Upload
indah-nababan
View
4
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Abses Peritonsil.docx
Citation preview
Abses Peritonsil
Definisi
Abses peritonsil sering disebut
sebagai PTA atau Quinsy adalah suatu
rongga yang berisi nanah didalam
jaringan peritonsil yang terbentuk
sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.
Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai
akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar
mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama
dengan kuman penyebab tonsilitis.
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob
maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering
menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group
A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan
Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga
disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.
Patologi
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang
paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis
eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi
pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Daerah
superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.
Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan
tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah
tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong
ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi
kontra lateral.
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus.
Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.
Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis
kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan
suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu:
mononucleosis).
Gambaran Klinis
Gejala klasik dimulai 3-5 hari waktu dari onset gejala sampai terjadinya
abses sekitar 2-8 hari. Penderita biasanya mengalami keluhan odinofagia
(nyeri menelan) yang hebat sehingga sulit dilakukan pemeriksaan karena
sulit membuka mulut dan juga bias terjadi dehidrasi, muntah
(regurgitasi), mulut berbau (foeter ex ore), “hot potato voice” banyak
ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) dan sukar membuka mulut
(trismus), sakit kepala, rasa lemah, demam, serta pembengkakan
kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Pasien juga mungkin
mengalami nyeri pada saat menggerakkan lehernya.
Pada kasus yang agak berat biasanya terdapat disfagia yang nyata,
nyeri telinga (otalgia) pada daerah yang terkena, salivasi yang meningkat
dan khususnya trismus. Palatum molle membengkak dan menonjol ke
depan dan dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong
kesisi kontra lateral, dan dijumpai tonsil membengkak dan hiperemis.
Umumnya pergerakan kepala ke lateral menimbulkan nyeri akibat
adanya infiltrasi ke jaringan leher dan region tonsil. Nyeri biasanya
bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus. Sekret kental
menumpuk ditenggorokan dan pasien sulit untuk membuangnya. Oleh
karena lidah dilapisi selaput tebal maka dapat terjadi nafas yang berbau.
Pernafasan terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan
submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring
jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih
berat dan lebih menakutkan.
Diagnosis
Informasi dari pasien (Anamnesis) sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosis abses peritonsiler. Adanya riwayat pasien
mengalami nyeri pada kerongkongan adalah salah satu yang mendukung
terjadinya abses peritonsilar. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai
tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.
Pada pemeriksaan fisis kadang-kadang sukar memeriksa seluruh
faring, karena trismus. Palatum molle tampak membengkak dan
menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong
kesisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus
dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.
Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan
peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan
edema dari palatum molle dan penonjolan dari jaringan ini dari garis
tengah. Palpasi jika mungkin dapat membedakan abses dari
selulitis. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan : Pemeriksaan
laboratorium seperti darah lengkap, elektrolit, dan kultur darah. Yang
merupakan “gold standar” untuk mendiagnosa abses peritonsilar adalah
dengan mengumpulkan pus dari abses menggunakan aspirasi jarum.
Pemeriksaan radiologi pada posisi anteroposterior hanya menunjukkan
“distorsi” dari jaringan tapi tidak berguna untuk menentuan pasti lokasi
abses. Pada pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang
hipodens yang menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena
disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil.
Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana operasi Ultrasonografi,
merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu
dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini
juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan
operasi dan drainase secara pasti.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi
paru, atau piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga
terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke
mediastinum menimbulkan mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat
mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan
abses otak.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA
diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression
penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak
dini.
Diagnosa Banding
1. Abses retrofaring
2. Abses parafaring
3. Abses submandibula
4. Angina ludovici
Penatalaksanaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan compres
dingin pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil
kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan “drug of
chioce” pada abses peritonsilar dan efektif pada 98% kasus jika yang
dikombinasilakn dengan metronidazole. Dosis untuk penisilin pada
dewasa adalah 600mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-
25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15mg/kg
dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5mg/kg
selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4
gr/hari.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses,
kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di
daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis
yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir.
Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa
overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase
atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala
pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan
analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan
untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari
setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila
tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a”
froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang,
yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita
abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang
jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar
untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan
tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat
kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang
dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal
intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti
secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours
hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan
trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik
parenteral.
Prognosis
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat
tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jeringan fibrosa
dan granulasi pada saat oprasi.
Daftar Pustaka
1. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296, 308-09. EGC,
Jakarta.
2. Ballenger, John Jacob. M.S, M.D. Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher.
Binarupa Aksara. Jakarta. Hal : 295-97, 318-23, 346-55
3. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung
dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-89.
4. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, hal : 19-21.
5. Adrianto, Petrus. Dr, Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, EGC, Jakarta, 1986; 296,
308-09.