Upload
leanh
View
224
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daun Ginseng Jawa
2.1.1 Taksonomi Ginseng Jawa
Divisi : Magnoliophyta
Klas : Magnoliopsida
Anak-klas : Caryophyllidae
Bangsa : Caryophyllales
Suku : Portulacaceae
Marga : Talinum
Jenis : Talinum triangulare (Jacq.) Willd.
(UPT Materia Medika, 2016)
2.1.2 Morfologi Ginseng Jawa
(Ekpo et al., 2012)
Gambar 2.1 Talinum triangulare (Jacq.) Willd.
Ginseng jawa Talinum triangulare (Jacq.) Willd. merupakan
tumbuhan sukulen, yaitu tumbuhan yang memiliki habitat kering dan
tidak dapat tumbuh besar. Tanaman ini tumbuh tegak mencapai
ketinggian 30-100 cm. Tanaman ini memiliki daun panjang yang tebal
6
dan kebanyakan berkumpul di bagian atas batang (gambar 2.1), batang
yang berwarna coklat kehijauan, dan bunga berwarna merah muda yang
mekar pada pagi hari (Department of Agriculture Regional Field,
2014). Tanaman ini sering disebut juga sebagai waterleaf karena kadar
air yang tinggi, yaitu 90,8 gram per 100 gram daun yang dimakan
(Fontem & Schippers, 2004).
2.1.3 Habitat dan Distribusi Tanaman Ginseng Jawa
Ginseng Jawa Talinum triangulare (Jacq.) Willd. merupakan
tanaman yang dapat tumbuh beradaptasi di banyak negara. Tanaman
ini paling cocok untuk ditanam di daerah tropis lembab seperti Afrika
Barat, Asia, dan Amerika Selatan (Ezekwe et al., 2002). Tanaman ini
juga dikenal dengan nama waterleaf, Philippine spinach, Ceylon
spinach, Florida spinach dan ginseng jawa (Fasuyi, 2007).
2.1.4 Penggunaan Daun Ginseng Jawa
Daun Ginseng Jawa umumnya dikonsumsi sebagai makanan baik di
olah maupun mentah. Daun ini juga biasanya ditambahkan dalam menu
makanan oleh Suku Sunda (Department of Agriculture Regional Field,
2014). Di Asia Tenggara, tumbuhan ini dijadikan tanaman hias dalam
pot maupun di taman. Beberapa penelitian menunjukan tanaman ini
memiliki manfaat pengobatan. Di Taiwan, Talinum triangulare (Jacq.)
Willd. digunakan dalam pengobatan dan pencegahan kanker (Liao et
al.,2015).
7
2.1.5 Kandungan Daun Ginseng Jawa
Daun ginseng jawa Talinum triangulare (Jacq.) Willd mengandung
karbohidrat, protien, lipid, asam amino, asam askorbat, kalium,
kalsium, magnesium, pektin, besi, natrium, beta karoten dan vitamin
Mensah et al (2008). Vitamin yang terkandung dalam Daun Ginseng
Jawa Talinum triangulare (Jacq.) Willd yaitu Thiamin, riboflavin,
niacin, vitamin c, dan tocopherol (Ogbonnaya & Chinedum, 2013).
Dalam penelitian Ogbonnaya & Chinedum (2013) juga dijelaskan
bahwa kandungan vitamin akan berkurang 13,19% dalam Daun
Ginseng Jawa apabila dimasak dibandingkan dengan mentahnya.
Selain kandungan nutrisi, daun ginseng jawa juga mengandung
antioksidan (Andarwulan et. Al., 2010). Ame dan Eze (2010)
melakukan penelitian untuk melihat kandungan antioksidan dalam daun
ginseng jawa Talinum triangulare (Jacq.) Willd ini secara fitokimia.
Kandungan flavonoid, tanin, dan saponin ditemukan pada ekstrak daun.
Perhitungan secara quantiatif pada ekstrak daun ginseng jawa Talinum
triangulare (Jacq.) Willd diperoleh kandungan flavonoid yang tinggi,
yaitu 69,8 mg /100mg , saponin 1,48±0,20 mg/100mg , dan tanin
1,44±0,05 mg/100 mg (Aja et al.,2010).
2.2 Hepar Manusia
2.2.1 Anatomi Hepar Manusia
Hepar merupakan organ metabolik utama dan kelenjar terbesar pada
tubuh dengan berat 2,5% berat badan atau sekitar 1200-1800 gram
(Paulsen & Waschke, 2013). Hepar terletak di kuadran hipokondrium
8
dekstra pada abdomen. Hepar dilindungi oleh costae dan dapat
mempertahankan posisinya dengan bergantung pada ligamen-ligamen.
Ligamentum falciforme yang membagi lobus kanan dan kiri pada hepar
menempel pada permukaan anterosuperior hepar, menuju ke diafragma
(gambar 2.2) (Gray & Lewis, 2000). Ligamentum falciforme berlanjut
sebagai ligamentum coronarium yang kemudian menjadi ligamentum
triangulare dekstrum dan sinistrum yang menghubungkan dengan
diafragma. Tepi bebas ligamentum falciforme disebut sebagai
ligamentum teres hepatis, merupakan vena umbilikal yang terobliterasi.
Di kranial hepar, terdapat ligamentum venosum yang merupakan ductus
venosum yang terobliterasi (Paulsen & Waschke, 2013).
(Geller, Goss, Tsung, 2010) Gambar 2.2
Anatomi Hepar
Secara anatomi, hepar dibagi menjadi 2 lobus. Lobus kanan, yang
dipisahkan oleh ligamentun falciforme lebih besar daripada lobus kiri
(60:40)(Abdel-Misih & Bloomston, 2010). Pembagian ini berdasarkan
cabang dari arteri hepatika dan vena porta, yang diikuti oleh duktus
biliaris dan vena hepatika intermedia diantaranya. Setiap lobus dibagi
menjadi 2 sektor, vena hepatika dekstra membagi lobus dekstra menjadi
sektor anterior dan posterior, dan vena hepatika sinistra membagi lobus
9
sinistra menjadi sektor medial (lobus quadratus) dan sektor lateral
(Gray & Lewis, 2000).
2.2.2 Histologi Hepar Manusia
Unit struktural parenkim hepar adalah lobulus hepaticus yang terdiri
dari trabekula hepatosit yang tersusun secara radial. Di bagian tengah
setiap lobulus terdapat sebuah vena sentralis yang mengalir ke vena
hepatika. Lobulus hepatikus dikelilingi oleh saluran-saluran porta pada
sudut perifernya (gambar 2.3). Struktur tersebut disebut trias porta yang
terdiri dari arteri interlobularis, vena interlobularis dan duktus bilifer
interlobularis (Paulsen & Waschke, 2013). Jaringan halus dari serat
retikulin menjadi penyokong lobulus pada hepar (Savannah, et
al.,2016). Secara fungsional, hepar dapat dibagi menjadi 3 zona,
berdasarkan suplai oksigen yang diterima. Zona 1 yang mengelilingi
trias porta dimana darah teroksigenasi berasal dari arteri hepatik masuk.
Zona 3 terletak di sekeliling vena centralis dimana daerah ini
merupakan daerah yang minim suplai oksigen. Zona 3 berada di antara
zona 1 dan 2 (gambar 2.3) (Savannah, et al.,2016).
Sinusoid hati merupakan saluran darah yang melebar dan berliku-
liku, dilapisi oleh lapisan tidak utuh sel sendotel berfenestra yang
menunjukan lamina basalin yang berpori dan tidak utuh. Sinusoid ini
dipisahkan dari hepatosit dibawahnya oleh spatium persinusoideum
subendotelial (ruang Disse) (Eroschenko ,2010). Darah dalam sinusoid
mengalir ke vena sentralis. Sel kupffer yang merupakan bagian dari
sistem mononuklear fagosit menjadi makrofag tetap yang tersebar di
10
sinusoid (Savannah, et al.,2016). Sel kupffer (macrophagitus stellatus)
ini terletak di sisi luminal pada sel endotel) (Eroschenko, 2010).
(Savannah, et al., 2016) Gambar 2.3
Histologi hepar manusia. Zona 1 (1), zona 2 (2), dan zona 3 (3). Pewarnaan hematoxilin dan eosin. Perbesaran 30x
Empedu yang dikeluarkan oleh hepatosit dialirkan ke dalam saluran
yang disebut kanalikulus biliaris yang terletak di antara hepatosit.
Kemudian kanalikulus-kanalikulus ini bertemu di trias porta sebagai
duktus biliaris. Empedu lalu keluar dari hati melalui duktus hepatikus
yang lebih besar) (Eroschenko ,2010).
2.2.3 Fisiologi Hepar Manusia
Hepar memiliki banyak fungsi, diantaranya (1) fungsi penyimpanan;
(2) pembentukan faktor koagulasi; (3) metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein; dan (4) metabolisme obat dan xenobiotik. Hepar
merupakan tempat penyimpanan vitamin larut lemak seperti vitamin A,
D, dan K. Hepar berperan dalam penyerapan, penyimpanan, dan
pemeliharaan vitamin A untuk jumlah vitamin A dalam sirkulasi.
Vitamin D paling banyak disimpan dalam otot rangka dan jaringan
adiposa, namun hepar memiliki peran dalam inisiasi aktifaso vitamin D
11
melalui koversi vitamin D3 menjadi 25-hidroksi vitamin D3 (Tso, &
McGill, 2010). Vitamin K yang disimpan dalam hepar akan dibutuhkan
dalam membentuk protrombin, faktor VII, IX, dan X yang juga disebut
dalam fungsi pembentukan faktor koagulasi (Guyton & Hall, 2006).
Sebagian besar besi di dalam tubuh disimpan di dalam hepar dalam
bentuk ferritin. Bila besi dalam sirkulasi darah menurun, ferritin dalam
hepar akan melepaskan besi (Guyton & Hall, 2006). Hepar memiliki
kemampuan dalam mendetoksifikasi atau ekskresi obat-obatan, seperti
sulfonamid, penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu.
Kebanyakan obat-obatan dan zat metabolit bersifat hidrofobik, hepar
mengubahnya menjadi senyawa hidrofilik sehingga dapat dikeluarkan
oleh ginjal (Tso, & McGill, 2010). Fungsi eksokrin pada hepar
digunakan untuk pencernaan, absorbsi lemak, dan menetralisir asam
lambung pada usus yaitu dengan diproduksinya asam empedu (Ward,
Clarke, & Linden, 2009).
Pada metabolisme karbohidrat, hepar memiliki peran, seperti (1)
menyimpan glikogen dalam jumlah besar; (2) konversi galakosa dan
fruktosa menjadi glukosa; (3) proses glukoneogenesis; dan (4)
pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat (Guyton & Hall, 2006).
2.3 Tikus (Rattus norvegicus)
Penelitian kedokteran membutuhkan hewan coba yang dapat
merepresentasikan penyakit pada manusia. Dalam penelitian kedokteran, tikus
(Rattus nirvegicus) merupakan hewan uji yang paling banyak digunakan. Hal
12
tersebut disebabkan karena karakteristik genetik, biologi dan perilaku tikus
(Rattus nirvegicus) dan manusia memiliki banyak kemiripan, serta banyak
keadaan pada manusia yang dapat dilakukan pada tikus (Alexandru, 2011). Galur
yang sering digunakan dalam penelitian adalah galur Wistar dan galur Sprague
Dawley (Wolfenshon & Lloyd, 2013). Tikus putih atau tikus albino lebih banyak
dipilih untuk menjadi hewan coba karena kemiripan genetis yang besar, yaitu
98%. Kemiripan terssebut diperoleh dari hasil perkawinan antara tikus albino
jantan dan betina, meskipun sudah lebih dari 20 generasi.
Taksonomi Rattus norvegicus:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Order : Rodentia
Suborder : Myomorpha
Family : Muridae
Genus : Rattus
Species : norvegicus
(Sharp & La Regina, 2010)
2.3.1 Hepar Tikus (Rattus norvegicus)
2.3.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar Tikus (Rattus nirvegicus)
Hepar tikus (Rattus nirvegicus) rata-rata memiliki berat 10g untuk berat
badan tikus rata-rata 250g, sedangkan volumenya sebesar 19,6 mL. Hepar
tikus (Rattus nirvegicus) terdiri dari lobus-lobus yang dinamai sesuai porta
yang melewati, yaitu lobus lateral sinistra, lobus medial sinistra, lobus medial
13
dextra, lobus dextra superior, lobus dextra inferior, lobus caudatus anterior
dan lobus caudatus inferior (Martin and Neuhaus, 2007) (gambar 2.4). Lobus
daerah medial dan sinistra, yaitu lobus lateral sinistra, lobus medial sinistra,
lobus medial dextra, di lewati langsung oleh vena porta utama (Sanger et
al.,2015). Akumulasi lemak umumnya ditemukan didaerah lobus medial dan
sinistra, karena mendapat suplai darah dari usus melalui vena porta utama
tanpa percabangan. Jika darah yang berasal dari usus mengandung toksin
maka kerusakan awal ditemukan pada hepatosit di daerah vena porta (Paderi,
2007).
(Martin and Neuhaus, 2007)
Gambar 2.4 Anatomi hepar Rattus norvegicus tampak anterior setelah
lobus dipisahkan. RML; right medial lobe, LML; left medial lobe, SRL; superior right lobe, IRL; inferior right lobe, LLL; left lateral lobe, AC; anterior caudatus.
Seperti pada manusia, hepar tikus memiliki penggantung atau ligament
yaitu, ligamentum falciform, ligamentum coronarius, dan ligamentum lateral
melekat pada peritoneal, serta ligamentum round yang merupakan obliterasi
dari vena umbilikal. Seperti pada manusia, hepar tikus memiliki fungsi utama
metabolisme energi, mengubah zat buangan dan bahan racun untuk di
14
eksresikan, menghasilkan enzim glikogenik, dan sekresi garam empedu.
Tikus tidak memiliki kandung empedu yang digunakan untuk menyimpan
empedu seperti pada manusia. Empedu dari setiap lobus hepar keluar
melewati duktus, kemudian duktus dari setiap lobus ini membentuk saluran
empedu yang menuju duodenum (Martin & Neuhaus, 2006).
Tabel 2.1 Perbandingan Hepar Tikus Rattus norvegicus dan Manusia
Vdoviaková et al., 2016 2.3.1.2 Histologi Hepar Tikus Rattus norvegicus
Sel parenkim pada hepar tikus yaitu hepatosit, sedangkan sel non
parenkim adalah sel Kupffer, sel Ito Stelata, dan sel endotel (Furth et al.,
1972). Perbedaan sel sel tersebut diidentifikasi berdasarkan morfologi dan
reaksi imunologi. Hepatosit dengan pewarnaan Hematoxilin Eosin ditemukan
berbentuk bulat atau kubus. Hepatosit memiliki nucleus yang besar dan bulat
(kadang-kadang ditemukan 2 inti) yang menonjol. Sebagian besar sitoplasma
terisi oleh mitokondria, retikulum endoplasma halus dan kasar, dan partikel
glikogen yang tersebar.bagian basolateral hepatosit yang menghadap kapiler
sinusoid, memiliki banyak mikrovili yang dibatasi oleh ruang Disse. Seperti
pada spesies mamalia yang lain, bagian apikal hepatosit berhubungan dengan
kanalikuli. Kanalikuli terbentuk dari pelebaran ruang interseluler yang
Tikus Rattus norvegicus Manusia 5% berat badan tikus 2,5% berat badan manusia 6 lobus tidak terbagi dengan jelas (terlihat seperti 1 unit) ada vesica biliaris tidak ada vesica biliaris lobus caudatus terlihat jelas lobus caudatus tidak terlihat jelas vena portal terbagi trifurcatio vena portal tebagi bifurcatio ductus choledocus terletak di kiri vena porta dan memiliki lintasan panjang yang masuk dalam pankreas
ductus choledocus terletak di kanan vena porta dan memiliki lintasan pendek menuju pankreas
vena cava inferior terletak intrahepatik vena cava inferior terletak retroperitoneal
15
beranastomosis menjadi duktus empedu kecil di area porta (Barrata et al.,
2009).
Sediaan histologi hepar tikus dengan metode pewarnaan hematoxilin
eosin didapatkan pola yang mirip dengan histologi hepar pada manusia.
Terdapat area porta yang terdiri atas elemen triad hepatik, yang merupakan
cabang kecil dari vena porta, arteri hepatik, dan duktus empedu yang diikuti
dengan pembuluh limfe dan jaringan ikat. Keberadaan area portal yang diikuti
central venula menunjukkan struktur lobular pada hepar tikus (Barrata et al.,
2009).
Seperti pada manusia hepar tikus dapat dibagi menjadi 3 zona,
berdasarkan suplai oksigen yang diterima. Zona 1 yang mengelilingi trias
porta dimana darah teroksigenasi berasal dari arteri hepatik masuk. Zona 3
terletak di sekeliling vena centralis dimana daerah ini merupakan daerah yang
minim suplai oksigen. Zona 3 berada di antara zona 1 dan 2 (gambar 2.5)
(Savannah, et al.,2016).
(Barrata et al., 2009) Gambar 2.5
Histologi hepar tikus ditemukan vena sentralis (Central Vein/CV), vena porta (Porta Vein/PV) pada area porta (Porta Area/PA). Zona 1 (1), zona 2 (2), dan zona 3 (3).Pulasan: hematoksin dan eosin. Perbesaran 100µm.
16
2.4 Metabolisme Lemak
Lemak yang diserap dari makanan dan lipid yang disintesa oleh hepar serta
jaringan adiposa harus diangkut ke berbagai jaringan dan organ tubuh untuk
digunakan serta disimpan. Lipid bersifat tak larut dalam air sehingga
pengangkutan lipid dalam plasma darah, dibutuhkan pembentukan lipoprotein
yang terdiri dari senyawa lipid non polar (triasilgliserol dan ester kolestril) dengan
lipid amfipatik (fosfolipid dan kolesterol) dan protein, senyawa tersebut dapat
bercampur dengan air (Murray, 2013).
Kelompok lipoprotein yang mempunyai makna penting secara fisiologis dan
untuk diagnosis klinis adalah (1) kilomikron yang berasal dari penyerapan
triasilgliserol di usus; (2) lipoprotein dengan densitas yang sangat reendah atau
very low density lipoprotein (VLDL atau β-lipoprotein) yang berasal dari hati
untuk mengeluarkan triasilgliserol; (3) lipoprotein dengan densitas rendah atau
low density lipoprotein (LDL atau β-lipoprotein) yang memperlihatkan tahap
akhir di dalam katabolisme VLDL; dan (4) lipoprotein dengan densitas tinggi atau
high density lipoprotein (HDL atau α-lipoprotein) yang terlibat di dalam
metabolisme VLDL dan kilomikron serta pengangkutan kolesterol (Guyton &
Hall, 2006). Ukuran lipoprotein ini meningkat sebanding dengan trigliserida dan
isi kolesterol ester dari inti. Densitas lipoprotein sebanding dengan protein dan
berbanding terbalik dengan lipid, dan mobilitasnya bergantung pada ukuran
lipoprotein(Pan et al.,2004). Dalam darah, lemak diangkut melalui 2 jalur, yaitu
jalur eksogen dan endogen (gambar 2.5).
17
(Rosensen & Robert ,2009) Gambar 2.6
Jalur eksogen dimula dari diet makanan lalu diserap usus bersamaan dengan asam empedu dan kolesterol dari hepar. TG akan dibawa ke kapiler oleh kilomikron dan disimpan dalam jaringan lemak. Sisa nya (remnants) masuk ke dalam hepar melalui reseptor remnants. Kolesterol dalam hepar akan membentuk VLDL untuk disekresi ke sirkulasi. Jalur eksogen dimulai dari VLDL yang disekresi hepar dalam sirkulasi dipecah oleh LP-lipase menjadi IDL dengan TG yang tersimpan dalam jaringan lemak. IDL kemudian menjadi LDL yang masuk ke hepar melalui resptor LDL, diambil oleh makrofag yang bila berlebih akan membentuk plak, dan ditangkap oleh reseptor LDL di sel perifer.
1) Jalur Eksogen
Kolesterol dari diet makanan dan asam lemak akan diserap dalam usus.
Trigliserida di dalam sel usus teridiri dari 3 cincin asam lemak bebas dan
gliserol-ester akan membentuk kilomikron (Rosensen & Robert ,2009). Pada
kapiler, jaringan lemak dan oto polos, ikatan tersebut dipecah oleh enzim
Lipoprotein-lipase (LP-lipase) yang membebaskan asam lemak dan sisanya
18
(remnant) partikel kaya kolesterol, yang apabila sampai di hepar akan diikat
oleh reseptor khusus dan diambil masuk ke dalam sel hepar. Kolesterol yang
ada didalam hepar akan disekresi ke dalam usus dalam bentuk VLDL dan
disekresi ke sirkulasi (Munaf, 2008).
2) Jalur Endogen
Trigliserida yang ada dalam jaringan lemak dan otot akan dikeluarkan
dengan meninggalkan sisa serupa IDL yang kaya-kolesterol. Sebagian IDL
terikat oleh reseptor LDL lalu diambil ke hepar dengan sisanya tetap ada
dalam sirkulasi diubah menjadi LDL. Kolesterol yang terlepas dari ikatan sel
ke bentuk HDL akan diesterifikasi oleh enzim lecithin-cholesterol
acyltransferase (LCAT). Ester ditransfer ke IDL, kemudian LDL lalu diambil
kembali oleh hepar (Munaf, 2008). Di dalam hepar, LDL diubah menjadi
asam empedu untuk disekresikan ke dalam usus. LDL digunakan dalam
produksi hormon, sintesis membran sel, atau disimpan di organ non hepar.
LDL juga diambil oleh makrofag dan sel-sel lain yang menyebabkan
akumulasi berlebihan dan dapat membentuk plak (Rosensen & Robert ,
2009).
2.5 Perlemakan Hati Non Alkoholik
2.5.1 Definisi
Perlemakan hati non alkoholik (Non Alcoholic Fatty Liver Disease atau
NAFLD) didefinisikan sebagai akumulasi lemak yang berlebihan dalam
parenkim hati yang tidak disebabkan oleh konsumsi alkohol berlebihan
ataupun penyebab sekunder lain (Ahmed, 2015). Walaupun pada awalnya
jinak, NAFLD dapat berkembang secara perlahan dari steatosis non alkoholik
19
sederhana (Non Alcoholic Steatosis atau NAS) menjadi steatohepatitis non
alkoholik (Non alcoholic steatohepatitis atau NASH), kemudian menjadi
hepatik fibrosis, sirosis heparis dan hepaseluler karsinoma (El-Kader et al.,
2015). Disebut sebagai NAFLD apabila kandungan lemak di hati melebihi
5% dari seluruh berat hati. Pengukuran berat hati yang sulit dilakukan
membuat diagnosis tidak praktis sehingga dibuat berdasarkan analisi
spesimen biopsi jaringan hati, yaitu ditemukan minimal 5-10% sel lemak dari
keseluruhan hepatosit (Hasan, Gani, & Mahmud, et al., 2002).
2.5.2 Patogenesis
Teori Multiple Hit merupakan teori yang dikemukakan sebagai
patogenesis dari NAFLD (El-Kader et al., 2015). Peningkatan pasokan asam
lemak bebas ke hati memainkan peranan utama dalam tahap awal penyakit in.
Pada Hit pertama, terdapat akumulasi trigliserida sebagai droplet lemak
dalam sitoplasma hepatosit. Penumpukan trigliserida dalam hepatosit terjadi
karena meningkatnya asam lemak bebas. Dalam keadaan normal, asam lemak
bebas dihantarkan memasuki organ hati lewat sirkulasi dara arteri dan portal.
Di dalam hati, asam lemak bebas akan mengalami metabolisme lebih lanjut
seperti esterifikasi menjadi trigliserda atau digunakan untuk membentuk
lemak lainnya. Adanya peningkatan masa jaringan lemak tubuh, misalnya
pada keadaan obesitas, akan meningkatkan pelepasan asam lemak bebas yang
kemudian menumpuk di hepatosit (Hasan, 2009).
Bertambahnya asam lemak bebas di dalam hati akan meningkatkan
aktifitas PPARα (Peroxisome proliferator-activated receptor alpha), yaitu
suatu reseptor asam lemak yang mengaktifkan ω-oxidation yang kemudian
20
akan meningkatkan β-oxidation yang merupakan proses utama oksidasi asam
lemak di mitokondria (Reddy, 2006). Proses ini terus terjadi pada
mitokondria hepatosit sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan
mitokondria itu sendiri, hal ini lah yang disebut sebagai Hit kedua, yaitu
meningkatnya stres oksidatif di hati (Hasan, 2009). Peningkatan stres
oksidatif dalam sel akan menyebabkan kerusakan pada membran sel sehingga
menurunkan integritas sel yang menyebabkan sel rentan mengalami
kerusakan maupun akumulasi berlebih sel lemak, kerusakan juga terjadi pada
mitokondria sehingga menyebabkan penurukan hasil pembakaran asam lemak
menjadi energi atau ATP. Kerusakan mitokondria itu juga menyebabkan
peningkatan uncoupling protein C-2 (UCP2) (Jin, 2013). Uncoupling protein
C-2 (UCP2) merupakan protein mitokondria yang mengatur produksi dari
ATP. Peningkatan UCP2 yang terus menerus akan mengurangi efisiensi
pembentukan ATP, sehingga asam lemak yang masuk ke hepar akan lebih
mudah diubah menjadi trigliserida daripada dipecah menjadi ATP (Jin, 2013).
Pada Hit ketiga, terjadi gangguan regenerasi hepatosit dengan peran gen
PNPLA3 (palatine-like phospholipase 3) (Tijera et al.,2015). Beberapa
nukleotida tunggal polimorfisme (Single Nucleotide polymorphisms)
ditemukan berhubungan dengan peningkatan perubahan histologis dan
perkembangan NAFLD (El-Kader et al., 2015).
2.5.3 Faktor Resiko
Pasien dengan dislipidemia, obesitas, dan resistensi insulin memiliki
resiko untuk mengalami NAFLD (Gaggini et al., 2013). Dislipidemia diyakini
berperan dalam NAFLD melalui produksi berlebihan dari very low density
21
lipoprotein (VLDL) dan disregulasi lipoprotein dari sirkuasi (Chatrath et al.,
2013). Resistensi insulin didapatkan pada pasien obesitas dan/atau diabetes
melitus. Pada keadaan resistensi insulin, jaringan lemak menjadi resisten
terhadap efek antilipolitik dan pelepasan asam lemak bebas meningkat.
Keadaan ini meningkatkan lipolisis dan atau intake lemak yang memicu
sintesis trigliserida dalam hepar (Gaggini, Morelli, Buzzigoli, et al., 2013).
2.5.4 Tanda dan Gejala
Pada banyak kasus, pasien dengan NAFLD tidak menunjukkan gejala
(asimtomatik). Beberapa pasien mengeluhkan gejala non spesifik seperti,
kelelahan dan rasa tidak nyaman atau sakit pada hipokondrium dekstra yang
memburuk saat pasien bergerak. Sakit tersebut diakibatkan karena hati yang
membesar dan kapsul hati yang meregang(Ahmed, 2015). Saat NAFLD sudah
berkembang menjadi sirosis, pasien menunjukan gejala-gejala dekompensasi
hati seperti eritema palmaris, spider nervi, jaundice, asites, edema,
perdarahan gastrointestinal, dan ensefalopati. Pada pemeriksaan fisik
kemungkinan didapatkan hepatomegali dan obesitas pada pasien. Diagnosis
pada pasien dengan NAFLD ini biasanya terjadi secara tidak sengaja akibat
level enzim hepar yang abnormal atau gambaran radiologi dari hati yang
berlemak. Perlu diperhatikan bahwa hanya sebagian kecil pasien dengan
NAFLD ini yang di diagnosa dan sebagian lain dengan resiko yang besar
masih tidak terdiagnosa (El-Kader et al., 2015).
22
2.5.5 Gambaran Histopatologis
The Non Alcoholic Steatohepatitis Clinical Research Network (NASH
CRN) membuat skor histopatologi untuk NAFLD berdasarkan kelainan yang
ditemukan berupa hepatoselular steatosis, ballooning, dan inflamasi lobular
yang ditemui pada hepar manusia yang mengalami perlemakan (Juluri et al.,
2011) (Tabel 2.1).
Tabel 2.2 Skor Histopatologi NASH CRN Yang Dilihat Definisi Skor
Steatosis
<5% 0 5% - 33% 1 >33% - 66% 2 >66% 3
Inflamasi Lobular
tanpa fokus 0 <2 fokus per 200 lapang pandang 1 2-4 fokus per 200 lapang pandang 2 >4 fokus per 200 lapang pandang 3
Ballooning tidak ada 0 sedikit sel balloon 1 banyak/menonjol sel balloon 2
(Takahashi & Fukusato, 2014)
a. Steatosis
Hepatoseluler steatosis merupakan ciri khas pada NAFLD dengan
ditemukan lebih dari 5% dari jumlah hepatosit yang dibutuhkan
dalam mendiagnosis NAFLD (Brunt & Tiniakos 2009,).
Hepatoseluler steatosis di klasifikasikan dalam dua tipe yaitu,
makrovesikuler dan mikrovesikuler. Pada steatosis makrovesikuler,
ditemukan satu droplet lemak besar dalam sitoplasma hepatosit yang
mendorong nukleus ke tepi sel. Pada steatosis mikrovesikuler,
sitoplasma hepatosit terisi dengan droplet lemak kecil-kecil dan letak
nukleus di tengah-tengah sel. Pada NAFLD yang paling sering
ditemukan adalah tipe makrovesikuler (gambar 2.7), walaupun
23
mikrovesikuler juga mungkin ditemui (Takahashi & Fukusato,
2014).
(Takahashi & Fukusato, 2014)
Gambar 2.7 Steatosis pada hepar manusia. Pulasan Masson trichrome.
Perbesaran 100µm.
b. Inflamasi lobular
Inflamasi lobular yang ditemui pada NAFLD biasanya ringan dan
terdiri dari infiltrat sel inflamatorik (limfosit, neutrofil, eosinofil, dan
sel Kupffer). Sel polimorfik kadang ditemukan mengelilingi
ballooning hepatosit, disebut sebagai satelitosis (gambar 2.8).
Adakalanya satelitosis ini ditemukan pada NAFLD dan sering pada
hepatitis alkoholik (Takahashi & Fukusato, 2014).
24
(Takahashi & Fukusato, 2014)
Gambar 2.8 Inflamasi lobular pada hepar manusia panah hitam menunjukkan fokus inflamatorik lobus. Pulasan Masson trichrome. Perbesaran 100µm.
c. Degenerasi Hidropik (Ballooning)
Karekteristik Degenerasi Hidropik Ballooning hepatoseluler
adalah sel hepatosit edema dengan inti bulat, sitoplasma pucat dan
terkesan putih didaerah inti, serta refleks jejas hepatoseluler.
Ballooning hepatoseluler merupakan hasil kerusakan filamen
sitoskeleton hepatosit. Droplet lemak dan/atau Mallory Bodies dapat
diobservasi pada ballooning hepatosit (gambar 2.9) (Takahashi &
Fukusato, 2014).
25
(Takahashi & Fukusato, 2014) Gambar 2.8
Ballooning pada hepar manusia. Panah hitam menunjukkan ballooning dan panah putih menunjukkan Mallory Bodies. Pulasan Masson trichrome. Perbesaran 100µm.
2.6 Dislipidemia
2.6.1 Definisi
Dislipidemia adalah suatu gangguan pada metabolisme lipoprotein,
termasuk produksi lipoprotein yang berlebihan atau kekurangan. Dislipidemia
dapat ditandai dengan peningkatan dari total kolesterol, konsentrasi kolesterol
LDL dan trigliserida, dan penurunan kolesterol HDL dalam darah.
Kebanyakan dislipidemia adalah hiperlipidemia, yang merupakan
peningkatan lipid dalam darah umumnya diakibatkan oleh diet dan gaya
hidup (Asha et al., 2012).
Hiperlipidemia atau hiperlipoproteinemia adalah kondisi abnormal
dimana terjadi peningkatan level pada beberapa atau seluruh lipoprotein lipid
di dalam darah. Hiperlipidemia adalah bentuk paling sering ditemui dari
dislpidemia. Lipid (molekul larut lemak) yang diangkut dalam kapsul protein
atau lipoprotein, menentukan densitas lipoprotein. Peningkayan kolesterol
dalam darah melibatkan abnormalitas partikel protein yang mengangkut
semua molekul lemak, termasuk kolesterol, di dalam peredaran darah.
26
Peningkatan kolesterol ini terkait dengan diet, peningkatan lemak dalam
tubuh, faktor genetik (seperti mutasi pada reseptor LDL pada familial
hiperkolesterol), dan adanya penyakit lain seperti diabetes. Tipe
hiperkolesterolemia bergantung pada tipe lipoprotein yang ditemukan
berlebih (seperti pada LDL).
2.6.2 Komposisi Lipoprotein
Tabel 2.3 Komposisi Lipoprotein
Lipoprotein Apoprotein Kandungan Lipid Trigliserida Kolesterol Fosfolipid
Kilomikron Apo-B48 8-095 2-7 3-9 VLDL Apo-B100 55-80 5-15 10-20 IDL Apo-B100 20-50 10-20 20-25 LDL Apo-B100 5-15 20-40 20-25 HDL Apo-AI & Apo-AII 5-10 15-25 20-30
Rahmawansa, 2009
2.6.3 Klasifikasi Kadar Lipid Plasma
Klasifikasi kadar lipid plasma (kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol
HDL, dan trigliserida) menurut National Cholesterol Education Program
ATP III (2001) dapat dilihat pada tabel 2.4
Tabel 2.4 Klasifikasi Kadar Lipid Plasma Kolesterol Total
<200 diinginkan 200-239 borderline tinggi
≥240 tinggi Kolesterol LDL
<100 optimal 100-129 mendekati optimal 130-159 borderline tinggi 160-189 tinggi
≥190 sangat tinggi Kolesterol HDL
<40 rendah ≥60 tinggi
trigliserida <150 optimal
150-199 borderline tinggi 200-499 tinggi
≥500 sangat tinggi Fahy et al., 2011
27
2.6.4 Dislipidemia dan Pengaruhnya pada NAFLD
Keadaan dislipidemia (hiperkolesterolemia, hipertrigliserida, atau
keduanya) telah ditemukan pada 20-80 % kasus NAFLD (Souza et al., 2012).
Peningkatan asam lemak bebas menjadi pemicu terjadinya stres oksidatif dan
peroksidasi lipid yang berhubungan dengan perkembangan NAFLD. Stres
oksidatif dan peningkatan asam lemak bebas ini menyebabkan akumulasi
berlebih trigliserida di hati (Zhang et al., 2015).
2.7 Radikal Bebas
Oksigen adalah unsur yang sangat diperlukan bagi kehidupan untuk
menghasilkan energi. Radikal bebas merupakan molekul independen yang berisi
elektron yang tidak berpasangan, sehingga bersifat oksidan ataupun reduktan
karena kemampuannya untuk menyumbangkan atau menerima elektron dari
molekul lain Radikal bebas diciptakan sebagai konsekuensi dari ATP (adenosin
trifosfat) melalui produksi oleh mitokondria (Lobo et al., 2010).
Radikal bebas dapat terbentuk dari substansi endogen maupun eksogen.
Sumber radikal bebas endogen dapat berasal dari mitokondrial sitokrom
oksidase,lipid peroxidase, xantin oksidase, inflamasi, fagositosis, jalur arakidonat,
dan keadaan iskemik. Sedangkan sumber radikal bebas eksogen berasal dari asap
rokok, polutan lingkungan, radiasi, obat-obatan tertentu, pestisida, pelarut
industri, dan ozon (Sen et al., 2010).
Akumulasi radikal bebas dan turunannya yang reaktif disebut dengan ROS
(Reactive Oxygen Species). ROS memiliki peran ganda baik sebagai senyawa
beracun maupun bermanfaat. Keseimbangan antara dua efek antagonistik ROS
merupakan aspek penting dari kehidupan. Pada tingkat rendah atau sedang, ROS
28
memberi efek menguntungkan seperti respon seluler berupa diferensiasi, adaptasi
metabolik dan fungsi kekebalan tubuh. Pada konsentrasi tinggi, ROS
menghasilkan stres oksidatif, proses yang dapat merusak semua struktur sel (Sena
dan Chandell, 2012).
2.8 Stres Oksidatif
Istilah stres oksidatif digunakan untuk menggambarkan kerusakan oksidatif
oleh karena tingkat radikal bebas atau ROS toksik yang melebihi pertahanan
antioksidan. Stres oksidatif berperan besar terhadap perkembangan penyakit
kronis dan degeneratif seperti pada kanker, artritis, penuaan, kelainan autoimun,
dan pada penyakit hati kronis N. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan
pada protein, DNA, dan peroksidasi lipid, sehingga menyebabkan kerusakan lokal
dan disfunsi organ tertentu. Lipid merupakan biomolekul yang rentan terhadap
radikal bebas (Lobo et al., 2010).
2.8.1 Peroksidasi lipid
Peroksidasi lipid diartikan sebagai kerusakan oksidatif pada lemak tak jenuh
atau PUFA (Polysaturated Fatty Acid). PUFA banyak ditemukan pada membran
sel yang memungkinkan untuk transpor cairan dan pada LDL. Kerusakan oksidatif
pada membran sel dapat menyebabkan penurunan integritas membaran, dan
mobilitas, serta menyebabkan sel rentan mengalami kerusakan maupun akumulasi
berlebih sel lemak (Gutowski dan Kowalczyk, 2013).
2.8.2 Kerusakan Protein
Kerusakan oksidatif pada protein menghasilkan protein yang rentan terhadap
enzim proteolitik. Kerusakan tersebut mempengaruhi perubahan mekanisme
transduksi sinyal, aktivitas enzim, stabilitas panas, dan proteolisis kerentanan,
29
yang mengarah pada penuaan. Dibandingkan dengan lipid, protein dan DNA lebih
tahan terhadap radikal bebas, sehingga kerusakan protein ini terjadi pada serangan
radikal bebas yang ekstensif (Lobo et al., 2010).
2.8.3 Kerusakan DNA
Seperti pada protein, kerusakan pada DNA ini kemungkinan kecil terjadi.
Kerusakan pada DNA biasanya terjadi apabila ada lesi pada susunan molekul.
Bila kerusakan pada DNA ini tidak diatasi, dan terjadi sebelum replikasi maka
akan terjadi mutasi (Lobo et al., 2010).
2.9 Antioksidan
Antioksidan adalah molekul yang cukup stabil untuk mendonasikan elektron
pada radikal bebas yang tidak stabil dan menteralisirnya, sehingga menurunkan
kerusakan yang disesbabkan oleh radikal bebas. Antioksidan menghambat atau
memperlambak kerusakan seluler kebanyakan melalui cara menetralkan tersebut.
Antioksidan dapat dengan aman berinteraksi dengan radikal bebas dan
menghentikan reaksinya sebelum molekul penting rusak (Lobo et al., 2010). Jenis
antioksidan dibagi menjadi antioksidan enzimatik dan antioksidan non enzimatik.
Antioksidan enzimatik yaitu glutation peroksidase, katalase, dan superoksida
dismutase. Antioksidan non enzimatik berasal dari makanan yang dimakan
seperti mikronutrien vitamin E, vitamin A, flavonoid, saponin, tannin dan vitamin
C, dimana tubuh tidak bisa memproduksi mikronutrien tersebut sehingga perlu
asupan dari makanan yang dikonsumsi (Valko et al., 2007).
30
2.9.1 Mekanisme Kerja Antioksidan
Terdapat dua prinsip mekanisme kerja antioksidan dalam melawan radikal
bebas. Pertama, mekanisme merusak rantai ikatan, dimana antioksidan
mendonorkan satu elektron kepada radikal bebas. Mekanisme ke dua merupakan
pembersihan ROS melalui suatu proses katalisis. Fungsi antioksidan secara sistem
biologi dapat melalui mekanisme yang berbeda-beda seperti, donasi elektron,
khelasi ion logam, atau melalui regulasi ekspresi gen (Huy et al., 2008).
Mekanisme pertahanan antioksidan terhadap stres oksidatif tersusun dalam
beberapa lini yang terbagi dalam empat kategori berdasarkan fungsinya. Pertama,
antioksidan preventif bekerja dengan menekan pembentukan dari radikal bebas.
Kedua, pembersihan radikal bebas secara radikal dengan menekan inisiasi rantai
dan merusak rantai propagasi reaksi. Ketiga, antioksidan yang memperbaiki
keadaan (seperti pada beberapa enzim proteolisis dan enzim pada DNA). Keempat
merupakan adaptasi sinyal pada produksi dan reaksi terhadap pembentukan
radikal bebas, serta transportasi antioksidan pada tempat-tempat yang tepat (Lobo
et al., 2010).
2.9.1.1 Peran Antioksidan Enzimatik
a) Katalase
Secara kimia katalase merupakan tetramer empat rantai polipeptida yang
mengandung empat porfirin kelompok heme yang memungkinkan untuk
bereaksi dengan hidrogen peroksida. Dalam melawan stres oksidatif,
katalase dapat ditemukan dalam hati,ginjal, dan sel-sel darah merah.
Katalase merupakan komponen pertahanan utama antioksidan yang
31
mengkatalisi dekomposisi hidrogen peroksidan menjadi air dan oksigen
(Patekar et al.,2013).
b) Superoksida Dismutase (SOD)
Aktifitas superoksida dismutase terjadi dalam ektraseluler maupun
intraseluler pada mitokondria dan kompartemen sitosolik. Atifitas SOD
berbeda di berbagai jaringan, aktifitas paling terlihat pada hati, kelenjar
adrenal, spleen dan ginjal. Kegiatan SOD diatur melalui biosintesis dan
sensitif terhadap oksigenasi jaringan. SOD disebut sebagai pertahanan
primer karena mekanisme kerjanya melepaskan superoksida (O2-) secara
radikal, memperbaiki sel dan mengurangi kerusakan (Lobo et al., 2010).
c) Glutation Peroksidase
Glutation peroksidase diklasifikasikan menjadi selenium dependen dan
selenium independen yang mengkatalase hidrogen peroksida dan organik
hidroperoksida. Glutation peroksidase terdapat di sitosol dan matriks
mitokondria intraseluler. Glutation peroksidase melawan kerusakan radikal
bebas melalui pengurangan proksida dan inhibisi lipid peroksida (Patekar
et al.,2013).
2.9.1.2 Peran Antioksidan Non Enzimatik
a) Vitamin E
Secara intraseluler, vitamin E berhubungan dengan membran kaya
lipidseperti mitokondria dan retikulum endoplasma, sehingga aktifitas
antioksidannya yaitu melawan membran lipid peroksidasi. Vitamin E
bersifat lipofilik melindungi asam lemak tak jenuh (PUFA =
polyunsaturated fatty acid) dari peroksida dan sebagai pengikat radikal
32
bebas. Vitamin E merupakan kebutuhan esensial pada struktur membran
dan integritas sel (Lobo et al., 2010).
b) Vitamin C (Asam Askorbat)
vitamin c merupakan pengikat radikal bebas yang bersifat hidrofilik
dan sebagai reduktan dan agen antioksidan. Vitamin c dapat bertindak
sebagai antioksidan maupun prooksidan. Pada Fe3+ ata Cu2+, vitamin c
membuat radikal bebas yang dapat mengakibatkan lipid peroksidasi.
Aktifitas sinergis dari vitamin c dan e membantu menghambat nitrosasi
pada nitrit, misal menghambat pembentukan N-nitro pada air dan lipid.
(Patekar et al.,2013)
c) Vitamin A
vitamin a bersifat larut lemak yang termasuk dalam golongan
karotenoid yang dibentuk dari pro vitamin yang dikonversikan menjadi
vitamin a aktif. Karotenoid bertindak sebagai antioksidan karena
kemampuannya untuk mengikat radikal bebas dan inhibisi lipid
peroksidase. Sama seperti vit C , fungsi beta karoten dapat sebagai
antioksidan dan prooksidan. Pada keadaan tekanan parsial oksigen yang
lebih tinggi menunjukkan efek prooksidan seiring dengan hilangnya
aktivitas antioksidan (Patekar et al.,2013).
d) Flavonoid
Tumbuh-tumbuhan merupakan sumber potensial yang banyak
mengandung antioksidan. Flavonoid merupakan antioksidan dan terbukti
lebih efektif daripada vitamin c, e dan karotenoid (Saxena et al., 2012)
aktifitas antioksidan pada flavonoid bergantung pada susunan secara
33
fungsional dari struktur nuklear. Konfigurasi, subtitusi dan total grup
hidroksil mempengaruhhi beberapa mekanisme antioksidan seperti
pengikatan radikal bebas dan khelasi ion logam. Flavonoid menghambat
enzim yang terlibat dalam pembentukan ros seperti, microsomal
monooxigenase, glutathione s-transferase, mitochondrial succinoxidase,
dan nadh oxidase. Flavonoid dengan potensi redoks rendah mampu
mengoksidasi radikal bebas seperti superoksida, peroksil, alkoksil, dan
hidroksil dengan donasi atom hidrogen. Flavonoid juga menghambat
peroksidasi lipid (Kumar, dan Pandey, 2013)
e) Saponin
Saponin terdistribusi secara luas dan dapat ditemukan di hampir 500
jenis tanaman. Saponin memiliki kemampuannya memproduksi busa
ketika dikocok dengan air. Saponin memiliki banyak aktifitas biologi
yaitu, sebagai antioksidan, imunostimulan, antibakteria, antikarsinogenik,
antidiare dan antioksitoksik. Mekanisme kerja saponin sebagai antioksidan
adalah pada inhibisi lipid peroksidasi dan pembuatan radikal bebas
(mengikat superoksida, nitrit oksida, hidroksil, dan hidrogen peroksida)
(Smith dan Adanlawo, 2014)
d) Tannin
Tannin atau yang dikenal juga dengan asam tanat merupakan polifenol
tumbuhan alami yang terdiri dari molekul glukosa dipusat dengan
diderivatisasi di gugus hidroksil dengan satu atau lebih residu galloyl.
Asam tanat merupakan antioksidan (lopes et al., 1999; ferguson, 2001; wu
et al., 2004) , antimutagen (ferguson, 2001; horikawa et al., 1994; chen and
34
chung, 2000), dan antikarsinogenik (horikawa et al., 1994; athar et al.,
1989; gali et al., 1992; nepka et al., 1999). Mekanisme kerja asam tanat
sebagai antioksidan yaitu dengan menghambat lipid peroksida dan
menghambat pembentukan radikal bebas atau ROS (pengikatan
superoksida, hidrogen peroksida dan khelasi ion logam) (Gulcin et al.,
2010).