Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
43 43
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan
tujuan dan cara-cara mencapai tujuan. Kebijakan publik dibuat
oleh pemerintah. Analisis kebijakan mempelajari apa yang
dikerjakan oleh pemerintah, mengapa pemerintah
melakukannya, dan apa akibat atau konsekuensi dari kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan
umumnya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi masyarakat. Dalam mengkaji kebijakan, dalam
bagian berikut disajikan pandangan dari Dye, Laswell, Easton,
Simon, dan Lindblom. Dalam kerangka perspektif filsafat juga
diketengahkan pandangan dari Machiavelli, Bacon, Popper,
Hayek, Etzioni, dan Habermas. Tahap yang cukup penting dari
proses kebijakan adalah implementasi kebijakan, karenanya
dalam bagian ini juga dipaparkan konsep implementasi
kebijakan, termasuk di dalamnya dibahas rekomendasi
kebijakan yang dipandang baik dan dampak dari kebijakan yang
diambil oleh pemerintah.
Dalam pembangunan ekonomi terdapat beberapa modal
atau kapital yang dapat digunakan. Modal tersebut di antaranya
modal manusia, modal ekonomi, modal kultural, modal
spiritual, dan modal sosial. Seperti halnya kapital ekonomi,
modal sosial juga dapat diperlakukan sebagai stok yang dapat
diinvestasikan dan digandakan. Dalam bab ini dijelaskan
pandangan modal sosial menurut Coleman, Putnam, Fukuyama,
dan Bourdieu. Pandangan mereka sangat mewarnai alur
disertasi ini, utamanya perspektif yang berkaitan dengan
kepercayaan (trust), norma (norm) dan jaringan (networking).
Dalam bagian berikut dibahas secara singkat tentang unsur-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
44
unsur modal sosial tersebut dan bagian selanjutnya membahas
jenis modal sosial, yaitu bonding social capital dan bridging social capital.
Unit analisis penelitian ini adalah pedagang kaki lima
(PKL), karenanya dalam bagian berikut dikemukakan konsep
sektor informal dan pedagang kaki lima, termasuk di dalamnya
pandangan tentang sektor informal dan pedagang kaki lima
(PKL), urbanisasi dan sektor informal, serta dinamika
perkembangan sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL).
Sebelum sampai pada kerangka berpikir penelitian sebagai road map penelitian, dalam bagian akhir dari bab ini dibahas konsep
resistensi, yang memuat materi tentang apa yang menyebabkan
terjadinya resistensi dan apa bentuk-bentuk dari resistensi.
A. Tinjauan tentang Kebijakan Publik
Pengaturan mengenai bagaimana PKL harus beraktivitas di
kota, demikian pula mengapa pemerintah kota melakukan
perencanaan terhadap kotanya agar terlihat tertib, rapi, indah,
dan nyaman bagi warganya, merupakan bagian dari kebijakan
publik yang disusun dan akan diimplementasikan. Dalam bagian
berikut dijelaskan uraian tentang konsep kebijakan publik,
khususnya berkaitan dengan proses, pendekatan, dan model
yang digunakan. Kebijakan publik bukan merupakan konsep
yang baru dikenal selama ini. Sudah banyak pakar yang
melakukan kajian dan riset tentang kebijakan publik. Kata
“publik” dalam kebijakan publik dapat dipahami ketika
dikaitkan dengan istilah “privat”. Istilah publik dapat dirunut
dari sejarah negara Yunani dan Romawi Kuno. Bangsa Yunani
Kuno mengekspresikan kata publik sebagai koinion dan privat
disamakan dengan idion. Sementara bangsa Romawi Kuno
menyebut publik dalam bahasa Romawi res-publica dan privat
sebagai res-priva. Saxonhouse sebagaimana dikutip Parsons
45
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
(2005:4) melakukan pemilahan antara kata publik dan privat
sebagai berikut.
Publik Privat
Polis Rumah tangga
Kebebasan Keharusan (necessity)
Pria Wanita
Kesetaraan Kesenjangan
Keabadiaan Kesementaraan
Terbuka Tertutup
Pemilahan publik dan privat dalam konteks ruang, dalam
praktik kehidupan tidaklah mudah. Saxonhouse (dalam Parsons
2005) menyadari bahwa batas-batas keduanya tidaklah absolut.
Hubungan antara ruang publik dengan ruang privat sangat
kompleks dan mencerminkan interdependensi. Kepentingan
publik dan privat pun bisa saling bertentangan. Untuk
memecahkan ketegangan antara kepentingan publik dan privat
adalah dengan memasukkan gagasan pasar. Sebagaimana
dikemukakan Habermas, bahwa pada awal abad 19, ruang
publik yang berkembang di Inggris, berasal dari perbedaan
antara kekuasaan publik dan dunia privat.
Cara memaksimalkan kepentingan individu dan sekaligus
mempromosikan kepentingan publik adalah dengan
menggunakan kekuatan pasar (Parsons 2005). Berfungsinya
kebebasan individu (konsep publik dalam telaah Saxonhouse di
atas) dalam menentukan pilihan dapat memenuhi kepentingan
individu sekaligus meningkatkan ketersediaan barang publik
dan kesejahteraan publik. Dalam kaitan ini, peran negara dan
politik adalah menciptakan kondisi di mana kepentingan publik
dapat dijamin. Itulah sebabnya, pemerintah tidak boleh banyak
mencampuri urusan individu. Kepentingan publik dalam hal ini
akan terlayani dengan baik jika kepentingan kebebasan
ekonomi dan pasar difasilitasi oleh negara, tetapi tidak diatur
dan dikendalikan oleh negara. Intervensi negara bisa dipahami
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
46
sejauh intervensi tersebut untuk menjamin penegakan hukum
dan hak asasi manusia, namun tidak mencampuri keseimbangan
alami yang muncul dari kepentingan diri. Untuk kepentingan
kajian terhadap eksistensi pedagang kaki lima (PKL), dalam
bagian berikut perlu diketengahkan dikotomi antara sektor
publik dan sektor privat, karena hal ini juga berkaitan dengan
posisi dan peran negara di dalamnya.
Baber sebagaimana dikutip Parsons (2005) dari Masey,
menyebutkan sepuluh ciri penting dari sektor publik, yaitu (1)
sektor publik lebih kompleks dan mengemban tugas-tugas yang
lebih mendua, (2) sektor publik lebih banyak problem dalam
mengimplementasikan keputusan-keputusannya, (3) sektor
publik memanfaatkan lebih banyak orang yang memiliki
motivasi yang sangat beragam, (4) sektor publik lebih banyak
memperhatikan usaha mempertahankan peluang dan kapasitas,
(5) sektor publik lebih memperhatikan kompensasi atas
kegagalan pasar, (6) sektor publik melakukan aktivitas yang
lebih banyak mengandung signifikansi simbolik, (7) sektor
publik lebih ketat dalam menjaga standar komitmen dan
legalitas, (8) sektor publik mempunyai peluang yang lebih besar
untuk merespon isu-isu keadilan dan kejujuran, (9) sektor
publik harus beroperasi demi kepentingan publik, dan (10)
sektor publik harus mempertahankan level dukungan publik
minimal di atas level yang dibutuhkan dalam industri swasta.
Sektor publik tidak selalu hanya mengejar keuntungan
finansial. Sektor ini bisa mengejar keuntungan finansial, tetapi
dapat juga mengutamakan kesejahteraan sosial. Jika yang dikejar
adalah kesejahteraan sosial, maka sektor publik ini tergolong
sektor nonprofit, yang ciri-cirinya adalah (1) sektor ini tidak
mengejar keuntungan, (2) cenderung menjadi organisasi
pelayanan, (3) ada batasan yang lebih besar dalam tujuan dan
strategi yang mereka susun, (4) lebih tergantung kepada klien
untuk mendapatkan sumberdaya finansialnya, (5) lebih
didominasi oleh kelompok profesional, (6) akuntabilitasnya
47
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
berbeda dengan akuntabilitas organisasi privat atau provit, (7)
manajemen puncak tidak mempunyai tanggung jawab yang
sama atau imbalan finansial yang sama, (8) organisasi sektor
publik bertanggung jawab kepada elektorat dan proses politik,
dan (9) tradisi kontrol manajemennya kurang (Parsons 2005).
Istilah kebijakan atau kebijaksanaan memiliki banyak
makna. Hogwood dan Gunn, seperti dikutip Parsons (2005:15)
menyebutkan 10 penggunaan istilah kebijakan, yaitu sebagai
label untuk sebuah bidang aktivitas, sebagai ekspresi tujuan
umum atau aktivitas negara yang diharapkan, sebagai proposal
spesifik, sebagai keputusan pemerintah, sebagai otorisasi formal,
sebagai sebuah program, sebagai output, sebagai hasil
(outcome), sebagai teori atau model, dan sebagai sebuah proses.
Makna modern dari gagasan kebijakan dalam bahasa Inggris
adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan
politik.
Istilah kebijakan memiliki makna yang tidak jauh berbeda
dengan kata kebijakan. Kebijaksanaan sebagai suatu kumpulan
keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh
kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-
cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu (Budiarjo 1992:12).
Friedrich mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan
yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan seraya mencari peluang
untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dinginkan (Widodo
2007:13).
Post, et al (1999) memaknai kebijakan publik sebagai
rencana tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah
untuk mencapai tujuan yang lebih luas yang memengaruhi
kehidupan penduduk negara secara substansial.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
48
Kebijakan memiliki arti umum dan spesifik. Dalam arti
umum, kebijakan menunjuk pada jaringan keputusan atau
sejumlah tindakan yang memberikan arah, koherensi, dan
kontinuitas. Dalam kaitan ini, Greer and Paul Hoggett (1999)
memaknai kebijakan sebagai sejumlah tindakan atau bukan
tindakan yang lebih dari sekedar keputusan spesifik. Dalam arti
spesifik, ide kebijakan berkaitan dengan cara atau alat (means) dan tujuan (ends), dengan fokus pada seleksi tujuan dan sarana
untuk mencapai sasaran yang diinginkan.
Ide kebijakan di atas melibatkan apa yang disebut Easton
sebagai alokasi nilai-nilai (the allocation of values) dan
memiliki konsekuensi distribusional. Kebijakan dalam arti
khusus, berkaitan dengan ruang publik. Kebijakan berada pada
ruang hidup di luar kepentingan privat individu atau kelompok.
Namun demikian, sebagaimana dicatat Ranson and Steward
(dalam Greer and Paul Hoggett 1999), domain publik yang
mewarnai kebijakan publik memiliki peran esensial dalam
mengklarifikasi, menyatakan, dan mewujudkan tujuan-tujuan
publik, yang juga menjadi tujuan para individu atau kelompok
secara keseluruhan.
Apa yang dikemukakan Budiardjo, Friedrich, serta Greer
and Paul Hoggett mengenai konsep kebijakan terdapat
kesamaan, yaitu mereka sama-sama memfokuskan diri pada
suatu tindakan atau keputusan yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan tertentu. Tujuan atau sasaran dimaksud
tentunya adalah tujuan publik, bukan tujuan orang per orang
atau kelompok tertentu.
Ketika istilah kebijakan dan publik digabung menjadi satu,
yaitu kebijakan publik, memiliki makna yang lebih luas
daripada ketika diartikan secara sendiri-sendiri. Kebijakan
publik merupakan salah satu komponen negara yang tidak
boleh diabaikan. Menurut Nugroho (2009:11), negara tanpa
komponen kebijakan publik dipandang gagal, karena kehidupan
49
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
bersama hanya diatur oleh seseorang atau sekelompok orang
saja, yang bekerja seperti tiran, dengan tujuan untuk
memuaskan kepentingan diri atau kelompok saja. Kebijakan
publik, termasuk di dalamnya adalah tata kelola negara
(governance), mengatur interaksi antara negara dengan
rakyatnya. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana
signifikansi kebijakan publik sebagai komponen negara.
Sebagaimana dijelaskan Nugroho (2009), setiap pemegang
kekuasaan pasti berkepentingan untuk mengendalikan negara,
sekaligus juga mengelola negara. Mengelola berarti
mengendalikan dengan menjadikannya lebih bernilai.
Pemerintah suatu negara dalam mengelola negara, tidak hanya
mengendalikan arah dan tujuan negara, tetapi juga mengelola
negara agar lebih bernilai melalui apa yang disebut dengan
kebijakan publik. Inilah tugas pemerintah atau negara
sesungguhnya. Gambar berikut memperjelas ilustrasi di atas.
Gambar 1. Dimensi Tugas Negara
Sumber: Nugroho (2009:12)
Kekuasaan yang dimiliki negara tidak dapat dipertahankan
hanya dengan kekuatan paksa, tetapi juga memerlukan
kebijakan (Parsons 2005). Negara merupakan pemegang
kekuasaan yang sah, tetapi tidak akan efektif tanpa ada
Memimpin
Mengelola Mengendalikan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
50
kebijakan publik yang dibuat. Sebagaimana dikatakan Santoso
(2010:4), negara merupakan pemegang kekuasaan yang sah dan
karena kebijakan publik pada dasarnya merupakan kebijakan
negara, maka kebijakan publik dimaknai sebagai sebuah
tindakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, untuk
memastikan tujuan yang sudah dirumuskan dan disepakati oleh
publik dapat tercapai.
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak hanya
dipahami sebagai persoalan teknis administratif saja, tetapi juga
dimengerti sebagai sebuah persoalan politik. Kebijakan publik
berkaitan dengan penggunaan kekuasaan, oleh karenanya
kebijakan publik berlangsung dalam latar (setting) kekuasaan
tertentu. Dalam konteks ini, berarti ada pihak yang berkuasa
dan pihak yang dikuasai.
Pedagang kaki lima (PKL) dalam perspektif kebijakan
publik, berada pada posisi pihak yang seharusnya dilayani,
sedangkan pemerintah kota Semarang beserta aparaturnya
merupakan pihak yang sudah semestinya memberi pelayanan
melalui kebijakan yang diambil. Sebagaimana dikatakan Ndraha
(2003), pemerintah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat sebagai konsumen atas produk-produk pemerintah,
dengan melakukan pelayanan publik dan pelayanan sipil.
Pemerintah melakukan pelayanan publik, karena
pemerintah merupakan badan publik yang diadakan tidak lain
adalah untuk melayani kepentingan publik, sedangkan dalam
hal layanan sipil, pemerintah setiap saat harus siap sedia
memberikan layanan kepada setiap orang yang membutuhkan.
Dalam realitasnya, tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya,
masyarakat yang melayani dan pemerintah sebagai pihak yang
dilayani. Itulah sebabnya, dalam praktik pemerintahan acapkali
menimbulkan abuse of power sehingga terciptanya praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
51
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Sebagai pihak yang menguasai sumber daya politik,
ekonomi, budaya, dan militer, pemerintah berada pada posisi
superordinat, yakni pihak yang sangat berkuasa dalam
mengatur dan mengendalikan warga masyarakat, termasuk di
dalamnya pedagang-pedagang kecil seperti halnya PKL. Dalam
posisinya ini, pemerintah kota dengan segala kebijakannya
harus ditaati dan dipatuhi oleh PKL. Perda nomor 11 tahun
2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima,
merupakan salah satu wujud dari kebijakan pemerintah kota
Semarang yang harus ditaati pedagang kaki lima. PKL sebagai
pihak subordinat, harus siap diatur dan dikendalikan oleh
pemerintah. Dalam konteks relasi kuasa, yang dikhawatirkan
adalah jika kebijakan publik yang ditempuh Pemkot merupakan
perencanaan yang cerdik (scheming), sebagaimana ditulis
Marlowe (dalam Parsons 2005), yaitu menciptakan atau
merekayasa sebuah ceritera yang masuk akal dalam rangka
mengamankan tujuan-tujuan si perekayasa.
Perda nomor 11 tahun 2000 lebih bersifat mengatur PKL
daripada membina dan memberdayakannya. Hal ini dapat
dilihat dari judul peraturan daerah yang mengatur PKL, yaitu
Perda nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan
Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda yang ditetapkan
pemerintah kota Semarang ini berbeda dengan Perda nomor 3
tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, yang
dikeluarkan pemerintah kota Surakarta. Perda nomor 3 tahun
2008 ini menunjukkan bagaimana pemerintah Surakarta
berkewajiban mengelola PKL agar mereka dapat hidup
sejahtera. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 3, yang
menyatakan bahwa pengelolaan PKL bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan PKL, menjaga ketertiban umum
dan kebersihan lingkungan. Konsiderans Perda nomor 3 tahun
2008 juga menguatkan ketentuan pasal 3 tersebut.
“ pedagang kaki lima (PKL) merupakan usaha perdagangan sektor informal yang merupakan perwujudan hak
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
52
masyarakat dalam berusaha dan perlu diberi kesempatan untuk berusaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberadaan PKL ini perlu dikelola, ditata, dan diberdayakan sedemikian rupa agar keberadaannya memberikan nilai tambah atau manfaat bagi pertumbuhan perekonomian dan masyarakat kota serta terciptanya lingkungan yang baik dan sehat”.
Substansi dari Perda nomor 3 tahun 2008 menunjukkan
adanya keberpihakan kepada pedagang kaki lima. Hal ini
diperlihatkan oleh pasal tentang hak PKL dan pemberdayaan
terhadap PKL. Pasal 8 Perda tersebut menyatakan bahwa untuk
menjalankan kegiatan usahanya, pemegang izin penempatan
PKL berhak: (1) mendapatkan perlindungan, kenyamanan, dan
keamanan dalam menjalankan usaha, (2) menggunakan tempat
usaha sesuai dengan izin penempatan.
Perda nomor 3 tahun 2008 mewajibkan walikota untuk
memberikan pemberdayaan kepada PKL. Sesuai dengan
ketentuan pasal 12 ayat (1), pemberdayaan terhadap PKL
berupa: (a) bimbingan dan penyuluhan manajemen usaha, (b)
pengembangan usaha melalui kemitraan dengan pelaku
ekonomi yang lain, (3) bimbingan untuk memperoleh
peningkatan permodalan, dan (4) peningkatan sarana dan
prasarana PKL.
Wujud pemberdayaan tersebut gayut dengan hak yang
dimiliki oleh PKL. Hak untuk mendapatkan perlindungan,
kenyamanan, dan keamanan dalam menjalankan usaha
sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (1) tersebut, akan dapat
dinikmati secara optimal, ketika PKL juga dibantu dalam
manajemen usaha, pengembangan usaha, peningkatan
permodalan dan peningkatan sarana prasarana. Ketentuan
tentang pemberdayaan dalam Perda PKL yang dibuat
pemerintah kota Surakarta tersebut tidak dijumpai dalam Perda
PKL yang ditetapkan pemerintah kota Semarang.
53
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Perda nomor 11 tahun 2000 hanya mengatur 1 pasal tentang
hak PKL, yaitu pada pasal 6, selebihnya mengatur masalah
kewajiban, larangan, serta ketentuan pidana dan sanksi
administrasi. Dalam pasal 6 tersebut, setiap PKL mempunyai
hak untuk mendapatkan pelayanan perizinan, penyediaan lahan
lokasi PKL, dan mendapatkan pengaturan dan pembinaan. Pasal
tersebut belum menyentuh persoalan hakiki PKL, yaitu
kenyamanan dan keamanan dalam berusaha.
Perda nomor 11 tahun 2000 juga tidak mengatur tentang
kewajiban pemberdayaan yang harus dilakukan oleh
pemerintah kota Semarang. Itulah sebabnya, dalam praktik
kebijakan yang berkaitan dengan penataan PKL di Semarang,
pihak eksekutor kebijakan hanya melaksanakan apa yang telah
ditentukan oleh Perda, tidak lebih dari itu. Kebijakan penataan
PKL di Semarang lebih bersifat mengatur dan menertibkan,
sehingga tidak jarang dalam implementasinya menggusur PKL
tanpa adanya hak banding yang seharusnya dimiliki PKL.
Realitas ini menyebabkan hubungan antara Pemkot dengan
PKL menjadi tidak harmonis. Hal ini juga membawa implikasi
pada ketaatan PKL terhadap Perda dan kebijakan pemerintah
lainnya. Sementara itu, Perda nomor 3 tahun 2008 yang
digunakan Pemkot Surakarta untuk mengelola PKL, yang di
dalamnya ada ketentuan bahwa walikota berkewajiban
memberdayakan PKL, membawa implikasi pada hubungan yang
dekat antara Pemkot dengan pedagang kaki lima. Hubungan
yang dekat tersebut dapat memengaruhi tingkat kepatuhan PKL
terhadap Perda.
Kebijakan berkaitan dengan apa yang dilakukan
pemerintah. Dalam kaitan ini, Dye (2002:1) mengartikan
kebijakan publik sebagai “whatever government choose to do or not to do”. Kebijakan publik merupakan sebuah pilihan
pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu. Dalam buku berjudul Public Policymaking, Anderson
(2000) pun setuju dengan pandangan Dye tentang makna
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
54
kebijakan publik sebagai “apapun yang dipilih pemerintah
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”.
Sesuai dengan konsep kebijakan publik di atas, pemerintah
dapat melakukan banyak hal, mulai dari mengelola konflik
dalam masyarakat, mengorganisasikan masyarakat untuk
berkonflik dengan masyarakat lain, mendistribusikan berbagai
penghargaan atau hadiah dan layanan material kepada anggota-
anggota masyarakat, hingga menarik uang dari masyarakat yang
sering diwujudkan dalam bentuk pajak.
Individu atau masyarakat mengharapkan pemerintah
melakukan banyak hal untuknya. Semua kelompok masyarakat
pasti menginginkan pemerintah dapat melayani kepentingan
mereka dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka
hadapi. Kebijakan publik harus didesain untuk menghilangkan
atau setidaknya mengurangi ketidaknyamanan dan
ketidaksenangan individu dan kelompok-kelompok masyarakat
(Dye 2002). Sejalan dengan pandangan Dye tersebut,
pemerintah kota Semarang suka atau tidak suka, melalui
kebijakan yang diambil mestinya dapat mengatasi konflik
penggunaan ruang publik yang selama ini banyak digunakan
oleh para PKL dan melalui kebijakannya pula, semua warga
kota Semarang harus dapat dibuat nyaman, aman, tenang dan
senang, termasuk mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki
lima (PKL).
Kebijakan publik dalam pandangan Dye dan Anderson,
bukan sekedar keputusan yang menghasilkan aktivitas-aktivitas
yang terpisah. Sebagaimana dilihat Richard Rose, kebijakan
dipandang sebagai serangkaian panjang aktivitas yang saling
berhubungan (Anderson 2000). Makna kebijakan Dye maupun
Anderson, tidak semata-mata berkaitan dengan apa yang dapat
atau tidak dapat dilakukan pemerintah, tetapi lebih dari itu,
kebijakan menyangkut sejumlah aktivitas yang berkaitan
dengan kepentingan publik. Hal ini sejalan dengan apa yang
55
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
digagas Carl J. Friedrich tentang kebijakan publik. Menurut
Friedrich (dalam Anderson 2000), kebijakan adalah sejumlah
tindakan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu yang menyediakan rintangan sekaligus
kesempatan di mana kebijakan yang diajukan dapat
dimanfaatkan untuk mengatasi usaha mencapai tujuan atau
merealisasikan tujuan dan sasaran.
Ide utama kebijakan memang terkait dengan sejumlah
tindakan. Kebijakan sebagai tindakan, dalam pandangan
Friedrich (dalam Anderson 2000), diarahkan untuk memenuhi
sejumlah maksud dan tujuan, meskipun diakui bahwa tidak
mudah untuk melihat maksud dan tujuan tindakan pemerintah.
Hanya melalui pejabat-pejabat atau agen pemerintah, kebijakan
publik dapat diketahui ke mana arahnya.
Perkembangan masyarakat industri dengan bentuk-bentuk
administrasinya, telah mengubah makna kebijakan tidak
sekedar sebagai apa yang dilakukan oleh negara, tetapi juga
memiliki kaitan dengan persoalan politik dan administrasi
birokrasi. Gagasan kebijakan sebagai politik dijalankan oleh
sebuah alat administrasi yang canggih, yang disebut dengan
birokrasi. Mereka yang berkecimpung di ruang birokrasi
dinamakan birokrat, sedangkan mereka yang berkutat pada
arena politik disebut politisi.
Birokrat memperoleh legitimasinya dari klaimnya sebagai
badan nonpolitis, sedangkan politisi mengklaim otoritasnya
berdasarkan penerimaan kebijakan-kebijakan atau platform
mereka oleh elektorat (Parsons 2005). Para pelaksana kebijakan
ini memiliki apa yang oleh David Easton (dalam Parsons 2005)
disebut dengan otoritas atau kewenangan. Mengapa birokrat
dan politisi memiliki otoritas tersebut? Jawabannya adalah
sistem politik menentukan apa-apa yang dilakukan oleh para
politisi dan urusan-urusan keseharian dalam sistem politik
dilakukan oleh birokrat. Konstitusi dan Undang-undang pun
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
56
mengakui bahwa merekalah yang dipandang bertanggungjawab
terhadap persoalan dan agenda kebijakan yang telah disusun.
Dengan berkembangnya sistem kepartaian dan pemilu
modern pada era masyarakat industri, maka diskursus kebijakan
menjadi sarana utama bagi elektorat untuk terlibat dalam
kegiatan politik dan persaingan antara elit politik. Politisi
diharapkan memiliki kebijakan sebagaimana halnya sebuah
toko semestinya mempunyai barang dagangan. Dalam
pandangan Schumpeter (dalam Parsons 2005), kebijakan atau
pokok-pokok platform merupakan mata uang penting dalam
perdagangan demokratik.
Apa yang digagas Schumpeter ini berbeda dengan ide
Lasswell tentang kebijakan. Lasswell tidak setuju jika kebijakan
disamakan dengan politik. Menurut Laswell (dalam Parsons
2005), kebijakan harus bebas dari konotasi politik, sebab politik
diyakini mengandung makna keberpihakan dan korupsi.
Terlepas dari persoalan apakah kebijakan berkaitan dengan
politik atau tidak, kebijakan publik tetap merupakan sesuatu
yang terniscaya dalam masyarakat modern. Kebijakan publik
bisa melahirkan keuntungan atau pun kerugian, bisa
menyebabkan kenikmatan, iritasi, dan rasa sakit dan dalam arti
kolektif, memiliki konsekuensi penting terhadap kesejahteraan
dan kebahagiaan (Anderson 2000).
Kebijakan melibatkan tiga komponen utama, yaitu society,
political system, dan public policy itu sendiri. Ketiga komponen
ini saling memengaruhi. Dalam studi tentang kebijakan publik
di Amerika Serikat, Thomas R. Dye (2002:5) menggambarkan
kaitan tiga komponen di atas seperti dalam gambar berikut.
57
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Gambar 2. Studi Kebijakan: Penyebab dan Konsekuensinya.
Berdasarkan gambar di atas, kondisi sosial ekonomi
masyarakat meliputi kesejahteraan dan pendapatan, inflasi,
resesi, dan pengangguran, pencapaian pendidikan, kualitas
lingkungan, kemiskinan, komposisi rasial, profil agama dan
etnik, kesehatan dan usia hidup, ketidaksamaan dan
diskriminasi. Kelembagaan, proses, dan perilaku dalam sistem
politik mencakupi federalisme, pemisahan kekuasaan, sistem
perimbangan kekuasaan, kepartaian, kelompok kepentingan,
perilaku voting, birokrasi, struktur kekuasaan, serta kongres,
Presiden, dan pengadilan. Kebijakan publik yang dihasilkan dari
kondisi masyarakat yang direspon dan diolah dalam sistem
politik, dapat berupa hak-hak sipil, kebijakan pendidikan,
kebijakan kesejahteraan, kebijakan pemeliharaan kesehatan,
keadilan kriminal, perpajakan, belanja dan defisit anggaran,
kebijakan pertahanan, dan peraturan-peraturan.
Garis panah yang ditunjukkan oleh garis A, B, C, D, E, dan
F pada gambar di atas, menunjukkan adanya pengaruh atau
dampak dari satu komponen terhadap komponen lainnya,
misalnya garis A menggambarkan tentang pengaruh kondisi
sosial ekonomi masyarakat terhadap lembaga, proses, dan
perilaku politik dan pemerintahan. Demikian pula, garis B
menggambarkan pengaruh dari lembaga-lembaga politik dan
Institutions, Processes,
Behaviors
Social and Economic
Conditions Public Policy
Society Political System Public Policy
A B
C
D
E F
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
58
pemerintah, proses, dan perilakunya terhadap kebijakan publik
yang diambil.
Segitiga kebijakan Dye dapat juga dipakai untuk memotret
bagaimana kebijakan publik di Indonesia dirancang dan
diimplementasikan. Di Indonesia, kebijakan publik yang
ditetapkan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi
masyarakatnya, baik berkaitan dengan tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan masyarakat, tingkat kemiskinan, kualitas
hidupnya, maupun tingkat daya saingnya. Kelembagaan dan
sistem politik Indonesia memengaruhi dan juga dipengaruhi
oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia.
Kelembagaan tersebut sangat rumit, mencakupi sistem hukum,
sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem kultural.
Dalam kelembagaan ini turut bermain partai politik,
pemerintah (pusat dan daerah), birokrasi, parlemen, dan
organisasi. Mereka menentukan kebijakan apa yang diambil
oleh pemerintah. Output kebijakan bisa berupa Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau pun
Peraturan Daerah, baik menyangkut bidang pendidikan,
kesehatan, finansial, maupun bidang-bidang lain yang
menyentuh kehidupan masyarakat atau publik. Partai politik
dan birokrasi dinilai yang paling menonjol dalam menentukan
suatu kebijakan publik. Partai Golkar pada masa Orde Baru,
partai PDI-P pada masa pemerintahan Megawati, dan partai
Demokrat pada masa pemerintahan SBY merupakan contoh dari
partai politik yang secara dominan menentukan corak kebijakan
yang diambil oleh pemerintah.
Umumnya dalam ide kebijakan publik, pemerintah berada
pada posisi yang dominan. Artinya bahwa, kebijakan publik
tidak akan berjalan tanpa peran pemerintah. Perda PKL yang
dibuat pemerintah kota Semarang bersama DPRD juga lebih
banyak melibatkan peran Pemkot Semarang. Naskah atau draft
Raperda sudah disiapkan oleh Dinas Pasar kota Semarang. Pihak
59
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
PKL yang umumnya berpendidikan SMA ke bawah, tidak
terlibat dalam penyusunan draft Perda yang mengatur
kehidupan mereka. Mereka tinggal menerima saja apa yang
sudah diputuskan oleh pemerintah kota bersama DPRD. Kalau
pun ada perwakilan PKL yang diajak bicara, itu pun hanya
perwakilan dari Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonsia (APKLI)
Semarang, yang tidak mewakili sepenuhnya kepentingan
pedagang kaki lima.
Wacana tentang peran pemerintah dalam merumuskan dan
mengimplementasikan kebijakan publik, melalui agen-agennya,
dapat ditelusuri dari paradigma Keynesian. Dunia penuh dengan
ketidakpastian dan teka-teki. Masalah yang dihadapi hanya
dapat dipecahkan melalui penerapan akal dan pengetahuan
manusia. Pandangan ini membentuk latar belakang
pertumbuhan pendekatan kebijakan. Pemetaan perkembangan
ilmu kebijakan dapat dilakukan melalui keinginan untuk
mendapatkan pengetahuan mengenai tata kelola yang mampu
merumuskan problem dengan baik. Keinginan untuk
memperoleh pendekatan yang lebih rasional untuk dapat
menganalisis masalah sosial dan persoalan lainnya, terwujud
dalam bentuk perkembangan kapasitas negara untuk
mendapatkan dan menyimpan informasi, misalnya melalui
riset-riset dan survei sosial. Ide bahwa pemerintah dapat
memecahkan persoalan, setidaknya masalah ekonomi, dengan
menentukan kebijakan, menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial
mulai membangun hubungan dengan ilmu politik dan
pemerintahan (Parsons 2005).
John Maynard Keynes sebagaimana dikutip Parsons (2005)
meyakini bahwa jika pemerintah memiliki kemampuan dalam
mengatasi persoalan, maka pemerintah harus mengakui
perlunya kajian pendekatan pemerintahan yang lebih kaya dan
berlandaskan teori. Keynes meramalkan bahwa di masa depan,
kajian tersebut akan muncul berdasarkan ide-ide dari para
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
60
ekonom, bukan dari kepentingan politik yang menentukan
pengambilan keputusan (Parsons 2005).
Laswell (dalam Parsons 2005) menunjukkan bahwa
kebijakan hanya dapat dipahami jika penjelasan tujuan-tujuan
sosial diberikan berdasarkan bidang keilmuan. Kebijakan
sebagai ilmu, menurut Laswell mencakupi (1) metode penelitian
proses kebijakan, (2) hasil dari studi kebijakan, dan (3) hasil
temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting
untuk memenuhi kebutuhan inteligensia di era kita sekarang
(Parsons 2005). Pendek kata, kebijakan dalam kajian ilmiah
Laswell, mengandung ciri khas, yaitu berorientasi pada
problem, sehingga kebijakan sebagai ilmu harus bersifat
kontekstual, multimetode, dan berorientasi problem. Dalam
kaitan ini, Laswell mengibaratkan ilmuwan kebijakan seperti
dokter sosial yang menyembuhkan dirinya sendiri, sembari
belajar untuk menyembuhkan pemerintahan. Pemerintah
dalam analisis kebijakan ini bertindak sebagai problem solver.
Perumusan kebijakan berbasis teori atau ilmu politik, selain
merujuk pada pandangan Laswell, dapat pula dikaji dari
pandangan David Easton, Herbert Simon, dan Charles
Lindblom. Ketiga-tiganya juga mengkaji kebijakan berdasarkan
pendekatan rasional. Semua pengkaji kebijakan tersebut
termasuk dalam kelompok pendekatan tahapan atau stagist. Easton misalnya, membuat model tahapan sederhana dari proses
kebijakan publik, dimulai dari input, dimediasi melalui saluran
input, yaitu kebijakan, dan diakhiri dengan output. Model
tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.
61
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Sumber: Parsons (2005:26)
Gambar 3. Proses Kebijakan sebagai Input dan Output
Pandangan Almond dan Powell tentang proses kebijakan
tidak jauh berbeda dengan pendapat Easton, yang menjelaskan
model sistem politik sebagai model yang terdiri dari tiga
komponen atau fungsi, yaitu (1) fungsi input, berupa artikulasi
kepentingan, (2) fungsi proses, yakni berupa agregasi
kepentingan, pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan,
dan keputusan kebijakan, serta (3) fungsi kebijakan (output), berupa ekstraksi, regulasi, dan distribusi.
Kebijakan publik sebagai sebuah tahapan membawa ide,
keyakinan, dan asumsi yang berbeda-beda. Latar (setting)
institusional, orientasi akademik, kepentingan kebijakan, dan
relasi terhadap proses kebijakan sangat beragam, maka
kerangka teoritis yang digunakan para teoretisi berbeda-beda
pula. Bobrow dan Dryzek mengemukakan lima kerangka
analisis utama dalam kebijakan publik, yaitu ekonomi
kesejahteraan, pilihan publik, struktur sosial, pengolahan
informasi, dan filsafat politik (Parsons 2005).
Perspektif ekonomi kesejahteraan merupakan turunan
langsung dari utilitarianisme Mill dan Bentham (Parsons 2005).
Analisis kebijakan dalam perspektif ini merupakan aplikasi teori
dan model ekonomi kesejahteraan untuk meningkatkan
rasionalitas dan efisiensi pembuatan keputusan.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
62
Pilihan publik (public choice) sebagai perspektif kebijakan,
diartikan sebagai ilmu ekonomi yang membahas pengambilan
keputusan nonpasar atau aplikasi ilmu ekonomi pada ilmu
politik. Pokok persoalan yang dikaji perspektif pilihan publik
adalah negara, perilaku memilih, partai politik, dan birokrasi.
Pendekatan pilihan publik juga memiliki kaitan erat dengan
institusionalisme ekonomi atau kelembagaan baru, yang
berhubungan dengan analisis pasar, perilaku organisasi, dan
pembangunan dilihat dari sudut pandang pilihan rasional.
Pendekatan struktur sosial memahami kebijakan publik dari
sudut pandang teori sosiologi. Sosiologi berkontribusi dalam
memahami kekuasaan dalam masyarakat, organisasi, institusi,
dan yang lain. Kontribusi sosiologi cukup signifikan terhadap
analisis kebijakan, utamanya adalah analisis problem sosial.
Pendekatan daur hidup untuk problem sosial merupakan
contoh dari model stagist untuk proses kebijakan.
Pendekatan pengolahan informasi menganalisis tentang
bagaimana individu dan organisasi memberikan penilaian,
membuat pilihan, menangani informasi, dan memecahkan
persoalan. Pendekatan yang dipakai di antaranya Psikologi
Sosial, Ilmu Keputusan, Ilmu Informasi, dan Perilaku
Organisasi.
Filsafat banyak memberikan kontribusi terhadap analisis
kebijakan publik. Beberapa filsuf yang pemikirannya
memengaruhi kebijakan publik dan analisis kebijakan, di
antaranya adalah Machiavelli, Bacon, Karl Popper, Hayek,
Etzioni, dan Habermas.
Sebagai seorang filsuf politik, Machiavelli (dalam Parsons
2005) mengkaitkan teori-teori pemerintahan dengan
pengalamannya dalam politik aktual. Pihak penguasa, menurut
Machiavelli harus memahami bagaimana kekuasaan bisa
bekerja. Pemerintahan merupakan sebuah keterampilan. Studi
pemerintahan dapat disebut sebagai ilmu pemerintahan.
63
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Machiavelli tertarik pada seni keterampilan bernegara. Ia yakin
bahwa dengan pemahaman yang cukup mengenai realitas
politik dan kekuasaan, maka pembuat keputusan dapat
menjalankan kekuasaan secara lebih baik dan memiliki
kemampuan lebih besar dalam mengatasi setiap persoalan yang
dihadapi.
Machiavelli tertarik pada pemanfaatan kebijakan untuk
meraih tujuan yang dikejar oleh pemegang kekuasaan.
Pandangan Machiavelli relevan dengan analisis kebijakan pada
abad 20 karena adanya alasan Machiavellian, yakni keinginan
untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di
pemerintahan dan bagaimana kinerja pemerintahan memenuhi
janji-janjinya. Kriteria untuk menilai kesuksesan para elit yang
bekerja di pemerintahan adalah kinerja dan hasil yang telah
dicapai. Kebijakan dalam hal ini, merupakan strategi untuk
mewujudkan tujuan. Dalam kaitan ini, tidak menjadi soal
apakah kebijakan yang dibuat benar atau salah, yang terpenting
adalah kebijakan mana yang menurut si pembuat paling bisa
dilaksanakan.
Bacon (dalam Parsons 2005) memiliki titik pandang yang
berbeda dengan Machiavelli. Dalam hal kebijakan, Bacon
mengusulkan gagasan jalan tengah (res mea), bahwa kebijakan
yang baik sebagai implementasi pelaksanaan kekuasaan,
memerlukan kemampuan untuk mempertahankan otoritas dan
legitimasi dengan membangun dukungan dan persetujuan,
ketimbang harus menciptakan permusuhan sebagaimana
diyakini Machiavelli. Jika Machiavelli memandang kebijakan
sebagai aktivitas untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan
Bacon memahami kebijakan sebagai aktivitas untuk menjaga
keseimbangan dan otoritas. Bacon memiliki diktum terkenal,
yakni pengetahuan adalah kekuasaan.
Kebijakan dalam hal ini dipahami Bacon sebagai
penggunaan pengetahuan untuk tujuan pemerintahan. Sebagai
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
64
seorang politisi, Bacon berkeinginan agar kekuasaan dan
pengetahuan dalam tatanan politik baru dapat digabungkan.
Regenerasi dunia pengetahuan penting menurut Bacon,
karenanya ia menyarankan kepada para pengelola negara agar
kegiatan belajar dipandang sebagai tujuan praktis tertinggi
mereka. Masyarakat yang baik harus diatur dengan tertib,
religius, dan bersih, dan hal itu hanya bisa dilakukan jika
masyarakat mengutamakan pembelajaran.
Filsuf yang berseberangan pandangan dengan Bacon adalah
Karl Popper. Kontribusi utama Popper (dalam Parsons 2005)
terhadap filsafat kebijakan publik adalah (1) pada level
metodologi, ia menentang validitas ide ilmu pengetahuan
Baconian sebagai induksi, yakni observasi terhadap fakta-fakta
sebagai dasar pendeduksian teori atau hukum umum, (2)
sebuah metode kebijakan publik yang bertujuan membuat
pengambilan keputusan politik mendekati pendekatan ilmiah
untuk memecahkan masalah. Metode ilmiah, menurut Popper
(dalam Parsons 2005), tidak terdiri dari proses pembuktian logis
berdasarkan akumulasi fakta dan bukti, melainkan lebih berada
pada latar (setting) teori yang dapat difalsifikasi. Ia berpendapat
bahwa masalah ada pada struktur pengetahuan dan dia menolak
gagasan Baconian bahwa eksistensi fakta terpisah dari persepsi,
nilai, teori, dan solusi.
Kebijakan publik tidak semata-mata dipahami dalam
kerangka ilmiah sebagaimana yang diyakini oleh para penganut
paradigma positivistik. Hayek merupakan salah satu dari filsuf
dari kelompok kanan baru yang mengkritik penggunaan
paradigma positivistik dalam analisis kebijakan publik. Salah
satu kontribusi penting dari Hayek terhadap studi kebijakan
adalah apresiasinya terhadap politik ide dan pentingnya
promosi ide melalui organisasi (Parsons 2005).
Hayek bersama sejawatnya mendirikan think-thank
pertama, yaitu Mont Pelerin Society pada tahun 1947, yang
65
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
menjadi sumber inspirasi bagi terbentuknya beberapa think-thank lainnya, seperti Institute of Economic Affairs. Hayek
menolak positivisme logis dari kelompok Vienna dan ia
mengkritik gagasan yang menyatakan bahwa pengetahuan
objektif eksis dan dapat berfungsi sebagai basis untuk
mendeduksi hukum atau merencanakan masyarakat secara
ilmiah.
Pengetahuan manusia sangat terbatas, sehingga pendapat
yang mengatakan bahwa negara, pemerintah atau birokrasi
dapat menyatukan dan mengkoordinasikan semua informasi
yang tidak terbatas dalam rangka membuat keputusan sosial dan
mencampuri kebebasan pasar dan pilihan individu, merupakan
pandangan yang keliru dan menyesatkan. Bagi Hayek,
masyarakat bukan hasil dari desain manusia, tetapi merupakan
tatanan spontan (Parsons 2005).
Gagasan untuk membuat tatanan tersebut menjadi lebih
baik melalui campur tangan penerapan teori kebijakan oleh
pemerintah adalah sebuah gagasan yang secara epistemologis
tidak tepat. Hayek (dalam Parsons 2005) percaya bahwa
pemerintah atau pembuat kebijakan tidak dapat memecahkan
masalah atau memperbaiki apa-apa yang muncul secara spontan
dari interaksi antara individu bebas dengan pasar bebas. Itulah
sebabnya, Hayek mengusulkan bahwa peran kebijakan publik
harus terbatas pada bagaimana memastikan agar tatanan
spontan dalam masyarakat dan perekonomian bisa berjalan
tanpa campur tangan negara.
Negara berfungsi untuk mempromosikan kebebasan
personal dan pasar serta menegakkan aturan undang-undang
untuk terwujudnya kemaslahatan semua individu. Apabila
pembuatan kebijakan harus melibatkan negara, harus dijamin
bahwa kebijakan tersebut tidak sampai menciptakan monopoli
(Hayek dalam Parsons 2005)
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
66
Pada era 1990-an berkembang paradigma komu-
nitarianisme. Etzioni merupakan salah satu pendukung utama
paradigma tersebut. Etzioni (dalam Parsons 2005) menunjukkan
jalan tengah antara penggunaan regulasi dan kontrol negara di
satu pihak dengan penggunaan kekuatan pasar murni di pihak
lainnya. Bagaimana negara mengambil peran dalam kehidupan
masyarakat, berikut ini pandangan Etzioni.
Menurut pandangan komunitarian, inti negara kesejahteraan yang kuat, tetapi terbatas harus dipertahankan. Tugas-tugas lain yang selama ini dilaksanakan negara harus diserahkan kepada individu, keluarga, dan komunitas. Dasar filosofisnya adalah kita perlu mengembangkan rasa tanggung jawab personal, sekaligus tanggung jawab bersama. Bagaimana kita melaksanakan aktivitas yang harus ditangani pada level masyarakat? Jawabannya adalah dengan menerapkan prinsip subsidiary. Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab untuk setiap situasi pertama-tama jatuh pada mereka yang paling dekat dengan persoalan. Hanya ketika solusinya tidak bisa ditemukan oleh individu, maka keluarga harus ikut terlibat. Jika keluarga tidak bisa mengatasinya, barulah komunitas lokal boleh terlibat. Jika memang persoalannya terlalu besar untuk komunitas, barulah negara diperbolehkan terlibat (Parsons 2005:54).
Paradigma kebijakan yang diusulkan Etzioni ini
menunjukkan adanya garis tanggung jawab yang jelas, yaitu
perorangan, keluarga, komunitas, dan masyarakat secara
keseluruhan. Kebijakan publik harus ditujukan untuk
mempromosikan dan membangkitkan kembali institusi-institusi
yang berdiri di antara individu dan negara, yaitu keluarga,
organisasi relawan, sekolah, gereja, lingkungan rukun tetangga,
dan komunitas. Pembuat kebijakan, menurut Etzioni, harus
mau mengubah kebijakan dalam rangka memberi penekanan
yang lebih besar kepada tanggung jawab personal ketimbang
pada hak-hak personalnya. Nilai moral harus menjadi batu
pijakan bagi kebijakan untuk mengatasi semakin luasnya
fragmentasi masyarakat modern.
67
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Merujuk pada pandangan Etzioni ini, pemerintah kota
Semarang dalam membuat kebijakan penataan PKL, seyogyanya
lebih menitikberatkan pada pemberian rasa tanggung jawab
kepada PKL untuk mengelola aktivitas ekonomi dan lingkungan
di mana mereka berdagang. Pemberian tanggung jawab ini tidak
cukup efektif kalau hanya diserahkan kepada individual PKL,
tetapi lebih banyak diserahkan kepada asosiasi PKL di masing-
masing lokasi PKL. Diyakini bahwa dengan pemberian otonomi
tanggung jawab ini, diperkirakan PKL dapat menjalankan
aktivitas ekonominya dengan baik dan dampak pengiringnya
adalah ruang publik kota menjadi terawat, rapi, dan bersih
karena adanya simbiosis mutualisme antara PKL dan
pemerintah kota Semarang.
Kebijakan publik sebagai upaya pemecahan masalah
berdasarkan rasionalitas atau akal manusia dikritik oleh
Habermas. Seperti halnya Hayek, Habermas (dalam Parsons
2005) mengakui adanya dominasi rasionalitas dalam
memecahkan problem. Habermas memperkuat ide rasionalitas
dalam analisis kebijakan, dengan mengusulkan konsep
rasionalitas komunikatif. Habermas (dalam Parsons 2005)
berpendapat bahwa “daripada meninggalkan nalar sebagai
informing principle bagi masyarakat kontemporer, kita
sebaiknya menggeser perspektif dari konsep nalar yang
terbentuk dalam pengertian subjek-objek yang
terindividualisasikan ke konsep penalaran yang terbentuk
dalam komunikasi intersubjektif”.
Penalaran seperti itu, diperlukan ketika kehidupan bersama
yang berbeda-beda dalam ruang dan waktu yang sama
mendesak kita untuk mencari cara menemukan kesepakatan
tentang bagaimana menangani persoalan kolektif (Habermas
dalam Parsons 2005). Upaya membangun rasa memahami
sebagai fokus aktivitas penalaran akan menggantikan filsafat
kesadaran yang berorientasi subjek yang menurut Habermas
telah mendominasi konsep barat tentang nalar sejak era
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
68
pencerahan. Gagasan Habermas menimbulkan dampak luas bagi
teori dan praktik kebijakan publik. Pada level teori misalnya,
ide-idenya menyarankan perlunya perhatian yang lebih besar
kepada bahasa, wacana, dan argumen. Dalam tataran praktis,
teori Habermas, seperti situasi perbincangan yang ideal,
mengajak para perumus kebijakan untuk mencari metode
analisis baru dan proses institusional baru yang dapat
mempromosikan pendekatan interkomunikatif guna
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik.
Dalam teori kebijakan publik terdapat pendekatan dan
model yang dapat digunakan baik untuk merumuskan maupun
mengimplementasikan kebijakan publik. Sebagaimana sudah
dijelaskan pada uraian sebelumnya bahwa kerangka analisis
kebijakan yang dominan adalah pengambilan keputusan yang
rasional, namun pendekatan tahapan (stagist) atau siklus tetap
menjadi basis untuk melakukan proses analisis kebijakan. Dye
(2002) menawarkan beberapa model analisis kebijakan, yaitu
institutional model, process model, rational model, incremental model, group model, elite model, public choice model, dan game theory model. Model-model yang ditawarkan tersebut
memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Salah satu
model kebijakan yang sering digunakan analis adalah rational model. Model rasional (rational model) adalah model kebijakan
publik yang tujuannya ingin mencapai keuntungan sosial
maksimum (Dye 2002:16).
Dalam model ini, pemerintah memilih kebijakan yang dapat
menghasilkan keuntungan bagi masyarakat melebihi biaya yang
harus ditanggung masyarakat. Dalam model tersebut terdapat
konsep kunci, yaitu keuntungan sosial maksimum. Konsep
keuntungan sosial maksimum (maximum social gain) memiliki
dua makna, yaitu (1) tidak ada kebijakan yang diadopsi jika
biaya yang ditanggung melebihi keuntungan yang diperoleh, (2)
di antara alternatif kebijakan, pengambil keputusan seharusnya
69
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
memilih kebijakan yang menghasilkan keuntungan lebih besar
daripada biaya yang dikeluarkan.
Untuk menyeleksi kebijakan rasional, pembuat kebijakan
harus (1) mengetahui seluruh pilihan nilai-nilai masyarakat dan
pertimbangan relatif mereka, (2) mengetahui seluruh alternatif
kebijakan yang tersedia, (3) mengetahui seluruh konsekuensi
dari masing-masing alternatif kebijakan, (4) mengkalkulasi rasio
antara keuntungan dan biaya dari masing-masing alternatif
kebijakan, (5) menyeleksi alternatif kebijakan yang paling
efisien.
Dye (2005) menjelaskan proses kebijakan berdasarkan
model rasional seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4. Model Rasional dari Sistem Keputusan
Suatu kebijakan publik pada prinsipnya berisi kepentingan
publik, bukan kepentingan negara, pemerintah atau pun elit
politik. Selama kebijakan publik memiliki nilai dan manfaat
1.establishment of complete set of
operational goals
with weights
3.preparation of complete set of
alternative
policies
2.establishment of complete inventory of other values and of resources with
weights
4. preparation of complete set of predictions
of benefits and costs for each
alternative
5.calculation of net
expectation for each
alternative
6.comparison of net
expectations and
identification of
alternatives with highest
net
expectation
Output Pure
rationality
policy
Input all
resources
needed for
pure
rationality
process
All data
needed for
pure
rationality
process
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
70
bagi kepentingan publik, maka ia dapat disebut kebijakan
publik. Dalam kebijakan publik terdapat tiga nilai pokok, yaitu
(1) kebijakan publik bersifat cerdas, artinya mampu
memecahkan masalah yang sesungguhnya dialami, (2) kebijakan
bersifat bijaksana, artinya butir kebijakan yang telah ditetapkan
tidak menimbulkan masalah baru yang lebih besar, dan (3)
kebijakan publik memberikan harapan kepada seluruh
masyarakat bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik
daripada hari ini (Nugroho 2009:329). Secara teoretik, kebijakan
yang ditetapkan pemerintah cenderung baik dan ideal, tetapi
dalam implementasinya sering tidak sesuai dengan cita-cita
yang dikandung dalam kebijakan tersebut.
Sebaik-baiknya suatu perencanaan, jika pelaksanaan atau
implementasinya tidak maksimal apalagi menyimpang dari
perencanaan, maka kebijakan yang diambil juga dinilai tidak
baik. Implementasi kebijakan merupakan kelanjutan dari
politik dengan berbagai sarana (Dye 2002). Artinya bahwa,
tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebagai keputusan
politik harus dapat dicapai dengan berbagai tindakan yang
melibatkan cara, strategi atau taktik tertentu. Dalam kalimat
yang singkat, Anderson (2000) menjelaskan implementasi
kebijakan sebagai “what happens after a bill becomes law”,
artinya bahwa implementasi kebijakan berkaitan dengan apa
yang terjadi setelah Rancangan Undang-Undang menjadi
Undang-Undang.
Suatu kebijakan harus diimplementasikan agar memiliki
dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno 2007). Menurut
van Meter dan van Horn, sebagaimana dikutip Nawawi (2009),
implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan
oleh individu, pejabat, atau kelompok pemerintah dan swasta
yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan. Implementasi juga dimaknai
sebagai suatu proses atau serangkaian keputusan dan tindakan
yang ditujukan agar keputusan-keputusan yang diterima oleh
71
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
lembaga legislatif dapat dijalankan (Winarno 2007). Tugas
implementasi, menurut Grindle (1980) adalah membentuk
suatu kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa
direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kegiatan implementasi bukan sekedar kegiatan akhir dari suatu
kebijakan, tetapi merupakan proses atau aktivitas yang dapat
memastikan bahwa kebijakan atau keputusan yang telah
ditetapkan dapat dijalankan dengan baik. Implementasi
kebijakan bukan sekedar dilihat dari bagaimana pelaksanaan
programnya, tetapi diukur dari bagaimana program tersebut
dapat mewujudkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan
oleh kebijakan. Dalam kaitan ini, van Meter dan van Horn,
sebagaimana diungkapkan kembali oleh Winarno (2007)
menyarankan agar tujuan dan sasaran suatu kebijakan yang
akan dilaksanakan harus dapat diidentifikasi dan diukur. Hal ini
penting, karena implementasi kebijakan tidak akan berhasil jika
tujuan-tujuan yang ditetapkan tidak dapat diukur.
Ukuran tujuan dan sasaran kebijakan dapat dilihat pada
pernyataan dari pembuat kebijakan atau dalam dokumen
regulasi yang ditetapkan. Untuk mengetahui bagaimana sasaran
pembangunan pendidikan dapat dicapai atau telah dilaksanakan
dengan baik, seorang analis kebijakan dapat mengkaji dokumen
UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat (4). Dalam pasal
tersebut ditetapkan bahwa negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Jika ada suatu daerah
provinsi atau kabupaten belum mencantumkan anggaran
pendidikan sebesar 20%, berarti kebijakan pendidikan tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
72
Guna memahami kebijakan pemerintah dalam melakukan
perlindungan tenaga kerja, utamanya anak-anak dan
perempuan, seorang analis kebijakan harus mengkaji Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal-
pasal yang dapat dikaji di antaranya pasal 68 sampai dengan 85.
Pasal 68 misalnya, mengamanatkan bahwa pengusaha dilarang
mempekerjakan anak. Jika ada pengusaha mempekerjakan anak,
maka ia dapat dikenai sanksi karena telah melanggar ketentuan
undang-undang ketenagakerjaan. Namun demikian, pasal 69
Undang-undang ini memberi kelonggaran kepada pengusaha,
bahwa ia dapat mempekerjakan anak yang berusia antara 13
hingga 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang
tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental
dan sosial anak.
Dari dua contoh kebijakan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa suatu kebijakan dapat diimplementasikan dan dapat
diukur jika sasaran dan tujuannya jelas. Jika tidak, maka
inplementasi kebijakan wajib dipertanyakan.
Masalah yang paling penting dalam implementasi kebijakan
adalah bagaimana memindahkan suatu keputusan ke dalam
kegiatan atau pengoperasian dengan cara tertentu (Jones 1991).
Implementasi suatu program kebijakan dilakukan melalui tiga
pilar, yaitu:
(1) organisasi, yakni menyangkut pembentukan atau penataan
kembali sumber daya, unit-unit dan metode untuk
membuat program dapat berjalan,
(2) interpretasi, yakni menafsirkan agar program dapat menjadi
rencana dan pengarahan yang tepat, dapat diterima dan
dilaksanakan,
(3) penerapan, yakni ketentuan rutin dari pelayanan,
pembayaran dan lainnya yang disesuaikan dengan tujuan
program (Jones sebagaimana dikutip Nawawi 2009).
73
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Berhasil tidaknya aktivitas implementasi kebijakan
tergantung pada apa yang dilakukan oleh badan-badan
pelaksana. Kegiatan implementasi kebijakan yang dilakukan
oleh badan-badan pelaksana mencakupi berbagai jenis kegiatan,
yaitu:
(1) badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang
dengan tanggung jawab menjalankan program harus
mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar
implementasi berjalan lancar,
(2) badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran
dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta
rencana dan desain program,
(3) badan-badan harus mengorganisasikan kegitan-kegiatan
mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan
rutinitas untuk mengatasi beban kerja,
(4) badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau
pembatasan kepada para pelanggan atau kelompok-
kelompok target (Winarno 2007).
Pembuatan kebijakan publik tidak berakhir pada telah
dirumuskannya hukum atau peraturan oleh lembaga yang
berwenang. Implementasi kebijakan melibatkan seluruh
aktivitas yang didesain untuk membawa kebijakan kepada
lembaga legislatif untuk dijadikan undang-undang. Aktivitas-
aktivitas tersebut juga menciptakan organisasi baru, seperti
departemen, agensi dan birokrasi. Organisasi-organisasi tersebut
harus mampu menterjemahkan hukum dan undang-undang ke
dalam peraturan dan regulasi yang operasional.
Dalam rangka fungsi ini, organisasi harus mampu
menetapkan personil, menyusun kontrak, menggunakan dana,
dan melakukan tugas. Seluruh aktivitas tersebut melibatkan
keputusan yang dibuat oleh birokrat. Dalam masyarakat yang
makin kompleks permasalahan dan kebutuhannya, posisi
birokrasi makin menonjol sebagai lembaga pengambilan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
74
keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Dalam
praktiknya, birokrasi melakukan tugas-tugas rutin dan dalam
keadaan tertentu ia dapat melakukan diskresi atau mengambil
suatu kebijaksanaan yang berbeda, yang menguntungkan
kepentingan publik atau setidak-tidaknya tidak merugikan
publik.
Pada umumnya birokrat memiliki keyakinan kuat tentang
nilai-nilai dalam program dan tugas-tugas mereka (Dye 2002).
Para pejabat Environmental Protection Agency (EPA) memiliki
komitmen yang kuat terhadap gerakan lingkungan, pejabat-
pejabat di CIA juga memiliki keyakinan yang kuat mengenai
pentingnya kecerdasan yang bagus untuk keamanan nasional,
dan pejabat-pejabat di Social Security Adminsitration (SSA)
memiliki komitmen kuat untuk memelihara keuntungan dari
sistem pengunduran diri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
di Indonesia memiliki komitmen kuat untuk menciptakan
Indonesia bersih dari korupsi. WALHI sangat berkepentingan
terhadap terjaganya lingkungan hidup di Indonesia. Demikian
pula, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) memiliki
komitmen untuk memberdayakan pedagang kaki lima (PKL).
Dalam kaitannya dengan eksistensi PKL di Semarang, Persatuan
Pedagang Kaki Lima Semarang (PPKLS) memiliki komitmen
dan kepedulian yang tinggi terhadap nasib dan masa depan
PKL.
Salah satu unsur yang harus diperhatikan para pelaksana
kebijakan (birokrat) adalah komunikasi. Implementator
kebijakan yang efektif harus mengetahui apa yang harus mereka
lakukan. Keputusan kebijakan dan perintah harus diteruskan
kepada personil yang tepat, sebelum keputusan dan perintah
tersebut dapat diikuti. Dalam kaitan ini, komunikasi dipandang
memegang peranan penting. Edwards (dalam Winarno 2007)
mengusulkan tiga hal penting dalam proses komunikasi
kebijakan, yaitu transmisi, kejelasan, dan konsistensi.
75
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Dalam hal transmisi, seorang pejabat yang akan
mengimplementasikan keputusan hendaknya menyadari bahwa
suatu keputusan telah dibuat dan perintah telah dikeluarkan.
Dalam transmisi ini memang terdapat kendala yang harus
diperhatikan dengan seksama oleh pelaksana kebijakan.
Kendala itu di antaranya (1) adanya pertentangan pendapat
antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh
pengambil kebijakan, (2) informasi melewati hierarkhi birokrasi
yang berlapis-lapis, (3) penerimaan komunikasi juga dihambat
oleh persepsi dan ketidakmauan para pelaksana untuk
mengetahui persyaratan-persyaratan kebijakan (Winarno 2007).
Kebijakan yang baik tidak hanya mensyaratkan adanya
petunjuk-petunjuk pelaksanaan dan petunjuk-petunjuk teknis,
tetapi juga ditentukan oleh adanya komunikasi kebijakan yang
jelas. Acapkali instruksi yang diteruskan ke pelaksana sangat
kabur, tidak jelas kapan pelaksanaannya serta cara bagaimana
program dapat dilaksanakan. Ketidakjelasan komunikasi ini
akan menyebabkan terjadinya interpretasi yang bermacam-
macam mengenai kebijakan yang akan ditindaklanjuti.
Konsistensi merupakan faktor ketiga dari komunikasi
kebijakan. Jika implementasi kebijakan berlangsung efektif,
maka perintah atau instruksi pelaksanaannya harus konsisten.
Perintah yang tidak konsisten akan mendorong pelaksana
kebijakan bertindak longgar dalam menafsirkan dan
mengimplementasikan program kebijakan. Penafsiran yang
keliru ini akan menyebabkan implementasi program tidak
efektif, sehingga tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat
dicapai.
Setiap kebijakan harus memiliki dampak atau konsekuensi
yang diinginkan. Dampak atau konsekuensi adalah perubahan
yang bisa diukur dalam masalah yang luas, berkaitan dengan
program yang telah ditetapkan, berdasarkan undang-undang
atau keputusan yudisial (Winarno 2007). Keputusan yang baik
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
76
sudah semestinya menghasilkan konsekuensi yang baik (Parsons
2005). Dalam realitasnya, tidak semua kebijakan memiliki
dampak baik dan menguntungkan bagi pihak yang dikenai
kebijakan. Kebijakan yang baik dapat dianalisis dari sejauhmana
kebijakan tersebut memberi manfaat bagi mereka yang dikenai
kebijakan tersebut. Dalam kaitan ini, Dunn (dalam Nugroho
2009) menyarankan lima prosedur umum dalam analisis
kebijakan yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan
suatu kebijakan.
(1) Definisi, yaitu menghasilkan informasi mengenai kondisi-
kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan,
(2) Prediksi, yakni menyediakan informasi mengenai
konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif
kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu,
(3) Preskripsi, yakni menyediakan informasi mengenai nilai
konsekueksi alternatif di masa mendatang,
(4) Deskripsi, yaitu menghasilkan informasi tentang
konsekuensi sekarang dan masa lalu dari penerapan
alternatif kebijakan,
(5) Evaluasi, yaitu kegunaan alternatif kebijakan dalam
memecahkan masalah.
Dalam analisis kebijakan harus dapat dibuat rumusan
masalahnya, peramalan masa depan kebijakan, dan rekomendasi
kebijakan. Dalam hal yang terakhir, seorang analis kebijakan
harus mampu menentukan alternatif kebijakan yang terbaik
dan alasan mengapa alternatif tersebut dipilih. Rekomendasi
kebijakan yang baik memuat enam kriteria, yaitu:
(1) Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif
mencapai hasil yang diharapkan,
(2) Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan
untuk menghasilkan tingkat efektivitas yang dikehendaki,
77
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
(3) Kecukupan, berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat
efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan
yang menimbulkan masalah,
(4) Perataan, berkenaan dengan pemerataan distribusi manfaat
kebijakan,
(5) Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau
nilai kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi target
kebijakan,
(6) Kelayakan, berkenaan dengan pertanyaan apakah kebijakan
tersebut tepat untuk suatu masyarakat.
Siapapun menyadari bahwa konsekuensi dari tindakan
kebijakan tidak pernah diketahui secara penuh, dan oleh
karenanya pemantauan kebijakan merupakan suatu keharusan
(Dunn 2003). Rekomendasi kebijakan dapat dipandang sebagai
suatu hipotesis tentang hubungan antara tindakan dan hasil
kebijakan. Jika tindakan A dilakukan pada waktu t¹, maka hasil
O akan muncul pada t². Setiap hipotesis ini didasarkan pada
pengalaman dan asumsi tentang sebab dan akibat, sehingga
hipotesis tidak lebih dari sekadar suatu terkaan sampai ketika
hipotesis tersebut diuji oleh pengalaman berikutnya.
Pemantauan kebijakan penting bagi implementasi suatu
kebijakan. Pemantauan ini penting karena memberikan
informasi tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik (Dunn
2003). Pemantauan kebijakan memiliki empat fungsi dalam
pandangan analis kebijakan, yaitu:
1. Kepatuhan. Pemantauan berguna untuk menentukan,
apakah tindakan administratur, staf dan pelaku lain sesuai
dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh legislator
dan pemerintah,
2. Pemeriksaan. Pemantauan membantu menentukan, apakah
sumberdaya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk
kelompok sasaran telah sampai kepada mereka,
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
78
3. Akuntansi. Monitoring menghasilkan informasi yang
bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan
sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakan sejumlah
kebijakan dalam kurun waktu tertentu,
4. Eksplanasi. Pemantauan dapat menghimpun informasi
yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan
publik dan program bisa berbeda.
B. Tinjauan tentang Modal Sosial
Sebelum konsep modal sosial tumbuh dan berkembang,
yang lebih dahulu muncul dalam literatur ekonomi adalah
konsep modal atau kapital. Modal (kapital) pada awalnya
dipahami sebagai sejumlah uang atau faktor-faktor produksi
yang dapat diakumulasi dan diinvestasikan, yang pada suatu
ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberi manfaat
atau layanan produktif (Dasgupta dan Serageldin 1999; Field
2008). Modal atau kapital bukan sekedar uang. Menurut Adam
Smith, kapital adalah sejumlah aset yang diakumulasikan untuk
tujuan produktif (de Soto 2006).
Modal (kapital) merupakan sebuah keajaiban yang akan
meningkatkan produktivitas dan menciptakan nilai tambah.
Modal (kapital) dalam ekonomi mempunyai fungsi yang sangat
penting dalam proses produksi barang dan jasa dalam jangka
panjang. Umumnya aktivitas ekonomi melibatkan tiga kapital
penting, yaitu kapital finansial, kapital fisik, dan kapital
manusia (Lawang 2005). Kapital personal, budaya, politik, dan
sosial juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pembangunan ekonomi. Dari semua kapital tersebut, yang
relevan dikaji dalam kaitannya dengan perlawanan atau
resistensi PKL di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono adalah
kapital atau modal sosial.
Konsep modal sosial sudah lama dibicarakan oleh para ahli
ekonomi, kira-kira pada abad 19 yang lalu (Castiglione,
79
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
et.al.2008:2). Istilah modal sosial itu sendiri baru muncul untuk
pertama kalinya pada tahun 1916 ketika Lyda Hudson Hanifan
menulis tentang The Rural School Community Center.
Perbincangan tentang modal sosial ini mengemuka,
dikarenakan para ahli ekonomi menyadari bahwa untuk
menggerakkan aktivitas ekonomi, tidak semata-mata bertumpu
pada modal manusia, modal fisik, maupun modal finansial,
tetapi ada jenis modal lain yang ternyata efektif dalam
melumasi kegiatan ekonomi, bahkan dapat memperoleh hasil
yang lebih baik daripada hanya mengandalkan modal manusia,
fisik, dan finansial, yaitu modal sosial. Literatur tentang modal
sosial cukup banyak, bahkan dapat dikatakan melimpah. Dari
semua pandangan tentang modal sosial, sumber yang sering
digunakan oleh para penulis dan peneliti modal sosial adalah
Coleman, Putnam, Fukuyama dan Bourdieu. Penelitian disertasi
ini juga mengacu pada pandangan keempat penulis tersebut.
1. Pandangan Coleman tentang Modal Sosial
James Coleman seorang sosiolog Amerika banyak
memberikan perhatian pada persoalan pendidikan. Coleman
menggunakan konsep modal sosial dalam penelitiannya tentang
pendidikan. Dalam penelitiannya, Coleman ingin melihat
apakah terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
prestasi akademik siswa di sekolah. Salah satu temuannya
adalah bahwa kelompok sebaya memiliki pengaruh yang
signifikan dalam menentukan prestasi anak.
Dalam studinya tentang perbandingan prestasi sekolah
swasta dan sekolah negeri, Coleman (dalam Field 2010)
melaporkan bahwa prestasi siswa di sekolah swasta berafiliasi
agama Katolik lebih baik daripada di sekolah negeri. Temuan
lainnya adalah di sekolah-sekolah Katolik tersebut tingkat drop out dan membolos lebih rendah dibandingkan murid-murid
yang bersekolah di negeri. Organisasi keagamaan, menurut
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
80
Coleman (dalam Field 2010), ada di antara organisasi yang
masih tersisa di dalam masyarakat, di luar keluarga dan lintas
generasi. Organisasi tersebut ada di antara organisasi yang di
dalamnya modal sosial komunitas dewasa tersedia bagi anak-
anak dan pemuda. Demikian pula, norma komunitas pada
orangtua dan siswa berfungsi memperkuat harapan para guru.
Komunitas ternyata menjadi sumber modal sosial yang dapat
menetralisasi dampak dari tidak menguntungkannya kondisi
sosial ekonomi dalam keluarga (Field 2010).
Dalam serangkaian penelitian mengenai pendidikan pada
masyarakat di perkampungan kumuh, Coleman sampai pada
kesimpulan bahwa modal sosial tidak terbatas pada mereka yang
kuat, tetapi juga memberikan manfaat riil bagi orang miskin dan
orang yang terpinggirkan (Field 2010). Modal sosial merupakan
sumber daya yang berisikan harapan akan reprositas,
melibatkan jaringan yang lebih luas, yang hubungan-
hubungannya diatur oleh tingginya tingkat kepercayaan dan
nilai-nilai bersama.
Coleman (2000) menemukan bahwa modal sosial, baik
berupa harapan dan kewajiban, jaringan dan informasi, serta
norma sosial, berpengaruh secara positif dalam menambah
volume modal kemanusiaan baik dalam lingkup keluarga
maupun komunitas. Intensitas relasi dalam keluarga dan di luar
keluarga memperkuat modal sosial dan turut menciptakan
modal manusia di masa depan. Dalam kaitan ini, Coleman
(2000) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut.
Seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial anak atau orang yang masih muda. Sumber-sumber daya tersebut berbeda bagi orang-orang yang berlainan dan dapat memberikan manfaat penting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal manusia mereka.
81
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Konsep modal sosial yang dielaborasi dalam penelitian
Coleman tersebut adalah relasi sosial. Menurut Coleman, relasi
sosial menggambarkan suatu struktur sosial di mana individu
bertindak sebagai sumber bagi individu lainnya (Castiglione, et
al. 2008). Struktur sosial ini memfasilitasi semua tindakan
individu atau aktor yang bekerjasama dalam struktur tersebut
(Field 2010).
Coleman dianggap sebagai pendorong utama di belakang
lahirnya teori pilihan rasional dalam sosiologi kontemporer.
Dalam teori pilihan rasional terdapat keyakinan bahwa semua
perilaku berasal dari individu yang berusaha mengejar
kepentingan mereka sendiri. Menurut Coleman (dalam Field
2010), perilaku individu sangat individualistik. Setiap orang
secara otomatis melakukan hal-hal yang akan melayani
kepentingan mereka sendiri, tanpa memperhitungkan nasib dan
kepentingan orang lain. Atas dasar ini, Coleman memahami
masyarakat sebagai sekumpulan sistem sosial perilaku individu.
Dengan demikian, konsep modal sosial dipahami sebagai sarana
untuk menjelaskan bagaimana orang berusaha bekerjasama.
Coleman (dalam Field 2010) memberikan contoh yang sangat
bagus mengenai bagaimana melihat kesejajaran antara
kerjasama (modal sosial) dengan individualisme.
Dalam game theory, Coleman sebagaimana dikutip kembali
oleh Field (2010), memberikan contoh mengenai dilema
tahanan. Dalam dilema tahanan ini, dua individu ditempatkan
dalam sel yang terpisah, kemudian diberitahu bahwa orang
pertama yang mengetahui akan memperoleh perlakuan yang
baik. Dilemanya adalah apakah akan tetap diam, dengan
harapan agar tidak ada bukti lainnya untuk membuktikan
kesalahannya dan tidak menerima hukuman sama sekali jika
pemain kedua bertindak serupa atau mengakui dan menerima
pengurangan hukuman.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
82
Teori pilihan rasional meramalkan bahwa pilihan kedua
akan dipilih, karena masing-masing tahanan mengetahui bahwa
tahanan yang lain cenderung mengaku ketika dihadapkan pada
pilihan yang sama. Dalam teori ekonomi, Coleman melihat
bahwa majikan akan bertindak sebagai penumpang gelap (free-rider) ketika harus membayar pelatihan ketimbang diharuskan
berinvestasi pada keterampilan masa depan bagi karyawan-
karyawannya. Dalam hal ini, majikan dapat membuat kalkulasi
bahwa merupakan kepentingan mereka untuk membayar
pekerja yang telah dididik orang lain. Teori pilihan rasional
meramalkan bahwa setiap individu akan menuruti kepentingan
terbesar mereka, termasuk dalam kasus ini, perusahaan harus
membayar deviden yang lebih besar dalam jangka panjang. Hal
ini dilakukan demi kemajuan perusahaan yang ia miliki.
Dari kedua kasus tersebut, tampak bahwa kerjasama seakan-
akan dapat berdampingan dengan kompetisi individual, tetapi
sesungguhnya semua itu karena adanya kalkulasi mengenai
keuntungan yang dapat diraih individu melalui aktivitas
kerjasama. Hal ini mirip dengan peran invisible hand dari pasar,
sebagaimana digagas Adam Smith. Konsep kerjasama dari
Coleman tidak bertentangan dengan individualitas yang
cenderung mengejar kepentingan sendiri, dikarenakan
kerjasama yang tercipta melalui hubungan sosial telah
membantu menciptakan kewajiban dan harapan para aktor,
membangun kejujuran lingkungan sosial, membuka saluran
informasi, dan menetapkan norma yang menopang bentuk-
bentuk perilaku tertentu sambil menerapkan sanksi bagi calon-
calon penumpang gelap (free rider). Namun demikian, Coleman
(dalam Field 2010:41) mengakui bahwa para aktor individual
tidak membangun modal sosial dengan mengadakan kerjasama
dengan lainnya, tetapi modal sosial tersebut lahir sebagai
konsekuensi yang tidak dikehendaki dari upaya mengejar
kepentingan mereka sendiri. Dengan kata lain, modal sosial
tidak lahir karena aktor mengkalkulasikan pilihan untuk
83
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
berinvestasi di dalamnya, namun sebagai produk sampingan
dari aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan lain.
Dalam kaitan dengan penelitian tentang modal sosial
pedagang kaki lima (PKL) di kota Semarang, ditemukan bahwa
para PKL yang diteliti pada umumnya bersedia bekerjasama
dengan PKL lainnya, dikarenakan adanya kepentingan yang
sama agar mereka dapat bekerja dan mencari penghasilan untuk
menghidupi keluarganya di lokasi yng selama ini mereka
tempati. Mereka tetap bertahan di lokasi yang dilarang oleh
pemerintah kota, dikarenakan dua hal. Pertama, mereka
bertahan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Kedua, mereka bertahan karena adanya perasaan bersatu
dengan PKL lainnya di bawah perlindungan paguyuban dan
organisasi lain yang mendukungnya.
Coleman meyakini bahwa analisis tentang formasi modal
sosial menyediakan suatu jalan tengah antara perspektif pilihan
rasional yang memandang tindakan sosial sebagai hasil tindakan
berbasis kepentingan diri yang bertujuan dari individu dan
perspektif norma sosial yang menjelaskan perilaku sosial sebagai
tergantung pada batasan-batasan eksternal yang dipaksakan
oleh norma (Castiglione, et al. 2008; Field 2008). Pendek kata,
modal sosial adalah cara mendamaikan tindakan individu dan
struktur sosial.
Tindakan yang mengarah pada terbentuknya modal sosial
tersebut rasional, meskipun diakui bahwa individu tidak selalu
bertindak secara rasional. Namun hampir sebagian besar
tindakan individu bersifat rasional bertujuan, sebab dalam
konteks sosial, ilmuwan sosial bertujuan memahami organisasi
sosial yang berasal dari tindakan individu dan karena
memahami tindakan seorang individu biasanya berarti melihat
alasan di balik tindakan itu, maka tujuan teoritis dari ilmu sosial
mestinya adalah memahami tindakan itu dengan cara yang
menjadikannya rasional dari sudut pandang si pelaku (Coleman
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
84
2009). Dengan kata lain, apa yang biasanya dianggap irasional
hanyalah karena si pengamat belum mengetahui sudut pandang
si pelaku, yang bagi pelaku, tindakan yang diambil sudah
rasional.
2. Pandangan Putnam tentang Modal Sosial
Putnam (2000) terkenal dengan bukunya Bowling Alone.
Buku tersebut menggambarkan dengan jelas bagaimana pemain
bowling yang kesepian. Metafora ini tidak dimaksudkan untuk
mendeskripsikan bahwa bangsa Amerika bepergian sendiri
untuk bermain menyendiri, namun yang hendak dinyatakan
adalah bahwa terdapat semakin sedikit kecenderungan untuk
bermain dalam tim formal untuk berhadapan dengan lawan
reguler dalam liga bowling yang terorganisasi dan lebih banyak
lagi kecenderungan untuk bermain dengan sekelompok
keluarga atau sahabat.
Masyarakat yang terus menerus menonton televisi
menyebabkan terjadinya apatisme politik dan ketidakpedulian
terhadap orang lain. Berdasarkan penelitiannya di Italia utara
dan selatan, Putnam (2000) menyimpulkan bahwa kinerja
institusional di Italia utara relatif sukses dikarenakan adanya
hubungan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat
sipil. Di Italia utara, gilda-gilda yang otonom, dapat mengatur
sendiri, menyumbang kematangan masyarakat sipil, yang pada
gilirannya bermanfaat mendukung kebijakan dan program
pemerintah Italia bagian utara.
Dalam artikel berjudul Economic Growth and Social Capital in Italia, Helliwel and Putnam (2000) menunjukkan pula bahwa
dukungan masyarakat sipil ditambah efektivitas institusi
pemerintah daerah Italia utara memiliki tingkat kemakmuran
yang lebih baik daripada pemerintah Italia wilayah selatan.
Modal sosial, seperti tingkat pendidikan, keterbukaan, dan
85
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
institusi yang efektif memberi kontribusi signifikan bagi
kepuasan warga negara kepada pemerintah daerah. Menurut
Helliwel (2006:38), kepuasan hidup (life satisfaction)
berhubungan dengan berbagai jenis kepercayaan (trust) dan
jaringan (networks) yang menelurkan kepercayaan. Kepuasan
warga negara terhadap kinerja pemerintah Italia utara yang
pada gilirannya memberi kemakmuran kepada mereka,
menimbulkan kepercayaan (trust) yang tinggi kepada
pemerintah.
Berdasarkan penelitiannya di Italia, Putnam memahami
modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial, seperti
kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan
efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan
terkoordinasi (Field 2010:49). Dalam politik, modal sosial
memberikan sumbangsih kepada tindakan kolektif dengan
meningkatkan biaya potensial bagi pengkhianat politik,
mendorong norma-norma reprositas, memfasilitasi aliran
informasi, memasukkan informasi tentang reputasi para aktor,
memasukkan keberhasilan upaya kolaborasi di masa lalu dan
bertindak sebagai penguat bagi kerjasama di masa yang akan
datang (Field 2010:50).
Pandangan Putnam tentang modal sosial berbeda dengan
pendapat Coleman. Jika Coleman lebih percaya akan pengaruh
gereja dan keluarga sebagai bagian dari bonding social capital, Putnam hanya memberikan sedikit perhatian pada institusi
gereja dan keluarga serta lebih percaya pada organisasi yang
terkonstruksi secara longgar atau bridging social capital.
Setelah mengkaji bagaimana modal sosial berpengaruh
terhadap kesuksesan pemerintah di Italia utara, Putnam
mengalihkan penelitiannya ke Amerika Serikat. Dalam
telaahnya, Putnam melihat kemerosotan besar modal sosial di
Amerika Serikat sejak tahun 1940-an, padahal sebelum ini,
Amerika Serikat memiliki asosiasi-asosiasi politik yang
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
86
bermanfaat bagi perkembangan demokrasi. Sebagaimana dilihat
oleh de Tocqueville (dalam Field 2010:48), melalui asosiasi-
asosiasi politik yang dimiliki oleh bangsa Amerika, warga
Amerika terbiasa berkumpul dalam jumlah banyak, mereka
berbicara dan mendengar satu sama lain, dan secara timbal balik
bergerak untuk berbuat sesuatu. Kehidupan asosiasional ini
merupakan landasan penting tatanan sosial dalam suatu sistem
yang relatif terbuka. Tingginya tingkat keterlibatan warga
mengajarkan orang bagaimana bekerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat.
Pada tahun 1960-an, modal sosial Amerika semakin
menurun dan Putnam menggambarkan Amerika pada masa itu
sebagai telah terpecah satu sama lain dan terpisah dari
komunitas. Bukti-bukti menurunnya modal sosial Amerika, di
antaranya adalah persepsi orang Amerika tentang menurunnya
kejujuran dan keterpercayaan, meningkatnya kecenderungan
para pengemudi Amerika mengabaikan tanda berhenti di
persimpangan jalan, dan tajamnya peningkatan laporan
kejahatan. Putnam (2000) menunjukkan empat sebab utama
dari merosotnya modal sosial di Amerika Serikat.
Pertama, begitu banyaknya kesibukan dan besarnya tekanan
yang diasosiasikan dengan keluarga dengan dua karir telah
mengurangi jumlah waktu dan sumber-sumber lain yang
khususnya dapat digunakan perempuan untuk terlibat dalam
komunitasnya.
Kedua, para penghuni kawasan luas metropolitan
mengalami sesuatu yang disebutnya dengan begitu besarnya
akibat buruk warga di kawasan pinggiran, karena mereka harus
menghabiskan waktu untuk nongkrong, sehingga ikatan mereka
cenderung terfragmentasi. Mobilitas urban dan pertumbuhan
berlebih sebagai faktor yang memengaruhi hal tersebut.
Hiburan elektronik berbasis rumah, yaitu televisi
merupakan sebab utama ketiga dari merosotnya modal sosial.
87
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Penonton berat televisi hampir memutuskan hubungan
kehidupan warga dan tidak banyak menghabiskan waktu
dengan teman atau tetangga. Dampak lainnya adalah
masyarakat yang terus menerus menonton televisi
menyebabkan terjadinya apatisme politik dan ketidakpedulian
terhadap orang lain.
Penyebab keempat adalah terjadinya perubahan generasi.
Putnam memandang bahwa orang yang lahir pada tahun 1920-
an menjadi anggota asosiasi hampir dua kali lebih banyak
daripada anak cucu mereka yang lahir pada tahun 1960-an.
Mereka yang lahir pada tahun 1960-an lebih sedikit yang
berorientasi kepada warga.
Dalam tahun 1990-an, Putnam mengubah definisinya
tentang modal sosial. Menurut Putnam (dalam Field 2010:51;
Suharto 2008), modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial,
yaitu berupa jaringan, norma dan kepercayaan yang mendorong
partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk
mencapai tujuan-tujuan bersama.
Putnam membedakan dua bentuk modal sosial, yaitu modal
sosial mengikat atau ekslusif dan modal sosial menjembatani
atau inklusif (Field 2010:52). Modal sosial yang mengikat
mendorong identitas ekslusif dan mempertahankan
homogenitas. Modal sosial mengikat ini merupakan kapital yang
baik untuk menopang reprositas spesifik dan mobilisasi
solidaritas serta memperkuat identitas dan kesetiaan kelompok.
Sebaliknya, modal sosial yang menjembatani cenderung
menyatukan orang dari beragam ranah sosial. Hubungan yang
menjembatani ini baik untuk menghubungkan aset eksternal
dan untuk penyebaran informasi.
Putnam (dalam Field 2010) sangat yakin akan kemujaraban
modal sosial dalam mengkonstruksi tindakan kolektif. Namun
sayangnya, ia terlalu yakin akan pengaruh modal sosial dan
kurang memperhatikan peran aktor dalam struktur sosial,
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
88
utamanya aktor dominan. Demikian pula, karena landasan
berpikirnya bertumpu pada aspek sosial dan ekonomi, maka ia
kurang memperhatikan peran politik, khususnya peran yang
dimainkan oleh negara.
3. Pandangan Fukuyama tentang Modal Sosial
Fukuyama (1995) dalam artikelnya tentang Scale and Trust, menemukan bahwa kepercayaan merupakan modal sosial
berharga yang menentukan keberhasilan perusahaan. Modal
sosial dipahami Fukuyama sebagai kemampuan yang timbul dari
adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas (Suharto 2008).
Kepercayaan, menurut Fukuyama, dibangun dengan kejujuran,
kesetiaan, dan kerjasama. Kepercayaan (modal sosial) ini
ternyata tidak terbagi secara merata di masyarakat. Dalam
masyarakat individualistik, kepercayaan berada pada asosiasi
sukarela (misalnya di Amerika Serikat) yang menentukan
berkembangnya perusahaan-perusahaan besar, sedangkan pada
masyarakat tipe familistik (seperti di Korea, Taiwan, dan
Hongkong), kepercayaan berada pada jalur keluarga, sehingga di
sana berkembang perusahaan-perusahaan kecil berbasis
keluarga.
Dalam buku berjudul Guncangan Besar Kodrat Manusia dan
Tata Sosial Baru, Fukuyama (2005) menemukan adanya
kemunduran hierarki birokratis dalam bidang politik dan
ekonomi seiring dengan berkembangnya teknologi informasi.
Produksi berbasis industri pun mengalami transisi ke arah
bentuk produksi berbasis informasi. Sistem kepemimpinan
hierarkis mengalami erosi dan model jaringan yang bertandakan
hubungan informal dan persekutuan antar organisasi,
sebagaimana dapat disaksikan pada sistem keiretsu di Jepang,
persekutuan perusahaan di Italia, dan hubungan Boeing dengan
pemasoknya, dapat menutup kelemahan dari sistem hierarki.
89
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Pertukaran dalam model jaringan, menurut Fukuyama
(2005) bersifat timbal balik, tidak semata-mata berdasarkan
prinsip untung rugi. Hal ini terjadi karena pertukaran dalam
jaringan berbasis norma bersama bersifat informal, tidak
mengharapkan balasan langsung, tetapi mendambakan manfaat
jangka panjang. Jaringan ini merupakan bagian penting dari
modal sosial. Jaringan atau jejaring sosial, dalam pandangan
Christakis dan Flower (2010) memuat dua aspek penting, yaitu:
(1) ada hubungan, yakni siapa tersambung dengan siapa, (2)
penularan (contagion), yang merujuk kepada apa saja yang
mengalir sepanjang ikatan.
Pada level individual, anggota jaringan akan memperoleh
keuntungan, misalnya meningkatkan akses pada pertukaran
informasi, penegakan kontrak, dan fokus pada visi dan tujuan
kolektif (Beugelsdijk 2002). Dalam konteks demikian, modal
sosial dipahami sebagai norma timbal balik dan jaringan atau
asosiasi yang dapat mempromosikan tindakan kerjasama dan
yang dapat digunakan sebagai sumberdaya sosial untuk manfaat
yang saling menguntungkan (Woolcock 2000).
4. Pandangan Bourdieu tentang Modal Sosial
Berbeda dengan Coleman, Putnam, dan Fukuyama, Pierre
Bourdieu dalam penelitiannya di Aljazair pada tahun 1960-an
menggambarkan perkembangan dinamis struktur sosial dan cara
berpikir yang membentuk suatu habitus, yang menjadi
jembatan antara agensi subjektif dan posisi objektif (Field
2010:21). Habitus merupakan wahana bagi kelompok untuk
menggunakan simbol-simbol budaya sebagai tanda pembeda,
yang menandai dan membangun posisi mereka dalam struktur
sosial.
Bourdieu (dalam Field 2008) memasukkan modal budaya
sebagai bagian dari modal sosial. Modal sosial ini merupakan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
90
milik ekslusif elit yang didesain untuk mengamankan posisi dan
status mereka. Atas dasar inilah, Bourdieu yakin bahwa tidak
ada tempat bagi individu dan kelompok lain yang kurang
istimewa (bukan elit) yang dapat memperoleh keuntungan
dalam ikatan sosial mereka.
Pendapat Bourdieu berbeda dengan pandangan Coleman.
Coleman berkeyakinan bahwa modal sosial tidak terbatas pada
mereka yang kuat (kelompok elit), tetapi juga dapat
dimanfaatkan oleh kelompok miskin dan komunitas marginal
(Field 2008). Modal budaya sebagaimana dipahami Bourdieu,
dimiliki orang atau kelompok bukan sekedar mencerminkan
sumber daya modal finansial mereka, tetapi melalui keluarga
dan pendidikan di sekolah, modal budaya pada batas-batas
tertentu dapat beroperasi secara independen dari tekanan uang
dan bahkan memberikan kompensasi ketika kekurangan uang
sebagai bagian dari strategi individu atau kelompok untuk
meraih kekuasaan dan status (Field 2010:22).
Ketika mengkaji keanggotaan klub golf yang diyakininya
sebagai pelumas dalam memperlancar jalannya roda bisnis,
Bourdieu mulai mengenali apa itu modal sosial. Pada tahun
1973, yakni pada tahap awal dia mengkaji modal sosial,
Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai modal hubungan
sosial yang jika diperlukan akan memberikan dukungan
bermanfaat yakni modal harga diri dan kehormatan, yang
seringkali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke
dalam posisi-posisi yang penting secara sosial dan yang bisa
menjadi alat tukar, misalnya dalam karir politik. Dalam
pergulatannya dengan konsep modal sosial, akhirnya ia
memperbaiki pandangannya tentang modal sosial.
“Modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya yang terkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama, berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan” (Field 2010:23).
91
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Bourdieu (dalam Field 2010) meyakini bahwa modal
merupakan akumulasi kerja. Modal tidak semata-mata dilihat
dari aspek ekonomi, sebab dalam ekonomi motif utamanya
adalah mencari laba, yang diarahkan untuk memenuhi
kepentingan diri. Modal budaya dan modal sosial harus
diperlakukan sebagai aset yang merepresentasikan produk
akumulasi kerja. Volume modal sosial yang dimiliki agen
tergantung pada jumlah koneksi yang dapat dimobilisasi.
Melalui koneksi, modal sosial dibarengi kehormatan dan harga
diri dapat digunakan untuk memperoleh kepercayaan diri
sebagai anggota kelompok masyarakat kelas atas atau bahkan
dipakai untuk berkarir pada bidang politik. Ini berlaku bagi
mereka yang memiliki ijazah dengan profesi tertentu, seperti
pengacara atau dokter. Namun mereka yang mengandalkan
kualifikasi ijazah tanpa ada koneksi, mereka hanya punya modal
manusia, tetapi tidak memiliki modal budaya dan sosial.
Bourdieu (dalam Field 2010) mengakui bahwa koneksi tidak
berjalan dengan sendirinya, ia memerlukan kerja. Solidaritas
dalam jaringan hanya mungkin terjadi ketika anggota di
dalamnya meningkatkan laba, baik yang bersifat material
maupun simbolik. Hal ini memerlukan strategi investasi, secara
individual maupun kolektif, yang bertujuan untuk
mentransformasikan hubungan-hubungan yang terus
berlangsung, seperti hubungan di kampung atau tempat kerja
atau dalam hubungan kekerabatan, menjadi hubungan sosial
yang secara langsung dapat digunakan dalam jangka pendek
atau pun jangka panjang.
Sebagaimana dijelaskan Bourdieu (dalam Field 2010), modal
sosial hanya dapat dimiliki oleh kaum elit, yang dirancang
untuk mengamankan posisi relatif mereka. Pendidikan dan
kekayaan misalnya, dapat digunakan oleh kelompok tertentu
untuk menjaga status dan posisi mereka, serta dapat digunakan
untuk melakukan kekerasan simbolis terhadap kelompok
lainnya yang kurang atau tidak memiliki pendidikan dan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
92
kekayaan. Dalam tulisan berjudul Kekerasan Simbolis dan
Reproduksi Sosial, Bourdieu (dalam Jenkins 2004), percaya
bahwa elit atau penguasa dapat menggunakan kekerasan
simbolis, yaitu suatu pemaksaan sistem simbolisme dan makna
terhadap kelompok sedemikian rupa, sehingga hal itu dialami
sebagai sesuatu yang sah.
Legitimasi dibangun untuk meneguhkan relasi kekuasaan
yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Dalam hal ini,
kebudayaan dipakai sebagai sistem makna untuk memperkuat
dirinya melalui relasi kekuasaan yang memberikan kontribusi
kepada reproduksi sistematis mereka. Hal ini dilakukan melalui
proses misrecognition, yaitu proses di mana relasi kekuasaan
tidak dipersepsikan secara objektif, namun dalam bentuk yang
menjadikan mereka (elit) absah di mata penganutnya.
Penggunaan kekerasan simbolis pada prinsipnya merupakan
tindakan pedagogis, berwujud pendidikan yang tersebar luas,
pendidikan keluarga, dan pendidikan institusional. Ketika
mereproduksi kebudayaan dalam segala kesemrawutannya,
tindakan pedagogis juga mereproduksi relasi kekuasaan yang
menjamin keberlangsungannya. Tindakan pedagogis ini
mencerminkan kepentingan kelompok atau kelas dominan yang
cenderung mereproduksi distribusi modal kultural secara tidak
merata antarkelompok atau antarkelas yang hidup dalam ruang
sosial, sehingga mereproduksi struktur sosial.
Tindakan pedagogis memerlukan otoritas pedagogis sebagai
prasyarat keberhasilan tindakan pedagogis. Otoritas ini
merupakan kekuasaan arbitrer untuk bertindak tanpa disadari
oleh pelaku dan para penganutnya sebagai sesuatu yang
legitimate. Tindakan pedagogis dihasilkan oleh kerja pedagogis,
yaitu suatu proses indoktrinasi yang berlangsung cukup lama
melalui apa yang oleh Bourdieu disebut dengan habitus. Kerja
pedagogis ini merupakan pengganti kerja fisik dan koersi.
93
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Konsep kekerasan simbolik Bourdieu ini mirip dengan
konsep hegemoni Gramsci. Konsep hegemoni menawarkan
gagasan tentang bagaimana kekuasaan bisa diterima oleh pihak
yang dikuasai (Sugiono 1999). Melalui hegemoni, pihak ruling class atau siapapun yang ingin memiliki kekuasaan
menancapkan hegemoni melalui kepemimpinan moral dan
intelektual secara konsensual. Konsep hegemoni ini berbeda
dengan dominasi. Kekuasaan dalam dominasi ditopang oleh
kekuatan fisik, sedangkan dalam hegemoni, kekuasaan
kelompok atau elit diperoleh secara konsensual. Dari
strateginya yang tidak mengandalkan kekuatan fisik dan koersi,
maka dapat disimpulkan bahwa konsep hegemoni Gramsci tidak
berbeda secara substansial dengan konsep kekerasan simbolis
Bourdieu.
Pemkot Semarang dan kebanyakan pemerintah daerah
lainnya dalam melaksanakan pembangunan ditengarai
menggunakan kekerasan simbolik (dalam bentuk peraturan
daerah atau peraturan bupati/walikota) untuk menjinakkan
warganya. Kekerasan simbolis (Bourdieu) atau hegemoni (Gramsci) dilakukan dengan dalih untuk kepentingan
pembangunan, yang pada gilirannya dapat memperteguh
keabsahan kekuasaan para penguasa.
5. Unsur-unsur Modal Sosial
Modal sosial memiliki unsur-unsur yang jika semuanya
berfungsi akan memiliki manfaat besar dalam bidang ekonomi,
politik, dan sosial. Unsur-unsur modal sosial meliputi
kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan (network).
Kepercayaan atau trust (dalam bahasa Inggris) bisa bermakna
sebagai kata benda dan kata kerja (Lawang 2005:45). Sebagai
kata benda, trust berarti kepercayaan, keyakinan, atau rasa
percaya; sedangkan sebagai kata kerja, trust berarti proses
mempercayai sesuatu yang jelas sasarannya. Kepercayaan (trust)
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
94
antar manusia memiliki tiga komponen penting, yaitu (1)
hubungan sosial antara dua orang atau lebih, (2) harapan yang
akan terkandung dalam hubungan tersebut, yang jika
direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah
pihak, (3) interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan
harapan tersebut terwujud (Lawang 2005:45-46).
Hubungan sosial berlangsung melalui struktur sosial, mulai
dari yang paling kecil (mikro) hingga yang paling besar (makro).
Dalam hubungan sosial ini, harapan yang ada pada seseorang
bisa berupa dari yang kurang mengharapkan dan sangat
mengharapkan atau bisa berupa rumusan hipotetik, semakin
kuat dan baik hubungan sosial semakin tinggi harapan yang
ingin diperoleh. Harapan menunjuk pada sesuatu yang masih
akan terjadi di masa yang akan datang, baik dalam jangka
pendek maupun dalam jangka panjang (Lawang 2005:46).
Bagi seseorang, harapan berkaitan dengan sesuatu yang
menjadi cita-cita untuk diwujudkan. A percaya kepada B
dengan harapan ia akan memperoleh sesuatu yang berguna
dirinya dan mungkin juga bagi B. Jika harapan tersebut hanya
berguna bagi A saja, harapan tersebut bersifat unilateral.
Orangtua (A) berharap agar anaknya (B) bisa menjadi “wong”
(dalam bahasa Jawa, orang yang berhasil ketika sudah besar).
Apabila anaknya (B) mengetahui bahwa itulah harapan
orangtua dan bersikap dan bertindak sesuai dengan harapan
orangtua, maka harapan tersebut berubah sifatnya menjadi
bilateral atau saling mengharapkan.
Selain komponen hubungan sosial dan harapan, aspek
interaksi sosial merupakan bagian penting dari kepercayaan.
Salah satu konsep yang memiliki kaitan erat dengan interaksi
sosial adalah tindakan sosial. Tindakan sosial menunjuk pada
apa yang dilakukan oleh individu dalam mewujudkan sebuah
kepercayaan atau harapan, yang sifatnya unilateral; sedangkan
interaksi sosial merujuk pada apa yang dilakukan oleh kedua
95
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
belah pihak yang secara bersama-sama sadar dalam
mewujudkan harapan dari masing-masing pihak terhadap satu
sama lainnya (Lawang 2005:47).
Dalam hubungan kepercayaan, terdapat dua pihak, yaitu
pihak yang mempercayai atau trustor dan pihak yang dipercayai
atau trustee. Kedua-duanya memiliki tujuan untuk memenuhi
kepentingan mereka (Coleman 2009). Seorang pemberi
kepercayaan (trustor) harus memutuskan apakah akan menaruh
kepercayaan atau tidak dan juga trustee memiliki pilihan untuk
memutuskan apakah akan menjaga kepercayaan atau akan
mengkhianati kepercayaan yang diberikan. Seorang pemberi
kepercayaan (trustor) umumnya adalah agen rasional. Biasanya
ia akan memberikan kepercayaan kepada penerima kepercayaan
(trustee) ketika rasio peluang perolehan dengan peluang
kekalahannya lebih besar daripada rasio jumlah potensi
kerugian dengan jumlah potensi keuntungan.
Trustee yang menerima kepercayaan akan mengubah relasi
asimetris menjadi relasi simetris, ketika ia merasakan ada
keuntungan timbal balik yang dapat diperoleh dan diharapkan
dari si trustor. Ketika penerima kepercayaan (trustee)
melakukan tindakan yang jauh lebih menguntungkan daripada
sekadar membalas kewajiban, maka penerima kepercayaan
(trustee) telah menunaikan kewajiban dan sekaligus
menciptakan kewajiban bagi pemberi kepercayaan (trustor).
Kewajiban ini tercipta jika balasan kewajiban tersebut tidak
hanya bernilai dan menguntungkan si pemberi kepercayaan
(trustor), tetapi juga menuntut pengorbanan dari si penerima
kepercayaan (trustee) melebihi nilai kebaikan awal yang
diterimanya (Coleman 2009).
Resiko merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari dalam
hubungan kepercayaan. Dalam kaitannya dengan resiko,
muncul suatu hipotesis bahwa semakin tinggi saling percaya
antara mereka yang bekerjasama, semakin kurang resiko yang
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
96
ditanggung dan semakin kurang pula biaya (uang atau sosial)
yang dikeluarkan. Dalam pandangan Mollering (sebagaimana
dikutip Lawang 2005), konsep kepercayaan berkaitan dengan
suatu keadaan yang mengharapkan orang lain bertindak dan
bermaksud baik bagi kita. Demikian pula, Torsvik
mengungkapkan bahwa dalam kepercayaan terkandung
kecenderungan perilaku tertentu yang dapat mengurangi resiko
yang muncul dari perilakunya (Lawang 2005).
Fungsi kepercayaan menurut Torsvik adalah (1) sebagai
aset, kalau A dan B saling percaya dan masing-masing dari
mereka merasa yakin bahwa tak seorang pun dari antara mereka
bertindak oportunistik, (2) kepercayaan ini berawal dari
harapan saja. A berharap jika dia melakukan transaksi
perdagangan dengan B, tidak akan merugikannya, karena dia
yakin bahwa B tidak akan bertindak oportunistik, (3) dengan
kondisi seperti ini, maka proses transaksi yang diharapkan A
dari B tergantung pada resiko yang muncul dari perilaku B
(Lawang 2005).
Dari studi empirik yang dilakukan Beugelsdijk (2009:68)
dilaporkan bahwa kepercayaan (trust) eksis dalam
mempromosikan pertumbuhan dan berperan mengurangi biaya
transaksi. Ini adalah trust dalam level makro. Kepercayaan
(trust) seperti ini, menurut Beugelsdijk (2009:70) tergantung
pada bagaimana janji dipelihara dan ditepati serta bagaimana
pula dapat diperoleh informasi yang terpercaya. Pada level
mikro, trust dipahami sebagai sifat-sifat individu atau
karakteristik hubungan antar individu.
Perusahaan-perusahaan misalnya, membangun trust berdasarkan norma keadilan dan kepercayaan berbasis
pengetahuan dalam interaksi yang sedang berlangsung. Trust sebagaimana dipahami Beugelsdijk ini tidak hanya berlangsung
di antara pengusaha yang memiliki kapital, tetapi juga pada
pedagang kecil (PKL). Dalam berbagai aktivitas jual beli para
97
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
pedagang kecil, menjadi hal biasa ketika ada pedagang yang
kehabisan stok barang, ia dapat mengambil (meminjam) barang
pedagang lainnya untuk memenuhi kebutuhan pembeli.
Pedagang batik di pasar Klewer Surakarta misalnya, ia dapat
mengambil atau meminjam baju batik yang dibutuhkan pembeli
ketika ia kehabisan stok. Barang atau uang akan dibayarkan
setelah baju tersebut terjual. Dalam penelitian Handoyo, Eko
Prasetyo, dan Siti Maesaroh (2009) tentang Peran Penguatan
Modal Sosial Melalui Usaha Ekonomi Rakyat Untuk
Pemberdayaan Masyarakat Pasca Gempa Bumi di Yogyakarta
ditemukan adanya kerjasama, berbagi informasi, dan saling
percaya di antara pengrajin keris di Imogiri Yogyakarta. Dalam
pembuatan keris, tidak ada pengrajin yang memonopoli semua
komponen keris. Ada orang yang ahli dalam membuat keris
atau “wilah”, ada yang pandai membuat pegangan, dan lainnya
terampil dalam membuat wadah atau “warongko”.
Adanya bantuan promosi melalui web, pesanan keris baik
dari dalam maupun luar negeri menjadi bertambah.
Bertambahnya pesanan ini mengharuskan pengrajin harus
meningkatkan produksinya, tetapi karena satu kelompok
pengrajin tudak mampu memenuhi seluruh permintaan
tersebut, pengrajin yang kelebihan order akan meminta
pengrajin lain untuk ikut memproduksi keris. Hal ini dilakukan
atas dasar perasaan saling percaya di antara pengrajin. Aktivitas
jual beli atau transaksi ekonomi ini tidak akan terjadi jika tidak
ada trust atau perasaan saling percaya di antara para pedagang.
Praktik ekonomi pedagang kecil ini berkaitan dengan nilai
budaya Jawa yang selama ini “diugemi” (dipegang teguh), yaitu
“tuno satak bati sanak”, artinya tidak memperoleh untung
banyak tidak apa-apa, asalkan masih banyak saudara atau teman
yang dapat dimintai bantuan ketika ada persoalan yang
dihadapi.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
98
Herreros (2004) memandang trust sebagai konsep yang
abstrak, lalu ia membahas konsep yang lebih konkrit, yaitu
keputusan untuk percaya (decision to trust). Keputusan untuk
percaya berhubungan dengan resiko. Individu biasanya
dihadapkan pada keputusan untuk percaya atau tidak percaya.
Berkaitan dengan konsep trust, Herreros (2004) mengemukakan
konsep penting dari trust, yaitu keuntungan potensial
(potential gains) dan biaya potensial (potential cost). Individu
akan percaya orang lain jika ada kemungkinan memperoleh
potensi keuntungan darinya, sebaliknya ia tidak menghargai
kepercayaan tersebut apabila ia justru mendapatkan biaya
potensial dari kepercayaan yang telah ia berikan kepada orang
lain. Seseorang berani mengambil resiko jika keuntungan
potensial lebih tinggi daripada biaya potensial yang
dikeluarkan. Keputusan untuk percaya tersebut merupakan
sesuatu yang rasional, karena keputusan tersebut mengkalkulasi
antara keuntungan potensial dan biaya potensial.
Herreros (2004) tidak memandang kepercayaan sebagai
unsur atau bentuk modal sosial. Modal sosial merupakan
kewajiban timbal balik dan informasi, yang kedua-duanya
diperoleh dari keanggotaannya dalam jaringan sosial. Meskipun
kepercayaan bukan bentuk dari modal sosial, tetapi kepercayaan
dapat memainkan peran antara di antara anggota jaringan sosial
dan membangkitkan modal sosial. Keanggotaan dalam jaringan
sosial tersebut, menghasilkan hubungan yang didasarkan atas
kepercayaan.
Simmel mengemukakan konsep yang berbeda tentang
kepercayaan (trust). Menurut Simmel (dalam Lawang 2005:50),
tanpa adanya saling percaya yang merata antara satu orang
dengan orang lainnya, masyarakat itu sendiri akan disintegratif
dan kepercayaan itu merupakan salah satu kekuatan sintetik
yang paling penting dalam masyarakat. Kepercayaan menjadi
basis bagi tindakan individu. Kepercayaan menurut Simmel
99
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
(dalam Lawang 2005:50-51) memiliki tiga bentuk sebagai
berikut.
Uang yang bersifat material dan kredit merupakan bentuk
pertama dari kepercayaan. Lembaga (A) percaya bahwa uang
yang dipinjam B pasti akan dikembalikan dengan jaminan,
artinya bahwa kepercayaan lembaga itu muncul karena tahu
akan jaminan yang nilainya paling kurang sepadan dengan nilai
pinjaman yang secara riskan sudah diperhitungkan.
Kepercayaan seperti itu disebut sebagai kepercayaan berbasis
pengetahuan, kepercayaan bersyarat, kepercayaan strategis,
kepercayaan penuh perhitungan sama-sama untung dan adil
atau kepercayaan materialistik. Kepercayaan tersebut menurut
Simmel lebih tepat disebut sebagai kepercayaan moralistik.
Bentuk kedua dari kepercayaan Simmel adalah confidence.
Kepercayaan ini mengantarai pengetahuan dan ketidaktahuan
seseorang. Menurut Simmel (dalam Lawang 2005:51),
confidence bermakna percaya antar orang dengan dirinya
sendiri, tetapi mungkin juga menyangkut percaya pada orang
lain, tetapi dalam hubungan yang sangat rahasia (confidential).
Bentuk kepercayaan yang ketiga menurut Simmel adalah
apa yang disebut dengan masyarakat rahasia (secret society).
Hubungan internal utama yang khas dalam masyarakat rahasia
adalah kepercayaan timbal balik antara para anggotanya. Tujuan
kerahasiaan adalah perlindungan. Dari semua tindakan
perlindungan, yang paling mendasar adalah membuat seseorang
itu tidak kelihatan. Masyarakat rahasia menurut Simmel, dalam
kenyataannya terdiri atas elemen-elemen. Masing-masing
elemen mungkin hidup dalam suatu bentuk interaksi yang
intensif, tetapi hubungan tersebut pada dasarnya penuh dengan
rahasia. Contoh yang paling jelas dari masyarakat rahasia adalah
kelompok atau geng penipu, mafia, atau kelompok seks bebas,
yang pada prinsipnya satu sama lain tidak saling mengetahui,
tetapi keseluruhannya merupakan masyarakat penuh rahasia.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
100
Contoh lainnya adalah kerahasiaan nasabah Bank yang dijamin
dan dilindungi oleh Bank yang bersangkutan. Kerahasiaan
masyarakat seperti itu menjadi perlindungan tidak saja bagi
individu yang merupakan anggota dari elemen-elemen itu,
tetapi juga bagi elemen kelompok itu sendiri yang
mengembangkan dan mungkin hidup dalam penuh kerahasiaan.
Bukan individu yang disembunyikan, melainkan kelompok
yang mereka bentuk, demikian kata Simmel.
Kepercayaan tidak tumbuh dengan sendirinya. Ada
mekanisme atau alasan-alasan mengapa kepercayaan muncul.
Mengapa A percaya B? Lawang (2005:54) mengemukakan
beberapa kemungkinan mengapa A bisa percaya kepada B.
Pertama, karena A mengenal B. Kepercayaan ini muncul
berbasis pengetahuan (knowledge based trust). Mengenal tidak
selalu menimbulkan kepercayaan. Kenal yang menghasilkan
kepercayaan adalah kenal orang menurut penilaian si pengenal.
Rumusan hipotetiknya adalah A mengenal B, lalu percaya,
karena nilai A dianut oleh B. Ini artinya, mengenal berarti
menilai orang menurut nilai si pengenal. Penilaian seperti itu
masih bersifat sepihak, karena memang belum terjadi interaksi
antar keduanya.
Kedua, mengenal orang berarti mengetahui semua data
pribadi yang dapat diperoleh , baik secara fisik, psikologis,
maupun sosial. Data pribadi tersebut dapat diperoleh dengan
berbagai cara, bisa lewat facebook, twitter, blog pribadi, dan
yang lain, namun data tersebut belum tentu akurat, bisa kurang
lengkap atau bahkan manipulatif. Pengenalan seseorang
terhadap lainnya bersifat terbatas. Seperti diungkapkan Simmel
(dalam Lawang 2005), setiap individu tetap menjadi rahasia
bagi orang lain. Namun demikian, untuk mengetahui lebih
dekat tentang pribadi orang lain, yang paling baik adalah
dengan mengetahui kehidupannya sehari-hari.
101
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Ketiga, kenal tentu ada batas-batas cakrawalanya. Keluarga
adalah lingkaran yang paling dalam, menyusul persahabatan
sebagai lingkaran luarnya, lapis luar berikutnya adalah orang
yang dikenal secara sepintas, dan lingkaran terakhir adalah
orang asing yang tidak dikenal.
Keempat, proses kenal pasti bersifat personal, sehingga
kepercayaan yang muncul dari proses ini bersifat personal pula.
Kelima, keputusan bahwa seseorang layak dipercaya dengan
dasar yang terbatas, masih harus diuji melalui interaksi sosial.
Berbagai alasan dan kemungkinan di atas berkaitan dengan
bagaimana A percaya kepada B atau kepercayaan yang sifatnya
linier. Untuk menjawab pertanyaan mengapa A dan B saling
percaya atau kepercayaan timbal balik, Lawang (2005:55)
mengemukakan enam jawaban berikut.
(1) Keduanya saling kenal. Diakui bahwa tidak semua orang
yang saling kenal, menghasilkan saling percaya, tetapi
saling kenal adalah salah satu variabel penting dalam proses
terjadinya saling percaya, yang oleh beberapa ahli disebut
sebagai pelumas.
(2) Keduanya memiliki nilai yang sama. Nilai yang sama
muncul karena interaksi sosial yang dapat dilihat dalam
hubungan persahabatan atau keluarga. Sosialisasi yang
dilakukan masyarakat juga dapat menciptakan nilai
bersama.
(3) Keduanya memiliki kepentingan yang sama yang tanpa
kehadiran salah satunya akan mendatangkan kegagalan.
(4) Karena percaya saja. A percaya B, karena B percaya A.
Kepercayaan seperti ini merupakan kepercayaan asumtif,
yakni percaya karena percaya saja. Misalnya orang Jawa
bertemu dengan orang Jawa di Papua, keduanya langsung
percaya, karena keduanya dari suku yang sama, yaitu Jawa.
Saling percaya ini oleh Uslaner (dalam Lawang 2005)
disebut dengan generalized trust.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
102
(5) Kepercayaan di antara keduanya akan timbul, kalau
ekspektasi masing-masing terpenuhi. A memperoleh apa
yang diharapkan dari B karena kepercayaan yang diberikan
dan B memperoleh apa yang diharapkannya, karena
pelaksanaan tugas kepercayaan.
(6) Karena keduanya setia pada janji memenuhi kewajiban dan
melaksanakan tugas serta setia pada nilai dan norma.
Dalam hal ini, kesetiaan dan komitmen merupakan bagian
dari saling percaya yang sangat fundamental.
Saling percaya bukanlah sesuatu yang statis sifatnya.
Pertanyaan yang muncul adalah untuk apa A dan B saling
percaya? Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, Lawang
(2005:56-57) mengutarakan tiga kemungkinan berikut.
Pertama, A dan B saling percaya adalah untuk
meningkatkan percaya diri (self confidence). Kalau A percaya
kepada B untuk melakukan sesuatu hal, dan B sungguh-sungguh
memenuhi kewajibannya dan malah bertindak lebih, maka
kepercayaan yang semula bersifat sepihak menjadi dua belah
pihak. Hasilnya adalah A memanen hasil kepercayaan yang
diberikan kepada B, sehingga dia lebih percaya diri lagi dan
bahwa percaya kepada orang yang tepat tersebut merupakan
suatu keputusan yang tepat. Sebaliknya, percaya diri B juga
meningkat, karena dia membuktikan bahwa harapan A
terhadapnya tidak sia-sia. Dengan demikian, kepercayaan yang
bersifat unilateral berubah menjadi kepercayaan bilateral.
Kedua, saling percaya juga dipakai untuk meningkatkan
kerjasama, kebersamaan, sehingga rumusan A percaya B untuk
melakukan X menjadi A percaya B untuk tujuan bersama.
Ketiga, karena A dan B saling butuh. Kepercayaan yang
diberikan A kepada B merupakan refleksi dari keterbatasan A
yang tidak mungkin mampu melakukan semua dengan
kekuatan sendiri. Kepercayaan seperti ini bersifat sosial
antropologi.
103
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Setiap jenis interaksi dan kerjasama mensyaratkan adanya
norma bersama (Sztompka 2004). Norma secara relatif bersifat
stabil dan menentukan perilaku individu. Norma lahir dari
proses sosialisasi yang terjadi dalam suatu struktur sosial. Norma
(norm) berbeda dengan aturan (rule). Norma bersifat intrinsik,
sedangkan aturan (rule) bersifat ekstrinsik. Norma terasimilasi
dalam proses belajar sosial, sedangkan aturan (rule)
mengandaikan adanya pihak yang mengontrol dan
menginterpretasikan norma (Titov 2006). Aturan berkaitan
dengan proses implementasi, ketika norma gagal berfungsi
sebagai regulasi.
Norma bersama dan simbol yang bermakna sama dapat
digunakan seseorang dalam suatu struktur sosial untuk
memprediksi perilaku orang lain dalam struktur tersebut.
Norma muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan
(Lawang 2005:70). Asumsinya adalah jika dalam pertukaran
pertama, keduanya saling menguntungkan, akan muncul
pertukaran kedua, dan seterusnya dengan harapan akan
diperoleh keuntungan timbal balik. Jika pertukaran saling
menguntungkan terjadi berulang-ulang dan bersifat tetap, maka
akan muncul norma kewajiban sosial, yang membuat hubungan
pertukaran saling menguntungkan keduanya dan dengan
demikian, hubungan pertukaran terpelihara dengan baik.
Norma juga bersifat resiprokal, dalam arti isi norma
menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang dapat
menjamin keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan
tertentu. Orang yang melanggar norma resiprokal ini, akan
berkurang keuntungannya, bahkan bisa juga ia terkena sanksi.
Akhirnya, jaringan yang terbina lama dan mampu menjamin
keuntungan kedua belah pihak, akan melahirkan norma
keadilan.
Norma merupakan bagian dari suatu kelembagaan, yakni
suatu norma kaidah peraturan atau organisasi yang
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
104
memudahkan organisasi melakukan koordinasi dalam
membentuk harapan masing-masing yang mungkin dapat
dicapai dengan saling bekerjasama (Rintuh 2005:3).
Kelembagaan memiliki tiga komponen, yaitu aturan formal,
aturan informal, dan mekanisme penegakan. Kelembagaan
memiliki tiga fungsi, yaitu (1) memberikan pedoman,
bagaimana seseorang harus bersikap dan berperilaku dalam
menghadapi masalah kehidupan, (2) menjaga keutuhan
masyarakat, (3) memberikan pegangan kepada masyarakat
untuk melakukan pengendalian sosial atau menjadi sistem
pengawasan tingkah laku (Sukmana 2005:23).
Selain sebagai pedoman tingkah bagi anggota suatu struktur
sosial, norma atau kelembagaan juga menjadi aturan yang
membatasi perilaku menyimpang manusia, meminimalisasi
perilaku manusia yang menyimpang, menciptakan ketertiban,
dan mengurangi ketidakpastian dalam melakukan pertukaran
(North 1994:360).
Jaringan (network) merupakan unsur modal sosial selain
kepercayaan dan norma, yang berperan penting dalam
membangun modal sosial. Jaringan dalam teori modal sosial
memiliki enam makna (Lawang 2005:62).
Pertama, ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok)
yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial). Hubungan
sosial tersebut diikat oleh kepercayaan dan kepercayaan
tersebut dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah
pihak.
Kedua, ada kerja antar simpul (orang atau kelompok), yang
melalui media hubungan hubungan sosial menjadi satu
kerjasama, bukan kerja bersama-sama.
Ketiga, seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus),
kerja yang terjalin antar simpul pasti kuat menahan beban
bersama.
105
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Keempat, dalam kerja jaring itu ada ikatan (simpul) yang
tidak dapat berdiri sendiri. Jika salah satu simpul putus, maka
akibatnya keseluruhan jaring tidak bisa berfungsi lagi, sampai
simpul tersebut diperbaiki lagi.
Kelima, media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat
dipisahkan atau antara orang-orang yang berada dalam dan
terhubung oleh jaringan, tidak dapat dipisahkan.
Keenam, ikatan atau pengikat (simpul) dalam modal sosial
merupakan norma yang mengatur dan menjaga bagaimana
ikatan dan medianya dipelihara dan dipertahankan.
Jaringan terjadi dalam tiga bentuk, yaitu jaringan antar
personal, jaringan antara individu dengan institusi, dan jaringan
antar institusi (Lawang 2005). Jaringan mulanya terjadi antar
personal. Meskipun orang membuka jaringan dengan organisasi
atau sebuah yayasan, tetap saja yang berkomunikasi adalah
orang yang mewakilinya, bukan organisasinya. Inilah yang
dimaksud dengan jaringan antar personal. Jaringan antar
personal memiliki beberapa bentuk.
Pertama, jaringan duaan (dyadic) tunggal, menunjuk pada
jaringan yang terbentuk antara dua orang saja, tanpa ada
jaringan lainnya. Jaringan ini membentuk struktur yang paling
sederhana, yaitu struktur duaan. Gambar berikut adalah
jaringan duaan tunggal.
Gambar 5. Hubungan Jaringan Duaan
Kedua, jaringan duaan ganda, menunjuk pada jaringan yang
terbentuk antara A dengan B, C, D, dan E; tanpa ada saling
hubungan antara B, C, D, dan E. Seorang pengusaha restoran di
Bali (A) membuka jaringan dengan pemasok sayur (B) dari
Malang, dengan pemasok daging dari beberapa desa di Bali (C)
B A
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
106
dan beberapa pemandu wisata lokal (D dan E). Hubungan
antara A dan jaringan duaan ganda tersebut dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 6. Jaringan Duaan Ganda
Ketiga, jaringan duaan ganda berlapis, menunjuk pada
hubungan antara A dengan beberapa satuan hubungan duaan
ganda lainnya. Hubungan tersebut dinamakan hubungan
berlapis, karena B, C, dan D masing-masing dapat
mengembangkan hubungan duaannya sendiri. Mengacu pada
contoh pengusaha restauran di Bali, maka pola hubungan yang
terjadi menghasilkan (1) A menjadi pusat utama, yang saling
tergantung secara langsung dengan B, C, dan D dan secara tidak
langsung dengan B1, B3, D1, D3, C1, dan C3; (2) A menjadi
utama, karena usaha restaurannya secara tidak langsung
berjalan melalui B, C, dan D dan mendorong petani di Malang,
di Bedugul, atau di tempat lainnya untuk menanam sayur dan
memelihara ternak yang dibutuhkan untuk memasok sayuran;
(3) A menjadi utama, karena B, C, dan D menjadi utama untuk
hubungan duaannya di masing-masing tempat; (4) A menjadi
sentral, tetapi sentralitas tersebut tidak membuatnya berkuasa,
karena hubungan dengan B, C, dan D didasarkan pada
hubungan pertukaran yang saling menguntungkan; (5)
hubungan antara A dengan B, C, dan D menjadi hubungan
duaan, sehingga tidak terjadi koalisi antara B, C, dan D untuk
menghancurkan A; dan (6) B, C, dan D adalah pusat-pusat kecil
yang berkembang karena A. Gambar berikut ini menunjukkan
hubungan duaan ganda berlapis.
A
B
C
D
E
107
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Gambar 7. Hubungan Duaan Ganda berlapis
Keempat, secara matematis, jaringan tigaan, empatan, atau
limaan dapat saja terbentuk. Jika ini terjadi, strukturnya
menjadi lain dan lebih rumit.
Meskipun institusi atau lembaga sering diwakili oleh orang,
namun institusi tetap dipandang penting, sebab sebagaimana
dikatakan Putnam, keanggotaan warga dalam beberapa institusi
memungkinkannya mampu mengatasi berbagai masalah
(Lawang 2005:67). Apa yang dilakukan institusi terhadap
individu dan apa yang harus dikerjakan individu untuk
institusi? Agama adalah salah satu contoh institusi yang berlaku
bagi setiap orang. Orang bisa saja selesai dari kuliah, orang bisa
berhenti berorganisasi, orang bisa berhenti bekerja atau
pensiun, tetapi tidak ada orang yang berhenti dari beragama.
Wujud agama yang paling menonjol adalah organisasinya,
yakni bagaimana kehidupan beragama dikelola dan diatur
menjadi sejumlah kegiatan riil. Misalnya, jika ada yang
meninggal, orang diminta untuk memandikan, mengafani,
menyolati, dan menguburkannya. Apabila di suatu kampung,
belum ada masjid yang representatif, maka warga diminta untuk
mencari dan mengumpulkan dana untuk membangun masjid
yang layak untuk tempat beribadah. Institusi agama tanpa orang
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
108
tidak mungkin akan berfungsi. Demikian pula, dibangun sebuah
masjid yang megah atau gereja yang besar, tetapi tidak ada
jamaahnya, maka fungsi institusi agama tidak akan berjalan.
Jadi, yang penting bukan gedung tempat beribadahnya,
melainkan adalah orang-orang yang berdoa dan menjalankan
ibadahnya di tempat ibadah tersebut. Atas dasar inilah, Putnam
(2000) sampai pada kesimpulan bahwa jaringan yang terbentuk
antara orang dan institusi, sesungguhnya merupakan jaringan
hubungan antara orang dengan orang.
Jaringan antar institusi sudah banyak terbentuk di
Indonesia, misalnya jaringan masyarakat anti korupsi, yang
mempertemukan elemen-elemen masyarakat yang peduli
terhadap masa depan Indonesia yang bersih dari korupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) merupakan contoh nyata
dari jaringan anti korupsi, yang sering menjadi rujukan dan
tempat memperoleh informasi bagi organisasi anti korupsi di
daerah-daerah mengenai tindak korupsi yang dilakukan oleh
pejabat atau oknum pemerintah. Dahulu pernah dibentuk
sebuah Forum Demokrasi, yang merupakan forum kajian
terhadap masa depan demokrasi di Indonesia. Forum ini
diketuai oleh mantan Presiden Indonesia, yakni Gus Dur.
Jaringan atau forum tersebut berbicara atas nama
institusinya, tetapi memiliki visi dan misi yang sama. Dalam
jaringan atau forum tersebut akan terbentuk modal sosial yang
menjembatani (bridging social capital) di antara anggota
jaringan atau forum.
Jaringan (network) ada yang bersifat positif, misalnya
jaringan bisnis perhotelan dan ada juga yang bercorak negatif,
misalnya jaringan perdagangan obat bius dan jaringan teroris.
Jaringan juga ada yang bersifat tertutup, seperti jaringan mafia
hukum dan jaringan teroris dan ada yang terbuka, seperti
jaringan relawan anti perdagangan perempuan dan anak.
109
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Jaringan sosial umumnya memiliki fungsi ekonomi dan
kesejahteraan sosial (Lawang 2005:68). Fungsi ekonomi jaringan
terletak pada produktivitas, efisiensi, dan efektivitasnya yang
tinggi; sedangkan fungsi kesejahteraan sosial menunjuk pada
dampak partisipatif dan kebersamaan yang diperoleh dari suatu
pertumbuhan ekonomi. Jaringan seperti ini termasuk unsur
penting dari kapital atau modal sosial. Menjadi modal sosial,
karena fungsinya positif bagi masyarakat. Sebagai pelumas
kegiatan ekonomi, jaringan bersifat terbuka, yang memberi
kesempatan kepada publik untuk menilai fungsinya yang
mendukung kepentingan masyarakat. Jaringan klik dalam
birokrasi yang tertutup yang di dalamnya sarat dengan aroma
korupsi, tidak termasuk jaringan dalam modal sosial.
Jaringan atau network dimasuki orang atau kelompok tentu
saja memiliki fungsi yang beragam, tidak hanya semata-mata
berkaitan dengan masalah ekonomi. Mengacu pada berbagai
pandangan para ahli, Lawang (2005:69) mencatat ada tiga fungsi
jaringan, yaitu fungsi informasi, fungsi akses, dan fungsi
koordinasi.
Fungsi informasi atau media informasi dari jaringan,
memungkinkan setiap stakeholder dalam jaringan itu dapat
mengetahui dan memperoleh informasi yang berkaitan dengan
masalah, peluang atau apa pun mengenai kegiatan usaha. Fungsi
informasi ini disebut juga fungsi pelumas atau fungsi peluang.
Fungsi akses menunjuk pada kesempatan yang dapat
diberikan oleh adanya jaringan dengan orang lain, dengan
menyediakan suatu barang atau jasa yang tidak dapat dipenuhi
secara internal oleh organisasi.
Fungsi koordinasi dari jaringan lebih banyak dijumpai
dalam kegiatan-kegiatan informal, yang oleh Fukuyama, justru
membantu mengatasi masalah kebuntuan yang disebabkan oleh
keterbatasan birokrasi pemerintah (Lawang 2005:69). Fungsi
koordinasi ini berkaitan dengan fungsi jaringan lainnya, seperti
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
110
informasi dan akses, sehingga modal sosial memiliki kontribusi
yang signifikan utamanya dalam kegiatan ekonomi.
Berdasarkan tesis Putnam, pada level individual, jaringan
memiliki peran potensial sebagai sumber-sumber keuntungan
dan batas-batas bagi tindakan individu (Beugelsdijk 2009:66).
Pada jaringan tebal dari asosiasi dapat meningkatkan artikulasi
kepentingan dan agregasi kepentingan, serta memberikan
kontribusi membangun efektivitas kolaborasi sosial (Beugelsdijk
2009:72). Jaringan hubungan dan interaksi juga menyediakan
berbagai keuntungan, seperti mendapatkan pekerjaan,
memperoleh informasi, dan meningkatkan akses pada sumber-
sumber (Beugelsdijk 2009:74).
6. Jenis-jenis Modal Sosial
Modal sosial memiliki tipologi yang memberikan karakter
pada suatu kelompok atau komunitas. Ada dua tipe modal
sosial, yang dalam realitasnya dapat diamati di suatu organisasi,
kelompok, atau komunitas. Dua tipe modal sosial ini diduga
melekat pada kelompok PKL yang akan diteliti. Pertama, adalah
modal sosial terikat atau bonding social capital. Kedua, modal
sosial yang menjembatani atau bridging social capital (Hasbullah 2006).
Modal sosial terikat atau bonding social capital cenderung
bersifat ekslusif dan berorientasi ke dalam (inward looking).
Individu yang menjadi anggota kelompok cenderung homogen
dan bersifat konservatif. Solidarity making lebih diutamakan
daripada hal-hal yang lebih nyata untuk membangun diri dan
kelompok sesuai dengan tuntutan nilai-nilai dan norma
masyarakat. Kelompok yang lebih banyak memiliki modal
sosial jenis bonding ini, para anggotanya terhubung secara kuat,
positif, dan bersifat timbal balik (Oh, et.al. 2006). Ikatan
hubungan yang negatif relatif kurang dan jaringan yang
dibentuk cenderung sangat padat atau tebal. Kepercayaan yang
111
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
dibangun diantara anggota sangat kuat dan dalam kelompok
seperti itu, jaringan pertukaran sosial tercipta dengan baik.
Kelompok yang tertutup sangat kuat ini memiliki
kelebihan, seperti kerjasama yang lebih besar, konformitas yang
lebih besar untuk menyetujui norma bersama, berbagi
informasi lebih besar, tetapi cenderung kurang terlibat dalam
kaitannya dengan sesuatu yang berada di luar kelompok.
Namun terlepas dari semua itu, kelompok bertipe bonding
cenderung memiliki efektivitas yang lebih baik.
Tipologi kelompok tertutup dengan modal sosial terikat ini
tampak pada karakter PKL yang ada di kota Semarang. Dari
hasil observasi awal, tampak bahwa kelompok PKL cenderung
loyal dan solider dengan kelompoknya sendiri dan kurang
perhatian atau pun terlibat dengan kelompok PKL lainnya. PKL
terorganisasi atau resmi cenderung kurang apresiatif terhadap
kelompok PKL tidak terorganisasi atau yang sering disebut PKL
liar. Sebaliknya, PKL liar, juga memiliki persepsi yang tidak
jauh berbeda dengan kelompok PKL terorganisasi. Meskipun
tidak ada rivalitas diantara kelompok-kelompok PKL tersebut,
tetapi jika ada PKL yang sedang digusur, PKL lain bukannya
sedih dengan menunjukkan perasaan empati dan simpati, tetapi
justru senang karena kompetitornya berkurang.
Bonding social capital ini mirip dengan thick trust, yaitu
modal sosial yang terbentuk akibat adanya rasa percaya
antarkelompok orang yang saling mengenal (Hasbullah 2006).
Kelompok dengan bonding social capital sebagaimana dijumpai
pada komunitas PKL Basudewo dan PKL Sampangan memiliki
resistensi kuat terhadap perubahan, misalnya berkenaan dengan
kebijakan relokasi.
Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging social capital) merupakan bentuk modern dari suatu pengelompokan,
grup, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip yang dianut
didasarkan pada nilai-nilai universal, seperti persamaan,
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
112
kebebasan, kemajemukan, kemanusiaan, terbuka, dan mandiri
(Hasbullah 2006). Mekanisme perantara dalam hubungan yang
menjembatani ini memutus kesenjangan (gap) diantara
anggota-anggota yang tidak terkoneksi. Lubang struktural
(structural holes) dalam bridging social capital mengandaikan
adanya tipe dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan dimensi
vertikal (Oh, et.al. 2006).
Dimensi pertama menunjukkan apakah individu secara
vertikal terdiferensiasi, misalnya antara mereka yang berposisi
sebagai pemimpin dan yang berkedudukan sebagai pengikut
dan menunjukkan apakah individu secara horizontal
terdiferensiasi, misalnya individu-individu yang memiliki
fungsi yang berbeda di dalam kelompok atau subkelompok.
Kedua, dimensi yang berbeda antara hubungan dalam
kelompok dan hubungan antar kelompok. Modal sosial yang
menjembatani ini dalam realitasnya memberikan kontribusi
besar bagi perkembangan, kemajuan, dan kekuatan masyarakat,
misalnya terkontrolnya perbuatan korupsi, pekerjaan
pemerintah makin efisien, penanggulangan kemiskinan makin
efektif, kualitas hidup manusia makin meningkat, dan bangsa
menjadi semakin kuat.
Dalam konteks PKL, modal sosial yang menjembatani ini,
sangat dibutuhkan tidak hanya dalam mengakses sumber-
sumber informasi terkait dengan masa depan mereka, tetapi
juga memberikan jalur bagi PKL untuk memperkokoh daya
tawar mereka ketika berhadapan dengan kekuasaan.
7. Manfaat Modal Sosial
Sebagaimana sudah dijelaskan di depan bahwa dalam
pembangunan ekonomi terdapat beragam jenis modal atau
kapital yang dapat dimanfaatkan, di antaranya adalah modal
fisik, modal personal, modal ekonomi, modal spiritual, modal
113
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
budaya, dan modal sosial. Seperti halnya modal ekonomi, modal
sosial dapat dipandang sebagai stok yang dapat diperbanyak
atau dilipatgandakan untuk kepentingan sosial dan ekonomi.
Coleman (2009) melihat bahwa modal fisik dan modal manusia
(personal) dalam pemanfaatannya hanya menguntungkan diri
sendiri, sedangkan modal sosial, seperti struktur sosial yang
memungkinkan norma sosial dan sanksi efektif mengatur
tingkah laku masyarakat, akan menguntungkan semua orang
yang menjadi bagian dari struktur sosial tersebut.
Selain yang telah diungkapkan Coleman, masih banyak
literatur atau hasil-hasil penelitian yang menginformasikan
tentang makna atau kontribusi modal sosial terhadap
pembangunan ekonomi dan sosial. Dalam uraian berikut
dikemukakan beberapa hasil penelitian dan tulisan mengenai
peran atau manfaat modal sosial.
Castiglione, et al. (2008) dalam artikelnya berjudul “Social Capital’s Fortune: An Introduction” meyakini bahwa modal
sosial dapat memengaruhi kehidupan politik, aktivitas ekonomi,
dan kesejahteraan sosial. Dalam aspek politik, modal sosial
dapat mendorong partisipasi politik dan mengembangkan
kinerja kelembagaan. Dalam bidang ekonomi, modal sosial
dapat mengarahkan pembangunan, menggerakkan kerjasama di
antara agen-agen ekonomi, dan mengurangi biaya transaksi.
Dalam hal kesejahteraan sosial, modal sosial dapat memfasilitasi
kohesi sosial, dukungan komunitas, dan kepuasan hidup.
Fafchamps and Minten sebagaimana dikutip Grootaert and
Thierry van Bastelaer (2002) dalam penelitian di Madagaskar
menyimpulkan bahwa modal sosial dapat mengurangi biaya
transaksi dan melalui sarana informal dapat memperoleh
jaminan melawan resiko likuiditas.
Dalam artikelnya tentang Peranan Social Capital dalam
Pemberdayaan Masyarakat, Mawardi J. (2007) menyimpulkan
bahwa modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
114
memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat
kewirausahaan di tengah masyarakat, yang pada gilirannya
mendorong berkembangnya dunia industri. Industri besar dan
menengah yang dimiliki investor lokal maupun asing akan
dapat tumbuh besar di tengah masyarakat yang memiliki tradisi
yang mengedepankan nilai kejujuran, keterbukaan dan empati.
Dalam penelitiannya tentang Peranan Modal Sosial dalam
Pengelolaan Sumberdaya Hutan pada Masyarakat Kasepuhan
Banten Kidul, Suharjito dan Gunarto Eko Saputro (2008)
menyimpulkan bahwa masyarakat Kasepuhan telah
membangun dan memelihara aturan-aturan tentang
pengelolaan sumberdaya kehutanan, dengan membuat zonasi,
pelarangan, dan penegakan aturan tersebut. Dampaknya,
masyarakat mematuhi aturan tersebut dan percaya bahwa
aturan tersebut bermanfaat dalam mengelola sumberdaya hutan
secara efektif.
Warren, et al. (2001) dalam tulisannya percaya bahwa
modal sosial memiliki peran dalam memerangi kemiskinan
meskipun tidak secara langsung. Modal sosial mengacu pada
seperangkat sumber daya yang melekat dalam hubungan saling
percaya dan kerjasama antar orang. Aset sosial ini tidak
mengurangi kemiskinan secara langsung, tetapi memengaruhi
investasi dalam modal manusia dan sumber daya keuangan
rumah tangga, yang pada gilirannya rumah tangga miskin
dalam lingkungan ketetanggaan yang memiliki kepedulian
terhadap sesama dapat bertahan hidup.
Dalam risetnya di Amerika Serikat, Warren, et al. (2001)
menemukan bahwa penyebab kemiskinan tidak terletak pada
tatanan sosial yang lemah dari masyarakat miskin, tetapi justru
terletak pada struktur ekonomi, politik, dan ras dari masyarakat
Amerika yang diskriminatif. Di Appalachia dan delta Mississipi,
ditemukan bahwa orang-orang kaya dari kelompok kulit putih
mencegah masyarakat kulit hitam keluar dari kemiskinannya.
115
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Dalam skala luas, Warren, et al (2001) juga memiliki cukup
bukti bahwa modal sosial berupa aset sosial dalam masyarakat
dapat meningkatkan kesehatan, keamanan, pendidikan,
kesejahteraan ekonomi, partisipasi politik, dan kualitas hidup
penduduk dari masyarakat miskin.
Jupp dan Kay sebagaimana dikutip oleh Bowen (2009)
menjelaskan bahwa modal sosial merupakan perekat bagi
kelompok, organisasi atau komunitas. Kelompok masyarakat
miskin ditengarai memiliki keterbatasan akses terhadap
jaringan sosial. Melalui kelompok atau organisasi yang
memayungi mereka, kelompok masyarakat miskin dapat
mengakses jaringan sosial yang memungkinkan mereka dapat
bertahan hidup. Hal ini dapat dipahami, karena melalui
jaringan sosial, organisasi dapat bergerak, mencapai tujuannya,
dan mengatasi masalah yang mereka hadapi.
Modal sosial, utamanya kohesi sosial yang timbul dari relasi
sosial menjadi perhatian utama dari Komite Eropa untuk Kohesi
Sosial. Dalam strategi untuk kohesi sosial yang direvisi
konsepnya pada tahun 2004, komite ini berkeyakinan bahwa
kohesi sosial merupakan kapasitas masyarakat untuk menjamin
kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat, dapat
meminimalisasi disparitas dan menghindari polarisasi (Hulse
and Wendy Stone 2007). Kohesi sosial ini mendukung
komunitas dari individu-individu bebas untuk mengejar tujuan
bersama melalui cara-cara demokratis.
Dari beberapa artikel dan hasil penelitian di atas, tampak
bahwa modal sosial, baik unsur trust, norm, maupun
networking jika dipelihara dengan baik, memiliki kontribusi
terhadap pengembangan komunitas, misalnya dalam
peningkatan kohesi sosial, maupun pembangunan ekonomi,
sosial dan politik, seperti mendorong etos kewirausahaan,
mengurangi kemiskinan, mengurangi biaya transaksi,
meningkatkan kepedulian, dan meningkatkan partisipasi
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
116
politik. Pendek kata, modal sosial bermanfaat tidak saja bagi
individu yang berada dalam struktur sosial, tetapi juga berguna
bagi kelompok, komunitas, masyarakat, dan pemerintah.
C. Tinjauan tentang Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL)
Sebelum diuraikan tentang konsep resistensi PKL, berikut
dijelaskan konsep tentang sektor informal dan pedagang kaki
lima, yakni karakteristiknya, kaitan urbanisasi dan sektor
informal, pandangan tentang sektor informal, dan dinamika
pertumbuhan sektor informal atau Pedagang Kaki Lima (PKL).
1. Karakteristik Sektor Informal dan Pedagang Kaki Lima
Eksistensi sektor informal merupakan sesuatu yang wajar
sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan kota. Di
tengah kemajuan ekonomi perkotaan yang mengandalkan
sektor formal, kehadiran aktivitas ekonomi informal menjadi
sesuatu yang tak terelakkan. Sebagaimana dikatakan Williams
and Jan Windebank (1998:29) bahwa dalam ekonomi maju
terdapat pertumbuhan aktivitas ekonomi informal. Sektor
informal ini merupakan bentuk baru dari eksploitasi
kapitalisme maju atau tanggapan terhadap over-regulation oleh
pasar.
Untuk memberikan gambaran tentang eksistensi sektor
informal dalam kaitannya dengan sektor formal, maka dalam
penelitian ini dikemukakan perdebatan konsep mengenai
sektor informal dan dari perdebatan itulah dipilih konsep yang
dipandang relevan dengan karakteristik subjek yang diteliti.
Tidaklah mudah untuk mendefinisikan apa itu sektor
informal. Sebagaimana diakui Mitter (1989), mendefinisikan
sektor informal bukan hal yang mudah, karena para akademisi
117
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
dan pembuat kebijakan akan menggunakan konsep tersebut
berbeda dalam konteks yang berbeda pula. Ferman menyebut
informal economy sebagai irregular economy, Guttmann
senang dengan istilah subterranean economy, Simon memakai
istilah the undeground economy, dan Abumere
menggambarkannya sebagai invisible, hidden, shadow, non-official, and imperfectly recorded in the official national acounting systems (Yusuff 2011). Meskipun banyak pendapat
dan diakui sulit menentukan mana aktivitas ekonomi yang
dapat dimasukkan ke dalam sektor formal dan mana pula
kegiatan ekonomi yang dapat digolongkan ke dalam sektor
informal, namun untuk memastikan arah penelitian, perlu ada
konsep yang dipilih. Itulah sebabnya, dalam uraian berikut
disajikan berbagai pandangan tentang sektor informal,
termasuk ciri-ciri atau karakteristiknya.
Sektor informal adalah sektor yang bukan pedesaan dan
bukan pula perkotaan, bukan tradisional dan tidak juga
modern, tetapi adalah sektor kegiatan transisional yang
dibentuk oleh proses urbanisasi (Soetomo 2009:170). Sektor ini
memiliki karakteristik, yaitu menekankan pada keuangan
sendiri, modal kecil, skala kecil, dan produksi intensif dari
tenaga kerja tidak terampil (Pratap and Erwan Quintin 2006:2).
Dalam laporannya mengenai kegiatan sektor informal di
Kenya pada tahun 1972, ILO menegaskan ekonomi informal
sebagai a way of doing things, characterized by : (1)ease of entry, (2) reliance on indigenous resources, (3) family ownership of resources, (4) small scale of operations, (5) labour intencive and adaptive technology, (6) skill acquired outside the formal school system, and (7) unregulated and competitive markes (Pellissery and Robert Walker 2007; Wells 2007).
Sektor informal menurut kategori yang dibuat ILO tersebut
memiliki ciri-ciri, yaitu adanya titik masuk pada kesenangan,
percaya pada sumberdaya asli atau lokal, kepemilikan
sumberdaya keluarga, operasi dalam skala kecil, pekerja intensif
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
118
dan teknologi yang adaptif, keterampilan yang diperoleh di luar
sistem sekolah formal, serta pasar tidak teratur dan kompetitif.
Castells and Portes (1989) mengartikan sektor informal
sebagai proses menghasilkan pendapatan (income-generation)
yang diatur oleh institusi-institusi masyarakat dalam
lingkungan sosial dan hukum di mana aktivitas-aktivitas yang
sama diatur. Aktivitas sektor informal ini merupakan aktivitas
dinamis yang di dalamnya tidak hanya aspek ekonomi yang
berperan, tetapi juga teori sosial terutama pertukaran juga
memberi kontribusi dalam memahami kegiatan sektor informal
ini. Aktivitas sektor informal ini memiliki sifat temporal atau
sementara dan dalam pertumbuhannya bisa beralih menjadi
sektor formal.
The International Conference of Labor Statisticians (ICLS)
pada tahun 1993 menghasilkan kesepakatan bahwa yang
dimaksud sektor informal adalah pekerjaan dan produksi dalam
skala kecil dan/atau perusahaan tidak terdaftar (Chen, et al
2005:38). Dalam konferensi ini, sektor informal dibagi dalam
dua bentuk, yaitu informal self-employment dan informal wage employment. Termasuk ke dalam informal self-employment adalah employers in informal enterprises, own account workers in informal enterprises, and unpaid familyworkers; sedangkan
yang tergolong dalam informal wage employment adalah
employees of informal enterprises, casual or day labourers, temporary or part-time workers, paid domestic workers, unregistered or undelared workers, and industrial outworkers (also called homeworkers).
Sektor informal memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan
dari sektor formal. Todaro dan Abdullah, sebagaimana dikutip
Hariyono (2007: 109) menyebutkan 8 ciri-ciri sektor informal.
Pertama, sebagian besar memiliki produksi yang berskala
kecil, aktivitas-aktivitas jasa dimiliki oleh perorangan atau
keluarga, dan menggunakan teknologi yang sederhana.
119
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Kedua, umumnya para pekerja bekerja sendiri dan sedikit
yang memiliki pendidikan formal yang tinggi.
Ketiga, produktivitas pekerja dan penghasilannya
cenderung lebih rendah daripada sektor formal.
Keempat, para pekerja sektor informal tidak dapat
menikmati perlindungan, seperti yang diperoleh dari sektor
formal dalam bentuk jaminan kelangsungan kerja, kondisi kerja
yang layak, dan jaminan pensiun.
Kelima, kebanyakan pekerja yang memasuki sektor
informal adalah pendatang baru dari desa yang tidak
mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sektor formal.
Keenam, motivasi mereka biasanya untuk mendapatkan
penghasilan, yang bertujuan hanya untuk dapat hidup
(survive), bukan untuk mendapatkan keuntungan dan hanya
mengandalkan pada sumberdaya yang ada pada mereka untuk
menciptakan pekerjaan.
Ketujuh, mereka berupaya agar sebanyak mungkin anggota
keluarga mereka ikut berperan serta dalam kegiatan yang
mendatangkan penghasilan dan meskipun begitu mereka
bekerja dalam waktu yang panjang.
Kedelapan, kebanyakan di antara mereka menempati
gubuk-gubuk yang mereka buat sendiri di kawasan kumuh
(slum area) dan pemukiman liar (schelter), yang umumnya
kurang tersentuh oleh pelayanan jasa, seperti listrik, air,
transportasi, serta jasa-jasa kesehatan dan pendidikan.
Pandangan Hidayat sebagaimana dikemukakan kembali
oleh Kuncoro (2010:139), menyebutkan 10 ciri-ciri sektor
informal sebagai berikut.
1. Kegiatan usaha tidak terorganisasikan secara baik, karena
timbulnya unit usaha tidak menggunakan fasilitas atau
kelembagaan yang tersedia di sektor formal,
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
120
2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha,
3. Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi
maupun jam kerja,
4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk
membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor
ini,
5. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu subsektor ke
subsektor lainnya,
6. Teknologi yang digunakan bersifat primitif,
7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala
operasi juga relatif kecil,
8. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan
formal, karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari
pengalaman sambil bekerja,
9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan one man enterprises dan kalau mempekerjakan buruh berasal dari
keluarga,
10. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari
tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak
resmi,
11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh
golongan masyarakat kota atau desa yang berpenghasilan
rendah, meskipun demikian kadang-kadang ada juga yang
berasal dari kalangan berpenghasilan menengah.
Ozveren (2005) menyebutkan enam ciri sektor informal,
yaitu (1) tingkat kompetisinya rendah, (2) mudah dimasuki, (3)
harga produk ditentukan oleh pasar, (4) berkonsentrasi pada
barang-barang eceran dengan harga rendah, (5) proses produksi
bertumpu secara intensif pada tenaga kerja, dan (6)
produktivitas rendah.
Dalam survey di Brazil, Henley (2006) menyebutkan tiga
karakter dari sektor informal, yaitu (1) tidak adanya kontrak
tenaga kerja terdaftar, (2) tidak adanya tunjangan pensiun, dan
(3) aktivitasnya berskala mikro.
121
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Tidak semua aktivitas informal dapat dimasukkan ke dalam
sektor informal. OECD (2002) mengemukakan tiga kriteria
sektor informal.
Pertama, kerja berada di bawah unit bisnis formal dalam hal
mana subjek mengelola, perlindungan legal, dan pengakuan
dalam ekonomi formal dan di luar itu adalah kerja ekonomi
informal.
Kedua, meskipun kerja di luar aktivitas ekonomi informal,
namun hal itu tidak dikategorikan sebagai ekonomi informal
jika ia memproduksi barang-barang dan jasa-jasa ilegal.
Aktivitas yang kedua ini dalam terminologi OECD (2002:37)
disebut dengan non-observed economy atau ekonomi tak
teramati. Termasuk dalam ekonomi tak teramati adalah sektor
underground, ilegal, dan informal atau undertaken oleh
rumahtangga untuk tujuan akhir mereka. Produksi
underground biasanya menghindari standar legal, seperti upah
minimum, jam kerja maksimum, keamanan atau standar
kesehatan. Produksi ilegal menghasilkan barang-barang dan
jasa-jasa yang dijual atau kepemilikannya dilarang oleh hukum
atau aktivitas produksinya biasanya legal, tetapi menjadi ilegal
ketika disediakan oleh produser-produser yang tidak
berwenang. Sektor informal mewakili bagian penting dari
ekonomi dan pasar kerja di banyak negara berkembang.
Kebanyakan aktivitas sektor informal menyediakan barang-
barang dan jasa-jasa dimana produksi dan distribusinya legal.
Perusahaan sektor informal biasanya memilih untuk
mengambil barang-barang yang tidak terdaftar dan tidak ada
lisensi agar supaya dapat menghindari peraturan dan
mengurangi biaya produksi (OECD 2002:39).
Ketiga, aktivitas domestik, seperti menjaga atau memelihara
rumah (home-care) tidak dapat dikategorikan sebagai aktivitas
ekonomi informal.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
122
Definisi dan konsep sektor informal yang dikemukakan
para sarjana, peneliti, dan lembaga di atas beranekaragam dan
berbeda-beda dari sudut pandang mereka. Yang menarik dari
semua itu adalah konsep sektor informal tidak berkaitan
dengan produksi barang-barang dan jasa-jasa ilegal sebagaimana
diungkapkan OECD. Penelitian ini sepakat dengan pandangan
OECD, bahwa produksi barang-barang dan jasa ilegal atau
melalui black market tidak termasuk sektor informal. Dari
sejumlah konsep sektor informal di atas, sektor informal yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah sektor ekonomi yang
memiliki karakteristik, yaitu usaha milik sendiri, berbasis
sumberdaya lokal, skala operasinya kecil, teknologinya
sederhana dan adaptif, tidak terdaftar, jauh dari jangkauan atau
kurang adanya perhatian dari pemerintah, dan pasar kompetitif.
Dalam penelitian ini, tidak semua pekerja sektor informal
diteliti. Karakteristik sektor informal cukup beragam, tidak
hanya dilihat dari jenis usaha yang dijalankan, tetapi juga
lokasi, mobilitas, dan pelakunya. Atas dasar alasan tersebut,
pedagang kaki lima (PKL) dipilih sebagai objek kajian dalam
penelitian ini. Pertimbangan memilih pedagang kaki lima
(PKL) sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut.
Pertama, PKL memiliki mobilitas yang cukup tinggi
daripada sektor informal lainnya.
Kedua, PKL ditengarai sering bermasalah dalam relasinya
dengan pemerintah.
Ketiga, di antara pekerja sektor informal lainnya, PKL
paling sering mengalami penertiban dan penggusuran.
Pedagang kaki lima (PKL) acapkali dipandang sebagai
permasalahan dalam penataan ruang publik. Permasalahan
muncul karena, di satu pihak, pemerintah dalam kebijakannya
acapkali menertibkan PKL disertai penggusuran demi
menciptakan kota yang bersih, indah, dan rapi. Pada pihak lain,
123
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
karena desakan ekonomi dan ketidakberdayaan yang ada pada
dirinya, PKL terpaksa harus bekerja di jalanan atau tempat
terlarang lainnya demi menyambung hidupnya, sehingga
sikapnya cenderung melawan (resisten) terhadap upaya
penertiban yang dilakukan oleh pemerintah.
Pedagang kaki lima (PKL) memiliki sejarah yang unik. Asal
usul PKL dapat ditelusuri pada zaman penjajahan Belanda.
Dahulu Belanda membuat peraturan, bahwa setiap jalan raya
yang dibangun harus menyediakan sarana untuk pejalan kaki
atau trotoar, yang lebarnya adalah lima kaki. Saat Indonesia
merdeka, trotoar untuk pejalan kaki dimanfaatkan oleh
pedagang untuk berjualan, demikian pula emperan toko.
Awalnya mereka disebut pedagang emperan, karena
menempati emperan toko, tetapi lama-kelamaan dijuluki
“pedagang kaki lima” karena trotoar yang berlebar lima kaki
digunakan pula untuk berjualan (Permadi 2007). Istilah PKL
juga dipakai untuk menyebut pedagang gerobak beroda, dimana
jika ditambah dengan kaki pedagangnya, maka jumlah kakinya
lima, sehingga dinamakan pedagang kaki lima. Akronim kaki
lima dimaknai pula sebagai kanan kiri lintas manusia,
maksudnya adalah PKL berada di jalur pejalan kaki (trotoar dan
emperan toko), sehingga banyak orang berlalu lalang di
samping kanan dan kiri PKL.
Dalam perkembangannya, PKL tidak hanya menggunakan
gerobak roda tiga atau berjualan di trotoar dan emperan toko,
tetapi mereka juga berjualan menggunakan kios semi permanen
atau tidak permanen, memakai lapak atau tanpa lapak, memakai
dasaran seadanya, menjual barang, buah-buahan, sayuran,
makanan, atau minuman yang biasanya tidak ada jaminan
mutunya.
Semula aktivitas PKL dibiarkan pemerintah dan tidak
dipajaki, tetapi karena ada sisi positif (misalnya sebagai sumber
pendapatan pemerintah daerah) dan negatif (dipandang
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
124
mengganggu kebersihan, keindahan, dan keamanan kota), maka
hampir semua pemerintah daerah di Indonesia membuat Perda
untuk mengatur keberadaan PKL. Pedagang kaki lima atau PKL
yang mudah diatur, dikendalikan, dan bisa diajak kerjasama
(dikooptasi), diatur sedemikian rupa sehingga mereka dapat
berjualan dengan aman. Mereka inilah yang ditarik retribusi
dan mendapatkan perlindungan seperlunya dari pemerintah.
Mereka disebut PKL terorganisasi atau lazim dinamakan PKL
saja. Wijayaningsih (2002) menyebutnya sebagai PKL tertata.
Sementara PKL yang dipandang sulit diatur, sering
membangkang, tidak patuh kepada pemerintah daerah,
melakukan perlawanan ketika ditertibkan; tidak dipajaki, dan
tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dari
pemerintah, bahkan mereka sering mendapat perlakuan kasar
dari aparat. Mereka ini dinamakan PKL liar. Wijayaningsih
(2002) menamakannya PKL terbina. Tipologi dari PKL tersebut
dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2. Tipologi Pedagang Kaki Lima (PKL)
Tipe PKL Karakteristik
PKL (terorganisasi)
Memiliki organisasi PKL
Ditarik retribusi atau iuran
Tercatat dalam statistik PKL oleh Dinas Pasar
Mendapat kios atau tempat berjualan yang nyaman
Mendapat perlindungan dari pemerintah
Menjadi mitra pemerintah
PKL liar Tidak memiliki organisasi atau jika memiliki hanya sekedar memenuhi formalitas (ada tetapi pasif)
Tidak ditarik retribusi atau iuran
Tidak tercatat dalam statistik PKL oleh Dinas Pasar
Tidak mendapat kios atau tempat berjualan yang nyaman
Tidak mendapat perlindungan dari pemerintah
Menjadi beban bagi pemerintah dan terkadang menjadi musuh pemerintah
(Diolah dari berbagai sumber)
Istilah PKL terorganisasi dan PKL liar, sepertinya tampak
rancu dengan istilah PKL yang merupakan bagian dari sektor
informal. Secara teoretis, semua PKL merupakan bagian dari
125
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
sektor informal atau termasuk unit kegiatan ekonomi yang
tidak resmi. Namun kenyataan di lapangan atau realitas
objektif, menunjukkan adanya dua tipe PKL, yaitu PKL yang
terorganisasi dan PKL tidak terorganisasi atau liar. PKL
terorganisasi atau disebut PKL adalah PKL yang berada pada
fase transisional dan oleh pemerintah diharapkan dapat
dialihkan menjadi unit kegiatan sektor formal, sedangkan PKL
liar, adalah PKL yang tidak terorganisasi atau jika terorganisasi
sudah tidak aktif lagi, yang dalam realitasnya tetap eksis
menjalankan aktivitas ekonomi, tidak bermaksud untuk beralih
menjadi sektor formal, karena keterbatasan yang mereka miliki,
dan biasanya jauh dari jangkauan perhatian pemerintah. PKL
liar eksis dalam kegiatan ekonomi dan kebanyakan menempati
ruang publik.
Untuk memudahkan dan mengarahkan fokus analisis
penelitian disertasi ini, istilah PKL liar relevan digunakan
sebagai variabel dari penelitian ini. Istilah PKL terorganisasi
dan PKL liar di atas, dimaknai dalam kaitannya dengan
persoalan pengakuan (legitimasi) pemerintah, di mana PKL
yang terorganisasi adalah PKL yang diakui oleh pemerintah
dengan diberi legalisasi secukupnya, sedangkan PKL liar adalah
PKL yang tidak diakui dan tidak memperoleh legalitas dari
pemerintah.
PKL liar, yang menjadi unit analisis penelitian adalah
mereka yang menjalankan usaha atau bisnis warungan (nasi,
mie ayam, rokok, dan lain-lain), menjual pakan burung,
menjual bensin, menjual perkakas rumahtangga dan alat-alat
pertanian, menjual VCD, menjual hand phone bekas, menjual
onderdil sepeda motor dan sepeda bekas maupun baru, menjual
mebel dari kayu sisa ekspor, reparasi radio, tape, dan alat-alat
elektronik lainnya, bengkel sepeda dan sepeda motor, tukang
las, dan sebagainya. Mereka menempati wilayah terlarang atau
tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti di trotoar, badan
jalan umum, tanah atau lahan kosong milik negara atau
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
126
masyarakat, lingkungan jalan masuk pasar tradisional dan
modern, serta di tepi bantaran sungai. Para PKL yng diteliti ini
menjalankan usaha di tempat terlarang, yakni di tepi bantaran
sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. Mereka berani
berdagang di tempat terlarang tersebut, karena banyak di
antaranya yang memiliki surat izin berdagang dari pemerintah
kecamatan dan kelurahan. Inilah yang menjadi salah satu alasan
mengapa mereka bersikukuh tidak mau direlokasi.
Proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi
sungai Banjir Kanal Barat, yang secara fisik meratakan dan
merapikan pinggiran sungai, termasuk lokasi yang digunakan
oleh para PKL, menyebabkan banyak PKL yang pada akhirnya
terpaksa bersedia pindah atau direlokasi ke tempat lain,
meskipun banyak juga di antara mereka yang kembali pindah
ke tempat semula. Kebandelan dan ketidakpatuhan dari PKL
inilah yang membuat mereka disebut dengan PKL liar. Sifat
dinamis, dalam arti PKL mudah berpindah tempat dan tidak
selalu menempati wilayah yang sama dalam melakukan
aktivitasnya, juga menjadi indikator mengapa mereka
digolongkan ke dalam PKL liar.
Di antara ketiga lokasi PKL yang diteliti, satu komunitas
PKL sudah berpindah lokasi, yaitu PKL Basudewo. PKL
Sampangan yang menempati wilayah dekat sungai Kaligarang,
tetap berdagang di sebelah selatan lokasi yang sudah digusur.
Meskipun demikian, ada kemungkinan mereka juga akan
digusur kembali, mengingat pasar Sampangan yang lama telah
dibongkar dan pada akhir Januari 2012 telah dipindah ke lokasi
pasar Sampangan yang baru. Masa depan PKL Sampangan tidak
jelas, mengingat proyek normalisasi sungai Kaligarang dan
sungai Banjir Kanal Barat diperkirakan baru selesai pada tahun
2014. Meskipun sudah dilarang tidak boleh menempati area di
tepi sungai Banjir Kanal Barat, hingga kini PKL liar masih nekat
menjalankan aktivitas ekonomi di tempat tersebut; tetapi pada
127
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
saatnya mereka pun akan pindah jika pihak proyek normalisasi
sungai merapikan tepi di kanan kiri sungai Banjir Kanal Barat.
2. Pandangan tentang Sektor Informal dan Pedagang Kaki
Lima (PKL)
Dalam penelitian ini, pertanyaan yang mengundang
perdebatan panjang adalah apakah sektor informal merupakan
transisi atau bersifat sementara, yang nantinya akan beralih
menjadi sektor formal ataukah sektor informal tetap ada hidup
berdampingan dengan sektor formal. Berikut ini dijelaskan
pandangan atau pendekatan mengenai sektor informal, dalam
kaitannya dengan sektor formal.
Dalam konteks hubungan dengan sektor formal, terdapat
dua kubu yang memiliki pandangan berbeda mengenai
keberadaan sektor informal. Pandangan atau pendekatan
pertama adalah The Benign Relationship. Pendekatan ini
memahami sektor informal sebagai upaya angkatan kerja yang
tidak tertampung dalam kegiatan produktif, sehingga
menciptakan lapangan kerja sendiri untuk mendapatkan
penghasilan (Mustafa 2008:31). Dalam pendekatan tersebut,
sektor informal dipandang sebagai kegiatan yang perlu
dikembangkan dengan mengintegrasikannya ke dalam sektor
formal. Penganut pendekatan ini adalah ILO, Oshima,
Sethuraman, Weeks, McGee, Webb, dan Mazumbar. Webb dan
Mazumbar misalnya, meyakini bahwa sektor informal
merupakan sumber dan potensi pertumbuhan ekonomi
(Mustafa 2008:32). Sejalan dengan meningkatnya gerak
pembangunan, kegiatan sektor informal dapat meningkat
menjadi sektor formal.
Pendekatan kedua, yaitu Subordination, meletakkan
analisisnya pada skala makro (global), bahwa sektor informal
merupakan subordinasi sektor formal (Mustafa 2008:32).
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
128
Sektor informal ini merupakan bagian dari akumulasi skala
dunia atau munculnya proses akumulasi modal dari negara-
negara dunia ketiga kepada negara-negara dunia pertama. Hal
ini terjadi karena struktur perekonomian dunia bersifat
eksploitatif, dimana yang kuat mengeksploitasi yang lemah
(Budiman 1995:41). Modernisasi yang terjadi di berbagai
belahan dunia, menggambarkan adanya rantai eksploitasi
(chain of exploitation) antara negara pusat dan pinggiran serta
sebuah lukisan yang jelas antara negara maju dan belum maju
(Crewe and Elizabeth Harrison 1998:27). Akibatnya, surplus
dari negara-negara dunia ketiga beralih ke negara-negara
industri maju.
Eksistensi sektor informal ditengarai sebagai bentuk
keterasingan ekonomi nasional yang tercipta karena tidak
seimbangnya sistem ekonomi dunia. Penganut pendekatan
subordination adalah Quijano, Nun, Santos, Bose, Gerry,
Bienefeld dan Godfrey. Sebagaimana diyakini Quijano, Nun,
dan Santos bahwa sektor informal berdiri sendiri dan terpisah
dari kegiatan ekonomi perkotaan lainnya. Sektor informal
memiliki kemandirian lebih tinggi dan dapat hidup
berdampingan dengan sektor formal. Selaras dengan
pendekatan kedua ini, Soeroso (1978:3) menyatakan bahwa
sektor informal merupakan sektor ekonomi yang dinamis,
efisien, dan menguntungkan secara ekonomi mengingat pelaku-
pelakunya mempunyai potensi wiraswasta yang kreatif.
Berkaitan dengan dua pendekatan berbeda tentang sektor
informal di atas, Sasono (1982:10) mengemukakan pandangan
dikotomis tentang sektor informal.
Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa sektor
informal memiliki hak penuh untuk hidup dan berkembang
karena dapat membantu proses pembangunan dalam
penyediaan lapangan kerja bagi mereka yang kurang
berpendidikan dan keterampilan.
129
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa sektor informal
tidak memiliki hak hidup karena hanya akan menghambat
efisiensi pengembangan ekonomi dan pembangunan, terutama
mengganggu ketertiban dan kebersihan kota. Tiadanya hak
hidup bagi sektor informal ini barangkali berkaitan dengan
kecilnya sumbangan penghasilan sektor informal kepada negara
(Sookram and Watson 2008).
Sookram and Watson (2008) mengajukan dua sudut
pandang berkaitan dengan keberadaan sektor informal.
Pandangan tradisional menyatakan sektor informal sebagai
sumber pendapatan bagi kelompok miskin dan juga berkaitan
dengan pekerja tidak produktif yang dikeluarkan dari sektor
formal. Pandangan terbaru menyatakan bahwa sektor informal
memiliki potensi untuk mencapai level produktivitas yang
tinggi melalui karakter kewirausahaan yang dinamis dari
perusahaan mikro. Mereka juga menemukan bahwa sektor
informal tidak hanya menjadi mekanisme kelangsungan hidup
(survival) bagi orang miskin, tetapi juga sarana bagi individu-
individu terpelajar dan terampil untuk menghindari pajak
penghasilan.
Meskipun diakui bahwa sektor informal, utamanya PKL
memiliki sisi positif, tetapi banyak juga yang memandangnya
sebagai hal negatif. Bromley (2000) mencatat 15 alasan yang
dijadikan argumen untuk menolak keberadaan PKL.
Pertama, pedagang kaki lima tidak menyebar rata di
berbagai sudut kota, melainkan terkonsentrasi pada beberapa
lokasi tertentu yang menimbulkan kemacetan lalu lintas dan
mengganggu pejalan kaki.
Kedua, karena terkonsentrasi di lokasi tertentu, pedagang
kaki lima menyebabkan kecelakaan lalu lintas, polusi udara,
menghalangi polisi, pemadam kebakaran, ambulans, dan
kendaraan bermotor darurat lainnya.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
130
Ketiga, pemanfaatan ruang pedestrian oleh pedagang kaki
lima memang dapat mengurangi kebisingan jalan dan polusi,
tetapi hal tersebut juga mengurangi jumlah rute kendaraan
bermotor dan menciptakan problem bagi kendaraan darurat.
Keempat, pedagang kaki lima mungkin menutup akses
gedung-gedung yang penuh kerumunan, seperti gedung teater,
stadion, toko serba ada, dan mengembangkan tragedi dalam
kejadian-kejadian kebakaran, ledakan, penyebaran gas beracun
atau histeria massa.
Kelima, pedagang kaki lima sering mencegah bisnis tepi
jalan dan para pembeli potensial yang berjalan ke arah
konsentrasi aktivitas bisnis sementara di jalanan.
Keenam, pedagang kaki lima sering gagal atau tidak
memberi kuitansi, jaminan harga, pajak, harga jual dan pajak
pertambahan nilai bagi pelanggannya.
Ketujuh, dikarenakan pedagang kaki lima dapat dengan
mudah meninggalkan lokasi atau merelokasi bisnisnya, maka
mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk menipu
pelanggannya dan menghindari peraturan daripada pedagang
eceran yang sudah mapan.
Kedelapan, pedagang makanan dan minuman jalanan
memiliki problem kesehatan, karena barang dagangannya
dengan mudah terkena sinar matahari dan polusi udara.
Kesembilan, pedagang kaki lima tidak memiliki standar
profesi, tidak memiliki komitmen, dan tidak bertanggung jawab
daripada pedagang tepi jalanan, dan biasanya menolak memberi
jaminan dan menukar barang yang jelek serta tidak menerima
keluhan pelanggan dan layanan perbaikan.
Kesepuluh, aktivitas pedagang kaki lima sering berlawanan
dengan peraturan tenaga kerja, misalnya mempekerjakan anak-
131
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
anak muda, sehingga rawan terkena kekerasan, penculikan, dan
perbuatan buruk lainnya.
Kesebelas, minoritas kecil pedagang kaki lima terlibat
dalam perdagangan ilegal dan buruk, seperti mucikari,
pelacuran, dan narkotika.
Keduabelas, pedagang kaki lima memberi kontribusi bagi
ekonomi underground dan transaksi yang tidak
terdokumentasi, tidak hanya melalui penjualan tetapi juga
penyuapan kepada polisi dan petugas pemerintah kota.
Ketigabelas, melalui aktivitas dan kemacetan yang tercipta,
pedagang kaki lima membantu menyediakan kesempatan bagi
pencopet dan pencuri.
Keempatbelas, pedagang kaki lima tidak sedap dipandang,
sering menciptakan suara ribut (gaduh) dan pelanggannya
sering meninggalkan sampah di jalanan.
Kelimabelas, dalam pandangan kelompok marxis ortodok,
pedagang kaki lima dipandang sebagai lambang surplus tenaga
kerja dan kekurangan pekerjaan, sehingga mempromosikan
konsumsi yang berkelebihan dan mendukung kapitalisme
rendah.
Argumen kontra-PKL datang dari elit urban dan pengusaha
besar, yang memandang PKL sebagai sumber ketidaktertiban,
kemacetan, dan kriminal. Pemerintah kota pun tampaknya
lebih condong berkolaborasi dengan para pengusaha (investor)
untuk membangun kotanya agar lebih berkembang, maju,
bersih, rapi, dan tertib, ketimbang mentoleransi keberadaan
PKL yang umumnya dipandang tidak mendukung terwujudnya
kota yang bersih, rapi, tertib, dan nyaman.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
132
3. Dinamika Pertumbuhan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya
bahwa pertumbuhan sektor ekonomi informal berjalan
beriringan dengan kemajuan sektor formal. Pertumbuhan
sektor informal di Indonesia pada tahun 2004 hingga 2008
bahkan mampu melampaui pertumbuhan sektor formal. Krisis
ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997 juga turut
mendorong percepatan pertumbuhan sektor informal.
Percepatan pertumbuhan sektor ini dipicu oleh hilangnya
kesempatan kerja sektor formal dan meningkatnya jumlah
penduduk miskin perkotaan dan pedesaan.
Remi dan Prijono Tjiptoherijanto (2002:6) mengacu data
BPS, membandingkan jumlah penduduk miskin tahun 1996
dan tahun 1998, berturut-turut angkanya adalah 34,5 juta dan
36,5 juta penduduk. Ini artinya, dalam kurun waktu 2 tahun,
jumlah penduduk miskin naik sebanyak 2 juta orang. Harvey
(2009:89) menyajikan data penduduk miskin lebih tinggi
daripada data Remi dan Prijono, yakni pada tahun 1997-1998
penduduk miskin meningkat tajam menjadi 79,4 juta jiwa dari
tahun sebelumnya, sebagai akibat dari krisis ekonomi.
Meningkatnya pengangguran di perkotaan sebagai dampak
pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami para pekerja
sektor formal, menyebabkan mereka jatuh pada lubang
kemiskinan dan jalur satu-satunya untuk bertahan hidup adalah
sektor informal. Data berikut menunjukkan bahwa angka
pengangguran terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir,
yakni dari 5,18 juta orang pada tahun 1997 menjadi 6,07 juta
orang pada tahun 1998, dan berturut-turut meningkat menjadi
8,90 juta orang (1999), 8,44 juta orang (2000), 8,01 juta orang
(2001), 9,13 juta orang (2002), 9,53 juta orang (2003), 10,25 juta
orang (2004), dan 10,9 juta orang pada tahun 2005 (Samhadi
2006:33). Sektor informal menjadi katup penyelamat bagi para
133
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
penganggur agar tidak terjerembab lebih dalam ke lembah
kemiskinan.
Jumlah orang Indonesia yang bekerja di sektor informal dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tahun 1998 jumlah
pekerja sektor informal adalah 57,3 juta orang dan 4 tahun
berikutnya meningkat menjadi 63,8 juta (Brata 2008:1).
Penduduk yang bekerja pada sektor informal pada tahun 2005
mencapai 61 juta orang atau 64 persen dari seluruh penduduk
yang bekerja (Rachbini 2006). Angka tersebut meningkat dari
waktu ke waktu, karena penyerapan tenaga kerja pada sektor
formal tidak cukup signifikan. Dibandingkan dengan tahun lalu,
angka tersebut sedikit lebih tinggi (tahun 2004 sebesar 63,2
persen).
Berdasarkan data BPS (2006), jumlah penduduk Indonesia
diperkirakan 224 juta orang; 106,28 juta orang termasuk
angkatan kerja produktif; 95,18 juta bekerja dan masih bekerja,
sedangkan 11,1 juta orang tidak bekerja. Dari jumlah itu; 60,77
juta orang bekerja sebagai buruh, sekitar 63,85% diantaranya
bekerja pada usaha ekonomi informal (Zen dan Restu Mahyuni
(ed) 2007:41). Dibandingkan dengan mereka yang bekerja pada
sektor formal, jumlah pekerja sektor informal lebih banyak.
Jumlah pekerja sektor informal dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Bahkan sejak tahun 2004 jumlah pekerja sektor
informal di Indonesia mengalami peningkatan luar biasa. Data
perkembangan sektor informal tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
134
Tabel 3. Jumlah Pekerja Sektor Formal dan Informal Tahun 2004, 2005, 2006, dan 2008
Tahun Jumlah Pekerja Formal
Jumlah Pekerja Informal
Angkatan Kerja Produktif
2004 34,50 juta 59,20 juta 93,7 juta 2005 34,50 juta 60,60 juta 94,9 juta 2006 34,40 juta 60,70 juta 95,1 juta 2008 28,97 juta 73,53 juta 102,5 juta
Sumber : BPS (2006, 2008)
Dari data di atas, terlihat bahwa perkembangan sektor
informal yang paling signifikan terjadi pada tahun 2008. BPS
menunjukkan bahwa dari 102,5 juta pekerja Indonesia, 73,53
juta orang atau 72% bekerja di sektor informal. Dibandingkan
mereka yang bekerja pada sektor informal, jumlah orang yang
bekerja pada sektor formal mengalami stagnasi, bahkan pada
tahun 2006 jumlahnya turun dibandingkan tahun 2005 (turun
100.000 pekerja). Sementara itu, jumlah pekerja sektor informal
mengalami peningkatan yang signifikan, dimana pada tahun
yang sama (2006) jumlahnya naik 100.000 orang, dan tahun
2005 kenaikannya cukup tajam yaitu 1.400.000 orang dari tahun
sebelumnya. Bahkan pada tahun 2008, jumlah pekerja sektor
informal naik sangat tajam sebanyak 12,83 juta orang dari dua
tahun sebelumnya.
Faisal Basri dan Haris Munandar memiliki data
perkembangan sektor informal yang tidak jauh berbeda dengan
data BPS. Bedanya, Basri dan Munandar merinci komponen
sektor informal ke dalam 5 komponen, yaitu bekerja sendiri,
bekerja sendiri plus asisten tidak tetap, buruh musiman
pertanian, buruh musiman nonpertanian, dan pekerja tanpa
upah tetap. Seperti halnya data sektor informal yang
diungkapkan BPS, jumlah penduduk yang menjalankan
aktivitas ekonomi pada sektor informal sebagaimana
dikemukakan Basri dan Munandar juga lebih banyak
dibandingkan jumlah pekerja sektor formal. Data
135
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
perkembangan sektor informal menurut Basri dan Munandar,
selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Indonesia yang menekuni Sektor Formal dan Sektor Informal
Status Ketenagakerjaan
Jumlah Penduduk Indonesia (juta jiwa) 2005 2006 2007
Sektor Formal 28,65 29,67 30,92
Majikan 2,91 2,85 2,88 Pegawai Tetap 25,74 26,82 28,04 Sektor Informal 66,30 65,78 69,00
Bekerja sendiri 17,48 19,50 20,32 Bekerja sendiri plus asisten tidak tetap
21,24 19,95 21,02
Buruh musiman pertanian
4,95 5,54 5,92
Buruh musiman nonpertanian
4,09 4,62 4,46
Pekerja tanpa upah tetap 18,54 16,17 17,28 Jumlah total 94,95 95,46 99,93
Sumber: Basri dan Haris Munandar (2009:66).
Data tentang jumlah pekerja sektor informal tahun 2005
sebagaimana disajikan Basri dan Haris Munandar dalam tabel di
atas memiliki selisih yang cukup tajam dibandingkan dengan
data yang dimiliki BPS, yaitu 5,7 juta pekerja. Demikian pula,
data tahun 2006, menunjukkan selisih 5,08 juta pekerja sektor
informal. Data jumlah pekerja sektor informal yang dimiliki
Basri dan Haris Munandar lebih banyak daripada data BPS,
dapat dipahami karena Basri dan Haris Munandar memperoleh
data dari berbagai sumber dan diolahnya sebagaimana tersaji
dalam tabel 4.
Dalam perkembangan selanjutnya, yakni pada tahun 2010,
BPS (2010:39) melaporkan bahwa hingga bulan Pebruari 2010
sekitar 31,41 persen tenaga kerja bekerja pada kegiatan formal
dan 68,59 persen bekerja pada kegiatan ekonomi sektor
informal. Jumlah tenaga kerja yang bekerja (penduduk yang
berusia 15 tahun ke atas) di sektor formal dan informal pada
saat itu adalah 107.405.570 orang. Jika penduduk yang bekerja
pada sektor informal sebanyak 68,59 persen dari 107.405.570
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
136
tenaga kerja, berarti mereka yang bekerja pada sektor informal
sebanyak 73.669.480 orang atau 73,67 juta orang.
Dibandingkan jumlah tenaga kerja sektor informal pada
tahun 2008 (73,53 juta), pekerja yang bekerja pada sektor
informal mengalami peningkatan sebanyak 0,14 juta atau
140.000 orang. Lapangan kerja utama yang mereka masuki
adalah pertanian, industri, konstruksi, perdagangan, angkutan,
pergudangan, komunikasi, keuangan, jasa kemasyarakatan, dan
lainnya. Mishra (2010) mengungkapkan data jumlah pekerja
sektor informal tidak jauh berbeda dengan data pekerja serupa
yang disajikan BPS, yaitu sebanyak 72,4 juta dari 108,2 juta
tenaga kerja Indonesia. Dalam catatan Mishra (2010), jumlah
pekerja sektor formal sebanyak 35,8 juta orang.
Data pekerja sektor informal yang disajikan BPS 1,27 juta
lebih tinggi daripada data Mishra. Barangkali masih ada lagi
data jumlah pekerja sektor informal yang dikemukakan oleh
perorangan atau lembaga. Perbedaan data bisa dipahami,
mengingat sulitnya mendata pekerja sektor informal. Selain
mobilitasnya tinggi, pekerjaan sektor informal cepat tumbuh
dan mati, karena banyak di antara mereka yang menjalankan
usaha atau bisnis di tempat-tempat yang sulit dideteksi dan
dijangkau oleh pemerintah.
Masih banyaknya jumlah pekerja sektor informal dalam
struktur ketenagakerjaan Indonesia, menunjukkan bahwa
kinerja perekonomian Indonesia belum baik. Dominasi
pekerjaan sektor informal di Indonesia, bukanlah kenyataan
ekonomi dan sosial yang menggembirakan. Dalam pandangan
Basri dan Munandar (2009), semakin kecil sektor informal
dalam perekonomian dan semakin besar sektor formalnya, maka
akan semakin baik perekonomian dari negara yang
bersangkutan.
Sektor informal bukan entitas ekonomi yang ideal, karena
pada hakikatnya sektor informal merupakan sebuah entitas
137
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
yang muncul sekadar untuk bertahan hidup (survival economy)
atau sesuatu yang bersifat darurat (Basri dan Munandar 2009).
Apa yang dikemukakan Basri dan Munandar tentang status
sektor informal tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima.
Memang yang paling ideal adalah jika seluruh struktur
perekonomian Indonesia diisi oleh sektor formal, karena
dengan demikian penghasilan negara dari pajak dapat digenjot
lebih tinggi. Namun, dalam realitasnya, kemampuan negara dan
masyarakat dalam menyediakan lapangan kerja untuk mengisi
sektor formal sangat terbatas.
Pengalaman Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan
hal tersebut. Jumlah penduduk yang memilih bekerja sebagai
pekerja sektor informal melebihi jumlah pekerja sektor formal.
Selain itu, kualitas tenaga kerja Indonesia juga tidak
memungkinkan mereka dapat mengisi seluruh pekerjaan sektor
formal, karena berbagai keterbatasan, seperti rendahnya
pendidikan, keterampilan kurang, modal yang dimiliki kecil,
dan akses terhadap sumber daya rendah karena kemiskinan
yang membelenggu mereka. Faktor-faktor tersebut membuat
sektor informal hingga kini masih mendominasi struktur
perekonomian Indonesia.
Tidak seperti halnya dengan sektor formal yang menuntut
kualifikasi pendidikan tertentu, misalnya serendah-rendahnya
sarjana, sektor informal tidak mensyaratkan kualifikasi
pendidikan dalam jenjang tertentu. Mereka yang terlibat dalam
aktivitas ekonomi informal biasanya berpendidikan rendah dan
yang paling banyak adalah SD, bahkan banyak diantaranya yang
putus sekolah (drop-out). Tabel di bawah ini menginformasikan
hal tersebut.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
138
Tabel 5. Pekerja Sektor Informal dilihat dari Tingkat Pendidikan
No Latarbelakang Pendidikan Jumlah Total (juta)
Persentase
1. Tidak tamat SD 14,337 23,66 2. SD 28,026 46,12 3. SMP 12.031 19,80 4. SMA 5.939 9,78 5. Diploma/Akademi 0,166 0,27 6. Universitas 0,23 0,37
J u m l a h 60,769 100
Sumber: Sakernas (2006)
Area bisnis yang dimasuki sektor informal beraneka macam,
baik yang bergerak pada sektor pertanian, industri pengolahan,
jasa, konsultasi, dan lain-lain. Jumlah angkatan kerja yang
paling banyak ada pada sektor pertanian dan paling sedikit pada
jasa konsultasi. Data selengkapnya dapat dicermati pada tabel di
bawah ini.
Tabel 6. Distribusi Angkatan Kerja Sektor Informal berdasarkan Wilayah Bisnis
No. Sektor Jumlah Angkatan Kerja (dalam juta)
1. Pertanian 39,22 2. Industri Pengolahan 2,84 3. Pelayanan Jasa 10,09 4. Konsultasi 1,93 5. Lain-lain 6,68
Sumber : Zen dan Restu Mahyuni (ed) (2007:42)
Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan banyak pekerja
sektor formal terlempar. Hal ini disebabkan banyak perusahaan
dan pabrik harus melakukan rasionalisasi akibat melemahnya
nilai rupiah terhadap dollar. Akibatnya, banyak pekerja yang
diberhentikan, supaya mereka tetap bertahan hidup. Mereka
yang terlempar dari pekerjaan sektor formal, dengan sebagian
uang yang dipunyai, kemudian terjun bekerja dalam sektor
ekonomi informal.
Pasca krisis ekonomi tahun 1997, perkembangan sektor
informal (PKL) berlangsung cukup pesat, tidak hanya di
ibukota negara, tetapi juga di kota-kota besar di daerah,
termasuk kota Surabaya. Menurut sebuah penelitian, tercatat
139
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
sekitar 700 ribu lebih PKL yang memenuhi sudut-sudut ruang
kota Surabaya (Alisjahbana 2009:3). Jumlah PKL yang hampir
menyentuh angka 1 juta tersebut merupakan potensi luar biasa
bagi pembangunan ekonomi kota Surabaya, yang jika tidak
ditangani dengan baik akan berubah menjadi malapetaka serius
bagi stabilitas sosial, politik, dan ekonomi masyarakat kota
Surabaya.
Peran ekonomi sektor informal sebagai penampung pekerja
sektor formal juga terjadi di beberapa kota di negara-negara
sedang berkembang lainnya. Sektor informal justru berfungsi
seperti busa, yakni menyerap luberan para pekerja sektor formal
yang terlempar dari sektor formal, terutama akibat dari krisis
ekonomi, sebagaimana terjadi pada tahun 1997. Di Thailand
misalnya, data statistik menunjukkan bahwa jumlah pekerja
jalanan atau sektor informal berkembang secara subtansial
setelah krisis finansial melanda Thailand pada tahun 1998
(Terravina 2006:2).
4. Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL)
Matsumoto (ed) (2009:442) mengartikan resistensi atau
resistance sebagai suatu proses menentang, melawan, atau
bertahan dari sesuatu atau orang lain. Resistensi atau resistance
diartikan sebagai suatu mekanisme penentangan yang disadari
maupun tidak disadari untuk membuka material bawah sadar.
Resistensi tersebut berkaitan dengan mekanisme pertahanan
psikologis yang mendasar melawan dorongan-dorongan dari id
yang mengancam ego (Bhatia 2009: 352).
Chaplin (2005:431) mendefinisikan resistensi sebagai suatu
oposisi sosial atau negativisme dalam mereaksi terhadap
perintah, peraturan, dan kebijakan politik.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
140
Knowles dan Linn (2004:5) memahami konsep resistensi
dari aspek motivasionalnya, yakni sebagai motivasi untuk
melawan tekanan-tekanan terhadap perubahan.
Lewin sebagaimana dikutip Gravenhorst (2003:4) memaknai
resistensi sebagai reaksi individual terhadap rasa frustrasi karena
adanya tekanan dari suatu kekuasaan yang kuat.
Menurut McFarland (2004:1251), resistensi merupakan tipe
perilaku nonkonformis yang mempertanyakan legitimasi dari
suatu tertib sosial. Tindakan resistensi berusaha untuk
mengubah tertib sosial dan berkembang menjadi proses yang
lebih besar menyerupai suatu drama sosial. Drama sosial ini
merupakan perubahan episode dari tindakan sosial yang
seterusnya dapat meledak dari permukaan kehidupan sosial
yang rutin dan halus. Melalui aktivitas resistensi, tertib sosial
didekonstruksi dan direproduksi dari bentuk lama menjadi
suatu bentuk baru.
Watson memandang resistensi sebagai suatu reaksi alamiah
dari individu untuk menciptakan situasi yang stabil
(Gravenhorst (2003:5). Resistensi ini merupakan reaksi atau
kekuatan melawan perubahan, sebagaimana dilihat Kotter,
Schlesinger, Sathe dan Mullins (Gravenhorst (2003).
Resistensi juga dipahami sebagai reaksi alamiah individu
terhadap sesuatu yang secara signifikan mengancam status quo.
Perubahan yang dipaksakan kepada individu dapat mengganggu
harapan-harapan dan individu bisa kehilangan nilai-nilai
tertentu (Gravenhorst (2003).
Dalam skala yang lebih luas, resistensi dapat berubah
menjadi pemberontakan (rebellion) dan revolusi. Jika resistensi
sangat terorganisasi, sistemik, dan melibatkan banyak
komponen masyarakat, maka resistensi dapat berubah menjadi
pemberontakan (rebellion). Pemberontakan (rebellion) tidak
ditujukan kepada pemerintah lokal, tetapi ia sebagai perlawanan
141
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
terbuka terhadap kekuasaan, khususnya yang dilakukan oleh
kekuatan bersenjata melawan pemerintah (pusat) yang sah dan
establish. Pemberontakan dapat menjadi suatu revolusi ketika
para pemberontak berhasil melakukan atau mencapai
tujuannya. Revolusi Amerika (1775-1783), revolusi Perancis
(1789-1795) dan revolusi Rusia (1917) merupakan contoh dari
sebuah perlawanan dan pemberontakan yang menghasilkan
suatu revolusi. Resistensi yang dilakukan PKL tidak dapat
dikategorikan sebagai pemberontakan, karena sifatnya hanya
lokal, ditujukan kepada pemerintah kota, dan tidak
dimaksudkan untuk merebut kekuasaan yang sah.
Dari berbagai pandangan tersebut, resistensi dapat dipahami
dalam dua pengertian, yaitu sebagai suatu sikap menentang
perubahan dan sebagai suatu perilaku nonkonformis yang
mengubah suatu tertib sosial. Dalam disertasi ini, resistensi
dipahami sebagai suatu sikap, respon atau reaksi yang dilakukan
individu atau sekelompok individu untuk menolak, menentang,
dan melawan setiap perintah, aturan, dan kebijakan pihak lain
atau pihak yang memegang otoritas. Relokasi atau pemindahan
ke lokasi baru bagi PKL merupakan sebuah ancaman akan posisi
status quo mereka yang selama ini sudah dapat menikmati
aktivitasnya sebagai PKL. Relokasi juga dipandang oleh PKL
sebagai perubahan terhadap posisi dan prospek hidup mereka,
yang belum tentu memberi jaminan dengan kepindahannya di
tempat baru, mereka akan menikmati hidup lebih baik. Inilah
yang menyebabkan para PKL bersikap resisten ketika
ditertibkan, digusur, dan dipindahkan.
Resistensi sejatinya merupakan tindakan menolak untuk
tunduk, patuh dan memenuhi perintah atau peraturan yang
ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang. PKL
menolak untuk tidak patuh dan tidak tunduk kepada perintah
relokasi dari Pemkot bisa dipandang sebagai resistensi negatif,
karena tidak patuh terhadap Perda yang mengatur pedagang
kaki lima. Namun pada sisi lain, resistensi yang diperlihatkan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
142
para PKL di tiga lokasi dapat juga berkonotasi positif, karena
penolakan dan perlawanan mereka diduga dapat memengaruhi
cara pandang dan kebijakan Pemkot dalam menata PKL di kota
Semarang.
Gerakan perlawanan Perancis selama Perang Dunia Kedua,
merupakan contoh resistensi yang berkonotasi positif dan
romantik, karena tindakan pemberontak berjuang melawan
kekuasaan tirani. Resistensi pemberontak Perancis ini lebih
cocok disebut “Resistance Fighters” atau “Freedom Fighters”
daripada pemberontakan atau rebellion.
Resistensi atau perlawanan seseorang atau kelompok
berkaitan dengan sikap, tindakan, dan respon terhadap
perubahan. Perubahan bisa membuat orang atau kelompok
cemas dan hilang harapan (hopeless) yang menurut persepsinya
bisa mengancam kelangsungan hidupnya. Seperti halnya yang
dialami pedagang kaki lima di Sampangan, Basudewo, dan
Kokrosono ketika ditertibkan, digusur, dan direlokasi, respon
mereka bermacam-macam. Ada yang bisa beradaptasi
(adaptation) dengan bersedia pindah ke gedung PKL Kokrosono,
meskipun jumlahnya tidak banyak; ada yang bisa menerima
(acceptance) keputusan dan kebijakan Pemkot untuk pindah
atau sama sekali tidak bekerja sebagai PKL; ada yang kaget
(shock), sehingga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah; dan
ada pula yang bersikap defensif (defensive), yakni bertahan di
lokasi untuk melakukan pembelaan diri dengan melawan
kebijakan yang ditempuh Pemkot. Dari empat respon PKL
terhadap kebijakan relokasi, sikap yang terakhir, yaitu defensif
yang paling dominan diperlihatkan PKL. Visualisasi dari respon
143
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
PKL terhadap kebijakan relokasi dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 8. Respon PKL terhadap Kebijakan Relokasi
D. Kerangka Berpikir
Dari uraian kajian teori di atas, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa kebijakan pemerintah, terutama dalam
menyelenggarakan kegiatan pembangunan lebih berorientasi
kepada neoliberalisme. Paradigma tersebut jelas bertentangan
dengan isi pembukaan UUD 1945, terutama dalam kaitannya
dengan fungsi pemerintah sebagai pihak yang bertanggung
jawab dalam memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah
negara Indonesia yang telah terintegrasi ke dalam kapitalisme
internasional, dalam kegiatan pembangunan nasional lebih
mengutamakan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi.
Dalam praktik kebijakannya, pemerintah lebih banyak
mengambil strategi memacu peningkatan investasi dan
berkolaborasi dengan investor atau produsen yang
1 2
3 4
Adaptation Shock
Defensive Acceptance
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
144
sumbangannya besar (well-endowed producer) yang dapat
membantu upaya negara mencapai tujuannya. Tidak
mengherankan jika kebijakan yang diambil oleh pemerintah
pusat diikuti oleh pemerintah daerah dengan lebih banyak
mendorong dan menciptakan iklim yang menguntungkan bagi
pertumbuhan sektor formal daripada perkembangan sektor
informal, khususnya pedagang kaki lima (PKL).
Mereka yang bekerja pada sektor formal, utamanya para
investor dan produsen well-endowed yang mendapatkan
perhatian besar dari pemerintah daerah. Sementara itu, para
pengusaha atau pekerja sektor informal, yang dinilai
sumbangannya kecil baik untuk GNP, GDP, maupun PAD
kurang mendapatkan dukungan yang memadai. Kebijakan
daerah melalui berbagai peraturan yang diterbitkan cenderung
tidak memihak pada kepentingan para pekerja sektor informal,
sehingga para pekerja sektor informal khususnya PKL tidak
mendapatkan perhatian yang memadai.
Dalam kenyataannya, pemerintah daerah cenderung
menempuh kebijakan yang menyebabkan terjadinya
domestifikasi atau penjinakan terhadap para pekerja sektor
informal, khususnya PKL liar. Tidak jarang cara kekerasan, baik
simbolis maupun langsung, dipakai pemerintah untuk
menertibkan para PKL liar.
Para PKL yang banyak menggantungkan hidupnya dengan
bekerja pada sektor informal tidak tinggal diam. Mereka
melakukan perlawanan (resistensi) terhadap pemerintah.
Perlawanan ini diduga tidak dapat dilakukan sendiri secara
individual, sebab dalam kenyataannya para PKL yang umumnya
145
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
tidak terdidik (un-educated) dan tidak terampil (un-skill) tidak
memiliki sumberdaya kekuasaan. Dalam relasinya dengan
pemerintah, posisi PKL lemah. Diduga ada suatu modal sosial,
yang lahir dari interaksi sosial dalam struktur sosial yang
dikembangkan oleh PKL yang terbangun melalui bonding
social capital dan bridging social capital, yang mendorong para
PKL bertindak kolektif melakukan perlawanan terhadap
pemerintah. Perlawanan (resistensi) yang dilakukan PKL adalah
perlawanan rakyat kecil, yang tujuannya adalah untuk
menyambung hidup atau mempertahankan kelangsungan
hidupnya (survival). Gambar berikut memperjelas bagaimana
kerangka berpikir dari penelitian ini.
Gambar 9. Kerangka Berpikir Penelitian
Domestifikasi
Kekerasan Simbolik dan
Langsung
PKL liar
Modal Sosial
Resisten terhadap
Kebijakan
Survival
PKL
Kebijakan
Pemerintah
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
146
E. Rangkuman
Sektor informal merupakan sektor ekonomi yang eksis tidak
hanya pada masa krisis ekonomi, tetapi juga berlanjut terus
menjadi bagian dari kehidupan ekonomi nasional. Pandangan
bahwa sektor informal merupakan transisi menuju sektor
formal tidak selamanya benar, karena dalam kenyataan di
negara-negara berkembang, sektor ini tumbuh dan berkembang
seperti busa penyerap tenaga kerja yang berasal dari pedesaan
atau pun pekerja urban, yang karena keterbatasannya tidak
mungkin diserap seluruhnya oleh sektor formal.
Pedagang kaki lima (PKL) sebagai salah satu jenis dari
pekerja sektor informal merupakan fenomena riil dari
keberadaan sektor informal yang tidak bisa dilihat semata-mata
sebagai pekerja transisional, yang nantinya diharapkan menjadi
pengusaha sektor formal. Mereka kebanyakan berpendidikan
rendah, tidak memiliki keterampilan yang memadai, modal
kecil, teknologi yang digunakan rendah, pekerjaan sering
ditangani sendiri atau dibantu oleh keluarganya, dan tidak
memiliki akses terhadap lahan atau kredit. Banyak di antara
mereka menjadi PKL sebagai satu-satunya harapan untuk
menggantungkan hidup. Ada di antara mereka yang sukses
secara ekonomi dan mungkin bisa beralih pada pekerjaan sektor
formal, namun jumlahnya tidak banyak. Keterbatasan
pemerintah untuk menyediakan lahan strategis bagi
kelangsungan hidup PKL merupakan salah satu kendala
mengapa banyak PKL yang menempati ruang publik yang
sesungguhnya tidak boleh digunakan untuk berdagang.
Pemerintah kota Semarang, seperti halnya pemerintah
daerah lainnya, menghadapi dilema berkaitan dengan
keberadaan PKL. Di satu sisi, pemerintah harus dapat
menyediakan akses dan fasilitas yang dapat menarik investor,
yakni dengan membangun kota yang dapat dilihat indah, asri,
bersih, nyaman, dan aman untuk iklim usaha; tetapi di sisi lain
147
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
banyak PKL menjalankan aktivitas ekonomi di area atau ruang-
ruang publik, seperti di trotoar, di taman, di tepi jalan dekat
sungai, dan ruang publik lainnya, sehingga menyebabkan jalan
dan ruang publik di kota menjadi semrawut, kotor, tidak asri,
tidak tertib, dan tidak terjamin keamanannya.
Dilema ini berkaitan dengan sikap yang harus diambil,
apakah harus pro investor yang dalam jangka pendek dapat
meningkatkan pendapatan daerah, yakni dengan menertibkan
PKL atau membiarkan PKL menjalankan aktivitas ekonominya,
tetapi tidak menjamin upaya mewujudkan kota Semarang
sebagai pusat perdagangan dan jasa.
Kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah, umumnya
berasal dari problem nyata yang dihadapi masyarakat dan
tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan pelayanan
sekaligus kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana pandangan
Hayek, kebijakan yang ditetapkan pemerintah diharapkan dapat
memastikan tatanan masyarakat dan perekonomian dapat
berjalan tanpa banyak campur tangan dari negara atau
pemerintah. Terlalu banyak mengatur keberadaan PKL tentu
saja tidak menguntungkan pemerintah kota Semarang, tetapi
tidak mengatur sama sekali, pemerintah bisa kehilangan potensi
investasi dan pemasukan pendapatan bagi daerah.
Kebijakan yang ditempuh pemerintah kota Semarang
utamanya dalam menangani PKL tidak utuh, bahkan tidak
mendasarkan pada pedoman yang jelas, sehingga ada kesan
tambal sulam atau bersifat reaktif. Dalam perspektif
Machiavelli, kebijakan yang diambil pemerintah kota Semarang
cenderung hanya untuk meraih tujuan yang dikehendaki
pemegang kekuasaan, yaitu mengejar investasi agar Semarang
dalam waktu dekat setara dengan kota-kota metropolitan
lainnya. Strategi jangka pendek, yaitu dengan melakukan
penertiban dan penggusuran terhadap PKL tidak membuat
mereka akomodatif dan patuh memenuhi keinginan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
148
pemerintah, tetapi justru menimbulkan perlawanan (resistensi)
di kalangan mereka.
Resistensi PKL terhadap kebijakan relokasi yang disertai
penggusuran merupakan tindakan kolektif, yang hanya terjadi
ketika mereka memiliki perasaan bersatu, senasib dalam suka
dan duka, serta diorganisasikan untuk melakukan tindakan
bersama menentang kebijakan pemerintah. Para PKL yang
sudah lama menempati lokasi berdagang, seperti halnya PKL
Sampangan, PKL Basudewo, dan PKL Kokrosono telah menyatu
dengan lahan tempat mereka bekerja. Muncullah identitas
bersama, yakni PKL Sampangan, PKL Basudewo, dan PKL
Kokrosono, yang tidak mudah dilepaskan dari kehidupan
mereka, sehingga memindahkan mereka ke tempat lain
merupakan kesulitan tersendiri bagi pemerintah.
Interaksi sosial yang berlangsung lama menjadikan PKL
seperti sebuah keluarga dengan keintiman hubungan di antara
mereka. Relasi sosial yang sudah terbangun lama, dengan nilai-
nilai kebersamaan, serta jaringan sosial yang dibangun oleh
organisasi atau pun tokoh-tokoh kunci PKL, menguatkan
adanya bonding social capital sekaligus terbangunnya jaringan
interaksi dengan organisasi lainnya atau menampakkan adanya
bridging social capital. Modal sosial inilah yang ditengarai
menjadi faktor penguat resistensi PKL terhadap kebijakan
pemerintah.