Upload
whizverage
View
593
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
ANARKISME ILMU PENGETAHUAN
(Analisis Terhadap Konstruksi Epistemologi
Paul Karl Feyerabend, 1924-1994)
S K R I P S I
Diajukan kepada Fakultas UshuluddinUniversitas Islam Negeri Sunan Kalijaga YogyakartaUntuk Memenuhi sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu (S-1) Filsafat Islam
Disusun Oleh:FATHORRAHMAN
NIM. 0051 0251
JURUSAN AQIDAH FILSAFATFAKULTAS USHULUDDIN
UIN SUNAN KALIJAGAYOGYAKARTA
2005BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap filsafat ilmu.
Dinamika perkembangan ilmu yang begitu pesat dan cepat serta pengaruhnya
yang cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat, menuntut intensitas
pemikiran kita untuk mempelajari berbagai metode cabang ilmu secara terpadu
dan berkesinambungan. Hakikat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan
berdaya guna memberikan dorongan bagi kita dalam menjelaskan, meramalkan
dan mengontrol gejala-gejala alam.
Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor
peradaban telah memungkinkan manusia menemukan jati dirinya dan menghayati
hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan serta merta dikembangkan
manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan
pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang
menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai
masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kehidupan
sehari-hari, dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari
sejarah kebudayaannya.
Meskipun tampak betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran
itu, namun pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan
didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni: Apakah yang ingin kita ketahui?
Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? dan Apakah nilai pengetahuan
tersebut bagi kita?1 Hal ini juga sesuai dengan dimensi utama filsafat ilmu itu
sendiri sebagai sebuah proses penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah
dan cara-cara untuk memperolehnya. Sebab filsafat ilmu itu sendiri bersinggungan
pula dengan bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti filsafat pengetahuan
(hakikat serta otentisitas pengetahuan), ontologi (ciri-ciri serta susunan kenyataan)
dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggungjawab).2
Pertanyaan itu kelihatannya sederhana namun mencakup permasalahan
yang sangat azasi. Lahirnya sejumlah karya pemikiran besar pun sebenarnya
merupakan wujud nyata dari keseriusan kaum intelektual dalam rangka
merumuskan format penafsiran baru yang lebih bermutu atas ketiga pertanyaan
tersebut di atas. Pemikiran-pemikiran besar dalam sejarah kebudayaan manusia
dapat dicirikan dan dibedakan dari cara mereka menjawab dan menyikapi
pertanyaan-pertanyaan itu yang merupakan titik tolak dalam pengembangan
pemikiran selanjutnya. Ilmu merupakan salah satu bentuk manifestasi dari
pengetahuan manusia yang pada abad modern ini telah merasuki setiap sudut
kehidupan manusia.
Salah satu pandangan kontemporer tentang ilmu yang paling menantang
dan provokatif adalah pandangan yang dikemukakan dan dibela secara gemilang
oleh Paul Karl Feyerabend. Ia mengajukan pandangan yang sangat menantang dan
baru dalam filsafat ilmu. Baginya, tidak ada penilaian mengenai watak dan status
1 Jujun Suparjan Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 2.
2 Beerling, et.al., Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. xii.
ilmu akan lengkap tanpa suatu usaha untuk memahaminya secara integral dan
holistik. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita
harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya secara mendalam, sehingga hal
tersebut bukan saja akan meningkatkan apresiasi kita terhadap ilmu itu sendiri,
namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangan yang
dikandungnya.
Mereka yang mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber
kebenaran biasanya tidak mengetahui hakikat ilmu yang sebenarnya. Demikian
juga sebaliknya dengan mereka yang memalingkan muka dari ilmu, dan tidak mau
melihat kenyataan bahwa ilmu telah mampu membentuk peradaban seperti apa
yang kita saksikan sekarang ini, kepicikan seperti itu kemungkinan besar
disebabkan karena mereka kurang mengenal hakikat ilmu yang sebenarnya.
Menghadapi dua pola pendapat yang ekstrem ini seyogianya kita harus
bersikap lapang dan bijak dengan menyadari bahwa meskipun ilmu memang
memberikan gambaran konseptual tentang hakikat kebenaran, namun kebenaran
keilmuan bukanlah satu-satunya sumber kebenaran dalam hidup kita ini. Terdapat
berbagai model kebenaran lain yang memperkaya khazanah kehidupan kita.
Kehidupan terlalu rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pemikiran saja.
Adalah ketinggi hatian yang tidak mempunyai dasar sama sekali, jika kita
beranggapan bahwa ilmulah alpha dan omega dari segala kebenaran yang ada.
Dalam konteks pemikiran inilah, Paul Karl Feyerabend ingin melihat
mengapa pada abad modern ini ilmu pengetahuan diberi penghargaan tinggi
dalam masyarakat dibandingkan bidang-bidang lainnya. Seolah-olah kini ilmu
pengetahuan bersifat "anarkis".3
Feyerabend menyesalkan pembela-pembela ilmu yang secara tipikal
menilai ilmu adalah superior atas bentuk-bentuk pengetahuan lain tanpa
melakukan penyelidikan yang layak mengenai bentuk-bentuk pengetahuan lain.4
Ia mengemukakan bahwa banyak kaum metodologis sudah menganggap benar
tanpa argumentasi, bahwa ilmu (fisika) membentuk paradigma rasionalitas.
Secara kritis Feyerabend menulis tentang Imre Lakatos yang dianggapnya
sebagai rekan anarkis karena metodologinya tidak menyediakan hukum-hukum
untuk memilih teori atau program: "Setelah menyelesaikan rekonstruksinya
tentang ilmu modern, ia (Lakatos) mengalihkannya ke bidang-bidang lain seolah-
olah telah mapan bahwa ilmu modern lebih unggul daripada sihir-sihir atau ilmu
Aristotelian, dan bahwa ia tidak mempunyai hasil-hasil ilusif. Namun, tidak ada
secuil pun argumentasi yang dikemukakannya. 'Rekonstruksi rasional'
menganggap 'kearifan ilmiah' sudah benar, tetapi tidak dibuktikan bahwa ia lebih
baik daripada 'kearifan' para ahli sihir dan tukang-tukang sulap. Feyerabend
menggambarkan hal tersebut dengan pernyataan berikut:
Having finished his ‘reconstruction’ of modern science, he turns it against other fields as if it had already been established that modern science is superior to magic, or to Aristotelian science, and that it has no illusory results. However, there is not a shared of an argument of this kind. ‘Rational reconstructions’ take ‘basic scientific wisdom’ for granted, they
3 Prasetya T.W., "Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 47.
4 A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 149.
do not show that it is better than the ‘basic wisdom’ of witches and warlocks. 5
Feyerabend tidak bersedia menerima keharusan superioritas ilmu atas
bentuk-bentuk pengetahuan lain, karena hal semacam itu hanya akan
membenarkan tentang adanya suatu fenomena “penjajahan intelektual” secara
terselubung. Dari segi tesisnya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur, ia
juga menolak ide bahwa akan bisa lahir suatu argumen menentukan yang
menguntungkan ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain.
Apabila ilmu hendak diperbandingkan dengan bentuk-bentuk pengetahuan
lain, maka diperlukan penyelidikan terhadap watak, tujuan dan metode dari ilmu
itu serta bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Hal ini harus dilakukan dengan
meneliti "catatan-catatan sejarah, buku-buku pelajaran, tulisan-tulisan orisinal,
pembicaraan serta surat-surat pribadi, dan sebagainya". Ia mengatakan, “…that is,
we shall have study historical records—texbooks, original papers, records of
meetings and private conversations, letters, and like”.6 Ia pun tidak bisa sekedar
asumsi tanpa penelitian lebih jauh, bahwa suatu bentuk pengetahuan yang sedang
diteliti itu harus sesuai dengan hukum-hukum logika, sebagaimana yang biasanya
dipahami oleh para filsuf dan rasionalis kontemporer.
Feyerabend meyakini bahwa tidak ada metodologi ilmu yang ada selama
ini yang bisa bertahan dari perubahan. Secara meyakinkan Feyerabend
mengemukakan bahwa metodologi-metodologi ilmu gagal menyediakan hukum-
hukum yang memadai untuk membimbing aktivitas para ilmuwan. Menurut
5 Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 205.
6 Ibid., hlm. 253.
Feyerabend, mengingat kompleksitas sejarah, maka tidak masuk akal untuk
mengharapkan ilmu dapat diterangkan hanya atas dasar beberapa hukum
metodologi yang terlalu simplistik (sederhana) dan superfisial (dangkal).
Feyerabend adalah penganjur pluralisme metodologi yang menolak
pandangan idealisme dan naturalisme. Idealisme berpendapat bahwa rasionalitas
adalah agung, bersifat universal, terlepas dari subyektivitas, konteks dan
historisitas. Baik rasionalisme maupun empirisme mendukung rasionalitas yang
menurutnya universal dengan cara yang berbeda.
Seperti halnya Kuhn yang berasumsi bahwa tidak ada suatu teori apa pun
yang bertahan dalam sejarah, Feyerabend menyangkal adanya rasionalitas yang
universal dan historis. Maksudnya, kebenaran universal yang tidak terikat dengan
ruang dan waktu, yang merupakan pedoman untuk menilai suatu teori lebih baik
daripada yang lainnya.7
Kesamaan Feyerabend dengan Kuhn terletak pada tesis keduanya yang
menyatakan bahwa ilmu-ilmu atau teori-teori tidak bisa saling diukur dengan
standar yang sama. Feyerabend beranggapan bahwa makna dan interpretasi
tentang keterangan observasi tergantung pada konteks teoretis. Dengan begitu, ia
ingin menentang pandangan yang memisahkan teori dan observasi.
Konsekuensi logisnya adalah, tidak mungkinlah merumuskan keterangan
observasi yang sama dalam suatu konteks yang berbeda. Perbedaan dua teori atau
7 Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 119 dan 116.
lebih cukup mendasar, sehingga tidak mungkin saling membandingkan teori-teori
rival secara logis.8
Dalam sebuah kutipan yang agak panjang, Feyerabend mengatakan:
The idea that science can, and should, be run according to fixed and universal rules, is both unrealistic and pernicious. It is unrealistic, for it takes too simple a view of the talents of man and of the circumstances which encourage, or cause, their development. And it is pernicious, for the attempt to enforce the rules is bound to increase our professional qualifications at the expense of our humanity. In addition, the idea is detrimental to science, for it neglects the complex physical and historical conditions which influence scientific change. It makes our science less adaptable and more dogmatic…All methodologies have their limitations, and the only rule that survives is ‘anything goes’. 9
[Ide bahwa ilmu dapat dan harus berjalan sesuai dengan hukum-hukum universal yang mapan, adalah tidak realistis dan juga merusak. Ia tidak realistis, karena terlalu menyederhanakan bakat manusia dan keadaan lingkungan yang mendorong atau menyebabkan perkembangan. Dan ia merusak, karena usaha untuk memberlakukan hukum-hukum itu cenderung meningkatkan kualifikasi profesional kita yang mengorbankan rasa kemanusiaan. Selain itu, ide itu pun merugikan ilmu, karena ia mengabaikan kondisi fisik dan historis yang kompleks yang mempengaruhi perubahan ilmiah. Ia menyebabkan ilmu semakin kurang bisa dikelola dan semakin dogmatik…Semua metodologi mempunyai keterbatasannya dan satu-satunya 'hukum' yang survive adalah 'apa saja boleh'].
Kasus Feyerabend yang menentang metode, memukul metodologi-
metodologi yang dianggap telah memberikan hukum-hukum untuk membimbing
para ilmuwan ini ternyata ditunjang dengan alasan yang kuat. Menurutnya: “the
methodology of research programmes provides standards that aid the scientist in
evaluating the historical situation in which he makes his decisions; it does not
contain rules that tell him what to do”.10 Maksudnya, "Metodologi dan program-
8 Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 167-168.
9 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 295-6.10 Ibid., hlm. 186.
program riset menyediakan standar-standar yang membantu ilmuwan menilai
situasi historis untuk mengambil keputusan-keputusannya; ia tidak berisi hukum-
hukum yang mendikte apa yang harus diperbuat ilmuwan”. Maka tidaklah
bijaksana, bahwa para ilmuwan dalam melakukan pemilihan-pemilihan dan
keputusan-keputusan terikat oleh hukum-hukum yang diatur atau terkandung di
dalam metodologi-metodologi ilmu.
Feyerabend membela apa yang ia sebut sebagai "sikap kemanusiawian"
yang memandang bahwa manusia individual harus bebas dan memiliki kebebasan
sebagaimana yang diperjuangkan John Stuart Mill. Feyerabend menyetujui usaha
meningkatkan kebebasan menuju ke kehidupan yang penuh dan produktif.
Ia mendukung Mill dalam membela "pembinaan individualitas yang secara
pribadi mampu berproduksi sendiri, atau dapat memproduksi manusia-manusia
yang maju". Feyerabend menyatakan bahwa, It is in conflict ‘with cultivation of
individuality which alone produces, or can produce, well-developed human
beings’.11
Dari sudut pandang kemanusiawian ini, pemikiran anarkis Feyerabend
tentang ilmu mendapatkan dasar pembenarannya, karena di dalam ilmu ia
memang diarahkan guna meningkatkan kebebasan individu dengan memacu
penyingkiran segala macam kungkungan metodologis.
Dalam konteks yang lebih luas, ia senantiasa mendorong semangat
kebebasan bagi para individu untuk memilih antara ilmu dan bentuk-bentuk
pengetahuan lain. Jadi jelas sekali, bahwa Feyerabend menolak sikap otoriter
dalam bentuk apapun juga.
11 Ibid., hlm. 20.
Feyerabend hendak mendobrak anggapan bahwa ada keteraturan dalam
perkembangan ilmu yang hendak diwujudkan dalam hukum dan sistem. Sebab
pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak bisa diterangkan
ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem maupun hukum yang berlaku.
Ia harus bebas karena memang kegiatan ilmiah atau ilmu pengetahuan merupakan
suatu upaya yang anarkistik. Pendapat Feyerabend ini juga harus dilihat
sehubungan dengan analisisnya tentang masyarakat.
Dalam perspektif Paul Karl Feyerabend, perkembangan ilmu di dalam
masyarakat kita tidak lagi konsisten dengan sikap kemanusiawian. Di kalangan
masyarakat kita dewasa ini, ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama
dengan posisi agama seperti halnya pada masa Abad Pertengahan. Ilmu
pengetahuan memiliki kuasa mutlak. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak
lagi berfungsi membebaskan manusia, namun justru menguasai dan memperbudak
manusia.
Apa yang perlu kita lakukan dalam masalah ini, tulis Feyerabend, adalah
"membebaskan masyarakat dari kungkungan ilmu yang membatu secara
ideologis, persis seperti nenek moyang kita membebaskan kita dari kungkungan
'agama satu-satunya' yang benar". Ia menyatakan, “let us free society from the
strangling hold of an ideologically petrified science just as our ancestors freed us
from the strangling hold of the One True Religion!”. 12
Hal ini perlu ditempuh karena menurut citra Feyerabend, setiap individu
dilahirkan ke dalam suatu masyarakat yang sudah eksis lebih dulu, dan dalam
pengertian itu, masyarakat itu bukanlah pilihannya yang bebas. Kebebasan yang
12 Ibid., hlm. 307.
dimiliki seorang individu akan tergantung pada posisi yang ia duduki di dalam
struktur sosial tersebut, dan oleh karena itu, suatu analisa tentang struktur sosial
bersangkutan merupakan prasyarat untuk mengerti tentang kebebasan sang
individu.
Setidaknya ia menyadari hal semacam ini dan dalam satu bagian tentang
kebebasan riset, Feyerabend menulis: “The scientist is still restricted by the
properties of his instruments, the amount of money available, the intelligence of
his assistants, the attitude of his colleagues, his playmets—he or she—is restricted
by innumerable physical, physiological, sociological, historical contraints”.13
Artinya bahwa, "Ilmuwan masih dibatasi oleh sifat-sifat dari instrumen-
instrumennya, jumlah uang yang bisa diperolehnya, kecakapan para asistennya,
sikap rekan-rekannya, teman-teman mainnya—lelaki atau perempuan—ia dibatasi
oleh banyak sekali kekangan fisik, psikologis, sosiologis dan historis".
Seluruh pembicaraan dan perdebatan tentang pemikiran Paul Karl
Feyerabend tersebut di atas tersimpul dalam sebuah mainstream yang padat
makna, anarkisme ilmu pengetahuan, sebagai suatu kritik yang diajukan dan
ditujukan untuk semakin dapat menemukan wajah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua
sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Yang pertama, dengan memegang semboyan anti-metode (Against
Method), Feyerabend ingin melawan batang tubuh beserta metode ilmu
pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang
13 Ibid., hlm. 187.
baku dan universal serta tahan sepanjang masa, dan juga dapat membawahi semua
fakta dan penelitian.
Kemudian, atas nama kebebasan yang sama, Feyerabend mempunyai sikap
anti-ilmu pengetahuan (Against Science) sebagai kritik terhadap praktek ilmiah,
kekuasaan, fungsi dan kedudukan ilmu pengetahuan dalam masyarakat yang
kerapkali melampaui maksud utamanya. Dengan posisi seperti ini, ia hendak
melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul
daripada bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain semisal sihir, magi,
voodoo, mitos, dan sebagainya.
Feyerabend menyimpulkan bahwa, sains maupun rasionalitas bukanlah
ukuran unggul yang universal. Keduanya adalah tradisi partikular yang tidak
menyadari latar historisnya sendiri. Ilmu pengetahuan sebagaimana tinjauan
historis Feyerabend, lebih merupakan suatu perkembangan dari berjuta-juta
alternatif, satu dengan yang lain tidak selalu terdapat konsistensi atau
kesepadanan.14
Maksud dari semua itu sebenarnya adalah, Feyerabend ingin mengatakan
bahwa ilmu pengetahuan itu bukanlah ideologi yang berisi omong kosong belaka
yang dipropagandakan oleh para ilmuwan. Ia memilih istilah realisme ilmiah yang
dalam salah satu bentuknya berupa aktivitas-aktivitas kita mengumpulkan
pengetahuan sebagai jalan terbaik untuk memahami dunia.
Dalam pengertian ini berarti ilmu pengetahuan tidak hanya sanggup
menghasilkan prediksi-prediksi saja, melainkan juga berpotensi untuk menggali
hakikat realitas yang menjadi cita-cita dari pengembangan ilmu pengetahuan itu
14 Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 130.
sendiri. Realisme ini akan bisa terwujud pada saat teori-teori, sistem pemikiran,
dan kerangka-kerangka pandang diterapkan dalam bentuknya yang paling kuat,
bukan sekedar sebagai skema-skema bagi setiap proses kejadian yang kodratnya
ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan eksternal, tetapi sekaligus juga
bertindak sebagai penentu orientasi keilmuan yang telah dirancangnya.
Pada akhir kegelisahan intelektualnya, Feyerabend menawarkan terma
anarkisme sebagai obat mujarab dalam menyembuhkan epistemologi dari
sakitnya. Sebagai obat bukan berarti ilmu pengetahuan harus menjadi anarkis,
namun baik epistemologi maupun filsafat ilmu pengetahuan harus menerima
anarkisme agar dengan demikian kita akan kembali kepada bentuk-bentuk
rasionalitas yang lebih jelas dan bebas, kurang lebih seperti yang diproyeksikan
dan diidealisasikan oleh Feyerabend.
Adanya klaim bahwa anarkisme ilmu pengetahuan sebagai bentuk
kesewenang-wenangan epistemologis Feyerabend perlu kiranya dimengerti dalam
porsi pemahaman yang tepat dan seimbang. Sebab pada kenyataannya istilah
ekstrem itu dimaksudkan untuk memberikan kritik eksternal terhadap metode dan
praktek ilmu pengetahuan yang acapkali mengaburkan karakter dan tujuan dasar
utamanya. Tetapi hal itu mungkin bisa dipahami karena memang seorang anarkis
di bidang ilmu pengetahuan oleh Feyerabend diistilahkan—mengutip pendapat
Hans Richter—sebagai dadais yang anti terhadap segala bentuk kemapanan.
Maka berkaitan dengan persoalan itu pula, skripsi ini diangkat guna
menelaah lebih jauh mengenai beberapa pokok pemikiran Feyerabend beserta
aspek penting lain yang terdapat di dalamnya. Secara khusus, dalam tulisan ini
penulis ingin melacak dan mengurai sejauhmana konsistensi dari seluruh sistem
pemikiran Feyerabend dalam alur sejarah perkembangan ilmu pengetahuan
dengan berbagai tawaran metodis yang disodorkannya.
Sebagai sebuah kajian serius tentang tokoh filsafat ilmu pengetahuan baru,
Feyerabend melontarkan gagasan kritis-progresif yang sayangnya sampai saat ini
masih relatif kurang bisa dibaca, dipelajari dan diakses lebih jauh oleh para
peminat filsafat pada khususnya serta kalangan dunia akademis pada umumnya.
Mungkin hal inilah yang kemudian menjadi latar dari pemilihan tokoh dan
pembahasan topik Paul Karl Feyerabend, yang dalam rekaan awal penulis,
beberapa pandangan ilmu pengetahuannya tidak lebih hanya sekedar reaksi
keilmuan mengenai presuposisi-presuposisi akan adanya berbagai deviasi
(penyimpangan) nilai-nilai etis-praktis ilmu pengetahuan yang diterapkan oleh
para ilmuwan kala itu saja.
Namun setelah melalui proses studi yang runut dan seksama, ternyata
penulis menemukan beberapa endapan gagasan vital dan relatif belum banyak
diperbincangkan muatan-muatan filosofisnya, yang selain disinyalir menjadi
tonggak kebangkitan era filsafat ilmu pengetahuan baru pasca dominasi aliran
Positivisme Logis, juga telah dianggap berhasil memecahkan kebuntuan
monometodologi ilmu pengetahuan untuk direinterpretasikan dan
direformulasikan secara paradigmatik dan anarkistik, tanpa terikat oleh hukum-
hukum positivistik-logis yang berkembang sebelum masa Feyerabend.
Pondasi ilmu pengetahuan Feyerabend yang berusaha mendobrak
keangkuhan format dan prosedur-prosedur sains modern ini telah menggugah
kesadaran kolektif kita untuk merefleksikan ulang tentang asumsi-asumsi ilmiah
sebagai simbol kemajuan peradaban modern, yang telah beralih fungsi menjadi
semacam arogansi intelektual, atau terkesan hanya menjadi menara gading, dan
pada akhirnya berujung pada retorika serta ideologi tertutup yang penuh
kedangkalan makna dan kepentingan-kepentingan tertentu.
Maka dengan pluri-metodologi dan pandangan konstruktivis-kontekstualis
seperti yang dinyatakan oleh Feyerabend, kita jadi mafhum bahwa semua klaim
pengetahuan (fakta, kebenaran, validitas) hanya dapat dimengerti dan
diperdebatkan dalam konteks dan dalam paradigma atau komunitas tertentu pula.
Tidak satupun yang diterima sebagai fakta, teori, atau kesimpulan yang selesai
atau final, sebab penerimaan atas pluri-metodologi Feyerabend ini memang
mengandaikan adanya berbagai standar kebenaran.
Dengan mengacu pada realitas historis seperti itu, penulis pun
berketetapan hati untuk menempatkan segi-segi fundamental filsafat ilmu
pengetahuan Feyerabend tersebut sebagai starting point dan landasan pemikiran
dalam menggali dan mengolah ide-ide dasar ilmu pengetahuan Paul Karl
Feyerabend secara lebih jelas dan obyektif. Harapannya, paling tidak urgensi
topik dalam penulisan karya ilmiah ini bisa menambah koleksi seri tokoh filsafat
ilmu di masa mendatang.
B. Rumusan Masalah
Dari deskripsi umum di atas, ada beberapa kata kunci yang perlu kiranya
dicermati dari pola pemikiran yang dibangun oleh tokoh utama dalam fokus
kajian skripsi ini, yakni Paul Karl Feyerabend. Banyak jalinan ide penting
Feyerabend yang saling berhubungan dalam membentuk konsep-konsep penting
lainnya sehingga semakin memperkokoh landasan teoretis yang dituangkan
semasa hidupnya.
Oleh karena itu, agar alur pembahasan ini tepat sasaran, terarah dan sesuai
dengan maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka tentu saja ruang lingkup
masalah yang akan dijadikan sumber acuan nantinya terbatas dan terumus dalam
masalah-masalah berikut, yaitu:
1. Bagaimana prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend dalam
filsafat ilmu pengetahuannya?
2. Bagaimana corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Paul Karl
Feyerabend?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend secara
utuh dan mendalam.
2. Mengetahui corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan yang digunakan
oleh Paul Karl Feyerabend secara jelas dan memadai.
D. Metodologi Penelitian
Menurut sumber bacaan yang ada, metodologi penelitian merupakan
serangkaian metode yang saling melengkapi dalam melakukan penelitian.15 Sifat
dari penelitian ini sendiri adalah kajian kepustakaan (Library Research) yang
15 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi (Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 2002), hlm. 9.
memuat data-data dan bahan-bahan yang mendukung dan melengkapi terhadap isi
pembahasan ini baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, artikel, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam proses pengumpulan data-data tersebut, penulis
berusaha untuk menghimpun data primer maupun sekunder yang sekiranya ada
kaitannya dengan pokok pembicaraan dalam skripsi ini. Data primer itu berupa
buku masterpiece Paul Karl Feyerabend sendiri yang berjudul Against Method,
sedangkan data sekunder adalah berupa karya-karya Feyerabend lainnya yang
dilengkapi pula dengan tulisan atau karya ilmiah para ahli yang secara khusus
mengkaji dan membahas tentang pemikiran Paul Karl Feyerabend.
Disamping itu, penelitian ini juga merupakan penelitian historis-faktual
mengenai seorang tokoh16, dalam hal ini Paul Karl Feyerabend. Dalam kaitan ini,
penulis berusaha menyelami pikiran, karya dan latar belakang historis yang
melingkupi sejarah kehidupan dan keilmuannya.
Untuk mempermudah prosedur pengolahan data itu, maka dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode-metode khusus, yaitu: (1) Deskriptif.
Dengan metode ini, peneliti menguraikan dan membahas secara sistematis dan
terperinci seluruh konsepsi pemikiran tokoh yang bersangkutan.17 Dalam konteks
ini, penulis akan menggambarkan dan menguraikan sepenuhnya dengan memakai
analisis filosofis tentang konstruksi filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dan
beberapa gagasan penting lainnya secara lebih lengkap dan jelas. (2) Interpretatif.
Dalam hal ini, peneliti berusaha menyelami karya tokoh untuk menangkap
16 Anton Bakker dan A. Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61.
17 Ibid., hlm. 65.
kandungan arti dan nuansa yang dimaksudkan secara spesifik.18 (3) Analisis.
Dengan cara ini, penulis akan merinci istilah-istilah atau pendapat-pendapat tokoh
(Feyerabend) ke dalam bagian-bagian khusus tertentu sehingga dapat dilakukan
pemeriksaan atas arti yang dikandungnya, dengan maksud untuk memperoleh
kejelasan tentang arti yang sebenar-benarnya.19 Dengan begitu, diharapkan
nantinya akan bisa diperoleh suatu pemahaman yang benar pula tentang ciri, sifat,
latar belakang dan ide-ide dasar Feyerabend itu sendiri.
E. Tinjauan Pustaka
Diantara para filsuf sezamannya, Feyerabend dinilai paling kontroversial,
paling berani dan paling ekstrem, yang terutama didasarkan pada karya
monumentalnya, Against Method. W.H. Newton-Smith20 menilai bahwa tidak ada
kritik terhadap ilmu pengetahuan setegar dan selantang kritik Feyerabend. Kritik
yang disampaikan melalui buku itu telah menggambarkan panggung filsafat pada
tahun 70-an21 yang banyak mengundang polemik dan perdebatan sengit.
Sudah ada beberapa literatur yang mengupas jejak-jejak pemikiran
Feyerabend, baik dalam versi Bahasa Indonesia maupun asing. Misalnya tulisan
Prasetya T.W. yang berjudul “Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl
Feyerabend”, yang dimuat dalam antologi buku Hakikat Pengetahuan dan Cara
18 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 98. Lihat juga dalam Anton Bakker dan A. Charris Zubair, op.cit., hlm. 63.
19 Ibid., hlm. 60.20 W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul
Ltd., 1981), sebagaimana yang dikutip oleh Endro Witj., Feyerabend: Rasionalitas Ilmu Yang Goyah, dalam Fokus, Februari 1989, hlm. 34.
21 Kees Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987), hlm. 17.
Kerja Ilmu-ilmu.22 Secara lengkap dan padat, di dalamnya diuraikan seluk-beluk
kemunculan Feyerabend dalam ranah filsafat ilmu pengetahuan serta sejarah awal
perjalanannya menjadi seorang anarkis. Dalam buku itu juga, dijelaskan tentang
definisi dari anti-metode dan anti-ilmu pengetahuan yang menjadi kritik utama
dalam pemikiran Feyerabend.
Selain itu pula, buku yang secara representatif dalam menampilkan dan
menanggapi urgensi pemikiran Feyerabend juga diungkapkan oleh A.F. Chalmers
dalam sub-topik bahasan, “Teori Anarkistis Feyerabend Tentang Pengetahuan”,
yang termaktub dalam bukunya Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian
Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya.23 Buku ini secara teliti dan
akurat memberikan ringkasan tentang segi-segi kunci pandangan Feyerabend yang
meliputi seluruh konstruksi epistemologinya dengan disertai kritik-kritik yang
cukup argumentatif-korektif.
Buku lain yang membicarakan sisi-sisi pemikiran Feyerabend adalah The
Rationality of Science, karya W.H. Newton Smith24, yang berintikan tema-tema
aktual dan liberal Feyerabend secara menyeluruh, mulai dari konsep anti-metode
yang merupakan topik utama pemikirannya sampai gagasan-gagasan vital lainnya,
seperti pandangan Feyerabend tentang prosedur kontra-induksi, ketidaksepadanan,
dan seterusnya yang dibahas secara tuntas dan mendalam.
22 Prasetya T.W., “Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend”, dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993).
23 A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982).
24 W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981).
Satu lagi buku rujukan yang berkaitan dengan fenomena pemikiran
Feyerabend adalah apa yang ditulis oleh Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya,
Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode.25 Seri pengantar tokoh filsafat ini
memberikan garis-garis besar haluan sebagai gambaran awal yang sistematis
tentang sosok filsuf Paul Karl Feyerabend yang kerapkali mendera sains dengan
kritik-kritik kerasnya. Ia tidak menawarkan metodologi apapun sebagai ganti
induksi yang selama ini dijadikan panduan utama cara kerja ilmiah. Dengan
lantangnya, Feyerabend justru memproklamirkan anarkisme epistemologis yang
berhasil membuka sumbat penyatuan metode yang selama ini diberhalakan oleh
sains.
Dari sekian literatur tersebut di atas, ada perbedaan yang cukup signifikan
dengan maksud penelitian ini, yaitu bahwa artikel yang ditulis oleh Prasetya T.W.
hanya sebatas mengenalkan sejarah awal dan garis-garis besar haluan filsafat ilmu
pengetahuan Feyerabend dalam pergulatannya dengan aliran Positivisme Logis.
Sedangkan buku A.F. Chalmers dan W.H. Newton-Smith sekedar rangkuman dari
beberapa substansi pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan
saja yang pembahasannya terkesan ambivalen tanpa disertai jalinan sketsa ilmu
pengetahuan Feyerabend dengan pemikiran tokoh-tokoh lain serta minimnya
aspek historisitas mengenai kemunculan dan keterlibatan Feyerabend dalam
wacana filsafat ilmu pengetahuan secara terperinci.
Demikian juga dengan buku Akhyar Yusuf Lubis sebagai buku pengantar
dalam memahami traktat-traktat berat filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend yang
25 Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju, 2003).
secara khusus hanya ‘memandu’ pembaca untuk mengenal ciri, sifat dan latar
belakang pemikiran filsafat Feyerabend yang disisipi juga penjelasan tentang titik
persinggungannya dengan model metodologi ilmu pengetahuan yang berkembang
sebelumnya, semisal metodologi Galilean dan metodologi Positivisme Logis.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis secara spesifik berusaha
menyelidiki pokok-pokok masalah yang menjadi sasaran kritik utama Feyerabend
serta letak-letak perbedaan fundamental yang terdapat dalam corak pemikiran
filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dengan para filsuf ilmu pengetahuan
lainnya, tanpa terperangkap ke dalam pemihakan-pemihakan subyektif yang
terkesan berlebihan dan kontraproduktif.
Selain daripada itu, penulis juga akan mengkaji sejauhmana konsekuensi-
konsekuensi yang ditimbulkan dari dasar-dasar pemahaman epistemologi
Feyerabend dalam mindset sosio-kultural masyarakat yang akhir-akhir ini secara
tidak kritis cenderung hanya terpaku pada satu bentuk kebenaran monologis yang
bersumber dari konsepsi keilmuan tertentu.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih mudah dan urutnya penulisan ini, maka pembahasan dalam
skripsi ini akan dikelompokkan menjadi beberapa bab dan sub-bab, yaitu:
Diawali dengan Bab I, yang mencakup latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan
sistematika pembahasan.
Kemudian Bab II, berisi tentang biografi singkat Paul Karl Feyerabend
yang terdiri dari riwayat hidup, karya serta tokoh-tokoh yang membentuk watak
dan mempengaruhi karakteristik pemikirannya.
Selanjutnya Bab III, menyarikan tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
Paul Karl Feyerabend yang berkisar tentang persoalan apa saja boleh (anything
goes), ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, ilmu tidak
harus mengungguli bidang-bidang pengetahuan lain, dan kebebasan individu.
Disusul dengan Bab IV, yang merupakan intisari pembahasan yang
mengetengahkan tentang penafsiran Paul Karl Feyerabend terhadap makna
anarkisme sebagai kritik atas ilmu pengetahuan itu sendiri berupa anti-metode
(Against Method), dan anti-ilmu pengetahuan (Against Science).
Terakhir Bab V, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran
dari penulis berdasarkan seluruh hasil pembahasan yang dilakukan dan ditekuni
selama dalam proses awal sampai akhir penyusunan skripsi ini.
BAB II
BIOGRAFI PAUL KARL FEYERABEND (1924-1994)
A. Riwayat Hidup dan Karyanya
Paul Karl Feyerabend lahir pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945
ia belajar seni suara teater, dan sejarah teater di Institute for Production of
Theater, the Methodological Reform the German Theater di Weimar. Sepanjang
hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Ia belajar Astronomi, Matematika,
Sejarah, Filsafat. Menurut pengakuannya, kalau ia mengingat masa itu, ia
menggambarkan dirinya sebagai seorang rasionalis. Maksudnya, ia percaya akan
keutamaan dan keunggulan ilmu pengetahuan yang memiliki hukum-hukum
universal yang berlaku dalam segala tindakan yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan.
Keyakinan rasionalitasnya pada masa itu tampak dari kiprahnya dalam
Himpunan Penyelamatan Fisika Teoretis (A Club for Salvation of Theoretical
Phsysics).26 Keanggotaannya dalam kelompok tersebut tentu melibatkan dirinya
dengan eksperimen-eksperimen ilmu alam dan sejarah perkembangan ilmu fisika
itu sendiri. Dari sinilah ia melihat hubungan yang sesungguhnya antara
eksperimen dengan teori yang ternyata relasi itu tidak sesederhana apa yang
dibayangkan dan dijelaskan dalam buku-buku pelajaran selama ini.
Terjadinya perubahan pemikiran dalam Paul Karl Feyerabend itu
setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, karena adanya
perkembangan baru dalam ilmu fisika, terutama fisika kuantum. Ia melihat bahwa
fisika kuantum telah menolak beberapa patokan dasar fisika yang ketika itu
dianggap modern (Newtonian) yang di atasnya prinsip-prisnip positivisme
ditegakkan. Yang Kedua, sambutan para fisikawan/filsuf terhadap teori mekanika
kuantum yang dianggap sebagai dukungan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Gagasan Popper, Thomas S. Kuhn, dan terutama Imre Lakatos, sangat
mempengaruhi pemikiran filsafatnya.27
26 Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja
Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 48.27 Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju,
2003), hlm. 101-102.
Pada permulaan tahun 50-an, ia mengikuti seminar-seminar filsafat dari
Karl Raimund Popper di London. Waktu itu ia masih tetap berpegang teguh pada
keyakinan rasionalitasnya, bahkan ia berpendapat bahwa perkenalannya dengan
Popper semakin memperteguh keyakinannya itu.
Ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang fisika dari Wina University dan
kemudian mengajar di California University. Ia telah menyatakan diri sebagai
seorang “anarkis” yang menentang penyelidikan terhadap aturan-aturan
penggantian teori dan pembangunan kembali pemikiran rasional dari kemajuan-
kemajuan ilmu pengetahuan. Sikap Feyerabend tentang “apa saja boleh” dan
bahwa sasaran dari kreativitas dalam ilmu pengetahuan itu adalah sebagai bentuk
pengembangbiakan teori-teori.28
Pada tahun 1953, ia menjadi pengajar di Bristol. Tahun-tahun berikutnya
mengajar Estetika, Sejarah Ilmu Pengetahuan dan Filsafat di Austria, Jerman,
Inggris, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Pada tahun-tahun itu pula ia mulai
mengalami pertobatan pemikiran. Tidak bisa tidak pertobatannya itu merupakan
akibat dari perkenalannya dengan Imre Lakatos, yang meniupkan pemikiran-
pemikiran anarkis terhadapnya.29
Kelak, Feyerabend menyebutkan bahwa Lakatos dianggap sebagai sahabat
anarkisnya. Lagi pula seperti yang ia akui, Lakatoslah yang mendorongnya untuk
menuliskan gagasan-gagasannya. Seperti yang pernah dikatakan Lakatos padanya,
‘Paul, ‘he said, ‘you have such strange ideas, why don’t you write them down?30
28 John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth Edition (New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 177.
29 Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 5. Feyerabend mempersembahkan buku ini kepada Imre
Lakatos dengan menulis To Imre Lakatos, friend and fellow-anarchist.30 Ibid., hlm. vii.
Dalam pertobatannya itu ia melihat bahwa dalam sejarah mekanika
kuantum, bermacam-macam patokan telah dilanggar, dan anehnya patokan itu
dijunjung tinggi oleh para filsuf bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam
pertobatannya itu, Feyerabend mengajukan pertanyaan: apakah manusia tidak
mengejar ilusi-ilusi kalau mencari hukum universal guna mencapai hasil dalam
ilmu pengetahuan?
Tahun 1958 ia menjadi guru besar Universitas California di Berkeley,
tempat ia mengajar sampai akhir hayatnya. Tahun 1964-1965 proses
pertobatannya dipercepat karena percakapannya dengan Carl Freither von
Weizsäcker di Hamburg mengenai dasar-dasar mekanika kuantum. Pertobatannya
itu juga dipercepat oleh keraguannya terhadap bangunan sistem pendidikan
intelektualistis di tempat ia bekerja sebagai pengajar.31
Puncak pemikiran anarkisnya tertuang dalam Against Method yang terbit
pada tahun 1970, suatu karangan panjang yang pada tahun 1975 diolah lagi
menjadi sebuah buku dengan judul yang sama pula. Terbitnya buku itu ternyata
mampu menyedot dan menyulut antusiasme publik dengan adanya berbagai
kontroversi, diskusi dan kritik yang cukup beragam corak dan pemaknaannya dari
para tokoh filsafat dan kaum ilmuwan secara luas. Maka sebagai jawaban atas
kritik terhadap pemikirannya itu, ia pun kemudian menerbitkan lagi beberapa
buku yang memuat penjelasan serta argumentasi atau perluasan gagasan yang
sudah diulas dalam buku yang dikritik sebelumnya. Namun begitu, munculnya
31 Prasetya T.W., op.cit., hlm. 49.
tanggapan dari berbagai pihak itu seolah-olah justru semakin memperkokoh
pemikiran anarkisnya.
Mungkin Feyerabend merupakan salah satu filsuf yang sangat provokatif
pada abad ke-20. Ia giat melakukan perlawanan terhadap setiap gagasan ilmu
yang memiliki metodologi tersendiri untuk membatasinya dengan yang bukan
ilmu dan ilmu palsu. Walaupun mulai dulu sampai sekarang banyak usaha-
usahanya yang disia-siakan, tetapi usaha itu bisa dijadikan sebagai dasar persiapan
yang masih layak dan berharga bagi bentuk-bentuk perlawanan lain.32
Dalam analisis Don Cupitt, sebagai seorang filsuf sains dari California
yang sangat Californian sekali, Feyerabend berargumen bahwa apa yang ia sebut
dengan “teori pengetahuan anarkistik” merupakan pemaknaan ulang terhadap
pengetahuan saintifik. Baik filsuf maupun yang lainnya berhak menetapkan dan
menggambarkan apa saja yang diperbolehkan sebagai metode saintifik, baik yang
termasuk kategori sains asli ataupun yang bukan sains sekalipun. Sebab beberapa
usaha untuk menjalankan aturan-aturan yang ada sebelumnya hanya mengundang
pertentangan seperti yang nampak jelas pada kasus konflik agama dan (menurut
Feyerabend) juga berlaku pada kasus sains. Sudah banyak contoh sejarah yang
mengesampingkan hal-hal semacam itu sebagai intuisi tandingan teori-teori
saintifik, seperti transmutasi spesies, relativitas umum dan teori kuantum.33
B. Paul Karl Feyerabend dalam Wacana Filsafat Ilmu Pengetahuan
32 Yuri Balashov and Alex Rosenberg (eds.), Philosophy of Science: Contemporary Readings (London: Routledge, 2002), hlm. 141.
33 Don Cupitt, After God: Masa Depan Agama, terj. Abdul Qodir Shaleh (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), hlm. 204-205.
Dalam menempatkan konteks pemikiran Feyerabend, penulis membatasi
diri mulai dari tahun 1920-an sampai Feyerabend muncul di panggung filsafat.
Semenjak tahun 1920, panggung filsafat ilmu pengetahuan dikuasai oleh aliran
Positivisme Logis. Kelompok ini berusaha memperbaharui positivisme abad ke-
19 yang telah dirintis oleh tokoh positivisme klasik August Comte (1798-1857)
dan para pengikutnya yang dinilai diwarnai pemikiran yang bersifat dogmatis dan
indoktrinasi ideologi yang mengarah kepada absolutisme.34
Filsafat Comte adalah anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang
ditemukan secara positif-ilmiah. Positivisme klasik hanya mengakui tentang
gejala-gejala (fenomen-fenomen), sehingga tidak ada gunanya mencari hakikat
kenyataan yang tidak mempunyai arti faktual sama sekali. Sebab bagi Comte,
hanya ada satu hal yang penting, yaitu savoir pour prévoir, “mengetahui supaya
siap untuk bertindak”, “mengetahui agar manusia dapat memperkirakan apa yang
akan terjadi”. Oleh karena itu, manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan
hubungan-hubungan antara fenomena-fenomena fisik-faktual tersebut sehingga ia
dapat memproyeksikan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Hubungan-
hubungan antara gejala-gejala itu disebut oleh Comte dengan konsep-konsep atau
hukum-hukum positif yang dapat dipersepsi oleh akal pikiran manusia. Tetapi
lawan dari filsafat positivisme ini bukanlah suatu filsafat negatif, melainkan
filsafat spekulatif atau obyek metafisik.35
34 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika (Bandung: Remadja Karya, 1985), hlm. 2.
35 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 54-55.
Positivisme klasik merumuskan hukum-hukum positif itu sebagai berikut:
“Setiap perkembangan pemikiran rohani dan ilmu pengetahuan manusia secara
berturut-turut melewati tiga tahap (stadia) yang berbeda, yakni tahap teologis
yang berdasarkan fantasi, tahap metafisis yang abstrak dan tahap positif-ilmiah”.
Tahap teologis, merupakan tahap dimana manusia percaya akan kemungkinan
adanya kekuatan adikodrati yang mutlak.
Dalam tahap teologis ini terdapat tiga tahap lagi: animisme, politeisme dan
monoteisme. Berdasarkan kepercayaan animistis ini, manusia beranggapan bahwa
benda-benda itu merupakan sesuatu yang bergerak. Banyak benda disebut suci
dan sakti yang biasa diidentikkan dengan dewa-dewa, seperti dewa api, dewa
lautan, dewa angin, dewa panen, dan sebagainya, diatur dalam suatu sistem
sehingga menjadi paham politeisme dengan berbagai macam spesialisasinya.
Selanjutnya, semua gejala tersebut dikembalikan pada satu sumber kekuatan
tunggal, yakni satu keilahian yang pada akhirnya melahirkan pemikiran tentang
monoteisme.36
Kemudian dalam tahap metafisis, alam pikiran manusia secara simbolis
beralih kepada kekuatan-kekuatan kosmis yang abstrak. Pada tahap positif-ilmiah,
manusia mulai sadar dan mengetahui bahwa upaya teologis dan metafisis itu tidak
ada gunanya. Dari sini kemudian manusia berusaha mencari hukum-hukum alam
dengan memakai kemampuan akal budi yang dimilikinya.37
36 Ibid., hlm. 55.
37 Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 114-115.
Di lain pihak, kaum Positivisme Logis itu sendiri menolak filsafat yang
tidak menghiraukan kenyataan dan susunan serta hasil ilmu pengetahuan empiris.
Mereka menganggap bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang telah diatur dan dirumuskan dalam kaidah-kaidah ilmu alam
dan diperoleh dari pengamatan inderawi serta dapat diperiksa secara empiris.
Aliran Positivisme Logis membagi pengetahuan hanya terbatas kepada
ilmu matematika (ilmu pasti) dan ilmu-ilmu lain yang diperoleh dari gejala-gejala
yang dapat diamati oleh indera. Pengetahuan semacam ini yang disebutnya
sebagai pengetahuan positif, artinya dapat dinyatakan atau dibuktikan (verifiable-
positive knowledge). Seperti halnya dengan Bacon yang mendeskripsikan semua
pengetahuan atas dasar pengalaman dan pengamatan inderawi, kalangan
Positivisme Logis menolak persoalan sebab-sebab terakhir (final causes) yang
menjadi pokok perdebatan filsafat klasik, terutama mengenai sebab pertama (first
cause), sehingga mengakibatkan pembicaraan tentang Tuhan pun sama sekali
mereka tolak.38 Kiranya pandangan Positivisme Logis ini mempunyai dasar-dasar
persamaan ontologis dengan aliran Naturalisme yang juga menentang segala
bentuk pikiran yang menyatakan adanya suatu dunia yang bersifat adialami atau
transendental.39
Bagi aliran ini, persoalan-persoalan ilmiah harus dipecahkan secara lebih
tepat dan sistematis dengan menggunakan teknik-teknik logika matematika, sebab
mereka menganggap bahwa ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai
38 A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981), hlm. 65.
39 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 116.
pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan). Ilmu
pengetahuan sendiri dirumuskan dan diuraikan sebagai kalkulasi aksiomatis, yang
memberikan perangkat-perangkat hukum pada interpretasi terhadap observasi
yang terbatas.40
Positivisme Logis bertitik tolak dari data empiris dan tetap setia pada
sifatnya yang empiristis dengan menganggap hukum-hukum logis sebagai
hubungan antara istilah-istilah, hasil pengamatan dan fakta yang dinyatakan
dengan memakai ungkapan dasar dalam suatu ilmu yang bercorak empiris atau—
dalam pengertian Rudolf Carnap—“kalimat protokol”. Ilmu formal sama sekali
tidak menyinggung tentang bukti dan data empirik (kenyataan), tetapi hanya
menampilkan jalinan hubungan antara lambang-lambang logiko-matematis yang
membuka kemungkinan pemakaian data observasi yang telah diperoleh untuk
menghitung (menyusun penjabaran logis dan deduksi).41
Sebagai sebuah aliran epistemologi, Positivisme Logis menganggap logika
dan matematika mencakup sebuah sintaksis dan semantik umum sehingga
struktur-struktur matematis dan logis untuk menjelaskan himpunan, transformasi
maupun aspek-aspek terkecil dari logika hanya merupakan struktur-struktur
linguistik.42 Positivisme sebagai sebuah pandangan filsafat mengemukakan bahwa
40 Frederick Suppe (ed.), The Structure of Scientific Theories (Urbana University of Illionis Press, 1974), hlm. 4.
41 Cornelis Anthonie van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 82.
42 Jean Piaget, Strukturalisme, terj. Hermoyo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 63.
segala sesuatu yang terjadi berdasarkan hukum-hukum dapat dibuktikan dengan
teknik observasi, eksperimen dan verifikasi.43
Menurut Positivisme Logis, hanya apa yang nampak jelas dan berguna
saja yang secara prinsipil bisa diverifikasi melalui observasi dan eksperimentasi.
Persoalan tentang nilai sebuah teori atau makna suatu penjelasan dianggapnya
tidak berarti apa-apa karena tidak memberikan jawaban yang pasti dan terukur.44
Prinsip verifikasi sebagai sentral dalam doktrin Positivisme Logis
menegaskan bahwa suatu ungkapan baru akan mempunyai makna manakala ia
menunjuk pada pengalaman langsung dan konkrit. Dan bahasa figuratif atau
kiasan juga hanya akan dianggap mempunyai akan makna apabila diterjemahkan
ke dalam bahasa literal hurufiah. Positivisme Logis menggabungkan argumen
epistemologis dengan argumen semantik, persis seperti dilakukan oleh Locke dan
Hobbes yang melihat kerancuan dan kekaburan kategori itu terdapat dalam
penggunaan kiasan metaforis bahasa. Mereka yakin pula bahwa filsafat hanya bisa
maju jika menggunakan bahasa lugas literal murni. Imbasnya lantas timbul
keyakinan umum yang semakin kuat bahwa dalam dunia kebahasaan manusia
sebetulnya yang berperan besar adalah memang bahasa literal itu sendiri.45
Positivisme Logis menempatkan filsafat ilmu pengetahuan sebagai logika
ilmu. Pandangan semacam itu menguasai dan diterima luas oleh para filsuf ilmu
43 Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 193.
44 Henry van Laer, Filsafat Sains Bagian Pertama: Ilmu Pengetahuan Secara Umum, Yudian W. Asmin (ed.), (Yogyakarta: Pusat Penterjemah dan Penulis Muslim Indonesia, 1995),
hlm. 133.45 I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hlm. 126-127.
pengetahuan pada zaman itu. Penerimaan secara luas ini membuat pandangan
semacam itu oleh Frederick Suppe disebut The Received View.46 Sebagai tradisi
intelektual yang berakar pada ilmu pengetahuan alam kodrati (natural sciences),
pesatnya perkembangan kelompok yang lazim juga dinamakan empirisme neo-
klasik ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena memang kesan baik
yang diberikan oleh ilmu fisika sebagai disiplin ilmu yang prestisius dengan
teknik-teknik penelitian yang impresif, di samping itu juga disebabkan oleh
adanya orang-orang besar dan terhormat dalam bidang ilmu pengetahuan yang
terdapat dalam kelompok ini seperti Albert Einstein.47
Berdasarkan kronologi sejarahnya, Positivisme Logis muncul pertama kali
sebagai suatu logika bagi ilmu-ilmu fisika. Tahun 1895, Ernst March menjabat
sebagai guru besar pertama filsafat ilmu-ilmu induksi di Universitas Wina, dan
pada tahun 1922, posisi itu digantikan oleh Moritz Schlick, seorang murid dari
Max Planck yang pada saat itu ia memusatkan karyanya pada filsafat fisika.
Kemudian pada tahun 1929, kelompok ini menerbitkan sebuah manifesto yang
berisi tentang tujuan perkumpulan itu dan memberinya nama: “A Scientific
Conception of the World: The Vienna Circle” (Suatu Konsepsi Ilmiah Tentang
Dunia: Lingkaran Wina).48 Para anggota yang ikut bergabung dalam kelompok ini
46 Frederick Suppe (ed.), op.cit., hlm. 161.
47 Soeroso H. Prawirohardjo, Pengamatan Meta-Teoritis atas Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya Bagi Program Pendidikan Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Yogyakarta: U.P.
Indonesia, 1984), hlm. 9-10.48 Roy J. Howard, Pengantar atas Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika;
Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis, Ninuk Kleden-Probonegoro (ed.), (Bandung: Nuansa, 2000), hlm. 51.
adalah para kaum positivis yang kebanyakan adalah ahli ilmu alam, matematikus
dan filsuf berlatar belakang matematika.
Dalam tulisan Morton White disebutkan bahwa aliran Positivisme Logis
ini telah dipelopori oleh Moritz Schlick yang kala itu menjabat sebagai guru besar
Filsafat di Wina, dan resmi dibentuk pada tahun 1923 dengan sebutan The Vienna
Circle. Secara khusus, Schlick dan Wittgenstein mengunjungi Amerika pada
tahun 1929 untuk memperkenalkan aliran tersebut. Namun ketika Hitler berkuasa,
mulailah aliran Positivisme Logis ini disebut-sebut sebagai gerakan pemikiran
yang sangat berbahaya. Popkin & Stroll menambahkan pula bahwa para anggota
Lingkaran Wina ini adalah Moritz Schlick, Hans Hahn, Friederich Waismann,
Herbert Feigel, Otto Neurath dan Rudolf Carnap.49
Kelompok ini pernah mengadakan seminar atau studi kelompok dengan
melakukan pembahasan pada tulisan Wittgenstein yang sangat teliti serta
didasarkan pada pandangan bahwa filsafat bukanlah teori, melainkan suatu
aktivitas. Mereka berpedoman pada pendapat bahwa filsafat tidak mungkin
menghasilkan pernyataan, baik pernyataan yang salah maupun pernyataan yang
benar. Filsafat hanya memberikan penjelasan mengenai pengertian suatu
pernyataan; mengemukakannya secara ilmiah, matematik atau bahkan tidak
mempunyai arti apapun.
Inti pandangan mereka terletak pada keyakinan bahwa setiap pernyataan
mengikuti ketentuan logika formal dan bahwa pernyataan itu harus bersifat
ilmiah. Positivisme Logis ini biasa disebut sebagai hasil karya Ludwig Josef
49 Bawengan, G.W., Sebuah Studi Tentang Filsafat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 113.
Johann Wittgenstein (1889-1951), yaitu dalam buku berjudul Tractatus Logico-
Philosophicus yang terbit pada tahun 1921, lalu berkembang ke seluruh dunia
termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Dalam tulisan tersebut, Wittgenstein
menyatakan bahwa filsafat bukanlah suatu teori, melainkan suatu aktivitas atau
kegiatan. Wittgenstein pun yakin bahwa teka-teki dan kekacauan filsafati akan
dapat diatasi oleh analisis bahasa.
Wittgenstein mensinyalir bahwa apabila suatu pernyataan dapat diajukan,
maka pernyataan itu pun seyogianya dapat dijawab secara jelas dan tuntas. Tetapi
kenyataannya, ternyata tidak semua pernyataan yang diajukan itu benar-benar
bermakna. Maka agar supaya kita tidak terperangkap ke dalam persoalan-
persoalan filsafati yang tidak berarti, yang bersumber dari pernyataan-pernyataan
yang tidak bermakna itu, maka dalam pandangan Wittgenstein harus ditemukan
peraturan-peraturan tentang permainan bahasa (language game) yang digunakan
lewat ungkapan bahasa sehari-hari.
Berbeda dengan Ayer, bagi Wittgenstein, yang penting bukanlah mengatur
bagaimana suatu ungkapan bahasa itu harus berarti atau bermakna, tetapi kita
harus bisa menangkap apa arti yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa itu.
Oleh karena itu, kita harus mengalisis bentuk-bentuk hidup (forms of life) sampai
ke dasar terdalam dari setiap permainan bahasa. Wittgenstein menegaskan bahwa
arti ditentukan oleh bagaimana suatu kata digunakan dalam konteksnya. Lewat
analisis bahasa, seseorang akan dapat memperoleh kejelasan (clarify) arti bahasa
sebagaimana yang diutarakan oleh orang yang menggunakan bahasa itu.50
50 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 122.
Senada dengan Wittgenstein, Kuhn juga berpendirian bahwa pengetahuan
sains seperti bahasa pada dasarnya adalah milik bersama suatu kelompok. Dan
untuk memahaminya kita perlu mengetahui karakteristik-karakteristik khusus dari
kelompok yang menciptakan dan menggunakannya.51
Apabila disimak secara seksama, seluruh ajaran filsafat Wittgenstein itu
tidak lain hanya menawarkan suatu metode yang sering disebut sebagai metode
analisis bahasa. Metode itu bersifat netral, tanpa pengandaian filsafati,
epistemologis ataupun metafisik. Analisis bahasa secara logis tanpa mereduksikan
sesuatu sehingga pada prinsipnya hanya sekedar membuat lebih jelas tentang
maksud yang dikatakan lewat suatu ungkapan bahasa verbal. Metode analisis
bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein ini disebut juga dengan metode
klarifikasi.
Pandangan Positivisme Logis bahwa bahasa merupakan gambaran realitas
inilah yang ditolak Feyerabend. Bagi Feyerabend, fakta-fakta itu sesungguhnnya
tergantung pada teori yang menjadi mediasi dalam proses pemahaman. Sedangkan
pengalaman dan pemahaman itu sendiri terjadi lewat bahasa. Oleh karena itu,
bahasa selalu terbatas untuk mengungkapkan totalitas pengalaman. Pengalaman
yang kita alami senantiasa sudah terefleksikan yang dinyatakan dalam bahasa.
Jadi, distorsi itu tidak hanya terjadi pada waktu obyek atau peristiwa
dipresepsikan. Interpretasi yang dilakukan setelah dipersepsi pun, sebagaimana
diutarakan Feyerabend, juga dipengaruhi oleh pengalaman dan harapan-harapan
dari orang yang berusaha menafsirkan struktur realitas itu.52
51 Thomas S. Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 203.
52 Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 111-113.
Disamping itu, Positivisme Logis ini juga biasa disebut sebagai Logika
Empirisme dengan pelopornya yang sangat menonjol, yakni Rudolf Carnap. Ia
merupakan seorang tokoh kelahiran Jerman, datang ke Wina pada tahun 1927 dan
ikut secara aktif di Lingkaran Wina. Ia adalah seorang ahli yang terlatih dalam
bidang fisika dan juga seorang logisian yang rajin bekerja keras. Para anggota
aliran ini sendiri adalah bekas ilmuwan yang terjun ke dunia filsafat dan
sebelumnya telah berhasil membentuk suatu kegiatan di Lingkaran Wina. Para
ilmuwan yang terkenal itu diantaranya adalah Ludwig Boltzmann, Pierre Duhem,
Helmholtz, Ernst March termasuk juga Einstein.53
Positivisme Logis sebenarnya merupakan perkawinan antara dua aliran,
empirisme dan logika tradisional. Tetapi sebutan positivisme kemudian diralat
menjadi empirisme, sebab menghilangkan sebutan “positivisme” seperti kata
Morton White adalah berhubungan erat dengan kritik terhadap ajaran August
Comte yang menggunakan istilah “positivisme” juga. Dalam perspektif Morton
White, setidaknya terdapat dua kutub dalam aliran Positivisme Logis yang patut
juga kiranya mendapat perhatian cermat dalam diskursus perdebatan filsafat ilmu
pengetahuan kontemporer.
Yang pertama adalah pihak negatif, suatu golongan yang ekstrem, militan,
penuh kritik tajam dan menganggap remeh pula pandangan-pandangan
pendahulunya. Pihak kedua adalah kelompok positif yang bersikap mengagumi
logika dan ilmu pengetahuan. Disisi lain mereka juga membantah sekaligus
menyerang metafisika dan etika yang gagasan awalnya sudah mulai dilontarkan
53 Bawengan, G.W., op.cit., hlm. 114.
beberapa filsuf analitik yang embrionya berasal dari Lingkaran Wina itu sendiri.
Mereka mengembangkan ajaran yang disebut “kriteria pengertian empiris” dan
menolak setiap ajaran, pandangan dan pengertian yang tidak memakai rumusan
matematik dan empiris. Pada umumnya, mereka menolak metafisika karena
mereka sependapat bahwa metafisika tidak dapat “dipertanggungjawabkan” secara
ilmiah.
Salah satu pemikir kontemporer filsafat analitik terkenal yang memiliki
pengaruh cukup besar, Alfred Jules Ayer (1910-1970) lewat bukunya Language,
Truth and Logic (1963), juga berupaya mengeliminasi metafisika yang didasarkan
pada prinsip verifikasi, yaitu agar suatu pernyataan (statement) benar-benar penuh
arti, maka pernyataan tersebut haruslah dapat diverifikasi oleh salah satu atau
lebih dari kelima pancaindera. Tokoh positivisme logika modern Inggris dan salah
satu penganut empirisis logis ini menandaskan bahwa kata “makna” dalam
positivisme logis berarti gagasan yang kebenaran dan kepalsuannya dapat
ditegaskan dalam batas-batas pengalaman inderawi.54
Pada tahap perkembangan selanjutnya, munculnya Karl Raimund Popper
menandai kreasi wacana baru dan sekaligus merupakan masa transisi bagi suatu
zaman filsafat ilmu pengetahuan baru. Popper membuka babak baru sekaligus
sebagai masa transisi dipicu oleh adanya dua alasan penting. Pertama, lewat teori
falsifikasinya Popper menjadi orang pertama yang meruntuhkan dominasi aliran
Positivisme Logis dari Lingkaran Wina. Kedua, lewat pendapatnya tentang
54 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 59.
berguru pada ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu
pengetahuan baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Popper menentang Lingkaran Wina terutama dalam distingsi antara
ungkapan yang disebut meaningful dan meaningless berdasarkan
kemungkinannya untuk diverifikasi, yakni dibenarkan secara empiris. Namun
Popper sendiri dalam hal ini mengakui bahwa ia tidak pernah berasumsi dengan
memaksa kesimpulan yang telah diverifikasi dapat ditetapkan sebagai sebuah
jaminan kebenaran, apalagi hanya sekedar dijadikan acuan untuk menerapkan
prinsip “mungkin” atau “bisa jadi” benar (probability). Bahkan mungkin saja
yang disalahkan (difalsifikasi) itu menjadi benar dalam arti verifiable (dapat diuji)
secara ilmiah. Oleh Popper distingsi itu diganti dengan apa yang disebut garis
batas (demarcation) antara ungkapan yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Menurut
Popper, pokok demarkasi terletak pada ada tidaknya kemungkinan falsifikasi bagi
ungkapan yang bersangkutan.
Popper menandaskan bahwa metode falsifikasi itu mengisyaratkan tidak
adanya kesimpulan deduktif, kecuali hanya perubahan sifat pengulangan kata dari
logika deduktif yang memiliki derajat kebenaran yang tidak lagi diperselisihkan.
Ia mengatakan, “...the method of falsification presupposes no inductive inference,
but not only tautological transformation of deductive logic whose validity is not
indispute”.55 Popper menegaskan bahwa suatu ungkapan bersifat empiris atau
tidak, tidak dapat ditentukan berdasarkan azas pembenaran (verifiability)
55 Karl Raimund Popper, The Logic of Scientific Discovery (New York: Harper & Row Pub., 1968), hlm. 40-42.
sebagaimana dianut oleh aliran Positivisme Logis. Pokok persoalannya adalah
mustahilnya pembenaran proses induksi.
Sebagai ganti azas pembenaran, Popper menyodorkan prinsip
falsifiabilitas, artinya ciri pengetahuan ilmiah adalah dapat dibuktikan salah.56
Popper lantas menyarankan dilakukannya suatu deductive testing of theories
untuk menguji kesahihan (validasi) dan ketepatan (akurasi) suatu teori ilmu
pengetahuan lewat empat jalur berbeda. Pertama, perbandingan logis dari
kesimpulan antar teori dalam hal konsistensi internal dari sistem yang diuji.
Kedua, penyelidikan terhadap bentuk logis dari teori dengan obyek penelitian
teori tersebut untuk memastikan apakah teori tersebut mempunyai karakter suatu
teori empiris atau teori ilmiah, atau juga mungkin terjadi hubungan tautologis
(pengulangan kata yang mengaburkan makna) diantara teori-teori tersebut.
Ketiga, perbandingan dengan teori-teori lain dengan tujuan untuk
menentukan apakah teori itu telah memenuhi standar mutu hipotesis umum
sebagai scientific advance yang tahan dari berbagai ujian dan kritik maupun
diskusibilitas publik sehingga hal itu akan semakin mengukuhkan (corroboration)
keberadaannya dalam setiap proses pencarian kebenaran ilmu pengetahuan.
Keempat, pengujian terhadap teori dengan cara aplikasi empiris dari kesimpulan
yang berasal dari teori tersebut. Dari cara yang terakhir inilah, suatu pernyataan
tunggal dapat menghasilkan suatu prediksi kemungkinan baru yang dapat diuji
(applicable) yang dideduksi dari suatu teori pengetahuan tertentu.
56 Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 160.
Setelah dilakukan seleksi terhadap beberapa pernyataan (prediksi), maka
diambil suatu putusan melalui perbandingan antar pernyataan tersebut dengan
hasil aplikasi praktis dan eksperimen. Apabila putusan itu positif, berarti
kesimpulan tunggal itu acceptable (dapat diterima secara logika) atau verified
(dapat dibuktikan secara empiris). Tetapi jika kesimpulan tersebut negatif atau
falsified (tidak dapat dibuktikan keabsahannya), maka teori yang digunakan untuk
mendeduksi teori-teori tersebut secara logis tidak dapat diterima sebagai sebuah
hasil kebenaran yang sah.57
Dengan begitu Popper dianggap berhasil memberikan pemecahan bagi
masalah induksi. Dengan itu pula, Popper serentak merubah seluruh pandangan
tradisional atau The Received View yang dipegang oleh Lingkaran Wina. Bila cara
kerja ilmu pengetahuan tradisional didasarkan pada prinsip verifikasi, maka dasar
yang diajukan Popper adalah prinsip falsifiabilitas, suatu cita-cita yang
sebenarnya diimpikan oleh para ilmuwan tradisional yakni mendasarkan cara
kerja ilmu-ilmu empiris pada logika deduktif yang ketat.
Namun menurut kaum falsifikasionisme sofistikit, masalah keutamaan
falsifiabililtas belum cukup untuk menjajaki kebenaran suatu teori, sebab masih
ada kondisi lain yang diperlukan oleh ilmu untuk dapat berkembang lebih maju.
Pandangan ini lebih menekankan pentingnya manfaat relatif teori-teori yang
bersaing daripada manfaat suatu teori tunggal.
Pertanyaan-pertanyaan tentang teori seperti: “Apakah ia falsifiable?”
“Bagaimana tingkat falsifiabilitasnya?” dan “Sudahkah ia difalsifiable?” dalam
57 Conny R. Semiawan, et.al., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung: Rosdakarya, 1991), hlm. 51-52.
penilaian mereka kini lebih layak diganti dengan, “Apakah teori yang baru ini
memiliki daya saing untuk menggantikan teori yang ditantangnya?”. Jadi disini
berlaku pragmatisme dari suatu teori ilmiah yang merupakan racun ampuh
terhadap paham determinisme yang bersifat statis dan yang sebelumnya tidak
dibicarakan oleh Popper .
Sedangkan pendapat Popper tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu juga
mengintroduksikan zaman filsafat ilmu pengetahuan baru. Popper menegaskan
bahwa cara kerja (berdasarkan prinsip falsifiabilitas) itu bisa dilihat secara nyata
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sejarah ilmu-ilmu. Selanjutnya,
dikatakan bahwa tidak hanya hipotesa melainkan juga hukum dan teori yang
kokoh dalam proses falsifikasi lalu ditinggalkan.58 Dari situ Popper meyakini tidak
ada ungkapan, hukum dan teori yang definitif dan baku. Semua pengetahuan
manusia sementara sifatnya, bisa difalsifikasi. Beerling59 juga berpendapat bahwa
semua hasil ilmu itu tidak sempurna, dapat ditambah dan diperbaiki. Jika tidak
demikian, maka ilmu pengetahuan justru akan merosot menjadi ideologi tertutup
dari segala kritik dan pembaruan.
Dalam kaitannya dengan hal inilah, maka kemudian muncul paham
falsifikasionisme yang memandang ilmu sebagai suatu perangkat hipotesis yang
dikemukakan lewat proses mencoba-coba (trial and error) dengan tujuan
melukiskan secara akurat gejala suatu fenomena dunia atau alam semesta. Jadi
apabila suatu hipotesis akan dijadikan bagian dari bangunan struktur ilmu, maka
ia harus falsifiable (dapat dinyatakan sebagai benar atau salah).
58 Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, op.cit., hlm. 161.
59 Seperti dikutip oleh Conny R. Semiawan, op.cit., hlm. 58.
Mengikuti cara berpikir Popper, kita seharusnya memecahkan setiap
persoalan yang menarik melalui dugaan yang berani melawan (dan terutama)
apabila tidak lama kemudian ternyata salah daripada mengulang suatu rangkaian
kebenaran yang tidak relevan lagi dengan konteks zamannya. Kita mesti belajar
dari kesalahan-kesalahan kita terdahulu, dan untuk selanjutnya setelah mengetahui
bahwa dugaan kita salah, maka lalu kita akan belajar banyak tentang model
kebenaran yang lain.
Dalam perkembangan ilmu, falsifikasi menjadi sandaran penting, sebab
penarikan kesimpulan teori-teori universal dari keterangan observasi tidak
mungkin menemukan jalan kebenaran yang diharapkan. Tetapi sebaliknya,
membuat deduksi tentang ketidakbenaran suatu teori lewat proses falsifikasi
mungkin saja ditempuh, sebab pada dasarnya ilmu memang berkembang maju
melalui berbagai percobaan dan kesalahan. Paham falsifikasionisme ini dapat
dipakai sebagai landasan berpikir pragmatis tanpa selalu menganggap semua teori
ilmiah sudah benar secara ilmiah dalam perjalanan ilmu.
Kesalahan kita selama ini, sebagaimana yang diutarakan oleh Huston
Smith adalah mengira sains dapat memberikan satu pandangan utuh tentang dunia
seisinya. Tapi sayangnya sains cuma mampu memperlihatkan kepada kita
serpihan-serpihan dunia yang bersifat fisikal, bisa dikalkulasi dan diuji lewat
pengamatan fakta-fakta empiris semata. Potongan-potongan dunia itu tidak dapat
divisualisasikan hanya dengan indera reseptor manusia yang memiliki standar
sensibilitas terbatas. Tak heran jika menjelang wafatnya, Richard Feynman
berujar kepada murid-muridnya, “Jangan pernah menanyakan bagaimana cara
kerja alam semesta, karena pertanyaan seperti itu akan menyeret kalian ke dalam
sebuah lubang, dan tak seorang saintis pun bisa keluar darinya dengan selamat.
Ketahuilah, tak ada manusia yang dapat memahami bagaimana alam bekerja.”60
Popper sendiri sebenarnya ingin menekankan tentang pentingnya kontrol
intersubyektif dan kesepakatan dalam komunitas para peneliti sendiri sehubungan
dengan kemunculan teori-teori baru agar kemungkinan falsifikasi atas teori-teori
itu tidak semata-mata didasarkan pada koherensi logis dan linguistis belaka,
melainkan juga atas kriteria praktis dan fungsional.61
Popper juga selalu mendorong tentang perlunya mengembangkan budaya
rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang
berbau mitos untuk mengikis tradisi-tradisi dogmatik yang selama ini hanya selalu
mengagung-agungkan kebenaran satu doktrin saja untuk selanjutnya digantikan
dengan doktrin yang lebih bersifat majemuk (pluralistik) dan masing-masing
mencoba menemukan kebenaran secara analisis kritis.62
Tuntutan falsifikasi Popper tersebut di atas tentu harus dipahami pula
berkaitan dengan pandangan filsafatnya tentang rasionalisme kritis yang salah satu
uraian pokok ajarannya menjelaskan bahwa setiap pernyataan teoretis harus
disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan terbukanya peluang-peluang
perbaikan lanjutan. Sebab hanya dengan demikian daya topang dan kemungkinan
perkembangan ilmu-ilmu ikut tertunjang secara selaras dan seimbang.
60 Huston Smith, Kebenaran Yang Terlupakan: Kritik atas Sains dan Modernitas, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), hlm. xviii.
61 I. Bambang Sugiharto, op.cit., hlm. 77.62 Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 112.
Rasionalisme kritis memang tepat mengatakan bahwa rasionalitas suatu
ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari dan ditemukan pada kekuatan
nalar ilmiah saja, seperti yang dikatakan oleh Descartes dan Leibniz, melainkan
bahwa sifat rasional itu justru dibentuk oleh adanya sikap keterbukaan terhadap
kritik dan kenyataan empiris menuju suatu kebijakan dan strategi ilmu yang lebih
terpadu dan menyeluruh.
Berbeda dengan Kant, Popper mengajukan suatu pandangan yang lebih
historis dan dinamis mengenai ilmu yang harus selalu memodifikasi dan
memperbaiki diri. Demikian pula terhadap pendirian empiristis dari Hume
ditandaskannya tidak perlu menunggu secara pasif berulangnya gejala untuk
mencari keteraturan. Justru kitalah yang harus berusaha secara aktif memaksakan
hukum keteraturan (regularities) kepada alam. Sebab pada hakikatnya sifat kritis
berarti bahwa kita seperti kata Kant senantiasa siap terbuka pada semua aneka
bentuk perubahan yang kita hadapi dan pengalaman yang kita alami. Tetapi
Popper menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh dianggap kritis
apabila kita bersedia membuang rongrongan-rongrongan yang dipaksakan
(imposed regularities) oleh sistem makrokosmos alam semesta ini dalam sistem
mentalitas berpikir kita.63
Popper menawarkan formulasi lain dalam prinsip epistemologi dengan
sebuah keyakinan awal bahwa tidak ada sesuatu yang tidak bisa kita refleksikan
dan kita buat eksplisit. Baginya ketidakmungkinan mengeksplisitkan asumsi-
asusmi dasar adalah sebuah mitos yang cenderung dibesar-besarkan sehingga
63 Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 83-84.
membuat kesulitan menjadi ketidakmungkinan. Ia memang percaya bahwa setiap
saat kita ini terpenjara oleh teori-teori, harapan-harapan, pengalaman-pengalaman
dan bahasa kita. Tetapi sebenarnya kalau saja kita mau, kita selalu bisa keluar dari
kerangka acuan dasar itu setiap saat. Memang kita akan terperangkap dalam
kerangka yang lain, tetapi kerangka itu pasti yang lebih baik. Lalu disitu pun kita
bisa saja keluar lagi untuk kemudian merefleksikan ulang tentang kerangka acuan
dasar itu. Inti persoalannya adalah bahwa suatu diskusi kritis dan perbandingan
berbagai kerangka acuan selalu mungkin dilakukan.64
Sejalan dengan ide-ide awal yang provokatif tersebut, tampilnya Thomas
Kuhn, sebagai generasi pasca Popper, semakin memantapkan permulaan suatu
zaman baru dalam proses dialektika filsafat ilmu kontemporer yang biasa disebut
filsafat ilmu pengetahuan baru. Secara khusus, Kuhn memperlihatkan bahwa
sepanjang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan itu pembaharuan-
pembaharuan yang benar hanya terjadi dalam beberapa fase saja, yaitu sewaktu
anggapan para ahli ilmu pengetahuan pindah dari suatu paradigma (istilah teknis
Kuhn, artinya “susunan dasar” ilmu alam pada zaman dan wilayah perkembangan
ilmu tertentu) ke paradigma yang lain tanpa adanya hubungan logis antara
keduanya.
Tokoh-tokoh yang disebut bersama Kuhn adalah Mihael Polanyi, Paul
Karl Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Polter, Stephen Toulmin dan A. Kaplan.
Mereka ini disebut sebagai generasi filsafat ilmu pengetahuan baru karena
mempunyai perhatian besar terhadap sejarah ilmu pengetahuan dan peranan
64 I. Bambang Sugiharto, op.cit., hlm. 92-93.
sejarah ilmu pengetahuan bagi penyusunan filsafat ilmu pengetahuan yang lebih
mendekati kenyataan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.
Mereka itu oleh Cornelis Anthonie van Peursen65, digolongkan sebagai
filsuf ilmu pengetahuan baru karena mereka melihat perkembangan ilmu
pengetahuan sebagai perkembangan yang revolusioner. Oleh Dudley Shapere66,
mereka digolongkan sebagai pemikir baru yang mendasarkan pandangan
filosofisnya pada sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri.
Hal ini nampak dari cara kerja Feyerabend dalam menentang empirisme
kontemporer dan teori kuantum mutakhir dari interpretasi Kopenhagen yang
menegaskan bahwa tidak mungkin untuk menyatakan posisi dan kecepatan sebuah
elektron bersama-sama. Berdasarkan percobaan, kemustahilan ini ditarik dari
kenyataan bahwa setiap kuantitas cahaya yang cukup untuk menangkap posisinya
akan merubah kecepatannya, dan sebaliknya, setiap kuantitas cahaya yang tidak
mempengaruhi kecepatan tidak akan memadai untuk menyatakan posisinya.
Menurut interpretasi Kopenhagen yang dipertahankan oleh ahli fisika
Werner Heisenberg (1901-1976) dengan Uncertainly principle (Prinsip
Ketidakpastian)-nya, kemustahilan ini adalah kemustahilan prinsipiil. Alasannya,
pada tingkat sub-mikroskopik kita tidak berhak untuk memberikan suatu sifat
kepada entitas kecuali kita dapat membuktikannya secara eksperimental. Ia
mengatakan bahwa para ahli fisika tidak membangun peralatan yang canggih
untuk membantah hipotesis dan pondasi ilmu pengetahuan yang telah ada,
melainkan untuk mengembangkan dan menguatkan praktek kegiatan ilmiahnya.
65 Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 10.
66 Dudley Shapere, Meaning and Scientific Change, dalam Ian Hacking (ed.), hlm. 29.
Namun sayangnya, peralatan kita—istilah Einstein—terlalu kasar untuk
mendeteksi dan memaksa menspesifikasikan kecepatan dan arah tertentu dari
partikel elektron yang lebih kecil daripada atom. Akibatnya, kenyataan obyektif
digambarkan secara mekanis sehingga hanya menghasilkan informasi yang
terbatas dan tidak utuh. Istilah-istilah seperti massa, kecepatan, posisi, volume,
tekanan, kekuatan dan unsur-unsur semesta atomik yang paling kecil merupakan
sifat-sifat utama dari materia yang bergerak secara bebas. Dunia nyata
diasumsikan menjadi suatu sistem partikel-partikel material yang dipahami secara
geometris. Akhirnya, Heisenberg berkesimpulan bahwa ilmuwan tidak mungkin
dapat melihat elektron dan sekaligus mengukur kecepatannya pada waktu yang
bersamaan. Apa yang kita amati bukanlah alam an sich, tetapi alam yang tampak
seperti dalam metode penelitian, dan gerakan sub-atomik alam itu sesungguhnya
tidak bisa dipastikan atau diramalkan.
Dalam kegiatan-kegiatan bebas, kita memanipulir benda-benda yang
terdiri dari bermiliar-miliar atom, dan bukannya atom-atom itu sendiri. Sehingga
dengan alasan bahwa teori kuanta (partikel) itu masih jauh dari kadar kepastian,
dan karena kebebasan kita juga tidak dilaksanakan pada tingkat mikroskopik,
melainkan pada tingkat makroskopik dari kuanta, maka konsep indeterminisme
Heisenberg tersebut tidak dapat berfungsi lagi. Salahlah menjadikan kepercayaan
kita akan pertanggungjawaban manusiawi itu pada jurang-jurang kekosongan
yang ditemukan oleh Heisenberg dalam struktur deterministik gambar dunia
fisik.67
67 Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 176 dan 315.
Implikasi dari adanya fenomena tentang interpretasi Kopenhagen itu
ternyata membawa sains modern kepada cara analisis yang bersifat atomistik
dengan jalan memilah-milah suatu proses ke dalam proses pencarian sebab-sebab
efisiensi maupun subyek-subyek aktual yang terlibat dalam rangkaian kegiatan
penyelidikan ilmu pengetahuan. Sekali analisis dimulai harus dikejar dan
ditelusuri sampai batas akhir, karena sains baru akan merasa tahu “bagaimana”
secara persis dari proses alami jika telah menemukan komponen-komponen fisis
dasar yang menyebabkan terjadinya hukum kausalitas dalam proses kegiatan
tersebut sampai kepada teori atomik sebagai pusat aktivitas saintifik.
Prinsip ketidakpastian ini telah memacu fungsi imajinasi manusia untuk
memunculkan ide-ide serta penemuan-penemuan baru yang merupakan refleksi
perkembangan ilmu dari masa ke masa. Dari sini kemudian perkembangan ilmu-
ilmu modern telah mengakibatkan penjernihan dari prasangka-prasangka
metafisika dan pencocokan lebih teliti pada data dan cara berpikir yang lebih
benar.
Kalau filsafat ilmu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 lebih
difokuskan pada upaya untuk menemukan penjelasan yang radikal tentang apa,
bagaimana dan untuk apa gejala alam itu, maka filsafat di abad modern
memperlihatkan kecenderungan menggeser landasan dan obyek telaahannya.
Filsafat ilmu abad modern bersumber pada manusia itu sendiri yang pada
perkembangan berikutnya terkesan menjadi filsafat ilmu kehidupan. Artinya, ilmu
bukan lagi merupakan hasil usaha manusia semata-mata berdasarkan pengalaman
empirik yang diperolehnya melalui pengamatan inderanya dan penelitian
percobaannya serta pembuktiannya, melainkan manusia itu sendiri sebagai
makhluk yang memiliki keistimewaan khusus, yaitu dalam hal kemampuan
berimajinasi. Oleh karena itu, filsafat ilmu abad modern tidak lagi mengutamakan
penalaran semata, tetapi bertujuan juga untuk meningkatkan dan membuka tabir
serta mendalami realitas alam yang penuh misteri dan paradoks ini melalui
perangkat dimensi kreatif ilmu pengetahuan kontemporer.
Oleh Frederick Suppe68, Feyerabend disebut bersama Kuhn, Toulmin,
Hanson, Popper dan Bohm sebagai pembawa pandangan alternatif (alternatives to
the Received View). Suppe secara khusus menempatkan mereka dalam kelompok
analisis Weltanschaungen, suatu model analisis untuk menginterpretasi dunia.
Anehnya, pada posisi ini Feyerabend justru didekatkan dengan Popper. Dikatakan
bahwa filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend merupakan percobaan untuk
memperkembangkan analisis Popperian, terutama dalam penilaian Feyerabend
terhadap empirisme kontemporer yang dianut oleh para pengikut The Received
View.
Mereka digolongkan sebagai filsuf ilmu pengetahuan baru bukan saja
karena mendasarkan pandangan filosofisnya pada sejarah ilmu pengetahuan,
melainkan juga karena mereka melihat adanya hubungan antara sejarah ilmu
pengetahuan dengan filsafat ilmu pengetahuan. Misalnya, Lakatos mengatakan
bahwa filsafat ilmu pengetahuan tanpa sejarah ilmu pengetahuan adalah omong
kosong ilmiah belaka. Sebaliknya, sejarah filsafat tanpa sejarah ilmu pengetahuan
adalah buta.69
68 Frederick Suppe (ed.), op.cit., hlm. 119.69 Prasetya T.W. op.cit., hlm. 52.
Namun berbeda dengan Popper, dan lebih sehaluan dengan Thomas S.
Kuhn, ia menyangkal kemungkinan adanya tentang experimentum crucis, yakni
keadaan bahwa dengan satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Sebab
berdasarkan keyakinan Lakatos, seandainya ada gerak lawan lain yang muncul
dari ranah pengalaman subyek peneliti pasti memproduk suatu teori baru, karena
fakta tanpa kerangka teoretis tidak pernah dapat menjadi relevan secara ilmiah.
Yang terjadi dalam pembaruan suatu ilmu itu sebetulnya merupakan peralihan
dari teori yang satu ke teori yang lain. Atau lebih jelasnya lagi, yang berlangsung
sebetulnya adalah suatu program penelitian. Jika nantinya semua ini menghasilkan
teori yang lebih baik, maka ini bisa dikatakan sebagai program penelitian
progresif, tetapi kalau tidak dinamakan degeneratif.70
Lakatos menyatakan bahwa seluruh bangunan ilmu alam merupakan suatu
kompleksitas makro yang intinya seharusnya melawan segala usaha untuk
membuktikan salah. Kompleksitas itu terdiri atas sejumlah teori ilmiah yang
menurut Popper tidak dapat berlaku sekaligus (yaitu apabila teori yang baru
masuk, maka yang lama dianggap gugur), tetapi justru deretan teori-teori ilmiah
itu yang dimaksud Lakatos dengan program riset (research program) yang dalam
prakteknya di lapangan tidak boleh dilaksanakan secara fragmentaris.
Sementara disisi yang lain, Feyerabend juga berusaha melawan segala
usaha untuk menemukan keteraturan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Feyerabend merasa bosan akan segala law and order yang ingin dicapai oleh para
sarjana, khususnya Popper. Feyerabend berpendapat bahwa manusia dewasa ini
70 Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 86.
terkekang oleh semua cara kerja yang telah diperincikan dengan teliti itu dengan
hanya berlandaskan pada teori dan hipotesis yang kurang ditopang oleh kenyataan
yang terjadi dalam masyarakat.71
Feyerabend secara tegas mengatakan bahwa antara sejarah ilmu
pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan mempunyai keterkaitan timbal balik.
Dalam Against Method72, Feyerabend mengatakan bahwa para ilmuwan tidak bisa
melepaskan diri dari latar belakang historis bagi hukum-hukum, hasil-hasil
eksperimen, teknik-teknik matematis, prasangka-prasangka epistemologis dan
sikap-sikap mereka terhadap akibat-akibat aneh dari teori-teori diterimanya.
Kaitan itu dilukiskan oleh Feyerabend sebagai sebuah perkawinan yang cocok
(marriage convenience).73 Alasannya adalah bahwa analisis-analisis terhadap
kejelasan, konfirmasi dan teori perbandingan yang diberikan oleh para filsuf
berguna baik bagi ilmuwan maupun para pakar sejarah.
Dengan semboyan Against Method yang disuarakannya secara ekstrem,
Feyerabend mendesak membuka pintu bagi bermacam-macam model alternatif
demi pembaruan suatu ilmu. Bahkan yang kini sama sekali tidak ilmiah, atau
masih disebut magis sekalipun, misalnya, dapat berfungsi sebagai ancangan
alternatif yang merangsang untuk menggantikan metode ilmiah tradisional dan
kaku, dengan maksud agar lebih banyak bahan yang bervariasi sifatnya dapat
dicakup dalam sistem ilmiah.74
71 Soedjono Dirdjosisworo, op.cit., hlm. 17.
72 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 211.73 John Losee, Philosophy of Science and Historical Enquiry (Oxford: Clarendon Press,
1974), hlm. 4.
74 Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 90.
Segala upaya dekonstruksi metodologis Feyerabend dalam filsafat ilmu
modern tersebut memberikan perspektif baru tentang hakikat ilmu pengetahuan
yang sebenarnya. Pandangan-pandangan maupun kritik-kritik tajam yang
dilontarkannya merupakan sebuah reaksi nyata dalam menyikapi kegagalan teori-
teori ilmiah tradisional yang tidak dapat dibuktikan secara konklusif
(meyakinkan), dan sekaligus juga sebagai penentangan terhadap adanya asumsi
bahwa ilmu itu adalah suatu aktivitas rasional yang beroperasi hanya berdasarkan
satu atau beberapa metode tertentu. Sebab bagi Feyerabend, ilmu tidak
mempunyai segi-segi istimewa yang dapat menyatakan dirinya lebih unggul
daripada cabang-cabang pengetahuan lain.
BAB III
PRINSIP-PRINSIP ILMU PENGETAHUAN PAUL KARL FEYERABEND
C. Apa Saja Boleh (anything goes)
Pada zaman Yunani kuno, hubungan antara kesatuan alam semesta yang
teratur (kosmos) dengan pemikiran para filsuf berkembang menjadi teori-teori
yang berbeda. Platonisme, berasumsi bahwa kesatuan adalah nyata, sedangkan
pengertian (pengamatan) awam adalah opini sebagai duplikat yang tidak
sempurna. Aristoteles menganggap bahwa opini atau hasil pengamatan (menurut
Plato) itulah yang benar, sedangkan hasil pengetahuan rasional abstrak Plato itu
adalah mimpi yang tidak berguna. Teori lain (para Sophis) menganggap obyek
natural adalah sesuatu yang nyata, sementara obyek-obyek matematika (obyek
akal) merupakan pemikiran dan bayangan yang tidak realistik dari obyek natural.
Munculnya kaum Sophis itu secara tidak langsung memperlihatkan
tentang mulai adanya krisis dalam pemikiran filsafat Yunani. Orang-orang Yunani
merasa jemu terhadap banyak ajaran yang dikemukakan oleh para filsuf pra-
Sokratik. Kebosanan ini kemudian melahirkan Skeptisisme sebagaimana yang
dianut oleh tokoh-tokoh berpengaruh besar kaum Sophis, seperti Protagoras (±
480-411 SM.), Georgias (± 480-380 SM.), Hippias, Prodikos dan Kritias.
Akibatnya kebenaran diragukan dan dasar ilmu pengetahuan mulai disanggah. Hal
ini jelas membawa pengaruh yang tidak baik bagi kebudayaan Yunani zaman itu.
Nilai-nilai tradisional dalam bidang agama dan moral dirubuhkan serta kecakapan
berpidato di depan umum digunakan untuk memutarbalikkan kenyataan demi
kepentingan pihak yang berbicara saja.75
Kelompok ini menolak segala realitas serta mengingkari proposisi-
proposisi ilmiah dan empirikal. Kaum Sophis dengan kritik-kritiknya yang
bersifat menjatuhkan telah menjadikan manusia dan segala hal yang berhubungan
dengan akal budi pengetahuan sebagai pusat perhatian utama. Anehnya, Sokrates
oleh lawan-lawannya dinamakan juga orang Sophis, meskipun ia sebetulnya
adalah lawan yang terbesar dari kaum Sophis. Hal ini mungkin disebabkan oleh
karena Sokrates terus bertekad untuk mempertahankan azas-azas pokok mengenai
pengetahuan hidup yang hendak dirongrong dan dirusak oleh kaum Sophis.
Di sisi yang lain, kaum Sophis menyangkal adanya nilai-nilai universal
mengenai prinsip baik dan buruk atau adil dan tidak adil yang terdapat dalam
suatu tatanan masyarakat. Sebaliknya, Sokrates membenarkan bahwa nilai yang
75 Martinus Anton Wesel Brouwer dan M.P. Heryadi, Sejarah Filsafat Barat dan Sezaman (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 22.
berkembang dalam masyarakat memang tidak dapat tahan terhadap kritik. Tetapi
ia juga merasa bahwa nilai-nilai yang ada itu pasti ada yang bergerak menuju
kepada tercapainya suatu norma yang bersifat mutlak, absolut dan abadi. Ia
membela yang benar dan baik sebagai nilai-nilai obyektif yang harus diterima dan
dijunjung tinggi oleh semua manusia. Ia sadar bahwa mengenai satu hal ia lebih
tahu daripada kebanyakan orang, sehingga tanpa ragu-ragu ia pun berujar, “Saya
tidak tahu apa-apa, tetapi saya juga tidak mengira mengetahui sesuatu”.
Semboyan Sokrates yang kemudian lebih populer dengan ungkapan “Gnothi
Seauton” (Kenalilah dirimu) ini menyiratkan bahwa ia mencintai kebijaksanaan
dan bukan untuk menguasainya.76 Kaum Sophis membantah adanya norma-norma
moral-etis yang berlaku terus-menerus. Kesalahan mereka adalah bahwa ukuran
dari nilai kebenaran yang mereka ajukan itu hanya sebatas pengamatan yang
nampak dari bagian permukaan luarnya saja. Padahal menurut Sokrates, kesadaran
akan adanya hakikat yang mutlak itu justru berada dalam jiwa manusia yang
selalu berpikir serta berusaha mencari dan menyelidiki problem mendasar dari
filsafat, yakni tentang ‘Ada.’
Namun begitu, harus diakui pula bahwa aliran Sophis mempunyai
pengaruh yang positif pada kebudayaan Yunani. Aliran Sophis inilah yang pada
akhirnya menimbulkan revolusi intelektual di Yunani. Kaum Sophis menciptakan
gaya bahasa baru yang sangat mempengaruhi para sejarawan dan penulis drama
Yunani. Kaum Sophis juga menempatkan manusia sebagai obyek pemikiran
filsafat dan meletakkan dasar bagi pendidikan untuk para pemuda secara
76 Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 42.
sistematis. Dan yang paling penting adalah mereka menyiapkan kelahiran suatu
genre pemikiran filsafat baru yang direalisasikan oleh tiga mahaguru filsuf
terkemuka Yunani Kuno, yakni Sokrates, Plato dan Aristoteles.
Pemikiran Yunani sendiri ditandai oleh ketergantungan pada akal sehat
(common sense) manusia (human reason) dalam memecahkan berbagai macam
persoalan. Setiap persoalan digagas atau dirancang dalam satu sistem kehidupan
yang dialogis dan kritis, sehingga peranan akal sehat dan logika diakui sangat
penting.
Sejak filsuf Yunani Kuno berusaha meruntuhkan mitos dengan
mengedepankan logos, yang berusaha untuk mencari dasar realitas (arche) dalam
berbagai unsur kosmos atau alam raya, pemikiran manusia seolah-olah
mememukan eksistensinya kembali. Implikasi filosofisnya, berbagai pergolakan
dan sekaligus pembongkaran atas pemikiran manusia pun kemudian bermunculan
sebagai suatu respons positif terhadap berbagai usaha yang dilakukan oleh para
filsuf Yunani Kuno tersebut, sehingga mampu melahirkan sejumlah perubahan
mendasar dalam cara berpikir manusia atas dunia beserta karakteristiknya.
Dominasi kosmosentris yang menjadi sifat dasar Yunani Kuno, misalnya,
disingkirkan oleh pandangan teosentris Abad Pertengahan melalui suatu
pemahaman, bahwa semua realitas yang terjadi dalam fenomena alam semesta ini
dilihat dari segi kehendak Tuhan sebagai prima causa yang menggerakkan dan
mengendalikan segala kejadian yang ada. Implikasi teologisnya, yang memegang
peran pada Abad Pertengahan ini adalah dogmatisme gerejani dengan beragam
tafsir keagamaannya yang meminggirkan peran akal dalam menjelaskan dunia
dengan berbagai permasalahannya. Inilah sebenarnya awal dari kesalahan persepsi
dalam perjalanan sejarah ilmu pengetahuan berikutnya yang seringkali
menempatkan ilmu pengetahuan seakan-akan telah menjadi sedemikian
matematis, abstrak dan teknis, sehingga setiapkali terjalin hubungan dengan akal
sehat, pada saat itu juga terjadi perpecahan. Dogmatisme tersebut telah cukup
untuk meluluhlantakan bermacam nilai humanisme, karena manusia dianggap
tidak mempunyai peran apapun di atas dunia, kecuali hanya sebagai viator mundi
(sekedar penziarah di muka bumi).77
Meskipun banyak pihak yang menilai bahwa Abad Pertengahan sebagai
masa kebodohan dan kegelapan dalam sejarah dunia filsafat, namun begitu
kemunculannya telah berusaha mewariskan suatu kebudayaan baru dengan ciri-
cirinya yang khas. Kebudayaan modern sendiri tidak dapat melepaskan diri dari
kebudayaan Abad Pertengahan, dan penafsiran-penafsiran filosofis yang terdapat
dalam filsafat modern pun tidak mungkin ada dan berkembang tanpa berkiblat
kepada konsep awal filsafat skolastik. Sebab pada awal kemunculannya,
pemahaman Filsafat Skolastik (filsafat yang diajarkan di sekolah-sekolah)—yang
pada Abad Pertengahan terkenal dengan nama Filsafat Eropa—tentang definisi,
kategori dan analogi yang didasarkan pada ketelitian, obyektivitas dan penguraian
logis, memang ditujukan untuk menumbuhkan dan menjelaskan alam pikiran
Eropa yang terjadi pada saat itu.78
77 Listiyono Santoso, “Sains dan Problematika Ketuhanan Abad Pencerahan (Hampiran Empirisme Radikal David Hume, 1711-1776)”, dalam Win Usuluddin Bernadien (ed.), Dance of
God, Tarian Tuhan (Yogyakarta: Apeiron-Philotés, 2003), hlm. 84.
78 A. Hanafi, Filsafat Skolastik (Jakarta: Pustka Alhusna, 1983), hlm. 82.
Selanjutnya pada zaman Renaissance, pendulum epsitemologis kembali
pada empirisme, walaupun para ilmuwan dan filsuf Aristotelian berupaya keras
bersama tokoh gereja mengecam bahwa pandangan Copernicus tidak rasional,
tetapi Galileo, Giordano Bruno, Kepler dan Newton justru mendukungnya.
Nikolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630) dan Galileo
Galilei (1564-1642)—barangkali—menjadi orang pertama yang berusaha untuk
memberikan cara pandang yang relatif baru bagi perkembangan sains, terutama
dengan teori heliosentrisnya yang menggugurkan paham geosentris tentang pusat
tata surya.
Bruno, misalnya, memahami alam semesta ini sebagai sesuatu yang tidak
terbatas dan tidak menentu serta tidak terhitung jumlahnya dalam ruang dan waktu
yang bergerak berdasarkan hukum-hukum yang sama. Sedangkan Kepler menolak
ajaran gerakan alami, dan mengajukan prinsip kelambanan, yaitu prinsip yang
menyatakan bahwa sebuah benda cenderung untuk diam atau bergerak di tempat
ia berada, kecuali apabila ia dipengaruhi oleh suatu benda yang terdapat di
sekitarnya. Kepler mengajarkan tentang tenaga mekanis yang menghasilkan
perubahan-perubahan kuantitatif.79
Secara historis, Renaissance itu sendiri adalah suatu gerakan yang meliputi
suatu zaman saat manusia merasa diri dan alam pikirannya telah dilahirkan
kembali dalam keadaan bebas dan beradab berdasarkan logika serta otoritas yang
utuh sebagai subyek yang berpikir, yang sempat diberangus oleh dominasi otoritas
79 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 269.
gerejani Abad Pertengahan. Manusia kembali kepada sumber yang murni bagi
pengetahuan dan juga keindahan.80
Manusia—pada abad ini—dianggap telah menemukan kembali
subyektivitasnya yang menjadi titik acuan pengertian realitas. Subyek bukan saja
mempengaruhi realitas, bahkan pada tataran tertentu dengan penuh kepercayaan
diri dan kesadaran penuh terhadap otonomi dan kebebasan alamiahnya untuk
berpikir dan bertindak berdasarkan kemampuannya tersebut, subyek juga dapat
menciptakan realitas itu sendiri. Dalam terminologi Hegel (1770-1832)81 manusia
bukan lagi dipahami sebagai substansi, melainkan subyek yang mempunyai pusat
kesadaran kritis untuk selalu membenturkan diri terhadap realitas dan dunia.
Modernitas sebagai produk dari Filsafat Pencerahan, menurut Hegel
melibatkan sang subyek dalam proses dialektik pembaharuan secara konstan dunia
realitas, disebabkan ketidakpercayaan pada spirit dan hukum alam. Dalam
penciptaan dunia obyek-obyek dan dalam pencarian nilai-nilai, subyek selalu
terlibat dalam proses bergerak ke depan—subyek selalu mengacu pada nilai-nilai
Kebenaran Ideal, sementara Kebenaran Ideal itu sendiri juga selalu dalam proses
‘menjadi’. Perubahan yang dihasilkan dari proses bergerak ke depan dan proses
‘menjadi’ inilah yang oleh subyek modern itu sendiri dinilai sebagai kemajuan.82
Dengan pola pemikiran yang demikian itu, maka pengetahuan dianggap
tidak lagi berasal dari Kitab Suci atau dogma Gereja, dan juga bukan berasal dari
80 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 11.
81 Franz von Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 60.
82 Yasraf Amir Piliang, Hiper-Realitas Kebudayaan (Yogyakarta: LKíS, 19990), hlm. 17.
kekuasaan feodal, melainkan dari diri manusia sendiri83, yaitu melalui rasio
(rasionalism) dan pengalaman (empirism). Rasionalisme dan empirisme inilah
yang kemudian menjadi arus utama filsafat yang paling dominan dalam
perkembangan pemikiran manusia abad Renaissance dan dilanjutkan serta
mencapai puncaknya pada abad ke-17 yang dikenal dengan Abad Pencerahan
(Aufklärung). Tradisi khas dari filsafat abad ini terletak pada mainstream
utamanya dalam menempatkan akal atau rasio dan pengalaman manusia sebagai
sumber tertinggi untuk mencapai kebenaran.
Filsafat Pencerahan merupakan suatu ideologi yang mengiringi
perkembangan tingkat borjuasi di Eropa dan sekaligus kemunduran bagi simbol
budaya feodalisme. Jadi filsafat dituntut harus kembali berpatokan pada dua nilai
utama yang dianut dalam masyarakat: hal yang berguna dan kesejahteraan
manusia. Yang ditentang oleh aliran filsafat ini adalah suatu hierarki atas dasar
wahyu Tuhan dan mendukung ideologi dari pluralisme politis dan religius. Hal itu
disebabkan oleh adanya pengertian baru bahwa dengan akal dan metode ilmiah
yang dimilikinya, manusia dianggap sanggup mencapai kebahagiaan dan
kesejahteraan di dunia ini.
Disamping itu, Filsafat Pencerahan juga mengusung suatu perspektif
epistemologi baru dengan menempatkan ilmu pengetahuan sebagai urusan
kolektif masyarakat yang tidak mempunyai batas-batas tertentu selain daripada
pengamatan seluas dunia nyata yang selalu menampakkan diri sebagai realitas
empirik. Filsafat Pencerahan adalah suatu bentuk rasionalisme empiris yang
83 Nico Syukur Dister, “Descartes, Hume dan Kant, Tiga Tonggak Filsafat Modern”, dalam F.X. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 55.
berusaha menyangkal pendapat seperti yang sering diutarakan oleh banyak pihak
bahwa Filsafat Pencerahan hanya terdiri dari sekumpulan fakta-fakta kecil yang
tidak mempunyai kesatuan dan corak yang khusus.
Sebab dalam Filsafat Pencerahan itu terdapat dua aras pemikiran penting:
orang menciptakan ilmu nyata (positif) tentang corak jiwa manusia (ilmu jiwa
rasional) dengan mempelajari daya psikis, terutama bahasa. Selain itu, metode
eksperimental dalam ilmu alam dan kimia menjadi metode utama yang sangat
dihargai dan digunakan secara silih berganti serta saling melengkapi satu sama
lain. Dua azas itu memungkinkan kita mengerti bahwa terdapat suatu sejarah akal
manusia yang universal sejajar dengan universalitas dari pengamatan dan
pengalaman.84
Semboyan ‘sapere aude’; beranilah berpikir memberikan suatu spirit baru
bagi cita-cita kemanusiaan. Voltaire85 menyebut Abad Pencerahan sebagai
“Zaman Akal’, karena manusia telah merasa bebas, merdeka untuk
menginterpretasikan setiap kejadian yang ada secara berbeda atau bahkan baru
sama sekali tanpa memerlukan lagi intervensi tiap kuasa yang datang dari luar
kemampuan dirinya. Sebab sebagaimana kita ketahui, bahwa paruh Abad
Renaissance dan Abad Pencerahan sendiri memang telah dipenuhi dengan
berbagai revolusi ilmiah yang sangat mengagumkan lewat berbagai pemikiran dan
penemuan manusia secara spektakuler dan monumental. Tokoh-tokoh pembaharu
dan pemikir seperti Galileo Galilei, Francis Bacon dan pada abad berikutnya Rene
84 M.A.W. Brouwer dan M.P. Heryadi, op.cit., hlm. 75-77.
85 Sebagaimana dikutip oleh Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 47.
Descartes dan Isaac Newton telah berhasil memperkenalkan metode matematik
dan metode eksperimental untuk mempelajari alam. Dengan demikian, maka
pengertian filsafat alam mulai memperoleh arti khusus sebagai penelaahan yang
sistematis terhadap alam dengan menggunakan metode-metode yang
diperkenalkan oleh para pembaharu dari zaman Renaissance dan awal abad ke-
17.86
Perkembangan ilmu pengetahuan dari yang semata-mata bersifat rasional-
empiris menuju ilmu pengetahuan yang bersifat rasional-eksperimental ini telah
mengakibatkan ditemukannya kegunaan praktis ilmu pengetahuan dengan
berbagai kemungkinan-kemungkinan dan impuls-impuls baru. Dimensi-dimensi
kehidupan sehari-hari telah pula mengalami perubahan drastis dengan cara dan
teknik yang tidak disangka sebelumnya.87
Galileo Galilei mengawali penjelasannya tentang suatu perkembangan
baru sains ketika ia membuat suatu aliansi (pengggabungan) antara matematika
dengan observasi eksperimen. Alam hendaknya diselidiki dengan memakai
pengertian matematika, setiap kenyataan pasti bersifat kualitatif dan dapat diukur.
Pada sisi lain, penemuan teleskop dari Galileo Galilei semakin memperkuat
kebenaran teori heliosentrisnya Copernicus; bahwa bukan bumi sebagai pusat
gerakan dari tata surya, melainkan mataharilah pusatnya.
Dengan teropong jarak jauhnya, Galileo memastikan bahwa planet-planet
tidaklah bercahaya sendiri, melainkan memantulkan cahaya matahari seperti
86 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 13.87 A.G.M. van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita, terj. Kees Bertens
(Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 6-7.
halnya bulan. Lewat pengamatan astronomis itu pula, Galileo sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa Jupiter merupakan model miniatur dari prinsip heliosentris.
Galileo juga meletakkan dasar hukum-hukum yang menghubungkan kecepatan,
percepatan dan jarak yang ditempuh dalam jangka waktu tertentu, sehingga
dengan demikian ia juga telah berhasil menciptakan ilmu pengetahuan kinetika
(ilmu tentang gerak) yang bersifat linear-lurus.88
Apa yang diintrodusir dan diwariskan oleh teori heliosentris ini adalah
babak baru bagi kebenaran logis rasionalisme dan empirisme yang meruntuhkan
kebenaran dogmatisme agama saat itu. Berbagai pendekatan dan juga penemuan
sains oleh para filsuf dan ilmuwan abad ini, seperti Francis Bacon (1561-1626)
dengan metode induktif sebagai landasan empirismenya, Galileo Galilei dengan
pengembangan prinsip heliosentrisnya Copernicus, Charles Darwin dengan teori
evolusinya, dan sebagainya, seolah telah menjadi awal bagi tersingkirnya doktrin
keagamaan.
Melalui penemuan inilah Galileo kemudian berusaha memberikan
keyakinan bahwa kebenaran pengetahuan terletak pada persoalan yang obyektif,
atas dasar observasi dan hitungan matematis. Alam bagi Galileo merupakan satu-
satunya sumber pengetahuan ilmiah sehingga ia memposisikan antara alam
sebagai sumber pengetahuan ilmiah dengan Kitab Suci sebagai pengetahuan
teologi dalam derajat yang sama. Tragisnya, ahli astronomi dan fisika Italia ini
pada tahun 1633 justru dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Gereja Roma di bawah
kekuasan Paus Urbanus VIII, karena dituduh telah menyebarkan ajaran
heliosentrisme dari Copernicus, seorang pastor yang meninggal pada tahun 1543.
88 Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 159.
Pendapat dan perjuangan yang telah dirintis oleh Galileo itu kemudian
disempurnakan secara sistematis oleh Isaac Newton (1642-1727) yang
menjelaskan bahwa alam sebagai mesin besar yang berjalan sesuai dengan hukum
gerakan dan segenap proses yang terjadi di dalamnya ditentukan oleh massa dan
posisi yang dimiliki oleh berbagai partikel materi yang terdapat di dalamnya.
Prinsip mekanika tentang gerak alam ini berimplikasi logis bahwa dunia
diciptakan seperti sebuah mesin dengan hukum mekanikanya, dan Tuhan yang
semula diyakini begitu intim dengan manusia mulai dicurigai sebagai remote
control yang jauh letaknya dari dunia nyata.
Newton melihat bahwa planet-planet tidak berjalan lurus, tetapi berputar-
putar. Fenomena ini dalam pandangan Newton tidak mungkin terjadi seandainya
tidak ada kekuatan gravitasi. Dari gejala inilah Newton kemudian memperoleh
hukum gravitasi yang menetapkan bahwa planet-planet tersebut tunduk pada
kekuatan sentral, yaitu gravitasi. Newton menyatakan bahwa semua benda langit
saling tarik menarik dengan gaya yang berbanding lurus dengan massanya serta
berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Prinsip yang sederhana ini telah
mampu menerangkan berbagai garis orbit yang sangat kompleks bagi berbagai
planet di sekeliling matahari. Newton berpendapat bahwa suatu planet bergerak
mengitari matahari karena adanya gaya gravitasi yang keluar dari matahari.89
Sementara itu, jauh sebelum Isaac Newton, Francis Bacon sebagai peletak
dasar Abad Renaissance merupakan tokoh yang mempertajam empirisme dengan
mendasarkan semua pengetahuan dan sains atas dasar pengalaman. Bacon
menerangkan prinsip empirisme bahwa untuk menyusun ilmu pengetahuan yang
89 Joko Siswanto, Kosmologi Einstein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 38.
diperlukan adalah pengumpulan fakta pengalaman sebanyak mungkin yang
kemudian dianalisis mengenai kesamaan yang terdapat diantara berbagai fakta
tersebut. Melalui metode empirismenya pula, Bacon mempercayai bahwa apa
yang akan datang dapat diramalkan kejadiannya atas penemuan yang lampau.
Berbagai prinsip ini pulalah yang kemudian mempengaruhi dan dijabarkan oleh
Newton dengan teori gravitasi universalnya sebagaimana yang telah penulis
uraikan di atas.
Dengan demikian sesungguhnya dapat dikatakan bahwa Abad
Renaissance dan Pencerahan merupakan dua mata rantai perkembangan ilmu
pengetahuan yang menggunakan dua arus besar dalam tradisi filsafat, yaitu
rasionalism dan empirism. Menurut Karen Amstrong90, tradisi tersebut—dalam
banyak hal—secara alamiah mempengaruhi cara manusia mempersepsi diri dan
mendorong mereka untuk meninjau kembali hubungan dengan Realitas Tertinggi
yang biasa disebut Tuhan.
Secara khusus, doktrin rasional membagi pengetahuan menjadi dua
macam. Pertama adalah pengetahuan intuitif, artinya akal mesti mengetahui dan
mengakui tentang kebenaran suatu proposisi tertentu tanpa harus mencari dalil
pembuktiannya, misalnya: “tidak mungkin terjadi suatu peristiwa tanpa suatu
sebab”, “keseluruhan lebih besar daripada sebagian”, dan “satu adalah separuh
dua”. Yang kedua adalah pengetahuan informasi dan teoretis. Maksudnya adalah
bahwa akal tidak dapat mempercayai dan menilai kebenaran suatu proposisi,
kecuali dengan merujuk kepada proses pemikiran dan bantuan informasi-
informasi pengetahuan primer lain, seperti: “bumi itu bulat”, “gerak adalah sebab
90 Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 383.
terjadinya panas”, “gerak mundur tak terbatas adalah mustahil”, “benda-benda
logam itu memuai oleh panas.”
Berdasarkan pandangan rasionalisme, kriteria pertama bagi benar salahnya
setiap gagasan manusia adalah pengetahuan rasional yang bersifat pasti dan
mengandung prinsip nonkontradiksi, sehingga cakupan wilayah pengetahuan
manusia menjadi lebih luas daripada batas-batas indera dan eksperimen. Ia
memberikan potensi-potensi kepada pikiran manusia untuk dapat menjangkau dan
merealisasikan realitas-realitas dan proposisi-proposisi di balik materi, bahkan
sampai kepada aspek-aspek metafisis sekalipun. Perjalanan pikiran manusia,
menurut kaum rasionalis berpijak dari proposisi umum menuju ke proposisi yang
lebih khusus, dari yang universal ke yang partikular. Bahwa materi itu memiliki
asal, kita ketahui dari “bahwa setiap yang berubah pasti memiliki asal”. Jadi
pikiran itu bergerak dari proposisi universal, “setiap yang berubah pasti memiliki
asal” ke proposisi partikular “materi itu memiliki asal”. Akhirnya mesti diingat
bahwa doktrin rasional tidak bersikap masa bodoh terhadap peran eksperimen
dalam penarikan kesimpulan dan pencarian hakikat pengetahuan. Tetapi doktrin
rasional yakin bahwa eksperimen saja tidak mungkin menjadi sumber azasi dan
kriteria primer bagi pengetahuan .
Sebaliknya, paham empirisme menunjukkan bahwa pengalaman adalah
sumber pertama semua pengetahuan manusia. Demikian juga halnya dengan
masalah penalaran pikiran yang menurut mereka selalu berangkat dari yang
khusus ke yang umum, yaitu dari batas-batas eksperimen yang sempit ke hukum-
hukum dan prinsip-prinsip yang universal; selalu beranjak dari realitas khusus
empirikal ke realitas yang mutlak berdasarkan hasil pengalaman. Karena itu,
doktrin empirisme dalam mencari dalil berpikir bersandar pada metode induksi,
sebab ia merupakan metode yang bergerak dari yang partikular ke yang universal.
Aliran pemikiran ini menolak prinsip logika silogistik yang berpatokan dari yang
umum ke yang khusus, karena dalam pembuktian dan kesimpulan akhirnya
ternyata tidak menghasilkan pengetahuan baru yang tidak terkandung dalam
rumus premis-premis silogisme tersebut.
Rasionalisme dan empirisme yang begitu mendominasi alam pikir Abad
Renaissance itu memunculkan persoalan baru berupa ketegangan antara agama
dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai penemuan di bidang sains dan
teknologi—dalam kenyataannya—memberikan kontribusi yang cukup besar bagi
tumbangnya otoritas keagamaan dan mulai mengguncang paham keyakinan
keagamaan manusia, dan juga tentang hakikat serta peranan Tuhan. Ukuran
rasional dan empirik telah menyempitkan kesadaran kebenaran agama dan
pembuktian adanya Tuhan sehingga dianggap memberikan ketidakpastian dan
kebingungan.
Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Descartes (1596-1650)
dengan cogito ergo sum-nya, Baruch Spinoza (1632-1677) dengan ajarannya
tentang satu substansi yaitu Tuhan yang dapat ditangkap oleh akal atau rasio
manusia, karena dalam dunia tidak ada hal yang bersifat rahasia dan akal manusia
telah mencakup semuanya. Ia beranggapan bahwa segala kejadian di dunia ini
berjalan menurut suatu proses yang logis.
Sedangkan empirisme yang bermula dari Inggris diberikan jalan
pembukanya oleh Francis Bacon, bahwa pengalaman merupakan sumber
kebenaran yang terpercaya, yang dilanjutkan dan dirubah secara radikal oleh
empirisme Abad Pencerahan seperti John Locke (1632-1704) dengan teori
tabularasa-nya, bahwa pada mulanya rasio harus dianggap as a white paper dan
seluruh isinya berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah (sensation) dan
pengalaman batiniah (reflexion).91 Tokoh empirisme yang paling radikal, yaitu
David Hume (1711-1776) juga menggunakan prinsip empiristis, terutama dalam
hal penolakannya terhadap substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima
substansi, sebab yang dialami hanya merupakan kesan saja tentang beberapa ciri
yang selalu terdapat bersama-sama. Hume berpendirian bahwa gambaran dan
pengertian kita terhadap hubungan logis antara peristiwa-peristiwa yang terjadi
secara kausal-mekanis hanya merupakan salinan yang sesuai dengan aslinya.
Berbagai cita rasa hasil dari kombinasi penangkapan, pengalaman dan kesadaran
itu adalah suatu perasaan atau naluri-pembawaan yang berada di luar kekuasaan
akal.92
Baginya, tidak mungkin mengkonsepsikan atau menciptakan suatu
gagasan tentang realitas jika gagasan itu ternyata berbeda dengan konsep-konsep
dan reaksi-reaksi itu sendiri. Kepastian tentang nilai obyektif pengetahuan
manusia merupakan masalah yang tidak bisa dijangkau oleh nalar. Oleh karena
itu, lanjut Hume, sebaiknya kita pusatkan saja perhatian kita ke alam luar sesuka
91 Sutardjo Adisusilo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 43.
92 A. Epping, Th. C. Stockum dan Juntak S.F., Filsafat Ensie: Eerste, Nederlandse, Systematisch, Ingerichte, Encyclopaedie (Bandung: Jemmars, 1983), hlm. 244-245.
kita, dan biarkan imajinasi kita menjelajah langit-langit atau ujung-ujung alam
semesta. Sebab kita selamanya tidak akan dapat melampaui hal-hal di luar batas
kemampauan rasio kita sendiri. Kita juga mustahil mampu menjawab persoalan
dasar filsafat yang dipertentangkan oleh kaum idealis dan kaum realis. Idealisme
sendiri berpendapat bahwa realitas itu ada dalam kesadaran dan pengetahuan
manusia, sementara kaum realisme menduga bahwa realitas itu ada secara
obyektif dan mandiri.93
Keberhasilan pembuktian ilmiah melalui rasionalisme dan empirisme telah
menggeser kedudukan otoritas pengetahuan berdasarkan kebenaran wahyu yang
dianggap abstrak. Apa yang diterima sebagai kebenaran dogma keagamaan, pada
abad ini benar-benar mulai dipertanyakan dan ditinjau kembali. Penemuan sains
dan teknologi pada masyarakat Barat tersebut membawa sinyal otonomi baru
bahwa manusia sebagai penanggungjawab atas urusan mereka sendiri94, termasuk
agama dan Tuhan. Kepercayaan diri yang baru terhadap kekuatan alamiah
manusia ini mengandung arti bahwa manusia mulai yakin bahwa mereka mampu
mencapai pencerahan lewat usaha mereka sendiri. Mereka sudah tidak lagi merasa
perlu untuk bersandar pada warisan tradisi, institusi, sekelompok elit,—bahkan
wahyu dari Tuhan—untuk menemukan hakikat kebenaran.95 Kekuatan alamiah
yang dimiliki manusia dianggap telah cukup representatif untuk menemukan
semua jenis kebenaran, dan sains yang telah ditemukan oleh para ilmuwan
merupakan bukti empiriknya.93 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali
(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 90.
94 Karen Amstrong, op.cit., hlm. 384.
95 Ibid., hlm. 386.
Paradigma sains yang demikian telah cukup menjadi pertanda konkrit
betapa Abad Renaissance yang kemudian dilanjutkan oleh Abad Pencerahan telah
menimbulkan ketegangan kreatif antara agama dengan filsafat. Filsafat sering
dituduh sekularistik, ateis dan anarkis karena suka menyobek selubung-selubung
ideologis berbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi dalam
pakaian yang alim sekalipun. Pada Abad Renaissance, otoritas agama benar-benar
telah ditinggalkan, sementara pada Abad Pencerahan, otoritas agama dan peranan
Tuhan dipertanyakan kembali.
Spirit ilmiah baru, terutama di Abad Pencerahan yang bersifat empiris,
semata-mata berdasarkan observasi dan eksperimen pada akhirnya berimplikasi
logis bahwa fenomena dan problem ketuhanan pun harus diletakkan pada domain
empiris. Melalui metode empirismenya, para ilmuwan dan filsuf melakukan
verifikasi atas realitas obyektif Tuhan dengan cara yang sama seperti ketika
mereka membuktikan fenomena lainnya yang bisa didemonstrasikan.
Permasalahan di atas lantas diangkat oleh Feyerabend untuk menunjukkan
bahwa perdebatan seputar rasioalisme dan empirisme telah berlangsung sepanjang
pemikiran filsafat itu muncul. Feyerabend ingin menolak kedua posisi yang
ekstrem itu, walaupun dalam argumen-argumennya yang menonjol adalah berupa
kritik terhadap empirisme dan positivisme ilmiah. Tetapi ia juga cukup banyak
menyodorkan bukti bahwa rasionalitas itu sendiri bukanlah suatu yang mapan.
Misalnya ia menunjukkan bahwa teori Pythagoras (± 580-500 SM.) tentang bumi
itu bulat dan berputar tidak rasional menurut Hipparchus dan Ptolemeus, tetapi
kemudian rasional lagi pada masa Copernicus.
Dalam pandangan Ptolemeus, bumi menjadi pusat dari bulan, matahari dan
lima bintang yang telah dikenal luas pada saat itu (Jupiter, Mars, Mercury,
Saturnus dan Venus) serta semua bintang lainnya di langit. Peredaran bintang-
bintang yang tampak bergerak mundur dari bumi dijelaskan oleh Ptolemeus
dengan teori Epicycle. Dalam teori ini, setiap planet bergerak pada suatu lingkaran
yang titik pusatnya bergerak pada suatu lingkaran lain yang pusatnya juga adalah
bumi. Teorinya tentang bumi sebagai pusat dari peredaran bintang-bintang
termasuk matahari sangat berpengaruh besar sampai pada Abad Pertengahan dan
Masa Pencerahan.
Tesis geosentrisme (matahari beredar mengelilingi bumi dan planet)
Ptolemeus ini kemudian berangsur-angsur mulai surut sejalan dengan munculnya
Revolusi Copernicus yang diprakarsai oleh Copernicus yang berusaha
meyakinkan semua orang bahwa sebenarnya mataharilah yang menjadi pusat orbit
bintang-bintang dan bumi sendiri mengelilingi matahari sebagaimana halnya
bintang-bintang lainnya.
Copernicus berhasil menyusun tujuh hipotesis yang berkaitan dengan
alam. Pertama, tidak ada sentrum bagi seluruh bola-bola langit. Kedua, bumi
meskipun dipandang sebagai pusat gravitasi, tetapi bukan merupakan sentrum
kosmos. Ketiga, bola-bola planet bergerak mengelilingi matahari sebagai
sentrumnya. Keempat, jarak antara bumi ke matahari tidak bisa diukur melalui
luas cakrawala ruang angkasa. Kelima, bumi setiap hari mengelilingi porosnya
sendiri. Keenam, gerakan bumi menunjukkan lebih dari satu macam. Ketujuh,
gerakan bumi memberikan pemahaman adanya gerakan benda-benda langit.96
Sehingga tidak heran jika dari berbagai rumusan metode ilmiah yang
dihasilkannya tersebut, ia kemudian dianggap oleh para ahli ilmu pengetahuan
dewasa ini sebagai peletak dasar dari Ilmu Bintang modern.97 Walaupun di pihak
yang lain, ternyata gagasan heliosentrisme (bumi dan planet-planet beredar
mengelilingi matahari) Copernicus dalam bidang sains dan filsafat tersebut,
“secara sah dianggap sesat” jika dikontradiksikan dengan ajaran Kitab Suci
(Bibel) dan pandangan Gereja.98
Tetapi dari hasil diskusi yang membuat heboh itu, akhirnya terungkap
bahwa ilmu bumi benar dan pandangan kitab suci mengenai langit dan masalah
beredarnya matahari pada bumi tidak dapat dipertahankan lagi. Mungkin
kesalahan pihak Gereja Katolik pada waktu itu adalah mereka memandang kitab
suci sebagai sumber dan pedoman segala ilmu dalam arti sempit dan keras.
Padahal kitab suci adalah suara Tuhan yang mengajak umat manusia menuju
iman, pengharapan dan cinta kasih sebagai nilai-nilai tertinggi.
Lalu dari semua itu siapa yang benar? Menurut Feyerabend, itu tergantung
pada jenis informasi, budaya ataupun pemimpin budaya yang menggunakan
informasi tersebut. Tentu banyak orang dewasa ini tanpa pikir panjang akan
memilih teknologi daripada kehidupan yang harmonis dengan alam. Tetapi bagi
sebuah kebudayaan yang memusatkan perhatian manusia dan kemanusiaan pada
96 Joko Siswanto, op.cit., hlm. 11. Baca juga dalam Androngi, Filsafat Alam Semesta (Semarang: Bintang Pelajar, 1986), hlm. 110.
97 The Liang Gie, Lintasan Sejarah Ilmu (Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna, 1998), hlm. 71.
98 Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 118.
tempat tertinggi, akan memilih dan mendahulukan hubungan personal daripada
hubungan abstrak seperti kepandaian ataupun efisiensi yang statistik.
Feyerabend adalah penganjur pluralisme metodologi, ia menolak
pandangan idealisme dan naturalisme. Idealisme berpendapat bahwa rasionalitas
adalah asli, agung, bersifat universal, terlepas dari subyektivitas, konteks dan
historisitas. Baik rasionalisme maupun empirisme mendukung rasionalitas yang
menurutnya universal dengan cara yang berbeda. Tetapi anggapan ini
sesungguhnya tidak dapat dibenarkan. Contoh-contoh yang dikemukakan oleh
Feyerabend membuktikan bahwa tidak ada teori yang mengandung cacat, tidak
ada teori yang sepenuhnya konsisten dengan fakta, tidak ada rasionalitas yang
tidak terkait dengan konteks. Atas dasar itu, sangat dipahami apabila Feyerabend
menolak kesatuan metode ilmu pengetahuan.
Feyerabend mengemukakan pandangannya tentang relativisme dalam
konteks ilmu pengetahuan, yang di dalamnya semua pendekatan dan metode
dianggap sah, semua cara mendapatkan pengetahuan dianggap boleh, semua
pengetahuan yang dihasilkannya dianggap mengandung kebenaran, yang di
dalamnya apapun saja boleh—anything goes. Sehingga di dalam penjelajahan
pengetahuan tidak diperlukan metode atau paradigma umum, yang berlaku dan
menjadi acuan umum sebuah masyarakat peneliti. Relativisme dalam ilmu
pengetahuan memungkinkan setiap orang melakukan penelitian tanpa perlu terikat
pada sebuah metode yang telah baku.99
99 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hlm. 235.
Itulah sebenarnya penjabaran makna relativisme pengetahuan sebagai
sebuah pandangan yang meyakini bahwa nilai dan kebenaran ditentukan oleh
pandangan hidup dan kerangka berpikir setiap individu atau masyarakat, yang di
dalamnya semua hal (pandangan, nilai, keyakinan, kebenaran, makna)
mengandung arti kebenaran relatif. Artinya, tidak ada hal yang benar secara
absolut; dan sebaliknya tidak ada hal yang salah secara absolut, semuanya
mengandung porsi kebenarannya masing-masing.
Berbagai penemuan aspek eksperimental dalam bidang ilmu pengetahuan
semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa suatu teori tidak penah dapat bersifat
definitif. Selalu mungkin bahwa eksperimen-eksperimen baru yang menyelidiki
lapisan-lapisan baru dari kenyataan atau struktur realitas, memaksa kita untuk
merevisi teori-teori yang sudah lazim diterima.
Kaum relativis menyangkal adanya suatu standar rasionalitas universal dan
a-historis yang merupakan pedoman untuk menilai suatu teori lebih baik daripada
teori lainnya. Apa yang dianggap paling akurat atau lebih baik mengenai teori-
teori ilmiah akan berbeda-beda dari individu atau mayarakat yang satu dengan
yang lainnya. Sebab tujuan mencari pengetahuan akan tergantung pada apa yang
penting bagi, atau apa yang dihargai oleh, seorang atau suatu masyarakat tertentu.
Misalnya, masyarakat kapitalis Barat memberikan penghargaan yang sangat tinggi
pada tujuan penguasaan materiil atas kekayaan alam, tetapi hal itu akan
memperoleh status yang rendah dalam satu kultur dimana pengetahuan justru
diharapkan dapat memberikan kepuasaan individual. Diktum seorang filsuf
Yunani Kuno, Protagoras, “manusia adalah ukuran segala-galanya”, menunjukkan
suatu relativisme dalam hubungannya dengan individu-individu, sedangkan
ucapan Kuhn, “tidak ada standar yang lebih tinggi daripada persetujuan
masyarakat bersangkutan”, merupakan pernyataan relativisme mengenai
masyarakat. Karakterisasi kemajuan dan spesifikasi kriteria untuk menilai jasa
atau faedah suatu teori akan selalu relatif bagi individu atau masyarakat yang
menginterpretasikannya. Bagi seorang relativis, kriteria untuk menilai faedah
teori-teori akan tergantung dari nilai-nilai atau kepentingan yang dianut oleh suatu
individu atau masyarakat. Jadi contohnya, teori tentang pasang surut air laut
berdasarkan pada gaya tarik bulan adalah ilmu yang berguna bagi kaum
Newtonian, tetapi bagi Galileo dipandang sudah mirip dengan mistik ghaib;
sementara itu dalam masyarakat masa kini, teori Marx tentang perubahan historis
yang dipandang sebagai ilmu yang baik, oleh sementara kalangan dianggap
propaganda belaka.100
Menurut Feyerabend, tidak ada gagasan, baik yang kuno maupun yang
absurd, yang tidak tidak mampu meningkatkan pengetahuan. Totalitas sejarah
pemikiran diarsobsikan (dituangkan) ke dalam sains dan dipergunakan untuk
meningkatkan setiap teori. Begitu pula tidak ada interferensi (campur tangan)
politis yang ditolak. Ini boleh jadi dibutuhkan untuk menghilangkan chauvinisme
sains yang menolak pemikiran lain, selain mempertahankan satus quo. Hal
tersebut dikemukakan oleh Feyerabend sebagai berikut:
There is no idea, however ancient and absurd, that is not capable of improving of knowledge. The whole history of thought is absorbed into
science and is used for improving every single theory. Nor is political
100 A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 107-108.
interference rejected. It may be needed to overcome the chauvinism of science that resists alternatives to the status quo.101
Perkembangan ilmu selama berabad-abad selalu ditandai oleh cara-cara
analisis dan partisipasi pengamatan terhadap terjadinya perubahan yang bergerak
secara dinamis dan drastis, dengan terlebih dahulu diawali oleh introduksi suatu
perangkat konsep atau pola pengetahuan baru yang sebelumnya tidak ada,
walaupun dalam proses penemuannya bukan merupakan hasil yang lahir dari
suatu krisis atau konflik.
Pada awal pertumbuhannya, ilmu bercorak positivistis (bebas dari pikiran
etis), deterministis (berdasar prinsip kausalitas), evolusionistis (kecenderungan
untuk melihat sejarah dari obyek yang diteliti) sehingga segala hal harus
dijelaskan dengan metode kuantitatif (mengukur dan menghitung), eksperimental
(merubah gejala dengan mempertahankan variabel) dengan metode observasi dan
riset.102 Pada perkembangan selanjutnya, adanya berbagai pengkajian ide, teori,
sistem atau paradigma baru sebagai titik tolak, dengan pengujian ulang terhadap
cara penyajian serta diseminasinya semakin memperjelas fase-fase yang kemudian
diterima oleh masyarakat ilmiah sebagai suatu pertanda terjadinya perubahan yang
cukup siginifikan untuk disebut evolusi atau bahkan suatu revolusi yang mampu
melahirkan transformasi keilmuan fundamental.
Terjadinya perubahan tersebut ditandai oleh kriteria analisis logis maupun
historis seperti yang dapat kita amati dalam penemuan Newton, Darwin, Einstein
dan revolusi biologi molekuler (yang berhubungan dengan molekul) serta
101 Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 33.
102 Martinus Anton Wesel Brouwer, Psikologi Fenomenologis, Frans M. Parera (penyunting), (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 83.
perkembangan ilmu-ilmu bumi dewasa ini. Dalam mewujudkan konsep keilmuan,
kebenaran ilmiah itu tidak dapat semata-mata didasarkan atas konsep keilmuan
yang bersifat rasional, logis, empiris, rasionalistis kritis, ataupun konstruktivis
(ilmu berasal dan berkembang karena keseluruhan konteks, baik rasional ataupun
empiris) saja, tetapi juga merupakan suatu sistem terbuka yang dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan kehidupan manusiawi dengan seluruh aspek pembangunan
masyarakat spiritual maupun material ataupun dalam kaitan dengan konteks ilmu
itu sendiri.
Setiap evolusi ilmu selalu dimulai dengan suatu latihan intelektual
(intellectual exercise) oleh kelompok ilmuwan tertentu yang menumbuhkan suatu
ide baru, dan kemudian berkembang menjadi suatu pemahaman baru yang
sebelumnya tidak ada ataupun tidak diharapkan akan ada; suatu tindakan kreatif
yang bersumber dari suatu inovasi, bertolak dari masukan ilmu yang sudah ada
sebagai batu loncatan bagi penemuan dan perubahan konseptual yang signifikan.
Oleh karena itu, keterbukaan terhadap berbagai tuntutan modernisasi dan
pengembangan ilmu yang disajikan melalui berbagai kekuatan yang datang dari
luar harus diimbangi pula dengan kemampuan mengadakan penemuan,
improvisasi dan kreasi-kreasi yang terus-menerus, yang menampilkan renungan
dan dialog mengenai makna dari segenap pengalaman hidup melalui dinamika
perkembangan ilmu.103
Dalam kaitan ini, Thomas Kuhn juga menunjukkan bahwa bahkan dalam
perkembangan ilmu yang paling positivis, empiris dan pragmatis sekalipun
103 Conny R. Semiawan, et.al., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung: Rosdakarya, 1998), hlm. 76 dan 80.
terdapat pula faktor-faktor lain. Dalam pemilihan sebuah teori baru misalnya,
yang terlibat bukan sekedar rasio yang analitis, verbal dan matematis, melainkan
juga cita rasa estetis, nilai-nilai moral dan juga ikatan-ikatan sosial kelompok
yang tidak dapat dibuktikan dan diungkapkan secara eksplisit sebagai dasar bagi
terbentuknya suatu masyarakat. Semua dimensi ini bersifat nonverbal atau
simbolis, implisit serta tidak terukur secara matematis dan empiris, tetapi menjadi
faktor yang bekerja dalam proses penemuan teori atau paradigma baru dan
sekaligus mengakhiri krisis menuju suatu tahap revolusi ilmiah.
Selaras dengan apa yang dikemukakan Kuhn tersebut, dalam salah satu
tesis pentingnya tentang pengembangan ilmu pengetahuan, Michael Polanyi
menawarkan tentang perlunya kehidupan kreatif masyarakat ilmiah yang pada
gilirannya didasarkan pada kepercayaan akan kemungkinan terungkapnya
kebenaran-kebenaran yang hingga kini masih tersembunyi. Sebab masyarakat kita
pada umumnya dan masyarakat ilmiah pada khususnya dewasa ini, menurut
Polanyi telah mengidap suatu pandangan yang bercorak positivis. Positivisme
sendiri melihat bahwa obyektivitas dalam bidang pengetahuan manusia pada
umumnya dan pengetahuan ilmiah pada khususnya sebagai tujuan; dan tujuan itu
dapat dicapai dengan syarat bahwa fakta yang diteliti, metode yang dipakai untuk
memahami realitas serta pembuktian yang digunakan untuk menguji kebenaran
harus lepas dari personalitas manusia.104
Premis dasar ini merupakan cikal bakal kekeliruan tesis positivisme yang
tidak hanya terletak pada sikapnya yang menolak cita rasa estetis dan nilai-nilai
104 Michael Polanyi, Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan, terj. Michael Dua (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. ix-x.
moral serta ikatan-ikatan sosial105, karena dianggapnya sebagai realitas subyektif
semata-mata, melainkan juga pada pandangannya bahwa suatu masyarakat tidak
dapat dibangun di atas dasar-dasar yang berakar pada cita rasa estetis, nilai-nilai
moral dan ikatan-ikatan sosial itu. Situasi semacam ini oleh Polanyi disebut
dengan inversi atau pemutarbalikan estetis dan moral, suatu kondisi di mana cita
rasa estetis dan moralitas menjadi dasar tersembunyi bagi kegiatan-kegiatan yang
jelas-jelas tidak manusiawi. Padahal cita rasa estetis dan moral merupakan sesuatu
yang sensitif dalam diri kehidupan manusia dan yang menuntut manusia untuk
menghargai keindahan, kemurahan hati dan ikatan-ikatan sosial masyarakat.
Tetapi jika cita-cita itu diganti dengan tujuan-tujuan yang sekuler semata-mata,
maka ia akan berubah menjadi tindakan-tindakan yang koersif.
Selain itu, kekeliruan mendasar dari positivisme yang juga ditentang keras
oleh Feyerabend dapat kita telaah dari sudut pandang epistemologi sebagai suatu
cabang filsafat yang berbicara tentang aspek-aspek pengetahuan manusia. Bagi
Polanyi, persoalan dasar epistemologi adalah bagaimana seseorang dapat memiliki
suatu pengetahuan. Penemuan yang berkesinambungan di bidang ilmu
pengetahuan merupakan masalah penting, dan oleh karena itu usaha mencari
faktor-faktor yang dapat membuahkan pengetahuan baru lebih penting dari usaha
mencari verifikasi dengan pengukuran positif terhadap pengetahuan.106 Berbeda
dengan pandangan positivisme yang melihat pengetahuan yang tidak terungkap
sebagai pengetahuan yang harus disingkirkan karena berada di ambang kesadaran
105 Jika Polanyi berbicara tentang cita rasa estetis, nilai-nilai moral dan ikatan-ikatan sosial, maka yang dimaksud disini bukan prinsip-prinsip moral universal dan abstrak dalam
pengertian Kant, melainkan kebiasaan atau tradisi suatu masyarakat.106 Michael Polanyi, op.cit., hlm. xi.
manusia, maka dalam pandangan Polanyi jenis pengetahuan ini justru dilihat
sebagai dasar dari semua pengetahuan manusia.
Pengetahuan yang tidak terungkap atau—istilah Polanyi, lacit knowledge
—merupakan integrasi intelektual atas unsur-unsur pengalaman personal ke dalam
kesatuan pemahaman sebagai suatu aktivitas inteligensi manusia dalam
mengartikan dan memahami realitas. Sementara pemahaman atas keseluruhan
realitas itu sendiri hanya bisa dicapai melalui proses integrasi personal atas fakta-
fakta partikularnya. Dengan begitu positivisme bukanlah satu-satunya sistem
penjelasan terhadap struktur pengetahuan manusia.
Hal ini perlu ditegaskan kembali oleh karena adanya kenyataan bahwa
sejak awal pendekatan mekanis Galileo terhadap alam, fisika klasik cenderung
diterima tanpa sikap kritis terhadap kategori-kategori umum yang dimuat dalam
pendekatan tersebut. Fisika klasik menganggap saintisnya sebagai saksi murni
dari peristiwa-peristiwa alami yang tidak dipengaruhi oleh subyek, dengan
mengandalkan dikotomi antara yang subyektif dan yang obyektif.
Baru setelah terjadi pergantian abad ke-20, kemudian ahli fisika sudah
mulai mengalami semacam krisis intelektual yang diakibatkan oleh penemuan
fakta-fakta eksperimental yang tidak mereka bayangkan sebelumnya, dan yang
bahkan dianggapnya mustahil terjadi.107 Pergeseran itu setidaknya disebabkan oleh
adanya tiga hal penting, yaitu perubahan pemikiran manusia, kemajuan teknologi
dan lahirnya metode-metode ilmiah baru. Indikasinya, dalam abad ke-20 ini
107 James B. Conant, Apakah Ilmu Pengetahuan Itu?, dalam C.A. Qadir (penyunting), Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, terj. Bosco Carvalho, et.al., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1995), hlm. 41.
berkembang tiga teori yang cukup menggelisahkan dunia ilmu pengetahaun,
yakni: (1) Teori relativitas Einstein; (2) Teori kuantum dari Plank; dan (3) Teori
elektris tentang materi.108
Lebih lanjut, imbas dari berbagai inovasi pemikiran modern tersebut
menyebabkan dunia fisika dewasa ini mengalami apa yang disebut “krisis
penjelasan”. Perkembangan baru dalam fisika mengakibatkan perubahan
pandangan dalam epistemologi, yang dalam istilah Thomas S. Kuhn dikatakan
“perkembangan fisika abad ke-20 telah menimbulkan revolusi ilmiah yang
menggulirkan paradigma baru”. Alam dalam pandangan Newtonian yang di
atasnya prinsip positivisme ditegakkan; alam yang mekanis, deterministik,
sederhana dan dapat diketahui secara obyektif dengan observasi dan eksperimen
ilmiah, kini mulai diragukan.
Secara filosofis, implikasi dari modifikasi teori fisika terutama dalam hal
mekanika kuantum tersebut semakin menunjukkan betapa goyahnya pondasi atau
asumsi-asumsi dasar positivisme yang menuntut ilmuwan dan filsuf merevaluasi
pandangannya tentang ilmu pengetahuan. Paling tidak kondisi itu dipicu oleh
beberapa kejadian yang terdapat dalam dunia ilmu fisika seiring dengan
kemajuan-kemajuan dan penemuan-penemuan baru yang sangat revolusioner dan
di luar prediksi semula.
Pertama, adanya problem “prinsip ketidakpastian (Uncertainly principle)”
Heisenberg tentang kemustahilan untuk menyatakan posisi dan kecepatan sebuah
elektron dalam waktu yang bersamaan. Prinsip ini beranggapan bahwa dalam
keadaan yang lumrah, hukum fisika tidak akan mampu menjangkau realitas
108 Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 265.
mikrokosmos atau dunia sub-atomik. Kemudian masalah yang Kedua, adalah
adanya paradoks terkenal tentang kodrat cahaya yang sampai sekarang
mempunyai status yang tidak jelas. Yang lazim diketahui sampai saat ini hanyalah
pendapat umum bahwa cahaya itu disebarkan dalam bentuk gelombang. Dan
permasalahan penting yang Ketiga, adalah adanya penemuan Max Planck
mengenai kenyataan bahwa atom hanya ada dalam bentuk-bentuk energi.109 Pada
tahun 1900, Plank mengemukakan teori kuantum yang menyatakan bahwa tenaga
dari sinar yang dipancarkan ataupun diserap terdiri atas kelipatan-kelipatan bulat
dari suatu takaran tertentu. Dalam hemat Planck, cahaya dapat dilihat sebagai term
partikel atau sebagai gelombang (term of waves). Namun tidak ada interpretasi
yang secara konsisten dapat digunakan pada keseluruhan situasi dengan selalu
menetapkan hukum matematika formal.110
Hal itulah yang digunakan Feyerabend untuk memperlihatkan bagaimana
metodologi-metodologi yang telah ada sudah tidak sejalan atau tidak cocok lagi
dengan sejarah perkembangan fisika. Ia menyangkal klaim bahwa ada metode
yang mampu menjelaskan sejarah fisika. Ia juga menolak anggapan bahwa
superioritas fisika atas bentuk-bentuk pengetahuan lain dapat dikukuhkan dengan
bantuan suatu metode ilmiah tertentu. Pendeknya, apabila seseorang hendak
memberi sumbangsih kepada kemajuan fisika, maka ia tidak perlu terlebih dahulu
mengenal metodologi-metodologi ilmu kontemporer, tetapi ia memang perlu
mengenal tentang beberapa teori yang terdapat dalam pengetahuan fisika. Ia
109 Kenneth T. Gallagher, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), P. Hardono Hadi (penyunting), (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 174-175.
110 Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 12.
menunjukkan bahwa tidaklah bijaksana jika para ilmuwan di dalam melakukan
pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan terikat oleh hukum-hukum yang diatur
dalam metodologi-metodologi ilmu.
Mengingat begitu kompleksnya kenyataan yang berkembang pesat serta
juga terkait dengan masa depan yang tidak dapat diramalkan secara pasti dalam
rangka perkembangan ilmu pengetahuan, maka tidak logis kiranya mengharapkan
metodologi dapat mendikte seorang ilmuwan. Misalnya dalam situasi tertentu kita
harus menerima teori A, menolak teori B, atau lebih menyukai teori A daripada
teori B. Hukum-hukum seperti “terimalah teori yang mendapatkan paling banyak
dukungan induktif dari fakta-fakta yang diterima umum” dan “tolaklah teori yang
tidak sesuai dengan fakta-fakta yang sudah diterima umum”, tidaklah relevan
dengan episode pengembangan ilmu itu sendiri yang dianggap sebagai fase yang
paling kreatif dan progresif dalam sejarah peradaban umat manusia.
Dalam pengertian inilah istilah “apa saja boleh” itu berlaku. Prinsip apa
saja boleh (anything goes) secara harfiah berarti membiarkan segala sesuatu
berlangsung dan berjalan tanpa dijejali aturan-aturan dan hukum-hukum. Bahkan
prinsip ini mengimplikasikan suatu perlawanan terhadap segala macam aturan
atau hukum yang telah baku. Prinsip ini tidak dimaksudkan sebagai metode baru,
melainkan hanya sekedar upaya agar para ilmuwan yang sudah terbiasa bekerja
dengan memakai standar-standar universal harus bersedia menerima tradisi-tradisi
dan praktek-praktek riset.111 Dengan ini Feyerabend ingin menegaskan bahwa
semua metode yang paling jelas sekalipun mempunyai keterbatasan. Dan satu-
111 Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja
Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 57.
satunya hukum yang akan hidup terus dan dapat bertahan di tengah semua situasi
dan dalam tahap perkembangan manusia adalah prinsip ini.
Sebab nyatanya, gagasan mengenai adanya keteraturan metode atau
rasionalitas teori ternyata banyak sekali menyisakan pandangan yang naif tentang
manusia dan keadaan sosialnya. Untuk itu barangsiapa yang melihat kekayaan
bahan yang disediakan oleh sejarah, tetapi tidak sungguh-sungguh dalam
menggarapnya pada gilirannya akan mengurangi kepekaan nalurinya, dan mereka
sangat membutuhkan jaminan kejelasan dari cendekiawan, ketelitian,
obyektivitas, kebenaran saja, sehingga menjadi jelas bahwa tidak ada satu pun
prinsip yang dapat dipertahankan dalam semua keadaan seperti itu ataupun dalam
semua tingkat perkembangan manusia. Inilah prinsip: apa saja boleh. Hal tersebut
dikemukakan Feyerabend sebagai berikut:
]T[he idea of a fixed method, or of a fixed theory of rationality, rests on too naive a view of man and hissocial surrounding. To those who look at the rich material provided by history, and who are not intent on impoverishing it in order
to please their lower instincts, their craving for intellectual security in the form of clarity, precision, ‘objectivity’, ‘truth’, it will become clear that there is only one principle that can be defended under all circumstances and in all stages of human
development. It is the principle: anything goes.112
Prinsip apa saja boleh ini juga sangat sesuai dengan pokok pikiran
Feyerabend lainnya, yakni tentang kebebasan individu yang akan kami paparkan
dalam sub-topik pembahasan selanjutnya. Menurut Feyerabend, jika kita ingin
rasional dalam situasi-situasi konkrit sebenarnya prinsip apa saja boleh
membebaskan kita dari keharusan untuk bertindak di bawah ketentuan-ketentuan
hukum dan metode yang telah disepakati bersama. Menurut prinsip ini juga, setiap
orang secara bebas dapat mengikuti pilihan pradigma dan aturan teori serta boleh
112 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 18-19.
juga mengikuti kecenderungan tertentu sebagai usaha untuk menumbuhkan ide-
ide kritis. Dalam pengertian ini, seorang ilmuwan perlu keberanian untuk
mengajukan ide-ide, gagasan-gagasan baru tanpa harus dikekang oleh tradisi
ilmiah. Namun tentu saja kebebasan yang dipraktekkannya itu bukanlah
kebebasan yang liar, dan bukan pula kecenderungan sesaat yang tidak berarti
sedikitpun. Dengan begitu, prinsip apa saja boleh bukanlah berarti bahwa apa saja
boleh tanpa batas, tanpa aturan dan tanpa tujuan.
D. Ilmu Tidak Bisa Saling Diukur dengan Standar Yang Sama
Salah satu komponen penting lain dari analisa Feyerabend tentang ilmu
pengetahuan adalah pandangannya bahwa ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur
dengan standar yang sama. Konsepsi Feyerabend ini berasal dari apa yang disebut
sebagai prinsip ketergantungan observasi pada teori. Sebagaimana yang kita
maklumi, bahwa ada dua asumsi penting dalam pandangan induktivisme tentang
observasi. Pertama, ilmu pengetahuan diperoleh lewat observasi. Kedua,
kepercayaan bahwa observasi yang sungguh-sungguh obyektif menjadi dasar yang
kokoh bagi ilmu pengetahuan.113 Mereka percaya bahwa: (1) Seorang pengamat
sedikit banyak dapat menangkap langsung beberapa sifat dari dunia eksternal
yang diobservasi; (2) Dua orang pengamat yang mempunyai indera yang normal
akan melihat obyek atau gejala-gejala dari tempat yang sama, niscaya akan
melihat hasil yang sama pula.114
113 A.F. Chalmers, op.cit., hlm. 22.
114 Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 107.
Inilah yang disanggah Feyerabend dengan alasan bahwa apa yang dilihat
pengamat dalam pengalaman visual ketika memandang suatu obyek sangat
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman di masa lalunya, pengetahuan dan
harapan-harapannya. Bagi Feyerabend, hasil observasi itu selalu tergantung pada
teori sehingga tidak dapat dijadikan dasar yang obyektif bagi penilaian tentang
kelayakan sebuah teori. Feyerabend menyimpulkan bahwa tingginya mutu sebuah
teori berdasarkan hasil pengamatan itu tidak dapat saling diukur satu sama lain.115
Makna dan interpretasi tentang konsep-konsep dan keterangan-keterangan
observasi yang digunakan akan tergantung pada konteks dimana makna dan
keterangan observasi itu muncul. Feyerabend beranggapan bahwa arti setiap
istilah yang kita pakai tergantung pada konteks teori yang digunakan. Letusan
gunung berapi bagi seorang ahli geologi, dapat dijelaskan sebagai gangguan di
bawah tanah, tetapi bagi warga suku primitif, letusan gunung berapi mungkin
dianggap sebagai hukuman para dewa akibat dosa-dosa manusia.
Feyerabend menerima pandangan Kuhn tentang tidak adanya kriteria bagi
ilmuwan yang disebabkan oleh adanya ketidaksepadanan atau ketidakkonsistenan
dalam teori ilmu pengetahuan. Prinsip ketidakterbandingkan antara satu teori atau
pandangan dengan yang lainnya berkaitan dengan prinsip inkonsistensi.
Maksudnya, bahwa dalam satu penelitian ilmiah dapat melibatkan pendapat dan
alternatif-alternatif yang bervariasi.
Jika seseorang tertarik dengan penelitian empiris dan ingin mengerti teori
dalam berbagai aspek, maka ia harus memahami dan mengadopsi metode yang
115 John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth Edition (New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 187.
pluralistik. Ia harus dapat membandingkan antara satu teori dengan teori yang lain
berdasarkan hasil pengamatan serta kumpulan data dan fakta yang diperolehnya.
Ia harus mencoba pula untuk memperbaiki daripada membuang pandangan-
pandangan yang kelihatannya kehilangan daya kompetisi. Feyerabend menulis
masalah itu sebagai berikut: “...will adopt a pluralistic methodology, he will
compare theories with other theories rather than with ‘experience’, ‘data’, or
‘facts’, and he will try to improve rather than discard the views that appear to
lose in the competition.”116
Sebelumnya Thomas Kuhn telah menggambarkan ilmu sebagai aktivitas
pemecahan teka-teki ilmu pengetahuan, baik secara teoretis maupun
eksperimental. Pemecahan itu dibimbimg oleh peraturan-peraturan dalam suatu
paradigma. Kuhn secara tegas menyatakan bahwa paradigma bukan saja
membimbing teknis penelitian, tetapi juga membimbing interpretasi fenomena
yang diobservasi. Ini artinya Kuhn juga mengakui ketergantungan observasi pada
teori. Dalam penjabarannya, setiap paradigma akan memandang dunia ini secara
berlainan, sebab setiap paradigma itu memang memiliki asumsi dan standar yang
berbeda atau bahkan saling bertentangan satu sama lain.
Dalam beberapa kasus-kasus fundamental dari dua teori rival mungkin
terdapat perbedaan yang begitu signifikan, sehingga tidak mungkin merumuskan
konsep dasar dari teori yang satu dengan standar teori yang lain, sebab kedua teori
rival itu tidak memiliki kesamaan keterangan-observasi apapun. Dalam kasus
seperti itu, maka jelas tidak mungkin saling membandingkan ataupun mereduksi
116 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 33.
beberapa konsekuensi teori-teori rival itu secara logis, sebab dua teori rival itu
tidak akan bisa saling diukur dengan standar yang sama pula.
Hal ini tepat sekali jika dihubungkan dengan keyakinan Kuhn dan
Feyerabend bahwa teori-teori itu memang tidak memiliki tolok ukur yang sama
antara yang satu dengan yang lainnya. Itulah maksud dari penyangkalan
sebagaimana yang dikemukakan oleh T.S. dan P.K. Feyerabend bahwa dua
pengertian teori itu tidak bisa saling diukur dan diperbandingkan satu sama lain.
“Which refutes the contention of T.S. Kuhn and P.K. Feyerabend that two concept
are mutually “incommensurable”, i.e., incomparable.”117
Kuhn dan Feyerabend berpendapat bahwa seingkali teori-teori ilmu
pengetahuan itu tidak dapat saling diukur dengan beberapa teori yang lain secara
bersamaan, dalam arti bahwa memang tidak ada hal yang patut untuk dibanding-
bandingkan. (..., both of whom argued that successive scientific theories are often
incommensurable with each other in the sense that there is no neutral way of
comparing their merits).118
Pasangan-pasangan teori yang tidak bisa saling diukur menurut
Feyerabend adalah mekanika kuantum dan mekanika klasik, teori penggerak dan
mekanika Newtonian, materialisme di satu pihak dan dualisme antara badan dan
akal di pihak yang lain. Salah satu contoh Feyerabend tentang ilmu-ilmu yang
tidak bisa saling diukur tersebut adalah mengenai hubungan antara mekanika
klasik dengan teori relativitas.
117 Mario Augusto Bunge, Philosophy of Science, Volume One: From Problem to Theory, Revised Edition (New York: Transaction Publishers, 1998), hlm. 78.
118 James Ladyman, Understanding Philosophy of Science (London: Routledge, 2002), hlm. 115.
Menurut pandangan mekanika klasik, realitas yang nampak di dunia ini
merupakan obyek-obyek fisik yang mempunyai bentuk, massa dan volume. Sifat-
sifat itu eksis dalam obyek-obyek fisik dan dapat dirubah akibat adanya campur
tangan fisik. Sedangkan dalam teori relativitas, sifat-sifat seperti bentuk, massa
dan volume tidak eksis lagi, tetapi menjadi relasi-relasi antar obyek-obyek. Ia
menjadi kerangka referensi dan bisa dirubah tanpa interaksi fisik apapun.
Akibatnya keterangan apapun mengenai obyek-obyek fisik dalam mekanika klasik
akan mempunyai makna berbeda dari keterangan observasi serupa dalam teori
relativitas.119
Adanya kenyataan bahwa sepasang teori rival tidak bisa saling diukur,
tidak lantas berarti bahwa teori-teori tersebut tidak bisa diperbandingkan dengan
cara apapun. Salah satu cara untuk memperbandingkan sepasang teori adalah
dengan mengkonfrontasikan teori-teori itu pada serangkaian situasi yang dapat
diobservasi, lalu kita catat seberapa jauh derajat masing-masing teori itu sejalan
dengan situasi-situasi tersebut yang ditafsirkan menurut kondisi masing-masing
teori. Cara lain membandingkan teori-teori adalah seperti yang diusulkan
Feyerabend dengan melibatkan pertimbangan-pertimbangan apakah teori-teori
tersebut linear atau non-linear, koheren atau inkohern, dan lain sebagainya.
Walaupun begitu, Feyerabend tidak menampik bahwa hakikat ilmu yang
tidak bisa saling diukur itu, terpaksa akan membawa kita ke suatu aspek subyektif
Teori relativitas atau dikenal juga dengan teori Einstein adalah teori tentang realitas fisik yang menggambarkan fenomena alam secara kuantitatif. Teori relativitas terdiri dari dua
bagian, yaitu teori relativitas khusus yang diciptakan Einstein pada tahun 1905 dan teori relativitas umum yang dimunculkan Einstein pada tahun 1916. Isi pokok teori tersebut menyangkut ide-ide
fundamental yang dipakai untuk menjelaskan alam, yakni ide-ide tentang ruang, waktu, massa, gerak dan gravitasi. Lihat Joko Siswanto, op.cit., hlm. 27.
119 A.F. Chalmers, op.cit., hlm. 146.
dalam personalitas kita juga. Secara tegas Feyerabend menjelaskan bahwa setelah
kita menyingkirkan kemungkinan pembandingan teori-teori secara logis untuk
membandingkannya dengan sejumlah konsekuensi deduktif, maka sebenarnya
yang tinggal tersisa adalah penilaian estetik, penilaian selera, prasangka-
prasangka metafisis, keinginan-keinginan religius, pendeknya, apa yang tersisa
adalah keinginan-keinginan subyektif kita. Diutarakannya, “...What remains are
aesthetic judgements, judgements of taste, metaphysical prejudices, religious
desires, in short, what remains are our subjective whises.”120
Hasil penelitian, penemuan ataupun pemilihan berbagai teori yang
dilakukan oleh seorang ilmuwan tentang dunia fisik yang diamati itu tidak bisa
terlepas dari kondisi sosiologis, intervensi pribadi maupun interest psikologis dari
subyek yang memberikan isi terhadap obyek pengamatan itu. Dari sekian
permasalahan itu sudah cukup kiranya kita jadikan dasar penolakan pandangan
positivisme logis dengan argumentasi ilmiahnya tentang mutu kebenaran sebuah
teori berdasarkan hasil observasi, yang dalam perjalanan sejarahnya ternyata
banyak tersandung oleh kesalahan-kesalahan yang fatal.
E. Ilmu Tidak Harus Mengungguli Bidang Pengetahuan Lain
Aspek lain yang penting dari anasir-anasir pokok pemikiran Feyerabend
adalah menyangkut posisi ilmu dengan bentuk-bentuk pengetahuan lainnya.
Feyerabend menunjukkan bahwa tidak ada satu metode pun yang dianggap lebih
baik dari bentuk metode yang lain.121 Feyerabend mengkritik keras pandangan
120 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 285.
121 Paul Karl Feyerabend, “How to Defend Society Against Science”, dalam Ian Hacking (ed.), Scientific Revolutions (New York: Oxford University Press, 1981), hlm. 156ff.
ilmuwan dan masyarakat yang mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan
teknologi begitu tinggi.
Namun sebelum mengulas gagasan Feyerabend tersebut, perlu juga
kiranya dikemukakan pendapat dari Herbert Marcuse (1898-1979) yang
menyatakan bahwa masyarakat industri telah berkembang menjadi masyarakat
berdimensi satu yang berada di bawah penguasaan prinsip teknologi. Setiap
individu dalam masyarakat industri diperbudak oleh sistem produksi dan selalu
berada dalam cengkeraman masyarakat konsumsi. Produktivitas bukan lagi
sebagai alat, melainkan telah menjadi tujuan.
Dalam masyarakat seperti itu, kebutuhan hidup dihambur-hamburkan
hanya untuk menghabiskan hasil produksi yang melimpahruah saja. Dan setiap
individu, kecuali kaum buruh, dituntut harus menyesuaikan diri dengan keadaan
ini sebab ia bukan merupakan kelas yang revolusioner, tetapi mereka hanya kelas
yang sekedar berusaha mempertahankan hak untuk hidup. Dalam masyarakat
yang demikian itu, harapan untuk mengadakan perubahan hanya terletak pada
orang-orang pinggiran (marginal men), yaitu para seniman, cendekiawan, dan
mahasiswa.122
Marcuse mengkritik tajam asumsi positivisme dan neo-positivisme yang
menurutnya mematikan pemikiran negatif (negasi), sehingga pemikiran dan
filsafat hanya berfungsi menyesuaikan diri dengan sistem lama yang telah ada.
Dalam hal inilah gagasan Feyerabend memiliki kedekatan pandangan dengan
Marcuse.
122 Endang Daruni Asdi dan A. Husnan Aksa, Filsuf-filsuf Dunia dalam Gambar (Yogyakarta: Karya Kencana, 1981), hlm. 166.
Kegagalan dari program kaum positivis selama ini adalah bahwa
keragaman budaya selalu dinyatakan lewat pemahaman disiplin ilmu antropologi,
dan meningkatnya perbedaan budaya yang mendapat kehormatan sampai di taraf
internasional berarti bahwa sebuah keragaman pada dasarnya menggambarkan
adanya perbedaan gambaran tentang kenyataan alam selalu dihubungkan dengan
perbedaan budaya, yang secara tiba-tiba goyah oleh dunia ilmu pengetahuan dan
cendekiawan kontemporer, dan ide tentang adanya satu kebenaran obyektif
mengenai realitas tunggal alam semesta pun telah beralih menjadi kekaburan
pemikiran di kalangan kaum cendekiawan.
Akibatnya seperti yang diungkapkan oleh Feyerabend, “keragaman budaya
tidak dapat dijinakkan lewat pemikiran kaku tentang kebenaran obyektif sebab ia
juga mengandung keragaman pemikiran serupa”. Katanya, “cultural variety
cannot be tamed by a formal notion of objective truth because it contains a variety
of such notion.”123
Kaum positivisme dan neo-positivisme mengemukakan bahwa ilmu
pengetahuan unggul karena dua alasan. Pertama, keunggulan metodologis.
Maksudnya dengan metode empiris-analitis, ilmuwan dapat menentukan dan
membuktikan kebenaran teorinya. Kedua, ilmu pengetahuan unggul karena dapat
membuktikan hasil-hasl (teknologi) yang dapat diandalkan.
Feyerabend menolak dengan tegas anggapan-anggapan tersebut dengan
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidaklah lebih unggul dari bentuk-bentuk
pengetahuan lain. Bahkan menurutnya tidak lebih unggul dari mitos, magi atau
voodoo. Baginya sains bukanlah satu-satunya tradisi terbaik yang ada, kecuali
123 Paul Karl Feyerabend, Farewell to Reason (New York: Verso, 1987), hlm. 9.
bagi mereka yang sudah terbiasa memperlakukannya secara istimewa. Feyerabend
menyatakan bahwa kebenaran itu terkait dengan tradisi dan bersifat relatif.
Ilmu pengetahuan pada masyarakat ilmiah modern telah dianggap paling
benar, sehingga memonopoli kebenaran di tengah-tengah masyarakat luas. Ilmu
pengetahuan dan metodenya menindas semua pandangan alternatif yang dianggap
tidak relevan lagi dengan keaadan yang ada dan kenyataan yang berkembang
dewasa ini. Ilmu pengetahuan dalam penilaian Feyerabend telah mengambil alih
peran yang dimainkan oleh kaum agamawan.
Bacon, Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton di awal kebangkitan ilmu
pengetahuan modern masih menganggap bahwa ilmu pengetahuan dan agama
saling melengkapi. Bacon masih mencita-citakan bertemunya penjelasan antara
ilmu dengan Kitab Suci secara harmonis. Tetapi Thomas Hobbes dan para
pengikutnya yang muncul kemudian, memberikan tafsir atas segala fenomena
alam yang sepenuhnya bercorak naturalis dan determinis. Misalnya Hobbes,
berpendapat bahwa segala kejadian itu ditentukan oleh gerakan dan bentuk dari
obyek yang bersifat kebendaan. Sedangkan cita rasa yang berdasarkan
pancaindera itu sama sekali subyektif. Pandangan inilah yang diterapkan secara
radikal oleh Comte dan kaum Positivisme Logis.
Feyerabend menyesalkan pembela-pembela ilmu yang secara tipikal
menilai ilmu lebih unggul dan lebih berbobot atas bentuk-bentuk pengetahuan
lainnya tanpa melakukan penyelidikan yang memadai terhadap pengetahuan-
pengetahuan yang lain. Karena alasan itu pulalah, kemudian Feyerabend tidak
menerima keharusan superioritas ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain. Lebih
lanjut, dari segi tesisnya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur, ia
menolak ide bahwa akan bisa lahir suatu argumen yang menentukan dan
menguntungkan ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain yang tidak bisa diukur.
Secara khusus, Feyerabend menyerang pandangan ilmuwan yang
menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai agama baru, terutama dalam
masyarakat Amerika. Menurut Feyerabend, dalam masyarakat Amerika, orang
memilih agama secara bebas, bahkan bebas untuk memilih tidak beragama, tetapi
mereka dilarang mempelajari semua yang dianggap tidak ilmiah (mitos, voodoo).
Semua ini dirasa tidak wajar tetapi tetap saja terjadi, karena para ilmuwan dan
institusi pendukungnya dengan gencar selalu melakukan propaganda bahwa ilmu
pengetahuan itu lebih unggul.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, Feyerabend menyarankan pemisahan
ilmu pengetahuan dengan negara sebagaimana agama dipisahkan dari negara pada
masa Renaissance. Lebih jauh ia memproklamirkan bahwa tidak ada perbedaan
yang prinsipil antara ilmu pengetahuan dan mitos dan voodoo.124 Jadi kalau saja
kata mitos diartikan untuk menunjukkan gejala dan peristiwa alam atau manusia
seperti yang terjadi dalam tradisi dahulu kala, dan tetap saja dilestarikan dengan
cara-cara yang sama oleh orang-orang yang masih rendah tingkat peradabannya,
maka sesungguhnya tidak ada perbedaan antara mitos dan logos (teori ilmiah).
Feyerabend mengungkapkan bahwa ilmu adalah satu bentuk ideologi saja,
yang berhubungan dengan sihir dan astrologi serta bertentangan dengan
kebutuhan-kebutuhan yang dipertahankan oleh masyarakat. Ia berkata, “...that
124 Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 127-128.
science is just another ideology, along with magic and astrology, against which
society needs to be defended”?125
Dengan demikian, catatan penting yang dapat kita ambil dari salah satu
gagasan pokok Feyerabend ini adalah bahwa tidak ada universalitas sebuah teori
yang secara mutlak lebih unggul kebenarannya dari teori yang lain. Sebab, sejarah
ilmu pengetahuan itu memang selalu berproses untuk menyempurnakan dan
mengembangkan teori-teori yang telah ada lewat pergulatan pemikiran yang
simultan dan relatif ‘mendekati’ hakikat sebuah kebenaran.
F. Kebebasan Individu
Kritik-kritik konstruktif Feyerabend cukup ampuh membongkar
(mendekonstruksi) pandangan saintisme modern. Berdasarkan analisis sejarah, ia
dapat mengajukan bukti-bukti bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang justru
karena memberinya kebebasan, bukan dengan memagarinya melalui peraturan
tunggal atau hanya dengan menerapkan satu metode yang dianggap mapan.
Perkembangan dunia ilmu pengetahuan lebih dimungkinkan dengan membiarkan
teori-teori yang beraneka ragam secara bebas dalam mengembangkan visi
intelektualitas secara kreatif.
Bertitik tolak dari keyakinan seperti itulah, maka di bagian lain
pandangannya tentang ilmu pengetahuan Feyerabend juga menekankan tentang
pentingnya makna kebebasan individu dari berbagai macam belenggu
metodologis. Ia menyatakan bahwa setiap orang harus mengikuti kecenderungan
individualnya dan mengerjakan hal-ihwalnya sendiri.
125 Paul Karl Feyerabend, “How to Defend Society Against Science”, hlm. 156ff.
Gagasan awal tentang kebebasan individu Feyerabend ini sendiri
sebenarnya hanya merupakan uraian lanjutan dari apa yang disebut oleh John
Stuart Mill (1806-1873) sebagai “sikap kemanusiawian” yang dalam realisasi
konkritnya ditujukan untuk membebaskan dan sekaligus meningkatkan kebebasan
individu menuju kehidupan yang lebih maju dan produktif. Dalam perspektif
Feyerabend, perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat diterangkan ataupun
diatur oleh segala macam aturan dan sistem hukum yang berlaku, sebab pada
dasarnya kegiatan ilmiah atau ilmu pengetahuan itu memang merupakan upaya
yang anarkistik.
Pandangan Feyerabend tersebut harus ditelusuri pula berkaitan dengan
analisisnya tentang masyarakat yang dicita-citakannya. Ia melihat bahwa ilmu
pengetahuan memiliki kedudukan dan kuasa mutlak yang sama dengan otoritas
agama pada masa Abad Pertengahan. Artinya ilmu pengetahuan tidak lagi
berfungsi untuk membebaskan manusia, namun justru memasungnya dengan
teori-teori dan aturan-aturan yang ketat dan mengikat.
Ilmu telah menjadi ideologi absolut-tunggal yang membatasi, menguasai
dan bahkan memperbudak manusia. Sehingga pada akhirnya Feyerabend
berkesimpulan bahwa pelembagaan ilmu dalam masyarakat kita dewasa ini sudah
dianggap tidak konsisten lagi dengan sikap kemanusiaan itu sendiri. Padahal
sebenarnya seperti yang ditunjukkan oleh Feyerabend, terdapat beberapa
pemikiran universal tentang manusia yang digunakan untuk menetapkan beberapa
pendekatan teoretis untuk memecahkan perselisihan-perselisihan manusia yang
sombong, bebal, dangkal, tidak sempurna dan tidak jujur. Ia mengatakan, “...there
is some universal notion of human understanding which might be used to provide
some theoretical approach to solving human conflicts as “conceited, ignorant,
superfisial, incomplete, and dishonest.”126
Di sekolah-sekolah, misalnya, ia melihat bahwa ilmu masih diajarkan
sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Lagi-lagi ia menampilkan contoh tentang
masyarakat Amerika yang menurutnya memberikan kebebasan warganya untuk
memilih agama yang mereka kehendaki, tetapi tetap saja warga masyarakat tidak
diperkenankan untuk mempelajari ilmu sihir dan voodoo. Dalam pengertian ini,
jelas tidak ada pemisahan antara negara dan ilmu. Ia berujar, “thus, while an
American can now choose the religion he likes, he is still not permitted to demand
that his children learn magic rather than science at school. There is a separation
between state and church, there is no separation between state and science”.127
Dan bagi Feyerabend, tidak ada cara lain yang dapat ditempuh dalam dilema ini
kecuali dengan berusaha membebaskan masyarakat itu sendiri dari pengaruh
monotafsir ilmu yang secara ideologis telah dimonopoli oleh institusi negara.
Dalam masyarakat yang diimpikan oleh Feyerabend, negara secara
ideologis adalah netral. Negara semestinya bertugas untuk mengatur perjuangan
antara ideologi-ideologi untuk menjamin setiap individu dapat mempertahankan
hak kebebasan untuk memilih tanpa adanya unsur pemaksaan ideologi tertentu
yang bertentangan dengan pilihan sadar dan kehendak hati nuraninya.128
126 Paul Karl Feyerabend, Farewell to Reason (New York: Verso, 1987), hlm. 25.
127 Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 299.
128 A.F. Chalmers, op.cit., hlm. 152.
Demikianlah gambaran umum tentang ide kebebasan individu dan
masyarakat Feyerabend yang merupakan pertautan epsitemologis dari pemikiran-
pemikiran utamanya tentang anarkisme ilmu pengetahuan. Bermula dari
eksplorasi tentang “apa saja boleh” dan berbagai problem teori-teori keilmuan
lainnya, Feyerabend terus berusaha ‘berkelit’ dari sanjungan keberhasilan dan
kemapanan sains, sehingga ia mampu menghadirkan kronik pemikiran baru dalam
diskursus ilmu pengetahuan modern dan postmodern yang sudah mulai banyak
diperdebatkan.
Surplus positif dari filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend yang mungkin
dapat didedikasikan bagi masa depan umat manusia adalah bahwa ia masih
diperlukan untuk mensukseskan apa yang oleh Jürgen Habermas disebut
“program pencerahan”, dengan selalu melakukan perlawanan secara kritis
terhadap segala bentuk penyempitan ideologis. Salah satu peran penting filsafat
Feyerabend yang berpijak pada rasionalitas dan universalisasi ilmu pengetahuan
itu dalam kehidupan masyarakat luas adalah bahwa ia bisa membantu
menjernihkan substansi suatu permasalahan dan menyingkirkan berbagai macam
kepalsuan dan pemaksaaan ideologis, termasuk juga doktrin-doktrin agama yang
begitu dogmatis dan tanpa kompromistis. Sedangkan dalam komunitas akademik,
filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend itu bisa membimbing kaum cerdik pandai
untuk berpikir mandiri, mendalam, kritis dan berani. Filsafat Feyerabend dapat
pula mencegah meluasnya kantong-kantong kosong pemikiran filosofis yang lolos
dari tantangan kritik, sembari mempertanyakan ulang tentang kejelasan metode
dan wawasan, serta menghubungkan kesenjangan pemahaman ilmu itu sendiri
dengan tuntutan-tuntutan praktis kehidupan.
Lantas, apa kontribusi konkrit yang bisa diberikan model pembelajaran
filsafat Feyerabend tersebut terhadap dunia keilmuan di Indonesia? Secara praktis,
gagasan-gagasan filsafat Feyerabend itu setidaknya bisa membantu kita
mengambil jarak sekaligus memberikan kritik tandingan terhadap klaim ideologi
ilmu-ilmu empiris yang dalam opini budaya modern ini seolah-olah hanya ilmu-
ilmu empirislah yang sanggup mendefinisikan arti kemanusiaan dan tujuan
perkembangan masyarakat. Dalam kehidupan sosial, dengan analisis yang bebas
dan obyektif, filsafat Feyerabend dapat dijadikan alat untuk mendeteksi setiap
kedok-kedok ideologis berbagai ketidakadilan sosial serta pelanggaran-
pelanggaran terhadap martabat manusia dan hak-hak asasinya. Dalam bidang
agama, pluralisme metodologi yang ditawarkan Feyerabend kiranya juga bisa
membantu melepaskan subyektivitas keberagamaan kita dari pandangan dunia dan
pembelaan agama yang berbeda untuk bersama-sama membahas tantangan yang
dihadapi bangsa, serta mencari pemecahan yang berorientasi pada penghormatan
nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, maka perluasan wacana filsafat
Feyerabend ini akan memungkinkan masyarakat untuk memikirkan kembali
masalah-masalah dasar hidupnya secara rasional dengan bahasa, wawasan dan
argumentasi yang universal dalam rangka menggali kekayaan budaya, tradisi-
tradisi dan filsafat Indonesia asli secara lebih terbuka, kritis dan kreatif.
BAB IV
ANARKISME ILMU PENGETAHUAN PAUL KARL FEYERABEND
G. Pengertian Anarkisme
Secara etimologi, anarkisme berasal dari kata Yunani an archos = tanpa
pemerintahan. Ia merupakan sebuah aliran dalam filsafat sosial yang menghendaki
dihapuskannya negara atau pemerintahan serta kontrol politik dalam masyarakat.
Aliran ini didasarkan pada ajaran bahwa masyarakat yang ideal itu dapat mengatur
urusannya sendiri tanpa mempergunakan kekuasaan yang berlawanan dengan
paham sosialisme dan komunisme. Tokoh-tokohnya: Gerrard Winstanley (1609-
1660), William Goldwin (1756-1836), Mikhail Bakunin (1814-1876) dan Peter
Kropotkin (1842-1921).129
Anarkisme (bhs. Yunani, awalan a, tidak, kebutuhan akan, ketiadaan,
kekurangan + anarchos, seorang pengatur, pengarah, ketua, orang yang
berwenang, komandan. Dalam bahasa Yunani istilah anarchos atau anarchia
berarti tidak memiliki pemerintahan—keadaan tanpa penguasa). Konotasi positif:
Anarkisme adalah ideologi sosial yang menolak pemerintahan yang otoriter.
Aliran ini berpandangan bahwa individu-individu harus mengatur diri mereka
sendiri dengan cara yang disenangi demi pemenuhan kebutuhan dan ideal-ideal
mereka. Dalam pengertian ini anarkisme tidak bisa disamakan dengan Nihilisme,
tetapi lebih serupa dengan libertarianisme politik dan antinomianisme. Konotasi
129 Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 9-10.
Antinomian (bhs. Yunani, anti, melawan, nomos, hukum) 1. seseorang yang menginginkan kebebasan dari aneka peraturan dan hukum dalam masyarakat. Seseorang yang
ingin hidup di luar masyarakat dalam keadaan alami atau hidup dalam masyarakat dengan ikatan seminimal mungkin oleh norma-norma sosial. (Penganut antinomi, sebgai lawan dari kaum aktivis
atau anarkis, umumnya tidak langsung terlibat dalam usaha penghapusan hukum-hukum dan struktur politik suatu masyarakat. 2. dalam teologi, (a) seseorang yang percaya bahwa hanya
keimanan, bukan hukum moral, yang diperlukan bagi keselamatan. (b) dalam pengertian teologis
negatif: Anarkisme adalah kepercayaan yang menyangkal untuk menghormati
hukum atau peraturan apapun dan secara aktif melibatkan diri dalam promosi
kekacauan melalui perusakan masyarakat. Aliran ini mengajarkan penggunaan
terorisme individual sebagai sebuah alat untuk meningkatkan terjadinya
disorganisasi sosial dan politik.130
Kamus Ilmiah Populer dengan gamblang mendefinisikan anarkisme
sebagai sebuah paham kebebasan bertindak tanpa mau diikat oleh undang-undang;
hal kesewenang-wenangan bertindak (melenyapkan undang-undang).131
Sementara Dictionary of Philosophy secara terperinci memberikan
pengertian anarkisme sebagai berikut:
Anarchism: This doctrine advocates the abolition of political control within society: The State, it contends, is man’s greatest enemy—eliminate
it and the evils of human life will disappear. Positively, anarchism envisages a homely life devoted to unsophisticated activity and filled with
simple pleasure. Thus it belong in the “primitive tradition” of Western culture and springs from the philosophical concept the inherent and radical
goodness of human nature. Modern anarchism probably owes not a little, in an indirect way, to the influence of the primitivistic strain in the thought of Jean Jacques Rousseau. In an popular sense the word “anarchy” is often used to denote a state of social chaos, but it is obvious that the word can be
used in this sense only by one who denies the validity of anarchism.132
Jadi yang dimaksud dengan istilah anarkisme adalah: ajaran yang
menganjurkan dihapuskannya penguasaan politik dalam masyarakat. Sebab
yang lebih ekstrem, seseorang yang memandang rendah hukum dan batasan-batasan sosial serta meletakkan di atas segalanya soal keimanan dan pengetahuan tertentu yang menjanjikan
keselamatan. Lihat dalam Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 17.
130 Ibid., hlm. 13.
131 Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 30.
132 Dagobert D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy (Littlefield Adams & Co., Totowa: New Jersey, 1971), hlm. 11-12.
negara menurut pendapat mereka adalah musuh terbesar manusia yang jika
disingkirkan akan dapat menghilangkan kejahatan-kejahatan yang ada dalam
kehidupan manusia. Jelasnya, anarkisme mengimpikan kehidupan yang bersahaja
dengan menekuni kegiatan yang sederhana dan mengisinya dengan kesenangan
yang wajar. Jadi ia termasuk kebiasaan kuno dari budaya Barat yang bersumber
dari konsep filosofis yang telah melekat dan mengakar secara baik dalam sifat
dasar manusia. Anarkisme modern kelihatannya juga tidak jarang, walaupun
dengan cara yang berlainan, berusaha untuk mempengaruhi pandangan-pandangan
kuno yang terdapat dalam pemikiran Jean Jacques Rousseau. Dalam pengertian
populer, kata “anarki” seringkali digunakan untuk menunjukkan adanya
kekacauan sosial dalam suatu negara, bahkan kata ini juga dipakai oleh seseorang
yang menyangkal terhadap keabsahan anarkisme itu sendiri.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, anarkisme diartikan sebagai anarchy
epistemological (kesewenang-wenangan epistemologis) yang digunakan dan
dipopulerkan oleh Paul Karl Feyerabend. Menurutnya, tidak ada ukuran-ukuran
yang tetap untuk memisahkan atau membedakan antara sampah dengan teori yang
dapat diamati.133
Disamping itu juga terdapat beberapa pandangan filsuf tentang definisi
anarkisme, diantaranya:
1. Sebagai doktrin politis dan filosofis, istilah ini baru beredar pada abad
ke-19. Pertama kali digunakan oleh Proudhon dan kemudian diangkat
kembali oleh Bakunin untuk menyatakan adanya aneka ragam doktrin
yang berkisar seputar keyakinan bahwa negara yang teratur harus
133 Ali Mudhofir, Kamus Istilah Filsafat (Yogyakarta: Liberty, 1992), hlm. 9.
dilenyapkan, sebab ia merupakan biang keladi ketidakadilan dalam
kehidupan masyarakat. Sedangkan mengenai cara penghapusannya
berbeda-beda menurut pandangan para penganutnya: evolusioner;
revolusioner; garis keras (ekstrem), garis lunak (moderat).
2. William Goldwin, penulis politik Inggris, mengharapkan munculnya
anarkisme melalui perkembangan moral manusia secara bertahap.
3. Max Stirner, filsuf Jerman, berkeyakinan bahwa keberadaan anarkisme
adalah pasti dalam wujud pemberontakan—bukan revolusi—
perseorangan seiring dengan adanya penumpukan dan pengembangan
sikap individualisme.
4. Joseph Proudhon, filsuf Perancis, mendukung pertumbuhan dan
perkembangan secara bertahap hubungan timbal balik atau kegotong-
royongan; suatu rasa sosial yang semakin meningkat di tengah
masyarakat. Dan penyebarluasan kerjasama sukarela semacam ini akan
menggantikan negara.
5. Mikhail Bakunin, penulis dan aktivis politik Rusia, menganut doktrin
revolusioner yang bermuara pada penghancuran negara.
6. Leo Tolstoy, filsuf sosial dan novelis Rusia, menganjurkan revolusi
moral tanpa kekerasan yang mengarah pada penghapusan negara.
Dalam hal ini ia lebih cenderung mewakili pandangan anarkisme
religius.
7. Peter Kropotkin, filsuf sosial dan pengarang Rusia, mengutarakan
bahwa teori Darwin terlalu melebih-lebihkan kompetisi dalam evolusi;
padahal konsep gotong royong tidak kalah pentingnya. Dan anarkisme
itu sendiri merupakan gerakan kembali kepada masyarakat alamiah.134
Sedangkan dalam analisa Feyerabend sendiri, term anarkisme itu tidak lain
adalah anarkisme epistemologis yang dipertentangkan dengan anarkisme politis
atau religius. Dikatakannya, apabila anarkisme politis anti terhadap kemapanan
(kekuasaan, negara, institusi-institusi dan ideologi-ideologi yang menopangnya),
maka anarkisme epistemologis justru tidak selalu memiliki loyalitas ataupun
perlawanan yang jelas terhadap semua sistem dan struktur elit tersebut.
Di akhir renungannya tentang anarkisme, Feyerabend sendiri secara
pribadi menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang dadais yang
dilukiskannya sebagai berikut:
A Dadais is convinced that a worthile life will arise only when we start taking things lightly and when we remove from our speech the profound
but already putrid meanings it has accumulated over the centuries...I hope that having read the pamphlet the reader will remember me as flippant
Dadais and not as a serious anarchist.135
)Seorang Dadais percaya bahwa hidup yang berguna itu hanya dapat
dibangun apabila kita mulai melakukan sesuatu yang gampang dan berhenti dari
omong besar kecuali jika kita ingin pengertian-pengertian itu menjadi busuk
karena ditumpuk-ditumpuk selama berabad-abad...Saya berharap bahwa setelah
membaca selebaran ini pembaca mengenangku sebagai seorang Dadais yang
sembrono, dan bukan sebagai anarkis yang sesungguhnya.(
134 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 48-49.
135 W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981), hlm. 146-147.
Seorang anarkisme epistemologis menurut Feyerabend ibarat seorang
dadais seperti yang dijelaskan oleh Hans Richter dalam bukunya Dada: Art and
Anti-Art. Feyerabend mengutip pandangan Richter sebagai berikut: ‘Dada’, ‘not
only had no programme, it was against all programmes’. This does not exclude
the skillful defence of programmes to show the chimerical character of any
defence, however ‘rational’.136
Maksud Feyerabend adalah bahwa dalam epistemologi terdapat bentuk
anarkisme yang berupaya mempertahankan sekaligus menentang kemapanan. Ia
bukan hanya tidak punya program, tetapi anti-program. Ia pembela status quo,
tetapi juga anti status quo. Hal itu ditempuh untuk memberikan kebebasan bagi
perkembangan metode-metode alternatif. Anarkisme Feyerabend yang demikian
itu terkadang diartikan orang sebagai kesewenang-wenangan epistemologi, karena
tidak adanya ukuran atau aturan yang tetap dan pasti untuk menentukan antara
yang ilmiah dan yang non-ilmiah.
Dalam posisi seperti itu, anarkisme juga tidak bisa disebut skeptisisme.
Jika skeptisisme berpendapat bahwa suatu pandangan bisa benar dan bisa salah
atau bahkan bisa juga tidak ada penilaian berarti baginya, maka tidak demikian
halnya dengan anarkisme epistemologis. Seorang anarkis di bidang ini tidak segan
bahkan tidak malu untuk mempertahankan pandangan yang dianggap sudah basi
dan konyol sekalipun.
Istilah dadais muncul dari dunia seni di Perancis dan Jerman setelah Perang Dunia I sekitar tahun 1916-1922. Dadaisme berarti suatu gerakan protes dari dunia seni yang ditujukan
bukan hanya terhadap seni yang sudah mapan, melainkan akhirnya juga menjadi gerakan protes terhadap segala bentuk kemapanan.
136 Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 23.
Lantas mengapa diksi yang ditawarkan oleh Feyerabend adalah
anarkisme? Karena anarkisme epistemologis merupakan anarkisme teoretis.
Menurut hemat Feyerabend anarkisme teoretis itu lebih manusiawi daripada
alternatif hukum. Dari perspektif ini, ilmu pengetahuan secara hakiki merupakan
usaha yang anarkistik mutlak. Feyerabend memberikan argumentasi historis,
bahwa sejarah ilmu pengetahuan tidak hanya berisi fakta-fakta dan kesimpulan-
kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta tersebut. Ia juga berisi ide-ide,
interpretasi terhadap fakta-fakta, masalah-masalah yang timbul dari kesalahan
interpretasi, interpretasi yang bertentangan, dan sebagainya. Feyerabend melihat
bahwa para ilmuwan hanya meninjau fakta ilmu pengetahuan dari dimensi ide
belaka, sehingga tidak heran andaikata sejarah dan ide-ide ilmu pengetahuan yang
berkembang itu kemudian menjadi pelik, rancu dan penuh dengan kesalahan
seperti pemikiran dari para penemunya.137
Situasi semacam itulah yang dilukiskan Feyerabend sebagai sakit
epistemologis, dan obat paling mujarab untuk mengembalikan eksistensinya pada
koridor semula adalah dengan prinsip anarkisme. Dengan demikian, anarkisme,
sebagaimana pengakuan Feyerabend bisa membantu kita untuk mencapai
kemajuan dengan memilih salah satu pemikiran yang kita minati secara lebih
rasional, jelas dan bebas. Pungkasan ide anarkisme Feyerabend yang secara
esensial perlu kita gali maknanya dalam realitas keseharian kita adalah
137 Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja
Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 54.
pernyataannya berikut ini: “And my thesis is that anarchism helps to achieve
progress in any one of the senses one cares to choose.”138
H. Anarkisme Sebagai Kritik atas Ilmu Pengetahuan
Secara garis besar, seluruh pemikiran individualisme ekstrem Feyerabend
tentang anarkisme di atas sebenarnya adalah suatu kritik terhadap perjalanan dan
perkembangan ilmu pengetahuan yang telah didominasi oleh sains positivistik.
Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua sisi yang
kaitan antar keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Kritik pertama disebutnya sebagai anti-metode (Against Method) yang
berusaha (mendekonstruksi) format metode ilmu pengetahuan yang telah dibuat
dan dipahami oleh para kaum positivis dengan melakukan penyingkapan dan
pembongkaran terhadap asumsi-asumsi beserta kesalahan dari teori-teori baku
yang selama ini telah dikembangkannya. Dan kritik yang kedua dinamakannya
dengan anti-ilmu pengetahuan (Against Science) yang secara lebih mendalam lagi
mencoba mengoreksi tentang praktek ilmiah, fungsi dan kedudukan ilmu
pengetahuan dalam kehidupan masyarakat yang dianggap memiliki standar
universal yang melampaui batas-batas partikularitas dan relativitasnya.
1) Anti-Metode (Against Method)
Dengan semboyan ini, Feyerabend ingin melawan ilmu pengetahuan yang
oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal,
memiliki resistensi terhadap kritik yang tahan sepanjang masa serta dapat pula
membawahi fakta dan penelitian. Menurut Feyerabend, klaim itu tidak realistis
138 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 18.
dan jahat. Tidak realistis, karena kenyataannya ilmu pengetahuan hanya diambil
dari pandangan sederhana atas dasar kemampuan seseorang dari lingkungan
tertentu. Jahat, karena ilmu pengetahuan berusaha memaksakan hukum-hukum
yang menghalangi berkembangnya kausalitas-kausalitas profesional kita dengan
mempertaruhkan sifat kemanusiaan kita.
Lagi pula, gagasan itu merusak ilmu pengetahuan dan menghambat laju
perkembangannya karena mengabaikan adanya kompleksitas situasi fisik dan
historis yang memungkinkan perubahan ilmu pengetahuan.139 Dengan
menunjukkan bukti bahwa sejarah ilmu pengetahuan itu selalu dipenuhi dengan
pertentangan teori, Feyerabend juga menyangkal pandangan saintisme yang
menganggap ilmu berada di atas segala aspek budaya lain sehingga menyebabkan
ilmu pengetahuan modern menghalangi kebebasan berpikir para ilmuwan itu
sendiri.
Dan langkah pertama yang dilakukan Feyerabend untuk menindaklanjuti
kritiknya tersebut adalah dengan mengajukan suatu prosedur yang diberi nama
kontra-induksi (counterinduction). Prosedur ini dimaksudkan sebagai standar
kritik dari luar yang sangat diperlukan demi kemajuan ilmu pengetahuan, karena
sulitnya otokritik yang berasal dari dalam tubuh ilmu pengetahuan itu sendiri.
Maksud Feyerabend bukanlah mengganti seperangkat aturan-aturan
dengan peraturan yang lain, tetapi tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa
semua metode yang sudah jelas sekalipun mempunyai keterbatasan. Dan cara
terbaik untuk menjelaskan ini adalah dengan menunjukkan batas-batas,
139 Prasetya T.W., op.cit., hlm. 55.
irasionalitas dari beberapa aturan yang mungkin dianggap sebagai hal yang paling
mendasar. Hal tersebut diungkapkan Feyerabend sebagai berikut:
My intention is not to replace one set of general ruler by another such set: my intention is, rather, to convince the reader that all methodolgies, even the most obvious ones, have their limits. The best way to show this is to demonstrate the limits and even the irrationality of some rules which she,
or he, is likely to regard as basic.140
Hal ini jelas berbeda dengan paradigma positivisme yang menganggap
induksi sebagai satu-satunya metode yang dianggap valid ataupun juga dengan
kaum induktivisme naif yang berpendapat bahwa batang tubuh ilmu pengetahuan
ilmiah dibangun di atas prinsip induksi yang dasarnya cukup kuat. Ketika
ditemukan sejumlah fakta observasi dan eksperimen yang sesuai dengan teori,
maka teori atau hukum diperkuat atau dikorborasi. Prinsip induksi berupaya
mencari fakta yang mendukung dan menghindari fakta yang tidak sesuai dengan
teori.
Kontra-induksi yang ditawarkan Feyerabend itu adalah juga untuk
mengatasi masalah kekurangan prinsip verifikasi atau falsifikasi yang sama-sama
tidak menghendaki adanya fakta yang konsisten dengan teori. Melalui kontra-
induksi, Feyerabend mengusulkan counterrule, yaitu memberikan hipotesis yang
tidak konsisten dengan teori yang mapan atau dengan fakta yang bahkan tidak
sesuai atau tidak terukur sekalipun. Jadi, kontra-induksi yang dikemukakan oleh
Feyerabend itu sesungguhnya berperan penting untuk menjembatani permasalahan
teori dan fakta.
Walaupun begitu, menurut Feyerabend, masalah ini tidak memerlukan
pembelaan khusus, karena tidak ada satu pun teori yang menarik dan sesuai
140 Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 23.
dengan semua fakta yang selalu dapat diketahui dalam bidang domainnya secara
pasti dan meyakinkan. Oleh karena itu, pertanyaan pokoknya bukan apakah teori-
teori yang kontra-induktif ini harus diakui dalam ilmu pengetahuan atau tidak,
tetapi apakah kesenjangan yang ada antara teori dengan fakta harus diperbesar
atau diperkecil? Atau apa yang harus kita lakukan dalam menjawab persoalan ini?
Maka untuk bisa menyadari dan melakukan kritik terhadap asumsi-asumsi
ilmu pengetahuan diperlukan standar eksternal guna memeriksa karakteristik dari
dunia nyata yang diamati. Dan untuk itu semua, Feyerabend kemudian merancang
pertanyaan mendasar tentang apa yang seharusnya dilakukan? Pertama,
melakukan kritik terhadap fakta untuk memutuskan rantai dan konsep yang sudah
mapan. Kedua, mengacaukan prinsip-prinsip teoretis yang paling masuk akal, dan
Ketiga, memperkenalkan persepsi yang bukan merupakan bagian dari dunia
persepsi yang ada. Semua itu merupakan langkah yang disebut oleh Feyerabend
sebagai kontra-induksi. Itu sebabnya kontra-induksi selalu masuk akal dan selalu
mempunyai kemungkinan untuk berhasil (counterinduction is, therefore, always
reasonable and it has always a chance of success).141
Sebagai ganti atas anti-metode, Feyerabend memasukkan beberapa prinsip
(bukan metode), yaitu prinsip pengembangbiakan (proliferation) dan prinsip apa
saja boleh (anything goes) yang telah penulis terangkan dalam bab sebelumnya.
Jadi dalam dalam kaitan ini kami hanya akan membahas tentang prinsip
pengembangbiakan yang secara harfiah berarti membiarkan semua berkembang
sendiri. Maksudnya kita tidak bekerja dengan sistem pemikiran, bentuk-bentuk
141 Ibid., hlm. 23.
kehidupan dan kerangka institusional yang tunggal. Ini berarti bahwa prinsip
pengembangbiakan juga menafikan adanya sikap otoritarianisme terhadap produk
pemikiran manusia yang paling absurd sekalipun.
Prinsip pengembangbiakan ini merupakan realisasi kritik dari alternatif
pemikiran Feyerabend yang pada prinsipnya bertujuan untuk mencapai tiga hal
utama: (1) memberikan model abstrak tentang kritik terhadap ilmu pengetahuan;
(2) mengembangkan konsekuensi-konsekuensinya; dan (3) membandingkan
konsekuensi-konsekuensi itu dengan ilmu pengetahuan. Berdasarkan hal yang
ketiga, Feyerabend mengharapkan bahwa perbandingan antara fenomena-
fenomena sejarah dan pandangan epistemologis mampu memberikan kriteria
penilaian yang holistik terhadap struktur aktual ilmu pengetahuan, sehingga
nantinya terbentuk suatu basis bagi kritisisme dan reformasi ilmu pengetahuan.142
Siasat Feyerabend ini, menurut W.H. Newton-Smith, adalah untuk
memperlemah kesetian kita terhadap kemantapan suasana dengan menciptakan
hal yang bertentangan dengan keadaan yang melarang kita untuk mengembangkan
berbagai teori, terutama teori yang bertentangan dengan satu teori yang telah
diterima oleh umum pada zaman sekarang ini. Smith mengatakan, “…
Feyerabend’s strategy is to weaken our allegiance to the consistency condition by
developing a case an incompatible counterrule which in this case enjoins us to
proliferate theories, especially theories incompatible with currently accepted
ones.”143
142 Prasetya T.W., op.cit., hlm. 56.143 W.H. Newton-Smith, op.cit., hlm. 131.
Prinsip pengembangbiakan berusaha menemukan dan mengembangkan
teori-teori yang tidak cocok dengan pandangan yang sudah lazim diterima.
Dengan demikian, prinsip ini tidak hanya memungkinkan adanya penemuan-
penemuan alternatif baru, tetapi juga membuka peluang bagi tampilnya kembali
teori lama yang sudah tidak diakui lagi keberadaannya.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa prinsip pengembangbiakan ini
bukan aturan metodologis, sebab ternyata ia juga menegaskan bahwa kemajuan
ilmu pengetahuan itu tidak dapat diperoleh dengan hanya mengikuti teori tunggal,
aturan atau metode apapun, melainkan dengan membiarkan teori-teori yang
beraneka ragam dan berbeda satu sama lain berkembang secara bebas.
2) Anti-Ilmu Pengetahuan (Against Science)
Anti-ilmu pengetahuan Feyerabend ini tidak berarti ia anti terhadap ilmu
pengetahuan itu sendiri, melainkan anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan
yang seringkali mengaburkan maksud dan tujuan utamanya. Dengan sikap ini,
Feyerabend ingin melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap
lebih unggul daripada bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti
sihir, voodoo, magi, mitos, dan lain sebagainya.
Ditegaskannya, ilmu pengetahuan menjadi pemikiran tunggal-mutlak
karena adanya propaganda dari para ilmuwan dan institusi terkait yang diberi
wewenang untuk selalu mempengaruhi kesadaran kolektif masyarakat tentang
hakikat dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sehingga ilmu pengetahuan yang
dianggap paling benar itu telah menguasai sistem kebenaran dunia ilmiah, dan
pada gilirannya menjadi semacam ideologi yang menindas kebudayaan alternatif.
Semboyan extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada
keselamatan) yang lebih dari satu abad lalu ada dalam tradisi gereja, diadopsi oleh
para ilmuwan dengan mengatakan extra scientiam nulla salus (di luar ilmu
pengetahuan tidak ada kebenaran).144 Walaupun dewasa ini tidak ada lagi orang
yang dihukum mati dengan dakwaan subversif atau “sesat” terhadap rumus-rumus
formal ilmu pengetahuan, tetapi mereka secara hukum konvensional mendapat
sanksi sosial yang justru lebih berat daripada batas-batas toleransi yang ada dalam
suatu masyarakat sekalipun.
Dari semua bentuk pengingkaran yang sangat radikal tersebut, Feyerabend
sejatinya ingin menyatakan bahwa ilmu pengetahuan hanya merupakan salah satu
gagasan terbuka dan plural dari sekian banyak pilihan ideologi yang ada dalam
masyarakat. Dengan begitu, Feyerabend ingin mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan itu bukanlah ideologi yang berisi omong kosong belaka. Maka tidak
wajar mendewa-dewakan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya pengetahuan
yang paling unggul dan bahkan paling menentukan kehidupan masyarakat. Karena
masalahnya terletak pada muatan ideologis dari komunitas para ilmuwan dan
pihak-pihak yang selalu berusaha menciderai kemurnian citra ilmu pengetahuan
dengan kepentingan-kepentingan subyektif-individual yang menyebabkan proses
idealisasi ilmu pengetahuan yang sebenarnya mengalami stagnasi. Mungkin
situasi inilah yang dikatakan oleh Richard Rorty bahwa epistemology is dead, atau
dalam konstruksi filsafat Feyerabend disebut sebagai anti-ilmu pengetahuan
(Against Science) itu.
144 Prasetya T.W., op.cit., hlm. 58.
Relevansi pemikiran yang dapat kita pertautkan makna aktualitasnya dari
dasar-dasar epistemologi Feyerabend di atas dengan fenomena budaya akademik
kita saat ini adalah bahwa kita perlu mengembangkan pola pikir—dalam bahasa
filsuf John Henry Newman—illative sense, yaitu bagian intelektual manusia yang
dapat mengandaikan adanya kompleksitas suatu obyek, dan kemungkinan
manusia mengambil sikap terhadap obyek tersebut. Mungkin illative sense ini
mirip dengan konsep phronesis dari Aristoteles, yakni semacam kebijaksanaan
untuk mengakui segala keterbatasan pengetahuan kita, tanpa kehilangan kepastian
bahwa kita dapat bicara mengenai kebenaran. Adanya pengakuan terhadap
kompleksitas berbagai persoalan kemanusiaan dan keterbatasan kemampuan
manusia menguasainya yang pada akhirnya mengandaikan keterbukaan terhadap
beragam persepsi, penafsiran dan perbedaan pendapat itu tidak lantas membuat
kita harus kehilangan sandaran pencarian perennial tentang adanya kemungkinan
bahwa kita dapat mencapai—betapapun mencapai disini mesti ditafsirkan sebagai
(makin) mendekati—hakikat kebenaran yang kita maksud.
BAB V
PENUTUP
I. Simpulan
Dari seluruh pembahasan tentang konstruksi epistemologis Paul Karl
Feyerabend beserta persoalan-persoalan dasarnya tersebut di atas, maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan penting sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend disusun atas
dasar protes terhadap proses pemapanan ilmu pengetahuan yang selama
ini didominasi oleh aliran Positivisme Logis dari Lingkaran Wina
(Vienna Circle) yang menempatkan dan merumuskan ilmu pengetahuan
sebagai kalkulasi aksiomatis semata. Disamping itu, prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan Feyerabend juga merupakan wujud dari
ketidaksetujuannya pada empirisme kontemporer dan teori mekanika
kuantum mutakhir dari Interpretasi Kopenhagen untuk menunjukkan
bahwa metodologi-metodologi yang telah ada sudah tidak sejalan atau
tidak cocok lagi dengan sejarah perkembangan fisika. Adapun prinsip-
prinsip ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh Feyerabend itu adalah
apa saja boleh (anything goes), ilmu tidak bisa saling diukur dengan
standar yang sama, ilmu tidak mengungguli bidang pengetahuan lain,
dan kebebasan individu.
2. Feyerabend juga berhasil mengembangkan sistem ilmu pengetahuan
revolusioner yang menjadi suatu analisis alternatif untuk
menginterpretasi dunia dengan metode anarkisme epistemologi yang
ditujukan untuk semakin menemukan hakikat ilmu pengetahuan yang
selama ini secara ideologis dianggap lebih unggul daripada bentuk
pengetahuan lain lewat kritik anti-metode (Against Method) dan anti-
ilmu pengetahuan (Against Science)nya. Selain itu, salah satu ide
penting Feyerabend lainnya sebagai penjelasan lanjutan dari tesis apa
saja boleh yang diusungnya adalah bahwa tidak ada keteraturan metode
atau teori dalam ilmu pengetahuan. Ia berargumen bahwa selama ini
para ilmuwan cenderung memakai standar-standar universal dan baku,
sehingga menghalangi berkembangnya kausalitas-kausalitas profesional
kita dan menegasikan pula pluralisme metodologi yang pada hakikatnya
bisa menjadi sarana kritisisme dan kemajuan ilmu pengetahuan itu
sendiri.
Corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Feyerabend, terlepas dari
kontroversi ilmiah yang menyertainya, telah mampu memberikan
perspektif baru untuk melepaskan diri dari segala bentuk
otoritarianisme ilmu pengetahuan yang dianggap Feyerabend tidak
ubahnya seperti sihir, mitos, magi, voodoo, dan tidak ubahnya juga
seperti “agama baru” pada masa Abad Pertengahan yang memonopoli
sistem kebenaran dalam masyarakat. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan
yang dipropagandakan menjadi ideologi tunggal-mutlak yang menindas
budaya ilmiah alternatif oleh para ilmuwan dan institusi terkait lain
semisal negara itu menurut keyakinan Feyerabend mesti dilawan
dengan penentangan metode yang anarkistik.
B. Saran-saran
1. Sebagai sebuah pemantik dan pengenalan awal dari wacana filsafat
ilmu pengetahuan Feyerabend, dalam skripsi ini penulis hanya sebatas
‘mengantarkan’ khalayak pembaca pada orientasi umum tentang
anarkisme epistemologi Feyerabend yang oleh sebagian kalangan
dianggap tidak memberikan tawaran metodologi yang jelas dan
sistematis, serta tidak memiliki standar aturan yang dinilai baku untuk
menentukan antara yang ilmiah dan yang non-ilmiah. Untuk itu, maka
saran singkat yang bisa penulis sampaikan adalah, bahwa di masa
mendatang mungkin alangkah lebih baik jika pengembangan kajian dari
tulisan ini lebih difokuskan pada implikasi-implikasi sosial-praktis dari
prinsip apa saja boleh (anything goes), ilmu tidak bisa saling diukur
dengan standar yang sama, ilmu tidak harus mengungguli bidang
pengetahuan lain dan kebebasan individu Feyerabend di tengah arus
liberalisasi pemikiran masyarakat kontemporer. Dengan begitu, maka
perdebatan filosofis tentang Feyerabend tidak hanya berkisar pada satu
sketsa pemikiran saja, sebab masih banyak padanan ide dan ragam
penafsiran lain yang bisa dielaborasi secara tajam dan mendalam dari
tesis-tesis utama Feyerabend yang begitu kontroversial dan ekstrem itu
guna memperoleh bekal pemahaman yang lebih benar dan lengkap
tentang struktur fundamental dari filsafat Feyerabend itu sendiri.
2. Dalam mengkaji pemikiran filsafat Feyerabend ini kita dituntut untuk
melakukan apropriasi, yaitu kemampuan memahami orang lain tanpa
terhanyut ke dalam alam pikirannya secara total. Sebab kerapkali krisis
persepsi terhadap pluralitas dan kompleksitas dari setiap dialektika
pemikiran membuat kita tidak bisa menangkap dan menggali muatan-
muatan filosofis yang menjadi asumsi dasar masalah tersebut, sehingga
tidak jarang menimbulkan pemaknaan yang justru kontraproduktif.
Bahkan yang lebih parah lagi, batas-batas yang kita paksakan atas
persoalan yang sejatinya kompleks itu sering merupakan penjelmaan
dari sikap-sikap subyektif-egoistik kita. Oleh karena itu, selain beresiko
menghasilkan rumusan pemecahan masalah yang keliru, kita pun
cenderung bersikap fanatik—mati-matian membela pendapat kita tanpa
peluang menyadari bahwa pendapat kita itu salah. Namun dengan
adanya unsur “relativisme saintifik”—istilah Haidar Bagir—dalam
rumpun teori ilmu pengetahuan, tentu akan membuat kita tidak pernah
merasa benar sendiri serta tidak mudah merasa puas dengan segala
pengetahuan yang telah kita peroleh. Sebab studi filsafat sebagai pilar
utama rekonstruksi pemikiran lewat metodologi berpikirnya yang ketat,
mengajar kita untuk senantiasa meneliti, mendiskusikan dan menguji
kesahihan serta akuntabilitas setiap gagasan—termasuk anarkisme ilmu
pengetahuan Feyerabend—agar bisa dipertanggungjawabkan secara
intelektual dan ilmiah. Evolusi ilmu pengetahuan dan kebudayaan
manusia telah sampai ke zaman yang memaksa kita untuk berpikir
holistik, sistemik dan refleksif-mendalam untuk memahami realitas
beserta problem-problem besar yang diakibatkannya.
3. Di samping itu juga, perlu kecermatan dan ketelitian dalam menelaah
setiap rekonstruksi filosofis yang cukup provokatif dari Feyerabend,
sehingga kita mampu mencerna makna substansial dari setiap realitas
yang ada. Anarkisme, sebagaimana ditegaskan Feyerabend berbeda
dengan anarkisme politis maupun religius. Demikian juga, anything
goes tidak berarti pula tanpa batas-batas fungsional yang mengikuti
kecenderungan individual yang tidak berarti dan tidak bernilai. Juga
pengertian Against Method, tidak lantas itu meniadakan atau mengganti
peran dan fungsi teoretis ilmu pengetahuan yang telah dirintis oleh para
ilmuwan, tetapi itu menurut Feyerabend, dipakai untuk menunjukkan
bahwa ada aspek relativitas teori ilmu pengetahuan yang selalu terbatas
oleh adanya ketergantungan observasi pada teori. Atau Against Science,
yang tidak bermakna anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri,
melainkan bahwa subyektivitas para ilmuwan dalam penetapan sebuah
proposisi atau hipotesis ilmu pengetahuan menyebabkan praktek ilmiah
tidak bisa dijadikan sebagai simbol superioritas ilmu pengetahuan atas
bentuk atau bidang pengetahuan lain. Maka saran akhir yang bisa
penulis usulkan adalah dibutuhkan sikap kehati-hatian dalam
memahami dan menyelidiki pokok-pokok pikiran filsafat ilmu
pengetahuan Feyerabend dengan menghindari penafsiran yang dangkal
dan terpilah-pilah.
DAFTAR PUSTAKA
Asdi, Endang Daruni dan A. Husnan Aksa. Filsuf-filsuf Dunia dalam Gambar. Yogyakarta: Karya Kencana, 1981.
Adisusilo, Sutardjo. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Androngi. Filsafat Alam Semesta. Semarang: Bintang Pelajar, 1986.
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Alwaah, 1993.
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna. terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali. Bandung: Mizan, 1998.
Beerling, R.F. Filsafat Dewasa Ini. Jakarta: Balai Pustaka, 1951.
Brouwer, Martinus Anton Wesel. Psikologi Fenomenologis. Frans M. Parera (penyunting). Jakarta: Gramedia, 1984.
Brouwer, Martinus Anton Wesel dan M.P. Heryadi. Sejarah Filsafat Barat dan Sezaman. Bandung: Alumni, 1986.
Bertens, Kees. Panorama Filasafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987.
Bakker, Anton dan A. Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.
Beerling, et.al., Pengantar Filsafat Ilmu. alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Bunge, Mario Augusto. Philosophy of Science, Volume One: From Problem to Theory, Revised Edition. New York: Transaction Publishers, 1998.
Balashov, Yuri and Alex Rosenberg (eds.). Philosophy of Science: Contemporary Readings. London: Routledge, 2002.
Bernadien, Win Usuluddin (ed.). Dance of God, Tarian Tuhan. Yogyakarta:
Apeiron Philotés, 2003.
Chalmers, A.F., Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya. Jakarta: Hasta Mitra, 1982.
Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Epistemologi dan Logika. Bandung: Remadja Karya, 1985.
Epping, A., Th. C. Stockum dan Juntak S.F., Filsafat Ensie: Eerste, Nederlandse, Systematisch, Ingerichte, Encyclopaedie. Bandung: Jemmars, 1983.
Feyerabend, Paul Karl. Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge. London: New Left Books, 1975.
__________________. “How to Defend Society Against Science”, dalam Ian Hacking (ed.). Structure Revolutions. New York: Oxford University Press, 1981.
__________________. Farewell to Reason. New York: Verso, 1987.
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi. Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 2002.
G.W., Bawengan. Sebuah Studi Tentang Filsafat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.
Gie, The Liang. Lintasan Sejarah Ilmu. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna, 1998.
____________. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty, 1999.
Gallagher, Kenneth T., Epistemologi (Filsafat Pengetahuan). P. Hardono Hadi (penyunting). Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hanafi, A., Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981.
_______, Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983.
Hamersma, Harry. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1992.
Harris, James Franklin. Against Relativism: A Philosophical Defense of Method. La Salle, Illinois: Open Court, 1997.
Howard, Roy J., Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika; Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis. Ninuk Kleden-Probonegoro (ed). Bandung: Nuansa, 2000.
Kuhn, Thomas S., Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. terj. Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat. alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Losee, John. Philosophy of Science and Historical Enquiry. Oxford: Clarendon Press, 1974.
Laer, Henry van. Filsafat Sains Bagian Pertama: Ilmu Pengetahuan Secara Umum. Yudian W. Asmin (ed.). Yogyakarta: Pusat Penterjemah dan Penulis Muslim Indonesia, 1995.
_________. A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth Edition. New York: Oxford University Press, 2001.
Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. terj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan, 2001.
Ladyman, James. Understanding Philosophy of Science. London: Routledge, 2002.
Lubis, Akhyar Yusuf. Feyerabend: Penggagas Anti-Metode. Jakarta: Teraju, 2003.
Magnis-Suseno, Franz von. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Melsen, A.G.M. van. Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita. terj. Kees Bertens. Jakarta: Gramedia, 1992.
Mudhofir, Ali. Kamus Istilah Filsafat. Yogyakarta: Liberty, 1992.
__________. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Gadjah Mada University Press, 1996.
Popper, Karl Raimund. The Logic of Scientific Discovery. New York: Harper & Row Pub., 1968.
Prawirohardjo, Soeroso H. Meta-Teoritis atas Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya Bagi Program Pendidikan Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1984.
Peursen, Cornelis Anthonie van. Susunan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia, 1988.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994.
Piaget, Jean. Strukturalisme. terj. Hermoyo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Polanyi, Michael. Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan. terj. Michael Dua. Jakarta: Gramedia, 1996.
Piliang, Yasraf Amir. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKíS, 1999.
_______________. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
Qadir, C.A. (penyunting). Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. terj. Bosco Carvalho, et.al. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Runes, Dagobert D. (ed.). Dictionary of Philosophy. Littlefield Adams & Co., Totowa: New Jersey, 1971.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Suppe, Frederick (ed.). The Structure of Scientific Theories. Urbana University of Illionis Press, 1974.
Siswanto, Joko. Kosmologi Einstein. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Smith, W.H. Newton. The Rationality of Science. Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981.
Smith, Huston. Kebenaran Yang Terlupakan: Kritik atas Sains dan Modernitas. terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD, 2001.
Sutrisno, F.X. Mudji dan F. Budi Hardiman (ed.). Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Semiawan, Conny R., et.al., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Bandung: Rosdakarya, 1998.
Suriasumantri, Jujun Suparjan. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
____________ (penyunting). Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Salam, Burhanuddin. Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Tim Redaksi Driyarkara (penyunting). Hakikat Ilmu dan Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: Gramedia, 1993.
Tim Penulis Rosda. Kamus Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Verhaak, Christiaan R.O.M. dan Robert Haryono Imam. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: Gramedia, 1991.