Upload
cecilia-icho-oktaviani
View
250
Download
21
Embed Size (px)
Citation preview
1
Laporan Kasus
KOLESISTOLITIASIS
Oleh :
Indari
060111224
Pembimbing
Dr. P. A. V. Wowiling, SpB
BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2011
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Anatomi
Kandung empedu adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada
permukaan viseral hati. Untuk tujuan pendidikan, kandung empedu dibagi menjadi
fundus, korpus, dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol di bawah
pinggir inferior hati; dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen
setinggi ujung rawan kosta IX kanan. Korpus bersentuhan dengan permukaan viseral
hati dan arahnya ke atas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus
sistikus, yang berjalan di dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan
duktus hepatikus komunis, membentuk duktus koledokus (Gambar 1).
Peritoneum membungkus fundus kandung empedu dengan sempurna dan
menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan viseral hati. Batas-batas
kandung empedu yaitu:
Anterior: dinding anterior abdomen dan permukaan viseral hati.
Posterior: colon transversum dan bagian pertama dan kedua duodenum.1
Pembuluh darah arteri kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistikus
yang merupakan cabang dari arteri hepatik dekstra yang berjalan transversal melewati
Triangle Calot, di bagi menjadi dua cabang. Satu cabang berjalan sepanjang
permukaan peritoneal kandung empedu dan cabang lainnya berjalan di antara fossa
vesica fellea dan hati sedangkan vena sistikus berjumlah banyak yang berasal dari
permukaan hati melewati fossa vesika fellea dan masuk ke dalam lobus quadratrus.
Vena yang berada di bawah permukaan peritoneum dapat mencapai kollum kandung
empedu dan masuk ke dalam lobus quadratus secara langsung atau berjalan bersama
pleksus disekeliling duktus biliaris, kemudian vena-vena tersebut bergabung bersama
3
vena hepatik ,tapi bukan ke vena porta. Vena yang berasal dari bagian bawah duktus
biliaris komunis yang mengalir ke dalam vena porta.
Kandung empedu dipersarafi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang
keduanya melalui pleksus seliakus. Saraf simpatis preganglionik berasal darti level
T8 dan T9 sedangkan saraf parasimpatis postganglionik berada pada pleksus seliakus
dan berjalan sepanjang arteri hepatis dan vena porta menuju kandung empedu. Saraf
parasimpatis berasal dari trunkus vagal, tidak seperti cabang posteriornya yang
melewati pleksus seliakus, cabang anteriornya mencapai kandung empedu melewati
ligamentum gastrohepatis.
Limfe dari kandung empedu melewati nodus hepatikus via nodus sistikus
dekat dengan kollum kandung empedu, alirannya menuju limfonodus seliakus.
Gambar 1. Kandung Empedu dan Duktus Ekstrahepatik
Sumber: Hansen, Lambert (2005) 3
4
1.2 Fisiologi
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu.
Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati.
Empedu yang dihasilkan hati setiap hari sekitar 500 – 1000 ml, tidak langsung masuk
ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke
duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu.4 Di dalam kandung empedu, air,
natrium, klorida, dan kebanyakan elektrolit secara terus-menerus diabsorbsi oleh
mukosa kandung empedu. Selain itu juga terjadi pemekatan zat-zat empedu lainnya,
termasuk garam empedu, kolesterol, lesitin dan bilirubin. Kebanyakan absorbsi ini
disebabkan oleh transpor aktif natrium melalui kandung emped, dan keaadaan ini
diikuti oleh absorbsi sekunder ion klorida, air, dan kebanyakan zat-zat terlarut
lainnya. Empedu secara normal dipekatkan sebanyak 5 kali lipat dengan cara ini,
tetapi dapat dipekatkan sampai maksimal 20 kali lipat.5
Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam
duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi
(Gambar 2). Rangsang normal kontraksi dan pengosongan kandung empedu adalah
masuknya kimus asam dalam duodenum. Pengosongan tersebut dipengaruhi oleh
faktor neural, humoral dan rangsang kimiawi. Rangsang vagal meningkatkan sekresi
empadu, sedangkan saraf splennikus menurunkan sekresi empedu. Hormon
kolesistikinin (CCK) juga memperantarai kontraksi, hormon ini disekresi oleh
mukosa usus halus akibat pengaruh makanan berlemak atau produksi lipolitik dapat
merangsang nervus vagus. Asam hidroklorik, sebagai digesti protein dan asam lemak
yang ada di duodenum merangsang peningkatan sekresi empedu.
5
Gambar 2. Sfingter Oddi
Sumber: Anderson, et al (2005)5
Substansi terbanyak yang disekresi pada empedu adalah garam-garam
empedu, yang merupakan setengah dari total solut empedu, juga disekresi dan
diekskresi dalam konsentrasi besar adalah bilirubin, kolesterol, lesitin dan elektrolit
plasma (Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi Empedu di Hepar dan Kandung Empedu
Karakteristik Hepar* Kandung empedu*
Na 160.0 270.0
K 5 10
Cl 90 15
HCO3 45 10
Ca 4 25
Mg 2 —
Bilirubin 1.5 15
Protein 150 —
6
Asam empedu 50 150
Fosfolipid 8 40
Kolesterol 4 18
Total solid — 125
pH 7.8 7.2
* Semua nilai yang tercantum, kecuali pH, satuannya miliequivalen per liter
Sumber: Beauchamp, et al (2004) 9
Fungsi empedu yang lain adalah membuang limbah tubuh tertentu (terutama
pigmen hasil pemecahan sel darah merah dan kelebihan kolesterol) serta membantu
proses pencernaan dan penyerapan lemak. Garam empedu menyebabkan
meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin larut lemak, sehingga
membantu penyerapan dari usus. Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel
darah merah dirubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang
ke dalam empedu. Berbagai protein yang memegang peranan penting dalam fungsi
empedu juga disekresi dalam empedu.4
1.3 Definisi
Kolelitiasis disebut juga Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary
calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung
empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang
membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.10
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung
empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke dalam
saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau
koledokolitiasis sekunder.7
7
1.4 Insidens
Insidens batu empedu di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang
orang dewasa dan lanjut usia. kebanyakan batu empedu tidak bergejala atau bertanda.
Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara
dan sejak tahun 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan
ultrasonografi.
Dikenal 3 jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin, dan batu campuran. Di negara barat, 80% batu empedu adalah batu
kolesterol, tatapi angka kejadian batu pigmen meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya
di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen dibanding dengan batu kolesterol, tetapi
angka kejadian batu kolesterol sejak 1965 makin meningkat.
Sementara ini di dapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia
lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan angka yang
terdapat di negara Barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga seperti
Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa faktor
infeksi empedu oleh kuman gram negatif E. Coli ikut berperan penting dalam
timbulnya batu pigmen. Di wilayah ini insidens batu primer saluran empedu adalah
40-50% dari penyakit batu empedu, sedangkan di dunia Barat sekitar 5%.
Perbedaan lain dengan negara Barat ialah batu empedu banyak ditemukan
mulai pada usia muda di bawah 30 tahun. meskipun usia rata-rata tersering ialah 40-
50 tahun. Pada usia 60 tahun, insidens batu empedu meningkat. Jumlah penderita
perempuan lebih banyak daripada jumlah penderita laki-laki. Meskipun batu empedu
terbanyak ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi sepertiga dari batu saluran
empedu merupakan batu duktus koledukus. Oleh karena itu, kolangitis di negara
Barat ditemukan pada berbagai usia, dan merupakan sepertiga dari jumlah dari
8
kolesistitis. Batu intrahepatik dan batu primer saluran empedu juga cukup sering
ditemukan.7
1.5 Patofisiologi
Komponen-komponen organik penting dalam batu empedu antara lain
bilirubin, garam empedu, fosfolipid, dan kolesterol. Batu empedu dikelompokkan
berdasarkan kandungan kolesterolnya, yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Batu
pigmen dapat dikelompokkan lagi menjadi batu hitam dan coklat. Di negara-negara
Barat, sekitar 80% batu empedu adalah batu kolesterol dan sekitar 15-20%
merupakan batu pigmen hitam. Batu pigmen cokelat sendiri persentasenya hanya
sedikit. kedua tipe batu pimen ini lebih umum dijumpai di Asia.
Batu Kolesterol
Batu kolesterol murni tidak sering dijumpai dan hanya sekitar 10% dari total
jumlah batu empedu yang ada. Biasanya batu ini muncul sebagai batu tunggal yang
besar dengan permukanaan yang halus. Sebagian besar batu kolesterol juga
mengandung sejumlah pigmen empedu dan kalsium, tapi jumlah kolesterol
didalamnya selalu lebih dari 70% berat batu. Batu jenis ini biasanya multipel,
memiliki ukuran yang bervariasi, keras, ireguler, faset, berbentuk seperti mulberry,
atau halus. Warna batu bervariasi dari putih kekuning-kuningan, hijau, hingga hitam.
Kebanyakan batu empedu bersifat radioluscent; kurang dari 10% bersifat
radiopaque.6
Proses pembentukan batu kolesterol melalui empat tahap, yaitu penjenuhan
empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi, dan pertumbuhan batu.
Derajat penjenuhan empedu oleh kolesterol dapat dihitung melaui kapasitas daya
larut. penjenuhan ini dapat disebabkan oleh bertambahnya sekresi kolesterol atau
penurunan relatif asam empedu atau fosfolipid.
9
Penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu, kecuali
bila ada nidus atau ada proses lain yang menimbulkan kristalisasi. Nidus dapat
berasal dari pigmen empedu, mukoprotein, lendir, protein lain, bakteria atau benda
asing lain. Setelah kristalisasi meliputi suatu nidus akan terjadi pembentukan batu.
Pertumbuhan batu terjadi karena pengendapan kristal kolesterol di atas matriks
inorganik.5
Batu empedu baru dapat memberikan gejala jika memiliki ukuran yang cukup
untuk menyebabkan cedera pada kandung empedu atau obstruksi traktus biliaris.
Pertumbuhan batu melewati 2 tahap: 1) pembesaran yg progresif dari satu kristal atau
batu melalui deposisi presipitat insoluble tambahan pada permukaan batu empedu
atau 2) penggabungan beberapa kristal atau batu individual membentuk batu yang
besar. Selain itu, gangguan pada motilitas kandung empedu dapat meningkatkan
lamanya waktu empedu di dalam kandung empedu. Hal ini juga turut berperan dalam
pembentukan batu empedu.8
Batu Pigmen
Batu pigmen mengandung kurang dari 20% kolesterol dan berwarna gelap
oleh karena adanya kalsium bilirubinat. Baik batu berwarna hitam maupun coklat
hanya memiliki sedikit kesamaan.
Batu pigmen hitam biasanya kecil, rapuh, berwarna hitam, dan tidak
beraturan. Batu ini terbentuk dari penjenuhan kalsium bilirubinat, karbonat, dan fosfat
yang biasanya terdapat sekunder pada kelainan hemolitik dan pada sirosis. Seperti
halnya batu kolesterol, batu ini hampir selalu terbentuk di dalam kandung empedu. Di
negera-negara Asia seperti Jepang, batu pigmen hitam memiliki persentase yang lebih
tinggi dibandingkan dunia Barat.
Batu coklat biasanya berdiameter kurang dari 1 cm, berwarna coklat
kekuning-kuningan, lembut, dan sering lunak. Batu jenis ini dapat terbentuk di
10
kandung empedu atau saluran empedu, biasanya sekunder akibat infeksi bakterial
yang menyebabkan stasis empedu. Presipitat kalsium karbonat dan bakteri-bakteri
membentuk bagian utama batu. Bakteri seperti Escherichia coli mensekresikan beta-
glukoronidase, yaitu suatu enzim yang membantu bilirubin glukoronidase
menghasilkan bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut. Presipitat ini bersama
dengan kalsium dan sel-sel bakteri yang telah mati akan membentuk batu coklat
lembut pada traktus biliaris. Batu coklat biasanya ditemukan pada traktus biliaris
orang Asia dan dihubungkan dengan stasis sekunder akibat infeksi parasit. Pada
populasi Barat, batu coklat muncul sebagai batu duktus biliar primer pada pasien
dengan striktura biliar atau batu di duktus yang lebih umum yang dapat menyebabkan
stasis dan kontaminasi bakteri.6
1.6 Faktor Predisposisi
Batu empedu dapat terjadi dengan atau tanpa faktor predisposisi dibawah.
Namun, semakin banyak faktor predisposisi yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya batu empedu.
Batu Kolesterol
1. Faktor demografik/genetik: prevalensi di Eropa Utara dan Amerika Utara lebih
besar dibandingkan dengan di Asia.
2. Obesitas: Sekresi dan simpanan garam empedu normal namun sekresi kolesterol
biliar meningkat.
3. Kehilangan berat badan: perpindahan kolesterol di jaringan yang diikuti
peningkatan sekresi kolesterol biliar sementara sirkulasi enterohepatik asam
empedu menurun.
4. Hormon sex perempuan
a. Estrogen menstimulasi reseptor lipoprotein hepatik, meningkatkan ambilan
kolesterol makanan, dan meningkatkan sekresi kolesterol biliar.
11
b. Estrogen alami, estrogen lainnya, kontrasepsi oral menyebabkan penurunan
sekresi garam empedu dan menurunkan konversi kolesterol menjadi ester
kolesterol.
5. Peningkatan usia: meningkatkan sekresi kolesterol biliar, menurunkan ukuran
simpanan asam empedu, penurunan sekresi garam empedu.
6. Hipomotilitas kandung empedu yang menyebabkan stasis dan pembentukan.......
a. nutrisi parenteral dalam waktu yang lama
b. Kelaparan/puasa
c. Kehamilan
d. Obat-obat seperti octreotide
7. Terapi clofibrate: meningkatkan sekresi kolesterol biliar.
8. Penurunan sekresi asam empedu
a. Sirosis biliar primer
b. Defek genetik pada gen CYP7A1
9. Penurunan sekresi fosfolipid: defek genetik gen MDR3
10. Lain-Lain
a. Diet tinggi kalori, tinggi lemak
b. Cedera tulang belakang
Batu Pigmen
1. Faktor demografik/genetik: Asia, keadaan rural
2. Hemolisis kronik
3. Anemia pernisiosa
4. Cystic fibrosis
5. Infeksi traktus biliaris kronik, infeksi parasit
6. Peningkatan usia
7. Penyakit usus halus, reseksi usus halus, atau bypass9
12
1.7 Gejala Klinis
Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu adalah
asimtomatik. Keluhan yang mungkin timbul berupa dispepsia yang kadang disertai
intolerans terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatik, keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran atas kanan atau prekordium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus
timbul tiba-tiba. Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah skapula, atau ke
puncak bahu, disertai mual dan muntah.
Kalau terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu
menarik napas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh jari tangan sehingga
pasien berhenti menarik napas, yang merupakan tanda rangsangan peritoneum
setempat (tanda Murphy).7
1.8 Pemeriksaan Fisik
Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung empedu,
empiema kandung empedu, atau pankreatiits.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di
daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas.7
1.9 Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan laboratorik. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
13
Apabila ada sindrom Mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledokus oleh batu, dinding yang udem di daerah kantong
Hartman, dan penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. Kadar bilirubin
serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledokus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat
sedang setiap kali ada serangan akut.
1.10 Pemeriksaaan Pencitraan
Radiografi Abdomen
Foto polos abdomen nilainya terbatas dalam menilai pasien dengan batu empedu atau
ikterus. Hanya 15-20% pasien akan mempunyai batu opak yang terletak dalam
kuadran kanan atas pada foto polos. Adanya udara di dalam cabang-cabang biliaris
dapat mengindikasikan adanya fistula kolesistoenterik.
Kolesistografi Oral
Kolesistografi oral dikenalkan oleh Graham dan Cole pada tahun 1924. Fungsi yang
dinilai adalah kemampuan absorpsi dari kandung empedu. Pewarna yodium
radioopak dimakan secara oral, diabsorpsi oleh traktus gastrointestinalis, diekstraksi
dalam hati, diekskresikan ke dalam sistem duktus biliaris, dan dipekatkan dalam
kandung empedu. Adanya batu (terlihat sebagai cacat pengisian dalam kandung
empedu yang terlihat opak) atau tidak terlihatnya kandung empedu, memberikan hasil
pemeriksaan yang “positif”. Tak terlihatnya kandung empedu secara positif palsu
dapat terjadi jika pasien tidak dapat menelan tablet atau nonkomplians, tablet tidak
diabsorpsi melalui traktus gastrointestinalisatau zat warna tidak diekskresikan ke
dalam traktus biliaris karena disfungsi hati.
14
Ultrasonografi abdomen
Tes ini telah menggantikan kolesistogram oral sebagai prosedur terpilih saat
mengevaluasi pasien untuk batu empedu. kemampuan dari ultrasonografi abdomen
dalam mendiagnosa kolesistitis akuttidak sebesar dalam mendiagnosa batu.
Ultrasonografi bermanfaat dalam mengidentifikasi dilatasi biliaris intrahepatik dan
ekstrahepatik.
Tomografi Computer (CT)
Tes ini tidak terlalu sensitif untuk mengidentifikasi kandung empedum tetapi
menyediakan informasi tentang sifat, luas, dan lokasi dilatasi biliaris dan adanya
massa di dalam dan di sekitar traktus biliaris dan pankreas.
Skintigrafi Biliaris
Pemberian intravena salah satu kelompok teknetium-99m yang dilabel dengan
radioisotop asam iminodiasetat, memberikan informasi yang spesifik tentang patensi
dari diktus sistikus dan sensitif dalam mendiagnosa pasien dengan kolesistitis akut.
Tidak seperti ultrasonograf, yang merupakan tes anatomi, skintigrafi biliaris
merupakan tes fungsional.
Kolangiografi Transhepatik Perkutaneus (PTC)
Di bawah kontrol fluoroskopik dan anastesia lokal, dimasukkan jarum kecil melalui
dinding abdomen ke dalam duktus biliaris. Ini menyediakan suatu kolangiogam dan
memungkinkan intervensi terapeutik bila perlu, didasarkan pada situasi klinis.
Bermanfaat bagi pasien dengan masalah biliaris kompleks, mencakup striktura dan
tumor.
Kolangiopankreatografi Retrograd Endoskopik (ERCP)
Menggunakan endoskop pandangan samping, traktus biliaris dan duktus pankreatikus
dapat diintubasi dan dilihat. Keuntungannya adalah visualisasi langsung dari daereh
15
ampula dan jalur langsung ke duktus biliaris distal. Ini sangat bermanfaat untuk
pasien dengan penyakit duktus koledokus (jinak dan ganas).
Koledoskopi
Bila teknik pencitraan tak langsung merupakan jalur utama bagi evaluasi pasien
dengan penyakit traktus biliaris ekstrahepatik, maka inspeksi langsung dan visualisasi
sistem biliaris merupakan tujuan utama yang hendak dicapai. Koledoskopi intra
operatif agak bermanfaat dalam mengevaluasi pasien dengan striktur duktus biliaris
atau tumor.11
1.11 Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri
yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak.
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun
telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani
pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu
tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu
dilakukan pembatasan makanan.
Pilihan penatalaksanaan antara lain :
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah
cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang
dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
16
2. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu
empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian
dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi
komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan
batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan
prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya
yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin
dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.
3. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah
angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif
acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya
batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu
tejadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu empedu dilakukan cara ini adalah
sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi criteria terapi non operatif
diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi
kandung empedu baik dan duktus sistik paten.
17
4. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten
(Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang
diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-
pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka
kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun belakang ini, analisis biaya-manfaat
pad saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang
telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
6. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping
tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk
pasien yang sakitnya kritis.
7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan,
lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran
empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot
sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan
berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90%
kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7%
mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan
perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu
yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat.4
18
1.12 Komplikasi
1. Obstruksi duktus sistikus
2. Kolik bilier
3. Kolesistitis akut
4. Perikolesistitis
5. Peradangan pankreas (pankreatitis)
6. Perforasi
7. Kolesistitis kronis
8. Hidrop kandung empedu
9. Empiema kandung empedu
10. Fistel kolesistoenterik
11. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu
empedu muncul lagi)
12. Ileus batu empedu (gallstone ileus) 4
1.13 Prognosis
Komplikasi yang serius dan kematian terkait tindakan operasi sendiri sangat
jarang. Tingkat mortalitas operasi sekitar 0,1% pada penderita dibawah usia 50 tahun
dan sekitar 0,5% pada penderita diatas usia 50 tahun. Kebanyakan kematian terjadi
pada penderita dengan risiko tinggi yang telah diketahui sebelum operasi. Tindakan
operasi dapat meringankan gejala pada 95% kasus batu empedu.12
19
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. LK
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Wawalintoan jaga III, Tondano Barat, Minahasa
Agama : Protestan
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Petani
Suku/Bangsa : Minahasa/Indonesia
Tanggal MRS : 7 Maret 2011, pukul 09:17 wita
Keluhan utama: Nyeri perut kanan atas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Nyeri perut kanan atas dirasakan penderita sejak + 2 tahun sebelum masuk
Rumah Sakit. Nyeri kemudian dirasakan menghebat sejak + 3 minggu sebelum
masuk Rumah Sakit. Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke punggung
kanan. Nyeri dirasakan bertambah bila penderita makan makanan berlemak. Demam -
, mual dan muntah -. Buang air besar dan kecil biasa.
Riwayat Penyakit Dahulu: tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga: Cuma penderita yang sakit seperti ini.
Riwayat sosial: penderita telah menikah.
20
Pemeriksaan Fisik
Keadaaan umum : cukup Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg Nadi : 76 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit Suhu : 36,8oC
Kepala
conjunctiva anemis (−), sclera icterus (−), pupil bulat isokor 3mm kiri =
kanan, RC +/+.
Leher
Inspeksi : trakea letak di tengah
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thoraks
Inspeksi : simetris kiri = kanan, retraksi (−)
Auskultasi : SP vesikuler kiri = kanan
Palpasi : SF kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : lemas, nyeri tekan kuadran kanan atas (+), murphy sign (+)
Perkusi : pekak hepar (+)
Tulang belakang : tidak ada kelainan
Ekstremitas : tidak ada kelainan
Neurologis : tidak ada kelainan
Rektum/anal : tidak ada kelainan
Genitalia : laki-laki normal
21
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium waktu masuk :
Hemoglobin : 16,7 g/dl Ureum : 47 mg/dl
Leukosit : 8.500 /mm3 Creatinine : 1,19 mg/dl
Trombosit : 267.000 /mm3 Uric acid : 7,77 mg/dl
Bilirubin total : 0,75 mg/dl SGOT : 20 U/L
direk : 0,22 mg/dl SGPT : 27 U/L
indirek : 0,53 mg/dl γ GT : 14 U/L
Alkalin fosfatase : 75 U/L
X – Thorax : tidak tampak kelainan
USG abdomen
Hepar : tidak ada kelainan
Ascites (−)
Kantung empedu : - besar dan bentuk normal
22
- dinding rata dan tidak menebal
- tampak gambaran batu ukuran 3,5x3,5 cm didalam
lumen KE
- CBD tidak melebar
Lien : tidak ada kelainan
Pankreas : tidak ada kelainan
Ginjal kanan dan kiri : - besar dan bentuk normal.
- corticomedullary sonnografi normal.
- central sinus tidak melebar.
- tampak massa kistik anechoic, dinding tipis
ukuran 7,0x6,2 cm pada pole bawah ginjal
kanan.
Buli-buli : tidak ada kelainan
Tidak tampak massa padat maupun kistik didalam cavum intraperitoneal
dan pelvic
23
Diagnosa : Kolesistolitiasis
Sikap : Pro kolesistektomi
Follow Up :
8 Agustus 2011
Laporan Operasi
Operator : dr. Jimmy Panelewen, SpB-KBD
Ass OP : dr. Sumanti, SpB-KBD
dr. Djonny
Ahli anestesi : dr. Diana Lalenoh, SpAn
Jenis anestesi : General anestesi
Diagnosis pra bedah : Kolesistolitiasis
Diagnosis pasca bedah : Kolesistolitiasis
Jenis operasi : Kolesistektomi laparoskopik
Jam mulai : 09.30 wita
Jam selesai : 11.30 wita
24
Laporan operasi :
Penderita telentang dengan GA.
A dan antisepsis lapangan operasi.
Insisi infra umbilikal, pasang trocher 10 mm.
Insisi subxyphoid, pasang troce 10 mm.
Insisi subcostal dekstra, pasang trocher 5 mm.
Identifikasi gall blader kemudian traksi pada Hartman pouch.
Identifikasi duktus sistikus dipasang ulir kemudian digunting.
Idntifikasi a. sistikus kemudian dipasang ulir lalu digunting.
Gall blader dibebaskan dari hepatic bed
Kontrol perdarahan.
Ekstraksi gall blader dari rongga abdomen, kemudian dari insisi gall blader
keluar batu 3,5 cm warna kehitaman.
Luka opersi dijahit.
Operasi selesai.
Instruksi post operasi :
Pelastin 2x1 gr IV
Panzo 2x1 vial IV
Chrome 3x1 amp IV
Dolac 3x1 amp IV
Puasa sampai instruksi selanjutnya
Laboratorium post operasi :
Hb : 15,2 g/dl
Leukosit : 12.500 /mm3
Trombosit : 286.000 /mm3
Eritrosit : 5,11x106 /mm
3
Hematokrit : 43,1 %
25
9 Maret 2011
S : (−)
O : TD: 160/100 N: 70 kali/menit R: 20 kali/ ment S: 36,5oC
Abdomen: luka operasi terawat
A : Post laparoskopik kolesistektomi
P : IVFD RL: 20 gtt/menit
Pelastin 2x1
Panzo 1x1
Dolac 3x1
Diet lunak
10 Maret 2011
S : (−)
O : TD: 160/100 N: 108 kali/menit R: 20 kali/ ment S: 36,5oC
Abdomen: luka operasi terawat
A : Post laparoskopik kolesistektomi + hipertensi
P : Aff infus
Fixacef 2x200 mg
Farpain
Noporton 5 mg 1x1 tab
Rawat luka
26
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pada penderita batu kandung empedu yang simtomatik, keluhan utamanya
berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau prekordium. Pada
anamnesis penderita ini didapatkan penderita mengalami nyeri perut kanan atas
selama kurang lebih 2 tahun terakhir yang hilang timbul, namun baru dirasakan
menghebat dalam 3 minggu sebelum penderita masuk rumah sakit. Nyeri bersifat
tajam yang dirasakan menjalar hingga ke punggung kanan. Intensitas nyeri bertambah
saat penderita mengkonsumsi makanan yang berlemak. Penderita mengaku tidak
pernah mengalami demam atau mual dan muntah.
Berdasarkan kepustakaan, sebagian penderita dengan batu yang asimtomatik
baru merasakan gejalanya membutuhkan intervensi setelah beberapa tahun. Pada
penderita ini, gejala telah dirasakan kurang lebih 2 tahun sebelum akhirnya gejala
bertambah berat dan penderita memutuskan untuk dilakukan intervensi. Nyeri yang
hilang timbul menandakan suatu nyeri kolik bilier yang biasanya timbul jika batu
menyumbat aliran empedu (obstruksi) atau karena batu yang bergerak ke hilir dan
tersangkut di saluran empedu. Nyeri ini terutama timbul setelah konsumsi makanan
berlemak. Nyeri yang bersifat tajam pada kuadran kanan atas dan menjalar hingga ke
punggung kanan menandakan adanya rangsangan peritoneum lokal yang berasal dari
organ yang berada di kuadran tersebut.
Pemeriksaan fisik penderita batu kandung empedu terutama ditemukan nyeri
tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda
Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas
27
panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas. Pada pemeriksaan palpasi daerah
abdomen pasien ini ditemukan adanya nyeri tekan pada daerah kuadran kanan atas
dan Murphy sign positif.
Ultrasonografi pada penderita batu kandung empedu mempunyai derajat
spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan
pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Pada pemeriksaan
USG abdomen pasien ini ditemukan adanya gambaran batu ukuran 3x3,5 cm di dalam
lumen kandung empedu.
Penatalaksanaan batu kandung empedu yang menyebabkan serangan nyeri
berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan yaitu menjalani
pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Kolesistektomi dapat dilakukan
baik dengan kolesistektomi terbuka maupun kolesistektomi laparoskopik. Sekitar
90% dari operasi kolesistektomi saat ini dilakukan secara laparoskopik. Keuntungan
prosedur tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali
bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan
adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti
cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laparaskopi.
Prognosis pada pasien ini baik karena belum terdapat tanda-tanda perforasi
kandung empedu. Sekitar 95% kasus batu empedu gejalanya berkurang setelah
menjalani operasi, sehingga quality of life pasien juga meningkat.
28
Daftar Pustaka
1. Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa kedokteran. Jakarta: EGC 1992.
2. ArtikelBedah. Batu Empedu, Cholelithiasis, Patofisiologi.URL:
http://ilmubedah.info/batu-empedu-cholelithiasis-patofisiologi-
20110207.html. Accessed 25th March 2011
3. Hansen JT, Lambert DR. Netter’s Clinical Anatomy. USA: MediMedia 2005.
4. ArtikelBedah. Batu Empedu, Patofisiologi, Anatomi. URL:
http://ilmubedah.info/batu-empedu-patofisiologi-anatomi-20110207.html.
Accessed 21th March 2011.
5. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC 1997; 1029.
6. Andersen DK, Billiar TR, Brunicardi FC, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
Schwartz’s Principles of Surgery. New York: McGraw-Hill 2007.
7. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC 2004.
8. Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, Townsend CM. Sabiston Textbook of
Surgery. 17th ed. Pennsylvania: Elsevier 2004.
9. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Looscalzo J,
editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw-
Hill 2008.
10. ArtikelBedah. Kolelithiasis, Batu Empedu, Makalah. URL:
http://ilmubedah.info/kolelithiasis-batu-empedu-makalah-20110207.html.
Accessed 25th March 2011.
11. Schwartz SI. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. 6th ed. Jakarta: EGC 2000.
12. Doherty GM, Way LW. Current Surgical Diagnosis & Treatment. 12th ed. New
York: McGraw-Hill 2006.