8
Abses Peritonsil Definisi Abses peritonsil sering disebut sebagai PTA atau Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Etiologi Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. Patologi Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression)

Abses Peritonsil

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Abses Peritonsil.docx

Citation preview

Page 1: Abses Peritonsil

Abses Peritonsil

Definisi

Abses peritonsil sering disebut

sebagai PTA atau Quinsy adalah suatu

rongga yang berisi nanah didalam

jaringan peritonsil yang terbentuk

sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.

Etiologi

Abses peritonsil terjadi sebagai

akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar

mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama

dengan kuman penyebab tonsilitis.

Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob

maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering

menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group

A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus

influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah

Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan

Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga

disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.

Patologi

Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang

paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis

eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi

pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Daerah

superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh

karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering

menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.

Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.

Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan

tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah

Page 2: Abses Peritonsil

tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong

ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi

kontra lateral.

Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan

menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus.

Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.

Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis

kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan

suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu:

mononucleosis).

Gambaran Klinis

Gejala klasik dimulai 3-5 hari waktu dari onset gejala sampai terjadinya

abses sekitar 2-8 hari. Penderita biasanya mengalami keluhan odinofagia

(nyeri menelan) yang hebat sehingga sulit dilakukan pemeriksaan karena

sulit membuka mulut dan juga bias terjadi dehidrasi, muntah

(regurgitasi), mulut berbau (foeter ex ore), “hot potato voice” banyak

ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) dan sukar membuka mulut

(trismus), sakit kepala, rasa lemah, demam, serta pembengkakan

kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Pasien juga mungkin

mengalami nyeri pada saat menggerakkan lehernya.

Pada kasus yang agak berat biasanya terdapat disfagia yang nyata,

nyeri telinga (otalgia) pada daerah yang terkena, salivasi yang meningkat

dan khususnya trismus. Palatum molle membengkak dan menonjol ke

depan dan dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong

kesisi kontra lateral, dan dijumpai tonsil membengkak dan hiperemis.

Umumnya pergerakan kepala ke lateral menimbulkan nyeri akibat

adanya infiltrasi ke jaringan leher dan region tonsil. Nyeri biasanya

bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus. Sekret kental

menumpuk ditenggorokan dan pasien sulit untuk membuangnya. Oleh

karena lidah dilapisi selaput tebal maka dapat terjadi nafas yang berbau.

Pernafasan terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan

Page 3: Abses Peritonsil

submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring

jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih

berat dan lebih menakutkan.

Diagnosis

Informasi dari pasien (Anamnesis) sangat diperlukan untuk

menegakkan diagnosis abses peritonsiler. Adanya riwayat pasien

mengalami nyeri pada kerongkongan adalah salah satu yang mendukung

terjadinya abses peritonsilar. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai

tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.

Pada pemeriksaan fisis kadang-kadang sukar memeriksa seluruh

faring, karena trismus. Palatum molle tampak membengkak dan

menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong

kesisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus

dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.

Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan

peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan

edema dari palatum molle dan penonjolan dari jaringan ini dari garis

tengah. Palpasi jika mungkin dapat membedakan abses dari

selulitis. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan :  Pemeriksaan

laboratorium seperti darah lengkap, elektrolit, dan kultur darah. Yang

merupakan “gold standar” untuk mendiagnosa abses peritonsilar adalah

dengan mengumpulkan pus dari abses menggunakan aspirasi jarum.

Pemeriksaan radiologi pada posisi anteroposterior hanya menunjukkan

“distorsi” dari jaringan tapi tidak berguna untuk menentuan pasti lokasi

abses.   Pada pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang

hipodens yang menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena

disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil.

Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana operasi   Ultrasonografi,

merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu

dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini

Page 4: Abses Peritonsil

juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan

operasi dan drainase secara pasti.

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:

1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi

paru, atau piema.

2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga

terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke

mediastinum menimbulkan mediastinitis.

3.     Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat

mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan

abses otak.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA

diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression

penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak

dini.

Diagnosa Banding

1. Abses retrofaring

2. Abses parafaring

3. Abses submandibula

4. Angina ludovici

Penatalaksanaan

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat

simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan compres

dingin pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil

kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan “drug of

chioce” pada abses peritonsilar dan efektif pada 98% kasus jika yang

dikombinasilakn dengan metronidazole. Dosis untuk penisilin pada

dewasa adalah 600mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-

25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15mg/kg

dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5mg/kg

Page 5: Abses Peritonsil

selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4

gr/hari.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses,

kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di

daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis

yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir.

Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa

overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase

atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala

pasien.

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan

analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan

untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari

setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila

tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a”

froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang,

yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita

abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang

jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar

untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan

tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis

menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat

kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi

menganjurkan tonsilektomi segera.

Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang

dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal

intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti

secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours

hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan

Page 6: Abses Peritonsil

trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik

parenteral.

Prognosis

Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan

tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat

tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jeringan fibrosa

dan granulasi pada saat oprasi.

Daftar Pustaka

1. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296, 308-09. EGC,

Jakarta.

2. Ballenger, John Jacob. M.S, M.D. Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher.

Binarupa Aksara. Jakarta. Hal : 295-97, 318-23, 346-55

3. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung

dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-89.

4.   Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, hal : 19-21.

5. Adrianto, Petrus. Dr, Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, EGC, Jakarta, 1986; 296,

308-09.