39
BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Tidak terlalu sulit bagi kita untuk melihat perkembangan musik yang saat ini mulai menjangkau seluruh segmen kehidupan. Banyak produk jadi yang pengiklananannya mengandalkan musik, banyak misi sosial yang juga menggunakan musik sebagai media propaganda, bahkan politik. Pemilihan presiden RI 2014-2019 yang baru saja berakhir beberapa waktu lalu misalnya, tidak sedikit di antara musisi dalam dan luar negeri yang terlibat dalam kampanye. Musik rupanya juga telah dijadikan media penyampaian pesan- pesan pencapresan ke dua pasang calon. Slank dan beberapa musisi lain misalnya, tak ragu untuk menciptakan “Salam Dua Jari” yang menyimbolkan dukungan mereka kepada Calon nomor urut dua. Terlihat usahanya untuk mengemas Musik berikut liriknya untuk mendeskripsikan kesederhanaan dan kebersahajaan sang calon. Begitu juga dengan calon satunya, Ahmad Dhani pun melakukan hal yang sama. Lirik dan musik rock yang mereka gunakan, seolah menggambarkan citra ketegasan dan keberanian yang diangkat pasangan nomor urut satu. Artinya hari ini musik sudah dipandang memiliki daya persuasi yang cukup kuat, dibalik posisi sosial dan nama besar sang musisi tentunya.

BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitasetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76389/potongan/S1-2014... · Secara lebih spesifik, penulis mengangkat tema yang membalut

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

1. Aktualitas

Tidak terlalu sulit bagi kita untuk melihat perkembangan musik yang

saat ini mulai menjangkau seluruh segmen kehidupan. Banyak produk jadi

yang pengiklananannya mengandalkan musik, banyak misi sosial yang juga

menggunakan musik sebagai media propaganda, bahkan politik. Pemilihan

presiden RI 2014-2019 yang baru saja berakhir beberapa waktu lalu misalnya,

tidak sedikit di antara musisi dalam dan luar negeri yang terlibat dalam

kampanye. Musik rupanya juga telah dijadikan media penyampaian pesan-

pesan pencapresan ke dua pasang calon.

Slank dan beberapa musisi lain misalnya, tak ragu untuk menciptakan

“Salam Dua Jari” yang menyimbolkan dukungan mereka kepada Calon nomor

urut dua. Terlihat usahanya untuk mengemas Musik berikut liriknya untuk

mendeskripsikan kesederhanaan dan kebersahajaan sang calon. Begitu juga

dengan calon satunya, Ahmad Dhani pun melakukan hal yang sama. Lirik dan

musik rock yang mereka gunakan, seolah menggambarkan citra ketegasan dan

keberanian yang diangkat pasangan nomor urut satu. Artinya hari ini musik

sudah dipandang memiliki daya persuasi yang cukup kuat, dibalik posisi

sosial dan nama besar sang musisi tentunya.

Sebagai penikmat musik, penulis melihat terjadi pergesaran peranan

musik dewasa ini. Musik tak hanya sekedar didengar, tapi juga sebagai

kekuatan untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu. Fakta sosial ini tentu

menjadi lahan kajian yang cukup menarik untuk ditelaah lebih dalam. Alasan

actual ini pula yang menjadi pendorong bagi penulis untuk memilih tema ini

pada kasus Navicula, salah satu band indie Indonesia yang juga memiliki misi

lain dalam bermusik, yaitu menyampaikan pesan lingkungan dan kemanusiaan

pada masyarakat luas.

2. Orisinalitas

Penelitian berkisar tentang musik yang digunakan sebagai instrumen

lahirnya sebuah gerakan sosial bukanlah suatu hal yang baru. Sejauh ini,

penelitian yang memiliki keterkaitan dengan tema besar yang penulis angkat

adalah penelitian yang dilakukan oleh Radianto1 (2011). Penelitian tersebut

dilakukan untuk melihat dan menemukan bagaimana dampak simbol dari

Tengkorak band terhadap penggemarnya.

Adapun penulis secara garis besar memilih tema gerakan sosial dalam

penelitian ini. Secara lebih spesifik, penulis mengangkat tema yang membalut

gerakan sosial dan musik, bagaimana penggunaan musik sebagai strategi

dalam gerakan sosial dapat dikategorikan dalam gerakan sosial baru. Singkat

kata, penelitian ini melihat bagaimana masyarakat mencoba menyelesaikan

permasalahan sosial dengan melakukan perubahan sosial menggunakan musik

sebagai salah satu strategi. Fokus penelitian tadi penulis wujudkan dalam

1 Untuk informasi lebih lanjut lihat http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/56558?show=full

sebuah penelitian yang berjudul “Musik Sebagai Gerakan Sosial

Pelestarian Lingkungan (Studi Terhadap Grup Musik Navicula)”.

Alasan rasional penulis memilih Navicula sebagai objek kajian lebih

dikarenakan band tersebut telah mengawinkan antara musik dan gerakan

sosial secara intim. Hal tersebut terlihat dari aktivitas-aktivitas mereka yang

tidak saja di atas panggung, akan tetapi hingga ke dalam kehidupan sehari-hari

mereka. Lebih lagi, aktivitas tersebut mereka lakukan telah begitu lama.

Artinya, mereka bukanlah “anak kemaren sore” dalam melakukan hal-hal

tersebut.

3. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang sebelumnya

bernama Ilmu Sosiatri merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari

kelainan-kelainan masyarakat dan bersamaan dengan itu berusaha melakukan

penyembuhan. Sifat Ilmu Sosiatri yang memberikan perhatian pada

pemecahan masalah-masalah sosial dan pembangunan masyarakat semakin

mengukuhkan bahwa Ilmu Sosiati sebagai ilmu sosial terapan (Mudiyono,

2002:16).

Berangkat dari deskripsi tersebut, ada sebuah keterkaitan yang begitu

erat antara Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dengan gerakan

sosial. Gerakan sosial merupakan salah satu upaya dalam menyembuhkan

patalogis-patalogis sosial, melalui perubahan atau mencegah perubahan sosial

yang dilakukan oleh masyarakat. Secara lebih khusus terkait topik penelitian,

Navicula dalam hal ini berusaha mencegah kerusakan lingkungan melalui

sebuah gerakan yang dilakukan dengan menggunakan musik sebagai alat.

B. Latar Belakang

Pada umumnya masyarakat mendambakan kondisi ideal yang

merupakan tatanan kehidupan yang diinginkannya. Kondisi tersebut

menggambarkan sebuah kehidupan yang di situ kebutuhan-kebutuhan dapat

terpenuhi, suatu kondisi yang tidak lagi diwarnai kekhawatiran hari esok,

kehidupan yang memberi iklim kondusif guna aktualisasi diri, dan untuk

terwujudnya proses relasi sosial yang berkeadilan. Apabila kondisi yang

diharapkan tersebut bertentangan dengan realitas, maka dapat dipastikan

masalah sosial sedang terjadi. Oleh karena itu, berbagai upaya pemecahan

selalu diusahakan untuk melakukan perbaikan dan perubahan terhadap realitas

masalah sosial (Soetomo, 2009:1).

Adapun salah satu pemecahan masalah sosial ialah gerakan sosial. Hal

ini dikarenakan gerakan sosial adalah proses perubahan (atau paling kurang,

perubahan yang diupayakan) (Mirsel, 2004:14). Kondisi yang dirasa tidak

sesuai dengan keinginan, diupayakan secara kolektif untuk dapat berubah

sesuai keinginan. Ini didasari karena usaha kolektif lebih mampu merubah

sebuah kondisi daripada jika harus melakukan secara individu. Artinya, setiap

individu mencari orang lain yang sepaham dan satu tujuan untuk menjadi

sebuah pergerakan massa yang dapat mempengaruhi pada perubahan yang

akan dilakukan.

Perubahan yang dilakukan oleh pergerakan massa bahkan sudah lama

ada dalam catatan sejarah umat manusia. Frank dan Fuentes (1987:1503)

mengungkapkan bahwa rekaman peristiwa gerakan sosial telah terjadi sejak

pemberontakan budak-budak Spartak di Roma, Perang Salib dan perang

agama yang tak terhitung jumlahnya, gerakan/perjuangan petani Jerman di

abad 16, konflik etnis dan negara di seluruh Eropa, serta gerakan perempuan

yang melepaskan diri dari berbagai bentuk represi. Bahkan, Frank dan Fuentes

(1987:1503) menambahkan sepanjang sejarah di Asia, dunia Arab dan

ekspansi Islam, Afrika dan Amerika Latin, gerakan sosial telah menjadi agen

perlawanan dan transformasi sosial.

Seiring perkembangan waktu, gerakan sosial semakin berkembang.

Berbagai peristiwa gerakan sosial yang sebelumnya telah disebutkan di atas

pada dasarnya adalah gerakan sosial yang masih menggunakan fitur-fitur

lama. Hal ini dikarenakan fitur-fitur baru yang kerap dianggap terminologi

dari gerakan sosial baru adalah gerakan lingkungan dan perdamaian (Frank

dan Fuentes, 1987:1503). Frank dan Fuentes (1987:1503) mengungkapkan

bahwa masuknya dua fitur tersebut dalam gerakan sosial lebih disebabkan

oleh respon terhadap kebutuhan sosial yang telah dihasilkan oleh

pembangunan global. Oleh karena itu, gerakan sosial yang menggunakan

fitur-fitur lama sama sekali tidak menyinggung isu-isu lingkungan dan

perdamaian.

Perbedaan antara gerakan sosial fitur lama dengan fitur baru tidak

menjadi penghalang bagi massa untuk melakukan perubahan. Dewasa ini

bahkan fitur-fitur tersebut telah bercampur baur satu sama lainnya. Artinya,

tidak menutup kemungkinan massa melakukan perubahan terkait ideologi

bersamaan dengan perubahan terkait perdamaian. Meskipun demikian,

terdapat satu benang merah penghubung antara gerakan sosial baru dan

gerakan sosial lama, yakni musik. Kedua gerakan sosial tersebut pada

dasarnya dapat dimanifestasikan dengan musik. Artinya, musik menjadi alat

propaganda menuju perubahan. Roy (2010:x) mengungkapkan bahwa dalam

sejarah gerakan sosial lama, musik telah memainkan peranan yang signifikan.

Hal ini dapat dilihat dari kasus keterlibatan musikolog Edward Small dalam

gerakan komunis pada 1930-an dan 1940-an serta Tia DeNora, sosiolog

musik, dalam gerakan hak sipil pada 1960-an, sedangkan dalam gerakan sosial

baru ialah musisi folk kelahiran Amerika Serikat, Pete Seeger. Pete Seeger

sepanjang hidupnya begitu aktif menentang perang Amerika Serikat di

Vietnam dan mengadvokasi isu-isu soal lingkungan.2

Berbagai fakta yang telah disebutkan tadi hanyalah sedikit dari

keterkaitan antara gerakan sosial dengan musik. Keterkaitan ini tentu bukanlah

sembarang keterkaitan, karena musik dan gerakan sosial telah banyak

dirayakan sebagai dua katalis yang dapat meningkatkan kondisi manusia

dengan meningkatkan semangat dan meruntuhkan subordinasi (Roy, 2010:x).

Artinya, musik bukan hanya sebuah dimensi sempit dari susunan nada-nada

indah yang dimainkan. Lebih dari itu, musik juga mampu menjadi pengikat

antara kehidupan manusia. Merriam (dikutip Sitowati, 2010:11) bahkan

menggambarkan musik memiliki fungsi sebagai media ekspresi emosi,

2 http://www.berdikarionline.com/suluh/20140125/inilah-10-musisi-folk-berpengaruh.html diakses

31 Juli 2014.

kenikmatan estetik, hiburan, alat komunikasi, simbol dalam masyarakat,

respon fisik, pengesahan institusi sosial dan agama, kontribusi untuk

pengembangan dan pelestarian kebudayaan, serta untuk integrasi masyarakat.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila musik merupakan bagian dari

potret kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa aliran

musik dalam kemunculannya. Beberapa di antaranya merupakan sebuah

simbol pergerakan dari kelompok masyarakat.

Adapun salah satu aliran musik tersebut ialah jazz. Dalam sejarahnya,

jazz adalah media perlawanan atas ketertindasan ras dan kelas sosial. Ras kulit

hitam yang secara kelas sosial pada saat itu dianggap lebih rendah

dibandingkan ras kulit putih melakukan perlawanan lewat media musik jazz.3

Pada masa itu, kaum kulit hitam memainkan musik jazz dengan improvisasi

dan spontanitas yang sangat sesuai dengan jiwa mereka. Alhasil, tidaklah

mengherankan bila nilai-nilai yang terkandung dalam musik jazz yang mereka

mainkan adalah suara tentang mempertahankan hidup.

Musik jazz yang dimainkan oleh kaum kulit hitam tersebut

diperkirakan muncul pada tahun 1890-an, ketika bar di Amerika memainkan

musik ragtime yang berkembang menjadi jazz di kemudian hari. Jenis musik

ini tumbuh dari penggabungan blues, ragtime, dan musik Eropa, terutama

musik band. Sebagai sebuah trend yang populer, jazz mulai digemari warga

Amerika pada tahun 1920-an hingga tahun 1930-an. Musisi seperti Duke

3 http://www.wartaJazz.com/opini-Jazz/2010/08/20/Jazz-media-perlawanan-atau-eksistensi diakses

pada 31 oktober 2013.

Ellington Big Band dan Louis Armstrong adalah tokoh jazz yang mendunia

pada periode tersebut.

Seiring dengan perkembangan industri dunia musik, jazz telah

mengalami perubahan. Teknik dan cara bermain jazz sekarang telah

berkembang menjadi banyak sub-aliran. Hal yang sama pun terjadi dengan

nilai-nilai jazz. Jika dahulu jazz merupakan musik perlawanan ras kulit hitam,

maka sekarang jazz telah dimainkan oleh multi ras. Dapat dipastikan bahwa

hampir seluruh negara di dunia kini telah memiliki penggemar jazz. Indonesia

pun tidak luput dari semakin membludaknya pecinta jazz. Hal ini terbukti dari

semakin banyaknya event jazz di Indonesia, mulai dari skala komunitas (Jazz

Mben Senen di Yogyakarta), nasional (Ngayog Jazz), hingga internasional

(Java Jazz). Alhasil perubahan yang terjadi pada musik jazz berdampak

terhadap semakin melencengnya semangat aliran musik ini dari sejarah awal

kemunculannya. Jazz sekarang ini bahkan lebih dikenal sebagai musik bagi

masyarakat menengah ke atas. Tidaklah mengherankan, sebagian pertunjukan

musik beraroma jazz pada akhirnya mematok harga yang tinggi untuk dapat

menikmatinya. Ironis tentunya, jika melihat akar sejarah jazz pada masa

lampau.

Selain musik jazz, jenis musik yang memiliki akar dan sejarah

pergerakan sosial adalah punk. Punk muncul sebagai bentuk reaksi

masyarakat, terutama kelompok anak muda, di pinggiran kota-kota Inggris

terhadap kondisi keterpurukan ekonomi sekitar tahun 1976-1977.4 Fenomena

4 http://www.pasarkreasi.com/news/detail/music/123/sejarah-kelahiran-Punk diakses 31 Oktober

2013.

tersebut berawal dari kebijakan perdana menteri Inggris waktu itu, Margareth

Thatcer, yang memperkenalkan perekonomian konservatif. Pilihan tersebut

diambil sebab Inggris mengalami semacam krisis moneter atau resesi

perekonomian. Namun, kebijakan yang diambil ternyata memiliki dampak

yang buruk. Tingkat pengangguran justru semakin tinggi dan peluang maju

bagi kaum muda sedikit sekali. Alhasil, kaum muda menyuarakan perlawanan

melalui musik. Lirik-lirik bermuatan sosial dan kritikan sarkas menjadi ciri

dari musik mereka. Lirik-lirik tersebut bahkan dinyanyikan dengan cara

berteriak, serta gitar yang dimainkan dengan bising dan tempo yang cepat.

Tidak ketinggalan, gaya hidup anti kemapanan dan gaya berbusana yang tidak

lazim juga bagian dari kritik mereka atas kondisi yang terjadi di Inggris.

Generasi awal band punk di Inggris kala itu adalah Sex Pistols dan The

Clash. Kedua band tersebut memiliki perbedaan walaupun sama-sama

memainkan musik punk. Sex Pistols memainkan punk dengan lirik-lirik kotor

dan musikalitas yang sederhana. Hal ini dapat dilihat dari salah satu lagunya

yaitu 'God Save the Queen' (Tuhan Selamatkanlah Sang Ratu), yang berlirik

"Tuhan selamatkanlah sang ratu dan rezimnya yang fasis...rezim itu bikin

rakyat tolol". Lagu tersebut merupakan sebuah hujatan terus terang dari suara

rakyat yang menjadi bagian dari rezim fasis kerajaan Inggris, seolah

menyindir dengan meminta Tuhan untuk menyelamatkan sang ratu. Adapun

The Clash memainkan punk dengan lirik yang dianggap lebih cerdas dalam

menyuarakan konten lirik dan teknik musikalitas yang tinggi untuk ukuran

punk. The Clash mencampurkan beberapa elemen musik dari aliran lain

seperti reggae, ska dan funk pada aransemen lagu mereka. Seiring dengan

perkembangan waktu, punk pun menyebar ke seluruh dunia. Alhasil, band

punk seperti Ramones, The Stooges, dan MC5 muncul di Amerika.

Perlahan tapi pasti, punk pun digunakan sebagai instrumen perlawanan

terhadap permasalahan yang lebih luas, yakni ekonomi, budaya, sosial, politik

serta hukum yang tidak menguntungkan kondisi masyarakat. Dalam

pergerakan tersebut, punk begitu identik dengan konsep Do It Yourself (DIY),

yang berarti mengerjakan sesuatu secara mandiri. Artinya, dalam kegiatan

yang berhubungan dengan punk, para penggiat musik punk melakukannya

secara mandiri, mulai dari merekam lagu, memproduksi, menjual, dan

mempertukarkan ide-ide antar sesama penggemar punk. Salah satu contoh

misalnya dengan memproduksi musik sendiri tanpa perlu meminta pada label

besar. Para pegiat musik punk lebih memilih untuk merekam, menjual, dan

membeli sebuah karya musik dari, oleh, dan untuk komunitas sendiri. Bagi

mereka, inti dari bermusik bukan materi dan penjualan album, akan tetapi

idealisme yang dapat disebar melalui sebuah karya.

Dalam konteks Indonesia, terdapat pula musik yang menjadi simbol

perlawanan dan pergerakan di masyarakat. Musisi yang paling populer saat ini

tentu saja Iwan Fals. Keterlibatan Iwan Fals dalam pergerakan dan perlawanan

masyarakat tidak perlu dipertanyakan. Selama Orde Baru berkuasa, Iwan Fals

begitu aktif menyurakan kondisi realitas masyarakat, mengkritisi

pemerintahan, dan mengajak masyarakat sadar akan cengkraman penguasa

yang diktator. Bahkan, Iwan Fals saat ini mulai merambah pada kegiatan-

kegiatan lingkungan.5

Selain Iwan Fals, grup musik Slank juga telah cukup lama dikenal

sebagai salah satu band yang terlibat dalam pergerakan di masyarakat. Lagu-

lagu mereka begitu syarat akan kritik-kritik sosial. Grup musik ini juga terpilih

sebagai Duta Anti Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuan

dari penunjukan tersebut adalah kampanye tentang anti korupsi bagi

masyarakat, terutama bagi penggemar Slank yang kebanyakan kaum muda,

untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Salah satu di antara sekian banyak

lagu mereka yang berkaitan langsung dengan kampanye anti korupsi adalah

“Seperti Para Koruptor”, yang berceritakan tentang kehidupan koruptor yang

kaya harta namun miskin cinta. Tidak hanya itu saja, hal yang paling

fenomenal tentu saja bagaimana Slank mampu mengajak masyarakat untuk

tidak golput pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014. Bahkan,

keberpihakan Slank untuk menggerakkan masyarakat memilih Jokowi-Jusuf

Kalla begitu jelas terlihat. Dalam kampanyenyan, Slank dan beberapa musisi

tanah air menyelenggarakan Konser Salam Dua Jari. Stadion Gelora Bung

Karno (GBK), sebagai tempat kegiatan, yang berkapasitas 88 ribu orang

akhirnya dipadati oleh pendukung massa pendukung Jokowi-Jusuf Kalla.6

5http://entertainment.kompas.com/read/2010/07/10/21031414/Iwan.Fals.Tanam.Pohon.di.Situ.Ged

e diakses tanggal 31 Juli 2014.

6http://www.tempo.co/read/news/2014/07/07/219591016/Slank-Salam-2-Jari-Konser-

Kemanusiaan-Terbesar diakses tanggal 30 Juli 2014.

Musisi lain yang menyuarakan realitas masyarakat secara konsisten

adalah Navicula. Navicula merupakan band beraliran grunge7 yang berasal

dari Bali. Berbeda dengan kebanyakan band grunge pendahulu yang

mempunyai lirik pengucilan diri dan sikap pesimistis, Navicula justru

berbicara tentang semangat, perdamaian, kelestarian bumi, dan lingkungan.8

Navicula sangat peduli pada isu lingkungan hingga mendapat sebutan Green

Grunge Gantleman mengacu pada aktivitas Navicula di bidang lingkungan.

Navicula memutuskan untuk konsisten mengangkat tema-tema sosial dan

lingkungan dan mengepakkan sayap untuk berkampanye dari panggung ke

panggung.9 Jika beberapa musisi atau artis menjadi duta lingkungan hidup

atau gerakan lingkungan hidup hanya sebagai simbol agar dapat disorot

media, maka Navicula berbuat lebih dari itu.

Navicula tidak jarang turun langsung dalam kegiatan menjaga

lingkungan. Keberadaan Navicula yang ada di Bali juga mempengaruhi cara

pandang Navicula, karena Bali merupakan titik temu banyak kebudayaan dari

seluruh dunia. Navicula banyak menyinggung isu lingkungan di lagu-lagu

mereka. Navicula memang bukanlah satu-satunya musisi yang aktif dalam

gerakan penyelamatan lingkungan. Dalam skala Internasional, ada misalnya

7 Musik grunge merupakan musik beraliran alternative rock yang lahir dan berkembang di Seattle,

Washington, Amerika Serikat. Aliran ini secara musikalitas dipengaruhi berbagai aliran seperti

punk, heavy metal, dan blues. Pada awalnya, grunge adalah istilah untuk menggambarkan musik

yang berkembang di Seattle. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Mark Arm, vokalis

band Mudhoney (Tarmawan, 2010:2).

8Pernyataan Putranto dalam youtube.com: Meet Navicula (http://www.youtube.com/watch?v=-

KQvnLhqrOc) diakses tanggal 20 oktober 2013.

9http://www.antaranews.com/print/338166/Navicula-membela-lingkungan-dengan-bahasa-rockn-

roll

Sting, eks vokalis The Police, bersama istri Trudy Stiler yang membuat

Yayasan Rainforest Foundation. Yayasan ini bergerak dibidang penyelamatan

hutan hujan di seluruh dunia. Salah satu aksi nyata dari Rainforest Foundation

adalah penyelamatan hutan hujan pada tahun 1993 dalam pengakuan hukum

dan penetapan batas wilayah lebih dari 27.359 kilometer persegi.10

Namun,

Sting memisahkan antara gerakan pelestarian lingkungan dengan musik,

Navicula jusru mengintegrasikan antara gerakan pelestarian lingkungan dan

musik satu sama lain. Artinya, Navicula bergerak seimbang untuk melakukan

keduanya secara bersama-sama.

Pada tahun 2012, Navicula merilis album kompilasi Kami No Mori,

yang dalam bahasa Jepang artinya hutan para dewa (Hidayat, 2013:58).

Album tersebut berisi 12 lagu bertema lingkungan dari album-album Navicula

sebelumnya dan beberapa materi baru seperti lagu Orang Utan dan Harimau!

Harimau!. Album Kami No Mori dirilis sebagai bentuk promosi tur Borneo.

Navicula diutus Imag Magazine untuk menuliskan tentang lingkungan, hutan

hujan dan Taman Nasional Gunung Leuser, sehingga Navicula memutuskan

untuk sekaligus melakukan tur di Kalimantan.11

Navicula merilis Album

“Kami No Mori” sebagai paket bagi mereka yang ikut berperan serta dalam

sebuah proyek Crowfounding melalui situs Kickstarter.com. Pada awalnya,

Navicula terbentur kendala dana untuk melakukan tur tersebut, akan tetapi

Navicula pada akhirnya bisa mengumpulkan dukungan US$ 3.154 untuk

10

http://www.rainforestfoundationuk.org/Who_we_are) diakses 25 november 2013

11 Pernyataan Robi dalam youtube.com: "MATA HARIMAU" Navicula-Borneo Tour

(http://www.youtube.com/watch?v=AX2hzGbDfU4) diakses 20 oktober 2013.

menggelar tur mandiri ke Kalimantan (Hidayat, 2013:56). Tur Kalimantan

dimulai 18 September 2012 setelah Navicula merampungkan tur di Kanada.

Di Kalimantan, Navicula melintasi 2500 km dalam 12 hari sepanjang

Kalimantan Tengah hingga berakhir di Pontianak, Kalimantan Barat.

Dalam tur Kalimantan, Navicula tidak sendiri, karena pada waktu yang

sama Greenpeace Indonesia juga sedang menggelar “Tour Kepak Sayap

Enggang, Tour Mata Harimau Seri Kalimantan” (Hidayat, 2013:56).

Rombongan dengan motor melintasi Kalimantan Barat dan Kalimantan

Tengah memotret kondisi alam dan masyarakat Kalimantan. Navicula

bersama rombongan Greenpeace yang bekerja sama dengan Wahana

Lingkungan Hidup (Walhi) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

yang mengantarkan Navicula bersua dengan kelompok masyarakat yang

terpinggirkan dalam konflik dengan perusahaan tambang atau perkebunan

kelapa sawit (Hidayat, 2013:56). Masyarakat mengeluhkan pembabatan hutan

yang dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit, karena bagi masyarakat sekitar,

hutan tersebut merupakan warisan bagi anak cucu mereka. Dampak

lingkungan yang ditimbulkan ialah kerusakan ekosistem lingkungan yang ada.

Jenis-jenis tanaman dan hewan akan kehilangan tempat tinggal. Contohnya

adalah Orang Utan yang semakin terancam punah akibat pembantaian yang

dilakukan oknum atas perintah pihak perkebunan kelapa sawit.

Berbagai hal keterlibatan Navicula yang telah dipaparkan pada bagian

sebelumnya, harus diakui telah mampu menempatkan Navicula sebagai salah

satu band yang mampu menjadi motor gerakan sosial. Navicula

mengupayakan perubahan pada kondisi lingkungan yang semakin hari

memburuk. Artinya, Navicula berupaya untuk mempengaruhi masyarakat

melalui musik yang mereka produksi dan kampanye yang mereka lakukan di

panggung-panggung. Adapun musik menjadi sebuah alat Navicula untuk

dapat menyuarakan gagasan-gagasan pelestarian lingkungan. Serangkaian

kegiatan tersebut sudah tentu bukanlah perkara mudah, mengingat jalur

independen merupakan sarana pilihan Navicula dalam merilis album.12

Berbeda halnya dengan setiap aktivitas yang dilakukan Iwan Fals maupun

Slank dalam merangkul masyarakat untuk menciptakan sebuah perubahan atau

menghambat perubahan, tentu tidaklah terlalu sulit. Pertimbangan tersebut

tidak dapat dilepaskan dari faktor popularitas mereka. Selain itu, baik Iwan

Fals dan Slank merupakan musisi yang berkarier di bawah payung label musik

besar. Oleh karena itu, perlu untuk mengetahui bagaimana Navicula

memaknai musik, pemahaman Navicula tentang lingkungan yang

diekspresikan dalam karya, serta motif di balik Navicula mengekspresikan

lirik bertema lingkungan dan apakah lantas aksi tersebut diikuti oleh fans

dalam aksi nyata.

C. Rumusan Masalah

Fenomena Navicula sebagai grup musik yang mendorong

pendengar musik Navicula untuk melakukan gerakan sosial dengan

menggunakan musik sebagai alat. Musik merupakan produk utama dari

12

Pada album keempat yang berjudul “Alkemis”, dirilis tahun 1994, Navicula sempat bergabung

dalam salah satu major label, yaitu Sony-BMG. Namun, major label tidak membuat Navicula

betah, sehingga pada album kelima yang berjudul “Beautiful Rebel”, Navicula kembali ke jalur

independen. Bahkan, vokalis Robi pernah sedikit skeptis waktu mencicipi major label ditahun

2005-2006 (Hidayat, 2013:57).

sebuah grup musik. Peneliti ingin mengetahui pemaknaan musik bagi

Navicula:

1. Bagaimana Navicula memahami musik?

2. Bagaimana pemahaman Navicula tentang lingkungan dan

diekspresikan dalam karya?

3. Apa motif dibalik Navicula mengekspresikan lirik bertema lingkungan

dan apakah aksi tersebut diikuti oleh fans dalam aksi nyata?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, dan rumusan masalah, maka

tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui tingkat pemahaman musisi yang aktif dalam gerakan

sosial terhadap musik.

2. Mengetahui tingkat pemahaman musisi yang aktif dalam gerakan

sosial terkait permasalahan lingkungan.

3. Mengetahui motif musisi dalam gerakan sosial dan tindaklanjut dari

fans terhadap gerakan tersebut.

E. Manfaat Penelitian

Adapun penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan menyumbangkan pemikiran ilmiah bagi

perkembangan gerakan sosial, baik itu dalam proses belajar mengajar

di perkuliahan, diskusi, maupun pemahaman bagi penelitian

selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan cerita dari Navicula yang penulis interpretasikan ini

dapat menjadi salah satu referensi bagi segenap kalangan yang ingin

melakukan gerakan sosial melalui musik. Selain itu, penelitian ini

diharapkan memberikan gambaran tentang pengaruh musik bagi

pendengar musik.

F. Tinjauan Pustaka

1. Gerakan Sosial

Sejarah perkembangan dunia tidak dapat dipisahkan dari gerakan

sosial, karena gerakan sosial dalam perkembangan sejarah umat manusia

telah digunakan untuk dapat memperjuangkan sebuah perubahan atau

sebuah usaha untuk menghambat perubahan di dalam masyarakat. Seperti

yang dikemukakan Markoff (2002:44) bahwa suatu gerakan sosial dapat

dikatakan terbuka apabila ada pernyataan yang secara eksplisit mengajak

ke arah perubahan. Titik pijak dari hal tersebut adalah kondisi yang dirasa

tidak sesuai dengan keinginginan, sehingga membuat adanya usaha secara

kolektif untuk dapat berubah menjadi sesuai keinginan. Menurut Robert

Mirsel (2004) bahwa gerakan kemasyarakatan adalah seperangkat

keyakinan dan tindakan yang tak terlembaga (noninstitutionalised) yang

dilakukan sekelompok orang untuk memajukan atau menghalangi

perubahan di dalam suatu masyarakat.Tidak terlembaga mengandung arti

mereka cenderung tidak diakui sebagai sesuatu yang berlaku umum secara

luas dan sah di dalam suatu masyarakat

Penekanan terhadap usaha kolektif dalam gerakan sosial sudah

tentu tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan agar semakin terwujudnya

sebuah perubahan. Sudah bukan rahasia lagi bila usaha yang menyatu dari

tangan-tangan setiap individu lebih kuat dalam merubah suatu kondisi jika

dibandingkan dengan sepasang tangan individu. Setiap individu mencari

orang lain yang sepaham dan satu tujuan untuk menjadi sebuah pergerakan

massa yang dapat mempengaruhi pada perubahan yang akan dilakukan.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Gidden (dikutip Suharko, 2006:3)

bahwa gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mencapai tujuan

bersama, melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup

lembaga-lembaga yang mapan. Adanya aspek di luar lingkup lembaga-

lembaga yang mapan dalam pemaparan Gidden tentu saja tidak dapat

dilepaskan dari struktur dominan yang ingin dianggap

mengancam/merusak. Artinya, gerakan sosial bertujuan untuk mengatasi

masalah sosial yang ada di dalam masyarakat, baik itu yang sedang

berpotensi maupun yang sedang berjalan. Tarrow (dikutip Suharko,

2006:3) menyebut upaya perubahan tersebut dengan tantangan-tantangan

kolektif, sehingga aspek yang ada di dalamnya harus didasarkan pada

tujuan bersama dan solidaritas sosial, dalam interaksi yang berkelanjutan

dengan para elit, penentang dan pemegang wewenang.

Tarrow (dikutip Hasanuddin, 2011:62-63) menekankan bahwa

pada dasarnya gerakan sosial memiliki karakteristik: (a) menyusun aksi

disruptive melawan kelompok elite, penguasa, kelompok-kelompok lain,

dan aturan-aturan budaya tertentu; (b) dilakukan atas nama tuntutan yang

sama terhadap lawan, penguasa, dan kelompok elite; (c) berakar pada

solidaritas atau identitas kolektif; (d) terus melanjutkan aksi kolektifnya

sampai terjadi gerakan sosial.

Para ahli memahami bahwa gerakan sosial merupakan gejala yang

begitu kompleks. Pemahaman ini mengantarkan pentingnya pembahasan

yang bersifat komprehensif dan integral antara political opportunity

structure (SKP), resources mobilization theory, dan collective action

frames (McAdam, McCarthy, dan Zald, dikutip Hidayat, 2012:120).

Ketiga hal tersebut merupakan faktor dari muncul dan berkembangnya

suatu gerakan sosial.

Political opportunity structure (struktur kesempatan politik, SKP)

merupakan sebuah konsep yang menyatakan bahwa kondisi struktur

politik dalam hal tertentu memiliki pengaruh yang cukup signifikan

terhadap perkembangan suatu gerakan sosial. Jadi, suatu gerakan sosial

tergantung pada keadaan SKP itu sendiri. Dalam hal ini, SKP menjadi

ruang multidimensi yang gerakan sosial dan tindakannya bisa saja

dimudahkan (facilitated) atau bisa saja direpresi (dihambat), sehingga tak

bisa berkembang (repressed) (Oliver, dikutip Hidayat, 2012:120).

Secara umum, hambatan atau kesempatan politik bagi suatu

gerakan sosial dapat dipilah ke dalam dua kategori, yakni pola hubungan

tertutup dan pola hubungan terbuka. Pola tertutup menciptakan hambatan

bagi gerakan sosial, sedangkan pola terbuka membuka kesempatan bagi

munculnya gerakan akibat dari politik yang lebih kompetitif antara elite,

antara partai politik, dan juga antara kelompok kepentingan. Semakin

terbuka iklim politik, semakin memberikan kesempatan untuk muncul dan

berkembangnya gerakan sosial; dan sebaliknya, semakin tertutup iklim

politik, semakin tertutup kesempatan muncul dan berkembangnya suatu

gerakan sosial13

(Muhtadi; Kriesi dikutip Hidayat, 2012: 120-121).

Kondisi struktural yang kondusif tidaklah cukup bagi

perkembangan suatu gerakan sosial. Gerakan sosial juga memerlukan apa

yang disebut sebagai bagian dari pengemasan ideologi untuk dapat

diterima berbagai pihak. Inilah yang disebut collective action frames yang

merupakan bagian dari sebuah proses framing dalam gerakan sosial, yakni

semacam skema intepretasi yang merupakan sekumpulan beliefs and

meanings dan berorientasi pada aksi yang menginspirasi dan melegitimasi

aktivitas sebuah organisasi gerakan sosial. Dalam hal ini, kerangka (frame)

dibangun untuk memberikan makna dan menginterpretasi kejadian atau

kondisi tertentu, yang dimaksudkan untuk memobilisasi potensi pengikut,

serta untuk mendapatkan dukungan berbagai pihak (Benford dan Snow;

Snow, dikutip Hidayat, 2012:121).

13

Yang dimaksud sebagai iklim politik yang terbuka dan tertutup di sini adalah aksesibilitas

sistem politik yang ada secara insittusional. Semakin mudah diakses suatu sistem politik maka

semakin terbuka iklim politiknya dan sebaliknya (Kriesi, dikutip Hidayat, 2012:201)

Berkaitan dengan proses framing, Benford dan Snow (dikutip

Hidayat, 2012:121) menyebutkan tiga hal yang menjadi perhatian utama,

yang disebut core framing tasks. Pertama adalah diacnostic framing, yaitu

yang dikonstruksikan dalam sebuah gerakan sosial guna memberikan

pemahaman mengenai situasi dan kondisi yang sifatnya problematik.

Kondisi mengenai apa atau siapa yang disalahkan, sehingga membutuhkan

adanya suatu perubahan (Benford dan Snow, dikutip Hidayat, 2012:121).

Dalam level ini, aktor-aktor gerakan sosial mendefinisikan permasalahan-

permasalahan apa saja yang menjadi isu utama yang membuat mereka

menginginkan adanya perubahan (Hidayat, 2012:121).

Kedua, prognostic framing, yaitu artikulasi solusi yang ditawarkan

bagi persoalan-persoalan yang sudah diidentifikasikan sebelumnya. Dalam

aktivitas prognostic framingini gerakan sosial juga melakukan berbagai

penyangkalan atau menjamin kemanjuran dari solusi-solusi yang

ditawarkan (Benford dan Snow, dikutip Hidayat, 2012:121). Terakhir

adalah motivational framing, yaitu elaborasi panggilan untuk bergerak

atau dasar untuk terlibat dalam usaha memperbaiki keadaan melalui

tindakan kolektif (Hidayat, 2012:121-122).

Selanjutnya, setiap gerakan sosial tentunya membutuhkan sumber

daya untuk bisa menjalankan aktivitas kolektifnya. Dalam hal ini, gerakan

sosial memiliki beberapa tugas penting seperti memobilisasi pendukung,

mengorganisasi sumber daya, yang—dalam level yang lebih jauh—

berdampak pada munculnya simpati elite-elite dan masyarakat secara

umum terhadap cita-cita gerakan. Inilah konsep yang disebut resources

mobilization (Opp ; Jenkins, dikutip Hidayat, 2012:122). Konsep ini secara

mendasar berusaha mengetahui bagaimana sebuah kelompok

mengupayakan resources yang mereka miliki untuk bisa melakukan

perubahan sosial dan tercapainya tujuan kelompok (Edwards dan

McCarthy, dikutip Hidayat, 2012:122). Konsep ini berusaha melihat

dorongan upaya, baik secara kolektif maupun individual, yang muncul

sebagai bagian dari pencapaian tujuan yang dimiliki oleh gerakan sosial

(Hidayat, 2012:122).

Resources sendiri sebenarnya memiliki makna yang begitu luas.

Resources dapat terdiri dari kekuatan finansial, akses terhadap media,

dukungan simpatisan, loyalitas grup. Ia juga bisa terdiri dari kepemilikan

ruang/gedung, pengetahuan (stock of knowledge), dan skill (keahlian) yang

dimiliki oleh aktor (Opp dikutip Hidayat, 2012:122), termasuk di

dalamnya ideologi dan nilai gerakan (Hidayat, 2012:122).

Resources adalah “goods” dalam terminologi ekonomi. Hanya saja

hal itu dimaknai dalam arti yang lebih luas, yakni sesuatu yang memiliki

nilai manfaat (utility). Namun, tidak semua hal yang memiliki nilai

manfaat bisa disebut sebagai resources. Hal itu baru bisa disebut sebagai

resources ketika individu atau aktor kolektif bisa mengontrolnya dan

memanfaatkannya guna tercapainya tujuan gerakan (Hidayat, 2012:122).

Kerangka resources mobilization ini menjelaskan dua aspek

sekaligus. Pertama, mengenai sumberdaya fisik, non-fisik, ataupun

finansial yang dimiliki oleh sebuah gerakan seperti bangunan, uang,

pengetahuan, atau keahlian tertentu. Sumber daya tersebut bisa dikontrol

baik secara individual maupun kolektif oleh kelompok. Kedua, mobilisasi

merupakan suatu proses tak terpisahkan yang para aktornya berusaha

memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki untuk mencapai tujuan

dari gerakan (Hidayat, 2012:122).

Dalam perkembangan kajian gerakan sosial, data tentang peluang

politik, struktur mobilisasi dan proses framing saja tidak cukup untuk

menjelaskan keberhasilan dan kegagalan gerakan. McAdam dkk (dikutip

Hasanuddin, 2011:70-71) mencatat bahwa keberhasilan dan kegagalan

gerakan sangat tergantung pada kemampuan organisasi gerakan

menghadirkan tiga faktor organisasional berikut.

Pertama, taktik mengganggu (disruptive tactics). Sejumlah studi

memberikan indikasi kuat bahwa taktik yang inovatif dan disruptif

memiliki kaitan dengan efektivitas gerakan sosial. Ini terjadi karena

gerakan sosial pada umumnya tidak memiliki sumberdaya yang memadai

seperti dana, suara dan akses, sehingga saluran-saluran yang masuk akal

(proper channels) tidak bisa dipergunakan. Studi McAdam menunjukkan

bahwa taktik seperti aksi duduk (the sit-ins), pawai kebebasan (freedom

rides), mampu menarik perhatian pihak-pihak lawan dalam gerakan

kebebasan sipil di AS (Hasanuddin, 2011:70-71).

Kedua, pengaruh sayap radikal (radical flank effects). Suatu

gerakan biasanya juga mampu memetik keuntungan dari adanya pengaruh

sayap radikal yakni pengaruh yang dibawa oleh kehadiran kelompok

ekstrimis di dalam gerakan bersama-sama dengan kelompok yang lebih

moderat. Pengaruh seperti ini misalnya dapat dilihat dalam aliansi antara

negara dan gerakan sosial. Dalam merespon suatu gerakan sosial, negara

biasanya hanya mau berhubungan dengan para pemimpin dan organisasi

yang berbicara atas nama gerakan yang dianggap bisa menjadi rekan

negosiasi yang terpercaya. Dalam situasi semacam ini kehadiran kelompok

'radikal' atau 'ekstrimis' bisa memberikan legitimasi dan memperkuat daya

tawar kelompok yang 'moderat' (Hasanuddin, 2011:71).

Ketiga, tujuan (goals). Dalam upaya membangun hubungan yang

berhasil dengan lingkungan politik dan organisasi yang lebih luas,

organisasi gerakan sosial mendasarkan pada tujuan organisasinya. Respon

dan reaksi dari pihak-pihak utama lain seperti negara, pihak lawan

gerakan, media, dan sebagainya, umumnya dibentuk oleh apa yang

dinyatakan dalam tujuan organisasi gerakan sosial. Apa yang dinyatakan

dalam tujuan bisa dipersepsikan sebagai ancaman terhadap kepentingan

sejumlah kelompok atau kesempatan untuk realisasi kepentingan bagi

kelompok lain. Karena itu, oposisi dan dukungan yang diperoleh oleh

organisasi gerakan sosial sebenarnya dibentuk oleh persepsi tentang

ancaman dan kesempatan yang melekat dalam tujuan kelompok gerakan

(Hasanuddin, 2011:71).

Robert Mirsel dalam buku teori pergerakan sosial membagi

gerakan sosial dalam dua periode. Periode pertama dan kedua digolongkan

dalam gerakan sosial lama dan periode ketiga termasuk dalam gerakan

dekonstruksi atau gerakan sosial baru. gerakan sosial pertama berkutat

pada gerakan-gerakan sosial yang terjadi pasca perang dunia pertama.

Studi yang dilakukan oleh mirsel pada periode ini berkutat pada individu

dalam gerakan. Periode pertama ditandai dengan adanya titik temu

bersama antara beberapa kekuatan, yakni pertama, pandangan yang negatif

mengenai gerakan kemasyarakatan dengan munculnya peranan Nazisme,

Fasisme, Stalinisme, dan McCartyhisme, serta perlawanan para ilmuwan

terhadap kerusuhan-kerusuhan berbau rasial, tindakan-tindakan main

hakim sendiri dan prasangka etnosentris; kedua pengaruh paradigm-

paradigma mikro dalam sosiologi; ketiga, psikoanalisis terhadap studi-

studi mengenai proses-proses interpersonal, dengan penekanan lebih lanjut

pada akar irasional dan tindakan manusia; dan keempat, bertumbuhnya

penelitian survei, yang memusatkan perhatian pada tingkah laku individual

sebagai obyek fundamental dari setiap studi tentang gerakan

kemasyarakatan (Mirsel 2004:32).

Gerakan sosial dalam periode pertama masih pada kelompok-

kelompok kecil sehingga keberhasilan dari gerakan tersebut belum dapat

dicapai. Kelompok kecil tersebut terdiri dari kelompok atas dasar

kekeluargaan, atau kedaerahan. Pada periode kedua fokus gerakan adalah

pada gerakan strukstural. Tujuan dari gerakan sosial adalah tujuan yang

bersifat rasional. Faktor utama didalam perilaku gerakan adalah Struktur

peluang politik (political opportunity structure), atau bentuk-bentuk

lembaga politik, yang bisa saja memaksa strategi gerakan untuk mengikuti

pola yang tergaris dan terstruktur (Mirsel 2004:57).

2. Musik dan Gerakan

Musik adalah suatu hasil karya seni berupa bunyi dalam bentuk

lagu atau komposisi yang mengungkapkan pikiran dan perasaan

penciptanya melalui unsur-unsur pokok musik yaitu irama, melodi,

harmoni, dan bentuk atau struktur lagu serta ekspresi sebagai suatu

kesatuan ekspresi (Jamalus, 1988:1). Hal yang hampir senada diungkapkan

oleh (Setyawan, 2013:189) bahwa musik adalah satu media ungkapan

kesenian yang di dalamnya terkandung nilai dan norma-norma yang

menjadi bagian dari proses enkulturasi budaya, baik dalam bentuk formal

maupun informal.

Penekanan Setyawan terhadap kata “media” menandakan bahwa

musik tidak dapat dilepaskan dari pemusik dan pendengar. Oleh karena

itu, dapat dikatakan bahwa sebuah musik merupakan hasil/karya dari

pemusik yang kemudian disampaikan kepada pendengar. Namun, musik

tidaklah seperti selongsong kosong. Penyampaian Setyawan terhadap nilai

dan norma bahkan ditegaskan oleh Bernstein & Picker (dikutip Setyawan,

2013:195). Bernstein & Picker (dikutip Setyawan, 2013:195)

mengungkapkan bahwa musik adalah suara-suara yang diorganisasikan

dalam waktu dan memiliki nilai seni dan dapat digunakan sebagai alat

untuk mengekspresikan ide dan emosi dari komposer kepada

pendengarnya. Artinya, dalam musik terdapat nilai seni yang diciptakan

pemusik dan disampaikan kemudian kepada pendengar.

Sanjaya (2013:186) mengungkapkan bahwa musik tercipta karena

ada pesan yang hendak disampaikan oleh pemusik. Pemusik mempunyai

ide, gagasan, atau pengalaman yang hendak disampaikan kepada orang

lain melalui musik. Sementara itu orang lain bisa menerima musik tersebut

bukan semata-mata karena musik tersebut sudah dibuat dan siap dinikmati,

akan tetapi lebih jauh lagi ada kebutuhan yang terpenuhi dengan

menikmati musik tertentu.

Sanjaya (2013:186) menambahkan bahwa ada beberapa fungsi

musik, yang pertama adalah mengungkapkan pengalaman fisik maupun

pengalaman emosional. Maka dari itu, tidak mengherankan jika sangat

banyak pemusik yang memasukkan tema cinta dalam liriknya. Cinta

adalah suatu yang sangat luas artinya dan berlaku universal. Setiap orang

pasti pernah mempunyai pengalaman cinta. Meskipun demikian, tidak

semua musik berasal dari pengalaman pribadi anggotanya. Banyak musik

yang timbul dari pengalaman orang lain, berdasarkan pengalaman tersebut

kemudian dituangkan menjadi sebuah musik yang utuh.

Fungsi yang kedua adalah mengungkapkan ide-ide, pemusik yang

bisa mengungkapkan ide-ide, biasanya adalah pemusik yang kritis. Pesan

dimunculkan dalam musik, karena ada sesuatu yang kurang benar yang

perlu diperbaiki. Ide bisa muncul dari keinginan untuk mengubah atau

memperbaiki sesuatu yang sudah ada atau bahkan memunculkan sesuatu

yang baru (Sanjaya, 2013:186).

Alhasil, sebuah muara yang mampu dapat dirangkum berdasarkan

hal di atas adalah musik dapat digunakan sebagai media komunikasi, baik

itu pengalaman emosional maupun ide-ide kritis. Musik sebagai

komunikasi mengutamakan aspek bahasa dari pada aspek musikalnya.

Bahasa (teks) adalah aspek yang paling mendukung dan paling menentukan

untuk memahami dan mengerti arti dan maksud musik tersebut. Pendengar

akan mengerti alam pikiran penyaji dari teks (bahasa) yang dinyanyikan suatu

musik (Jasahdin dikutip Setyawan, 2013:191). Oleh karena itu, tidaklah

mengherankan bila Gretchen (dikutip Setyawan, 2013:192) menyatakan

bahwa lagu dapat digunakan untuk memprovokasi atau sarana propaganda

untuk mendapatkan dukungan serta mempermainkan emosi dan perasaan

seseorang dengan tujuan menanamkan sikap atau nilai yang kemudian dapat

dirasakan orang sebagai hal yang wajar, benar dan tepat.

Dalam sebuah struktur kesempatan politik (SKP), musik sudah tentu

dapat menjadi pemicu gerakan sosial. Struktur politik, baik itu yang

dimudahkan maupun dihambat, tidaklah menjadi permasalahan. Artinya,

berkembangnya gerakan sosial sangatlah memungkinkan. Hal ini dikarenakan

dalam sebuah sistem yang represif, Tarrow (dikutip Suharko, 2006:5) justru

mengungkapkan bahwa gerakan sosial masih dapat hadir, akan tetapi lebih

condong disimbolkan dengan slogan, corak pakaian dan musik, atau

penamaan baru objek-objek yang familiar dengan simbol yang berbeda

atau baru. Musik dalam konteks tersebut hadir sebagai sarana propaganda,

sehingga tercipta sebuah solidaritas sosial bagi orang banyak.

Hubungan antara musik dan musisi dengan gerakan sosial

bukanlah sesuatu yang baru. Hubungan musik dan gerakan sosial tersebut

banyak bermula dari studi terkait bekas blok Soviet, dan musik serta

musisi berperan dalam memberikan perlawanan terhadap rezim yang

berkuasa dan bahkan mengorganisisir tindakan oposisi (Wicke; Ramet;

Cushman; Sheeran; Szemere; Steinbergh; Urban, dikutip Street et, al.

2008:273). Walaupun berbagai kajian tersebut berbeda dalam banyak hal,

kajian tersebut tetap cenderung pada fitur umum. Ini menjadi bukti bahwa

musik dapat digunakan sebagai alat ungkapan resistensi politik dan oposisi

yang terorganisir. Berbagai kajian tersebut harus diakui memang terbatas

pada negara-negara non demokratis. Meskipun demikian, bukan berarti

peran musik dalam negara-negara demokrasi sama sekali nihil. Sebagaian

besar peran musik di negara demokrasi difokuskan pada gerakan hak-hak

sipil (Ward; Saul, dikutip Street et, al. 2008:273), akan tetapi fokusnya

juga meluas pada gerakan kiri populer di Amerika Serikat (Denisoff;

Denning, dikutip Street et, al. 2008:273) dan kampanye perlucutan senjata

nuklir di Inggris (McKay dikutip Street et, al. 2008:273). Tidak

ketinggalan, ada survei yang lebih umum terkait penggunaan musik dalam

politik yang demokratis dan non demokratis (di antara yang paling baru

adalah Garofalo; Rosenthal; Fischlin dan Heble; Randall; Penddie, dikutip

Street et, al. 2008:273).

Berbagai kajian tersebut sudah tentu sangatlah berbahaya apabila

digeneralisasikan, karena ada jarak yang berbeda. Namun, fakta justru

menunjukkan bahwa ada sebuah asosiasi musik dengan penyebab dan

gerakan politik, mengidentifikasi musik tertentu yang terlibat, sentimen

yang terkandung dalam lirik, dan tujuan politik yang ingin dicapai. Oleh

karena itu, hal ini mengarah kepada salah satu dari dua pendekatan.

Pertama adalah penggunaan musik sebagai cara melihat kehidupan batin

partisipasi politik (Street et, al. 2008:273. Oleh karena itu, Ward (dikutip

Street et, al. 2008:273) menjelaskan bahwa dalam studinya tentang

hubungan musik dengan gerakan hak sipil di AS, bahwa musik

menawarkan gambaran sekilas keadaan kesadaran kaum kulit hitam dalam

perjuangan untuk menuntut kesetaraan. Pendekatan alternatif lainnya

adalah untuk menyajikan musik sebagai penyebab partisipasi. Ramet

(dikutip Street et, al. 2008:273) misalnya menjelaskan bahwa di Blok

Soviet, musik adalah kekuatan yang tidak terduga perubahan sosial dan

politik. Dia juga menambahkan bahwa musik membawa orang secara

bersama-sama dan membangkitkan orang bersama-sama pengalaman

emosional kolektif.

Roy (2010:x) mengungkapkan bahwa musik dan gerakan sosial

telah banyak dirayakan sebagai dua katalis yang dapat meningkatkan

kondisi manusia dengan meningkatkan semangat dan meruntuhkan

subordinasi. Bahkan, kegiatan yang berkaitan dengan gerakan jarang tanpa

adanya lagu kebebasan. Hampir semua gerakan menggunakan musik,

karena musik merupakan perekat solidaritas sosial, sirene memanggil

anggota baru, dan ekspresi kerinduan terhadap kebebasan dan kesetaraan

(Roy, 2010:181).

Lagu-lagu propaganda digunakan sebagai alat penyebarluaskan

opini yang bersifat simpel, tetapi implikasinya bersifat kompleks.

Pandangan ini berkaitan dengan teori yang menyatakan bahwa lagu-lagu

propaganda sebagai media komunikasi guna menyampaikan pesan tertentu

kepada massa untuk mengimbangi kekuatan propaganda musuh di dalam

ajang perang urat saraf (Sastropoetro dikutip Mintargo, 2003:105).

Sebagai sarana propaganda, kedudukan pemain dan peserta di dalam seni

pertunjukan ini terlibat seluruhnya, hingga bisa disebut sebagai Art of

Participation (Soedarsono dikutip Mintargo, 2003:105). Dalam hal ini,

lagu-lagu propaganda bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap

realitas yang sedang dihadapi ataupun dirasakan kepada khalayak ramai.

Tidak hanya itu, aktor-aktor yang menjadi penyebab permasalahan sosial

juga diwartakan kepada orang banyak. Harapannya, massa mengetahui

aktor yang ingin disasar, sehingga pemahaman dan tujuan yang sama

dapat tercipta. Dengan kata lain, musik ditempatkan sebagai diacnostic

framing guna terwujudnya gerakan sosial. Pada sisi lain, musik dapat juga

sebagai prognostic framing. Dalam sebuah lagu, tidak jarang solusi dari

sebuah permasalahan juga diwacanakan. Hal ini tentu sangat penting, agar

proses pemahaman dan tujuan yang telah dilakukan tidak tumpul. Hal

yang terakhir ialah musik dapat juga sebagai motivational framing. Proses

penyadaran terhadap masalah yang ada, aktor yang disasar, dan adanya

solusi yang ditawarkan, kemudian menggerakkan massa untuk terjun

dalam melakukan perubahan ataupun menghambat sebuah perubahan.

Meskipun demikian, peran musik dalam gerakan sosial sangatlah

bergantung kepada musisi yang mewacanakan sebuah isu. Lagu-lagu

propaganda yang disampaikan kepada pendengar tidak akan ada artinya

ketika musisi sebagai aktor penggerak tidak mampu untuk

mengontrol/mengelola resources yang dimiliki. Hal ini diungkapkan oleh

Opp maupun Jenkins (dikutip Hidayat, 2012:122), di mana setiap gerakan

sosial membutuhkan sumber daya untuk bisa menjalankan aktivitas

kolektifnya. Adapun fungsi dari sumber daya tersebut adalah memobilisasi

pendukung, mengorganisasi sumber daya, yang—dalam level yang lebih

jauh—berdampak pada munculnya simpati elite-elite dan masyarakat

secara umum terhadap cita-cita gerakan. Oleh karena itu, musisi yang

menjadi pemercik api dalam lagu propaganda harus mampu memobilisi

pengikutnya dalam melakukan perubahan, menciptakan ide-ide baru (baik

dalam lirik lagu maupun tindakan/aksi perubahan), menghimpun dana

ataupun mengelola dana dalam usaha melakukan perubahan, dan

sebagainya. Hidayat (2012:122) menyebutkan bahwa pada dasarnya

sumber daya tadi terdiri dari dua aspek sekaligus. Pertama, mengenai

sumberdaya fisik, non-fisik, ataupun finansial yang dimiliki oleh sebuah

gerakan seperti bangunan, uang, pengetahuan, atau keahlian tertentu.

Sumber daya tersebut bisa dikontrol baik secara individual maupun

kolektif oleh kelompok. Kedua, mobilisasi merupakan suatu proses tak

terpisahkan yang para aktornya berusaha memanfaatkan sumber daya yang

mereka miliki untuk mencapai tujuan dari gerakan.

3. Navicula Sebagai Gerakan Sosial Baru

Gerakan Sosial Baru (GSB) muncul sebagai respon terhadap

peralihan bentuk-bentuk gerakan sosial kontemporer di negara-negara

Barat yang berkaitan dengan berkembangnya suatu dunia pasca-modern

atau pasca industrial (Pichardo, dikutip Suharko, 2006:8). Para ahli

melihat bahwa gerakan sosial di Barat memiliki watak tampilan yang

berubah dari gerakan sosial sebelumnya (gerakan sosial

lama/klasik/tradisional). Gerakan sosial tradisional cenderung memiliki

tujuan ekonomis-materialis sebagaimana tercermin dari gerakan kaum

buruh. Adapun GSB lebih berpusat pada tujuan-tujuan non-material. GSB

biasanya menekankan pada perubahan-perubahan dalam gaya hidup dan

kebudayaan daripada mendorong perubahan secera spesifik dalam

kebijakan publik atau perubahan ekonomi, sebagaimana tercermin dari

gerakan lingkungan, anti-perang, perdamian, feminisme, dan sejenisnya

(Nash dikutip Suharko, 2006:8-9).

Seiring dengan perkembangan waktu, GSB ternyata terjadi juga di

negara berkembang, meskipun latar dan konteks perkembangan

masyarakatnya berbeda (Suharko, 2006:9). Merujuk pada Pichardo

maupun Singh (dikutip Suharko, 2006:9) ciri menonjol yang membedakan

gerakan sosial lama dengan GSB sebagai berikut.

Pertama, ideologi dan tujuan. GSB menanggalkan orientasi

ideologi kuat yang melekat pada gerakan sosial lama, sebagaimana sering

terungkap dalam ungkapan „anti kapitalisme‟, „revolusi kelas‟, dan

„perjuangan kelas‟. Dengan penekanan pada isu-isu spesifik yang non-

materialis, GSB tampil sebagai perjuangan lintas kelas. Singh (dikutip

Suharko, 2006:10) juga menambahkan bahwa GSB adalah respon terhadap

hadir dan menguatnya dua institusi yang menerobos masuk hampir ke

dalam relung kehidupan warga, yakni pasar dan negara. Oleh karena itu,

GSB membangkitkan isu pertahanan diri komunitas dari ekspansi aparat

negara dan pasar yang makin meningkat (Suharko, 2006:9-10).

Kedua, taktik dan pengorganisasian. GSB umumnya tidak lagi

mengikuti pengorganisasian serikat buruh industi dan model politk

kepartaian. GSB lebih memilih saluran di luar politik normal, menerapkan

taktik yang menggangu, dan memobilisasi opini publik untuk

mendapatkan daya tawar politik. Para aktivis GSB juga cenderung

menggunakan demontsrasi secara dramatis dan direncanakan matang

sebelumnya, lengkap dengan kostum dan representasi simboliknya

(Suharko, 2006:10).

Ketiga, struktur. GSB berupaya membangun struktur yang

merefleksikan bentuk pemerintah representatif yang mereka inginkan.

GSB mengorganisasi diri mereka dalam gaya yang mengalir dan tidak

kaku untuk menghindari bahaya oligarkisasi. Mereka berupaya merotasi

kepemimpinan, melakukan pemungutan suara untuk semua isu, dan

memiliki organisasi ad hoc yang tidak permanen. Mereka juga

mengembangkan fomat yang tidak birokratis sambil berargumen bahwa

birokrasi modern telah membawa kepada kondisi dehumanisasi.

Singkatnya, mereka menyerukan dan menciptakan struktur yang lebih

responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan individu, yakni struktur yang

terbuka, terdesentralisasi, dan non-hirarkis (Suharko, 2006:11).

Keempat, partisipan atau aktor. Partsipan GSB melintasi berbagai

basis sosial, seperi gender, pendidikan, kelas. Artinya, mereka tidak

terkotak-kotakkan. Namun, ada kesan yang kuat bila partisan GSB adalah

kalangan kelas menengah baru, sebuah strata sosial yang muncul

belakangan yang bekerja di sektor-sektor ekonomi non-produktif

(baca:bukan ekonomi pabrikan). Mereka yang termasuk kelompok ini

umumnya tidak terikat pada motif-motif keuntungan korporasi dan tidak

tergantung pada dunia korporasi untuk kelangsungan hidup mereka.

Mereka umumnya bekerja di sektor-sektor yang bergantung pada belanja

negara, seperti kaum akademia, seniman, agen-agen pelayanan

kemanusiaan, dan mereka umumnya kaum terdidik (Pichardo, dikutip

Suharko, 2006:11-12)

Adapun aktor-aktor GSB sebagaimana dikemukakan oleh Offe

(Singh, dikutip Suharko, 2006:12) dicirikan secara jelas oleh penolakan

mereka terhadap basis identifikasi diri yang mapan, yang dalam bahasa

politik sering disebut „kiri‟ atau „kanan‟, „liberal‟ atau konservatif‟. Para

aktor GSB juga tidak dibatasi oleh gender, suku, umur, lokalitas, dan

sebagainya. Menurut Offe, aktor atau partisipan GSB berasal dari tiga

sektor: kelas menengah baru, unsur-unsur kelas menengah lama (petani,

pemilik toko, dan penghasil karya seni), dan orang-orang yang menempati

posisi pinggiran yang tidak terlibat dalam pasar kerja, seperti mahasiswa,

ibu rumah tangga, dan para pensiunan.

Dengan ciri-ciri tersebut, GSB menampakkan wajah yang plural.

Hal tersebut dapat diketahui dari bentuk-bentuk aksi GSB yang menapaki

banyak jalur, mencita-citakan banyak beragam tujuan, dan menyuarakan

beragam kepentingan. Medan atau area aksi GSB juga melintasi batas-

batas region, dari aras lokal hingga internasional, sehingga terbentuk

gerakan transnasional. Oleh karena itu, cara mobilisasi mereka juga

dilakukan bersifat global. Isu-isu yang menjadi kepedulian GSB melintasi

sekat-sekat bangsa dan masyarakat, bahkan melintasi dunia manusia

menuju dunia alami. Dalam hal ini, GSB menampakkan wajah trans-

manusia dengan mendukung kelestarian alam di mana manusia merupakan

salah satu bagiannya. Ini terpantul dari gerakan-gerakan anti nuklir,

lingkungan atau ekologi, perdamaian, dan sebagainya, yang

menghamparkan kebersamaan warga dari beragam nasionalitas,

kebudayaan, dan sistem politik (Singh, (dikutip Suharko, 2006:12).

Dalam konteks tujuan dari gerakan, Navicula bertujuan untuk

mempertahankan kelestarian alam dan berusaha untuk menghambat

kerusakan alam demi menjaga kehidupan yang berkelanjutan sesuai

dengan apa yang dikatakan Singh (2001:96) bahwa gerakan Sosial Baru

ditujukan untuk mempertahankan esensi dan memproteksi kondisi-kondisi

yang mendukung bagi kehidupan kemanusian yang lebih baik.

Dilihat dari isu-isu yang diangkat menurut Pichardo (1997)

gerakan sosial mengalami pergeseran dari isu-isu redistributif ke isu-isu

kualitas hidup dan pasca material. Jika pada gerakan sosial lama isu-isu

mengenai buruh, konflik antar kelas dan perebutan kekuasaan, maka pada

gerakan sosial baru isu-isu populer seperti feminism, antirasisme, dan

lingkungan. Navicula melakukan gerakan kebanyakan dengan mandiri dan

tidak berusaha mengumpulkan keuntungan. Navicula pun berusaha untuk

menyuarakan gerakan tentang lingkungan. Pelaku dari gerakan sosial lama

pun berbeda dengan gerakan sosial baru. Jika pada gerakan sosial lama

seperti yang dikemukakan Iwan Gardono Sujatmiko memfokuskan pada

isu yang berkaitan dengan materi dan biasanya terkait dengan satu

kelompok (misalnya, petani atau buruh).

Pelaku gerakan sosial lama berada dalam satu kelas sosial

sedangkan pelaku gerakan sosial baru berada dalam lintas kelas sosial

seperti yang dikemukakan Singh (2001: 98-105) partisipan di dalam

gerakan ini (GSB) berasal dari „kelas menengah baru‟ kaum terdidik,

sering kali bekerjad di sektor-sektor nonproduksi, seperti akademisi,

seniman, pekerja sosial kemanusiaan, LSM, dan kaum yang relative

terdidik lainnya. Navicula berusaha mengajak penggemar Navicula yang

kebanyakan berusia muda untuk peduli terhadap lingkungan. Latar

belakang dari penggemar bukan hanya dalam satu level kelas sosial dan

dari satu latar belakang karena yang menyatukan penggemar musik

dengan musisi adalah kecintaan pada musik.

Pada teori gerakan sosial Mirsel, Navicula dapat digolongkan

dalam gerakan sosial periode ketiga. Pada periode ketiga gerakan sosial

tidak lagi berbasis pada satu kelas sosial tertentu. Penggemar Navicula

merupakan kumpulan dari berbagai kelas sosial dengan pengikat adalah

kesukaan pada musik Navicula. Menurut Mirsel, gerakan periode ketiga

atau gerakan irasional, pada periode ini gerakan sosial mulai terorganisir.

Masuknya para aktor sosial dalam gerakan membuat gerakan pada periode

ini memiliki tujuan yang jelas. Robert Mirsel mengemukakan bahwa

Penekanan diberikan lebih pada gerakan sebagai organisasi yang memiliki

strategi yang rasional untuk mengubah kondisi-kondisi struktural tertentu

(2004;117). Gerakan structural seperti gerakan buruh tumbuh dengan

hadirnya serikat-serikat sehingga mampu memobilisasi massa. Mobilisasi

massa merupakan aktivitas utama untuk dijadikan alat dalam gerakan

sosial.

Dalam gerakan ini, tidak lagi organisasi-organisasi dan mobilisasi

massa oleh aktor sosial untuk menantang secara langsung menuju

perubahan. Menurut Mirsel (2004: 119) gerakan-gerakan kemasyarakatan

mesti dimengerti tidak hanya dalam kaitan dengan perilaku organisator

tetapi juga dalam kaitan dengan system kepercayaan, ideologi, dan

wacana-wacana yang berkembang. Navicula berusaha menanam benih

pemikiran untuk melakukan gerakan pelestarian lingkungan dengan

memberikan wacana-wacana terkait isu lingkungan.

Gerakan sosial yang dilakukan Navicula membutuhkan waktu yang

panjang untuk melihat hasilnya. Sesuai dengan gerakan sosial periode

ketiga, Robert Mirsel berpendapat bahwa untuk mengidentifikasi “sukses”

atau “gagal”-nya sebuah gerakan kemasyarakatan mesti juga mencakup

pembahasan keberlangsunganya dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Navicula menyebarkan isu lingkungan bukan hanya melalui lagu, secara

konsisten Navicula berusaha mendorong isu dalam lagu melalui

propaganda di media sosial seperti twitter, facebook dan setiap penampilan

langsung.

Berdasarkan keseluruhan penjelasan sebelumnya dan jika melihat

sepak terjang Navicula selama ini, maka apa yang dilakukan Navicula

termasuk dalam gerakan sosial baru. Dalam konteks tujuan dari gerakan,

Navicula bertujuan untuk mempertahankan kelestarian alam dan berusaha

untuk menghambat kerusakan alam demi menjaga kehidupan yang

berkelanjutan. Navicula telah melakukan gerakan kebanyakan dengan

mandiri dan tidak berusaha mengumpulkan keuntungan. Navicula

menyebarkan isu lingkungan bukan hanya melalui lagu, secara konsisten

Navicula berusaha mendorong isu dalam lagu melalui propaganda di

media sosial seperti twitter, facebook, dan setiap penampilan langsung.

Artinya, Navicula telah berusaha menanam benih pemikiran untuk

melakukan gerakan pelestarian lingkungan dengan memberikan wacana-

wacana terkait isu lingkungan. Navicula sebagai pemicu dari sebuah

gerakan sosial juga tidak membuat sekat antara satu kelompok dengan

kelompok lainnya dalam upaya menyelamatkan lingkungan. Navicula

justru berusaha mengajak penggemarnya yang lintas kelompok untuk

peduli terhadap lingkungan. Latar belakang dari penggemar bukan hanya

dalam satu level kelas sosial dan dari satu latar belakang karena yang

menyatukan penggemar musik dengan musisi adalah kecintaan pada

musik.