17
IMPLIKASI HUKUM PENANDATANGANAN AKTA YANG TIDAK DILAKUKAN DI HADAPAN NOTARIS DALAM AKAD KREDIT DI PERBANKAN LEGAL IMPLICATION OF SIGNING A DEED WITHOUT THE PRESENCE OF A NOTARY IN BANK CREDIT AGREEMENT Alfajri, Nurfaidah Said, Oky Deviany Program Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi : Al fajri, SH Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 085241984146 Email: [email protected]

81ffbf991e4e6b6505b364118b970c24

Embed Size (px)

DESCRIPTION

notaris dan perseroan

Citation preview

  • IMPLIKASI HUKUM PENANDATANGANAN AKTA YANG TIDAK DILAKUKAN DI HADAPAN NOTARIS DALAM AKAD KREDIT DI

    PERBANKAN

    LEGAL IMPLICATION OF SIGNING A DEED WITHOUT THE PRESENCE OF A NOTARY IN BANK CREDIT AGREEMENT

    Alfajri, Nurfaidah Said, Oky Deviany

    Program Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin

    Alamat Korespondensi : Al fajri, SH Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 085241984146 Email: [email protected]

  • ABSTRAK

    Salah satu kewajiban notaris adalah menandatangani akta di hadapan para pihak dan saksi-saksi, namun, pada kenyataannya hal mana tidak dilakukan di hadapan notaris yang akan berakibat timbulnya akibat hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum penandatanganan akta jaminan fidusia yang tidak dilakukan di hadapan notaris dan mengetahui perlindungan hukum bagi para pihak. Penelitian ini menggunakan metode normatif empiris, yaitu hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan perundang-undangan dan bahan pustaka lainnya (in abstracto) serta penerapannya pada peristiwa hukum (in concreto). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, terdapat akta di mana dalam penandatanganannya tidak dilakukan di hadapan notaris yang disebabkan oleh kesibukan dari pihak bank dan debitor serta notaris itu sendiri di mana pengikatan terjadi secara bersamaan. Kemudian akta tersebut masih dapat dikatakan sebagai akta otentik, sepanjang tidak ada pihak yang mengklaim, sehingga hal tersebut membutuhkan tundakan hukumk tertentu untuk menjustufikasi, dan untuk membuktikannya denngan cara mengambil gambar dari pelaksanaan pembuatan akta melalui foto atau rekaman video. Kedua, perlindungan hukum terhadap para pihak akibat dari perbuatan melangar hukum yang dilakukan oleh notaris yaitu notaris harus mengganti biaya ganti rugi terhadap pihak yang menderita kerugian tersebut. Kesimpulan menunjukkan bahwa Notaris mengembalikan hak dan kedudukannya berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris.

    Kata Kunci : Perlindungan hukum, pelanggaran notaris, Fidusia

    ABSTRACT

    One of the obligations of a notary deed was signed in the presence of the parties and witnesses, however, in reality it would have done before a notary public that will result in the emergence of the legal consequences. This study aims to find out the legal implication of signing a deed of fiduciary guarantee without the presence of a notary; and the legal protection on the parties involved in the signing process. The research used empirical normative method. The objects of study are legal regulations and other library materials (in abstracto) as well as the application in legal events (in concreto). The results reveal that a deed signed without the presence of a notary (due to the tight-scheduled activities of the bank, finance institutions, and the notary) can still be considered authentic as long as there is no any claim. This requires certain legal actions to justify, and it can be proven by taking the pictures of the procces of making the deed with photos or video recordings. Furthermore, legal protection is given on the parties involved because of the unlawful acts commited by the notary. The notary must recompense the loss of the parties involved in the procces. The conclusion suggests that the notary restore the rights and position based UUJN and Notary Code of Ethics.

    Keywords : Protection laws, breach of notaries, Fiduciary

  • PENDAHULUAN

    Dalam banyak kasus mengenai penandatanganan akta notariil salah-satu kasus yang

    relevan dengan penelitian ini adalah mengenai penandatanganan minuta akta yang tidak

    ditandatangani di mana dalam kasus tersebut terdapat notaris yang tidak menandatangani

    minuta aktanya sampai notaris tersebut meninggal dunia.

    Mekanisme penandatanganan akta notariil tidak hanya terbatas pada persoalan bahwa

    akta tersebut harus ditandatangani namun, penandatanganan akta tersebut juga harus di

    hadapan notaris sebagaimana telah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN bahwa

    membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang

    saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris.

    Akta sendiri adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat

    peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan

    sengaja untuk pembuktian. Jadi, untuk dapat digolongkan dalam pengertian akta maka surat

    harus ditanda tangani. Keharusan untuk ditandatanganinya surat untuk dapat disebut sebagai

    akta berasal dari Pasal 1869 BW. Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk

    membedakan akta yang satu dengan akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain.

    Fungsi tanda tangan adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta.

    Akta yang dibuat oleh A dan B dapat diidentifisir dari tanda tangan yang dibubuhkan pada

    akta-akta tersebut. Oleh karena itu nama atau tanda tangan yang ditulis dengan huruf balok

    tidaklah cukup, karena dari tulisan huruf balok itu tidak tampak ciri-ciri atau sifat-sifat

    pembuat.Ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf l tersebut adalah kewajiban notaris sebagaimana

    tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) dan kata di hadapan adalah hadirnya seorang notaris secara

    fisik di hadapan para pihak dan saksi-saksi (penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN).

    Dalam hal penandatanganan tersebut di atas ditegaskan kembali dalam Pasal 44

    UUJN menentukan bahwa: (1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditanda tangani

    oleh setiap penghadap, saksi dan notaris kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat

    membubuhkan tanda tangannya dengan menyebutkan alasannya; (2) Alasan sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas dalam akta; (3) Akta sebagaimana dimaksud

    pada Pasal 43 ayat (3) ditanda tangani oleh penghadap, notaris dan saksi dan penerjemah; (4)

    Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan dan penadatanganan sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 43 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) dinyatakan secara tegas pada

    akhir akta.

    Membacakan akta sampai pada penandatanganan adalah satu kesatuan dari peresmian

    akta di mana sebelum akta tersebut di tandatangani terlebih dahulu akta tersebut dibacakan di

  • depan para pihak yang bersangkutan guna menyampaikan kebenaran isi akta dengan

    keinginan para pihak kemudian akta tersebut ditandatangani tentunya di hadapan para pihak

    dan dua (2) orang saksi.

    Ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf l tersebut adalah kewajiban notaris sebagaimana

    tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) dan kata di hadapan adalah hadirnya seorang notaris secara

    fisik di hadapan para pihak dan saksi-saksi (penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN).

    Membacakan akta sampai pada penandatanganan adalah satu kesatuan dari peresmian

    akta (verlijden) di mana sebelum akta tersebut di tandatangani terlebih dahulu akta tersebut

    dibacakan di depan para pihak yang bersangkutan guna menyampaikan kebenaran isi akta

    dengan keinginan para pihak kemudian akta tersebut ditandatangani, tentunya di hadapan

    para pihak dan dua (2) orang saksi.

    Membacakan akta sampai pada penandatanganan adalah satu kesatuan dari peresmian

    akta (verlijden), dalam hal ini yang menjadi fokus pembahasan adalah penandatanganan akta

    di mana penandatanganan tersebut juga harus dilakukan di hadapan notaris bahwa sebelum

    akta tersebut di tandatangani terlebih dahulu akta tersebut dibacakan di hadapan para pihak

    yang bersangkutan guna menyampaikan kebenaran isi akta dengan keinginan para pihak

    kemudian akta tersebut ditandatangani, tentunya di hadapan para pihak dan dua (2) orang

    saksi. Ketentuan Pasal tersebut memberikan kepastian kehadiran para pihak yang hadir di

    hadapan notaris adalah pihak yang juga bertandatangan dalam akta. Namun, Pada

    kenyataannya disinyalir bahwa penandatanganan akta tersebut tidak dilakukan di hadapan

    notaris oleh karena pengikatan yang terjadi secara bersamaan.

    Kebiasaan Penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris dilandasi

    dengan kebiasaan praktik pengikatan akta yang dilakukan di kantor notaris. Pengikatan mana

    jika terjadi secara bersamaan di tempat yang berbeda, maka notaris tidak akan mungkin

    berada dalam 1 (satu) tempat yang berbeda pada saat yang bersamaan. Terkait dengan hal

    tersebut, maka perlu untuk meninjau lebih jauh mengenai praktik penandatanganan akta yang

    tidak dilakukan di hadapan notaris dan tanggung jawab notaris yang tidak menandatangani

    akta yang dilakukan di hadapannya dalam hal ini adalah Akta Jaminan Fidusia.

    Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami

    tentang implikasi hukum terhadap penandatanganan Akta Jaminan Fidusia yang tidak

    dilakukan di hadapan notaris serta untuk mengetahui dan memahami tentang perlindungan

    hukum bagi para pihak.

  • METODE PENELITIAN

    Lokasi Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di kota Makassar dengan pertimbangan bahwa dengan

    pesatnya perkembangan ekonomi yang juga mendongkrak perkembangan dalam bidang

    perbankan di mana kebutuhan masyarakat dalamhal permodalan dan sebagainya

    membutuhkan bank sebagai peminjam modal, maka banyak timbul berbagai perjanjian kredit

    di perbankan yang diikuti dengan perjanijan pembebanan, yaitu dalam hal ini khusus Akta

    Jaminan Fidusia yang dibuat oleh notaris di mana dalam pembuatan akta tersebut terjadi

    dibeberapa bank dan Lembaga Pembiayaan secara bersamaan, sehingga memungkinkan

    seorang notaris tidak menandatangani akta tersebut di hadapan para pihak dan saksi-saksi.

    Sifat dan Tipe Penelitian

    Tipe penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif empiris, yaitu

    penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan perundang-undangan

    (in abstraco) serta penerapannya pada peristiwa hukum (in concreto).

    Sifat penelitian hukumnya adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek

    pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas. Bersifat deskriptif, bahwa

    dengan penelitian ini diharapkan akan diperoleh suatu gambaran yang bersifat manyeluruh

    dan sistematis. Dikatakan analitis, karena berdasarkan gambaran-gambaran dan fakta-fakta

    yang diperoleh melalui studi dokumen maka selanjutnya dilakukan analisis secara cermat

    untuk menjawab permasalahan dalam penelitian.

    Jenis dan Sumber Data

    Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 1) Data primer,

    yaitu data original yang sumbernya langsung ditemukan dalam Perundang-undangan yang

    berlaku dan berkaitan dengan permasalahan penelitian. 2) Data sekunder, yaitu data yang

    diperoleh dari kajian atau telaah dari berbagai buku-buku, dokumen-dokumen yang berkaitan

    dengan permasalahan penelitian.

    Populasi dan Sampel

    Populasi, populasi dalam penelitian ini adalah berjumlah 15 orang Notaris yang

    diketahui memiliki beberapa Akta Jaminan Fidusia berdasarkan keterangan dari Kepala Seksi

    Kantor Pendaftaran Fidusia dengan surat Keterangan Nomor : W15-HU.03.02-81, tertanggal

    24 Oktober 2012. Sampel, Sampel dalam penelitian ini adalah berjumlah 3 orang Notaris

    yang ditentukan secara purposive sampling yaitu penelitian ditujukan kepada Notaris di kota

    makassar yang diketahui oleh peneliti telah mengeluarkan beberapa Akta Jaminan Fidusia.

  • Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara studi dokumen untuk

    mendapatkan data sekunder melalui penelitian kepustakaan dan wawancara yaitu teknik

    pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara/interview secara langsung melalui

    kuesioner kepada responden, yaitu Notaris, MPD, Sekretaris Pendaftaran Fidusia dan Bank.

    Analisis Data

    Berdasarkan sifat penelitian deskriptif analitis, maka data yang diperoleh dari

    penelitian lapangan diuji kebenarannya kemudian dihubungkan dan dianalisa secara kualitatif

    dengan data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, sehingga dapat membahas

    permasalahan secara menyeluruh, sistematis dan objektif.

    HASIL

    Implikasi Hukum Penandatanganan Akta Pembebanan Yang Tidak Di Hadapan

    Notaris

    Kewajiban Notaris untuk membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri

    oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,

    saksi, dan Notaris diatur dalam Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN. Ketentuan ini

    dipertegas kembali dalam Pasal 44 UUJN yang menyatakan bahwa segera setelah akta

    dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali

    apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan

    alasannya. Ketentuan pembacaan dan penandatanganan tersebut adalah satu kesatuan dari

    peresmian akta (verlijden). Kemudian Kata di hadapan dalam penandatanganan akta tersebut

    adalah hadirnya seorang notaris dalam proses peresmian akta (verlidjen) atau face to face

    sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN.

    Dalam praktik penandatanganan akta di mana dalam penandatanganannya tidak

    dilakukan di hadapan para pihak dan saksi-saksi ketika pembuatan akta pembebanan tersebut

    terjadi secara bersamaan pada tempat yang berbeda. Hal ini di tegaskan oleh notaris Early

    bahwa dalam praktik notaris tidak mungkin berada dalam 2 (dua) tempat yang berbeda dalam

    waktu yang bersamaan.

    Hal tersebut di atas ditegaskan pula oleh notaris Syahrir Made Ali bahwa kondisi

    tersebut menyulitkan seorang notaris untuk tetap hadir di hadapan para pihak, namun sedapat

    mungkin penandatanganan tersebut harus dilakukan di hadapan para pihak dengan cara

    mengkondisikan waktu (mengatur schedule), hal tersebut juga kadang terjadi dikarenakan

    kesibukan dari para pihak, maka para pihak tidak dapat hadir dalam penandatanganan akta.

    Oleh karena kesibukan tersebut, maka terkadang notaris kembali ke kantor dan untuk proses

  • selanjutnya karyawan notaries lah yang datang menghadap ke bank untuk melanjutkan proses

    penandatanganan akta tersebut.

    Hal tersebut di atas tidak sesuai dari apa yang telah ditentukan dalam Kode Etik

    Notaris bahwa larangan atas mengirimkan minuta akta untuk ditandatangani sebagaimana

    yang tertuang dalam Pasal 4 huruf I Kode Etik Notaris.

    Menurut notaris Nugriyanti bahwa penghadap/pihak perbankan sebaiknya menolak

    jika yang datang bukan notarisnya atau untuk selanjutnya, penandatanganan dilakukan di

    kantor notaris yang bersangkutan.

    Berdasarkan pendapat tersebut di atas bahwa dalam kondisi tersebut bank juga harus

    konsisten terhadap penandatanganan akta karena akta tersebut merupakan akta miliknya yang

    akan memberikan perlindungan dalam menjamin kepastian hukum jika debitor wanprestasi.

    Kembali ditegaskan oleh Syahrir Made Ali selaku Majelis Pengawas Notaris

    (selanjutnya disebut MPD) dari unsur notaris bahwa terdapat kasus di mana seorang notaris

    maupun saksi yang belum menandatangani akta jaminan fidusia pada saat pemeriksaan. Pada

    saat pemeriksaan tersebut notaris langsung melengkapi kekurangan pada akta tersebut dalam

    hal ini tandatangan. Tindakan dari MPD mengenai pelanggaran notaris tersebut bahwa MPD

    memberikan teguran lisan dan jika hal tersebut masih dilanggar, maka akan ditindak lanjuti

    sesuai prosedur hukum yang berlaku.

    Seharusnya MPD dalam hal ini mempertanyakan proses peresmian akta (verlijden)

    yang baru akan ditandatangani pada saat pemeriksaan tersebut bahwa menurut penulis hal

    mana berpotensi pada penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan para pihak

    sebab minuata akta tersebut baru akan ditandatangani pada saat pemeriksaan. Pertanyaan

    tersebut terkait dengan tempat peresmian akta dan siapa yang berhadapan dengan para pihak

    dan saksi-saksi dan saksi-saksi.

    Menurut Herlien Budiono (2008) suatu Akta Notaris merupakan suatu keterangan

    notaris dalam kedudukannya sebagai pejabat umum yang menjamin. 1) kehadiran (para)

    penghadap, 2) pada tempat tertentu, 3) pada tanggal tertentu, 4) benar (para) penghadap

    memberikan keterangan sebagaimana tercantum dalam akta, atau benar terjadi keadaan

    sebagaimana disebutkan dalam akta, 5) benar ditandatangani oleh (para) penghadap untuk

    akta pihak (partij acte).

    Menurut penulis manfaat penandatanganan akta yang dilakukan di hadapan notaris

    adalah agar notaris menjamin bahwa pihak yang berhadapan di hadapannya adalah pihak

    yang juga menandatangani akta, dengan demikian pemalsuan identitas atau pemungkiran

    tandatangan dapat diminimalisir. Penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan

  • notaris akan berakibat turunnya nilai pembuktian akta otentik menjadi akta di bawah tangan

    sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (8) UUJN.

    Relevan dari pernyataan di atas notaris Early juga menegaskan bahwa dengan kondisi

    seperti itu dapat saja terjadi penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan para

    pihak, terkadang juga dikarenakan kesibukan dari pihak bank dalam hal ini yang bertanda

    tangan hanya 1 pejabat bank yang menangani semua pengikatan yang ada di makassar yaitu

    pihak Legal Drafting. Praktik penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris

    tersebut dilatarbelakangi oleh kebiasaan praktik penandatanganan akta dilakukan di bank atau

    di tempat mana para pihak atau klien berada.

    Menurut notaris Syahrir Made Ali bahwa hal yang sama juga pernah terjadi dalam

    dunia praktik kenotariatan oleh karena pimpinan cabang tidak memberikan delegasi secara

    tertulis kepada pihak legal bank untuk bertandatangan di hadapan notaris. Pada umumnya

    bank negeri belum memberikan pendelegasian tersebut khusunya bank swasta sudah hampir

    keseluruhan telah melakukan pendelegasian tersebut.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

    Terbatas (selanjutnya disebut UUPT), yang berwenang untuk mewakili perseroan baik di

    dalam maupun di luar pengadilan adalah Direksi. Direksi dalam hal ini adalah Pimpinan

    Cabang bank dan pihak Legal Officer dalam hal ini adalah Legal Drafting adalah karyawan

    Bank yang bertugas membuat perjanjian kredit. Kemudian ketentuan Pasal 103 UUPT

    menentukan bahwa Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan

    Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan

    perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Yang dimaksud

    kuasa di sini adalah kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam

    surat kuasa (Penjelasan Pasal 103 UUPT).

    Dasar hukum yang mengatur mengenai surat kuasa ini dapat kita temui dalam

    KUHPerdata dan harus diperhatikan bahwa penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan

    tindakan yang melampaui kuasa yang diberikan kepadanya (Pasal 1797 KUHPerdata).

    Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa telah menunjukkan in-konsistensi pihak bank

    dalam mematuhi hukum sementara pendelegasian (Sharing is delegation) pimpinan cabang

    ke pihak Legal wajib dilakukan karena pihak yang bertandatangan lah yang menjadi pihak

    Kreditur, yaitu Pimpinan Cabang bukan Legal, dengan adanya pendelegasian tersebut pihak

    Legal bank akan berwenang dalam hal pembuatan akta sampai pada proses peresmiannya dan

    tentunya pendelegasian tersebut juga disebutkan dalam komparisi akta bahwa benar pihak

    legal berwenang dalam menjalankan proses pembuatan sampai pada peresmian akta,

  • sebaliknya bahwa jika pihak Legal dalam proses pembuatan akta tersebut tanpa

    pendelegasian dari Pimpinan Cabang, maka yang berhadapan di hadapan notaris bukan pihak

    yang bertandatangan dalam akta dengan kata lain bahwa pihak legal tersebit bukan pihak

    yang ada dalam akta. Dengan demikian penandatanganan akta tersebut tidak dilakukan di

    hadapan para pihak.

    Tidak jarang kondisi persaingan tidak sehat juga terjadi di kalangan notaris, di mana

    seorang notaris dalam menentukan harga suatu akta sangat variatif, artinya bahwa antara

    notaris 1 (satu) dengan notaris yang lainnya sangat berbeda. Persaingan mana disebabkan

    oleh UUJN tidak mengatur ketentuan honor minimum melainkan hanya mengatur ketentuan

    honor maximum, maka notaris dengan bebas menentukan harga akta yang pada kenyataannya

    dijadikan sebagai bagian dari pelayanan. Hal mana tidak sesuai dengan Pasal 4 Huruf l Kode

    Etik Notaris, menentukan bahwa melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak

    langsung yang menjurus kearah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan

    notaris.

    Meskipun ketentuan honor minimum tidak diatur dalam UUJN, namun melalui

    keseragaman nilai nominal minimum suatu akta yang tentunya disepakati dari seluruh notaris

    di Indonesia sekiranya akan memberikan dampak yang positif dari praktik persaingan yang

    terjadi dalam dunia kenotariatan saat ini.

    Kedudukan notaris sebagai pejabat umum (openbaar Ambtenaar) merupakan suatu

    pejabat yang terhormat yang diberikan oleh Negara secara atributif melalui Undang-undang

    kepada seorang yang dipercayainya yang akan menjaga harkat dan martabatnya sebagai

    pejabat umum (openbaar Ambtenaar). Notaris menertibkan diri sesuai dengan fungsi,

    kewenangan dan kewajiban sebagaimana ditentukan di dalam UUJN dan Kode Etik Notaris.

    Seorang pejabat umum (openbaar Ambtenaar) diharapkan mampu melayani

    masyarakat dengan sebaik-baiknya atas kewenangan yang telah diamanahkan kepadanya,

    namun dalam hal pelayanan tersebut di samping mengingat aturan Perundang-undangan,

    notaris juga harus mengingat aturan mengenai etika bahwa notaris dalam menjalankan tugas-

    tugasnya harus mampu membedakan apa yang sah dan apa yang tidak sah; membedakan apa

    yang benar dan apa yang tidak benar. Hal ini sejalan dengan asas kepatutan di mana dalam

    asas tersebut menitik beratkan persoalan kesesuaian peraturan Perundang-undangan terhadap

    praktiknya atau dengan kata lain bahwa dalam melakukan perbuatan hukum harus sesuai

    dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Dalam hal pelayanan seorang notaris diharap memberikan pelayanan yang tidak

    bertentangan dengan suatu Perundang-undangan mana pun bahwa penandatanganan tidak

  • harus dilakukan di tempat kreditor dan debitor, namun pelayanan dilakukan dengan cara

    yang profesional, seperti mempercepat proses pembuatan akta dengan didukung oleh fasilitas

    yang memadai dan hal-hal lain yang dianggap perlu tanpa melanggar suatu Perundang-

    undangan dan notaris seharusnya menitik beratkan pada persoalan kualitas dan menjadi

    seorang notaris yang bertanggung jawab atas segala akta yang telah dibuatnya.

    Dalam hal pelayanan seorang notaris bahwa Seorang notaris diwajibkan memiliki

    sebuah kantor untuk memfasilitasi kinerja yang mengakomodir tugas dan kewajibannya

    sebagai pejabat umum yang profesional sesuai dengan UUJN, hal mana termuat dalam Pasal

    19 ayat (1) UUJN. Kemudian hal tersebut juga diatur dalam Pasal 3 ayat (13) Kode Etik

    Notaris, menentukan bahwa menjalankan jabatan notaris terutama dalam pembuatan,

    pembacaan dan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah.

    Sebagai pembanding dalam hal tersebut di atas, maka penulis mengutip salah satu

    artikel asing, yaitu sebagai berikut :

    The notary has also a duty to properly preserve the original deeds in his office for

    future consultation or issue of certified copies. The originals cannot leave his office unless he

    receives a Court order. The second main function assigned to a latin notary is meant to

    guarantee the achievement of the desired results.

    (Notaris juga memiliki kewajiban untuk melestarikan apa yang benar dari perbuatan

    aslinya di kantornya untuk konsultasi masa depan atau masalah salinan resmi. Sesungguhnya

    Notaris tidak bisa meninggalkan kantornya kecuali ia menerima perintah Pengadilan. Fungsi

    utama yang kedua ditugaskan untuk notaris latin dimaksudkan untuk menjamin tercapainya

    hasil yang diinginkan).

    Fokus pembahasan konteks tersebut di atas, bahwa pelaksanaan tugas dan kewajiban

    notaris di Negara-negara eropa dalam melayani masyarakatnya dilakukan di kantor notaris,

    hal mana secara jelas dinyatakan dalam artikel tersebut di atas bahwa seorang notaris

    dilarang meninggalkan kantor kecuali ada perintah dari pengadilan. Hal ini menegaskan

    bahwa di mana dalam proses pembuatan akta-akta dilakukan di kantor notaris dengan kata

    lain bahwa yang datang menghadap ke kantor notaris adalah klien bukan notaris di mana

    dalam kebiasaan praktek yang terjadi di Indonesia khususnya di kota Makassar bahwa notaris

    yang datang menghadap klien yaitu pihak kreditur dan tidak jarang pula notaris datang

    menghadap kepada debitur.

    Jika ditinjau dari aspek kebutuhan masyarakat akan akta otentik bahwa sekiranya

    masyarakatlah yang membutuhkan jasa seorang notaris di mana akta otentik sebagai alat

    bukti yang mengikat dan sempurna. Kebutuhan akan bukti yang mengikat dan sempurna

  • tersebut sangat dirasakan dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam

    perbuatan hukum seseorang maupun kelompok. Perbuatan hukum tersebut juga telah diatur

    dalam Undang-undang mengenai keharusan dalam pembuatannya secara otentik untuk

    memenuhi prosedur pendaftaran.

    Dalam hal mengantisipasi terhadap kondisi-kondisi tertentu dalam hal ini ketika

    pengikatan terjadi secara bersamaan di mana seorang notaris tidak mungkin berada dalam 2

    (dua) tempat yang berbeda. Maka, menurut penulis segala kegiatan notaris harus dilakukan

    di kantor notaris, dengan penandatanganan akta yang dilakukan di kantor notaris,

    penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan para pihak dan saksi-saksi akan

    terhindarkan di mana notaris secara kolektif menandatangani akta-akta tersebut di hadapan

    para pihak dan saksi-saksi terkecuali pada tahap pembacaan akta. Dengan demikian potensi

    terjadinya sengketa terhadap pemungkiran tandatangan dari pihak debitor yang disebabkan

    oleh penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris akan terhindarkan di

    mana notaris yang bersangkutan tidak menyaksikan penandatanganan akta tersebut. Akibat

    hukum terhadap akta bahwa akta tersebut akan kehilangan otentisitasnya atau terdegradasi

    menjadi akta di bawah tangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (8) UUJN.

    Menurut Sjaifurrachman dkk (2011) bahwa berlakunya degradasi kekuatan bukti akta

    notaris menjadi akta di bawah tangan pada umumnya sejak tetap (inkracht). Akta yang

    mempunyai kekuatan bukti di bawah tangan ini tetap sah dan mengikat kecuali adanya

    putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan batalnya

    akta tersebut atau tidak mengikatkan akta tersebut.

    UUJN dalam hal ini belum menjelaskan mengenai ketentuan terdegradasinya akta

    tersebut menjadi akta di bawah tangan merupakan akibat langsung atau tidak, maka terhadap

    degradasi kekuatan pembuktian akta otentik menjadi akta di bawah tangan tidak serta merta

    atau harus memlaui putusan yang inkracht.

    Berbicara mengenai putusan Hakim yang telah inkracht berarti telah terjadi sengketa

    yang diawali dengan gugatan para pihak, misalnya adanya pemungkiran tanda tangan oleh

    pihak debitor bahwa pihak debitor tersebut telah memungkiri tandatangan yang telah ia

    bubuhkan ke dalam akta tersebut. Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri bahwa

    tidak terdapat putusan inkracht terkait hal tersebut, maka hal mana akan menjadi antisipasif

    oleh karena hal tersebut sangat berpotensi terhadap pemungkiran tandatangan dan untuk lebih

    menguatkan proses pembuktian ketika debitor wanprestasi di mana notaris dalam hal ini

    menyaksikan penandataganan akta tersebut.

  • Secara prosedural terkait dalam hal pembuktian di mana pihak penggugat yang dalam

    hal ini pihak yang dibebani beban pembuktian akan menghadapi kesulitan untuk

    membuktikan hal tersebut memang benar telah ditandatangani di hadapan notaris atau

    memang benar bahwa pihak yang datang menghadap (tergugat) di hadapan notaris adalah

    pihak yang juga bertandatangan dalam akta, namun bukan berarti bahwa pembuktian terkait

    perkara tersebut sama sekali tidak dapat dibuktikan.

    Menurut Alvi Syahrin (2001), bahwa suatu alat bukti yang dipergunakan di

    pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya : 1) Diperkenankan oleh undang-

    undang untuk dijadikan alat bukti; 2) Reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya

    keabsahannya; 3) Necessity, yaitu alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk

    membuktikan suatu fakta; 4) Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi

    dengan alat bukti yang diajukan.

    Berdasarkan konteks tersebut di atas bahwa alat-alat bukti yang akan disertakan dalam

    gugatan adalah alat bukti tersebut harus diatur atau disebutkan dalam undang-undang sebagai

    alat bukti, keabsahan dan relevansi antara alat bukti dan peristiwa yang diperkarakan,

    kemudian alat bukti tambahan dalam hal ini seperti foto dan rekaman video.

    Untuk lebih menguatkan pembuktian pihak penggugat dapat menggunakan foto dan

    rekaman video sebagai alat bukti, hal ini relevan dengan unsur necessity di mana sepanjang

    alat bukti yang diajukan perlu untuk membenarkan suatu fakta, maka pengajuan alat bukti

    tersebut diterima dipersidangan.

    Alat bukti foto dan semacamnya belum diatur dalam KUHPerdata, namun telah diatur

    dalam UU ITE yang menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, menegaskan

    bahwa Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi

    tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange

    (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf,

    tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau

    dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

    Kemudian Pasal 1 angka 4, menegaskan bahwa Dokumen Elektronik adalah setiap

    Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam

    bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,

    ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi

    tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda,

    angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami

    oleh orang yang mampu memahaminya.

  • Oleh sebab penandatanganan akta dilakukan di kantor notaris, maka untuk melindungi

    perbuatan hukum pihak bank dan juga notaris itu sendiri dalam hal penandatanganan akta

    yang dilakukan di hadapan notaris bahwa hal mana harus didukung dengan fasilitas yang

    memadai seperti, perekam suara, CCTV, dan foto. Dengan demikian hal mana juga untuk

    menghindari potensi terjadinya sengketa dikemudian hari.

    PEMBAHASAN

    Penelitian ini menunjukkan inkonsistensi notaris dalam melaksanakan tugas dan

    tanggung jawabnya sebagai pejabat publik bahwa selain notaris tidak mematuhi aturan yang

    telah diamantakan oleh UUJN, notaris juga tidak mematuhi kode etik Notaris, di mana dari

    dari hasil pembahsan sebelumnya bahwa telah terjadi penandatanganan akta yang tidak

    dilakukan di hadapan para pihak dan saksi-saksi. hal mana tidak sesuai dengan Pasal 16 ayat

    (1) huruf l UUJN. Hal mana akan menimbulkan akibat hukum.

    Menurut Ahmad Ali (2008) bahwa klasifikasi akibat hukum ada 3 macam, yaitu

    sebagai berikut: 1) Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu kaidah

    hukum tertentu. Contohnya; Mencapai usia 21 tahun melahirkan keadaan hukum baru, yaitu

    dari tidak cakap untuk bertindak menjadi cakap untuk bertindak; Seorang dewasa yang

    ditaruh di bawah pengampuan karena gila akan melenyapkan kecakapannya untuk bertindak,

    setelah ditaruh di bawah kuratele; 2) Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau

    lenyapnya suatu hubungan hukum tertentu. Contonya; sejak pembeli barang telah membayar

    lunas harga barang dan penjual telah menyerahkan dengan tuntas barangnya, maka lenyaplah

    hubungan hukum jual beli di antara keduanya; 3) Akibat hukum berupa sanksi, baik sanksi

    pidana mapun sanksi di bidang hukum keperdataan. Contohnya; Dalam hukum pidana,

    dikenal mecam-macam sanksi yang diatur oleh Pasal 10 KUHP, yaitu: pidana mati, pidana

    penjara, pidana kurungan dan denda, serta pidana tambahan, seperti pencabutan hak-hak

    tertentu, perampasan barang-barang tertentu, ataupun pengumuman putusan hakim.

    Sedangkan dibidang hukum perdata, dikenal sanksi baik terhadap perbuatan melawan hukum

    maupun wanprestasi. Pada perbuatan melawan hukum, sanksinya adalah pemberian ganti rugi

    berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Sedangkan sanksi yang dapat dikenakan atas

    wanprestasi ada empat kemungkinan, yaitu: a) debitur diharuskan melaksanakan perjanjian;

    b) debitur diwajibkan memberi ganti rugi; c) debitur diharuskan melaksanakan perjanjian

    disertai dengan ganti rugi; d) dalam hal perjanjian timbal balik, perjanjian dibatalkan

    olehakim.

    Notaris yang tidak mematuhi atau tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan

    ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN, dalam hal ini adalah notaris yang tidak

  • menandatangani akta di hadapan para pihak dan saksi-saksi, maka akan terimplikasi

    timbulnya akibat hukum , yaitu sebagai berikut : 1) Akibat hukum terhadap notaris, adalah

    pemberhentian sementara dari jabatannya sebagai notaris karena telah melakukan

    pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan sebagaimana yang tertuang dalam

    Pasal 9 ayat (1) huruf d UUJN; 2) Akibat hukum terhadap akta adalah akta tersebut akan

    kehilangan otentisitasnya atau terdegradasi menjadi akta di bawah tangan sebagaimana

    tertuang dalam Pasal 16 ayat (8) UUJN, dengan demikian akta tersebut tidak dapat didaftar

    karena telah terdegradasi menjadi akta di bawah tangan karena pendaftaran AJF harus disertai

    dengan salinan Akta Notariil sebaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a PP 86/2000

    Tentang Tata Cara Pendaftaran dan Biaya Pembuatan AJF dimana dalam hal pendaftaran

    tersebut adalah wajib dilakukan sebagaimana tertuang dalam Ketentuan Pasal 11 ayat (1)

    UUJF.

    Mengenai ganti rugi diatur dalam Pasal 84 UUJN di mana Ketentuan Pasal tersebut

    menegaskan tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris yang mengakibatkan akta

    tersebut terdegradasi menjadi akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi

    hukum dapat menjadi alasan kepada para pihak yang menderita kerugian untuk penggantian

    biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris.

    Menurut Ahmadi Miru dkk (2008) Tanggung jawab untuk melakukan pembayaran

    ganti kerugian kepada pihak yang mengalami kerugian tersebut baru dapat dilakukan apabila

    orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum tersebut adalah orang yang mampu

    bertanggung jawab secara hukum (tidak ada alasan pemaaf). Secara teoritis, dikatakan bahwa

    tuntutan ganti kerugian berdasarkan alasan perbuatan melanggar hukum baru dapat dilakukan

    apabila memenuhi empat unsur di bawah, yaitu : 1) Ada perbuatan melanggar hukum; 2) Ada

    kerugian; 3) Ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melanggar hukum; 4)

    Ada kesalahan.

    Menurut jeremi Bentham (2006) bahwa ganti rugi merupakan suatu kebaikan yang

    diterima dengan memperhitungkan kerusakan yang diderita. Jika persoalannya terkait dengan

    suatu pelanggaran, ganti rugi adalah sesuatu yang diberikan kepada pihak yang menderita

    kerugian sepadan dengan memperhitungkan kerusakan yang dideritanya.

    Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kerugian yang dialami oleh para pihak akibat

    dari penandatanganan akta tersebut adalah termasuk kerugian harta benda yang berupa

    kerugian nyata terdiri atas biaya yang dikeluarkan meliputi honorarium notaris, serta biaya-

    biaya lain yang timbul sebagai pelaksanaan dari pembuatan akta tersebut.

  • Selanjutnya ketentuan tentang ganti kerugian dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang

    menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang

    lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian

    tersebut. Pasal ini merupakan pasal yang paling populer berkaitan dengan perbuatan

    melanggar hukum, yakni ketentuan yang mewajibkan orang yang melakukan perbuatan

    melanggar hukum untuk mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan akibat perbuatan

    melanggar hukum tersebut.

    Menurut Ridwan HR (2010) bahwa dalam hal pertanggungjawaban pejabat,

    Kranenburg dan Vegting mengemukakan dua teori yaitu: 1) Teori Fautes personalles, yaitu

    teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada pejabat

    yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian; 2) Teori Fautes de services, yaitu

    teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan pada instansi

    dari pejabat yang bersangkutan.

    Dari uraian kedua teori di atas jika dihubungkan dengan tindakan hukum Notaris yang

    tidak melakukan penandatanganan akta di hadapan para pihak dan saksi-saksi notaris dapat

    diminta pertanggungjwabannya berdasarkan teori fautes personalles karena notaris bertindak

    dalam kapasitasnya selaku pejabat umum.

    Menurut penulis bahwa tindakan hukum notaris dalam pembuatan akta adalah

    tindakan hukum yang dijalankan dalam kapasitasnya selaku pejabat umum dalam rangka

    menjalankan kewenangan jabatannya. Tindakan hukum tersebut dilakukan adalah dalam hal

    untuk dan atas nama jabatannya, sehingga tindakan hukum tersebut dikategorikan sebagai

    tindakan hukum jabatan. Jadi berdasarkan teori tersebut, maka yang bertanggungjawab atas

    kerugian yang diderita oleh para pihak adalah notaris yang melakukan kelalaian.

    Menurut Munir Fuady (2010) bahwa dalam ilmu hukum kesalahan dianggap ada

    apabila memenuhi salah satu diantara 3 (tiga) syarat sebagai berikut: 1) Ada unsur

    kesengajaan; atau 2) Ada unsur kelalaian (negligence, culpa); dan 3) Tidak ada alasan

    pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela

    diri, tidak waras dan lain-lain.

    Dari penjelasan di atas, maka unsur kesengajaan terjadi karena adanya niat dari si

    pelaku untuk berbuat sesuatu yang dapat mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pihak lain

    (korban). Sedangkan dalam unsur kelalaian, pelaku dalam berbuat sesuatu yang

    mengakibatkan timbulnya kerugian bagi korban adalah dilakukan tanpa didahului oleh

    adanya niat.

  • Jika ditinjau berdasarkan alasan mengapa notaris tidak melakukan penandatanganan

    akta di hadapan para pihak dan saksi-saksi sebagaimana yang telah dinyatakan oleh notaris

    tersebut sebelumnya adalah terjadi karena akibat adanya pengikatan yang terjadi secara

    bersamaan dan kesibukan dari para pihak. Dengan begitu, menurut penulis pada dasarnya

    notaris tidak memiliki niat untuk tidak menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksi-

    saksi, maka kesalahan seperti ini digolongkan sebagai kesalahan yang diakibatkan karena

    kelalaian dari notaris.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris disebabkan oleh

    kebiasaan penandatanganan akta yang dilakukan di bank dan di tempat para pihak di mana

    jika pengikatan terjadi secara bersamaan, maka notaris tidak dapat menghadiri ke 2 (dua)

    pengikatan tersebut di tempat yang berbeda.

    Hal lain bahwa terkadang pihak bank tidak dapat menghadiri pengikatan oleh sebab

    pihak bank dalam hal ini adalah pimpinan cabang tidak berada di tempat di mana pimpinan

    cabang tidak memberikan pendelegasian terhadap stafnya yaitu legal drafting.

    Agar terhindar dari masalah penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan

    para pihak dan saksi-saksi, maka langkah yang harus ditempuh, adalah menertibkan

    kebiasaan penandatanganan akta yang dilakukan di tempat para pihak, yaitu kreditor dan

    debitor dengan kata lain bahwa pelaksanaan penandatanganan akta tersebut dilakukan di

    kantor notaris .

    Penertiban tersebut terkait dengan notaris sebagai pejabat publik untuk

    mengembalikan fungsi seorang notaris yang seharusnya dalam menjaga harkat dan

    martabatnya sebagai seorang pejabat umum yang profesional di mana dalam menjalankan

    segala kegiatan dilakukan di kantornya.

    Yang terpenting adalah meskipun pengikatan tersebut dilakukan di bank dan di

    tempat debitor, notaris harus tetap menaati peraturan Perundang-undangan yang berlaku

    dalam hal ini bahwa notaris mengembalikan hak dan kedudukannya berdasarkan UUJN. Agar

    pengikatan yang terjadi sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam akta, maka sebaiknya ada

    keseragaman dalam menggunakan kata berhadapan yang tertuang dalam kepala akta di mana

    notaris dapat membuat akta di mana saja, asal masih dalam wilayah jabatannya.

    Hal lain adalah pengawasan yang dilakukan oleh pihak Majelis Pengawas Notaris

    sebaiknya dilakukan secara berkala dengan mendukung fasilitas yang mendukung untuk

    pelaksanaan tugas MPD.

  • Jadi, penertiban tersebut di atas diharap mampu menjawab kondisi pengikatan yang

    terjadi secara bersamaan dan mampu mengembangkan mengenai pengawasan yang baik,

    sehingga setiap penandatanganan akta selalu dilakukan di hadapan notaris dan otentisitas

    akta tetap terjaga dengan begitu para pihak akan mendapatkan kepastian dan perlindungan

    hukum sebagaimana mestinya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ghofur, Abdul Anshori, (2009). Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika. Yogyakarta;UII.

    Ali, Achmad. (2008). Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, hal 68.

    Miru, Ahmadi & sakka Pati. (2008). Hukum Perikatan. Penjelasan Makna Pasal 1233

    sampai 1456. Jakarta: Raja Grafindo Adjie, Habib. (2008). Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat

    Publik.Bandung : PT. Refika Aditama. Bodiono, Herlien. (2008). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan.

    Bandung: Citra Aditya Bakti. Bentham, Jeremi. (2006). Teori Perundang-Udangan Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum

    Perdata dan HukumPidana. Bandung. Nusamedia & Nuansa. HR, Ridwan, (2010), Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers. Satrio. J (2005). Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia. Pt. Citra Aditya Bakti :

    Bandung. Fuady, Munir, (2010). Perbuatan Melawan Hukum. Bandung, Citra Aditya Bhakti. Syahrin Alvi. (2001). Ketentuan pidana dalam undang-undang no. 32 tahun 2009 Tentang

    Perlindungan dan Pengelolaan Llingkungan Hidup. PT. soft Media. Sjaifurrachman, (2011). Aspek Pertanggung Jawaban Notaris dalam Pembuatan Akta. CV.

    Mandar Maju : Bandung. INTERNET

    http://www.asnnotary.org/?form=employeenotaryissues