75
42 BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU KEBERAGAMAAN DAN KULTUR SOSIOLOGI AGAMA Bab ini akan menguraikan teori-teori yang menjadi kata kunci dalam penulisan ini sesuai dengan judul bahasan, yaitu perilaku keberagamaan dan kultur sosiologi agama masyarakat. A. Teori Perilaku Agama dan Keberagamaan 1) Teori asal usul Agama ( kepercayaan ) Sedikitnya para sarjana antropologi banyak yang mencatat dan merumuskan berbagai teori dengan pendektan dan latar belakangnya masing masing sesuai keilmuanya. Ada dua teori pokok tentang asal usul agama, diantaranya: Pertama, bersumberkan pada ajaran-ajaran wahyu bahwa asal muasal agama adalah dari Tuhan yang diturunkan kepada manusia, Kedua, tinjauan teoritis yang lebih menitik beratkan pada tinjauan antropologis, sosiologis, historis, maupun psikologis yang intinya sama, yaitu agama merupakan suatu evolusi dari bentuknya sederhana (natural religion) ke bentuk yang lebih sempurna yang ada pada sekarang ini. 1 Dengan demikian, asal usul agama dalam kajian teologis tentu berdasarkan wahyu yang diyakini para penganut agamanya. Oleh karena itu, ―kebenaran‖ asal-usul agama adalah kebenaran berdasarkan ajaran dan keyakinan tiap-tiap agama. Asal usul agama dalam kajian teoritis didasarkan 1 E.E Pritchcard, theories of Primitief Religion, Clarendon Press, Oxpford, 1989, hlm.viii dalam Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV. Pustaka Setia tahun 2004, Hal. 32.

BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

42

BAB II

KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU KEBERAGAMAAN

DAN KULTUR SOSIOLOGI AGAMA

Bab ini akan menguraikan teori-teori yang menjadi kata kunci dalam

penulisan ini sesuai dengan judul bahasan, yaitu perilaku keberagamaan dan

kultur sosiologi agama masyarakat.

A. Teori Perilaku Agama dan Keberagamaan

1) Teori asal usul Agama ( kepercayaan )

Sedikitnya para sarjana antropologi banyak yang mencatat dan

merumuskan berbagai teori dengan pendektan dan latar belakangnya masing

masing sesuai keilmuanya. Ada dua teori pokok tentang asal usul agama,

diantaranya:

Pertama, bersumberkan pada ajaran-ajaran wahyu bahwa asal muasal

agama adalah dari Tuhan yang diturunkan kepada manusia,

Kedua, tinjauan teoritis yang lebih menitik beratkan pada tinjauan

antropologis, sosiologis, historis, maupun psikologis yang intinya sama, yaitu

agama merupakan suatu evolusi dari bentuknya sederhana (natural religion)

ke bentuk yang lebih sempurna yang ada pada sekarang ini.1

Dengan demikian, asal usul agama dalam kajian teologis tentu

berdasarkan wahyu yang diyakini para penganut agamanya. Oleh karena itu,

―kebenaran‖ asal-usul agama adalah kebenaran berdasarkan ajaran dan

keyakinan tiap-tiap agama. Asal usul agama dalam kajian teoritis didasarkan

1 E.E Pritchcard, theories of Primitief Religion, Clarendon Press, Oxpford, 1989, hlm.viii dalam

Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV.

Pustaka Setia tahun 2004, Hal. 32.

Page 2: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

43

pada kajian-kajian empirik berdasarkan teori-teori keilmuan tertentu yang

dihasilkan melalui penelusuran fakta-fakta keagamaan yang ditemukan di

lapangan.

Abbas Mahmoud Al-Akkad,2 untuk kalangan orang primitif mitos-mitos

merupakan bagian dari asal-usul agama. Teori animisme mula dipelopori pada

kurun ke-19 masehi oleh Sir Edawrd Burnett Tylor.3 Menurut beliau,

animisme adalah suatu gambaran kepada bentuk kepercayaan masyarakat

primitif. Teori ini dibina berdasarkan pengamatan beliau kepada kepercayaan-

kepercayaan yang wujud dalam komuniti manusia yang masih primitif.

Hasilnya, beliau telah mempelopori dua teori signifikan. Pertama, kepercayaan

manusia primitif adalah animisme. Kedua, teori evolusi agama yaitu animisme

sebagai kepercayaan tertua dan menjadi asas kepada agama-agama dunia.4

Spencer lebih cenderung asal mula kepercayaan (agama) adalah

pemujaan terhadap roh nenek moyang yang merupakan bentuk ibadah yang

2 Abbas Mahmoud Al-Akkad, Ketuhanan sepanjang Ajaran-ajaran Agama dan Pemikiran

Manusia, terjemahan A. Hanafi, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm.14. dalam Muhtar Ghazali

Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV. Pustaka Setia tahun

2004, Hal.33. 3 Edward Burnett Tylor (2 Oktober 1832 - 2 Jan 1917), adalah seorang ahli antropologi

Inggeris dan seorang profesor antropologi di Universiti Oxford, digelar bapa kepada bidang

antropologi moden. Beliau adalah pelopor kepada suatu teori yang menggambarkan kepercayaan

masyarakat primitif, iaitu animisme. Beliau juga pendukung kepada teori evolusi agama dan

menjadikan animisme sebagai batu asas kepada semua kepercayaan-kepercayaan manusia di

dunia. Lihat William H. Swatos dan Peter Kivisto, ―Tylor Edward B.‖ dalam Encyclopedia of

Religion and Society (California: Rowman Altamira, 1998), 528 dan Paul A. Erickson dan Liam D.

Murphy, Readings for a History of Anthropological Theory (Canada: University of Toronto Press,

2013), 29. Dalam Mohd Khairulnazrin bin Mohd Nasir Muhammad Syafee Salihin Hasan Ishak

bin Haji Suliaman KEPERCAYAAN ANIMISME MENURUT PERSPEKTIF SUNNAH

NABAWI DAN AHLI ANTROPOLOGI BARAT: SATU KAJIAN AWAL - JURNAL

PENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127-

8002 - BIL 9, ISU II: 2016. 4 Teori animisme telah dipelopori oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917) dalam bukunya

Primitive Culture: Research Into Development Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art

and Custom yang diterbitkan buat pertama kali pada April 1871.

Page 3: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

44

paling tua. Pemujaan terhadap roh nenek moyang ini sulit untuk diterima,

karena pada kenyataanya tidak berlaku untuk setiap masa, sehingga hilang

kehawatiran bentuk penghambaan pada roh-roh itu, namun kepercayaan itu

akan muncul pada orang-orang yang lemah keimanannya.

Presiden de Brosses,5 seorang ahli jiwa menyatakan bahwa kepercayaan

(agama) berasal dari Fetisisme, yaitu pemujaan terhadap benda-benda dan

binatang-binatang oleh orang-orang negro Pantai Afrika Barat, kemudian

berkembang menjadi politeisme dan akhirnya menjadi monoteisme. Teori ini

kemudian dikembangkan oleh para ahli ilmu jiwa asosiasi pada masa itu, yang

menggambarkan teori roh dan teori jiwa yang meyakini bahwa manusia

primitif pun pada dasarnya dianggap bersifat rasional, sekalipun dalam upaya

menjelaskan fenomenanya masih tanda tanya karena dianggap mentah.

Menurut teori tersebut, semua pengetahuan manusia datang lewat indra. Oleh

karena itu, agama artinya ―tiada kepercayaan sebelum pengindraan‖. Ya‘ni

sentuhan yang memberikan kesan yang paling mendalam tentang kenyataan.

Adapun hal yang tidak dapat diraba oleh manusia seperti matahari dan langit,

memberikan arti infinite ( keterbatasan). Akan tetapi bisa melengkapi materi-

materi untuk memberikan pemahaman tentang ketuhanan.

Selanjutnya, Harun Nasution6 menyajikan beberapa definisi agama

sebagai berikut:

a. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib

5 Dikutip oleh E. Pritchard, Op.Cit,hlm.26 dalam Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan

Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV. Pustaka Setia tahun 2004, Hal.34. 6 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985, Jilid I, hlm. 10.

Dalam Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.

Hlm. 66.

Page 4: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

45

yang harus di patuhi.

b. Pengikatan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan

pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang

mempengaruhi perbuatan manusia.

c. Kepercayaan pada sesuatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup

tertentu.

d. Pengakuan adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada

kekuatan gaib.

e. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan

perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam

sekitar manusia.

Dari definisi diatas dapat dipahami dan dicermati bahwa agama bukan

wujud yang berdiri sendiri melainkan melekat dan menyatu pada wujud lain,

yaitu pada diri manusia yang beragama. Kata-kata seperti kepercayaan, sikap,

penerimaan, pengakuan, pengikatan, pemujaan dan kata kata lain yang sering

dipakai untuk merumuskan definisi agama menunjuk sesuatu yang melekat

pada manusia. Agama tidak dipandang sebagai kata benda, tetapi kata sifat atau

kata kerja karena semua definisi ini menunjuk pada keadaan atau aktifitas yang

melekat pada diri manusia.7

Oleh karena itu, setiap definisi pada akhirnya menunjukan teori-teori

realitas dan tempat bahwa agama-agama dipegang dan dipertahankan dalam

pemikiran dan kehidupan manusia.Yang paling menarik atau ditonjolkan dalam

definisi ini adalah pengakuan garis pemisah antara manusia dan dewa, atau

7 Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.

Hlm.67.

Page 5: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

46

pada waktu bersamaan manusia sangat dekat dengan sesuatu yang absolute,

yaitu suatu ketergantungan terhadap kekuatan tertinggi.

Semua itu menggambarkan ketergantungan terhadap Ulittimate Reality,

yang dialami manusia dari waktu ke waktu. Pengalaman agama ini hampir

terdapat pada semua agama, bahkan dialami pula oleh orang-orang yang tidak

beragama8. Wajarlah kalau Dr. Radhakrisnan, seorang professor dari

Universitas Oxford dan mantan presiden India serta pemikir terkemuka dari

monisme Vedanta, menyatakan bahwa: ―semua agama adalah satu dalam

“pengalaman” tetapi bertentangan dalam ―pengungkapan‖ teologinya.‖9

Dengan mengacu pada dasar pemikiran ini, ada dua kategori dalam

mendefinisikan agama.

Kategori Pertama, definisi yang mengacu pada berbagai pandangan

(definisi nominal), ya‘ni ―agama‖, atau dalam pembendaraan Eropa: religion (

Inggris), La religion (Prancis) de religie ( Belanda), die religion (Jerman)

dipergunakan sebagai istilah umum yang mencakup minat-minat manusia

tertentu di seluruh dunia.10 Secara harfiyah, ada yang mendefinisikan religion

“sebagai suatu hubungan‖, ya‘ni suatu hubungan antara manusia dan yang

‗diluar‘(diatas) manusia. Bagi kebanyakan orang-orang Eropa, religion berarti

― hubungan tetap antara diri manusia dan wujud diluar dirinya, yang suci, yang

maha tahu, yang wujud dengan dirinya sendiri, atau dengan istilah populernya

8 Ismail R Alfaruqi, Pengalaman Keagamaan dalam Islam, Terjemahan, PLP2M, Yogyakarta,

1985, hlm. 115. Dikutip Gghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek

Perbandingan Agama”.hlm.27 9 Robert Brow, Asal Usul Agama, Terjemahan, Tonis, Bandung, 1986, hlm. 116.

10 Depag RI, Ilmu Perbandingan Agama, Proyek Pembinaan PT/IAIN, Jakarta, 1981, hlm.48—

51. Dikutif oleh : Gghazali,Adeng Mukhtar ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek

Perbandingan Agama”.

Page 6: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

47

adalah tuhan11. Ada juga yang berpandangan bahwa “agama” bagian

terjemahan dari religion-tersusun dari dua kata, ya’ni “a” tidak “gama”

artinya pergi; jadi agama artinya “tidak pergi‖. Ada yang berpandangan

agama berarti ―teks atau kitab suci‖. Dalam bahasa sansekerta, agama berarti:

―a‖ tidak dan gama ―kacau‖, jadi agama adalah ―tidak kacau atau teratur‖.

Pengertian lain religion adalah ―dien‖ (bahasa Semit) yang mempunyai arti

ganjaran, perhitungan kepatuhan‖ dan lain-lain. Dalam bahasa Arab kata ini

mengandung arti ―menguasai, patuh, utang, balasan dan kebiasaan.‖12

Kategori kedua, mengacu pada definisi riil (teoritis). Banyak yang

mendefinisikan agama berdasarkan hasil survey, yang melihat gejala-gjala

individual maupun kelompok yang mengungkapkan rasa keagamaannya.

Diantaranya adalah pendapat Elizabeth K. Nottingham, seorang sosiolog

mengatakan bahwa agama dan keberagamannya yang hampir tidak

dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi

(batasan) sehingga tidak ada definisi yang memuaskan. Karena “agama

merupakan gejala yang sering terdapat dimana-mana, sehingga sedikit

membantu kita untuk membuat abstraksi ilmiah”. Disamping itu, agama

berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari

keberadaanya sendiri dan keberadaan alam semesta.13 Sementara itu pendapat

11

Lihat, Ugo Bianchi, the History of Religions, E.J. Brill Leiden, 1974, hlm. 201; Juga lihat

Zaenal Arifin Abbas, Perkembangan Pemikiran Agama, Alhusna, Jakarta, 1984 , hal. 49. Dikutif

oleh Gghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan

Agama”. 12

Depag, Op. Cit. hlm. 49. 13

Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Terjemahan, Rajawali, Jakarta, 1984,

hlm.3 dalam Ghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan

Agama”.hlm.26.

Page 7: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

48

Edward Burnet Tylor, seorang pelopor antropologi Modern, sejak lama

membatasi agama dengan paham ―animisme‖, secara minimum mendefinisikan

agama sebagai “the beliefs in spiritual beings” (kepercayaan terhadap adanya

roh)14. Pratt mengemukakan bahwa agama sebagai the serious and social

attitude of individuals or communities to ward the power or powers which they

conceive as heving ultimate control ov er their interests and destinies ( sikap

yang serius dan sosial dari individu atau komunitas pada satu atau lebih

kekuatan yang mereka anggap memiliki kekuasaan tertinggi terhadap

kepentingan dan nasib mereka).15 Sekalipun tiap-tiap agama memiliki ajaran

dan cara membahasakan diri yang berbeda-beda dalam kehidupan sehari-hari,

kesadaran umum melihat tujuan yang sama. Dalam bahasa teologis-ya‘ni bagi

agama-agama wahyu atau teistis – agama berpretensi untuk membimbing

manusia menuju Tuhan. Agama adalah erivasi normative dari teologi yang

berisi petunjuk-petunjuk menuju Tuhan.16

Wilayah kerja agama adalah kehidupan manusia-manusia konkret historis

dari sejak lahir sampai matinya. Semua agama menjanjikan kebahagiaan

apapun arti perkataan tersebut, namun tidak semua menuju Tuhan karena ada

agama yang atheistis, sekalipun ia seorang atheis pada dasarnya adalah

beragama.17

14

Dikutip oleh Charles J. A Reader‘s Guide to the Great Religion‘s Second Edition, Mac Millan,

New York, hlm. 6-7. dalam Ghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek

Perbandingan Agama”.hlm.27. 15

Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.

Hlm.66. 16

Ibid. Hlm.28 17

Imam Ahmad dalam mengantarkan buku, Seri Prisma, Agama dan Tantangan Zaman, LP3S,

Jakarta, 1985, hlm. Viii. Dikutip Gghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam

kontek Perbandingan Agama”.

Page 8: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

49

Ada pula satu pendapat tentang agama dari Barbara Hargrove18, seorang

sosiolog menyatakan bahwa definisi agama secara sosiologis akan memberikan

impresi yang betul, kalau tidak, akan jatuh dalam bentuk kesalahan di dalam

pengenalan. Para sosiologis memiliki pokus yang khusus. Mempertimbangkan

terhadap data empiris, seperti tingkah laku, terutama terhadap struktur social

atau perilaku kelompok. Agama merupakan fenomena manusia yang berfungsi

menyatukan kesatuan ritual, social, dan sistem-sistem personality kedalam

suatu lingkungan yang berarti. Secara umum, di sini termasuk komponen-

komponen agama, di antaranya:

1. Komunitas para pengikut (jama‘ah).

2. Mitos-mitos umum yang menafsirkan abstraksi dari nilai-nilai cultural

dalam realitas historis.

3. Tingkah laku ritual, dan Suatu dimensi dari pengalaman yang diakui

karena mencakup sesuatu yang lebih daripada realitas sehari-hari, yakni

‗The Sacred‘ yang suci.19

Dari uraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa unsur perilaku yang

ditunjukkan oleh individu dalam menunjukkan keberagamaan di lingkungan

tempat ia hidup bersama masyarakat merupakan hal penting, yang dalam

penulisan ini penulis akan meneliti sikap dan perilaku kelompok Muslim dalam

kehidupan multikultural masyarakat kampung Cibunut desa Cirukem

Kuningan, dengan harapan ditemukan temuan-temuan yang meneguhkan

perlunya pendidikan dan pemahaman agama agar dapat menjalankan fungsinya

18

Barbara Hargrove, The Sosiology of Religion, Classical and Temporary Approaches, Harlan

Davidson USA, 1979, hlm.3. Dikutip Ghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan

dalam kontek Perbandingan Agama”. 19

Ibid.hal.29

Page 9: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

50

sebagai pemandu kehidupan seorang, khususnya muslim, di mana seluruh

aspek kehidupan seorang muslim yang terkait dengan kehidupannya

sesungguhnya sudah diatur oleh ajaran-ajaran Islam.

Dengan demikian dapat dijelaskan dalam perspektif sosio antropologis

bahwa wujud agama yang sesungguhnya akan dapat dilihat dari sistem perilaku

yang ditunjukan oleh para penganut agama yang bersangkutan. Action,

tindakan amal nyata sebagai wujud perilaku ummat beragama sehari-hari,

seperti halnya bagaimana ummat muslim Cibunut Cirukem dalam

melaksanakan ajaran Islam yang dianutnya serta bagaimana mengamalkan

ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, itulah realitas agama yang

sesungguhnya dapat diteliti, di observasi dan di kaji secara ilmiah, sehingga

dapat menjelaskan makna agama yang sebenarnya.20

Apabila semua definisi dicermati seksama, seperti kata-kata

kepercayaan, sikap, penerimaan, pengakuan, pengikatan, pemujaan dan kata-

kata lain yang sering jadi rujukan definisi agama, maka dipahami bahwa

agama bukan berdiri sendiri melainkan melekat dan menyatu pada wujud lain,

yaitu : pada diri individu manusia yang beragama dan bermasyarakat.

2) Arti Keberagamaan dan Tingkatannya.

Secara bahasa, agama bukanlah kata sifat, keadaan, atau kata kerja.

Kata yang mengandung makna sifat atau keadaan adalah keberagamaan,

yaitu kata dasar agama yang dibentuk menjadi beragama, lalu diberi imbuhan

ke- dan -an sehingga menjadi keberagamaan. Dalam bahasa Indonesia, kata

20

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Penerbit STAIN PRESS

CIREBON/CAKRAWALA Yogyakarta, Oktober 2007.hal. 106

Page 10: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

51

kata yang mendapat imbuhan ke- dan –an mengandung makna, sebagai sifat

atau keadaan, seperti kebekuan (keadaan membeku), kebesaraan (keadaaan

membesar), kerajinan, kepekaan, dan lain lain. Keberagamaan berarti keadaan

atau sifat sifat orang beragama, yang meliputi keadaan, corak atau sifat

pemahaman semangat dan tingkat kepatuhannya untuk melaksanakan ajaran

agama yang dianutnya, dan keadaan perilaku hidupnya sehari-hari setelah ia

menjadi penganut suatu agama. Dari sinilah muncul istilah Islam abangan,

Islam santri, Islam liberal dan lain-lain.

Pandangan lebih jauh, dapat dicermati bahwa penerimaan, kepercayaan,

pengakuan, sikap, dan lain-lain, yang ada pada sekelompok orang tidak pernah

sama meskipun mereka seagama. Perbedaan itu tidak membuat mereka

berbeda agama. Agamanya tetap satu. Yang berbeda pada mereka bukan

agamanya, melainkan keberagamaanya, yaitu corak dan kadar pemahaman

serta cara dan kualitas pengamalannya. Perbedaan keberagamaan bisa saja

terjadi pada setiap individu dalam suatu kelompok penganut agama yang

sama.21

Menurut dister,22 keberagamaan berarti religiusitas, karena adanya

internalisasi agama ke dalam diri seseorang. Oleh karena itu, Berbicara tentang

tingkat keberagamaan berarti berbicara tentang religiusitas seseorang dalam

kehidupannya. Religiusitas berasal dari bahasa latin religio, akar katanya

religure yang berarti mengikat. Mengandung makna pada umumnya religi

21

Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.

Hlm.86 22

Dister, N.S., Pengalaman dan motivasi Beragama, yoyakarta: kanisius, 1988, hlm.5. dalam

Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.Hlm.87

Page 11: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

52

(agama) memiliki aturan dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan

oleh pemeluknya dan semua itu untuk mengikat seseorang atau sekelompok

orang dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya.

Keberagamaan atau religiusitas berasal dari Bahasa Inggris ―religiosity”

dari akar kata ―religy‖ yang berarti agama. Religiusity merupakan bentuk

kata dari ―religius” yang berarti taat kepada agama.23

Menurut Glock dan Stark,24 dimensi keberagamaan (religiusitas) terdiri

dari lima, yaitu : dalam bukunya American Piety: “The Nature of Religion

Commitmen”, menyebut ada lima dimensi agama dalam diri manusia, yakni

(1) dimensi keyakinan (ideologis), (2) dimensi peribadatan dan praktek

keagamaan (ritualistic),(3)dimensi penghayatan (eksperensial), (40) dimensi

pengamalan (konsekuensial) dan (5) dimensi pengetahuan agama

(intelektual). Oleh karena itu agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan,

sistem nilai, sistem perilaku yang terlembagakan. Semuanya berpusat pada

persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi. Seluruh

sistem tersebut berpusat pada satu konsep, yaitu ketuhanan. Maksudnya agama

merupakan sistem yang mengatur hubungan antara manusia dengan kekuatan

adikodrati, yang dipandang sakral (suci atau kudus).

23

E. Pino dan Twittermalls, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia Inggris, cet XII

(Jakarta : PT. Prandnya Paramita, 1980), hlm. 37 24

Dalam Roland Robertson, op.cit.,hlm.291 dalam Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan

Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015. Hlm.87. Dan dalam Robert H. Thoules,

Pengantar Psikologi Agama,hlm.10.

Page 12: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

53

Jalaluddin Rakhmat mendefinisikan keberagamaan sebagai perilaku

yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada nash.25 Nash

merupakan sumber ajaran yaitu berupa teks baik lisan maupun tulisan yang

sakral dan menjadi sumber rujukan bagi pemeluk agama. Untuk agama

Islam Nashnya adalah al-Qur‘an dan al-Hadits.

Keberagamaan dapat di definisikan sebagai segala perwujudan dari

pengakuan seseorang terhadap sesuatu agama, tetapi keberagamaan

bukanlah semata-mata karena seseorang mengaku beragama melainkan

bagaimana agama yang dipeluk itu mempengaruhi seluruh hidup dan

kehidupannya. Dengan kata lain keberagamaan dapat diartikan sebagai

realisasi dari ketaatan dan keterikatan manusia kepada aturan atau hukum yang

tertuang dalam ajaran agama.

Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fitrah adalah sesuatu

yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya. Fitrah

merupakan bagian dari internal yang mampu membedakan hakiki manusia dan

hewan, baik manusia yang lahir di negara komunis, maupun beragama, lahir

dari kalangan primitif maupun modern, lahir dari orang tua shalih maupun

orang jahat, menurut fitrahnya mempunyai potensi beragama.26 Beragama

berarti mengadakan hubungan dengan sesuatu yang kodrati, hubungan

makhluk dengan kholiknya, hubungan ini mewujudkan dalam sikap batinnya

serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin pula dalam

25

Jalaluddin Rakhmat, Metodologi Penulisan Agama dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed) Metodologi Penulisan Agama Sebuah Pengantar,( Yogyakarta : Tiara Wacana, 1989), hlm. 93. (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), 26

Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani

Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 32.

Page 13: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

54

sikap kesehariannya.27 Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan

dari kehidupan manusia.

Bicara real dalam konteks kehidupan sehari-hari, terkadang sulit untuk

membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau

interpretasi dari agama. Kalau sesuatu yang murni agama, berarti berasal dari

Tuhan, absolut dan mengandung nilai sakralitas, tapi kalau hasil pemikiran

manusia, agama berarti berasal dari selain Tuhan (manusia), bersifat temporal,

suatu waktu akan berubah, dan tidak mengandung nilai sakral. Pada aspek

realisasi, kadang mengalami kesulitan membedakan keduanya karena terjadi

tumpang tindih dan terjadi pencampuradukan makna antara agama dengan

hasil pemikiran manusia yang di jadikan nilai agama, baik sangaja atau tidak.

Perkembangan selanjutnya, hasil pemikiran agama kadang-kadang telah

berubah menjadi agama itu sendiri, sehingga ia disakralkan dan dianggap

berdosa bagi yang berusaha merubahnya.28

Pengingkaran terhadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor

tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-

masing, karena kembali kepada fitrah beragama. Jiwa beragama atau

kesadaran beragama menuju kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan

dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan

kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminallaah maupun

27

Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1992), hlm. 375. 28

Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA ( STUDI PROPAN DAN SAKRAL

MENURUT EMILE DURKHEIM), http://downloaded.portalgaruda.org/article.php.

Page 14: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

55

hablumminannaas.29 Namun untuk meniadakan sama sekali dorongan rasa

keberagamaan yang a moral tampaknya sulit sekali dilakukan, sekalipun

manusia memiliki unsur batin yang cenderung untuk mendorongnya tunduk

kepada dzat yang ghoib. Kedudukan ini merupakan bagian dari faktor

internalisasi nilai agama manusia yang dalam psikologi kepribadian

dinamakan personality (diri) atau hati nurani (fitrah beragama atau

conciensues of man religiusitas). Artinya : membutuhkan proses

pengenalan, pemahaman, dan kesadaran pada diri seseorang terhadap

nilai-nilai agama.30 Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Ar-Rum ayat

30 Allah SWT berfirman:

هكفأقم ينوج رةحنيفاللد ذلكالللخل قتب ديللاعلي هاالناسفطرالتياللفط

ين ثرولكنال قي م الد ونلاالناسأك يع لم

Artinya : ‖Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama

Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut

fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;

tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui‖.

Inti dari kehidupan beragama adalah penghayatan hubungan manusia

dengan Allah, SWT. Secara psikologis, penghayatan ini membawa manusia

kedalam pengalaman transendental, pengalaman yang mengatasi dunia realnya

sendiri. Pengalaman transendental, secara pisikologis membawa manusia pada

29

Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani

Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 31. 30

Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani

Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 31.

Page 15: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

56

paham pundamental tentang agamanya. Selama nilai pundamental tersebut

memperdalam penghayatan iman seseorang terhadap agamanya tidak

mengganggu eksistensi orang lain, maka hal itu, termasuk dalam positif.

Orang yang memiliki religiusitas beragama baik cenderung memiliki

fanatisme agama kuat. Namun sikap fanatisme agama yang berlebihan akan

menimbulkan sikap sentimen agama yang tinggi. Ia hanya beranggapan agama

dialah yang paling suci dan beranggapan sementara agama lain adalah musuh

bahkan sering tidak berprikemanusiaan.

Oleh karena itu, melihat kondisi tersebut, ada tiga pola atau klasifikasi

tentang klaim kebenaran yang diperankan oleh para pemeluk agama, yaitu

sebagai berikut.31

a. Eksklusivisme, yaitu kebenaran absolut hanya dimiliki agama tertentu

secara eklusif. Artinya sikap ini beranggapan bahwa ajaran yang paling

benar hanyalah agama yang dianutnya. Sedangkan agama lainya sesat

dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan

penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan.32

b. Inklusivisme, Yaitu klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Klaim

Inklusivisme ingin mengambil sikap tengah-tengah antara eksklusivisme

dan pluralisme. Arinya berpandangan diluar agama yang ia peluknya

pun juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh agama yang ia

31

Raimundo Panikar, Dialog Intra Religius, Yogyakarta : Kanisius, 1994, hlm.18 dan jhon Hick

dalam bukunya Problems of Religious Pluralism, Houndmills, B asingstoke: The Macmillan Press,

1985. Dalam Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober

2015. Hlm.88-90. 32

. Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV.

Pustaka Setia tahun 2004, Hal.152. Dalam Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik

Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015. Hlm.88-90.

Page 16: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

57

peluknya.

c. Pluralisme, Yaitu sama istilah dengan paralelisme, artinya

penggabungan. Sikap teologi terekpresikan dalam macam-macam

rumusan, misalnya : ―agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama

syah untuk mencapai kebenaran yang sama‖. ―Setiap agama

mengekpresikan bagian penting sebuah kebenaran‖.33

Dari ketiga pola diatas, menurut hemat penulis bahwa persoalan apa

yang terjadi di masyarakat Cibunut Cirukem merupakan bagian dari pola

pluralisme. Karena satu bagian kelompok dalam mengekpresikanya masing

masing memiliki kebenaran dan memiliki perilaku keberagamaan dalam

penyikapan para penganut agama terhadap ajaran Tuhan.

B. Konsep Sosiologi Agama.

1. Pengertian Sosiologi Agama.

Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainya

karena fokus perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat.34 Studi

sosiologis terhadap agama tidak hanya memberi perhatian pada dependensi

keyakinan dan komunitas keagamaan terhadap kekuatan dan proses sosial,

melainkan juga kekuatan penggerak organisasi dan doktrin keagamaan dalam

dunia sosial. Lebih lanjut, agamawan sendiri dalam menyandarkan pembahasan

dan penjelasan sosiologis tentang naik turunnya beragam model keagamaan di

33

Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV.

Pustaka Setia tahun 2004, Hal.158. 34

Peter Connolly (ed), ―Aneka Pendekatan Studi Agama” PT LkiS Printing Cemerlang Cemerlang

Yogyakarta, hal.271.

Page 17: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

58

dunia modern, dan yang belum modern dan sekte-sekte kecil kecil atau

gerakan-gerakan keagamaan baru yang mncari legitimasi sosiologis atas

kebebasan keberagamaan yang mereka upayakan dalam menghadapi serangan

terhadap integritasnya, pembatasan-pembatasan birokratis, atau legal terhadap

aktivitas mereka.35 Untuk lebih jelasnya penulis definisikan terlebih dahulu

arti Sosiologi Agama untuk lebih memahaminya, diantaranya sebagai berikut :

Pertama, sebagai landasan kerja, penulis pakai definisi Dr. W. Goddijn

yang berbunyi sebagai berikut: Sosiologi Agama ialah bagian dari Sosiologi

Umum (versi Barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan dan

positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari

struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan

dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan.36

Kedua, Seorang ahli Sosiologi Agama di Indonesia, Hendropuspito,

menyatakan : ―Sosiologi Agama ialah suatu cabang dari Sosiologi

Umum yang mempelajari masyarakat agama secara Sosiologis guna mencapai

keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat

agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.‖37 Segi-segi penting

yang hendak ditonjolkan dalam definisi itu antara lain:

a) Sosiologi Agama adalah cabang dari Sosiologi Umum.

35

Peter Connolly (ed), ―Aneka Pendekatan Studi Agama” PT LkiS Printing Cemerlang Cemerlang

Yogyakarta, hal.273. 36

D. Hendro Puspito, O. C. Sosiologi Agama, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta, dan B. P. K. Gunung Mulia, Jakarta, 1983, Cetakan I, halaman 7. 37

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Penerbit P. T. Rosda Karya, Bandung, 2000, hal.46.

Page 18: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

59

b) bahwa Sosiologi Agama adalah sungguh ilmu sebagaimana Sosiologi

Umum adalah benar-benar suatu ilmu.

c) Tugasnya, mencari keterangan ilmiah.

Ketiga, Menurut kamus Sosiologi adalah Sociology of Religion atau

Sosiologi Agama adalah Sosiologi yang melibatkan analisa yang

sistematik mengenai fenomena agama dengan menggunakan konsep dan

metode Sosiologi.38

Secara sederhana, sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang

hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat

secara utuh dengan berbagai sistem agama, tingkat dan jenis spesialisasi

berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan sistem keagamaan

yang berbeda. Sosiologi agama dapat diartikan juga sebagai studi tentang

fenomena social, dan memandang agama sebagai fenomena social. Sosiologi

agama selalu berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip umum mengenai

hubungan agama dengan masyarakat. Di lain pihak, ada juga yang mengatakan

bahwa sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang

mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-

keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri

dan masyarakat luas pada umumnya.39

38

Hartini,G.Kartasapoetra,Kamus Sosiologi dan Kependudukan,BumiAksara,Jakarta,1992,hlm

397. 39

D. Hendropuspito. Sosiologi Agama, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1979, hlm.8. dalam

Yesmil Anwar, SH., M.si dan Adang, SH., MM. dalam ―sosiologi untuk universitas” PT Refika

Aditama, Cetakan Kesatu, Maret 2013. Hal.305 dan dalam Thomas F. O‘dea, Sosiologi Agama

Suatu Pengenalan Awal, Raja Wali Press, Jakarta, 1990, hal.28

Page 19: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

60

Dari pengertian di atas dapat menjelaskan: apa itu Sosiologi Agama; apa

fungsinya; bagaimana cara bekerjanya. Kalau Sosiologi Umum

bertugas mencapai hukum kemasyarakatan yang (berdaya laku) seluas

mungkin bagi kehidupan masyarakat umumnya; maka Sosiologi Agama

bertugas mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama

khususnya.40

Keberadaan sosiologi agama bisa dikatakan untuk mencari dan

menentukan apa sebenarnya sosiologi agama itu. Emile Durkheim dapat

memberikan jawabanya dari karyanya, yaitu The Elementary Forms of

Religious Life (1961). Dalam studinya, Durkheim berusaha memasukan

keanekargaman agama ke dalam sebuah bentuk kesatuan agama. Kajian klasik

sosiologi bersifat pengantar dan memuat beberapa kesimpulan untuk

membantah definisi-definisi agama yang telah ada sebelumnya. Definisi-

definisi tersebut cenderung memandang agama sebagai usaha salah kaprah

manusia memahami dunia dengan merujukan segala sesuatu kepada konsep-

konsep semisal ―Tuhan‖, ―roh‖, atau ―jiwa‖.41

Emile Durkheim, mengatakan bahwa agama hanya bisa dipahami dengan

melihat peran sosial yang dimainkannya dalam menyatukan komunitas

masyarakat dibawah satu kesatuan ritual dan kepercayaan umum.42 Maka

agama didefinisikan sebagai sesuatu yang membagi dunia menjadi yang sakral

40

Hendropuspito, Op. Cit., halaman 8. 41

Bryan S. Turner, Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, cetakan pertama April 2012 (Edisi

Baru), PT. IRCiSoD Wonosari Yogjakarta, Hal. 33. 42

Idem, Hal.33.

Page 20: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

61

dan yang profan; konsekuensi sosial praktek-praktek yang diarahkan kearah

yang sakral adalah penciptaan dan reproduksi kesadaran kolektif (consciense

collective), sebuah kesatuan sosial yang mengikat seluruh anggotanya ke dalam

unit-unit yang homogen.

Berdasarkan definisi ini, agama-agama manusia dapat saja berbeda-beda

rupanya, tapi tetap mendasarkan diri pada satu tema sentral, karena agama-

agama tersebut dibangun diatas dasar ―struktur elementer‖ tadi. Dengan

menerima definisi agama ini sebagai “fakta sosial” kolektifitas manusia,

masalah agama yang lebih mendalam nampaknya hilang dari sosiologi

Durkheim, seolah-olah tidak ada yang rumit dalam persoalan agama.43

Sosiologi lahir karena keinginan untuk memahami kehidupan sosial

dan bagaimana orang bertindak di dalamnya. Ilmu ini berkembang seiring

dengan berlangsungnya evolusi sosial, politik dan budaya. Melalui obyeknya

pula (di atas segala ilmu lainnya) menjadi cermin zamannya: ia mereflesikan

nilai-nilai, kekhawatiran, hubungan-hubungan sosial, perma salahan

ekonomi dan politik yang dihadapi pada masanya.44 Sisi pertama

perubahan ini menyangkut sifat dasar masyarakat itu sendiri. Sosiologi juga

bertujuan mendeskripsikan masyarakat dan fungsinya sekonsisten mungkin.

Para sosiolog pertama berusaha memberi ciri terhadap kedua hal yang silih

43

Bryan S. Turner, Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, cetakan pertama April 2012 (Edisi

Baru), PT. IRCiSoD Wonosari Yogjakarta, Hal.34. 44

Anthony Giddens dkk., Sosiologi Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Terj. Ninik Rochani

Sjams, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, Cetakan I, halaman 12.

Page 21: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

62

berganti berlangsung di depan mata mereka.45 Yaitu antara komunitas

masyarakat dan masyarakat itu sendiri.

Menurut pandangan sosiolog, agama yang terwujud dalam kehidupan

masyarakat adalah fakta sosial. Sebagai suatu fakta sosial, agama

dipelajari oleh sosiolog dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Disiplin

ilmu yang dipergunakan oleh sosiolog dalam mempelajari masyarakat

beragama itu disebut Sosiologi Agama. Sosiologi Agama adalah suatu

cabang ilmu yang otonom, muncul sekitar akhir abad ke 19. Pada

prinsipnya ilmu ini sama dengan Sosiologi Umum, yang membedakannya

adalah obyek materinya. Sosiologi Umum membicarakan semua fenomena

yang ada pada masyarakat umum, sedangkan Sosiologi Agama

membicarakan salah satu aspek dari berbagai fenomena sosial, yaitu agama

dalam perwujudan sosial. Seorang ahli Sosiologi Agama di Indonesia

Hendropuspito menyatakan, ―Sosiologi Agama ialah suatu cabang dari

Sosiologi Umum yang mempelajari masyarakat agama secara Sosiologis guna

mencapai keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan

masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.‖46

Sosiologi mampu mempelajari masyarakat secara umum, baik

masyarakat agama ataupun masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.

Selain ilmu sosiologi, ilmu antropologi juga mempelajari masyarakat, tapi

lebih cendrung kepada kebudayaannya dan biasanya ilmu antropologi

lebih mempelajari masyarakat yang masih primitif, sedangkan ilmu sosiologi

45

Ibid,. halaman 16. 46

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Penerbit P. T. Rosda Karya, Bandung, 2000, hal. 46.

Page 22: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

63

mempelajari masyarakat yang sudah maju atau masyarakat modern. Pada

awalnya, pengertian sosiologi hanyalah ilmu yang mengkaji masyarakat.

Pembelaan dan pengaruh Durkheimlah yang menyebabkan Sosiologi

mendapat tempat dalam kehidupan modern, mulai dari masalah pemerintah,

ekonomi, pendidikan ataupun forum-forum diskusi umum yang lain, mulai

dari kampus sampai acara talk show di televisi.47 Menurutnya, hanya

sosiologilah yang akan bisa membantu memahami gejolak masyarakat yang

bergerak di atas kaki mereka sendiri. Durkheim meyakini bahwa moralitas

yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dan menjadi

patokan bagi seluruh anggota kelompok tidak bisa dipisahkan dari agama.

Moralitas dan agama bahkan juga tidak bisa dipisahkan dari kerangka sosial.

Kita tidak bisa memahami keduanya tanpa memperhatikan konteks sosial,

sehingga setiap kali konteks tersebut berubah, maka agama dan moralitas

pun akan berubah.48

Fokus Sosiologi Agama Durkheim adalah fungsi yang dimainkan

agama dalam menjembatani ketegangan itu dan dalam menghasilkan

solidaritas sosial, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada

tantangan yang mengancam kelangsungan hidupnya baik dari suku lain,

orang-orang yang menyimpang atau pemberontak dari dalam suku itu sendiri,

maupun dari bencana alam. Agama menyatukan anggota suatu masyarakat

melalui deskripsi simbolik umum mengenai kedudukan mereka dalam

kosmos, sejarah dan tujuan mereka dalam keteraturan segala sesuatu.

47

Daniel L. Pals, Dekonstriksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama, Terj. Inyiak Ridwan Muzir,

M. Syukri, IRCiSoD, Yogyakarta, 2001, halaman 130-131 48

Ibid., halaman 138.

Page 23: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

64

Agama juga mensakralkan kekuatan atau hubungan-hubungan yang

terbangun dalam suku.

Oleh karena itu, agama merupakan sumber keteraturan sosial dan moral,

mengikat anggota masyarakat ke dalam suatu proyek sosial

bersama, sekumpulan nilai dan tujuan bersama.49

2. Obyek Kajian Sosiologi Agama.

Tempat Sosiologi Agama sudah diterangkan dalam definisi Sosiologi

Agama sendiri. Ia merupakan cabang Sosiologi Umum. Maka Sosiologi

Agama merupakan suatu ilmu yang menduduki tempat yang profan. Ia

bukanlah ilmu yang sakral; bukan ilmu teologi, tetapi ilmu profan, yang

positif dan empiris; ilmu yang dilakukan dan dibina oleh sarjana ilmu

sosial entah orangnya suci atau tidak suci. Karena maksud ilmu tersebut bukan

untuk membuktikan kebenaran (objektivitas) ajaran agama, melainkan

untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal masyarakat

agama.50 Jadi, dapat dikatakan bahwa Sosiologi Agama sebenarnya adalah

sebuah ilmu yang mempelajari segala bentuk masyarakat agama khususnya

dan masyarakat modern umumnya.

Maksudnya adalah institusi-institusi yang sebenarnya bisa diamati

secara obyektif. Institusi tersebut bisa hidup karena adanya individu-individu

tersebut. Namun, satu hal yang esensial adalah bahwa representasi itu bersifat

kolektif atau berkelompok.

Menurut Durkheim, sosiologi agamanya memiliki tiga prinsip obyektif.

49

Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Pen. LkiS,

Yogyakarta, 1999, halaman 275. 50

Hendropuspito, Op. Cit., halaman 10.

Page 24: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

65

1. Sosiologi agamanya hendak menganalisa agama yang paling

sederhana yang pernah diketahui manusia, yaitu totemis suku

amborigin di Australia. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan

bentuk-bentuk paling ―elementer‖ bukanlah asal usul primer secara

historis, akan tetapi bentuk-bentuk secara struktural menjadi basis dan

landasan.

2. Tujuan studinya untuk menempatkan asal mula terciptanya konsep-

konsep pemikiran atau katagori fundamental. Sebagai contoh,

Durkheim mengatakan bahwa kategori-kategori dasar seperti waktu,

ruang dan sebab akibat lahir dari bentuk-bentuk organisasi sosial,

bukan dari pengalaman dan penyelidikan individual. Dalam konsep-

konsep tertentu merupakan ―representasi kolektif dan kekuatan

otoritatif tadi bersifat sosial‖, ―cara pikir kita adalah cara hidup kita‖.

3. Menganalisa terhadap totemisme untuk membentuk generalisasi

hakikat dan fungsi universal dari agama dalam setiap bentuk

hubungan sosial.51

Secara umum obyek studi Sosiologi Agama dibagi menjadi dua yaitu

sasaran langsung (obyek material) dan sudut pendekatan (obyek formal).

a. Sasaran Langsung (Obyek Material)

Sosiologi Agama menangani masyarakat agama sebagai sasarannya

yang langsung. Seperti masyarakat non agama umumnya, demikian

pula masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif seperti

51

Bryan S. Turner, Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, cetakan pertama April 2012 (Edisi

Baru), PT. IRCiSoD Wonosari Yogjakarta, Hal.92.

Page 25: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

66

misalnya kelompok-kelompok keagamaan, institusi-institusi religius yang

mempunyai ciri pola tingkah laku tersendiri baik ke dalam maupun ke luar

menurut norma-norma dan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh agama.

Masyarakat agama yang demikian itu akan disoroti secara berturut-turut

struktur dan fungsinya, pengaruhnya terhadap masyarakat luas umumnya dan

atas stratifikasi sosial khususnya, teristimewa mengingat adanya kesadaran

dan kohesi kelompok religius yang mempunyai sifat tersendiri. Sudah tentu

tidak akan dilupakan untuk mengkaji perubahan-perubahan yang disebabkan

oleh agama baik yang positif maupun yang negatif, seperti kerukunan antar

golongan agama dan konflik-konflik yang sering terjadi. Demikian juga

fenomena jenuhnya organisasi lembaga-lembaga keagamaan yang tidak selalu

membawa berhati-hati, bahkan sering menghambat laju modernisasi para

penganutnya.

Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran adalah masyarakat agama.

Sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem ajaran

(dogma dan moral) itu sendiri, tetapi agama sejauh ini sudah mengejawantah

dalam bentuk-bentuk kemasyarakatan yang nyata atau dengan kata lain agama

sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat disaksikan dan

dialami banyak orang. Demi jelasnya Sosiologi Agama tidak membuat

evaluasi mengenai ajaran dogma dan moral yang diyakini pemeluk-

pemeluknya sebagai berasal dari ―dunia luar‖, dunia sakral yang jauh

berbeda secara esensial dengan dunia empiris dan oleh karenanya juga tidak

dapat disentuh oleh pengkajian empiris. Sebab memberi penilaian atas

Page 26: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

67

nilai-nilai adikodrati (supra empiris) adalah tugas khusus dari teologi

dogmatik dan teologi moral dan bukan kompetensi Sosiologi Agama. Ilmu

yang terakhir ini hanya mengkonstatasi (menyaksikan) akibat empiris

kebenaran-kebenaran ―supra empiris‖, yaitu yang disebut istilah masyarakat

agama dan itulah sasaran langsung dari Sosiologi Agama. Masyarakat

agama ialah suatu persekutuan hidup (entah dalam lingkup sempit atau luas)

yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.52

b. Sudut Pendekatan (Obyek Formal).

Kalau ilmu Ketuhanan (teologi) mempelajari agama dan masyarakat

agama dari kaca mata ―supra empiris‖ (baca menurut kehendak

Tuhan), maka Sosiologi Agama mempelajarinya dari sudut empiris

sosiologis. Dengan kata lain, yang hendak dicari dalam fenomena agama itu

adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai-nilai

keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi

masyarakat manusia.

Lebih kongkrit misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan

mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya; ikut

mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan; mewarnai

dasar dan haluan negara; mempengaruhi terbetuknya partai-partai politik

dan golongan non politik; memainkan peranan dalam munculnya strata

(lapisan) sosial, dalam lahirnya organisasi-organisasi; seberapa jauh agama

ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, sekularisasi, fanatisme,

52

Ibid., halaman 8-9.

Page 27: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

68

bentrokan dan lain sebagainya. Jadi hal-hal yang disebut dalam contoh di atas

yang berkaitan erat dengan masalah agama, Sosiologi Agama

menyorotinya dari sudut sosiologis. Sosiologi Agama melalui

pengamatan dan penulisan mau mencari keterangan-keterangan ilmiah

untuk dipergunakan sebagai sarana meningkatkan daya guna dan fungsi

agama itu sendiri demi kepentingan masyarakat agama yang bersangkutan

khususnya dan masyarakat luas umumnya.53

Konsep agama berangkat dari latar belakang yang sama dan dari dasar

yang sama pula bahwa agama harus adanya sebuah keyakinan pada agama

dengan adanya pengakuan manusia terhadap kekuatan yang berada di luar

dirinya, yang disebut Tuhan. Pengakuan itu mendorong manusia untuk

melakukan hubungan spiritual dengan zat Tuhan yang diyakininya. Sepanjang

aktivitas masyarakat mengandung unsur kepercayaan terhadap kekuasaan

Tuhan, sepintas saja sudah dikatakan itu adalah agama. Tetapi tidak cukup

sampai sebatas keyakinan semata. Karena menuntut konsekuensi dari

keyakinan, pengakuan, dan hubungann dengan Tuhan, melahirkan berbagai

bentuk pengabdian dan persembahan. Wujudya di kenal dengan ibadah. Oleh

karena itu, ada faktor-faktor penting yang dimiliki agama,54 yaitu :

a) Adanya sistem keyakinan/kepercayaan pada Tuhan sebagai pencipta.

b) Adanya sistem / peraturan tata cara yang mengatur pelaksanaan

persembahan pada Tuhan yang ia yakini.

c) Adanya kitab suci sebagai pedoman bagi para pemeluknya.

d) Adanya Rasul yang menyampaikan ajaran Tuhan agar dipatuhi segala

53

Ibid., halaman 9-10. 54

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN STAIN

PRESS CIREBON, Tahun 2007. Hal.285.

Page 28: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

69

perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Banyaknya klasifikasi agama dilihat dari berbagai segi, tentunya punya

arti penting fungsi agama bagi manusia dalam menjalani kehidupanya,

diantaranya :

a) Agama satu keharusan bagi masyarakat karena manusia sebagai

mahkluk sosial.

b) Agama bagi manusia merupakan kendali dari perilaku kebablasan.

c) Agama memelihara hak azasi, mencegah penganiyayaan dan

merampas hak-hak orang lain.

d) Agama membantu lahirnya kesejahtraan individu dan masyarakat.

e) Agama menjaga masyarakat untuk kebaikan dan ketentramannya.55

Searah dengan teori positivisme,56 secara sosiologi antropologis bahwa

cara berpikir manusia mengalami perkembangan. Proses berpikir manusia

dalam menafsirkan dunia berkembang secara evolusi, melalui tahapan religius,

metafisika dan positivisme. Pada awal perkembangannya akal budi manusia

menggunakan gagasan-gagasan yang bersumber dari agama untuk

menerangkan gejala-gejala kejadian alam. Seperti berkembangnya pengetahuan

manusia tentang zat Tuhan. Awalnya manusia hidup dalam kesederhanaan,

kemudian diawali dengan rasa takut yang luar biasa pada benda-benda alam,

seperti angin taufan dapat menumbangkan pohon-pohon, api yang menjilat

dan membakar hangus, air bah tsunami yang bergelombang menimbulkan

banjir, gunung-gununng berapi menyemburkan kawah panas. Maka rasa takut

55

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN STAIN

PRESS CIREBON, Tahun 2007. Hal.286.dan hal 99. 56

Aguste Comte [1798-1857] adalah seorang filosof Perancis yang menjelaskan evolusi

peradaban manusia dalam tiga tahapan, yaitu : teologi, metafisik dan positivisme. Teori

Positivisme, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan diperoleh hanya melalui pengamatan

mendalam terhadap realitas fakta.

Page 29: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

70

manusia mendorong hatinya untuk melakukan persembahan terhadap kekuatan

alam, agar alam tidak murka dan menimbulkan bencana. Maka lahirlah agama

dengan basis kepercayaan pada dewa angin, dewa api, dewa gunung, dan lain-

lainya. Secara filosofis pengetahuan masyarakat dengan kepercayaan pada

benda, melahirkan faham materialisme, kalau pemujaan pada roh-roh halus

dianggap mampu memberikan keberkahan, maka lahirlah faham animisme,

atau kepercayaan pada benda-benda alam, maka lahirlah faham dinamisme.57

Dengan demikian, secara sosiologis Antropologi adalah ilmu tentang

manusia, masa lalu dan masa kini, yang menggambarkan manusia melalui

pengetahuan ilmu sosial dan ilmu hayati (alam), dan juga humaniora.

Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti

"manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian

"bernalar", "berakal") atau secara etimologis antropologi berarti ilmu yang

mempelajari manusia).58

Agama yang mengandung kepercayaan dengan berbagai praktek

pengamalan ibadahnya dalam kehidupan masyarakat adalah merupakan hal

sosial. Agama bagian dari masyarakat, tidak ada agama tanpa masyarakat,

begitu pula sebaliknya secara antropologis tidak ada masyarakat yang tidak

beragama. Karena itu, kajian agama tidak bisa lepas dari rumpun kajian ilmu-

ilmu sosial yang pada awalnya berinduk pada ilmu sosiologi, Psikologi dan

57

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN STAIN

PRESS CIREBON, Tahun 2007. Hal.287. 58

https://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi

Page 30: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

71

Antropologi.59

3. Pendekatan Sosiologi Ala Durkheim tentang Agama.

Pendekatan-pendekatan sosiologi yang digunakan Durkheim, sangat

dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran August Comte (1798-1857),

selanjutnya ditulis Comte. Selain Comte, Durkheim juga dipengaruhi dan

mengikuti tradisi yang digariskan oleh Saint Simon (1760-1825), Ernets

Renan, dan gurunya sendiri Fustel de Coulanges. Saint Simon, seorang

pemikir sosialis awal abad ke-18 yang berpendirian bahwa semua milik

pribadi harus diserahkan kepada negara. Ernest Renan, seorang kritikus Bibel,

juga memiliki keterkaitan terhadap masalah sosial kemasyarakatan pada

zaman Yahudi kuno maupun masyarakat Kristen kontemporer. Fustel de

Coulanges, seorang sejarawan Perancis, menegaskan bahwa sejarah

merupakan ilmu tentang fakta sosial. Studi klasiknya The Ancient City

[1864], memfokuskan pada hubungan antara agama dan kehidupan sosial pada

zaman klasik. Selain itu, situasi dan kondisi Perancis modern yang mengalami

revolusi besar pada akhir tahun 1800-an,60 juga ikut memberikan pengaruh

tersendiri bagi perkembangan pemikiran Durkheim itu sendiri.

Durkheim, sebenarnya seorang murid yang ragu-ragu terhadap

pemikiran August Comte (yang menggambarkan bahwa proses berpikir

59

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN

STAIN PRESS CIREBON, Tahun 2007. Hal 86 dan hal 289. 60

Revolusi Perancis yang terjadi pada akhir tahun 1800-an yang ditandai dengan terjadinya

perubahan besar, baik pada sector ekonomi, sosial, budaya, percayaan, agama, moral dan nilai-

nilainya. Artinya masyarakat Perancis pada waktu itu mulai mempersoalkan tentang hak-

hak keistimewaan yang dimiliki kaum ningrat. Dari sini memunculkan ide-ide untuk

mewujudkan prinsip-prinsip umum tentang keadilan dan kebebasan. Masyarakat Perancis

mulai menyadari bahwa kekeliruan atas paham individualisme yang dianut selama ini. KJ.

Veeger, , Realitas Sosial, (Gramedia, Jakarta, 1993)hlm. 140.

Page 31: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

72

manusia dalam menafsirkan dunia dengan segala isinya berkembang secara

evolusi, melalui tahapan religius, metafisika dan vositivisme.61 Sebagai

seorang murid, Durkheim tetap setia pada ajaran Comte yang merupakan

perintis teori evolusionis positivisme Perancis dan juga sekaligus

sebagai pencipta istilah ‖sosiologi‖.62 Pengaruh Comte, pada pemikiran-

pemikiran Durkheim, di antaranya yang tampak pada pola ‖reorganisasi

masyarakat‖ yang dikemukan oleh Comte yang kemudian disempurnakan

oleh Durkheim. Durkheim, melihat konsep Comte cenderung bersifat

‖spekulatif‖ dan ‖pragmatis‖. Artinya bahwa :63 pendekatan positivisme

bersifat spekulatif hanya mempelajari hubungan-hubungan diantara fenomena

yang bisa diamati, dan menurut positivisme, pengetahuan terbatas pada apa

yang tampak oleh panca indra. Durkheim berusaha membenahi kelemahan-

61

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN STAIN

PRESS CIREBON, Tahun 2007. Hlm 42. 62

Comte, filsafat positif-nya, berakar pada kekaguman yang mendalam akan presisi kuantitatif dari ilmu-ilmu alam, khususnya matematika, fisika dan biologi. Comte, berusaha menerapkan metode-metodeini untuk menemukan prinsip-prinsip keteraturan dan perubahan di dalam masyarakat, sehingga menghasilkan sebuah susunan pengetahuan baru yang dapat dipakai untuk mereorganisasikan masyarakat demi perbaikan manusia. Pendekatan ilmiah dan rasionalis Comte, dikombinasikan dengan sebuah perspektif sejarah, terutama dalam ―Hukum Kemajuan Manusia‖ yang menyatakan bahwa semua masyarakat melewati tiga tahapan, yakni : [1] tahapan teologis atau khayal, [2] tahapan metafisik atau abstak, dan [3] tahapan ilmiah atau positif. Masing-masing tahapan tersebut mencakup sikap intelektual yang berbeda-beda. Dalam tahapan teologis, manusia mencari pengetahuan yang absolut dari sifat hakiki kenyataan dan sebab-sebab pertama dan terakhir yang memuncak pada penjelasan segala sesuatu sebagai hasil kehendak Tuhan. Comte, menyatakan bahwa susunan mental yang pada mulanya emosional akan membuka jalan ke sikap metafisis, di mana kekuatan-kekuatan abstrak mengganti kekuatan-kekuatan adi kodrati, tetapi penjelasan-penjelasan masih ditulis dalam pengertian sifat-sifat hakiki, misalnya apabila nilai ekonomi dijelaskan dengan nilai intrinsik benda-benda. Maka, menurutnya, tahapan yang sebagian besar destruktif ini pada gilirannya akan menggiring kepada gaya ilmiah atau positivis di mana pikiran dengan mengesampingkan pencarian penjelasan-penjelasan akhir, memakai observasi atas fenomena untuk menetapkan hukum-hukum dinamika yang mirip dan berbeda-beda. Jadi, menurut Comte, positivisme pengetahuan terbatas pada apa yang tampak oleh panca indera dan dengan demikian pengetahuan hanya menangani hubungan-hubungan antasedens dan konsekwens di antara fenomena yang teramati [Lihat : Tom Campbell, Seven Theories,…hlm.149-51]. 63

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN STAIN

PRESS CIREBON, Tahun 2007, hlm 42.

Page 32: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

73

kelemahan pemikiran Comte tersebut dengan berusaha tetap menjaga

tujuan umum yang dikehendaki oleh Comte.

Pengaruh lain yang tampak pada kepercayaan Durkheim, yang

menganut sesuatu yang diyakini terlebih dahulu oleh Comte, yakni

kepercayaan akan kemungkinan untuk menunjukan bahwa masyarakat tunduk

pada sebab-sebab alamiah, walaupun Durkheim kurang meyakini rasional

total gurunya tersebut akan posisi organisasi ilmiah masyarakat.

Dengan dasar ini, Durkheim menolak penafsiran ketat dari hukum Comte

tentang kemajuan manusia yang ia anggap sebagai sangat dogmatis dan tidak

tepat. Namun Durkheim tetap menyetujui campuran ilmu pengetahuan dan

pembaharuan ala comte. Menurut Durkheim, secara khusus ilmu sosial dapat

diterapkan pada masalah penetapan kembali tatanan sosial diambang

pergolakan-pergolakan revolusioner abad ke-18 dan efek-efek industrialisasi

yang merugikan masyarakat. Durkheim berharap untuk memperlihatkan

bagaimana sebuah konsensus sosial baru dapat menciptakan kembali nilai-

nilai komunitas dan tatanan sosial, tanpa mengorbankan emansipasi manusia

yang berasal dari keambrukan feodalisme.64 Dengan mengadopsi kerangka

organis yang dikemukakan Comte yang berwatak positivis, maka pemikiran

Durkheim-pun kental dengan nuansa positivis. Namun tanpaknya pandangan

Durkheim berbeda dengan pemikiran Comte. Sebab ciri khas pemikiran

positivisme Durkheim adalah usaha satu-satunya untuk mendekati masyarakat

sebagai sebuah kenyataan organis yang independen yang memiliki hukum-

64

Emile Durkheim,Sosiologi dan Filsafat, terj. Soedjono Dirdjosiswono,(Jakarta

Erlangga,1989),hlm 76.

Page 33: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

74

hukumnya sendiri. Holisme metodologi Durkheim berkaitan dengan sebuah

pendirian yang sangat deterministik yang berpendapat bahwa individu-

individu tidak berdaya dihadapan pembatasan-pembatasan dari kekuatan-

kekuatan sosial yang menghasilkan penyesuaian diri dengan norma-norma

sosial atau tingkah laku yang disebabkan oleh norma sosial tersebut.

Durkheim, juga mengkombinasikan pengambilan jarak ilmiah dan

determinisme kausal dengan kepercayaan bahwa ilmu masyarakat memberi

semacam jawaban untuk masalah-masalah etis normatif dari filsafat

tradisional.

Implikasi pandangan ‖positivistik‖ Durkheim terhadap‖ moral dalam

terapan‖, dikategorikan sebagai sebuah ‖fakta sosial‖. Fakta sosial tersebut

didefinisikan sebagai ‖cara-cara bertindak, berpikir dan merasa‖, yang ‖berada

di luar individu‖ dan dilengkapi atau dimuati dengan sebuah kekuatan

memaksa yang dapat mengontrol individu. ‖Fakta sosial‖ itulah yang akan

mempengaruhi setiap tindakan, pikiran dan rasa dari individu. Durkheim,

menyatakan apa yang dipikirkan adalah kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat

dan cara hidup umum manusia sebagai sesuatu yang terkandung dalam

institusi, hukum, moral dan ideologi-ideologi politis. Semua itu dapat saja

bekerja dalam kesadaran individu, tetapi menurutnya semua itu merupakan

fenomena-fenomena yang dapat dibedakan dan ditemukan dengan mengamati

tingkah laku manusia pada umumnya dan bukan dengan memeriksa isi

Page 34: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

75

pikiran individu tersebut.65 Durkheim, juga menjelaskan ‖fakta sosial‖ yang

berada ‖di luar‖ diri individu dalam arti bahwa ‖fakta itu datang kepadanya

dari luar dirinya sendiri‖ dan dapat menguasai tingkah lakunya. Ciri

‖idealistis‖ atau ‖moral‖ yang diakui berasal dari ‖fenomena sosial‖,

Durkheim tetap berusaha untuk menemukan cara-cara menjelaskan ‖fakta

sosial‖ tersebut yang dapat teramati dan terukur. Durkheim menyamakan

‖kepadatan sosial‖ dengan konsentrasi populasi dengan memakai statistik.

Misalnya, Durkheim menggunakan angka-angka perceraian untuk membuat

sebuah ‖pernyataan faktual umum‖ mengenai masyarakat sebagai keseluruhan

dan menganggap proses teramati dari berbagai jenis sanksi hukum sebagai ciri-

ciri permukaan dari kenyataan-kenyataan sosial yang mendasarinya. Walaupun

‖fakta sosial‖ dengan cara ini dijelaskan terbuka pada observasi masyarakat,

tetapi bagi Durkheim, semuanya itu pada dasarnya merupakan sebuah

‖fenomena moral‖ atau sesuatu yang ‖bersifat normatif‖ berkaitan dengan

pengaturan tingkah laku individu, melalui ‖sebuah sistem‖ yang dipaksakan

atau merupakan sebuah‖sistem eksternal‖ yang memaksakan nilai-nilai

atau aturan-aturan sebagai sebuah ‖sistem moral‖ atau dengan kata lain

penampilan khasnya berupa kewajiban-kewajiban. Menurut Durkheim,

bagaimanapun sadarnya individu ia harus tetap melaksanakan kewajiban-

kewajiban itu menurut bahasa, adat istiadat, kebiasaan dan hukum

masyarakatnya, di mana kesemuanya itu merupakan ‖fakta-fakta sosial‖ yang

65

Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi

Pendidikan, terj. Lukas Ginting (Jakarta, Erlangga, t.t), hlm. 35 dalam Kamiruddin, FUNGSI

SOSIOLOGI AGAMA (STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM),

http://download.portalgaruda.org/article.php.

Page 35: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

76

tidak di rekayasa atau tidak diciptakannya melainkan ia terpaksa

menjalankan dan menyesuaikan dirinya dengan fakta sosial tersebut. Jika

individu tidak menyesuaikan diri dengan ‖fakta sosial‖ tersebut - maka

individu tersebut akan menderita konsekuensi-konsekuensi penolakan sosial

dan menerima hukuman. Maka dari sini, ada sebuah unsur idealisme sosiologis

yang jelas dalam teori Durkheim.

4. Konsep Dasar Durkheim Tentang Agama.

Durkheim, mempunyai pandangan bahwa fakta sosial jauh lebih

fundamental dibandingkan dengan fakta individu. Tetapi individu sering

disalah pahamkan ketika pengaruh masyarakat yang begitu kuat terhadapnya

dan di kesampingkan atau tidak diperhatikan dengan teliti.

Menurut Durkheim adalah sia-sia belaka apabila menganggap mampu

memahami apa sebenarnya individu itu hanya dengan mempertimbangkan

faktor biologis, psikologis atau kepentingan pribadinya. Seharusnya individu

dijelaskan melalui masyarakat dan masyarakat dijelaskan dalam konteks

sosialnya. Inilah pemikiran sosiologi Durkheim yang akhirnya membawa

penulis untuk mencermati pemikiran Durkheim, tentang :

a. Agama : sebagai Sacred dan Profan,

Pengertian Sakral dan Profan.

Pengertian sakral yaitu hal yang lebih dirasakan dari pada yang

dilukiskan. Misalnya suatu benda mengandung nilai sakral atau nilai

profan, dalam masyarakat terdapat pandangan yang berbeda,

contohnya seekor lembu, masyarakat yang bukan beragama Hindu

Page 36: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

77

beranggapan bahwa lembu itu sebagai hewan yang biasa. Tetapi orang yang

beragama Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan.

Dalam hal ini Zakiah Daradjat berpendapat sebagai berikut:

Pengertian sakral merupakan suatu hal yang lebih mudah

dirasakan daripada dilukiskan. Bilamana terdapat suatu anggapan bahwa

suatu benda sakral tersebut mengandung zat yang suci, dan di dalamnya

mengandung pengertian misteri yang mengerikan tetapi mengagungkan. Di

dalam masyarakat, terdapat pandangan yang berbeda-beda mengenai mana

benda yang suci, dan benda yang biasa, atau yang sering dikemukakan

orang benda sakral dengan profan. Selain dari pada itu yang suci ada yang

terdapat di dunia ini dan ada di surga. Orang Hindu menghormati dan

mensucikan lembu, Hajar Aswad di Makkah disucikan oleh orang-orang

Islam, Salib di atas dasar disucikan oleh orang Kristen, masyarakat primitif

membakar mati binatang-binatang totem mereka.66

Implikasi analisis penulis pada sakral dan profan dalam pemujaan

seluruh penganut Hindu terhadap lembu/sapi. Maka yang menjadi nilai

keagamaannya adalah bentuk pemujaan, sedangkan yang menjadi nilai-nilai

moral adalah yang menjadi sumber pada fakta yaitu keharusan untuk tidak

memakan daging sapi/lembu, karena dijadikan kesakralan untuk penganut

Hindu, lain halnya dengan penganut muslim atau yahudi yang makan daging

sapi dan tidak makan daging babi.

Untuk itu, perlu dicermati konsep Emile Durkheim tentang agama yang

mengklaim bahwa agama adalah “sesuatu yang amat bersifat moral”.

Sumber agama adalah masyarakat itu sendiri yang akan menilai sesuatu

66

Nurdinah Muhammad:‖Sakral dan Profan dalam Agama‖...........Jurnal Subtantia Vol.15, No.2, Oktober 2013 dalam Zakiah Darajat, Perbandingan Agama (Jakarta: Bumi Aksara, 1985), 167-168.

Page 37: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

78

itu bersifat sakral atau profan. Durkheim menemukan karakteristik paling

mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-

elemen “supernatural”, melainkan terletak pada konsep tentang “yang

sakral” (secred), dimana keduanya yaitu supernatural.67 Di samping itu ada

pula yang tampak dan tidak dapat diraba, wujud yang suci tersebut ialah seperti

Tuhan, Roh, malaikat, setan, hantu yang semuanya itu dikeramatkan dan

dikagumi, Yesus Kristus serta Santa Maria, Budha dan Budhisatwa disucikan

oleh penganutnya dan dikeramati dalam upacara keagamaan.68

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa suatu benda dapat

disucikan atau dihormati disebabkan ada perasaan batin dan perasaan yang

terpatri di dalam jiwanya dan rasa ketakutan. ―Perasaan kagum inilah

untuk menarik mereka untuk cinta dan ingin terhindar dari bahaya‖.

Dalam hal tinjauan mengenai agama tentang dikotomi Sakral dan Profan

dianggap penting, menurut dua teoritikus agama ya‘ni : Emile Durkheim,

seorang sosiolog yang identik dengan studi-studi kemasyarakatan, dan Mircea

Eliade, seorang filusuf dan sejarawan agama yang menolak segala bentuk

reduksi keilmuan dalam studi agama.69

Konsep Durkheim tentang agama, juga tidak terlepas dari

argumentasinya tentang agama sebagai bagian dari fakta sosial. Artinya,

Durkheim mempunyai pandangan bahwa ‖fakta sosial‖ jauh lebih

fundamental dibandingkan dengan fakta individu. Pemikiran-pemikiran

67

http://webcomche. Google intercontent.Com/ search ?g= cache: s7HH20 vf (s): que.

Indeskripsi.com/mode/798+sakral+dan+profane. diakses tanggal 10 September 2013. 68

Zakiah Darajat, Perbandingan Agama, 168. 69

http://www.appuntidiscienzesociali.it/Immagini/Durkheim.jpg

Page 38: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

79

Durkheim dalam bidang agama banyak dimuat dan dipublikasikan terutama

dalam buku The Elementary Form of Religious Life (dipublikasikan pada

tahun 1912). Buku ini, merupakan karya fenomental yang memuat inti teori-

teori pemikiran Durkheim tentang agama70.

Durkheim, mengemukakan beberapa pertanyaan klasik tentang

keyakinan dan pemeluk agama: Apakah sebenarnya agama itu? Kenapa agama

begitu penting dalam kehidupan manusia? Bagaimana pengaruh agama

dalam kehidupan individu dan sosial? Durkheim, berbeda dengan penulis

yang lain seperti: Tylor, Frazer dan Freud yang lebih disibukan dengan ide

konvensional bahwa agama merupakan kepercayaan kepada kekuatan

supernatural seperti Tuhan atau dewa-dewi.

Untuk mengeksplorasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Durkheim

tersebut di atas, Durkheim memilih agama ‖paling primitif‖ dan paling

sederhana sebagai subjek penulisannya. Sejak awal Durkheim, telah

mengklaim bahwa masyarakat primitif sebenarnya tidak pernah berpikir

tentang ‖dua dunia‖ yang berbeda, yaitu ‖natural‖ dan ‖supernatural‖

sebagaimana yang dipikirkan oleh masyarakat beragama yang memiliki

kebudayaan lebih maju (masyarakat modern) dari mereka. Sebab menurut

Durkheim pada kenyataannya masyarakat modern masih dipengaruhi oleh

asumsi-asumsi sains, sedangkan masyarakat primitif tidak dipengaruhi oleh

70

Lihat : Emile Durkheim, Sejarah Agama, terj. Inyiak Ridhwan Muzir, (Ircisod, Yogyakarta,

2003).

Page 39: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

80

asumsi-asumsi sains.71 Menurut Durkheim, kata primitif mengandung

pengertian bahwa sistem agama tersebut terdapat dalam organisasi

masyarakat-masyarakat yang paling sederhana, serta sistem agama tersebut

dapat dijelaskan tanpa harus terlebih dahulu menjelaskan elemen-elemen lain

dari agama yang labih tua darinya. Durkheim, mengatakan agama primitif

tampak lebih dapat membantu dalam menjelaskan hakekat religius

manusia, dibandingkan dengan bentuk agama lain yang datang setelahnya,

sebab agama primitif mampu memperlihatkan aspek kemanusiaan yang paling

fundamental dan permanen. Selain itu Durkheim menegaskan bahwa

agama-agama primitif memenuhi kebutuhan yang sama, memainkan peranan

yang sama dan bertolak dari sebab yang sama dengan agama-agama lainnya

dan agama primitif mampu menjelaskan hakekat kehidupan religius

dengan baik.72 Tetapi, menurut Durkheim tidak semua agama mempercayai

adanya Tuhan ataupun dewa-dewi, walaupun mereka meyakini adanya

sebuah kekuatan yang superanatural. Berdasarkan pada pemikiran ini,

maka Durkheim menyatakan sebagai langkah awal dalam mendiskusikan

permasalahan agama, terlebih dahulu perlu dijelaskan apa definisi agama

itu sendiri. Maka pada posisi ini, tampaknya Durkheim tidak mau

mendefinisikan agama secara spesifik dari sudut pandang superanatural dan

menolak definisi agama yang dikemukakan Tylor bahwa ‖agama adalah

71

Baca: Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme Dalam Islam,

Kristen dan Yahudi, terj. Satrio Wahono, dkk., (Mizan & Serambi Ilmu Semesta, Bandung &

Jakarta, 2000). hlm.123 dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA (STUDI PROPAN

DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.portalgaruda.org/article.php. 72

Emile Durkheim, Op.Cit. hlm.1-3 dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA (

STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.

portalgaruda. org/ article.php.hlm.8

Page 40: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

81

keyakinan pada ‖ada‖ spritual (spritual being)”. Menurutnya Budhisme

adalah agama, tetapi ‖tidak memiliki ide tentang Tuhan dan roh‖ dan

beberapa sekte dalam agama Budha yang juga ”menolak eksistensi Tuhan

dan dewa-dewi”. Selain itu, juga terdapat beberapa jenis ritual kelompok yang

tidak ada sama sekali keterkaitannya dengan unsur Tuhan ataupun roh-roh.

Agama tidak lebih dari ”sekedar gagasan tentang Tuhan dan roh”.

Konsekuensinya, agama tidak dapat didefinisikan semata-mata dalam

kaitannya dengan kedua hal tersebut.73 Durkheim mendefinisikan agama dari

sudut pandang ‖yang sakral‖ (Sacred). Ini berarti ”agama adalah kesatuan

sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan suatu

yang sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-

keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral

yang disebut Gereja, di mana semua orang tunduk kepadanya”74 atau

sebagai tempat masyarakat memberikan kesetiannya.

Dari definisi Durkheim ini, terlihat yang menjadi kata kunci adalah

‖komunitas‖ dan ‖gereja‖. Pengamatan selanjutnya, Durkheim menemukan

karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah

terletak pada elemen-elemen ‖supernatural‖, melainkan terletak pada

konsep tentang ‖yang sakral‖ (Sacred), di mana keduanya yaitu supernatural

dan yang sakral, memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut Durkheim,

73

Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, Yogyakarta,

AK Group, 2003, hlm. 139-140. 74

Emile Durkheim, Op.Cit. hlm.44 dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA (

STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM) http://download.

portalgaruda. org/ article.php.hlm.8.

Page 41: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

82

seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana maupun yang

kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan

antara ‖yang sakral‖ (Sacred) dan ‖yang profan‖ (profane),75 yang selama

ini dikenal dengan ‖natural‖ dan ‖supernatural‖. Durkheim menambahkan

bahwa hal-hal yang bersifat ”sakral” selalu diartikan sebagai sesuatu yang

superior, berkuasa, yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut tidak

tersentuh dan selalu di hormati. Hal-hal yang bersifat ”profan” merupakan

bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja.

Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada

‖yang sakral‖, karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan

kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki

pengaruh yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari

setiap individu. Durkheim mengingatkan bahwa dikotomi tentang ‖yang

sakral‖ dan ‖yang profan‖ hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep

pembagian moral, bahwa yang sakral sebagai ‖kebaikan‖ dan yang profan

sebagai ‖keburukan‖. Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama

ada dalam ‖yang sakral‖ ataupun ‖yang profan‖. Hanya saja yang sakral tidak

dapat berubah menjadi profan dan begitu pula sebaliknya yang profan tidak

dapat menjadi yang sakral. Dari definisi ini, konsentrasi utama agama terletak

pada hal-hal yang sakral.

75

Ibid, 34-35. dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA ( STUDI PROPAN DAN

SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.portalgaruda.org/article.php. Hlm.

hlm.9.

Page 42: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

83

Durkheim, menjelaskan kata ‖komunitas‖ (community) dan Gereja

(church), mempunyai arti yang signifikan. Menurutnya fungsi sosial dan

komunal agama merupakan inti dalam pemikiran dan teori agamanya. Agama

pada dasarnya merupakan sesuatu yang kolektif, bahkan Durkheim

membedakan agama dari magic dengan menyatakan. Magic merupakan

upaya individual, sedangkan agama tidak dapat dipisahkan dari ide

komunitas peribadatan atau moral. Magic dan agama dapat saja hidup

berdampingan, sebab yang pertama (magis) berusaha dengan hal-hal yang

bersifat personal, sedangkan yang kedua (agama) menyangkut dengan

hal-hal yang bersifat sosial. Maka, menurutnya seseorang yang berkemampuan

magic dapat saja memiliki beberapa klien, tetapi tidak akan pernah memiliki

jama‘ah dan mungkin tidak pernah ada yang dinamakan gereja magic.

Dalam mendefinisikan agama, Durkheim mengkritik beberapa teori

agama yang tersohor, seperti teori animisme yang dikemukakan E.B. Tylor

dan teori naturisme yang dikemukakan oleh F. Max Muller yang berpendapat

bahwa masyarakat menjadi yakin akan dewa-dewi, karena mereka mencoba

menjelaskan beberapa fenomena alam yang dahsyat, seperti matahari, langit

dan badai. Tylor, menyatakan ide kepercayaan muncul dan berawal dari ide-

ide tentang roh. Durkheim, melihat pada prinsipnya teori-teori tersebut sama,

karena berusaha menderivasikan ide tentang yang sakral merupakan sensasi

yang muncul dari fenomena natural, baik fenomena fisik maupun biologis.

Bagi kelompok animis, asal-usul agama diderivasikan dari pengalaman mimpi.

Kelompok naturis, asal-usul agama diderivasikan dari fenomena kosmis.

Page 43: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

84

Durkheim, mengkritik emperisme yang demikian, baginya teori agama seperti

ini tampak benar-benar merupakan ciptaan yang didasarkan dari ketiadaan dan

memberikan status ilusif kepada gagasan keagamaan. Maka Durkheim,

merumuskan apa yang sebenarnya inti dari emperis agama, yakni bukan

peribadatan nenek moyang dan bukan pula pendewaan fenomena natural yang

memainkan peranan penting dalam sistem keagamaan dalam budaya

kesukuan. Durkheim mengatakan penyembahan terhadap orang yang telah

mati merupakan ‖bentuk penyembahan yang hanya berkembang dalam

masyarakat yang telah maju seperti masyarakat Cina, Mesir, Yunani

serta kota-kota Latin. Pendewaan terhadap alam dalam budaya preliterate atau

masyarakat sebelum memiliki budaya baca-tulis, tidak difokuskan pada

kekuatan kosmis, tetapi kepada tumbuhan dan binatang sederhana, seperti

kelinci atau kanguru.76 Dengan pandangan ini, akhirnya Durkheim

menegaskan bahwa di luar ‖animisme‖ dan ‖naturisme‖ ada pemujaan

yang lebih primitif dan fundamental yang merupakan asal dari animisme dan

naturisme tersebut atau menurutnya keduanya adalah sebagian aspek

darinya, yaitu ‖totemisme‖.77

b. Agama sebagai Totemisme

76

Barian Morris, Op.Cit.hlm. 140-141 dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA (

STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.

portalgaruda.org/article.php. Hlm.8. 77

Emile Durkheim, Op.Cit.hlm. 85. dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA (

STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM),

http://download.portalgaruda.org/article.php. Hlm8.

Page 44: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

85

Teori-teori yang dikemukakan Durkheim tentang agama dilandaskan

pada hasil penulisan sosiologi antropologi terhadap kehidupan masyarakat

primitip Aborigin di benua Australia. Durkheim, tertarik untuk melakukan

penulisan terhadap sistem relegius penduduk asli Australia, karena Durkheim

merasa bahwa apa yang telah dihasilkan para penulis terdahulu belum mampu

memunculkan apa sebenarnya yang paling penting dari masyarakat Aborigin

tersebut. Anggapan Durkheim bahwa tidak satupun dari mereka yang

berhasil mengungkapkan apa sebenarnya makna totemisme bagi masyarakat

suku tersebut. Menurutnya, penulis terdahulu hanya dapat menggambarkan

masyarakat “tribal” terbagi dalam beberapa klan, di mana setiap klan

memiliki binatang dan tumbuhan serta benda lain sebagai totem masing-

masing. Setiap totem, entah berupa kijang, kangguru ataupun pohon teh,

dianggap sakral oleh suku yang memilikinya.

Durkheim, mengatakan bahwa mereka belum berhasil mengetahui hal

yang lebih penting lagi, yakni kenapa totem-totem itu dapat menggambarkan

konsep yang sakral dan yang profan dalam masyarakat. Durkheim, mengamati

bahwa dalam masyarakat primitif, setiap binatang ‖yang bukan totem‖ boleh

diburu dan dimakan karena binatang tersebut termasuk ‖yang pofan‖.

Sebaliknya, binatang yang dijadikan sebagai ―totem” adalah bagian sakral

bagi seluruh anggota klan dan tentu saja terlarang bagi seluruh anggota klan

untuk membunuh dan memakannya, kecuali untuk dijadikan sebagai

korban atau sebagai sesajian dalam upacara-upacara keagamaan. Durkheim,

berhasil menemukan lambang atau simbol-simbol binatang totem tersebut

Page 45: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

86

sangat berarti bagi klan yang memujanya, karena binatang tersebut bukan

hanya dianggap sebagai bagian dari ‖yang sakral‖, akan tetapi juga merupakan

perwujudan dan contoh yang sempurna dari yang sakral. Sikap tersebut dapat

dilihat ketika klan tersebut mengadakan upacara-upacara keagamaan yang

selalu menggunakan simbol-simbol dari totem mereka, terbuat dari ukiran

kayu atau batu dan diletakkan ditengah-tengah mereka dalam upacara tersebut.

Bagi klan, totem tersebut adalah hal yang paling sakral dan dapat

mengkomunikasikan kesakralannya itu kepada mahkluk yang ada di

sekelilingnya. Durkheim, menyimpulkan kepercayaan terhadap totemisme

adalah hal yang paling penting dalam masyarakat yang sangat sederhana ini,

karena seluruh aspek kehidupan mereka yang lainpun sangat dipengaruhi

totem-totem ini. Durkheim,78 menyatakan bila diamati sepintas lalu, totemisme

ini tidak lebih dari bentuk keyakinan agama atau sekedar tipe lain dari agama

yang selama ini diketahui sebagai bentuk pemujaan terhadap binatang atau

tumbuhan tertentu. Tetapi jika dicermati secara teliti, maka yang akan muncul

adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Artinya, para penganut kepercayaan

totem tersebut sebenarnya tidaklah sedang ‖memuja seekor binatang‖ ataupun

‖tumbuhan yang ukirannya‖ ada di tengah-tengah mereka, akan tetap mereka

memuja suatu kekuatan yang ‖anonim‖ dan ‖impersonal‖ yang dapat

ditemukan dalam binatang-binatang tersebut, namun tidak dapat disamakan

dengannya bintang tersebut. Tidak seorangpun dapat memiliki dan

78

Emile Durkheim, “Sejarah Agama The Elementary Forms of the Religious Life”, Oktober

2005, PT. IRCiSoD Jl. Nogorojo No. 208-C Gowok Yogyakarta 55281. Hal.280. Totemisme

adalah agama yang menyembah semacam kekuatan anonim dan impersonal yang bisa dikenali.

Page 46: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

87

menguasainya, namun semua orang harus berpartisipasi dalam

menyembahnya.

Menurut Durkheim, dalam kepercayaan totem ini juga terdapat Tuhan

yang mereka sembah, namun Tuhan itu berbentuk ”impersonal”, artinya

Tuhan yang tanpa nama atau sejarah, imanen ke dalam dunia dan

mengejewantah ke berbagai benda yang ada di alam ini.79 Pandangan ini,

kemudian dapat diketahui kenapa Durkheim menyalahkan pada penulis-

penulis terdahulu, yang mengartikan agama sebagai kepercayaan terhadap

kekuatan supernatural.

Durkheim, menjelaskan bahwa Tuhan yang diyakini masyarakat,

yakni prinsip-prinsip totem bisa jadi merupakan sesuatu yang lain dari klan itu

sendiri, yang di personifikasikan dan di presentasikan secara imajinatif

menjadi binatang atau tumbuhan yang terlihat yang dijadikan totem.80 Dari

79

Ibid.hlm.191 dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA ( STUDI PROPAN DAN

SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.portalgaruda.org/article.php.hlm.9.

Dan dalam Emile Durkheim, “Sejarah Agama The Elementary Forms of the Religious Life”,

Oktober 2005, PT. IRCiSoD Jl. Nogorojo No. 208-C Gowok Yogyakarta 55281. Hal.281. Bahwa

pengaruh yang menyebabkan mereka memandang kekuatan ada pada binatang atau tumbuhan

(dalam bentuk benda-benda material). Dengan benda-benda inilah totem dianggap meleburkan

diri. Totem adalah hal-hal yang kasat mata dimana subtansi yang kasat mata mempresentasikan

diri dalam imajinasi. Sementara yang dijadikan objek riil pemujaan adalah energi yang

dimilikinya. Seperti halnya dipahami masyarakat primitif tentang masyarakat phratri gagak.

Mereka maksudkan bukanlah gagak dalam pengertian empiris kata ini, tetapi tentunya ada

kesamaan prinsip yang terdapat dalam diri mereka masing-masing. Prinsip itu membentuk

hakekat kedirian mereka, terdapat di dalam diri manusia dan binatang secara bersama-sama

karena ada persaamaan nama dan di konseptualisasikan sebagai wujud yang lahir dari gagak,

sebagai mana dipahami totemisme dipenuhi dan dihidupi oleh kekuatan yang direpresentasikan

imajinasi dipinjam dari wujud binatang gagak. 80

Ibid.hlm.208 dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA ( STUDI PROPAN DAN

SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.portalgaruda.org/article.php.

Hlm9.

Page 47: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

88

pandangan ini, totem adalah simbol klan dan Tuhan sekaligus, karena klan

dan Tuhan pada dasarnya sama.

Oleh karena itu, penyembahan terhadap Tuhan atau dewa-dewa

sebenarnya adalah bagaimana masyarakat primitif mengekspresikan dan

memperkuat kepercayaan mereka kepada klan. Maka, ketika mereka

melakukan ritual-ritual keagamaan selalu bersifat komunal, anggota

masyarakat Aborigin akan mengganggap sama-sama memuja beberapa

Tuhan baik yang berupa binatang ataupun tumbuhan yang terdapat di luar

alam nyata ini yang akan memberi kemakmuran kepada mereka.

Durkheim, menyatakan sebuah masyarakat pasti membutuhkan

komitmen individu yang terdapat di dalam dan melalui kesadaran. Menurutnya

prinsip-prinsip totem selalu menyusup dan mengatur serta memiliki

kekuasaan dalam kesadaran diri individu. Masyarakat harus menghormatinya

dan merasa punya tanggung jawab moral untuk melaksanakan upacara-upacara

penyembahan. Maka dengan melakukan ritual-ritual keagamaan yang selalu

bersifat komunal, masyarakat semakin merasa mempunyai ikatan satu sama

lain dan memiliki kesetiaan serta loyalitas tinggi.

Akhirnya, Durkheim beralih dari pemaparan kepercayaan agama

masyarakat Australia, kepada proses penyelenggaraan ritual-ritual agama

tersebut. Di sini yang perlu selalu diingat adalah pengamatan Durkheim yang

paling awal, yakni bahwa persamaan-persamaan keagamaan pertama kali

muncul bukan dari momen-momen pribadi, akan tetapi dari upacara-upacara

Page 48: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

89

klan yang bersifat komunal. Konsekuensinya, asumsi semacam ini

membawa pada kesimpulan bahwa keyakinan yang ditemukan dalam

totemisme itu bukanlah hal yang penting, tetapi ritual-ritual keagamaanlah

yang jauh lebih penting. Ritual dalam totemisme diwujudkan melalui

pemujaan, di mana pemujaan terbagi menjadi dua bentuk yakni ‖negatif‖ dan

‖positif‖. Di samping itu, juga terdapat bentuk ketiga yang disebut dengan

“piacular” yang berarti penebusan dosa atau kesalahan. Posisi bentuk ketiga

berada diwilayah bentuk pemujaan yang pertama. Dengan demikian, tugas

utama ritual-ritual yang tergabung ke dalam pemujaan negatif adalah ‖menjaga

yang sakral agar selalu terpisah dari yang profan‖. Maka, pemujaan

bentuk pertama ini biasanya berisi tentang ‖larangan-larangan‖ atau ‖taboo‖.

Sedangkan pemujaan bentuk kedua ‖merupakan ritual paling utama‖ bagi

masyarakat Australia adalah “ intichiuma”, yakni ritual yang

menggambarkan prosesi penyerahan hidup manusia kepada Tuhan, kemudian

tuhan memberikannya kembali kepada mereka.

c. Agama sebagai Fungsi Sosial.

Dalam masyarakat Aborigin Australia, kepercayaan terhadap

totemisme diwujudkan dengan melakukan upacara-upacara pemujaan atau

ritual-ritual agama yang bersifat komunal. Dari sinilah perasaan-perasaan

keagamaan pertama kali muncul, bukan dari momen-momen yang bersifat

pribadi dan individu. Durkheim, mengatakan bahwa ―pemujaan‖ (cult,

worship) yang terdiri dari perasaan-perasaan anggota upacara dan timbul dalam

waktu-waktu tertentu merupakan inti kehidupan klan secara keseluruhan.

Page 49: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

90

Keyakinan-keyakinan yang ditemukan dalam totemisme bukanlah hal yang

penting, akan tetapi ritual-ritual keagamaanlah yang jauh lebih penting. Di

manapun dan bagaimana pun bentuk perasaan yang muncul, perilaku-perilaku

anggota klan saat melakukan upacara ini adalah perasaan yang paling penting

yang pernah mereka alami. Perasaan yang timbul saat itu adalah bagian dari

yang sakral, sedangkan perasaan lain adalah bagian dari yang profan. Maka,

tujuan ritual-ritual agama tersebut adalah untuk memberikan kesadaran tentang

arti penting klan, memberikan suatu perasaan mereka adalah bagian dari klan

dan memastikan bahwa yang sakral selalu terhindar dari segala sesuatu yang

profan. Dalam praktek totemisme masyarakat Aborigin Australia, ritual yang

paling utama bagi mereka adalah intichiuma. Ritual ini dapat ditemukan

di hampir setiap suku Australia, namun bentuk pemujaan antara satu suku

dengan suku yang lain tidaklah selalu sama, karena masing-masing kelompok

totemik memiliki ucapan intichiumanya sendiri-sendiri.81 Dalam ritual

tersebut, masyarakat yang melakukan pemujaan menyerahkan hidup mereka

kepada Tuhan kemudian Tuhan memberikannya kepada mereka kembali.

Kegiatan ritual ini, yang oleh Durkheim diistilahkan dengan ‖pertukaran

sakral‖ (sacred exchange) dan kegiatan ritual semacam ini biasanya dilakukan

di awal musim hujan dan dimulai dari tempat-tempat tertentu di sekitar

‖sebuah batu‖ kemudian diikuti oleh suka cita keagamaan dan kemudian

81

Emile Durkheim, Op.Cit..h.331 dalam Kamiruddin, “FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA” (

STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM),

http://download.portalgaruda.org/ article.php.hlm.10.

Page 50: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

91

dipertengahan upacara, binatang totem ditangkap, kemudian disembelih dan

dimakan dalam sebuah perjamuan sakral. Dalam pengamatan Robertson Smith,

upcara intichiuma ini sangat mirip dengan perjamuan suci dalam tradisi

Kristen. Bahkan dia menyatakan bahwa upacara ini merupakan bentuk paling

awal dari prosesi kurban yang dalam beberapa agama di kemudian hari

menempati posisi yang sangat penting. Maka dalam penyembelihan terhadap

totem ini, Durkheim menyatakan bahwa setiap orang merayakan keberadaan

totem tersebut dan menyatakan kesetiaan kepadanya. Maka, pada

gilirannya dengan ‖memakan daging totem‖ tersebut setiap orang akan

menerima kembali pancaran ilahiyah dari Tuhan dan mempengaruhi kehidupan

ilahiyah dalam jiwa mereka. Durkheim, tertarik untuk menjelaskan apakah

pelaksanaan upacara intichiuma di atas murni ritual keagamaan. Bila

dicermati lebih jauh lagi, sebenarnya yang menjadi inti dari upacara ini tidak

lain adalah usaha untuk ‖memperbaharui klan ini sendiri‖. Menurut Durkheim,

sebenarnya di bawah permukaan teologis ini terdapat ‖lapisan dasar

sosiologis‖. Akhirnya, dalam analisis Durkheim menyatakan bahwa keyakinan

dan ritual-ritual agama adalah suatu ‖ekspresi simbolis dari realitas sosial‖.

Oleh sebab itu, pemujaan terhadap totem sesungguhnya sebagai suatu

pernyataan kesetiaan kepada klan dan diwujudkan dengan memakan binatang

totem adalah suatu tindakan atau sikap untuk menegaskan dan mengukuhkan

kelompok atau pernyataan setia pada klan. Hal ini, sebagai sebuah cara

simbolis dari setiap anggota kelompok untuk menyatakan bahwa kepentingan

klan lebih utama dari kepentingan individu. Dengan ritual-ritual totem tersebut

Page 51: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

92

akan menjelaskan perilaku-perilaku keagamaan yang sama dengan ide-ide

tentang totem yang dapat menjelaskan keyakinan religius. Maka dalam hal ini,

konsep masyarakat sekali lagi akan menjadi kunci utama dalam ritual-ritual

tersebut. Dengan demikian, fungsi ritual jauh akan lebih penting dari pada

keyakinan yang akan memberikan kesempatan bagi setiap anggota

masyarakat untuk memperbaharui komitmen mereka kepada komunitas dan

mengingatkan bahwa dalam keadaan apapun, diri mereka akan selalu

bergantung kepada masyarakat, sebagaimana masyarakat juga bergantung

kepada keberadaan mereka sebagai anggota klan. Telah dikemukakan di

atas, bahwa Durkheim mengatakan selain ritual dalam totemisme yang

diwujudkan melalui pemujaan yang terbagi menjadi negatif dan positif, juga

terdapat bentuk ritual yang disebut piacular yang merupakan pemujaan penting

bagi masyarakat Aborigin Australia. Perlu diketahui bahwa istilah piacular ini

pertama kali diperkenalkan Durkheim dalam ‖kajian sosiologi agama‖ yang

dilakukannya. Tentu saja, kata ini merujuk kepada ritual-ritual yang

dilaksanakan dalam kondisi-kondisi yang penuh ketidakpastian dan

kesedihan, seperti kematian atau berbagai cobaan lainnya atau ritual ini

dilakukan untuk menebus kesalahan atau karena duka cita yang biasanya

dilakukan setelah kematian seseorang atau setelah terjadi bencana besar.

Durkheim, menjelaskan secara sosiologis mengapa upacara ini perlu diadakan.

Menurutnya, dalam kebudayaan masyarakat yang memiki kebisaan meraung-

raung dan memukul-mukul tubuh yang dilakukan oleh keluarga si mati di saat

upacara penguburan berlangsung merupakan hal yang biasa dan selalu

Page 52: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

93

terjadi. Tetapi perlu diketahui, kebiasaan ini tidak begitu saja muncul dan

bersifat spontan, tetapi tindakan ini memiliki bentuk yang agak formal yang

dilakukan oleh seluruh anggota klan sebagai ujud komitmen pada klan,

walaupun dia tidak mengenal atau tidak ada hubungan keluarga dengan si mati.

Dengan demikian, refleksi dari perasaan kehilangan ini, bukan hanya terjadi

pada keluarga yang ditinggalkan saja, tetapi seluruh anggota klan merasakan

akibatnya, kerena kurang atau hilang pula satu bagian dari kekuatan klan

mereka. Maka, pada saat itulah perlu dilakukan pemujaan untuk menyatukan

dan menghidupkan kembali kekuatan klan setelah beberapa saat terguncang

dengan kematian atau hilangnya seorang anggota klan. Jadi, apapun yang

dirasakan oleh sebuah masyarakat, ritual-ritual agama pasti akan merefleksikan

dan memperkuat perasaan dalam suatu kelompok atau anggota klan tersebut.

Demikianlah pendapat Durkheim tentang agama sebagai fungsi sosial dalam

kajian sosiologinya.

5. Analisis penulis tentang Pemahaman Agama Antara Simbol-Ritual dan

Makna Esensial.

Dalam J.A. Barnes, Durkheim’s Division of Labour in Society, The

Australian National University, Royal Antropological Institute of Great

Brittain and Irelannd, dalam http// www. Jstor.org/stable/ 2796343 hlm.163.

dalam Syaripullah.

Menurut Durkheim, sebenarnya di bawah permukaan teologis ini terdapat

‖lapisan dasar sosiologis‖. Dalam analisis Durkheim menyatakan bahwa

Page 53: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

94

keyakinan dan ritual-ritual agama adalah suatu ‖ekspresi simbolis dari realitas

sosial‖. Artinya, bahwa dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian dari

seluruh kehidupan sosial. Dengan mengikuti profan dan sakral, agama

melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual, dan perasaan-perasaan

yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat.82

Menurut penulis memakai perspektif Islam. Berawal dari konsep ayat

208 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :

لم في ادخلىا آمنىا الذين اأيه يا بعىا ولا كافة الس مبين عدو لكم إنه الشيطان خطىات تت

Artinya : ― Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam

Islam secara utuh, keseluruhan (jangan sebagian-sebagian) dan janganlah

kamu mengikuti langkah-langkah (sikap dan perilaku) syaithan, karena

sesungguhnya syaithan itu musuh nyata bagimu‖.

Dalam ayat ini Allah menyerukan kepada orang yang beriman agar

memeluk agama-Nya, yaitu Islam, dengan tidak setengah-tengah tetapi utuh,

terintegrasi antara pemahaman tentang aqidah, ibadah, dan akhlak, dalam

kehidupan sehari-hari dengan keterpaduan antara“hablumminallah (sakral )

dan hablumminannaas (profan).”

Beragama ke-kaaffah-an bagi ummat Islam dalam beraktivitas

kehidupanya sudah dicontohkan rosulullah SAW mulai hal masalah sederhana

sampai masalah hal kompleks urusan negara, beliau menampilkan wujud

82

dalam Kamiruddin, ―FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA‖ ( STUDI PROPAN DAN SAKRAL

MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.portalgaruda.org/article.php.hlm.14.

Page 54: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

95

Islam dalam bentuk sikap dan perilakunya dimanapun dan kapanpun. Beliau

paling utama dan sempurna dalam beribadah baik mahdlah (ritual sakral

maupun ghoiir mahdlah ritual profan).

Untuk ritual sakral sekalipun beliau mendapat jaminan masuk surga,

tetapi justru ibadahnya semakin meningkat, baik yang wajib maupun yang

sunnahnya. Untuk profannya (berinteraksi sosial), beliau menampilkan sosok

pribadi yang sangat agung dan mulia dengan memperhatikan setiap orang tak

pilih kasih, senantiasa bersikap hormat, santun dan pema’af, mau menolong,

dan mendo’akan keselamatannya.

Apabila introfeksi kepada uswah nabi dengan sikap dan perilaku kita,

nampaknya masih jauh antara bumi dan langit (amat berbeda). Ummat Islam

masih banyak menampilkan perilaku dan sikap yang tidak selaras dengan

nilai-nilai Islam sebagai agama yang dianutnya. Dalam kehidupan sehari-hari

sering ditemukan ketidak konsistenan dalam mempedomani Islam sebagai

agamanya.83

Dengan menyimak persoalan umat Islam diatas, timbul persoalan dalam

hati mengapa bisa terjadi? Mengapa mengaku beragama Islam? Karena

masalahnya bersifat kompleks, maka jawabanpun bisa beragam. Menurut

analisis rasional diantaranya :

1. Kalangan umat Islam masih ada yang beragama sebatas pengakuan,

beragamanya hanya bersifat formalitas, Islam hanya saat nikah atau

dikhitankan. Padahal tujuan asal(awal) syari‘at untuk ke-syah-an dalam

beribadah berikutnya.

83

Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani

Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 25-26.

Page 55: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

96

2. Dalam beragamanya masih disertai kepercayaan hal-hal khurafat atau

tahayul yang masih bertentangan dengan Islam itu sendiri, seperti dewi

sri, nyai roro kidul, datang ke dukun-dukun, percaya jurig, dedemit.

3. Masih ada orang Islam yang memahami ajaran Islam itu secara serpihan,

sebagian-sebagian (separatis); belum secara integralis, kaaffah (sebagai

contoh ada orang Islam mengamalkan shalat, tetapi saat bagi warits tidak

mau mengikuti hukum warits Islam; wanita muslimat rajin shalat sudah

naik haji tetapi tidak berpakaian muslimat masih penmpilan porno, dsb).

4. Dikalangan ummat Islam masih ada yang bersifat sekuler, memisahkan

antara kehidupan duniawi dengan ukhrowi ( seperti aspek ekonomi,

politik, sosial budaya dan seni dari nilai-nilai agama. Padahal Islam

mentawazunkan, mengintegrasikan antara dua kehidupan. Islam mengtur

semua aspek kehidupan, baik urusan pribadi, masyarakat dan kenegaraan.

Dampaknya banyak yang melecehkan nilai-nilai Islam dan diprakarsai

oleh orang Islam itu sendiri.

Kondisi ummat Islam diatas, semakin diperparah dengan merabaknya

sikap dan perilaku a moral (degradasi) nilai-nilai keimanannya.84 Terlebih saat

sekarang ini kondisi ummat Islam banyak yang mempengaruhi dalam

menjalani kehidupannnya, tentunya kerugian ummat yang di dapatkan dan

hancurnya Islam sebagai agama yang di anutnya.

Oleh karena itu, agar Islam bangkit kembali menjadi kekuatan untuk

mewujudkan “rahmatan lil alamiin”, diantaranya :

1. Seyogianya harus memiliki pemahaman secara utuh (kaaffah) tentang

Islam itu sendiri.

2. Mampu mengintegrasikan antara pengamalan Ibadah Ritual (sebagian

berpedapat sebagai simbolik dari kesadaran orang beragama) dengan

84

Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani

Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 27-28.

Page 56: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

97

makna esensial ibadah itu sendiri yang dimanifestasikan dalam

kehidupan sehari-hari, seperti : sikap toleransi, pengendalian diri,

saling menghormai, tidak suka menyakiti. Umat Islam mampu

menyatu padukan antara nilai-nilai ibadah mahdlah dengann ibadah

ghair mahdlah.

3. Menjaga keutuhan dalam mengamalkan ajaran agama Islam, antara

ibadah ritual-mahdlah (habluminallah, kesalehan personal) dengan

ibadah ghair mahdlah (hablumminannas, kesalehan sosial) merupakan

tuntutan agama bagi pribadi seorang muslim. Karena akan terdapat

kepicangan, bila seseorang hanya mementingkan ritual semata,

sementara hubungan sesama kurang atau tidak diperhatikan. Maka

tidak menghasilkan pahala ibadah ritualnya, karena terganjal oleh

keburukan akhlaknya.

Berdasarkan paparan diatas, ummat Islam mestinya komitmen dan

istiqomah dalam melaksanakan esensi dari setiap ibadah-ibadah yang

dikerjakanya. Diantara makna esensial dari setiap ibadah adalah sebagai

berikut :

a. Ibadah sebagai perwujudan iman seseorang.

b. Ibadah sebagai bentuk ta‘abud, taqorub, dan mahabbah hamba

sebagai makhluk kepada Allah sebagai khaliq.

c. Ibadah yang mengandung nilai-nilai harus direfleksikan dalam

sikap dan perilakunya (akhlak) sehari-hari dalam berhubungan

dengan orang lain.85

C. Teori Tindakan

Teori tindakan social banyak diungkapakan oleh Talcott Parson, sebagai

tokoh utama aliran fungsionalisme structural modern, yang banyak dipengaruhi

85

Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani

Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 29-30.

Page 57: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

98

oleh pemikiran Durkheim, disamping tokoh lain seperti Alfred Marshall,

Vilfredo Pareto dan Max Weber. Dalam analisinya, Parson banyak

menggunakan kerangka atas tujuan (means and framework). Inti pemikirannya

ialah bahwa tindakan social itu :

1. Memiliki suatu tujuan.

2. Jika terjadi dalam sesuatu hal, maka dilihat situasi dalam bertindak

kemudian mencari alat penuju agar mencapai tujuan.

Secara normative mesti tindakan itu diatur sehubungan sebagai

penentuan alat dan tujuan. Maka komponen dari tindakan social itu adalah :

tujuan, sifat, kondisi, dan norma. Kebudayaan manusia dilahirkan dari tindakan

dan aktifitasnya. Hal ini tidak bisa terlepas dari latar belakang pengetahuan,

kepercayaan, norma serta nilai-nilai yang dianutnya, dan dapat dibuktikan

berdasarkan konsep teori tindakan yang dikemukakan oleh Max Weber (1854-

1920).86

Dari sini weber sangat tertarik pada masalah-masalah sosiologi yang luas

mengenai struktur social dan kebudayaan. Weber melihat fakta kenyataan

social yang hakikatnya bersumber dari individu-individu dengan melakukan

tindakan-tindakan social yang punya ma‘na. Akhirnya weber mendefinisikan

sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha mencari pemahaman

interpretative mengenai tindakan social, sehingga mampu menjelaskan arah

dan akibat-akibatnya secara kausalitas. Menurut Johnson (1956:214-215)87

―Tindakan social dalam konsep Weber adalah semua perilaku manusia yang

86

Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.A. Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Penerbit CAKRAWALA,

Cetakan Pertama, Okt. 2007.Hal.36-37. 87

Ibid.36-37.

Page 58: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

99

mengandung makna subyektif, karena berkaitan dengan individu yang

melakukan suatu tindakan bermakna‖.88 Konsep kunci teori tindakan Marx

Weber adalah rasionalitas individu. Bahwa tindakan social individu selalu di

latar belakangi oleh motif-motif yang bermakna, meskipun makna itu dipahami

secara subyektif, hanya oleh individu yang bersangkutan. Contoh, misal

seseorang bisa memamfaatkan waktu senggang dan peluang untuk melakukan

hal itu dianggap bermakna bagi dirinya, meskipun mungkin ada orang yang

sama punya waktu senggang tetapi sama sekali peluang waktu itu tidak

bermakna bagi diri orang tersebut. Oleh karena itu dapat kita pahami bahwa

rasionalitas orang itu bisa berbeda-beda meskipun tindakan sosialnya bisa

sama. Nah, untuk memahami makna tindakan social seseorang, perlu ada

(empati) yaitu sikap menempatkan diri pada posisi orang lain. Artinya kita bisa

memahami makna dari tindakan social seseorang, mana kala kita sendiri bisa

menempatkan diri kita pada posisi orang lain itu. Mengapa seringkali ada

kecenderungan orang miskin bertindak berutal, tidak beraturan atau mau

menang sendiri? Tentu ini tidak bisa dinilai bahwa orang tersebut telah

bertindak irasional padahal mungkin belum tentu. Apalagi dikaitkan dengan

prediksi Nabi Muhammad Saw bahwa ada kecenderungan orang faqir itu akan

terjerumus pada tindakan yang kafir. Jadi tindakan-tindakan orang miskin itu

yang kemungkinan lebih banyak menjurus kepada perilaku ―irasional‖, secara

empati bisa dipahami jika kita menempatkan diri sebagai orang miskin juga.

Hal ini sesuai dengan komentar singkat dari Weber tentang Nabi Muhammad

88

Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.A. Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Penerbit CAKRAWALA,

Cetakan Pertama, Okt. 2007.Hal.36-37

Page 59: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

100

serta kelahiran ajaran agama Islam yang memperlihatkan faham determinisme

ekonomi ternyata juga berpengaruh besar dalam analisa-analisa sosiologis.

Weber dalam Turner (1983:35) meneggaskan bahwa pandangan hidup dari

Nabi Muhammad Saw tentang tindakan social orang miskin itu, bisa

memberikan signifikansi social sesuai dengan cara hidup serta kebutuhan

ekonomi‖.

Dengan demikian symbol-simbol dalam sistem budaya mempengaruhi

dan mengatur interaksi dalam sistem social. Sedangkan dalam sistem social

membatasi tindakan atau memberikan control terhadap sistem kepribadian

(personality sistem) yang terakhir ini menginternalisasi control terhadap sistem

perilaku (organismic sistem). Begitu pula sebaliknya, sistem-sistem yang

berbada dibawahnya secara kondusif memiliki energy yang tinggi memberikan

dukungan dan sumber daya terhadap sistem-sistem diatasnya, seperti

diungkapkan Turner (1979:80) ―Lower sistem in energy provid the condition

and energic resources for sistem higher in information”.89

Secara konsisten Parson melihat kenyataan social sebagai suatu

perspektif yang sangat luas, yang tidak terbatas pada tingkat struktur social

saja, ia menunjuk pendekatan sebagai suatu teori mengenai tindakan yang

bersifat umum, sistem social hanya salah satu dari sistem-sistem yang

termasuk dalam perspektif keseluruhan, sistem kepribadian dan sistem budaya

merupakan sistem-sistem yang secara analisis dibedakan. Dalam analisisnya

89

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Okt. 2007.Hal.38.

Page 60: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

101

yang terakhir, Person melihat bahwa sistem social terbentuk dari tindakan

social individu. Teori Parson mengenai tindakan social menekankan orientasi

subjektif yang mengendalikan pilihan individu, pilihan ini secara normative

diatur atau dikendalikan oleh nilai dan standar normative bersama. Selain

kebutuhan individu yang terpenuhi melalui interaksi, ada juga persyaratan

tambahan yang harus dipenuhi jika ingin tetap bertahan hidup dan

mempertahankan identitasnya serta strukrur sebagai sistem yang terus

bergerak. Pernyataan ini disebut sebagai persyaratan fungsional, yang akan

dianalisis melalui variable pola dan akan ditetapkan tingkat individu, budaya,

dan struktur social.

Pendekatan fungsional yang lebih dekat dengan dunia empiris juga

diungkapkan oleh Robert Merton. Merton menekankan tindakan yang

berulang-ulang atau yang baku berhubungan dengan bertambahnya suatu

sistem, tempat tindakan itu berakar. Merton tidak menaruh perhatian pada

orientasi subyektif individu, melainkan pada konsekuensi-konsekuensi

manifest atau laten. Menurut Merton (1968:105) “Fungsi manifes adalah

konsekuensi obyektif yang membantu penyesuaian atau adaptasi dari sistem;

sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak dimaksudkan atau disadari.‖

Pada hakekatnya teori sistem adalah manifestasi dari teori

fungsionalisme Talcott Parson yang dilahirkan tahun 1902 Colorado Springs

Amerika Seilkat, sebagai kelanjutan dan pengembangan teori Spenser, Weber,

dan Durkheim mewakili para sosiolog, serta Radcliffe Brown dan Bronislaw

Malinowski mewakili tokoh antropologi. Teori sistem Parsons, berasal dari

Page 61: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

102

pemahaman konsep kebudayaan seperti diungkapkan oleh James Spreadley

(1972:6) ―Two other definitions are special interest because they have come to

be associated with major theoretical approaches in anthropology. These are

the behavioral and cognitive definition of culture”.

Sistem budaya yang berisi gagasan dan bersifat abstrak (cognitive)

menurut parson harus diwujudkan dalam bentuk sistem social, sebagai

manifestasi dari seluruh sistem gagasan atau ide, sebagai wujud kebudayaan

dianggap lebih konkret dalam bentuk tindakan manusia di tengah kehidupan

social masyarakat. Sistem social adalah refleksi kebudayaan yang diwujudkan

dalam bentuk tindakan, peran-peran status, abstraksi, dan lain-lain. Konsep

sistem social sebagai refleksi kebudayaan sebenarnya merupakan kelanjutan

dari pemikiran Parsons tentang teori tindakan sosialnya dalam The Structure of

Sosial Action. Lebih lanjut Turner (1979:80) menegaskan bahwa ―konsep

sibernatika Parsons menggambarkan adanya sistem keterkaitan secara

structural yang saling mendukung terciptanya mekanisme keseimbangan dalam

kehidupan masyarakat, meskipun masing-masing sub-sistem mempunyai

fungsi yang berbeda-beda‖. Selain berfungsi sebagai mekanisme

keseimbangan, teori sistem yang dikembangkan oleh Parsons juga

mengandung banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendukung

terwujudnya “social action “ sehingga dapat melakukan perubahan social

budaya. Menurut Talcott Parsons (1960) bahwa : Masyarakat sebagai suatu

sistem social harus memenuhi empat syarat fungsional, agar setiap sistem

dalam kebudayaan berfungsi sesuai dengan maknanya. Diantaranya :

Page 62: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

103

1.) Setiap sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkunganya

(adaptation),

2.) Setiap sistem harus memiliki suatu alat untuk memobilisasi sumber

daya untuk mencapai tujuan dan gratifikasi (goal attainment),

3.) Setiap sistem harus mempertahankan koordinasi internal dari bagian-

bagianya serta membangun cara-cara terkait secara deviasi untuk

mempertahankan kesatuanya (intergration),

4.) Setiap sistem harus mempertahankan dirinya untuk memelihara

keseimbangan (pattern maintenance).

Berdasarkan konsep teori sistem yang telah dikemukakan, dapatlah

dimengerti bahwa sebenarnya Parson adalah juga termasuk salah seorang tokoh

fungsionalis structural yang melihat masyarakat sebagai suatu jaringan

kelompok yang berkerja sama secara terorganisasi, sesuai norma dan nilai-nilai

social. Dalam perspektif fungsionalis masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan

kelompok yang kerja sama secara terorganisasi, secara teratur menurut norma

dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat itu sendiri. Masyarakat

dipandang sebagai suatu sistem social, yang berfungsi melaksanakan sistem

budaya yang berisi gagasan-gagasan atau ide pengetahuan, kepercayaan,

norma, serta nilai-nilai social budaya yang telah disepakati bersama.

Sebagaimana ditegaskan oleh Schweder (1980:116) bahwa ―masing-masing

sub-sistem dalam social itu, satu sama lain saling terkait, saling memberikan

kontrol dan mendukung untuk mewujudkan perubahan social.

Pendekatan social budaya adalah salah satu perspektif atau paradigma

sosiologi antrologi yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan social

masyarakat dan sistem budayanya. Dalam hal ini Paul Harton (1996:16)

Page 63: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

104

menjelaskan beberapa model perspektif sosiologi terdiri dari Perspektif

Evolusionis, Interaksionis, Fungsionalis dan Persepektif Konflik. Sedangkan

dalam teori ilmu-ilmu social, khususnya antropologi digunakan juga model-

model positivism, fenomenologis, structural fungsionalis, pendekatan sistem

dan integrasi.

Pola dakwah dan Pendidikan secara ―evolusionis positivisme‖ dilakukan

berdasarkan contoh-contoh historis yang pernah dilakukan oleh para nabi, para

wali, para dai atau para pendidik pada umunya, yang telah dianggap berhasil

menyampaikan misi dakwah dan pendidikan sesuai visi ajaran agama.

Pola dakwah dan pendidikan “evolusionis positivisme‖ adalah model-

model dakwah dan pendidikan yang secara positif sudah pernah dilakukan,

jelas hasilnya, melalui tahapan-tahapan atau periode sejarah dalam

pengembangan dakwah dan pendidikan Islam. Paradigma “evolusionis

positivism” ini sebagaimana diungkapkan oleh August Comte (1798-1857) dan

Herbert Spencer (1820-1903) berorientasi pada fakta social (social fact) dan

cenderung bersifat materialisme kuantitatif. Perspektif ini menjelaskan

bagaimana masyarakat manusia berkembang dan tumbuh secara evolusi,

berlangsung tahap demi tahap mengikuti hukum alam yang universal berlaku

bagi seluruh manusia kapan dan dimanapun adanya. Menurut positivisme,

pengetahuan terbatas pada apa yang tampak oleh pancaindra karena itu

pendekatan positivisme bersifat spekulatif, hanya mempelajari hubungan-

hubungan diantara fenomena yang bisa diamati.

Page 64: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

105

Pola dakwah dan pendidikan ―interaksionis-fenomenologis‖ dapat

diterapkan melalui berbagai macam media informasi dan komunikasi,

pengajian, ceramah agama, diskusi, pendidikan, penyuluhan, majlis ta‘lim,

dialog, dll. Sehingga ajaran agama dapat dikomunikasikan dengan baik

melalui interaksi social budaya. Model pembelajaran interaktif dalam dunia

pendidikan, memberikan penghargaan kepada peserta didik, bukan hanya

diposisikan sebagai objek tetapi bisa juga dijadikan subjek. Peserta didik

diberikan kesempatan lebih banyak untuk aktif mencari symbol-simbol belajar

yang mereka fahami, untuk dikomunikasikan dan dikonsultasikan kepada guru.

Jadi dalam proses pendidikan ini, guru lebih banyak berperan sebagai mediator

dan fasilitator yang meluruskan kemungkinan-kemungkinan kekeliruan

pemahaman siswa. Model-model dakwah dan pendidikan “interaksionis-

fenomenologis” adalah model yang sangat memperhatikan aspek pemahaman

masyarakat, aspek rasionalitas dan aspek kebermaknaan dari symbol-simbol

yang digunakan serta dipahami oleh masyarakat dalam konteks kegiatan

dakwah dan pendidikan. Guru misalya selaku pendidik, harus memahami apa

yang sedang dialami dan dirasakan oleh siswanya. Secara sosio antropologis

pendidik turut merasakan penuh empati dalam kehidupan remaja dan tantangan

social budaya terhadap dunia pendidikan. Menurut Alfred Schutz (1899-1959),

ia sebagai pelopor teori penomenologis dalam karya klasiknya berjudul ―The

Penomenology of the Sosial World”, mengatakan bahwa menggabungkan

pandangan-pandangan fenomenologis dalam sosiologi secara kritis. 90 Dalam

90

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Okt. 2007.Hal.44.

Page 65: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

106

konteks ini, sosiologi fenomenologis memiliki kemampuan tertentu yang

bersifat sangat menarik, karena dapat digunakan untuk memperjelas serta

memahami makna suatu tindakan, atau makna dibalik suatu peristiwa melalui

interaksi simbolik.

Peter Berger dan Thomas Luckman dalam “ Social Contruction of

Reality” yang memadukan analisis holistic dan karakteristik social yang

bersifat inualistik, secara etnometodologi menggambarkan bahwa fenomena

adalah hal-hal yang kita sadari sebagai aliran yang bersifat pengalaman yang

berdasarkan pengamatan indrawi (hasil observasi). Identifikasi terhadap gejala-

gejala social, menumbuhkan kesadaran bertindak, bahwa dalam interaksi social

ada makna, norma, serta nilai-nilai yang dapat dikontruksikan, sehingga

fenomena itu menjadi symbol yang bermakna. Secara kualitatif, paradigma

fenomenologis melihat bahwa dibalik tindakan seseorang ada makna tersirat,

tidak bisa diukur secara matematis hanya melihat hitam putihnya kejadian,

karena fenomena sebagai gejala-gejala social yang didasari bersifat dinamis.

Paradigma fenomenologis menggunakan konsep kebermaknaan yang bersifat

simbolis (interaksi simbolik) dalam memahami tindakan seseorang. Bahwa

manusia memiliki naluri yang stabil dan khusus dalam memandang kehidupan

serta lingkungan social, dimana didalamnya terkandung nilai-nilai dan makna-

makna yang selalu berkembang. Berger dan Luckman tertarik dengan cara

dimana makna-makna ini berkembang di‖obyektivikasikan‖ institusi-institusi

Page 66: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

107

social, sehingga mensosialisasikan dalam masyarakat. (Ian Craib, 1994:128-

136).

Pola dakwah dan pendidikan “fungsionalis-sistemik” adalah model

penerapan dakwah bil hal yang sistemtik, proses pendidikan yang melibatkan

semua elemen terstruktur dalam dunia pendidikan. Sesuai fungsinya dakwah

harus dapat merubah suatu situasi dalam kehidupan masyarakat yang kurang

kondusif, menjadi situasi masyarakat yang sesuai dengan norma dan nilai-nilai

social budaya Islam. Pendidikkan harus dapat melakukan perubahan pada diri

peserta didik atau masyarakat yang lebih baik, perilaku yang lebih positif

dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Banyak kasus pendidikan di mana

guru agama tidak bisa melibatkan guru-guru lain untuk turut serta

berpartisipasi secara structural dan sistematik, menangani masalah-masalah

moralitas dikalangan siswa. Tanggung jawab moral dan agama, seakan hanya

monopoli menjadi tanggung jawab guru agama. Dalam konteks inilah pelaku

Pendidikan Agama Islam harus melakukan perubahan, inovasi, dan pembaruan

terhadap kurikulum dan strategi pedekatan secara sosio antropologis. Model

dakwah dan pendidikan fungsionalis-sistematik adalah pendekatan dakwah dan

pendidikan yang memperhatikan fungsi-fungsi social budaya yang saling

terkait secara structural, memperhatikan keterkaitan antar sub-sistem secara

keseluruhan sehingga dapat mendukung keberhasilan dakwah dan pendidikan.

Tema utama model pendekatan sistem.

Tema utama model pendekatan sistem melihat dunia social dalam

hubunganya dengan ide-ide masyarakat, sesuai norma dan nilai yang

Page 67: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

108

dianutnya. Norma dan berbagai peraturan yang secara social diterima serta

berguna sebagai dasar untuk mengambil atau memutuskan tindakan, berfungsi

memberikan control terhadap perilaku individu yang melakukan tindakan

tersebut. Sperti apa yang telah diungkapkan parsons bahwa sistem tindakan

dalam wujud perilaku individu secara holistic tidak bisa terlepas dari sistem-

sistem lain secara keseluruhan, termasuk sistem budaya dan sistem social.

Teori tindakan yang diebut Voluntaristik Parsons menegaskan bahwa orang

bebas memilih tujuan dan alat, tetapi ia dibatasi oleh lingkungan serta norma

yang telah disepakati bersama.

Teori sistem yang dikembangkan oleh parsons, berangkat dari

pemahaman terhadap konsep kebudayaan sebagaimana telah diungkapkan oleh

James Spradley (1972:6) ―Two other definitions are special interest because

they have come to be associated with major theoritcal approaches in

anthropology. These are the behavioral and cognitive definitions of culture”

sistem budaya yang berisi gagasan dan bersifat abstrak (cognitive) menurut

Parsons harus diwujudkan dalam bentuk sistem social, sebagai manifestasi dari

seluruh sistem gagasan atau ide, sehingga wujud kebudayaan dianggap lebih

konkrit dalam bentuk tindakan, peran-peran status, abstraksi, dll. Konsep

sistem social sebagai refleksi kebudayaan sebenarnya merupakan kelanjutan

dari pemikiran parsons tentang teori tindakan sosialnya dalam The Structure of

social Action. Kemudian pada tahun 1951. Parsons memunculkan konsep

sistem social yang menganalisis tiga sistem tindakan, diantaranya : Cultural,

Sosial, dan personality. Konsep sistem yang dikembangkan oleh parsons bukan

Page 68: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

109

hanya mengerjakan pengambilan fakta social, tetapi juga berinteraksi

membentuk stabilitas susunan hubungan social kemasyarakatan. Sistem

kepribadian adalah suatu sistem karakter atau sifat-sifat individu, seperti

kebutuhan, disposisi, pernyataan sikap, serta kecakapan individu para actor

yang berproses dan tergambar ketika mereka berinteraksi dengan individu lain.

(Jonathan Turner, 1979:71)91

Setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi, keyakinan, cara pandang

yang mungkin saling berbeda. Dalam konteks inilah setiap individu dipaksa

untuk berlaku, bergaul, dan bertindak sesuai norma dan nilai-nilai social

budaya yang dianut oleh masyarakat. Itulah sebabnya penerapan pendidikan

dan dakwah juga harus memperhatikan latar belakang social budaya yang

berkembang dimasyarakat. Pendidikan dan masyarakat secara terstruktur

merupakan satu sistem yang saling terkait. Aktifitas pendidikan tidak bisa

terlepas dari masyarakat dan lingkungan kehidupan disekitarnya, karena tidak

mungkin ada pendidikan tanpa masyarakat, sebaliknya juga tidak ada

masyarakat yang tanpa membutuhkan pendidikan, sesuai dengan

perkembangan kebutuhan akal manusia. Oleh karena itu manager pendidikan

harus memperhatikan kondisi social budaya masyarakat disekitarnya, agar

pengelolaan pendidikan memperoleh dukungan masyarakat, dapat

diorganisasikan dengan baik, sesuai komunitas yang berada dalam

lingkunganya. Secara sosiologis pendidikan harus dapat mengakomodasikan

norma dan nilai-nilai agama, aspirasi politik, latar belakang social ekonomi,

91

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Okt. 2007.Hal.47.

Page 69: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

110

situasi dan kondisi keamanan, baik dilingkungan masyarakat desa ataupun

masyarakat kota.92

D. Teori Kultural Perilaku Sosial.

1. Definisi Perilaku Sosial

Membicarakan agama, berarti mengkaji masalah yang bersifat abstrak.

Karena wujudnya agama akan dilihat dari kultural sistem perilaku sehari-hari

(action, tindakan, dan amal nyata) yang ditunjukan oleh para penganut agama

yang bersngkutan.93 Dan itulah realitas agama yang dapat diteliti, di observasi

dan dikaji secara ilmiah, sehingga dapat menjelaskan makna agama yang

sebenarnya. Sebagaimana konsep Clifford Geertz94 menyebutkan agama

sebagai Cultur Sistem atau sistem sosial dalam perspektif sosio antropologis,

karena salah satu yang paling essensial dari kultural sistem adalah kajian aspek

kemanusiaan. Suatu sistem yang tidak bisa lepas dari kenyataan-kenyataan

adanya hubungan antara manusia dengan Zat Tuhan yang dianggap sakral.

Oleh karena itu berdasarkan maknanya agama sebagai sistem budaya yang

mengandung gagasan atau idiologi, maka agama bisa juga di sebut sistem

idiologi (Idiological Sistem). Sekalipun tidak mesti identik dengan

kebudayaan; karena kebudayaan murni hasil gagasan dan perilaku manusia,

sedangkan agama tidak seluruhnya hasil gagasan manusia (khususnya agama

wahyu).95

92

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Okt. 2007.Hal.52 93

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Okt. 2007.Hal.106 94

Ibid. Hal 87 95

Ibid. Hal.96.

Page 70: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

111

Studi agama sebagai sistim (kultural) budaya berarti penulisan dan

pengkajian terhadap perilaku agama, yang secara fenomenologis dapat diamati

dari gejala-gejala tingkah laku seseorang atau masyarakat, kaitannya dengan

sistem kepercayaan, pengetahuan, norma, dan nilai-nilai sosial budaya serta

agama yang dianutnya.96 Dalam Islam misalnya hubunngan manusia dengan

Allah swt. Diwujudkan dalam bentuk perilaku keagamaan, tata cara

peribadatan, baik secara individu atau bersama-sama dalam masyarakat

manusia. Hal ini menunjukan bahwa agama bukanlah elemen tersendiri tanpa

manusia, melainkan sebagai keseluruhan organisame dan kehidupan yang

mendasari manusia untuk beragama.

Upaya selanjutnya, untuk memahami perilaku manusia baik secara

individual maupun kelompok, maka di kaji dari perpektif Psikologi Sosial.

―Social Psychology‖ ditulis oleh William Mc Dougall - seorang psikolog - dan

‖Social Psychology : An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross -

seorang sosiolog.97

Berdasarkan latar belakang penulisnya maka dapat dipahami bahwa

psikologi sosial bisa di‖claim‖ sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga

sebagai bagian dari sosiologi. Apakah perbedaan di antara Sosiologi dan

Psikologi ?

Kajian utama ―psikologi” adalah pada persoalan ke pribadi an, mental,

perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai

96

Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Okt. 2007.Hal.96. 97

Hasan Mustafa, Jurnal Administrasi Bisnis (2011), , ⃝c 2011 Center for Business Studies. FISIP

- Unpar , Vol.7, No.2: hal. 143–156, (ISSN:0216–1249), hlm.47-48

Page 71: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

112

individu. Sedangkan kajian ―Sosiologi” lebih mengabdikan kajiannya pada kultur

– kultur (budaya) dan struktur sosial yang keduanya mempengaruhi interaksi,

perilaku, dan kepribadian. Dunia Psikologi adalah dunia yang berkaitan

persoalan perasaan, motivasi, keperibadian, dan yang sejenisnya. Kalau

berpikir sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan

kemasyarakatan.98 Perilaku sosial adalah aktifitas fisik dan psikis

seseorang terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi diri

atau orang lain yang sesuai dengan tuntutan social.99 Menurut John Dewey,100

mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman

masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh

lingkungan-―situasi kita”-termasuk tentunya oleh orang lain.

Untuk lebih memahami psikologi sosial ada empat perspektif mengenai

perilaku sosial, diantaranya yaitu :101 perspektif perilaku (behavioral)

perspektif kognitif (cognitive perspektives) artinya bahwa untuk menjelaskan

dan memahami perilaku seseorang harus adanya proses mental guna

memperoleh informasi yang bisa dipercaya, bagaimana mereka berpikir dan

mempersepsikan lingkungannya, perspektif stuktural (structural perspektives)

artinya perspektif yang menekankan bahwa perilaku seseorang dapat

dimengerti dengan sangat baik jika diketahui peran sosialnya dan hal ini

terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap harapan orang

98

Hasan Mustafa, Jurnal Administrasi Bisnis (2011) ⃝c 2011 Center for Business Studies. FISIP -

Unpar , Vol.7, No.2: hal. 143–156, (ISSN:0216–1249),hlm 49. 99

Hurlock, B. Elizabeth.1995. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga,hal 262 100

Hasan Mustafa, Jurnal Administrasi Bisnis (2011), , ⃝c 2011 Center for Business Studies.

FISIP - Unpar , Vol.7, No.2: hal. 143–156, (ISSN:0216–1249), hlm 145. 101

Hasan Mustafa, Jurnal Administrasi Bisnis (2011), ⃝c 2011 Center for Business Studies.

FISIP - Unpar , Vol.7, No.2: hal. 143–156, (ISSN:0216–1249), hlm 145.

Page 72: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

113

lain, perspektif interaksionis (interactio-nist perspectives) artinya bahwa

manusia merupakan agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri

dan mereka membangun harapan-harapan sosial. Manusia satu sama lain

bernegosiasi satu sama lain untuk membenttuk interaksi dan harapannya.

Menurut Sarlito102 perilaku dibagi menjadi tiga macam yaitu:

a. Perilaku sosial (social behavior).

Yang dimaksud perilaku sosial adalah perilaku ini tumbuh dari orang-

orang yang ada pada masa kecilnya mendapatkan cukup kepuasan akan

kebutuhan inklusinya. Ia tidak mempunyai masalah dalam hubungan antar

pribadi mereka bersama orang lain pada situasi dan kondisinya. Ia bisa

sangat berpartisipasi tetapi bisa juga tidak ikut-ikutan, ia bisa melibatkan

diri pada orang lain, bisa juga tidak, secara tidak disadari ia merasa dirinya

berharga dan bahwa orang lain pun mengerti akan hal itu tanpa ia

menonjol-nonjolkan diri. Dengan sendirinya orang lain akan melibatkan

dia dalam aktifitas-aktifitas mereka.

b. Perilaku yang kurang sosial (under social behavior).

Timbul jika kebutuhan akan inklusi kurang terpenuhi, misalnya:

sering tidak diacuhkan oleh keluarga semasa kecilnya. Kecenderungannya

orang ini akan menghindari hubungan orang lain, tidak mau ikut dalam

kelompok-kelompok, menjaga jarak antara dirinya dengan orang lain, tidak

mau tahu, acuh tak acuh. Pendek kata, ada kecenderungan introvert dan

menarik diri. Bentuk tingkah laku yang lebih ringan adalah: terlambat

102

Sarwono Wirawan Sarlito. 2000. Psikologi Remaja. Jakarta P.T Grafindo Persada,hal:150.

Page 73: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

114

dalam pertemuan atau tidak datang sama sekali, atau tertidur di ruang diskusi

dan sebagainya. Kecemasan yang ada dalam ketidak sadarannya adalah

bahwa ia seorang yang tidak berharga dan tidak ada orang lain yang mau

menghargainya.

c. Perilaku terlalu sosial (over social behavior).

Psikodinamikanya sama dengan perilaku kurang sosial, yaitu

disebabkan kurang inklusi. Tetapi pernyataan perilakunya sangat berlawanan.

Orang yang terlalu sosial cenderung memamerkan diri berlebih-lebihan

(exhibitonistik). Bicaranya keras, selalu menarik perhatian orang,

memaksakan dirinya untuk diterima dalam kelompok, sering menyebutkan

namanya sendiri, suka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

mengagetkan.

Sebagai makhluk sosial, seorang individu sejak lahir hingga sepanjang

hayatnya senantiasa berhubungan dengan individu lainnya atau dengan kata

lain melakukan relasi interpersonal. Dalam relasi interpersonal itu ditandai

dengan berbagai aktivitas tertentu, baik aktivitas yang dihasilkan berdasarkan

naluriah semata atau justru melalui proses pembelajaran tertentu. Berbagai

aktivitas individu dalam relasi interpersonal ini biasa disebut perilaku sosial.

Seseorang agar bisa memenuhi tuntutan sosial maka perlu adanya

pengalaman sosial yang menjadi dasar pergaulan.

1. Pentingnya pengalaman sosial.

Page 74: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

115

Banyak peristiwa atau pengalaman sosial yang dialami pada masa anak-

anak. Beberapa pandangan pengalaman.103

a. Pengalaman yang menyenangkan.

Pengalaman yang menyenangkan mendorong anak untuk mencari

pengalaman semacam itu lagi.

b. Pengalaman yang tidak menyenangkan.

Pengalaman yang tidak menyenangkan dapat menimbulkan sikap

yang tidak sehat terhadap pengalaman sosial dan terhadap orang

lain. Pengalaman yang tidak menyenangkan mendorong anak

menjadi tidak sosial atau anti sosial.

c. Pengalaman dari dalam rumah (keluarga).

Jika lingkungan rumah secara keseluruhan memupuk perkembangan

sikap sosial yang baik, kemungkinan besar anak akan menjadi pribadi

yang sosial atau sebaliknya.

d. Pengalaman dari luar rumah.

Pengalaman sosial awal anak di luar rumah melengkapi

pengalaman di dalam rumah dan merupakan penentu penting bagi

sikap sosial dan pola perilaku anak. Berdasarkan pemahaman diatas,

pengalaman sosial pada masa anak-anak baik itu yang

menyenangkan, tidak menyenangkan, diperoleh dari dalam rumah

atau dari luar rumah adalah sangat penting.

2. Mulainya perilaku sosial

Perilaku sosial dimulai pada masa bayi bulan ketiga.104 Karena pada waktu lahir,

bayi tidak suka bergaul dengan orang lain. Selama kebutuhan fisik mereka

terpenuhi, maka mereka tidak mempunyai minat terhadap orang lain.

Sedangkan pada masa usia bulan ketiga bayi sudah dapat membedakan antara

manusia dan benda di lingkungannya dan mereka akan bereaksi secara berbeda

terhadap keduanya. Penglihatan dan pendengaran cukup berkembang sehingga

103

Hurlock, B. Elizabeth. 1995, Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga. Hlm.156. 104

Hurlock, B. Elizabeth. 1995, Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga. Hlm.259.

Page 75: BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002

116

memungkinkan mereka untuk menatap orang atau benda juga dapat mengenal

suara. Perilaku sosial pada masa bayi merupakan dasar bagi perkembangan

perilaku sosial selanjutnya.