Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
ACUAN TEORITIK
A. Acuan Teori Area dan Fokus yang Diteliti
1. Keterampilan Gerak Dasar Menendang Bola
a. Pengertian Gerak Dasar
Pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah diharapkan dapat
berperan untuk mengembangkan keterampilan gerak dasar bagi semua anak
sejak usia dini sampai sekolah dasar. Gerak dasar dikenal juga sebagai
motorik dasar. Pada dasarnya manusia mempunyai tiga gerak dasar dalam
kehidupan sehari-hari yaitu gerak lokomotor, non lokomotor dan manipulatif.
Gerak lokomotor biasanya dilakukan untuk memindahkan tubuh dari suatu
tempat ke tempat yang lain seperti berjalan, berlari dan melompat. Gerak non
lokomotor biasanya digunakan untuk gerakan yang dilakukan di tempat
seperti menekuk, mendorong, memutar dan menarik. Sedangkan gerak
manipulatif biasanya digunakan untuk memindahkan suatu objek dari suatu
tempat ke tempat yang lain seperti melempar, menendang, dan memukul.
Namun secara umum gerak dasar disebut sebagai suatu keterampilan yang
melibatkan kekuatan otot seperti lengan dan kaki yang digunakan untuk
mencapai tujuan gerakan atau latihan yaitu melompat, berlari, melempar,
menendang atau menjaga keseimbangan dan sebagainya. Berikut ini adalah
beberapa pengertian gerak dasar menurut para ahli:
9
Bakhtiar mengemukakan bahwa gerak dasar merupakan dasar untuk
mempelajari dan mengembangkan berbagai keterampilan teknik dalam
berolahraga dan aktifitas fisik seumur hidup.1 Dengan demikian, jika
kompetensi gerak dasar anak tidak dikembangkan, maka anak didik tidak
akan berhasil menggunakan berbagai keterampilan olahraga dan permainan
pada masa kanak-kanak dan remaja mereka. Selanjutnya Clark dalam
Bakhtiar berpendapat bahwa:
Keterampilan gerak dasar sebagai pola pokok koordinasi yang kemudian mendasari kemahiran gerakan. Keterampilan gerak dasar didefinisikan sabagai keterampilan gerak yang melibatkan keterampilan otot besar, kekuatan otot tubuh, lengan dan kaki, yang digunakan untuk mencapai sebuah latihan atau tujuan gerakan seperti melempar bola kepada teman atau meloncat melewati sebuah genangan air.2
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
keterampilan gerak dasar adalah keterampilan yang melibatkan otot besar
seperti otot lengan dan kaki dengan koordinasi yang baik untuk membentuk
kemahiran dari gerakan dasar manusia dalam mencapai tujuan gerakan atau
latihan. Tujuan gerakan dan latihan tersebut akan menggambarkan tingkat
penguasaan keterampilan dalam mengunakan koordinasi mata-tangan dan
mata-kaki, keseimbangan serta persepsi visual dalam melempar, berlari,
melompat, memukul atau menendang. Berdasarkan pendapat di atas
terdapat dua bagian penting dalam hakikat keterampilan gerak dasar yaitu
1 Syahrial Bakhtiar, Merancang Pembelajaran Gerak Dasar Anak. (Padang: UNP PRESS. 2015) hal. 8 2 Ibid., hal. 13
10
mempelajari berbagai keterampilan dan mempelajari konsep tentang gerak.
Dengan demikian keterampilan gerak dasar tidak hanya terbatas pada
peningkatan seluruh potensi fisik dan motoriknya tetapi juga sikap, moral
serta intelektualnya. Keterampilan gerak dasar dalam pembelajaran
meletakan landasan karakter moral melalui nilai-nilai yang terkandung dalam
pendidikan jasmani untuk mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin,
tanggung jawab, kerja sama, percaya diri dan demokratis.
b. Keterampilan Gerak Dasar Menendang Bola
Keterampilan gerak dasar menendang bola merupakan salah satu
teknik dalam cabang olahraga sepak bola dan futsal. Keterampilan
menendang bola juga merupakan salah satu gerakan manipulatif. Artinya
bahwa gerakan tersebut dilakukan untuk memindahkan suatu objek atau
benda dari suatu tempat ke tempat yang lain. Keterampilan gerak dasar
menendang bola ini merupakan keterampilan yang sangat penting bagi
perkembangan keterampilan-keterampilan lain yang lebih kompleks dalam
menendang bola.
Salah satu gerakan yang paling dominan dalam permainan sepak bola
adalah menendang bola. Juari menjelaskan bahwa menendang bola dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu menendang dengan kaki bagian
11
dalam, kaki bagian luar dan punggung kaki.3 Hal yang sama juga dijelaskan
oleh Mulyaningsih bahwa menendang bola dapat dilakukan dengan tiga cara
yaitu menendang dengan kaki bagian dalam, menendang dengan kaki bagian
luar dan menendang menggunakan kura-kura kaki atau punggung kaki.4
Menendang menggunakan kaki bagian luar pada umumnya digunakan
untuk mengumpan jarak pendek (short passing). Secara sederhana, Juari
menjelaskan bahwa menendang menggunakan kaki bagian luar, dilakukan
dengan cara meletakan kaki tumpu disamping bola dan lutut agak ditekuk
kemudian lutut kaki yang digunakan untuk menendang juga ditekuk lalu bola
ditendang tepat di bagian tengah dengan punggung kaki bagian luar.5
Untuk lebih memahami keterampilan gerak dasar menendang bola
menggunakan kaki bagian luar, maka dapat dilihat dalam ilustrasi gambar
berikut ini:
Gambar 2.1 Ilustrasi menendang bola menggunakan kaki bagian luar6
3 Juari, dkk., Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan Untuk SD Kelas VI. (Jakarta: Pusat Perbukuan Kemendiknas. 2010) hal. 9 4 Farida Mulyaningsih, dkk., Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan Untuk Kelas V SD. (Jakarta: Pusat Perbukuan Kemendiknas. 2010) hal. 8 5 Juari, dkk., Op. Cit. hal. 10 6 Sumber: Internet, www.google.co.id. Ilustrasi menendang bola
12
Selanjutnya menendang menggunakan kura-kura kaki atau punggung
kaki digunakan untuk menembak bola ke gawang (shooting at the goal).
Lebih lanjut Sugiarto menjelaskan bahwa menendang menggunakan
punggung kaki dilakukan dengan cara meletakan kaki tumpu di samping bola
dan lutut agak ditekuk kemudian lutut kaki yang digunakan untuk menendang
juga ditekuk lalu bola ditendang tepat di bagian tengah dengan punggung
kaki dengan posisi bahu dan pinggul lurus dengan target yang dituju.7
Untuk lebih memahami keterampilan gerak dasar menendang bola
menggunakan kura-kura kaki, maka dapat dilihat dalam ilustrasi gambar
berikut ini:
Gambar 2.2 Ilustrasi menendang bola menggunakan kura-kura kaki8
Selanjutnya, menendang bola dengan kaki bagian dalam pada
umumnya digunakan untuk mengumpan jarak pendek (short passing).
7 Sugiarto, Mahir Bermain Sepak Bola, (Bekasi: Mediantara. 2010) hal. 21 8 Sumber: Internet, www.google.co.id. Ilustrasi menendang bola
13
Menendang menggunakan kaki bagian dalam lebih sering dilakukan oleh
anak SD. Lebih lanjut Juari menjelaskan bahwa menendang dengan kaki
bagian dalam dilakukan dengan menempatkan kaki tumpu di samping bola
dan lutut agak sedikit ditekuk, telapak kaki yang digunakan untuk menendang
diputar keluar kemudian menendang bola tepat dibagian tengahnya dengan
kaki bagian dalam.9 Untuk lebih jelas Surtiyo memaparkan langkah-langkah
dalam menendang bola menggunakan kaki bagian dalam sebagai berikut:
(a) Awalan, kaki lurus dengan bola, kaki tumpu diletakan di samping bola dengan jari kaki menghadap ke depan dan lutut sedikit ditekuk. (b) daerah pergelangan kaki bagian dalam kontak dengan bola, sedangkan bola disepak tepat pada titik tengahnya. (c) badan hampir tegak dan pandangan mata melihat ke arah bola.10
Untuk lebih memahami keterampilan gerak dasar menendang bola
menggunakan kaki bagian dalam, maka dapat dilihat dalam ilustrasi gambar
berikut ini:
Gambar 2.3 Ilustrasi menendang bola dengan kaki bagian dalam11
9 Juari., Log. Cit. 10 Surtiyo, PJOK SMP Kelas VII. (Jakarta: Bumi Aksara. 2013) hal. 43 11 Sumber: Internet, www.google.co.id. Ilustrasi menendang bola
14
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk dapat
bermain bola dengan baik dan terampil, maka seorang pemain sepak bola
dituntut untuk menguasai keterampilan gerak dasar menendang bola.
Keterampilan gerak dasar menendang bola berdasarkan perkenaannya dapat
dilakukan dengan tiga cara yaitu menendang menggunakan kaki bagian
dalam, kaki bagian luar dan punggung kaki. Dalam melakukan gerakan
menendang bola ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu, posisi kaki
tumpuan, posisi tubuh, posisi lengan, gerakan ayunan tungkai, gerakan
lanjutan dan pandangan.
2. Karakteristik Peserta Didik Kelas V Sekolah Dasar
Jahja mengemukakan bahwa pengembangan kepribadian anak sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kognitifnya, dimulai sejak anak-anak
berusia enam sampai seksualnya matang dan pada masa inilah anak-anak
paling peka dan siap untuk belajar, dapat memahami pengetahuan dan selalu
ingin bertanya dan memahami.12 Usia sekolah merupakan usia anak
memasuki tahapan sekolah formal dimana mereka mulai dituntut untuk
menyelesaikan tugas-tugasnya secara mandiri. Usia anak di Indonesia pada
umumnya antara 6 sampai 12 tahun pada jenjang sekolah dasar. Pada masa
ini anak-anak mulai banyak mempelajari materi-materi yang membutuhkan
12 Yudrik jahja. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Kencana. 2013) hal. 203
15
kemampuan berpikir logis dan melihat fakta-fakta yang ada dilingkungan
sekitar.
Piaget dalam Surna dan Pandeirot mengemukakan bahwa anak di
usia sekolah dasar berada pada tahap The Stage of Concrete Operation (7-
11 tahun). Tahapan perkembangan ini ditandai oleh kemampuan anak untuk
mengaplikasikan kemampuan berpikir logis ke dalam masalah konkret.13
Sehubungan dengan hal tersebut Piaget dalam Hapsari mengatakan
bahwa pada masa ini anak berada pada tahap perkembangan operasional
kongkrit, tepatnya saat berada di usia 7 hingga 11 tahun, dimana
kemampuan kognitifnya sudah mengalami peningkatan dan mulai bisa
berpikir logis, mampu menggunakan operasi mentalnya untuk memecahkan
masalah konkret atau aktual, tetapi pikiran mereka masih konkrit pada hal
yang ia ketahui dan alami saja.14
Peserta didik kelas V SD berada pada masa operasional konkrit yaitu
pada usia 7 sampai 11 tahun. Dimasa usia ini, anak-anak senang atau
berminat melakukan berbagai permainan bersama teman-temannya. Selain
itu, mereka juga senang dengan permainan-permainan yang mereka miliki.
Pada periode ini, perkembangan fisik anak tidak sepesat saat bayi ataupun
masa usia prasekolah. Hapsari menjelaskan bahwa biasanya pertumbuhan
tinggi dan berat hanya naik sedikit bahkan beberapa waktu tidak mengalami
13 I Nyoman Surna dan Olga D. Pandeirot, Psikologi Pendidikan 1, (Jakarta: Erlangga. 2014) hal. 63 14 Iriani Indri Hapsari. Psikologi Perkembangan Anak. (Jakarta: Indeks. 2016) hal. 260
16
kenaikan namun hal tersebut masih dianggap wajar, secara fisik berbeda
antara setiap individu anak tergantung bentuk tubuhnya, namun mayoritas
anak laki-laki terlihat kurus dibandingkan dengan anak perempuan yang
terlihat lebih gemuk.15
Sehubungan dengan hal tersebut, Harsono juga memaparkan bahwa
salah satu ciri periode anak-anak ialah pertumbuhan yang lambat namun
stabil, tulang-tulang juga relatif masih lembek, dan keadaan demikian akan
terus berlangsung pada beberapa bagian tubuh lainnya sampai
pertumbuhannya sempurna di umur belasan tahun.16 Selanjutnya perbedaan
individu antara anak perempuan dan laki-laki pada umumnya antara umur 7-
11 tahun, dimana anak laki-laki dan perempuan rata-rata beragam bedanya
dalam tinggi badan yaitu sekitar 40% perempuan lebih tinggi dari pada laki-
laki.17
Kemudian Hapsari menjelaskan, dalam periode tersebut
perkembangan motorik anak usia sekolah semakin meningkat, aktivitas-
aktivitas fisik mereka untuk bergerak secara aktif banyak dilakukan di usia
ini.18 Oleh karena itu, perkembangan motorik khususnya motorik kasar
semakin terlatih pada usia ini, stamina dan ototnya akan semakin meningkat.
Hal tersebut akan membuat anak semakin terampil dan gesit dalam
15 Ibid., hal. 255 16 Harsono. Kepelatihan Olahraga Teori dan Metodologi. (Bandung: Rosada. 2015) hal. 207 17 Ibid., hal. 208 18 Iriani Indri Hapsari. Op.Cit.,hal. 257
17
melakukan aktivitas-aktivitas fisik yang diperlukan mereka dalam melakukan
kegiatan sehari-hari. Suherman juga memaparkan karakteristik masa anak-
anak usia 6 sampai 10 tahun ditinjau dari ranah kognitif, afektif, dan
perkembangan gerak bahwa anak laki-laki dan perempuan bersifat sebangun
di dalam pola pertumbuhan mereka, dengan pola pertumbuhan anggota
tubuh seperti lengan, tungkai menjadi lebih cepat dari pertumbuhan bagian
togok sepanjang masa anak-anak.19 Artinya bahwa aktivitas yang melibatkan
anggota-anggota tubuh khususnya keterampilan motorik lebih berkembang
cepat dari pada pertumbuhan fisik.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
karakteristik peserta didik kelas V SD adalah senang melakukan sesuatu
secara langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang konkret. Latihan-latihan
fisik yang diberikan oleh guru harus berdampak positif dalam meningkatkan
daya tahan dan kekuatan, membantu membangun tulang dan otot yang
sehat, membantu mengontrol berat badan, mengurangi kecemasan dan
stres, serta meningkatkan kepercayaan diri pada peserta didik. Oleh sebab
itu seorang guru harus memahami karakteristik setiap peserta didik karena
dengan demikian guru diharapkan dapat menentukan langkah-langkah
pembelajaran yang tepat dalam setiap pelaksanaan proses pembelajaran.
Tujuan pembelajaran yang akan dicapai hendaknya disampaikan kepada
19 Suherman. Pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. (Jakarta: Armandelta. 2009) hal. 21-24
18
peserta didik, sehingga mereka merasa diberikan tugas dan tanggung jawab.
Materi yang disampaikan juga harus menarik peserta didik sehingga mereka
aktif terlibat dalam proses pembelajaran.
B. Acuan Teori Rancangan-rancangan Alternatif atau Desain-desain
Alternatif Intervensi Tindakan yang Dipilih
1. Pembelajaran Kontekstual
a. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning
(CTL) merupakan pembelajaran yang menekankan pada pemberdayaan
peserta didik sehingga hasil belajar bukan hanya sebatas pada pengenalan
nilai, melainkan lebih pada penghayatan dan penerapan nilai-nilai dalam
kehidupan nyata. Johnson mengatakan:
CTL adalah sebuah sistem menyeluruh yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Setiap bagian CTL yang berbeda-beda ini memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah dan secara bersama-sama, mereka membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya, dan mengingat materi akademik.20
Berikut ini adalah beberapa definisi mengenai konsep pembelajaran
kontekstual:
Johnson dalam Rusman mengatakan pembelajaran kontekstual
adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola
20 Elaine B. Johnson. CTL Contextual Teaching and Learning.Terjemahan: A. Chaedar Alwasilah (Bandung: Kaifa. 2014) hal. 65
19
yang mewujudkan makna.21 Lebih lanjut, Elaine mengatakan bahwa
pembelajaran kontekstual adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok
dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan
akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari peserta didik.22 Artinya
bahwa pembelajaran kontekstual membuat peserta didik aktif dalam
merangsang kemampuan diri, sebab peserta didik berusaha mempelajari
konsep sekaligus mengaitkan dan menerapkan dalam kehidupan nyata.
Sanjaya mengatakan CTL adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk
dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan
situasi kehidupan nyata sehingga mendorong peserta didik untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan mereka.23 Kemudian US Department of
Education dalam Rosalin mengatakan bahwa CTL adalah suatu pendekatan
pembelajaran dan pengajaran yang mengaitkan antara materi yang diajarkan
dan situasi dunia nyata peserta didik dengan mendorong mereka membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam
21 Rusman. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. (Jakarta: Rajawali Pers. 2014) hal. 187 22 Ibid. hal. 187 23 Wina sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. (Jakarta: Kencana. 2013) hal. 255
20
kehidupan mereka sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat, dan
bangsa.24
Pernyataan tersebut juga dikemukakan oleh Blanchard, Berns dan
Erickson yang dikutip oleh Komalasari bahwa:
“Contextual teaching and learning is a conception of teaching and learning that helps teacher relate subject matter content to real world situations; and motivates student to make connection between knowledge and its application to their lives as family members, citizens, and workers and engage in the hard work that learning requires”.25
Artinya bahwa pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar
dan mengajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata, dan mendorong peserta didik membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan pekerja.
Sementara itu Johnson dalam Komalasari mendefinisikan:
“Contextual teaching and learning enables students to connect the content of
academic subjects with the immediate context of their daily lives to discover
meaning”.26 Artinya bahwa pembelajaran kontekstual memungkinkan peserta
didik menghubungkan isi mata pelajaran akademik dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, Keneth dalam Rusman mendefinisikan
CTL sebagai berikut:
24 Elin Rosalin. Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual. (Bandung: Karsa Mandiri Persada. 2008) hal. 26 25 Kokom Komalasari. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. (Bandung: Refika Aditama. 2014) hal. 6 26 Ibid. hal. 6
21
“Contextual teaching is teaching that enables learning in wich student emplay their academic understanding and abilities in a variety of in-and out of school context to solve simulated or real world problems, both alone and with others”.27
Hal ini berarti pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang
memungkinkan terjadinya proses pembelajaran dimana peserta didik
menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai
konteks di dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat
simulatif maupun nyata, baik seorang diri maupun dengan orang lain.
Berdasarkan beberapa definisi pembelajaran kontekstual tersebut
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pendekatan
pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan
kehidupan nyata peserta didik sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga,
sekolah, masyarakat maupun warga negara, dengan tujuan untuk
menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya. Dengan konsep
tersebut, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi peserta didik.
Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan peserta
didik bekerja dan mengalami langsung, bukan mentransfer pengetahuan dari
guru ke peserta didik.
b. Komponen Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual sebagai suatu pendekatan pembelajaran
yang memiliki 7 asas. Seringkali asas ini disebut juga komponen-komponen,
27 Rusman. op.cit., hal. 190
22
yang terdiri dari konstruktivisme (construtivism), menemukan (inquiri),
bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan
(modeling), refleksi (reflection) dan penilaian sebenarnya (authentic
assessment).
Konstruktivisme (construtivism) yaitu pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Artinya bahwa manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Menurut Piaget dalam Sanjaya,
pengetahuan memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan
dari dalam diri seseorang.28 Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua
faktor penting yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan
subjek untuk menginterpretasi objek tersebut.
Menemukan (Inquiry) yaitu pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-
fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri. Secara umum Sanjaya
menuliskan proses inquiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah sebagai
berikut: (a) merumuskan masalah, (b) mengajukan hipotesis, (c)
mengumpulkan data, (d) menguji hipotesis berdasarkan data yang
ditemukan, (e) membuat kesimpulan.29
28 Wina Sanjaya, op.cit., hal. 264 29 Ibid, hal. 265
23
Bertanya (Questioning) yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang
selalu bermula dari bertanya. Bertanya bagi guru dipandang sebagai kegiatan
untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir peserta
didik. Bagi peserta didik bertanya merupakan bagian penting dalam
melakukan inquiri, yaitu menggali informasi, mengonfirmasi apa yang sudah
diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Lebih lanjut Sanjaya menjelaskan kegunaan bertanya dalam pembelajaran
yang produktif sebagai berikut:
(1) menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam pengusaan materi pelajaran, (2) membangkitkan motivasi siswa untuk belajar, (3) merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu, (4) memfokuskan siswa pada suatu yang diinginkan, (5) membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.30
Masyarakat Belajar (Learning Community) yaitu hasil pembelajaran
diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Guru disarankan selalu
melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Peserta
didik dibagi dalam kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dari
kemampuan dan kecepatan belajarnya maupun dilihat dari bakat dan
minatnya.
Pemodelan (Modelling) yaitu dalam pembelajaran keterampilan atau
pengetahuan tertentu ada model yang bisa ditiru. Guru dapat menjadi model,
misalnya memberi contoh mengerjakan sesuatu. Akan tetapi guru bukan
satu-satunya model, artinya model dapat dirancang dengan melibatkan
30 Ibid, hal. 266
24
peserta didik, misalnya peserta didik ditunjuk untuk memberi contoh kepada
temannya.
Refleksi (Reflection) merupakan cara berpikir tentang apa yang baru
dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan di
masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau
pengetahuan yang baru diterima. Misalnya ketika pembelajaran berakhir
peserta didik merenung sikap yang salah dan memperbaikinya.
Penilaian Sebenarnya (Authentic assessment) adalah kemajuan
belajar dinilai dari proses, bukan semata hasil, dan dengan berbagai cara.
Penilaian dapat berupa penilaian tertulis, penilaian berdasarkan perbuatan,
penugasan, produk atau portofolio. Penilaian ini dilakukan secara terintegrasi
dengan proses pembelajaran, dilakukan secara terus-menerus selama
kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan
kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.
c. Tahapan Pembelajaran Kontekstual
Sebelum melaksanakan suatu kegiatan pembelajaran, seorang guru
wajib merancang rencana pembelajaran. Perencanaan rencana tersebut
berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Oleh
karena itu, Rusman menjelaskan bahwa sebelum melaksanakan
pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual, guru harus
terlebih dahulu membuat desain/skenario pembelajaran sebagai pedoman
25
sekaligus alat kontrol dalam pelaksanaannya. Selanjutnya setiap komponen
pembelajaran kontekstual dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
(1) mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonsumsi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus dimilikinya. (2) melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik yang diajarkan. (3) mengembangkan sifat ingin tau siswa melalui memunculkan pertanyaan-pertanyaan. (4) menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, dan tanya jawab. (5) menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model bahkan media yang sebenarnya. (6) membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. (7) melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.31
Sehubungan dengan itu, Rosalin menjelaskan bahwa dalam
pelaksanaanya, pembelajaran kontekstual memerlukan perubahan kebiasaan
dalam kegiatan pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai
pada penilaian hasil belajar. Tahap-tahap pelaksanaan pembelajaran
kontekstual tersebut sebagai berikut:
(1) mengkaji materi yang akan diajarkan pada peserta didik dengan memilih materi yang kontekstual dan dapat dikaitkan dengan hal-hal yang aktual. (2) mengkaji konteks kehidupan peserta didik sehari-hari dengan cermat sebagai upaya untuk memahami konteks kehidupan peserta didik. (3) memilih materi pelajaran yang dapat dikaitkan dengan konteks kehidupan peserta didik. (4) menyusun persiapan kegiatan belajar-mengajar yang telah memasukkan konteks kehidupan ke dalam materi yang akan diajarkan. (5) melaksanakan kegiatan belajar-mengajar kontekstual dengan mendorong siswa untuk mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. (6) melakukan penilaian yang sebenarnya terhadap hasil belajar peserta didik, dimana hasil penilaian tersebut digunakan untuk
31 Rusman, Belajar & Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Op.Cit., hal. 323
26
bahan perbaikan atau penyempurnaan persiapan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran selanjutnya.32
Adapun dari tahap-tahap pelaksanaan tersebut, Rosalin menyebutkan
saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
pembelajaran kontekstual sebagai berikut:
(1) nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pertanyaan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, dan pencapaian hasil belajar. (2) nyatakan tujuan umum pembelajarannya. (3) rincilah media untuk mendukung kegiatan itu. (4) buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa. (5) nyatakan authentic assesment-nya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran.33
Berdasarkan tahapan-tahapan tersebut di atas maka penerapan
pendekatan kontekstual bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar
peserta didik melalui pemahaman makna terhadap materi pelajaran yang
dipelajarinya dengan mengaitkan materi yang telah dipelajari dan konteks
kehidupan sehari-hari. Dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada
penilaian hasil belajar yang dirancang oleh guru adalah benar-benar rencana
khusus tentang apa yang dikerjakannya bersama peserta didik. Penekanan
dari pembelajaran kontekstual lebih kepada skenario atau kegiatan tahap
demi tahap dan media yang dipakai dalam pembelajarannya.
2. Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar
Pendidikan jasmani pada dasarnya merupakan media untuk
mendukung perkembangan keterampilan motorik, kemampuan fisik,
32 Elin Rosalin., Op.Cit. hal. 78-79 33 Ibid., hal. 80
27
pengetahuan, penghayatan nilai sikap, mental, emosional, spiritual, dan
sosial serta pembiasaan pola hidup sehat untuk merangsang pertumbuhan
dan perkembangan yang seimbang. Oleh karena itu, pendidikan jasmani di
sekolah dasar merupakan upaya untuk mengaktualisasikan seluruh potensi
yang ada didalam diri peserta didik berupa sikap dan tindakan melalui
aktivitas jasmani. Aktivitas jasmani dalam pengertian ini di paparkan melalui
kegiatan pelaku gerak untuk meningkatkan keterampilan motorik dan nilai-
nilai fungsional yang mencakup aspek kognitif, afektif dan sosial.
Husdarta mengemukakan bahwa pendidikan jasmani dan kesehatan
pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik
dan kesehatan untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas
individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional.34 Rahayu
mengemukakan bahwa pendidikan jasmani hakikatnya adalah proses
pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan
holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental serta emosinal.35
Pengertian tersebut dapat diartikan sebagai proses pendidikan melalui
aktivitas jasmani atau olahraga. Pencapaian tujuan berpangkal pada
perencanaan pengalaman gerak yang sesuai dengan karakteristik anak.
Selanjutnya Rosdiani mengemukakan bahwa pendidikan jasmani adalah
proses pendidikan melalui aktivitas jasmani, permainan atau olahraga yang
34 H. J. S. Husdarta, op. cit., hal. 3 35 Ega Trisna Rahayu, op.cit., hal. 17
28
terpilih untuk mencapai tujuan pendidikan.36 Oleh karena itu, pendidikan
jasmani diartikan sebagai proses pendidikan melalui aktivitas jasmani atau
olahraga yang intinya adalah mendidik anak.
Pendidikan jasmani di sekolah dasar bertujuan untuk mengubah
perilaku peserta didik. Selain mengubah perilaku, olahraga melalui aktivitas
jasmani selalu mengupayakan untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri.
Pangrazi dan Victor dalam Husdarta menjelaskan bahwa ”Sport education is
a part of the total program that contributed primarily through movement
experiences to the total growth and development of all users”37 artinya adalah
olahraga adalah bagian dari pendidikan yang dapat memberikan kontribusi,
terutama melalui pengalaman-pengalaman gerak agar secara menyeluruh
pengguna dapat tumbuh dan berkembang. Selanjutnya Tamura dan Amung
dalam Husdarta menjelaskan bahwa pendidikan jasmani merupakan mata
pelajaran yang sifatnya wajib diajarkan di sekolah dasar karena memiliki nilai-
nilai positif yang tercakup didalammnya.38 Mereka mengilustrasikan
bagaimana pentingnya pendidikan jasmani bagi peserta didik di sekolah
dasar, terutama dalam membangun kualitas hidup dan sikap sosialnya.
Peserta didik akan dibentuk kualitas fisiknya, sikap mental, moral, dan
36 Dini Rosdiani, Perencanaan Pembelajaran Dalam Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Bandung: Alfabeta. 2013) hal. 138 37 H. J. S. Husdarta. op. cit. hal. 168 38 Ibid. hal. 168
29
sosialnya melalui pendidikan jasmani atau aktivitas fisik yang didapatinya di
sekolah.
Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan jasmani memiliki peran yang penting di sekolah dasar. Oleh
karena itu dalam pelaksanaan proses belajar mengajar guru harus
memperhatikan tujuan, materi, metode dan evaluasi untuk mencapai
pengajaran pendidikan jasmani. Selain itu pendidikan jasmani di sekolah
dasar harus memperhatikan kepentingan setiap peserta didik. Setiap peserta
didik harus didorong untuk mendapatkan pengalaman belajar. Dalam proses
pembelajaran guru mempersiapkan peserta didik dengan mengembangkan
minat mereka pada pelajaran tersebut. Selanjutnya, dalam mempersiapkan
peserta didik guru harus menyampaikan apa yang akan dipelajari dan
hubungannya dengan pelajaran sebelumnya dan aktivitas saat ini atau yang
akan datang.
C. Bahasan Hasil-hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang pernah dilakukan dan relevan dengan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Penilitian yang dilakukan oleh Samudi yang berjudul Peningkatan
Prestasi Belajar Penjasorkes Melalui Pembelajaran Contextual Teaching and
Learning Bagi Siswa Kelas V di SDN 3 Gemaharjo Kecamatan Watulimo
30
Kabupaten Trenggalek.39 Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa
terjadi peningkatan hasil belajar Penjasorkes siswa kelas V SDN 3
Gemaharjo setelah diterapkan Pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) pada semester I Tahun Pelajaran 2016/2017.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Mahfazhul Muharom yang
berjudul Meningkatkan Kemampuan Gerak Dasar Menendang Bola Melalui
Permainan Pada Siswa Kelas V SD.40 Penelitian ini dilaksanakan di SDN 14
Pagi Kebayoran Lama Selatan, Jakarta Selatan. Hasil penelitian tersebut
membuktikan bahwa adanya peningkatan presentase kemampuan gerak
dasar menendang 13% dari 79% dari siklus I menjadi 92% pada siklus II. Dari
hasil penelitian tersebut dapat dinyatakan bahwa kemampuan gerak dasar
menendang mengalami peningkatan di kelas V SDN 14 Pagi Kebayoran
Lama Selatan, Jakarta Selatan.
Penelitian selanjutnya diakukan oleh Muhammad Subhan dan Sudarso
yang berjudul Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) Terhadap Hasil Belajar Dribble Bola Basket Pada Siswa Kelas VIIIA
SMP IT Babussalam Probolinggo.41 Penelitian ini merupakan penelitian
39 Samudi, “Peningkatan Prestasi Belajar Penjasorkes Melalui Pembelajaran Contextual Teaching and Learning Bagi Siswa Kelas V di SDN 3 Gemaharjo Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek”, Jurnal (Trenggalek: SDN 3 Gemoharjo. 2016) hal. 64-75 40 Mahfazhul Muharom, “Meningkatkan Kemampuan Gerak Dasar Menendang Bola Melalui Permainan Pada Siswa Kelas V SD”, Skripsi (Jakarta: UNJ. 2016) 41 Muhammad Subhan dan Sudarso, “Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Terhadap Hasil Belajar Dribble Bola Basket Pada Siswa Kelas VIIIA SMP IT Babussalam Probolinggo,” Jurnal, (Surabaya: UNESA. 2012) hal. 689-693
31
eksperimen dimana hasil penelitian ini terdapat peningkatan hasil belajar
teknik dasar dribble bola basket siswa antara sebelum dan sesudah
pembelajaran dengan pendekatan CTL di SMP IT Babussalam Probolinggo.
Hasil penelitian di atas menjadi bukti dalam melakukan proses
pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan gerak dasar menendang
bola melalui pembelajaran kontekstual. Oleh karena itu, berdasarkan hasil
penelitian yang relevan tersebut dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran
Kontekstual dapat meningkatkan keterampilan gerak dasar menendang bola
pada pembelajaran penjas.
D. Pengembangan Konseptual Perencanaan Tindakan
Pendidikan jasmani merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
pendidikan umum. Tujuannya adalah untuk membantu anak tumbuh dan
berkembang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan jasmani
adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk
menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu baik dalam aspek
fisik, mental serta emosional. Dengan pendidikan jasmani, peserta didik akan
memperoleh kesan dan ungkapan yang menyenangkan, kreatif, terampil,
inovatif dan memiliki pengetahuan serta pemahaman terhadap gerak
manusia.
Dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani, guru diharapkan
mengajarkan berbagai keterampilan gerak dasar, teknik dan strategi
32
permainan serta nilai-nilai internalisasi yang terkandung di dalamya seperti
sportivitas, jujur, kerja sama, dan lain-lain. Pelaksanaan pembelajaran penjas
seharusnya bukan melalui pembelajaran konvensional yang menekankan
pada hasil tetapi melalui proses atau kontruktivisme. Pembelajaran yang
dilaksanakan tidak hanya bersifat teoritis namun melibatkan unsur fisik,
mental, intelektual, emosi dan sosial. Aktivitas yang diberikan dalam
pembelajaran harus terdapat proses di dalamnya sehingga aktivitas tersebut
dapat mencapai tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, untuk mencapai tujuan
tersebut guru harus mengajarkan peserta didik tentang apa yang akan
dipelajari melalui sebuah proses berlandaskan prinsip-prinsip pendidikan
jasmani serta pengalaman peserta didik secara nyata.
Pada umumnya, kenyataan yang terjadi adalah pembelajaran penjas
lebih menekankan pada tujuan yang ingin dicapai dari pada proses belajar.
Hal tersebut berdampak pada proses pelaksanaan pembelajaran yang
dilakukan. Pada akhirnya metode yang digunakan hanya ceramah sehingga
peserta didik secara tidak langsung dipaksa menerima materi tanpa
mengalaminya secara langsung.
Dalam hal ini, pembelajaran kontekstual sangat tepat diterapkan
dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani. Seperti yang telah
diketahui sebelumnya bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu
pendekatan pembelajaran dan pengajaran yang mengaitkan antara materi
yang diajarkan dan keadaan nyata peserta didik untuk mendorong mereka
33
mengaitkan pengetahuan yang dimilikinya dan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses
pendidikan yang holistik. Oleh karena itu, pembelajaran kontekstual akan
membantu semua peserta didik belajar karena sistem pembelajaran ini
menekankan pada proses dan cara kerja dalam lingkungan yang nyata.
Berdasarkan uraian di atas maka penggunaan pembelajaran
kontekstual ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan gerak dasar,
khususnya keterampilan gerak dasar menendang bola. Penggunaan
pembelajaran kontekstual ini dilaksanakan untuk mengatasi rendahnya
penguasaan keterampilan gerak dasar menendang bola pada mata pelajaran
pendidikan jasmani kelas V SDN Gondangdia 01 Jakarta Pusat. Dengan
penggunaan pembelajaran kontekstual ini diharapkan peserta didik akan
dengan mudah mengikuti proses pembelajaran keterampilan gerak dasar
menendang bola, karena keaktifan peserta didik akan dikembangkan
sehingga proses pembelajaran akan lebih menyenangkan, nyata dan
bermakna.