35
BAB II KEBIJAKAN KANDUNGAN LOKAL MENURUT KESEPAKATAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) – AGREEMENT ON TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES (TRIMS) A. Pengertian Kebijakan Kandungan Lokal Paragraf l.a illustrative list dari Agreement on TRIMs melarang negara- negara anggota WTO menerapkan kebijakan local content requirement yang dijadikan sebagai salah syarat bagi investor untuk dapat melakukan kegiatan penanaman modal. Jika diperhatikan ketentuan dalam Paragraf 1.a tersebut terdapat dua bentuk kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai local content requirement, yaitu mewajibkan investor membeli atau menggunakan produk- produk buatan dalam negeri dalam jumlah atau persentase tertentu atau keharusan bagi investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnya dalam hal pengadaan barang-barang impor, misalnya dengan menetapkan kewajiban impor barang yang harus dilakukan dengan mempergunakan jasa importir dalam negeri host country atau dengan kata lain tidak dimungkinkannya perusahaan penanaman modal asing melakukan impor secara langsung. 45 Local content requirement atau kebijakan kandungan lokal dilarang karena tindakan tersebut merupakan bentuk perlakuan diskriminatif terhadap barang impor. Dengan adanya kewajiban bagi investor untuk membeli atau mempergunakan barang-barang buatan dalam negeri, maka dalam hal ini 45 Mahmul Siregar, Loc. cit, hlm. 74. Universitas Sumatera Utara

BAB II KEBIJAKAN KANDUNGAN LOKAL MENURUT …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41014/3/Chapter II.pdf · asing di Brazil, India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. ... kebijakan

  • Upload
    dohanh

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

 

BAB II

KEBIJAKAN KANDUNGAN LOKAL MENURUT KESEPAKATAN

WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) – AGREEMENT ON TRADE

RELATED INVESTMENT MEASURES (TRIMS)

A. Pengertian Kebijakan Kandungan Lokal

Paragraf l.a illustrative list dari Agreement on TRIMs melarang negara-

negara anggota WTO menerapkan kebijakan local content requirement yang

dijadikan sebagai salah syarat bagi investor untuk dapat melakukan kegiatan

penanaman modal. Jika diperhatikan ketentuan dalam Paragraf 1.a tersebut

terdapat dua bentuk kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai local content

requirement, yaitu mewajibkan investor membeli atau menggunakan produk-

produk buatan dalam negeri dalam jumlah atau persentase tertentu atau keharusan

bagi investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnya dalam hal

pengadaan barang-barang impor, misalnya dengan menetapkan kewajiban impor

barang yang harus dilakukan dengan mempergunakan jasa importir dalam negeri

host country atau dengan kata lain tidak dimungkinkannya perusahaan penanaman

modal asing melakukan impor secara langsung.45

Local content requirement atau kebijakan kandungan lokal dilarang karena

tindakan tersebut merupakan bentuk perlakuan diskriminatif terhadap barang

impor. Dengan adanya kewajiban bagi investor untuk membeli atau

mempergunakan barang-barang buatan dalam negeri, maka dalam hal ini

                                                            45 Mahmul Siregar, Loc. cit, hlm. 74.

Universitas Sumatera Utara

 

Pemerintah telah memberikan perlakuan yang lebih baik pada barang buatan

dalam negeri dari pada barang impor. Perlakuan yang diskriminatif seperti ini

dengan sendirinya menciptakan persaingan yang tidak adil antara barang impor

dan barang buatan dalam negeri. Melalui persyaratan kandungan lokal sebenarnya

Pemerintah host country telah membatasi akses pasarnya bagi barang-barang yang

sama dari negara-negara anggota lain.46

Konten lokal adalah nilai tambah yang dibawa ke negara tuan rumah

(daerah regional dan lokal di negara tersebut) melalui kegiatan industri minyak

dan gas. Konten lokal ini mengacu pada nilai tambah yang dibawa ke negara tuan

rumah melalui:47

a. pembinaan tenaga kerja

1. menggunakan tenga kerja lokal

2. memberi pelatihan kepada tenaga kerja lokal

c. pengembangan investasi terhadap supplier

1. pengembangan barang dan jasa lokal

2. pengadaan barang dan jasa lokal

Sedangkan, Anthony Paul dari asosiasi spesialis energi di Karibia

menyimpulkan definisi konten lokal sebagai:48

a. Pendapatan yg diterima masyarakat lokal

b. Pendapatan yg diperoleh dari pemilik tanah dan sumber daya

                                                            46 Ibid. 47 IPIECA, Loc. Cit. 48 Local Content Policies in the Oil, Gas and Mining Sectors - A World Bank

conference,http://goxi.org/profiles/blogs/local-content-policies-in-the-oil-gas-and-mining-sectors-a-world (diakses pada tgl 24 Februari 2014 pukul 23.35 WIB).

Universitas Sumatera Utara

 

c. Pendistribusian pendapatan kepada pemegang saham kreditor lokal.

Singkatnya, input disediakan oleh pihak lokal ke industri ekstraktif adalah

dalam bentuk barang dan jasa.

Kebijakan kandungan lokal antara satu negara dengan negara lain biasanya

berbeda. Misalnya, perusahaan asing mungkin perlu bermitra dengan perusahaan

lokal untuk melakukan bisnis di negara setempat. Sebagai alternatif perusahaan

asing diharuskan untuk memiliki cabang di negara setempat dan melalui cabang

tersebutlah, perusahaan asing dapat menjalankan usaha dan/atau kegiatan

komersialnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar perusahaan asing memiliki

partisipasi lokal dan/atau kepemilikan lokal pada keseluruhan operasi.49

Sebuah perusahaan minyak internasional perlu bermitra dengan pihak

lokal yang biasanya perusahaan minyak nasional. Dalam rangka mengoperasikan

kebijakan kandungan lokal di negara tuan rumah, perusahaan asing harus

beradaptasi dengan dan menyetujui persyaratan ini baik dalam mempekerjakan

tenaga kerja, pengadaan barang, materi maupun jasa-jasa, atau pun bermitra

dengan perusahaan lokal, persyaratan penggunaan kandungan lokal akan

mempengaruhi cara perusahaan asing melakukan bisnis di negara tuan rumah.

B. Latar Belakang Negara-Negara Menerapkan Kebijakan Kandungan

Lokal

Penanaman modal adalah bagian dari penyelenggaraan perekonomian

nasional upaya untuk meningkatkan akumulasi modal, menyediakan lapangan                                                             

49 Derek J Anchodo, “Local Content Requirements In The Oil and Gas Sector: A Way Of Life Or An Emerging Trend?”, Oil and Gas Newsletter, October 2010, hlm. 16.

Universitas Sumatera Utara

 

kerja, menciptakan transfer teknologi, melahirkan tenaga-tenaga ahli baru,

memperbaiki kualitas sumber daya manusia dan menambah pengetahuan serta

membuka akses kepada pasar global. Penanaman modal asing dapat memberikan

keuntungan cukup besar terhadap perekonomian nasional, misalnya menciptakan

lowongan pekerjaan bagi penduduk tuan rumah sehingga dapat meningkatkan

penghasilan dan standar hidup, menciptakan kesempatan bekerjasama dengan

perusahaan lokal sehingga mereka dapat berbagi manfaat, meningkatkan ekspor

sehingga meningkatkan cadangan devisa negara dan menghasilkan alih

teknologi.50

Peraturan penanaman modal asing masing-masing negara pada dasarnya

berisi ketentuan tentang persyaratan-persyaratan dan kewajiban-kewajiban yang

harus dipenuhi oleh investor asing, seperti kewajiban kandungan lokal (local

content requirement), kewajiban menggunakan komponen tertentu buatan dalam

negeri , kewajiban alih teknologi (technology transfer requirement), kebijakan

keseimbangan perdagangan (trade balancing policy), pembatasan bidang usaha,

pemilikan saham, penggunaan tenaga kerja asing, dan lain sebagainya.

Adakalanya persyaratan penanaman modal tersebut dapat menghambat

perdagangan internasional. Tolok ukur yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi

apakah suatu persyaratan penanaman modal menghambat perdagangan

internasional adalah dampak diskriminatif terhadap produk impor dan hambatan

kuantitatif terhadap aliran barang yang ditimbulkan persyaratan-persyaratan

                                                            50 Penanaman Modal Asing di Indonesia,

http://www.academia.edu/4870433/Penanaman_Modal_Asing_di_Indonesia?login=&email_was_taken=true (diakses pada tgl 25 Februari 2014 pukul 23.22 WIB).

Universitas Sumatera Utara

 

tersebut.51 Kewajiban bagi investor untuk menggunakan barang-barang buatan

dalam negeri host country yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat melakukan

penanaman modal atau untuk kemudahan pajak, menyebabkan adanya perlakuan

khusus terhadap barang buatan dalam negeri.52

Salah satu prinsip persyaratan penanaman modal yang paling sering

diterapakan oleh negara host country adalah kebijakan kandungan lokal.

Kebijakan kandungan lokal dapat ditemukan dalam kebijakan penanaman modal

asing di Brazil, India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Umumnya kewajiban

tersebut divariasikan dengan insentif pengurangan atau pembebasan tarif bea

masuk dan kewajiban perpajakan.53

Hasil pengamatan badan GATT yang mengawas kebijakan perdagangan

negara-negara anggotanya, yaitu TPRM (Trade Policy Review Mechanism),

terdapat 19 negera dari 27 negara sedang berkembang yang menerapkan

kewajiban kandungan lokal ini. Bidang industri yang paling jelas terlihat adalah

industri otomotif, tetapi juga terdapat cabang-cabang industri lainnya yang

menyangkut mesin-mesin.54

Hubungan yang tidak terpisahkan antara peraturan penanaman modal dan

peraturan perdagangan dalam negeri sebenarnya telah menjadi pembahasan

masyarakat internasional pada saat berlangsungnya United Nations Confrence on

Trade and Employment tahun 1948 di Havana. Konvensi yang menghasilkan

Havana Charter ini meminta kepada negara-negara peserta agar menghindari

                                                            51 Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan

Indonesia Dalam Perjanjian Invesstasi Multilateral, hlm. 35. 52 Asmin Nasution, Op.cit, hlm. 75. 53 Mahmul Siregar, Op. cit., hlm. 119. 54 An An Chandrawulan, Op.cit, hlm. 147.

Universitas Sumatera Utara

 

perlakuan diskriminatif terhadap investor asing. Namun kegagalan ratifikasi

menyebabkan kajian ini kurang mendapat perhatian. Masalah ini kembali menarik

perhatian pada saat Parlemen Kanada mengesahkan Canada’s Foreign Investment

Review Act pada tanggal 12 Desember 1973.55 Kasus ini kemudian sangat terkenal

dengan sebutan FIRA Case.

FIRA Case berawal dari tindakan Parlemen Kanada yang melakukan

perubahan atas Undang-Undang Penanaman Modal Kanada. Perubahan undang-

undang ini ditujukan terutama untuk menjamin bahwa kegiatan bisnis perusahaan

asing di wilayah Kanada menghasilkan kentungan yang signifikan bagi kemajuan

Kanada. Pemerintah Kanada akan mengizinkan kegiatan operasi perusahaan

investasi asing hanya jika menurut Pemerintah Kanada perusahaan investasi asing

tersebut dapat memberikan keuntungan yang signifikan bagi kemajuan

pembangunan ekonomi Kanada. Untuk memastikan tercapainya keuntungan yang

signifikan tersebut, Pemerintah Kanada menetapkan syarat bagi investor yang

melakukan permohonan penanaman modal asing di Kanada untuk melakukan hal-

hal berikut:56

a. Membeli sejumlah presentase tertentu barang-barang dari Kanada;

b. Menggantikan produk impor dengan produk buatan Kanada;

c. Membeli barang-barang dari Kanda jika barang-barang tersebut dapat

bersaing dengan barang impor (misalnya jika harga atau

persyaratannya sama, maka investor harus membeli produk dari

Kanada);

                                                            55 Asmin Nasution, Op. Cit., hlm. 73. 56 Mahmul Siregar, Op. Cit., hlm. 36.

Universitas Sumatera Utara

 

d. Membeli dari supplier Kanada (menyebabkan investor harus membeli

barang secara langsung dari produser dalam negeri tetapi tidak dapat

membeli langsung dari perusahaan asing).

Pemerintah Kanada dalam membantah tuntutan Pemerintah Amerika

Serikat mempergunakan pendekatan tentang kedaulatan dan kompetensi GATT

sebagai dasar argumentasi penolakan. Pemerintah Kanada mendalilkan bahwa

ketentuan ketentuan GATT tidak meliputi masalah investasi. GATT sejak saat

pembentukannya diterima sebagai sebuah kesepakatan multilateral yang

menyangkut masalah pengaturan liberalisasi perdagangan barang, tidak termasuk

di dalamnya masalah investasi. Penataan investasi asing menyangkut langsung

pada persoalan kedaulatan negara Kanada sebagai sebuah negara merdeka. Oleh

karena itu ketentuan-ketentuan GATT tidak dapat diterapkan atas persyaratan

penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah Kanada bagi perusahaan-

perusahaan investasi asing di wilayah hukum mereka. Keberatan Pemerintah

Kanada berkenaan dengan masalah kedaulatan negara Kanada untuk menerapkan

tindakan-tindakan tertentu di wilayah hukumnya pada dasarnya diterima oleh

Panel Penyelesaian Sengketa GATT yang memeriksa dan mengadili FIRA Case

ini, akan tetapi alasan tersebut tidak menyebabkan Pemerintah Kanada

menyampingkan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan perjanjian

internasional yang telah mereka sepakati, khususnya dalam hal ini adalah General

Universitas Sumatera Utara

 

Agreement on Tariffs and Trade. Pendapat ini tercermin dari pertimbangan hukum

Panel yang diputuskan pada tahun 1984 yang menyatakan sebagai berikut:57

"... in view of the fact that the General Agreement does not prevent Canada from exercising its sovereign right to regulate foreign direct investment, the panel examined the purchase and export undertaking by investors solely in the light of Canada's trade obligation under the General Agreement. Thus, the Panel clearly stated that this is not an inquiry into a sovereign state's right to regulate foreign investment in Canoda 's territory, but is only designed to determine whether or not the regulation effected Canada 's trade obligations within the framework of the GATT.”

Dengan memperhatikan keterkaitan antara persyaratan penanaman

modal dan kewajiban-kewajiban Kanada di bawah ketentuan GATT selanjutnya

Panel memutuskan bahwa tindakan Pemerintah Kanada yang menjadikan syarat

pembelian dan atau penggunaan produk buatan dalam negeri Kanada serta

menentukan jumlah tertentu dari hasil produksi yang wajib diekspor, dijadikan

sebagai pertimbangan utama untuk memberikan ijin operasi bagi investasi asing,

maka secara meyakinkan Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing

Kanada tersebut telah melanggar ketentuan Artikel III.4 GATT tentang national

treatment. 58

Panel tersebut menyimpulkan bahwa persyaratan kandungan lokal tidak

konsisten dengan prinsip National Treatment berdasarkan Article III: 4 GATT (1),

sedangkan persyaratan ekspor tidak konsisten dengan ketentuan di bawah GATT.

Keputusan panel dalam FIRA Case ini signifikan karena menegaskan bahwa

ketentuan berdasarkan GATT berlaku terhadap persyaratan yang diberlakukan

                                                            57 Mahmul Siregar, “Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan

Penanaman Modal”, USU Repository, 2005, hlm. 5. 58 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

 

oleh pemerintah dalam konteks penanaman modal sejauh persyaratan tersebut

membedakan barang impor dari barang lokal.59

Selain Kanada, Indonesia juga pernah bersengketa dengan WTO terkait

dengan kasus mobil nasional(mobnas) pada tahun 1996. Awal mula muncul kasus

ini karena inisiatif pemerintah Indonesia dalam mendukung dan ingin

meningkatkan industri mobil nasional. Oleh karena itu, pemerintah akhirnya

mengeluarkan kebijakan program Mobil Nasional melalui Inpres No.2 tahun

1996 mengenai Program Mobil Nasional sebagai terobosan di sektor

otomotif Indonesia. Tujuan Mobnas adalah sebagai embrio kemajuan dan

kemandirian bangsa Indonesia dalam industri otomotif. Program Mobnas ini yang

menunjuk PT Timor Putra Nusantara (TPN) sebagai pelopor yang memproduksi

Mobnas. Namun karena Mobnas masih belum dapat memproduksi di dalam

negeri, maka perlu dikeluarkan Keputusan Presiden No. 42 tahun 1996 yang

mengizinkan PT TPN mengimpor Mobnas yang kemudian diberi merek “Timor”

(baik dalam bentuk jadi atau completely build-up/ CBU) dari Korea Selatan.60

Perusahaan atau produsen mobil asing yang berada di Indonesia, yaitu

perusahaan dari Jepang, Masyarakat Eropa (ME), dan Amerika Serikat (AS)

protes. Mereka mengklaim bahwa program Mobnas ini diskriminatif dan telah

melanggar aturan perdagangan internasional antara lain: Pasal I dan III GATT,

Pasal 2 Perjanjuian TRIMs, Pasal 3, 6, dan 28 Perjanjian SCM (Subsidi dan Bea

                                                            59 Agreement on Trade Related Investment Measures,

http://www.wto.org/english/tratop_e/invest_e/invest_info_e.htm (diakses pada tgl 26 Februari 2014 pukul 00.06).

60 Sengketa Mobil Nasional Timor Di WTO, http://www.scribd.com/doc/129547242/Sengketa-Mobil-Nasional-Timor-Di-WTO (diakses pada tgl 25 February 2014 pukul 00.49 WIB).

Universitas Sumatera Utara

 

Masuk Imbalan), serta Pasal 3, 20, dan 65 TRIPS. Mereka memohon konsultasi

terpisah dengan Pemerintah RI pada bulan Oktober 1966. Setelah konsultasi

gagal, mereka mengajukan pembentukan panel yang kemudian terbentuk pada

bulan Juni dan Juli 1997. 61

Dalam putusannya, panel menyimpulkan bahwa kebijakan Program

Mobnas di Indonesia telah melanggar ketentuan-ketentuan perdagangan

internasional yaitu:62

1. GATT Art. I:1 (most-favoured-nation treatment): yaitu adanya perlakuan

khusus impor mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi

keuntungan pada satu negara, misalnya perlakuan bebas tarif masuk

barang impor.

2. GATT Art. III:2, first and second sentences (national treatment-taxes and

charges): Perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada

produsen mobil nasional selama 2 tahun.

3. TRIMs Agreement Art. 2.1 (local content requirement): soal kandungan

lokal yang ditentukan secara bertahap yakni 20% pada tahap pertama dan

60% tahun ketiga tidak terpenuhi.

4. ASCM Art. 5(c) (serious prejudice).

Dalam penyelesaian kasus mobnas, WTO memutuskan bahwa Indonesia

telah melanggar Prinsip-Prinsip GATT yaitu National Treatment dan menilai

kebijakan mobil nasional tersebutdinilai tidak sesuai dengan spirit perdagangan

                                                            61 Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional

(WTO), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 147. 62 Robby Adrian, “Kebijakan Otomotif Nasional (“ Mobnas Timor “) ditinjau dari prinsip

Most Favoured Nation”, hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

 

bebas yang diusung WTO, oleh karena itu WTO menjatuhkan putusan kepada

Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan

kepada PT. Timor Putra Nasional selaku produsen Mobil Timor dengan

menimbang bahwa: 63

a. Penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang mewah yang oleh

pemerintah hanya diberlakukan pada PT. Mobil Timor nasional merupakan

suatu perlakuan yang diskriminatif dan tentu saja akan sangat merugikan

para investor yang telah terlebih dahulu menanamkan modalnya dan

menjalankan usahanya di Indonesia. Dengan diberlakukannya

penghapusan bea masuk dan pajak barang mewah terhadap mobil timor, hal

ini dapat menekan biaya produksi sehingga membuat harga mobil timor di

pasaran menjadi lebih murah, hal tersebut akan mengancam posisi investor

asing yang tidak dapat menrunkan harga jual produknya,dalam persaingan

pasar yang tidak sehat seperti itu, investor asing pasti akan sangat dirugikan.

b. Untuk menciptakan suatu perdagangan bebas yang efektif dan efisien,

GATT dalam aturanaturannya telah berusaha menghapuskan segala

hambatan dalam perdagangan internasional,antara lain adalah hambatan-

hambatan perdagangan Non Tarif.

Oleh karena itu kebijakan Pemerintah Indonesia yang menetapkan

keharusan aturan persyaratan kandungan lokal terhadap investor asing dinilai

sebagai upaya pemerintah dalam menciptakan suatu hambatan peragangan non

tarif guna memproteksi pasar dalam negeri dari tekanan pasar asing. Kebijakan

                                                            63 Sengketa Mobil Nasional Timor Di WTO, Loc.cit

Universitas Sumatera Utara

 

tersebut merupakan salah satu strategi pemerintah untuk memproteksi pasar Mobil

Timor agar tidak kalah bersaing dengan produsen mobil dari luar negeri.

Instrumen kebijakan tersebut tentunya sangat merugikan pihak produsen mobil

dari luar negeri, dan dapat menciptakan suatu iklim persaingan yang tidak sehat.

Sebagai respon Indonesia terhadap putusan panel, maka pada tgl 21

Januari 1998 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 20 tahun 1998 tentang

Pencabutan Keputusan Presiden No. 2 tahun 1996 tentang Pembuatan Mobil

Nasional. Dengan dikeluarkannya Keppres No. 20 tahun 1998 ini, maka seluruh

peraturan-peraturan yang melaksanakan Keppres No. 2 tahun 1996, termasuk di

dalamnya Inpres No. 2 tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Kendaraan

Bermotor Nasional dinyatakan tidak berlaku.64

Pada periode setelah berlakunya Agreement on Trade Related on

Investment Measures hasil perundingan Putaran Uruguay bermunculan sengketa-

sengketa perdagangan internasional yang lahir dari peraturan penanaman modal.

Selain Kanada dengan “Fira Case” dan Indonesia dengan kebijakan “mobil

nasional”, adapula beberapa negara yang kebijakan penanaman modalnya

melanggar ketentuan GATT terutam prinsip national treatment antara lain Brazil

dengan kebijakan investasi sektor otomotif, India dengan kebijakan local content

requirement, Filipina dengan kebijakan foreign exchange limitation, dan berbagai

negara lainnya. Sejumlah sengketa tersebut menunjukkan bahwa adakalanya

peraturan penanaman modal suatu negara dapat menimbulkan sengketa bidang

internasional ketika peraturan penanaman modal tersebut bertentangan dengan

                                                            64 Mahmul, Siregar, Op.Cit., hal 134.

Universitas Sumatera Utara

 

kewajiban internasional dari host country berdasarkan prinsip-prinsip

perdagangan internasional yang diatur di dalam GATT/WTO.65

C. Prinsip Nondiskriminasi dalam WTO dan Kebijakan Kandungan

Lokal

Prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir,

bertindak, dan sebagainya.66 Adapun prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum

merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan

pandangan etis masyarakatnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa melalui

asas hukum ini peraturan-peratran hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari

suatu tatanan etis.67

Tentang pengertian prinsip atau principle, Black’s Law Dictionary,

memberikan pernyataan sebagai berikut.68

“A fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule of doctrine which furnishes a basis or drigen for others, a settled rule of actions procedure or legal determination. A truth or preposition so clear that it can not be proves or contradicted anless by a preposition which is still cleaner. That which constitutes the essence of a body or its constituents parts. That which pertains theoritical part of a science.” Dari pengertian prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip hukum

adalah suatu yang sangat mendasar bagi suatu konsep hukum. Prinsip hukum

dalam pengertian substansinya tidak meerupakan bagian terpisah dari kategori

                                                            65 Asmin Nasution, Op. Cit., hlm. 74. 66 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: PN. Balai Pusaka,

1986), hlm. 768. 67 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006) , hlm. 45. 68 Syahmin A.K., Hukum Dagang Internasional: Dalam Kerangka Studi Analitis,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 36.

Universitas Sumatera Utara

 

norma-norma hukum, melainkan hanya berbeda dalam isi dan pengaruhnya.69

Prinsip-prinsip dasar yang melandasi GATT/WTO menurut Wil D. Verwey

dalam Ginanjar Kartasasmita ialah prinsip non diskriminasi yang mengundang

tiga bentuk perlakuan terhadap barang yang akan dijual di pasar internasional.

Prinsip-prinsip itu berakar dari filsafah liberalisme barat, yang dikenal dengan

“Trinita”, yaitu kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan asas timbal balik

(reciprocity).70

Pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut menganggap semua pihak sama

kedudukannya. Dari prinsip-prinsip tersebut tersirat prinsip persaingan bebas

melalui kesempatan yang sama. Prinsip-prinsip hukum liberal tersebut

menganggap semua negara sama kuat. Namun demikian muncul persoalan ketika

muncul negara-negara berkembang yang baru merdeka setelah Perang Dunia

Kedua. Kehadiran negara-negara berkembang mengakibatkan negara industtri

maju yang kuat bersaing dengan negara berkembang yang lemah, akhirnya asas

persamaan tidak lagi membawa keadilan (equity), tetapi sering justru

memperbesar ketidakadilan.71 Oleh karena itu, perlulah peraturan-peraturan dasar

dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum WTO menjadi acuan sistem

perdagangan multinasional.

Dalam menghadapi era globalisasi yang tengah berjalan di segala sektor

dewasa ini, Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian penting yang

diantaranya adalah menjadi anggota WTO. Konsekuensi penting dari kenggotaan

                                                            69 Ibid., hlm. 36. 70 Ginanjar Kartassasmita, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan

Pemerataan, (Jakarta: Cidesindo, 1996), hlm. 100. 71 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2012), hlm. 40.

Universitas Sumatera Utara

 

suatu orgaanisasi dunia, seperti WTO yang diratifikaasi Indonesia melalui

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994

mewajibkan Indonesia berhati-hati dalam memberlakukan peraturan ekonomi.

Ratifikasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia atas Agreement Establishing the

World Trade Organization dilihat dari segi hukum merupakan suatu langkah yang

tidak dapat dicegah sebab sebagai negara yang berkembang dengan posisi lemah

dalam peraturan dagang internasional, Indonesia harus meletakkan tumpuan pada

suatu forum multilateral, yakni WTO sebagai wujud suatu kekuasaan

internasional di bidang perdagangan antarnegara, yang diharapkan menegakkan

rule of law dalam masyarakat global.72

Adapun prinsip-prinsip hukum dari perdagangan multilateral yang diatur

didalam GATT/WTO, meliputi prinsip non-diskriminasi (the principle of non-

discriminatory), prinsip resiprositas (reciprocity), prinsip penghapusan hambatan

kuantitatif, prinsip perdagangan adil (fairness principle), dan prinsip tarif

mengikat (tariff binding principle).73 Berikut akan diuraikan mengenai prinsip

non-diskriminasi.

Prinsip non-diskriminasi adalah salah satu prinsip utama WTO, artinya

merupakan prinsip-prinsip yang menjadi landasan seluruh kebijakan dan tata

aturan perdagangan dalam sistem WTO. Prinsip non-diskriminasi berarti prinsip

yang menolak kebijakan atau tindakan yang diskriminatif.74 Terdapat dua prinsip

non diskriminasi dalam hukum organisasi perdagangan dunia (WTO/GATT) yaitu

                                                            72 Asmin Nasution,Op.cit., hlm. 48. 73 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 41. 74 Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral: Di Bawah Sistem Hukum WTO, (Bandung:

PT. Alumni, 2010), hlm. 131.

Universitas Sumatera Utara

 

kewajiban The Most Favoured Nation (MFN) Treatment dan kewajiban The

National Treatment.

1. Prinsip Most Favoured Nation (MFN)

Pada tahun 1978, International Law Commission (ILC) mengajukan UN

General Assembly suatu Draft Articles Most Favoured Nation Clause. Dalam

Article 5 draft itu dirumuskan pengertian Most Favored Nation Treatment

sebagai berikut:75

“MFN Treatment adalah suatu perlakuan yang diberikan oleh granting State kepada beneficiary State, atau kepada orang atau barang dalam suatu hubungan tertentu dengan Negara tersebut, tidak lebih kurang nyaman dari perlakuan yang diberikan oleh granting State kepada suatu negara ketiga atau orang atau barang dalam suatu hubungan yang serupa dengan negara pihak ketiga tersebut.” Prinsip ini juga diatur didalam Article 1 section (1) GATT 1947, yang

berjudul General Favoured Nation Treatment, merupakan prinsip non-

diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO. Article 1

section (1) GATT 1947 mengharuskan MFN atas semua konsesi tarif yang telah

diperjanjikan oleh para pesertanya dengan menentukan bahwa:76

“With respect to customs duties and charges of any kind imposed on or in connection with importation or exportation or imposed on the international transfer of payments for imports or exports, and with respect to the method of levying such duties and charges, and with respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation, and with respect to all matters referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III, any advantage, favour, privilege or immunity granted by any contracting party to

                                                            75 Ibid., hlm. 132. 76 The General Agreement on Tariffs And Trade,

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:XYVkHpxx9GcJ:www.wto.org/english/docs_e/legal_e/gatt47_e.doc+&cd=1&hl=en&ct=clnk (diakses pada tanggal 3 February 2014 pukul 23.38).

Universitas Sumatera Utara

 

any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties.” Dalam sistem GATT DAN WTO, prinsip Most Favoured Nation

merupakan salah satu tonggak sistem tersebut karena prinsip ini memainkan peran

sentral dalam memastikan sistem perdagangan yang bersifat multilateral yang

dibangun dalam GATT. Prinsip Most Favoured Nation mengharuskan setiap

anggota WTO tidak mendiskriminasikan anggota WTO yang satu dengan

anggota-anggota WTO lainnya.77 Apabila suatu negara hendak memberikan

kemudahan atau fasilitas perdangangan internasional kepada negara kedua, maka

kemudahan serupa harus pula diberikan kepada negara ketiga, keempat, dan

seterusnya. Kebaikan dari prinsip ini adalah bahwa ia secara umum

memberlakukan lagi seluruh peserta perjanjian keuntungan-keuntungan yang

diberikan oleh salah satu dari mereka kepada negara ketiga. Prinsip ini

diberlakukan tanpa memandang struktur sosial politik ekonomi negara peserrta.78

Umumnya perjanjian Bilateral Investment Treaty (BIT) memuat aturan dasar

prrinsip Most Favoured Nations.79

Pengecalian terhadap prinsip Most Favoured Nations sebagaimana diatur

dalam GATT 1947, yaitu tidak berlaku:80

a. Dalam hubungan ekonomi antara negara-negara anggota Free Trade

Area/Customs Union dengan negara-negara yang bukan anggota, misalnya

negara AFTA (Indonesia) dengan India.

                                                            77 Rusli Pandika, Loc.Cit., hlm. 132. 78 Syahmin A.K., Op. Cit., hal 38 79 Huala Adolf, Loc. Cit, hlm. 169. 80 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 42.

Universitas Sumatera Utara

 

b. Dalam hubungan dagang antara negara-negara maju dan negara-negara

berkembang melalui GSP (Generalized System of Preferences).

2. Prinsip National Treatment

Hakikat prinsip National Treatment dalam konteks WTO adalah

kewajiban bagi setiap negara anggota untuk tidak menempatkan barang, jasa, atau

orang dari anggota WTO lain dalam suatu competitive disadvantage dibandingkan

barang, jasa, atau warga negaranya sendiri.81 Prinsip ini terdapat pada 3 (tiga)

WTO Agreements yang utama yaitu Article III, khususnya Article III(4) GATT,

Article XVII GATS,dan Article 3 TRIPS Agreement. Disamping itu, prinsip ini

dimasukkan ke dalam berbagai perjanjian yang menjadi bagian dari Annex IA

WTO Agreement, antara lain di dalam Agreement on Technical Barriers to Trade

dan Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures, juga

di dalam Agreement on Government Procurement.82 Prinsip National Treatment

memberikan persamaan perlakuan di dalam suatu negara, baik terhadap orang

asing maupun terhadap warga negara sendiri. Prinsip ini melarang perbedaan

perlakuan antara barang asing dan barang domestik yang berarti bahwa pada saat

suatu barang impor telah masuk ke pasaran dalam negeri suatu anggota, dan

setelah melalui daerah pabean serta membayar biaya masuk, maka barang impor

tersebut harus diperlakukan secara tidak lebih buruk daripada hasil dalam negeri.83

Suatu anggota WTO harus memberikan perlakuan yang sama bagi pemasok jasa

dari setiap anggota lain seperti yang diberikan kepada pemasok jasa nasional dari

anggota yang bersangkutan. Dengan kata lain, tidak boleh ada perlakuan                                                             

81 Rusli Pandika, Op.Cit., hlm. 136. 82 Ibid., hlm. 136. 83 Asmin Nasution, Op. Cit., hlm. 49.

Universitas Sumatera Utara

 

diskriminatif antara jasa-jasa dan pemasok-pemasok jasa nasional dan asing.84

Negara-negara anggota memiliki kewajiban untuk tidak memperlakukan produk-

produk impor secara berbeda dengan kebijakan terhadap produk-produk yang

sama buatan dalam negeri. Ruang lingkup berlakunya prinsip ini juga berlaku

terhadap semua diskriminasi yang muncul dari tindakan-tindakan perpajakan dan

pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini berlaku pula terhadap perundang-

undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan hukum yang dapat

mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan

produk-produk di pasar dalam, negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan

terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif

atau legislatif. 85

Dengan demikian bahwa prinsip national treatment ini menghindari

diterapkannya peraturan-peraturan yang menerapkan perlakuan diskriminatif yang

ditujukan sebagai alat untuk memberikan proteksi terhadap produk-produk buatan

dalam negeri. Tindakan yang demikian ini menyebabkan terganggunya kondisi

persaingan antara barang-barang buatan dalam negeri dengan barang impor dan

mengarah kepada pengurangan terhadap kesejahteraan ekonomi. Dengan

persaingan yang adil antara produk impor dan produk dalam negeri, maka terjadi

perbaikan kinerja pada produksi dalam negeri untuk lebih efisien sehingga dapat

bersaing dengan produk impor. sedangkan bagi konsumen hal ini akan lebih

menguntungkan karena memungkinkan konsumen memperoleh barang yang lebih

                                                            84 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books Terrace and Library,

2007), hlm. 43. 85 Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, Loc.

cit, hlm. 12-13.

Universitas Sumatera Utara

 

baik dan harga yang lebih wajar. Dalam perspektif lain disebutkan bahwa justru

tindakan yang demikian dapat menyebabkan kurangnya minat investor untuk

menanamkan modalnya, karena berkurangnya keleluasaan investor untuk

mengambil keputusan bisnis yang lebih bebas.86

Klausul National Treatment sering ditemukan dalam berbagai perjanjian

termasuk dalam GATT dan perjanjian-perjanjian persahabatan, perdagangan, dan

navigasi.87 Penerapan prinsip ini acapkali dilakukan dengan menerapkan prinsip

resiprositas dalam hubungan ekonomi internasional. Praktik-praktik seperti ini

telah lama dilakukan. Misalnya, larangan pembatasan-pembatasan impor

kuantitatif yang ditandatangani antara Prancis dan Belanda pada tahun 1968;

antara Prancis dan Spanyol pada tahun 1654; antara Swedia dan Belanda pada

tahun 1679; dan antara Prancis dan Inggris pada tahun 1713.88

Menurut Herman Mosler dalam Taryana Sunandar, bahwa unsur-unsur

penting yang terkandung dalam Prinsip National Treatment adalah sebagai

berikut:89

a. Adanya kepentingan lebih dari satu negara;

b. Kepentingan tersebut terletak di wilayah yurisdiksi suatu negara;

c. Negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik

terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan negara lain yang

berada di wilayahnya; dan

                                                            86 Ibid 87 Huala Adolf, Op. Cit., hlm. 38. 88 Ibid., hlm. 39. 89 Taryana Sunandar, “Penulisan Karya Ilmiah tentang Perkembangan Hukum

Perdagangan Internasional dari GATT 1947 sampai terbentuknya WTO (World Trade Organizartion)”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman , 1996, hlm. 24.

Universitas Sumatera Utara

 

d. Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi negara

tuan rumah sendiri dan merugikan kepentingan negara lain.

Penerapan prinsip National Treatment merupakan pencerminan dari

pembatasan kedaulatan suatu negara. Hal ini kerapkali diperjanjikan dalam rangka

mewujudkan suatu kompromi antara kepentingan nasional dan kepentingan

internasional yang sering bertentangan. Menurut Taryana Sunandar, tujuan

daripada penerapan prinsip ini adalah untuk menciptakan harmonisasi dalam

perdagangan internasional agar tidak terjadi perlakuan yang diskriminatif antara

produk domestik dan produk impor, artinya kedua produk tersebut harus

mendapatkan perlakuan yang sama.90

D. Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMS)

Dalam perkembangan awalnya, penanaman modal asing secara langsung

mulai tampak pada masa penjajahan (kolonialisme). Penanaman modal pada

waktu itu berlangsung dalam bentuk pergerakan manusia (investor) bersama

modalnya dari negara Eropa ke Asia, Afrika, dan Amerika selatan. Umumnya

modal yang ditanamkan tersebut ditujukan untuk mengeksploitasi kekayaan

melimpah di negara-negara tersebut. Pemerintah penjajah biasanya membuat

suatu kebijakan yang menarik bagi para investor asing. Mereka juga memberikan

perlindungan dan jaminan bahwa para investor dan harta bendanya dapat tunduk

kepada aturan pengadilan negara penerima di mana para investor tersebut

                                                            90 Ibid

Universitas Sumatera Utara

 

menginvestasikan modalnya.91 Standar-standar bagi perlindungan penanaman

modal ini sesungguhnya dibuat untuk menampung kebutuhan negara-negara maju

dan para investornya. Fokus utama dari standar tersebut adalah mengenai status

orang asing. Standar ini diterapkan terhadap berbagai aspek hukum mengenai

penanaman modal dan perlindungan modalnya. Termasuk di dalamnya adalah

pengaturan mengenai perlindungan hak-hak milik penanaman modal asing (the

regulations of foreign investment protection of property rights), penyelesaian

sengketa, hak asasi manusia dan orang asing, dan perlindungan dalam hal

terjadinya pemberontakan atau kekacauan.92

Menurut sistem WTO, masalah perdagangan bebas dalam hubungan

dengan penanaman modal asing ini terdapat ketentuannya dalam Agreement on

Trade Related Invested Measures (TRIMs). TRIMs adalah perjanjian tentang

aturan-aturan investasi yang menyangkut atau berkaitan dengan perdagangan.

Secara umum sesuatu didefinisikan sebagai TRIMs jika peraturan investasi di

negara bersangkutan dikaitkan dengan persyaratan yang dapat mempengaruhi

perdagangan. Persetujuan ini dimaksudkan untuk memacu perkembangan dan

liberalisasi yang progresif perdagangan dunia dan memudahkan arus penanaman

modal antarnegara.93 TRIMs ditentukan dalam Lampiran 2A WTO, yang

merupakan lanjutan pelaksanaan GATT 1994, terutama tentang perlakuan

diskriminatif yang tercantum dalam Pasal I GATT yang mengandung prinsip Most

                                                            91 Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), Loc.

cit. 92 Latar Belakang Negosiasi TRIMs, http://mekar-sinurat.blogspot.com/2009/10/latar-

belakang-negosiasi-trims.html (diakses pada tgl 9 Februari 2014 diakses pada pkul 23.18 WIB). 93 Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Malang: Bayumedia

Publishing, 2003), hlm. 35.

Universitas Sumatera Utara

 

Favoured Nation.94 Kesepakatan TRIMs dimaksudkan untuk mengurangi atau

menghapus kegiatan perdagangan dan meningkatkan kebebasan kegiatan investasi

antar negara. Tujuan diaturnya masalah penanaman modal asing dalam TRIMs

adalah sebagai berikut:95

a. Karena adanya pengaturan tertentu dari masalah penanaman modal asing

di negara tertentu yang dapat menyebabkan pembatasan perdagangan dan

memiliki distorsi-distorsi tertentu.

b. Untuk melakukan elaborasi terhadap ketentuan GATT yang berkenaan

dengan efek retriktif terhadap perdagangan dari pengaturan dan praktek

tentang penanaman modal asing di negara-negara anggota WTO.

c. Untuk mempromosikan dan memfasilitasi investasi di negara-negara

anggota WTO yang sesuai dengan liberalisaasi perdagangan, sehingga

diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing

negara WTO.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadi dasar perundingan yang

mengarahkan negara-negara penerima modal mengatur investasi asing di negara

tersebut. TRIMs melarang pengaturan-pengaturan penanaman modal asing yang

tidak sesuai dengan prinsip-prinsip GATT 1994, sebagai instrumen untuk

membatasi penanaman modal asing, namun ada pengecualian-pengecualian

tertentu asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu juga. TRIMs terdiri dari enam

                                                            94 Jeane Neltje Saly, Usaha Kecil, Penanaman Modal Asing dalam Perspektif

Perdagangan Internasional, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Assasi Manusia,2001), hlm. 40.

95 Penanaman Modal Terkait Perdagangan Internasional, http://mahendraputra.net/wp-content/uploads/2012/02/BAHAN-KULIAH-HUKUM-PERNIAGAAN-INTERNASIONAL-10.pdf (diakses pada tgl 7 Februari 2014 pukul 23.08 WIB).

Universitas Sumatera Utara

 

pasal dan lampiran yang berisi daftar yang mengindikasikan apa yang dimaksud

sebagai TRIMs.

TRIMs merupakan unsur penting yang diterapkan negara penerima modal,

terutama negara berkembang. Negara berkembang lainnya menggunakan TRIMS

ini untuk meminimalkan dampak dari penanaman modal asing. Negara-negara ini

telah pula menjadikan upaya-upaya tersebut sebagai bagian dari pembangunan

ekonominya untuk mencapai tingkat pertumbuhan pembangunan negaranya.96

Pembangunan tersebut baik juga untuk negaranya untuk pembangunan

masyarakatnya misalnya dalam hal penyediaan lapangan kerja dan alih teknologi

yang memang bermanfaat bagi (pembangunan) negara tersebut. Negara penerima

modal juga menerapkan kebijakan penanaman modal yang sifatnya membatasi

ruang gerak penanaman modal asing untuk mencegah dampak buruk terhadap

perekonomian negara dari penanaman modal asing. Sejumlah negara maju

menganggap bahwa pengaruh persyaratan tertentu yang ditetapkan dalam

kebijaksanaan penanaman modal di negara-negara berkembang sebagai upaya

memajukan industri domestik yang dapat menjadi penghambat terhadap

perdagangan, sehingga dianggap bertentangan dengan ketentuan GATT tertentu.97

Persyaratan pelaksanaan yang paling umum adalah sebagai berikut:98

a. Persyaratan menggunakan kandungan lokal (local content requirements);

b. Persyaratan perdagangan yang berimbang (trade balancing requirements);

                                                            96 Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO),

http://referensi-hukum.blogspot.com/2010/10/perjanjian-penanaman-modal-dalam-hukum.html (diakses pada tgl 9 Februari 2014 pukul 23.43 WIB).

97 H. Gofar. Bain, Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan, (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm. 57.

98 An An Chandrawulan, Op.Cit., hlm. 135.

Universitas Sumatera Utara

 

c. Persyaratan ekspor (export performance requirements);

d. Pembatasan impor (limitation on imports);

e. Persyaratan mata uang asing dan pengiriman mata uang asing (foreign

exchange and remittance requirements);

f. Persyaratan modal minimum (minimum local equity requirements);

g. Persyaratan alih teknologi (technology transfer requirements); dan

h. Persyaratan lisensi produk (product licensing requirements).

Secara singkat dapat dikatakan bahwa Kesepakatan TRIMs tidak terlalu

membebani negara-negara anggotanya secara signifikan dan tidak menghambat

negara anggotanya, khususnya negara berkembang untuk mengatur penanaman

modal asing di wilayahnya. Namun demikian, larangan menggunakan kandungan

lokal dan persyaratan perdagangan yang berimbang telah memaksa negara sedang

berkembang untuk secara bertahap memberhentikan pencantuman persyaratan

terhadap penanaman modal asing untuk menggunakan kandungan atau komponen

lokal. Hal ini merupakan implikasi negatif karena negara-negara berkembang

acapkali menerapkan persyaratan-persyaratan ini untuk memajukan industri dalam

negeri dan pembangunan ekonominya. Implikasi lainnya dari Kesepakatan TRIMs

adalah bahwa kesepakatan tersebut membatasi kewenangan atau kontrol negara

penerima modal terhadap penanaman modal secara langsung.99 Kesepakatan

TRIMs ini harus membantu menciptakan iklim berusaha yang lebih aman bagi

masuknya penanaman modal yang menghambat perdagangan.100

                                                            99 Penanaman Modal Terkait Perdagangan Internasional, Op. cit. hlm.3. 100 H. Gofar Bain, Op.Cit., hlm. 86.

Universitas Sumatera Utara

 

1. Ruang Lingkup TRIMs

Pasal 1 dari TRIMs menerangkan tentang ruang lingkup,

yaitu:

“This Agreement applies to investment measures related to trade in goods only

(referred to in this Agreement as “TRIMs”)”

[…….Perjanjian ini hanya berlaku untuk tindakan-tindakan investasi yang

berkaitan dengan perdagangan barang].

Menurut Prof Erman Radjagukguk, Pasal 1 ini atas memiliki 2 (dua)

alternatif, pertama bahwa TRIMs berhubungan dengan perdagangan barang, dan

kedua TRIMs meliputi peraturan-peraturan yang mempunyai akibat

penyimpangan dari prinsip GATT dan merugikan perdagangan barang. Sementara

pengertian kedua hal tersebut adalah mengurangi atau menghapus segala

kebijakan investasi yang menghambat kegiatan perdagangan dan kebebasan

kegiatan investasi dan menghapus aturan investasi yang dapat mengganggu dan

menghambat perdagangan barang dagangan pada TRIMs yang diidentifikasi.101

2. Penerapan Prinsip National Treatment dan Quantitative Restrictions

Pasal 2, mengatur tentang penerapan prinsip “National Treatment” dan

“Quantitative Restrictions”, yang berbunyi:102

                                                            101 Perdagangan Global dan Tindakan Investasi,

http://hukuminvestasi.wordpress.com/2010/09/16/trade-related-investment-measures-trims/ (diakses pada tgl 8 Februari 2014 pukul 20.50 WIB).

102 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

 

“Without prejudice to other rights and obligations under GATT 1994, no Member

shall apply by TRIMs that is inconsistent with the provisions of Article XI of

GATT 1994.”

[…….Tanpa merugikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban lainnya sebagaimana

diatur dalam GATT 1994 tak satupun negara anggota diperkenankan

memberlakukan TRIMs yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal XI

GATT 1994]

“An illustrative list of TRIMs that are inconsistent with the obligation of national

treatment provided for in paragraph 4 of Article III of GATT 1994 and the

obligation of general elimination of quantitative restrictions provided for in

paragraph 1 of Article XI of GATT 1994 is contained in Annex to this

Agreement”.

[…….Daftar ilustrasi TRIMs yang tidak konsisten dengan kewajiban

melaksanakan prinsip national treatment sebagaimana diatur dalam paragraf 4

Pasal III GATT dan kewajiban melakukan penghapusan batasan-batasan

kuantitatif sebagaimana ditentukan dalam paragraf 1 Pasal XI GATT terdapat

dalam Lampiran Perjanjian ini].

Pasal diatas menyatakan bahwa peraturan investasi yang berhubungan

dengan perdagangan barang tidak boleh bertentangan dengan pasal III dan XI dari

GATT dan daftar ilustrasi sebagai apa yang dianggap sebagai TRIMs berdasarkan

pasal III ayat 4 dan pasal XI ayat 1 dari GATT. Pasal III GATT berhubungan

Universitas Sumatera Utara

 

dengan national treatment dibidang perpajakan dalam negeri dan pasal XI

berhubungan dengan larangan umum pembatasan kwantitatif.103

Pasal III GATT mengatur khusus tentang perdagangan barang impor yang

harus diperlakukan sama dengan produk dalam negeri (internal tacation), dan hal-

hal yang mempengaruhi penjualan, distribusi, transportasi, dan sebagainya.104

Pasal III GATT melarang negara-negara anggota menyimpang dari National

Treatment pada saat menerapkan pajak dalam negeri, pungutan, undang-undang,

peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban untuk memproduksi, menjual,

mengangkut, mendistribusikan, atau memakai produk dalam negeri atau produk

impor.105

Pasal XI GATT menentukan bahwa suatu negara anggota dapat

menggunakan suatu “quantitative restriction”, atau pembatasan secara kuantitatif

terhadap produk pertanian dan perikanan (yang kemudian berkembang menjadi

produksi barang pada umumnya) dengan persyaratan tertentu. Pasal XI

menentukan peraturan-peraturan kwantitatif sebagai quota, izin import atau

eksport atau peraturan-peraturan lainnya. Tindakan tersebut dibolehkan asalkan

bertujuan untuk menstabilkan pasaran dalam negeri. 106

                                                            103 Erman Rajagukguk, “TRIMs dan Investasi”, Materi Kuliah 1: Pendahuluan, (Jakarta:

Fakultas Hukum Universitas Indonesia), hlm. 5. 104 Jeane Neltje Saly, Op. Cit., hlm. 41. 105 Erman Rajagukguk, Loc.cit. 106 Jeane Neltje Saly, Op. cit., hlm. 42.

Universitas Sumatera Utara

 

Dalam uraian mengenai TRIMs yang dianggap bertentangan dengan pasal-

pasal GATT tersebut dilampirkan pada Agreement ini. Yang termasuk dalam

daftar ini adalah:107

a. Aturan-aturan tentang local content requirements yang mengharuskan

pembelian input dari dalam negeri (lokal) pada tingkat tertentuoleh suatu

perusahaan; atau

b. Aturan-aturan tentang trade balancing requirements yang mensyaratkan

bahwa volume atau nilai impor yang dapat dilakukan harus dikaitkan

denga tingkat produk yang diekspornya.

Kedua contoh ini bertentangan dengan Artikel III.4 GATT. Contoh yang

terakhir juga dianggap bertentangan dengan Artikel XI.I GATT sebagai bentuk

pembatasan tertentu akses terhadap valuta asing maupun pembatasan impor pada

tingkat kualitas tertentu.108

3. Ketentuan Khusus Bagi Negara Berkembang

Pasal 4 dari perjanjian ini mengijinkan negara-negara berkembang

menyimpang untuk sementara waktu dari kewajiban-kewajiban menerapkan

larangan-larangan TRIMs. Pengecualian dibuat sehingga negara-negara

berkembang dapat memelihara neraca perdagangannya. Dengan kata lain negara-

negara berkembang diizinkan untuk menyimpang sementara waktu dari

kewajiban-kewajiban yang menerapkan larangan-larangan TRIMS sampai neraca

perdagangan di negara berkembang kembali normal. Pasal ini membolehkan

negara-negara untuk menyimpangi sementara waktu ketentuan Pasal 2, sepanjang                                                             

107 H.S. Kartadjomena, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round.,(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1997), hlm. 226.

108  Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

dan sesuai dengan ketentuan Pasal III dan XI GATT dapat disimpangi sesuai

dengan Pasal XVIII GATT 1994, The Understanding on the Balance-of-Payments

of GATT 1994 dan Deklarasi mengenai Upaya-upaya Perdagangan yang diambil

guna tujuan penyeimbangan neraca perdagangan (Declaration on Trade Measures

taken for Balance-of- Payment Purposes of 28 November 1979).109 Pasal XVIII

GATT section memberikan peluang bagi negara berkembang, seperti Indonesia

untuk melakukan tindakan quantitative restrictions guna melindungi infant

industry yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Tindakan ini

baru dapat diambil apabila tindakan tarif tidak memungkinkan memberikan

perlindungan terhadap infant industry tersebut.110

4. Persyaratan Notifikasi dan Kewajiban Transparansi

Pasal 5 dari TRIMs mengatur tentang Notification and Transnational

Arrangements. Pasal 5 ayat 1 ini mensyaratkan negara anggota untuk menotifikasi

kepada Dewan Perdagangan Barang (The Trade in Goods Council) dalam jangka

waktu 90 hari setelah berlakunya perjanjian WTO semua TRIMs yang tidak sesuai

yang ditetapkan negara-negara anggota.111

Pasal 5 ayat 2 juga mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk

menghapuskan semua TRIMs dalam jangka waktu 2 (dua) tahun untuk negara

                                                            109 Perdagangan Global dan Tindakan Investasi, Loc. cit. 110 Jeane Neltje Saly, Loc. cit., hlm. 42.

111 Huala Adolf, Op,Cit, hlm. 108.

Universitas Sumatera Utara

 

maju, 5 (lima) tahun untuk negara berkembang, dan 7 (tujuh) tahun untuk negara

miskin (least developed countries).112 Pasal 5 ayat 3 menyatakan bahwa:113

“On request, the Council for Trade in Goods may extend the transition period for the elimination of TRIMs notified under paragraph 1 for a developing country Member, including a least-developed country Member, which demonstrates particular difficulties in implementing the provisions of this Agreement. In considering such a request, the Council for Trade in Goods shall take into account the individual development, financial and trade needs of the Member in question.” Dari isi pasal tersebut diatas tercantum bahwa negara berkembang dapat

pula memohon perpanjangan waktu transisi apabila mereka menghadapi masalah

dalam melaksanakan perjanjian TRIMs.114

Disamping itu, Pasal 5 ayat (5) ini memuat pula suatu ketentuan khusus

yang membolehkan penerapan TRIMs terhadap perusahaan-perusahaan (baru)

selama jangka waktu transisi apabila hal ini dipandang perlu agar ttidak

merugikan perusahaan yang telah ada yang tunduk kepada Kesepakatan TRIMs

.115

Pasal 6 memuat kewajiban transparansi di dalam menerapakan perjanjian

TRIMs. Pasal ini mensyaratkan kewajiban notifikasi kepada sekretariat WTO

mengenai publikasi adanya TRIMs, termasuk TRIMs yang diterapkan oleh

pemerintah daerah atau pejabat-pejabat TRIMs yang memiliki kewenangan di

bidang kebijakan penanaman modal di dalam wilayah kekuasaannya. 116

                                                            112 Ibid., hlm. 108. 113 URUGUAY ROUND AGREEMENT: Agreement on Trade-Related Investment

Measures, http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/18-trims_e.htm (diakses pada tgl 10 Februaryi 2014 pukul 12.24 WIB).

114 Sejarah Perjalanan GATT menuju WTO, Op.cit., hlm. 93. 115 Huala Adolf, Op. Cit, hlm. 109. 116 Sejarah Perjalanan GATT menuju WTO, Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara

 

Dalam konteks keikutsertaan Indonesia dalam Organisasi Perdagangan

Dunia (WTO), Indonesia termasuk negara yang cepat memenuhi kewajibannya

dengan melakukan notifikasi dan transparansi segala aturan-aturan penanaman

modal yang mengandung TRIMs. Keadaan ini justru kontras dengan keadaan di

dalam negeri, dimana transparansi hukum selalau menjadi persoalan krusial.

Respon yang dilakukan Indonesia dalam konteks hubungan perdagangan luar

negeri tidak serta merta menumbuhkan kepercayaan investor terhadap jaminan

kepastian hukum di dalam negeri.117

5. The Committee on Trade Related Investment Measures

Pada Pasal 7 ayat (1) memuat pembentukan badan baru, yaitu The

Committee on Trade Related Investment Measures (The “Committee”).118

Keanggotaan Committee on TRIMs terbuka bagi semua negara anggota WTO.

Committee on TRIMs ini mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai

berikut:119

a) Melakukan monitoring terhadap pelaksanaan TRIMs;

b) Sekali dalam setahun melaporkan hasil monitoringnya kepada Council

for Trade in Goods;

c) Melakukan pertemuan berkala minimal 1 kali setahun;

d) Melakukan pertemuan jika dimintakan oleh setiap anggota WTO;

                                                            117 Asmin Nasution, Op.Cit, hlm. 19. 118 Huala Adolf, Op. Cit., hlm. 110. 119 Penanaman Modal Terkait Perdagangan Internasional., Op.cit., hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

 

e) Memberikan kesempatan kepada para anggota WTO yang ingin

berkonsultasi dengan Committee on TRIMs tentang masalah-masalah

yang berkenaan dengan pelaksanaan TRIMs; dan

f) Melakukan tugas-tugas lain yang dibebankan oleh TRIMs kepadanya.

Pasal 8 terkait dengan penyelesaian sengketa TRIMs. Pasal ini

memberlakukan Pasal XXII-XXIII GATT 1994. Ketentuan penyelesaian sengketa

ini kemudian mengacu pula kepada Annex 2 mengenai the Dispute Settlement

Understanding.120

Di samping itu, untuk menjaga ketentuan TRIMs maka minimal dalam 5

(lima) tahun berlakunya WTO Agreement, Council for Trade in Goods dari WTO

harus me-review pelaksanaan TRIMs. Bila perlu mengusulkan amandemen

terhadap TRIMs tersebut kepada The Ministerial Conference dari WTO, untuk

diputuskan oleh The Ministreal Conference dari WTO, untuk diputuskan oleh The

Ministerial Conference tersebut sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam

WTO.121 Hal ini sesuai dengan ketentuan TRIMs pasal 9 yang berbunyi sebagai

berikut:122

“Not later than five years after the date of entry into force of the WTO Agreement, the Council for Trade in Goods shall review the operation of this Agreement and, as appropriate, propose to the Ministerial Conference amendments to its text. In the course of this review, the Council for Trade in Goods shall consider whether the Agreement should be complemented with provisions on investment policy and competition policy.”

                                                            120 Huala Adolf., Op.Cit., hlm. 110. 121 Penanaman Modal Terkait Perdagangan Internasional, Loc.cit. 122 An An Chandrawulan, Op.Cit, hlm. 140.

Universitas Sumatera Utara

 

Peserta konferensi yang membicarakan Perjanjian TRIMs di Marrakesh

tidak berhasil mencapai kesepakatan (penuh) tentang apa saja yang tercakup

dalam pengertian TRIMs ini, sehingga Dirjen GATT merumuskan suatu

Illustratve List yang dilampirkan pada Agreement mengenai TRIMs. Illustrative

List ini pada intinya merupakan pembatasan penetapan keharusan memakai

komponen-komponen lokal dalam proses produksi industri.123

Berikut adalah daftar ilustrasi yang dilarang berdasarkan Perjanjian TRIMs: 124

a. Berdasarkan perlakuan nasional yang dikeluarkan untuk memperoleh suatu

keuntungan dalam hal penerapan:

1) persyaratan untuk membeli atau kewajiban untuk menggunakan

produk-produk lokal oleh perusahaan (local content requirement); atau

2) pembelian atau penggunaan suatu produk impor yang dikaitkan dengan

jumlah atau nilai dari produk lokal yang diekspor (trade balancing

requirement);

b. TRIMs yang tidak sesuai dengan kewajiban Pasal XI ayat 1,

yakni:

1) import produk hingga jumlah tertentu yang dikaitkan dengan jumlah

atau nilai produk yang diekspor (trade balancing);

2) impor produk dengan membatasi akses perusahaan kepada nilai mata

uang asing hingga sejumlah masuknya jumlah mata uang ke

perusahaan tersebut (foreign exchange restrictions); atau

                                                            123 Ibid., hlm. 145. 124 Latar Belakang Negosiasi TRIMs, Loc. cit.

Universitas Sumatera Utara

 

3) ekspor suatu produk yang dikaitkan dengan nilai produk lokal

(domestic sales requirement).

Dari daftar tersebut di atas, tampak bahwa TRIMs lainnya tidak masuk

dalam daftar. Upaya penanaman modal tidak tercakup oleh Kesepakatan TRIMs,

termasuk persyaratan mengenai kepemilikan saham, alih teknologi dan lisensi,

persyaratan produksi untuk kebutuhan lokal, dan persyaratan ekspor. pembatasan

tenaga kerja, dan pembatasan pemulangan keuntungan ke negara atau perusahaan

asal (induk) (local equity, technology transfer and licensing, local manufacturing,

local employment, and export performance requirements, personnel entry

restrictions, remmitance restrictions). Hal ini berarti bahwa upaya-upaya lainnya

masih dimungkinkan berdasarkan Perjanjian TRIMs. Ketentuan ini tampaknya

berupaya mengakomodasi kepentingan negara sedang berkembang yang acapkali

masih menerapkan atau membebankan persyaratan ini terhadap investor asing.

Disamping itu, ketentuan ini di banyak negara berkembang bersifat mengikat.125

                                                            125 Huala Adolf. Op. Cit., hlm. 112.

Universitas Sumatera Utara