopsin
membentuk rodopsin.5
Bila seseorang berada di tempat yang sangat terang untuk waktu yang lama, maka
banyak sekali fotokimiawi yang yang terdapat di sel batang dan kerucut menjadi
berkurang karena diubah menjadi retinal dan opsin. Selanjutnya, sebagian besar retinal
dalam sel batang dan kerucut akan diubah menjadi vitamin A. Oleh karena kedua efek
ini, maka konsentrasi bahan kimiawi fotosensitif yang menetap dalam sel batang dan
kerucut akan sangat banyak berkurang, akibatnya sensitivitas mata terhadap cahaya
juga turut berkurang. Keadaan ini disebut adaptasi terang.5
Sebaliknya, bila orang tersebut terus berada di tempat gelap dalam waktu yang lama,
maka retinal dan opsin yang ada di sel batang dan kerucut diubah kembali menjadi
pigmen yang peka terhadap cahaya. Selanjutnya, vitamin A diubah kembali menjadi
retinal untuk terus menyediakan pigmen peka cahaya tambahan, dimana batas akhirnya
ditentukan oleh jumlah opsin yang ada di dalam sel batang dan kerucut. Keadaan ini
disebut adaptasi gelap.5
Pada bagian tengah dari retina posterior terdapat makula yang secara klinis dinyatakan
sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh darah retina temporal.
Makula secara histologis memiliki ketebalan lapisan sel ganglion lebih dari satu lapis.
Di tengah makula terdapat fovea sentralis, yaitu suatu daerah yang secara histologis
ditandai oleh adanya penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain.
Hal ini dapat terjadi akibat akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring dan lapisan-
lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan dalam retina lepas secara
sentrifugal. Fovea sentralis adalah bagian retina yang paling tipis dan hanya
mengandung fotoreseptor kerucut. Fungsi dari fovea sentralis ini adalah sebagai
penghasil ketajaman penglihatan yang optimal.4
8 | R e t i n o b l a s t o m a
Retina menerima darah dari dua sumber yaitu arteri sentralis retina dan arteri
koriokapilaris. Arteri sentralis retina memperdarahi 2/3 daerah retina bagian dalam,
sementara 1/3 daerah retina bagian luar diperdarahi oleh arteri koriokapilaris. Fovea
sentralis sendiri diperdarahi hanya oleh arteri koriokapilaris dan rentan untuk
mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi.
Pembuluh darah retina memiliki lapisan endotel yang tidak berlubang, sehingga
membentuk sawar darah-retina.3
Secara anatomis, terdapat tiga struktur yang terletak di perifer retina yaitu: pars plana
korpus siliaris, ora serrata, dan basis vitreous. Ketiga struktur ini bertanggung jawab
mempertahankan retina agar tidak terlepas dengan membentuk tautan dengannya.3
Korpus siliaris dimulai 1 mm dari limbus yang kemudian meluas ke belakang sejauh 6
mm. Korpus siliaris terdiri dari dua bagian, yaitu pars plicata yang dimulai dari 2 mm
pertama (struktur berombak) dan pars plana yaitu 4 mm sisanya (struktur datar).3
Ora serrata membentuk tautan antara retina dengan korpus siliaris dan memiliki
struktur dengan ciri-ciri sebagai berikut:3
a) Prosesus dentata yang merupakan perpanjangan retina menuju pars plana yang
berbentuk seperti gigi.
b) Oral bays yang merupakan ujung bergigi dari epitel pars plana yang terletak di
antara prosesus dentata.
c) Lipatan meridional yang merupakan lipatan radial kecil dari penebalan jaringan
retina yang segaris dengan prosesus dentata, terutama terletak pada kuadran
superonasal. Lipatan tersebut dapat memperlihatkan lubang retina yang kecil
pada apeksnya. Kompleks meridional merupakan konfigurasi dimana prosesus
dentata, terutama dengan lipatan meridional, berhubungan dengan prosesus
siliaris.
d) Oral bays yang tertutup yang merupakan pulau kecil pada pars plana yang
dikelilingi oleh retina sebagai pertemuan dua prosesus dentata.
e) Jaringan granular yang suatu kekeruhan putih multipel yang terletak dalam basis
vitreus. Jaringan ini dapat disalahartikan sebagai operkula perifer kecil.
Basis vitreous adalah zona selebar 3-4 mm yang mengitari ora serrata. Vitreous bagian
kortikal melekat kuat dengan basis vitreous, sehingga ketika terjadi pelepasan vitreous
posterior (PVD), permukaan hialoid posterior tidak ikut terlepas melainkan tetap
melekat pada bagian posterior dari basis vitreous.3
9 | R e t i n o b l a s t o m a
Sepanjang perifer retina yaitu dari ekuator ke ora serrata, dapat terjadi sejumlah lesi
yang tidak terlalu membahayakan seperti: degenerasi mikrokistoid, degenerasi
pavingstone, degenerasi honeycomb, dan drusen perifer. Lesi-lesi tersebut kebanyakan
berkaitan dengan penuaan yang terjadi pada mata usia lanjut.3
2.2. Embriologi
Mata berkembang dari 3 lapis embrional primitive, yaitu :
1. Ektoderm permukaan
- Membentuk lensa mata (merupakan lapisan ektoderm di dalam lapisa mesoderm),
glandula lacrimalis, epitel kornea, konjungtiva dan epidermis palpebral.
2. Ektoderm neural
- Menghasilkan vesikel optik dan mangkok optik untuk membentuk retina.
- Mangkok optik : retina, epitel pigmen retina, muskulus dilatator pupil, spingter
pupil pada iris dan serat nervus optikus.
3. Mesoderm, membentuk otot extraokuler, endotel pembuluh darah orbita dan bola
mata.
Tahap perkembangan embriologi bola mata terdiri dari dua tahap, yaitu tahap vesikel
optik dimana tuba neuralis membentuk vesicel optik pada tiap sisi otak depan
dan menempel pada ektoderm permukaan kemudian menginduksi pembentukan lensa
serta tahap mangkok optik dimana vesikel optik berinvaginasi membentuk mangkok
optik.6
Tahapan perkembangan embriologi :
1. Tahap Vesikel Optik.
- Pada janin 2,5 mm (2 minggu) terbentuk plika neuralis, kemudian menyatu
membentuk tuba neuralis pada minggu ke–3.
- Pada janin 9 mm (4 minggu), tuba neuralis membentuk vesikel Optik
berhubungan dengan otak depan melalui tangkai optik dan penebalan ektoderm
permukaan (lempeng lensa) yang berhadapan dengan ujung vesikel optik.
2. Tahap Mangkok Optik.
- Pada janin 5 mm, vesikel optik berinvaginasi membentuk mangkok optik. Tepi
mangkok optik mengitari fisura optik dan bersamaan dengan itu lempeng lensa
10 | R e t i n o b l a s t o m a
invaginasi membentuk mangkok, kemudian menjadi bola berongga yang dikenal
dengan vesikel lensa.
- Pada janin 9 mm (4 minggu) : vesikel lensa melepaskan diri dari ektoderm
permukaan dan terletak bebas dekat tepian mangkok optik.
Perkembangan embriologis struktur spesifik :
1. Palpebra & Apparatus Lacrimalis
Kuncup palpebra mulai terbentuk pada janin 16 mm (6 minggu), menyatu pada
janin 37 mm (8 minggu), kemudian memisah pada bulan ke–5.Saluran lakrimalis :
dari korda epitel membentuk saluran sesaat sebelum lahir.
2. Sclera & Otot Extraoculer
Terbentuk pada janin 20 mm (7 minggu) dan selesai pada saat janin 5 bulan.
3. Lensa Mata
Janin 13 mm (6 minggu) : sel-sel dinding posterior vesikel lensa memanjang dan
mengisi vesikel lensa, akhirnya penuh pada janin 26 mm (7 minggu), Pembentukan
lensa ini selesai pada bulan ke–7.
4. Retina
Lapisan luar mangkok optik menjadi lapisan pigmen epitelium retina pada janin 10
mm (5 minggu).
Lapisan dalam mangkok optik membentuk 9 lapisan retina yang lainnya.Pada
bulan ke–8, makula lebih tebal dari bagian lain retina dan terjadi pencekungan
makula lutea. Makula berkembang secara anatomis sampai bayi berumur 6 bulan
sesudah lahir.6
2.3. Epidemiologi
Retinoblastoma adalah tumor intraokular paling sering ditemui pada anak-anak, terjadi
kira-kira 1 dalam 15,000 kelahiran hidup di Amerika Serikat dan 1 dalam 16,600
kelahiran hidup di Eropa Utara. Terdapat 250-300 kasus baru yang dilaporkan di
Amerika Serikat setiap tahun. Antara tahun 2005 hingga 2009, insidens tahunan
retinoblastoma di Amerika Serikat pada anak usia bawah 15 tahun adalah 4.1 juta
orang.7
11 | R e t i n o b l a s t o m a
Usia median diagnosis adalah 2 tahun dan kira-kira 95% terdiagnosis sebelum
mencapai usia 5 tahun. Namun pernah ada kasus yang baru terdiagnosis sewaktu
berumur hingga 18 tahun dan pernah juga terdiagnosis pada usia dewasa. Kira-kira
25% dari kasus retinoblastoma adalah kasus bilateral. Insidens retinoblastoma tidak
ada perbedaan kelamin maupun antara kulit putih atau hitam.8
Di seluruh dunia, insidens retinoblastoma adalah merata dan tidak jauh berbeda.
Beberapa faktor seperti status sosial ekonomi, kemiskinan, tingkat pendidikan,
kepercayaan dan akses pelayanan kesehatan berpengaruh pada keterlambatan diagnosis
hingga menyebabkan prevalens yang lebih tinggi di negara maju. Keterlambatan
pengobatan dan frekuensi penyakit metastase mengakibatkan prognosis yang buruk di
negara berkembang.9
2.4. Etiopatogenesis
a. Kelainan kromosom
Terjadi karena kehilangan kedua kromosom dari satu pasang alel dominant
protektif yang berada dalam pita kromosom 13q14. Bisa karena mutasi atau
diturunkan. Penyebabnya adalah tidak terdapatnya gen penekan tumor, yang
sifatnya cenderung diturunkan. Kanker bisa menyerang salah satu mata yang
bersifat somatic maupun kedua mata yang merupakan kelainan yang diturunkan
secara autosom dominant. Kanker bisa menyebar ke kantung mata dan ke otak
(melalu saraf penglihatan/nervus optikus).
b. Faktor genetik
Gen cacat RB1 dapat warisan dari orang tua baik, pada beberapa anak,
bagaimanapun, mutasi terjadi pada tahap awal perkembangan janin. Tidak
diketahui apa yang menyebabkan kelainan gen, melainkan yang paling mungkin
menjadi kesalahan acak selama proses copy yang terjadi ketika sel membelah.
2.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis pasti dari retinoblastoma intraokuler hanya dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan patologi anatomi, akan tetapi karena tindakan biopsy merupakan
kontraindikasi, maka untuk menegakkan diagnosis digunakan beberapa sarana
pemeriksaan sebagai sarana penunjang :
12 | R e t i n o b l a s t o m a
1. Pemeriksaan fundus okuli, ditemukan adanya massa yang menonjol dari retina
disertai pembuluh darah pada permukaan maupun di dalam masaa tumor
tersebut dan berbatas kabur.
2. Pemeriksaan foto rontgen, pada hampIr 60-70% kasus penderita retinoblastoma
menunjukkan adanya klasifikasi. Bila tumor mengadakan infiltrasi ke nervus
optikus, maka foramen optikum melebar.
3. Pemeriksaan CTscan dan MRI untuk mendeteksi penyebaran tumor sampai ke
intracranial.
4. Pemeriksaan onkologis opthalmik ultrasound dapat mendiagnosa retinoblastoma
intraokular lebih dari 95% kasus.
5. Pemeriksaan Enzim Lactic Acid Dehydrogenase (LDH), yaitu dengan
membandingkan kadar LDH humor akuos dengan serum darah. Bila rasio lebih
besar dari 1,5 dicurigai kemungkinan adanya retinoblastoma intraokuler (pada
keadaan normal rasio kurang dari 1).
2.6. Patofisiologi
Retinoblastoma semula diperkirakan terjadi akibat mutasi suatu gen dominan otosom,
tetapi sekarang diduga bahwa suatu alel di satu lokus di dalam pita kromosom 13q14
dapat mengontrol tumor bentuk herediter dan non herediter. Gen retinoblastoma
normal, yang terdapat pada semua orang, adalah suatu gen supresor atau anti-onkogen.
Pada bentuk yang herediter, individu memiliki satu alel yang terganggu di setiap sel
tubuhnya, apabila alel pasangannya di sel retina yang sedang tumbuh mengalami
mutasi spontan, terbentuklah tumor. Pada bentuk penyakit yang non-herediter, kedua
alel gen retinoblastoma normal di sel retina yang sedang tumbuh diinaktifkan oleh
mutasi spontan.10
Retinoblastoma dapat tumbuh keluar (eksofitik) atau kedalam (endofitik).
Retinoblastoma endofitik kemudian meluas ke dalam korpus vitreum. Kedua jenis
secara bertahap akhirnya mengisi mata dan meluas melalui saraf optikus ke otak dan
sepanjang saraf dan pembuluh-pembuluh emisari di sclera ke jaringan orbita lainnya.
Secara mikroskopis, sebagian besar retinoblastoma terdiri dari sel-sel kecil, tersusun
rapat bundar atau poligonal dengan inti besar berwarna gelap dan sedikit sitoplasma.
Sel-sel ini kadang-kadang membentuk “rosette Flexner – Wintersteiner” yang khas,
13 | R e t i n o b l a s t o m a
yang merupakan indikasi diferensiasi fotoreseptor. Kelainan-kelainan degeneratif
sering dijumpai, disertai oleh nekrosis dan kalsifikasi.10,11
2.7. Manifestasi Klinis
Gejala klinis subjektif pada pasien retinoblastoma sukar karena anak tidak memberikan
keluhan. Tapi kita harus waspada terhadap kemungkinan retinoblastoma. Lebih dari
75% anak-anak dengan retinoblastoma yang pertama kali dicatat mempunyai “pupil
putih” yang mana dokter menyebutnya “Leukokoria” yang seolah bersinar bila kena
cahaya seperti mata kucing “Amaurotic cat’s eye”, atau strabismus, atau kemerahan
dan nyeri pada mata (biasanya disebabkan glaukoma). Jika dalam perkembangan anak
terjadi iritasi kemerahan yang menetap, hal ini dapat menggambarkan inflamasi atau
pseudo-inflamasi pada mata, 9% pasien retinoblastoma dapat berkembang dengan
symptom ini. Tanda lain yang jarang diperlihatkan pada retinoblastoma termasuk
anisokoria, perbedaan warna pada iris (heterochromia), berair, penonjolan ke depan
pada mata (proptosis), katarak, dan pergerakan mata abnormal (nistagmus).12
Penyakit ini jarang sekali didaptkan dalam stadium dini. Hal ini disebabkan massa
tumor tidak terletak di daerah makula maka tidak akan menimbulkan gejala gangguan
penglihatan. Terlebih lagi bila massa tumor hanya pada satu mata, sehingga mata yang
normal dapat mengatasi fungsi penglihatan. Disamping itu penyakit ini biasanya
mengenai bayi dan anak kecil yang belum mampu mengemukakan keluhan-keluhan
apabila terdapat gangguan fungsi mata, misalnya penglihatan menjadi kabur. Orang tua
tidak menyadari kelaianan yang terjadi pada anaknya. Stadium dini biasanya
didapatkan pada pemeriksaan funduskopi rutin secara kebetulan atau apabila tumor
terdapat di makula retina dan menyebabkan mata juling karena binokuler vision
penderita terganggu. Gejala juling inilah membawa penderita atau orang tua penderita
pergi ke dokter.12
Sebagian besar penderita tumor ini datang pada keadaan stadium lanjut. Salah satu
gejala yang mendorong orang tua membawa penderita berobat adalah refleks pupil
yang berwarna putih atau kekuning-kuningan (leukokoria), seperti mata kucing atau
kelereng. Gambaran ini sebenarnya sudah menunjukkan hampir seluruh retina terisi
massa tumor.
Beberapa gejala dari retinoblastoma diantaranya: 11,12,13
14 | R e t i n o b l a s t o m a
a. Pasien umur < 5 tahun
• Leukokoria (54%-62%), * Proptosis
• Strabismus (18%-22%) * Katarak
• Hypopion * Glaukoma
• Hyphema * Nystagmus
• Heterochromia * Tearing
• Spontaneous globe perforation * Anisocoria
b. Pasien umur > 5 tahun
• Leukokoria (35%) * Inflamasi (2%-10%)
• Penurunan visus (35%) * Floater (4%)
• Strabismus (15%) * Pain (4%
Pada retinoblastoma didapatkan tiga stadium, yaitu :12
1. Stadium tenang
Pupil lebar, di pupil tampak refleks kuning yang disebut “amaurotic cat’s eye”.
Hal inilah yang menarik perhatian orang tuanya untuk kemudian berobat. Pada
funduskopi, tampak bercak yang berwarna kuning mengkilat dapat menonjol ke
dalam badan kaca. Di permukaannya ada neovaskularisasi dan perdarahan, dapat
disertai dengan ablation retina.
2. Stadium glaukoma
Tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan intraokuler meningkat (glaukoma
sekunder) yang disertai rasa sakit yang sangat. Media refrakta keruh, pada
funduskopi sukar menentukan besarnya tumor.
3. Stadium ekstraokuler
Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar menyebabkan eksoftalmus
kemudian dapat pecah ke depan sampai ke luar dari rongga orbita disertai
nekrosis di atasnya. Pertumbuhan dapat pula terjadi ke belakang sepanjang N. II
dan masuk ke ruang tengkorak. Penyebaran ke kelenjar getah bening, dapat
masuk ke pembuluh darah untuk kemudian menyebar ke seluruh tubuh.
2.8. Diagnosa Banding
15 | R e t i n o b l a s t o m a
Pada kasus yang terdapat leukoria, penyakit yang harus dipikirkan adalah
retinoblastoma. Namun, diagnosis banding yang harus disingkirkan adalah katarak
kongenital, retinopati pada prematur, toxocariasis, tuberculosis, perdarahan vitreous,
dan tumor retina lain seperti astrocytic hemartoma. Kekeruhan kornea juga boleh
menghasilkan refleks putih, tetapi dapat dibedakan dengan retinoblastoma dengan
pemeriksaan klinis.
Toxocariasis Okular
Toxocariasis okular dapat menyebabkan massa putih perifer retina yang kelihatan
serupa dengan retinoblastoma. Toxocariasis biasanya unilateral dan dikaitkan dengan
tanda peradangan yang lebih bila dibandingkan dengan retinoblastoma seperti injeksi,
nyeri, fotofobia. Pada pasien harus ditanyakan riwayat kontak dengan hewan
peliharaan seperti anjing atau pernah tertelan tanah. Sebagai tambahan, riwayat
demam, eosinofilia, pneumonitis atau hepatosplenomegali dapat mengarah ke
manifestasi sistemik larva migrans perifer. Titer serum untuk toxocara canis yang
positif bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis.
Persistent Fetal Vasculature
PFV adalah penyakit kongenital dan leukoria dapat dijumpai pada umur yang muda.
Biasanya unilateral dan mata menjadi mikroftalmic. Katarak bisa ditemui pada banyak
kasus dan dikaitkan dengan pemanjangan prosessus siliaris. Jika wujud, beberapa ciri
ini dapat membantu membedakan PFV dan retinoblastoma.
Norrie disease
Norrie disease adalah sindrom X-linked resesif yang ditandai malformasi retina,
ketulian, kejang dan perkembangan mental yang abnormal. Kondisi ini adalah
bilateral. Dapat ditemukan mikroftalmic, atrofi nervus optikus, lensa kecil dan
biasanya tidak ada kalsifikasi. Jika gangguan unilateral atau tidak ada ketulian,
perkiraan diagnosis ini dapat disingkirkan.
Coats disease
Coats disease ditemui sebagai kelainan vaskular unilateral dan eksudat retina pada
anak-anak lelaki. Biasanya tidak menunjukkan kalsifikasi dan dengan MRI dapat
dibedakan dengan retinoblastoma jika dinilai kepadatan eksudatnya.15
Retinopati Pada Prematur
16 | R e t i n o b l a s t o m a
Penyakit ini ditemui pada neonatus prematur yang menerima terapi oksigen yang
berpanjangan dan berkaitan dengan oklusi vaskular arteriol. Kondisi ini sering bilateral
tetapi asimetris dan terjadi mikroftalmia. Kalsifikasi sangat jarang ditemui.
Tuberculosis Okular
Tuberculosis bisa mengenai mata anak, dan menyebabkan terjadinya leukoria. Pada
kasus yang berat dapat terjadi kerusakan mata hingga menyebabkan kebutaan.
Pemeriksaan standar untuk tuberculosis bisa membantu menyingkirkan diagnosis ini.16
2.9. Klasifikasi
Berdasarkan tujuan dari pengobatan retinoblastoma dikategorikan menjadi dua, yaitu :
1. Intraokuler
2. Ekstraokuler
Reese dan Ellsworth membagi retinoblastoma menjadi 5 golongan, yaitu :17
Golongan I (prognosa sangat baik) :
1. Tumor soliter, berukuran < 4 diameter papil, terletak pada atau di
belakang equator.
2. Tumor multiple, berukuran tidak lebih besar dari 4 diameter papil,
terletak pada atau di belakang equator.
Golongan II (prognosis baik) :
1. Tumor soliter, berukuran 4-10 diameter papil, terletak pada atau
dibelakang equator.
2. Tumor multiple, berukuran 4-10 diameter papil, terletak dibelakang
equator.
Golongan III (prognosis meragukan) :
1. Beberapa lesi di depan equator.
2. Tumor soliter, berukuran > 10 diameter papil, terletak di belakang
equator.
Golongan IV (prognosis tidak baik) :
1. Tumor multiple, berukuran > 10 diameter papil.
2. Beberapa lesi meluas sampai ke ora seratta.
Golongan V (prognosis buruk) :
Tumor berkembang massive sampai separuh retina dengan benih di badan
kaca.
17 | R e t i n o b l a s t o m a
2.10. Penatalaksanaan
Penanganan retinoblastoma sangat tergantung pada besarnya tumor, bilateral,
perluasan kejaringan ekstraokuler dan adanya tanda-tanda metastasis jauh. 18,19
1. Fotokoagulasi laser
Fotokoagulasi laser sangat bermanfaat untuk retinoblastoma stadium sangat dini.
Dengan melakukan fotokoagulasi laser diharapkan pembuluh darah yang
menuju ke tumor tertutup, sehingga sel tumor akan menjadi mati. Keberhasilan
cara ini dapat dinilai dengan adanya regresi tumor dan terbentuknya jaringan
sikatrik korioretina. Cara ini baik untuk tumor yang diameternya 4,5 mm dan
ketebalan 2,5 mm tanpa adanya vitreous seeding. Yang paling sering dipakai
adalah Argon atau Diode laser yang dilakukan sebanyak 2 sampai 3 kali dengan
interval masing-masingnya 1 bulan.
2. Krioterapi
Dapat dipergunakan untuk tumor yang diameternya 3,5 mm dengan ketebalan 3
mm tanpa adanya vitreous seeding, dapat juga digabungkan dengan
fotokoagulasi laser. Keberhasilan cara ini akan terlihat adanya tanda-tanda
sikatrik korioretina. Cara ini akan berhasil jika dilakukan sebanyak 3 kali
dengan interval masing-masing 1 bulan.18
3. Thermoterapi
Dengan mempergunakan laser infra red untuk menghancurkan sel-sel tumor
terutama untuk tumor-tumor ukuran kecil.
4. Radioterapi
Dapat digunakan pada tumor-tumor yang timbul ke arah korpus vitreus dan
tumor-tumor yang sudah berinervasi ke arah nervus optikus yang terlihat setelah
dilakukan enukleasi bulbi. Dosis yang dianjurkan adalah dosis fraksi perhari
190-200 cGy dengan total dosis 4000-5000 cGy yang diberikan selama 4 sampai
6 minggu.18
5. Kemoterapi
Indikasinya adalah pada tumor yang sudah dilakukan enukleasi bulbi yang pada
pemeriksaan patologi anatomi terdapat tumor pada koroid dan atau mengenai
nervus optikus. Kemoterapi juga diberikan pada pasien yang sudah dilakukan
eksentrasi dan dengan metastase regional atau metastase jauh. Kemoterapi juga
18 | R e t i n o b l a s t o m a
diberikan pada tumor ukuran kecil dan sedang untuk menganjurkan penggunaan
Carboplastin, Vincristine sulfat, dan Etopozide phosphate. Beberapa peneliti
juga menambahkan Cyclosporine atau dikombinasi dengan regimen kemoterapi
carboplastin, vincristine, etopozide phosphate. Tehnik lain yang dapat
digabungkan dengan metode kemoterapi ini adalah :
Kemoterapi, dimana setelah dilakukan kemoreduksi dilanjutkan dengan
termoterapi. Cara ini paling baik untuk tumor-tumor yang berada pada
fovea dan nervus optikus dimana jika dilakukan radiasi atau
fotokoagulasi laser dapat berakibat terjadinya penurunan visus. 20
Kemoradioterapi, adalah kombinasi antara kemoterapi dan radioterapi
yang dapat dipergunakan untuk tumor-tumor lokal dan sistemik.
6. Enukleasi bulbi
Dilakukan apabila tumor sudah memenuhi segmen posterior bola mata. Apabila
tumor telah berinervasi ke jaringan sekitar bola mata maka dilakukan
eksenterasi.
Berdasarkan ukuran tumor, penatalaksanaan dapat dibagi :
1. Tumor kecil
Ukuran tumor kecil dari 2 diameter papil nervus optikus tanpa infiltrasi ke
korpus vitreous atau sub retinal. Dapat dilakukan fotokoagulasi laser,
termoterapi, krioterapi, dan kemoterapi.
2. Tumor medium
a. Brakiterapi untuk tumor ukuran kecil dari 8 diameter papil nervus
optikus, terutama yang tidak ada infiltrasi ke korpus vitreous, juga
dipergunakan untuk tumor-tumor yang sudah mengalami regresi.
b. Kemoterapi
c. Radioterapi, sebaiknya hal ini dihindarkan, karena kompikasinya dapat
menyebabkan katarak, radiasi retinopati.
3. Tumor besar
a. Kemoterapi : untuk mengecilkan tumor dan ditambah pengobatan local
seperti krioterapi dan fotokoagulasi laser yang bertujuan untuk
menghindarkan enukleasi atau radioterapi. Tindakan ini juga
memberikan keuntungan apabila terdapat tumor yang kecil pada mata
sebelahnya.
19 | R e t i n o b l a s t o m a
b. Enukleasi bulbi dilakukan apabila tumor diffuse pada segmen posterior
bola mata dan yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi rekurensi.
4. Tumor yang sudah meluas kejaringan ekstraokuler maka dilakukan eksenterasi
dan diikuti dengan kemoterapi dan radioterapi.
Tumor yang sudah bermetastasis jauh, hanya diberikan kemoterapi saja.21
2.11. Komplikasi
Komplikasi dari penyakit retinoblastoma adalah :
1. Ablasio Retina
Ablasio adalah suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen retina.
Keadaan ini merupakan masalah mata yang serius dan dapat terjadi pada usia
berapapun, walaupun biasanya terjadi pada orang usia setengah baya atau lebih
tua.
2. Glaukoma
Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak
langsung, yang secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan mata
semakin lama akan semakin berkurang sehingga akhirnya mata akan menjadi
buta. Hal ini disebabkan karena saluran cairan yang keluar dari bola mata
terhambat sehingga bola mata akan membesar dan bola mata akan menekan
saraf mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya saraf mata tidak
mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.Kelainan mata yang
mempunyai gejala peningkatan tekanan intra okuler (TIO), dimana dapat
mengakibatkan pencekungan papil syaraf optik sehingga terjadi atropi syaraf
optik, penyempitan lapang pandang dan penurunan tajam pengelihatan. 22
3. Kebutaan
4. Kematian
2.12. Prognosis
Angka kesembuhan keseluruhan lebih dari 90%, meskipun ketahanan hidup sampai
dekade ketiga dan keempat yang mungkin dapat menurun akibat insidensi keganasan
sekunder yang tinggi. Kesembuhan yang terjadi pada penderita dengan orbita yang
masif atau keterlibatan saraf mata yang luas pada waktu diagnosis, yang mungkin
20 | R e t i n o b l a s t o m a
mempunyai perluasan intrakranial dan metastasis jauh, jika pemeriksaan mikroskopik
menunjukkan tumor di jaringan saraf mata periglobal, ada kemungkinan kecil
ketahanan hidup jangka panjang dengan iradiasi dan kemoterapi. Prognosis bagi
penderita dengan retinoblastoma langsung terkait dengan ukuran dan perluasan tumor.
Kebanyakan tumor yang terbatas pada mata dapat disembuhkan. Prognosis baik bila
ditemukan dini dan intraokuler. Prognosis sangat buruk bila sudah tersebar
ekstraokular danterjadi perluasan ke orbita atau saraf mata pada saat pemeriksaan
pertama.23
21 | R e t i n o b l a s t o m a
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Retinoblastoma adalah suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel kerucut sel
batang) atau sel glia yang bersifat ganas. Merupakan tumor ganas intraokuler yang
ditemukan pada anak-anak, terutama pada usia dibawah lima tahun. Tumor berasal dari
jaringan retina embrional. Dapat terjadi unilateral (70%) dan bilateral (30%). Sebagian
besar kasus bilateral bersifat herediter yang diwariskan melalui kromosom.
Pasien dengan retinoblastoma harus diberikan perawatan secara intensif dan perlunya
pengetahuan dari pihak keluarga agar penyakit tersebut tidak mengalami komplikasi.
3.2. Saran
Berdasarkan hasil pembuatan makalah ini tim penulis mengharapkan terutama kepada
pembaca agar lebih peka terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak-anak di sekitar baik
di lingkungan rumah, rumah sakit, dan dimana saja.
22 | R e t i n o b l a s t o m a
DAFTAR PUSTAKA
1. Kanski, Jack J. Clinical Ophtalmology, A Systemic Approach, second edition.
Oxford: Butterworth- Heinemann, 1993, 542- 552.
2. Kanski, J.J., Bowling, B., editors. Clinical Ophthalmology: a systemic approach. 7th
ed. Elsevier, 2011.
3. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s general ophthalmology. 17th ed.
McGraw-Hill, 2007.
4. M. Nenadov Beck et al. First Line Chemotherapy With Local Treatment Can Prevent
External-Beam Irradiation and Enucliation In Low Stage Intraocular Retinoblastoma
In : Journal of Clinical Oncology Vol.18 No. 15 August 2000 : 2881-2887.12. Curtis
E. Margo et all. Retinoblastoma. http://www.SpEdEx. com 20031-4.
5. Sense organs. Arthur’s medical clipart.
http://www.arthursclipart.org/medical/senseorgans/page_02.htm. Diunduh: 29 Januari
2012
6. Jon Langmans & Langmans. Medical embryology. EGC, 2006.
7. Age-adjusted and age-specific SEER cancer incidence rates, 2004-
2008.http://seer.cancer.gov/csr/1975_2008/results_merged/sect_29_childhood_cancer
_iccc.pdf.
8. Incidence of retinoblastoma in the USA : 1975-2004. Broaddus E, Topham A, Singh
AD. Br J Ophthalmol. 2009 Jan;93(1):21-3. Epub 2008 Jul 11.
9. https://www.clinicalkey.com/topics/ophthalmology/retinoblastoma.html
10. Daniel G. Vaughan et all. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta. 2000: 217-219
11. Arno Nover Fundus Okuli (gambaran Khas dan Metode-metode Pemeriksaan) edisi
IV. Penerbit Buku Kedokteran Hipokrates. Jakarta, 1995 : 134.
12. Sidarta Ilyas. Retinoblastoma dalam Kegawatdaruratan Dalam Ilmu Penyakit
Mata.FKUI. Jakarta, 2000 : 159-161.
13. Elli Kusmayati et all. Relationship Between Cat’s eye Reflex and Bonemarrow
Metastasis Patient with Retinoblastoma In : Pediatrical Indonesiana (The Indonesian
Journal of Pediatrics and Perinatal Medicine) Volume 42. No : 1-2, January-February
2002. The Indonesian Society of Pediatricans : 39-41.
14. Galindo CR, Wilson MW, Haik BG. Treatment of metastatic retinoblastoma,
Ophthalmology 2003; 110: 1237-1240.
23 | R e t i n o b l a s t o m a
15. Coats G(1908) Forms of retinal disease with massive exudation. Roy Lond Opthalmol
Hosp Rep 17:440–525
16. Bodaghi B, LeHoang P(2000) Ocular tuberculosis. Curr Opin Ophthalmol11:443–
448.
17. National Cancer Institute. Retinoblastoma.http://www.medNews.com 2004 : 1-8.
18. Abramson DH, Schelfer AC, Transpupillary Thermotherapi as initial treatment for
Small Intra Oculer Retinoblastoma. Opthalmology 2004; 3:984-991.
19. Galindo CR, Wilson MW, Haik BG. Treatment of metastatic retinoblastoma,
Ophthalmology 2003; 110: 1237-1240.
20. Arief Mansjoer dkk. Retinoblastoma dalam Kapita Selekta Kedotekteran Jilid I Edisi
ketiga. Media Aesculapius. Jakarta, 2001 : 75-76.
21. Ardizal R. Deteksi Dini Dan Penatalaksanaan Retinoblastoma dalam Majalah
Kedokteran Andalas. Edisi Oktober. FK Universitas Andalas. Padang, 2008 : 57-62
22. Ilyas Sidarta, Prof. dr. H. SpM, Ilmu Penyakit Mata , edisi ke-3, FKUI, Jakarta, 2009.
23. Nelson Waldo E, Nelson textbook of pediatrics vol. 3 edisi 15, Jakarta : EGC,
2000.1793-1794.