23
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Halusinasi merupakan gangguan orintasi realita, karena terganggunya fungsi otak : kognitif dan proses pikir, fungsi persepsi, fungsi emosi, fungsi motorik dan fungsi sosial. Gangguan terhadap fungsi kognitif dan persepsi akan mengakibatkan kemampuan menilai dan menilik terganggu, sedangkan gangguan fungsi emosi, motorik dan sosial akan mengakibatkan terganggunya kemampuan berespon yakni perilaku non verbal ( ekspresi,gerakan tubuh) dan perilaku verbal (penampilan hubungan sosial). Memperhatikan perilaku klien seperti ini tentu akan menjadi suatu hal yang perlu direspon oleh perawat profesional, paling tidak mengeliminir masalah-masalah yang ada sehingga keadaan seorang pasien tidak berkembang menjadi lebih berat ( perilaku agresif / perilaku kekerasan ) B. TUJUAN PENULISAN 1. Tujuan Umum Memperoleh pengalaman nyata dalam melakukan Asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi pendengaran, 1

BAB I II Seminar Halusinasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

HALUSINASI

Citation preview

BAB I

BAB I

PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG

Halusinasi merupakan gangguan orintasi realita, karena terganggunya fungsi otak : kognitif dan proses pikir, fungsi persepsi, fungsi emosi, fungsi motorik dan fungsi sosial.

Gangguan terhadap fungsi kognitif dan persepsi akan mengakibatkan kemampuan menilai dan menilik terganggu, sedangkan gangguan fungsi emosi, motorik dan sosial akan mengakibatkan terganggunya kemampuan berespon yakni perilaku non verbal ( ekspresi,gerakan tubuh) dan perilaku verbal (penampilan hubungan sosial). Memperhatikan perilaku klien seperti ini tentu akan menjadi suatu hal yang perlu direspon oleh perawat profesional, paling tidak mengeliminir masalah-masalah yang ada sehingga keadaan seorang pasien tidak berkembang menjadi lebih berat ( perilaku agresif / perilaku kekerasan )

B. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum

Memperoleh pengalaman nyata dalam melakukan Asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi pendengaran, diharapkan akan mampu mengidentifikasikan seluruh masalah yang terjadi sehubungan dengan halusinasi.2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu mengkaji klien dengan masalah utama halusinasi.

b. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan klien dengan masalah utama halusinasi.

c. Mahasiswa mampu merencanakan tindakan keperawatan klien dengan masalah utama halusinasi.

d. Mahasiswa mampu mengimplementasikan rencana tindakan keperawatan klien dengan masalah utama halusinasi.

e. Mahasiswa mampu mengevaluasi tindakan keperawatan klien dengan masalah utama halusinasi.

C. METODE PENULISAN

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu :

a. Metode kepustakaan

Metode penulisan dengan menggunakan beberapa literatur sebagai sumber. b. Metode wawancara

Data diperoleh dengan wawancara langsung kepada klien dan perawat ruangan.c. Metode observasi

Dengan mengobservasi langsung kepada klien dengan masalah utama halusinasi pendengaran.

D. SISTEMATIKA PENULISAN

a. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

b. Bab II tentang landasan teori yang memuat pengertian, tentang respon, jenis-jenis halusinasi, fase-fase halusinasi, pengkajian, diagnosa, tujuan, implementasi dan evaluasi keperawatan.

c. Bab III berisi tentang tinjauan kasus halusinasi pendengaran.

d. Bab IV membahas kesenjangan antara teori dan kasus.

e. Bab V berupa penutup yang memuat kesimpulan dan saran.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN

Halusinasi merupakan salah satu masalah yang mungkin ditemukan dari masalah persepsual pada skizofrenia., dimana halusinasi tersebut didefenisikan sebagai pengalaman atau kesan sensori yang salah terhadap stimulus sensori.

Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren :Persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya timulus eksternal yang terjadi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai sesutu yang nyata ada oleh klien.

Halusinasi sering diidentikkan dengan Schizofrenia. Dari seluruh klien Schizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi. Klien skizofrenia dan psikotik lain 20% mengalami campuran halusinasi pendengaran dan penglihatan.

Pada halusinasi dapat terjadi pada kelima indera sensoris utama yaitu :

1. Pendengaran terhadap suara : Klien mendengar suara dan bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata dan orang lain tidak mendengarnya.

2. Visual terhadap penglihatan : Klien melihat gambaran yang jelas atau samar-samar tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak melihatnya.

3. Taktil terhadap sentuhan : Klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa stimulus yang nyata.

4. Pengecap terhadap rasa : Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata. Biasanya merasakan rasa makanan yang tidak enak.

5. Penghidu terhadap bau : Klien mencium bau yang muncul dari sumber tertentu tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak menciumnya.

B. RENTANG RESPON HALUSINASI

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra ( pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan ), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada. Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukannya terhadap stimulus panca indra tidak akurat sesuai stimulus yang diterima.

Rentang respon :

Respon Adaptif

Respon Maladptif

Pikiran logis

Distorsi pikiran Gangguan pikir/delusi

Persepsi akurat

Ilusi

Halusinasi

Emosi konsisten dengan Reaksi emosi berlebihan Sulit berespon emosi

pengalaman

atau kurang

Perilaku sesuai

Perilaku aneh/tidak bias Perilaku disorganisasi

Berhubungan sosial

Menarik diri Isolasi sosial

C. JENIS JENIS HALUSINASI

JENIS HALUSINASIKARAKTERISTIK

Pendengaran

70 %Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan.

Penglihatan 20%Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,gambar kartun,bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.

PenghiduMembaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.

PengecapanMerasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.

PerabaanMengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

CenestheticMerasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan atau pembentukan urine

KinistheticMerasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

D. FASE HALUSINASI.

Halusinasi yang dialami oleh klien biasanya berbeda intensitas dan keparahannya. Fase halusinasi terbagi empat:

1. Fase Pertama

Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian. Klien mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini menolong untuk sementara.

Klien masih mampu mengotrol kesadarnnya dan mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat.

2. Fase Kedua

Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal, klien berada pada tingkat listening pada halusinasi.

Pemikiran internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas klien takut apabila orang lain mendengar dan klien merasa tak mampu mengontrolnya.

Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain.

3. Fase Ketiga

Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa dan tak berdaya pada halusinasinya. Halusinasi memberi kesenangan dan rasa aman sementara.

4. Fase Keempat.

Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien berada dalam dunia yang menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.

E. PENGKAJIAN KLIEN DENGAN HALUINASI

Halusinasi merupakan salah satu gejala yang ditampakkan oleh klien yang mengalami psikotik, khususnya schizofrenia. Pengkajian klien dengan halusinasi demikian merupakan proses identifikasi data yang melekat erat dengan pengkajian respon neurobiologi lainnya seperti yang terdapat juga pada schizofrenia.

1. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon neurobiologi seperti halusinasi antara lain:

a. Faktor Genetik

Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi factor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen schizoprenia adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan No.4,8,5 dan 22 (Buchanan dan Carpenter,2002). Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami schizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami schizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami schizofrenia berpeluang 15% mengalami schizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya schizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.

b. Faktor Neurobiologi.

Ditemukan bahwa korteks pre frontal dan korteks limbiks pada klien schizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien schizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal. Neurotransmitter dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotin.

c. Studi neurotransmitter.

Schizofrenia diduga juga disebabkan oleh ketidak seimbangan neurotransmitter dimana dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotin.

d. Teori virus

Paparan virus influenza pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi faktor predisposisi schizofrenia.

e. Psikologis.

Beberapa kondisi pikologis yang menjadi faktor predisposisi schizofrenia antara lain anak yang di pelihara oleh ibu yang suka cemas, terlalu melindungi, dingin dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.

2. Faktor presipitasi

Faktor faktor pencetus respon neurobiologis meliputi :

a. Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.

b. Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu ( mekanisme gateing abnormal)

c. Gejala-gejala pemicu kondisi kesehatan lingkungan, sikap dan perilaku seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini :

KesehatanNutrisi Kurang

Kurang tidur

Ketidak siembangan irama sirkardian

Kelelahan infeksi

Obat-obatan system syaraf pusat

Kurangnya latihan

Hambatan unutk menjangkau pelayanan kesehatan

LingkunganLingkungan yang memusuhi, kritis

Masalah di rumah tangga

Kehilangan kebebasan hidup, pola aktivitas sehari-hari

Kesukaran dalam berhubungan dengan orang lain

Isoalsi sosial

Kurangnya dukungan sosial

Tekanan kerja ( kurang keterampilan dalam bekerja)

Stigmasasi

Kemiskinan

Kurangnya alat transportasi

Ktidak mamapuan mendapat pekerjaan

Sikap/PerilakuMerasa tidak mampu ( harga diri rendah)

Putus asa (tidak percaya diri )

Mersa gagal ( kehilangan motivasi menggunakan keterampilan diri

Kehilangan kendali diri (demoralisasi)

Merasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala tersebut.

Merasa malang ( tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual )

Bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan

Rendahnya kemampuan sosialisasi

Perilaku agresif

Perilaku kekerasan

Ketidak adekuatan pengobatan

Ketidak adekuatan penanganan gejala.

3. Mekanisme Koping.

Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi adalah:

Register, menjadi malas beraktifitas sehari-hari.

Proyeksi, mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.

Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.

Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien.

4. Perilaku

Halusinasi benar-benar riil dirasakan oleh klien yang mengalaminya, seperti mimpi saat tidur. Klien mungkin tidak punya cara untuk menentukan persepsi tersebut nyata. Sama halnya seperti seseorang mendengarkan suara- suara dan tidak lagi meragukan orang yang berbicara tentang suara tersebut. Ketidakmampuannya mempersepsikan stimulus secara riil dapat menyulitkan kehidupan klien. Karenanya halusinasi harus menjadi prioritas untuk segera diatasi. Untuk memfasilitasinya klien perlu dibuat nyaman untuk menceritakan perihal haluinasinya.

Klien yang mengalami halusinasi sering kecewa karena mendapatkan respon negatif ketika mencoba menceritakan halusinasinya kepada orang lain.Karenanya banyak klien enggan untuk menceritakan pengalaman pengalaman aneh halusinasinya. Pengalaman halusinasi menjadi masalah untuk dibicarakan dengan orang lain. Kemampuan untuk memperbincangkan tentang halusinasi yang dialami oleh klien sangat penting untuk memastikan dan memvalidasi pengalaman halusinasi tersebut. Perawat harus memiliki ketulusan dan perhatian untuk dapat memfasilitasi percakapan tentang halusinasi.

Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasi saja. Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi :

Isi Halusinasi.

Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan suara itu, jika halusinasi audiotorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien, jika halusinasi visual, bau apa yang tercium jika halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap jika halusinasi pengecapan,dan apa yang dirasakan dipermukaan tubuh jika halusinasi perabaan.

Waktu dan Frekuensi.

Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini sangat penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien perlu perhatian saat mengalami halusinasi.

Situasi Pencetus Halusinasi.

Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu perawat juga bias mengobservasi apa yang dialami klien menjelang munculnya halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.

Respon Klien

Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap halusinasinya.

Selain data tentang halusinasinya, peraweat juga dapat mengkaji data yang terkait dengan halusinasi, yaitu :

Bicara, senyum dan tertawa sendiri.

Menarik diri dan menghindar dari orang lain.

Tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata.

Tidak dapat memusatkan perhatian/konsentrasi.

Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungan) dan takut.

Ekspresi muka tegang dan mudah tersinggung.

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Klien yang mengalmi halusinasi dapat kehilangan kontrol dirinya sehingga bias membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan Hal ini terjadi jika halusinasi sudah sampai pada fase IV, dimana klien mengalami panik dan perilakunya di kendalikan oleh isi halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan bunuh diri ( suicide), membunuh orang lain (homocide) dan merusak lingkungan.

Selain masalah yang diakibatkan oleh halusinasi, klien biasanya juga mengalami masalah-masalahkeperawatan yang menjadi penyebab munculnya halusinasi.Masalah itu antara lain harga diri rendah dan isolasi social (stuart dan laria,2001). Akibat harga diri rendah dan kurangnya keterampilan berhubungan sosial , klien menjadi menarik diri dari lingkungan. Dampak selanjutnya lebih dominan di bandingkan stimulus eksternal. Klien selanjutnya kehilangan kemampuan membedakan stimulus internal dengan stimulus eksternal. Ini memicu timbulnya halusinasi.

Dari masalah tersebut diatas dapat disusun pohon masalah sebagai berikut :

EFEK Resiko mencedrai diri sendiri,

Orang lain, dan lingkungan

C.PPerubahan persepsi sensori :Defisit perawatan diri :

Halusinasi pendengaranMandi/Kebersihan diri,berpakaian/berhias

ETIOLOGIKerusakan interaksi sosial :Intoleransi aktifitas

Menarik diri

Gangguan konsep diri :

Harga diri rendah

Dari pohon masalah diatas dapat dirumuskan diagnosa keperawatan sebagai berikut :

1. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan berhubungan dengan halusinasi audiotorik.

2. Perubahan persepsi sensorik : Audiotorik berhubungan dengan menarik diri

3. Kerusakan interaksi sosial : Menarik diri berhubungan dengan Harga diri rendah

4. Defisit perawatan diri: mandi/kebersihan, berpakaian/berhias berhubungan dengan intoleransi aktifitas.

G. TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN

Tujuan umum :

Klien dapat mengenal, dan mengontrol halusinasi

Tujuan itu dapat dirinci sebagai berikut :

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya

2. Klien dapat mengenal halusinasinya

3. Klien dapat mengontrol halusinasinya.

4. Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasinya.

5. Klien dapat memanfaatkan obat untuk mengatasi halusinasinya.

H. TINDAKAN KEPERAWATAN

Tindakan keperawatan untuk membantu klien mengatasi masalahnya di mulai dengan membina hubungan saling percaya dengan klien.

Setelah hubungan saling percaya terbina , intervensi keperawatan selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya.

Setelah klien mengenal halusinasinya selanjutnya klien dilatih bagaimana cara yang biasa terbukti efektif mengatasi atau mengontrol halusinasi.

Obeservasi tanda halusinasi pada klien.

Hindari untuk menyentuh pasien sebelum memberi isyarat kepadanya bahwa anda menerima diperlakukan yang sama.

Suatu sikap menerima akan mendorong klien membagikan isi halusinasinya dengan anda.

Jangan menguatkan halusinasi. Gunakan kata-kata suara tersebut dari pada kata-kata seperti mereka yang menyatakan validasi secara tidak langsung.

Cobalah untuk menghubungkan waktu-waktu terjadinya kesaahan persepsi dengan waktu-waktu terjadinya ansietas.

Cobalah untuk mengalihkan pasien dari kesalahan persepsi.

Adapun cara yang efektif dalam memutuskan halusinasi adalah :

1. Menghardik halusinasi.

2. Berinteraksi dengan orang lain.

3. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian.

4. Memanfaatkan obat dengan baik.

Keluarga perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini penting karena keluarga adalah sebuah system dimana klien berasal dan halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis dapat berlangsung lama (kronis) sehingga keluarga perlu mengetahu cara perawatan klien halusinasi dirumah.

Dalam mengendalikan halusinasi diberikan psikofarmaka oleh tim medis sehingga perawat juga perlu memfasilitasi klien untuk dapat menggunakan obat secara tepat. Prinsip lima benar harus menjadi focus utama dalam pemberian obat.

I. EVALUASI

Asuhan keperawatan klien dengan halusinasi berhasil jika :

1. Klien mampu memisahkan antara kejadian-kejadian atau situasi-siatuasi realita dan tidak realita.

2. Klien mampu tidak berespon terhadap persepsi sensori yang salah.

3. Klien menunjukkan kemampuan mandiri untuk mengontrol halusinasi

4. Mampu melaksanakan program pengobatan berkelanjutan

5. Keluarga mampu menjadi sebuah sistem pendukung yang efektif dalam membantu klien mengatasi masalahnya.

PAGE 6