Upload
letram
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ASTROPHOTOMETRY HILAL DALAM PENENTUAN
AWAL BULAN HIJRIYAH
REVISI MAKALAH
Disampaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah : Astronomi
Dosen pengampu : Dr. KH. Ahmad Izzuddin, M.Ag
Oleh :
SAKIRMAN
NIM. 1700029002 Konsentrasi : Ilmu Falak
PROGRAM DOKTOR STUDI ISLAM
PASCASARJANA
UIN WALISONGO SEMARANG
2017
0
A. Pendahuluan Hila>l (bulan sabit muda) kerap menjadi tranding topic menjelang
penetapan awal waktu ibadah Puasa, Hari Raya Idul Fitri, dan Idul Adha. Hal
ini menjadi memicu adanya pertentangan antara hisab dan rukyat saat sidang
Isbat. Lantaran, masing- masing ormas menggunakan metode yang berbeda
dalam menetapkan awal bulan hijriyah. Terdapat beberapa metode penetapan
awal bulan hijriyah yang berkembang, salah satunya adalah pengkajian
terhadap eksistensi hila>l atau populer dengan istilah rukyat al-hila>l (observasi
Bulan sabit pertama).1
Eksistensi hila>l menjadi sangat penting untuk diketahui sebagai
penanda masuknya bulan baru pada kalender hijriyah. Salah satunya dengan
melakukan observasi (rukyat), yaitu usaha melihat hila>l atau bulan sabit
pertama di langit (ufuk) sebelah barat sesaat setelah matahari terbenam
menjelang pergantian bulan baru. Rukyat yang dapat dijadikan dasar
penetapan awal bulan baru pada kalender hijriyah ada lah rukyat al-mu’tabar (observasi ilmiah), yakni rukyat yang dapat dipertangungjawabkan secara
hukum dan ilmiah.2
Laporan hasil rukyat al-hila>l dari Cakung, Jepara, dan Gresik, untuk
penetapan 1 Syawal 1432 hijriyah sempat menjadi kontroversi karena dari
ketiga laporan tersebut ditolak oleh MUI dan tim Isbat yang dilakukan oleh
Kementerian Agama RI, dengan alasan laporan hila>l dari ketiga tempat
tersebut tidak berdasarkan observasi ilmiah atau rukyat al-hila>l aktual,3
karena kemungkinan hila>l yang sesungguhnya tidak dapat terlihat. Hal itu
diperkuat dengan adanya laporan yang disampaikan Kepala Badan Hisab
1 Pengamatan hila>l tidak hanya dilakukan umat Islam saja, bahkan hal ini sudah
dilakukan oleh bangsa Babilonia jauh sebelum awal penanggalan Islam diresmikan, pada zaman
khalifah Umar bin Khatab (640 M). Pada awalnya, bangsa Babilonia menggunakan parameter
perbedaan waktu terbenam bulan dan matahari, dan umur bulan dari konjungsi untuk
memprediksi teramatinya hila>l. Analisis yang modern menggunakan posisi relatif bulan dan matahari, dan parameter lainnya seperti luas sabit bulan yang terbentuk, cuaca dan aspek
psikologis. Para ilmuwan yang menganalisis menggunakan metode ini di antaranya
Fottheringham (1911), Bruin (1977), Ilyas (1984), Schaeffer (1988). Metode modern ini
diturunkan menggunakan sampel hasil pengamatan yang sangat banyak dalam rentang waktu
yang cukup lama. 2 Rukyat yang dapat dipertangungjawabkan secara hukum dan ilmiah menurut Jayusman (2010),
minimal harus memenuhi syarat sebagai berikut: Pertama: rukyat dilaksanakan pada saat
matahari terbenam pada malam tanggal 30 atau akhir 29. Kedua: rukyat dilaksanakan dalam keadaan cuaca
cerah tanpa penghalang antara perukyat dan hila>l. Ketiga, rukyat dilaksanakan
dalam keadaan posisi hila>l positif terhadap ufuk (di atas ufuk). Keempat, rukyat dilaksanakan dalam keadaan
hila>l memungkinkan untuk dirukyat (imka>n ar-rukyat). Kelima, hila>l yang dilihat
harus berada di antara wilayah titik barat antara 30 derajat ke Selatan dan 30 derajat ke Utara. Ketika
matahari terbenam atau sesaat setelah itu, langit di sebelah barat berwarna kuning kemerah-merahan
(Syafaq), sehingga antara cahaya hila>l dengan cahaya syafaq yang
melatarbelakanginya tidak begitu kontras. Maka bagi mata orang awam yang belum terlatih melakukan rukyat akan menemui kesulitan menemukan hila>l.
3 Secara etimologis rukyat al-hila>l aktual artinya adalah benar-benar melihat bulan sabit. Sementara itu secara terminologis adalah salah satu metode penentuan awal bulan kamariah yang memadukan antara hisab dan rukyat.
1
Rukyat Kemenag bahwa, hasil pengamatan rukyat di 96 lokasi menyatakan
hila>l tidak terlihat.4
Kesaksian melihat hila>l tidak serta merta harus diterima hanya
karena saksi bersedia untuk disumpah. Hila>l bukanlah benda ghaib, hila>l
adalah obyek nyata yang bisa diamati, dianalisa dan diprediksi posisi
keberadaannya secara ilmiah. Kesaksian yang tidak rasional memang
seharusnya ditolak. Misalnya, ketika cuaca tidak bersahabat atau mendung,
posisi langit diselimuti oleh awan tebal, pantulan cahaya lampu, hamburan
atmosfer dan kontras cahaya syafaq yang mempengaruhi cahaya hila>l. Maka
bisa jadi obyek yang terlihat di Cakung, Jepara, dan Gresik bukanlah hila>l
yang sesungguhnya, melainkan goresan awan yang terkena sinar matahari
yang akhirnya terbentuk seperti hila>l atau bisa juga hila>l imajiner yang
timbul karena terobsesi oleh keinginan yang kuat untuk melihat hila>l.
Mata manusia tidak sanggup menangkap cahaya yang sangat redup pada kedua ujung lengkungan sabit hilāl. Schaefer pernah membuat model teoritik hubungan antara besarnya lengkungan sabit hilāl dengan kecerlangan hilāl. Dengan limit sensitivitas mata manusia sekitar 8 magnitudo (besaran kecerlangan relatif dalam astronomi) pada jarak sekitar 8 derajat hilāl hanya akan terlihat seperti goresan tipis yang tanpa ada tanda-tanda lengkungan, yang terlihat hanya panjang lengkungan sabit hilāl sekitar 40 derajat, atau
sepersembilan lingkaran. Sehingga sangat sulit terdeteksi sebagai hilāl. 5
Mata manusia merupakan alat detektor alami yang dapat merekam
cahaya. Akan tetapi, kemampuan mata manusia menurut Admiranto sangat terbatas karena hanya dapat menyimpan hasil pengamatan dalam ingatan si pengamat saja sehingga upaya analisis secara kuantitatif tidak dapat dilakukan. Oleh sebab itu, dalam hal ini peneliti melakukan pemotretan hila>l
dengan menggunakan alat detektor6 yang dapat dianggap sebagai
‚perpanjangan tangan‛ dari mata. Karena secara fisis, kenampakan hilāl
dapat
4 Sebanyak 60 titik lokasi pengamatan hilal di Indonesia diantaranya; Papua, Maluku,
Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kalimantan Timu r, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung Barat, Jambi, Sumatera Barat, dan Riau menyatakan tidak melihat hila>l.
5 Schaefer, B. E., Length of the Lunar Crescent, Q. Jl R . astr. Soc. 32, 265-277, 1991.
6 Alat-alat detektor itu antara lain; pelat dan film fotografis, kamera CCD, fotometer
fotoelektrik serta spektograf. Pelat potret adala pelat kaca yang dilapisi bahan kimia peka cahaya yang
kemudian dipasang pada fokus teleskop untuk merekam cahaya bintang yang datang. Fotografis
digunakan untuk merekam cahaya bintang yang sangat lemah. Prinsipnya , semakin lama proses
pencahayaan maka semakin banyak yang terekam di pelat potret. Dengan fotometer fotoelektrik
cahaya yang jatuh pada objektif diteruskan ke sebuah permukaan peka cahaya. Selanjutnya, intensitas
cahaya yang jatuh diubah menjadi arus l istrik sehingga perubahan cahaya bintang terhadap waktu
dapat diamati. Perkembangan lebih lanjut terdapat alat yang disebut dengan CCD (charge-coupled
device), alat ini berlaku seperti kamera karena mampu merekam objek langit yang bukan hanya berupa
benda titik. Selain itu, CCD memiliki kepekaan yang lebih tinggi dari pada alat pelat fotografi.
2
dianalisa menggunakan berbagai perangkat teknologi yang reliable dan
precise. Salah satunya dengan menggunakan fotometri. 7
Fotometri adalah cabang dari astronomi yang mempelajari tentang
informasi cahaya yang dikirim dari angkasa luar, baik berupa bintang atau
benda langit lainnya. Fotometri merupakan bagian dari fisika optik yang
mempelajari tentang kuat cahaya 8 (intensitas) dan derajat penerangan
(brightness). Dalam kajian ini, akan melakukan observasi dengan mengabadikan citra hilāl dengan kamera DSLR. Setelah data terkumpul,
kemudian dianalisis mengunakan software Iris-5.58. Sehingga dapat diketahui intensitas kuat cahaya hilāl dan cahaya syafaq, ketika intensitas
cahaya syafaq mulai redup, maka cahaya hilāl semakin kuat dan mudah
teramati. Sebaliknya, semakin kuat intensitas cahaya syafaq, maka hilāl
semakin sulit untuk diamati. Menurut Djamaluddin, kajian tentang visibilitas hilāl di Indonesia
belum dilakukan secara sistemik berdasarkan analisis astronomis untuk menghasilkan kriteria imka>n ar-rukyat. Karena memang secara astronomi, cahaya hilāl yang dilihat manusia sesungguhnya adalah pantulan atau refleksi dari cahaya matahari yang sampai ke bumi. Setiap saat, posisi hilāl relatif terhadap bumi dan matahari sehingga mengalami perubahan. Akibatnya, luasan cakram hilāl yang terkena sinar matahari setiap saat mengala mi
perubahan.9
Berdasarkan pengamatan hilāl internasional yang dilakuakan oleh
Danjon, Ia menganalisis hubungan jarak sudut matahari-bulan dan besarnya lengkungan sabit pada hilāl. Dari hasil analisis observasi yang dilakukannya sejumlah 75 data yang terkumpul dapat diketahui bahwa semakin dekat jarak sudut matahari-bulan, lengkungan sabit yang bisa teramati semakin kecil. Data-data itu menunjukkan bahwa hilāl tidak mungkin teramati bila jarak sudut matahari-bulan kurang dari 7 derajat. Berdasarkan rumusan Danjon tersebut, astronom menolak laporan pengamatan hilāl dengan mata telanjang
bila jarak sudut matahari-bulan kurang dari 7 derajat. 10
Visibilitas hilāl (penampakkan bulan sabit pertama) menjadi salah
satu parameter utama yang umum digunakan dalam menentukan besarnya
nilai kontras minimum yang diperlukan untuk mengamati hilāl.11
Karena hilāl merupakan fenomena fisis ekstraterestrial dan atmosferik menurut Sudibyo,
7 Admiranto Gunawan, Menjelajah Bintang Galaksi dan Alam Semesta , (Yoyakarta;
Kanisius, 2009), h. 11. 8 Cahaya adalah suatu bentuk energi yaitu energi pancaran dan diterima oleh indera
penglihatan (retina mata). Secara eksperimental, mata sensitif terhadap panjang gelombang daerah rendah dari pancaran cahaya sehingga dapat membedakan intensitas antara dua sumber cahaya yaitu dengan mengukur jumlah daya yang dipancarkan oleh cahaya tampak. Jumlah fluks pancaran cahaya yang sama oleh mata diterima berbeda untuk tiap{-tiap warna. Umumnya warna hijau paling sensitif untuk mata ( - = 5550A).
9 Thomas Djamaluddin, Visibilitas Hilāl di Indonesia, 2000.
10 Louay f. Fathoni., The Danjon Limit Of First Visibility Of The Lunar Crescent,
(University of Durham: Departemen of Physics, tp., tt. ), h. 1932-1936 11 Hoffman, R . E. Observing The New Moon, Mon. Not. R. Astron. Soc. 340, 1039-1051,
2003.
3
dalam usia yang sangat muda hilāl sulit untuk diamati karena cahaya hilāl
sangat tipis dan kalah terang dengan cahaya syafaq. Kajian tentang visibilitas hilāl di Indonesia dengan menggunakan analisis fotometri
tergolong sangat langka, untuk tidak mengatakan belum ada sama sekali. 12
B. Review Literatur Bruin adalah orang pertama yang menggunakan alasan-alasan
fotometri untuk mendukung kriteria visibilitas hilal yang dibangun. Schaefer adalah orang pertama yang menerapkan semua metode fotometri untuk memprediksi visibilitas hilal. Ia menghitung baik kecerlangan hilal maupun kecerlangan langit secara langsung dan membandingkan nilai kontras antara
keduanya dengan menggunakan batas kontras yang telah diketahui. 13
Adapun buku teks yang secara komprehensif membahas tentang
fotometri adalah ‚Fotometri dan Spektroskopi Bintang‛ dalam buku Olimpiade Astronomi. Buku ini memang tidak secara khusus menerangkan tentang fotometri visibilitas hilāl dan cahaya syafaq, tetapi konsep dasarnya dapat dipergunakan untuk keperluan menghitung cahaya bintang dan benda-benda langit lainnya. Konsep fotometri diterangkan dalam buku ini diharapkan dapat membantu menguraikan secara teoritis bagaimana
menentukan intensitas cahaya hilāl dengan analisis fotometri. 14
Tulisan yang dipublikasikan dalam bentuk jurnal astronomi anatara
lain: Danjon menulis tentang ‚The Danjon Limit Of First Visibility Of The
Lunar Crescent‛ dalam penelitiannya, Danjon melaporkan hasil pengamatan hilāl. Ia menganalisis hubungan jarak sudut matahari-bulan dan besarnya
lengkungan sabit pada hilāl. Dari hasil analisis observasi yang dilakukan, dari
75 data yang terkumpul dapat diketahui bahwa semakin dekat jarak sudut matahari-bulan, lengkungan sabit yang bisa teramati semakin kecil. Data-data itu menunjukkan bahwa hilāl tidak mungkin teramati bila jarak sudut
matahari-bulan kurang dari 7 derajat. Rumusan ini kemudian dikenal dengan istilah limit Danjon. Berdasarkan limit Danjon tersebut, astronom menolak laporan pengamatan hilāl dengan mata telanjang bila jarak sudut Matahari-
Bulan kurang dari 7 derajat. 15
Tulisan yang dipublikasikan dalam bentuk jurnal lainnya adalah karya
dari Schaefer, menulis tentang ‚Lenght of the Lunar Crescent‛ dan ‚Lunar
Crescent Visibility‛ dalam tulisan tersebut, Schaefer membantah keras hasil
analis obesrvasi Danjon. Menurut Schaefer, limit Danjon disebabkan batas
sensitivitas mata manusia. Mata manusia tidak sanggup menangkap cahaya
yang sangat redup pada kedua ujung lengkungan sabit hilāl. Dalam
12
Ma’rufin Sudibyo, Variasi Lokal dalam Visibilitas Hilaal: Observasi Hilaal di Indonesia Pada 2007–2009, 2010.
13 Bruin, F., The First Visibility of Lunar Crescent, (Vistas in Astronomy 21, , 1977), h.
331-358. 14 Djoni Dawanas, Astronomi, (Bandung: Tim Pembina Olimpiade Astronomi, 2010),
h15.
15 Louay f. Fathoni., The Danjon Limit Of First Visibility Of The Lunar Crescent, (University of Durham: Departemen of Physics, tp., tt. ), h. 1932, 1936.
4
pembuktiannya, Schaefer membuat model teoritik hubungan antara besarnya
lengkungan sabit hilāl dengan kecerlangan hilāl tesebut. Dengan limit
sensitivitas mata manusia sekitar 8 magnitudo (besaran kecerlangan relatif
dalam astronomi) pada jarak sekitar 8 derajat hilāl hanya akan terlihat seperti
goresan tipis yang tanpa ada tanda-tanda lengkungan, yang terlihat hanya
panjang lengkungan sabit hilāl sekitar 40 derajat, atau sepersembilan
lingkaran. Sehingga sangat sulit terdeteksi sebagai hilāl. Selain karya-karya di atas, karya dari Mohammad Ilyas, seorang
muslim yang kini mengepalai International Islamic Calendar Program (IICP) di Malaysia, juga telah mengumpulkan banyak bukti pengamatan hilāl di
seluruh dunia untuk menentukan kriteria hilāl agar bisa teramati. Dalam
penelitian Ilyas yang berjudul ‚Limiting Altitude Separation In The New Moon’s First Visibility Criterion‛ yang sebelumnya mengacu pada penelitian
yang telah dilakukan Bruin, Ilyas membahas tentang pengaruh kecerlangan langit dan besar nilai kontras terhadap visibilitas hilāl. Namun sekali lagi
penjelasan yang ia berikan tidak memberikan gambaran yang lengkap tentang karakteristik kecerlangan langit terhadap visibilitas hilāl. Masih menurut
Ilyas, bulan yang jarak sudutnya lebih dari 7 derajat dari matahari belum tentu
dapat teramati. 16
Selain karya-karya monumental di atas, terdapat beberapa tulisan
yang terkait dengan kajian serupa antara lain karya: Thomas Djamaluddin,
yang berjudul ‛Visibilitas Hilāl di Indonesia‛ ‚Antara Limit Astronomis dan
Harapan Teleskop Rukyat Tantangan Rukya tul Hilāl 1 Syawal 1416 H‛,
‚Astronomi Salah Satu Solusi Penyatuan Kalender Islam.‛ Dari ketiga tulisan
tersebut, Djamaluddin menekankan akan pentingnya penggunaan parameter
astronomi modern sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan
penentuan awal bulan hijriyah.
Penelitian dalam bentuk tesis yang berhubungan dengan fotometri
pernah dilakukan oleh Nihayatur Rohmah, yang membuat karya tulis dengan
judul ‚Penentuan Waktu Shalat Isya’ dan Shubuh dengan Aplikasi
Fotometri‛. Dari penelitian yang telah dilakuakan, dapat diketahui bahwa di
Indonesia (di daerah Madiun) memberikan hasil nilai median -18,10 derajat
untuk sudut kerendahan matahari awal shubuh dan posisi matahari dari bawah
horizon (altitude) sebesar -14, 54 derajat. Selain itu dapat dikesimpulkan
bahwa berdasarkan pengamatan dilapangan, interval matahari terbit berkisar
0° 58´ sampai 1° 21´ bertepatan saat munculnya fajar shadiq. 17
C. Proble matika Hilal dan Syafaq
1. Definisi Hilal Di Indonesia, kata hila>l sangat populer di kalangan kaum muslimin
khususnya ketika menjelang perayaan Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah dan
sudah menjadi bahsa baku, terbukti sudah dimuat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Menurut kamus ini, kata hilal berarti bulan sabit atau
16
Mohammad Ilyas, Limiting Altitude Separation In The New Moon’s First Visibility Criterion, 1988.
17 Nihayaturrohmah., Pengukuran Kuat Intensitas Cahaya Ufuk dalam Penentuan Waktu Syafaq/Akhir Senja Astronomi. Tesis, 2010.
5
bulan yang terbit pada tanggal satu bulan kamariah.18
Namun pengertian
hilal tidak banyak dijumpai dalam kitab-kitab tafsir karya ulama Indonesia. Sebagai contoh, Muhammad Yunus dan Oemar Bakry, yang mengartikan hilal dengan bulan. Sementara itu, Bachtiar Surin dalam Tafsir al-Zikra mengartikan hilal dengan bulan muda. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Hasbi as-Siddieqy yang menyebutkan bahwa hilal adalah bulan
baru.19
Dalam karya ilmuan dan pakar ilmu falak di Indonesia seperti
Muhyiddin Khazin, sebagaimana diuraikan dalam Kamus Ilmu Falak, Ia menjelaskan bahwa hila>l atau ‚bulan sabit‛, yang dalam astronomi dikenal dengan nama crescent, adalah bagian bulan yang tampak terang dari bumi sebagai akibat cahaya matahari yang dipantulkan olehnya pada hari terjadinya ijtima’ sesaat setelah matahari terbenam. Hila>l ini dapat dipakai sebagai pertanda pergantian bulan kamariah. Apabila setelah matahari terbenam hilal tampak, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan
tanggal satu bulan berikutnya. 20
Menurut Profesor Riset Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaludin, hila>l adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hila>l jangka panjang, keberadaan hila>l dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-
matahari sekian menit. 21
Susiknan Azhari dalam artikelnya yang berjudul ‚Membangun
Kebersamaan di Tengah Perbedaan Kasus 1 Syawal 1427 H‛ menyatakan bahwa konsep hila>l sangat beragam (divergensi), diantaranya adalah pertama, hila>l adalah bulan sabit yang dapat dilihat pertama kali dan kedua,
hila>l adalah bulan yang sudah, melewati fase ijtimak.22
Konsep pertama
merujuk pada ahli rukyat, sedangkan konsep kedua banyak dipakai ahli
hisab.23
Moedji Raharto dalam artikelnya yang berjudul ‚Sumber
Keragaman Penanggalan Islam‛ menyatakan bahwa dari segi metodologi
keilmuan hisab dan rukyat menampilkan sesuatu yang sama dengan cara
yang berbeda. keduanya ingin mengetahui adanya penampakan hila>l.
18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 307.
19 Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al -Quranul Madjied ‚An-Nur‛ , cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), h. Iii.
20 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), h. 30.
21 Thomas Djamaluddin, Antara Limit Astronomis dan Harapan Teleskop Rukyat Tantangan Rukyatul Hilāl 1 Syawal 1416 H, 2003.
22 Dengan catatan pertama , asal ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari (sunset) dan kedua, asal bulan di atas ufuk pada waktu terbenam matahari setelah ijtimak.
23 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, cet. II, edisi revisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 8.
6
Menurutnya pula, rukyat tidak lain adalah metodologi observasi langsung,
sedangkan hisab mencoba mengembangkan kemampuan akal melalui
metode induksi dan deduksi untuk memahami realitas penampakan hila>l
yang telah diperoleh dari pengalaman rukyat. Sudibyo, secara operasional hila>l didefinisikan sebagai bulan
dalam fase sabit terkecil dengan usia termuda yang hanya nampak pasca
terbenamnya matahari. Sedangkan hila>l tua secara operasional didefinisikan
sebagai Bulan dalam fase sabit terkecil dengan usia tertua yang hanya
nampak menjelang terbitnya matahari. Definisi hila>l bisa beragam, karena hilal dalam terminologi bahasa
memiliki makna generik yang beragam pula. Tapi, itu bagian dari riset
ilmiah, semua definisi di atas semestinya saling melengkapi satu dengan
lainnya. Bukan dipilih definisi secara parsial, melainkan hila>l harus
didefinisikan dengan sesuatu yang komprehensif. Sebagaimana yang telah
diuraikan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa hila>l
Hila>l adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat
setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis,
dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai
garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari
data-data rukyat hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh
kriteria hisab tinggi minimal 3 derajat bila jaraknya dari matahari 6 derajat,
berumur lebih dari 16 jam bagi pengamat di daerah tropik dan berumur
lebih dari 20 jam bagi pengamat di lintang tinggi dan beda waktu terbenam
bulan- matahari maksimal 40 menit. Dalam astronomi, hila>l (the first visible crescent) difahami sebagai
sabit bulan termuda dengan ukuran tertentu sehingga bisa dikenali oleh mata
bugil manusia, secara fisik hila>l merupakan bagian dari fase bulan. Menurut
Moedji Raharto, dalam artikelnya ‚Hisab-Rukyat Berdasarkan Astronomi‛
menjelaskan bahwa hilal dalam tinjauan astronomi adalah: 1) Hila>l adalah sabit bulan setelah ijtimak atau konjungsi dan pada saat
matahari terbenam yang terdekat setelah ijtimak, posisi bulan masih di atas horizon. Dalam hal ini fraksi luas sabit bulan yang disebut dengan
hilal adalah F > 0% dan tinggi bulan hbulan > 0ᵒ pada saat t = waktu
matahart terbenam. 2) Hila>l adalah sabit bulan yang bisa diamati oleh mata bugil manusia
pertama kali setelah ijtimak. Secara implisit pada saat matahari terbenam yang terdekat setelah ijtimak. Dalam hal ini fraksi luas sabit bulan yang
disebut sebagai hilal adalah F > Fkritis (F > 0.7% - 1%) dan tinggi bulan
hbulan > hkritis dan hkritis > 0ᵒ pada saat t = t0 + Δt . t = waktu melihat hilal, t0
= waktu matahari terbenam Δt = selang waktu antara penampakan hilal dengan waktu matahari terbenam.
3) Hila>l merupakan sabit bulan halusinasi, yaitu beberapa kasus keberhasilan melihat hilal, padahal pada saat pengamatan kondisi langit di horizon barat tempat matahari dan bulan terbenam mendung, berawan tebal sehingga tidak memungkinkan bisa melihat matahari yang akan
terbenam, serta beberapa kasus keberhasilan melihat hilal, padahal pada
7
saat pengamatan bulan telah terbenam lebih dahulu dari matahari ata u
bulan telah terbenam, beberapa kasus kebrhasilan melihat hilal, padahal
ijtimak belum berlangsung. Saat bulan baru (new moon), tidak ada cahaya bulan yang nampak.
Keesokan harinya bulan sabit tipis (waxing crescent) nampak di ufuk barat
sebelum terbenam matahari. Setiap hari, luasan cahaya bulan tersebut terus
membesar, hingga setelah kira-kira tujuh hari kemudian mencapai setengah
dari luasan cakram bulan. Saat itu disebut first quarter, karena kira-kira
umur bulan adalah seperempat bulan (month). Luasan bulan terus
membesar hingga kira-kira 14 hari setelah bulan baru (new moon), luasan
cakram bulan mencapai maksimum 100% yang disebut dengan bulan
purnama (full moon). Selanjutnya, luasan cahaya cakram bulan mulai me
ngecil hingga kembali mencapai setengah luasan, yang disebut sebagai fase last quarter. Kemudian bulan kembali berbentuk bulan sabit tipis (waning crescent) yang nampak di ufuk timur sebelum matahari terbit. Akhirnya,
bulan kembali mengalami fase bulan baru dan begitu seterusnya. Bulan baru sebetulnya terbit di sebelah timur hampir bersamaan
dengan terbitnya matahari, berada tepat di tengah langit. Tenggelamya hila>l juga hampir bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat. Namun, selama sejak terbit sampai hampir tenggelam, hila>l tidak dapat terlihat karena intensitas cahayanya kalah jauh dengan sinar matahari. Ketika menjelang matahari tenggelam, intensiatas cahaya matahari
semakin lemah, maka tampaklah hi la>l.24
Hila>l adalah sabit bulan yang paling muda (setelah ijtimak) yang
masih dapat disaksikan dengan mata telanjang (neeked eye). Dalam
astronomi bentuk sabit bulan dikenal berkaitan dengan fase bulan, siklus
penampakan wajah bulan dari permukaan bumi, misalnya fase bulan
purnama ke fase purnama lagi atau siklus fase bulan mati (konjugsi atau
ijtimak ke ijtimak berikutnya) dinamakan siklus sinodis bulan. Berikut
adalah periode rata-rata bulan :
Periode Rata-Rata Dinyatakan Hari, jam, menit dan detik Bulan dalam hari
Sinodis (siklus 29.530589 29 hari 12 jam 44 menit 03
konfigurasi Bulan detik
dan Matahari yang
sama) Sideris (siklus Bulan 27.32166 27 hari 07 jam 43 menit 12
busur
detik
menempuh
sebesar 360ᵒ)
Anomalistik (siklus 27.554551 27 hari 13 jam 18 menit 33
menempuh dua titik detik
perigee, titik terdekat
24 Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, (Jakarta: Amythas Publicita,
2007), h. 33.
8
dengan bumi)
Nodikal (siklus 27. 212220 27 hari 05 jam 05 menit 36
bulan melewati detik
ascanding node,
salah satu titik
simpul perpotongan
orbit bulan dengan
ekliptika, setelah
melewati ascanding
node bulan berada di
utara
ekliptika Tropis (siklus bulan 27.32158 27 hari 07 jam 43 menit 05
detik
berkonjungsi dengan
titik aries dua kali
berurutan)
Periodeisasi rata-rata bulan
Fase-fase bulan ditentukan oleh konfigurasi kedudukan bumi, bulan dan matahari. Dalam kalender yang menggunakan peredaran bulan sebagai patokannya, tanggal satu diambil pada saat bulan baru atau bulan mati. Pada saat itu bulan berada di antara bumi dan matahari, sehingga tidak ada cahaya matahari yang bisa dipantulkan bulan untuk sampai ke
bumi.25
Definisi tunggal hilal yang ideal tentulah tidak semata berdasarkan pada asumsi dengan sekian banyak idealisasi dengan bulan hanya dalam
imajinasi, melainkan yang sesuai dengan kondisi bulan sebenarnya. Jika dilihat melalui perspektif astronomi, dengan definisi hilal
sebagai objek yang bisa dilihat mata, maka riset Sudibyo pada tahun 2009,
2010, dan 2011 berdasarkan basis data visibilitas hilal Indonesia,
menyimpulkan hilal adalah bulan dengan Lag antara 24 hingga 40 menit.
Konsekuensinya, keterlihatan hilal tak hanya bergantung pada tinggi maríi-
nya saja, namun juga dipengaruhi selisih jarak mendatar (beda azimuth)
bulan dan matahari.
Apabila pada beda azimuth 7,5 derajat tinggi bulan minimal 3,6
derajat maka tingginya terus bertambah seiring mengecilnya nilai beda
azimuth sehingga pada beda azimuth 0 derajat tinggi bulan minimal 9,4
derajat. Pola ini ternyata tidak hanya dijumpai di Indonesia, melainkan
bersifat global meski terbatas hanya di daerah trop is. Rumusan empiris ini
adalah konsekuensi terlihatnya hilal sebagai kombinasi tiga faktor simultan
yaitu: posisi bulan dan matahari, sifat optis atmosfer bumi dan terbatasnya
resolusi mata manusia.
25
Gunawan Admiranto, Menjelajah Bintang Galaksi dan Alam Semesta, (Yogyakarta;
Kanisius, 2009), h. 199.
2. Hilal dan Fase Bulan
Diskursus tentang hilal selalu terkait dengan bulan. 26
Karena
memang hilal merupakan cahaya yang melekat padanya. Bulan sendiri
sesungguhnya tidak memiliki sinar seperti matahari, jika bulan kelihatan bersinar, maka sinar tersebut adalah pantulan sinar matahari yang mengenainya. Seperti benda-benda langit yang lain, bulan juga berevolusi
mengelilingi bumi dengan arah yang berlawanan dengan arah jarum jam bila dilihat dari kutub utara bumi dengan orbit yang berbentuk eliptikal, yang menyebabkan efek seoloah-olah bentuk bulan berubah-ubah.
Sebetulnya, ini akibat perubahan sudut darimana kita melihat bagian bulan yang terkena sinar matahari. Ini dinamakan fase bulan (moon’s phase) dan terulang setiap sekitar 29,5 hari, yakni waktu yang diperlukan bulan
mengelilingi bumi. Empat fase utama yang penting bagi bulan adalah: a. Bulan baru (new moon) b. Kuartal pertama (1st quarter) c. Bulan purnama (full moon) d. Kuartal ketiga atau terakhir (3rd quarter atau last quarter)
Keempat fase tersebut dinamakan fase utama. Tanggal dan
waktunya dipublikasikan dalam almanak dan pada kalender di negara maju,
karena memang fase- fase tersebut telah dapat dihitung secara akurat.
Namun, bulan baru dalam terminologi ‚Barat‛ adalah keadaan tanpa bulan,
yaitu saat permukaan bulan yang terkena sinar matahari membelakangi
tempat kita berada sehingga kita tidak melihat bulan sama sekali. Selain fase utama di atas, kita juga mengenal ‚fase antara‛.
Sehingga seluruhnya kita mengenal delapan fase yang lebih detail. Delapan fase ini dapat dibedakan dalam proses sejak waktu hilal muncul sampai tak ada bulan yang tampak. Pada dasarnya, ini menunjukkan delapan tahap bagian permukaan bulan yang terkena sinar matahari dan kenampakkan geometris bagian yang tersinari ini yang dapat terlihat dari bumi tempat kita berada. Kondisi yang dijelaskan dalam tahapan detail fase bulan ini
berlaku di lokasi manapun di permukaan bumi.27
Tono Saksono dalam bukunya ‚Mengkompromikan Hisab-
Rukyat‛ membagi fase bulan menjadi delapan fase. Berikut adalah fase-fase bulan selengkapnya:
26 Sebagian besar permukaan bulan (83%) disebut ‘terra’ atau daratan tinggi yang terdiri dari
batuan silikat ringan dan berwarna cerah. Daerah terra inilah yang paling banyak mengandung kawah-kawah
meteorid. Bagian kecil lainnya (17%) disebut sebagai ‘maria/mare’ atau laut yang sebenarnya berupa dataran
rendah. Terdapat 14 mare yang tampak hitam 26
karena terdiri dari batuan basalt vulkanik berwarna gelap
yang berdasarkan analisis radioaktifnya berasal dari letusan gunung berapi sekitar 3,3 -3,8 milyar tahun lalu.
Bentuknya yang hampir bundar dan
analisi batuan di sekitarnya mengindikasikan bahwa mare sebenarnya dibentuk oleh kawah hasil tumbukan
meteorid raksasa berukuran 100 km sekitar 3,9 milyar tahun lalu kemudian terisi oleh
lava letusan gunung berapi. Aktivitas gunung berapi berhenti sekitar 3 milyar tahun lalu setelah inti bulan mendingin.
27 Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, (Jakarta: Amythas Publicita,
2007), h. 31-32.
10
1) Fase Pertama Pada posisi ini, bersamaan dengan gerakan bulan
menglilingi bumi, bagian bulan yang terkena sinar
matahari semula sangat kecil berbentuk sabit
(crescent) yang semakin hari semakin membesar. Saat
bulan sabit pertamakali dapat dilihat inilah yang
disebut hilal (crescent) yang menandai awal sebuah
bulan dalam kalender Isla>m. Dalam ilmu astronomi, proses proses semakin besarnya
bulan ini dinamakan waxing crecent moon. Bulan baru, sebetulnya terbit
di sebelah timur hampir bersaman dengan terbitnya matahari, berada
tepat di tengah langit kita juga sekitar waktu tengah hari, dan tenggelam
juga hampir bersamaaan dengan tenggelamnya matahari di barat. Namun
selama sejak terbit sampai hampir tenggelam, kita tidak dapat melihat
bulan sabit ini karena intensitas cahayanya kalah jauh dari sinar matahar
i sendiri. Baru ketika menjelang matahari tenggelam, intensitas cahaya
matahari semakin lemah, maka tampaklah bulan sabit (hilal ) ini. Saat
matahari tenggelam (magri>b), kita masih dapat melihat sebagian kecil
permukaan bulan yang terkena matahari. Sebagian besarnya memang
gelap akibat tidak terkena sinar matahari yang menghadap ke tempat
kita berada di bumi, sehingga kita melihatnya berbentuk bulan sabit
muda. Inilah yang dinamakan hilal. Namun, karena bumi juga berotasi
pada porosnya, dan kecepatan sudut rotasi bumi jauh lebih besar
daripada kecepatan sudut gerakan revolusi bulan, maka beberapa saat
kemudian, hilal ini pun hilang dari penglihatan (tenggelam). Inilah
persyaratan yang harus dipenuhi oleh sah-nya hilal yang menandai awal
sebuah bulan dalam kalender qamariyyah. Hilal tidak boleh tenggelam
mendahului tenggelamnya matahari. Jadi, tepat saat magrib, kita masih
mampu melihat hilal.28
Yang menjadi perdebatan adalah berapakah
ketinggian minimum hilal ini terhadap horizon dan berapkah jarak
sudutnya terhadap matahari pada saat magri>b ini. Ada yang
mempersyaratkan 2 derajar busur, ada pula yang 5 derajat busur. Namun
ada sebagian lagi yang beranggapan berapapun tingginya sudah
menentukan sahnya hilal karena sebetulnya, hanya beberapa menit busur
pun (1 derajat = 60 menit) secara faktual hilal telah berada diatas
horizon ketika guru>b (magri>b), dan manusia telah dapat menghitungnya
secara akurat. Jadi prinsipnya seperti halnya saat masuk waktu berbuka
puasa, meskipun baru lewat 1 detikpun, kalau memang sudah masuk
waktu magri>b, boleh berbuka puasa. Tidak harus menunggu setelah
lewat 5 menit dari saat magri>b.
28 Kejelasan bentuk hilal dari satu bulan dengan bulan lain berbeda-beda, masa muncul dan
terlihatnyapun berbeda-beda, yaitu antara 10 s.d. 40 menit. Bentuk hilal hari-hari berikutnya akan semakin jelas dan membesar, hingga mencapai 6 hari 16 jam 11 menit hi lal akan beralih pada posisi dan bentuk lain yaitu first quarter (at-tarbi’ al-awwal).
2) Fase Kedua Bentuk fase bulan kedua saat magri>b hari- hari
berikutnya di titik yang sama, bulan telah bergerak
lebih jauh sehingga dari hari ke hari berikutnya posisi
bulan sabit terus semakin tinggi di atas horizon. Selain
itu, bagian bulan yang terkena sinar matahari juga
terus bertambah besar sampai pada suatu posisi
dimana bulan kelihatan separuh. Ini terjadi sekitar seminggu sejak awal bulan, atau bulan telah melakukan rotasi seperempat putarannya sehingga meskipun bulan tampak separuhnya, tapi fase ini dinamakn kuartal pertama. Pada fase ini, bulan baru tenggelam sekitar enam jam kemudian
setelah tenggelamnya matahari atau sekitar tengah malam. 29
Jadi, bulan
pada fase kuartal 1 ini adalah sekitar 6 jam lebih lambat daripada matahari. Terbitnya di sebelah timur adalah sekitar tengah hari, berada tepat di tengah kaki langit kita pada sekitar matahari tenggelam, dan tenggelam di ufuk barat sekitar tengah malam.
3) Fase ketiga Dalam beberapa hari berikutnya, bulan tampak
semakin besar. Dalam astronomi, fase ini dinamakan
waxing gibbous moon atau waxing humped moon. Waktu terbit bulan pun semakin terlambat
dibandingkan dengan matahari. Bulan terbit pada
sekitar jam 15:00, tepat berada di tengah langit kita pada sekitar 21:00, dan tenggelam pada sekitar jam 3:00 pagi.
4) Fase Keempat Sekitar dua minggu sejak hilal, bulan telah
melakukan separuh perjalanannya mengelilingi bumi
(mengorbit) dan bagian yang terkena sinar matahari
tepat menghadap ke bumi dimana kita berada, kita
menamakan kondisi ini sebagai bulan purnama (full moon). Pada kondisi purnama ini, bulan terlambat
sekitar 12 jam daripada matahari. Ini berarti bulan akan terbit bersamaan
dengan saat matahari tenggelam, berada tepat di tengah langit kita pada
tengah malam, dan tenggelam saat matahari terbit. Bila bulan betul-
betul pada posisi yang segaris dengan bumi dan matahari dalam kondisi
ini, maka kita akan mengalami gerhana bulan di tempat itu, karena
bayangan bumi tepat menutupi bulan.
5) Fase Kelima Sejak purnama sampai dengan terjadi gelap total
tanpa bulan, bagian bulan yang terkena sinar matahari
kembali mengecil tetapi di bagian sisi lain dari proses
waxinggibbous moon. Dalam astronomi ini dinamakan proses waning sehingga bulan yang dalam kondisi ini
29
Tenggelamnya bulan akibat gerakan bumi yang berotasi pada poros (sumbu)nya
selama sekitar 24 jam(sehari semalam) sekali putaran.
12
dinamakan waning gibbous moon atau waning humped moon. Pada fase
ini, bulan sekitar 9 jam lebih awal (atau 15 jam lebih lambat) daripada
matahari. Ini berarti, bulan terbit di timur pada sekitar jam 21:00, berada
tepat di tengah langit kita pada sekitar jam 3:00 pagi, dan tenggelam
pada saat sekitar jam 9:00.
6) Fase Keenam Sekitar 3 minggu setelah hilal , kita akan
bertemu lagi dengan bulan separuh, namun bagian
bulan yang terkena sinar matahari ada pada arah
sebaliknya dari keadaan kuartal pertama. Ini
dinamakan kuartal terakhir atau kuartal ketiga. Pada
fase ini, bulan terbit lebih awal sekitar 6 jam daripada matahari. Ini berarti bulan terbit di timur pada sekitar tengah malam,
tepat berada di tengah langit kita pada sekitar matahari terbit, dan
tenggelam di ufuk barat pada sekitar tengah hari.
7) Fase Ketujuh Memasuki akhir minggu keempat sejak hilal,
bentuk permukaan bulan yang terkena sinar matahari
semakin mengecil sehingga membentuk bulan sabit tua
(waning crescent). Bulan terbit semakin mengawali
matahari sekitar 9 jam. Ini berarti bulan terbit di ufuk
timur pada sekitar jam 3:00, tepat di tengah langit kita sekitar jam 9:00 pagi dan tenggelam di ufuk barat pada sekitar jam 15:00.
8) Fase Kedelapan Pada posisi ini, bulan kira-kira berada pada arah
yang sama terhadap matahari, bagian bulan yang
terkena sinar matahari adalah yang membelakangi
bumi dimana kita berada. Dengan demikian, bagian
bulan yang menghadap kita semuanya gelap. Inilah
kondisi tanpa bulan, dimana pada fase ini bulan dan
matahari terbit dan tenggelam hampir bersamaan. Dengan kata lain,
bulan terbit di ufuk timur sekitar jam 6:00 pagi, berada di tengah langit
kita pada sekitar tengah hari, dan tenggelam di ufuk barat pada sekitar
jam 18:00. Karena sisi gelap bulan yang menghadap kita, maka kita
tidak dapat melihat bulan kecuali bila terjadi gerhana matahari. Dalam
terminologi ilmu astronomi, inilah kondisi konjungsi dan posisi ‚bulan
baru‛ menurut terminologi ilmu astronomi. Bila matahari, bulan dan
bumi dimana kita berada tepat berada pada garis lurus, maka kita akan
mengalami gerhana matahari, karena bulan menutupi pandangan kita
terhadap matahari. 3. Definisi Syafaq
Syafaq dalam bahasa Inggris disebut twilight, yakni cahaya kuning
keemasan yang muncul saat matahari sudah berada di bawah ufuk
(horizon). Cahaya ini sangat kuat dan nyaris menenggelamkan cahaya hilal
yang
13
sangat redup. Dalam bahasa Arab secara harfiah syafaq diartikan sebagai
"cahaya diantara dua", yakni cahaya siang dan malam.30
Literature Arab mengklasifikasikan syafaq menjadi dua, syafaq
abya>d dan syafaq ah}mar. Syafaq abya>d ditandai oleh adanya sisa kilauan
matahari yang tampak kemerahan di langit sejak terbenamnya matahari.
Sedangkan syafaq ah}mar ditandai dengan menghilangnya kemerah-merahan
dari cahaya matahari. Kedua fenomena ini muncul di waktu yang berbeda
pada tingkat pencahayaan dilangit malam. Syafaq ah}mar terjadi atau
muncul terlebih dahulu dari pada syafaq abya>d}. Dalam astronomi syafaq lebih populer dengan istilah ‚twilight‛,
yaitu periode senja sebelum matahari terbit dan sesudah matahari terbenam
ketika pencahayaan dari langit secara bertahap. Hal ini disebabkan oleh
hamburan sinar matahari oleh partikel debu dan molekul udara di bumi.
Twilight merupakan fenomena alam yang dapat dikatakan terjadi
berulang sepanjang masa yang kejadiannya di sekitar waktu pagi dan sore
hari. Keduanya dikenal sebagai ‚evening twilight‛ dan ‚morning twilight‛.
Sehubungan dengan fenomena syafaq, evening twilight terdiri dari tiga
macam, yaitu: astronomical twilight, nautical twilight, dan civil twiligh.
a) Macam-macam Twilight 1) Civil Twilight (Senja Civil)
Civil twilight adalah waktu ketika matahari berada dibawah
horizon hingga ketinggian pusat matahari 6 derajat, yakni waktu
(setelah terbenam atau sebelum terbit matahari) benda-benda di
sekitar masih dapat dibedakan, dan pada keadaan langit cerah masih
dapat melihat bintang yang paling terang seperti venus. Pada jangka
waktu ini untuk mengadakan kegiatan di luar ruangan masih belum
perlu menggunakan penerangan tambahan.
Civil twilight
(http://www.flickr.com/photos/beantown/3487369911/)
Cakrawala di permukaan laut terlihat jelas meskipun tidak
terdapat pencahayaan dari bulan diperlukan alat bantu penerangan
untuk melakukan aktifitas di dalam ruangan, karena ketika posisi
30 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, cet. II, edisi revisi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), h. 221.
14
matahari berada 0 sampai -6 derajat di bawah horizon, dalam ruangan mulai mengalami kegelapan, maka diperlukan pencahayaan buatan seperti lampu untuk pengamatan dipagi hari sebelum awal
sipil senja dan dimalam hari setelah akhir dari senja sipil.31
Secara astronomi, civil twilight terjadi apabila kedudukan
matahari mempunyai jarak zenit 91ᵒ < z < 96ᵒ dalam kurun waktu
bervariasi terhadap lintang geografis tempat pengamat dan deklinasi matahari. Secara umum, untuk lokasi -10ᵒ < Ф < + 10ᵒ berkisar dari matahari terbenam hingga 20-24 menit setelah matahari terbenam.
Kecerlangan langit mernetang antara 16 foot candle hingga 3.0 x 10-1
foot candle.32
2) Nautical Twilight (Senja Nautika) Nautical twilight adalah waktu saat pusat matahari berada
pada ketinggian antara 6 hingga 12 derajat dibawah horizon. Selama
waktu ini pelaut masih dapat melihat lebih banyak bintang dengan
acuan horizon yang masih dapat dilihat. Di saat akhir (untuk evening
twilight) atau awal (untuk morning twilight) jangka waktunya, pada
keadaan atmosfer yang bagus dan tanpa kehadiran tambahan cahaya,
benda-benda masih dapat termelihat bentuknya, namun kegiatan
diluar rumah hampir tidak dapat dilakukan (untuk yang memerlukan
penchayaan) dan horizon tidak dapat dilihat dengan jelas.
Nautikal twilight (http://en.wikipedia.org/wiki/Twilight)
Secara astronomi, nautikal twilight terjadi apabila
kedudukan matahari mempunyai jarak zenit 96ᵒ < z < 102ᵒ. Dalam
ukuran waktu bervareasi terhadap lintang geografis pengamat dan
deklinasi matahari. Secara umum, untuk lokasi -10ᵒ < Ф < + 10ᵒ berkisar
dari batas akhir senja civil hingga 44-50 menit setelah matahari
terbenam.
31
Molvi Yaqub A, Miftahi, Fajar and Isya times & twilight, (Hizbul Ulama UK, 2007),
h. 47. 32
Moedji Raharto, Visibilitas Hilal Menurut Astronomi, (Seminar Imsakiyah P3M
STAIN Pekalongan, 12 Oktober 2002), h. 12.
15
Kecerlangan langit mernetang antara 3.0 x 10-1
foot candle hingga 9 x
10-4.33
3) Astronomical Twilight (Senja Astronomi) Astronomical twilight adalah waktu ketika pusat matahari
berada pada ketinggian 12 hingga 18 derajat dibawah horizon, yakni
ketika kita sudah tidak bisa membedakan bentuk-bentuk benda dan
tidak bisa melihat ufuq ketika kita mengarungi laut, tetapi
keadaannya belum gelap benar. Mulai akhir (untuk evening twilight)
atau awal (untuk morning twilight) jangka waktu ini keadaan sudah
gelap betul, sehingga pada kondisi atmosfer yang bagus kita dengan
mata telanjang dapat melihat bintang yang redup hingga yang
bermagnitude enam, termasuk nebula dan galaksi.
Astronomical twilight (http://en.wikipedia.org/wiki/Twilight)
Secara astronomi, astronomical twilight terjadi apabila kedudukan matahari mempunyai jarak zenit 102ᵒ < z < 108ᵒ. Dalam ukuran waktu bervareasi terhadap lintang geografis pengamat dan deklinasi matahari. Secara umum, untuk lokasi -10ᵒ < Ф < + 10ᵒ berkisar dari batas akhir senja nautika hingga 69-77 menit setelah matahari
terbenam. Kecerlangan langit mernetang antara 9 x 10-4
foot candle
hingga 6 x 10-5
.34
Berikut adalah diagram twilight di bawah horizon:
33 Ibid., h. 3.
34 Ibid., h. 7.
16
Diagram twilight (http://www.asc-csa.gc.ca/eng/educators/resources/stars/details1.asp )
Pengertian twilight merupakan suatu fenomena yang
disebabkan oleh hamburan sinar matahari dari lapisan atas atmosfer
bumi. Saat seperti ini atmosfer atas bumi menerima sinar matahari
langsung dan kemudian memantulkankan atau menghamburkannya ke
permukaan bumi. Pada fenomena senja twilight dimulai saat matahari
terbenam, kemudian masuk fase civil twilight, kemudian nautical
twilight dan berakhir pada fase astronomical twilight lebih tepatnya
pada akhir fase astronomical twilight. Sedangkan pada fenomena fajar,
twilight bermula pada fase astronomical twilight (tepatnya saat
dimulainya fase astronomical twilight), kemudian nautical twilight,
kemudian civil twilight dan berakhir ketika matahari terbit. Penyebab adanya twilight adalah atmosfer. Atmosfer yang
melingkupi bumi tersusun berlapis- lapis. Lapisan terbawah (yang paling
dekat dengan permukaan bumi, termasuk di permukaan bumi)
dinamakan troposfer, tebalnya secara rata-rata hingga 14 km diatas
permukaan bumi, tetapi sebenarnya bervariasi antara 9 km di kutub
hingga 17 km di khatulistiwa. Diatasnya terdapat lapisan stratosfer,
mesosfer, ionosfer (atau menurut pengelompkan lain, termosfer) dan
exosfer. Diantara lapisan troposfer dan stratosfer terdapat lapisan yang
dinamakan tropopause. Tinggi tropopause ini berbeda beda menurut
lokasi tertentu terutama menurut lintang tempatnya dan juga bergantung
musim. Atmosfer bumi merupakan selubung gas yang menyelimuti
permukaan padat dan cair pada bumi. Selubung ini membentang keatas
sejauh beratus-ratus kilometer dan akhirnya bertemu dengan medium
antar planet yang berkerapatan rendah dalam sistem tata surya.
Atmosfer terdapat dari ketinggian 0 km diatas permukaan tanah sampai
dengan sekitar 560 km dari atas permukaan bumi.
17
Lapisan atmosfer (http://csep10.phys.utk.edu/astr161/lect/earth/atmosphere.html)
Diatas Australia, pada akhir tahun tinggi tropopause 16 km dan
pada pertengahan tahun antara 12 – 16 km. Di daerah berlintang diatas
60 derajat tropopause kurang dari 9 – 10 km diatas permukaan laut; yang
terendah adalah diatas Antartika, Siberia dan utara Kanada kurang dari 8
km tingginya. Tropopasi rerata tertinggi ada di atas daerah pemanasan
samudera di disekitar kahtulistiwa Pasifik Barat, setinggi 17,5 km, dan
diatas Asia tenggara selama musim kemarau (summer monsoon),
tropopause dapat mencapai puncak diatas 18 km.
Distribusi ketebalan atmosfer menurut lintang (http://www-das.uwyo.edu/~geerts/cwx/notes/chap01/tropo.html)
Gambar di atas memperlihatkan diagram ketinggian
troposfer/tropopause menurut lintang bumi. Dan, secara global profile
ketebalan atmosfir bumi dapat memiliki gambaran umum seperti gambar
8. Ditinjau dari distribusi massanya, 50% massa atmosfer berada
dibawah 5,6 km, 90%-nya berada dibawah 16 km, dan 99.99997% massa atmosfer berada dibawah 100 km. Dapat dikatakan bahwa pengaruh tebal
lapisan troposfer sangat besar pada penghamburan cahaya matahari pada
peristiwa ketika fajar atau senja. Durasi syafaq baik setelah matahari terbenam maupun sebelum
matahari terbit tergantung pada kondisi atmosfer (awan, debu, tekanan
udara, suhu, kelembaban) dan pada sudut paralaks (sudut antara jalan
matahari terbenam atau terbit dan cakrawala lokal), kedua yang
bervariasi dengan musim (khususnya matahari) dan garis lintang terestrial. Menurut Bromberg panjang atau lamanya twilight bergantung
pada garis lintang dan waktu dalam setahun. Twilight umumnya lebih
pendek/ cepat di khatulistiwa dibanding dengan kawasan lintang yang
lebih tinggi. Biasanya, senja astronomi dapat berlangsung selama 1 jam
di khatulistiwa dan 11/2 jam di New York City. Awan bisa
mempersingkat durasi senja atau tahapan gelapnya. Jika awan padat dan
menggelapkan langit, terutama jika mereka menghalangi sinar matahari
atau mereka dapat memperpanjang durasi atau mencerahkan tahapannya,
jika langit cerah di sebelah barat di bawah cakrawala sinar matahari
memungkinkan untuk mencerminkan dari awan. Pada waktu matahari terbit dan terbenam, cahaya yang berasal
dari matahari sudah terlalu banyak kehilangan unsur-unsurnya yang
bergelombang pendek sebelum mencapai mata peninjau. Oleh karena
itu, warnanya kelihatan kuning atau merah. Hamburan cahaya disaat
pagi dan senja adalah pengaruh dari hamburan atmosfer. Hamburan
cahaya selama senja secara geometri tergantung pada garis lintang,
musim dan elevasi pengamat. Biasanya setelah matahari terbenam langit di atas titik yang
berwarna kuning pucat dengan lengkungan putih biru di atas,
lengkungan senja, dengan warna kuning di atas dan langit orange ke
kedua sisi. Ketika senja berlangsung, lengkungan di atas titik matahari
terbenam menjadi merah muda dengan kuning dan orange. Daerah ini
secara bertahap meratakan langit bagian atas berubah dari biru abu-abu
sampai biru gelap.
D. Astrophotometry Hilal dalam Penentuan Awal Bulan Hijriyah Geneologi fotometri berasal dari bangunan epistimologi keilmuan
astrofisika yang mempelajari tentang informasi cahaya yang dikirim dari angkasa luar, baik berupa cahaya bintang maupun cahaya benda langit lainnya.
Cahaya,35
dalam kajian fotometri tidak terbatas pada sumber cahaya, tetapi
dapat pula berupa gelombang elektromagnetik, seperti inframerah, sinar ultraviolet, sinar gamma, sinar X atau gelombang radio.
Dalam kamus Fisika, istilah fotometri merupakan ilmu yang
mempelajari tentang radiasi tampak, khususnya perhitungan dan pengukuran
35 Cahaya adalah suatu bentuk energi yaitu energi pancaran dan diterima oleh indera
penglihatan (retina mata). Secara eksperimental, mata sensitif terhadap panjang gelombang daerah
rendah dari pancaran cahaya sehingga dapat membedakan intensitas antara dua sumber cahaya yaitu
dengan mengukur jumlah daya yang dipancarkan oleh cahaya tampak.
19
intensitas dan fluks cahaya.36
Terdapat dua jenis pengukuran yang digunakan dalam fotometri. Pertama, mengukur besaran cahaya (luminous) dengan mengandalkan penggunaan mata manusia. Kedua, mengukur besaran pancaran (radiant) yang mengandalkan piranti fotolistrik untuk mengukur energi
elektromagnetik.37
Fotometri lebih memfokuskan kajiannya pada intensitas cahaya
(intensity) dan derajat penerangan (brightness). Menurut Peter fotometri juga
mempelajari tentang ukuran banyaknya cahaya. Pengukuran intensitas cahaya
dilakukan dengan membandingkan intensitas sumber cahaya standart dengan
intensitas cahaya lainnya. Pengukuran intensitas cahaya fokus pada satu titik yang dijadikan
sebagai cahaya standar, dari cahaya standar tersebut ke mudian menentukan
kalibrasi dari setiap objek pengamatan. Salah satu kelemahan melakukan
pengamatan astronomi dengan mata telanjang tanpa alat bantu adalah hasil
yang diperoleh bersifat subyektif. Bila pengamatan dilakukan oleh beberapa
orang, maka hasil yang diperoleh akan berbeda. Dengan sistem fotometri ini
hasil yang diperoleh bersifat obyektif karena data diabadikan oleh kamera,
kemudian hasilnya diolah dengan sistem fotometri untuk mendapatkan data
yang bersifat kuantitatif. 1. Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya adalah besaran pokok fisika untuk mengukur
daya yang dipancarkan oleh suatu sumber cahaya pada arah tertentu per satuan sudut. Dalam bidang optik dan fotografi, kemampuan mata manusia sensitif dan hanya mampu menangkap cahaya dengan panjang gelombang
tertentu yang diukur dalam besaran pokok. Menurut Bueche, intensitas cahaya adalah ukuran intensitas (kekuatan) sumber menurut mata manusia. Karena mata manusia kurang peka terhadap cahaya biru daripada cahaya
hijau, maka sumber cahaya biru harus mengeluarkan daya yang lebih besar daripada sumber cahaya hijau, jika kedua sumber diinginkan memiliki intensitas cahaya yang sama. Sumber cahaya menampakkan intensitas yang
berbeda bila dipandang dari berbagai arah, sehingga nilai intensitas sumber
cahaya tergantung pada sudut pandangnya.38
Saat matahari terbit dan terbenam maka langit sebagian akan
berwarna merah, biru, dan cahaya langit terpolarisasi. Fenomena ini dapat
36 Satuan intensitas cahaya I adalah candela (cd) juga dikenal dengan international candle. Satu
lumen setara dengan flux cahaya, yang jatuh pada setiap meter persegi (m2) pada lingkaran dengan radius
satu meter (1m) jika sumber cahayanya isotropik 1 -candela (yang bersinar sama ke seluruh arah) merupakan
pusat isotropik lingkaran. Dikarenakan luas lingkaran dengan jari-jari r adalah 4πr2, maka lingkaran dengan
jari-jari 1m memiliki luas 4πm2, dan oleh karena itu flux cahaya total yang dipancarkan oleh sumber 1 - cd
adalah 4π1m. Jadi flux cahaya yang dipancarkan oleh sumber cahaya isotropik dengan intensitas I adalah: Flux cahaya (lm) = 4π × intensitas cahaya (cd). Fluks cahaya (Luminous fluks) adalah energi cahaya yang dibawa suatu cahaya
yang diubah menjadi bentuk terang. Fluks cahaya juga bisa dimaknai sebagai laju perubahan terhadap waktu dari aliran energy radiasi, dinilai berdasarkan kapasitasnya untuk menghasilkan sensasi visual dan diukur dalam satuan lumen.
37 Danusantoso., Kamus Lengkap Fisika, (Jakarta: Erlangga, 1995), h. 328.
38 Frederick J Bueche, Fisika Edisi kedelapan, (Jakarta: IKAPI, 1989), h. 282.
20
dijelaskan atas dasar penghamburan cahaya oleh molekul atmosfer.
Penghamburan cahaya oleh atmosfer bumi bergantung kepada panjang
gelombang. Partikel-partikel yang jauh lebih kecil dari panjang gelombang
cahaya (seperti molekul udara), tidak menjadi rintangan yang besar bagi
panjang gelombang yang panjang. Penghamburan berkurang, cahaya merah
dan jingga dihamburkan lebih sedikit dari biru dan ungu, yang merupakan
penyebab langit berwarna biru. Pada saat matahari terbenam, dipihak lain
berkas cahaya matahari melewati panjang atmosfer maksimum. Banyak
dari warna biru yang telah dikeluarkan dengan penghamburan. Cahaya yang
mencapai permukaan bumi berarti kekurangan biru, yang merupakan alasan
matahari terbenam berwarna kemerahan. Ruskanda menyatakan ketika matahari sudah terbenam, cahayanya
akan masih tetap terlihat sampai suatu kedudukan matahari berada disekita r derajat dibawah ufuk. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa intensitas cahaya senja sesaat setelah matahari terbena m masih
sangat besar (200 lux).39
Ruskanda menjelaskan bahwa dalam mengadakan pengamatan,
faktor visual merupakan faktor final yang sangat penting, mengingat
pencerapan yang diakui secara legal adalah dengan menggunakan mata.
Ada beberapa kendala visual yang dihadapi dalam pengamatan, yaitu faktor
adaptasi skotopik-fotopik. Jika mata teradaptasi terhadap cahaya terang
maka sensor visual yang dominan berbentuk rod (tongkat) dan mekanisme
perlindungan mata secara reflek pupil mata menyempit, sehingga
memperkecil jumlah cahaya yang masuk pada mata. Sebaliknya pada
kondisi redup (skotopik) sensor kerucut aktif dan pupil melebar. Dalam
pengamatan cahaya syafaq mata langsung teradaptasi fotopik (cahaya
terang) dan pupil mata mengecil. Kondisi pupil mata yang menyempit ini
akan mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke mata. 40
Adaptasi mata terhadap Skotopik-Fotopik
39
Farid Ruskanda, Factor Cuaca: Instrumrntal dan Visual dalam Pengamatan Anak Bulan; Serta Teknik untuk Mengatasinya, (Puslitbang: KIM LIPI, tt. ), h. 214.
40 Ibid., h. 216.
21
Untuk mengatasi kendala pengamatan visual maka instrument
optik diperlukan untuk membantu kendala ini. Misalnya kamera atau
teleskop dapat membantu memperbesar sudut pandang sehingga
menurunkan ambang batas kontras sehingga memudahkan melihat objek
yang ja uh. Terkait dengan pengamatan hila>l dan syafaq, peneliti
mengambil waktu pengamatan disaat umur bulan masih muda (newmoon). Pada waktu tersebut hila>l sulit untuk diamati karena cahaya hila>l kalah
terang dengan cahaya syafaq. Disinilah peran fotmetri berfungsi, yakni
menganalisis kuat intensitas cahaya hila>l dan syafaq.
2. Instrumen Penelitian Instrumen pokok dalam penelitian ini menggunakan alat bantu
berupa kamera.41
Dengan kamera digital, citra hila>l dan syafaq dapat diabadikan dengan baik sehingga dapat dilakukan analisis yang bersifat kuantitatif dan interpretasi. Adapun jenis kamera yang peneliti gunakan
untuk pengambilan citra hila>l dan syafaq adalah jenis kamera DSLR42
merek Sony W 150 dan Canon EOS 1000D.
Cavington mengatakan bahwa yang menjadi alasan DSLR tidak
menunjukkan gambar elektronik yang terus menerus adalah sensor yang
jauh lebih besar daripada yang ada di kamera digital biasa. Sensor yang
besar sangat baik karena mereka menghasilkan noise lebih sedikit (spekel), terutama dalam jangka eksposur, tapi operasi sensor besar sepanjang waktu
akan berlari ke bawah baterai. Diantara kelebihan mendasar ketika pengambilan citra hila>l dan
syafaq dengan menggunakan kamera DSLR karena DSLR bisa dilakukan
setting exposure time, sedangkan kamera digital biasa hanya bisa merekam
dengan exposure time otomatis (Djamaluddin, 2011). Citra hila>l disimpan
dalam bentuk JPG atau JPEG atau BMP, sehingga ketika citra akan di olah
dalam software fotometri dipilih format JPG / JPEG / BMP. 3. Perkembangan Software IRIS
Software IRIS mulai dikenal dalam era teknologi pada
pertengahan tahun 1980-an, ketika CCD kamera mulai digunakan oleh para
praktisi amatir. Software ini diciptakan untuk komputer jenis Apple III
dalam bahasa assembly yang memiliki kemampuan untuk memproses
gambar hingga ukuran 128×128 mega pixel atau lebih. Sejalan dengan perkembangan teknologi serta adanya kebutuhan
yang meningkat untuk image processing power. Kemudian Software IRIS
terus dikembangkan dalam bentuk platform windows yang dapat
memproses
41
Instrumen lainnya berupa GPS, Trippod, Teropong, Binocular dan alat bantu optik lainnya.
42 DSLR/SLR atau digital kamera single-lens refleks adalah kamera digital yang
menggunakan sistem cermin mekanik dan pentaprism cahaya langsung dari lensa ke optik jendela bidik di bagian belakang kamera. Jendela bidik dari kamera single-lens refleks menggunakan
cermin dan layar berfokus untuk menangkap gambar secara optik sehingga kita dapat melihat dan fokus melalui sebuah lensa mata.
22
beberapa ribu gambar pixel. Software IRIS dapat didownload secara gratis
(freeware) melalui: http://www.astrosurf.com/buil/iris/iris.htm.43
Secara mendasar Software IRIS berbeda dengan editing gambar dalam software lainnya, perangkat ini dapat diandalkan dan terdokumentasi dengan baik. Software IRIS telah lama digunakan sebagai alat standar untuk penyusunan gambar video planet. Perangkat lunak IRIS berorientasi
kepada pengolahan dan analisis ilmiah gambar / citra foto.44
Software IRIS bervariasi hampir setiap tahun diperbaharui
(update). Versi terakhir hingga saat ini adalah versi 5.59. Panduan tentang
software ini dapat dilihat pada situs http://www.astrosurf.com melalui
Software IRIS An astronomical images processing software Version 5.59
June 24, 2010 (Updated frequently, consult this page regularly).
Tampilan menu awal software IRIS 5.58
4. Tehnik Pengukuran Intensitas Cahaya Hila>l dan Syafaq dengan Software IRIS 5.58
Ketika melakukan pengukuran terhadap intensitas cahaya hila>l,
maka yang harus dipersiapkan diantaranya adalah citra hila>l. Langkah yang
ditempuh untuk menampilkan citra hila>l dalam Software IRIS 5.58 adalah dengan cara klik dialog Box File (kotak dialog paling kiri), kemudian pilih dan klik LOAD seperti yang terlihat pada gambar berikut:
43
David Ratledge, Digital astrophotography : the state of the art.-(Patrick Moore’s practical astronomy series), (London: EXPO Holdings, 2005), h. 79.
44 Michael A Covington, Practical Amateur Astronomy: Digital SLR Astrophotography, (New York: Cambridge University Press, 2007), h. 9.
23
Tampilan menu file software IRIS 5.58
Setelah klik dialog Box File (kotak dialog paling kiri), kemudian
pilih dan klik LOAD kemudian muncul kotak dialog OPEN. Pilih files of
type kemudian pilih graphics (*bmp, *jpg, *jpeg, *tif, *tiff, *png). Seperti
yang terlihat pada gambar berikut:
Tampilan files of type software IRIS 5.58
Setelah pilih graphics (*bmp, *jpg, *jpeg, *tif, *tiff, *png).
Kemudian pilih folder yang berisi citra hila>l yang akan diukur nilai
intensitas cahayanya, setelah itu klik pada citra hila>l kemudian OPEN.
Seperti yang terlihat pada gambar berikut:
24
Tampilan browse software IRIS 5.58
Setelah itu muncul dialog box bagian atas yang tertulis LOOK IN,
maka cari file citra hila>l yang sudah disimpan dalam komputer, kemudian
klik OPEN. Setelah itu, akan muncul citra hila>l seperti yang terlihat pada
gambar berikut:
Tampilan citra hila>l pada software IRIS 5.58
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan menurut Romanishin
adalah seberapa jauh radius yang akan digunakan dalam melakukan
pengukuran? atau seberapa besar bulatan (aperture) dalam pixel atau
arcsec? Semakin besar bulatan (aperture) yang digunakan untuk
25
mendapatkan "semua" cahaya dari bintang, maka radius yang dipilih juga
besar.45
Untuk menemukan menu aperture photometri dalam Software IRIS 5.58, maka dapat dibuka kotak dialog Analysis kemudian akan
didapatkan aperture photometry setelah itu klik Circle Aperture berapa
radius yang kita inginkan dengan menyesuaikan hila>l yang akan diukur.
Seperti yang terlihat pada gambar berikut:
Tampilan menu analysis software IRIS 5.58
Setelah menentukan ukuran radius berapa yang akan digunakan,
maka akan muncul kursor bulatan kemudian bidik hila>l untuk mendapatkan
nilai intensitas hila>l. Seperti yang terlihat pada gambar berikut:
45
Romanishin, W., An Introduction to Astronomical Photometry Using CCDs,
(University of Oklahoma, 2006), h. 106.
26
Tampilan kursor pembidikan software IRIS 5.58
Setelah menentukan intensitas hila>l, kemudian menentukan nilai intensitas syafaq dengan cara arahkan bulatan kursor secara bergantian di sekitar hila>l sebanyak lima bidikan. Pengukuran kuat intensitas cahaya hila>l
sebagai ganti dari bintang standar46
yang harus di ukur intensitasnya.47
Berikut adalah ilustrasi fotometri hilal :
46 Matahari sesungguhnya adalah bintang yang tidak jauh berbeda dengan bintang -bintang lain.
Adapun yang membedakan matahari dengan bintang -bintang lain adalah jaraknya dari bumi. Bintang di langit berjarak jutaan, bahkan milyaran kali jarak matahari ke bumi sehingga cahaya
bintang yang sampai di bumi sudah sangat lemah. Jarak antara matahari dan bumi hanya 150 juta kilometer.
Karena begitu dekatnya, pancaran radiasi matahari sangat terasa di bumi. Matahari memiliki ukuran yang
sedang. Banyak bintang lainnya yang memiliki ukuran yang lebih besar,
lebih berat, lebih panas, dan lebih cerah. Matahari kelihatan tampak jauh lebih besar dan lebih cerah karena
letaknya yang jauh lebih dekat dengan bumi yaitu sekitar 149.600.000 km. 47
Thomas Djamaluddin, Re-evaluation of Hilaal Visibility in Indonesia, Center for
Application of Space Science, National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN), Bandung, Indonesia.
27
Ilustrasi pembidikan hilal dan syafaq
Ketika kursor sudah diarahkan ke objek yang dituju, kemudian klik
objek yang ditentukan nilainya untuk mendapatkan besarnya nilai
intensitas. Hasilnya ditampilkan dalam jendela output. Baris pertama
memberikan jenis fotometri maka koordinat pusat lingkaran. Baris kedua
adalah jumlah pixel yang terletak di dalam lingkaran. Baris terakhir
merupakan jumlah intensitas seluruh piksel yang terletak dalam lingkaran.
Nilai intensitas hila>l dan syafaqlah yang akan digunakan dalam penelitian
ini. Contoh jendela output adalah sebagai berikut:
Tampilan number circle hasil bidikan
28
Pada pengukuran intensitas cahaya hila>l peneliti menggunakan
lima sampel titik fokus cahaya syafaq disekitar hila>l untuk setiap citra hila>l,
setelah itu akan dilakukan kalibrasi pengukuran dengan cara membagi
intensitas cahaya syafaq di setiap sampel dengan intensitas cahaya hila>l
yang dijadikan sebagai standar. Selanjutnya hasil kalibrasi disajikan dalam
bentuk kurva X Y (scatter).
E. Kesimpulan Hilal atau bulan sabit pertama setelah konjungsi ketampakkannya
sangat dipengaruhi oleh kecerlangan langit senja (syafaq). Distribusi cahaya
syafaq yang mempengaruhi kecerlangan cahaya hilal menjadikan nilai kontras
cahaya hilal lebih rendah dibandingkan dengan cahaya syafaq. Dengan
demikian, hilal sulit untuk diamati terutama hanya mengandalkan mata bugil
(naked eye). Selain itu, kecerlangan hilal juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti posisi matahari (ketinggian dan asensiorekta), ketinggian bulan,
jarak sudut (elongasi) antara matahari dan bulan, posisi lintang pengamat,
ketinggian lokasi pengamatan, kelembaban relatif (relative humidity), fraksi
iluminasi hilal, umur hilal, beda waktu terbenam matahari-bulan, dan kontas
cahaya latar depan di ufuk. Sehingga diperlukan kerja analisis terhadap
fenomena fisis hilal dengan cara memformulasikan fotometri hilal. Formulasi
fotometri hilal dilakukan dengan cara mengabadikan hilal dengan peralatan
digital berupa kamera. Setelah citra hilal diperoleh kemudian dilakukan
analisis menggunakan software IRIS-5.58 untuk mengetahui secara objektif
distribusi cahaya matahari terhadap cahaya hilal. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa analisis ini dilakukan sebagai perekam dan perpanjangan
mata manusia terhadap cahaya hilal yang sangat redup.
Penentuan batasan kontras yang bisa dijadikan sebagai kriteria
visibilitas hilal, utamanya di Indonesia sangat dipengaruhi oleh banyak faktor
terutama kondisi cuaca dan posisi hilal itu sendiri. Berdasarkan analisa
terhadap data kuantitas hasil pengamatan bahwa kawasan langit sering kali
berawan bahkan berawan tebal sampai mendung sebagai pertanda akan
turunnya hujan sehingga taburan awan tebal dikawasan ufuk sering
menghalangi bacaan untuk mendeteksi hilal. Pengukuran yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa bentuk kurva kecerlangan cahaya hilal dan syafaq
memiliki pola yang hampir sama dimana secara rata-rata menunjukkan nilai
kecerlangan cahaya syafaq berangsur menurun setelah senja nautika berakhir.
Sedangkan nilai kecerlangan hilal berangsur naik setelah distribusi cahaya
syafaq menghilang. Dengan demikian, hilalpun terdeteksi. Penentuan batas
masing- masing (cahaya syafaq dan cahaya hilal) yang digunakan sebagai
acuan penentuan kriteria awal bulan hijriyah yang mempertimbangkan batasan
kontras visibilitas hilal masih membutuhkan data pengamatan yang lebih
banyak dan lebih baik. Data yang yang digunakan dalam penelitian ini belum
memperlihatkan nilai kecerlangan cahaya syafaq dan hilal secara konstan,
karena kualitas citra hilal yang dipengaruhi oleh musim, awan, debu antariksa
dan variasi lainnya.
29
DAFTAR PUSTAKA
Admiranto, Gunawan, Menjelajah Bintang Galaksi dan Alam Semesta,Yoyakarta; Kanisius, 2009
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Tafsir al-Quranul Madjied ‚An-Nur‛, cet.1 Jakarta: Bulan Bintang, 1966
Azhari, Susiknan., Ensiklopedi Hisab Rukyat, cet. II, edisi revisi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008
----------------------., Ensiklopedi Hisab Rukyat, cet. II, edisi revisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Bruin, F., The First Visibility of Lunar Crescent. Vistas in Astronomy 21, 331-
358, 1977
Bueche, Frederick J., Fisika Edisi kedelapan, Jakarta: IKAPI, 1989
Covington, Michael A., Practical Amateur Astronomy: Digital SLR Astrophotography, New York: Cambridge University Press, 2007
Danusantoso., Kamus Lengkap Fisika, Jakarta: Erlangga, 1995 Dawanas, Djoni., Astronomi, Bandung: Tim Pembina Olimpiade Astronomi, 2010 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.3,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Djamaluddin, Thomas., Antara Limit Astronomis dan Harapan Teleskop Rukyat
Tantangan Rukyatul Hilāl 1 Syawal 1416 H, 2003 ---------------------------., Visibilitas Hilāl di Indonesia, 2000 Hoffman, R. E. Observing The New Moon, Mon. Not. R. Astron. Soc. 340, 1039-
1051, 2003 Ilyas, Mohammad., Limiting Altitude Separation In The New Moon’s First
Visibility Criterion, 1988 Khazin, Muhyiddin., Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik , Yogyakarta: Buana
Pustaka, 2004 Louay f. Fathoni., The Danjon Limit Of First Visibility Of The Lunar Crescent ,
University of Durham: Departemen of Physics, tp., tt. Miftahi, Molvi Yaqub A., Fajar and Isya times & twilight, tt :Hizbul Ulama UK,
2007 Nihayaturrohmah., Pengukuran Kuat Intensitas Cahaya Ufuk dalam Penentuan
Waktu Syafaq/Akhir Senja Astronomi. Tesis, 2010 Raharto, Moedji., Visibilitas Hilal Menurut Astronomi, Seminar Imsakiyah P3M
STAIN Pekalongan, 12 Oktober 2002 Ratledge, David., Digital astrophotography : the state of the art.-(Patrick
Moore’s practical astronomy series), London: EXPO Holdings, 2005
Romanishin, W., An Introduction to Astronomical Photometry Using CCDs, tt: University of Oklahoma, 2006. 106
Ruskanda, Farid., Factor Cuaca: Instrumrntal dan Visual dalam Pengamatan Anak Bulan; Serta Teknik untuk Mengatasinya, Puslitbang: KIM LIPI, tt.
Saksono, Tono, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita, 2007
Schaefer, B. E., Length of the Lunar Crescent, Q. Jl R. astr. Soc. 32, 265-277, 1991
30