69
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Liberalisme bukanlah pembahasan yang sama sekali baru dalam konteks Keindonesiaan. Fenomena liberalisme ini adalah salah satu dari gerakan-gerakan pembaharuan. Kelompok liberalis menginginkan kebebasan sepenuhnya dan menuntut hak-hak inidividu sebebas- bebasnya untuk mengekspresikan dirinya sesuai dengan perkembangan zaman. Termasuk di dalamnya kebebasan dalam ritual dan konteks keagamaan, begitu pula dengan ajaran islam. Manusia tidak harus selalu bergantung pada Al Qur’an dan hadits, kaum liberal ini mengutamakan rasional mereka dalam pengambilan hukum syari’ah. Sehingga muncullah gerakan pembaharuan Islam agar dapat disesuaikan dengan keadaan zaman yang rasional dan sesuai dengan isu modernitas. Liberalisme dalam Islam, menurut kelompok Islam Progresif adalah keinginan menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang. Jembatannya adalah melakukan penafsiran-penafsiran ulang sehingga Islam menjadi agama yang hidup. Karena kita hidup dalam situasi yang dinamis dan selalu berubah, sehingga agar agama tetap relevan, menurut mereka, diperlukan sebuah cara pandang baru atau tafsir baru dalam melihat dan memahami agama. 1

56191128 Makalah Filsafat Islam

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Liberalisme bukanlah pembahasan yang sama sekali baru dalam konteks Keindonesiaan. Fenomena liberalisme ini adalah salah satu dari gerakangerakan pembaharuan. Kelompok liberalis menginginkan kebebasan sepenuhnya dan menuntut hak-hak inidividu sebebas-bebasnya untuk mengekspresikan dirinya sesuai dengan perkembangan zaman. Termasuk di dalamnya kebebasan dalam ritual dan konteks keagamaan, begitu pula dengan ajaran islam. Manusia tidak harus selalu bergantung pada Al Quran dan hadits, kaum liberal ini mengutamakan rasional mereka dalam pengambilan hukum syariah. Sehingga muncullah gerakan pembaharuan Islam agar dapat disesuaikan dengan keadaan zaman yang rasional dan sesuai dengan isu modernitas. Liberalisme dalam Islam, menurut kelompok Islam Progresif adalah keinginan menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang. Jembatannya adalah melakukan penafsiran-penafsiran ulang sehingga Islam menjadi agama yang hidup. Karena kita hidup dalam situasi yang dinamis dan selalu berubah, sehingga agar agama tetap relevan, menurut mereka, diperlukan sebuah cara pandang baru atau tafsir baru dalam melihat dan memahami agama. Beberapa konstalen di atas telah mendasari kami dalam pembuatan makalah ini. Selanjutnya akan kami bahas dan jabarkan lebih luas pada bab pembahasan. 1.2 Rumusan Masalah Adapun beberapa hal yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimaan Pengertian Liberal? 2. Bagaimana Akar dari Pemikiran Liberal berawal? 3. Bagaimana kemunculan Liberalisme dalam Agama? 4. Bagaimana Akar Istilah Liberalisme dalam Islam?

1

5. Bagaiman pemikiran Gerakan Liberalisme dalam Islam? 6. Bagaimana Sejarah Masuknya Pemikiran Liberalisme Islam di Indonesia? 7. Bagaimana pengaruh adanya Konsep Liberalisme dalam Islam? 8. Bagaiamana awal dari kemunculan Jaringan Islam Liberal? Semua permasalahan tersebut akan kami bahas lebih rinci selanjutnya pada bab pembahasan.

2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Liberal dan Liberalisme Kata 'liberal', menurut Ensiklopedi Britannica (2001), diambil dari bahasa Latin liber. Kata ini pun, menurut Oxford English Dictionary, bermakna sesuai untuk orang bebas, murah hati dalam seni liberal (liberal arts). Salah satu rekaman pertama mengenai contoh kata 'liberal' muncul pada 1375 yang memang digunakan untuk memerikan liberal arts. Dengan terbitnya masa Pencerahan (Enlightenment), kata tersebut memperoleh penekanan positif secara lebih menentukan dengan makna "bebas dari prasangka yang dangkal" pada 1781 dan "bebas dari kefanatikan" pada 1823. Dan di pertengahan abad ke-19, kata 'liberal' mulai digunakan sebagai istilah yang sangat politis. Sebagai kata sifat, kata `liberal' sering dipakai untuk menunjukkan sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka, berpikiran luas lagi terbuka, dan karena itu dianggap hebat.Ini terkait dengan penentangan untuk tunduk kepada kewibawaan apa pun,termasuk Tuhan, kecuali dirinya sendiri. Maka, jika ditelusur, liberalisme di Barat sejatinya berakar dari semangat perlawanan terhadap Tuhan dan agama. Di Eropa, semangat liberalisme sudah muncul sejak masa renaissance (Perancis); berasal dari kata "rinascita" (bahasa Italia) yang artinya: kelahiran kembali. Mulanya, istilah ini dikenalkan pertamakali oleh Giorgio Vasari pada abad ke-16 untuk menggambarkan semangat kesenian Italia mulai abad ke-14 sampai ke-16. Menurut Jacob Buchard, Renaissance, bukan sekedar kelahiran kembali kebudayaan Romawi danYunani kuno tetapi juga kebangkitan kesadaran manusia sebagai individu yang rasional, sebagi pribadi yang otonom, yang mempumyai kehendak bebas dan tanggung jawab. Setelah Renaissance, manusia telah meninggalkan zaman kegelapan abad Pertengahan yang didominasi kekuasaan dan nilai-nilai agama, tetapi telah

3

menjadi manusia yang bebas, rasional, mandiri, dan individual. Inilah yang konon disebut sebagai "prototipe manusia modern". Manusia modern adalah manusia yang sanggup dan mempunyai keberanian untuk memandang dirinya sebagai pusat alam semesta (antroposentris) dan bukan Tuhan sebagai pusatnya (teosentris). Manusia modern tidak lagi berpegang pada prinsip memento mori (ingatlah bahwa engkau akan mati) tetapi diganti dengan semboyan carpe diem (nikmatilah kesenangan hidup). Kata mereka: "Man can do all thing if they will." (Manusia dapat mengerjakan apa saja, asalkan mereka mau). (Tentang Renaissance dan manusia modern, lihat, Sutarjo Adisusilo, Sejarah Pemikiran Barat.1 Sedangkan liberalisme sendiri merupakan paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan tata pemikiran yang berlandaskan pada kebebasan manusia. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dan ini berarti bahwa liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis tentang manusia. Dari pengertian liberalisme ini maka terlihat dua agenda besar yang diperjuangkannya, yaitu; (1) mengandalkan rasio dan kesadaran individu, dan (2) mengandalkan pembangunan mandiri masyarakat tanpa intervensi berlebihan dari negara. Dua agenda besar ini digulirkan dalam wacana Hak Asasi Manusia (HAM) dan masyarakat sipil (civil society).2 Pemikiran John Locke (1632-1704)3 John Locke, secara luas dipandang sebagai Bapak Liberalisme. Ia berperan penting dalam pengembangan filsafat liberal. Locke secara sepadu memerikan beberapa asas dasar pergerakan liberal di awalmulanya, seperti hak kepemilikan pribadi dan persetujuan dari orang yang diperintah.1

Yudo Mahendro, Menimbang Liberalisme dalam Tradisi Taqlid, http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/06/menimbang-liberalisme-dalam-tradisi-taqlid/, diunduh pada tanggal 14 Mei 20112

Rahman, Pengertian Liberalisme, http://www.itsfetriyannorrahman.co.cc/2010/07/pengertianliberalisme.html, diunduh pada tanggal 5 Mei 20113

Husaini, Adian, dan Hidayat, Nuim, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal 56

4

Pembangun tradisi filsafat liberalisme ini menggunakan konsep hak alamiah dan kontrak sosial untuk menyatakan bahwa aturan hukum seharusnya menggantikan pemerintahan autokratik, bahwa pengatur menjadi ada di bawah persetujuan yang diatur, dan bahwa individu sebagai pribadi memiliki hak Dasar dari konsep-konsep Kontrak Sosial adalah dakwaan bahwa manusia secara alamiah bersifat bebas dan setara (lihat Two Treatises of Government). Hal ini menjadi dasar pembenaran dalam memahami pengesahan pemerintahan politik sebagai hasil kontrak sosial. Sifat bebas dan setara yang dimiliki manusia sejak awal kehidupannya, memberikannya hak "suara" dalam pendirian suatu pemerintahan. Pemerintahan bertujuan utama untuk melindungi hak-hak manusia seperti hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Sifat bebas dan setara ini begitu penting karena dapat diperluas ke ranah kehidupan lainnya, seperti budaya, ekonomi, dan agama. Sehingga, untuk memahami kebebasan ini secara singkat adalah bebas dari paksaan kewibawaan apa pun yang menghilangkan sifat kemanusiaan. Setelah John Lock, John Stuart Mill (1806-1873) dikenal juga sebagai seorang pemikir besar liberal yang juga sangat berpengaruh. Laki-laki kelahiran Pentonville ini melanjutkan filsafat utilitarianisme Jeremy Bentham. Hanya saja kekhasan Mill terletak pada konsep asas kemanfaatan (utility) dalam bingkai liberalisme. Gagasannya jelas memiliki kesamaan dalam penekanan tentang kebebasan individu. Hanya saja, kebebasan bukanlah sebuah tujuan akhir, melainkan sebuah sarana. Tujuan kebebasan dan tindakan insan adalah manfaat, baik kualitatif dan kuantitatif. Dan manfaat akan mengantarkan kepada kebahagiaan. Tindakan manusia tidak hanya sesuatu yang tanpa tujuan. Sebab, jika demikian maka tindakan seseorang menjadi tidak bermakna. Manfaat, sebagai tujuan tindakan, dilihat dari hasrat seseorang dan terdapatkriteria objektif yang mendasarkan dirinya pada nilai kemanfaatannya bagi manusia khususnya bagi keseluruhan manusia. mendasar untuk hidup, bebas, dan berkepemilikan.

5

Penekanan Mill terhadap aspek individualitas dari individu merupakan alasan terpenting keberadaan sebuah lembaga apa pun, termasuk pemerintah. Karena individualitas adalah susunan utama dari kebahagiaan manusia yang harus dijamin pemerintah. Jika tidak, maka pemerintah tersebut harus diganti. Maka, kebebasan adalah hak manusia yang mendasar. Dari kebebasan inilah akan muncul kreativitas dan kemajuan sosial serta intelektual. Jika ditelaah secara mendasar, para pemikir liberal sejatinya berawal dari trauma terhadap "Tuhan" dan aturan-aturan agama yang pernah mendominasi masyarakat Barat di zaman Pertengahan. Mereka berpikir, dengan membuang Tuhan dalam kebebasan mereka, maka merekaakan merasakan kebahagiaan, yang tak lain adalah kebebasan. Karena itu,tak heran, jika filosof terkenal Perancis, Jean-Paul Sartre (1905-1980) memekikkan slogan yang menolak eksistensi Tuhan. Sebab, ide tentang Tuhan membatasi kebebasan manusia: "even if God existed, it willstill necessary to reject him, since the idea of God negates ourfreedom." Asas Pemikiran Liberal4 Secara umum asas liberalisme ada tiga; kebebasan, individualis dan Aqlani (mendewakan akal). a) Asas pertama: Kebebasan Yang dimaksud disini adalah setiap individu bebas dalam perbuatannya dan mandiri dalam tingkah lakunya tanpa diatur dari negara atau selainnya. Mereka hanya dibatasi oleh undang-undang yang mereka buat sendiri dan tidak terikat dengan aturan agama. Dengan demikian liberalisme disini adalah sisi lain dari sekulerisme secara pengertian umum yaitu memisahkan agama dan membolehkan lepas dari ketentuannya. Sehingga menurut mereka manusia tu bebas berbuat, berkata, berkeyakinan dan berhukum sesukanya tanpa batasan syariat Allah. Sehingga manusia menjadi tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya serta bebas dari hukum ilahi dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran ilahi. Padahal Allah berfirman, yang artinya:4

Kholid Syamhudi, Islam dan Liberalisme, liberalisme/, diunduh pada tanggal 15 Mei 2011

http://ustadzkholid.com/manhaj/islam-dan-

6

Katakanlah:Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupki dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya;dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). [QS. Al-An'am: 162-163] dan firman Allah, yang artinya: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. [QS. al-Jaatsiyah : 18] b) Asas kedua: Individualisme (Al-Fardiyah) Dalam hal ini ada dua pemahaman dalam Liberalisme: Individual dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang menguasai pemikiran eropa sejak masa kebangkitan eropa hingga abad keduapuluh masehi. Individual dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Inilah pemahaman baru dalam agama liberal yang dikenal dengan Pragmatisme. c) Asas ketiga: Mendewakan Akal (Aqlaniyah) Dalam pengertian kemerdekaan akal dalam mengetahui dan mencapai kemaslahatan dan kemanfaatan tanpa butuh kepada kekuatan diluarnya. Hal ini dapat tampak dari hal-hal berikut ini: Kebebasan adalah hak-hak yang dibangun diatas dasar materi bukan perkara diluar dari materi yang dapat disaksikan dan cara mengetahuinya adalah dengan akal, pancaindra dan percobaan. Negara dijauhkan dari semua yang berhubungan dengan keyakinan agama, karena kebebasan menuntut tidak adanya satu yang pasti dan yakin; karena tidak mungkin mencapai hakekat sesuatu kecuali dengan perantara akal dari hasil percobaan yang ada. Sehingga -menurut mereka- manusia sebelum melakukan percobaan tidak mengetahui apa-apa sehingga tidak mampu untuk memastikan sesuatu. Ini dinamakan ideologi toleransi (alMabda at-Tasaamuh). Hakekatnya adalah menghilangkan komitmen agama, karena ia memberikan manusia hak untuk berkeyakinan semaunya dan menampakkannya serta tidak boleh mengkafirkannya walaupun ia 7

seorang mulhid. Negara berkewajiban melindungi rakyatnya dalam hal ini, sebab negara -versi mereka- terbentuk untuk menjaga hak-hak asasi setiap orang. Hal ini menuntut negara terpisah total dari agama dan madzhab pemikiran yang ada. Ini jelas dibuat oleh akal yang hanya beriman kepada perkara kasat mata sehingga menganggap agama itu tidak ilmiyah dan tidak dapat dijadikan sumber ilmu. -Taalallahu Amma Yaquluna Uluwaan kabiran Undang-undang yang mengatur kebebasan ini dari tergelicir dalam kerusakan -versi seluruh kelompok liberal adalah undang-undang buatan manusia yang bersandar kepada akal yang merdeka dan jauh dari syariat Allah. Sumber hokum mereka dalam undang-undang dan individu adalah akal. 2.2 Akar Pemikiran Liberal5 Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad VXV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti bebas dari batasan (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia. Ideologi Barat itu juga dapat dinamai dengan istilah kapitalisme atau demokrasi. Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem politik atau pemerintahannya. Namun monopoli istilah demokrasi untuk ideologi Barat ini sebenarnya kurang tepat, karena demokrasi juga diserukan oleh ideologi sosialisme-komunisme dengan nama demokrasi rakyat, yakni bentuk khusus demokrasi yang menjalankan fungsi diktatur proletar.

5

Shiddiq

Al-Jawi,

Akar

Sejarah

Pemikiran

Liberal

yang

Menyesatkan,

Http://Iskud.Wordpress.Com/2009/10/16/Akar-Sejarah-Pemikiran-Liberal-Yang-Menyesatkan/, diunduh pada Tanggal 7 Mei 2011

8

Walhasil, ideologi Barat memang mempunyai banyak nama, bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Namun, yang lebih penting adalah memahami akar pemikiran liberal yang menjadi pondasi bagi seluruh struktur bangunan ideologi Barat. Menurut Ahmad Al-Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah AlRasyidah (1995:31) akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, ekonomi, ataupun agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (fashl al-din an al-hayah). 2.3 Liberalisme dalam Agama6 Sebenarnya ketika membicarakan tentang liberalisme agama, maka itu adalah salah satu bagian dari objek liberalisasi. Ada banyak objek atau aspek dari kehidupan ini yang telah dipersandingkan dengan liberalisme. Misalkan, liberalisme politik, liberalisme budaya, maupun liberalisme ekonomi. Namun di antara sekian aspek tersebut, agama-lah yang kemudian menjadi aspek yang sangat berbahaya jika dipersandingkan dengan liberalisme, terutama terhadap agama Islam. Liberalisasi agama ini mula-mula muncul di Barat, dengan objeknya adalah agama Kristen dan Yahudi, yang ketika itu sedang mendominasi masyarakat Barat. Tetapi seiring dengan adanya hegemoni peradaban Barat di era modern ini, maka liberalisasi agama itu juga telah merambah kepada agamaagama hampir di seluruh dunia, termasuk Islam. Dalam agama Yahudi, liberalisasi sudah berkembang sejak abad ke19. Ketika itu sudah muncul gerakan Liberal Judaism (Yahudi Liberal) yang merupakan bagian lain dari sekte Yahudi sendiri. Begitu juga dengan liberalisasi dalam tubuh Kristen. Sudah banyak teolog-teolog liberal yang bermunculan, bahkan sudah menyebar di Indonesia.6

Ekta Yudha Perdana, Sejarah Liberalisme dalam Agama, http://kajianislah.blogspot.com/2009/02/sejarah-liberalisme-dalam-agama.html, diunduh pada tanggal 8 Mei 2011

9

Makna dari liberalisasi agama sendiri, menurut Adian Husaini, adalah proses penempatan agama ke dalam bagian dari dinamika sejarah. Agama adalah bagian dari sejarah, dan harus mengikuti perkembangan sejarah. Sehingga semua ajaran-ajaran agama dapat berubah setiap saat dengan mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan nilai-nilai modern. Jika yang demikian itu terjadi pada Islam, maka tidak ada lagi hal yang tetap atau tsawabit dalam Islam. Liberalisasi agama Islam artinya Islam adalah bagian dari sejarah dan harus mengikuti zaman. Nilai-nilai modernitas adalah dijadikan tolak ukur dalam proses liberalisasi agama. Agama dipaksa untuk tunduk kepada nilai-nilai modern, bukan nilai modern yang mengikuti agama. Pasca munculnya pertama kali sekularisme dan liberalisme di Barat, perkembangannya terus menunjukkan angka sangat signifikan. Perkembangan gereja-gereja di Barat sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Hal ini digambarkan sendiri oleh seorang aktivis Kristen asal Bandung, Herlianto, dalam bukunya yang berjudul Gereja Modern, Mau ke Mana?. Misalkan dari realita yang ada di Amsterdam, ratusan tahun lalu 99% penduduknya beragama Kristen. Kini tinggal 10% saja yang dibaptis dan mau ke gereja. Pada tahun 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46% penduduknya mengatakan bahwa agama sudah tidak diperlukan lagi. Di Norwegia, yang Kristen-nya 90%, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Dan hanya sekitar 3% yang rutin ke gereja tiap minggu. Di sejumlah gereja di Eropa, sudah menerima praktek homoseksual. Ini diamini oleh Eric James, seorang pejabat gereja Inggris yang menulis dalam bukunya Homosexuality and a Pastoral Church. Ia menghimbau kepada gereja agar memiliki toleransi terhadap praktek homoseksual, dan mengizinkan perkawinan antara sesama laki-laki maupun sesama wanita. Bagi masyarakat Barat, praktek perzinaan, minuman keras, maupun pornografi, tidak dianggap sebagai tindakan kriminal. Karena standar kriminal yang mereka gunakan adalah standar kesepakatan dan kepantasan secara umum.

10

Jika hal tersebut tidak mengganggu dan merugikan orang lain, maka tindakan itu sah-sah saja. Dari beberapa data di atas, maka tergambar sudah begitu parahnya arus liberalisasi dalam masyarakat Barat sekarang ini. Bentuk liberalisme semacam ini, mungkin bagi sebagian orang merupakan sebuah kewajaran di era modern. Karena era modern sekarang memang mengusung jargon kebebasan. Dalam Islam, pembaharuan pemikiran di dunia Islam sebenarnya telah dimulai sejak awal keruntuhan Khilafah Utsmaniyah di Turki. Ketika Islam di Turki dipimpin oleh Mustafa al-Tatruk, maka terjadilah Sekularisasi negara dengan mencontoh Barat. Beberapa hal penting yang perlu dicatat dari perombakan yang telah dilakukan al-Taturk seperti, perubahan Hukum Syariat Islam tentang perkawinan yang diganti dengan hukum Swiss. Dalam hukum ini, perempuan juga mempunyai hak untuk menceraikan suaminya. Kemudian lebih parah lagi adzan bahasa Arab diganti dengan bahasa Turki (bahasa lokal), penggunaan jilbab dilarang, bahasa Arab diganti dengan bahasa Barat. Intinya semua identitas dan simbol-simbol Islam digantikan dengan identitas serta simbol dari Barat. Sehingga Turki yang dulunya kekuatan Islam Khilafah Utsmaniyah itu, telah berubah menjadi sekuler. Sekarang, proses liberalisasi dalam agama Islam itu adalah hasil ketidakproporsionalan Barat terhadap Islam. Barat memaksakan paham-paham mereka dan pandangan hidup mereka kepada Islam melalui jalur yang disebut dengan westernisasi dan globalisasi. Melalui jalur inilah mereka menyebarkan budaya dan ideologinya. Ini semua karena Barat sangat yakin akan keuniversalan pandangan hidupnya bagi seluruh umat manusia di dunia. Maka salah satu contoh dari hasil westernisasi dan globalisasi yang dilakukan Barat terhadap Islam itu adalah adanya penggunaan istilah-istilah seperti Islam fundamentalis, Islam Liberal, Islam tradisional, Islam modern, dan berbagai kata sifat lainnya yang pada akhirnya dipaksakan untuk membuntuti kata Islam.

11

Padahal jika universalitas atau globalitas Barat itu dipahami secara adil, maka sebenarnya Barat dapat memahami worldview (pandangan hidup) Islam, dan bahkan dapat saling bertukar konsep dan sistem yang tidak bertentangan dengan pandangan hidup masing-masing. Maka tidak harus ada pemaksaan dalam konsep dan pandangan hidup. Dan jika Barat itu benar-benar konsisten dalam ke-liberalan-nya, maka mereka tidak akan menutup diri dari Islam, dan tidak akan ada Islamofobia. Dari pemaparan ini semua, penulis sampai pada kesimpulan bahwa Liberalisme adalah produk Barat yang saat ini dipaksakan untuk masuk ke dalam semua agama dan peradaban, khususnya Islam. Barat memiliki anggapan adanya universalitas ideologinya di seluruh dunia. Dengan kemajuan teknologi dan modernitasnya itu, Barat seakan mereka berkata, jika ingin maju, maka tirulah kami! Liberalisme yang seolah menjadi sebab utama kemajuan Barat, sebenarnya belum tentu menjamin jika diterapkan pada kultur dan peradaban lain. Kemujuan yang dicapai Barat dengan liberalisme dan sekularismenya itu hanyalah kemajuan semu. Modernitas yang menjadi simbol Barat itu tidak lebih dari sekedar kulit luar yang bagus, yang menutupi substansinya yang busuk. Secara worldview, Barat dan Islam itu sangat berbeda jauh. Salah satu contohnya, pandangan Barat yang dikotomis, dan sangat berbeda dengan Islam yang sifatnya tauhidi. Maka sangat sulit untuk diterima akal seorang Muslim jika ada orang mengaku beragama Islam lantas meniru Barat secara membabi-buta sampai kepada akar-akarnya, tanpa ada rasa kritis dan filter. 2.4 Akar Istilah Liberalisme Islam7 Liberalisme Islam atau Islam liberal adalah salah satu karakterisasi terhadap gerakan kebangkitan Islam yang dimulai sejak abad ke-19. Istilah ini merujuk kepada sikap umum para pembaru Muslim dalam menghadapi kondisi umat Islam, khususnya dalam bidang pemikiran. Istilah liberal sendiri

7

Maslahul Falah, Islam Ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal Indonesia, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hal 75

12

baru digunakan belakangan. Paling tidak sejak tahun 1950-an, ketika para sarjana di Barat mulai banyak menulis tentang fenomena modern kebangkitan Islam. Sarjana Barat pertama yang secara spesifik menggunakan istilah liberalisme Islam adalah Wilfred Cantwell Smith, ahli Islam asal Kanada yang dikenal sangat simpatik. Smith menggunakan istilah ini dalam bukunya Islam in Modern History. Kata ini digunakan Smith untuk merujuk kecenderungan intelektualisme dan humanisme dalam pemikiran Islam modern. Intelektualisme dan humanisme adalah inti dari gerakan liberalisme yang berkembang di dunia Barat. Penulis lainnya yang menggunakan istilah liberal adalah Albert Hourani, sarjana Inggris keturunan Palestina, dalam bukunya yang terkenal, Arabic Thought in the Liberal Age. Hourani memang tidak secara spesifik menggunakan istilah Liberal Islam, tapi istilah Liberal Age yang digunakannya dalam konteks pemikiran bangsa Arab juga mencakup pemikiran Islam secara umum. Sarjana lainnya yang menggunakan istilah Islam liberal adalah Asaf A.A. Fyzee, penulis Pakistan, dalam bukunya, A Modern Approach to Islam. Dalam buku ini, Fyzee memberika beberapa alternatif penamaan menyangkut fenomena pembaruan pemikiran Islam, seperti Islam dinamis, Islam aktif, Islam progresif, dan Islam Protestan. Namun, jika disuruh memilih, maka Islam Liberal, adalah istilah yang layak dipertimbangkan. Baik Smith, Hourani, maupun Fyzee menggunakan istilah liberal untuk merujuk sebuah kecenderungan umum para pembaru Muslim yang berusaha membebaskan diri mereka dari belenggu penafsiran pemahaman dan penafsiran agama yang kaku, sempit, dan dogmatis. Di sini, istilah liberal pada awalnya merujuk secara umum kepada makna kebebasan. Istilah liberalisme Islam secara lebih spesifik dan lebih teknikal, digunakan pada tahun 1980-an, khususnya ketika Leonard Binder menulis bukunya, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Sebagai ilmuwan politik, Binder memiliki subyektifitas yang besar pada disiplin ilmu yang

13

dimilikinya. Dalam bukunya tersebut, Binder menggunakan istilah liberalisme Islam dengan tekanan yang sangat kuat sekali pada pemikiran politik. Di tangan Binder, istilah liberalisme Islam yang sebelumnya bermakna kebebasan dalam pengertiannya yang umum mengerucut kepada liberalisme politik, dan lebih mengerucut lagi kepada fenomena Liberalisme Barat, di mana tema-tema filsafat politik semacam sekularisme, demokrasi liberal, hubungan agama-negara, hak-hak warga negara, dan kebebasan sipil, menjadi tema sentralnya. Peran Binder dalam mempopulerkan istilah liberalisme Islam cukup besar, bukan karena dia membuat makna liberalisme dalam Islam menjadi lebih spesifik ke arah politik, tapi karena ia memberikan batasan yang tegas antara Islam yang liberal dan Islam yang tak-liberal. Dalam pemikiran politik, Binder mengambil contoh kontras dua tokoh Islam asal Mesir, yakni Ali Abd alRaziq dan Sayyid Qutb. Menurut Binder, Abd al-Raziq adalah tipikal pembaru Muslim liberal, sementara Qutb adalah tipikal Muslim tak-liberal. Batasan ini sangat penting, karena sejak tahun 1970-an, karakter wacana kebangkitan Islam semakin kabur. Ia tidak lagi sepenuhnya memiliki karakter liberal seperti pada awal-awal era kebangkitan (dan karena ini Hourani menyebutnya sebagai liberal age), tapi juga muncul karakter baru yang lebih bersifat puritan, tekstual, dan politis. 2.5 Gerakan Liberalisme dalam Islam Liberalisme dalam Islam, menurut kelompok Islam Progresif adalah keinginan menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang. Jembatannya adalah melakukan penafsiran-penafsiran ulang sehingga Islam menjadi agama yang hidup. Karena kita hidup dalam situasi yang dinamis dan selalu berubah, sehingga agar agama tetap relevan, menurut mereka, diperlukan sebuah cara pandang baru atau tafsir baru dalam melihat dan memahami agama. Tafsir yang dimaksud adalah tafsir yang membebaskan, yaitu tafsir yang akan dijadikan pisau analisis untuk melihat problem kemanusiaan, mempertimbangkan budaya,

14

menghilangkan ketergantungan pada sebuah fase sejarah tertentu dan menjadikan doktrin agama sebagai sumber etis untuk melakukan perubahan.8 Fenomena pemikiran Islam yang liberal sebenarnya tidak begitu jelas sebagai satu aliran pemikiran yang merata. Muslim yang menyebut diri mereka sebagai progresif bisa dikatakan mengamalkan Islam yang liberal karena mereka telah mencetuskan beberapa pemikiran liberal dalam Islam. Akan tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa Islam progresif (modern) dan Islam liberal adalah dua aliran yang berbeda. Aliran-aliran ini memiliki persamaan yakni berfalsafah yang bergantung kepada ijtihad. Muslim yang berfikiran liberal tidak harus bergantung kepada interpretasi ulama tradisional tentang al Quran dan Hadits. Mereka ini umumnya menyatakan ingin kembali pada hukum-hukum islam terdahulu dan tujuan asal etika dan pendekatan majmuk (pluralistik) kitab suci. 1) Pembaharuan, Bukan Perpecahan Agama Fenomena ini adalah salah satu dari gerakan-gerakan pembaharuan dalam Islam bukannya satu usaha perpecahan agama. Mereka mengklaim percaya kepada rukun dasar dalam Islam seperti Rukun Iman dan Rukun Islam. Mereka percaya bahwa ajaran mereka sejalan dengan ajaran Islam. Perbedaan utama mereka dengan aliran konservatif Islam adalah interpretasi aplikasi nilai-nilai inti Islam dalam kehidupan moden. Fokus mereka kepada interpretasi individu dan etika, dibanding dengan maksud literal kitab suci, dan pandangan ini mungkin berasal dari tradisi Sufi dan tasawuf Islam 2) Ciri Umum Beberapa ciri umum paham ini adalah: Otonomi (kewenangan) individu untuk menafsirkan Al Quran dan hadits Pandangan yang lebih kritis terhadap berbagai teks agama serta pandangan tradisi dalam islam Persamaan Gender dalam semua aspek ritual agama

8

Abdul Ala, dari Neomodernisme ke Islam Liberal, Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003), hal 47

15

Pandangan yang lebih terbuka pada budaya modern termasuk dalam bidang adat istiadat, pakaian dan praktik Mengggalakkan penggunaan ijtihad dan fitrah

3) Pokok Pemikiran Ijtihad (Penafsiran Ulang) Muslim liberal selalu menggugurkan tafsiran Quran yang mereka rasa terlalu konservatif, kepada tafsiran yang lebih sesuai dengan keadaan saat ini dan menyesuaikan dengan kehidupan modern. Mereka menganggap tafsiran hendaklah mempertimbangkan keadaan pada masa ini. Penggunaan Hadits dipersoalkan, karena hukum Islam banyak mengambil dari Hadits dan bukan dari teks Al Quran, akibatnya terdapat banyak kerancuan dalam isu-isu hukum dalam islam. Abdullah Ahmad an-Naim, seorang tokoh pemikir Islam Liberal dari Sudan dan sering dijadikan rujukan oleh para pemikir liberal di Indonesia, mengemukakan gagasan bahwa untuk meliberalisasi syariat Islam, tidak bisa ditempuh dengan metode ijtihad. Sebab menurutnya, ijtihad tidak bisa diimplementasikan pada persoalan-persoalan yang telah disinggung oleh nash (la ijtihada fi mauridin-nash). Maka dari itu, usaha untuk memodernkan syariat Islam harus ditempuh dengan dekonstruksi; menggugurkan bangunan metodologi syariat dan aturan-aturan syariat itu sendiri. Metode yang tepat untuk digunakan adalah dengan mengaplikasikan hermeneutika menggunakan standar utama HAM dan hukum-hukum internasional. Hak Asasi Manusia (Humanisme) Muslim liberal percaya bahwa Islam menggalakkan konsep persamaan dalam segenap aspek. Feminisme Muslim liberal bersifat kritis mengenai kedudukan wanita dalam tradisi masyarakat Islam terutama konsep poligami dan hak pewarisan harta pusaka, di mana anak perempuan menerima kurang dari anak lelaki. Mereka juga kritis dalam konsep wanita sebagai kepala negara dan wanita tidak seharusnya

16

diasingkan dari lelaki dalam masjid. beberapa Muslim liberal setuju jika wanita menjadi imam dalam sholat dengan makmum lelaki dan perempuan. Para Muslim yang berpikir liberal ini juga menolak kewajiban seorang perempuan memakai hijab (jilbab), dengan mengklaim bahwa memakai pakaian yang sopan itu sudah cukup baik untuk lelaki maupun perempuan. Namum adapula dari mereka yang masih mengenakan jilbabs sebagai simbol menentang perlakuan terhadap perempuan sebagai objek seksual. Sekularisme Beberapa Muslim liberal lebih menyukai ide tentang demokrasi sekuler modern, yang memisahkan antara negara dan agama, sekaligus bertentangan dengan ide penyatuan antara agama dan politik. Penggunaan hukum Syariah islam diperdebatkan. Argumen mereka banyak menggunakan teori Muktazilah, bahwa hukum-hukum dalam Al Quran itu diciptakan Tuhan untuk masyarakat pada masa-masa tertentu, dan akal harus digunakan untuk penyelesaian masalah dalam konteks terkini. Toleransi dan Menolak Kekerasan Mereka lebih terbuka kepada dialog antara agama untuk menyelesaikan konflik dengan pemeluk agama lain (Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dll) dan mazhab-mazhab lain dalam Islam. Gagasan jihad lebih difahami sebagai perjuangan dalam diri sendiri daripada perjuangan bersenjata. Ketergantungan pada Paham Sekuler Mereka ini selalu berpikir skeptis (tidak mudah percaya) terhadap kebenaran ilmu-ilmu yang berbaur dalam Islam seperti ekonomi Islam, sains Islam, sejarah Islam dan filsafat Islam sebagai satu cabang ilmu, yang seharusnya terpisah dari bidang ilmu utamanya. Mereka menganggap penyebaran cabangcabang ilmu ini sebagai propaganda Muslim konservatif. Mereka (kaum Liberal) lebih suka merujuk kepada hasil kerja para ahli ilmu pengetahuan dari Barat.99

Reza Aslan, Gerakan Liberalisme dalam Islam, http://translate.google.co.id/translate? hl=id&sl=ms&u=http://ms.wikipedia.org/wiki/Gerakan_liberalisme_dalam_Islam&ei=AyXRTcuT E8TorQej7vjCCg&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=3&ved=0CCcQ7gEwAjgU&prev=/sea rch%3Fq%3Dliberalisme%2Bislam%26start%3D20%26hl%3Did%26sa%3DN%26biw

17

2.6 Sejarah Masuknya Pemikiran Liberalisme Islam di Indonesia10 kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di Barat telah membuat sebagian kalangan umat Islam terkagum-kagum dan mengalami shock culture. Untuk mengapreasiasi kemajuan Barat itu, sejumlah tokoh Islam menganjurkan dan menyerukan adanya pembaharuan Islam dengan mencontoh Barat. Pembaharuan pemikiran di dunia Islam dimulai ketika Khilafah Utsmaniyah di Turki diambang kehancuran. Selanjutnya, Islam Turki di bawah komando Mustafa al-Tatruk didekontruksi sedemikian rupa seperti Barat. Setelah berhasil mendelegitimasi kewenangan khalifah dan Pengadilan Khusus Agama (Islam), al-Tatruk dengan penuh kepongahan merombak total tatanan prinsipprinip Islam. Tak hanya itu. Ia juga mengganti Hukum Syariat tentang perkawinan Islam dengan diganti hukum Swiss, di mana perempuan punya hak cerai sama dengan laki-laki. Selanjutnya, sekolah-sekolah agama (madrasah) dan perguruan tinggi agama dibubarkan, dan diganti dengan sekolah ala Barat. Yang lebih parah lagi adalah adzan bahasa Arab diganti dengan bahasa lokal (Turki), jilbab dilarang, dan penggunaan bahasa Arab pun diganti dengan bahasa Barat. Pendek kata, semua identitas, idiom-idiom keIslaman dan kearaban dihapuskan diganti dengan simbol, identitas dan tradisi Barat. Setelah itu semua, sempurnalah bekas khilafah Utsmaniyah itu menjadi Republik Turki yang sekular. Selain Turki, dunia Islam yang kecipratan dengan pembaharuan Islam adalah Mesir. Pembaharuan di negeri Kinanah ini mulai terjadi ketika utusan Perancis Napoleon Bonaparte dan sejumlah ilmuan yang ikut rombongannya datang ke negeri itu. Dari situ terjadilah kontak masyarakat Mesir dengan budaya Barat.%3D1116%26bih%3D427%26prmd%3Divns, diunduh pada tanggal 8 Mei 201110

Brobram, Fenomena Islam Liberal di http://kubanggajah.wordpress.com/2009/03/02/fenomena-islam-liberal-di-indonesia/, pada 8 Mei 2011

Indonesia, diunduh

18

Seperti yang dialami Turki, sebagian ulama Mesir mendukung program pembaharuan model Barat itu. Untuk kepentingan ini, maka diutuslah pelajar-pelajar Mesir untuk belajar di Paris dengan pengawasan imam. Adalah Rifa al-Thahthawi (1803-1873) dari imam-imam yang diutus untuk belajar ke sana. Sekembalinya dari pengembaraan dari negeri Barat pemikiran al-Thahthawi cukup berpengaruh dalam masyarakat Mesir saat itu. Di antara pembaharuan yang digaungkan al-Thahthawi adalah penyesuaian penafsiran/interpretasi syariat dengan kondisi zaman modern. Setelah ia wafat, barulah Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir, dan menyuarakan hal yang serupa. Pembaharuan yang dibawa al-Afghani selanjutnya dilanjutkan oleh Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridla. Menurut Harun, pembaharuan yang digerakkan oleh mereka itu memakai pendekatan teologi atau pemikiran Mutazilah (rasionalisme). Dari sini pula muncul tokoh-tokoh sekular- liberal, sebut saja misalnya, Musthafa A. Raziq, Saad Zaghlul, Ahmad Amin, Thaha Husein, Ali Abdul Raziq, dan lain-lainnya yang senada. Merambah ke Indonesia Gaung dan gerakan pembaharuan di Mesir rupanya juga merambah ke Indonesia. Melalui KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya, pembaharuan Islam dimulai. Gagasan pembaharuan Kyai Dahlan sendiri merupakan pengaruh dari tokoh-tokoh Mesir. Ketika pendiri Muhammadiyah itu melakukan perjalanan ke Mekah untuk belajar di sana, di tengah perjalanan ia membaca karya Abduh dan Ridla, Tafsir al-Manar. Sepulangnya dari menimba ilmu itu, rupanya Tafsir al-Manar telah menginspirasi KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan Islam di Indonesia. Selain karena pengaruh Mesir, penetrasi misi Katholik-Protestan dari penjajah (Spanyol, Portugis, dan Belanda) dan parktik takhayul, khurafat serta bidah di masyarakat Indonesia telah membuat KH. Ahmad Dahlan prihatin sekaligus protes keras. Faktor-faktor inilah yang mendorong pembaharuan Islam oleh Kyai Dahlan bersama Muhammadiyahnya.

19

Kendati begitu, dalam pandangan Harun, pembaharuan yang disuarakan Muhammadiyah bukanlah pembaharuan yang prinsipil dan menyangkut hal-hal dasar (ushul), tapi pada masalah cabang (furu). Misalnya, soal ruyah al-Hilal, patung, gambar, musik, kenduri, tahlilan, dan lain-lainnya. Pembaharuan demikian berbeda dengan yang terjadi di Mesir dan Turki. Sebagai orang yang pernah belajar di Mesir dan di Barat, justru Harun sendirilah yang dikenal sebagai lokomotif liberalisme di Indonesia melalui lembaga pendidikan tinggi. Setelah pulang dari Mesir, ia kemudian bekerja di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), sekitar 1969. Ketika pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama (Menag) A.Mukti Ali menunjuk dia sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, program liberalisasi pemikiran Islam segera ditabuh dan digulirkan. Untuk merealisasikan liberalisme, Harun mempromosikan dan mensosialisasikan paham Mutazilah. IAIN Jakarta di bawah komandonya mewajibakan para mahasiswa membaca buku-buku karyanya, antara lain, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Teologi Islam, Filsafat Agama. Belasan tahun kemudian, bukunya yang berjudul Islam Rasional juga menjadi bacaan dan referensi wajib di kalangan dosen dan mahasiswa IAIN. Kewajiban memakai buku-buku karya Harun itu berlangsung sampai kini di semua jurusan atau program studi, kendati nama IAIN sudah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Maka di tangan Harun-lah UIN/IAIN/STAIN berhasil di-Mutazilahkan. Tentunya keberhasilan Harun menggeser dan mengubah model pemikiran di lingkungan IAIN ketika itu tak lepas dari dukungan politik dari pemerintah Orde Baru. Harun memang dikenal gigih dan serius berkiprah di pendidikan tinggi. Ia punya dedikasi tinggi untuk mengawal dan membesarkan IAIN sebagaimana yang ia harapkan seperti lahirnya para pemikir liberal sekular di Mesir. Menurut mantan muridnya di program Pascasarjana IAIN, Dr. Ahmad Dardiri, Harun sangat perhatian dengan mahasiswanya dalam berbagai hal.

20

Bimbingan tesis ataupun disertasi betul-betul ia tangani dengan serius. Pak Harun betul-betul serius untuk berkiprah di dunia pendidikan. Ini berbeda dengan Cak Nur yang kadang kurang serius dengan bimbingan tesis atau disertasi mahasiswa. Waktunya tersita dengan kegiatan di luar IAIN, ujarnya. Setelah berjalan selama hampir 40 tahun, usaha Harun menemukan hasilnya. Hampir seluruh UIN/ IAIN/ STAIN di seluruh Indonesia kini telah menjadi gerbong terbesar proyek liberalisasi pendidikan dan studi Islam. Bila di masa Harun, liberalisasi lebih ditekankan pada studi teologi/ilmu Kalam, maka saat ini fokusnya adalah pada studi Al-Quran. Hal ini dianggap strategis karena studi Al-Quran merupakan mata kuliah umum wajib yang harus diambil seluruh mahasiswa. Tentunya juga, liberalisasi Islam akan mudah berjalan dan kena sasaran bila leberalisasi Studi AlQuran diperkuat dan dikurikulumkan. Proyek liberalisasi Studi Al-Quran ini semakin gencar dan serius dengan dimasukanya mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Demikian pula mata kuliah Kajian Orientalis terhadap Al-Quran dan Hadits. Referensi dan sumber dua mata kuliah ini adalah para pengibar liberalisme Studi Al-Quran, baik dari kalangan Muslim maupun Kristen. Misalnya, Muhammad Arkoun, Norman Calder, Farid Essack, Hans G. Gadamer, dan lain-lain. Tujuan pengajaran mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika adalah Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan ilmu Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Quran dan Hadis. Sedangkan untuk Kajian Orientalis bertujuan, Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Quran dan Hadits. Atas pengajaran mata kuliah Hermeneutika ini, entah karena tak paham tentang bahaya penerapan hermeneutika dalam studi Al-Quran atau karena alasan lain, seorang dosen ilmu Hadis di Prodi Tafsir Hadis UIN Jakarta juga mengaku tak ada persoalan dengan hal itu. Tidak apa-apa. Itu bagus-bagus saja, katanya.

21

Pengajaran Studi Al-Quran dengan metode Barat itu, kini telah melahirkan banyak mahasiswa/i dan sarjana UIN/IAIN/STAIN yang meragukan, menghujat, bahkan melecehkan Al-Quran. Laporan majalah pekanan GATRA edisi 7 Juni 2006, menyebutkan, seorang dosen IAIN Surabaya di depan para mahasiswanya membuat adegan menginjak-injak lafaz Allah dengan kakinya tanpa merasa berdosa. Ini adalah sebuah tindakan yang tak beradab dan tak terpuji. Padahal dia adalah pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Kisah yang mirip dan serupa juga terjadi di UIN/IAIN/STAIN lainnya. Misalnya, dosen pembimbing tesis atau disertasi di UIN Jakarta sering mengolok-olok ketika ada mahasiswa/i dalam tesis/disertasinya mengutip ayat AlQuran ataupun Hadis Nabi Saw. Inilah ironi Studi Al-Quran di perguruan tinggi (Islam) kita. Kasus liberalisasi Studi Al-Quran di Indonesia memang sangat ironis dan memprihatinkan. Sebab, proyek ini tidak hanya dilakukan oleh sejumlah akademisi, tapi juga oleh beberapa aktivis, lembaga swadaya masyarakat (LSM), para petinggi ormas Islam, pengasuh pondok pesantren, lembaga penelitian, dan sebagainya. Mereka begitu gigih dan getol mengkampanyekan liberalisme, selain ingin lepas dan bebas dari Syariat Islam, juga karena mendapat kucuran dana berlimpah dari The Asian Foundation. Dengan dukungan dana yang relatif besar, untuk mempromosikan agendanya mereka menjalin kerjasama dengan beberapa media massa. Kasus yang teranyar adalah tindakan tidak fair enam guru besar yang meluluskan disertasi Abd. Moqsith Ghazali. Padahal dalam disertasi ini banyak penafsiran al-Qur'an yang mengabaikan dan memisahkan antara keimanan kepada Allah Swt dengan keimanan terhadap nabi Muhammad Saw. Dalam disertasi aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) ini, disebutkan, secara eksplisit Al-Quran menegaskan bahwa siapa saja Yahudi, Nashrani, Sabiin, dan lain-lain yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan segala

22

jerih payahnya. Jadi tanpa beriman kepada Rasulullah Muhammad, amal seorang Yahudi, Kristen dan Sabi'in sama kedudukannya dengan amal orang Muslim. Yang lebih parah lagi adalah ketika penulis membahas tentang Pengakuan dan Keselamatan Umat non-Muslim. Ia menyatakan, Agama yang satu tak membatalkan agama yang lain, karena setiap agama lahir dalam konteks historis dan tantangannya sendiri. Walau begitu, semua agama terutama yang berada dalam rumpun tradisi abrahamik mengarah pada tujuan yang sama, yakni kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat. Dengan memperhatikan kesamaan tujuan ini, perbedaan eksoterik agama-agama mestinya tak perlu dirisaukan. Disertasi berjudul, Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas Umat Beragama dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A (Dirjen Bimas Islam dan guru besar ilmu tafsir di UIN Jakarta) dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta). Bertindak sebagai penguji adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra (Ketua Sidang dan juga Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Zainun Kamal dan Prof. Dr. Salman Harun. Dari tujuh guru besar, hanya satu guru besar yang tidak meluluskan disertasi yang kontroversial ini, yakni Prof. Dr. Salman Harun. Bahkan mantan dekan Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta itu membuat kritik tertulis. Konon baru kali ini di UIN Jakarta ada penguji yang sampai membuat kritik tertulis ketika menguji. Salman menilai Abd.Moqsith salah memahami penggalan buku Nawawi Al- Jawi (1813-1899) tentang bisa tidaknya non-muslim masuk surga. Moqsith dinilai tak utuh mengutip Ibnu Katsir (1300-1373) Ia menambahkan, dua ulama itu berkesimpulan hanya Muslim yang masuk surga. Tapi Moqsith menyimpulkan, non muslim juga bisa. Salman khawatir disertasi ini akan memperkuat tuduhan sebagian kalangan bahwa UIN adalah tempat kristenisasi. Orientalis modern William Montogomerry Watt, menjelaskan, mereka yang disebut liberal adalah orang-orang Islam yang banyak memahami Islam

23

dengan sudut pandang Barat dan melakukan kritik-kritik terhadap Islam baik secara implicit atau eksplisit, tapi mereka masih mengaku sebagai Muslim (William Montogomerry Watt, Fundamentalisme dan Modernity in Islam). 2.7 Penolakan Konsep Liberalisme Islam Ditinjau dari sudut kebahasaan penggandengan antara kata Islam dan Liberal itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan liberal artinya bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (al-Quran dan Hadis), Oleh karena itu, pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut Pemikiran Iblis dari pada Pemikiran Islam, karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis. Ajaran islam dalam konsep liberalisme: 1. Umat Islam tidak boleh memisahkan diri dari umat lain, sebab munusia adalah keluarga universal yang memiliki kedudukan yang sederajat. Karena itu larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non muslim sudah tidak relevan lagi 2. Produk hukum Islam klasik (fiqh) yang membedakan antara muslim dengan non muslim harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal manusia. 3. Agama adalah urusan pribadi, sedangkan urusan Negara adalah murni kesepakatan masyarakat secara demokratis. 4. Hukum Tuhan itu tidak ada. Hukum mencuri, zina, jual-beli, dan pernikahan itu sepenuhnya diserahkan kepada umat Islam sendiri sebagai penerjemahan nilai-nilai universal. 5. Muhammad adalah tokoh histories yang harus dikaji secara kritis karena beliau adalah juga manusia yang banyak memiliki kesalahan. 6. Kita tidak wajib meniru rasulllah secara harfiah. Rasulullah berhasil menerjemahkan nilai-nilai Islam universal di Madinah secara kontekstual. Maka kita harus dapat menerjemahkan nilai itu sesuai dengan konteks yang ada dalam bentuk yang lain. 7. Wahyu tidak hanya berhenti pada zaman Nabi Muhammad saja (wahyu verbal memang telah selesai dalam bentuk al-Quran). Tapi wahyu dalam

24

bentuk temuan ahli fikir akan terus berlanjut, sebab temuan akal juga merupakan wahyu karena akal adalah anugerah Tuhan. 8. Karena semua temuan manusia adalah wahyu, maka umat Islam tidak perlu membuat garis pemisah antara Islam dan Kristen, timur dan barat, dan seterusnya. 9. Nilai Islami itu bisa terdapat di semua tempat, semua agama, dan semua suku bangsa. Maka melihat Islam harus dilihat dari isinya bukan bentuknya. 10. Agama adalah baju, dan perbedaan agama sama dengan perbedaan baju. Maka sangat konyol orang yang bertikai karena perbedaan baju (agama). semua agama mempunyai tujuan pokok yang sama, yaitu penyerahan diri kepada Tuhan. 11.Misi utama Islam adalah penegakan keadilan. Umat Islam tidak perlu memperjuangkan jilbab, memelihara jenggot, dan sebagainya. 12. Memperjuangkan tegaknya syariat Islam adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menyelesaikan masalah secara arasional. Mereka adalah pemalas yang tidak mau berfikir. 13. Orang yang beranggapan bahwa semua masalah dapat diselesaikan dengan syariat adalah orang kolot dan dogmatis 14. Islam adalah proses yang tidak pernah berhenti, yaitu untuk kebaikan manusia. Karena keadaan umat manusia itu berkembang, maka Agama (Islam) juga harus berkembang dan berproses demi kebaikan manusia. Kalau Islam itu diartikan sebagai paket sempurna seperti zaman rasulullah, maka itu adalah fosil Islam yang sudah tidak berguna lagi.11 Dalam sejarah kemunculannya, liberalisme adalah lawan dari fundamentalisme dan otoritarianisme yang berwujud lembaga negara. Akan tetapi, menurut Dawam Raharjo, otoritarianisme (paham yang otoriter) itu saat ini tidak hanya berwujud negara, melainkan juga bisa berupa agama, tepatnya agama dalam wujud sekumpulan pemikiran-pemikiran Islam yang sudah dianggap baku,11

Amanah, Pemikiran Islam Liberal, http://liberalisme.blogsome.com/2005/09/21/pemikiranislam-liberal/, diuduh pada tanggal 9 Mei 2011

25

baik itu dalam bidang fiqh, kalam, filsafat atau tasawuf yang biasa dilestarikan oleh para ulama dan berujung pada jargon pintu ijtihad telah tertutup. Maka dari itu liberalisme juga harus diarahkan kepada pemikiran-pemikiran Islam yang sudah dianggap memfosil ini, yang dipastikan tidak akan mampu menjawab fenomena-fenomena baru yang terjadi dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini maka liberalisasi, menurut Dawam, merupakan sebuah kemestian agar Islam mampu menghadapi isu-isu kontemporer seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender, kesetaraan agama-agama dan hubungan antar agama. Untuk menghadapi persoalan kontemporer ini jangan lagi terikat pada paradigma lama dan pada teks yang tidak bisa berubah dan diubah (wahyu/al-Qur`an dan Sunnah), melainkan hanya mengandalkan kemampuan akal budi manusia yang telah dianugerahkan Tuhan dan telah diperintahkan oleh-Nya untuk digunakan. Dawam menegaskan bahwa penggunaan akal itu merupakan perintah Tuhan, karena menurutnya, dari sejak Adam diciptakan ia dinyatakan lebih tinggi derajatnya daripada malaikat disebabkan akalnya. Nabi saw sendiri pernah memberitahukan kepada seorang petani kurma di Madinah; antum alamu bi umuri dunyakum; kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian. Kepada Muadz ibn Jabal yang diutusnya ke Yaman, Nabi saw memberikan restu kepadanya untuk melakukan ijtihad. Ijtihad itu sendiri, menurut Dawam, adalah bentuk liberalisme dalam Islam. Konsep ijtihad ini kemudian sering dilakukan oleh Khalifah Umar ibn al-Khaththab, yang kemudian dilestarikan oleh kelompok Mutazilah dan filosof yang mempraktikkan liberalisasi pemikiran Islam. Madzhab Islam Liberal Mengutip yaitu: Pertama, liberal syariah (syariah yang liberal). Menurut kelompok ini, syariah jika dipahami dengan benar, sifatnya sudah liberal. Islam dari sejak awal mempunyai solusi umum atas problem kontemporer seperti pluralisme, sekularisme, demokrasi, HAM, feminisme, dan lainnya. Bahkan kelompok yang 26 penjelasan Charlez Kurzman, Budhy kemudian menyebutkan tiga madzhab Islam Liberal ketika berhadapan dengan syariat,

ini, menurut Budhy, sering berapologi bahwa liberalisme dalam Islam sudah ada lebih dulu daripada liberalisme Barat. Bukti yang sering dijadikan dalil oleh mereka adalah penghargaan atas pluralitas agama, demokrasi, HAM, dan masyarakat sipil sudah dipraktikkan oleh Nabi saw pada masyarakat Madinah waktu itu. Bukti lainnya adalah khutbah wada yang menurut mereka memuat pesan-pesan humanis (kemanusiaan) dan egaliter (persamaan). Selain itu ajaran syura yang menurut mereka merupakan implementasi dari demokrasi. Kedua, silent syariah (syariat yang diam mengenai masalah itu). Berbeda terbalik dengan kelompok liberal syariah, kelompok ini menilai bahwa syariat Islam tidak banyak bicara mengenai isu-isu kontemporer, oleh karenanya harus dipikirkan secara kreatif. Di antara tokohnya adalah Harun Nasution. Menurutnya, ayat al-Qur`an berjumlah 6000-an, tetapi yang mengatur kehidupan sosial sekitar 500-an. Banyak sekali persoalan kehidupan yang tidak disinggung al-Qur`an, termasuk persoalan-persoalan kontemporer seperti telah disebutkan di atas. Bahkan menurut kelompok ini, al-Qur`an justru banyak bertentangan dengan nilai-nilai liberal, seperti diwenangkannya pemilikan budak, penebusan tawanan perang, dan pemotongan organ tubuh pelaku kriminal. Ketiga, interpreted syariah (syariat yang perlu ditafsirkan ulang). Kelompok ini, menurut Budhy, adalah kelompok Islam Liberal yang paling banyak dijumpai di negara Muslim. Kelompok ini mengedepankan satu epistemologi yang menegaskan perlunya keragaman dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Sebab syariat tidak langsung turun dari Allah, tetapi selalu merupakan penafsiran manusia atas apa yang diturunkan oleh Allah swt. Dalam perspektif Barat, golongan ini paling dekat dengan sensibilitas liberalisme Barat. Dan usaha untuk mencari otentisitas Islam lebih terlihat kesungguhannya pada golongan ini. Dalam melakukan penafsiran, mereka menggunakan prinsip-prinsip etis al-Qur`an sebagai standar utamanya. Artinya, jika ada ayat-ayat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etis tersebut maka ayat-ayat itu harus dipahami berdasarkan prinsip etis itu atau kalau tidak bias, dinyatakan batal sama sekali. Prinsip-prinsip etis yang dimaksud adalah etika keadilan, kemaslahatan,

27

pembebasan, kebebasan, persaudaraan, perdamaian, dan etika kasih sayang. Sebagai contoh, jika al-Qur`an mengajarkan prinsip persaudaraan antara sesama anak Adam, maka ayat-ayat al-Qur`an yang membeda-bedakan antara pemeluk Islam dan non-Islam dinyatakan batal disebabkan bertentangan dengan prinsip etis persaudaraan tersebut. Dengan prinsip-prinsip etis tersebut maka kelompok Islam Liberal menetapkan agenda perjuangan sebagai berikut: (1) Melawan teokrasi/Negara berbasis agama. Menurut mereka negara bukan persoalan yang harus berdasarkan syariat yang abadi dan tidak bisa diubah. (2) Mendukung gagasan demokrasi, sebab demokrasi sudah sesuai dengan ajaran Islam. (3) Memperjuanngkan kesetaraan gender atau feminism. Di antara syariat yang akan mereka dekonstruksi (rusak) adalah poligami bagi kaum pria, hak kaum pria menceraikan istri, hak waris pria yang lebih besar, otoritas kesaksian hukum lebih besar pada pria, jilbab/hijab, pemisahan gender, perempuan tidak boleh memimpin. (4) Memperjuangkan hak-hak non muslim. Menurut mereka persoalan tentang keselamatan agama lain, hukum murtad, dikotomi darul-Islam dan darul-harb harus ditafsirkan ulang dengan standar HAM. Prinsip yang mereka pegang adalah, menjadi religius dewasa ini harus bersifat interreligius (lintas agama). (5) Memperjuangkan kebebasan berpikir dan kemajuan, sebab menurut mereka masyarakat yang terkekang adalah masyarakat yang mandek dan tidak mempunyai masa depan. Salah Memahami Ijtihad Abdullah Ahmad an-Naim, seorang tokoh pemikir Islam Liberal dari Sudan dan sering dijadikan rujukan oleh para pemikir liberal di Indonesia, mengemukakan gagasan bahwa untuk meliberalisasi syariat Islam, tidak bisa ditempuh dengan metode ijtihad. Sebab menurutnya, ijtihad tidak bisa diimplementasikan pada persoalan-persoalan yang telah disinggung oleh nash (la ijtihada fi mauridin-nash). Maka dari itu, usaha untuk memodernkan syariat Islam harus ditempuh dengan dekonstruksi; menggugurkan bangunan metodologi syariat dan aturan-aturan syariat itu sendiri. Metode yang tepat untuk digunakan

28

adalah dengan mengaplikasikan hermeneutika menggunakan standar utama HAM dan hukum-hukum internasional. Pengakuan jujur dari Abdullah Ahmad an-Naim di atas memberikan gambaran yang konkrit kepada kita letak kesesatan Islam Liberal, yaitu: Pertama, Islam Liberal telah gagal memahami esensi dari ijtihad (berpikir menggunakan ra`yu/akal) yang mereka asumsikan sebagai bentuk liberalisasi pemikiran Islam. Padahal sebagaimana diakui oleh an-Naim, ijtihad tidak bisa diberlakukan pada persoalan-persoalan yang telah dibahas tuntas oleh nash (teks wahyu [al-Qur`an atau hadits]). Izin dari Nabi saw kepada Muadz untuk ber-ijtihad ditujukan pada sebuah persoalan yang tidak disinggung dalam al-Qur`an dan sunnah. Dari sini tergambar juga kegagalan mereka memahami karakteristik utama ajaran Islam yang membagi persoalan kehidupan manusia itu pada ushul (ajaran-ajaran pokok yang tidak ada peran ijtihad) dan furu (ajaran-ajaran cabang yang ada peran ijtihad). Yang pertama kemudian diistilahkan dengan syariah, dan yang kedua fiqh. Syariah adalah persoalan agama yang tetap, jelas, tidak ada penafsiran lain selain yang ditafsirkan oleh Nabi saw dan konsekuensinya disepakati oleh semua umat Islam. Contohnya kewajiban shalat, haramnya riba, hukum waris, murtad, dan haram menikah dengan non-muslim. Sementara fiqh adalah persoalan agama yang masih terbuka untuk ditafsirkan, itupun tidak dengan akal yang bebas, melainkan menggunakan dalil-dalil wahyu yang bisa dipertanggungjawabkan. Contoh, persoalan isbal (melabuhkan pakaian melebihi dua mata kaki), niyat dalam wudlu, tarawih 11 atau 23 rakaat, adzan shubuh menggunakan as-shalatu khairun minan-naum, dan lain sebagainya. Jika yang masuk wilayah syariah ditafsirkan seenaknya atau liberal, maka bisa dipastikan itu adalah penafsiran yang salah fatal. Ibaratnya menafsirkan Pancasila dan UUD 45 sebagai landasan untuk komunisme. Walaupun bisa dipaksa-paksakan tetap saja penafsiran semacam itu mengubah atau bahkan menghancurkan Negara Indonesia itu sendiri yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 45, dan jelas bertentangan dengan komunisme. Merusak Konsep Wahyu 29

Kedua, penggunaan secara sadar hermeneutika untuk menafsirkan Islam dan ajarannya adalah sebuah kesalahan fatal metodologis. Sekadar untuk mengingatkan, hermeneutika adalah sebuah metodologi penafsiran yang berangkat dari keyakinan bahwa wahyu Allah swt itu tidak utuh dan tidak berlaku universal. Sebagian besar dari wahyu (al-Qur`an dan hadits) diproduksi oleh Nabi Muhammad saw disesuaikan dengan konteks zaman waktu itu, oleh karenanya hanya berlaku untuk zaman itu saja, dan tidak otomatis berlaku untuk zaman sekarang. Yang bisa diambil dari wahyu adalah prinsip-prinsip etisnya sebagaimana telah diuraikan oleh kelompok Islam Liberal di atasbukan bunyi ayat/hadits itu secara leterlek/zhahir. Pengunaan hermeneutika seperti ini dipastikan akan bertabrakan dengan konsep wahyu itu sendiri yang sifatnya pasti utuh dari Allah swt dan berlaku universal. Kesalahan memahami wahyu seperti ini berdampak pada kesalahan memahami syariah yang diasumsikan sebatas penafsiran ulama atas wahyu. Padahal yang namanya penafsiran bukan berarti berdasar pada akal bebas dan tidak mengenal aturan, melainkan tetap setia pada wahyu dan ada aturannya. Apa bantahannya jika pada faktanya ulama seragam memahami kewajiban shalat, haramnya riba, validnya hukum waris, qathi-nya aturan bagi yang murtad, dan haram menikah dengan non-muslim. Ini adalah bentuk yang jelas dari Islam sebagai agama wahyu. Islam akan dan harus selalu mendasarkan ajarannya pada wahyu yang sifatnya utuh dan universal, bukan pada akal bebas yang lepas dari patokan-patokan wahyu (hermeneutika) sebagaimana dikehendaki oleh liberalisme. Setiap penafsiran yang dikembangkan haruslah penafsiran yang memegang teguh konsep wahyu, bukan malah mendekonstruksinya seperti yang dilakukan hermeneutika. Usaha kelompok Islam Liberal untuk senantiasa mencari otentisitas ajaran agama dalam menjustifikasi liberalisme inipun tidak serta merta bisa dinilai sebagai sebuah kebenaran. Walaupun mereka mengklaim tidak abai dari dalil-dalil syariat, dan senantiasa menggunakan dalil-dalil syariat dalam membenarkan liberalismenya, tetap tidak dipandang sebagai sebuah istidlal (berdalil) yang benar jika konsep wahyunya tidak dianut dengan benar. Sebab implikasinya akan

30

mengabaikan prinsip mana yang qathi (syariah) dan mana yang zhanni (fiqh), dan selanjutnya ajaran-ajaran yang qathi akan dipukul rata sebagai zhanni. Misalnya, hukum waris dianggap sebagai zhanni dan boleh diubah sesuai standar kesetaraan jender. Dalil yang dipakainya pasti dalil-dalil tentang adanya kesetaraan jender dalam Islam, dengan mengabaikan dalil-dalil qathi yang memestikan ditaatinya hukum waris walau ada perbedaaan berdasarkan jender (jenis kelamin). Terhadap ayat-ayat yang qathi seperti itu pasti dinilai hanya berlaku dalam konteks zaman itu saja, sebab ayat-ayat tersebut dikonsep oleh Nabi saw sesuai dengan situasi bangsa Arab saat itu yang patriarkhis (mengunggulkan lelaki). Oleh karenanya tidak berlaku untuk zaman ini yang sudah mengarah pada kesetaraan jender. Demikianlah penafsiran khas liberalisme (hermeneutika) yang notabene liar. Padahal yang benar, ayat-ayat yang tegas mengatur tentang waris sifatnya qathi. Ayat-ayat seperti itu harus dipatuhi dengan samina wa athana bukan samina wa ashaina. Dan itulah menurut Allah karakteristik orang berilmu, orang yang betul-betul yakin bahwa Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana yang tidak mungkin salah dalam menetapkan hukum. Maka dari itu, keinginan kelompok Islam Liberal untuk diakui sebagai bentuk penafsiran lain terhadap ajaran Islam di samping penafsiran-penafsiran yang sudah ada, dengan sendirinya tidak bisa diterima jika metodologi yang digunakannya adalah hermeneutika. Kalaupun dalih yang dijadikan argumentasinya adalah fakta beragamnya penafsiran para ulama, tetap saja itu tidak bisa dijadikan alasan untuk memasukkan penafsiran yang salah. Dalam wacana demokrasi saja, sebagai perbandingan, tidak pernah sepi dari perbedaan dan bahkan pertentangan pendapat tentang apa dan bagaimana demokrasi itu. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa prinsip-prinsip kebenaran yang sama dari konsep demokrasi tidak ada, sehingga apapun yang menamakan demokrasi walaupun pada faktanya bukan demokrasi harus bisa diakui sebagai demokrasi. Tentu tidak bisa seperti itu. Mendewakan Humanisme

31

Ketiga, menjadikan HAM sebagai standar utama dalam kehidupan. Jadinya paham manusia dituhankan, sementara paham dari Tuhan (ajaran-ajaran wahyu) dimanusiakan. Padahal apa jaminannya bahwa HAM dan segala turunannya (liberalisme, sekularisme, pluralisme, demokrasi sekuler, civil society sekuler, feminisme) adalah nilai-nilai absolut yang tidak mungkin salah, sehingga wahyu harus mengekor kepada HAM, bukan sebaliknya HAM yang tunduk pada wahyu. Bukankah pemikiran manusia itu relatif? Pola pikir seperti itu sebenarnya sudah lama dikritik sebagai diabolisme (pemikiran gaya diabolos/iblis). Ketika Allah swt menyatakan bahwa Adam lebih mulia disebabkan ilmunya, Iblis tetap tidak menerima karena ia berdasar pada akal bahwa dirinyalah justru yang lebih mulia; ia diciptakan dari api sedang Adam dari tanah. Ini sekaligus menepis asumsi bahwa Adam mulia dibanding malaikat disebabkan akalnya. Yang benar adalah Adam lebih mulia daripada malaikat disebabkan ilmunya, itupun jika Islam Liberal betul-betul tulus merujukkannya pada dalil-dalil yang ada. Sebab yang mengandalkan akal dengan mengabaikan titah Allah yang tegas (wahyu), itu adalah Iblis. HAM dan paham-paham turunannya lahir dari peradaban Barat yang renaissance; terlahir kembali. Maksudnya, pemikiran-pemikiran bebas era Yunani klasik yang terlahir kembali di zaman modern. Jadi sebenarnya, paham-paham yang dilahirkan Barat di zaman modern bukanlah paham yang benar-benar modern (baru), melainkan paham-paham klasik yang dibangkitkan kembali. Contoh konkritnya adalah paham humanisme ini, yang menjadikan manusia sebagai standar kebenaran dan merupakan asas dari HAM, pertama kali dikemukakan Protagoras (490-420 SM). Uniknya, Barat menyadari bahwa renaissance mereka terjadi berkat konstribusi umat Islam di masa kejayaan peradabannya yang menerjemahkan dan mengkaji ulang filsafat-filsafat Yunani untuk kemudian dikembangkan berdasarkan worldview (pandangan hidup) Islam. Proses seperti ini disebut oleh al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara sebagai islamisasi. Ini berarti bahwa interaksi umat Islam dengan modernitas tidak hanya terjadi pada zaman sekarang saja, melainkan dari sejak abad-abad pertama kelahiran Islam. Satu hal saja mungkin yang membedakannya, umat Islam dahulu

32

ketika berinteraksi dengan modernitas menjadikan wahyu sebagai landasan utama dan menundukkan semua paham-paham yang lahir dari luar di bawah wahyu (baca: islamisasi), sementara umat Islam sekarang, yang liberal tentunya, menjadikan paham-paham yang dianggap modern itu sebagai landasan utama dan menundukkan wahyu di bawahnya (liberalisasi). Dalam sejarah perjalanannya memang banyak bermunculan kelompok-kelompok di intern umat Islam yang tidak melakukan islamisasi sebagaimana disinggung di atas. Sebut misalnya Mutazilah, Ikhwanus-Shafa, dari kalangan filosofnya ada Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi. Akan tetapi mereka semua telah dari sejak awal dinyatakan menyimpang dari kaidah-kaidah Islam dan tidak dinyatakan sebagai bagian dari pemikiran Islam. Para ulama hadits membantahnya lewat karya-karya kitab haditsnya, seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, dan kitab-kitab sunnah lainnya. Dalam Shahih al-Bukhari misalnya ada pembahasan tentang bad`il-khalq (awal mula penciptaan alam semesta/kosmologi yang merupakan tema sentral filsafat), alqadr (taqdir), khalq afalil-ibad (perbuatan manusia diciptakan; keduanya merupakan pembahasan tentang paham kebebasan manusia), akhbar al-ahad (kedudukan hadits-hadits ahad, yang dinilai oleh kaum liberal saat itu sebagai rujukan yang tidak valid), al-itisham bil-kitab was-sunnah (berpegang teguh pada kitab dan sunnah, dihadapkan pada arus pemikiran yang mengutamakan akal dengan mengenyampingkan wahyu), atau seperti dalam Sunan Abi Dawud yang khusus mencantumkan kitab as-sunnah yang kandungannya membantah ahlulahwa (kelompok yang senantiasa mengenyampingkan wahyu dengan mengutamakan akal). Terdapat juga Imam al-Ghazali yang menghantam para filosof dengan kitabnya, Tahafutul-Falasifah (kekacauan berpikir para filosof) dan Ibn Taimiyyah yang mengkritik kaum liberal dalam kitabnya Dar`u Taarudlil-Aql wan-Naql (menepis anggapan bertentangannya antara akal dan naql/wahyu). Langkah para ulama tersebut dalam membela Islam dari pemikirpemikir muslim yang menyimpang diikuti juga oleh para ulama lainnya secara mayoritas atau jumhur.

33

Jadi, kalau Islam Liberal hari ini berargumen bahwa Islam membenarkan liberalisme dengan mengambil sampel Mutazilah, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Farabi dan sekian filosof lainnya yang sudah dari sejak lama dinilai menyimpang, maka jelas saja itu adalah contoh yang salah. Ibaratnya menyatakan perbuatan lacur sebagai bagian dari ajaran Islam dengan mengambil sampel seorang wanita pelacur yang masih shalat. Walhasil, terbantahlah sudah argument mereka untuk membenarkan liberalisme.12 2.8 Kemunculan Jaringan Islam Liberal13 Islam adalah dien al-haq yang diwahyukan oleh Allah ta'ala kepada Rasul-Nya yang terakhir Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam: "Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (QS. 48: 28) Sebagai rahmat bagi semesta alam: "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."(QS 21:107) Dan sebagai satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah ta'ala: "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." (QS 3:19) Islam adalah agama yang utuh yang mempunyai akar, dimensi, sumber dan pokok-pokok ajarannya sendiri. Siapa yang konsisten dengannya maka dia termasuk Al-Jamaah atau Firqah Najiyah (kelompok yang selamat) dan yang keluar atau menyimpang darinya maka dia termasuk firqaih-firqah yang halikah (kelompok yang binasa). Diantara firqah halikah adalah firqah Liberaliyah. Liberaliyah adalah sebuah paham yang berkembang di Barat dan memiliki asumsi, teori dan pandangan hidup yang berbeda. Dalam tesisnya yang berjudul Pemikiran Politik Barat Ahmad Suhelani, MA menjelaskan prinsip-prinsip pemikiran ini. Pertama, prinsip kebebasan individual. Kedua, prinsip kontrak sosial. Ketiga, prinsip masyarakat pasar bebas. Keempat, meyakini eksistansi Pluralitas Sosio - Kultural dan Politik Masyarakat.12

Nashruddin Syarief, Membantah Argumen Islam untuk Liberalisme, (Jakarta: Medika Pratama, 2001), hal 22 13 Abu Hamzah Agus Hasan Bashari, Islam Liberal, http://kurni.smanda.sch.id/news/opini/publicopinion/216-islam-liberal.html, diunduh pada tanggal 9 Mei 2011

34

Islam dan Liberal adalah dua istilah yang antagonis, saling berhadaphadapan tidak mungkin bisa bertemu. Namun demikian ada sekelompok orang di Indonesia yang rela menamakan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Suatu penamaan yang pas dengan orang-orangnya atau pikiran-pikiran dan agendanya. Islam adalah pengakuan bahwa apa yang mereka suarakan adalah haq tetapi pada hakikatnya suara mereka itu adalah bathil karena liberal tidak sesuai dengan Islam yang diwahyukan dan yang disampaikan oleh Rasul Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, akan tetapi yang mereka suarakan adalah bidah yang ditawarkan oleh orang-orang yang ingkar kepada Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Asal-usul Jaringan Islam Liberal Islam liberal menurut Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampilah para ulama untuk mengadakan gerakan pemurnian, kembali kepada al-Quran dan sunnah. Pada saat ini muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 17031762), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syiah. Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar. Ide ini terus bergulir. Rifaah Rafi al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam. Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-18%) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris. Pada tahun 1877 ia membuka suatu kolese yang kemudian menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of Islam berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuja di Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Pelopor Agung Rasionalisme.

35

Di Mesir muncullah M. Abduh (1849-1905) yang banyak mengadopsi pemikiran mutazilah berusaha menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf. Lalu muncul Qasim Amin (1865-1908) kaki tangan Eropa dan pelopor emansipasi wanita, penulis buku Tahrir al-Marah. Lalu muncul Ali Abd. Raziq (1888-1966). Lalu yang mendobrak sistem khilafah, menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena Muhammad hanyalah pemimpin agama. Lalu diteruskan oleh Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang mengatatan bahwa yang dikehendaki oleh al-Quran hanyalah sistem demokrasi, tidak yang lain.(Charless: xxi,l8). Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis, ia menggagas tafsir al-Quran model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya Ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran Islam dengan keanekaragaman pemikiran diluar Islam. Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-Quran itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh al-Quran adalah ideal moralnya karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan. Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago) yang memelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wachid. Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun l970-an. Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama.

36

Lalu sekarang muncullah apa yang disebut JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mengusung ide-ide Nurcholis Madjid dan para pemikir-pemikir lain yang cocok dengan pikirannya. Demikian asal-ususl Islam Liberal menurut Hamilton Gibb, William Montgomery Watt, Chanless Kurzman dan lain-lain. Akan tetapi kalau kita urut maka pokok pikiran mereka sebenarnya lebih tua dari itu. Paham mereka yang rasionalis dalam beragama kembali pada guru besar kesesatan yaitu Iblis lanatullah alaih. karena itu JIL bisa diplesetkan dengan Jalan Iblis Laknat. Sedang paham sekuleris dalam bermasyarakat dan bernegara berakhir sanadnya pada masyarakat Eropa yang mendobrak tokoh-tokoh gereja yang melahirkan moto Render Unto The Caesar what The Caesars and to the God what the Gods (Serahkan apa yang menjadi hak Kaisar kepada Kaisar dan apa yang menjadi hak Tuhan kepada Tuhan). Karena itu ada yang mengatakan: Cak Nur cuma meminjam pendekatan Kristen yang membidani lahirnya peradaban barat. Sedangkan paham pluralisme yang mereka agungkan bersambung sanadnya kepada lbn Arabi (468-543 H) yang merekomendasikan keimanan Firaun dan mengunggulkannya atas nabi Musa 'alaihis salam. Misi Jaringan Islam Liberal Misi jaringan Liberal adalah untuk menghadang (tepatnya: menghancurkan) gerakan islam fundamentalis. Mereka menulis: sudah tentu, jika tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dominannya pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa menjadi dominan. Hal ini jika benar terjadi, akan mempunyai akibat buruk buat usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan antar kelompokkelompok agama yang ada. Sebut saja antara Islam dan Kristen. Pandangan-pandangan kegamaan yang terbuka (inklusif) plural, dan humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis. Yang dimaksud dengan Islam Fundamentalis yang menjadi lawan Jaringan Islam liberal adalah orang yang memiliki lima ciri-ciri, yaitu: Mereka yang digerakkan oleh kebencian yang mendalam terhadap Barat, 37

Mereka yang bertekad mengembalikan peradaban Islam masa lalu dengan membangkitkan kembali masa lalu itu Mereka yang bertujuan menerapkan syariat Islam Mereka yang mempropagandakan bahwa islam adalah agama dan negara, mereka menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun (petunjuk) untuk masa depan. Demikian yang dilontarkan mantan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon (Muhammad Imarah : 75)

Agenda dan Gagasan Jaringan Islam Liberal Dalam tulisan berjudul Empat Agenda islam Yang Membebaskan; Luthfi AsySyaukani, salah seorang penggagas JIL yang juga dosen di Universitas Paramadina Mulya memperkenalkan empat agenda Islam Liberal. Pertama, agenda politik. Menurutnya urusan negara adalah murni urusan dunia, sistem kerajaan dan parlementer (demokrasi) sama saja. Kedua, mengangkat kehidupan antara agama. Menurutnya perlu pencarian teologi pluralisme mengingat semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negeri-negeri Islam. Ketiga, emansipasi wanita dan Keempat kebebasan berpendapat (secara mutlak). Sementara dari sumber lain kita dapatkan empat agenda mereka adalah: Pentingnya konstekstualisasi ijtihad Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama permisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian Negara. Bahaya Jaringan Islam Liberal Mereka tidak menyuarakan Islam yang diridhai oleh Allah SWT, tetapi menyuarakan pemikiran-pemikiran yang diridhai oleh Iblis, Barat dan para Thaghut lainnya. Mereka lebih menyukai atribut-atribut fasik dari pada gelar-gelar keimanan karena itu mereka benci kepada kata-kata jihad, sunnah, salaf dan lainlainnya dan mereka rela menyebut Islamnya dengan Islam Liberal. Allah SWT

38

berfirman: "Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman". (QS. Al-Hujurat 11) Mereka beriman kepada sebagian kandungan al-Quran dan meragukan kemudian menolak sebagian yang lain, supaya penolakan mereka terkesan sopan dan ilmiyah mereka menciptakan jalan baru dalam menafsiri alQuran. Mereka menyebutnya dengan Tafsir Kontekstual, Tafsir Hermeneutik, Tafsir Kritis dan Tafsir Liberal. Sebagai contoh, Musthofa Mahmud dalam kitabnya al-Tafsir al-Ashri li al Quran menafsiri ayat dengan maka putuslah usaha mencuri mereka dengan memberi santunan dan mencukupi kebutuhannya. Dan tafsir seperti ini juga diikuti juga di Indonesia. Maka pantaslah mengapa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang paling saya khawatirkan atas kalian adalah orang munafik yang pandai bicara. Dia membantah dengan AlQuran." Orang-orang yang seperti inilah yang merusak agama ini. Mereka mengklaim diri mereka sebagai pembaharu Islam padahal merekalah perusak Islam, sunnah. Mereka menolak paradigma keilmuwan dan syarat-syarat ijtihad yang ada dalam Islam, karena mereka merasa rendah berhadapan dengan budaya barat, maka mereka melihat Islam dengan hati dan otak orang Barat. Mereka tidak mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya dan seluruh orang-orang mukmin. Bagi mereka pemahaman yang hanya mengandalkan pada ketentuan teks-teks normatif agama serta pada bentukbentuk Formalisme Sejarah Islam paling awal adalah kurang memadai dan agama ini akan menjadi agama yang historis dan eksklusif. Mereka lupa bahwa sikap seperti inilah yang diancam oleh Allah: "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orangorang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (QS. An-Nisaa 115). mereka mengajak kepada Al-Quran padahal merekalah yang mencampakkan Al-Quran. Mengapa demikian? Karena mereka bodoh terhadap

39

Mereka tidak memiliki ulama dan tidak percaya kepada ilmu ulama. Mereka lebih percaya kepada nafsunya sendiri, sebab mereka mengaku sebagai pembaharu bahkan super pembaharu yaitu neo modernis. Allah berfirman: Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi," mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka, "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman," mereka menjawab, "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman." Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (QS. Al-Baqarah 11-13). Kesamaan cita-cita mereka dengan cita-cita Amerika, yaitu menjadikan Turki sebagai model bagi seluruh negara Islam. Prof. Dr. John L. Esposito menegaskan bahwa Amerika tidak akan rela sebelum seluruh negaranegara Islam tampil seperti Turki. Mereka memecah belah umat Islam karena gagasan mereka adalah bidah dan setiap bidah pasti memecah belah. Mereka memiliki basis pendidikan yang banyak melahirkan pemikirpemikir liberal, memiliki media yang cukup dan jaringan internasional dan dana yang cukup. Mereka tidak memiliki manhaj yang jelas sehingga gagasannya terkesan asbun dan asal comot Lihat saja buku Charless Kurzman, Rasyid Ridha yang salafi (revivalis) itupun dimasukkan kedalam kelompok liberal, begitu pula Muhammad Nashir (tokoh Masyumi) dan Yusuf Qardhawi (tokoh Ihwan al-Muslimin). Bahayanya adalah mereka tidak bisa diam, padahal diam mereka adalab emas, memang begitu berat jihad menahan lisan. Tidak akan mampu melakukannya kecuali seorang yang mukmin. "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengucapkan yang baik atau hendaklah ia diam." (HR. Bukhari dan Muslim).

40

Ahlul batil selain menghimpun kekuatan untuk memusuhi ahlul haq. Allah ta'ala berfirman: "Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar." (QS. Al-Anfaal 73). Sementara itu Ustadz Hartono Ahmad Jaiz menyebut mereka berbahaya sebab mereka itu sederhana tidak memiliki landasan keilmuan yang kuat dan tidak memiliki aqidah yang mapan.

41

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya mengenai Liberalisme Islam dapat disimpulkan bahwa: 1. liberalisme merupakan paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan tata pemikiran yang landasannya adalah manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dan ini berarti bahwa liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis tentang manusia. 2. Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti bebas dari batasan (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia. 3. Liberalisasi agama perama kali muncul di Barat, dengan objeknya adalah agama Kristen dan Yahudi, yang ketika itu sedang mendominasi masyarakat Barat. Tetapi seiring dengan adanya hegemoni peradaban Barat di era modern ini, maka liberalisasi agama itu juga telah merambah kepada agama-agama hampir di seluruh dunia. 4. Liberalisme Islam atau Islam liberal adalah salah satu karakterisasi terhadap gerakan kebangkitan Islam yang dimulai sejak abad ke-19. Istilah ini merujuk kepada sikap umum para pembaru Muslim dalam menghadapi kondisi umat Islam, khususnya dalam bidang pemikiran. Istilah liberal sendiri baru digunakan belakangan. Paling tidak sejak tahun 1950-an, ketika

42

para sarjana di Barat mulai kebangkitan Islam.

banyak menulis tentang fenomena modern

5. Liberalisme dalam Islam, menurut kelompok Islam Progresif adalah keinginan menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang. Jembatannya adalah melakukan penafsiran-penafsiran ulang sehingga Islam menjadi agama yang hidup. Karena kita hidup dalam situasi yang dinamis dan selalu berubah, sehingga agar agama tetap relevan, menurut mereka, diperlukan sebuah cara pandang baru atau tafsir baru dalam melihat dan memahami. 6. Gaung dan gerakan pembaharuan di Mesir rupanya juga merambah ke Indonesia. Melalui KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya, pembaharuan Islam dimulai. 7. Ditinjau dari sudut kebahasaan penggandengan antara kata Islam dan Liberal itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan liberal artinya bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (al-Quran dan Hadis), Oleh karena itu, pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut Pemikiran Iblis dari pada Pemikiran Islam, karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis. 8. Liberalisme adalah sebuah paham yang berkembang di Barat dan memiliki asumsi, teori dan pandangan hidup yang berbeda. Prinsip pertama mereka adalah kebebasan individual, kontrak social, masyarakat pasar bebas, meyakini eksistansi Pluralitas Sosio - Kultural dan Politik Masyarakat. Dari itu muncullah sekelompok orang menamakan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Suatu penamaan yang pas dengan orang-orangnya atau pikiran-pikiran dan agendanya. Islam adalah pengakuan bahwa apa yang mereka suarakan adalah haq tetapi pada hakikatnya suara mereka itu adalah bathil karena liberal tidak sesuai dengan Islam yang diwahyukan dan yang disampaikan oleh Rasul Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, akan tetapi yang mereka suarakan adalah bidah yang ditawarkan oleh orang-orang yang ingkar kepada Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

43