Upload
the-habibie-center
View
449
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Makalah Workshop "Memperkuat Toleransi melalui Institusi Sekolah" yang diselenggarakan The Habibie Center dan Hanns Seidel Foundation di Bogor, 14 - 15 Mei 2011
Citation preview
Workshop Memperkuat Toleransi melalui Institusi Sekolah
Bogor, 14 – 15 Mei 2011
2
AKAR RADIKALISME KEAGAMAAN
Peran Aparat Negara, Pemimpin Agama dan Guru untuk Kerukunan Umat Beragama1
Azyumardi Azra*
Radikalisme, anarkisme atau kekerasan bernuansa agama cenderung terus meningkat atau setidaknya timbul tenggelam dalam beberapa tahun belakangan ini. Radikalisme keagamaan yang memunculkan konflik dan kekerasan sosial bernuansa agama merebak tidak hanya antar agama—seperti Islam versus Kristen—tetapi juga intra agama—seperti intra Islam atau intra Kristen. Dalam skala mencemaskan, kelompok-‐kelompok dan sel-‐sel yang menampilkan radikalisme keagamaan melakukan kegiatan terorisme dengan meledakkan bom bunuh diri di masjid al-‐Zikra Mapolresta Cirebon (kasus Muhammad Syarif, 14/4/2011); atau meletakkan bom di lokasi strategis seperti saluran pipa gas (kasus Pepi Fernando 21/4/2011). Pada saat yang sama juga merebak kasus-‐kasus menghilangnya 12 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang telah terekrut ke dalam jaringan Negara Islam Indonesia (NII) Perkembangan terakhir ini mengindikasikan, bahwa walau Polri—dalam hal ini Densus 88—telah berhasil melumpuhkan sebagian besar jaringan kelompok radikal al-‐Jama’ah al-‐Islamiyah (JI) yang melakukan berbagai aksi pemboman—termasuk bom bunuh diri—khususnya sejak Bom Bali I, Oktober 2002, jelas kelompok dan sel radikal tetap bertahan. Bahkan terlihat bermetamorfosis ke dalam sel-‐sel baru yang cenderung bergerak sendiri-‐sendiri dan independen—meski dalam satu dan lain hal masih berkaitan satu sama lain.
1 Makalah disampaikan pada Diskusi ‘Memperkuat Toleransi Melalui Sekolah’ The Habibie Center, Hotel Aston, BogorBogor, 14 Mei 2011
3
Menghadapi gejala seperti ini, kalangan figur publik dan masyarakat menganggap terus terjadinya peningkatan intoleransi dan radikalisme di lingkungan intra dan antar agama bahkan dengan negara. Gejala ini jelas dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta eksistensi negara-‐bangsa Indonesia. Akar Radikalisme Keagamaan Peningkatan radikalisme keagamaan banyak berakar pada kenyataan kian merebaknya berbagai penafsiran, pemahaman, aliran, denominasi, bahkan sekte di dalam (intra) satu agama tertentu. Di kalangan Islam, radikalisme keagamaan itu banyak bersumber dari pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-‐sepotong dan ad hoc terhadap ayat-‐ayat al-‐Qur’an. Pemahaman seperti itu hampir tidak memberikan ruang bagi akomodasi dan kompromi dengan kelompok-‐kelompok Muslim lain yang umumnya moderat—dan karena itu menjadi arus utama (mainstream) umat. Kelompok umat Islam yang berpaham seperti ini sudah muncul sejak masa al-‐Khulafa’ al-‐Rasyidun keempat Ali ibn Abi Thalib dalam bentuk kaum Khawarij yang sangat radikal dan melakukan banyak pembunuhan terhadap pemimpin Muslim yang telah mereka nyatakan ‘kafir’. Radikalisme keagamaan di dalam Islam juga dapat bersumber dari bacaan yang salah terhadap sejarah Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam pada masa tertentu. Ini terlihat dalam pandangan dan gerakan Salafi, khususnya pada spektrum sangat radikal seperti Wahabiyah yang muncul di Semenanjung Arabia pada akhir abad 18-‐awal abad 19 dan terus merebak sampai sekarang ini. Tema pokok kelompok dan sel Salafi ini adalah pemurnian Islam—membersihkan Islam dari pemahaman dan praktek keagamaan yang mereka pandang sebagai ‘bid’ah’, yang tidak jarang mereka lakukan dengan cara-‐cara kekerasan. Dengan pemahaman dan praksis keagamaan seperti itu, kelompok dan sel radikal ini ‘menyempal’ (splinter) dari mainstream Islam yang memegang dominasi dan hegemoni otoritas teologis dan hukum agama dan sekaligus kepemimpinan agama. Karena itu, respon dan reaksi keras sering muncul dari kelompok-‐kelompok ‘mainstream’, arus utama, dalam agama. Mereka tidak jarang mengeluarkan ketetapan, bahkan fatwa, yang menetapkan kelompok-‐kelompok sempalan tersebut sebagai sesat dan
4
menyesatkan. Ketetapan atau fatwa tersebut dalam prakteknya tidak jarang pula digunakan kelompok-‐kelompok mainstream tertentu sebagai dasar dan justifikasi untuk melakukan tindakan main hakim sendiri. Radikalisme keagamaan juga dapat mendapat tambahan alasan dari deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat. Pada saat yang sama. disorientasi dan dislokasi sosial-‐budaya, dan ekses globalisasi, dan semacamnya sekaligus merupakan tambahan faktor-‐faktor penting bagi kemunculan kelompok-‐kelompok radikal. Kelompok-‐kelompok sempalan tersebut tidak jarang mengambil bentuk kultus (cult), yang sangat eksklusif, tertutup dan berpusat pada seseorang yang dipandang kharismatik. Kelompok-‐kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu bahkan memandang dunia sudah menjelang akhir zaman dan kiamat; sekarang waktunya bertobat melalui pemimpin dan kelompok mereka. Doktrin dan pandangan teologis-‐eskatologis seperti ini, tidak bisa lain dengan segera dapat menimbulkan reaksi dari agama-‐agama mainstream, yang dapat berujung pada konflik sosial. Radikalisme keagamaan jelas berujung pada peningkatan konflik sosial dan kekerasan bernuansa intra-‐ dan antar-‐agama; juga bahkan antar umat beragama dengan negara. Ini terlihat jelas, misalnya, dengan meningkatnya aktivitas penutupan gereja di beberapa tempat di mana kaum Muslim mayoritas, seperti di Bekasi, Bogor dan Temanggung belum lama ini. Atau penutupan masjid/mushala di daerah mayoritas non-‐Muslim di berbagai tempat di tanahair, seperti di Bali pasca-‐bom Bali Oktober 2002; termasuk pula anarkisme terhadap berbagai fasiltas dan masjid-‐masjid Ahmadiyah serta para jemaatnya. Berbagai tindak kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah juga masih terus terjadi di sejumlah tempat mulai dari NTB, Parung, Cikeusik dan berbagai lokasi lain. Lalu ada juga kelompok-‐kelompok hardliners di kalangan Muslim, menegakkan hukumnya sendiri—atas nama syari’ah (hukum Islam)—seperti pernah dilakukan Lasykar Jihad di Ambon ketika terjadinya konflik komunal Kristen-‐Muslim; atau razia-‐razia yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) dalam beberapa tahun terakhir ini—khususnya pada Ramadhan—atas diskotik, dan tempat-‐tempat hiburan lainnya atas nama al-‐amr bi al-‐ma’ruf wa al-‐nahy ‘an al-‐munkar (menyeru dengan kebaikan dan mencegah
5
kemungkaran). Bagi mereka tidak cukup hanya amar ma`ruf dengan lisan, perkataan; harus dilakukan pencegahan terhadap kemungkaran dengan tangan (al-‐yad), atau kekuatan. Sekali lagi, tindakan-‐tindakan seperti ini juga dapat memicu terjadinya konflik sosial. Umat Islam mainstream—seperti diwakili NU, Muhammadiyah, dan banyak organisasi lain—berulangkali menyatakan, mereka menolak cara-‐cara kekerasan, meski untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran sekalipun. Tetapi, seruan organisasi-‐organisasi mainstream ini sering tidak efektif; apalagi di dalam organisasi-‐organisasi ini juga terdapat kelompok garis keras yang terus juga melakukan tekanan internal terhadap kepemimpinan organisasi masing-‐masing. Masih berlanjutnya konflik sosial bernuansa intra-‐ dan antar-‐agama dalam masa Reformasi ini, sekali lagi, disebabkan berbagai faktor amat kompleks. Pertama-‐tama, berkaitan dengan euforia kebebasan, di mana setiap orang atau kelompok merasa dapat mengekspresikan kebebasan dan kemauannya, tanpa peduli dengan pihak-‐pihak lain. Dengan demikian terdapat gejala menurunnya toleransi. Kedua, masih berlanjutnya fragmentasi politik dan sosial di khususnya di kalangan elit politik, sosial, militer, yang terus mengimbas ke lapisan bawah (grassroot) dan menimbulkan konflik horizontal yang laten dan luas. Terdapat berbagai indikasi, konflik dan kekerasan bernuansa agama bahkan diprovokasi kalangan elit tertentu untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, tidak konsistennya penegakan hukum. Beberapa kasus konflik dan kekerasan yang bernuasa agama atau membawa simbolisme agama menunjukkan indikasi konflik di antara aparat keamanan, dan bahkan kontestasi di antara kelompok-‐kelompok elit lokal. Keempat, meluasnya disorientasi dan dislokasi dalam masyarakat Indonesia, karena kesulitan-‐kesulitan dalam kehidupan sehari-‐hari. Kenaikan harga kebutuhan kebutuhan sehari-‐hari lainnya membuat kalangan masyarakat semakin terhimpit dan terjepit. Akibatnya, orang-‐orang atau kelompok yang terhempas dan terkapar ini dengan mudah dan murah dapat melakukan tindakan emosional, dan bahkan dapat disewa untuk melakukan tindakan melanggar hukum dan kekerasan.
6
Peran Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum Dalam banyak kasus radikalisme dan anarkisme keagamaan, aparat keamanan seolah melakukan ‘pembiaran’. Memang Densus 88 berhasil melumpuhkan sebagian besar sel JI; tetapi pada saat yang sama seakan-‐akan membiarkan terus tumbuhnya sel-‐sel NII. Mereka seakan-‐akan tidak mampu menegakkan tugas negara melindungi warganegara. Aparat keamanan cenderung selalu beralasan, mereka tidak bisa bertindak keras menghadapi massa yang jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan aparat keamanan. Bahkan sering juga terlihat, mereka pada dasarnya khawatir pada munculnya backlash, reaksi balik yang keras, dari kelompok dan ormas mainstream yang menentang penghentian kekerasan secara keras oleh aparat kepolisian. Padahal, ketegasan aparat keamanan—dalam hal ini Polri—merupakan salah satu kunci terpokok dalam prevensi dan represi konflik dan kekerasan bernuansa agama. Jika Polri—dengan berbagai alasan tertentu—tetap tidak mau dan tidak mampu menindak para aktor intelektual dan pelaku radikalisme keagamaan, jelas kekerasan atas nama agama tetap berlangsung dari waktu ke waktu. Dalam keadaan ini, Indonesia dapat mengalami semacam ‘Pakistanisasi’ yang boleh jadi mengantarkan Indonesia menjadi negara gagal (failed state), yaitu negara yang gagal menegakkan hukum dan ketertiban; dan melindungi setiap warganegara dan kelompok masyarakat dari kekerasan. Aparat penegak hukum sejak dari Polri, Kejaksaan dan Peradilan pada saat yang sama mestilah memulihkan kredibilitas dalam penegakan hukum. Jika para aktor intelektual dan pelaku kekerasan atas nama agama tetap dibiarkan bebas, atau hanya dijatuhi hukuman ‘sangat ringan’ atau diselesaikan ‘secara adat’, bisa dipastikan ini semua hanya ‘memberi angin’ kepada orang-‐orang dan kelompok anarkis, bahwa mereka pada dasarnya memiliki ‘impunitas’—tidak bisa dihukum. Tak kurang pentingnya, para pejabat publik sepatutnya tidak memberikan ‘pesan keliru’ kepada masyarakat yang bernada condoning violence—‘merestui’ kekerasan. Di antara contoh wrong messages itu adalah: menerima figur ormas yang diketahui publik gemar melakukan kekerasan; atau melakukan victimizing the victims—menyalahkan mereka yang sudah menjadi korban kekerasan.
7
Padahal, para pejabat publik ini seharusnya menampilkan diri sebagai pelindung setiap dan seluruh warganegara, terlepas dari apapun agama dan keyakinannya. Jika para pejabat pemerintah sudah bersikap partisan, menyalahkan korban kekerasan, dan ‘menyerah’ kepada tekanan kelompok tertentu dalam masyarakat, tidak bisa lain berarti secara tersirat membenarkan tindakan kekerasan atas nama agama. Peran Kepemimpinan Agama Mengingat faktor-‐faktor penyebab radikalisme keagamaan yang sangat kompleks dan rumit seperti itu, patut diingatkan kepada setiap orang dan kelompok untuk tidak secara tergesa-‐gesa dan simplistis mengambil kesimpulan yang terburu-‐buru, menjadi semacam sweeping generalization. Jika ada orang-‐orang dan atau kelompok agama tertentu melakukan kekerasan atas nama agama, mereka jelas bukan representasi dari agama atau umat beragama secara keseluruhan. Karena itu, setiap pihak sepatutnya menghindari diri daripada terjerumus ke dalam penciptaan stigmatisasi terhadap kelompok-‐kelompok lainnya, karena stigmatisasi itu selain hanya dapat meningkatkan mispersepsi terhadap agama tertentu dan penganutnya, sekaligus juga mempertinggi potensi konflik, pertikaian dan bisa meletup sewaktu-‐waktu menjadi kekerasan. Dengan masih bertahannya radikalisme keagamaan dan juga konflik dan kekerasan sosial-‐keagamaan, semangat dialog intra dan antar agama perlu ditingkatkan di kalangan para pemimpin agama. Dialog-‐dialog intra dan antar agama hendaknya tidak dilaksanakan secara ad hoc dan sporadis untuk meresponi situasi atau kasus tertentu saja; tetapi sebaliknya secara reguler dan terencana. Dengan begitu, penyelesaian konflik dan pertikaian yang melibatkan umat beragama dapat dilaksanakan secara lebih tuntas dengan membahas secara lebih menyeluruh akar-‐akar dan aktualisasi pertikaian dan konflik yang ada. Dalam konteks itu, perlu peningkatan peran lembaga dan kepemimpinan yang dapat memainkan peranan kunci dalam masalah ini seperti Kementerian Agama, yang pada masa Orde Baru memainkan peran sentral dalam dialog-‐dialog intra dan antar agama. Kementerian Agama mestilah menggalang fokus, orientasi, dan momentum untuk mendorong kehidupan keagamaan yang
8
lebih toleran, harmonis dan hidup berdampingan secara damai. Karena itu, Kementerian Agama perlu menegaskan kembali visi dan misi yang jelas dan implementable tentang penciptaan kehidupan beragama yang lebih kondusif bagi kehidupan sosial-‐politik bangsa. Kementerian Agama seyogyanya tidak berharap radikalisme keagamaan atau konflik, pertikaian dan kekerasan di antara umat beragama diselesaikan pihak-‐pihak yang terlibat saja atau bakal hilang dalam perjalanan waktu. Upaya penyelesaian konflik sosial yang bernuansa keagamaan seperti Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung tentang ‘Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat’ (2008) sebagai upaya penyelesaian Ahmadiyah, misalnya, tidak/belum berhasil meredam konflik sosial bernuansa intra-‐agama. Masih terdapat pihak-‐pihak hardliners di kalangan mainstream yang menganggap SKB itu tersebut sebagai ‘belum memadai’; mereka bahkan menghendaki adanya Keputusan Presiden untuk melarang dan membubarkan JAI. Dari waktu ke waktu pihak-‐pihak hardliners tersebut tetap melakukan tekanan-‐tekanan baik kepada pemerintah dan sekaligus mengintimidasi JAI, yang bukan tidak dapat berujung pada tindakan kekerasan. Karena itu, berbagai instansi pemerintah ini sepatutnya memberdayakan aparatnya untuk menegakkan hukum. Pada saat yang sama, Majelis-‐majelis keagamaan yang sering dipandang sebagai representasi dari masing-‐masing umat beragama, seperti MUI, PGI, KWI, Parisadha Hindu Dharma, Walubi, dan Matakin hendaknya meningkatkan élan vitalnya. Majelis-‐majelis agama hendaknya jangan lebih sibuk meresponi perkembangan politik dan isyu-‐isyu sesaat atau bahkan lebih sibuk dengan konflik internal di antara berbagai kelompok atau denominasi yang terdapat di dalamnya. Majelis-‐majelis agama hendaknya memberdayakan unit-‐unit dialog yang mereka miliki untuk menjadikan agenda dialog intra dan antar agama sebagai skala prioritas dan agenda yang berkesinambungan. Karena itu, majelis-‐majelis agama hendaknya mengambil langkah-‐langkah lebih pro-‐aktif untuk rejuvenasi dialog-‐dialog intra dan antar-‐agama, khususnya melalui ‘dialog emansipatoris’. Dialog seperti ini dapat diartikan sebagai pembicaraan atau percakapan di antara dua pihak atau lebih, yang dapat “membebaskan”, karena
9
terjadinya pertukaran dan pemahaman timbal balik yang lebih baik di antara mereka. Kondisi terakhir ini dapat ‘membebaskan’ pihak-‐pihak yang terlibat dalam dialog dari prasangka, bias, persepsi tidak akurat, kecurigaan dan bahkan sikap bermusuhan dan saling membenci, yang potensial menciptakan konflik yang dapat berujung pada kekerasan. Dialog antar agama bisa betul-‐betul emansipatoris tiga syarat bisa dipenuhi. Pertama, dialog dilakukan dengan penuh keterbukaan, keterusterangan, keberanian, dan kejujuran. Dialog antar agama tidak akan emansipatoris, jika para peserta tidak terbuka, menutupi hal-‐hal tertentu, sehingga dialog yang terjadi akhirnya hanya sekadar basa basi. Kedua, dialog disertai dengan kemauan dan iktikad baik untuk saling mendengar dan mengemukakan pendapat dengan penuh keseimbangan dan kesetaraan. Ketiga, dialog disertai kesiapan untuk mengubah pandangan dan persepsi yang selama ini keliru, dan saling membuka diri untuk menerima kebenaran dari pihak-‐pihak yang terlibat dalam dialog. Jika dialog-‐dialog antar agama bisa dilakukan sesuai dengan ketiga hal tersebut, maka bisa diharapkan terciptanya hubungan yang lebih harmonis, penuh toleransi di antara umat beragama yang berbeda. Dan ini, merupakan mekanisme internal umat beragama untuk prevensi dan resolusi konflik yang bernuansa agama. Selain perlu melakukan revitalisasi ‘dialog emansipatoris’, kompetensi para pemimpin dan fungsionaris agama dalam penyelesaian masalah secara damai (peaceful resolution of conflict) perlu ditingkatkan. Penyelesaian konflik sosial bernuansa agama jelas tidak bisa hanya secara instingtif dan trial by error; tetapi sebaliknya memerlukan kompetensi, baik pada tingkat pemahaman atas sebab musabab konflik sosial tersebut maupun pada tingkat penyelesaiannya. Dalam konteks terakhir ini, kompetensi itu menyangkut kemampuan untuk membawa pihak-‐pihak yang bertikai ke meja dialog; kompetensi untuk ‘menenangkan’ masyarakat yang berkonflik; kompetensi untuk membangun trust di antara pihak-‐pihak yang terlibat konflik; dan kompetensi untuk menyelesaikan masalah secara adil, obyektif dan bermartabat, yang dapat diterima pihak-‐pihak yang bersengketa. Peningkatan kompetensi seperti itu diperlukan khususnya bagi para pemimpin dan fungsionaris agama pada tingkat menengah dan bawah, karena mereka inilah yang dalam kehidupan
10
sehari-‐hari berada dalam kontak dan komunikasi langsung dengan masyarakat akar rumput yang terlibat dalam konflik sosial bernuansa agama. Para pemimpin dan fungsionaris agama pada kedua level ini dapat memanaskan dan bahkan mencetuskan konflik; tetapi sebaliknya, mereka pula yang dapat menyelesaikan konflik sosial yang terjadi. Sebab itulah, para pemimpin dan fungsionaris agama pada kedua level itu perlu meningkatkan kompetensi mereka dalam menghadapi radikalisme keagamaan dan juga menyelesaikan konflik sosial-‐keagamaan. Peran Keluarga, Sekolah dan Pimpinan PT Tidak perlu dibahas panjang lebar, penyebaran paham radikal dan tidak toleran yang mengganggu hubungan intra dan antar-‐umat beragama jelas kian merambah ke keluarga, sekolah dan kampus perguruan tinggi. Berbagai penelitian yang dilakukan PPIM dan CSRC serta lembaga-‐lembaga lain menunjukkan kecenderungan meningkatnya paham radikal di kalangan pelajar dan mahasiswa. Bahkan juga terungkap peningkatan gejala radikalisme itu di kalangan para guru—baik guru agama maupun guru umum.
Sejauh menyangkut gejala meningkatnya radikalisme dan intoleransi di kalangan pelajar dan mahasiswa, jelas tidak pas mengaitkan tindakan teror alumni yang sudah lama meninggalkan sekolah dan kampus dengan almamaternya. Atau mengaitkan para mahasiswa dan pelajar yang terkesan begitu mudah terekrut ke dalam jaringan NII dengan PT-‐nya. Dengan suasana kebebasan akademis dan juga kebebasan sosial di kampus jelas sangat sulit bagi pimpinan PT mengontrol para mahasiswa mereka—apalagi para alumni yang telah menyebar ke berbagai sektor kehidupan dan umumnya tidak pernah kembali ke almamaternya.
Karena itu, sekolah dan kampus sebagai ranah publik dengan para pelajar, mahasiswa dan alumni yang terkait kealmamateran bisa tidak imun terhadap berbagai pengaruh dan infiltrasi paham, wacana dan gerakan dari luar. Karena itu, dari waktu ke waktu di lingkungan sekolah kampus berbagai PT hampir selalu ada kelompok-‐kelompok radikal dan ekstrim—baik ekstrim kanan maupun kiri.
Dengan demikian kampus khususnya hampir selalu menjadi lahan subur bagi rekrutmen sel-‐sel ekstrim kiri ataupun kanan. Sejak
11
sejak akhir 1970an, sel-‐sel ekstrim kanan sangat giat melakukan rekrutmen di kampus; membentuk kelompok dan sel NII yang lazim dikenal sebagai usrah (keluarga) yang menolak keabsahan pemerintahan Soeharto yang mereka sebut ‘thaghut’. Penolakan ini secara simbolik mereka lakukan misalnya dengan membakar KTP; menikah lewat wali Amir (pemimpin) mereka sendiri tanpa melalui Kantor Urusan Agama (KUA).
Zaman kebebasan dan demokrasi pasca-‐Soeharto membukakan ruang sangat lapang bagi berbagai kelompok dengan orientasi ideologis ekstrim kiri dan kanan untuk kembali ke kampus dan juga sekolah. Kelompok kiri tidak mampu bertahan lama, sehingga memberikan ruang sangat besar bagi kelompok dan ekstrim radikal Islam sejak dari NII sampai kepada sel-‐sel radikal lainnya. Kelompok dan sel seperti ini dengan pemahaman keagamaan yang jauh berbeda dengan arus utama Islam segera terlibat dalam aksi pelanggaran hukum sejak dari penculikan, pencurian, perampokan, terorisme sampai upaya makar terhadap NKRI.
Menangkal terekrut dan berkembangnya paham radikal di kalangan pelajar dan mahasiswa jelas memerlukan peran keluarga; karena di sinilah mereka menghabiskan lebih banyak waktunya. Lagi pula, keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama. Pencegahan para pelajar dan mahasiswa untuk tidak terjerumus, dengan demikian, harus dimulai dari keluarga. Untuk itu, kedua orang tua dan anggota keluarga senior lainnya harus senantiasa memantau remaja dan anak muda mereka sehari-‐hari untuk melihat jika terdapat perubahan baik dalam perilaku—dari yang biasa pulang ke rumah atau selalu memberi kabar menjadi ‘menghilang’ dan tidak berkabar selama berhari-‐hari. Juga bisa diamati cara mereka bersikap, berpakaian—misalnya mulai memakai ‘celana kutung’; dan berbicara pada anggota keluarga, seperti tidak lagi membalas ucapan ‘assalamu’alaykum’, dan seterusnya. Jika gejala-‐gejala ini ditemukan, kedua orangtua sepatutnya mulai berbicara baik-‐baik, dari hati ke hati, kepada mereka dengan pendekatan dialogis dan empati. Pembicaraan yang bernada interogasi dan marah-‐marah sebaiknya dihindari, yang sangat boleh jadi membuat mereka kian mengeras dan menjauh dari keluarga.
12
Jika tidak efektif, orangtua dapat minta tolong temannya yang terpercaya, dan/atau guru dan dosen. Dalam konteks sekolah dan kampus, ideologi radikal dan teroristik tidak bisa dihadapi hanya dengan wacana; atau bahkan dengan tindakan represif aparat hukum sekalipun. Pertama-‐tama ideologi semacam itu harus dihadapi dengan kontra-‐ideologi dan perspektif keagamaan-‐keindonesiaan yang utuh. Sebab itu, tidak perlu ‘redesain’ kurikulum secara menyeluruh seperti dibicarakan dalam Kompas, 26/4/11 karena dapat mengganggu stabilitas akademis-‐keilmuan. Tetapi sebaliknya yang mendesak dilakukan adalah revitalisasi beberapa Mata Kuliah (MK)/Mata Pelajaran (MP) yang relevan karena bersifat ‘ideologis’, yakni MK/MP Pancasila, MK/MP Pendidikan Kewargaan, dan MK/MP Agama.
Pancasila sebagai dasar negara dan kerangka ideologis negara-‐bangsa Indonesia telah marjinal sejak masa reformasi (lihat Tajuk Rencana Kompas, 26/4/11). Ini juga terjadi di lingkungan PT. MK Pancasila yang di beberapa PTU dan PTAI sejak masa awal Reformasi telah diganti dengan MK Falsafat Pancasila atau bahkan dihapus sama sekali. MK Filsafat Pancasila lebih merupakan wacana akademis daripada ideologis. Padahal, hanya dengan memahami Pancasila dapat ditumbuhkan semangat kebangsaan-‐keindonesiaan dan kewargaan aktif dan bertanggungjawab. MK/MP lain yang juga penting untuk memperkuat wawasan kebangsaan adalah MK/MP Kewarganegaraan atau Pendidikan Kewargaan (Civic Education) yang di banyak PTAI dan PTU merupakan pengganti MK Kewiraan yang dihapus pasca-‐kekuasaan Presiden Soeharto yang militeristik. Silabus yang ada dalam Pendidikan Kewargaan mengandung substansi yang sarat dengan penguatan paham kebangsaan-‐keindonesiaan dalam berbagai aspeknya. Terakhir MK/MP Agama yang semestinya tidak hanya mengulangi ajaran teologis-‐normatif agama, tetapi seharusnya juga memberikan penguatan perspektif keagamaan-‐kebangsaan. Lebih dari itu, guru dan dosen seharusnya mengorientasikan MK/MP ini untuk penguatan sikap intelektual tentang keragaman agama dan sekaligus toleransi intra dan antar-‐agama serta antara umat beragama dengan negara. Pembelajaran ketiga MK/MP tersebut oleh para guru dan dosen jelas tidak bisa dilakukan secara indoktrinatif ala penataran
13
P4. Perlu terobosan-‐terobosan baru dalam metode pembelajaran yang dialogis, partisipatif, analitis dan kritikal, serta melibatkan role playing dan role-‐modeling. Dengan cara ini, pembelajaran ketiga MK/MP tersebut dapat bukan hanya terhindar dari kebosanan, tetapi juga lebih memungkinkan terjadinya internalisasi ke dalam diri para pelajar dan mahasiswa. Revitalisasi Organisasi Pelajar dan Mahasiswa Yang tidak kurang pentingnya pula adalah revitalisasi lembaga, badan dan organisasi mahasiswa dan pelajar baik intra dan ekstra sekolah/kampus seperti OSIS dan BEM. Yang terakhir ini lebih banyak terlibat dalam aktivisme politik—dalam demo dan aksi protes lain terkait isyu politik dan pemerintahan. Tetapi. Sedikitnya dalam dua tahun terakhir, aktivisme mahasiswa cenderung sangat menurun. Banyak kalangan menduga terjadinya disorientasi kemahasiswaan karena berbagai faktor sosial, budaya, politik, ekonomi dan bahkan keagamaan.
Hal yang sama juga terjadi pada organisasi mahasiswa ekstra-‐kampus PT seperti HMI, PMII, IMM, KAMMI, GMNI, PMKRI, GMKI dan semacamnya yang kebanyakannya tidak lagi terlalu aktif dalam kaderisasi para anggotanya. Bahkan ada kecenderungan kuat, keanggotaan sebagian besar organisasi merosot secara signifikan. Padahal, beberapa penelitian PPIM dan CSRC di UIN Jakarta menunjukkan, keanggotaan dan aktivisme organisasi merupakan faktor penting mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam gerakan radikal dan ekstrim.
Sebaliknya terdapat gejala kuat, para mahasiswa ‘non-‐aktivis’ dan ‘kutubuku’ untuk sangat mudah terkesima, sehingga segera dapat mengalami ‘cuci otak’ dan indoktrinasi pemikiran dan gerakan radikal dan ekstrim. Mereka cenderung naif dan polos karena tidak terbiasa berpikir analitis dan kritis seperti lazim dalam dunia kaum mahasiswa aktivis.
Pada pihak lain, OSIS, khususnya Rohis, dalam beberapa tahun terakhir cenderung giat dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan. Ini merupakan respon terhadap kurangnya jumlah jam MP Agama, yang cuma dua jam sepekan. Apalagi, organisasi ekstra-‐pelajar seperti PII, IPM, IPNU dan semacamnya kian menghilang dari lingkungan sekolah. Akibatnya para pelajar menjadi kian rentan dan rawan terhadap rekrutmen oleh sel-‐sel gerakan radikal.
14
Di sinilah peran dosen dan guru sangat penting. Mereka sudah sepatutnya memberikan perhatian lebih intens kepada para pelajar dan mahasiswa mereka masing-‐masing. Jika mereka menemukan gejala-‐gejala perubahan cara berpikir, bertingkahlaku, berpakaian, berbicara dan sebagainya, sepatutnya dosen dan guru mengajak mereka berdialog dan bertukar pikiran. Karena para guru dan dosen memiliki otoritas atas berhasil atau tidaknya mereka dalam kemajuan pendidikan masing-‐masing pelajar dan mahasiswa, mereka biasanya bisa lebih efektif daripada orangtua.
Kesimpulan Rekrutmen ideologis kelompok radikal, ekstrim dan teroristik hampir bisa dipastikan terus berlanjut. Karena itu, sudah saatnya langkah-‐langkah tadi menjadi prioritas pihak-‐pihak terkait yang disebutkan di atas. Lembaga pendidikan sekolah dan PT khususnya tidak hanya bertugas dalam transfer dan transmisi ilmu pengetahuan, keahlian dan ketrampilan, tetapi juga dalam membentuk warganegara aktif dan bertanggungjawab bagi masa depan negara-‐bangsa Indonesia. Karena itulah, sekolah dan kampus khususnya segera melakukan langkah yang sangat perlu dan mendesak.
Senarai Bacaan
Azra, Azyumardi et.al., 2008, Sistem Siaga Dini Untuk Kerusuhan Sosial, Jakarta:
PPIM dan Balitbang Dep. Agama RI Azra, Azyumardi, 2002a, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut
Kerukunan Antarumat, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Azra, Azyumardi, 2002b, Konflik Baru Antar-‐Peradaban: Globalisasi, Radikalisme &
Pluralitas, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Azra, Azyumardi, “Pengantar”, 2000, Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik
Antarumat 1999-‐2000, Jakarta: MUI dan Yayasan Pustaka Umat. Azra, Azyumardi, 1999, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam,
Jakarta: Paramadina. Bamualim, Chaider et al, 2001, Laporan Penelitian Radikalisme Agama dan Perubahan
Sosial di DKI Jakarta, Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Effendy, Bahtiar & Soetrisno Hadi (eds), 2007, Agama dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: Nuqtah.
15
Fananie, Zainuddin, Atika Sabardila & Dwi Purnanto, 2002, Radikalisme Agama & Perubahan Sosial, Surakarta: Muhammadiyah University Press & The Asia Foundation.
Haedar Nashir, 2007, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: PSAP
Makruf, Jamhari & Jajang Jahroni (eds), 2004, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Zada, Khamami, 2002, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-‐ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju.
*Azyumardi Azra, lahir 4 Maret 1955, adalah Gurubesar sejarah; dan Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang. Ia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-‐20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-‐2002, dan UIN, 2002-‐2006). Memperoleh gelar MA, MPhil dan PhD dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-‐9); Selain itu juga anggota Dewan Penyantun International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-‐sekarang); Komite Akademis The Institute for Muslim Society and Culture (IMSC), International Aga Khan University (London, 2005-‐2010). Dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset, dia adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-‐sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-‐sekarang). Juga anggota Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP, Tokyo, 1999-‐2001); Asian Research Foundation-‐Asian Muslim Action Network (ARF-‐AMAN, Bangkok, 2004-‐sekarang); The Habibie Center Scholarship (2005-‐sekarang); Ford Foundation International Fellowship Program (IFP-‐IIEF, 2006-‐sekarang); Asian Scholarship Foundation (ASF, Bangkok, 2006-‐sekarang); Asian Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007-‐sekarang); anggota Selection Committee Senior Fellow Program AMINEF-‐Fulbright (2008). Selain itu, dia anggota Dewan Pendiri Kemitraan—Partnership for Governance Reform in Indonesia (2004-‐sekarang); Dewan Penasehat United Nations Democracy Fund (UNDEF, New York, 2006-‐8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-‐sekarang); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-‐sekarang); Institute of Global Ethics and Religion, USA (2004-‐sekarang); LibforAll, USA (2006-‐sekarang); Center for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne, 2005-‐7); Tripartite Forum for Inter-‐Faith Cooperation (New York, 2006-‐sekarang); anggota World Economic Forum’s Global Agenda Council on the West-‐Islam Dialogue (Davos 2008-‐sekarang).
16
Dia juga adalah pemimpin redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies (Jakarta, 1994-‐sekarang); Journal of Qur’anic Studies (SOAS, University of London, 2006-‐sekarang); Journal of Usuluddin (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2006-‐sekarang); Jurnal Sejarah (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2005-‐sekarang); The Australian Journal of Asian Law (Sydney, Australia, 2008-‐sekarang); IAIS Journal of Civilisation Studies (International Institute of Advanced Studies, Kuala Lumpur, 2008-‐sekarang); Journal of Royal Asiatic Society (JRAS, London, 2009-‐sekarang); dan Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic Studies, 2010-‐sekarang). Dia telah menerbitkan lebih dari 21 buku, yang terakhir adalah Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapore, TAF, ICIP, Equinox-‐Solstice, 2006); Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-‐contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008); Varieties of Religious Authority: ¨Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010). Lebih 30 artikelnya dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional. Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan Islam moderat; dan pada September 2010, ia mendapat penghargaan Honorary Commander of the Order of British Empire (CBE) dari Ratu Kerajaan Inggris atas jasa-‐jasanya dalam hubungan antar-‐agama dan peradaban.