41
FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI I “ANALGESIK OPIOID DI SUSUN OLEH : KELAS : F.13 KELOMPOK III IRMA JAYANTI (13.201.283) ASRIANTI NASIR (13.201.299) RESTI (13.201.275) FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR MAKASSAR

Analgesik Opioid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hihi

Citation preview

Page 1: Analgesik Opioid

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI I

“ANALGESIK OPIOID”

DI SUSUN OLEH :

KELAS : F.13

KELOMPOK III

IRMA JAYANTI (13.201.283)

ASRIANTI NASIR (13.201.299)

RESTI (13.201.275)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR

MAKASSAR

2015

BAB I

Page 2: Analgesik Opioid

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Keluhan yang paling sering muncul pada pasien setelah

prosedur anestesi dan pembedahan adalah nyeri dan mual muntah

pasca bedah. Nyeri adalah suatu rasa yang tidak menyenangkan

yang melibatkan emosional yang berhubungan dengan kerusakan

jaringan. Nyeri akut dapat merupakan bagian dari kerusakan

jaringan atau inflamasi yang dapat disebabkan oleh operasi, luka

bakar, ataupun trauma (Anonim, 2015)

Kerusakan jaringan menyebabkan pelepasan zat-zat kimia

yang menstimulasi reseptor nyeri dan mengionisasi letupan pada

serabut aferen primer yang bersinaps pada lamina I dan II kornu

posterior medula spinalis. Neuron relay dalam kornu posterior

menyampaikan informasi nyeri ke korteks sensoris melalui neuron

dalam talamus. Hanya sedikit yang diketahui tentang substansi

transmittor yang digunakan pada jalur nyeri asendens, tetapi

beberapa serabut aferen primer melepaskan peptida. Nyeri neuropati

disebabkan oleh kerusakan neuron pada jalur nyeri dan sering tidak

merespons terhadap opioid (Neal, 2005).

Analgetik setelah pembedahan dapat dicapai dengan

menggunakan beberapa opioid. Efektifitas pemakaian opioid sebagai

analgetik pasca bedah sudah diakui namun memiliki efek samping

(Anonim,2015).

Analgesik opioid adalah obat yang menyerupai peptida

opioid endogen dan menyebabkan aktivasi reseptor opioid yang

memanjang. Hal tesebut menyebabkan analgesia, depresi panas,

euforia, dan sedasi. Nyeri berperan sebagai suatu antagonis depresi

napas yang bagaimanapun bisa menjadi masalah bila nyeri

Page 3: Analgesik Opioid

dihilangkan, misalnya dengan anestesik lokal. Opioid sering

menyebabkan mual dan muntah sehingga seringkali memerlukan

antiemetik. Efek pada pleksus saraf di usus, yang juga mempunyai

peptida dan reseptor opioid, menyebabkan konstipasi dan biasanya

membutuhkan laksatif. Terapi kontinu dengan analgesik opioid

menyebabkan toleransi dan ketergantungan pada pecandu. Akan

tetapi, pada pasien dengan peyakit terminal, peningkatan yang tetap

pada dosis morfin tidak terjadi secara otomatis. Bilamana hal itu

terjadi, lebih mungkin disebabkan oleh peningkatan nyeri secara

progresif daripada akibat toleransi. Sayangnya, penggunaan analgesik

opioid yang terlalu hati-hati sering menyebabkan kontrol nyeri yang

buruk pada pasien (Neal, 2005).

I.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Obat Analgesik Opioid?

2. Apa saja contoh-contoh obat dari golongan Analgesik

Opioid?

3. Apa indikasi obat-obatan golongan Analgesik Opioid?

4. Bagaimana farmakokinetik obat golongan Analgesik Opioid?

5. Bagaimana Farmakodinamik obat-obatan Analgesik Opioid?

6. Bagaimana Efek Samping obat Analgesik Opioid?

Page 4: Analgesik Opioid

I.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari obat Analgesik Opioid.

2. Untuk mengetahui contoh-contoh obat yang termasuk dalam

golongan Analgesik Opioid.

3. Untuk mengetahui indikasi obat-obatan Analgesik Opioid.

4. Untuk mengetahui farmakokinetik obat golongan Analgesik

Opioid.

5. Untuk mengetahui farmakodinamik dari obat-obatan

Analgesik Opioid.

6. Untuk mengetahui efek samping obat Analgesik Opioid.

Page 5: Analgesik Opioid

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Pengertian Analgesik Opioid

Analgesik Opioid merupakan kelompok obat yang memiliki

sifat seperti opium. Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum

mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein,

tebain, dan paparevin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk

meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga

memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah

analgesik narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat

ini, akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan

analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran

maka istilah analgesik narkotik menjadi kurang tepat (Dewoto, 1971).

Opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang

diantagonis oleh nalokson. Terdapat tiga famili peptida opioid, yang

berasal dari molekul prekusor besar dan dikode oleh gen yang

terpisah. Pro-opiomelanokortin (POMC) menyebabkan peningkatan

peptida opioid endorfin β dan sejumlah peptida nonopioid lainnya,

termasuk hormon adrenokortikotropik (ACTH). Proenkefalin

menyebabkan peningkatan leu-enkefalin dan met-enkefalin. Prodinorfin

menyebabkan peningkatan sejumlah peptida opioid, yang mengandung

leu-enkefalin pada terminal aminonya. Peptida yang berasal dari

setiap tiga molekul prekursor ini mempunyai distribusi anatomis

tertentu pad sistem saraf pusat dan mempunyai bermacam-macam

afinitas untuk tipe reseptor opioid yang berbeda. Fungsi yang tepat

dari peptida opioid ini dalam otak dan daerah manapun tetap tidak

jelas (Neal, 2005).

Page 6: Analgesik Opioid

II.2 Klasifikasi Obat Golongan Opioid

Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid

dibagi menjadi :

1. Agonis penuh (kuat)

2. Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)

3. Campuran agonis dan antagonis

4. Antagonis

Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis,

sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau

sebagai antagonis dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya

pada reseptor opioid dan mengurangi efeknya. Opioid yang merupakan

campuran agonis dan antagonis adalah opioid yang memiliki efek

agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu parsial

agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.

Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi

menjadi derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan,

dan benzomorfan.

STRUKTUR DASAR

Agonis Kuat

Agonis Lemah sampai sedang

Campuran agonis-

antagonisAntagonis

FenantrenMorfin

HidromorfonOksimorfon

KodeinOksikodonHidrokodon

NalbufinBuprenorfin

NalorfinNalokson

NaltreksonFenilheptilamin Metadon Propoksifen

FenilpiperidinMeperidinFentanil

Difenoksilat

Morfinan Levorfanol ButorfanolBenzomorfan Pentazosin

Page 7: Analgesik Opioid

II.3 Obat-obatan Golongan Analgesik Opioid

1. Morfin dan Alkaloid Opium

Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang

telah dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam

dua golongan: Golongan fenantren (mis: Morfin dan Kodein) dan

Golongan benizilisonkinolin (mis: Noskapin dan Papaverin).

a. Farmakodinamik

Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis.

Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien

yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah dan pada

orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan

kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Opioid menimbulkan

analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang

terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan

pada transmisi dan modulasi nyeri. Beberapa individu, terutama

wanita dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual

dan muntah yang mendahului depresi, tetapi delirium dan

konvulsi jarang timbul. Kodein tidak menyebabkan depresi

progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan

eksitasi. Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja

pada reseptor µ dan κ menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan

oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulmotor.

Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan skopolamin. Pada

dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa

menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik

dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit dan kematian

pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi

napas.

Morfin juga berefek di beberapa organ saluran cerna. Di

lambung, morfin menghambat sekresi HCl, menyebabkan

Page 8: Analgesik Opioid

pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi

dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus

berkontraksi, akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum

diperlambat. Di usus halus, morfin mengurangi sekresi empedu

dan pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus

halus. Di usus besar, morfin mengurangi atau menghilangkan

gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan

spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat

dan tinja menjadi lebih keras.

Pada sistem kardiovaskular, pemberian morfin dosis terapi

tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama

denyut jantung. Perubahan baru akan terjadi pada pemberian

toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir

intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain menurunkan

kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap

perubahan sikap.

Pada otot olos, morfin menimbulkan peninggian tonus,

amplitudo serta kontraksi ureter dan kandung kemih. Morfin

merendahkan tonus uterus pada masa haid dan menyebabkan

uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini

morfin mengurangi nyeri dismenore.

Pada kulit, dosis terapi morfin menyebabkan vasodilatasi

kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas.

Dalam proses metabolisme, morfin menyebabkan suhu

badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi

perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan

metabolisme dikurangi, hiperglikemia timbul tidak tetap akibat

pelepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Morfin

membuat volume urin berkurang akibat merendahnya laju filtrasi

glomerulus, alir darah ginjal, dan pelepasan ADH.

Page 9: Analgesik Opioid

b. Farmakokinetik

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat

diabsorpsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus

mukosa, dan juga dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik

setelah pemberian oral jauh lebih rendah dibanding secara

parenteral.

Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin

mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hepar,

sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak

diketahui nasibnya.

Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil

morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang

terkonyugasi ditemukan dalam empedu, sebagian yang sangat

kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.

Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2,

yang kemudian dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein

mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan

bentuk konyugasi dari kodein, norkodein dan morfin.

c. Indikasi

Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk

meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat

diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin sering diperlukan

untuk nyeri yang menyertai infark miokard, neoplasma, kolik

renal, oklusio akut vaskular perifer, pulmonal, perikarditis akut,

dan nyeri akibat trauma misalnya luka bakar dan pascabedah.

Penggunaan analgesik opioid dewasa ini telah banyak

digunakan untuk menghambat refleks batuk yang tidak produktif

dan hanya iritatif sehingga menyebabkan pasien tidak dapat

beristirahat dan mungkin sekali disertai dengan nyeri.

Page 10: Analgesik Opioid

Terhadap edema paru akut, morfin IV dapat dengan jelas

mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema

pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.

Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare

berdasarkan efek langsung terhadap otot polos usus. Pada

pengobatan diare yang disebabkan oleh intoksikasi makanan

atau intoksikasi akut obat, pemberian morfin harus didahului

oleh pemberian garam katartik untuk mengeluarkan penyebab.

d. Efek Samping

Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama

pada wanita berdasarkan idiosinkrasi. Berdasarkan reaksi

alergik dapat timbul gejala seperti urtikaria, eksantem,

dermatitis kontak, pruritus dan bersin.

Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi

akibat percobaan bunuh diri atau pada takar lajak. Pasien

akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat.

e. Toleransi

Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak

timbul terhadap efek eksitasi, miosis dan efek pada usus.

Toleransi silang dapat timbul antara morfin, dihidromorfinon,

metopon, kodein dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-3 minggu.

Timbul toleransi terhadap efek analgesik, tetapi tidak

terhadap efek konstipasi. Potensi penyalahgunaan tinggi.

Penghentian menyebabkan insomnia, nyeri, peningkatan

aktivitas saluran cerna, kegelisahan.

f. Interaksi Obat

Page 11: Analgesik Opioid

Interaksi morfin dapat meningkatkan kerja depresan SSP

lain. Selain itu, meningkatkan depresi pernapasan yang

diinduksi oleh loker neuromuskular. Dan morfin bersifat aditif

dengan obat yang menyebabkan hipotensi.

2. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin lain

a. Farmakodinamik

Pada SSP, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi,

euforia, depresi napas dan efek sentral lain. Efek analgetik

meperidin mulai timbul 15 menit setelah PO dan mencapai

puncak dalam 2 jam. Pemberian meperidin kepada pasien

yang menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euforia.

Di saluran napas, meperidin dalam dosis ekuianalgetik

menimbulkan depresi napas sama kuat dengan morfin.

Pemberian meperidin secara sistemik menimbulkan anestesia

kornea, dengan akibat menghilangnya refleks kornea.

Pemberian dosis terapi meperidin pada pasien yang

berbaring tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak

menghambat kontraksi miokard dan tidak mengubah gambaran

EKG.

Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus

kecil lebih lemah daripada morfin. Meperidin menimbulkan

spasme saluran empedu.

Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh

histamin dan metakolin, dapat menyebabkan peristaltik ureter

berkurang, dan sedikit merangsang uterus dewasa yang tidak

hamil.

Page 12: Analgesik Opioid

b. Farmakokinetik

Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun

berlangsung aik, akan tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak

teratur setelah suntikan IM. Setelah PO, sekitar 50% obat

mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maks dalam

plasma tercapai dalam 1-2 jam.

Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati.

Pada manusia, meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam

meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi.

Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam

urin. Seanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam

urin dalam bentuk derivat N-demetilasi.

c. Indikasi

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan

analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin

diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek

daripada morfin. Misalnya untuk tindakan diagnostik.

Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia

obstetrik dan sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan

analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin

kurang menyebabkan depresi napas pada janin.

d. Efek Samping

Efek Samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang

ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual,

muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi,

disforia, sinkop dan sedasi.

e. Kontraindikasi

Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat

harus dikurangi karena terjadinya perubahan pada disposisi

Page 13: Analgesik Opioid

obat. Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan

bersama antipsikosis, hipnotik sedatif dan obat-obat lain

penekan SSP. Pada pasien yang sedang mendapat MAO

inhibitor pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan,

gejala eksitasi dan demam.

f. Toleransi

Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih

lambat dibanding dengan morfin. Timbulnya toleransi lambat

bila interval pemberian lebih dari 3-4 jam. Toleransi tidak

terjadi terhadap efek stimulasi dan efek mirip atropin.

g. Interaksi Obat

Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor,

pemberian meperidin dapat menyebabkan eksitasi SSP berat

(delirium, hiperpireksia, kejang), depresi pernapasan, atau

hipotensi.

3. Metadon dan Opioid Lainnya

3.1 Metadon

a. Farmakodinamik

Di SSP, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama

kuat dengan efek 10 mg morfin. Setelah pemerian

metadon beulang kali timbul efek sedasi yang jelas,

mungkin karena adanya akumulasi. Dosis ekuianalgetik

menimbulkan depresi napas yang sama kuat seperti morfin

dan dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis

tunggal. Metadon juga berefek antitusif, menimbulkan

hiperglikemia, hipotemia, dan pelepasan ADH.

Di otot polos, metadon menimbulkan relaksasi

sediaan usus dan menghambat efek spasmogenik

asetilkolin atau histamin. Metadon juga menimbulkan

Page 14: Analgesik Opioid

spasme saluran empedu pada manusia dan hewan coba.

Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena telah terjadi

antidiuresis. Pecandu metadon timbul toleransi efek miosis

yang cukup kuat.

Pada sistem kardiovaskular, metadon menyebabkan

vasodilatasi perifer sehingga dapat menimbulkan hipotensi

ortostatik. Pemberian metadon tidak mengubah gambaran

EKG tetapi kadang-kadang timbul sinus bradikardia. Obat

ini merendahkan kepekaan tubuh terhadap CO2 sehingga

timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan vasodilatasi

serebral dan kenaikan tekanan cairan serebrospinal.

b. Farmakokinetik

Setelah suntikan metadon SC ditemukan kadar

dalam plasma yang tinggi selama 10 menit pertama.

Sekitar 90% metadon terikat protein plasma.

Metadon diabsorbsi baik oleh usus dan dapat

ditemukan dalam plasma darah setelah 30 menit PO;

kadar puncak dicapai setelah 4 jam.

Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk

dalam paru, hati, ginjal, dan limpa; hanya sebagian kecil

yang masuk otak. Kadar maksimal metadon dalam otak

dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian parenteral.

Biotransformasi metadon terutama berlangsung di

hati. Salah satu reaksi penting ialah dengan cara N-

demetilasi. Sebagian besar metadon yang diberikan akan

ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil

biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin. Kurang dari

10% mengalami ekskresi bersama empedu.

Page 15: Analgesik Opioid

c. Indikasi

Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama

dengan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin, tetapi

ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat

daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit

setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah PO.

Obat ini menyebabkan depresi napas pada janin sehingga

tidak dianjurkan sebagai analgesik pada persalinan.

Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif

1,5-2 mg/oral sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi

kemungkinan timbulkan adiksi pada metadon jauh lebih

besar daripada kodein.

d. Efek Samping

Metadon menyebabkan efek samping erupa perasaan

ringan, pusing, kantuk, fingsi mental terganggu, berkeringat,

pruritus, mual, dan muntah. Efek samping ini lebih sering

timbulpada pemberian oral daripada pemberian parenteral dan

lebih sering timbul pada pasien berobat jalan. Efek samping

yang jarang timbul ialah delirium, halusinasi selintas dan

urtikaria hemoragik. Bahaya utama pada takar lajak metadon

ialah berkurangnya ventilasi pulmonal. Terapi intoksikasi akut

metadon sama dengan terapi intoksikasi akut morfin.

e. Toleransi

Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek

analgetik, mual, anoreksia, miotik, sedasi, depresi napas dan

efek kardiovaskular, tetapi tidak timbul terhadap konstipasi.

Toleransi ini lebih lambat daripada toleransi terhadap morfin.

Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian

metadon secara kronik dapat dibuktikan dengan cara

menghentikan obat atau dengan memberikan nalorfin.

Page 16: Analgesik Opioid

Kemungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil daripada bahaya

adiksi morfin.

3.2 Propoksifen

a. Farmakodinamik

Propoksifen berefek analgesik karena kerja

sentralnya. Propoksifen terutama terikat pada reseptor µ

meskipun kurang selektif dibandingkan morfin. Propoksifen

65-100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat

dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen

parenteral menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan

50 mg meperidin parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan

perasaan panas dan iritasi di tempat suntikan. Kombinasi

propoksifen dengan asetosal berefek analgesik yang jauh lebih

baik daripada jika masing-masing obat diberikan tersendiri.

Obat ini tidak berefek antitusif.

b. Farmakokinetik

Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral

maupun parenteral. Efektivitas jauh berkurang jika

propoksifen diberikan PO. Biotransformasi propoksifen

dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati.

Dimetabolisme separuh pada lintasan pertama. Waktu

paruh 15 jam.

c. Indikasi

Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati

nyeri ringan hingga sedang, yang tidak cukup baik

diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen bersama

asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein bersama

asetosal. Dosis propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4

kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa asetosal.

Page 17: Analgesik Opioid

d. Efek Samping

Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak

mempengaruhi sistem kardiovaskular. Pemberian 130 mg

propoksifen PO pada orang dewasa sehat tidak banyak

mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis

ekuianalgetik insiden efek samping propoksifen seperti

mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk kurang

lebih sama dengan kodein. Dosis toksik biasanya

menimbulkan depresi SSP dan depresi napas, tetapi jika

dosis lebih besar lagi timbul konvulsi.

e. Adiksi

Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil

kemungkinannya daripada terhadap kodein. Penghentian

tiba-tiba pada terapi dengan propoksifen akan

menimbulkan gejala putus obat ringan. Dosis oral

propoksifen yang besar (300-600 mg) menimbulkan efek

subyektif yang menyenangkan, tetapi tidak serupa dengan

efek morfin. Obat ini cukup iritatif pada pemberian SC,

sehingga tidak digunakan secara parenteral.

Page 18: Analgesik Opioid

II.4 Antagonis Opioid dan Agonis Parsial

1. Antagonis Opioid

Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak

menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek

agonis opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada

keadaan stress atau syok. Nalokson merupakan prototip antagonis

opioid yang relatif murni, demikian pula naltrekson yang dapat

diberikan PO dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama daripada

nalokson. Dalam dosis besar keduanya memperlihatkan beberapa efek

agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis.

Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya di samping

memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otomik, endokrin,

analgetik dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin.

Obat-obat ini merupakan antagonis kompetitif reseptor µ, tetapi juga

memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain.

a. Farmakodinamik

Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa Nalokson

menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang

nyerinya tinggi; mengantagonis efek analgetik plasebo;

mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat

jarum akupuntur. Namun, masih perlu pembuktian lebih lanjut efek

nalokson ini sebab banyak faktor fisiologi yang berperan dalam

analgesia di atas. Dugaan yang sama juga timul tentang efek

nalokson terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan syok, dan

efeknya dalam mencegah overating dan obesitas pada tikus-tikus

yang diberi stres berat.

Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin

menimbulkan analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri

pascabedah. Pada beberapa pasien timbul reaksi yang tidak

menyenangkan, misalnya rasa cemas, perasaan yang aneh, sampai

Page 19: Analgesik Opioid

timbulnya day dreams yang mengganggu, atau lebih berat lagi

timbul halusinasi, paling sering halusinasi visual.

Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi napas

yang diduga karena kerjanya pada reseptor κ. Berbeda dengan

morfin, depresi napas tidak bertambah dengan bertambahnya dosis.

Kedua obat ini, terutama levalorfan memperberat depresi napas

oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi napas akibat

morfin dosis besar.

Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit setelah

pemberian nalokso pada pasien dengan depresi napas akibat agonis

opioid; efek sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga segera

dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson juga menyebabkan

kebalikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat agonis-

antagonis.

Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik

terhadap morfin, dosis kecil nalokson SC akan menyebabkan gejala

putus obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat

penghentian tiba-tiba pemberian morfin, hanya timbulnya

beberapa menit setelah penyuntikan terakhir setelah 2 jam. Berat

dan lama berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis

antagonis dan beratnya ketergantungan. Hal yang sama terjadi pada

orang dengan ketergantungan fisik terhadap agonis parsial, tetapi

diperlukan dosis lebih besar.

b. Farmakokinetik

Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya

segera terlihat setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga

diserap, tetapi karena hampir seluruhnya mengalami metabolisme

lintas pertama maka harus diberikan parenteral.

Obat ini dimetabolisme di hati, terutama dengan

glukoronidasi. Waktu paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja

Page 20: Analgesik Opioid

1-4 jam. Naltrekson efektif setelah pemberian PO, kadar puncaknya

dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, waktu paruhnya

sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Metabolitnya,

6-naltreksol, merupakan antagonis opioid yang lemah dan masa

kerjanya panjang.

c. Indikasi

Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi

napas akiat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh

ibu yang mendapat opioid sewaktu persalinan; atau akibat tentamen

suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini nalokson merupakan

obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis dan

mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid.

d. Toleransi

Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh

sifat agonis, jadi hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan

psikotomimetik dari nalorfin. Penghentian tiba-tiba pemberian

nalorfin kronis dosis tinggi menyebabkan gejala putus obat yang

khas tetapi lebih ringan daripada gejala putus obat morfin.

Nalokson, nalorfin, dan levalorfan kecil kemungkinannya

untuk disalahgunakan sebab tidak menyebabkan ketergantungan

fisik; tidak menyokong ketergantungan fisik morfin; dan dari segi

subyektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi

para pecandu.

2. Agonis Parsial

2.1 Pentazosin

a. Farmakodinamik

Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu

menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia

yang timbul agaknya karena efeknya pada reseptor κ,

Page 21: Analgesik Opioid

karena sifatnya berbeda dengan analgesia akibat morfin.

Analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih cepat daripada

morfin. Pada dosis 60-90 mg obat ini menyebabkan disforia

dan efek psikotomimetik mirip nalorfin yang hanya dapat di

antagonis oleh nalokson. Diduga timbulnya disforia dan efek

psikotomimetik karena kerjanya pada reseptor δ.

Efeknya pada saluran cerna mirip efek opioid,

sedangkan pada uterus efeknya mirip efek meperidin. Respons

kardiovaskular terhadap pentazosin berbeda dengan respons

terhadap opioid morfin, yaitu dalam dosis tinggi menyebabkan

peningkatan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung.

Gejala putus obat yang terjadi diantaranya mirip gejala

putus obat morfin. Penyuntikan berulang pada tempat yang

sama dapat menyebabkan abses steril, ulserasi dan jaringan

perut.

b. Farmakokinetik

Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja,

tetapi karena mengalami metabolisme lintas pertama,

bioavailabilitas PO cukup bervariasi. Obat ini dimetabolisme

secara intensif di hati untuk kemudian diekskresi sebagai

metabolit melalui urin. Pada pasien sirosis hepatis klirensnya

sangat berkurang.

c. Indikasi

Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang,

tetapi kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat.

Obat ini juga digunakan untuk medikasi praanestesik. Bila

digunakan untuk analgesia obstetrik, pentazosin dapat

mengakibatkan depresi napas yang sebanding meperidin.

Page 22: Analgesik Opioid

d. Toleransi

Toleransi dapat timbul terhadap efek analgetik dan efek

subyektif pada pemberian berulang. Ketergantungan fisik dan

psikis dapat pula terjadi, tetapi kemungkinannya jauh lebih

kecil.

2.2 Butorfanol

a. Farmakodinamik

Pada pasien pascabedah, suntikan 2-3 mg butorfanol

menimbulkan analgesia dan depresi napas menyerupai efek

suntikan 10 mg morfin atau 80 mg meperidin.

Dosis analgetik butorfanol juga meningkatkan tekanan

arteri pulmonal dan kerja jantung.

b. Farmakokinetik

Butorfanol mirip dengan morfin dalam hal mula

kerja, waktu tercapainya kadar puncak dan masa kerja,

sedangkan waktu paruhnya kira-kira 3 jam.

c. Indikasi

Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut

pascabedah sebanding dengan morfin, meperidin atau

pentazosin. Butorfanol efektif untuk medikasi praanestetik.

Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri

yang menyertai infark miokard akut. Dosis butorfanol

yang dianjurkan untuk dewasa adalah dosis 1-4 mg IM atau

0,5-2 mg IV dan dapat diulang 3-4 jam.

d. Efek Samping

Efek samping utama butorfanol adalah kantuk, rasa

lemah, berkeringat, rasa mengambang dan mual. Sedangkan

efek psikotomimetik lebih kecil dibanding pentazosin pada

Page 23: Analgesik Opioid

dosis ekuianalgetik. Kadang-kadang terjadi gangguan

kardiovaskular yaitu palpitasi dan gangguan kulit rash.

2.3 Buprenorfin

a. Farmakodinamik

Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain

pada SSP seperti morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis

depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh dosis anestesik

fentanil sama baiknya dengan nalokson.

Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan

buprenorfin dapat dicegah oleh penggunaan nalokson

sebelumnya, akan tetapi nalokson dosis tinggipun sulit

untuk mengatasi efek yang sudah ditimbulkan oleh

buprenorfin.

Buprenorfin dapat menimbulkan ketergantungan fisik

dengan gejala dan tanda-tanda putus obat seperti morfin,

tetapi tidak terlalu berat.

b. Farmakokinetik

Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorfin 0,4-

0,8 mg sublingual menimbulkan analgesia yang baik pada

pasien pascabedah. Kadar puncak alam darah dicapai

dalam 5 menit setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam

setelah penggunaan secara oral atau sublingual. Masa

paruh dalam plasma sekitar 3 jam.

c. Indikasi

Selain sebagai analgesik, buprenorfin juga bermanfaat

untuk terapi penunjang pasien ketergantungan opioid, dan

pengobatan adiksi heroin.

Page 24: Analgesik Opioid

2.4 Tramadol

a. Farmakodinamik

Tramadol efektif untuk nyeri ringan sampai sedang,

tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Untuk

nyeri persalinan, tramadol sama efektif dengan meperidin dan

kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.

b. Farmakokinetik

Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara

oral 68% dan 100% bila digunakan secara IM. Tramadol

mengalami metabolisme di hati dan diekskresi oleh ginjal,

dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan

7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam

1 jam setelah penggunaan secara oral, dan mencapai

puncak dalam 2-3 jam. Lama analgesia sekitar 6 jam. DM

per hari yang dianjurkan 400 mg.

c. Efek Samping

Efek samping yang umum mual, muntah, pusing,

mulut kering, sedasi, dan sakit kepala. Depresi pernapasan

nampaknya kurang dibandingkan dengan dosis

ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kurang

daripada dosis ekuivalen kodein.

Page 25: Analgesik Opioid

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan pada Bab

sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat

seperti opium yang digunakan untuk meredakan atau

menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan

berbagai efek farmakodinamik yang lain.

2. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam golongan analgesik

opioid adalah morfin, kodein, meperidin, metadon, dan

propoksifen.

3. Obat-obatan golongan analgesik opioid memiliki efek

farmakodinamik pada susunan saraf pusat, saluran cerna, sistem

kardiovaskular, dan otot polos.

4. Obat-obatan analgesik opioid diindikasikan terutama untuk

meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat

diobati dengan analgesi non-opioid.

5. Efek samping yang ditimbulkan obat-obatan analgesik opioid

diantaranya mual, muntah, depresi pernapasan, euforia, disforia,

sedasi, tergantung jenis obat dan dosis yang diberikan pada pasien.

III.2 Saran

Dikarenakan banyaknya jenis obat-obatan yang tergolong dalam

analgesik opioid dengan efek sampingnya masing-masing, maka

disarankan agar pemilihan dan penggunaan obat-obatan ini lebih

diperhatikan dan didampingi pemakaiannya oleh orang-orang medis

untuk meminimalisasi efek samping yang akan ditimbulkan.

Page 26: Analgesik Opioid

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. “Chapter I : Analgesik Opioid”. http://repository.usu.ac.id/

bitstream/handle/123456789/24542/Chapter

%20I.pdf;jsessionid=E5698E23E67B058D8503E490EF759795?

sequence=5. Di akses pada tanggal 5 April 2015.

Dewoto, Hedi. 1971. FARMAKOLOGI DAN TERAPI Edisi V. Jakarta :

Departemen Farmakologi dan Terapi FK UI.

Neal, Michael. 2005. At a Glance : FARMAKOLOGI MEDIS. Jakarta :

Penerbit Erlangga.

Olson, James. 1995. BELAJAR MUDAH FARMAKOLOGI. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.