53
BEDAH KEBUDAYAAN HAJAT SASIH PADA MASYARAKAT KAMPUNG NAGA Oleh: Yogi Hendra Saputra Sebagian daerah di Indonesia pada umumnya masih meninggalkan PR berupa sinkretisme antara satu kultur budaya suatu wilayah dan keyakinan pada agama sebelumnya. Sehingga dapat dilihat masih adanya komunitas masyarakat muslim yang dalam kehidupan sehari-hari menggunakan multi standar dalam mengatur kehidupan mereka. Standar itu biasanya tak lepas dari agama (ajaran Islam), adat-istiadat, maupun agama sebelum mereka memeluk Islam seperti Hindu dan Budha. Kondisi seperti ini dipelihara oleh mereka sebagai bentuk terbaik dari pengalaman hidup sehari-hari sehingga tak mudah untuk dipatahkan. Salah satunya adalah masyarakat Kampung Naga di Jawa Barat. Masyarakat yang berhasil mengisolasi diri dari budaya luar (meski tak sepenuhnya) ini sangat menarik untuk dikaji baik sebagai bahan pembuatan Peta Da'wah maupun sumbangsih terhadap sejarah kebudayaan Nusantara. Kata Kunci: Kebudayaan, masyarakat, adat, ritual, akulturasi, animisme, Tradisional, infiltrasi Pendahuluan Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. 1 Dengan kata lain, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan oleh manusia, karena 1 ? Djoko Widagdo, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta; Bumi Aksara, 2001, Cet. 6, hal. 20

9 peta kampung naga

Embed Size (px)

Citation preview

BEDAH KEBUDAYAAN HAJAT SASIH PADA MASYARAKAT KAMPUNG NAGA

Oleh: Yogi Hendra Saputra

Sebagian daerah di Indonesia pada umumnya masih meninggalkan PR berupa sinkretisme antara satu kultur budaya suatu wilayah dan keyakinan pada agama sebelumnya. Sehingga dapat dilihat masih adanya komunitas masyarakat muslim yang dalam kehidupan sehari-hari menggunakan multi standar dalam mengatur kehidupan mereka. Standar itu biasanya tak lepas dari agama (ajaran Islam), adat-istiadat, maupun agama sebelum mereka

memeluk Islam seperti Hindu dan Budha. Kondisi seperti ini dipelihara oleh mereka sebagai bentuk terbaik dari pengalaman hidup sehari-hari sehingga tak mudah untuk dipatahkan. Salah satunya adalah masyarakat Kampung

Naga di Jawa Barat. Masyarakat yang berhasil mengisolasi diri dari budaya luar (meski tak sepenuhnya) ini sangat menarik untuk dikaji baik sebagai bahan pembuatan Peta Da'wah maupun sumbangsih terhadap

sejarah kebudayaan Nusantara.

Kata Kunci: Kebudayaan, masyarakat, adat, ritual, akulturasi, animisme, Tradisional, infiltrasi

PendahuluanKebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan

hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.1 Dengan kata lain, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan oleh manusia, karena itu meliputi kebudayaan material dan non material. Kebudayaan tidak diwariskan secara generatid (biologis), melainkan hanya dengan cara belajar, selain itu kebudayaan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat maka kebudayaan sukar timbul.2

Sedangkan masyarakat dapat diartikan sebagai sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.3 Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi

1 ? Djoko Widagdo, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta; Bumi Aksara, 2001, Cet. 6, hal. 202 ?Ibid., hal. 21-223 ? ,Departemen Pendidikan dan KebudayaanKamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 635

terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. 4

Ada tiga jenis masyarakat yang kita kenal, yaitu masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaan, dan masyarakat adat. Masyarakat perkotaan sering disebut juga dengan urban community5, yaitu masyarakat yang lebih menekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang lebih menekankan aspek-aspek rasional.6 Masyarakat pedesaan hampir berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat perkotaan. Mereka lebih cenderung memiliki sifat gotong royong yang kental, memiliki pekerjaan yang hampir seragam (umumnya agraris), banyak menyandarkan hal-hal yang mereka anut kepada mistis (irasional), dan cenderung tertutup dan sukar ditembus pengaruh luar.7 Hal ini disebabkan kurangnya interaksi antara mereka dengan masyarakat luar.

Sedangkan masyarakat adat sebenarnya bisa dikatakan sebagai masyarakat pedesaan karena umumnya mereka menempati daerah-daerah terpencil atau desa-desa. Akan tetapi dalam masyarakat Indonesia tidak semua masyarakat pedesaan dinamakan atau menamakan diri mereka sebagai masyarakat adat. Sebagaimana ditetapkan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I yang diselenggarakan pada bulan Maret 1999 lalu, disepakati bahwa Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.8 Pada umumnya masyarakat adat menduduki dan mendiami wilayah yang sangat kaya mineral dan sumber daya alam lainnya.9

Masyarakat adat dikenal dalam dunia internasional dengan sebutan indigenous people. Mereka disebut indigenous karena akar turun-temurun kehidupan mereka menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan tanah dan wilayah yang mereka huni. Mereka disebut peoples dalam artian

4 ?Masyarakat, website: http://id.wikipedia.com, 23 Maret 20075 ? Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, Cet. 3, hal. 2286 ?Ibid., hal. 229-2307 ? Ibid, hal. 242-2468 ?Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat dan HAM, website: http://www.IRE.com/ 20 Juli 20079 ?Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, Terjemah Avuva Nababan, Yogyakarta: Elsam, 2006, Cet. I, hal. 1

bahwa mereka merupakan komunitas yang unik dengan eksistensi dan identitas mereka yang berkelanjutan secara turun-temurun, yang menghubungkan mereka dengan komunitas, suku atau bangsa dari sejarah masa lampaunya.10

Salah satu komunitas yang dapat dikategorikan masyarakat adat adalah Kampung Naga. Secara umum, Kampung Naga terletak di lembah yang sangat subur. Kampung ini dihuni oleh masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Batas wilayah Kampung Naga di sebelah Barat ialah hutan keramat (hal ini dikarenakan di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga), sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan disebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan11 dan hutan larangan.

Tidak ada data resmi mengenai riwayat pendidikan masyarakat Kampung Naga. Akan tetapi secara umum, masyarakat Kampung Naga hanya mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar (SD).12 Seluruh anggota masyarakat Kampung Naga merupakan penganut agama Islam namun ajaran-ajaran yang dianut masih dipengaruh budaya nenek moyang mereka. Dalam kepercayaan mereka dikenal Hajat Sasih, merupakan upacara ritual yang pelaksanaannya diselenggarakan secara tetap. Upacara tersebut berlangsung sebanyak enam kali dalam setahun, dengan waktu yang sudah ditetapkan dan tidak boleh diubah. Makalah ini akan mengupas budaya Hajat Sasih yang ada dalam masyarakat Kampung Naga dalam perspektif Islam.

Gambaran Masyarakat Kampung NagaWilayah Kampung Naga merupakan daerah perbukitan, permukaan

tanah di bagian barat merupakan kondisi tanah yang memiliki kontur lebih tinggi dibandingkan dengan permukaan tanah di bagian timur. Artinya, kondisi permukaan tanah yang memiliki kontur lebih miring ke arah timur. Hal demikian memungkinkan penghuninya lebih sehat karena pengaruh sinar ultraviolet di pagi hari yang memadai.13

10 ?Ibid., hal. 5-611 ?Sungai Ciwulan merupakan sungai yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut.12 ?Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 200713 ?Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, Bandung: PT. Kiblat Buku Utama, 2005, hal.19.

Dengan luas daerah yang tidak lebih dari 10,5 Ha.14, anggota masyarakat Kampung Naga yang tinggal di dalam perkampungan tidaklah banyak. Jumlah data resmi Kantor Kepala Desa Neglasari, anggota masyarakat Kampung Naga adalah sebanyak 320 orang.15 Terdiri dari 156 jiwa penduduk laki-laki dan 164 jiwa penduduk perempuan. Kampung Naga merupakan perkampungan kecil yang hanya terdiri dari satu Rukun Tetangga (RT), dengan membawahi 108 kepala keluarga.16

Tidak ada rujukan yang jelas mengenai asal-usul masyarakat Kampung Naga. Hal ini dikarenakan data-data sejarah mengenai asal-usul Kampung Naga musnah ketika perkampungan tersebut dibakar oleh DI/TII pada tahun 1956. Hanya saja dari cerita dan tulisan-tulisan, terdapat beberapa versi yang berbeda mengenainya. Diantaranya:

Pertama, masyarakat Kampung Naga merupakan sebagaian kecil dari penduduk kerajaan Pajajaran yang menganut agama Hindu. Mereka memilih mengungsi ke daerah pinggiran manakala Islam datang.17 Akan tetapi, lama-kelamaan mereka juga menjadi penganut agama Islam. Hanya saja ajaran-ajaran hindu masih sangat jelas dalam setiap ritual yang mereka adakan.

Kedua, masyarakat Kampung Naga merupakan keturunan dari kerajaan Galunggung masa Islam. Mereka adalah keturunan dari Sembah Dalem Eyang Singaparana, anak dari Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang merupakan Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan sejarah, runtuhnya kerajaan Galunggung di tangan Prabu Rajadipuntang terjadi pada tahun 1520M. Hal tersebut disebabkan karena mereka diserang oleh kerajaan Pajajaran di bawah pimpinan Prabu Surawisesa (1535-1543 M /dalam tulisan lain disebutkan bahwa masa berkuasa Prabu Surawisesa adalah sekitar tahun 1521-153518). Saat itu terjadi perebutan kekuasaan antara kerajaan Islam dan kerajaan Hindu yang sebelumnya berkuasa. Kerajaan Galunggung merupakan kerajaan yang telah memeluk agama Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran (Hindu) sebagai pusat.

14 ?Ibid., hal.16.15 ?A. Kurnia, Kepala Desa Neglasari, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 200716 ?Ketua RT yang ada di Kampung Naga hanya pelaksana teknis dari hasil-hasil kompromi antara pemangku adat dengan pemerintah setempat. Setiap rencana kegiatan di kampung atau kegiatan yang diturunkan dari desa, senantiasa dibawa terlebih dahulu ke musyawarah kampung yang diadakan di bale kampung. Musyawarah dipimpin langsung oleh Kuncen, sementara anggota musyawarah terdiri dari para sesepuh Kampung Naga sebagai penasehat dan narasumber bagi Kuncen. Lihat M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, Op. Cit., hal. 36-3717 ?Agus Widianto, Keunikan Hidup di Kampung Naga, website: http://www.amanah.or.id/ 23 Maret 200718 ?Pakuan Pajajaran, website: http://id.wikipedia.org/ 23 Maret 2007

Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Singaparana dibekali dengan ilmu kebodohan yang bisa membuat dirinya nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian).19

Ketiga, masyarakat Kampung Naga merupakan satu keturunan dari Sembah Dalem Eyang Singaparana. Kampung Naga pertama kali dibangun oleh Eyang Singaparana bersama enam saudaranya. Ketujuh bersaudara ini juga dikenal sebagai pemberontak dari kerajaan Mataram, yang desersi dalam tugas karena tidak berhasil merebut Batavia dari Belanda.20

Keempat, masyarakat Kampung Naga berasal dari kerajaan Galuh. Setelah kerajaan tersebut menganut agama Islam, maka diutuslah tiga utusan dari kalangan kerajaan untuk menyebarkan agama Islam ke daerah lainnya. Ketiga utusan tersebut mengembara ke tiga tatar (daerah) yang berbeda. Yang pertama menuju tatar kaler atau ke daerah utara, yang mereka sebut sebagai daerah Cirebon sekarang. Utusan yang pertama tersebut dibekal dengan watek kabeungharan (watak kekayaan) dengan jalan tatanen (bertani). Utusan yang kedua menuju tatar kulon (ke daerah Barat) yang mereka sebut sebagai Banten sekarang. Utusan kedua ini diwarisi dengan watek kawedukan, watek kapinteran (salah satunnya tidak mempan dengan senjata). Utusan yang ketiga menuju ke tatar tengah, yang menurut mereka adalah tempat dimana mereka berada sekarang. Utusan ketiga ini diwarisi watek kabodoan,watek kajujuran. Watak ini sesuai dengan ungkapan yang selalu hidup dalam kehidupan mereka. Adapun utusan yang ke tatar tengah menurut cerita mereka adalah Sembah Dalem Singaparana, yang menurunkan masyarakat Kampung Naga sekarang.21

Keseluruh data sejarah tersebut tidak dibenarkan ataupun tidak disalahkan oleh Kuncen22 Kampung Naga. Hal ini dikarenakan sudah tidak

19 ?Ahmad Gibson Al Busthomi, Islam Sunda Bersahaja di Kampung Naga, website: http://www.amanah.or.id/ 23 Maret 200720 ?Sisa Romantisme Pemberontak Mataram, website: http://www.sinarharapan.com, 23 Maret 200721 ?M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat, hal. 63-6522 ?Kuncen (dalam bahasa Sunda sama dengan pancen atau tugas) adalah kepala adat dalam masyarakat Kampung Naga. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kuncen adalah juru kunci (tempat-tempat keramat dan sebagainya) yang juga mengetahui riwayat tempat yang dijaganya. Seorang Kuncen sama artinya dengan orang yang mengemban tugas atau pancen. Namun, karena sebagian besar tugas Kuncen dipegang oleh kaum laki-laki, mereka biasa disebut pula sebagai Pakuncen. Dalam masyarakat Kampung Naga, Kuncen merupakan pemangku adat sekaligus pemimpin masyarakat. Ia memiliki wewenang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakatnya, baik yang berhubungan dengan adat, maupun dengan tugas-tugas dari pemerintahan setempat. Tugas lain yang dimiliki Kuncen adalah bertanggung jawab untuk menjaga, melaksanakan dan memimpin acara-acara adat.

ada lagi catatan sejarah yang resmi milik Kampung Naga. Satu hal yang dibenarkan olehnya adalah bahwa masyarakat Kampung Naga merupakan keturunan dari Sembah Dalem Eyang Singaparana.23

Seluk-Beluk Tradisi Hajat SasihTidak ada pengertian khusus mengenai Hajat Sasih yang dilaksanakan

di Kampung Naga. Akan tetapi jika dilihat secara bahasa, hajat (dalam Bahasa Sunda) berarti perayaan, dan sasih berarti bulan.24 Hajat Sasih merupakan salah satu perayaan dalam bentuk ritual khusus yang dilaksanakan selama dua bulan sekali oleh masyarakat Kampung Naga. Ritual ini adalah ritual terbesar dan tersakral yang mereka laksanakan dibandingkan ritual-ritual lainnya. Ritual ini dilaksanakan dengan waktu dan tatacara tertentu yang telah ditetapkan oleh leluhur mereka.25

Hajat Sasih merupakan titik kulminasi dari rasa tunduk dan patuh kepada leluhur mereka. Masyarakat Kampung Naga mengaku berasal dari cikal bakal atau nenek moyang yang sama, yaitu seorang tokoh yang dikenal dengan nama Sembah Dalem Eyang Singaparana. Tokoh inilah yang menurunkan tata kehidupan dan tata kelakuan yang sampai saat ini dianut dan dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat Kampung Naga atau disebut juga Seuweu Putu Naga.26

Hajat Sasih hanya boleh diikuti oleh kaum pria. Dengan dipimpin oleh Kuncen Kampung Naga, acara ini dimulai sejak pagi hari, tepatnya sejak pukul 09.00 WIB. dan berakhir menjelang shalat dzuhur.

1.Sejarah Pelaksanaan RitualAsal-usul atau sejarah masyarakat Kampung Naga khususnya ritual

Hajat Sasih sangat boleh jadi akan terkuak jika sejarah nenek moyang mereka yang tertulis diatas daun lontar dan salah satu piagamnya yang terbuat dari tembaga masih utuh. Lempeng yang terbuat dari tembaga sebenarnya bukan lempeng yang asli. Lempeng asli milik masyarakat

Kuncen merupakan orang terpilih yang ditentukan oleh sesepuh masyarakat Kampung Naga. Kuncen Kampung Naga diangkat berdasarkan keturunan dari Kuncen-kuncen sebelumnya. Masa tugas Kuncen adalah selama hayat masih dikandung badan (seumur hidup). Kecuali dengan beberapa alasan diantaranya sudah terlalu tua, atau tidak bisa menetap di Kampung Naga, sehingga secara otomatis tidak secara langsung memimpin disana. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 541, Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, Bandung, PT. Kiblat Buku Utama, 2005, hal.35, dan M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat, hal. 36 23 ?Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 200724 ?Maun, Punduh Adat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 200725 ? Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 200726 ?M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat, hal. 58.

Kampung Naga terbuat dari kuningan. Lempeng tersebut pada tahun 1922 dipinjam oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) dan tidak dikembalikan. Yang dikembalikan hanya duplikatnya yang terbuat dari tembaga.27

Benda-benda pusaka dan keramat yang merupakan tulisan dan gambaran sejarah dari leluhur dan asal usulnya pada tahun 1956 habis tidak tersisa karena terbakar. Kampung Naga dibumihaguskan oleh DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Pada saat itu, Tasikmalaya dan beberapa daerah lainnya di Priangan Timur pernah dijadikan basis DI/ TII di daerah Jawa Barat. Termasuk yang dibakar oleh DI/TII tersebut adalah Bumi Ageung. Rumah yang notabenenya dipakai sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka juga ikut musnah. Benda-benda pusaka yang saat ini masih ada hanyalah beberapa benda yang tidak dapat terbakar dan beberapa tulisan yang pada waktu Kampung Naga dibumihanguskan disimpan oleh pemangku adat sanaga. Oleh karena itulah sangat sukar mengungkap bagaimana sejarah asli Kampung Naga khususnya sejarah pelaksanaan ritual Hajat Sasih.28

Akan tetapi, secara garis besar ritual Hajat Sasih merupakan titah langsung dari Sembah Dalem Eyang Singaparana. Sembah Dalem menuliskan segala aturan mengenai ritual ini. Hal ini dimaksudkan agar anak cucu keturunannya bisa mengingat dan senantiasa melaksanakan ritual tersebut. Selain itu, tatacara pelaksanaan ritual dituliskan agar tidak terjadi pelanggaran atau penyelewengan ajaran adat yang diajarkan olehnya.

Tidak diketahui sejak kapan ritual ini dilaksanakan akan tetapi masyarakat Kampung Naga meyakini bahwa ritual ini telah berlaku selama ratusan tahun sejak meninggalnya Sembah Dalem Eyang Singaparana.29

2.Waktu Pelaksanaan RitualSelain mengatur tatacara pelaksanaan ritual, Sembah Dalem Eyang

Singaparana juga mengatur waktu-waktu khusus pelaksanaan ritual ini. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Kampung Naga dan Sanaga tidak sembarangan dalam melaksanakanya. Hajat Sasih merupakan upacara ritual yang agenda pelaksanaannya diselenggarakan secara tetap. Upacara tersebut berlangsung sebanyak enam kali dalam setahun, dengan waktu yang sudah ditetapkan dan tidak boleh diubah. Waktu-waktu tersebut antara lain:

Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27 atau 28.

27 ?Her Suganda, Kampung, hal. 3028 ?Ibid.29 ?Ibid.

Bulan Maulud (Rabi’ul Awwal) pada tanggal 12, 13, atau 14. Bulan Rewah (Sya’ban) pada tanggal 16, 17 atau 18. Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, atau 16. Bulan Rayagung (Dzulhijjah) pada tanggal 10, 11, atau 12.30

Dalam satu tahun, enam kali ritual dilaksanakan. Tiga hari dalam setiap bulan diatas dimaksudkan sebagai alternatif. Mereka dapat memilih berdasarkan waktu yang lebih memungkinkan untuk melaksakannya. Hajat Sasih tidak boleh dilaksanakan bersamaan dengan ritual Menyepi, pada setiap hari selasa, rabu dan sabtu. Oleh karena itu, disediakan alternatif sehingga masyarakat Kampung Naga melaksanakan salah satu ritual dengan tidak melanggar ritual adat yang lainnya.

Dalam kepercayaan masyarakat Kampung Naga, nyepi merupakan waktu yang tepat untuk melakukan introspeksi diri. Oleh sebab itu, pelaksanaanya tidak boleh terganggu oleh ritual-ritual lain. Hal ini berlaku bahkan untuk pelaksanaan upacara ritual yang secara tetap diselenggarakan, termasuk didalamnya ritual Hajat Sasih. Jika waktunya bersamaan dengan waktu melaksanakan ritual nyepi, maka pelaksanaan upacara ritual tersebut harus dimajukan atau dimundurkan agar tidak berbenturan.

Dengan melakukan ritual ini, masyarakat Kampung Naga berusaha mengembalikan dan memusatkan kekuatan-kekuatan yang hilang dalam dirinya karena jiwa mereka sudah tercemar oleh anasir buruk atau pengaruh luar. Dengan cara ini pula mereka berusaha mengeluarkan isi jiwanya yang kotor dan berusaha mengisinya dengan kekuatan alam semesta yang baik. 31

Berbeda dengan konsep nyepi yang dimiliki oleh kaum Hindu Bali, selama melakukan ritual nyepi, masyarakat Kampung Naga tetap melaksanakan rutinitas keseharian mereka termasuk bekerja. Selama menjalankan nyepi, mereka dilarang melakukan beberapa hal yang dianggap dapat mencemari niat. Salah satu dari pantangan tersebut adalah dilarang menceritakan sesuatu apapun yang berkenaan dengan adat istiadat mereka di waktu itu.

3.Tatacara dan Tahapan Ritual Hajat SasihSebagai tahap awal pelaksanaan ritual Hajat Sasih, secara

bergotong-royong masyarakat Kampung Naga membersihkan area perkampungan. Setiap pojok rumah atau belokan yang memungkinkan bertumpuknya sampah, dibuat dan dipasangkan tempat sampah yang terbuat dari bambu. Begitu pula di sepanjang perjalanan menuju perkampungan. Acara pembersihan kawasan perkampungan ini dilakukan sehari atau dua

30 ?Ibid., hal. 8331 ?Ibid., hal. 23

hari menjelang Hajat Sasih dilaksanakan. Selain sebagai bentuk kesadaran masyarakat Kampung Naga dalam menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal mereka, hal ini juga menjadi sebuah bentuk ketaatan mereka kepada aturan adat yang mengharuskan mereka menjaga lingkungan.

Secara garis besar, upacara ritual Hajat Sasih diawali dengan ritual ‘beberesih’ yang dilakukan dengan mandi bersama di Sungai Ciwulan, kemudian dilanjutkan dengan berziarah ke makam leluhur mereka. Selesai berziarah, acara diakhiri dengan melakukan do’a syukur bersama. Masyarakat Kampung Naga percaya bahwa yang akan mereka ziarahi merupakan makam leluhur mereka yaitu Sembah Dalem Eyang Singaparana. Makam tersebut terdapat di Hutan Keramat yang tidak bisa sembarangan dimasuki oleh siapapun, kecuali atas seizin Kuncen. Selain makam Sembah Dalem Eyang Singaparna, di Hutan tersebut masih terdapat dua makam lain yang dipercaya mereka sebagai makam dari pengawal setia Sembah Dalem Eyang Singaparana.

Untuk mengunjungi leluhur mereka (dengan melaksanakan Hajat Sasih), para peserta harus memenuhi beberapa ketentuan, diantaranya adalah:

Pertama, mendapatkan izin terlebih dahulu dari Kuncen sebagai pemangku adat di Kampung Naga (bagi masyarakat luar, yang bukan masyarakat Naga dan Sanaga). Keputusan boleh atau tidaknya mengikuti ritual ini ada di tangan Kuncen.

Kedua, ziarah hanya boleh dilakukan oleh laki-laki dewasa dan belum pernah melaksanakan Ibadah Haji. Dalam hal ini, masyarakat Kampung Naga memiliki pemahaman bahwa orang yang pernah melaksanakan Ibadah Haji telah melaksanakan ziarah yang lebih utama dari segala ziarah. Oleh karena itu, terlarang melaksanakan ziarah kepada sesuatu yang lebih rendah dari ziarah ke Tanah Suci.

Ketiga, fisik dan hati dari peserta ziarah haruslah bersih. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan ziarah, para peserta diharuskan beberesih terlebih dahulu dengan mandi di Sungai Ciwulan secara bersamaan.32

Adapun secara rinci tahapan dari pelaksanaan ritual Hajat Sasih antara lain:1. Beberesih

Beberesih artinya membersihkan diri dengan media mandi. Pengertian ini mengandung makna bukan hanya membersihkan jasmani (fisik) tetapi termasuk didalamnya juga membersihkan rohani (jiwa) dari berbagai anasir yang menempel dan mengotori tubuh dan jiwa peserta ritual. Proses

32 ?Ibid, hal. 84

kegiatannya ditandai dengan isyarat melalui bunyi kentongan atau kohkol di Masjid kampung.33

Ritual beberesih diawali oleh Kuncen yang mendahului turun ke Sungai Ciwulan. Tangannya menggenggam sebuku bambu berisi cairan leuleueur. Pada salah satu sisi bagian atas buku bambu tersebut terdapat lubang kecil, tempat memasukkan dan mengeluarkan cairan leuleueur.

Leuleueur secara harfiah berarti pelicin.34 Cairan leuleueur merupakan ramuan khusus yang terbuat dari akar pohon kapirit dan honje.35 Air ramuan tersebut kemudian dibagikan kepada para peserta beberesih sebagai pengganti sabun dan shampo. Jika masih tersisa, air ramuan tersebut kemudian dibasuhkan ke tubuh masing-masing lalu dibilas dengan cara berendam selama beberapa saat di Sungai Ciwulan.

Selesai beberesih, para peserta lalu berwudu dan kembali ke rumah masing-masing. Tubuh yang masih basah tidak boleh dikeringkan dengan handuk, akan tetapi harus dibiarkan mengering dengan sendirinya.2. Memakai pakaian adat

Dalam keadaan fisik dan jiwa yang sudah bersih, para peserta ritual kemudian menggunakan pakaian khas atau pakaian adat warga Kampung Naga yang juga bersih. Pakaian adat yang ada di Kampung Naga terdiri dari dua, yaitu pakaian adat yang dipakai sehari-hari dan pakaian adat yang khusus dipakai saat ada upacara ritual. Pakaian adat ini memiliki empat unsur yang dapat dibedakan secara jelas dibandingkan dengan masyarakat umumnya. Diantaranya adalah baju kampret (mirip jubah) berwarna putih atau hitam, totopong atau ikat kepala dari kain batik, sarung poleng (pelekat) atau calana komprang (mirip dengan celana kolor panjang), berwarna putih, biru atau hitam.

Bentuk pakaian yang dipakai ketika Hajat Sasih menyerupai jubah berlengan panjang. Jubah tersebut mirip dengan jubah yang dipakai oleh mayarakat Arab, hanya saja jubah Kampung Naga tidak memiliki kancing. Untuk merapatkannya, dalam jubah tersebut terdapat seutas tali dari kain. Sebagian besar warna pakaian tersebut adalah putih. Akan tetapi ada pula yang berwarna biru telur asin. Selain itu, mereka juga menggunakan tutup kepala yang disebut totopong, atau iket khas masyarakat Kampung Naga.

33 ?Ibid.34 ?Ibid., hal. 8535 ?Tidak ada penjelasan yang jelas mengenai pohon kapirit. Akan tetapi pohon honje dalam bahasa Indonseia disebut dengan pohon kecombrang. Kecombrang merupakan tumbuhan rumpun yang berakar rimpang (bercabang-cabang) dengan buah berbentuk bulat seperti nanas serta memiliki nama latin Nicola Hemispaerica (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 460)

Mereka juga memakai sarung poleng tanpa celana dalam, tanpa alas kaki dan tanpa perhiasan apapun terutama dari logam.

Setelah lengkap, mereka menuju Masjid36 dan menunggu Kuncen. Sebelum masuk Masjid, mereka mencuci kaki terlebih dahulu dan masuk kedalamnya sembari menganggukkan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal ini dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena Masjid merupakan tempat beribadah dan suci. Lalu masing-masing peserta mengambil sapu lidi (nantinya akan digunakan para peserta ritual untuk membersihkan makam) yang telah tersedia di masjid dan duduk sambil memegangnya.37 Untuk menjaga kesakralan, sebagian besar peserta berdiam diri tanpa berbicara. Namun jika dianggap perlu, mereka berbicara dengan sangat perlahan.

Berbeda dengan Kuncen, Lebe38 dan Punduh adat39. Selesai melakukan beberesih dan memakai pakaian adat, mereka tidak pergi ke Masjid melainkan ke Bumi Ageung40. Kuncen amitan (minta restu) kepada penghuni Bumi Ageung. Disana mereka menyiapkan lamareun (sesajen yang telah diberi mantra) dan parupuyan (tempat membakar kemenyan) untuk dibawa ke makam. Lamareun terdiri atas kukus (dupa, kemenyan),

36 ?Masjid di Kampung Naga tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat ibadah atau tempat menuntut ilmu agama. Lebih dari itu, fungsi Masjid Kampung Naga juga sebagai tempat awal dan akhir dari pelaksanaan ritual Hajat Sasih. Jadi, selain sebagai fungsi tempat ibadah, masjid juga memiliki fungsi lain yaitu tempat pelaksanaan ritual adat. Wawancara dengan Danudin, Ketua DKM Masjid Kampung Naga, Tasikmalaya, 30 Juli 200737 ?Upacara Adat di Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.org/ 23 Maret 200738 ?Lebe atau amil adalah orang yang bertugas untuk mengurus orang yang sudah meninggal. Dia bertanggung jawab untuk mengurus mulai dari awal sampai akhir yaitu penguburan dan acara tahlilan. Selain itu, lebe juga bertugas menjadi pemimpin do’a dalam setiap acara ritual di Kampung Naga. Hasil wawancara dengan Maun, Punduh Adat Kampung Naga, Tasikmalaya, 30 Juli 2007 39 ?Punduh adat di Kampung Naga bertugas untuk ngurus laku meres gawe. Ngurus laku berarti mengurus dan memperhatikan perilaku masyarakat. Sedangkan meres gawe berarti bertanggung jawab memimpin pekerjaan bersama yang dilakukan masyarakat. Misalkan membangun rumah, memperbaiki mesjid, bale dan sebagainya. Selain itu tugas punduh adat adalah menjadi penasehat, baik kepada Kuncen maupun masyarakat. Punduh adat mempunyai hak untuk memberi masukan atau nasehat kepada Kuncen dalam mengambi keputusan. Bagi masyarakat punduh adat juga mempunyai wewenang untuk menasehati atau bahkan menegur masyarakat yang melanggar adat. Ibid.40 ?Bumi Ageung (rumah besar), mempunyai ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan perumahan warga, akan tetapi memiliki fungsi dan arti yang sangat besar. Bangunan ini memiliki sifat sakral, karena dijadikan tempat penyimpanan benda-benda pusaka dan dijadikan tempat tinggal tokoh yang paling tua usianya diantara warga Kampung Naga lainnya, yang dianggap keturunan paling dekat leluhur mereka. Rumah sakral ini terletak pada teras kedua dari bawah. Bangunan ini sangat sunyi dan berpagar tinggi terbuat dari bambu dan dirangkap dengan pagar hidup dari hanjuang. Lihat H. M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat., hal. 28

daun sirih, buah pinang, kapur, gambir, bako tampang (tembakau), dan daun saga atau daun cae.41

Setelah semua siap, mereka kemudian keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parupuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam Masjid keluar dan mengikuti Kuncen, Lebe dan Punduh satu persatu. Mereka berjalan rapi secara beriringan sambil membawa sapu lidi.

Sesampainya di pintu gerbang makam (yang ditandai oleh batu besar), masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Sembah Dalem Eyang Singaparana.42

3. “Unjuk-unjuk” dan membersihkan makamSetibanya di gerbang makam, selain Kuncen tidak ada yang masuk

kedalamnya. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parupuyan kepada Kuncen, mereka lalu keluar dan tinggal bersama para peserta ritual yang lain. Setelah itu, Kuncen lalu membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin) kepada Sembah Dalem Eyang Singaparna. Di depan makam, dengan suara yang halus, Kuncen melakukan unjuk-unjuk, memberitahu bahwa Seuweu-siwi Naga (anak cucu keturunan Kampung Naga) telah berkumpul dan menyampaikan maksud serta tujuannya menyelenggarakan ritual Hajat Sasih.43 Unjuk-unjuk dilakukan Kuncen sambil menghadap ke sebelah barat, ke arah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Selain menyampaikan niat ziarah, Kuncen juga menyampaikan sembah hormat dan permohonan maaf jika seandainya terdapat adat istiadat yang terlupakan atau sudah dilanggar.

Selesai melakukan unjuk-unjuk, selanjutnya Kuncen mempersilahkan para peserta ritual untuk mulai membersihkan makam dan kawasan sekitarnya dengan menggunakan sapu lidi yang dibawa masing-masing peserta. Bukan hanya sampah kering dedaunan yang jatuh, rumput-rumput liar yang tumbuh bebas di kawasan makam juga ikut dibersihkan.

Selesai membersihkan makam, Kuncen dan diikuti para peserta kemudian duduk bersila diatas tanah mengelilingi makam. Secara bergiliran, mereka menyampaikan do’a dan niat mereka masing-masing. Do’a disampaikan dalam hati masing-masing untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, berkah serta maksud dan kehendak masing-masing peserta.

41 ?Ibid., hal. 6042 ?Ibid.43 ?Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007

Setelah para peserta selesai berdo’a dan menyampaikan niat masing-masing, Kuncen lalu mempersilahkan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an dan diakhiri dengan do’a bersama.

Selesai berdo’a, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan Kuncen. Mereka menghampiri Kuncen dengan cara berjalan ngengsod atau ngagesor (yakni menggunakan kekuatan tangan sebagai penyangga sebagai pengganti kekuatan kaki untuk bergerak). Setelah bersalaman para peserta keluar dari kawasan makam, diikuti oleh Punduh, Lebe dan terakhir Kuncen. Mereka berjalan rapi dan beriringan kembali ke perkampungan. Parupuyan dan sapu lidi disimpan di para (langit-langit) Masjid. Sebelum disimpan, sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di Sungai Ciwulan. Sementara lamareun disimpan di Bumi Ageung.4. Membersihkan Tempat Shalat Pertama

Setelah sebagian anggota masyarakat yang melaksanakan ritual Hajat Sasih selesai berdo’a, secara berangsur mereka menuruni bukit dan kembali ke perkampungan. Mereka tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, akan tetapi mereka langsung menuju sebuah tempat berpagar di kawasan perumahan. Tempat ini diyakini oleh masyarakat Kampung Naga merupakan tempat dimana pertama kali shalat dilaksanakan.44 Ritual di tempat ini tidak dipimpin langsung oleh Kuncen. Hal ini dikarenakan Kuncen masih melaksanakan ritual di makam keramat. Yang memimpin ritual disini adalah wakil yang dipercaya Kuncen.

Karena pagar tinggi yang mengelilingi tempat tersebut tidak memiliki pintu, cara masuk satu-satunya adalah dengan menggunakan tangga. Sikap tenang dan tidak gaduh masih terjaga di tempat ini. Sesampainya di depan batu, perwakilan Kuncen kembali melakukan unjuk-unjuk. Selesai melakukannya, barulah acara pembersihan tempat tersebut dimulai. Yang bisa masuk ke tempat tersebut hanya sebanyak empat atau lima orang. Mereka membersihkan bagian dalam tempat tersebut. Sementara masyarakat lain yang tidak masuk, mereka membersihkan bagian luar baik dari ranting-ranting pohon yang telah kering dan patah, daun-daun kering maupun rumput-rumput kecil yang mulai bertumbuhan.

Selesai membersihkan tempat tersebut, semua orang yang masuk kembali keluar melalui tangga yang telah disiapkan. Terakhir, wakil Kuncen kembali melakukan unjuk-unjuk dan berdo’a. Selesai itu, barulah dia keluar.

Karena tidak semua peserta ritual mengikuti ritual ini, mereka yang ikut membersihkan tempat tersebut lalu menuju sungai Ciwulan dan

44 ? Rismana, Ketua RT Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007

membersihkan sapu lidi yang mereka bawa disana. Barulah mereka menuju Masjid dan menunggu kehadiran Kuncen disana.5. Ritual akhir

Setelah selesai melaksanakan shalat dzuhur berjama’ah, para wanita Kampung Naga membawa nasi tumpeng beserta lauk pauknya ke Masjid untuk kemudian dido’akan oleh Kuncen dalam prosesi Hajat Sasih selanjutnya. Prosesi ini diawali dengan kedatangan wanita patunggon45. Wanita patunggon adalah wanita yang bertugas menjadi penunggu Bumi Ageung. Mereka berpakaian seperti para penari Bali, separuh tubuhnya mulai dari bagian atas dada dibalut kain. Kedua wanita tersebut mengantarkan air yang tersimpan di dalam kendi. Mereka bergerak dengan cara ngengsod atau ngagesor menuju ke arah Kuncen.

Setibanya dihadapan Kuncen dan Sesepuh masyarakat Kampung Naga, wanita patunggon menyampaikan sembah. Mereka pamit lalu kembali ke tempat semula dengan cara yang sama, seusai melakukan unjuk-unjuk kepada Kuncen.46 Setelah kedua wanita tersebut keluar, barulah Kuncen berkumur-kumur dengan air kendi yang dibawa kedua wanita tadi. Setelah itu Kuncen membakar kemenyan, lalu ia mengucapkan ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya Lebe membacakan do’anya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan do’a diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan surat Al Fatihah. 6. Murak tumpeng

Suasana khidmat yang menyelimuti semua peserta di dalam Masjid berlangsung untuk beberapa saat. Tetapi diluar, puluhan wanita telah bersiap menunggu upacara tersebut usai. Mereka menunggu boboko (tempat menyimpan nasi yang terbuat dari bambu) yang telah mereka simpan di dalam Masjid. Boboko tersebut berisi tumpeng (nasi kuning) beserta lauk pauknya yang beragam tergantung selera dan kemampuan masing-masing keluarga. Ketika pembacaan do’a selesai, matahari telah tergelincir dari puncaknya. Boboko berisi nasi tumpeng dan lauk pauknya segera dibagikan kepada pemiliknya masing-masing. Setiap perempuan mengambilnya dengan tertib dan teratur, lalu membawanya pulang. Nasi tumpeng tersebut kemudian dijadikan santapan makan siang bersama seisi rumah. Mereka menyebutnya murak tumpeng. Berakhirlah runtutan upacara ritual Hajat Sasih.

45 ?Patunggon Bumi Ageung merupakan wanita paruh baya yang menjadi penunggu Bumi Ageung. Wanita patunggon haruslah merupakan wanita yang sudah menapouse. Ia bertugas menjadi penjaga dan pemelihara Bumi Ageung. 46 ?Her Suganda, Kampung, hal. 88

Pandangan Masyarakat Mengenai Hajat SasihSecara khusus, Hajat Sasih dipahami masyarakat Kampung Naga

sebagai bentuk permohonan berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, serta mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang telah diberikanNya kepada mereka.47 Selain itu, ritual ini juga dilaksanakan sebagai ritual penyambut dan peraya hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi Muhammad Saw, Haji dan sebagainya.48 Oleh karena itu ritual ini sampai saat ini tidak pernah terputus atau ditinggalkan oleh masyarakat Kampung Naga dan Sanaga.

Sebagai ritual yang dilaksanakan setiap dua bulan sekali, Hajat Sasih bagi masyarakat Kampung Naga merupakan hal yang telah menjadi sebagian rutinitas. Dalam segi keyakinan, sebagian masyarakat beranggapan bahwa Hajat Sasih hanya merupakan salah satu bentuk ungkapan rasa syukur dan permohonan berkah serta penghormatan yang mendalam kepada leluhur mereka yaitu Sembah Dalem Eyang Singaparana.49 Sebagian yang lainnya menganggap bahwa ritual Hajat Sasih merupakan kewajiban yang diembankan kepada masyarakat Kampung Naga untuk selalu dijaga, dipelihara dan dilaksanakan. Jika hal tersebut tidak dilaksanakan maka langsung atau tidak langsung pasti akan ada akibat menanti para pelanggarnya.50

Secara rinci, masyarakat Kampung Naga memahami tradisi ritual Hajat Sasih sebagai berikut:1. Penyambut Hari-hari besar

Hajat Sasih dalam kepercayaan masyarakat Kampung Naga sangatlah agung. Mereka menganggap bahwa ritual ini setara dengan hari-hari besar Islam seperti Idul fitri dan Idul adha, Muharram, Maulid Nabi, dan lainnya.51 2. Ungkapan rasa syukur

Selain sebagai penyambut hari-hari besar dalam Islam, Hajat Sasih dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga juga merupakan bentuk ungkapan rasa syukur mereka kepada Tuhan.52 Sebagai pemeluk Islam, ungkapan rasa syukur ini terutama sekali disampaikan oleh mereka kepada Allah Subhanahu Wata'ala seperti tercermin dalam do’a-doa yang mereka

47 ? Upacara Adat di Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.org/ 23 Maret 200748 ?Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 200749 ?M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat, hal. 5850 ?Danudin, Pengurus Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 200751 ?Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.org/ 23 Maret 200752 ?Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007

sampaikan, baik oleh Kuncen maupun amil. Jadi, syukuran dilakukan bukan hanya sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur mereka kepada leluhurnya karena Hajat Sasih sudah berlangsung dengan lancar, aman dan damai. 53

Do’a-do’a yang mereka panjatkan kepada Tuhan, merupakan do’a permohonan keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat Kampung Naga dan sanaga serta daerah tempat tinggal mereka. Manusia tidaklah memiliki kekuatan apapun, kecuali dengan kehendak-Nya. Mereka memiliki ungkapan ‘Jelema mah teu daya teu upaya. Usik malik oge kersaning nu Maha Kawasa’ (Manusia tidaklah memiliki kekuatan apapun. Bergerak dan hidup juga merupakan kehendak dari Tuhan).54

3. Perantara Do’a dan Permohonan BerkahSecara rinci, do’a-do’a yang dipanjatkan dalam ritual Hajat Sasih

tidak penulis peroleh di lapangan, hal ini dikarenakan tidak semua anggota masyarakat mengetahuinya. Selain itu, Kuncen yang mempunyai hak untuk menjelaskannya tidak berkenan. Akan tetapi dari tulisan-tulisan yang ada, do’a-doa yang disampaikan dalam ritual tersebut merupakan do’a-doa syukur dan permohonan berkah.55

Dalam melaksanakan ritual Hajat Sasih, selain diyakini sebagai ritual penyambut dan pengungkap rasa syukur, masyarakat Kampung Naga juga memahami bahwa dengan berziarah, berdo’a dan memohon di depan makam keramat tersebut dapat menyebabkan do’a mereka lebih didengar oleh Tuhan.56 Sembah Dalem Eyang Singaparna merupakan perantara dari do’a mereka (masyarakat Kampung Naga) yang dha’if yang tidak akan mungkin langsung dapat sampai kepada Tuhan. Sembah Dalem Eyang Singaparana-lah yang nantinya akan menyampaikan permohonan mereka tersebut.57 Keyakinan ini tidak hanya diungkapkan oleh wakil Kuncen yang penulis wawancara, akan tetapi oleh seluruh responden. Selain itu, dengan melaksanakan Hajat Sasih masyarakat Kampung Naga meyakini dan mengharapkan turunnya berkah, kesejahteraan dan keamanan dari Tuhan.4. Hajat Sasih dan Ibadah Haji

Beredar pemahaman, bahwasanya masyarakat Kampung Naga memahami bahwa ritual Hajat Sasih yang dilaksanakan pada bulan Rayagung (Dzulhijjah), atau bertepatan dengan hari raya Iedul Adha dan ibadah haji, merupakan ritual yang setara dengan ibadah Haji atau bahkan 53 ?Ja’i, Masyarakat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 200754 ?Her Suganda, Kampung, hal . 8855 ?Ibid.56 ?Ujif, Masyarakat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 200757 ?Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007

bisa menggantinya. Mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke tanah suci Makkah, namun cukup dengan melaksanakan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan hari raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan hari raya Iedul Adha dan hari raya Iedul Fitri.58

Masyarakat Kampung Naga memahami bahwasanya ibadah Haji merupakan rukun Islam yang ke lima dan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu termasuk mereka.59 Tidak pernah adanya masyarakat Kampung Naga yang melaksanakan ibadah Haji hanya semata ketidak mampuan mereka dalam melaksanakannya.60

Secara ekonomi, masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat tradisional dengan keadaan ekonomi rendah (miskin). Setiap anggota masyarakat memiliki lahan yang mereka garap tidak lebih dari 297 m2 per KK. Hal ini dikarenakan jumlah lahan pertanian (baik lahan basah maupun lahan kering) hanya tersedia sekitar enam hektar.61 Hasil bumi yang mereka hasilkan tidaklah untuk dijual, akan tetapi dipakai untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Untuk menambah penghasilan, kebanyakan mereka menjadi buruh tani atau membuat kerajinan dari bambu bagi mereka yang memiliki keterampilan dalam bidang tersebut.

Pemahaman masyarakat yang sebenarnya mengenai ibadah haji tetaplah sama dengan kaum Muslimin di daerah lain. Hanya saja bagi masyarakat Kampung Naga seseorang yang telah melaksanakan Ibadah Haji ke tanah suci Makkah tidak diperbolehkan mengikuti upacara ritual Hajat Sasih. Dalam pandangan mereka, makam keramat merupakan tempat suci dan sakral akan tetapi tempat tersebut tidaklah lebih suci dibandingkan dengan tanah suci Makkah. Melaksanakan ibadah Haji menurut masyarakat Kampung Naga merupakan pelaksanaan ziarah ke tempat tersuci bagi kaum Muslimin. Oleh karena itu terlarang melaksanakan ziarah kembali dalam bentuk ritual Hajat Sasih di Kampung Naga. Merupakan suatu kemunduran dalam pelaksanaan ibadah manakala telah melaksanakan sesuatu kepada yang lebih utama lalu melaksanakan kembali sesuatu yang tidak utama didalamnya.62

5. Kekhawatiran Melanggar Adat

58 ?Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.com, 23 Maret 200759 ?Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 200760 ?Danudin, Pengurus Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 200761 ?Her Suganda, Kampung, hal . 7362 ?Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007

Ritual Hajat Sasih merupakan salah satu ritual yang telah diatur oleh adat di Kampung Naga. Ritual ini, selain dipahami sebagai bentuk ungkapan rasa syukur mereka kepada Tuhan, dan bentuk penyambut dari hari-hari besar keagamaan, juga dipahami masyarakat sebagai tuntutan dan keharusan yang diembankan leluhur mereka.

Masyarakat Kampung Naga mempunyai sebuah falsafah hidup mengenai adat dan keharusan untuk selalu merawat dan menjalankannya. Falsafah hidup tersebut berbunyi “Amanat wasiat dan akibat. Manakala amanat dan wasiat dilanggar, niscaya akan ada akibat yang menimpa.”63 Dalam pemahaman mereka, selalu akan ada akibat bagi setiap pelanggaran yang mereka lakukan.

Amanat dan wasiat adalah adat, agama dan ketaatan kepada keduanya, ditambah dengan ketaatan kepada pemimpin termasuk pemimpin pemerintahan. Sementara akibat, masyarakat Kampung Naga membaginya kepada dua bagian yaitu akibat langsung berupa hukuman langsung yang diterima pelanggar adat ketika pelanggaran dilaksanakan. Dan hukuman tidak langsung. Hukuman tidak langsung bisa terjadi dalam bentuk hukuman dari adat yaitu berupa pengucilan oleh masyarakat maupun hukuman yang datang dari leluhur mereka.64

Selain itu, ada falsafah lain bagi masyarakat Kampung Naga, yaitu pamali (tabu). Kata pamali bagi masyarakat Kampung Naga merupakan sesuatu hal yang tidak boleh dilanggar. Jika ada kata pamali, masyarakat Kampung Naga tidak akan berani melanggarnya. Misalkan pamali memasuki hutan larangan. Masyarakat Kampung Naga tidak ada yang berani memasukinya. Adapun jika ada keperluan kesana (misalkan untuk medapatkan tanaman obat-obatan yang hanya ada disana), maka satu kaki masuk ke hutan dan satu kaki lainnya diinjakkan di sungai Ciwulan.65

Keseharian hidup masyarakat Kampung Naga diatur oleh dua hal yaitu adat dan agama. Adat bagi masyarakat Kampung Naga merupakan kendali dan pengatur kehidupan di sana.66 Mengenai ketaatan mereka kepada pemerintah, mereka merujuk kepada falsafah “Tatali kumawulang ka agama jeung darigama, saur sepuh aya tilu, panyaur gancang temonan, parentah gancang lampahan pamundut gancang caosan, upami teu udur ti agama jeung darigama. Pamarentah lain lawaneun tapi taateun salila teu

63 ?Falsafah ini selalu dikutip oleh narasumber wawancara (masyarakat Kampung Naga) manakala ditanyakan kepada mereka mengenai adat, ketaatan masyarakat kepada adat dan pelanggaran yang terjadi terhadapnya.64 ?Ibid.65 ? Maun, Punduh Adat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 200766 ?Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007

udur ti agama jeung darigama” (Ada tiga hal yang dikatakan oleh orang tua dahulu mengenai aturan dalam mengabdi kepada agama dan darigama yaitu: panggilan cepat datangi, perintah cepat laksanakan, dan permintaan cepat penuhi. Pemerintah bukanlah sesuatu yang harus dilawan tapi sesuatu yang harus ditaati selama tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama dan darigama67)

Falsafah Amanat, wasiat dan akibat, serta pamali merupakan dua hal yang saling memberikan kekuatan. Secara general, amanat wasiat dan akibat menyangkut seluruh aspek kehidupan yang ada kaitan atau diatur oleh adat. Sementara pamali atau tabu merupakan aturan adat yang tidak tertulis, yang disepakati dan dijalankan secara turun-temurun. Dia berperan secara riil sebagai rel atau jalan yang membatasi sesuatu yang boleh dan tidak.

Hajat Sasih Dalam Tinjauan AgamaBagi masyarakat Kampung Naga, agama dan adat merupakan

pegangan dalam menjalani kehidupan. Mereka meyakini tidak ada pertentangan antara keduanya. Agama mengatur adat, dan adat mengatur tata hidup dan kelakuan mereka dalam segala hal. Adat yang selama ini dilaksanakan mereka yakini memiliki dasar dari agama. Hal ini terbukti dari bacaan serta lafal-lafal do’a yang diucapkan dalam pelaksanaan setiap ritual. Bagi masyarakat Kampung Naga, mengikuti adat sama saja melaksanakan salah satu ajaran agama yaitu menjaga amanat dan wasiat.68

Akan tetapi, jika dianalisa secara seksama, Hajat Sasih memiliki beberapa unsur yang sebenarnya bertentangan dengan Islam. Beberapa diantaranya:

1. Hajat Sasih ditinjau dari Proses PembentukannyaDitinjau dari proses terjadinya, Hajat Sasih merupakan sebuah tradisi

yang timbul dari dua Agama yang memiliki perbedaan akar, yaitu Islam dan Hindu ditambah dengan ajaran-ajaran animisme. Terjadi akulturasi antara ajaran-ajaran tersebut. Hal ini jelas terlihat dari praktek dan keyakinan-keyakinan mereka di dalamnya.

Di Indonesia, proses percampuran (akulturasi) antara ajaran Islam dengan budaya pribumi (lokal), dapat dibagi menjadi tiga, yaitu proses alami, edukasi dan organisasi.69 Dalam fase alami, agama Islam dengan perangkat budayanya dibawa oleh para pedagang yang datang ke Kepulauan 67 ?Darigama merupakan aturan-aturan hidup yang dipegang oleh masyarakat Kampung Naga selain agama. Aturan-aturan tersebut diantaranya adalah aturan-aturan adat dan aturan-aturan yang turun dari pemerintah.68 ?Danudin, Pengurus Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 200769 ?M. Abdul Karim, Islam Nusantara; Pengaruh Nilai Keislaman dalam Sejarah Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, Cet. I, hal. 147

Indonesia. Interaksi yang terjadi lama-kelamaan menarik pengikut yang cukup banyak dari kaum pribumi. Mulailah tersebar Islam.

Da’wah Islamiah berkembang terus dan meluas. Untuk menjaga kelangsungannya, tidak ada jalan lain kecuali melakukan pengkaderan muballigh-muballigh baru. Mulailah berdiri perguruan-perguruan. Percampuran budaya yang terjadi hanyalah antara pendidikan Islam dengan budaya pribumi.70 Tahap organisasi ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi Islam. Di samping mempelajari agama Islam, organisasi-organisasi tersebut juga mempelajari pengetahuan-pengetahuan umum, seperti baca tulis huruf latin, ilmu hitung, ilmu bumi dan sejarah, sehingga lebih banyak mengalami percampuran budaya dengan pendidikan barat. Proses pembentukan organisasi ini menyebabkan terbentuknya gaya hidup baru yang modern.

Dilihat dari sejarah berdirinya Kampung Naga (walau dalam berbagai versi) dapat disimpulkan bahwa pada awal mulanya leluhur masyarakat Kampung Naga merupakan penganut agama Hindu. Sembah Dalem Eyang Singaparana yang dipercaya masyarakat Kampung Naga sebagai keturunan terakhir dari penguasa kerajaan Galunggung diyakini masyarakat Kampung Naga sebagai karuhun yang pertama kali membuat formulasi dari tradisi tersebut. Akan tetapi, sosok yang dipercaya mereka sebagai leluhur pendiri awal masyarakat Kampung Naga (Sembah Dalem Eyang Singaparana), tidak diketahui (karena banyaknya versi) apakah sudah menganut agama Islam manakala mendirikan Kampung Naga. Selain itu, tidak diketahui pula, apakah Hajat Sasih diadakan sebelum atau sesudah masyarakat Kampung Naga memeluk Islam. Hal ini dikarenakan asal-usul atau sejarah Kampung Naga yang sudah buram.

Beberapa hal yang memungkinkan terjadi dari pelaksanaan ritual Hajat Sasih dari data sejarah yang penulis dapatkan adalah sebagai berikut:

Pertama: Sembah Dalem Eyang Singaparana belum memeluk agama Islam pada saat mendirikan Kampung Naga. Begitu pula ritual Hajat Sasih dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga yang pada saat itu seluruhnya belum menganut agama Islam sepeninggal Sembah Dalem Eyang Singaparana.

Proses terjadinya percampuran budaya lokal dengan Islam terjadi manakala da’wah dimulai. Hanya saja, da’wah yang dilaksanakan belum sepenuhnya berhasil. Para da’i hanya mampu menyisipkan ajaran Islam dalam ritual tersebut. Analisa ini didasarkan pada data sejarah Kampung Naga yang masyarakatnya merupakan sebagaian kecil dari penduduk

70 ? Ibid., hal. 148

kerajaan Pajajaran yang menganut agama Hindu. Mereka memilih mengungsi ke daerah pinggiran manakala Islam datang.71

Kedua: pada saat mendirikan Kampung Naga, Sembah Dalem Eyang Singaparana merupakan pemeluk Islam. Sembah Dalem mendirikan perkampungan tersebut bersama para pengikutnya yang masih menganut agama keturunan mereka sebelumnya yaitu Hindu. Sembah Dalem berperan sebagai juru da’wah yang menyampaikan ajaran Islam kepada pengikutnya. Hajat Sasih merupakan tradisi yang telah lama dilaksanakan oleh masyarakat yang menganut agama Hindu. Sembah Dalem pada saat itu hanya mampu menyisipkan ajaran Islam dalam ritual tersebut. Adapun ia menuliskan wasiat tata cara dan waktu-waktu pelaksanaan ritual tersebut (bertepatan dengan hari-hari besar Islam) adalah dengan maksud agar ajaran Islam tidak punah dan pengikutnya tidak lantas kembali kepada tradisi semula. Analisa ini disandarkan pada tulisan H.M. Ahman Sya dan Awan Mutakin sebagai berikut:

“Masyarakat Kampung Naga berasal dari kerajaan Galuh. Setelah kerajaan tersebut menganut agama Islam, maka diutuslah dari kalangan kerajaan tiga utusan untuk menyebarkan agama Islam ke daerah lainnya. Ketiga utusan tersebut mengembara ke tiga tatar (daerah) yang berbeda. Yang pertama menuju tatar kaler atau ke daerah utara, yang mereka sebut sebagai daerah Cirebon sekarang.……… Utusan yang kedua menuju tatar kulon (ke daerah Barat) yang mereka sebut sebagai Banten sekarang.………Utusan yang ketiga menuju ke tatar tengah, yang menurut mereka adalah tempat dimana mereka berada sekarang. …..Adapun utusan yang ke tatar tengah menurut cerita mereka adalah Sembah Dalem Eyang Singaparana, yang menurunkan masyarakat Kampung Naga sekarang.72

Ketiga: sejak awal berdirinya Kampung Naga, Sembah Dalem Eyang Singaparana dan pengikutnya merupakan penganut Islam. Hanya saja, budaya Hindu telah mengakar sebegitu kuatnya (baik dalam keyakinan maupun dalam praktek keseharian mereka). Selain itu pemahaman yang kurang mengenai Islam, menyebabkan percampuran budaya tidak dapat dihindari. Hal lain yang turut mempengaruhi adalah bahwasanya kultur da’wah pada masa awal yang menggunakan tradisi lokal (disisipi), atau da’wah dengan media penyisipan ajaran Islam lewat tradisi, menyebabkan tradisi lama tidak tergusur akan tetapi eksis dengan bentuk sama akan tetapi tatacara yang berbeda. Analisa ini bersumber pada catatan yang ditulis dalam website amanah:

71 ?Agus Widianto, Keunikan Hidup di Kampung Naga, website: http://www.amanah.or.id/ 23 Maret 200772 ? M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat, hal. 63-65

“Masyarakat Kampung Naga merupakan keturunan dari kerajaan Galunggung masa Islam. Mereka adalah keturunan dari Sembah Dalem Eyang Singaparana, anak dari Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang merupakan Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan sejarah, runtuhnya kerajaan Galunggung di tangan Prabu Rajadipuntang terjadi pada tahun 1520M. Hal tersebut disebabkan karena mereka diserang oleh kerajaan Pajajaran di bawah pimpinan Prabu Surawisesa (1535-1543 M (dalam tulisan lain disebutkan bahwa masa berkuasa Prabu Surawisesa adalah sekitar tahun 1521-1535)). Saat itu terjadi perebutan kekuasaan antara kerajaan Islam dan kerajaan Hindu yang sebelumnya berkuasa. Kerajan Galunggung merupakan kerajaan yang telah memeluk agama Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran (Hindu) sebagai pusat. …..”.73

Kasus ritual Hajat Sasih merupakan akulturasi ajaran Islam dengan budaya Hindu dan ajaran-ajaran Animisme yang berlangsung secara alami. Ajaran Islam dianut, akan tetapi budaya-budaya lokal tidak ditinggalkan. Hampir dalam setiap hal akulturasi ini dapat terlihat. Kepercayaan masyarakat terhadap adanya penunggu setiap tempat-tempat tertentu (misalkan aliran sungai yang dalam, atau hutan, yang mereka sebut dengan daerah sanget atau angker) merupakan bekas-bekas ajaran Animisme yang masih dipegang teguh. Dalam prakteknya, untuk menangkal bahaya yang ditimbulkan oleh tempat-tempat tersebut mereka menyimpan sesajen sebagai bentuk penghormatan dan penangkal (supaya penunggu tempat tersebut tidak mengganggu) dan dalam rapalan-rapalan mantra, mereka menggunakan lafal-lafal yang dikutip dari Al Qur’an (ajaran Islam). Begitu halnya dengan Hajat Sasih, keyakinan masyarakat bahwa roh orang yang sudah meninggal dapat menyampaikan segala permohonan kepada Tuhan, turunnya berkah dengan diadakannya ritual tersebut, akan turun malapetaka manakala ritual tersebut dilanggar dan sebagainya merupakan akulturasi antara Islam dan ajaran-ajaran lain.

2. Hajat Sasih dalam PraktekSalah satu karakteristik Islam yang tidak diperdebatkan oleh para

ulama adalah tentang kesempurnaan Islam. Artinya, Islam mengatur seluruh perkara yang mendekatkan diri seseorang kepada Allah dan menjauhkannya dari dosa. Rasulullah bersabda,

� ي� ما ء� ب�ق� ي ب� ش� ر� ن�ة� م�ن� ي�ق� د� و� الج� � الن�ار� م�ن� ي�ب�اع� د إ�ال ق� و�

ل�ك�م ي�ب�ي�ن�

73 ?Ahmad Gibson Al Busthomi, Islam Sunda Bersahaja di Kampung Naga, website: http://www.amanah.or.id/ 23 Maret 2007

Artinya: ”Tidak tinggal sesuatupun yang mendekatkan (kamu) ke sorga dan menjauhkan (kamu) ke neraka melainkan sesungguhnya telah dijelaskan kepada kamu”.74

Al Qur'an juga menyebutkan secara tegas;

Artinya; ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (QS. Al Ma’idah: 3).

Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm menjelaskan bahwasanya ayat diatas merupakan berita yang menegaskan tentang ”akbaru ni’amillâh ta’âlâ” (ni’mat terbesar dari Allah SWT) yang diberikan kepada ummat-Nya, karena Allâh telah menyempurnakan dan meridhai Islam sebagai undang-undang kehidupan (agama) bagi mereka. Kemudian beliau berkata, ”Dan janganlah kalian menghendaki agama lain selainnya (Islam), juga menghendaki Nabi selain dari para Nabi mereka (Muhammad), dan untuk hal inilah Allâh menjadikannya (Muhammad) sebagai penutup para Nabi yang diutus kepada bangsa Jin dan Manusia, maka janganlah kamu menghalalkan kecuali beliau telah menghalalkannya, dan janganlah mengharamkan kecuali beliau telah mengharamkannya, dan tidak ada agama selain dari apa yang telah ditetapkannya. Segala sesuatu yang ia bawa adalah kebenaran dan terpercaya, maka jangalah didustakan dan jangan pula diselisishi.”75

Ibnu Katsir kemudian menceritakan kisah menarik dari riwayat Imâm Ahmad dari sahabat Thâriq bin Syihâb ra bahwasannya sahabat Umar Ibnu Khattab kedatangan seorang lelaki Yahudi dan berkata kepadanya, “Wahai Amîrul Mukminîn, sesungguhnya kalian membaca di dalam kitab kalian sebuah ayat, yang apabila ayat itu turun kepada kami, maka kami akan jadikan hari turunnya ayat itu sebagai hari raya”. Umar berkata, “ayat yang manakah ?”. Yahudi menjawab,

74 ?Hadits Shahîh Diriwayat oleh Imâm Ath-Thabrani di kitabnya al-Mu’jâm al-Kabîr, juz II, hal.166, hadits No.1647 75 ?Al Imâm Al Hâfidz Abi Fidâ’ Isma’îl ibnu Katsîr, Tafîir al Qur’ân al ‘Adzîm, Beirut: Al Maktabah al ‘Asyriyyah, 2000, jilid II, hal. 12-13

Maka berkata Umar, “Demi Allâh, sesungguhnya aku mengetahui hari dan waktu ketika ayat tersebut diturunkan kepada Rasulullâh. Yaitu pada hari raya ‘Arafah, hari Jum’at”.76

Hajat Sasih sebagai salah satu tradisi yang dimiliki masyarakat Kampung Naga diakui atau tidak merupakan sebuah tradisi yang tidak pernah berlaku atau terjadi dalam masyarakat Islam pada zaman Rasulullah. Hal ini mengindikasikan bahwasanya telah terjadi perubahan dan penambahan seiring berlalunya zaman. Dalam Islam, Salah satu hadits yang mengindikasikan fenomena ini adalah,

: , , نك�م م� ي�ع�ش م�ن الله ول� س� ر� ال� ق� ي�ة ر� س� بن� ب�اض� ر ع� ع�ن , اء� ل�ف� الخ� ن�ة� س� و� ت�ت�ي ب�س� ع�ل�يك�م ف� ا ك�ث�ير0 ا ف0 ن�ال� إ�خ ى ي�ر� ف�س�

, , ذ� ب�االن�و�اج� ا ع�ل�يه� وا ع�ض9 و� ا ب�ه� ا ك�و ت�م�س� د�ي�ن� �لم�ه ا د�ين اش� الر�ب�دع�ة ك�ل= و� ب�دع�ة� د�ث�ة? م�ح ك�ل� إ�ن� ف� ر� و �م� األ د�ث�ات� و�م�ح �ي�اك�م إ و�

ل�ة� ال� ض�

Dari ‘Irbadh bin Sariyah, bersabda Rasulullah: “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku nanti, akan melihat perselisihan yang banyak, maka peganglah sunnahku dan sunnah Khalifah yang lurus dan mendapatkan petunjuk, genggamlah dengan kuat dan gigitlah dengan gerahammu, jauhilah olehmu perkara yang muhdats (mengada-ada), karena tiap muhdats itu bid’ah dan tiap bid’ah itu sesat”.77

Imam Malik, sebagaimana dinukil oleh Imam Syathibi dalam

I’tisham78, menyatakan:

أ�ن� ع�م� ز� د ق� ف� ن�ة س� ح� ا اه� ي�ر� و� ب�دع�ة0 م� ال� �س اإل ف�ي ابت�د�ع� م�ن� , ت�ع�ال�ى الله� �ن� أل� ال�ة ر�س� ان� خ� ل�م� س� و� ع�ل�يه� الله� ل��ى ص� الن�ب�ي : ن�عم�ت�ي ع�ل�يك�م �تم�مت� أ و� د�ين�ك�م ل�ك�م لت� كم�

أ� �لي�وم� ا ول� ي�ق�: ( المائدة د�ينا م� ال� �س اإل ل�ك�م� يت� ض� ( 3و�ر� ئ�ذ? م� ي�و ي�ك�ن ل�م ا م� ف�

. د�ين0ا الي�وم� ي�ك�ون� ال� ف� د�ين0ا

Artinya: “Barangsiapa yang mengada-adakan bid’ah di dalam Islam dan menganggapnya sebagai suatu hal yang hasanah, sungguh ia telah menuduh Rasulullah mengkhianati risalahnya, karena Allah telah

76 ?Riwayat ini juga dapat ditemui dalam Shahîh Al Bukhâri, hadits no: 45, 4407, dan 7268, Imâm Muslim hadits, No. 3017 dan Imâm An Nasâ’I didalam sunannnya jilid V, hal. 251, dan jilid VIII, hal. 114.77 ?Dikeluarkan oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan shahih; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/4378 ?Abu Ishaq Ibrahim As Syatibi, Al-I’tishâm, (tahqiq Salim bin Ied Al Hilali), Makkah: Dâr Ibn 'Affân, 1995, Cet. 4, Jilid I, hal. 64-65

berfirman : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka apa-apa yang bukan bagian agama pada hari itu (ayat ini diturunkan) maka bukanlah pula termasuk agama pada hari ini”.79

Hajat Sasih dari segi praktek dapat dikatakan bid’ah. Bid’ah diartikan oleh Syeikh Aly Mahfudh dalam Al-Ibâ fî Madhâri al-Ibtida, secara bahasa berarti segala sesuatu yang diciptakan tanpa didahului contoh-contoh. Bid’ah secara istilah adalah suatu ibarat (gerak dan tingkah laku lahir batin) yang berkisar pada masalah-masalah agama (syari’at Islamiyah). Dilakukannya menyerupai syari’at dengan cara yang berlebihan dalam pengabdian kepada Allah.80

Membuat sesuatu yang baru (bid’ah) terbagi kepada dua macam, Pertama, membuat sesuatu yang baru dalam hal adat (urusan keduniaan), seperti penemuan-penemuan modern. Hal ini diperbolehkan karena hukum asal dalam adat adalah diperbolehkan (mubah). Kedua, membuat sesuatu yang baru dalam hal agama, hal ini adalah haram. Hukum asal dari masalah keagamaan adalah tauqif (terbatas pada apa yang diajarkan oleh syari’at). Bid’ah dalam agama terbagi kepada dua macam, pertama: bid’ah qauliyah i’tiqadiyah (bid’ah pandangan dalam keyakinan). Kedua, bid’ah dalam ibadah, seperti beribadah kepada Allah SWT dengan bentuk ibadah yang tidak diajarkan.81

Bagi masyarakat Kampung Naga, Hajat Sasih tidaklah termasuk kepada ibadah. Akan tetapi dalam prakteknya mereka menambahkan embel-embel keyakinan bahwa akan berdosa (disertai perasaan menyesal serta bersalah) manakala ritual tersebut luput dan tidak mereka kerjakan.82

3. Hajat Sasih dari segi KeyakinanHajat Sasih yang rutin dilaksanakan di Kampung Naga merupakan

sebuah ritual yang sebenarnya memiliki beberapa hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa diantaranya adalah:1. Tawassul

Islam tidak melarang seseorang untuk berziarah selama tidak bertentangan dengan syari'at seperti mengkhususkan waktu, perjalanan (safar) untuk berziarah, meminta-minta kepada mayit (tawassul), dan lain-lain.

79 ?‘Ilmu Ushl al-Bida’ hal. 2080 ?Badruddin Hsubky, Bid’ah-bid’ah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 2006, Cet. XI, hal. 2881 ?Shalih bin Fauzan bi Abdullah Al Fauzan, Kitab Tauhid 3, (Terj. Ainul Haris Umar Arifin Thayib dan Agus Hasan Bashori), Jakarta: Darul Haq, 1996, Cet. I, hal. 134-13582 ?Danudin, Pengurus Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007

Terdapat perbedaan makna antara tawassul (dengan menggunakan huruf sin) dan tawashshul (dengan menggunakan huruf shad). Badruddin Syekh Nawawi al-Bantani mengatakan, kata al-wasîlah atau tawassul berasal dari akar kata wasala yasilu wasîlatan watawassulan.83 Kata ini memiliki dua makna yaitu al-zulfa yang berarti “berbuat sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah”. Dan yang kedua berarti al-‘ibâdah wa al-thâ’ah, yaitu “melaksanakan segala titah Allah dan menjauhi segala laranganNya.” Dari kedua makna ini, maka tawassul hukumnya dibolehkan bahkan diwajibkan. Allah SWT berfirman:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya, dan berjihadlah pada jalanNya, supaya kamu mendapatkan keberuntungan” (QS. Al Ma’idah: 35).

Di dalam kitab Tafsir Al-Sa'di, jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah (tawashshul) dalam ayat ini bermakna fi'il al-thâ'ah (pekerjaan ketaatan). Diantara pekerjaan ketaatan tersebut adalah taqarrub ilallah, meminta kedudukan disisi-Nya, dan Mencintai-Nya. Termasuk didalamnya adalah mengerjakan amalan-amalan hati dan jasmani yang disyaria'atkan.84

Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) terbagi kepada tiga macam yaitu:

Pertama: masyru’, yaitu tawassul kepada Allah dengan asma’ dan sifat-sifatnya, dengan amal shalih yang dikerjakannya, tawassul dengan pengakuan dosa-dosa diri, atau dengan melalui do’a orang yang shalih dan masih hidup.85

Kedua: bid’ah, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang tidak disebutkan dalam syari’at, seperti tawassul dengan pribadi para Nabi dan orang-orang shalih, dengan kedudukan mereka, kehormatan mereka dan sebagainya. 86

Ketiga: syirik, bila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah, termasuk berdo’a kepada mereka, meminta

83 ?Badruddin Hsubky, Bid’ah-bid’ah, hal. 18484 ?Syaikh Abi ‘Abdillâh Abdi ar Rahmân bin Nâshir bin Abdullâh bin Nâshir âli Sa’di, Taysîr al Karîm ar Rahmân fî Tafsîr Kalâm al Mannân, Beirut: Dâr Ihyâ’ Al Turâts al ‘Arabî, 1999, Cet. 1, hal. 24985 ?Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, 'Aqîdah at Tauhîd, Riyadh: Mu'assasah al haramain al Khairiyah, t.thn., hal. 141-14286 ?Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Bogor: Pustaka At Taqwa, 2004, Cet. I, hal. 277-278

hajat dan memohon pertolongan kepada mereka. Ini termasuk dalam katagori syirik fî anniyah, al-qasdu, wa al-irâdah.87

Konsep tawassul yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga merupakan konsep tawassul dengan kategori bid'ah dan syirik. Hal ini dikarenakan mereka mengambil Sembah Dalem Eyang Singaparana (leluhur mereka yang ada di makam keramat) sebagai tempat perantara do’a-do’a yang mereka panjatkan kepada Allah. Hal ini ditambah dengan keyakinan mereka bahwa do’a tersebut akan sampai kepada Allah dengan perantara leluhur mereka.88 Ibnu Taimiyah di dalam kitab Al-Iqtidha' bab al-musyrikûn yudhifûna al-ijâbah ila al-Qabr wa shahibih jelas-jelas menyebutkan fenomena di atas sebagai bentuk amalan orang-orang musyrik. Sedangkan generasi salaf sebagai generasi yang menyertai nabi tidak pernah mencontohkannya.89

2. Tabarruk Tabarruk artinya adalah memohon berkah. Berkah berarti tetapnya

dan bertambahnya kebaikan yang ada pada sesuatu.90 Berkah juga dapat diartikan sebagai ’kebaikan yang banyak atau kebaikan yang tetap dan tidak hilang’.91 Islam membolehkan tabarruk dengan dua syarat92,1. Tabarruk harus dilakukan dengan hal –hal syar'i yang telah diketahui

(kebolehannya). Seperti melalui al-Qur'an (QS. Shadd: 29) dimana membacanya akan mendapatkan pahala, ketenangan, hidayah dan kebaikan lainnya dari Allah.

2. Juga dilakukan dengan perkara inderawi (hissi) yang telah diketahui (kebolehannya). Seperti belajar, berolah raga, berdo'a, dan semisalnya. Dimana seseorang belajar dan berdo'a agar memperoleh kabaikan dari Allah atas apa yang ia kerjakan.

Hajat Sasih selain diyakini masyarakat Kampung Naga sebagai perantara do’a yang mereka sampaikan kepada Allah, juga mereka yakini sebagai perantara turunnya berkah kepada mereka. Dengan melaksanakan Hajat Sasih, mereka meyakini bahwa berkah, keselamatan dan kemakmuran

87 ?Muhammad bin Abdullah bin 'Ali al Wuhaiby, Nawâqidh al-Imân al-I'tiqâdiyyah wa Dhawâbith al-Takfîr 'inda al-Salâf, Makkah: Dâr al Muslim, 2001, Cet. 2, hal. 197, 198, 20288 ?Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 200789 ?Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Iqtidhâ' al-Shirat al-Mustaqîm Mukhâlafah ashhâb al-Jahîm, Beirut: Dâr al Jîl, 1993, Cet. 1, hal. 38190 ?Shalih bin Fauzan bi Abdullah Al Fauzan, Kitab Tauhid 3, hal. 15491 ?Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah, hal. 27892 ?Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Al-Qaul al-Mûfîd 'ala Kitâb al-Tawhîd, Makkah: Dâr Ibn Jauzy, 1999, Cet. 3, hal. 194

akan turun kepada mereka. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa kemakmuran dan ketentraman kampung mereka aka selalu terjaga.93

Berkah hanyalah milik Allah dan Dialah yang menurunkan serta mengekalkanya. Praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu, barang-barang peninggalan dan orang-orang baik, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal tidak boleh dilakukan karena praktek tersebut bisa termasuk syirik apabila terdapat keyakinan bahwa barang-barang tersebut dapat memberikan berkah, atau termasuk media menuju syirik bila terdapat keyakinan bahwa dengan menziarahi, memegang dan mengusapnya merupakan penyebab untuk mendapatkan berkah dari Allah.94

Da’wah Kampung NagaSebagai kampung yang menjadikan adat sebagai pegangan tetap

mereka, masyarakat Kampung Naga ternyata menjanjikan peluang bagi mereka yang akan melaksanakan da’wah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:a. Keterbukaan masyarakat menerima da’wah

Sebagai masyarakat adat yang ‘tertutup’, masyarakat Kampung Naga ternyata terbuka dalam menerima mereka yang berkeinginan melaksanakan da’wah disana. Beberapa persyaratan yang disampaikan oleh para sesepuh adat antara lain,

Pertama: tidak mengatas namakan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas Islam) manapun. Hal ini dikarenakan masyarakat Kampung Naga tidak bersedia dimasukkan kepada salah satu golongan. Dalam pemahaman mereka, mereka adalah Islam, bukan NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam atau yang lainnya. Islam yang mereka anut merupakan warisan leluhur mereka.

Kedua: berkonsultasi dan mendapatkan izin dari para pemangku adat.95 Hal ini dimaksudkan agar pihak pemangku adat dapat mengetahui bagaimana jalannya da’wah di Kampung Naga. Selain itu, hal ini juga dilaksanakan sebagai tindakan preventif dari masuknya ajaran luar yang tidak dikehendaki.

Selain dua hal diatas, kesempatan da’wah sangat terbuka karena pada saat ini masyarakat Kampung Naga sangat membutuhkannya. Keadaan ini salah satunya dikarenakan sudah jarang hadirnya utusan-utusan dari

93 ?Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 200794 ?Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Al- Qaul al-Mufîd, hal. 195-19695 ?Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007

Departemen Agama Kabupaten Tasikmalaya dalam rangka penyampaian da’wah disana, sementara dalam anggota masyarakat sendiri tidak ada yang benar-benar mampu untuk melakukannya.96

Dalam tubuh masyarakat kampung Naga sendiri sedang tumbuh geliat Kaum muda yang lebih rasional, dan menjanjikan sebuah peluang besar bagi jalannya da’wah. Respon masyarakat Kampung Naga terhadap unsur-unsur pembaharuan adalah positif tanggapannya dari kaum muda.97 Hal ini disebabkan oleh peranan pendidikan di kalangan generasi muda yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pengalaman pendidikan para tokoh dan anggota masyarakat lainnya. Dengan pengalaman pendidikan ini, di kalangan generasi muda sedang terjadi proses pergeseran sikap dan respons, baik terhadap bentuk-bentuk adat yang lama maupun bentuk-bentuk baru yang mereka dapatkan dari luar. Mengenai hal ini dijelaskan:

“Meskipun respons generasi muda positif terhadap unsur-unsur baru, tetapi perilakunya masih dalam taraf covert-action, artinya belum mampu berperilaku nyata sesuai dengan apa yang berarti dan berharga menurut bentuk-bentuk baru. Generasi muda Kampung Naga sedang menghadapi dilema. Pada satu sisi, generasi muda Kampung Naga telah menggeser belenggu adat dan berorientasi menuju cakrawala penuh dinamika, yakni bentuk-bentuk baru yang telah mendapat respek dan tempat dalam dunia psikologisnya. Disisi lain, mereka terpaut ketat di dalam sistem kekerabatan yang disebut Seuweu Putu Naga atau Sa-Adat Naga, dimana nilai kekeluargaan ini sulit mereka ingkari.” 98

Dilema yang dihadapi generasi muda Kampung Naga pada dasarnya sebagai refleksi dari adanya tatanan dan proses sosial yang wajar. Yang menyangkut tatanan sosial yang berlaku dalam masyarakat Kampung Naga adalah, bahwa sistem hubungan antara individu dalam kelompok kekerabatan Seweu Putu Naga bertumpu pada asas hierarkis dan senioritas. Kriteria senioritas itu bisa atas dasar pertimbangan usia dan atau pertimbangan pengalaman ihwal adat. Tatanan ini sangat mengikat, sehingga membuat status tokoh masyarakat atau tokoh adat cukup disegani dan sulit ditentang oleh anggota kelompoknya.99

Proses sosial yang wajar terjadi di dalam kelompok masyarakat adalah terjadinya benturan nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai baru yang berhasil menerobos tatanan lama yang masih mendominasi kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Benturan tersebut cenderung menimbulkan

96 ? Danudin, Pengurus Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 200797 ?M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat, hal. 9198 ?Ibid., hal. 9399 ?Ibid., hal. 94

pertentangan antara generasi muda dengan generasi sebelumnya yang pada gilirannya menimbulkan perbedaan sistem nilai dan pandangan antara kedua generasi.

Lebih jauh lagi, dijelaskan bahwa:

“Pertentangan antara generasi muda dengan generasi-generasi sebelumnya yang terjadi dalam kasus masyarakat Kampung Naga, belum sampai muncul ke permukaan. Artinya masih dalam taraf covert action. Generasi muda Kampung Naga tampaknya masih cemas untuk melangkahi sangsi-sangsi sosial, atau mereka belum mampu melepaskan diri dari social preasure yang bersumber dari mekanisme organisasi dan kepemimpinan sosial yang dikendalikan oleh sifat-sifat tradisionalisme, particularisme values dan orientasi paternalistic.” 100

b. Ketertutupan masyarakat menerima anasir-anasir dari luarSelain dua persyaratan diatas, terdapat pula tantangan yang akan

dihadapi manakala melaksanakan da’wah di Kampung Naga. Hal tersebut antara lain,

Pertama: sebagai masyarakat yang tradisional, pemikiran yang dimiliki masyarakat Kampung Naga sangatlah tradisional dan terkesan irasional. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah, dan menyebabkan fanatisme berlebihan terhadap keyakinan yang mereka anut.

Kedua: sebagai masyarakat adat, adat istiadat di Kampung Naga merupakan sebuah pedoman hidup yang tidak dapat digantikan. Pemahaman da’i mengenai adat adalah mutlak dilakukan, sebagai dasar dalam menetapkan materi dan program da’wah. Selain itu masyarakat Kampung Naga sedikit banyak masih memahami bahwa segala sesuatu yang bukan berasal dari leluhur mereka merupakan hal yang tabu untuk dilaksanakan.

Ketiga: keberadaan para pemangku adat yang bersifat eksklusif. Bagi masyarakat Kampung Naga, apapun yang disampaikan oleh pemangku adat merupakan sesuatu yang wajib dilaksanakan. Mereka hanya mendasarkan diri pada argumentasi dan orientasi pada paket budaya yang diperoleh dari proses sosialisasi semata dengan memberikan konsep tradisionalism, particularism values dan mengupayakan diri agar significant dan generalized dengan tokoh-tokoh pemangku adat leluhurnya.101

Keempat: tradisi dalam masyarakat Kampung Naga merupakan tradisi yang dilindungi dan dilestarikan oleh pemerintah khususnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu hambatan da’wah yang dihadapi salah satunya adalah dari pemerintah.

100 ?Ibid., hal. 95101 ?Ibid., hal. 89

PenutupSebagai unsur terpenting dalam da’wah (yaitu sebagai obyek/

penerima), masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat pedesaan dan masyarakat adat dengan berbagai macam aturan dan tipologi mereka. Sebagai masyarakat pedesaan, Kampung Naga merupakan sebuah kampung kecil berada di lembah dengan penduduk yang relatif sedikit.

Masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat suku bangsa Sunda. Suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa-ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal dan bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut dengan Tanah Pasundan atau Tatar Sunda.

Secara sosiologis, masyarakat Kampung Naga sebenarnya tidak tergolong masyarakat terisolasi, baik dari segi teritorial maupun dari aspek proses komunikasi antara mereka dengan masyarakat luar. Hal ini dikarenakan selain letaknya yang berdekatan dengan masyarakat sekitar, mereka juga terbiasa berkomunikasi langsung atau tidak langsung dengan wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Secara teori, kondisi masyarakat seperti ini akan mudah diterobos oleh berbagai anasir (nilai inovatif) yang berasal dari luar. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Masyarakat Kampung Naga sampai saat ini masih dalam kondisi mereka yang masih utuh dengan segala kesederhanaan hidup dan kehidupan dengan belaian nilai-nilai tradisional yang akrab sebagai warisan leluhur yang keramat dan magis.

Masyarakat luar tidak pernah menginfiltrasi adat orang Naga dengan jalan memperkenalkan bentuk-bentuk lain dari luar. Sikap masyarakat luar seperti ini cukup besar memberikan pengaruh bagi masyarakat Kampung Naga. Bagi mereka, sekurang-kurangnya dapat menambah keyakinan bahwasanya adat leluhur mereka merupakan pilihan terbaik atau berarti dan berharga bagi mereka dan dihormati oleh pihak lain. Persepsi demikian kurang memberikan kesempatan (khususnya bagi masyarakat Kampung Naga sendiri) untuk mengoreksi nilai-nilai yang dianutnya, dan sekaligus tidak juga memberikan kesempatan pada nilai-nilai lain (dari luar) untuk memasuki dunia yang mereka anut.

Tidak tercatat sejak kapan masyarakat Kampung Naga memeluk Islam. Hanya saja hal tersebut diyakini telah berlaku semenjak Kerajaan Galunggung memeluk agama Islam. Selain itu tidak diketahui pula siapa yang melaksanakan da’wah pertama kali disana. Dalam keyakinan masyarakat kampung Naga, Sembah Dalem Eyang Singaparana-lah yang

merupakan pendiri kampung naga dan leluhur mereka yang mewariskan ajaran agama Islam kepada mereka, beserta dengan ajaran adat sekaligus.

Data yang penulis dapatkan, proses da’wah di Kampung Naga dirintis oleh Departemen Agama sejak tahun 1985. Pada saat itu, masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat yang tertutup. Mereka mencurigai setiap orang yang datang ke kampung mereka termasuk para da’i. Hal ini disandarkan pada kekhawatiran mereka akan adanya pihak-pihak luar yang ingin merubah tradisi yang selama ini mereka jalankan.

Kegiatan da’wah yang dilakukan pada masa tersebut dalam bentuk pengajian dan pemberian bantuan berupa Al Qur’an dan Juz ‘Amma. Selain dua hal tersebut, masyarakat Kampung Naga menolaknya. Hal lain yang dilaksanakan adalah pemberian beasiswa bagi anak-anak Kampung Naga untuk melanjutkan pendidikan. Dana untuk itu didapatkan dari Badan Amil Zakat.

Pada saat penelitian dilaksanakan, kegiatan da’wah di Kampung Naga masih berjalan walau dengan kondisi yang tidak teratur. Para pengajar hanya berasal dari masyarakat Kampung Naga yang dianggap memiliki kemampuan agama melebihi yang lainnya. Adapun para penyampai da’wah (da’i) dari Departemen Agama sudah jarang datang dan mengajarkan agama disana. Tidak banyak dijelaskan oleh Depag mengenai penyebab dari hal tersebut, akan tetapi sedikit disinggung bahwa hal tersebut terjadi karena kurangnya tenaga da’i dan kerjasama antar Ormas Islam serta Kampung Naga tidak lagi menjadi prioritas.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.Abu Ishaq Ibrahim As Syatibi, Al-I’tishâm, (Tahqiq Salim bin Ied Al-

Hilali), Makkah: Dâr Ibn 'Affân, 1995.Al Imâm Al Hâfidz Abi Fidâ’ Isma’îl ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân

al-‘Adzîm, Beirut: Al Maktabah al ‘Asyriyyah, 2000, jilid II.A. W. Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997.

Badruddin Hsubky, Bid’ah-Bid’ah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999.Djoko Widagdo, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta; Bumi Aksara, 2001.Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, Bandung: PT.

Kiblat Buku Utama, 2005.Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial; Suatu Teknik Penelitian

Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: Rosda Karya, 2002.

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Rosdakarya, 2004.

Lorens Bagus, Kamus Filasafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.M. Abdul Karim, Islam Nusantara; Pengaruh Nilai Keislaman dalam

Sejarah Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.Muhammad bin Abdullah bin 'Ali al Wuhaiby, Nawâqidh al-Imân al-

I'tiqâdiyyah wa Dhawabith al-Takfîr 'inda al-Salâf, Makkah: Dâr al Muslim, 2001.

Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, Terjemah Avuva Nababan, Yogyakarta: Elsam, 2006.

Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2001.

Shalih bin Fauzan bi Abdullah Al Fauzan, Kitab Tauhid 3, Terjemah Ainul Haris Umar Arifin Thayib dan Agus Hasan Bashori, Jakarta: Darul Haq, 1996.

Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Penerbit Renika Cipta, 2002.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung: penerbit Alfa Beta, 2008.

Syaikh Abi ‘Abdillâh Abdi ar Rahmân bin Nâshir bin Abdullâh bin Nâshir âli Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, Beirut: Dâr Ihyâ’ Al Turâts al ‘Arabî, 1999.

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, 'Aqîdah at Tauhîd, Riyadh: Mu'assasah al haramain al Khairiyah, t.thn.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Iqtidhâ' al-Shirât al-Mustaqîm Mukhâlafati ashhâb al-Jahîm, Beirut: Dâr al Jîl, 1993.

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Al-Qawl al-Mufîd 'ala Kitâb al-Tawhîd, Makkah: Dâr Ibn Jauzy, 1999.

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Bogor: Pustaka At Taqwa, 2004.

http://id.wikipedia.comhttp://www.IRE.com/

http://www.amanah.or.id/ http://www.sinarharapan.com