24
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi DM Diabetes melitus merupakan kelainan metabolik yang memiliki karakter hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein akibat terjadinya defek pada sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya (Keban et al, 2013; Ozougwo et al, 2013; Kaku, 2010). Hiperglikemia kronis pada DM akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2011). 2.1.2 Etiologi dan Klasifikasi DM Berdasarkan etiologinya DM dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Diabetes melitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) atau childhood onset diabetes merupakan jenis diabetes yang disebabkan oleh defisiensi insulin yang ditimbulkan oleh destruksi autoimun

4. BAB II

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi DM

Diabetes melitus merupakan kelainan metabolik yang memiliki karakter hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein akibat terjadinya defek pada sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya (Keban et al, 2013; Ozougwo et al, 2013; Kaku, 2010). Hiperglikemia kronis pada DM akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2011).

2.1.2 Etiologi dan Klasifikasi DM

Berdasarkan etiologinya DM dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Diabetes melitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) atau childhood onset diabetes merupakan jenis diabetes yang disebabkan oleh defisiensi insulin yang ditimbulkan oleh destruksi autoimun sel-sel pulau-pulau langerhans pankreas (Kidambi et al, 2014; Wicaksono, 2011; ADA; 2010), sehingga pasien DM memproduksi insulin dalam jumlah yang sedikit atau tidak ada, dan memerlukan terapi insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah. DM tipe 1 dicirikan dengan onset yang akut dan biasanya terjadi pada usia < 30 tahun (Ariani, 2011) dan DM tipe 1 ini terjadi pada 5-10% dari keseluruhan penderita DM (Ariani, 2011; Yusra, 2011).

2. Diabetes melitus tipe 2, yang dikenal dengan Non Insulin Dependent Diabetes Melltus (NIDDM) atau adult-onset diabetes merupakan jenis penyakit DM dimana individu mengalami penurunan sensitivitas terhadap insulin dan kegagalan fungsi sel yang mengakibatkan penurunan produksi insulin. Jenis DM yang paling banyak diderita adalah DM tipe 2. Kira-kira 90-95% pasien DM menderita DM tipe 2 (ADA, 2011; Yusra, 2011; National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease [NIDDK], 2008 ). DM tipe 2 biasanya terjadi pada usia lanjut > 40 tahun, obesitas, riwayat keluarga yang menderita DM, riwayat sebelumnya menderita DM gestasional, aktivitas fisik dan etnis tertentu (NIDDK, 2008; Ariani, 2011).

3. Diabetes melitus tipe lain, karena defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologik yang jarang, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM (Yusra, 2011). Beberapa hormon seperti hormon pertumbuhan, kortisol, glukagon dan epinefrin bersifat antagonis atau melawan kerja insulin. Kelebihan jumlah hormon-hormon tersebut dapat mengakibatkan DM tipe ini. Terjadi sebanyak 1-2% dari semua DM (Ariani, 2011; Yusra, 2011). Diabetes jenis ini di masa datang masih akan banyak, mengingat jumlah penduduk yang masih berada di bawah kemiskinan yang tinggi (Sudoyo et al, 2009).

4. Diabetes gestasional merupakan gangguan intoleransi glukosa yang terjadi selama masa kehamilan. Penetapan diagnosis DM gestasional berdasarkan

hasil pemberian glukosa secara oral selama kehamilan. Diabetes gestasional terjadi pada 14% dari semua wanita hamil dan meningkat risikonya pada mereka yang memiliki masalah hipertensi dalam kehamilan (Yusra, 2011). Setelah melahirkan sekitar 5-10% wanita dengan DM gestasional ditemukan mengalami DM tipe 2. Wanita dengan DM gestasional 40-60% dapat berubah mengalami DM tipe 2 setelah 5-10 tahun menderita DM (Arifin, 2011).

Tabel 2 Klasifikasi DM menurut PERKENI (2011)

Tipe 1

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut

a. Autoimun

b. Idiopatik

Tipe 2

Bervariasi mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin

Tipe lain

a. Defek genetik fungsi sel beta

b. Defek genetik kerja insulin

c. Penyakit eksokrin pankreas

d. Endokrinopati

e. Karena obat atau zat kimia

f. Infeksi

g. Sebab imunolgi yang jarang

h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes melitus gestasional

2.1.3 Patogenesis DM tipe 2

Dua defek metabolic yang menandai diabetes melitus tipe 2 adalah:

a. Berkurangnya kemampuan jaringan perifer berespon terhadap insulin (resistensi insulin)

b. Disfungsi sel yang bermanifestasi sebagai kurang adekuatnya sekresi insulin dalam menghadapi resistensi insulin dan hiperglikemia. Sekresi insulin yang tidak adekuat.

Resistensi insulin

Resistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek insulin pada penyerapan, metabolism, atau penyimpanan glukosa. Resistensi insulin merupakan gambaran khas pada kebanyakan pasien DM tipe 2 dan hampir selalu ditemukan pada pengidap diabetes yang kegemukan. Peran resistensi insulin dalam pathogenesis DM tipe 2 dapat diperkirakan dari temuan bahwa: Resistensi insulin sering terdeteksi 10 sampai 20 tahun sebelum awitan diabetes pada orang dengan predisposisi (misalnya anak dari pengidap DM tipe 2) dan dalam penelitian prospektif, resistensi insulin adalah prediktor terbaik untuk timbulnya diabetes dimasa mendatang. Resistensi insulin menyebabkan berkurangnya penyerapan glukosa diotot dan jaringan lemak dan ketidakmampuan hormone menekan glukoneogenesis dihati.

Disfungsi sel

Disfungsi sel pada DM tipe 2 menyebabkan ketidakmampuan sel-sel ini beradaptasi terhadap kebutuhan jangka panjang resistensi insulin perifer dan peningkatan sekresi insulin. Pada keadaan resistensi insulin sekresi insulin mula-mula meningkat untuk setiap kadar glukosa dibandingkan keadaan normal. Keadaan hiperinsulinemia ini adalah suatu kompensasi untuk resistensi perifer dan sering dapat mempertahankan glukosa plasma normal selama bertahun-tahun. Namun akhirnya kompensasi sel menjadi tidak adekuat, dan terjadi perkembangan hingga pasien mengalami diabetes yang nyata (Robbins, 2002).

2.1.4 Gejala klinis DM

Keluhan khas/klasik pada DM yaitu:

a. Poliuria (Peningkatan pengeluaran urin).

b. Polidipsia (Peningkatan rasa haus).

c. Polifagia (Peningkatan rasa lapar).

d. Penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya.

Keluhan lain yang mungkin adalah badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur/gangguan penglihatan, disfungsi ereksi pria, dan pruritus vulvae pada wanita (Khardori, 2014; PERKENI, 2011).

2.2 Stres

2.2.1 Definisi Stres

Stres didefinisikan sebagai reaksi fisiologis dan psikologis untuk peristiwa-peristiwa tertentu dalam lingkungan, beberapa orang mendefinisikan stres sebagai peristiwa atau situasi yang menyebabkan mereka merasakan ketegangan, tekanan atau emosi negatif, seperti kecemasan dan kemarahan (Joseph, 2013; Sarafino dan Smith, 2011).

2.2.2 Bentuk Stres

Bentuk stres ada dua yaitu:

1. Distres (stres negatif) yaitu stres yang mengganggu. Individu yang tidak mampu mengatasi keadaan emosinya akan mudah terserang distres. Distres juga memiliki pengertian stres yang merusak dan merugikan. Ciri-ciri individu yang telah mengalami distres yaitu mudah marah, cepat tersinggung, sulit berkonsentrasi, sukar mengambil keputusan, pelupa, pemurung, tidak energik dan cepat bingung.

2. Eustres (stres positif) yaitu stres baik atau stres yang tidak mengganggu dan memberikan perasaan bersemangat. Stres yang bermanfaat dan konstruktif (Christyanti et al, 2010).

2.2.3 Gejala-gejala stres

Gejala-gejala stres antara lain:

a. Gejala fisikal, antara lain tidur tidak teratur (insomnia), mudah lelah, diare, urat tegang terutama pada leher dan bahu.

b. Gejala emosional, antara lain gelisah, mudah marah dan merasa harga diri menurun.

c. Gejala intelektual, antara lain susah berkonsentrasi dan sulit atau lamban membuat keputusan.

d. Gejala interpersonal, antara lain kehilangan kepercayaan tehadap orang lain, mudah mempersalahkan orang lain dan tidak peduli dengan orang lain (Christyanti et al, 2010).

2.2.4 Hormon yang berperan saat stres

Dalam keadaan normal, hormon stres dilepaskan dalam jumlah kecil sepanjang hari, tetapi bila menghadapi stres kadar hormon ini meningkat secara dramatis. Setiap jenis respon tubuh yang berupa stres, baik stres fisik maupun stres psikis dapat meningkatkan sekresi ACTH yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar kortisol, awal pelepasan hormon stres dimulai dengan sekresi corticotrophin releasing factor (CRF). Pertama kali CRF dilepaskan dari hipotalamus di otak ke aliran darah, sehingga mencapai kelenjar pituitari yang berlokasi tepat di bawah hipotalamus. Di tempat ini CRF merangsang pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) oleh pituitari, yang pada gilirannya akan merangsang kelenjar adrenalis untuk melepaskan berbagai hormon. Salah satunya adalah kortisol. Kortisol beredar di dalam tubuh dan berperan dalam mekanisme coping (coping mechanism). Bila stresor yang diterima hipotalamus kuat, maka CRF yang disekresi akan meningkat, sehingga rangsang yang diterima oleh pituitari juga meningkat, dan sekresi kortisol oleh kelenjar adrenal juga meningkat. Akibat stres sekresi kortisol dapat meningkat sampai 20 kali, hal ini akan meningkatkan kadar glukosa darah melalui proses glikogenolisis dan glukoneogenesis (Lisdiana, 2012; Lestari, 2013).

2.2.5 Hubungan stres dengan DM

Perubahan besar terjadi dalam hidup seseorang setelah mengidap penyakit DM. Ia tidak dapat mengkonsumsi makanan tanpa aturan dan tidak dapat melakukan aktivitas dengan bebas tanpa khawatir kadar gulanya akan naik pada saat kelelahan. Selain itu, penderita DM juga harus mengikuti treatment dokter, pemeriksaan kadar gula darah secara rutin dan pemakaian obat sesuai aturan. Seseorang yang menderita penyakit DM memerlukan banyak sekali penyesuaian didalam hidupnya, sehingga penyakit DM ini tidak hanya berpengaruh secara fisik, namun juga berpengaruh secara psikologis pada penderita DM (Shoclihah, 2009).

Dampak psikologis dari penyakit diabetes mulai dirasakan oleh penderita sejak ia didiagnosis dokter menderita DM dan penyakit tersebut telah berlangsung selama beberapa bulan atau lebih dari satu tahun. Penderita mulai mengalami gangguan psikis diantaranya adalah stres pada dirinya sendiri yang berkaitan dengan treatment yang harus dijalani (Nasriati, 2011).

Stres dan DM memiliki hubungan yang sangat erat terutama pada penduduk perkotaan. Tekanan kehidupan dan gaya hidup tidak sehat sangat berpengaruh, ditambah dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat dan berbagai penyakit yang sedang diderita menyebabkan penurunan kondisi seseorang sehingga memicu terjadinya stres. Stres pada penderita DM dapat berakibat gangguan pada pengontrolan kadar gula darah. Kadar glukosa darah yang tinggi secara terus menerus dapat menyebabkan komplikasi diabetes (Nugroho dan Purwanti, 2010; Nasriati, 2013).

Stres juga dapat meningkatkan selera makan dan membuat penderita lapar khususnya pada makanan kaya karbohidrat dan lemak, sehingga stres dapat menjadi musuh yang paling berbahaya bagi pelaksanaan diet. Penderita perlu selalu memahami bahwa stres merupakan pemicu kenaikan kadar glukosa darah sehingga penderita harus selalu berupaya untuk meredamnya (Sadikin dan Subekti, 2014; Widodo, 2012).

Pasien DM berharap bisa kembali normal dalam menjalankan aktifitas sehari-harinya. Bisa bekerja dengan baik, bersosialisasi, makan dengan bebas tanpa ada batasan yang harus diperhatikan. Namun kenyataan yang dialami, pasien DM merasa sangat kesulitan dengan penyesuaian terhadap kondisi sakit yang dialami, pasien DM harus rutin memeriksakan kadar gula setiap saat, harus mengontrol dan membatasi asupan nutrisi setiap harinya, harus rutin dalam beraktifitas, mengkondisikan pikiran tetap santai dan tidak stres. Padahal seluruh kejadian dalam kehidupan tidak bisa diprediksikan oleh pasien DM, apakah besok akan dilalui dengan bahagia tanpa masalah ataukah kesulitan dengan masalah yang akan menghampiri. Apalagi bila kenyataannya bahwa pasien DM harus keluar masuk Rumah Sakit untuk opname karena kekurang berhasilan mempertahankan kestabilan kadar gula dalam darah. Semua proses kehidupan akan mengalami hambatan. Kondisi ini semakin dirasakan oleh pasien DM sehingga menambah beban dan stres yang tanpa akan disadari memperberat penyakitnya (Rochmayanti, 2011).

2.3 Kualitas Hidup

2.3.1 Definisi kualitas hidup

Menurut WHO, kualitas hidup merupakan persepsi seseorang tentang posisinya dalam hidup dalam kaitannya dengan budaya dan sistem tata nilai dimana ia tinggal dalam hubungannya dengan tujuan, harapan, standar, dan hal-hal menarik lainnya (Nagpal et al, 2010).

Kualitas hidup seringkali diartikan sebagai komponen kebahagiaan dan kepuasan terhadap kehidupan. Akan tetapi pengertian kualitas hidup tersebut seringkali bermakna berbeda pada setiap orang karena mempunyai banyak sekali faktor yang mempengaruhi seperti keuangan, keamanan, atau kesehatan (Yani, 2010). Faktor-faktor tersebut saling terkait satu sama lain. Walaupun seseorang mempunyai keuangan yang cukup belum tentu mempunyai kualitas hidup yang baik, jika orang tersebut menderita penyakit kronik dan begitu juga sebaliknya. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas hidup sehingga bidang kesehatan yang dibicarakan adalah kualitas hidup yang terkait kesehatan (Rochmayanti, 2011).

Pengertian kualitas hidup terkait kesehatan juga sangat bervariasi antar banyak peneliti. Dalam definisi WHO, sehat bukan hanya terbebas dari penyakit, akan tetapi juga berarti sehat secara fisik, mental, maupun sosial. Seseorang yang sehat akan mempunyai kualitas hidup yang baik, begitu pula kualitas hidup yang baik tentu saja akan menunjang kesehatan (Yani, 2010).

2.3.2 Kualitas hidup pasien DM

Perubahan yang terjadi pada aspek fisik, psikologis, sosial dan lingkungan akan mempengaruhi kualitas hidup pasien DM (Antari et al, 2011). Hal tersebut disebabkan oleh karena akibat penyakitnya secara fisik, proses pengobatan, dan komplikasi yang ditimbulkannya (Rahmat, 2010). Diabetes dapat menurunkan fungsi fisik karena adanya komplikasi akut maupun kronis yang timbul, karena penyakitnya sendiri yang secara langsung ataupun tidak langsung akan membatasi aktifitas fisik pasien. Hal lain disebabkan karena tuntutan terapi yang sering menyebabkan seorang pasien merasa dibatasi dalam kehidupannya (Sari et al, 2011; Rahmat, 2010).

Penurunan fungsi psikis disebabkan karena adanya kebutuhan perawatan penyakit yang terus-menerus akan menyebabkan dampak pada mood seorang pasien dalam jangka panjang atau pendek. Sering terjadi rasa frustasi karena penyakitnya. Juga sering terjadi adanya perasaan bahwa tidak ada harapan pada penyakitnya, dan hal ini menyebabkan gangguan secara psikis yang akhirnya menurunkan kualitas hidup secara psikis. Secara sosial akan terjadi penurunan kualitas hidup karena adanya penurunan kualitas dan kuantitas hubungan sosial pasien termasuk pekerjaan. Dampak ekonomis yang muncul berkaitan dengan biaya perawatan yang tinggi dan dalam jangka panjang yang berkelanjutan dan juga terjadinya penurunan produktifitas kerja (Rahmat, 2010)

Hartati (2003) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa kualitas hidup penderita DM dengan kadar gula darah terkendali lebih tinggi dari pada yang tidak terkendali. Pada penderita DM, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, penderita tanpa komplikasi, penderita yang menggunakan insulin, penderita yang berstatus PNS, penderita dengan tekanan darah yang meningkat dan penderita jenis kelamin lakilaki memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi. Kualitas hidup merupakan indikator kesehatan yang penting bagi penderita penyakit kronis seperti DM. Kualitas hidup yang dimaksud merupakan suatu keadaan sejahtera yang dirasakan oleh penderita DM dan bentuk respon emosional terhadap kepuasan hidup (Antari et al, 2011).

2.3.3 Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien DM

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup penderita DM tipe 2 yaitu sebagai berikut:

1. Usia

Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis DM yang paling banyak jumlahnya yaitu sekitar 90-95% dari seluruh penderita DM dan banyak dialami oleh orang dewasa diatas umur 40 tahun. Hal ini disebabkan resistensi insulin pada DM tipe 2 cenderung meningkat pada lansia yang berumur 40-65 tahun, riwayat obesitas dan adanya faktor keturunan. Mandagi (2010) dalam hasil penelitiannya menunjukkan status kualitas hidup berhubungan dengan umur. Selanjutnya Isa dan Baiyewu (2006), memperlihatkan bahwa sosiodemografi (salah satunya umur) mempengaruhi kualitas hidup pasien (Yusra, 2011). Dalam penelitian Andayani et al (2011) mengatakan bahwa dengan bertambahnya usia akan menurunkan kualitas hidup pasien DM (Andayani et al, 2011).

2. Jenis kelamin

Diabetes melitus memberikan efek yang kurang baik terhadap kualitas hidup. Wanita mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah dari pada penderita laki-laki (Sari et al, 2012; Yusra, 2011).

3. Tingkat pendidikan

Kualitas hidup yang rendah juga signifikan berhubungan dengan tingkat pendidikan yang rendah dan kebiasaan aktifitas fisik yang kurang baik. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi penderita dalam mengatur dirinya sendiri (Yusra, 2011).

4. Status sosial ekonomi

Pendapatan yang rendah, tingkat pendidikan yang kurang berhubungan secara bermakna dengan kualitas hidup penderita DM. Kualitas hidup yang rendah juga signifikan berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah (Yusra, 2011).

5. Lama menderita DM

Pada penelitian Fisher (2005), responden yang baru menderita DM selama 4 bulan sudah menunjukkan efikasi diri yang baik. Adanya efikasi yang baik tentunya perawatan diri pasien juga baik sehingga mampu mempertahankan kualitas hidup yang lebih baik juga. Sedangkan penelitian Wu et al (2006) menemukan bahwa pasien yang telah menderita DM 11 tahun memiliki efikasi diri yang baik dari pada pasien yang menderita DM