21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, perkembangan dibidang kesehatan semakin maju pesat, ini terbukti dengan adanya banyak praktik kesehatan yang dilakukan oleh dokter dan tenaga medis ataupun pengobatan tradisional dan tidak dipungkiri banyaknya praktik kesehatan yang tanpa izin dari pemerintah yang bermunculan semakin pesat. Praktik tukang gigi salah satu praktik kesehatan yang dibidang kesehatan gigi yang belum lama ini memiliki pengakuan sebagai pengobatan tradisional dari pemerintah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 40/PUU-X/2012 tentang pekerjaan tukang gigi dan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) No. 39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigidalam melakukan suatu praktik, namun bahwa praktik tukang gigi ini lebih dipilih oleh masyarakat dibandingkan dengan praktik dokter gigi yang memerlukan biaya yang lebih mahal meskipun praktik tukang gigi ini hanya dikatagorikan sebagai pengobatan tradisional yang tentu tidak memiliki keahlian seperti dokter. Sesuai dengan data Persatuan Tukang Gigi Indonesia (PTGI), sudah digelutinya profesi tukang gigi sedikitnya 75 ribu orang di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, perkembangan dibidang

kesehatan semakin maju pesat, ini terbukti dengan adanya banyak praktik kesehatan

yang dilakukan oleh dokter dan tenaga medis ataupun pengobatan tradisional dan

tidak dipungkiri banyaknya praktik kesehatan yang tanpa izin dari pemerintah yang

bermunculan semakin pesat. Praktik tukang gigi salah satu praktik kesehatan yang

dibidang kesehatan gigi yang belum lama ini memiliki pengakuan sebagai

pengobatan tradisional dari pemerintah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

(MK) No. 40/PUU-X/2012 tentang pekerjaan tukang gigi dan diatur dalam Peraturan

Menteri Kesehatan (PERMENKES) No. 39 tahun 2014 tentang “Pembinaan,

Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi” dalam melakukan suatu praktik,

namun bahwa praktik tukang gigi ini lebih dipilih oleh masyarakat dibandingkan

dengan praktik dokter gigi yang memerlukan biaya yang lebih mahal meskipun

praktik tukang gigi ini hanya dikatagorikan sebagai pengobatan tradisional yang tentu

tidak memiliki keahlian seperti dokter. Sesuai dengan data Persatuan Tukang Gigi

Indonesia (PTGI), sudah digelutinya profesi tukang gigi sedikitnya 75 ribu orang di

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

2

seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya

profesi tukang gigi di Indonesia.

Menurut sejarahnya, profesi tukang gigi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak

zaman Belanda. Tukang gigi (tandmesster), yang kala itu dikenal dengan sebutan

dukun gigi sudah menguasi pasar. Praktik tukang gigi ini sudah ada, tapi sangat

terbatas dan hanya melayani orang Eropa yang tinggal di Surabaya. Terbatasnya

jumlah dokter gigi saat itu, kemudian penguasa Colonial Belanda terdorong untuk

mendirikan lembaga pendidikan kedokteran gigi STOVIT (Scohool Tot Opleiding

Van Indische Tandarsten) di Surabaya, Jawa Timur, tahun 19282

Namun jika tukang gigi ini dilihat dari sisi profesionalisme dibidang medis

sangat jauh tidak selengkap dokter dan tenaga medis untuk melakukan praktik

kesehatan yang khususnya dibidang kesehatan gigi yang mengakibatkan banyaknya

terjadi kelalaian dalam melakukan pekerjaanya yang dilakukan oleh tukang gigi

tersebut yang menimbulkan korban bagi masyarakat. Kemungkinan akan terjadinya

kelalaian yang dilakukan oleh tukang gigi sangat besar karena tukang gigi sendiri

tidak dibekali keahlian seperti dokter gigi pada umumnya, karena tukang gigi masuk

dalam ranah pengobatan tradisional yang diakui oleh pemerintah.

1“

Ribuan Tukang Gigi Terancam Nganggur”, Sumber: http://bisnis.news.viva.co.id, diakses

pada tanggal 11 Februari 2015 2. “Inilah Sejarah Tukang Gigi di Indonesia”, Sumber: http://www.beritasatu.com, diakses

pada tanggal 11 Februari 2015.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

3

Pada tahun 1989 terdapat Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES)

tentang tukang gigi No. 339/MENKES/PER/V/1989 namun pada tahun 2011

Peraturan Menteri Kesehatan ini dicabut dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.

1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No.

339/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi, karena dirasakan bahwa

jasa tukang gigi sudah melanggar kewenangan yang diberikan oleh Menteri

Kesehatan dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES)

No.339/MENKES/PER/V/1989 sehingga tukang gigi tidak dapat dikatakan sebagai

tenaga kesehatan, dokter dan sebagainya namun pada tahun 2014 berdasarkan

putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 40/PUU-X/2012 tentang pekerjaan tukang

gigi, tukang gigi ini diakui dan dimasukkan kedalam kelompok pengobatan

tradisional dan pekerjaan tukang gigi ini juga telah diakui berdasarkan Peraturan

Menteri Kesehatan (PERMENKES) No. 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan,

Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi namun dalam Peraturan Menteri

Kesehatan (PERMENKES) No. 39 Tahun 2014 tersebut tidak ada pengaturan

mengenai pemidanaan terhadap tukang gigi dalam melakukan pembuatan dan pasang

gigi dan melakukan kegiatan yang melebihi yang tercantum dalam Permenkes

tersebut, namun praktik tukang gigi ini banyak dikenal dengan praktik ahli gigi, yang

tentu memiliki perbedaan arti bahasa antara tukang gigi dan ahli gigi. Ahli gigi yang

melakukan praktik tidak memiliki izin praktik karena tidak termasuk kedalam tukang

gigi.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

4

Jika dilihat dalam persfektif hukum pidana positif yang berhubungan dengan

pengaturan mengenai tukang gigi atau pengobatan tradisional seperti: Undang-

Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan

(PERMENKES) tentang Pengobatan Tradisional dan sebagainya belum terlihat

adanya pengaturan mengenai pemidanaan terhadap tukang gigi yang melakukan

kelalaian dalam melakukan praktik yang pada dasarnya mewajibkan adanya

pertanggung jawaban bagi tukang gigi, namun secara umum tentang kelalaian sudah

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 359, 360,

361 namun hal tersebut hanya diatur secara umum saja, untuk pengobatan tradisional

hal tersebut belum diatur baik dalam peraturan perundang-undangan ataupun Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena seharusnya kelalaian yang dilakukan

tukang gigi yang termasuk menjalankan pengobatan tradisional harus adanya

pengaturan secara khusus.

Berdasarkan hal tersebut ketika seseorang tukang gigi melakukan kelalaian

dalam pekerjaannya maka dalam meminta pertanggungjawaban terhadap tukang gigi

atau dalam hal ini pengobatan tradisional pada dasarnya dapat dilakukan berdasarkan

pasal 359, 360, 361 KUHP tentang menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan

namun hal tersebut hanya bersifat umum saja sehingga dalam hal ini diperlukannya

suatu pengaturan secara lebih khusus bagi tukang gigi karena tidak dipungkiri

kelalaian tersebut sangat rentan terjadi karena tukang gigi melaukan suatu praktik

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

5

tanpa SOP yang memang benar sudah diatur dalam suatu perundang-undnagan

atauapun sejenisnya.

Adanya kekosongan norma dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

yang tentu merupakan suatu aturan yang lebih khusus (lex specialis) tersebut tidak

bisa dibiarkan berlangsung secara terus menerus tanpa adanya upaya-upaya hukum

yang menjadi dasar dalam penjatuhan hukum atau dasar hukum yang mengatur akan

suatu perbuatan tersebut.

Berdasarkan konsep di atas, mengenai adanya kekosongan norma hukum yang

terjadi dalam lex specialis maka perlu dikaji. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran

penulis untuk mengangakat Usulan Penelitian dengan judul

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI TUKANG GIGI KARENA

KELALAIAN DALAM MELAKUKAN PEKERJAANNYA DITINJAU DARI

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA dan UNDANG-UNDANG NO.

36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi tukang gigi yang melakukan

kelalaian dalam pekerjaannya ditinjau dari hukum positif Indonesia?

1.2.2 Bagaimanakah kajian terhadap tukang gigi yang melakukan kelalaian dalam

pekerjannya dalam persepektif pembaharuan hukum pidana?

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

6

1.3 Ruang lingkup masalah

Dalam setiap karya ilmiah diperlukan adanya suatu ketegasan untuk menghindari

pembahasan yang terlalu meluas dan menyimpang dari pokok permasalahan, maka

ruang lingkup permasalahan penulis batasi dengan rumusan masalah pertama akan

membahas mengenai pertanggungjawaban pidana oleh tukang gigi dalam melakukan

kelalaian dalam pekerjaannya ditinjau dari hukum postif di Indonesia dan akan

membahas kajian mengenai pertanggungjawaban pidana bagi tukang gigi yang

melakukan kelalaian dalam pekerjaannya dalam persfektif pembaharuan hukum

pidana.

1.4 Orisinalitas

1. Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan dalam mencari orisinalitas

ditemukan bahwa tedapat penelitian yang sejenis yang penulis dapatkan dari

media Internet dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yaitu:

penelitan dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Praktek Tukang Gigi Tanpa

Izin di Kota Denpasar dengan mengangkat dua rumusan masalah yaitu:

1.Bagaimanakah Kewenangan Pemerintah Kota Denpasar dalam penegakan

hukum terhadap praktek tukang gigi tanpa izin? Dan 2. Bagaimanakah

pelaksanaan penegakan hukum terhadap tukang gigi tanpa izin di Kota Denpasar?

penulis I Komang Wijana, 2006, (Fakultas Hukum Universitas Udayana)”

2. Terdapat juga penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap

Konsumen Penerima Layanan Ortodonti oleh Tukang Gigi Berdasarkan

Perlindungan Konsumen dan Hukum dengan mengangkat tiga rumusan masalah

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

7

yaitu: 1. Bagaimana kewenangan tukang gigi berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku?. 2. Bagaimana pelanggaran yang terjadi dari hasil

wawancara dengan konsumen penerima layanan ortodonti oleh tukang gigi

berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang berlaku, Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Praktik Kedokteran? Dan 3.

Bagaimana Tanggung Jawab hukum tukang gigi dari hasil wawancara dengan

penerima layanan jasa ortodonti berdasarkan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang ditulis oleh Flavia Pinasthika W.S., 2010, (Fakultas Hukum

Universitas Indonesia)”

Berdasarkan penjabaran beberapa judul dan rumusan masalah diatas dapat

dilihat perbedaanya bahwa penelitian yang penulis lakukan lebih menitik beratkan

kepada pertanggungjawaban pidana bagi tukang gigi karena kelalaian dalam

pekerjaannya ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-

Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini ada 2 (dua) tujuan yaitu tujuan umum

dan tujuan khusus.

1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu untuk menambah

pengetahuan hukum pidana mengenai pertanggungjawaban bagi tukang gigi karena

kelalaiannya dalam melakukan praktik ditinjau dari hukumpidana positif Indonesia.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

8

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana tukang gigi yang melakukan

kelalaian dalam pekerjaanya ditinjau dari hukum positif Indonesia

2. Untuk mengetahui kajian mengenai pertanggungjawaban pidana tukang gigi

yang melakukan kelalaian dalam pekerjaanya dalam persfektif pembaharuan

hukum pidana.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang penulis lakukan yaitu:

1.6.1 Manfaat Teoritis

Dengan dilakukannya Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hubungan

dengan pertanggungjawaban pidana bagi tukang gigi karena kelalaian dalam

pekerjaannya ditinjau hukum pidana postif Indonesia.

1.6.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian yang penulis lakukan yaitu:

a. Bagi penegak hukum

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan atau informasi

untuk kalangan penegak hukum dalam penyelesaian kasus-kasus bagi tukang

gigi karena kelalaian dalam melakukan pekerjaannya.

b. Bagi masyarakat

Dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya

memilih penanganan kesehatan terutama kesehatan gigi agar di kemudian

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

9

hari menghindari terjadinya konflik akibat kelalaian yang dilakukan oleh

tukang gigi.

c. Bagi pengambil kebijakan

Dalam hal ranah pengambilan kebijakan diharapkan menjadimasukan dalam

pembentukan peraturan perundang undangan pidana dan pembaharuan hukum

pidana khususnya dalam KUHP mengenai pemidanaan dan

pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh tukang gigi yang karena

melakukan kelalaiannya dalam pekerjaanya.

1.7 Landasan Teoritis

1.7.1 Teori Kepastian Hukum

Teori Kepastian Hukum adalah teori yang digagas John Austin dan Van Kan.

Menurut teori ini, tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian

hukum.Arti kepastian hukum disini adalah melegalkan hak dan kewajiban.

Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu:

1. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan

2. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah

karena dengan adanya atauran yang bersifat umum itu individu dapat

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

10

mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara

terhadap individu.3

Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang,

melainkan juga adanya kosistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang

satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.4

1.7.3 Teori Kesalahan

Bahwa untuk dapat diakatakan seseorang tersebut melakukan suatu tindak

pidana dan dapat dipidanya seseorang tersebut harus didasari adanya kesalahan, ini

berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan.

Berikut penegrtian kesalahan menurut para ahli:

a. Menurut Mezger bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang

memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak

pidana.

b. Simons mengartikan bahwa kesalahan adalah sebagai dasar untuk

pertanggungjawaban dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychich

(jiwa) dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya, dan

dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu perbuatannya

dapat dicelakan kepada si pembuat.

3Peter Mahmud Marzuki, 2014, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenadamedia

Group,Jakarta, h. 137. 4Ibid.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

11

c. Menurut Van Hamel mengatakan, bahwa “kesalahan dalam suatu delik

merupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si

pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya.

Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum.5

Kesalahan terdiri dari beberapa unsur, yaitu:

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada sipembuat (Schuldfahigkeit

atau Zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa sipembuat harus normal

b. Hubungan batin sipembuat dengan perbuatannya, yang berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); ini disebut bentuk-bentuk

kesalahan.

c. Tidak adanya alasan yang mengapus kesalahan atau tidak ada alasan

pemaaf.6

1.7.4 Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan

pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka

dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.7

Menurut Pompe kemampuan bertanggung jawab pidana harus mempunyai

unsur-unsur sebagai berikut:

5Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip, Semarang, h. 88.

6Ibid, h. 91.

7 Amir Ilyas, 2014, Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktik Medik di Rumah

Sakit, Rangkang Education dengan Republik Institute, Jakarta, h. 67

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

12

1. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia

menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.

2. dan oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya

3. dan oleh sebab itu pula, ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan

pendapatnya.8

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk

pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang

yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan

dasaradanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak

di pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si

pembuat9

1.7.5 Teori Kebijakan Hukum Pidana

Istilah „kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau

“politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istililah “kebijakan

hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana” ini sering

dikenal dengan berebgai istilah antara lain “penal policy”, “criminal policy” atau

“strafrechts politiek”.10

Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan criminal, yaitu:

8Ibid, h. 68.

9Djoko Prakoso, 1987, .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia , Liberty Yogyakarta ,

Yogyakarta, h. 75.

10

Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, h. 26.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

13

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

c. Dalam arti luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan

kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan

resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari

masyarakat.11

Dilihat sebagai bagian dari Politik Hukum, maka politik hukum pidana

mengandung arti , bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu

perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian juga terlihat dalam

definisi “penal policy” dari Marc Ancel yang secara singkat dinyatakan sebagai

“suatu ilmu sekaligus seni bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik”.12

Yang dimaksud disini hukum positif adalah hukum

pidana positif Indonesia.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada

hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.Jadi

kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal.

Dengan perkataan lain dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana

identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum

11

Ibid, h. 3 12

Ibid, h. 27.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

14

pidana”.13

Politik Kriminal yaitu suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam

menanggulangi kejahatan14

1.7.6 Teori Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu

upaya untuk melakukan suatu reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai

dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat

Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal,dan kebijakan

penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan

hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi

pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang

berorientasi pada nilai (“value-oriented approach”).15

Dapatlah disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana

sebagai berikut:

1. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan:

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi

masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam

rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan

masyarakat dan sebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan

masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan

hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya

13 Ibid, h. 28.

14

I Ketut Mertha, 2010, Politik Kriminal Dalam Penanggulangan Tajen (Sabungan Ayam) di

Bali, Udayana University Press, h. 4.

15

Barda Nawawi Arief op.cit, h. 29.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

15

memperbarui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih

mengefektifkan penegakan hukum.16

2. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai:17

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya

untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali (“reorientasi dan

reevaluasi”) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang

melandasi dan memberi isi terhadap muatan norma dan substantif hukum

pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (“reformasi”) hukum

pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan

(misalnya, KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum

pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau Wvs).

1.7.4.5 Teori Pemidanaan

Menurut Sudarto,menyatakan bahwa pemidanaan itu sinonim dengan

perkataan penghukuman yaitu:

“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai

menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten)”.18

Menurut Andi Hamzah menyatakan bahwa: “Pemidanaan disebut juga sebagai

penjatuhan pidana atau pemberian pidana atau penghukuman.Dalam bahasa Belanda

disebut straftoemeting dan dalam bahasa Inggris disebut sentencing”.19

16

Barda Nawawi Arief op.cit 17

Barda Nawawi Arief op.cit, h. 30. 18

Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 21

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

16

Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai

dengan suatu pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut.

a. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri

b. Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan.

c. Membuat penjahat-penjahat tentu menjadi tidak mampu untuk melakukan

kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara

lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali.20

Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori hukum pidana (teori penjatuhan

pidana) strafrechts theorien yang pada umumnya dibagi menjadi tiga golongan yaitu:

1. Teori absolut

Bahwa menurut Johaness Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana

menurut teori absolut ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan”.21

Salah

seorang tokoh lain dari penganut teori absolut yang terkenal ialah Hegel

yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai

konsekuensi dari adanya kejahatan.22

Pada teori retribution:

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung

sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan

masyarakat;

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

19

Ibid. 20

Ibid, h. 31

21

Ibid.

22

Ibid, h. 12

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

17

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

e. Pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan

tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan

kembali si pelanggar.23

2. Teori Relatif

Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut

dari keadilan. pemabalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya

sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu

menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebgai “teori perlindungan

masyarakat” (the theory of social defence). Bahwa pidana bukanlah

sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang

yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunayi tujuan-

tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun seing juga

disebut teori tujuan (Utilitarian theory).24

Pada teori utilitarian:

a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention)

b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk

mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan

kepada si pelaku saja (missal karena sengaja atau culpa) yang

memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. Pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan;

e. Pidana melihat kemuka (bersifat prosfektif); pidana dapat

mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun

unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu

pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.25

23

Ibid, h. 17

24

Ibid, h. 16 25

Ibid, h. 17

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

18

3. Teori Gabungan

Teori Gabungan ini merubakan gabungan antara teori absolut dan teori

relatif. Dalam teori ini tidak menitik beratkan kepada pembalasan saja

tetapi juga melihat akan adanya tujuan-tujuan yang bermanfaat sehingga

terciptanya keadilan. Pada dasarnya baik masyarakat maupun penjahatnya

harus diberikan kepuasan yang sesuai dengan peri keadilan.Maka oleh

karena itu menurut teori gabungan, teori pembalasan dan teori tujuan itu

harus digabungkan menjadi satu, sehingga menjadi praktis, puas, dan

seimbang, sebab pidana bukan hanya penderitaan tetapi juga harus

seimbang dengan kejahatannya.26

1.8 Metode Penelitian

1.8.3 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinial. Pada penelitian

ini acap kali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau

norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.27

26Tolib Setiadi, loc.cit

27Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers,

Jakarta, h. 118.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

19

Penelitian yuridis normatif membahas juga mengenai doktrin-doktrin atau asas-asas

dalam ilmu hukum.28

1.8.4 Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan dalam penelitian ini yaitu :Pendekatan perundang-undangan

(The statute Approach), pendektan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual

Approach).

Pendekatan Perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah

mengenai berbagai aturan hukum positif yang menjadi pokok utama dalam penelitian

ini. Pendekatan perundang-undangan ini digunakan berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan, norma-norma hukum yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban pidana tukang gigi karena kelalaiannya dalam melakukan

pekerjaannya.

Pendekatan konsep-konsep hukum digunakan untuk memahami konsep-

konsep aturan tentang pertanggung jawaban pidana tukang gigi karena kelalaiannya

dalam melakukan pekerjaannya.

1.8.5 Sumber Bahan Hukum

Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam peneltian ini yaitu:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan.

28 H. Zainuddin, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 24.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

20

2. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa serta memahami

bahan hukum primer, seperti: literatur-literatur yang hukum yang berupa

buku-buku hukum (textbook) yang relevan dengan topic yang dibahas dan

yang ditulis para ahli, pendapat para sarjana atau ahli, surat kabar, via

internet dan sebagainya.

3. Sumber bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan yang dapat memperjelas suatu

persoalan atau suatu istilah yang ditemukan pada bahan-bahan hukum

primer dan skunder. Seperti: Kamus, esiklopedia, majalah, dan

sebagainya.

1.8.6 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum adalah teknik studi dokumen yaitu

pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research) yaitu

serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah,

mengratifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan

hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literature yang

ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian

tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil

pengkajian studi dokumen.Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya,

21

konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang

berhubungan dengan permasalahan penelitian.29

1.8.7 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi,

teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi.

Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari

penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi

dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.Teknik interpretasi berupa

penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal,

penafsiran sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya.

Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak

setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan,

proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan

primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi tidak bisa

dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan

yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permsalahan hukum makin

banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.Teknik

sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau

proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara

yang tidak sederajat.

29

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers,

Jakarta, h. 24