46
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari beragamnya suku, agama, ras dan golongan serta bahasa. Hal ini berakibat munculnya keanekaragaman hukum, Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan dan Hukum Waris yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan ketiga hukum ini bersumber pada Hukum Adat dan Hukum Agama ataupun gabungan diantara keduanya. Menurut Ngutra, sumber hukum memiliki arti segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. 1 Sumber Hukum Waris adalah Hukum Keluarga dan Hukum Perkawinan. Di Indonesia dikenal 4 (empat) sistem kekeluargaan yaitu (a) Sistem Kekeluargaan Patrilineal; (b) Sistem Kekeluargaan Matrilineal; (c) Sistem Kekeluargaan Parental atau Bilateral; dan (4) Sistem Kekeluargaan Beralih (Alternatif). 2 Sementara itu Hukum Perkawinan di Indonesia dikenal (a) Hukum Perkawinan Islam dan (b) Hukum Perkawinan Non-Islam, yang keduanya tunduk pada Hukum Perkawinan Nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan). 1 Theresia Ngutra, 2016, “Hukum dan Sumber -Sumber Hukum”, Jurnal Supremasi, Vol.XI, No.2, hal.195. 2 Hilman Hadikusumo, 2003, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 23

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari beragamnya

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah

    Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Kemajemukan

    masyarakat Indonesia dapat dilihat dari beragamnya suku, agama, ras dan

    golongan serta bahasa. Hal ini berakibat munculnya keanekaragaman hukum,

    Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan dan Hukum Waris yang berbeda-beda.

    Perbedaan ini disebabkan ketiga hukum ini bersumber pada Hukum Adat dan

    Hukum Agama ataupun gabungan diantara keduanya.

    Menurut Ngutra, sumber hukum memiliki arti segala sesuatu yang

    menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan

    itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya.1

    Sumber Hukum Waris adalah Hukum Keluarga dan Hukum Perkawinan. Di

    Indonesia dikenal 4 (empat) sistem kekeluargaan yaitu (a) Sistem Kekeluargaan

    Patrilineal; (b) Sistem Kekeluargaan Matrilineal; (c) Sistem Kekeluargaan

    Parental atau Bilateral; dan (4) Sistem Kekeluargaan Beralih (Alternatif).2

    Sementara itu Hukum Perkawinan di Indonesia dikenal (a) Hukum Perkawinan

    Islam dan (b) Hukum Perkawinan Non-Islam, yang keduanya tunduk pada Hukum

    Perkawinan Nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

    tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan).

    1 Theresia Ngutra, 2016, “Hukum dan Sumber-Sumber Hukum”, Jurnal Supremasi,

    Vol.XI, No.2, hal.195. 2 Hilman Hadikusumo, 2003, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 23

  • 2

    Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa:

    Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

    wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah

    tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

    Selain pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan ini,

    Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) di Indonesia juga memberikan

    definisi lain yang lebih mendalam tanpa mengurangi arti definisi dalam Undang-

    Undang Perkawinan.

    Perkawinan menurut Islam seperti yang diatur dalam KHI adalah pernikahan,

    yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati

    perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Akad yang sangat

    kuat atau miitsaaqan ghaliizhan mengandung arti bahwa akad dalam

    perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Bagi

    umat Islam melaksanakan perkawinan merupakan peristiwa agama dan suatu

    perbuatan ibadah. Hal ini termasuk dalam ungkapan perkawinan untuk

    mentaati perintah Allah.3

    Landasan filosofis KHI tidak dapat dilepaskan dari Pancasila dan Undang-

    Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD

    NRI 1945). Landasan filosofis ini tercermin dari Sila pertama Pancasila yaitu

    Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 28 B ayat (1) UUD NRI 1945 yang

    menyebutkan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan

    keturunan melalui perkawinan yang sah” dan Pasal 28 E ayat (1) yang berbunyi

    “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih

    pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,

    memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak

    kembali”.

    3 Amir Syarifuddin, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh

    Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Amir

    Syarifuddin I), hal. 40-41.

  • 3

    Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, KHI secara filosofis tidak

    hanya berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 tetapi juga mempunyai landasan

    yang kokoh berdasarkan hukum Islam yaitu sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadis.

    Setiap muslim yang telah bersyahadat memeluk agama Islam punya konskuensi

    logis wajib menjalankan syariah Islam. Prinsip tauhid mewajibkan kepada setiap

    orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Esa, maka ia wajib taat dan patuh

    terhadap perintah Allah dalam Al-Qur‟an dan perintah Rasulullah dalam

    sunahnya.

    KHI juga sesuai dengan landasan yuridis atau perundang-undangan yang

    ada di Indonesia. KHI merupakan kumpulan segala peraturan agama Islam yang

    meliputi semua aspek kehidupan manusia berupa akhlak, hukum-hukum ibadah,

    kepercayaan dan keyakinan sebagai wujud aktualisasi sikap bathin seseorang yang

    beragama Islam. Dengan kata lain, makna integral syari„at (hukum Islam)

    merupakan keseluruhan peraturan, baik dalam hubungannya antara manusia

    dengan Tuhan-Nya, manusia dengan manusia dan makhluk hidup lainnya. Secara

    yuridis dapat dikatakan juga tradisi penerapan hukum Islam di Indonesia

    dilakukan melalui kebijakan politik hukum yakni unifikasi dan kodifikasi hukum

    Islam. Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (takhrîj al-

    ahkâm fî al-nash al-qânûn) me-rupakan produk interaksi antar elite politik Islam

    (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite

    kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai

    contoh, diundangkannya Undang-Undang Perkawinan peranan elite Islam cukup

    dominan di dalam melakukan pende-katan dengan kalangan elite di tingkat

    legislatif, sehingga Undang-Undang Perkawinan dapat dikodifikasikan.

  • 4

    selanjutnya disusul dengan pelegislasian KHI dalam bentuk Instruksi Presiden

    Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

    Secara sosiologis KHI juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat

    Indonesia. Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim yang membutuhkan

    peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan prinsip Islam. Tradisi hukum

    Islam yang ada dalam masyarakat muslim Indonesia terbagi ke dalam beberapa

    tingkatan: Pertama, sebagai nilai berarti ia menjadi suatu pedoman hukum yang

    diikuti dan ditaati berdasarkan autoritas keagamaan seorang muslim untuk tunduk,

    taat dan patuh kepada ajaran Islam. Kedua, sebagai kaidah hukum berarti ia

    berisikan muatan-muatan norma hukum Islam yang universal dan spesifik,

    bersifat vertikal dan horizontal, ditaati dan dipatuhi serta berlaku dalam

    masyarakat muslim secara terus-menerus. Ketiga, sebagai norma hukum berarti ia

    berisikan sejumlah peraturan, baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis, serta

    tetap eksis dan berlaku dalam kehiduan masyarakat muslim itu sendiri. Keempat,

    sebagai produk hukum berarti ia merupakan produk politik berupa undang-undang

    dan peraturan lainnya, yang dihasilkan dari sebuah kesepakatan di tingkat

    legislatif, eksekutif dan yudikatif.

    Pembahasan mengenai pewarisan harus didahului terlebih dahulu dengan

    pembahasan mengenai perkawinan, mengingat perkawinan merupakan salah satu

    sebab timbulnya pewarisan. Pewarisan ini lahir ketika ada salah satu pihak yang

    meninggal dunia (Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya

    disebut KUHPerdata)). Orang yang meninggal dunia ini biasanya meninggalkan

    harta, baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun yang menjadi hak

    dan kewajibannya. Harta tersebut dikenal dengan istilah harta warisan. Harta yang

    ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang

  • 5

    siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara

    mendapatkannya.4

    Hukum waris di Indonesia secara umum masih menggunakan tiga

    landasan hokum yaitu: hukum waris berdasarkan hukum Islam, hukum waris

    berdasarkan hukum adat, dan menggunakan hukum waris yang berdasarkan

    hukum barat yang diatur dalam KUHPerdata.5 Tidak adanya hukum nasional yang

    mengikat secara nasional mengakibatkan pelaksanaan hukum waris sangat

    tergantung pada pilihan warga negaranya. Meskipun bersifat fakultatif (tidak

    imperatif), tetapi kenyataan di lapangan KHI pada umumnya digunakan para

    hakim pada peradilan Agama dalam memutuskan perkara, juga dijadikan rujukan

    para pejabat kantor Urusan Agama dan sebagian anggota masyarakat.6

    Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian yang besar karena

    pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan

    bagi keluarga yang ditinggal mati. Warisan adalah soal apa dan bagaimana

    berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada

    waktu ia meniggal akan beralih kepada keluarga yang masih hidup.7

    Hukum kewarisan Islam berlaku bagi umat yang beragama Islam di

    seluruh dunia. Hukum kewarisan Islam bersumber dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah

    demikian juga dengan KHI yang juga bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.

    Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa‟ (4) ayat (11) yang menjelaskan

    mengenai sebagian ahli waris yang berhak menerima warisan yang meliputi anak

    4 Habiburrahman, 2011, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Kencana

    Prenada Media Group, Jakarta, hal. 17. 5 Masjfuk Zuhdi, 2006, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), PT. Gunung

    Agung, Jakarta, hal. 195. 6 Marzuki Wahid, 2008, “Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI)

    dalam Perspektif Politik Hukum di Indonesia”, Makalah, dalam The 4th Annual Islamic Studies

    Postgraduate Conference, The University Melbourne, hal. 51. 7 A. Rofiq, 2008, Hukum Islam di Indonesia cet. III, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

    hal. 356.

  • 6

    laki-laki, anak perempuan, ibu, bapak dan saudara dan menjelaskan juga syarat-

    syarat serta orang yang berhak mendapatkan warisan.

    Mengenai kewarisan Islam di Indonesia diatur dalam Buku II KHI yang

    cakupannya berupa: Ketentuan Umum, Ahli Waris, besarnya bagian, Aul dan Rad,

    Wasiat, dan Hibah. Salah satu ketentuan dalam hukum waris adalah ketentuan

    mengenai penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seseorang

    mempunyai hak untuk menerima warisan adalah adanya hubungan perkawinan,

    kekerabatan, dan kemerdekaan budak. Perbedaan agama antara pewaris dan ahli

    waris merupakan salah satu penghalang kewarisan yang dapat menggugurkan hak

    seseorang untuk menerima warisan harta peninggalan. Penghalang-penghalang

    untuk menerima warisan merupakan kondisi-kondisi yang dapat menggugurkan

    hak seseorang untuk menerima warisan.8

    Waris mewaris yang disebabkan karena hubungan pernikahan biasanya

    menimbulkan berbagai macam masalah, salah satunya ialah masalah waris dari

    suatu perkawinan beda agama, mengingat banyaknya agama yang ada di

    Indonesia maka tidak dapat dipungkiri bahwa bisa saja terjadi suatu perkawinan

    antara dua orang yang memiliki keyakinan berbeda.9 Perkawinan beda agama

    masih bisa terjadi dengan berbagai cara, diantaranya kedua calon mempelai yang

    beda agama tidak jarang menggunakan jalur pengadilan untuk dapat dinikahkan

    oleh pegawai pencatat perkawinan. Namun jika pegawai tersebut menolak, maka

    calon mempelai berhak memintakan penetapan kepada pengadilan dalam wilayah

    hukum pegawai pencatat perkawinan itu berkedudukan dengan menyerahkan surat

    keterangan penolakan tersebut. Selanjutnya, hakim akan memeriksa dan

    memutuskan dalam sidang cepat. Jika prosedur legal ini ternyata gagal, maka

    8 Ahmad Azhar Basyir, 2010, Hukum Waris Islam, Universitas Islam Indonesia,

    Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Ahmad Azhar Basyir I), hal.16. 9 Beni Ahmad Saebani, 2009, Fiqh Mawaris, Pustaka Setia, Bandung, hal. 118-119.

  • 7

    tidak jarang salah satu pihak dari kedua calon mempelai yang berbeda agama itu

    untuk dapat melangsungkan perkawinannya terpaksa berpindah agama mengikuti

    agama pihak yang lain. Perpindahan agama itu bisa berlangsung semu/proforma

    atau yang sesungguhnya. Perpindahan agama hanya berupa semu/proforma untuk

    memenuhi persyaratan agar pernikahannya dapat dilangsungkan dan dicacatkan

    secara resmi, namun kemudian setelah perkawinan tersebut berlangsung yang

    bersangkutan kembali kepada keyakinan agamanya semula dan tetap menjalankan

    aturan agamanya. Perkawinan beda agama dengan cara seperti ini banyak terjadi

    yang menyebabkan timbulnya gangguan terhadap kehidupan rumah tangga dan

    keluarga di kemudian hari.

    Cara lain untuk melakukan perkawinan beda agama masing-masing

    pasangan tetap mempertahankan keyakinan agamanya. Pernikahan dilangsungkan

    menurut masing-masing agama, bisa jadi di pagi hari pernikahan berlangsung

    menurut keyakinan agama salah satu pasangan, serta siang atau sore harinya

    melakukan pernikahan lagi menurut agama yang lainnya. Selanjutnya perkawinan

    dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Pernikahan dengan cara seperti ini banyak

    dilaksanakan dengan konsekuensi masing-masing pasangan yang hidup bersama

    dalam perkawinan tersebut tetap menjalankan keyakinan agama masing-masing.

    Bagi orang-orang kaya, dapat saja melaksanakan perkawinan beda agama ke luar

    negeri untuk menghindari sulitnya prosedur dan pelaksanaan perkawinan beda

    agama di Indonesia. Setelah mereka kembali ke Indonesia mereka mencatatkan

    perkawinannya di Kantor Catatan Sipil. Namun sebenarnya hal tersebut tidak

    dibenarkan, perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri tersebut

    tetap tidak sah menurut undang-undang perkawinan.

  • 8

    Salah satu hadits yang merupakan dasar para ulama dalam menetapkan

    kesepakatan mengenai ketentuan bahwa keluarga dekat (suami atau istri, bahkan

    anak sekalipun) yang tidak muslim/muslimah bukan merupakan ahli waris. Hadist

    tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah, yang

    artinya ”Orang muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir

    pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.”10

    Meskipun ketentuan hadist ini

    menyatakan bahwa ahli waris seorang muslim harus juga beragama Islam, namun

    pada kenyataannya ada putusan hakim yang memberikan hak waris kepada ahli

    waris non muslim melalui wasiat wajibah. Pada Pasal 174 ayat (1) KHI

    menentukan bahwa:

    (1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah:

    1) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

    2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

    b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.

    Ketentuan pada pasal di atas bahwa seorang duda atau janda merupakan

    ahli waris yang timbul karena adanya hubungan perkawinan. Tetapi dalam

    perkawinan beda agama seorang duda atau janda tidak termasuk ke dalam ahli

    waris suami atau isterinya jika yang bersangkutan tidak beragama Islam. Hal ini

    ditunjukkan dalam pengertian ahli waris menurut Pasal 171 huruf c KHI yang

    mempersyaratkan harus beragama Islam. Pasal tersebut mengatur bahwa ahli

    waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah

    atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang

    karena hukum untuk menjadi ahli waris bagi pewaris yang beragama Islam.

    10 Hafidz Al-Mundziri, 1997, Mukhtaṣar Sunan Abu Daud, Hadis Nomor 2789, Maktabah

    Al-Fikrah, Kairo, hal.563.

  • 9

    KHI dan kesepakatan mayoritas ulama di atas, atau meskipun ada hadist

    nabi yang menyebutkan tidak adanya hubungan waris mewaris antara seorang

    muslim dengan non-muslim, namun beberapa putusan hakim ternyata

    memberikan hak waris kepada seorang ahli waris non-muslim. Seperti kasus yang

    akan dibahas dalam penelitian ini yaitu Putusan Mahkamah Agung

    No.16K/AG/2010, yang memberikan hak waris kepada seorang istri yang berbeda

    agama dengan suaminya.

    Putusan Pengadilan Agama Makassar No 732/Pdt.G/2008/PA, Putusan

    Pengadilan Tinggi Agama Makassar No 59/Pdt.G/2009/PT, yang dilanjutkan

    dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No 16K/AG/2010 terkait dengan

    perkara waris dimana pewaris tidak memiliki anak dan meninggalkan seorang istri

    yang non muslim, seorang ibu dan 4 (empat) saudara kandung yang muslim.

    Dalam perkara ini Mahkamah Agung memutuskan bahwa istri yang non muslim

    tersebut berhak mendapat warisan melalui wasiat wajibah dengan jumlah yang

    didapat sebesar ¼ bagian ditambah dengan ½ bagian dari harta bersama.

    Sedangkan, ahli waris yang muslim mendapat bagian 1/5 bagian. Dengan

    perbandingan bagian untuk saudara perempuan dan laki-laki adalah 1:2.

    Timbulnya permasalahan hak kewarisan istri yang beragama non-muslim

    dari suami muslim seperti yang diuraikan di atas, karena KHI tidak mengatur istri

    yang beragama non-muslim, yang secara hukum Islam tidak berhak menerima

    warisan dari suaminya, apakah dapat diberikan wasiat wajibah. Pasal 209 KHI

    hanya mengatur pemberian wasiat wajibah kepada orangtua angkat dan anak

    angkat sebagaimana ketentuan Pasal 209 KHI sebagai berikut :

    (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.

  • 10

    (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

    Ketentuan pada Pasal 209 KHI tersebut di atas menunjukkan bahwa

    orangtua angkat dan anak angkat yang seharusnya tidak berhak atas warisan dapat

    diberikan wasiat wajibah mengingat orangtua angkat dan anak angkat merupakan

    orang-orang dekat dari ahli waris. Ketentuan pada Pasal 209 KHI tidak mengatur

    (norma kosong) apakah istri yang beragama non-muslim yang tadinya tidak

    berhak atas warisan suaminya dapat diberikan wasiat wajibah sebagaimana halnya

    orangtua angkat dan anak angkat, mengingat istri juga merupakan orang dekat

    bahkan orang terdekat dengan pewaris. Berangkat dari adanya norma kosong

    dalam Pasal 209 KHI yang tidak mengatur apakah istri yang beragama non-

    muslim yang tadinya tidak berhak atas warisan suaminya dapat diberikan wasiat

    wajibah sebagaimana halnya orangtua angkat dan anak angkat, maka peneliti

    tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul

    “Kedudukan Janda Beda Agama dalam Pewarisan Menurut Hukum Islam”.

    1.2 Rumusan Masalah

    Masalah adalah suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua

    faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang menimbulkan tanda tanya dan

    dengan sendirinya memerlukan upaya untuk mencari sesuatu jawaban.

    Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka masalah dalam

    penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

    1. Bagaimana kedudukan janda yang beda agama menurut Hukum Waris

    Islam?

    2. Apakah janda beda agama dapat menerima bagian harta warisan dari

    almarhum suaminya?

  • 11

    1.3 Orisinalitas Penelitian

    Berdasarkan penelusuran kepustakaan di perpustakaan hukum di Fakultas

    Hukum, Universitas Udayana, peneliti tidak menjumpai penelitian dengan topik

    istri sebagai ahli waris beda agama. Namun dari penelusuran kepustakaan secara

    online terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan istri sebagai ahli waris

    beda agama, yaitu:

    No Identitas

    Penulis Judul Rumusan

    Masalah Persamaan Perbedaan

    1 Zainal Abidin, 2016,

    Magister Kenotariatan, Universitas Narotama, Surabaya.11

    Hak Istri Berbeda Agama

    Atas Wasiat Wajibah Harta Warisan Suaminya Beragama Islam

    1. Apakah istri berbeda agama

    mempunyai hak atas harta warisan suaminya?

    2. Apakah istri berbeda agama mempunyai hak atas wasiat

    wajibah harta suaminya?

    Persamaannya kedua

    penelitian ini sama-sama meneliti tentang istri sebagai ahli waris beda agama

    - Jika penelitian Zainal Abidin membahas hak istri yang beda agama terhadap warisan suaminya yang beragama Islam yang ditinjau dari hukum waris Islam saja, sedangkan penelitian yang akan dilakukan membahas kedudukan janda beda agama dalam pewarisan menurut hukum Islam, baik ditinjau dari hukum waris Islam maupun KUHPerdata.

    - Selain itu perbedaan lainnya penelitian Zainal Abidin menggunakan metode penelitian hukum empiris, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan peneliti menggunakan metode penelitian hukum normatif.

    2 Ahmad Royani, 2015,

    Kedudukan Anak Non

    1. Bagaimana pengaturan anak

    Persamaannya kedua

    Jika penelitian Ahmad Royani

    11 Zainal Abidin, 2016, “Hak Istri Berbeda Agama Atas Wasiat Wajibah Harta Warisan

    Suaminya Beragama Islam”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Narotama,

    Surabaya.

  • 12

    Jurnal Independent.12

    Muslim terhadap Harta Warisan Pewaris Islam Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

    non muslim terhadap harta warisan pewaris islam ditinjau dari KUHPerdata?

    2. Bagaimana kedudukan anak

    non muslim dari pewaris Islam menurut KUHPerdata?

    penelitian ini sama-sama meneliti tentang kedudukan hak waris non-muslim dari pewaris

    muslim

    meneliti tentang kedudukan anak non muslim terhadap harta warisan pewaris Islam, sedangkan pada penelitian yang akan

    dilakukan meneliti tentang kedudukan janda beda agama dalam pewarisan menurut hukum Islam.

    3 I Gusti Ngurah Bayu Krisna,

    2007, Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang.13

    Kedudukan Ahli Waris Beralih

    Agama terhadap Harta Warisan Orang Tua menurut Hukum Waris Adat Bali

    1. Bagaimanakah hak dan

    kewajiban ahli waris beralih agama terhadap pewaris?

    2. Apakah beralih agama masih memungkinkan ahli waris tetap

    mempunyai hak mewaris harta warisan orang tuanya?

    Persamaannya kedua

    penelitian ini sama-sama meneliti tentang pewarisan dari pewaris yang berbeda agama

    - Jika penelitian I Gusti Ngurah Bayu Krisna meneliti tentang pewarisan dari pewaris yang beragama Hindu Bali, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan meneliti tentang kedudukan janda beda agama dalam pewarisan menurut hukum Islam.

    - Perbedaan lainnya bila pada penelitian I Gusti Ngurah Bayu Krisna menggunakan metode penelitian Yuridis Empiris, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif.

    Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan

    penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan dalam tabel di atas, maka dapat

    dinyatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-

    penelitian sebelumnya baik permasalahan maupun metodologinya.

    12 Ahmad Royani, 2015, ”Kedudukan Anak Non Muslim terhadap Harta Warisan Pewaris

    Islam Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)”, Jurnal Independent,

    Vol. 3, No. 1. 13 I Gusti Ngurah Bayu Krisna, 2007, “Kedudukan Ahli Waris Beralih Agama terhadap

    Harta Warisan Orang Tua menurut Hukum Waris Adat Bali”, Tesis, Program Studi Magister

    Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang.

  • 13

    1.4 Tujuan Penelitian

    1.4.1 Tujuan Umum

    Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai kedudukan janda beda

    agama dalam pewarisan menurut hukum Islam.

    1.4.2 Tujuan Khusus

    Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini yang dapat dikemukakan

    adalah sebagai berikut:

    a. Untuk memahami dan menganalisis kedudukan janda yang beda agama

    menurut Hukum Waris Islam.

    b. Untuk memahami dan menganalisis janda beda agama dapat menerima

    bagian harta warisan dari almarhum suaminya.

    1.5 Manfaat Penelitian

    1.5.1 Manfaat Teoritis

    Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian tesis ini dapat

    dikemukakan sebagai berikut:

    a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

    bagi pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai pengaturan istri

    non-muslim terhadap harta pewaris muslim.

    b. Hasil penelitian ini dapat di pakai sebagai acuan bagi penelitian penelitian

    selanjutnya dengan topik sejenis.

    1.5.2 Manfaat Praktis

    Adapun manfaat praktis dari penelitian tesis ini yang dapat dikemukakan

    adalah sebagai berikut:

    a. Diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan

    pengetahuan bagi istri yang beragama non-muslim dengan masalah yang

  • 14

    diteliti khususnya tentang pengaturan istri non-muslim terhadap harta

    pewaris.

    b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum agar

    dipakai sebagai bahan pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan

    ataupun kebijakannya dalam menangani pengaturan istri non-muslim

    terhadap harta pewaris muslim.

    1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

    1.6.1 Landasan Teoritis

    Teori memiliki peranan yang sangat penting untuk memandu penelitian

    sehingga penelitian yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Hal

    ini ditegaskan oleh Nazir bahwa teori dapat meningkatkan arti dari penemuan

    penelitian karena tanpa teori suatu penelitian hanyalah merupakan keterangan-

    keterangan fenomena yang berpencar.14

    Terkait dengan hal tersebut, Poerwanto

    menjelaskan bahwa suatu kerangka teoretik yang dipakai minimal mengandung

    tiga hal, yaitu grand concepts yang melandasi seluruh pemikiran teoretik dari

    suatu penelitian, untuk membangun kerangka teori dan proposisi penelitian.15

    Adapun teori, asas dan konsep yang digunakan dalam melakukan penelitian ini

    adalah Teori Keadilan, Teori Rechtvinding (Penemuan Hukum), Konsep

    Pewarisan dalam Hukum Islam, Konsep Wasiat Wajibah dan Konsep Ijtihad

    untuk dijadikan pisau analisis dalam menjawab perumusan masalah penelitian.

    1.6.1.1 Teori Keadilan

    Teori Keadilan digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan

    masalah pertama kedudukan janda yang beda agama menurut Hukum Waris

    Islam. Teori keadilan digunakan karena dalam Hukum Waris Islam janda yang

    14 Mohammad Nazir, 2008, Metode Penelitian, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 24 15 Poerwanto, 2010, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 4.

  • 15

    berbeda agama dengan almarhum suaminya tidak mendapat warisan sehingga

    dipandang sebagai bentuk ketidakadilan.

    Pencetus Teori Keadilan adalah Plato dan Aristoteles dan selanjutnya

    dikembangkan oleh John Rawl. Pada garis besarnya, pembahasan mengenai

    keadilan terbagi atas 2 (dua) arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan

    ontologis atau metafisik, sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan

    yang metafisik atau ontologis diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang

    rasional diwakili oleh pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana

    diutarakan oleh Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari

    inspirasi dan intuisi. Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber

    pemikirannya dari prinsip-prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.16

    Menurut John Rawls dalam pendapatnya mengenai keadilan yang

    menyatakan bahwa:

    Semua teori keadilan merupakan teori tentang cara untuk menentukan kepentingan-kepentingan yang berbeda dari semua warga masyarakat. Menurut konsep teori keadilan utilisme, cara yang adil mempersatukan kepentingan-kepentingan manusia yang berbeda adalah dengan selalu mencoba memperbesar kebahagiaan. Baginya keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut.

    17

    Selanjutnya John Rawls juga berpendapat mengenai prinsip dasar keadilan

    yang dinyatakan sebagai berikut:

    Bagaimanapun juga cara yang adil untuk mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri. Teori ini sering disebut „justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran). Terdapat dua prinsip dasar keadilan yaitu prinsip yang pertama, disebut kebebasan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak

    16 E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum

    Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 96 17 John Rawls, 1999, A Theory of Justice, Revised Edition, Harvard University Press,

    Massachusetts, hal. 11.

  • 16

    mempunyai kebebasan yang terbesar asal ia tidak menyakiti orang lain. Tegasnya, menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus diberi kebebasan memilih menjadi pejabat, kebebasan berbicara dan berfikir kebebasan memiliki kekayaan, kebebasan dari penangkapan tanpa alasan dan sebagainya.

    18

    Keadilan merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna

    memperoleh kesebandingan di dalam masyarakat, di samping itu juga untuk

    kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang

    rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk

    Indonesia.19

    Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak

    dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Membicarakan hukum

    adalah membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar

    manusia adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya

    tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam

    kemakmuran dan makmur dalam keadilan.20

    Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum

    sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum” yang berarti dapat

    dipersamakan dengan asas hukum.21

    Di antara ketiga asas tersebut yang sering

    menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan

    bahwa: “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how

    it distributes its benefits and cost,” (Terjemahan bebas: Dalam hal hukum,

    keadilan akan dinilai sebagai bagaimana hukum memperlakukan orang dan

    18 Ibid. 19 Soerjono Soekanto, 1990, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cv. Rajawali, Jakarta,

    hal.169. 20 Ibid. 21 Gustav Radbruch, 2005, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask,

    Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal.

    107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan

    Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 67.

  • 17

    bagaimana mendistribusikan kemanfaatannya) dan dalam hubungan ini Friedman

    juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is

    allocative”22

    (Terjemahan bebas: Setiap fungsi hukum, umum atau khususnya

    bersifat alokatif). Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini

    yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan

    maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan

    konsumen oleh semua pihak yang terlibat.23

    Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch yang menyatakan

    bahwa:

    Tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang

    lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut

    Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak

    berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat

    hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu,

    Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan

    tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa

    keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai

    dengan hakikat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk

    menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan

    kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga

    setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya.

    Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu

    memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan

    hukum.24

    Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim

    menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik

    Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan

    secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum

    sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal

    22 Peter Mahmud Marzuki, 2007, “The Need for the Indonesian Economic Legal

    Framework”, Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28. 23 Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty,

    Yogyakarta, hal. 23. 24 Gustav Radbruch, op.cit, hal.107.

  • 18

    itu tidak menimbulkan masalah?. Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu

    dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila

    hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya

    sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.25

    Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan bahwa kita harus

    menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan,

    baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.26

    Achmad Ali tidak dapat

    menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut, sebagaimana dikatakannya:

    Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.

    27

    Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat dikatakan bahwa melalui asas

    prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan,

    atau kepastian hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di

    dalam setiap kasus. Pengertian keadilan dalam Teori Keadilan memiliki sejarah

    pemikiran yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama

    dalam hukum semenjak masa Yunani Kuno.28

    Memang secara hakiki, dalam

    diskursus hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok,

    yakni dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum,

    dan dalam arti materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan

    cita-cita keadilan masyarakat, namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih

    25Achmad Ali, op.cit, hal. 95-96. 26Achmad Ali, op.cit, hal. 96. 27 Achmad Ali, op.cit, hal. 96. 28E. Fernando M. Manullang, op.cit, hal. 96.

  • 19

    luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang

    berbeda-beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak

    buku atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan

    teori hukum yang ada.29

    Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara

    tunggal hampir-hampir sulit untuk dilakukan.

    Aristoteles tidak hanya meletakkan dasar-dasar bagi teori hukum, tetapi

    juga kepada filsafat barat pada umumnya. Kontribusi Aristoteles bagi filsafat

    hukum adalah formulasinya terhadap masalah keadilan yang membedakan

    keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan komutatif,

    yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan

    keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada

    setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan yang

    sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the law).

    Sedangkan keadilan komutatif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan

    prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum.30

    Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas bahwa dalam menentukan

    pengertian keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit

    ditentukan secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung

    dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor

    lainnya yang turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya.

    Seperti halnya John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai

    keadilan.31

    29 Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan

    Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81. 30 Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study tentang Perkembangan Pemikiran

    Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 54. 31 John Rawls, op.cit, hal. 11.

  • 20

    According to Rawls, justice was not only includes the moral concept of the

    individual, but also questioned the mechanism of achieving justice itself, including

    how the law participated and supported the efforts.32

    (Terjemahan bebas: Menurut

    Rawls, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi

    juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk

    juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut). Menurut Kelsen,

    pada dasarnya keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk

    memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan

    perlindungan itu sendiri pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap

    individu (unsur manfaat).33

    1.6.1.2 Teori Penemuan Hukum (Rechtvinding)

    Teori penemuan hukum (rechtvinding) digunakan untuk membahas

    rumusan masalah yang kedua yaitu janda beda agama dapat menerima bagian

    harta warisan dari almarhum suaminya. Permasalahan ini muncul karena terdapat

    norma kosong dalam Pasal 209 KHI. Untuk mencari penyelesaian adanya norma

    kosong ini, dalam penelitian ini digunakan teori penemuan hukum. Pencetus teori

    penemuan hukum dicetuskan oleh Paul Scholten dan Mauwissen.

    Menurut Paul Scholten “... yang dimaksud dengan penemuan hukum

    adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada

    peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa

    peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan

    jalan analogi, rechsvervijning (penghalusan/pengkonkretan hukum) maupun

    32 John Rawls, op.cit, hal. 11. 33 Hans Kelsen, 2007, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Penerbit

    Nusamedia, Bandung, hal. 48-51.

  • 21

    dengan metode konstruksi hukum. Konstruksi hukum ini dibutuhkan dalam

    menghadapi kekosongan hukum”.34

    Suatu undang-undang tidak mungkin mencakup segala kegiatan manusia

    yang tidak terhitung jumlah dan jenisnya, seperti yang dikemukakan oleh Sudikno

    Mertokusumo dalam bukunya bahwa “Tidak ada peraturan perundang-undangan

    yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak ada

    peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas

    sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, dan dapat

    menimbulkan multitafsir dan menjadi ketidakpastian, maka harus dicari dan

    diketemukan”.35

    Kegiatan dalam mencari dan menemukan hukum tersebut disebut

    dengan penemuan hukum.

    Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah “... proses

    pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi

    tugas melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum untuk

    peristiwa hukum yang konkret”.36

    Lebih lanjut secara sederhana Sudikno

    Mertokusumo menggambarkan bahwa penemuan hukum merupakan “... proses

    konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan

    mengingat akan peristiwa konkret tertentu”.37

    Amir Syamsudin memberikan pengertian bahwa penemuan hukum

    merupakan:

    Proses pembentukan hukum oleh hakim dalam upaya menerapkan peraturan

    hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-

    metode tertentu, yang digunakan agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa

    tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehinga

    34 Achmad Ali, op.cit, hal.146. 35 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 37. 36 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 2013, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra

    Adtya Bakti, Bandung, hal. 4. 37 Ibid.

  • 22

    hasil yang diperoleh dari proses itu dapat diterima dan dipertanggungjawabkan

    dalm ilmu hukum.38

    Selanjutnya Utrecht menjelaskan bahwa “... apabila terjadi suatu peraturan

    perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak

    berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut”.39

    Hal tersebut

    memiliki arti bahwa seorang hakim harus berperan untuk menentukan bagaimana

    hukumnya, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya

    dalam membuat keputusan.

    Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penemuan hukum dapat diartikan

    sebagai suatu proses pembentukan hukum melalui metode-metode tertentu yang

    dilakukan oleh hakim atau aparat hukum lain dalam penerapan peraturan hukum

    umum pada peristiwa konkrit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penemuan

    hukum adalah konkretisasi peraturan hukum dengan tetap mengingat peristiwa

    konkret tertentu.

    Penemuan hukum dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu),

    ilmuan/peneliti hukum, para penegak dan praktisi hukum (hakim, jaksa, polisi,

    pengacara, dan notaris), bahkan para pelaku bisnis ataupun masyarakat sekalipun

    dapat melakukan penemuan hukum. Walaupun penemuan hukum dapat dilakukan

    oleh siapa saja, namun hasil dari penemuan hukum tersebut berbeda-beda, ada

    yang menjadi sumber hukum sekaligus menjadi hukum yang berlaku dan ada

    yang hanya berlaku sebagai sumber hukum atau doktrin saja.

    Hakim melakukan penemuan hukum dalam menangani peristiwa konkret

    yang harus diselesaikan. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena

    mempunyai kekuatan keberlakuan sebagai hukum yang dalam bentuk putusan.

    38 Amir Syamsudin, 2008, “Penemuan Hukum ataukah Perilaku Chaos”, Harian Kompas,

    4 Januari, hal. 6. 39 E. Utrecht, 1996, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, hal. 248.

  • 23

    Jadi penemuan hukum oleh hakim bersifat konfliktif. Penemuan hukum oleh

    hakim tersebut sekaligus merupakan sumber hukum juga.

    Para pembentuk undang-undang melakukan penemuan hukum walau tanpa

    menghadapi peristiwa konkret seperti hakim, namun bertujuan untuk

    menyelesaikan peristiwa abstrak tertentu yang mungkin terjadi. Jadi sifat

    penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang adalah preventif. Hasil

    penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang merupakan hukum karena

    dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan sekaligus juga

    menjadi sumber hukum. Para ilmuan atau peneliti hukum melakukan penemuan

    hukum yang bersifat teoritis, maka hasil penemuan hukumnya bukan merupakan

    hukum, melainkan hanya sebagai sumber hukum atau doktrin saja.

    Menurut Sudikno Mertokusumo, hasil penemuan hukum oleh notaris

    adalah hukum, karena berbentuk akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan

    mempunyai kekuatan mengikat serta sekaligus merupakan sumber hukum.40

    Artinya Notaris dapat melakukan penemuan hukum yang bernilai sebagai hukum

    bagi para pihak. Notaris melakukan penemuan hukum dalam mengkonstatir akta

    yang mempunyai kekuatan mengikat, namun kekuatan mengikat dalam akta

    notaris hanya sebatas mengikat bagi para pihak.41

    Kekuatan mengikat akta notaris

    masih dapat dibantah oleh salah satu pihak dengan pembuktian di pengadilan

    karena walaupun mengikat kekuatan akta notaris tidaklah final seperti putusan

    Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat final and

    binding (final dan mengikat). Notaris dihadapkan dengan masalah hukum yang

    disampaikan oleh kliennya untuk dibuatkan akta. Demikian Notaris melakukan

    40 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 51. 41 Mengkonstatir adalah memberi pernyataan tentang adanya suatu gejala; mengambil

    kesimpulan setelah ada bukti-bukti nyata. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, 2011, Kamus Umum

    Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 612.

  • 24

    penemuan hukum dari peristiwa konkret yang diajukan oleh para klien-nya agar

    akta yang dibuat dapat menjabarkan segala kehendak dan melindungi hak dan

    kewajiban para klien.42

    Pada umumnya problematik yang berkaitan dengan penemuan hukum

    dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang, namun dalam realitanya

    problematik penemuan hukum ini tidak hanya berperan pada kegiatan hakim dan

    pembentuk undang-undang saja, seperti pendapat Sudikno Mertokusumo

    sebelumnya. Hasil penemuan hukum oleh notaris adalah hukum karena berbentuk

    akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan mempunyai kekuatan mengikat serta

    sekaligus merupakan sumber hukum. Notaris melakukan penemuan hukum dalam

    mengkonstatir akta yang dibuatnya. Dalam mengkonstatir suatu akta, notaris

    menentukan peristiwa hukum berdasarkan peristiwa konkret yang dialami oleh

    para penghadap atau kliennya. Tentunya perbuatan konkret atau perbuatan nyata

    yang dilakukan si klien tidak terbatas perbuatan-perbuatan hukum yang sudah

    diatur saja, sehingga bisa saja perbuatan konkret yang dimaksud tersebut tidak ada

    atau tidak jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam

    hal tersebut notaris dapat melakukan penemuan hukum terhadap akta yang akan

    dibuatnya, dengan tujuan agar para penghadap yang hadir di hadapan notaris

    mendapatkan perlindungan hukum atas hak dan kewajibannya.43

    Hal penting dalam penemuan hukum oleh Notaris adalah bagaimana

    mengkonstatir peristiwa konkret menjadi peristiwa hukum. Setiap peristiwa

    konkret harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan, atau

    melengkapi peraturan perundang-undangannya agar hukumnya tidak kosong.

    42 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 54. 43 Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan

    Intrepretasi Teks, UII Press, Yogyakarta, hal. 51

  • 25

    Dalam penemuan hukum diperlukan ilmu bantu berupa metode penemuan hukum.

    Adapun metode penemuan hukum yang sudah ada yaitu interpretasi (penafsiran),

    argumentasi (penalaran), dan eksposisi (konstruksi hukum). Metode interpretasi

    digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak jelas. Metode argumentasi

    digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak ada.

    Metode konstruksi hukum digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak

    ada mengatur atau kekosongan hukum (rechts vacuum).44

    Konstruksi hukum harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang

    sesuatu hal, oleh karena itu harus cukup sederhana dan tidak menimbulkan

    masalah baru dan boleh tidak dilaksanakan.”Sedangkan tujuan dari konstruksi

    hukum adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi

    tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi pencari keadilan”.45

    Kontruksi hukum ini

    sangat dibutuhkan dalam menghadapi kekosongan hukum.

    Menurut Philipus M. Hadjon, model kontruksi hukum terdiri dari “...

    analogi dan gandengannya (spiegelbeeld) a-contrario, dan bentuk ketiga oleh P.

    Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh

    Prof. Soedikno M. disebut penyempitan hukum”46

    Ahmad Rifa‟i dalam bukunya

    membedakan metode konstruksi hukum ini menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai

    berikut:

    1. Metode Argumentum Per Anoalgium (Analogi)

    Menurut Bambang Sutiyoso, “Metode analogi berarti memperluas

    peraturan perundang-undangan yang terlalu sempit ruang lingkupnya,

    44 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,

    Sinar Grafika, Jakarta, hal. 21. 45 Achmad Ali, op.cit, hal.192. 46 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2009 Argumentasi Hukum, Gadjah Mada

    University Press, Yogyakarta, hal.26.

  • 26

    kemudian diterapkan terhadap peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip

    dengan yang diatur dalam undang-undang”.47

    Jadi analogi ini merupakan

    metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum

    dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur

    oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya.

    2. Metode Argumentum a Contrario

    Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang

    menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu

    terbatas pada peristiwa tertentu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku

    kebalikannya.48

    Maksudnya adalah, bahwa penafsiran ini dilakukan

    dengan menjelaskan undang-undang yang berdasarkan pada pengertian

    yang sebaliknya antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa

    yang diatur dalam undang-undang. Jadi, apabila suatu peristiwa diatur

    dalam undang-undang, namun peristiwa lain yang mirip tidak diatur dalam

    undang-undang, maka berlaku hal yang sebaliknya.

    3. Metode Penyempitan/Penghalusan Hukum

    Menurut Jazim Hamidi, metode penyempitan atau pengkongkretan

    hukum ini bertujuan untuk menyempitkan suatu aturan hukum yang

    bersifat terlalu abstrak, pasif, dan sangat umum sifatnya. Hal tersebut

    bertujuan agar aturan hukum dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa

    teretentu.49

    Mengingat suatu norma hukum atau aturan perundang-

    undangan terkadang ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu

    dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu.

    47 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan Hukum

    yang Pasti dan Berkeadilan), UII Press, Yogyakarta, hal.133. 48 Achmad Ali, op.cit, hal.197. 49 Jazim Hamidi, op.cit, hal.61.

  • 27

    4. Fiksi Hukum

    Fiski hukum adalah “... sesuatu yang khayal yang digunakan dai

    dalam ilmu hukum dalam bentuk kata-kat, istilah-istilah yang berdiri

    sendiri atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan

    suatu pengertian hukum”.50

    Metode penemuan hukum ini berlandaskan

    pada asas bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang-undang.

    1.6.1.3 Konsep Pewarisan dalam Hukum Islam

    Kata waris berasal dari bahasa arab yaitu warasa-yarisu-warisan yang

    berarti berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia.

    Dalam konteks hukum waris tidaklah semata-mata hanya membicarakan prihal

    orang yang menerima harta warisan, melainkan meliputi keseluruhan peraturan-

    peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang

    harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan

    manusia kepada turunannya, proses penerusan harta benda inilah yang disebut

    dengan istilah pewarisan.51

    Adapun dalam Al-Qur‟an dijumpai banyak kata

    warasa yang berarti menggantikan kedudukan, memberi atau menganugerahkan

    dan menerima warisan. Sementara itu, Almiras menurut para ulama merupakan

    berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang sudah meninggal kepada ahli

    warisnya yang masih hidup baik warisan yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah

    atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar‟i.52

    Istilah kewarisan berasal dari bahasa arab Al-irts yang secara leksikal

    berarti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Secara terminologi,

    50 Bambang Sutiyoso, op.cit, hal.139. 51 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali, Cetakan

    Kedua, Swasta Nulus, Denpasar, hal.149. 52 Habiburrahman, op.cit, hal.17

  • 28

    ia berarti pengalihan harta dan hak seseorang yang telah wafat kepada seseorang

    yang amsih hidup dengan bagian-bagian tertentu, tanpa terjadi Aqad lebih

    dahulu.53

    Kewarisan (Al-miras) yang disebut juga sebagai faraidh berarti bagian

    tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur‟an dan

    Al-Hadits, sehingga dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa pewarisan adalah

    pepindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal

    dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang telah

    ditetapkan dalam nash-nash baik Al-Qur‟an dan Al-Hadits.54

    Hukum kewarisan menurut Islam adalah hukum kewarisan yang diatur

    dalam Al-Qur‟an. Sunnah Rasul dan fikih sebagai hasil ijtihad para fukaha dalam

    memahami ketentuan Al-Qur‟an dan sunnah Rasul. Demikian, hukum kewarisan

    Islam merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karenanya, tidak aneh jika bagi

    umat Islam, tunduk kepada hukum kewarisan Islam itu merupakan tuntutan

    keimanannya kepada Allah SWT.55

    Dalam hubungan ini QS. An-Nisaa‟ (4) ayat (65) mengajarkan:

    Falaa wa rabbika laa yu`minuuna hattaa yuhakkimuuka fiimaa syajara bainahum tsumma laa yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa qadhaita wa yusallimuu tasliimaa(n).

    Artinya:

    Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

    56

    53 Ali Parman, 2005, Kewarisan Dalam Alquran, Raja Grafindo Persada, hal. 9 54 Habiburrahman, op.cit, hal. 18. 55 Ahmad Azhar Basyir, op.cit, hal. 130 56 Departemen Agama Republik Indonesia, 2017, devquran.majorbee.com, diakses

    tanggal 20 Desember 2017.

  • 29

    Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan harta

    peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud

    maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak

    menurut hukum.57

    Bertolak dari batasan dalam QS An Nisaa‟ (4) ayat (65)

    tersebut di atas, terlihat bahwa harta milik seseorang baru dikatakan berpindah

    apabila pewaris telah wafat dan ada ahli warisnya. Ahli waris memperoleh

    warisan secara pasti sesuai ketentuan Al-Qur‟an, apabila mereka telah memenuhi

    segala syarat pewarisan. Ada syarat yang melekat pada pewaris, ahli waris, dan

    bahkan ada syarat pada harta yang akan di wariskan.

    Batasan tersebut menegaskan juga bahwa menurut hukum Islam, yang

    tergolong ahli waris hanyalah keluarga, yaitu yang berhubungan dengan pewaris

    dengan jalan perkawinan (suami atau isteri) atau dengan adanya hubungan darah

    (anak, cucu, orang tua, saudara, kakek, nenek, dan sebagainya).58

    Ringkasnya

    hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

    pemilikan harta peninggalan (hirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang

    berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 KHI).

    Macam-macam ahli waris menurut Pasal 174 KHI yang diuraikan sebagai

    berikut:

    a. Menurut hubungan darah: 1) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah,anak laki-laki, saudara laki-laki,

    paman dan kakek;

    2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

    b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda (Pasal 174 KHI).

    57 Ahmad Azhar Basyir, op.cit, hal. 132 58 Ahmad Azhar Basyir, op.cit, hal.133.

  • 30

    Bagian ahli waris menurut sistem bilateral, dapat dikemukakan sebagai

    berkut:

    a. Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang bagiannya telah diatur dalam Alquran dan hadis yaitu ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara

    perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek. b. Ahli waris dzul qarabat, yakni ahli waris yang mendapat bagian warisan

    yang tidak ditentukan jumlahnya dan mendapatkan sisa warisan. Ahli waris ini mempunyai hubungan dengan pewaris melalui garis laki-laki dan perempuan, yaitu anak laki-laki, anak perempuan yang mewaris bersama anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki apabila pewaris tidak ada keturunan, dan saudara perempuan apabila pewaris tidak mempunyai keturunan.

    c. Ahli waris mawali (pengganti), yakni ahli waris yang menggantikan seseorang yang meninggal untuk mendapatkan bagian warisan yang akan didapatkan oleh orang yang digantikan seandainya ia hidup. Misalnya, cucu yang menggantikan ayahnya dalam mewarisi harta kekayaan dari kakeknya.

    59

    Ahli waris menurut sitem waris patrilineal, dapat diuraikan sebagai

    berikut:

    a. Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang mendapatkan bagian sesuai ketentuan dalam Al-Qur‟an dan Hadits, antara lain: ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek.

    b. Ahli waris ashabah, yakni ahli waris yang tidak memperoleh bagian tertentu, tapi mendapatkan seluruh harta warisan apabila tidak ada ahli waris dzul faraid, dan mendapatkan seluruh harta warisan setelah dibagikan kepada ahli waris dzul faraid atau tidak menerima apapun jika telah halus dibagikan kepada ahli waris dzul faraid.

    60

    Ahli waris ashabah terbagi dalam tiga golongan yang dapat dikemukakan

    sebagai berikut:

    a. Asabah binafsihi, merupakan ahli waris ashabah karena dirinyya sendiri bukan karean bersama ahli waris lainnya, yaitu: anak laki-laki, bapak,

    kakek, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung,

    saudara laki-laki sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki

    paman kandung, dan anak laki-laki paman sebapak.

    59 Hazairin, 2014, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an dan Hadits, Edisi Revisi,

    Tintamas, Jakarta, hal.35. 60 F. Satriyo Wicaksono, 2012, Hukum Waris, Visimedia, Jakarta, hal.45.

  • 31

    b. Asabah bil-ghairi, merupakan ahli waris ashabah karena bersama ahli waris lainnya, yaitu seorang wanita yang menjadi ahli waris asabah karena

    ditarik oleh ahli waris laki-laki, yaitu anak perempuan yang mewaris

    bersama anak laki-laki, cucu perempuan yang mewaris bersama cucu

    lakilaki, saudara perempuan kandung yang mewaris dengan saudara laki-

    laki kandung, saudara perempuan sebapak yang dengan saudara yang

    mewaris bersama saudara laki-laki sebapak.

    c. Asabah ma‟al-ghairi, yakni saudara perempuan kandung atau sebapak yang menjadi ahli waris asabah karena mewaris bersama dengan keturunan

    perempuan, yaitu: saudara perempuan kandung yang mewaris dengan anak

    perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan

    sebapak yang mewaris dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari

    anak laki-laki.61

    Ahli waris dzul arham, yakni ahli waris yang mempunyai pertalian darah

    dengan pewaris lewat keluarga perempuan, yang termasuk ahli waris ini adalah

    cucu dari anak perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan

    pama, paman seibu, saudara laki-laki ibu, dan bibi. Kewarisan patrilineal selalu

    memberikan kedudukan yang lebih kepada pihak laki-laki, termasuk bagian antara

    ibu dan bapak atas harta warisan dari anaknya sendiri.62

    Harta warisan adalah

    benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli

    waris. Harta itu adalah sisa setelah diambil untuk berbagai kepentingan, yaitu

    biaya perawatan jenazah hutang-hutang dan penunaian wasiat.63

    Hukum Islam adalah hukum Allah yang menciptakan alam semesta ini,

    termasuk manusia didalamnya. Hukumnya pun meliputi semua ciptaan Nya itu.

    Hanya, ada yang jelas sebagaimana yang „tersirat‟ di balik hukum yang tersurat

    dalam Alquran itu. Selain yang tersurat dan tersirat itu, ada lagi hukum Allah yang

    tersenbunyi dibalik Al-Qur‟an. Hukum yang tersirat dan tersembunyi inilah yang

    harus dicari, digali dan ditemukan oleh manusia yang memenuhi syarat melalui

    61 Amir Syarifuddin, op.cit, hal. 40-41. 62 F. Satriyo Wicaksono, op.cit, hal.85. 63 Abdul Ghofur Anshori, 2002, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ekonisia,

    Yogyakarta, hal. 20.

  • 32

    penalarannya. Untuk menemukan hukum yang tersirat dan tersembunyi tersebut di

    perlukan wawasan yang jelas dan kemampuan untuk mencari dan menggali

    hakikat hukum ilahi serta tujuan Allah menciptakan hukum-hukum Nya.64

    Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam. Ayat

    Al-Qur‟an mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat di

    mengerti sebab masalah warisan pasti di alami oleh setiap orang. Kecuali itu,

    hukum waris langsung menyangkut harta benda apabila tidak diberikan ketentuan

    pasti, amat mudah menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Setiap terjadi

    peristiwa kematian seseorang, segera timbul pertanyaan bagaimana harta

    peninggalannya harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu dipindahkan,

    serta bagaimana caranya. Inilah yang diatur dalam hukum waris. Hukum

    kewarisan, termasuk salah satu aspek yang diatur secara jelas dalam Al-Qur‟an

    dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa, masalah kewarisan cukup

    penting dalam agama Islam.65

    Berdasarkan seluruh hukum yang berlaku dalam

    masyarakat, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan

    mencerminkan sistem kekeluargaan yang sekaligus merupakan salah satu bagian

    dari hukum perdata.66

    1.6.1.4 Konsep Wasiat Wajibah

    Wasiat wajibah adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu

    wasiat dan wajibah. Kata wasiat berasal dari bahasa arab dapat berarti membuat

    wasiat atau berwasiat, dan terkadang digunakan untuk sesuatu yang diwasiatkan.

    Kata wajibah berasal dari kata wajib yang telah mendapatkan imbuhan kata ta‟nis.

    64 Mohammad Daud Ali, 2006, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 124 65 Abdul Ghofur Anshori, op.cit, hal. 14 66 Ali Parman, op.cit, hal. 1

  • 33

    Menurut Abdul Wahab Khallaf, wajibah adalah sesuatu yang disuruh syari‟at

    untuk secara kemestian dilakukan oleh orang mukallaf, karena secara langsung

    dijumpai petunjuk tentang kemestian memperbuatnya.67

    Pengertian wajibah mengandung makna bahwa wasiat yang

    pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau

    kehendak si pewasiat yang meninggal dunia. Dimana pelaksanaan wasiat tersebut

    tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau

    dikehendaki, tapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang

    membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.68

    Pengertian istilah ulama fikih, Abu Zahrah, setelah mengemukakan

    berbagai defenisi yang dibarengi dengan analisis, mengatakan defenisi yang

    relative lebih sempurna adalah yang terdapat dalam Undang-Undang Wasiat

    Mesir No. 71 Tahun 1946, “wasiat adalah mentasarrufkan peninggalan yang

    ditangguhkan waktunya sampai setelah terjadinya kematian”. Kata wajibah

    merupakan istilah fikih, yang berasal dari kata wajib yang telah mendapat

    penambahan. Zaki Sya‟ban menyebutkan pengertian wajib itu: “sesuatu perbuatan

    yang diperintahkan Allah untuk melaksanakannya secara keharusan, baik dia

    diperoleh dari kata perintah itu sendiri atau dari tanda-tanda lain yang dapat

    dipahami sebagai perintah.69

    Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa

    wasiat wajibah adalah suatu perintah yang syar‟i (Allah) yang merupakan

    keharusan untuk mentasarrufkan peninggalan yang ditangguhkan waktunya

    sampai setelah terjadinya kematian.70

    67 Ali Parman, op.cit, hal.54 68 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, 2009, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan

    Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal. 163 69 Ibid, hal. 371 70 Ibid, hal. 372

  • 34

    Menurut Fatchur Rahman, yang dimaksud dengan wasiat wajibah adalah

    suatu tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara

    untuk memaksa atau memberikan putusan wajib wasiat bagi orang-orang yang

    telah meninggal, yang diberikan kepada orang-orang tertentu, dalam keadaan

    tertentu.71

    Menurut Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, yang dimaksud

    dengan wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau

    tidak tegantung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap

    dilaksanakan, baik diucapkan atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang

    meninggal dunia. Jadi pelaksanaan tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat

    tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya

    didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat

    tersebut harus dilaksanakan.72

    Pendapat Ibn Hazm mengenai wasiat wajibah adalah wasiat yang

    ditetapkan oleh penguasa dan dilaksanakan oleh hakim untuk orang-orang tertentu

    yang tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, dan tidak memperoleh

    warisan karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, atau terhalang mewarisi,

    sementara si mayit meninggalkan harta yang baginya berlaku wasiat wajibah.73

    Pengertian dari wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak

    dipengaruhi atau tidak bergantung pada kemauan atau kehendak yang meninggal

    dunia.74

    Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa wasiat wajibah

    secara etimologis berarti wasiat yang hukumnya wajib. Sedangkan secara

    71 Fatchur Rahman, 2009, Ilmu Waris, Bulan Bintang,, Jakarta, hal. 63. 72 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit, hal. 89 73 Ramlan Yusuf Rangkuti, 2010, Fikih Kontenporer Di Indonesia (Studi Tentang

    Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia), Pustaka Bangsa Press, Medan, hal.373. 74 Suhardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, 2007, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika,

    Jakarta, hal. 120

  • 35

    terminologi, wasiat wajibah adalah suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau

    lembaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia

    tetapi tidak melakukan wasiat secara sukarela diambil sebagian dari harta benda

    peninggalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu

    pula. Namun demikian, penguasa atau hakim sebagai aparat negara tertinggi

    mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putsan wajib wasiat

    yang terkenal dengan wasiat wajibah, kepada orang tertentu dalam keadaan

    tertentu.

    Dalil pokok tentang wasiat wajibah adalah Surat Al-Baqarah: 180 yang

    berbunyi:

    Kutiba 'alaikum idzaa hadhara ahadakumul mautu in taraka khairanal

    washiyyatu lilwaalidaini wal aqrabiina bil ma'ruufi haqqan 'alal muttaqiin(a).

    Artinya:

    Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-

    tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-

    bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (sebagai) kewajiban atas orang-

    orang yang bertqwa.75

    Ayat di atas, dapat dipahami bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang

    diberikan kepada kerabat yang karena alasan tertentu tidak mendapatkan bagian

    warisan serta tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, sementara

    orang yang meninggal dunia tersebut mempunyai harta yang baginya berlaku

    kewajiban untuk berwasiat. Dikatakan wasiat wajibah disebabkan karena:

    75 Departemen Agama Republik Indonesia, 2017, devquran.majorbee.com, diakses

    tanggal 20 Desember 2017

  • 36

    1) Hilangnya unsur ikhtiyar bagi sipemberi wasiat dalam munculnya unsure kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan dari si penerima wasiat.

    2) Ada kemiripan dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.

    76

    Menurut Ahmad Rofiq, wasiat wajibah adalah wasiat yang dibebankan

    oleh hakim agar seseorang yang telah meninggal dunia yang tidak melakukan

    wasiat secara sukarela, harta peninggalannya dapat diambil untuk diberikan

    kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.77

    Berdasarkan penjabaran di atas, terdapat dua unsur yang penting yang

    membedakan antara wasiat biasa dengan wasiat wajibah, yaitu:

    1) Wasiat wajibah ditetapkan berdasarkan ketetapan hukum dan perundangundangan yang dibuat oleh penguasa atau hakim, sehingga pelaksanaannya berdasarkan ketetapan perundang-undangan atau aturan hukum dan tidak bergantung kepada ada atau tidaknya seseorang berwasiat semasa hidupnya. Oleh karena itu, ketentuan seperti ini berbeda dengan wasiat biasa, di mana pelaksanaannya sangat bergantung kepada kehendak si pewasiat. Batasan pengertian di atas juga menunjukkan bahwa wasiat wajibah sebenarnya tidak murni wasiat, dalam tata aturannya terdapat aspek-aspek yang sama dengan kewarisan, seperti tidak dibutuhkannya ijab dan qabul dari si pemberi wasiat dan si penerima wasiat. Disamping itu, wasiat wajibah berlaku secara terpaksa oleh peraturan perundang-undangan.

    2) Wasiat ini diperuntukkan kepada saudara yang suatu halangan syarak (misalnya saudara yang beragama non-muslim) atau karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, sehingga tidak berhak menerima warisan. Berbeda dengan wasiat biasa, di mana wasiat itu boleh diperuntukkan kepada orang lain yang bukan ahli waris atau bukan karib kerabat.

    78

    Wasiat wajibah ini sendiri pada mulanya dipergunakan pertama kali di

    Mesir melalui Undang-Undang Hukum Waris tahun 1946 untuk menegakkan

    keadilan dan membantu cucu yang tidak memperoleh hak warisnya. Sehingga

    ketentuan hukum ini bermanfaat bagi anak-anak dari anak laki-laki yang

    meninggal atau anak laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah. Sedangkan untuk

    76 Factur Rahman I, op.cit, hal. 63-64. 77 A. Rofiq, op.cit, hal. 462. 78 A. Rofiq, op.cit, hal. 462.

  • 37

    garis anak perempuan hanya berlaku untuk anak dari anak perempuan saja tidak

    berlanjut sampai generasi selanjutnya. Selain di negara Mesir, diberlakukan pula

    di negara-negara yang mayoritas Islam, termasuk salah satunya adalah negara

    Indonesia.

    Pada mulanya wasiat wajibah yang di kenal di Indonesia hanya

    diperuntukkan untuk anak angkat dan/atau orang tua angkat, sebagaimana yang

    tertuang di dalam Pasal 209 KHI yang menentukan:

    1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat

    yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya

    sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.

    2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyakbanyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya.

    Pasal 171 huruf h KHI menentukan bahwa anak angkat adalah anak yang

    dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan

    sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua

    angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Pasal 171 huruf f KHI menentukan

    bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau

    lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Aturan mengenai

    wasiat ini di atur di dalam KHI mulai dari Pasal 194 sampai dengan Pasal 209.

    Pasal 194 sampai dengan Pasal 208, mengatur wasiat pada umunya yang bersifat

    lazim sebagaimana yang ada dalam fikih klasik sebagai peninggalan para yuris

    Islam. Tetapi pada pasal 209 memuat tentang wasiat wajibah terhadap orang tua

    angkat dan anak angkat.

    Pada Pasal 209 ayat (2) KHI, memberikan gambaran bahwa anak angkat

    dapat menerima wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang

    tua angkatnya. Adanya ketentuan wasiat wajibah dalam KHI merupakan jembatan

    yang menutupi ketimpangan yang terjadi selama ini antara anak angkat dan orang

  • 38

    tua angkat yang tidak terjadi saling mewarisi, karena memang tidak ada ketentuan

    saling mewarisi antara keduanya. Sedangkan anak angkat yang telah sangat

    berjasa, merawat dan memelihara orang tua angkat tidak mendapat harta

    peninggalan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia, atau sebaliknya, kecuali

    orang tua angkat atau anak angkat itu telah lebih dahulu membuat wasiat. Bila

    tidak ada anak angkat atau orang tua angkat itu tidak mendapat harta apapun. Hal

    ini telah terasa tidak adil dalam masyarakat. Anak angkat yang telah mengabdi

    begitu lama untuk kemaslahatan orang tua angkat atau sebaliknya tidak mendapat

    bagian harta.

    1.6.1.5 Konsep Ijtihad

    Konsep ijtihad berasal dari bahasa Arab. Akar kata ijtihad adalah “ja-ha-

    da”. Kata ini beserta seluruh derivasinya menunjukan “pekerjaan yang dilakukan

    lebih dari yang biasanya, atau sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi.79

    Pengertian inilah Nabi Muhammad SAW, menggunakan kata ijtihad; pada waktu

    sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdo„a (Fajtahidu fi al-Du„a).

    Konsep ijtihad pada umumnya dibicarakan dalam buku-buku Ushûl Fiqh.

    Salah satu definisi Ushûl Fiqh tentang ijtihad adalah pengerahan segenap

    kemampuan seorang ahli fiqh untuk memeperoleh pengetahuan tentang hukum-

    hukum syara„. Dalam pengertian inilah seorang mujtahid disyaratkan seorang

    ahli. Dengan kata lain, ijtihad tidak dapat di-lakukan sembarang orang, melainkan

    harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:80

    Pertama, menguasai pengetahuan

    bahasa Arab dan seluk-beluk sejarah bahasa karena seseorang yang tidak

    mengetahui bahasa Arab tidak mungkin melakukan Istinbath al-Ahkam; Kedua,

    79 Muhammad Musa Towana, 2002, Al-Ijtihad: Madza Hajatina Ilaihi Fi Hadza al-„Ashr

    Ans Al-Kutub al-Haditsah, Kairo, hal.97. 80 Rachmat Syafe‟i, 2001, Pengantar Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, hal.52.

  • 39

    memahami fiqh yaitu ilmu tentang hukum syara„ dan sebab-sebab

    pembentukannya; Ketiga, memahami Ushûl fiqh yaitu suatu ilmu yang membahas

    secara luas dan mendalam tentang sumber-sumber dalil, Al-Quran, al-Sunnah

    serta Turûq al-Istinbath seperti Qiyas; Keempat, memahami ilmu tauhid dan

    keadilan Allah; Kelima, mengetahui perbuatan yang baik dan jahat; Keenam,

    mampu menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat sehingga tampak menjadi ayat-ayat

    yang muhkamat, dan mampu menguraikan perbedaan antara ayat Muhkamat dan

    Mutasyabihat.

    Perlu dicatat bahwa konsep ijtihad juga merupakan bagian penting dalam

    pengkajian hukum Islam. Sehingga para ulama selalu menggunakan ijtihad untuk

    menjelaskan masalah-masalah yang tidak diatur secara rinci dalam Al-Quran dan

    Hadits. Lapangan ijtihad ialah seputar hukum syara„ yang bukan merupakan dalil

    qath„i. Dalam hal ini, ijtihad dibedakan ke dalam dua bagian. Pertama, syari„at

    yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu bukan hukum yang telah

    dimaklumi sebagai landasan pokok yang berdasarkan pada nash-nash yang qath„i,

    seperti kewajiban melaksanakan shalat lima waktu, zakat, puasa, ibadah haji, atau

    karena melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Kedua, syari„at yang dapat

    dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum-hukum yang didasarkan pada dalil-dalil

    yang bersifat dzanny dan hukum-hukum yang tidak ada pastinya atau tidak ada

    ijma„ ulama.

    Ijtihad adalah penafsiran bebas atau orisinal atas masalah-masalah yang

    tidak dibahas di dalam Al-Quran, Hadits dan Ijma„. Pada awal berdirinya

    masyarakat Muslim, setiap ulama yang memenuhi syarat memiliki hak untuk

    menerapkan penafsiran orisinal tersebut. Namun karena ketakutan perubahan

    besar akan melemahkan posisi politik mereka, pintu gerbang ijtihad ditutup bagi

  • 40

    kaum Muslim Sunni oleh para ulama pada sekitar 500 tahun lalu. Sejak saat itu,

    para akademisi dan ulama hanya berpegang pada makna asli dan tafsiran awal atas

    Al-Quran dan Hadits. Namun, saat ini terdapat gerakan yang terus berkembang di

    kalangan para ulama dan intelektual untuk membangkitkan kembali praktek

    ijtihad.81

    Penting untuk ditelaah di sini bahwa ijtihad merupakan salah satu

    instrumen dalam menggali sumber dan metode hukum syara„ (Ijtihad fi al-

    Istinbath al-Hukm). Dalam konteks ini, seorang mujtahid umumnya merumuskan

    hukum syara„ dari sumbernya yakni Al-Quran dan Hadits.

    1.6.2 Kerangka Pemikiran

    Penelitian ini berdasarkan adanya norma kosong dalam Pasal 209 KHI

    yang tidak mengatur apakah istri yang beragama non-muslim yang tadinya tidak

    berhak atas warisan suaminya dapat diberikan wasiat wajibah sebagaimana halnya

    orangtua angkat dan anak angkat, maka rumusan masalah penelitian dikemukakan

    dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut (1) Bagaimana pengaturan hukum

    waris Islam untuk istri yang tidak beragama Islam?; dan Bagaimana kedudukan

    istri yang beda agama terhadap harta warisan menurut Hukum Waris Islam dan

    menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?.

    Selanjutnya untuk membahas rumusan masalah pertama digunakan teori

    keadilan, sedangkan untuk membahas rumusan masalah kedua digunakan teori

    penemuan hukum (rechtvinding). Penelitian ini juga menggunakan konsep

    pewarisan dalam hukum Islam, yang lebih diarahkan untuk membahas rumusan

    masalah pertama. Selain itu digunakan juga konsep konsep wasiat wajibah untuk

    membahas rumusan masalah kedua.

    81 Claude Salhani, 2004, Membuka Pintu Gerbang Ijtihad, Remaja Rosdakarya, Bandung,

    hal.36.

  • 41

    Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum

    normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan

    pendekatan kasus. Bahan hukum primer, sekunder dan tersier dikumpulkan

    melalui studi kepustakaan. Selanjutnya hasil penelitian dibahas untuk

    mendapatkan suatu simpulan penelitian. Berdasarkan simpulan penelitian ini,

    dikemukakan saran-saran untuk menyempurnakan jawaban dari permasalahan

    penelitian.

    Berdasarkan uraian di atas, maka untuk jelasnya kerangka pemikiran

    tersebut dapat dijelaskan dalam bagan sebagai berikut:

    Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

    1.7 Metode Penelitian

    1.7.1 Jenis Penelitian

    Berangkat dari adanya norma kosong dalam Pasal 209 KHI yang tidak

    mengatur apakah istri yang beragama non-muslim yang tadinya tidak berhak atas

    Latar Belakang

    Masalah:

    Adanya norma kosong dalam Pasal 209 KHI

    yang tidak mengatur apakah istri yang

    beragama non-muslim yang tadinya tidak

    berhak atas warisan suaminya dapat

    diberikan wasiat wajibah sebagaimana

    halnya orangtua angkat

    dan anak angkat

    Rumusan Masalah:

    1. Bagaimana kedudukan janda

    yang beda agama

    menurut Hukum Waris Islam?

    2. Apakah janda beda agama dapat

    menerima bagian

    harta warisan dari

    almarhum suaminya?

    Teori:

    - Teori keadilan - Konsep

    Pewarisan dalam Hukum Islam

    - Teori Penemuan Hukum

    (Rechtvinding) - Konsep Wasiat

    Wajibah - Konsep Ijtihad

    Metode Penelitian:

    Metode penelitian

    yuridis normatif

    dengan pendekatan

    perundang-

    undangan (statute

    approach),

    pendekatan konsep (conceptual

    approach) dan

    pendekatan kasus

    (case approach)

    Hasil Penelitian

    Pembahasan, Simpulan dan Saran

  • 42

    warisan suaminya dapat diberikan wasiat wajibah sebagaimana halnya orangtua

    angkat dan anak angkat, maka dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian

    hukum normatif. Penelitian hukum normatif (normative legal research)

    merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-

    undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum

    tertentu. Penelitian hukum normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal,

    yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-

    undangan dan bahan pustaka.82

    Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian

    yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam

    hukum positif.83

    Menurut I Made Pasek Diantha penelitian hukum normatif

    berfungsi untuk memberi argumentasi yuridis ketika terjadi kekosongan,

    kekaburan dan konflik norma. Lebih jauh ini berarti penelitian hukum normatif

    berperan untuk mempertahankan aspek kritis dari keilmuan hukumnya sebagai

    ilmu normatif.84

    1.7.2 Jenis Pendekatan

    Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif

    akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan

    ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi

    hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. Dalam

    kaitannya dengan penelitian hukum normatif dapat digunakan beberapa

    pendekatan yaitu:

    82 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta,

    hal. 34. 83 Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,

    Malang, hal. 295. 84 I Made Pasek Diantha, 2017, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi

    Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, hal.12.

  • 43

    a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach). b. Pendekatan Konsep (conceptual approach). c. Pendekatan Perbandingan (comparative approach). d. Pendekatan Historis (historical approach). e. Pendekatan Filsafat (philosophical approach). f. Pendekatan Kasus (case approach).85

    Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu

    penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih

    yang sesuai. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

    pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

    (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat

    permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai

    kedudukan janda beda agama dalam pewarisan menurut hukum Islam.

    1.7.3 Sumber Bahan Hukum

    Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari

    data sekunder/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

    sekunder dan bahan hukum tersier, yang diuraikan sebagai berikut:

    a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang

    berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

    permasalahan yang akan dikaji,86

    terdiri dari :

    1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

    3) Kompilasi Hukum Islam.

    4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    85 Johnny Ibrahim, op.cit, hal. 300-301. 86 Johny Ibrahim, op.cit, hal. 392.

  • 44

    5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang tentang Pengesahan

    Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

    Terhadap Wanita.

    6) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan

    Kompilasi Hukum Islam.

    b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku

    teks, jurnal-jurnal ilmiah, hasil-hasil penelitian, pendapat para sarjana,

    kasus-kasus hukum, jurisprudensi serta simposium yang dilakukan para

    pakar terkait dengan objek kajian penelitian hukum ini.87

    c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi

    petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

    sekunder, seperti kamus hukum dan internet yang memuat informasi yang

    relevan dengan objek kajian penelitian.88

    1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

    Teknik yang digunakan untuk pengumpulan bahan hukum dalam

    penulisan ini yaitu melalui teknik telaah kepustakaan (study document) dengan

    penggunaan teknik bola salju (snow ball) yakni diawali dengan menemukan bahan

    hukum yang satu yang diikuti dengan bahan hukum yang lainnya yang

    direferensikan oleh bahan hukum yang pertama, begitu seterusnya hingga

    terkumpul bahan hukum sebanyak mungkin melalui referensi dari satu literatur ke

    literatur lainnya. Pencatatan bahan hukum yang terkumpul dilakukan dengan

    sistem kartu (card system) yakni setelah mendapat semua bahan yang diperlukan

    87 Johny Ibrahim, op.cit, hal. 392. 88 Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Souyrces of Public Policy,

    Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.

  • 45

    kem