Upload
ekaf570
View
16
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Ginjal Kronik
2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit
akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi
penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah. Gagal ginjal
terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh
atau melakukan fungsi regulasinya. Suatu bahan yang biasanya
dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan eksresi
renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan,
elektrolit serta asam-basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan
merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai peyakit urinary tract dan
ginjal (Arif Muttaqin, 2011)
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner
and Suddart, 2002)
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal atau penurunan
kemampuan filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) yang
terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau
pertanda kerusakan gagal ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda
kerusakan ginjal, diagnosis penyakit gagal ginjal kronis ditegakkan jika
nilai laju filtrasi glomerolus kurang dari 60ml/menit/1,73 m2 (National
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative dikutip dari Arora. 2009)
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang progresif yang
berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen
lainnya beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan
dialysis atau transplantasi ginjal) (Nursalam dan Fransisca B.B. 2009)
2.1.2 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Klasifikasi sesuai dengan test kreatinin klien,maka GGK dapat terbagi
menjadi:
100 – 76 ml/mnt disebut insufiensi ginjal berkurang
75 – 26 ml/mnt disebut insufiensi ginjal kronik
25 – 5 ml/mnt disebut GGK
<5ml/mnt disebut gagal ginjal terminal
Derajat Primer LFG (%) Sekunder Kreatinin (mg%)
A Normal Normal
B 50-80 Normal-2,4
C 20-50 2,5-4,9
D 10-20 5-7,9
E 5-10 8-12
F <5 >12
Berdasarkan stadiumnya gagal ginjal di bedakan menjadi 3 stadium :
Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal (GFR turun 50%)
- Tahap ringan dimana faal ginjal masih bagus
- Asimptomatik
- Kreatinin dan BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal
- Gangguan dapat di lihat dengan : tes pemekatan urin dan GFR teliti
Stadium 2 : insufisiensi ginjal
- Tahap dimana dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak,
yang terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari normal.
Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan
sendiri karena beratnya beban yang mereka terima.
- Kreatinin dan BUN mulai meningkat diatas batas normal (tergantung
dari kadar protein diet pasien)
- Nokturia dan poliuria (dapat terjadi karena gagal untuk melakukan
pemekatan urin)
- Ada 3 derajat insufisiensi ginjal :
1. Ringan
40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2. Sedang
15% - 40 % fungsi ginjal normal
3. Berat
<20% fungsi ginjal normal
Stadium 3 : tahap akhir (GGK terminal) atau uremia
- GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron
fungsional yang tersisa (sekitar 90% dari massa nefron telah hancur
dan rusak).
- Kreatinin dan BUN meningkat sangat mencolok sehingga penurunan
fungsi ginjal.
- Gejala parah karena ketidakmapuan ginjal menjaga homeostasis
cairan dan elektrolit tubuh
- Oliguria bisa terjadi (output urin kurang dari 500 ml/ hari karena
kegagalan glomerulus)
- Uremia terjadi.
- Pada seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus.
Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan nilai laju glomerulus, yaitu
stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang
lebih rendah. (Parazella, 2005)
Tabel Klasifikasi dari GFR (Clarkson, 2005 dan K. K. Zadeh (2011) dan E.
Chang (2010):
Std Deskripsi LFG (ml/mnt/1,73m2)
0 Risiko meningkat >90 dengan faktor
risiko
1 Kerusakan ginjal dengan LFG
normal/meningkat
>90
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal <15 dan dialisis
Klasifikasi GGK (Tryani, 2005)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Stadium 1 Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG
yang masih normal >90ml/menit
Stadium 2
(ringan)
Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG
antara 60-89 ml/menit
Stadium 3
(sedang)
Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 ml/menit
Stadium 4
(berat)
Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 ml/menit
Stadium 5
(terminal)
Kelainan ginjal dengan LFG antara 15 ml/menit
Klasifikasi atas dasar diagnosis dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
– penyakit ginjal diabetis seperti penyakit diabetes tipe 1 dan tipe 2,
– penyakit ginjal nondiabetis seperti penyakit glomerular, penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi dan mikroangiopati), penyakit
tubulointerstitial (infeksi saluran kemih, batu obstruksi dan toksisitas obat),
penyakit kistik
– penyakit pada transplantasi seperti penyakit rejeksi kronis, keracunan obat,
penyakit recurren, transplantasi glomerulopathy (Suhardjono, 2003 dikutip dari
Susalit). Krause (2009) menambahkan bahwa penyebab dari gagal ginjal
kronik sangat beragam. Pengetahuan akan penyebab yang mendasari
penyakit penting diketahui karena akan menjadi dasar dalam pilihan
pengobatan yang diberikan. Penyebab gagal ginjal tersebut diantaranya
meliputi :
a. Penyebab dengan frekuensi paling tinggi pada usia dewasa serta anak-
anak adalah glomerulonefritis dan nefritis interstitial.
b. Infeksi kronik dari traktus urinarius (menjadi penyebab semua golongan
usia).
c. Gagal ginjal kronik dapat pula dialami ana-anak yang menderita
kelainan kongenital seperti hidronefrosis kronik yang mengakibatkan
bendungan pada aliran air kemih atau air kemih mengalir kembali dari
kandung kemih.
d. Adanya kelainan kongenital pada ginjal.
e. Nefropati herediter.
f. Nefropati diabetes dan hipertensi umumnya menjadi penyebab pada
usia dewasa.
g. Penyakit polisistik, kelainan pembuluh darah ginjal dan nefropati
analgesik tergolong penyebab yang sering pula.
h. Pada beberapa daerah, gangguan ginjal terkait dengan HIV menjadi
penyebab yang lebih sering.
i. Penyakit yang tertentu seperti glomerulonefritis pada penderita
transplantasi ginjal. Tindakan dialisis merupakan pilihan yang tepat pada
kondisi ini.
j. Keadaan yang berkaitan dengan individu yang mendapat obat
imunosupresif ringan sampai sedang karena menjalani transplantasi
ginjal. Obat imunosupresif selama periode atau masa transisi setelah
transplantasi ginjal yang diberikan untuk mencegah penolakan tubuh
terhadap organ ginjal yang dicangkokkan menyebabkan pasien beresiko
menderita infeksi, termasuk infeksi virus seperti herpes zoster.
2.1.3 EPIDEMIOLOGI
Menurut United State Renal Data System (USRDS, 2008) di Amerika
Serikat prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat sebesar 20-25% setiap
tahunnya. Di Kanada insiden penyakit gagal ginjal tahap akhir meningkat rata-
rata 6,5 % setiap tahun (Canadian Institute for Health Information (CIHI), 2005),
dengan peningkatan prevalensi 69,7 % sejak tahun 1997 (CIHI, 2008).
Sedangkan di Indonesia prevalensi penderita gagal ginjal hingga kini belum ada
yang akurat karena belum ada data yang lengkap mengenai jumlah penderita
gagal ginjal kronis di Indonesia. Tetapi diperkirakan, bahwa jumlah penderita
gagal ginjal di Indonesia semakin meningkat. WHO memperkirakan di Indonesia
akan terjadi peningkatan penderita gagal ginjal antara tahun 1995-2025 sebesar
41,4%. Berdasarkan data dari Yayasan Ginjal Diatras Indonesia (YGDI) RSU AU
Halim Jakarta pada tahun 2006 ada sekitar 100.000 orang lebih penderita gagal
ginjal di Indonesia.
2.1.4 PATOFISIOLOGI (terlampir)
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat
dari penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
setiap gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal.
Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus
yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi
glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga
kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah
(NUD) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif
dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD
tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan
protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi
cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal
tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal
pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan
masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering
tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal
jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi
aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi
aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam,
mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status
uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH) dan
mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam
organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi
eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan
keletihan. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan usia sel darah
merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan
karena status pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi
anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang
diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan
sel darah merah.
Pathway (Terlampir)
2.1.5 ETIOLOGI
Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan gagal ginjal kronis
bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan dari luar ginjal (Arif Muttaqin, 2011) :
1. Penyakit dari Ginjal
Glomerulonefritis
Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis
Batu ginjal: nefrolitiasis
Kista di Ginjal: polcystis kidney
Trauma langsung pada ginjal
Keganasan pada ginjal
Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/struktur.
Penyakit tubulus primer: hiperkalemia primer, hipokalemia kronik,
keracunan logam berat seperti tembaga, dan kadmium.
Penyakit vaskuler: iskemia ginjal akibat kongenital atau stenosis arteri
ginjal, hipertensi maligna atau hipertensi aksekrasi.
Obstruksi: batu ginjal, fobratis retroperi toneal, pembesaran prostat
striktur uretra, dan tumor.
Menurut David Rubenstein dkk. (2007), penyebab GGK diantaranya:
Penyakit ginjal herediter, Penyakit ginjal polikistik, dan Sindrom Alport
(terkait kromosom X ditandai dengan penipisan dan pemisahan
membrane basal glomerulus)
2. Penyakit dari Luar Ginjal
DM, hipertensi, kolesterol tinggi
Dyslipidemia
SLE
TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis
Preeklamsi
Obat-obatan
Luka bakar
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis : Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit
ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan
gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer
dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari
ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus
eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau
keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti
dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus : Menurut American Diabetes Association (2003) dalam
Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul
secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya
perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih
sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat
berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi
ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
c. Hipertensi: tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya
atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal
(Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik: Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi
cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada
keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di
korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat
disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang
lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic
kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di
atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan
anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada
istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.
2.1.6 FAKTOR RESIKO
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes mellitus
atau hipertensi, obesitas , perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan dengan
riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga. (National Kidney Foundation, 2009)
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara lain :
Diabetes : Diabetes tipe 2 merupakan penyebab nomor satu. Dengan
mengendalikan kadar gula darah risiko terjadinya kerusakan ginjal dapat
dicegah.
Tekanan darah tinggi (hipertensi) : Hipertensi yang berkelanjutan dapat
merusak atau mengganggu pembuluh darah halus dalam ginjal yang lama
kelamaan dapat mengganggu kemampuan ginjal untuk menyaring darah.
Dengan menjaga berat badan tetap ideal, berolahraga teratur, dan
menggunakan obat yang sudah diresepkan dokter dapat membantu
mencegah atau memperlambat perkembangan penyakit ginjal menjadi gagal
ginjal.
Mengkonsumsi obat pereda rasa nyeri yang mengandung ibuprofen
berlebihan maupun dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan
timbulnya nefritis intersitialis, yaitu peradangan ginjal yang dapat mengarah
pada gagal ginjal. Jika Anda mengalami gangguan fungsi ginjal dan sedang
mengkonsumsi obat secara rutin, coba konsultasikan ke dokter. Untuk obat
baru, konsultasikan dengan dokter bila Anda mengalami gejala tertentu.
Penyalahgunaan obat / zat tertentu Pemakaian obat terlarang, seperti heroin
atau kokain, dapat menyebabkan kerusakan fungsi ginjal yang dapat
mengarah pada gagal ginjal.
Agent : NTA akibat toksik terjadi akibat menelan zat-zat nefrotoksik. Ada
banyak sekali zat atau obat-obat yang dapat merusak epitel tubulus dan
menyebabkan GGA, yaitu seperti : Antibiotik : aminoglikosoid, penisilin,
tetrasiklin, amfotersisin B, sulfonamida, dan lain-lainnya. Obat-obat dan zat
kimia lain : fenilbutazon, zat-zat anestetik, fungisida, pestisida, dan kalsium
natrium adetat. Pelarut organik : karbon tetraklorida, etilon glikol, fenol, dan
metal alkohol. Logam berat : Hg, arsen, bismut, kadmium, emas, timah,
talium, dan uranium. Pigmen heme : Hemoglobin dan mioglobin
Radang : Penyakit tertentu, seperti glomerulonefritis (radang pada
glomerulus/unit penyaring ginjal) dapat merusak ginjal, sehingga ginjal tidak
bisa lagi menyaring zat-zat sisa metabolisme tubuh. Untuk mengetahui lebih
lanjut, biasanya dokter akan meminta Anda melakukan serangkaian
pemeriksaan di laboratorium.
Pekerjaan : Orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan bahan-
bahan kimia akan dapat mempengaruhi kesehatan ginjal. Bahan-bahan
kimia yang berbahaya jika terpapar dan masuk kedalam tubuh dapat
menyebabkan penyakit ginjal. Misalnya pada pekerja di pabrik atau industri.
Perilaku minum : Air merupakan cairan yang sangat penting di dalam tubuh.
Lebih kurang 68% berat tubuh terdiri dari air. Minum air putih dalam jumlah
cukup setiap hari adalah cara perawatan tubuh terbaik. Air ini sebagai
simpanan cairan dalam tubuh. Sebab bila tubuh tidak menerima air dalam
jumlah yang cukup, tubuh akan mengalami dehidrasi. Di mulai dengan
simpanan air tubuh yang menurunan dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan. Organ-organ tubuh yang vital juga sangat peka terhadap
kekurangan air, salah satunya adalah ginjal. Ginjal tidak dapat berfungsi
dengan baik bila tidak cukup air. Pada proses penyaringan zat-zat racun,
ginjal melakukannya lebih dari 15 kali setiap jam, hal ini membutuhkan
jumlah air yang banyak sebelum diedarkan ke dalam darah. Bila tidak cukup
cairan atau kurang minum, ginjal tidak dapat bekerja dengan sempurna
maka bahan-bahan yang beredar dalam tubuh tidak dapat dikeluarkan
dengan baik sehingga dapat menimbulkan keracunan darah dan
menyebabkan penyakit ginjal.
Environment : Cuaca panas dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ginjal.
Jika seseorang bekerja di dalam ruangan yang bersuhu panas, hal ini dapat
mempengaruhi kesehatan ginjalnya. Yang terjadi adalah berkurangnya aliran
atau peredaran darah ke ginjal dengan akibat gangguan penyediaan zat-zat
yang diperlukan oleh ginjal dan pada ginjal yang rusak hal ini akan
membahayakan
Beberapa faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, adalah:
Riwayat Keluarga Penyakit Ginjal : Jika ada anggota keluarga menderita
GGK, atau yang sedang menjalani dialisis, atau transplantasi ginjal, Anda
memiliki risiko mengalami penyakit ini. Salah satu jenis penyakit yang
bersifat diturunkan adalah penyakit ginjal polikistik, yaitu penyakit ketika
jaringan normal ginjal secara perlahan digantikan oleh kista-kista berisi
cairan.
Kelahiran Premature : Bayi prematur (lahir kurang dari 32 minggu kehamilan)
berisiko memiliki penumpukan endapan kalsium di bagian nefron ginjal, yang
dikenal dengan nefrokalsinosis. Hal ini mungkin disebabkan oleh
menurunnya kemampuan menghambat proses penggumpalan kristal akibat
beban kalsium yang disaring meningkat dan ekskresi sitrat berkurang. Bila
tidak diatasi, bayi yang memiliki kondisi seperti ini memiliki risiko untuk
menderita gangguan fungsi ginjal di kemudian hari.
Usia : Seiring dengan pertambahan usia, fungsi ginjal pun dapat menurun.
Usia penderita gagal ginjal berkisar antara 40-50 tahun, tetapi hampir semua
usia dapat terkena penyakit ini. Menurut penelitian D.W. Bates penyakit
gagal ginjal paling banyak pada penderita yang berumur 45 tahun.
Jenis kelamin : Kejadian pada laki-laki dan wanita hampir sama. Menurut
penelitian Orfeas Liangas dkk (2001), dari 558.032 penderita gagal ginjal
51,8% adalah laki-laki, sedangkan perempuan sebesar 48,2%.
Ras/etnik : (African-American, Hispanic, American Indian,Asian)
Trauma atau Kecelakaan : Kecelakaan, cedera, beberapa jenis operasi,
juga dapat mengganggu atau merusak ginjal.
Jenis Penyakit Tertentu dapat meningkatkan risiko terjadinya GGK. Penyakit
ini antara lain penyakit lupus, anemia sel sabit (sickle cell anemia), kanker,
AIDS, hepatitis C dan gagal jantung berat. (Bahan dari Koesh-Bandung)
2.1.7 MANIFESTASI KLINIS
Gejala menurut (Long,1996 : 369)
Gejala dini : lethargi,sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang,mudah tersinggung, depresi
Gejala yg lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah,nafas dangkal
Gejala berdasarkan organ yang terkena, antara lain:
1. Kardiovaskuler: Hipertensi,nyeri dada, gagal jantung kongesti, edema
pulmoner,perikarditis, Pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema
periorbital, friction rub pericardial, pembesaran vena leher (peningkatan
JVP)
2. Dermatologi : Warna kulit abu-abu mengkilat, pucat,kulit kering bersisik,
pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner : Krekels, sputum kental dan liat, nafas dangkal, dan pernafasan
kussmaul
4. Gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah, cegukan, nafas berbau
ammonia, Ulserasi,perdarahan mulut, konstipasi, diare, perdarahan saluran
cerna.
5. Neurologi : Tidak mampu konsentrasi, kelemahan, keletihan, perubahan
tingkat kesadaran, disorientasi, kejang, rasa panas pada telapak kaki,
perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal : Keram otot, kekuatan otot hilang, pegal kaki sehingga
selalu digerakkan (kesemutan dan terbakar, terutama di telapak kaki),
tremor, miopati (kelemahan dan hipertrofi otot-otot ekstremitas)
7. Endokrin: gangguan seksualitas, libido fertilisasi dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore, gangguan metabolik glukosa, lemak
dan vitamin D
8. Persendian : Gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra tulang
9. Kelainan mata : Azotemia ameurosis, retinopati, nistagmus, miosis dan
pupil asimetris, red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi,
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronis
akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
10. Sistem hematologi : Kelainan hemopoeisis, Anemia normokrom normositer
dan normositer (MCV 78-94 CU), Kelelahan dan lemah karena anemia atau
akumulasi substansi buangan dalam tubuh. Perdarahan karena
mekanisme pembekuan darah yang tidak berfungsi. Selain itu hemopoesis
dapat terjadi karena berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis,
defisiensi besi
11. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa: Biasanya
retensi garam dan air tetapi dapat juga kehilangan natrium, asidosis,
hiperkalemia, hipomagnesia, hipokalsemia
12. Farmakologi : Obat-obatan yang diekskresi oleh ginjal
13. Gejala lain : Gangguan pengecapan, berat badan turun dan lesu, gatal-
gatal, gangguan tidur, cairan diselaput jantung dan paru-paru, otot-otot
mengecil, Gerakan-gerakan tak terkendali, kram, Sesak nafas dan
confusion, Perubahan berkemih : Poliuria, nokturia, oliguria
2.1.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKA
Pemeriksaan Laboratorium
Laju endap darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia
Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan
Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis
Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein
Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada
gagal ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer)
Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya
disebabkan retensi asam-basa organik pada gagal ginjal.
Ht: menurun karena pasien mengalamii anemia Hb < 7-8 gr/dl
BUN/Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir.
Rasio BUN dan kreatinin = 12:1 – 20:1
GDA: asidosis metabolic, PH <7,2
Protein albumin : menurun
Natrium serum: rendah, Nilai normal 40-220 mEq/l/hari tergantung berapa
banyak cairan dan garam yang dikonsumsi.
Kalium, magnesium : meningkat
Kalsium : menurun
Pemeriksaan Urin
Volume : biasanya < 400-500ml/24 jam atau bahkan tidak ada urin
(anuria)
Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh zat
yang tidak terreabsorbsi maksimal atau terdiri dari pus, bakteri, lemak,
fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah,
Hb, mioglobin.
Berat jenis : < 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal tubular
Klirens kreatinin : mungkin menurun.
Natrium : > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan
kerusakan glumerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
Osmolalitas: < 350 mOsm/kg, rasio urin/serum = 1:1
Pemeriksaan Radiologi: ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan
menilai derajat dari komplikasi yang terjadi
a. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih serta prostat.
b. IVP (Intra Vena Pielografi): untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan
tertentu, misalnya: usia lanjut, DM dan nefropati Asam urat.
c. Foto Polos Abdomen : untuk menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah
ada batu atau obstruksi lain. Foto polos yang disertai dengan tomogram
memberikan hasil keterangan yang lebih baik.Dehidrasi akan
memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu penderita diharapkan tidak
puasa.
Endoskopi : untuk menentukkan pelvis ginjal, batu, hematuria, dan
pengangkatan tumor selektif
d. Renogram: untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vaskuler, parenkim, eksresi), serta sisa fungsi ginjal.
e. EKG : untuk mengetahui kemungkinan hipertropi ventrikel kiri dan kanan,
tanda-tanda perikarditis, disritmia, gangguan elektrolit.
f. Renal anterogram : mengkaji terhadap sirkulasi ginjal dan
ekstravaskularisasi serta adanya masa.
g. Rotgen thorak : mengetahui tanda-tanda kardiomegali dan odema paru.
Pemeriksaan Patologi Anatomi
Biopsy ginjal : Dilakukan bila ada keraguan diagnostic gagal ginjal kronik
atau perlu diketahui etiologi daru penyakit ini
2.1.9 PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Terapi konservatif : tujuannya mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
Peranan Diet: 1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal
dengan memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan
kerja ginjal.2)Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang
tinggi (uremia).3)Mengatur keseimbangan cairan dan
elektrolit.4)Mencegah atau mengurangi progresifitas gagal ginjal,
dengan memperlambat turunnya laju filtrasi glomerulus (Almatsier,
2006). Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
Protein rendah, yaitu 0,6 – 0,75 gr/kg BB. Sebagian harus bernilai
biologik tinggi.Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan total energi,
diutamakan lemak tidak jenuh ganda. Karbohidrat cukup, yaitu :
kebutuhan energi total dikurangi yang berasal dari protein dan
lemak.Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, acites, oliguria,
atau anuria, banyak natrium yang diberikan antara 1-3 g. Kalium
dibatasi (60-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah > 5,5
mEq), oliguria, atau anuria.
Kebutuhan Jumlah Kalori: untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. Energi cukup
yaitu 35 kkal/kg BB.
Kebutuhan Cairan: Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan
harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Cairan
dibatasi yaitu sebanyak jumlah urine sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan melalui keringat dan pernapasan (±500 ml).
Kebutuhan Elektrolit dan Mineral: bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
Vitamin cukup, bila perlu berikan suplemen piridoksin, asam folat,
vitamin C, vitamin D.
b. Terapi Simtomatik
Asidosis Metabolic: harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
Anemia: Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan
salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.
Keluhan Gastrointestinal: Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,
merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan
gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK.
Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari
mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
Kelainan kulit : Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
Kelainan neuromuskular: Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan
yaitu terapi hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau
operasi subtotal paratiroidektomi.
Hipertensi : Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
Kelainan sistem kardiovaskular : Tindakan yang diberikan tergantung dari
kelainan kardiovaskular yang diderita.
c. Terapi Medis
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal .
Dialisis : Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan,
dan membantu penyembuhan luka. Dialisis adalah suatu proses difusi zat
terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari suatu
kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Terdapat dua teknik
yang digunakan dalam dialisis, yaitu :
Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan atau produk limbah karena dalam tubuh
penderita gagal ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut
(Brunner&Suddarth, 2002). Menurut corwin (2000), hemodialisis
adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa
darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk
kedalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah
membran semipermeable (dializer) yang terdiri dari dua ruangan.
Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan
dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah dilakukan
pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh
melalui arterio venosa shunt (AV-shunt). Tindakan terapi dialisis
tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) >
120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara
5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat. Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan
sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.
Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya
adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney).
Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya
yang mahal.
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan
hemodialisa antara lain :
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi eksresi, yaitu
membuang sisa-sisa metabolisme (ureum, kreatinin, dll).
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan
tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat
ginjal sehat
c. Meningkatan kualitas hidup klien yang menderita
penurunan fungsi ginjal.
Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisa pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Pengobatan ini jarang
dipakai untuk jangka panjang. Akhir-akhir ini sudah populer
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di
luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien
anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien
yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan
stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin
masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan
co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,
tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di
daerah yang jauh dari pusat ginjal.
Koreksi Hiperkalemi : Mengendalikan kalium darah sangat penting karena
hiperkalemi dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama
diingat jangan menimbulkan hiperkalemia. Bila terjadi hiperkalemia, maka
obati dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan
pemberian infuse glukosa.
Koreksi Anemia: Usaha pertama harus dilakukan untuk mengatasi factor
defisiensi, kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin
dapat diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat
meninggikan Hb. Tranfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi
kuat, misalnya: insufisiensi koroner.
Koreksi Asidosis: Pemberian makanan dan obat harus dihindari. Natrium
Bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100
mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan. Jika diperlukan
dapat diulang. Hemodialisis dan dialysis peritoneal juga dapat mengatasi
asidosis.
Pengendalian Hipertensi : Pemberian obat Beta-Blocker, Alpa Metildopa,
dan vasodilator dilakukan. Mengurangi intake garam dan mengendalikan
hipertensi harus hati-hati karena tidak sama gagal ginjal disertai retensi
natrium.
Transplantasi Ginjal: Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien
GGK, maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal baru. Pertimbangan
program transplantasi ginjal :
Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh 100% fungsi dan faal
ginjal
Kualitas hidup normal kembali
Survival rate meningkat
Komplikasi (biasanya dapat di antisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
Tindakan standar adalah dengan merotasi ginjal donor dan meletakkan
pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian lebih mudah
beranastomosis atau berimplantasi kedalam kemih resipien. Arteri
renalis berimplantasi pada arteri iliaca interna dan vena renalis
beranastomosis dengan vena iliaca komunis atau eksterna.
Terapi Obat
hindari antacids or laxatives àmagnesium to prevent magnesium
toxicity.
antipruritics, such as diphenhydramine (Benadryl)
vitamin supplements (particularly B vitamins and vitamin D)
loop diuretics, such as furosemide (if some renal function remains),
along with fluid restriction to reduce fluid retention
digoxin (Lanoxin) to mobilize edema fluids
antihypertensives to control blood pressure and associated edema
antiemetics taken before meals to relieve nausea and vomiting
famotidine (Pepcid) or nizatidine (Axid) to decrease gastric irritation.
Penatalaksanaan Menurut Derajat CKD
DerajatLFG
(ml/mnt/1,873 m2)
Perencanaan
Penatalaksanaan Terapi
1 >90
Dilakukan terapi pada penyakit dasarnya,
kondisi kormobid, evaluasi perburukan
(progresion) fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler.
2 60-89Menghambat perburukan (progresion) fungsi
ginjal
3 30-59Mengevaluasi dan melakukan terapi pada
komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk pengganti ginjal (dialisis)
5 <15Dialysis dan mempersiapkan terapi
penggantian ginjal (transplantasi ginjal)
2.1.10 KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001)
serta Suwitra (2006) antara lain adalah :
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme,
dan masukan diit berlebih.
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron. Tekanan Darah Tinggi. Karena salah satu fungsi
ginjal adalah mengatur tekanan darah,maka anda bisa mengalami
tekanan darah tinggi ketika terjadi gangguan kronis dari fungsi ginjal.
Selanjutnya kondisi demikian akan mempercepat peningkatan risiko
penyakit jantung.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid dan Hiperfosfatemia.
j. Anemia
k. Perdarahan
l. Neuropati perifer
m. Esofagitis, Pankreatitis, Infeksi
n. Hipertrofi ventrikel kiri
o. Kardiomiopati dilatasi, Oateodistrofi
p. Penyakit Jantung. Ketika anda mengalami GGK, maka anda sangat
berisiko terkena penyakit jantung. Dan dilaporkan lebih dari
separuhkematian pada orang dengan GGK berasal dari adanya penyakit
jantung ini. Serangan Jantung dan Stroke. Penyakit jantung dan
pembuluh darah merupakan penyebab utama kematian lebih dr 20 juta
org di Amerika Serikat yang menderita GGK. Penderita dg GGK memiliki
risiko lebih tinggi utk mengalami serangan jantung atau stroke, bahkan
pada penderita yg masih pada stadium awal atau ringan sekalipun.
q. Perubahan Kulit. Ketika fungsi ginjal anda terganggu, akan tjd endapan
garam kalsium-fosfat di bawah kulit hingga menimbulkan rasa gatal. Rasa
gatal ini secara alamiah anda akan menggaruknya, hingga kadang2
sampai terluka dan terinfeksi. Proses ini tidak kunjung membaik hingga
keindahan kulit menjadi rusak, bahkan terkesan kotor & berubah seperti
kulit jagung (kasar & kering)
r. Kematian. Risiko kematian pada penderita GGK cukup tinggi. Dalam
kejadian di lapangan, kematian sering diawali dengan sesak nafas, atau
kejang otot jantung, atau tidak sadarkan diri, atau infeksi berat
sebelumnya.
2.1.11 PENCEGAHAN
Pencegahan Primer : Pengaturan diet protein, menghindari obat
netrotoksik, menghindari kontak radiologik yang tidak amat perlu,
mencegah kehamilan pada penderita yang berisiko tinggi, konsumsi
garam sedikit. makin tinggi konsumsi garam, makin tinggi pula
kemungkinan ekskresi kalsium dalam air kemih yang dapat
mempermudah terbentuknya kristalisasi ikatan kalsium urat oleh sodium.
Pencegahan Sekunder : berupa penatalaksanaan konservatif yang terdiri
atas pengobatan penyakit-penyakit co morbid (penyakit penyerta) untuk
menghambat progresifitas dan persiapan pengobatan pengganti yang
terdiri dari dialisis dan transplantasi ginjal. Pengobatan Konservatif :
memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbagai faktor
pemberat, dan bila mungkin memperlambat progresivitas gagal
Pengaturan diet kalium, natrium dan cairan
Diet rendah kalium .Asupan kalium dikurangi, diet yang dianjurkan adalah
40-80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi
kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia. Selain itu,Diet rendah
natrium Diet Na yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 gr Na).
Dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru,
hipertensi gagal jantung kongestif. Pengaturan cairan Asupan yang bebas
dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan edema.
Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi,
hipotensi dan gangguan fungsi ginjal
Pencegahan Tersier : upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
berat atau kematian, tidak hanya ditujukan kepada rehabilitasi medik
tetapi juga menyangkut rehabilitasi jiwa. Pencegahan tersier bagi
penderita GG dapat berupa: mengurangi stress, menguatkan sistem
pendukung sosial atau keluarga untuk mengurangi pengaruh tekanan
psikis pada penyakit GGK, meningkatkan aktivitas sesuai toleransi,
hindari imobilisasi karena hal tersebut dapat meningkatkan demineralisasi
tulang, meningkatkan kepatuhan terhadap program terapeutik, mematuhi
program diet yang dianjurkan untuk mempertahankan keadaan gizi yang
optimal agar kualitas hidup dan rehabilitasi dapat dicapai.
2.2 Hemodialisa
2.2.1 Pengertian
Hemodialysis adalah bentuk dialysis yang menggunakan mesin (alat
dialysis ginjal) untuk membuang kelebihan cairan, bahan kimia dan
produk sisa dari darah. (Litin, 2009)
Hemodialysis adalah terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal
akut, gagal ginjal kronis, dan gagal ginjal terminal melalui mesin.
Hemodialysis termasuk jenis membrane dialysis selain cangkok ginjal.
Kelebihan dengan hemodialysis adalah pasien hanya datang ke rumah
sakit minimal 2 kali perminggu sedangkan cangkok ginjal hanya dapat
digantikan dengan ginjal asli yang diberikan oleh donor ginjal. (Rizal,
2011)
Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tingkat tinggi sebagai
terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun
tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium,
hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membrane
semi permeable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal
buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
hemodialisa adalah suatu terapi pengganti ginjal yang menggunakan
mesin ginjal buatan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dalam
tubuh kita, dimana menggantikan ginjal yang sudah tidak dapat berfungsi
dengan baik lagi.
2.2.2 Tujuan Hemodialisa
Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan :
1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan
asam urat.
2. Membuang kelebihan air.
3. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
5. Memperbaiki status kesehatan penderita.
2.2.3 Proses Hemodialisa
Mekanisme proses pada mesin hemodialisa, darah dipompa dari
tubuh masuk kedalam mesin dialysis lalu dibersihkan pada dialyzer (ginjal
buatan), lalu darah pasien yang sudah bersih dipompakan kembali ke
tubuh pasien.
Mesin dialysis yang paling baru telah dilengkapi oleh system
komputerisasi dan secara terus menerus memonitor array safty-critical
parameter, mencangkup laju alir darah dan dialysate, tekanan darah,
tingkat detak jantung, daya konduksi, pH dan lain-lain. Bila ada yang tidak
normal, alarm akan berbunyi. Dalam hemodialysis memerlukan akses
vascular (pembuluh darah) hemodialysis (AVH) yang cukup baik agar
dapat diperoleh aliran darah yang cukup besar, yaitu diperlukan
kecepatan darah sebesar 200 – 300 ml/menit secara kontinyu selama
hemodialysis 4 – 5 jam.
AVH dapat berupa kateter yang dipasang di pembuluh darah vena di
leher atau paha yang bersifat temporer. Untuk yang peramanen dibuat
hubungan antara arteri dan vena, biasanya di lengan bawah disebut
arteriovenous fistula, lebih populer bila disebut (brescia) cimino fistula.
Kemudian darah dari tubuh pasien masuk ke dalam sirkulasi darah mesin
hemodialysis yang terdiri dari selang inlet/arterial (ke mesin) dan selang
outlet/venous (dari mesin ke tubuh), kedua ujungnya disambung ke jarum
dan kanula yang ditusuk ke pembuluh darah pasien. Darah setelah
melalui selang inlet masuk ke dialisar. Jumlah darah yang menempati
sirkulasi darah di mesin berkisar 200 ml. Dalam dialiser darah
dibersihkan, sampah-sampah secara kontinyu menembus membrane dan
menyeberang ke kompartemen dialisat, di pihak lain cairan dialisat
mengalir dalam mesin hemodialysis dengan kecepatan 500 ml/menit
masuk ke dalam dialiser pada kompartemen dialisat. Cairan dialisat
merupakan cairan yang pekat dengan bahan utama elektrolit dan
glukosa, cairan ini dipompa masuk ke mesin sambil dicampur dengan air
bersih yang telah mengalami proses pembersihan yang rumit (water
treatment). Selama proses hemodialysis, darah pasien diberi heparin agar
tidak membeku bila berada di luar tubuh yaitu dalam sirkulasi darah
mesin.
Prinsip hemodialysis sama seperti metoda dialysis. Melibatkan difusi
zat terlarut ke sembarang suatu selaput semipermeable. Prinsip
pemisahan menggunakan membran ini terjadi pada dialyzer. Darah yang
mengandung sisa-sisa metabolisme dengan konsentrasi yang tinggi
dilewatkan pada membrane semipermeable yang terdapat dalam dialyzer,
dimana dalam dialyzer tersebut dialirkan dialysate dengan arah yang
berlawanan (counter current).
Driving force yang digunakan adalah perbedaan konsentrasi zat
yang terlarut berupa racun seperti partikel-parttikel kecil, seperti urea,
kalium, asam urea, fosfat dan kelebihan khlorida pada darah dan
dialysate. Semakin besar konsentrasi racun tersebut di dalam darah dan
dialisat maka proses difusi semakin cepat. Berlawanan dengan peritoneal
dialysis, dimana pengangkutan adalah antar kompartemen cairan yang
statis, hemodialysis bersandar pada pengangkutan konvektif dan
menggunakan konter mengalir, dimana bila dialysate mengalir ke dalam
berlawanan arah dengan mengalir axtracorporeal sirkuit. Metode ini dapat
meningkatkan efektifitas dialysis.
Dialysate yang digunakan adalah larutan ion mineral yang sudah
disterilkan, urea dan sisa metabolisme lainnya, seperti kalium dan fosfat,
berdifusi ke dalam dialysate. Selain itu untuk memisahkan yang terlarut
dalam darah digunakan prinsip ultrafiltrasi. Driving force yang digunakan
pada ultrafiltrasi ini adalah perbedaan tekanan hidrostatik antara darah
dan dialyzer. Tekanan darah yang lebih tinggi dari dialyzer memaksa air
melewati membrane. Jika tekanan dari dialyzer diturunkan maka
kecepatan ultrafiltrasi air dan darah akan meningkat.
Jika kedua proses ini digabungkan, maka akan didapatkan darah
yang bersih setelah dilewatkan melalui dialyzer. Prinsip inilah yang
digunakan pada mesin hemodialysis modern, sehingga keefektifannnya
dalam menggantikan peran ginjal sangat tinggi. (Rizal, 2011).
2.2.4 Alasan dilakukan Hemodialisa
Hemodialisa dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan:
1. Kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik)
2. Perikarditis (peradangan kantong jantung)
3. Asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan
respon terhadap pengobatan
4. Gagal jantung
5. Hiperkalemia (kadar kalium yang sangat tinggi dalam darah)
2.2.5 Frekuensi Hemodialisa
Frekuensi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang
tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dalisa sebanyak 3
kali/minggu. Program dialisa dikatakan berhasil jika :
1. Penderita kembali menjalani hidup normal
2. Penderita kembali menjalani diet yang normal
3. Jumlah sel darah merah sulit ditoleransi
4. Tekanan darah normal
5. Tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif
Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk
gagal ginjal kronis atau sebagai pengobatan sementara sebelum
penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa
dilakukan hanya selama beberapa hari atau beberapa minggu, sampai
fungsi ginjal kembali normal.
2.2.6 Komplikasi Hemodialisa
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama
tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi,
antara lain :
1. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram
otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat
dengan volume yang tinggi.
2. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,
rendahnya dialysate natrium, penyakit jantung aterosklerotik,
neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan cairan.
3. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,
penurunan kalsium, magnesium, kalium dan bikarbonat serum yang
cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
4. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat
diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang
kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu
gradient osmotic diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradient
osmotic ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang
menyebabkan edema serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya
terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
5. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu
dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
kardiopulmonar.
6. Perdarahan
Uremia menyebabkan gangguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit
dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Pengguanaan
heparin selama hemodialisa juga merupakan factor resiko terjadinya
perdarahan.
7. Gangguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah
yang disebabkan karena hipoglikemi. Gangguan pencernaan sering
disertai dengan sakit kepala. Infeksi atau peradangan bisa terjadi
pada akses vaskuler.
8. Pembekuan darah
Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin
yang tidak sesuai ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
2.3 Nyeri Otot
2.3.1 Pengertian
Menurut Basoeki (2005) kram otot merupakan kontraksi otot tertentu yang
berlebihan, terjadi secara mendadak tanpa disadari. Otot yang mengalami kram
sulit untuk menjadi rileks kembali. Bisa dalam hitungan menit bahkan jam untuk
meregangkan otot yang kram itu. Kontraksi dari kram otot sendiri dapat terjadi
dalam waktu beberapa detik sampai beberapa menit. Selain itu, kram otot dapat
menimbulkan keluhan nyeri. Kram otot dapat mengenai otot lurik atau bergaris,
otot yang berkontraksi secara kita sadari. Kram otot dapat juga mengenai otot
polos atau otot yang berkontraksi tanpa kita sadari. Kram otot dapat terjadi pada
tangan, kaki, maupun perut.
2.3.2 Mekanisme Kram Otot
Ganong (1998) menguraikan bahwa rangsang berulang yang diberikan
sebelum masa relaksasi akan menghasilkan penggiatan tambahan terhadap
elemen kontraktil, dan tampak adanya respon berupa peningkatan kontraksi.
Fenomena ini dikenal sebagai penjumlahan kontraksi. Tegangan yang terbentuk
selama penjumlahan kontraksi jauh lebih besar dibandingkan dengan yang
terjadi selama kontraksi kedutan otot tunggal. Dengan rangsangan berulang
yang cepat, penggiatan mekanisme kontraktil terjadi berulang-ulang sebelum
sampai pada masa relaksasi. Masing-masing respon tersebut bergabung menjadi
satu kontraksi yang berkesinambungan yang dinamakan tetanik atau kontraksi
otot yang berlebihan (kram otot).
Menurut Corwin (2000) setiap pulsa kalsium berlangsung sekitar 1/20
detik dan menghasilkan apa yang disebut sebagai kedutan otot tunggal.
Penjumlahan terjadi apabila kalsium dipertahankan dalam kompartemen intrasel
oleh rangsangan saraf berulang pada otot. Penjumlahan berarti masing-masing
kedutan menyebabkan penguatan kontraksi. Apabila stimulasi diperpanjang,
maka kedutan-kedutan individual akan menyatu sampai kekuatan kontraksi
maksimum. Pada titik ini, terjadi kram otot sampai dengan tetani yang ditandai
oleh kontraksi mulus berkepanjangan.
Menurut Ganong (1998) satu potensial aksi tunggal menyebabkan satu
kontraksi singkat yang kemudian diikuti relaksasi. Kontraksi singkat seperti ini
disebut kontraksi kedutan otot. Potensial aksi dan konstraksi diplot pada skala
waktu yang sama. Kontraksi timbul kira-kira 2 mdet setelah dimulainya
depolarisasi membran, sebelum masa repolarisasi potensial aksi selesai.
Lamanya kontraksi kedutan beragam, sesuai dengan jenis otot yang dirangsang.
2.3.3 Penyebab
Menurut Mohamad (2001) kram otot dapat terjadi karena letih, biasanya
terjadi pada malam hari, dapat pula karena dingin, dan dapat pula karena panas.
Pada otot bergaris, kram dapat disebabkan kelelahan, dehidrasi atau kekurangan
cairan dan elektrolit (terutama kekurangan kalium dan natrium), dapat juga akibat
trauma pada tulang dan otot yang bersangkutan, atau kekurangan magnesium.
Selanjutnya Basoeki (2005) menegaskan bahwa beberapa obat juga dapat
menyebabkan terjadinya kram otot, seperti obat pelancar kemih, penurun lemak,
kekurangan vitamin B1 (thiamine), vitamin B5 (pantothenic acid) dan B6
(pyridoxine). Kram otot juga dapat terjadi akibat sirkulasi darah ke otot yang
kurang baik.
2.3.4 Hubungan Hemodialisa dengan Kram Otot
Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh
penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dializer
(NKF 2006). Dengan adanya sebagian darah pasien yang keluar dari tubuh dan
beredar dalam sebuah mesin (extracorporeal) bisa menyebabkan sirkulasi darah
ke otot kurang baik sehingga dapat mengakibatkan kram otot.
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) alat dialisa juga dapat dipergunakan
untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan
melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar
dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Adanya
penarikan cairan (ultrafiltrasi) selama hemodialisa menyebabkan dehidrasi atau
kekurangan cairan yang dapat menyebabkan terjadinya kram otot.
Menurut Price dan Wilson (1995) komposisi cairan dialisat diatur
sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit
dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang sering
menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari Na+ , K+, Ca++ , Mg+
+ , Cl- , asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi
dengan mudah dari darah ke dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat
dalam dialisat. Adanya perbedaan unsur-unsur elektrolit dalam dialisat dengan
komposisi elektrolit darah pasien bisa mengakibatkan kekurangan elektrolit.
Adanya kekurangan cairan dan elektrolit bisa mengakibatkan kram otot (Basoeki,
2005).
2.3.5 Pencegahan Kram Otot
Biasanya kram otot dapat berhenti dengan meregangkan otot yang
mengalami kram, agar otot itu menjadi rileks kembali (Basoeki, 2005).
Sedangkan, kram otot yang terus menerus dan sering terjadi dapat
menyebabkan distonia. Jika terjadi kram otot selama tindakan hemodialisa
segera lakukan pengobatan dengan langsung memulihkan volume cairan
intravaskuler melalui pemberian bolus cairan isotonic saline natrium clorida
(NaCL 0,9 %) (NKF, 2006).
2.4 Streching
2.4.1 Pengertian
Pada saat akan memulai suatu aktifitas olahraga, stretching (peregangan)
atau lebih dikenal orang dengan istilah pemanasan (warm-up) ini sangat
diperlukan. Stretching adalah bentuk dari penguluran atau peregangan pada
otot-otot di setiap anggota badan agar dalam setiap melakukan olahraga
terdapat kesiapan serta untuk mengurangi dampak cedera yang sangant rentan
terjadi.
2.4.2 Manfaat Stretching
Terdapat beberapa manfaat apabila seseorang melakukan gerakan
peregangan sebelum memulai aktifitas olahraga, diantaranya dapat dijelaskan di
bawah ini:
1. Meningkatkan suhu (temperature) tubuh beserta jaringan-jaringannya.
2. Menaikkan aliran darah melalui otot-otot yang aktif.
3. Meningkatkan detak jantung sehingga akan mempersiapkan
bekerjanya system cardiovascular (jantung dan pembuluh darah).
4. Menaikkan tingkat energi yang dikeluarkan oleh metabolisme tubuh.
5. Meningkatkan kecepatan perjalanan sinyal syaraf yang
memerintahkan gerakan tubuh.
6. Memudahkan otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara lebih cepat
dan efisien.
7. Meningkatkan kapasitas kerja fisik.
8. Mengurangi adanya ketegangan pada otot.
9. Meningkatkan kemampuan jaringan penghubung dalam gerakan
memanjang (meregang).
10. Terjadi peningkatan kondisi secara psikologis.
11. Mengurangi dampak cedera.
2.4.3 Tipe-tipe Stretching
a. Peregangan aktif
Peregangan aktif (active stretching) dilakukan dengan
menggunakan otot-otot anda tanpa mendapatkan bantuan dari kekuatan
eksternal. Satu contoh peregangan aktif ini: Berdiri tegak lurus dan secara
perlahan-lahan mengangkat salah satu kaki ke arah sudut 45 derajat.
Peregangan aktif ini penting karena akan membangun kelenturan otot
secara aktif, yang mana telah diketahui memiliki korelasi yang lebih tinggi
dengan prestasi olahraga dibandingkan peregangan pasif. Kelemahan-
kelemahan utama dari peregangna aktif ini adalah bahwa peregangan ini
dapat menginisiasi stretch reflex, serta mungkin saja peregangan ini
menjadi tidak efektif dikarenakan adanya gangguan-gangguan tertentu
pada tubuh anda dan juga adanya cedera seperti keseleo yang akut,
peradangan atau patah tulang (retak tulang).
b. Peregangan Dinamis
Peregangan dinamis adalah gerakan peregangan yang dilakukan
dengan melibatkan otot-otot dan persendian, gerakan peregangan ini
dilakukan secara perlahan dan terkontrol dengan pangkal gerakannya
adalah pangkal persendian. Kunci dan penekanan pada peregangan ini
adalah pada cara garakannya yang dilakukan secara perlahan dan
terkontrol tersebut. Adapun yang dimaksud dengan gerakan perlahan,
yaitu dilakukan dengan cara yang halus dan tidak menghentak-hentak.
Sedangkan gerakan yang terkontrol, artinya gerakan yang dilakukan
hingga mencapai seluas ruang gerak dari persendian yang dikenai
latihan.
Sasaran peregangan dinamis adalah untuk memelihara dan
meningkatkan kelentukan persendian, tendon, ligament dan otot. Adapun
perbedaan yang terjadi antara peregangan statis dan dinamis, terutama
pada saat melakukan gerakanny dan sasaran yang dikenai dalam latihan.
Gerakan pada peregangan statis setelah mencapai rasa nyeri (tidak
nyaman) dipertahankan dalam beberapa waktu, sedangkan pada
peregangan dinamis adalah sebaliknya. Yaitu diregang-regangkan sacara
aktif seluas ruang gerak persendian yang dilatihkan. Sasaran pada
peregangan statis adalah kelenturan (elastisitas otot), sedangkan
peregangan dinamis adalah kelentukan persendian.
c. Peregangan pasif
Peregangan pasif (passive stretching) merupakan suatu tehnik
peregangan di mana anda dalam keadaan rileks dan tanpa mengadakan
kontribusi pada daerah gerakan. Malahan, kekuatan (tenaga) eksternal
dapat dibangkitkan oleh alat baik dengan cara manual maupun mekanis.
Di antara manfaat yang dapat diperoleh dari peregangan pasisf tersebut
adalah:
Tehnik ini efektif apabila otot agonist (yaitu otot utama yang berperan
dalam gerakan yang terjadi) dalam kondisi yang terlalu lemah untuk
menerima respon gerakan.
Tehnik ini efektif apabila percobaan-percobaan tidak berhasil untuk
menghalangi otot-otot yang ketat (otot-otot antagonist.
Arah lamanya waktu melakukan peregangan dan intensitasnya dapat
diukur.
Dapat memajukan kekompakan tim bilamana peregangan tersebut
dilakukan bersama-sama dengan atlet lainnya.
Kelemahan utama dari peregangan pasif adalah resiko adanya
rasa sakit maupun mengalami luka-luka (cedera) yanglebih besar, apabila
teman anda mempergunakan tenaga eksternal secara tidak tepat.
Selanjutnya, tehnik ini dapat menimbulkan adanya stretch reflex, apabila
pergangan tersebut dilakukan dengan cepat, serta meningkatnya
kemungkinan terjadi cedera (luka) karena adanya perbedaan yang lebih
besar di antara daerah peregangan aktif dan pasif. Tetapi pemakaian
tehnik ini dapat juga membangun kelenturan aktif anda.
d. Peregangan Balistik
Peregangan balistik menurut Bowers dan Fox (1992: 245)
bentuknya sama dengan senam calisthenics, yaitu bentuk dari
peregangan pasif yang dilakukan dengan cara gerakan yang aktif. Cirri-
ciri dari peregangan balistik adalah dilakukan secara aktif dan gerakannya
dipantul-pantulkan artinya, gerakan otot yang sama dan pada persendian
yang sama dilakukan secara berulang-ulang. Contoh ; gerakan mencium
lutut yang dilakukan berulang ukang, dengan pososo duduk kedua
tungkai lurus kedepan, dan saat kedua tangan berusaha meraih kedua
ujung kaki lutut harus tetap menempel dilantai. Gerakan mencium lutut di
entul-entul dari perlahan menjadi cepat, dengan luas ruang gerak
persendian pungung kira-kira hanya mencapai 80% saja, berikut ini
disijikan beberapa contoh gambar gerakan latihan untuk meningkatkan
fleksibilitas dengan cara peregangan stretching balistik.
e. Peregangan Statis
Peregangan statis adalah gerakan peregangan pada otot-otot
yang dilakukan perlahan-lahan hingga terjadi ketegangan dan mencapai
rasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada otot tersebut. Untuk selanjutnya
posisi pada rasa tidak nyaman tersebut dipertahankan untuk beberapa
saat. Adapun lama waktu menahan posisi tidak nyaman tersebut 20-25
detik. Sasaran peregangan statis adalah untuk meningkatkan dan
memelihara kelenturan (elastisitas otot yang direngangkan).
Langkah-langkah peregangan statis:
a. Regangkan otot secara perlahan-lahan tanpa kejutan
b. Segera terasa regangan pada otot, berhentilah
sebentar kemudian lanjutkan sampai agak sakit,
berhenti lagi, lanjutkan regangan sampai sedikit
melewati titik/limit rasa saki. Bukan sampai terasa
sakit/ekstrim
c. Pertahankan sikap terakhir ini selama 20-25 detik
d. Seluruh anggota tubuh rileks terutama otot-otot
antaginisnya (yang diregangkan), agar gerak sendi
mampu untuk meregang lebih luas
e. Bernafaslah terus, jangan menahan nafas
f. Selesai mempertahankan sikap statis selama 20-25
detik kembalilah ke sikap sempurna secara perlahan-
lahan, tidak mengejut, agar ototnya tidak berkontraksi.
f. Contrax Relax Stretching
Contract relax stretching merupakan salah satu teknik dalam
proprioceptive neuromuscular fascilitation (PNF) yang melibatkan kontraksi
isometric dari otot yang mengalami spasme/ketegangan yang diikuti fase
relaksasi kemudian diberikan stretching secara pasif dari otot yang
mengalami ketegangan tersebut. Biasanya contract relax stretching ditujukan
pada otot-otot mobilitas. Alasan penerapan teknik ini adalah bahwa kontraksi
isometrik yang diberikan sebelum stretching dari otot yang mengalami
ketegangan akan menghasilkan rileksasi sebagai hasil dari autogenic
inhibition. Pada contract relax stretching, ketika otot berkontraksi mencapai
initial stretch, maka kebalikannya stretch reflex membuat otot tersebut
menjadi relaksasi(reverse innervation), dimana relaksasi ini membantu
menurunkan berbagai tekanan dan siap untuk melakukan peregangan
selanjutnya. Dengan menggunakan metode auto stretching untuk
menambah panjang otot hamstring diharapkan terjadinya pemanjangan otot
hamstring yang lebih maksimal dibandingkan dengan contract relax
stretching.
g. Contrax -Relax Agonist-Contract Stretching Tahan-Relax Agonis
Merupakan metode yang digunakan untuk memperpanjang keluarnya
tight muscle dan meningkatkan jangkauan gerak pasif. Dalam teknik ini, tight
muscle adalah antagonis, maka kontrak tersebut agonis (asalkan agonis
cukup kuat). Terapis meminta pasien untuk isometrically kontrak agonis
sekitar 6 detik sebelum pindah lebih jauh ke dalam jangkauan. Melalui
Penghambatan Reciprocal, tight muscle sedang beristirahat, dan dibiarkan
memperpanjang.
DAFTAR PUSTAKA
Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black H.R., CushmanW.C., Green L.A., Izzo J.L.,
Jr., et al, 2003. The seventh report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure:
The JNC 7 Report. JAMA;289:2560-72.
Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn, dan Alice C. Geissler. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Jakarta: EGC.
Ganiswarna, S. G. (2003). Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi
FK-UI.
Gareth Beevers. Para patofisiologi hipertensi. British Medical Journal.
FindArticles.com.
Hopper D.P, dan William S.L. 2007. Understanding Medical Surgical Nursing
Third Edition. Philadelphia: FA Davis Company
Hughes AD, Schachter M. Hypertension and blood vessels. Hughes AD,
Schachter M. Hipertensi dan pembuluh darah. Br Med Bull 1994;50:356-70.
Br Med Bull 1994; 50:356-70.
Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information
Clearinghouse (NKUDIC). the National Institute of Diabetes and Digestive
and Kidney Diseases (NIDDK). (http://www.kidney.niddk.nih.gov).
Patel, P. R. 2007. Lecture Notes: Radiologi Ed. 2. Surabaya: Erlangga.
Purnomo, B. Basuki.2000.Dasar-dasar Urolog , cetakan I. Jakarta : CV.
Infomedika
Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga.
Jakarta :Sagung Seto
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Renal Services & Urology Directorate. 2005. Nephrotic Syndrome. a patients’
guide. (http://www.kidney.org.uk).
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta: EGC.
Silvia A. Price, Lorraince M. Wilson. Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2003.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EG
Smeltzer C.S. dan Bare Brenda. 2003. Brunner and Suddarth’s Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th edition. Philadelphia: Lippincott.
Soeparman & Waspadji . 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jld.I. Jakarta: BP FKU
Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jakarta: FKUI.
2006.
Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.
Susanne, C Smelzer. 2002. Keperawatan Medikal Bedah (Brunner &Suddart) ,
Edisi VIII, Volume 2. Jakarta: EGC
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. 581-584.
Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran
Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika
Universitas Sumatera Utara. 2011. Bab 2 Tinjuan Pustaka.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16742/4/Chapter
%20II.pdf. diakses pada tanggal 09 Juli 2015