Upload
vocong
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hiperkolesterolemia atau kadar kolesterol tinggi merupakan permasalahan
pada masyarakat. Penyebab hiperkolesterolemia antara lain diet tinggi kolesterol
atau tinggi asam lemak jenuh, peningkatan bobot badan, proses penuaan, faktor
genetik, dan penurunan kadar estrogen pada wanita yang telah menopause (Grundy,
2006). Prevalensi hiperkolesterolemia di Indonesia pada kelompok usia 25 – 34
tahun adalah 9,3% dan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia (Sandjaja,
2004).
Hiperkolesterolemia merupakan salah satu faktor risiko mayor penyakit
jantung koroner (Debra, 2004). World Health Organization (WHO)
memperkirakan hiperkolesterolemia berkaitan dengan lebih dari separuh kejadian
penyakit jantung koroner dan lebih dari 4 juta kematian tiap tahunnya (Rader,
2003). Oleh sebab itu, perlu penanganan yang serius untuk mengatasi masalah
hiperkolesterolemia.
Angkak dan kayu manis sendiri merupakan bahan – bahan yang sudah diteliti
dapat menurunkan kadar kolesterol. Oleh karena itu, LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) telah meneliti dan berusaha menghasilkan suatu produk
dari angkak dan kayu manis untuk mengatasi masalah hiperkolesterolemia, tetapi
produk ini masih berupa sediaan uji yang harus diteliti keefektifan dan
toksisitasnya.
2
Angkak dipercaya mampu meningkatkan trombosit pada penderita demam
berdarah dengue, obat asma, diare, disentri, mabuk laut, luka memar, dan anti
ngompol, serta dapat menurunkan kadar kolesterol (Triana dan Nurhidayat, 2006;
Danuri, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kasim et al. (2006)
menunjukkan bahwa pemberian angkak mampu menekan kenaikan kadar kolesterol
total darah tikus sebesar 49,28%.
Kayu manis juga sudah banyak digunakan oleh masyarakat luas, terutama
sebagai bumbu masakan. Selain itu, kayu manis juga dapat digunakan sebagai
penurun kolesterol. Menurut Azima (2004), ekstrak kulit batang tanaman kayu
manis efektif untuk menghambat pembentukan LDL di dalam darah dan terbukti
dapat menurunkan trigliserida.
Produk yang akan diteliti ini adalah sediaan penurun kolesterol LIPI 2013 yang
berisi kombinasi angkak dan kayu manis. Sediaan ini harus lulus uji praklinik
terlebih dahulu sebelum bisa dilakukan uji klinik dan digunakan pada masyarakat.
Uji praklinik yang dilakukan adalah uji toksisitas akut, yaitu uji ketoksikan tidak
khas yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek toksik suatu senyawa
pada hewan uji (Donatus, 2005). Pada pengujian toksisitas akut ini sediaan uji akan
diberikan secara oral.
Dua senyawa yang masing – masing tidak toksik ketika digabungkan atau
dikombinasi dapat menjadi toksik, begitu juga sebaliknya. Contohnya adalah
tanaman black cohosh (Cimicifuga racemosa) dan red clover (Trifolium pratense).
Secara tunggal, ekstrak black cohosh dikatakan memiliki potensi hepatotoksisitas
pada penilitian in vivo menggunakan mencit dan tikus (Firenzuoli et al., 2011).
3
Selain itu, LD50 biochanin A yang terkandung dan biasa diisolasi dari tanaman red
clover tergolong rendah, yaitu 63 mg/kgBB (Yun et al., 1991). Namun, ketika
keduanya dikombinasi menjadi sebuah suplemen kesehatan, suplemen tersebut
dikatakan aman lewat uji klinik pemakaiannya selama 12 bulan (Geller et al., 2009).
Dalam hal ini angkak dan kayu manis secara tunggal sudah diteliti dan
dinyatakan tidak toksik. Namun, ketika keduanya digabung, kemungkinan akan
muncul interaksi dan efek toksik yang tidak diketahui. Oleh sebab itu, uji toksisitas
akut oral untuk sediaan penurun kolesterol LIPI 2013 perlu dilakukan.
Pengujian toksisitas akut oral dilaksanakan sesuai prosedur OECD Guideline
423 pada tikus betina galur SD. Metode tersebut merupakan metode yang paling
disarankan untuk uji toksisitas akut oral bagi suatu senyawa baru (OECD, 2001).
Uji toksisitas akut dilakukan untuk mengetahui potensi ketoksikan (LD50), yakni
dosis yang dapat menyebabkan kematian pada separuh hewan uji, mengetahui
gejala toksik yang muncul akibat perlakuan, dan untuk mengetahui spektrum efek
toksiknya pada organ – organ hewan uji melalui pemeriksaan histopatologi.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Seberapa besar potensi ketoksikan akut oral (LD50 cut off) sediaan penurun
kolesterol LIPI 2013 pada tikus betina galur SD?
2. Apa sajakah gejala – gejala toksik yang muncul akibat pemberian sediaan
penurun kolesterol LIPI 2013?
4
3. Bagaimana spektrum efek toksik sediaan penurun kolesterol LIPI 2013 pada
organ – organ vital hewan uji melalui pemeriksaan histopatologi?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui potensi ketoksikan akut oral (LD50 cut off) sediaan penurun
kolesterol LIPI 2013 pada tikus betina galur SD.
2. Mengetahui gejala – gejala toksik yang muncul akibat pemberian sediaan
penurun kolesterol LIPI 2013.
3. Mengetahui spektrum efek toksik sediaan penurun kolesterol LIPI 2013 pada
organ – organ vital hewan uji melalui pemeriksaan histopatologi
D. Tinjauan Pustaka
1. Angkak
Angkak (gambar 1) merupakan hasil fermentasi beras oleh Monascus
purpureus.
Gambar 1. Angkak (Astawan, 2008)
Angkak banyak digunakan sebagai pewarna alami untuk minuman dan makanan,
antara lain anggur merah, ikan, keju, dan daging (Ma et al., 2000). Selain itu,
angkak juga banyak digunakan sebagai obat tradisional untuk berbagai penyakit,
5
antara lain menaikkan trombosit pada penderita demam berdarah dengue, asma,
kelainan urinasi, diare, berbagai penyakit infeksi, dan kolesterol (Triana dan
Nurhidayat, 2006 ; Danuri, 2009).
Monascus purpureus (gambar 2) adalah kapang utama pada angkak. Berikut
ini adalah klasifikasi dari kapang Monascus purpureus:
Kingdom : Fungi
Divisio : Amastigomycotina
Subdivisio : Ascomycotina
Kelas : Ascomycetes
Subkelas : Plectomycetidae
Ordo : Eurotiales
Famili : Trichocomaceae
Genus : Monascus
Spesies : Monascus purpureus
(Wanti, 2008)
Gambar 2. Monascus purpureus (Anonim, 2014)
Menurut Ma et al. (2000), komponen pigmen yang dihasilkan oleh kapang adalah
rubropunktatin (merah), monaskorubin (merah), monaskin (kuning), ankaflavin
6
(kuning), rubropunktamin (ungu), dan monaskorubramin (ungu). Intensitas pigmen
merah yang dihasilkan kapang Monascus purpureus tergantung pada nutrisi dan
kondisi lingkungannya. Monascus purpureus akan tumbuh dengan baik pada suhu
±30oC dan pH 4 – 8 (Timotius, 2004). Menurut Tisnadjaja et al. (2010), larutan
angkak dalam pelarut akuades memiliki pH 4,7 dan dalam etanol 70% memiliki pH
5,6. Angkak stabil dalam suhu kamar (24o – 27oC), 30oC, dan 40oC.
Monascus purpureus yang digunakan untuk membuat angkak secara alami
memproduksi suatu senyawa monacolin K sebagai hasil metabolismenya.
Monacolin K memiliki kesamaan struktur dan fungsi dengan lovastatin. Lovastatin
merupakan senyawa yang biasa diproduksi oleh Aspergillus terreus dan digunakan
sebagai penurun kolesterol (Tisnadjaja, 2007). Monascus purpureus merupakan
mikroorganisme yang paling umum digunakan dalam proses fermentasi untuk
menghasilkan senyawa monacolin K dan senyawa monacolin lainnya.
Lovastatin berperan dalam mengatur kadar kolesterol darah melalui
mekanisme penghambatan kinerja dari enzim HMG-CoA reduktase (Hydroxy-
Methyl-Glutaryl Coenzyme A). Enzim HMG-CoA reduktase merupakan salah satu
enzim yang berperan dalam anabolisme kolesterol, yaitu pada tahap pengubahan
HMG-CoA menjadi asam mevalonat (Tisnadjaja, 2007). Penghambatan HMG-
CoA reduktase akan mencegah pembentukan mevalonat dan kolesterol. Senyawa
ini merupakan salah satu senyawa yang bersifat kompetitor kuat terhadap HMG-
CoA reduktase dalam mengontrol jalur biosintesis kolesterol (Triana dan
Nurhidayat, 2006).
7
Selain monacolin K, angkak mengandung serat, magnesium, kalsium, dan asam
lemak tak jenuh, seperti asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Angkak juga
memiliki komponen sterol, seperti betasitosterol, campesterol, stigmasterol, dan
sapogenin, serta isoflavon (Heber et al., 1999).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan pengaruh lovastatin
untuk pengobatan hiperkolesterolemia. Menurut Heber et al. (1999), lovastatin
dapat menurunkan kadar kolesterol darah sebesar 11 – 32% dan kadar trigliserida
sebesar 12 – 19%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kasim et al. (2006)
menunjukkan bahwa pemberian angkak yang mengandung lovastatin mampu
menekan kenaikan kadar kolesterol total darah tikus sebesar 49,28%.
Penelitian toksisitas angkak sebelumnya yang dilakukan mengunakan metode
injeksi peritoneal tikus putih menunjukkan bahwa angkak mempunyai nilai Lethal
Dose50 (LD50) sebesar 7 gram/kgBB, serta dalam uji keracunan subakut tidak
menimbulkan gejala yang abnormal pada organ tubuhnya. Selain itu, konsumsi
angkak dengan dosis 18 gram/kgBB secara oral tidak menyebabkan kematian dan
keracunan (Danuri, 2009).
Penelitian mengenai toksisitas akut oral angkak pada tikus SD dilakukan
dengan memberikan angkak dosis tunggal pada 2,5 gram/kgBB, 5 gram/kgBB, 10
gram mg/kgBB, dan 15 gram/kgBB. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
aktivitas enzim ALT, AST, serta kadar urea darah pada seluruh kelompok
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan sebelum diberikan
perlakuan. Organ hati mengalami kongesti, degenerasi lemak, dan nekrosa,
8
sedangkan organ ginjal mengalami degenerasi protein dan nekrosa pada epitel
tubulusnya (Pratiwi, 2006).
2. Kayu manis
Kayu manis tumbuh baik pada tanah yang subur, gembur, agak berpasir, dan
kaya bahan organik pada ketinggian 500 – 1500 meter di atas permukaan laut.
Pohonnya tinggi bisa mencapai 10 – 15 meter, batang berkayu, tegak, bercabang,
dan berwarna hijau kecokelatan. Daun tunggal, lanset, ujung dan pangkal runcing,
tepi rata, panjang 4 – 14 cm, lebar 1 – 6 cm, pertulangan melengkung, warna daun
muda merah pucat dan setelah tua berwarna hijau. Bunga majemuk, bentuk malai,
tumbuh di ketiak daun. Buah muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna hitam,
serta memiliki akar tunggang. Kayu manis biasa dimanfaatkan kulit batangnya
(gambar 3). Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan, tanaman kayu
manis termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Laurales
Famili : Lauraceae
Genus : Cinnamomum
Spesies : Cinnamomum burmannii
(BPOM RI, 2008)
9
Kandungan fitokimia dalam ekstrak kayu manis antara lain tanin (polifenol),
alkaloid, steroid, flavonoid, dan saponin. Senyawa tanin (polifenol) dan flavonoid
dilaporkan dapat berfungsi sebagai antioksidan (Azima et al., 2004). Saponin pada
bahan pangan diduga dapat berfungsi dalam menurunkan kolesterol (King, 2002
cit. Azima et al., 2004).
Gambar 3. Kulit batang tanaman kayu manis (Troiani, 2008)
Azima dalam penelitiannya tahun 2004 menunjukkan bahwa ekstrak kulit
batang pohon kayu manis efektif untuk menghambat pembentukan LDL di dalam
darah. Penelitian dilakukan dengan pemberian ekstrak kayu manis sebanyak 100 –
200 mg/kgBB pada kelinci percobaan selama 12 minggu. Pada akhir percobaan
ditemukan kolesterol total kelinci turun dari 443,3 mg/dL menjadi 139,1 mg/dL,
kadar LDL turun dari 268,5 mg/dL menjadi 95,8 mg/dL, serta trigliserida turun dari
122,2 mg/dL menjadi 61,2 mg/dL. Sebaliknya, HDL naik dari 32,4 mg/dL menjadi
50,0 mg/dL.
Mekanisme penurunan kolesterol ini belum diketahui secara pasti, tetapi
diduga hampir sama dengan senyawa – senyawa yang mengandung polifenol. Hal
ini berkaitan dengan kemampuan untuk menangkal radikal bebas sehingga efektif
dalam menghambat oksidasi, terutama pada senyawa lipida (Azima et al., 2004).
10
Safithri et al. (2012) dalam jurnalnya mengenai uji toksisitas minuman yang
mengandung Piper crocatum dan Cinnamomum burmannii (kayu manis)
mengatakan bahwa tidak ada gejala toksik secara fisik pada perlakuan dengan dosis
mencapai 1.890 mg/kgBB pada tikus. Dari hasil pemeriksaan darah serta
histopatologi pada hati dan ginjal tidak ditemukan gejala hematotoksisitas,
hepatotoksisitas, maupun nefrotoksisitas.
Ahmad et al. (2013) dalam penelitiannya mengenai toksisitas akut (14 hari)
dan subkronis (28 hari) ekstrak metanol Cinnamomum burmannii pada tikus galur
SD mengatakan bahwa tidak ditemukan gejala toksik pada uji toksisitas akut dan
subkronis. Ekstrak metanol Cinnamomum burmannii yang diberikan secara oral
pada dosis 500, 1.000, dan 2.000 mg/kgBB tidak menimbulkan tanda – tanda toksik
yang tampak maupun kematian.
Selain itu, tidak ada perbedaan signifikan pada kondisi umum, pertumbuhan,
bobot organ, parameter hematologi, parameter biokimia, dan pemeriksaan
histopatologi organ dari kelompok kontrol maupun perlakuan, serta tidak
ditemukan adanya kelainan. LD50 ekstrak metanol Cinnamomum burmannii
ditemukan lebih dari 2.000 mg/kgBB. No Observed Adverse Effect Level (NOAEL)
pada penelitian selama 28 hari ditemukan sebesar 2.000 mg/kgBB/hari (Ahmad et
al., 2013).
3. Toksisitas dan toksikologi
Istilah toksisitas digunakan untuk menunjukkan suatu sifat relatif dari zat kimia
yang menimbulkan efek berbahaya atas mekanisme biologis tertentu (Loomis,
11
1978). Menurut Hodgson (2004), toksisitas merupakan serangkaian kejadian yang
dimulai dari pemberian zat toksik, dilanjutkan dengan distribusi, metabolisme
hingga terjadi interaksi antara zat toksik tersebut dengan makromolekul seluler
(biasanya berupa DNA atau protein), dan berakhir dengan kemunculan tanda –
tanda efek toksik.
Secara sederhana, toksikologi diartikan sebagai studi tentang xenobiotika, ilmu
tentang racun, dan interaksi antara agen eksogen dengan sistem biologis. Pada
perkembangannya toksikologi didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan
racun atau sesuatu yang menimbulkan efek berbahaya jika dipaparkan kepada
makhluk hidup baik secara sengaja maupun tidak sengaja (Hodgson, 2004).
Untuk mempelajari toksikologi diperlukan pemahaman tentang 4 asas utama
toksikologi yang diperoleh berdasarkan alur peristiwa timbulnya efek toksik.
Keempat asas tersebut adalah kondisi efek toksik (meliputi kondisi pemejanan dan
kondisi makhluk hidup), mekanisme aksi, wujud, dan sifat efek toksik (Donatus,
2005).
a. Kondisi efek toksik. Kondisi efek toksik suatu senyawa adalah berbagai
keadaan yang dapat mempengaruhi efektivitas absorbsi, distribusi, dan eliminasi
senyawa tersebut dalam tubuh, serta akan menentukan keberadaan zat kimia
tersebut secara utuh sebagai zat induk atau sebagai metabolit aktifnya dalam sel
sasaran. Adapun yang termasuk dalam kondisi efek toksik adalah kondisi
pemejanan dan kondisi makhluk hidup yang terpejani (Donatus, 2005).
Kondisi pemejanan adalah jenis, jalur, lama, kekerapan, saat, dan dosis
pemejanan. Kondisi makhluk hidup adalah keadaan fisiologi dan patologi yang
12
dapat mempengaruhi ketersediaan zat beracun dalam sel sasaran serta efektivitas
antaraksi antara zat beracun dengan sel sasaran (Donatus, 2005).
b. Mekanisme efek toksik. Mekanisme efek toksik dapat dibagi menjadi 3,
yaitu mekanisme aksi berdasarkan sifat dan tempat kejadian, antaraksi antara racun
dan tempat aksinya, dan penumpukan racun dalam gudang penyimpanan tubuh
(Donatus, 2005).
1) Mekanisme aksi berdasarkan sifat dan tempat kejadian. Mekanisme dapat
dibagi menjadi 2, yaitu mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme
luka intrasel adalah luka sel yang diawali oleh aksi racun pada tempat
aksinya di dalam sel, sering disebut mekanisme langsung atau primer
(Donatus, 2005). Respon toksik yang timbul merupakan wujud dari
perubahan biokimia, fungsional, atau struktural (Glaister, 1986).
Mekanisme luka ekstrasel terjadi secara tidak langsung. Racun beraksi di
luar lingkungan sel. Mekanisme ini sering disebut mekanisme tak
langsung atau sekunder (Donatus, 2005).
2) Mekanisme aksi berdasarkan antaraksi antara racun dan tempat aksinya.
Tempat sasaran molekuler yang terlibat dalam induksi efek toksik di
antaranya adalah sisi aktif enzim atau reseptor pada molekul. Mekanisme
aksi ini dibagi menjadi 2, yaitu yang reversible dan irreversible.
3) Mekanisme aksi berdasarkan penumpukan racun dalam gudang
penyimpanan tubuh. Senyawa yang sangat lipofil di dalam tubuh akan
disimpan dalam gudang penyimpanan lemak dan dalam penyimpanan
akan bersifat tak aktif. Namun, senyawa tersebut akhirnya terlepas ke
13
sirkulasi sistemik dan meningkat kadarnya. Bila kadar tersebut melebihi
harga KTM nya, maka akan timbul efek toksik (Donatus, 2005).
c. Wujud efek toksik. Wujud efek toksik dapat berupa perubahan biokimia,
fungsional, dan struktural:
1) Wujud efek toksik berdasarkan perubahan biokimia. Jenis wujud efek
toksik ini berkaitan dengan respon atau kekacauan biokimia terhadap luka
sel akibat antaraksi antara racun dan tempat aksi yang terbalikkan
(Glaister, 1986).
2) Wujud efek toksik berdasarkan perubahan fungsional. Jenis wujud efek
toksik ini berkaitan dengan antaraksi racun yang terbalikkan dengan
reseptor atau tempat aktif enzim sehingga mempengaruhi fungsi
homeostatis tertentu (Donatus, 2005).
3) Wujud efek toksik berdasarkan perubahan struktural. Termasuk dalam
jenis ini di antaranya perlemakan (degenerasi melemak), nekrosis,
karsinogenesis, mutagenesis, dan teratogenesis (Donatus, 2005).
d. Sifat efek toksik. Menurut Loomis (1978), secara umum terdapat 2 jenis sifat
efek toksik, yaitu reversible (terbalikkan) dan irreversible (tak terbalikkan). Ciri
khas sifat efek toksik yang reversible adalah:
1) Jika kadar zat beracun pada tempat aksi atau reseptornya telah habis, maka
reseptor atau tempat aksi tersebut akan kembali ke keadaan semula.
2) Efek toksik yang ditimbulkan akan cepat kembali normal.
3) Toksisitas racun bergantung pada dosis serta kecepatan absorbsi,
distribusi, dan eliminasi zat beracun.
14
Ciri khas dari efek toksik yang bersifat irreversible atau tak terbalikkan adalah:
1) Kerusakan bersifat menetap (permanen).
2) Pemberian berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sama sehingga
memungkinkan terjadinya akumulasi efek toksik.
3) Pemberian dosis kecil sama efektif dengan yang ditimbulkan oleh
pemberian dosis besar dalam jangka waktu pendek.
4. Uji toksisitas
Uji toksisitas atau uji toksikologi sangat penting dalam pengembangan suatu
obat baru untuk memastikan keamanannya bagi manusia. Uji toksisitas inilah yang
merupakan salah satu bagian dari uji praklinik yang dilakukan pada hewan uji untuk
tes keamanan suatu obat baru yang akan dikembangkan. Penelitian toksikologi
menggunakan hewan uji ini merupakan sumber data utama bagi evaluasi
toksikologi karena mengungkapkan serangkaian efek akibat pemberian zat toksik
pada berbagai peringkat dosis dengan waktu pemberian bervariasi serta
menunjukkan organ sasaran, sistem yang terpengaruh, atau toksisitas khusus yang
muncul (Lu, 1995).
Tujuan uji toksisitas secara umum adalah menentukan dosis suatu sediaan uji
yang dapat menimbulkan kematian atau gejala toksik pada organ atau jaringan,
mengidentifikasi hubungan kausatif antara dosis yang diberikan dengan terjadinya
perubahan fisiologis dan morfologi suatu organisme, serta melakukan monitoring
terkait variasi hewan uji dengan responnya terhadap sediaan uji (Donatus, 2005).
15
Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi hewan uji saat uji toksikologi tertulis
dalam tabel I.
Tabel I. Faktor – faktor yang mempengaruhi hewan uji (Hurni, 1970)
Aspek Faktor Jenis
Genotip
Status Fisiologi Umur, kematangan, daur estrus, bunting, laktasi
Lingkungan
Musim, suhu, kelembaban, tekanan barometrik,
kandungan udara, sirkulasi udara, muatan listrik,
intensitas cahaya, spektrum cahaya, daur cahaya,
makanan (komposisi, kuantitas, cara pemberian),
kandang (ukuran, bahan, bentuk), alas (sumber,
kuantitas, kekerapan, penggantian), penanganan
(kontak fisik, kegaduhan personel)
Kesehatan Defisiensi, kekebalan spontan, dan kekebalan
buatan
Fenotip Praperlakuan Pemindahan, pengelompokkan ulang, adaptasi,
recovery
Dramatip Prauji dan lain – lain
Pada dasarnya uji toksikologi dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu uji
ketoksikan khas dan uji ketoksikan tidak khas. Uji ketoksikan tidak khas adalah uji
toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek
toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk dalam golongan
uji ketoksikan tidak khas ini adalah uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis
(Loomis, 1978). Uji toksisitas akut adalah uji toksisitas yang dirancang untuk
mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi oleh hewan
uji yang hasilnya disesuaikan untuk manusia. Pengamatan dilakukan selama 24
jam, lalu diteruskan selama 7 – 14 hari. Uji toksisitas subkronis adalah uji toksisitas
senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu.
Pengamatan dilakukan dengan 3 dosis selama 4 minggu – 3 bulan dan dengan 2
spesies yang berbeda. Uji toksisitas kronis menggunakan hewan rodent dan
nirodent selama 6 bulan atau lebih. Perbedaan uji toksisitas kronis dengan
16
subkronis terletak pada lamanya pemberian sediaan uji, masa pengamatan dan
pemeriksaannya, serta tujuannya. Uji toksisitas kronis diperlukan jika nantinya obat
akan digunakan dalam waktu panjang (Priyanto, 2009).
Uji ketoksikan khas bertujuan mengevaluasi secara rinci efek yang khas dari
suatu zat beracun pada aneka ragam hewan uji. Termasuk dalam uji toksisitas khas
adalah uji potensiasi, uji karsinogenesis, uji mutagenesis, uji teratogenik, uji
reproduksi, uji kulit dan mata, serta uji perilaku (Donatus, 2005).
5. Uji toksisitas akut
Uji toksisitas akut atau uji ketoksikan akut merupakan uji yang dirancang untuk
menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu singkat
setelah pemejanannya dalam dosis tertentu (Donatus, 2005). Uji ini dilakukan
dengan cara memberikan dosis tunggal senyawa uji pada hewan uji. Dosis yang
dianjurkan paling tidak 4 peringkat dosis, berkisar dari dosis terendah yang tidak
atau hampir tidak menyebabkan kematian hewan uji sampai dengan dosis tertinggi
yang menyebabkan kematian pada seluruh atau hampir seluruh hewan uji. Senyawa
uji diberikan melalui jalur yang akan digunakan oleh manusia atau jalur yang
memungkinkan manusia terpejani dengan senyawa itu. Biasanya pengamatan
dilakukan selama 24 jam, lalu diteruskan sampai 7 – 14 hari. Pengamatan yang
dilakukan meliputi gejala – gejala klinis, jumlah hewan yang mati, dan
histopatologi organ (Loomis, 1978).
Data kuantitatif yang diperoleh dari uji toksisitas akut adalah LD50, sedangkan
data kualitatifnya berupa penampakan klinis dan morfologis efek toksik senyawa
17
uji. LD50 adalah dosis senyawa uji yang dapat menimbulkan kematian pada separuh
atau lebih dari separuh jumlah hewan uji. Data ini dapat digunakan untuk
memperkirakan potensi ketoksikan akut senyawa relatif terhadap senyawa lain.
Selain itu, juga dapat digunakan untuk memperkirakan dosis uji toksikologi lainnya
(Loomis, 1978; Donatus, 2005).
6. Metode uji toksisitas akut oral OECD Guideline 423
Guideline OECD untuk uji senyawa kimia merupakan salah satu metode yang
menjadi acuan untuk uji toksisitas suatu senyawa. Ada beberapa jenis guideline
OECD, salah satunya adalah OECD Guideline 423 untuk uji toksisitas akut oral.
Toksisitas akut oral adalah efek – efek samping yang muncul karena pemberian dari
dosis tunggal suatu senyawa atau dosis berulang suatu senyawa yang diberikan
dalam kurun waktu 24 jam secara oral (OECD, 2001). Metode atau prosedur uji
toksisitas akut oral pada OECD Guideline 423 adalah prosedur yang dilakukan
secara bertahap dengan menggunakan 3 hewan uji pada setiap step. Bergantung
pada tingkat kematian dan kesakitan dari hewan uji, 2 – 4 step mungkin diperlukan
dalam menentukan toksisitas akut suatu senyawa (OECD, 2001).
a. Konsiderasi awal. Senyawa yang menyebabkan luka tertentu, luka yang
berbekas jelas, korosif, dan menyebabkan iritasi tidak boleh diberikan. Hewan –
hewan uji yang sekarat, menunjukkan kesakitan yang luar biasa, atau menunjukkan
tanda penderitaan dan menahan stress harus dikorbankan dengan cara yang
manusiawi. Metode ini pada prinsipnya tidak dapat memberikan hasil yang benar –
benar presisi mengenai data LD50 suatu senyawa, tetapi dapat mendeterminasikan
18
rentang dosis atau exposure yang dapat menimbulkan kematian hewan uji dalam
jumlah banyak atau mayor (OECD, 2001).
b. Prinsip utama uji. Prinsip dasar dari pengujian ini adalah prosedur bertahap
dengan menggunakan jumlah hewan uji minimal pada tiap stepnya. Senyawa uji
akan diberikan secara oral dengan dosis tertentu pada 1 kelompok hewan uji. Setiap
step menggunakan 3 hewan uji dengan jenis kelamin sama. Ada tidaknya kematian
pada hewan uji pada satu dosis atau satu step tertentu akan menentukan langkah
selanjutnya:
1) Tidak perlu dilakukan pengujian lebih lanjut.
2) Perlakuan pada 3 hewan uji tambahan dengan dosis sama.
3) Perlakuan pada 3 hewan uji tambahan dengan dosis yang lebih tinggi atau
dosis yang lebih rendah.
Metode ini akan dapat mengklasifikasikan dan menentukan LD50 cut off, yaitu
rentang dosis senyawa uji yang dapat menyebabkan kematian pada separuh atau
lebih dari separuh jumlah hewan uji (OECD, 2001).
c. Deskripsi metode. Hewan uji rodent yang biasa digunakan adalah tikus
walaupun spesies rodent lain bisa digunakan. Biasanya dalam metode ini yang
direkomendasikan adalah jenis kelamin betina. Hal ini disebabkan betina memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi terhadap ketoksikan daripada jantan sehingga dengan
dosis yang sama memungkinkan gejala – gejala toksik secara fisik sudah tampak
pada hewan betina, tetapi belum tampak pada hewan jantan. Digunakan hewan yang
sudah dewasa dan sehat berumur 8 – 12 minggu dan bobotnya kurang lebih 200
gram (OECD, 2001).
19
Suhu dari laboratorium seharusnya ±25oC. Kelembaban relatif ruangan
sebaiknya 70% (±10%). Penerangan dan cahaya pun harus diatur sehingga tersedia
12 jam terang dan 12 jam gelap. Hewan uji dipilih secara random, dikelompokkan
menurut dosis, dan sebaiknya diaklimatisasikan dengan kondisi laboratorium
selama 3 – 5 hari (OECD, 2001).
Dosis yang diberikan pada hewan uji sebisa mungkin bukanlah dosis maksimal,
begitu juga dengan volume pemberian senyawa uji. Volume maksimal pemberian
senyawa uji tergantung dari besarnya hewan uji. Pada rodent volume pemberian
tidak boleh melebihi 1 mL/100 gram BB. Senyawa uji harus dibuat baru dan fresh
sebelum pemberian agar stabilitasnya tetap terjaga (OECD, 2001).
d. Prosedur. Senyawa uji diberikan dalam dosis tunggal secara oral. Jika dalam
situasi tertentu dosis tunggal tidak dapat diberikan, senyawa uji dapat diberikan
secara berulang dalam dosis yang lebih kecil dengan interval waktu tertentu, tetapi
harus kurang dari 24 jam.
Hewan uji harus dipuasakan selama beberapa saat sebelum diberi perlakuan.
Dipuasakan berarti tidak diberi makanan, tetapi tetap diberi minum. Jika hewan uji
adalah tikus, maka harus dipuasakan dalam waktu semalam sebelum perlakuan.
Jika hewan uji adalah mencit, maka harus dipuasakan dalam jangka waktu 3 – 4
jam sebelum perlakuan. Hewan uji harus ditimbang dan dicatat bobot tubuhnya
sebelum senyawa uji diberikan. Setelah diberi perlakuan hewan uji tetap harus
dipuasakan selama 3 – 4 jam pada tikus dan 1 – 2 jam pada mencit (OECD, 2001).
Tiga ekor hewan digunakan pada setiap step dosis. Level dosis yang digunakan
sebagai dosis awal dapat dipilih dari 4 level yang telah ditetapkan, yaitu 5, 50, 300,
20
dan 2.000 mg/kgBB. Ketika ada data valid yang dapat memberikan informasi
bahwa kematian hewan uji tidak akan terjadi pada dosis tertinggi (2.000 mg/kgBB),
maka perlu dilakukan limit test. Ketika tidak ada informasi yang memadai
mengenai senyawa uji dan ketoksikannya, dosis yang direkomendasikan sebagai
dosis awal adalah 300 mg/kgBB. Interval waktu perlakuan antara satu kelompok
hewan uji dengan kelompok yang lain ditentukan berdasarkan onset, durasi, dan
keparahan dari gejala toksik yang muncul. Perlakuan pada hewan uji dosis
selanjutnya harus dilakukan setelah mendapat kepastian bahwa hewan uji pada
perlakuan sebelumnya tidak mati (OECD, 2001).
Limit test digunakan pada situasi di mana terdapat informasi bahwa senyawa
uji yang digunakan dicurigai tidak toksik atau baru akan memperlihatkan gejala –
gejala toksik pada dosis di atas dosis yang biasa digunakan. Limit test pada dosis
5.000 mg/kgBB dapat dilakukan dengan 3 hewan uji. Apabila dengan dosis ini
terjadi kematian hewan uji, maka diperlukan pengujian lebih lanjut dengan dosis
yang lebih rendah (OECD, 2001).
e. Observasi dan pengamatan. Hewan uji diamati secara individual setelah
pemberian sediaan uji setidaknya pada 30 menit pertama, secara periodikal pada 4
jam pertama, dan setiap hari sekali selama 14 hari. Namun, durasi tiap pengamatan
tidak boleh ditetapkan secara kaku. Hal ini harus disesuaikan dengan gejala – gejala
toksik yang muncul, onset, dan lamanya waktu pemulihan. Pengamatan meliputi
perubahan pada kulit dan bulu, mata, membran mukosal, pernafasan, sirkulasi,
otonomi, sistem saraf pusat, aktivitas somatomotor, serta pola perilaku. Perhatian
juga harus ditunjukkan pada tremor, kejang, salivasi, diare, lethargi, tidur, dan
21
koma. Hewan uji yang menunjukkan kesakitan parah, dalam keadaan sekarat, atau
dalam kondisi menahan stress berat harus dikorbankan secara manusiawi (OECD,
2001). Pada akhir masa percobaan bobot hewan uji ditimbang lagi dan hewan uji
dikorbankan, dibedah, dan diambil organ – organ vitalnya untuk dilakukan
pemeriksaan histopatologi (OECD, 2001).
E. Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui potensi ketoksikan akut atau LD50 cut off sediaan penurun
kolesterol LIPI 2013 dan bersamaan dengan ED50 (Effective Dose 50) dapat
memperkirakan batas aman farmakologi, yaitu indeks terapinya.
F. Landasan Teori
Pengujian potensi ketoksikan akut angkak dan kayu manis secara terpisah
sudah dilakukan. Penelitian sebelumnya tentang angkak menyatakan bahwa
pemberian dosis tunggal angkak pada 2,5 gram/kgBB, 5 gram/kgBB, 10
gram/kgBB, dan 15 gram/kgBB meningkatkan aktivitas enzim ALT, AST, dan
kadar urea darah secara cukup signifikan, serta terdapat perubahan pada organ hati
dan ginjal. Namun, penelitian lain mengenai angkak menyatakan angkak tidak
toksik dan tidak memperlihatkan gejala – gejala toksik pada organ. Oleh sebab itu,
perlu dilakukan pengujian untuk memastikan potensi ketoksikan angkak. Penelitian
sebelumnya mengenai uji ketoksikan akut dan subkronis ekstrak metanol kayu
manis mengatakan bahwa kayu manis tidak toksik, tidak menimbulkan gejala –
22
gejala toksik pada hewan uji, dan tidak menghasilkan kelainan pada organ maupun
parameter klinis lainnya.
Pada sediaan ini angkak dan kayu manis dikombinasi karena keduanya
memiliki mekanisme yang berbeda dalam menurunkan kolesterol sehingga
diharapkan akan meningkatkan fungsinya sebagai penurun kolesterol. Sediaan ini
adalah produk atau obat baru yang harus diuji toksisitasnya untuk registrasi. Dalam
hal ini angkak dan kayu manis secara tunggal sudah diteliti dan dinyatakan tidak
toksik. Namun, ketika keduanya digabung, kemungkinan akan muncul interaksi dan
efek toksik yang tidak diketahui. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengujian
toksisitas akut oral untuk mengetahui potensi ketoksikan akutnya.
G. Hipotesis
Pemberian sediaan penurun kolesterol LIPI 2013 diduga tidak menimbulkan
kematian dan efek toksik yang berarti pada tikus betina galur SD.