23
1 | Retinoblastoma KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas referat yang berjudul Retinoblastoma. Referat ini membahas kelainan pada mata, dimulai dari anatomi dan fisiologi, patofisiologi, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan, hingga komplikasi yang dapat timbul dari penyakit Retinoblastoma. Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dokter-dokter pembimbing yang telah banyak mengajarkan dan membimbing selama proses pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak. 2. Para petugas medis dan non medis di RS yang telah bersedia membagikan ilmu dan pengalaman selama bertugas dan mendukung terciptanya suasana belajar yang baik selama bertugas merawat pasien anak. 3. Teman-teman diskusi dan senior yang saling memberikan saran dan kritik agar referat yang kami susun dapat semakin baik. 4. Pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu yang turut berkontribusi membantu menyelesaikan proses pembuatan referat dan proses pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak selama di RS. Demikianlah apa yang dapat kami sampaikan. Di dunia ini tidak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan referat yang kami susun. Karena itu kami mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang tepat maupun kurang berkenan dan membuka hati bagi saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, semoga referat yang kami susun dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Selamat membaca. Yogyakarta, Februari 2014 Tim Penulis

220398370 Retinoblastoma Pada Anak

Embed Size (px)

Citation preview

1 | R e t i n o b l a s t o m a

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas referat yang

berjudul Retinoblastoma. Referat ini membahas kelainan pada mata, dimulai dari anatomi

dan fisiologi, patofisiologi, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan, hingga komplikasi yang

dapat timbul dari penyakit Retinoblastoma.

Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dokter-dokter pembimbing yang telah banyak mengajarkan dan membimbing selama

proses pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak.

2. Para petugas medis dan non medis di RS yang telah bersedia membagikan ilmu dan

pengalaman selama bertugas dan mendukung terciptanya suasana belajar yang baik

selama bertugas merawat pasien anak.

3. Teman-teman diskusi dan senior yang saling memberikan saran dan kritik agar referat

yang kami susun dapat semakin baik.

4. Pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu yang turut berkontribusi

membantu menyelesaikan proses pembuatan referat dan proses pembelajaran Ilmu

Kesehatan Anak selama di RS.

Demikianlah apa yang dapat kami sampaikan. Di dunia ini tidak ada gading yang tak retak,

demikian pula dengan referat yang kami susun. Karena itu kami mohon maaf apabila terdapat

kata-kata yang kurang tepat maupun kurang berkenan dan membuka hati bagi saran dan kritik

yang membangun.

Akhir kata, semoga referat yang kami susun dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Selamat membaca.

Yogyakarta, Februari 2014

Tim Penulis

2 | R e t i n o b l a s t o m a

DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………………..1

Daftar Isi……………………………………………………………………………………2

BAB I Pendahuluan………………………………………………………………………...3

BAB II Pembahasan

Anatomi dan Fisiologi…………………………………………………………………..4

Embriologi………………………………………………………………………………9

Epidemiologi…………………………………………………………………………...10

Etiopatogenesis…………………………………………………………………………11

Diagnosis……………………………………………………………………………….11

Patofisiologi…………………………………………………………………………….12

Manifestasi Klinis………………………………………………………………………13

Diagnosis Banding……………………………………………………………………..14

Klasifikasi………………………………………………………………………………15

Penatalaksanaan………………………………………………………………………..16

Komplikasi……………………………………………………………………………..19

Prognosis……………………………………………………………………………….19

BAB III Penutup……………………………………………………………………………21

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………....22

3 | R e t i n o b l a s t o m a

BAB I

PENDAHULUAN

Mata adalah salah satu indera yang jika kehilangan fungsinya dapat menimbulkan akibat

besar dalam hidup seseorang. Begitu pula tumbuh kembang anak yang baik harus didukung

dengan kemampuan indera penglihatan yang baik. Sehingga menjaga kesehatan mata adalah

suatu hal yang perlu didikte lagi.

Retinoblastoma adalah salah satu penyakit kanker primer pada mata yang paling sering

dijumpai pada bayi dan anak. Penyakit ini tidak hanya dapat mengakibatkan kebutaan,

melainkan juga kematian. Di negara berkembang, upaya pencegahan dan deteksi dini belum

banyak dilakukan oleh para orang tua. Salah satu sebabnya adalah pengetahuan yang masih

minim mengenai penyakit kanker tersebut.

Dalam penelitian menyebutkan bahwa 5-10% anak usia prasekolah dan 10% anak usia

sekolah memiliki masalah penglihatan. Namun seringkali anak-anak sulit menceritakan

masalah penglihatan yang mereka alami. Karena itu, skrining mata pada anak sangat

diperlukan untuk mendeteksi masalah penglihatan sedini mungkin.

Skrining dan pemeriksaan mata anak sebaiknya dilakukan pada saat baru lahir, usia 6 bulan,

usia 3-4 tahun, dan dilanjutkan pemeriksaan rutin pada usia 5 tahun ke atas. Setidaknya anak

diperiksakan ke dokter mata setiap 2 tahun dan harus lebih sering apabila telah ditemukan

masalah spesifik atau terdapat faktor risiko.

4 | R e t i n o b l a s t o m a

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi dan Fisiologi

Retina merupakan suatu struktur sangat kompleks yang terbagi menjadi 10 bagian,

terdiri dari fotoreseptor (sel batang dan kerucut) dan neuron, beberapa diantaranya (sel

ganglion) bersatu membentuk serabut saraf optic, seperti pada Gambar 1.1.

Bertanggung jawab untuk mengubah cahaya menjadi sinyal listrik. Retina akan

meneruskan rangsangan yang diterimanya berupa bayangan benda sebagai rangsangan

elektrik ke otak sebagai bayangan yang dikenal pada retina terdapat sel batang sebagai

sel pengenal sinar dan sel kerucut yang mengenali frekuensi sinar. Sel kerucut

bertanggung jawab untuk penglihatan siang hari.1

Gambar 1.1 Skema Struktur Retina (Arno, 1995)

5 | R e t i n o b l a s t o m a

Subgroup dari sel kerucut responsive terhadap panjang gelombang pendek, menengah,

dan panjang (biru, hijau, merah). Sel-sel ini terkonsentrasi di fovea yang menjadi pusat

penglihatan. Sel batang untuk penglihatan malam. Sel-sel ini sensitive terhadap cahaya

dan tidak memberikan sinyal informasi panjang gelombang (warna). Sel batang

menyusun sebagian besar fotoreseptor di retina bagian lainnya, seperti yang terlihat

pada Gambar 1.2. 1

Gambar 1.2 Struktur Histologi Retina

(http://www.glaucoma.org/glaucoma/anatomy-of-the-eye.php)

Retina adalah jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan, yang melapisi 2/3

bagian dalam posterior dinding bola mata. Retina membentang ke anterior sejauh

korpus siliaris dan berakhir pada ora serata dengan tepi yang tidak rata. Di sebagian

besar tempat, retina dan epitel pigmen retina mudah terpisah sehingga dapat terbentuk

suatu ruang yang disebut subretina. Akan tetapi pada diskus optikus dan ora serata,

retina dan epitel pigmen retina saling melekat kuat. 2

Retina terdiri dari 10 lapisan yang berturut-turut dari dalam ke luar adalah sebagai

berikut:2

a) Lapisan membran limitans interna

6 | R e t i n o b l a s t o m a

b) Lapisan serat saraf yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan

menuju nervus optikus

c) Lapisan sel ganglion

d) Lapisan pleksiformis dalam yang mengandung sambungan sel ganglion dengan

sel amakrin dan bipolar

e) Lapisan inti dalam yang mengandung badan-badan sel bipolar, amakrin, dan

horizontal

f) Lapisan pleksiformis luar yang mengandung sambungan sel bipolar dan

horizontal dengan sel-sel fotoreseptor

g) Lapisan inti luar yang mengandung akson sel fotoreseptor (batang dan kerucut)

h) Lapisan membran limitans eksterna

i) Lapisan fotoreseptor yang mengandung badan-badan sel batang dan kerucut

j) Lapisan epitel pigmen retina

Fotoreseptor batang dan kerucut terletak di lapisan terluar retina sensorik yang

avaskular dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mengawali proses

penglihatan. Setiap sel kerucut mengandung rodopsin, yaitu pigmen penglihatan yang

fotosensitif. Saat rodopsin menyerap cahaya, akan terjadi perubahan bentuk 11-cis-

retinal (komponen kromofor pada rodopsin) menjadi all-trans-retinol. Perubahan

bentuk ini akan memicu terjadinya kaskade penghantar kedua, dimana rangsangan

cahaya akan diubah menjadi impuls saraf. Impuls ini kemudian dihantarkan oleh jaras-

jaras penglihatan melalui nervus optikus menuju korteks penglihatan oksipital. 3

Baik sel batang ataupun kerucut mengandung bahan kimia rodopsin dan pigmen

kerucut yang akan terurai bila terpapar cahaya. Bila rodopsin sudah mengabsorbsi

energi cahaya, rodopsin akan segera terurai akibat fotoaktivasi elektron pada bagian

retinal yang mengubah bentuk cis dari retinal menjadi bentuk all-trans. Bentuk all-

trans memiliki struktur kimiawi yang sama dengan bentuk cis namun struktur fisiknya

berbeda, yaitu lebih merupakan molekul lurus daripada bentuk molekul yang

melengkung. Oleh karena orientasi tiga dimensi dari tempat reaksi retinal all-trans

tidak lagi cocok dengan tempat reaksi protein skotopsin, maka terjadi pelepasan

dengan skotoopsin. Produk yang segera terbentuk adalah batorodopsin, yang

merupakan kombinasi terpisah sebagian dari retianal all-trans dan opsin. Batorodopsin

sendiri merupakan senyawa yang sangat tidak stabil dan dalam waktu singkat akan

rusak menjadi lumirodopsin yang lalu berubah lagi menjadi metarodopsin I.

7 | R e t i n o b l a s t o m a

Metarodopsin I ini selanjutnya akan menjadi produk pecahan akhir yaitu metarodopsin

II yang disebut jugarodopsin teraktivasi, yang menstimulasi perubahan elektrik dalam

sel batang yang selanjutnya diteruskan sebagai sinyal ke otak.4

Rodopsin selanjutnya akan dibentuk kembali dengan mengubah all-trans retinal

menjadi 11-cis retinal. Hal ini didapat dengan mula-mula mengubah all-trans retinal

menjadi menjadi all-trans retinol yang merupakan salah satu bentuk vitamin A.

Selanjutnya, di bawah pengaruh enzim isomerase, all-trans retinol diubah menjadi 11-

cisretinol lalu diubah lagi menjadi 11-cis retinal yang lalu bergabung dengan skotopsin

membentuk rodopsin.5

Bila seseorang berada di tempat yang sangat terang untuk waktu yang lama, maka

banyak sekali fotokimiawi yang yang terdapat di sel batang dan kerucut menjadi

berkurang karena diubah menjadi retinal dan opsin. Selanjutnya, sebagian besar retinal

dalam sel batang dan kerucut akan diubah menjadi vitamin A. Oleh karena kedua efek

ini, maka konsentrasi bahan kimiawi fotosensitif yang menetap dalam sel batang dan

kerucut akan sangat banyak berkurang, akibatnya sensitivitas mata terhadap cahaya

juga turut berkurang. Keadaan ini disebut adaptasi terang.5

Sebaliknya, bila orang tersebut terus berada di tempat gelap dalam waktu yang lama,

maka retinal dan opsin yang ada di sel batang dan kerucut diubah kembali menjadi

pigmen yang peka terhadap cahaya. Selanjutnya, vitamin A diubah kembali menjadi

retinal untuk terus menyediakan pigmen peka cahaya tambahan, dimana batas akhirnya

ditentukan oleh jumlah opsin yang ada di dalam sel batang dan kerucut. Keadaan ini

disebut adaptasi gelap.5

Pada bagian tengah dari retina posterior terdapat makula yang secara klinis dinyatakan

sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh darah retina temporal.

Makula secara histologis memiliki ketebalan lapisan sel ganglion lebih dari satu lapis.

Di tengah makula terdapat fovea sentralis, yaitu suatu daerah yang secara histologis

ditandai oleh adanya penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain.

Hal ini dapat terjadi akibat akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring dan lapisan-

lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan dalam retina lepas secara

sentrifugal. Fovea sentralis adalah bagian retina yang paling tipis dan hanya

mengandung fotoreseptor kerucut. Fungsi dari fovea sentralis ini adalah sebagai

penghasil ketajaman penglihatan yang optimal.4

8 | R e t i n o b l a s t o m a

Retina menerima darah dari dua sumber yaitu arteri sentralis retina dan arteri

koriokapilaris. Arteri sentralis retina memperdarahi 2/3 daerah retina bagian dalam,

sementara 1/3 daerah retina bagian luar diperdarahi oleh arteri koriokapilaris. Fovea

sentralis sendiri diperdarahi hanya oleh arteri koriokapilaris dan rentan untuk

mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi.

Pembuluh darah retina memiliki lapisan endotel yang tidak berlubang, sehingga

membentuk sawar darah-retina.3

Secara anatomis, terdapat tiga struktur yang terletak di perifer retina yaitu: pars plana

korpus siliaris, ora serrata, dan basis vitreous. Ketiga struktur ini bertanggung jawab

mempertahankan retina agar tidak terlepas dengan membentuk tautan dengannya.3

Korpus siliaris dimulai 1 mm dari limbus yang kemudian meluas ke belakang sejauh 6

mm. Korpus siliaris terdiri dari dua bagian, yaitu pars plicata yang dimulai dari 2 mm

pertama (struktur berombak) dan pars plana yaitu 4 mm sisanya (struktur datar).3

Ora serrata membentuk tautan antara retina dengan korpus siliaris dan memiliki

struktur dengan ciri-ciri sebagai berikut:3

a) Prosesus dentata yang merupakan perpanjangan retina menuju pars plana yang

berbentuk seperti gigi.

b) Oral bays yang merupakan ujung bergigi dari epitel pars plana yang terletak di

antara prosesus dentata.

c) Lipatan meridional yang merupakan lipatan radial kecil dari penebalan jaringan

retina yang segaris dengan prosesus dentata, terutama terletak pada kuadran

superonasal. Lipatan tersebut dapat memperlihatkan lubang retina yang kecil

pada apeksnya. Kompleks meridional merupakan konfigurasi dimana prosesus

dentata, terutama dengan lipatan meridional, berhubungan dengan prosesus

siliaris.

d) Oral bays yang tertutup yang merupakan pulau kecil pada pars plana yang

dikelilingi oleh retina sebagai pertemuan dua prosesus dentata.

e) Jaringan granular yang suatu kekeruhan putih multipel yang terletak dalam basis

vitreus. Jaringan ini dapat disalahartikan sebagai operkula perifer kecil.

Basis vitreous adalah zona selebar 3-4 mm yang mengitari ora serrata. Vitreous bagian

kortikal melekat kuat dengan basis vitreous, sehingga ketika terjadi pelepasan vitreous

posterior (PVD), permukaan hialoid posterior tidak ikut terlepas melainkan tetap

melekat pada bagian posterior dari basis vitreous.3

9 | R e t i n o b l a s t o m a

Sepanjang perifer retina yaitu dari ekuator ke ora serrata, dapat terjadi sejumlah lesi

yang tidak terlalu membahayakan seperti: degenerasi mikrokistoid, degenerasi

pavingstone, degenerasi honeycomb, dan drusen perifer. Lesi-lesi tersebut kebanyakan

berkaitan dengan penuaan yang terjadi pada mata usia lanjut.3

2.2. Embriologi

Mata berkembang dari 3 lapis embrional primitive, yaitu :

1. Ektoderm permukaan

- Membentuk lensa mata (merupakan lapisan ektoderm di dalam lapisa mesoderm),

glandula lacrimalis, epitel kornea, konjungtiva dan epidermis palpebral.

2. Ektoderm neural

- Menghasilkan vesikel optik dan mangkok optik untuk membentuk retina.

- Mangkok optik : retina, epitel pigmen retina, muskulus dilatator pupil, spingter

pupil pada iris dan serat nervus optikus.

3. Mesoderm, membentuk otot extraokuler, endotel pembuluh darah orbita dan bola

mata.

Tahap perkembangan embriologi bola mata terdiri dari dua tahap, yaitu tahap vesikel

optik dimana tuba neuralis membentuk vesicel optik pada tiap sisi otak depan

dan menempel pada ektoderm permukaan kemudian menginduksi pembentukan lensa

serta tahap mangkok optik dimana vesikel optik berinvaginasi membentuk mangkok

optik.6

Tahapan perkembangan embriologi :

1. Tahap Vesikel Optik.

- Pada janin 2,5 mm (2 minggu) terbentuk plika neuralis, kemudian menyatu

membentuk tuba neuralis pada minggu ke–3.

- Pada janin 9 mm (4 minggu), tuba neuralis membentuk vesikel Optik

berhubungan dengan otak depan melalui tangkai optik dan penebalan ektoderm

permukaan (lempeng lensa) yang berhadapan dengan ujung vesikel optik.

2. Tahap Mangkok Optik.

- Pada janin 5 mm, vesikel optik berinvaginasi membentuk mangkok optik. Tepi

mangkok optik mengitari fisura optik dan bersamaan dengan itu lempeng lensa

10 | R e t i n o b l a s t o m a

invaginasi membentuk mangkok, kemudian menjadi bola berongga yang dikenal

dengan vesikel lensa.

- Pada janin 9 mm (4 minggu) : vesikel lensa melepaskan diri dari ektoderm

permukaan dan terletak bebas dekat tepian mangkok optik.

Perkembangan embriologis struktur spesifik :

1. Palpebra & Apparatus Lacrimalis

Kuncup palpebra mulai terbentuk pada janin 16 mm (6 minggu), menyatu pada

janin 37 mm (8 minggu), kemudian memisah pada bulan ke–5.Saluran lakrimalis :

dari korda epitel membentuk saluran sesaat sebelum lahir.

2. Sclera & Otot Extraoculer

Terbentuk pada janin 20 mm (7 minggu) dan selesai pada saat janin 5 bulan.

3. Lensa Mata

Janin 13 mm (6 minggu) : sel-sel dinding posterior vesikel lensa memanjang dan

mengisi vesikel lensa, akhirnya penuh pada janin 26 mm (7 minggu), Pembentukan

lensa ini selesai pada bulan ke–7.

4. Retina

Lapisan luar mangkok optik menjadi lapisan pigmen epitelium retina pada janin 10

mm (5 minggu).

Lapisan dalam mangkok optik membentuk 9 lapisan retina yang lainnya.Pada

bulan ke–8, makula lebih tebal dari bagian lain retina dan terjadi pencekungan

makula lutea. Makula berkembang secara anatomis sampai bayi berumur 6 bulan

sesudah lahir.6

2.3. Epidemiologi

Retinoblastoma adalah tumor intraokular paling sering ditemui pada anak-anak, terjadi

kira-kira 1 dalam 15,000 kelahiran hidup di Amerika Serikat dan 1 dalam 16,600

kelahiran hidup di Eropa Utara. Terdapat 250-300 kasus baru yang dilaporkan di

Amerika Serikat setiap tahun. Antara tahun 2005 hingga 2009, insidens tahunan

retinoblastoma di Amerika Serikat pada anak usia bawah 15 tahun adalah 4.1 juta

orang.7

11 | R e t i n o b l a s t o m a

Usia median diagnosis adalah 2 tahun dan kira-kira 95% terdiagnosis sebelum

mencapai usia 5 tahun. Namun pernah ada kasus yang baru terdiagnosis sewaktu

berumur hingga 18 tahun dan pernah juga terdiagnosis pada usia dewasa. Kira-kira

25% dari kasus retinoblastoma adalah kasus bilateral. Insidens retinoblastoma tidak

ada perbedaan kelamin maupun antara kulit putih atau hitam.8

Di seluruh dunia, insidens retinoblastoma adalah merata dan tidak jauh berbeda.

Beberapa faktor seperti status sosial ekonomi, kemiskinan, tingkat pendidikan,

kepercayaan dan akses pelayanan kesehatan berpengaruh pada keterlambatan diagnosis

hingga menyebabkan prevalens yang lebih tinggi di negara maju. Keterlambatan

pengobatan dan frekuensi penyakit metastase mengakibatkan prognosis yang buruk di

negara berkembang.9

2.4. Etiopatogenesis

a. Kelainan kromosom

Terjadi karena kehilangan kedua kromosom dari satu pasang alel dominant

protektif yang berada dalam pita kromosom 13q14. Bisa karena mutasi atau

diturunkan. Penyebabnya adalah tidak terdapatnya gen penekan tumor, yang

sifatnya cenderung diturunkan. Kanker bisa menyerang salah satu mata yang

bersifat somatic maupun kedua mata yang merupakan kelainan yang diturunkan

secara autosom dominant. Kanker bisa menyebar ke kantung mata dan ke otak

(melalu saraf penglihatan/nervus optikus).

b. Faktor genetik

Gen cacat RB1 dapat warisan dari orang tua baik, pada beberapa anak,

bagaimanapun, mutasi terjadi pada tahap awal perkembangan janin. Tidak

diketahui apa yang menyebabkan kelainan gen, melainkan yang paling mungkin

menjadi kesalahan acak selama proses copy yang terjadi ketika sel membelah.

2.5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Diagnosis pasti dari retinoblastoma intraokuler hanya dapat ditegakkan

dengan pemeriksaan patologi anatomi, akan tetapi karena tindakan biopsy merupakan

kontraindikasi, maka untuk menegakkan diagnosis digunakan beberapa sarana

pemeriksaan sebagai sarana penunjang :

12 | R e t i n o b l a s t o m a

1. Pemeriksaan fundus okuli, ditemukan adanya massa yang menonjol dari retina

disertai pembuluh darah pada permukaan maupun di dalam masaa tumor

tersebut dan berbatas kabur.

2. Pemeriksaan foto rontgen, pada hampIr 60-70% kasus penderita retinoblastoma

menunjukkan adanya klasifikasi. Bila tumor mengadakan infiltrasi ke nervus

optikus, maka foramen optikum melebar.

3. Pemeriksaan CTscan dan MRI untuk mendeteksi penyebaran tumor sampai ke

intracranial.

4. Pemeriksaan onkologis opthalmik ultrasound dapat mendiagnosa retinoblastoma

intraokular lebih dari 95% kasus.

5. Pemeriksaan Enzim Lactic Acid Dehydrogenase (LDH), yaitu dengan

membandingkan kadar LDH humor akuos dengan serum darah. Bila rasio lebih

besar dari 1,5 dicurigai kemungkinan adanya retinoblastoma intraokuler (pada

keadaan normal rasio kurang dari 1).

2.6. Patofisiologi

Retinoblastoma semula diperkirakan terjadi akibat mutasi suatu gen dominan otosom,

tetapi sekarang diduga bahwa suatu alel di satu lokus di dalam pita kromosom 13q14

dapat mengontrol tumor bentuk herediter dan non herediter. Gen retinoblastoma

normal, yang terdapat pada semua orang, adalah suatu gen supresor atau anti-onkogen.

Pada bentuk yang herediter, individu memiliki satu alel yang terganggu di setiap sel

tubuhnya, apabila alel pasangannya di sel retina yang sedang tumbuh mengalami

mutasi spontan, terbentuklah tumor. Pada bentuk penyakit yang non-herediter, kedua

alel gen retinoblastoma normal di sel retina yang sedang tumbuh diinaktifkan oleh

mutasi spontan.10

Retinoblastoma dapat tumbuh keluar (eksofitik) atau kedalam (endofitik).

Retinoblastoma endofitik kemudian meluas ke dalam korpus vitreum. Kedua jenis

secara bertahap akhirnya mengisi mata dan meluas melalui saraf optikus ke otak dan

sepanjang saraf dan pembuluh-pembuluh emisari di sclera ke jaringan orbita lainnya.

Secara mikroskopis, sebagian besar retinoblastoma terdiri dari sel-sel kecil, tersusun

rapat bundar atau poligonal dengan inti besar berwarna gelap dan sedikit sitoplasma.

Sel-sel ini kadang-kadang membentuk “rosette Flexner – Wintersteiner” yang khas,

13 | R e t i n o b l a s t o m a

yang merupakan indikasi diferensiasi fotoreseptor. Kelainan-kelainan degeneratif

sering dijumpai, disertai oleh nekrosis dan kalsifikasi.10,11

2.7. Manifestasi Klinis

Gejala klinis subjektif pada pasien retinoblastoma sukar karena anak tidak memberikan

keluhan. Tapi kita harus waspada terhadap kemungkinan retinoblastoma. Lebih dari

75% anak-anak dengan retinoblastoma yang pertama kali dicatat mempunyai “pupil

putih” yang mana dokter menyebutnya “Leukokoria” yang seolah bersinar bila kena

cahaya seperti mata kucing “Amaurotic cat’s eye”, atau strabismus, atau kemerahan

dan nyeri pada mata (biasanya disebabkan glaukoma). Jika dalam perkembangan anak

terjadi iritasi kemerahan yang menetap, hal ini dapat menggambarkan inflamasi atau

pseudo-inflamasi pada mata, 9% pasien retinoblastoma dapat berkembang dengan

symptom ini. Tanda lain yang jarang diperlihatkan pada retinoblastoma termasuk

anisokoria, perbedaan warna pada iris (heterochromia), berair, penonjolan ke depan

pada mata (proptosis), katarak, dan pergerakan mata abnormal (nistagmus).12

Penyakit ini jarang sekali didaptkan dalam stadium dini. Hal ini disebabkan massa

tumor tidak terletak di daerah makula maka tidak akan menimbulkan gejala gangguan

penglihatan. Terlebih lagi bila massa tumor hanya pada satu mata, sehingga mata yang

normal dapat mengatasi fungsi penglihatan. Disamping itu penyakit ini biasanya

mengenai bayi dan anak kecil yang belum mampu mengemukakan keluhan-keluhan

apabila terdapat gangguan fungsi mata, misalnya penglihatan menjadi kabur. Orang tua

tidak menyadari kelaianan yang terjadi pada anaknya. Stadium dini biasanya

didapatkan pada pemeriksaan funduskopi rutin secara kebetulan atau apabila tumor

terdapat di makula retina dan menyebabkan mata juling karena binokuler vision

penderita terganggu. Gejala juling inilah membawa penderita atau orang tua penderita

pergi ke dokter.12

Sebagian besar penderita tumor ini datang pada keadaan stadium lanjut. Salah satu

gejala yang mendorong orang tua membawa penderita berobat adalah refleks pupil

yang berwarna putih atau kekuning-kuningan (leukokoria), seperti mata kucing atau

kelereng. Gambaran ini sebenarnya sudah menunjukkan hampir seluruh retina terisi

massa tumor.

Beberapa gejala dari retinoblastoma diantaranya: 11,12,13

14 | R e t i n o b l a s t o m a

a. Pasien umur < 5 tahun

• Leukokoria (54%-62%), * Proptosis

• Strabismus (18%-22%) * Katarak

• Hypopion * Glaukoma

• Hyphema * Nystagmus

• Heterochromia * Tearing

• Spontaneous globe perforation * Anisocoria

b. Pasien umur > 5 tahun

• Leukokoria (35%) * Inflamasi (2%-10%)

• Penurunan visus (35%) * Floater (4%)

• Strabismus (15%) * Pain (4%

Pada retinoblastoma didapatkan tiga stadium, yaitu :12

1. Stadium tenang

Pupil lebar, di pupil tampak refleks kuning yang disebut “amaurotic cat’s eye”.

Hal inilah yang menarik perhatian orang tuanya untuk kemudian berobat. Pada

funduskopi, tampak bercak yang berwarna kuning mengkilat dapat menonjol ke

dalam badan kaca. Di permukaannya ada neovaskularisasi dan perdarahan, dapat

disertai dengan ablation retina.

2. Stadium glaukoma

Tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan intraokuler meningkat (glaukoma

sekunder) yang disertai rasa sakit yang sangat. Media refrakta keruh, pada

funduskopi sukar menentukan besarnya tumor.

3. Stadium ekstraokuler

Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar menyebabkan eksoftalmus

kemudian dapat pecah ke depan sampai ke luar dari rongga orbita disertai

nekrosis di atasnya. Pertumbuhan dapat pula terjadi ke belakang sepanjang N. II

dan masuk ke ruang tengkorak. Penyebaran ke kelenjar getah bening, dapat

masuk ke pembuluh darah untuk kemudian menyebar ke seluruh tubuh.

2.8. Diagnosa Banding

15 | R e t i n o b l a s t o m a

Pada kasus yang terdapat leukoria, penyakit yang harus dipikirkan adalah

retinoblastoma. Namun, diagnosis banding yang harus disingkirkan adalah katarak

kongenital, retinopati pada prematur, toxocariasis, tuberculosis, perdarahan vitreous,

dan tumor retina lain seperti astrocytic hemartoma. Kekeruhan kornea juga boleh

menghasilkan refleks putih, tetapi dapat dibedakan dengan retinoblastoma dengan

pemeriksaan klinis.

Toxocariasis Okular

Toxocariasis okular dapat menyebabkan massa putih perifer retina yang kelihatan

serupa dengan retinoblastoma. Toxocariasis biasanya unilateral dan dikaitkan dengan

tanda peradangan yang lebih bila dibandingkan dengan retinoblastoma seperti injeksi,

nyeri, fotofobia. Pada pasien harus ditanyakan riwayat kontak dengan hewan

peliharaan seperti anjing atau pernah tertelan tanah. Sebagai tambahan, riwayat

demam, eosinofilia, pneumonitis atau hepatosplenomegali dapat mengarah ke

manifestasi sistemik larva migrans perifer. Titer serum untuk toxocara canis yang

positif bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis.

Persistent Fetal Vasculature

PFV adalah penyakit kongenital dan leukoria dapat dijumpai pada umur yang muda.

Biasanya unilateral dan mata menjadi mikroftalmic. Katarak bisa ditemui pada banyak

kasus dan dikaitkan dengan pemanjangan prosessus siliaris. Jika wujud, beberapa ciri

ini dapat membantu membedakan PFV dan retinoblastoma.

Norrie disease

Norrie disease adalah sindrom X-linked resesif yang ditandai malformasi retina,

ketulian, kejang dan perkembangan mental yang abnormal. Kondisi ini adalah

bilateral. Dapat ditemukan mikroftalmic, atrofi nervus optikus, lensa kecil dan

biasanya tidak ada kalsifikasi. Jika gangguan unilateral atau tidak ada ketulian,

perkiraan diagnosis ini dapat disingkirkan.

Coats disease

Coats disease ditemui sebagai kelainan vaskular unilateral dan eksudat retina pada

anak-anak lelaki. Biasanya tidak menunjukkan kalsifikasi dan dengan MRI dapat

dibedakan dengan retinoblastoma jika dinilai kepadatan eksudatnya.15

Retinopati Pada Prematur

16 | R e t i n o b l a s t o m a

Penyakit ini ditemui pada neonatus prematur yang menerima terapi oksigen yang

berpanjangan dan berkaitan dengan oklusi vaskular arteriol. Kondisi ini sering bilateral

tetapi asimetris dan terjadi mikroftalmia. Kalsifikasi sangat jarang ditemui.

Tuberculosis Okular

Tuberculosis bisa mengenai mata anak, dan menyebabkan terjadinya leukoria. Pada

kasus yang berat dapat terjadi kerusakan mata hingga menyebabkan kebutaan.

Pemeriksaan standar untuk tuberculosis bisa membantu menyingkirkan diagnosis ini.16

2.9. Klasifikasi

Berdasarkan tujuan dari pengobatan retinoblastoma dikategorikan menjadi dua, yaitu :

1. Intraokuler

2. Ekstraokuler

Reese dan Ellsworth membagi retinoblastoma menjadi 5 golongan, yaitu :17

Golongan I (prognosa sangat baik) :

1. Tumor soliter, berukuran < 4 diameter papil, terletak pada atau di

belakang equator.

2. Tumor multiple, berukuran tidak lebih besar dari 4 diameter papil,

terletak pada atau di belakang equator.

Golongan II (prognosis baik) :

1. Tumor soliter, berukuran 4-10 diameter papil, terletak pada atau

dibelakang equator.

2. Tumor multiple, berukuran 4-10 diameter papil, terletak dibelakang

equator.

Golongan III (prognosis meragukan) :

1. Beberapa lesi di depan equator.

2. Tumor soliter, berukuran > 10 diameter papil, terletak di belakang

equator.

Golongan IV (prognosis tidak baik) :

1. Tumor multiple, berukuran > 10 diameter papil.

2. Beberapa lesi meluas sampai ke ora seratta.

Golongan V (prognosis buruk) :

Tumor berkembang massive sampai separuh retina dengan benih di badan

kaca.

17 | R e t i n o b l a s t o m a

2.10. Penatalaksanaan

Penanganan retinoblastoma sangat tergantung pada besarnya tumor, bilateral,

perluasan kejaringan ekstraokuler dan adanya tanda-tanda metastasis jauh. 18,19

1. Fotokoagulasi laser

Fotokoagulasi laser sangat bermanfaat untuk retinoblastoma stadium sangat dini.

Dengan melakukan fotokoagulasi laser diharapkan pembuluh darah yang

menuju ke tumor tertutup, sehingga sel tumor akan menjadi mati. Keberhasilan

cara ini dapat dinilai dengan adanya regresi tumor dan terbentuknya jaringan

sikatrik korioretina. Cara ini baik untuk tumor yang diameternya 4,5 mm dan

ketebalan 2,5 mm tanpa adanya vitreous seeding. Yang paling sering dipakai

adalah Argon atau Diode laser yang dilakukan sebanyak 2 sampai 3 kali dengan

interval masing-masingnya 1 bulan.

2. Krioterapi

Dapat dipergunakan untuk tumor yang diameternya 3,5 mm dengan ketebalan 3

mm tanpa adanya vitreous seeding, dapat juga digabungkan dengan

fotokoagulasi laser. Keberhasilan cara ini akan terlihat adanya tanda-tanda

sikatrik korioretina. Cara ini akan berhasil jika dilakukan sebanyak 3 kali

dengan interval masing-masing 1 bulan.18

3. Thermoterapi

Dengan mempergunakan laser infra red untuk menghancurkan sel-sel tumor

terutama untuk tumor-tumor ukuran kecil.

4. Radioterapi

Dapat digunakan pada tumor-tumor yang timbul ke arah korpus vitreus dan

tumor-tumor yang sudah berinervasi ke arah nervus optikus yang terlihat setelah

dilakukan enukleasi bulbi. Dosis yang dianjurkan adalah dosis fraksi perhari

190-200 cGy dengan total dosis 4000-5000 cGy yang diberikan selama 4 sampai

6 minggu.18

5. Kemoterapi

Indikasinya adalah pada tumor yang sudah dilakukan enukleasi bulbi yang pada

pemeriksaan patologi anatomi terdapat tumor pada koroid dan atau mengenai

nervus optikus. Kemoterapi juga diberikan pada pasien yang sudah dilakukan

eksentrasi dan dengan metastase regional atau metastase jauh. Kemoterapi juga

18 | R e t i n o b l a s t o m a

diberikan pada tumor ukuran kecil dan sedang untuk menganjurkan penggunaan

Carboplastin, Vincristine sulfat, dan Etopozide phosphate. Beberapa peneliti

juga menambahkan Cyclosporine atau dikombinasi dengan regimen kemoterapi

carboplastin, vincristine, etopozide phosphate. Tehnik lain yang dapat

digabungkan dengan metode kemoterapi ini adalah :

Kemoterapi, dimana setelah dilakukan kemoreduksi dilanjutkan dengan

termoterapi. Cara ini paling baik untuk tumor-tumor yang berada pada

fovea dan nervus optikus dimana jika dilakukan radiasi atau

fotokoagulasi laser dapat berakibat terjadinya penurunan visus. 20

Kemoradioterapi, adalah kombinasi antara kemoterapi dan radioterapi

yang dapat dipergunakan untuk tumor-tumor lokal dan sistemik.

6. Enukleasi bulbi

Dilakukan apabila tumor sudah memenuhi segmen posterior bola mata. Apabila

tumor telah berinervasi ke jaringan sekitar bola mata maka dilakukan

eksenterasi.

Berdasarkan ukuran tumor, penatalaksanaan dapat dibagi :

1. Tumor kecil

Ukuran tumor kecil dari 2 diameter papil nervus optikus tanpa infiltrasi ke

korpus vitreous atau sub retinal. Dapat dilakukan fotokoagulasi laser,

termoterapi, krioterapi, dan kemoterapi.

2. Tumor medium

a. Brakiterapi untuk tumor ukuran kecil dari 8 diameter papil nervus

optikus, terutama yang tidak ada infiltrasi ke korpus vitreous, juga

dipergunakan untuk tumor-tumor yang sudah mengalami regresi.

b. Kemoterapi

c. Radioterapi, sebaiknya hal ini dihindarkan, karena kompikasinya dapat

menyebabkan katarak, radiasi retinopati.

3. Tumor besar

a. Kemoterapi : untuk mengecilkan tumor dan ditambah pengobatan local

seperti krioterapi dan fotokoagulasi laser yang bertujuan untuk

menghindarkan enukleasi atau radioterapi. Tindakan ini juga

memberikan keuntungan apabila terdapat tumor yang kecil pada mata

sebelahnya.

19 | R e t i n o b l a s t o m a

b. Enukleasi bulbi dilakukan apabila tumor diffuse pada segmen posterior

bola mata dan yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi rekurensi.

4. Tumor yang sudah meluas kejaringan ekstraokuler maka dilakukan eksenterasi

dan diikuti dengan kemoterapi dan radioterapi.

Tumor yang sudah bermetastasis jauh, hanya diberikan kemoterapi saja.21

2.11. Komplikasi

Komplikasi dari penyakit retinoblastoma adalah :

1. Ablasio Retina

Ablasio adalah suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen retina.

Keadaan ini merupakan masalah mata yang serius dan dapat terjadi pada usia

berapapun, walaupun biasanya terjadi pada orang usia setengah baya atau lebih

tua.

2. Glaukoma

Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak

langsung, yang secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan mata

semakin lama akan semakin berkurang sehingga akhirnya mata akan menjadi

buta. Hal ini disebabkan karena saluran cairan yang keluar dari bola mata

terhambat sehingga bola mata akan membesar dan bola mata akan menekan

saraf mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya saraf mata tidak

mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.Kelainan mata yang

mempunyai gejala peningkatan tekanan intra okuler (TIO), dimana dapat

mengakibatkan pencekungan papil syaraf optik sehingga terjadi atropi syaraf

optik, penyempitan lapang pandang dan penurunan tajam pengelihatan. 22

3. Kebutaan

4. Kematian

2.12. Prognosis

Angka kesembuhan keseluruhan lebih dari 90%, meskipun ketahanan hidup sampai

dekade ketiga dan keempat yang mungkin dapat menurun akibat insidensi keganasan

sekunder yang tinggi. Kesembuhan yang terjadi pada penderita dengan orbita yang

masif atau keterlibatan saraf mata yang luas pada waktu diagnosis, yang mungkin

20 | R e t i n o b l a s t o m a

mempunyai perluasan intrakranial dan metastasis jauh, jika pemeriksaan mikroskopik

menunjukkan tumor di jaringan saraf mata periglobal, ada kemungkinan kecil

ketahanan hidup jangka panjang dengan iradiasi dan kemoterapi. Prognosis bagi

penderita dengan retinoblastoma langsung terkait dengan ukuran dan perluasan tumor.

Kebanyakan tumor yang terbatas pada mata dapat disembuhkan. Prognosis baik bila

ditemukan dini dan intraokuler. Prognosis sangat buruk bila sudah tersebar

ekstraokular danterjadi perluasan ke orbita atau saraf mata pada saat pemeriksaan

pertama.23

21 | R e t i n o b l a s t o m a

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Retinoblastoma adalah suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel kerucut sel

batang) atau sel glia yang bersifat ganas. Merupakan tumor ganas intraokuler yang

ditemukan pada anak-anak, terutama pada usia dibawah lima tahun. Tumor berasal dari

jaringan retina embrional. Dapat terjadi unilateral (70%) dan bilateral (30%). Sebagian

besar kasus bilateral bersifat herediter yang diwariskan melalui kromosom.

Pasien dengan retinoblastoma harus diberikan perawatan secara intensif dan perlunya

pengetahuan dari pihak keluarga agar penyakit tersebut tidak mengalami komplikasi.

3.2. Saran

Berdasarkan hasil pembuatan makalah ini tim penulis mengharapkan terutama kepada

pembaca agar lebih peka terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak-anak di sekitar baik

di lingkungan rumah, rumah sakit, dan dimana saja.

22 | R e t i n o b l a s t o m a

DAFTAR PUSTAKA

1. Kanski, Jack J. Clinical Ophtalmology, A Systemic Approach, second edition.

Oxford: Butterworth- Heinemann, 1993, 542- 552.

2. Kanski, J.J., Bowling, B., editors. Clinical Ophthalmology: a systemic approach. 7th

ed. Elsevier, 2011.

3. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s general ophthalmology. 17th ed.

McGraw-Hill, 2007.

4. M. Nenadov Beck et al. First Line Chemotherapy With Local Treatment Can Prevent

External-Beam Irradiation and Enucliation In Low Stage Intraocular Retinoblastoma

In : Journal of Clinical Oncology Vol.18 No. 15 August 2000 : 2881-2887.12. Curtis

E. Margo et all. Retinoblastoma. http://www.SpEdEx. com 20031-4.

5. Sense organs. Arthur’s medical clipart.

http://www.arthursclipart.org/medical/senseorgans/page_02.htm. Diunduh: 29 Januari

2012

6. Jon Langmans & Langmans. Medical embryology. EGC, 2006.

7. Age-adjusted and age-specific SEER cancer incidence rates, 2004-

2008.http://seer.cancer.gov/csr/1975_2008/results_merged/sect_29_childhood_cancer

_iccc.pdf.

8. Incidence of retinoblastoma in the USA : 1975-2004. Broaddus E, Topham A, Singh

AD. Br J Ophthalmol. 2009 Jan;93(1):21-3. Epub 2008 Jul 11.

9. https://www.clinicalkey.com/topics/ophthalmology/retinoblastoma.html

10. Daniel G. Vaughan et all. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta. 2000: 217-219

11. Arno Nover Fundus Okuli (gambaran Khas dan Metode-metode Pemeriksaan) edisi

IV. Penerbit Buku Kedokteran Hipokrates. Jakarta, 1995 : 134.

12. Sidarta Ilyas. Retinoblastoma dalam Kegawatdaruratan Dalam Ilmu Penyakit

Mata.FKUI. Jakarta, 2000 : 159-161.

13. Elli Kusmayati et all. Relationship Between Cat’s eye Reflex and Bonemarrow

Metastasis Patient with Retinoblastoma In : Pediatrical Indonesiana (The Indonesian

Journal of Pediatrics and Perinatal Medicine) Volume 42. No : 1-2, January-February

2002. The Indonesian Society of Pediatricans : 39-41.

14. Galindo CR, Wilson MW, Haik BG. Treatment of metastatic retinoblastoma,

Ophthalmology 2003; 110: 1237-1240.

23 | R e t i n o b l a s t o m a

15. Coats G(1908) Forms of retinal disease with massive exudation. Roy Lond Opthalmol

Hosp Rep 17:440–525

16. Bodaghi B, LeHoang P(2000) Ocular tuberculosis. Curr Opin Ophthalmol11:443–

448.

17. National Cancer Institute. Retinoblastoma.http://www.medNews.com 2004 : 1-8.

18. Abramson DH, Schelfer AC, Transpupillary Thermotherapi as initial treatment for

Small Intra Oculer Retinoblastoma. Opthalmology 2004; 3:984-991.

19. Galindo CR, Wilson MW, Haik BG. Treatment of metastatic retinoblastoma,

Ophthalmology 2003; 110: 1237-1240.

20. Arief Mansjoer dkk. Retinoblastoma dalam Kapita Selekta Kedotekteran Jilid I Edisi

ketiga. Media Aesculapius. Jakarta, 2001 : 75-76.

21. Ardizal R. Deteksi Dini Dan Penatalaksanaan Retinoblastoma dalam Majalah

Kedokteran Andalas. Edisi Oktober. FK Universitas Andalas. Padang, 2008 : 57-62

22. Ilyas Sidarta, Prof. dr. H. SpM, Ilmu Penyakit Mata , edisi ke-3, FKUI, Jakarta, 2009.

23. Nelson Waldo E, Nelson textbook of pediatrics vol. 3 edisi 15, Jakarta : EGC,

2000.1793-1794.