22
BAB II TINJAUAN TEORI A. PERILAKU KEKERASAN 1. Definisi Resiko Perilaku Kekerasan Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan suatu tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart dan Sundeen, 2002). Perilaku kekerasan merupakan suatu kondisi maladaptif seseorang dalam berespon terhadap marah (Keliat, 2002 ). Jadi, perilaku kekerasan atau tindak kekerasan merupakan ungkapan perasaan marah dan bermusuhan yang mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana individu bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain atau lingkungan. 2. Rentang Respon Perilaku Kekerasan Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun perilaku yang dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Respon Adaptif Respon Maladaptif

BAB II RPK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II RPK

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. PERILAKU KEKERASAN

1. Definisi Resiko Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan suatu

tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain

maupun lingkungan. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon

terhadap kecemasan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman

(Stuart dan Sundeen, 2002).

Perilaku kekerasan merupakan suatu kondisi maladaptif seseorang dalam berespon

terhadap marah (Keliat, 2002 ).

Jadi, perilaku kekerasan atau tindak kekerasan merupakan ungkapan perasaan marah

dan bermusuhan yang mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana individu bisa

berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat membahayakan diri

sendiri, orang lain atau lingkungan.

2. Rentang Respon Perilaku Kekerasan

Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun perilaku yang dimanifestasikan

oleh perasaan marah dapat berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif.

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

a. Asertif adalah merupakan ungkapan tanpa menyakit orang akan memberi kelegaan

pada individu dan tidak akan menimbulkan masalah.

b. Frustasi adalah adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena tujuan

yang tidak realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan.

c. Pasif adalah diam dan merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang dialami.

d. Agresif adalah adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk

bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Perilaku yang tampak

Page 2: BAB II RPK

berupa : muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan. Baron &

Richardson (dalam Krahe, 2005) mendefinisikan agresi adalah segala bentuk

perilakuyang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang

terdorong untuk menghindari.

1) Jenis-jenis perilaku agresif :

Menurut Morgan (dalam Riyanti & Probowo, 1998), membagi agresi menjadi

beberapa bentuk yaitu:

a) Agresif fisik, aktif, langsung contohnya, menikam, memukul, atau menembak

orang lain.

b) Agresif fisik, aktif, tidak langsung contohnya, membuat perangkap untuk orang

lain, menyewa seorang pembunuh untuk membunuh.

c) Agresif fisik, pasif, langsung contohnya, secara fisik mencegah orang lain

memperoleh tujuan yang diinginkan atau memunculkan tindakan yang

diinginkan (misal aksi duduk dalam demonstrasi).

d) Agresif fisik, pasif, tidak langsung contohnya, menolak melakukan tugas-tugas

yang seharusnya (misalnya menolak berpindah ketika melakukan aksi duduk).

e) Agresif verbal, aktif, langsung contohnya, menghina orang lain.

f) Agresif verbal, aktif, tidak langsung contohnya, menyebarkan gosip atau

rumors yang jahat terhadap orang lain.

g) Agresif verbal, pasif, langsung contohnya menolak berbicara ke orang lain,

menolak menjawab pertanyaan.

h) Agresif verbal, pasif, tidak langsung contohnya tidak mau membuat komentar

verbal misal menolak berbicara ke orang lain yang menyerang dirinya bila ia di

kritik secara tidak fair.

Secara umum Myers (dalam Sarwono, 2002) membagi agresi sebagai berikut:

a) Agresif rasa benci atau agresi emosi (hostile aggression) adalah perilaku agresi

yang ditandai dengan emosi yang tinggi dan dilakukan semata-mata sebagai

pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti.

b) Agresif instrumental adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu

sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.

Sedangkan menurut Berkowitz (1995) membedakan dua jenis agresif menurut

sasarannya, yaitu :

a) Agresif Instrumental, yaitu agresif yang dilakukan oleh individu sebagai alat

atau cara untuk mencapai tujuan tertentu.

Page 3: BAB II RPK

b) Agresif Impulsif, yaitu agresif yang dilakukan semata-mata sebagai

pelampiasan keinginan untuk melukai, menyakiti dan juga meninbulkan efek

kerusakan, kematian pada korban.

e. Kekerasan adalah dapat disebut juga dengan amuk yaitu perasaan marah dan bermusuhan

yang kuat disertai kehilangan kontrol diri individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan

lingkungan. Contohnya membanting barang – barang, menyakiti diri sendiri ( bunuh diri ).

3. Etiologi Perilaku Kekerasan

a. Faktor Predisposisi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori

biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996

dalam Purba dkk, 2008) adalah:

1) Teori Biologik

Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:

a) Neurobiologik

Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem

limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai

peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem

limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada

gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial

perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak

mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan

agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi

memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam

menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan

berinteraksi dengan pusat agresif.

b) Biokimia

Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan

serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif.

c) Genetik

Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan

genetik karyotype XYY.

d) Gangguan Otak

Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak

kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus

Page 4: BAB II RPK

temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti

ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap

perilaku agresif dan tindak kekerasan.

2) Teori Psikologik

a) Teori Psikoanalitik

Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan

dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat

konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan

prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam

kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan

secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.

b) Teori Pembelajaran

Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang

tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai

prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang

positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap

perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka

mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya

ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak

mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan

setelah dewasa.

3) Teori Sosiokultural.

Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial

terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima

perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga

berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa

kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk

yang ramai atau padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku

kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup

individu.

b. Faktor Presipitasi

Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan :

Page 5: BAB II RPK

1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti

dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan

sebagainya.

2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.

3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak

membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan

dalam menyelesaikan konflik.

4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya

sebagai seorang yang dewasa.

5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme

dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.

6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan

tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

4. Manifestasi Klinik Perilaku Kekerasan

Manifestasi klinis perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:

a. Fisik

1) Muka merah dan tegang

2) Mata melotot atau pandangan tajam

3) Tangan mengepal

4) Rahang mengatup

5) Postur tubuh kaku

6) Jalan mondar-mandir

b. Verbal

1) Bicara kasar

2) Suara tinggi, membentak atau berteriak

3) Mengancam secara verbal atau fisik

4) Mengumpat dengan kata-kata kotor

5) Suara keras

6) Ketus

c. Perilaku

1) Melempar atau memukul benda atau orang lain

2) Menyerang orang lain.

3) Melukai diri sendiriorang lain

4) Merusak lingkungan

Page 6: BAB II RPK

5) Amuk atau agresif

d. Emosi

Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak

berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.

e. Intelektual

Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.

f. Spiritual

Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung

perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.

g. Sosial

Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.

h. Perhatian

Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

5. Gangguan Mental yang berkaitan dengan Perilaku Kekerasan

Wakaupun kebanyakan gangguan jiwa tidak berbahaya, beberapa pasien diantaranya

menunjukkan peningkatan terhadap resiko timbulnya perilaku kekerasan.

a. sindrom otak organik : khususnya dengan kebingungan atau berkurangnya

pengendalian implus ( misalnya: demensia, penggunaan obat-obatan pada usia lanjut)

b. penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan

c. skizofrenia tipe paranoid dan katatonik terutama dengan halusinasi perintah atau pasien

peminum.

d. Gangguan pemusatan perhatian yang berat dan hiperaktivitas pada usia dewasa.

6. Pola yang tampak dari perilaku kekerasan

a. Gaya hidup yang selalu ingin meningkatkan diri dengan segala cara (self-aggrandizing)

agresif yang kronis. Terlihat dengan gangguan kepribadian antisosial dan karenanya

berhubungan dengan penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, kenakalan remaja dan

krimininalitas.

Page 7: BAB II RPK

b. Kekerasan episodik : kemarahan meledak hanya dengan sedikit provokasi, setiap hari

hingga beberapa kali dalam setahun, kadang-kadang terdapat amnesia singkat tentang

kejadian tersebut dan disertai penyesalan yang dalam.

7. Penatalaksanaan Pasien dengan Kekerasan Akut

a. Putuskan bahwa pasien kehilangan kendali secara akut, tangani dengan segera dengan

pengekangan fisik dan medikasi, bukan dengan percakapan.

b. Dekati pasien yang kurang bersahabat dengan hati-hati dan berada pada posisi yang

aman. Waspadai tanda-tanda peringatan (misal: gelisah, sikap menuntut). Apabila

bercakap-cakap tampak bermanfaat, coba lakukan, tetapi berilah batas yang jelas

selama wawancara.

c. Medikasi terhadap agitasi akut

1) Clorpromazine (CPZ, Largactile)

Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,

kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-gejala lain yang bisanya

terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresif, gangguan personalitas, psikosa

involution, psikosa masa kecil. Kontraindikasi sebaiknya tidak diberikan kepada

klien dengan keadaan koma, keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika dan

penderita yang hipersensitif terhadap derifat fenothiazine. Efek samping yang sering

terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik, mulut kering, hidung

tersumbat, konstipasi, amenorrhea pada wanita, hiperpireksia atau hipopireksia,

gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk penderita non psikosa dengan dosis yang

tinggi menyebabkan gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan saraf pusat,

hipotensi, ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran irama EKG.

Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.

2) Haloperidol(Haldol,Serenace)

Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gillesde la Tourette

pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat pada anak -

anak. Kontra indikasinya depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma, penyakit

parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek samping yang sering adalah

mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala ekstrapiramidal atau pseudo

parkinson. Efek samping yang jarang adalah nausea diare, konstipasi, hipersalivasi,

Page 8: BAB II RPK

hipotensi, gejala gangguan otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi,

reaksi hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis melebihi

dosis terapeutik dapat timbul kelemasan otot atau kekakuan, tremor, hipotensi,

sedasi, koma, depresi pernafasan.

3) Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)

Indikasinya untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala skizofrenia.

Kontra indikasinya pada depresi susunan saraf pusat yang hebat, hipersensitif

terhadap fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi

biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek samping yang hebat. Pengobatan

over dosis; hentikan obat berikan terapi simptomatis dan suportif, atasi hipotensi

dengan levarterenol hindari menggunakan ephineprine. Terapi Medis (Kaplan dan

Sadock, 1997) Rang paranoid atau dalam keadaan luapan katatonik memerlukan

trankuilisasi. Ledakan kekerasan yang episodic berespon terhadap lithium (Eskalith),

penghambat–beta, dan carbamazepine (Tegretol). Jika riwayat penyakit

mengarahkan suatu gangguan kejang, penelitian klinis dilakukan untuk menegakkan

diagnosis, dan suatu pemeriksaan dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Jika

temuan adalah positif, antikonvulsan adalah dimulai, atau dilakukan pembedahan

yang sesuai (sebagai contohnya, pada masa serebral). Jika kemarahan disebabkan

oleh alcohol atau sebagian dari gangguan psikomotor pascakejang, tidur yang

ditimbulkan oleh medikasi IV dengan jumlah relative kecil dapat berlangsung selama

berjam-jam. Saat terjaga, pasien seringkali sepenuhnya terjaga dan rasional dan

biasanya memiliki amnesia lengkap untuk perilaku kekerasan.

d. Jika pasien mengancam dan agitasi tetapi tidak ganas, perlakukan dengan penuh

penghormatan: manusiawi, langsung, pasti, tenang, menentramkan. Jangan

menantang, memprovokasi atau secara terang-terangan tidak setuju dengan pasien.

e. Tentukan etiologi kekerasan.

f. Kebanyakan pasien dapat “ditenangkan” dengan dukungan, pengertian dan

medikasi.

B. HALUSINASI

1. Definisi Halusinasi

Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya

rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada

saat kesadaran individu itu penuh / baik (Stuart & Sunden, 1998). Halusinasi adalah

persepsi tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang pasien yang terjadi

Page 9: BAB II RPK

dalam keadaan sadar/terbangun. (Maramis,1990). Halusinasi yaitu gangguan persepsi

(proses penyerapan) pada panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar pada pasien

dalam keadaan sadar.

2. Psikodinamika

a. Etiologi

1) Faktor Predisposisi

Faktor prediposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah

sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh

baik dari pasien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosial

kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi

jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi

stress (Stuart & Laraia, 2001). 

a) Biologis : abnormalitas pada otak seperti lesi pada area frontal, temporal dan

limbic terbukti menyebabkan respon neurobiologist yang maladaptive. Beberapa

kimia otak juga dikaitkan seperti neurotransmitter yang berlebihan dan masalah

pada respon dopamin.

b) Psikologis: teori psikodinamika menggambarkan bahwa halusinasi terjadi karena

adanya isi alam tidak sadar yang masuk alam sadar sebagai suara respon terhadap

konflik psikologis dan kebutuhan yang tidak terpenuhi sehingga halusinasi

merupakan gambaran dan rangsangan keinginan dan ketakutan yang dialami oleh

klien.

c) Sosial budaya: stress yang menumpuk dapat menunjung awitan halusinasi dan

gangguan psikotik lain tetapi diyakini sebagai penyebab utama gangguan.

2) Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi menurut (Stuart & Laraia, 2001) adalah

a) Eksternal : Faktor yang datang dari luar seperti adanya hubungan yang

bermusuhan

b) Internal : Faktor yang datang dari dalam dirinya seperti adanya tekanan,

perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berguna

b. Tanda dan gejala

Bicara, senyum dan tertawa sendiri, menarik diri dan menghindar dari orang lain. Tidak

dapat membedakan antara keadaan nyata dan tidak nyata tidak dapat memusatkan

perhatian curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya),

takut Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung. (Keliat, 2005).

Page 10: BAB II RPK

c. Rentang respon

Respon Adaftif Respon Maladaftif

d. Proses terjadinya halusinasi

(Stuart & Laraia, 2001) membagi halusinasi menjadi empat fase yang terdiri dari:

1) Fase Pertama

Klien mengalami kecemasan, stress, perasaan terpisah dan kesepian, klien mungkin

melamun, memfokuskan pikirannnya kedalam hal-hal menyenangkan untuk

menghilangkan stress dan kecemasannya. Tapi hal ini bersifat sementara, jika

kecemasan datang klien dapat mengontrol kesadaran dan mengenal pikirannya

namun intesitas persepsi meningkat.

2) Fase Kedua

Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal,

individu berada pada tingkat listening pada halusinasinya. Pikiran internal menjadi

menonjol, gambar suara dan sensori dan halusinasinya dapat berupa bisikan yang

jelas. Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasinya dengan

memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain atau tempat lain.

3) Fase Ketiga

Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol. Klien menjadi lebih

terbiasa dan tidak berdaya dengan halusinasinya. Kadang halusinasinya tersebut

memberi kesenangan dan rasa aman sementara.

4) Fase Keempat

Pikiran logis

Persepsi akurat

Emosi konsisten

Perilaku sesuai

Hubungan sosial

harmonis

Proses pikir terkadang

terganggu

iIlusi

Emosi berlebih/

berkurang

Perilaku tidak sesuai

Menarik diri

Gangguan proses

pikir: waham

Gangguan persepsi

sensori: halusinasi

Kerusakan persepsi

emosi

Perilaku tak

terorganisir

Page 11: BAB II RPK

Klien merasa terpaku dan tidak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya.

Halusinasi sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah,

memarahi. Klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk

dengan halusinasinya. Klien hidup dalam dunia yang menakutkan yang

berlangsung secara singkat atau bahkan selamanya.

e. Mekanisme Koping

Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat

mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping di lingkungan.

Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan

sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan

pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang

berhasil.

Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman

yang menakutkan berhubungan dengan respon neurologi seperti:

1) Regresi

Menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali

seperti pada perilaku perkembangan anak/ berhubungan dengan masalah proses

informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas.

2) Proyeksi

Keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada orang

lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri.

3) Menarik diri

Reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis,

reaksi fisik yaitu individu pergi atau menghindar sumber stressor, menunjukkan

perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan

bermusuhan.

f. Jenis- Jenis Halusinasi

1) Halusinasi pendengaran

Klien mendengar suara atau bunyi yang tidak ada hubungannya dengan stimulus

yang nyata atau lingkungan dan orang lain tidak mendengarnya.

2) Halusinasi penglihatan

Klien melihat gambaran yang jelas atau samar-samar tanpa stimulus nyata dan

orang lain tidak melihatnya.

Page 12: BAB II RPK

3) Halusinasi penciuman

Klien mencium bau yang muncul dari sumber tertentu tanpa stimulus yang nyata

dan orang lain tidak menciumnya.

4) Halusinasi pengecapan

Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata, biasanya makanan tidak enak.

5) Halusinasi perabaan

Klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa stimulus yang nyata.

Page 13: BAB II RPK

g. Pathway Halusinasi dan Resiko Perilaku Kekerasan

Konflik (keluarga, masyarakat dan lingkungan)

Stress psikologik

Hubungan antar manusia yang mengecewakan

Ketidakseimbangan neurotransmiter

Faktor sensorik

Skizofrenia

Gejala positif Defusi gejala negatif

Persepsi pikiran untuk perilaku yang tidak Pikiran dan pembicaraan kacau

Biasa secara menonjol Perilaku Katatonik

Bicara senyum sendiri

Tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata kurangnya dorongan Afek Datar

Untuk beraktivitas Alogia

Perasaan malu terhadap diri sendiri

Mengkritik diri

Harga Diri Rendah

Kurangnya keterampilan pre okupasi dengan

Berhubungan sosial pikiran sendiri

Apatis

Kurang spontan

Menarik diri

Halusinasi Dengar

Resiko Perilaku Kekerasan

Page 14: BAB II RPK

C. ALKOHOLIK

1. Definisi

Alkohol merupakan sutau depresan sistem saaf pusat yang secara cepat diabsorpsi

ke dalam aliran darah. Pada awalnya, efeknya adalah relaksasi dan kehilangan inhibisi. Pada

intoksikasi, ditandai dengan bicara yang kacau, sempoyongan, kurang koordinasi, dan

gangguan perhatian, konsentrasi, memori dan penilaian. Beberapa individu menjadi agresif

atau menampilkan perilaku seksual yang tidak tepat ketika terintoksikasi.

Keadaan overdosis atau kelebihan asupan alkohol dalam periode waktu yang

singkatm dapat menyebabkan muntah, tidak sadar, dan depresi pernapasan. Kombinasi ini

dapat menyebabkan pneumonia aspirasi atau obstruksi paru. Hipotensi akibat alkohol dapat

menyebabkan syok kardiovaskular dan kematian. Terapi overdosis alkohol sama dengan

terapi untuk depresan sistem saraf pusat.: bilas lambung atau dialisis untuk mengeluarkan

obat, dan bantuan fungsi pernapasan dan kardiovaskular di unit perawatan intensif.

2. Etiologi

a. Faktor biologi

Anak-anak dari orangtua alkoholik beresiko tinggi mengalami alkoholisme dan

ketergantungan obat. Studi adopsi menunjukkan bahwa angka alkoholisme lebih tinggi

daripada anak laki-laki dari ayah biologis nonalkoholik.

Ingesti zat yang mengubah mood menstimulasi alur dopamin pada sistem limbik

yangmenimbulkan perasaan senang atau “eurofia” yang merupakan pengalaman yang

menguatkan atau positif. Distribusi zat di seluruh otak mengubah keseimbangan

neurotransmitter yang memodulasi respons kesenangan, nyeri, dan penghargaan.

Individu mempunyai alarm internal yang membatasi jumlah konsumsi alkohol

Page 15: BAB II RPK

D. DAFTAR PUSTAKA

Berkowitz, L.1994. Agresi I Sebab dan Akibatnya.Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo.

Williams L & Wilkins. 2000. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta : EGC