Upload
hoangtram
View
217
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, perkembangan dibidang
kesehatan semakin maju pesat, ini terbukti dengan adanya banyak praktik kesehatan
yang dilakukan oleh dokter dan tenaga medis ataupun pengobatan tradisional dan
tidak dipungkiri banyaknya praktik kesehatan yang tanpa izin dari pemerintah yang
bermunculan semakin pesat. Praktik tukang gigi salah satu praktik kesehatan yang
dibidang kesehatan gigi yang belum lama ini memiliki pengakuan sebagai
pengobatan tradisional dari pemerintah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) No. 40/PUU-X/2012 tentang pekerjaan tukang gigi dan diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan (PERMENKES) No. 39 tahun 2014 tentang “Pembinaan,
Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi” dalam melakukan suatu praktik,
namun bahwa praktik tukang gigi ini lebih dipilih oleh masyarakat dibandingkan
dengan praktik dokter gigi yang memerlukan biaya yang lebih mahal meskipun
praktik tukang gigi ini hanya dikatagorikan sebagai pengobatan tradisional yang tentu
tidak memiliki keahlian seperti dokter. Sesuai dengan data Persatuan Tukang Gigi
Indonesia (PTGI), sudah digelutinya profesi tukang gigi sedikitnya 75 ribu orang di
2
seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya
profesi tukang gigi di Indonesia.
Menurut sejarahnya, profesi tukang gigi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak
zaman Belanda. Tukang gigi (tandmesster), yang kala itu dikenal dengan sebutan
dukun gigi sudah menguasi pasar. Praktik tukang gigi ini sudah ada, tapi sangat
terbatas dan hanya melayani orang Eropa yang tinggal di Surabaya. Terbatasnya
jumlah dokter gigi saat itu, kemudian penguasa Colonial Belanda terdorong untuk
mendirikan lembaga pendidikan kedokteran gigi STOVIT (Scohool Tot Opleiding
Van Indische Tandarsten) di Surabaya, Jawa Timur, tahun 19282
Namun jika tukang gigi ini dilihat dari sisi profesionalisme dibidang medis
sangat jauh tidak selengkap dokter dan tenaga medis untuk melakukan praktik
kesehatan yang khususnya dibidang kesehatan gigi yang mengakibatkan banyaknya
terjadi kelalaian dalam melakukan pekerjaanya yang dilakukan oleh tukang gigi
tersebut yang menimbulkan korban bagi masyarakat. Kemungkinan akan terjadinya
kelalaian yang dilakukan oleh tukang gigi sangat besar karena tukang gigi sendiri
tidak dibekali keahlian seperti dokter gigi pada umumnya, karena tukang gigi masuk
dalam ranah pengobatan tradisional yang diakui oleh pemerintah.
1“
Ribuan Tukang Gigi Terancam Nganggur”, Sumber: http://bisnis.news.viva.co.id, diakses
pada tanggal 11 Februari 2015 2. “Inilah Sejarah Tukang Gigi di Indonesia”, Sumber: http://www.beritasatu.com, diakses
pada tanggal 11 Februari 2015.
3
Pada tahun 1989 terdapat Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES)
tentang tukang gigi No. 339/MENKES/PER/V/1989 namun pada tahun 2011
Peraturan Menteri Kesehatan ini dicabut dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.
1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No.
339/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi, karena dirasakan bahwa
jasa tukang gigi sudah melanggar kewenangan yang diberikan oleh Menteri
Kesehatan dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES)
No.339/MENKES/PER/V/1989 sehingga tukang gigi tidak dapat dikatakan sebagai
tenaga kesehatan, dokter dan sebagainya namun pada tahun 2014 berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 40/PUU-X/2012 tentang pekerjaan tukang
gigi, tukang gigi ini diakui dan dimasukkan kedalam kelompok pengobatan
tradisional dan pekerjaan tukang gigi ini juga telah diakui berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan (PERMENKES) No. 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan,
Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi namun dalam Peraturan Menteri
Kesehatan (PERMENKES) No. 39 Tahun 2014 tersebut tidak ada pengaturan
mengenai pemidanaan terhadap tukang gigi dalam melakukan pembuatan dan pasang
gigi dan melakukan kegiatan yang melebihi yang tercantum dalam Permenkes
tersebut, namun praktik tukang gigi ini banyak dikenal dengan praktik ahli gigi, yang
tentu memiliki perbedaan arti bahasa antara tukang gigi dan ahli gigi. Ahli gigi yang
melakukan praktik tidak memiliki izin praktik karena tidak termasuk kedalam tukang
gigi.
4
Jika dilihat dalam persfektif hukum pidana positif yang berhubungan dengan
pengaturan mengenai tukang gigi atau pengobatan tradisional seperti: Undang-
Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan
(PERMENKES) tentang Pengobatan Tradisional dan sebagainya belum terlihat
adanya pengaturan mengenai pemidanaan terhadap tukang gigi yang melakukan
kelalaian dalam melakukan praktik yang pada dasarnya mewajibkan adanya
pertanggung jawaban bagi tukang gigi, namun secara umum tentang kelalaian sudah
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 359, 360,
361 namun hal tersebut hanya diatur secara umum saja, untuk pengobatan tradisional
hal tersebut belum diatur baik dalam peraturan perundang-undangan ataupun Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena seharusnya kelalaian yang dilakukan
tukang gigi yang termasuk menjalankan pengobatan tradisional harus adanya
pengaturan secara khusus.
Berdasarkan hal tersebut ketika seseorang tukang gigi melakukan kelalaian
dalam pekerjaannya maka dalam meminta pertanggungjawaban terhadap tukang gigi
atau dalam hal ini pengobatan tradisional pada dasarnya dapat dilakukan berdasarkan
pasal 359, 360, 361 KUHP tentang menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan
namun hal tersebut hanya bersifat umum saja sehingga dalam hal ini diperlukannya
suatu pengaturan secara lebih khusus bagi tukang gigi karena tidak dipungkiri
kelalaian tersebut sangat rentan terjadi karena tukang gigi melaukan suatu praktik
5
tanpa SOP yang memang benar sudah diatur dalam suatu perundang-undnagan
atauapun sejenisnya.
Adanya kekosongan norma dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
yang tentu merupakan suatu aturan yang lebih khusus (lex specialis) tersebut tidak
bisa dibiarkan berlangsung secara terus menerus tanpa adanya upaya-upaya hukum
yang menjadi dasar dalam penjatuhan hukum atau dasar hukum yang mengatur akan
suatu perbuatan tersebut.
Berdasarkan konsep di atas, mengenai adanya kekosongan norma hukum yang
terjadi dalam lex specialis maka perlu dikaji. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran
penulis untuk mengangakat Usulan Penelitian dengan judul
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI TUKANG GIGI KARENA
KELALAIAN DALAM MELAKUKAN PEKERJAANNYA DITINJAU DARI
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA dan UNDANG-UNDANG NO.
36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi tukang gigi yang melakukan
kelalaian dalam pekerjaannya ditinjau dari hukum positif Indonesia?
1.2.2 Bagaimanakah kajian terhadap tukang gigi yang melakukan kelalaian dalam
pekerjannya dalam persepektif pembaharuan hukum pidana?
6
1.3 Ruang lingkup masalah
Dalam setiap karya ilmiah diperlukan adanya suatu ketegasan untuk menghindari
pembahasan yang terlalu meluas dan menyimpang dari pokok permasalahan, maka
ruang lingkup permasalahan penulis batasi dengan rumusan masalah pertama akan
membahas mengenai pertanggungjawaban pidana oleh tukang gigi dalam melakukan
kelalaian dalam pekerjaannya ditinjau dari hukum postif di Indonesia dan akan
membahas kajian mengenai pertanggungjawaban pidana bagi tukang gigi yang
melakukan kelalaian dalam pekerjaannya dalam persfektif pembaharuan hukum
pidana.
1.4 Orisinalitas
1. Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan dalam mencari orisinalitas
ditemukan bahwa tedapat penelitian yang sejenis yang penulis dapatkan dari
media Internet dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yaitu:
penelitan dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Praktek Tukang Gigi Tanpa
Izin di Kota Denpasar dengan mengangkat dua rumusan masalah yaitu:
1.Bagaimanakah Kewenangan Pemerintah Kota Denpasar dalam penegakan
hukum terhadap praktek tukang gigi tanpa izin? Dan 2. Bagaimanakah
pelaksanaan penegakan hukum terhadap tukang gigi tanpa izin di Kota Denpasar?
penulis I Komang Wijana, 2006, (Fakultas Hukum Universitas Udayana)”
2. Terdapat juga penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen Penerima Layanan Ortodonti oleh Tukang Gigi Berdasarkan
Perlindungan Konsumen dan Hukum dengan mengangkat tiga rumusan masalah
7
yaitu: 1. Bagaimana kewenangan tukang gigi berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku?. 2. Bagaimana pelanggaran yang terjadi dari hasil
wawancara dengan konsumen penerima layanan ortodonti oleh tukang gigi
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang berlaku, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Praktik Kedokteran? Dan 3.
Bagaimana Tanggung Jawab hukum tukang gigi dari hasil wawancara dengan
penerima layanan jasa ortodonti berdasarkan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang ditulis oleh Flavia Pinasthika W.S., 2010, (Fakultas Hukum
Universitas Indonesia)”
Berdasarkan penjabaran beberapa judul dan rumusan masalah diatas dapat
dilihat perbedaanya bahwa penelitian yang penulis lakukan lebih menitik beratkan
kepada pertanggungjawaban pidana bagi tukang gigi karena kelalaian dalam
pekerjaannya ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini ada 2 (dua) tujuan yaitu tujuan umum
dan tujuan khusus.
1.5.1 Tujuan Umum
Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu untuk menambah
pengetahuan hukum pidana mengenai pertanggungjawaban bagi tukang gigi karena
kelalaiannya dalam melakukan praktik ditinjau dari hukumpidana positif Indonesia.
8
1.5.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana tukang gigi yang melakukan
kelalaian dalam pekerjaanya ditinjau dari hukum positif Indonesia
2. Untuk mengetahui kajian mengenai pertanggungjawaban pidana tukang gigi
yang melakukan kelalaian dalam pekerjaanya dalam persfektif pembaharuan
hukum pidana.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang penulis lakukan yaitu:
1.6.1 Manfaat Teoritis
Dengan dilakukannya Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hubungan
dengan pertanggungjawaban pidana bagi tukang gigi karena kelalaian dalam
pekerjaannya ditinjau hukum pidana postif Indonesia.
1.6.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian yang penulis lakukan yaitu:
a. Bagi penegak hukum
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan atau informasi
untuk kalangan penegak hukum dalam penyelesaian kasus-kasus bagi tukang
gigi karena kelalaian dalam melakukan pekerjaannya.
b. Bagi masyarakat
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya
memilih penanganan kesehatan terutama kesehatan gigi agar di kemudian
9
hari menghindari terjadinya konflik akibat kelalaian yang dilakukan oleh
tukang gigi.
c. Bagi pengambil kebijakan
Dalam hal ranah pengambilan kebijakan diharapkan menjadimasukan dalam
pembentukan peraturan perundang undangan pidana dan pembaharuan hukum
pidana khususnya dalam KUHP mengenai pemidanaan dan
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh tukang gigi yang karena
melakukan kelalaiannya dalam pekerjaanya.
1.7 Landasan Teoritis
1.7.1 Teori Kepastian Hukum
Teori Kepastian Hukum adalah teori yang digagas John Austin dan Van Kan.
Menurut teori ini, tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian
hukum.Arti kepastian hukum disini adalah melegalkan hak dan kewajiban.
Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu:
1. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan
2. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah
karena dengan adanya atauran yang bersifat umum itu individu dapat
10
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara
terhadap individu.3
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang,
melainkan juga adanya kosistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang
satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.4
1.7.3 Teori Kesalahan
Bahwa untuk dapat diakatakan seseorang tersebut melakukan suatu tindak
pidana dan dapat dipidanya seseorang tersebut harus didasari adanya kesalahan, ini
berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan.
Berikut penegrtian kesalahan menurut para ahli:
a. Menurut Mezger bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang
memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak
pidana.
b. Simons mengartikan bahwa kesalahan adalah sebagai dasar untuk
pertanggungjawaban dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychich
(jiwa) dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya, dan
dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu perbuatannya
dapat dicelakan kepada si pembuat.
3Peter Mahmud Marzuki, 2014, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenadamedia
Group,Jakarta, h. 137. 4Ibid.
11
c. Menurut Van Hamel mengatakan, bahwa “kesalahan dalam suatu delik
merupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si
pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya.
Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum.5
Kesalahan terdiri dari beberapa unsur, yaitu:
a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada sipembuat (Schuldfahigkeit
atau Zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa sipembuat harus normal
b. Hubungan batin sipembuat dengan perbuatannya, yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan.
c. Tidak adanya alasan yang mengapus kesalahan atau tidak ada alasan
pemaaf.6
1.7.4 Teori Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan
pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka
dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.7
Menurut Pompe kemampuan bertanggung jawab pidana harus mempunyai
unsur-unsur sebagai berikut:
5Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip, Semarang, h. 88.
6Ibid, h. 91.
7 Amir Ilyas, 2014, Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktik Medik di Rumah
Sakit, Rangkang Education dengan Republik Institute, Jakarta, h. 67
12
1. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia
menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.
2. dan oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya
3. dan oleh sebab itu pula, ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
pendapatnya.8
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk
pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang
yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan
dasaradanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak
di pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si
pembuat9
1.7.5 Teori Kebijakan Hukum Pidana
Istilah „kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau
“politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istililah “kebijakan
hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana” ini sering
dikenal dengan berebgai istilah antara lain “penal policy”, “criminal policy” atau
“strafrechts politiek”.10
Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan criminal, yaitu:
8Ibid, h. 68.
9Djoko Prakoso, 1987, .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia , Liberty Yogyakarta ,
Yogyakarta, h. 75.
10
Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, h. 26.
13
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
c. Dalam arti luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan
kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan
resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat.11
Dilihat sebagai bagian dari Politik Hukum, maka politik hukum pidana
mengandung arti , bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian juga terlihat dalam
definisi “penal policy” dari Marc Ancel yang secara singkat dinyatakan sebagai
“suatu ilmu sekaligus seni bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik”.12
Yang dimaksud disini hukum positif adalah hukum
pidana positif Indonesia.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada
hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.Jadi
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal.
Dengan perkataan lain dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana
identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum
11
Ibid, h. 3 12
Ibid, h. 27.
14
pidana”.13
Politik Kriminal yaitu suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan14
1.7.6 Teori Pembaharuan Hukum Pidana
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu
upaya untuk melakukan suatu reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal,dan kebijakan
penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi
pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang
berorientasi pada nilai (“value-oriented approach”).15
Dapatlah disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana
sebagai berikut:
1. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan:
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi
masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam
rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan
masyarakat dan sebagainya).
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan
masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
13 Ibid, h. 28.
14
I Ketut Mertha, 2010, Politik Kriminal Dalam Penanggulangan Tajen (Sabungan Ayam) di
Bali, Udayana University Press, h. 4.
15
Barda Nawawi Arief op.cit, h. 29.
15
memperbarui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih
mengefektifkan penegakan hukum.16
2. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai:17
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya
untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali (“reorientasi dan
reevaluasi”) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang
melandasi dan memberi isi terhadap muatan norma dan substantif hukum
pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (“reformasi”) hukum
pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan
(misalnya, KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum
pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau Wvs).
1.7.4.5 Teori Pemidanaan
Menurut Sudarto,menyatakan bahwa pemidanaan itu sinonim dengan
perkataan penghukuman yaitu:
“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai
menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten)”.18
Menurut Andi Hamzah menyatakan bahwa: “Pemidanaan disebut juga sebagai
penjatuhan pidana atau pemberian pidana atau penghukuman.Dalam bahasa Belanda
disebut straftoemeting dan dalam bahasa Inggris disebut sentencing”.19
16
Barda Nawawi Arief op.cit 17
Barda Nawawi Arief op.cit, h. 30. 18
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 21
16
Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai
dengan suatu pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut.
a. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri
b. Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan.
c. Membuat penjahat-penjahat tentu menjadi tidak mampu untuk melakukan
kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara
lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali.20
Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori hukum pidana (teori penjatuhan
pidana) strafrechts theorien yang pada umumnya dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
1. Teori absolut
Bahwa menurut Johaness Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana
menurut teori absolut ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan”.21
Salah
seorang tokoh lain dari penganut teori absolut yang terkenal ialah Hegel
yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai
konsekuensi dari adanya kejahatan.22
Pada teori retribution:
a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung
sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan
masyarakat;
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
19
Ibid. 20
Ibid, h. 31
21
Ibid.
22
Ibid, h. 12
17
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
e. Pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan
kembali si pelanggar.23
2. Teori Relatif
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut
dari keadilan. pemabalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya
sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu
menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebgai “teori perlindungan
masyarakat” (the theory of social defence). Bahwa pidana bukanlah
sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang
yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunayi tujuan-
tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun seing juga
disebut teori tujuan (Utilitarian theory).24
Pada teori utilitarian:
a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention)
b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada si pelaku saja (missal karena sengaja atau culpa) yang
memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan;
e. Pidana melihat kemuka (bersifat prosfektif); pidana dapat
mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun
unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu
pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.25
23
Ibid, h. 17
24
Ibid, h. 16 25
Ibid, h. 17
18
3. Teori Gabungan
Teori Gabungan ini merubakan gabungan antara teori absolut dan teori
relatif. Dalam teori ini tidak menitik beratkan kepada pembalasan saja
tetapi juga melihat akan adanya tujuan-tujuan yang bermanfaat sehingga
terciptanya keadilan. Pada dasarnya baik masyarakat maupun penjahatnya
harus diberikan kepuasan yang sesuai dengan peri keadilan.Maka oleh
karena itu menurut teori gabungan, teori pembalasan dan teori tujuan itu
harus digabungkan menjadi satu, sehingga menjadi praktis, puas, dan
seimbang, sebab pidana bukan hanya penderitaan tetapi juga harus
seimbang dengan kejahatannya.26
1.8 Metode Penelitian
1.8.3 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinial. Pada penelitian
ini acap kali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau
norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.27
26Tolib Setiadi, loc.cit
27Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, h. 118.
19
Penelitian yuridis normatif membahas juga mengenai doktrin-doktrin atau asas-asas
dalam ilmu hukum.28
1.8.4 Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan dalam penelitian ini yaitu :Pendekatan perundang-undangan
(The statute Approach), pendektan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual
Approach).
Pendekatan Perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah
mengenai berbagai aturan hukum positif yang menjadi pokok utama dalam penelitian
ini. Pendekatan perundang-undangan ini digunakan berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan, norma-norma hukum yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana tukang gigi karena kelalaiannya dalam melakukan
pekerjaannya.
Pendekatan konsep-konsep hukum digunakan untuk memahami konsep-
konsep aturan tentang pertanggung jawaban pidana tukang gigi karena kelalaiannya
dalam melakukan pekerjaannya.
1.8.5 Sumber Bahan Hukum
Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam peneltian ini yaitu:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan.
28 H. Zainuddin, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 24.
20
2. Bahan Hukum Skunder
Bahan hukum skunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa serta memahami
bahan hukum primer, seperti: literatur-literatur yang hukum yang berupa
buku-buku hukum (textbook) yang relevan dengan topic yang dibahas dan
yang ditulis para ahli, pendapat para sarjana atau ahli, surat kabar, via
internet dan sebagainya.
3. Sumber bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan yang dapat memperjelas suatu
persoalan atau suatu istilah yang ditemukan pada bahan-bahan hukum
primer dan skunder. Seperti: Kamus, esiklopedia, majalah, dan
sebagainya.
1.8.6 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum adalah teknik studi dokumen yaitu
pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research) yaitu
serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah,
mengratifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan
hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literature yang
ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian
tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil
pengkajian studi dokumen.Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari
21
konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian.29
1.8.7 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi,
teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi.
Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi
dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.Teknik interpretasi berupa
penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal,
penafsiran sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya.
Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak
setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan,
proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan
primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi tidak bisa
dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan
yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permsalahan hukum makin
banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.Teknik
sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau
proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara
yang tidak sederajat.
29
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, h. 24