12
BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Analisis karakteristik faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA berdasarkan Teori Sebab Sakit (Teori Segitiga Epidemiologi). Dari hasil data diatas didapatkan kejadian ISPA pada daftar 10 penyakit Rawat Jalan terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Mrican Kota Kediri menempati urutan pertama pada tahun 2014 yaitu sebanyak 441 kasus. Angka kesakitan ISPA tertinggi tahun 2014 terjadi pada bulan Mei, dan usia 1 – 4 tahun merupakan usia terbanyak pada ISPA di Puskesmas Mrican pada tahun 2014 Berdasarkan data terjadi peninggian angka kesakitan ISPA pada tahun 2014 hal ini di sebabkan dari berbagai sebab, diantaranya faktor perilaku, lingkungan, psiko-sosio-biologi/genetik, dan pelayanan kesehatan atau menurut teori segita epidemiologi host, agent, dan environment (Imbiri, 2012). 41

BAB 4.docx

Embed Size (px)

Citation preview

47

BAB IVPEMBAHASAN

4.1 Analisis karakteristik faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA berdasarkan Teori Sebab Sakit (Teori Segitiga Epidemiologi).Dari hasil data diatas didapatkan kejadian ISPA pada daftar 10 penyakit Rawat Jalan terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Mrican Kota Kediri menempati urutan pertama pada tahun 2014 yaitu sebanyak 441 kasus. Angka kesakitan ISPA tertinggi tahun 2014 terjadi pada bulan Mei, dan usia 1 4 tahun merupakan usia terbanyak pada ISPA di Puskesmas Mrican pada tahun 2014Berdasarkan data terjadi peninggian angka kesakitan ISPA pada tahun 2014 hal ini di sebabkan dari berbagai sebab, diantaranya faktor perilaku, lingkungan, psiko-sosio-biologi/genetik, dan pelayanan kesehatan atau menurut teori segita epidemiologi host, agent, dan environment (Imbiri, 2012). 4.1.1 Agent Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus, Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus.4.1.2 Hosta. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Anak yang berstatus gizi kurang/buruk mempunyai risiko ISPA 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi baik/normal. Di wilayah kerja puskesmas Mrican anak dengan status gizi buruk sebesar 8 bayi (1,0%) dan gizi kurang sebesar 20 bayi (2,5%)b. Balita yang tidak mendapat ASI eksklusif akan menderita ISPA lebih banyak dibandingkan dengan balita yang tidak mendapatkan ISPA. Di wilayah kerja puskesmas Mrican pemberian ASI Eksklusif sebesar 76,1%.c. Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak. Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian ISPA pada balita dengan status imunisasi. anak balita yang status imunisasinya tidak lengkap, menderita ISPA risikonya 2,5 kali lebih besar pada anak yang status imunisasinya lengkap. Di wilayah kerja puskesmas Mrican terdapat satu desa yang target imunisasi tidak tercapai, yaitu desa Ngampel sebesar 88,4%.4.1.3 Environment (Lingkungan)a. Ibu dengan status pendidikan tinggi lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan bila anaknya sakit dibandingkan dengan ibu yang status pendidikan yang rendah. Di wilayah kerja puskesmas Mrican status pendidikan terbesar adalah SD/sederajat yaitu sebesar 37%.b. Syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18- 300C dan memiliki ventilasi minimal 10% dari luas lantai.. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali lipat. Dan berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa prevalens rate ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 2 kali lipat. Di wilayah kerja puskesmas mrican terdapat cakupan rumah sehat sebesar 93,1% dan rumah tidak sehat sebesar 6,9%.4.2 Analisis karakteristik faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA berdasarkan La Londe.4.2.1 Faktor gaya hidup (Life Style) Umur 1 4 tahun merupakan usia yang paling banyak menderita ISPA. Hal ini disebabkan karena tingkat pola hidup bersih dan sehat yang masih kuramg di beberapa hal seperti cakupan ASI ekslusif, mencuci tangan dan masih merokok di dalam rumah.

4.2.2 Faktor ketahanan Psiko-Biologik (kekebalan atau imunitas, kebugaran jasmani, ketahanan mental spiritual, kecukupan gizi).Kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas Mrican kasus terbanyak terjadi pada usia 1-4 tahun dengan jumlah mencapai 2432 penderita.Banyaknya penyebab terjadinya ISPA di Puskesmas Mrican diakibatkan oleh sifat patogen bakteri dan virus; terdapat belum tercapainya cakupan imunisasi sesuai target di salah satu desa dan masih ada anak dengan gizi kurang dan gizi buruk.4.2.3 Faktor Lingkungan Bio Fisik dan Lingkungan Sosio Kultural.Banyak sekali faktor resiko yang terjadi pada faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit ISPA , diantaranya :1. Musim. Antara musim hujan dan musim kemarau di Kota Kediri tidak menunjukkan batas waktu yang jelas, cenderung bergeser tiap tahunnya, disebabkan perubahan iklim secara global dan kelembapan udara di kota Kediri cukup tinggi sehingga terdapat pengaruh musim terhadap penyakit ISPA yang terjadi sepanjang tahun (Eka,2012).2. Masih banyaknya rumah yang tidak sesuai dengan kriteria sebagai rumah sehat di wilayah kerja Puskesmas Mrican menyebabkan terjadinya ISPA.

4.2.4Faktor Pelayanan KesehatanDari segi pelayanan kesehatan, di puskesmas Mrican tidak didapatkan suatu permasalahan, dimana wilayah kerja puskesmas Mrican sarana prasana kesehatan dan tenaga kesehatan telah memadai. Terlihat dari 4 desa yang jumlah penduduk pada tahun 2014 yaitu 20.426 jiwa. Untuk tenaga kesehatan terdapat 2 orang dokter umum, 1 dokter gigi, bidan puskesmas 15 orang, perawat kesehatan sebanyak 15 orang, apoteker sebanyak 1 orang, asisten apoteker sebanyak 2 orang, sarjana kesehatan masyarakat sebanyak 1 orang, kesehatan lingkungan sebanyak 1 orang, sanitaria sebanyak 1 orang, petugas gizi sebanyak 2 orang, dan analis kesehatan sebanyak 2 orang. Kesadaran masyarakat untuk berobat masih tinggi. Akan tetapi petugas Puskesmas masih kurang sering melakukan penyuluhan mengenai ISPA sehingga warga kecamatan Dermo, Ngampel dan Gayam kurang mengerti dan memahami tentang ISPA.4.3 Upaya-Upaya Pencegahan dan Intervensi Penyakit ISPA Pencegahan penyakit ISPA berdasarkan konsep natural history of disease, maka kita mengenal 3 fase proses perkembangan penyakit, dimulai dari fase prepatogenesis, fase Patogenesis dan fase Convalesence. Upaya Pencegahan ini dikenal sebagai tiga tingkatan kesehatan pencegahan (three level of prevention), sebagai berikut:

1. Primary Level of Prevention a. Promosi Kesehatan (Promotion of Health)Promotion of Health penyakit ISPA dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya: Penyuluhan ISPA, ASI Ekslusif, dan Imunisasi minimal satu kali seminggu. Pemasangan poster poster tentang ISPA, pentingnya imunisasi, ASI Eksklusif, dan anjuran tidak merokok Penyediaan makanan sehat dan cukup (kualitas maupun kuantitas). Perbaikan rumah menjadi rumah sehat. Pelayanan rutin ibu hamil dan anak di posyandu Olahraga secara teratur sesuai kemampuan individub. Perlindungan khusus (spesific protection) Perbaikan status gizi individu/peorangan ataupun masyarakat untuk membentuk daya tahan tubuh yang lebih baik dan dapat melawan agent penyakit yang akan masuk ke dalam tubuh, seperti mengonsumsi bahan makanan yang mengandung zat gizi yang lebih baik dan diperlukan tubuh. Pemberian ASI eksklusif kepada bayi baru lahir, karena ASI banyak mengandung kalori, protein, dan vitamin, yang banyak dibutuhkan oleh tubuh, pencegahan ini bertujuan untuk membentuk sistem kekebalan tubuh bayi sehingga terlindung dari berbagai penyakit infeksi termasuk ISPA. Penderita ISPA memakai masker agar tidak menularkan penyakit kepada orang lain.2. Secondary Level of Prevention a. Diagnosis dini dan pengobatan segera (early case detection and prompt treatment) Penyeragaman penegakkan diagnosis ISPA berdasarkan dengan perhitungan Respiratory Rate selama satu menit sebanyak > 40-50 kali, serta penegakan diagnosis berdasarkan Pedoman Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Mensosialisasikan tanda dini ISPA Pneumonia kepada kader posyandu dan seluruh penduduk.b. Pembatasan cacat (disability limitation) Penyeragaman pengobatan awal ISPA Pneumonia berupa beri antibiotik yang sesuai, beri pelega tenggorokan dan pereda batuk yang aman, jika batuk >3 minggu, rujuk untuk pemeriksaan lanjutan dan bila terjadi pneumonia berat.3. Tertiary Level of Preventiona. Rehabilitasi dengan perbaikan gizi dan kontrol perkembangan kesembuhan penyakit.

41