11
[1] ANALISIS LONGSORAN BATU DENGAN METODE PROYEKSI STEREOGRAFI Oleh: Prihananto Setiadji Jurusan/Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Cenderawasih Papua Abstrak Kejadian longsor merupakan peristiwa alam yang sering dijumpai pada daerah yang memiliki morfologi berbukit-bukit atau pegunungan dengan material berupa tanah atau batuan. Penyebab longsor dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : 1) Faktor alami, seperti curah hujan, kondisi tanah dan batuan, kegempaan dan kemiringan lereng (topografi); 2) Faktor manusia, seperti penggunaan lahan pada lereng bukit terjal, pengupasan dan pengundulan hutan. Longsoran batuan termasuk jarang terjadi, sehingga teknik atau analisis longsoran belum banyak dilakukan oleh peneliti. Penelitian ini menyajikan satu analisis yang dipandang sedarhana dan memadai untuk mengetahui mekanisme dan karakteristik longsoran batu di Kota Jayapura. Analisis yang digunakan adalah analisis dengan metode stereografi. Pengolahan data menggunakan program StereoPro Stereographic Projection Version 1.00. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini antara lain : 1) penafsiran yang cukup baik terhadap mekanisme longsoran yang diperlihatkan dalam bentuk model longsoran di tiga lokasi penelitian; 2) teridentifikasi karakteristik massa batuan yang efektif menyebabkan longsor; 3) daerah disekitar Kampung Nafri yang tersusun oleh batunapal dari Formasi Makats sangat rentan terhadap longsor batu. I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Longsoran (landslide) merupakan bencana alam yang sering terjadi pada daerah yang berbukit- bukit atau pegunungan, seperti di Kota Jayapura dan sekitarnya. Material yang longsor dapat berupa tanah, batuan atau tanah dan batuan. Penyebab longsor antara lain : curah hujan yang tinggi, kondisi tanah dan batuan yang rentan, kegempaan yang kuat, dan kemiringan lereng yang besar. Disamping itu, akibat peran manusia yang berkaitan dengan penggunaan lahan yang tidak tepat, pengupasan dan penggundulan hutan, serta pemotongan lereng untuk pembuatan jalan dan pemukiman. Peristiwa longsoran yang banyak terjadi adalah longsoran tanah. Jenis longsoran ini kerap kali terjadi pada awal musim hujan dan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi manusia karena memiliki dimensi yang sangat luas. Seperti longsoran tanah telah terjadi di Kota Jayapura, pada awal tahun 2008. Kejadian longsor di komplek RS Dok II telah menelan korban 9 orang meninggal dunia dan lebih dari 3 rumah rusak berat. Longsoran batu termasuk jarang terjadi, namun kejadiannya musti diperhitungkan karena tak kalah merusak atau merugikan bagi manusia beserta aktivitasnya. Seperti longsoran batu di kampung Nafri, Polimak dan skyline yang sering menjadi menghambat bagi jalur transportasi. Teknik analisis longsoran batu belum banyak dilakukan. Teknik analisis yang sering dilakukan adalah untuk longsoran tanah yang cenderung mahal dan memerlukan fasilitas laboratorium yang memadai dalam rangka menentukan sifat-sifat fisik dan mekanis tanah. Dalam upaya meminimalkan kerugian yang timbul akibat longsoran batu di Kota Jayapura maka dilakukan penelitian longsoran dengan metode stereografi yang dipandang lebih sederhana dan

Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi Stereografi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi Stereografi

[1]

ANALISIS LONGSORAN BATU DENGAN METODE PROYEKSI STEREOGRAFI

Oleh:

Prihananto Setiadji Jurusan/Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Cenderawasih – Papua

Abstrak Kejadian longsor merupakan peristiwa alam yang sering dijumpai pada daerah yang memiliki morfologi berbukit-bukit atau pegunungan dengan material berupa tanah atau batuan. Penyebab longsor dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : 1) Faktor alami, seperti curah hujan, kondisi tanah dan batuan, kegempaan dan kemiringan lereng (topografi); 2) Faktor manusia, seperti penggunaan lahan pada lereng bukit terjal, pengupasan dan pengundulan hutan.

Longsoran batuan termasuk jarang terjadi, sehingga teknik atau analisis longsoran belum banyak dilakukan oleh peneliti. Penelitian ini menyajikan satu analisis yang dipandang sedarhana dan memadai untuk mengetahui mekanisme dan karakteristik longsoran batu di Kota Jayapura. Analisis yang digunakan adalah analisis dengan metode stereografi. Pengolahan data menggunakan program StereoPro – Stereographic Projection Version 1.00.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini antara lain : 1) penafsiran yang cukup baik terhadap mekanisme longsoran yang diperlihatkan dalam bentuk model longsoran di tiga lokasi penelitian; 2) teridentifikasi karakteristik massa batuan yang efektif menyebabkan longsor; 3) daerah disekitar Kampung Nafri yang tersusun oleh batunapal dari Formasi Makats sangat rentan terhadap longsor batu.

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Longsoran (landslide) merupakan bencana alam yang sering terjadi pada daerah yang berbukit-bukit atau pegunungan, seperti di Kota Jayapura dan sekitarnya. Material yang longsor dapat berupa tanah, batuan atau tanah dan batuan. Penyebab longsor antara lain : curah hujan yang tinggi, kondisi tanah dan batuan yang rentan, kegempaan yang kuat, dan kemiringan lereng yang besar. Disamping itu, akibat peran manusia yang berkaitan dengan penggunaan lahan yang tidak tepat, pengupasan dan penggundulan hutan, serta pemotongan lereng untuk pembuatan jalan dan pemukiman.

Peristiwa longsoran yang banyak terjadi adalah longsoran tanah. Jenis longsoran ini kerap kali terjadi pada awal musim hujan dan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi manusia karena memiliki dimensi yang sangat luas. Seperti longsoran tanah telah terjadi di Kota Jayapura, pada awal tahun 2008. Kejadian longsor di komplek RS Dok II telah menelan korban 9 orang meninggal dunia dan lebih dari 3 rumah rusak berat.

Longsoran batu termasuk jarang terjadi, namun kejadiannya musti diperhitungkan karena tak kalah merusak atau merugikan bagi manusia beserta aktivitasnya. Seperti longsoran batu di kampung Nafri, Polimak dan skyline yang sering menjadi menghambat bagi jalur transportasi.

Teknik analisis longsoran batu belum banyak dilakukan. Teknik analisis yang sering dilakukan adalah untuk longsoran tanah yang cenderung mahal dan memerlukan fasilitas laboratorium yang memadai dalam rangka menentukan sifat-sifat fisik dan mekanis tanah.

Dalam upaya meminimalkan kerugian yang timbul akibat longsoran batu di Kota Jayapura maka dilakukan penelitian longsoran dengan metode stereografi yang dipandang lebih sederhana dan

Page 2: Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi Stereografi

[2]

memadai untuk mengetahui mekanisme dan karakteristik longsoran batu. Melalui metode stereografi akan tergambar hubungan antar bidang-bidang diskontinuitas dan arah pergerakan serta kemiringan massa batuan. Bidang diskontinuitas batuan yang merupakan bagian yang lemah sehingga mudah hancur dan bergerak. Teknik analisis ini telah dikembangkan oleh ahli teknik (engineer) dalam merancang kestabilan lereng pada tambang terbuka.

1.2. Lokasi Penelitian

Secara administratif lokasi penelitian berada di Kotamadya Jayapura dan secara geografis diantara 2º 35’ 08 – 2º 37’ 58 LS dan 140º 37’ 49” – 140º 42’ 39” BT. Letak lokasi penelitian seperti pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Lokasi penelitian

Page 3: Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi Stereografi

[3]

II. TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Longsoran

Longsoran adalah pergerakan masa tanah atau batuan sepanjang bidang gelincir atau suatu permukaan bidang geser.

Massa batuan adalah kondisi material dan bidang-bidang diskontinuitas yang dimiliki batuan (Bieniawski, 1989).

Penyebab-penyebab longsoran diantaranya (Highway Research Board, 1978, dalam Bandono dan Sadisun, 1997), yaitu : a. Berkurangnya kekuatan geser material pembentuk lereng akibat :

i. Erosi, baik yang disebabkan oleh aliran sungai, hujan maupun perbedaan suhu. ii. Pergerakan alami dari lereng akibat pergeseran bidang longsor maupun akibat

penurunan (setlement). iii. Aktifitas manusia, antara lain :

o Penggalian dasar lereng o Pengrusakan sruktur penahan tanah o Penggundulan tanaman pada lereng.

b. Bertambahnya tegangan geser pada lereng akibat : i. Kondisi alam

ii. Aktifitas manusia iii. Gempa atau sumber getaran lainnya iv. Pemindahan material di sekeliling dasar material longsoran v. Timbulnya tekanan tanah lateral

Vernes (1958, dalam Verhoef, 1994) membagi faktor-faktor penyebab longsoran menjadi dua bagian, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan kenaikan tegangan dan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan kekuatan geser tanah.

Jenis longsoran menurut Vernes D. J. (1978, dalam Bandono dan Sadisun, 1997) dapat dikelompokan menjadi 6 kelompok, yaitu : jatuhan, robohan, longsoran, pancaran lateral, aliran, dan kombinasi (Tabel 2.1)

Tabel 2.1. Klasifikasi longsoran berdasarkan Vernes(1978)

TYPE OF MOVEMENT

TYPE MATERIAL

BEDROCK ENGINEERING SOIL

Predominantly Coarse Predominantly fine

Falls Rock fall Debris fall Earth fall

Topples Rock topple Debris topple Earth topples

Slide

Rotational few units Rock slump Debris slide Earth slide

Translational many units

Rock block slide

ebris block slides Earth block slides

Lateral spread Rock spread Debris spread Earth spread

Flows Rock flows (deep creep)

Debris flow Earth flow (Soil creep)

Complex Combination of two or more principal types of movement

Dalam kasus kestabilan lereng yang tersusun oleh batuan, prinsip dasar yang perlu diperhatikan adalah kerapatan (frekuensi), orientasi dan kekuatan bidang diskontinu pada massa batuan (Price,

Page 4: Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi Stereografi

[4]

1979). Kekuatan material dapat menghasilkan lereng yang lebih besar menjadi stabil, tetapi jika lereng tersebut memiliki bidang-bidang diskontinu, maka bidang tersebut penting untuk diperhatikan, seperti tergambar pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Mekanisme longsoran blok yang memiliki kekar terbuka.

Bidang-bidang diskontinuitas yang memotong massa batuan akan menghasilkan blok. Blok umumnya masih tersambung dengan massa batuannya. Blok yang terpisah akan membentuk kekar yang terbuka (opened joint fracture). Jika air hujan atau air permukaan mengisi bukaan ini , maka akan menambah tekanan di kedua sisinya. Tekanan air amat tergantung pada situasi bukaan kekar, meskipun ukuran kecil tetapi dalam daerah yang luas maka tekanan air akan sangat berpengaruh terhadap kestabilan lereng. 2.2. Proyeksi Stereografi

Proyeksi stereografi adalah gambaran dua dimensi atau proyeksi dari permukaan sebuah bola sebagai tempat orientasi geometri bidang dan garis (Ragan, 1985).

Proyeksi ini hanya menggambarkan geometri kedudukan atau orientasi bidang dan garis, sehingga hanya memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan geometri (besaran arah dan sudut) saja. Analisis geometri struktur geologi atau bidang-bidang diskontinu menerapkan prinsip-prinsip proyeksi stereografi menggunakan bantuan stereonet, berupa Wulf Net, Schmidt Net, Equal Area Net, Polar Net dan Karlbeek Counting Net.

Proyeksi stereografi merupakan proyeksi yang didasarkan pada perpotongan bidang atau garis dengan suatu bidang proyeksi yang berupa bidang horizontal yang melalui sebuah bola. Bidang ini akan berbentuk lingkaran, disebut lingkaran primitive (Gambar 2.2).

Lingkaran primitif merupakan proyeksi yang kedudukannya (dip = 0). Oleh sebab itu, penentuan proyeksi dip untuk bidang dimulai pada lingkaran luar, dan dip 90o terletak pada pusat lingkaran. Untuk menentukan kemiringan bidang yang dip-nya antara 0 – 90o, maka proyeksinya akan berbentuk busur yang jari-jarinya lebih besar dari jari-jari lingkaran primitif, sehingga disebut lingkaran besar atau great circle, atau stereogram. Untuk struktur bidang yang vertical, maka proyeksinya akan berupa garis lurus yang melalui pusat lingkaran primitive.

Page 5: Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi Stereografi

[5]

Gambar 2.2. Komponen proyeksi stereografi.

Disamping lingkaran primitive dan lingkaran besar, terdapat juga lingkaran kecil yang merupakan perpotongan antara bidang permukaan bola dengan bidang yang tidak melalui pusat bola. Lingkaran kecil ini berfungsi untuk memplot arah jurus bidang, atau bearing suatu garis.

III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan: a. Untuk mengetahui faktor-faktor dan mekanisme penyebab longsoran batu yang berada di

sekitar Kota Jayapura; b. Untuk menerapkan metode proyeksi stereografi dalam menjelaskan karakteristik longsoran

batu. 3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain : a. Sebagai bahan pengembangan materi ajar (kuliah) untuk matakuliah geologi struktur,

mekanika batuan, dan geologi teknik di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Cenderawasih; b. Sebagai bahan perencanaan dan pertimbangan bagi penanganan teknis terhadap bahaya

longsoran (terutama longsoran batu) dalam rangka upaya mitigasi bencana bagi Kota Jayapura dan sekitarnya.

Page 6: Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi Stereografi

[6]

IV. METODE PENELITIAN Data dikumpulkan dari pengukuran langsung di lapangan pada 3 lokasi terpilih (Gambar 1.1). Data yang dikumpulkan berupa: data arah dan kemiringan (orientasi), kerapatan (frekuensi), bukaan (opening) dan dimensi (ukuran) dari bidang-bidang diskontinuitas seperti kekar, sesar dan lapisan batuan. Lokasi pengukuran ditentukan dengan Global Positioning System (GPS) dan selanjutnya diplot di atas peta topografi. Pengukuran topografi diperlukan untuk menentukan dimensi lereng yang lebih detail.

Data orientasi dianalisis dengan menggunakan proyeksi stereografi untuk memperoleh pola dan arah umum bidang diskontinu. Data orientasi digambar sebagai kontur dengan kerapatan 10% dalam stereonet kutub (equal area) lower hemisphere sebagai media untuk memperoleh sebaran dan pola serta menentukan arah dan kemiringan bidang-bidang diskontinu. Pengolahan data menggunakan program stereoPro – Stereographic Projections Version 1.00 (Walter, 1997).

Hasil analisis proyeksi stereografi selanjutnya dikombinasi dengan metode ortografi, yaitu dengan menggunakan penampang yang diukur dan digambar dari kondisi riil di lapangan, sebagai media menggambarkan pola dan arah bidang-bidang diskontinu.

Penafsiran mekanisme longsoran dilakukan berdasarkan besaran jarak, sudut, pola dan arah bidang-bidang diskontinu yang tergambar dalam penampang dari masing-masing lokasi. Hasil penafsiran dianggap sebagai model mekanisme longsoran bagi setiap jenis batuan.

Skema metodologi penelitian ditunjukan oleh diagram alir seperti pada Gambar 4.1. berikut ini :

Gambar 4.1. Diagram alir metodologi penelitian.

Page 7: Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi Stereografi

[7]

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Longsoran batu telah terjadi di beberapa tempat di Kota Jayapura, yaitu 1. Polimaks, Entrop, Skylane, Waena dan Nafri. Dari keempat lokasi ini terpilih 3 lokasi yang berdasarkan informasi geologi dari Peta Geologi Lembar Jayapura (Suwarna dan Noya, 1995) memiliki jenis batuan dan umur batuan yang berbeda. Perbedaan ini akan memberi pengaruh terhadap distribusi bidang-bidang diskontinuitas sehingga dapat memberi gambaran mekanisme dan karakteristik longsoran batu di setiap lokasi. Batuan di lokasi Entrop tersusun oleh batugamping yang terkekarkan, berlapis dan sedikit bergelombang (terlipat), Gambar 5.1. Batuan ini merupakan bagian dari Formasi Nubai (Tomn) yang berumur Eosen – Miosen Akhir. Batuan di lokasi Waena tersusun oleh batuan beku ultrabasa (um) yang terkekarkan dan tersesarkan dan merupakan batuan yang berumur paling tua yang dijumpai di daerah penelitian (praTersier), Gambar 5.2. Batuan di lokasi Nafri tersusun oleh batunapal dari Formasi Makats (Tmm) yang berumur Miosen Tengah – Miosen Akhir. Batuan ini berlapis baik dan telah mengalami perlipatan dan tersesarkan secara kuat (Gambar 5.3).

Gambar 5.1. Singkapan batugamping (Formasi Nubai/Tomn) di lokasi jalan

kantor Walikota Jayapura (Entrop)

Gambar 5.2. Singkapan batuan beku ultrabasa (um) yang berada di lokasi pengukuran

tepi jalan raya Waena.

Page 8: Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi Stereografi

[8]

Gambar 5.3. Singkapan batunapal (Formasi Makats) berlapis baik di lokasi Kampung Nafri

Pergerakan batuan pada bidang miring terjadi disepanjang bidang-bidang diskontinuitas yang ada di dalam massa batuan. Pergerakan tersebut dapat dideteksi dengan baik berdasarkan orientasi bidang diskontinuitas. Orientasi diukur secara langsung dilapangan dengan menggunakan kompas geologi.

Data dikumpulkan dari singkapan yang telah dibuat oleh manusia maupun hasil longsoran. Data yang telah dikumpulkan berupa data orientasi (jurus dan kemiringan), kerapatan, bukaan dan dimensi dari bidang-bidang diskontinuitas (kekar, sesar dan lapisan). Data selengkapnya disajikan dalam Lampiran A.

Jumlah kekar dan sesar yang terukur sangat banyak dan bervariasi. Untuk menentukan arah umur kekar dan sesar yang dijumpai di setiap lokasi maka data diolah dengan program StereoPro. Data diolah dengan diagram mawar (rose)dan proyeksi stereografi menggunakan polar equal area dan diagram kontur, hasil selengkapnya seperti pada Lampiran B. Hasil pengolahan data seluruhnya secara ringkas ditampilkan pada Tabel 5.1 berikut ini.

Tabel 5.1. Hasil pengolahan data pengukuran lapangan dari masing-masing lokasi. Lokasi Waena Entrop Nafri

Koordinat

Lintang (S) 2o 35' 75" 2o 35' 08" 2o 37' 58"

Bujur (E) 140o 37' 49" 140o 38' 97" 140o 42' 39"

Arah Penampang (N …E) 34 255 150

Sudut Lereng (o) 56 75 50

Tinggi Lereng (m) 7 - 10 12 - 15 30 - 40

Arah Umum (N …E)

Kekar Tarik (N …E) 215 245 199

Kekar Gerus (N…E/plunge) 219 / 69 229 / 80 185 / 83

Sesar (N…E/plunge) 262 / 67 228 / 85 x

Panjang Kekar (cm) 17,14 14,13 21,15

Lebar Bukaan (cm) 0,63 0,47 1,43

Kerapatan kekar (cm) 12,75 5,2 11,61

Lapisan Batuan

Strike (N..E) x x 89

Dip (o) x x 20

Keterangan : (x) = tidak ada data pengukuran.

Page 9: Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi Stereografi

[9]

5.2. Pembahasan

Hasil pengolahan data kekar memperlihatkan orientasi arah yang sama antara kekar tarik dan kekar gerusnya. Hal ini dapat terjadi karena sulitnya membedakan kedua jenis kekar di lapangan. Pola kesejajaran yang umumnya dijumpai pada kekar tarik sering sudah terpotong-potong sehingga menyerupai pola kekar gerus. Hasil pengolahan kekar tarik yang menggunakan diagram mawar ternyata hampir sama dengan hasil pengolahan kekar gerus yang menggunakan diagram kontur pada proyeksi stereografi.

Sesar secara khusus dijumpai pada lokasi Entrop dan Waena. Pengolahan data sesar dikerjakan proyeksi stereografi untuk dapat memperlihatkan orientasi bidang sesar secara jelas. Orientasi sesar di lokasi Waena memperlihatkan arah relatif barat – timur (N 262o E/ 67o) dan di lokasi Entrop berarah barat daya – timur laut (N 228o E/ 85o). Perlapisan batuan yang baik hanya dijumpai pada lokasi Nafri. Orientasi perlapisan cenderung barat – timur dengan arah kemiringan rendah ke selatan. Arah umum sesar dan perlapisan berbeda dengan arah umum kekar di masing-masing lokasi.

Arah bidang kutub di Entrop adalah N 229o E/83o, Waena adalah N 240o E/ 67o dan Nafri adalah N 165° E/ 44°. Berdasarkan hasil analisis ini maka arah bidang kutub di Nafri relatif searah dengan trend atau azimuth singkapan. Posisi ini seperti ini kurang menguntungkan bagi tingkat kestabilan massa batuan.

Hubungan bidang-bidang diskontinuitas dan bidang kutub memberikan perbedaan pada mekanisme dan karakteristik longsoran batu di masing-masing lokasi. Gambaran penampang di setiap lokasi yang diperoleh dari hasil analisis proyeksi stereografi diperlihatkan seperti Gambar 5.4. – 5.6.

Mekanisme longsoran batu yang terjadi di Kota Jayapura secara umum lebih dikendalikan oleh kehadiran kekar, terutama yang dihasilkan oleh gaya-gaya kompresif seperti kekar gerus. Jenis kekar ini cenderung lebih destruktif dan mengurangi kekuatan massa batuan. Orientasi kekar yang searah dengan lereng atau tebing menyebabkan tingkat kestabilan lereng menjadi rendah dan batuan akan cenderung mudah bergerak.

Pada kasus longsoran batu di Nafri, karakteristik batunapal yang berlapis dengan kemiringan yang rendah (meskipun tidak searah dengan kemiringan lereng) dan kekar yang relatif sejajar dengan spasi dan ukuran yang cukup panjang menjadi sangat tidak stabil menahan beban yang berada di bagian atas. Longsor batu sangat sering terjadi di daerah ini dibandingkan dengan daerah Entrop dan Waena. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan longsoran batu juga dapat terjadi di kedua daerah ini, terutama pada lereng yang letaknya berlawanan dengan arah penampang.

Massa batuan beku cenderung lebih stabil dibandingkan dengan massa batugamping. Batuan beku relatif tahan terhadap proses pelapukan dan pola bidang diskontinuitas (kekar) tidak banyak berubah, sehingga hancuran batu dapat saling mengunci. Batugamping mudah mengalami larut oleh asam (air hujan) sehingga pola bidang diskontinuitas cenderung berubah, mengakibatkan kekuatan dan daya gesek batuan berkurang.

Longsor pada batuan beku lebih banyak dihasilkan oleh perbedaan tingkat pelapukan batuan, terutama pada zona campuran antara fragmen batuan dengan material lapuk lanjut. Material lapuk mudah terbawa (transported) oleh air sehingga fragmen dapat ikut bergerak.

Longsor batu menjadi efektif pada massa batuan yang memiliki karakteristik, antara lain : 1) kekar yang dominan adalah kekar gerus dengan arah kemiringan relatif sejajar atau searah dengan kemiringan lereng (tebing); 2) sudut lereng lebih dari 40º dan tinggi lebih dari 10 m, serta tersusun oleh material batuan yang lunak atau telah lapuk lanjut; 3) bukaan antar bidang diskontinuitas relatif besar (lebih dari 1 cm) dan tidak terdapat pengisi sehingga air berperan dalam meningkatkan tekanan pada celah; 4) massa batuan tersusun oleh material yang relatif seragam (equigranular).

Page 10: Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi Stereografi

[10]

Gambar 5.4. Orientasi kekar, sesar dan lapisan batugamping pada penampang lereng di Entrop.

Gambar 5.5. Orientasi kekar dan lapisan batunapal yang sangat rentan (mudah longsor) pada penampang tebing di Nafri.

Dari ketiga lokasi longsor batu di Kota Jayapura dapat diketahui bahwa daerah Nafri menjadi lokasi yang sangat rentan terhadap longsor batu dibandingkan daerah Entrop dan Waena. Daerah Entrop dan Waena menjadi cukup rentan, jika kondisi massa batuan telah berubah secara signifikan, baik oleh proses pelapukan, pelarutan maupun orientasi bidang-bidang diskontinuitas terhadap kemiringan lereng.

Page 11: Analisis Longsoran Batu Dengan Metode Proyeksi Stereografi

[11]

Gambar 5.6. Orientasi sesar dan kekar pada batuan beku ultrabasa yang cukup stabil pada

penampang tebing/lereng di Waena.

VI. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan penafsiran dengan menggunakan metode proyeksi stereografi maka longsoran batu di Kota Jayapura dapat disimpulkan menurut mekanisme dan karakteristiknya, sebagai berikut : a. Mekanisme longsoran batu lebih dikontrol oleh kekar, terutama kekar-kekar gerus yang

orientasinya searah dengan kelerengannya. b. Longsor batu pada massa batuan yang memiliki karakteristik, antara lain : 1) dominan kekar

gerus yang se-orientasi dengan tebing; 2) sudut lereng lebih dari 40º, tinggi lereng dari 10 m, dan tersusun oleh material batuan yang lunak atau telah lapuk lanjut; 3) lebar bukaan antar bidang diskontinuitas relatif besar dan tidak terdapat pengisi sehingga air berperan dalam meningkatkan tekanan pada celah; 4) massa batuan tersusun oleh material yang relatif seragam (equigranular).

c. Daerah yang sangat rentan terhadap longsoran batu berada disekitar Kampung Nafri dengan batuan penyusun berupa batunapal dari Formasi Makats.

ACUAN

Bandono, dan Sadisun, I.A., 1997, Pengantar Geologi Teknik, Kumpulan Edaran Praktikum, Lab. Geologi Teknik – ITB, Bandung.

Bieniawski, Z.T., 1989, Engimeering Rock Mass Classification, John Wiley & Sons, New York. Price, D.G., 1979, Site Investigation Rock Slope Engineering, Lecture Notes, Bangkok. Ragan, D.M., 1985, Structural Geology, John Wiley & Sons, New York. Suwarna, N., dan Noya, Y., 1995, Peta Geologi Lembar Jayapura (Peg. Cycloops), Pusat Penelitian

dan Pengembangan Geologi, Bandung. Walter, M., 1997, Stereographic Projection Version 1.00, StereoPro Programme. Verhoef, P.N.W., 1994, Geologi untuk Teknik Sipil, Penerbit Erlangga, Jakarta.