Upload
wiedmuet
View
128
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PERILAKU KEKERASAN
1. Definisi Resiko Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan suatu
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman
(Stuart dan Sundeen, 2002).
Perilaku kekerasan merupakan suatu kondisi maladaptif seseorang dalam berespon
terhadap marah (Keliat, 2002 ).
Jadi, perilaku kekerasan atau tindak kekerasan merupakan ungkapan perasaan marah
dan bermusuhan yang mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana individu bisa
berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat membahayakan diri
sendiri, orang lain atau lingkungan.
2. Rentang Respon Perilaku Kekerasan
Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun perilaku yang dimanifestasikan
oleh perasaan marah dapat berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif.
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan
a. Asertif adalah merupakan ungkapan tanpa menyakit orang akan memberi kelegaan
pada individu dan tidak akan menimbulkan masalah.
b. Frustasi adalah adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena tujuan
yang tidak realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan.
c. Pasif adalah diam dan merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang dialami.
d. Agresif adalah adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk
bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Perilaku yang tampak
berupa : muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan. Baron &
Richardson (dalam Krahe, 2005) mendefinisikan agresi adalah segala bentuk
perilakuyang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang
terdorong untuk menghindari.
1) Jenis-jenis perilaku agresif :
Menurut Morgan (dalam Riyanti & Probowo, 1998), membagi agresi menjadi
beberapa bentuk yaitu:
a) Agresif fisik, aktif, langsung contohnya, menikam, memukul, atau menembak
orang lain.
b) Agresif fisik, aktif, tidak langsung contohnya, membuat perangkap untuk orang
lain, menyewa seorang pembunuh untuk membunuh.
c) Agresif fisik, pasif, langsung contohnya, secara fisik mencegah orang lain
memperoleh tujuan yang diinginkan atau memunculkan tindakan yang
diinginkan (misal aksi duduk dalam demonstrasi).
d) Agresif fisik, pasif, tidak langsung contohnya, menolak melakukan tugas-tugas
yang seharusnya (misalnya menolak berpindah ketika melakukan aksi duduk).
e) Agresif verbal, aktif, langsung contohnya, menghina orang lain.
f) Agresif verbal, aktif, tidak langsung contohnya, menyebarkan gosip atau
rumors yang jahat terhadap orang lain.
g) Agresif verbal, pasif, langsung contohnya menolak berbicara ke orang lain,
menolak menjawab pertanyaan.
h) Agresif verbal, pasif, tidak langsung contohnya tidak mau membuat komentar
verbal misal menolak berbicara ke orang lain yang menyerang dirinya bila ia di
kritik secara tidak fair.
Secara umum Myers (dalam Sarwono, 2002) membagi agresi sebagai berikut:
a) Agresif rasa benci atau agresi emosi (hostile aggression) adalah perilaku agresi
yang ditandai dengan emosi yang tinggi dan dilakukan semata-mata sebagai
pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti.
b) Agresif instrumental adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu
sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan menurut Berkowitz (1995) membedakan dua jenis agresif menurut
sasarannya, yaitu :
a) Agresif Instrumental, yaitu agresif yang dilakukan oleh individu sebagai alat
atau cara untuk mencapai tujuan tertentu.
b) Agresif Impulsif, yaitu agresif yang dilakukan semata-mata sebagai
pelampiasan keinginan untuk melukai, menyakiti dan juga meninbulkan efek
kerusakan, kematian pada korban.
e. Kekerasan adalah dapat disebut juga dengan amuk yaitu perasaan marah dan bermusuhan
yang kuat disertai kehilangan kontrol diri individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Contohnya membanting barang – barang, menyakiti diri sendiri ( bunuh diri ).
3. Etiologi Perilaku Kekerasan
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori
biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996
dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem
limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai
peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem
limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada
gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak
mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan
agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan
berinteraksi dengan pusat agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan
genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak
kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus
temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti
ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan
prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang
tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai
prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang
positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak
mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural.
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial
terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima
perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga
berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk
yang ramai atau padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku
kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup
individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan :
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan
dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme
dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
4. Manifestasi Klinik Perilaku Kekerasan
Manifestasi klinis perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot atau pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda atau orang lain
2) Menyerang orang lain.
3) Melukai diri sendiriorang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk atau agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung
perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
5. Gangguan Mental yang berkaitan dengan Perilaku Kekerasan
Wakaupun kebanyakan gangguan jiwa tidak berbahaya, beberapa pasien diantaranya
menunjukkan peningkatan terhadap resiko timbulnya perilaku kekerasan.
a. sindrom otak organik : khususnya dengan kebingungan atau berkurangnya
pengendalian implus ( misalnya: demensia, penggunaan obat-obatan pada usia lanjut)
b. penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan
c. skizofrenia tipe paranoid dan katatonik terutama dengan halusinasi perintah atau pasien
peminum.
d. Gangguan pemusatan perhatian yang berat dan hiperaktivitas pada usia dewasa.
6. Pola yang tampak dari perilaku kekerasan
a. Gaya hidup yang selalu ingin meningkatkan diri dengan segala cara (self-aggrandizing)
agresif yang kronis. Terlihat dengan gangguan kepribadian antisosial dan karenanya
berhubungan dengan penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, kenakalan remaja dan
krimininalitas.
b. Kekerasan episodik : kemarahan meledak hanya dengan sedikit provokasi, setiap hari
hingga beberapa kali dalam setahun, kadang-kadang terdapat amnesia singkat tentang
kejadian tersebut dan disertai penyesalan yang dalam.
7. Penatalaksanaan Pasien dengan Kekerasan Akut
a. Putuskan bahwa pasien kehilangan kendali secara akut, tangani dengan segera dengan
pengekangan fisik dan medikasi, bukan dengan percakapan.
b. Dekati pasien yang kurang bersahabat dengan hati-hati dan berada pada posisi yang
aman. Waspadai tanda-tanda peringatan (misal: gelisah, sikap menuntut). Apabila
bercakap-cakap tampak bermanfaat, coba lakukan, tetapi berilah batas yang jelas
selama wawancara.
c. Medikasi terhadap agitasi akut
1) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-gejala lain yang bisanya
terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresif, gangguan personalitas, psikosa
involution, psikosa masa kecil. Kontraindikasi sebaiknya tidak diberikan kepada
klien dengan keadaan koma, keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika dan
penderita yang hipersensitif terhadap derifat fenothiazine. Efek samping yang sering
terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik, mulut kering, hidung
tersumbat, konstipasi, amenorrhea pada wanita, hiperpireksia atau hipopireksia,
gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk penderita non psikosa dengan dosis yang
tinggi menyebabkan gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan saraf pusat,
hipotensi, ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran irama EKG.
Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.
2) Haloperidol(Haldol,Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gillesde la Tourette
pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat pada anak -
anak. Kontra indikasinya depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma, penyakit
parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek samping yang sering adalah
mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala ekstrapiramidal atau pseudo
parkinson. Efek samping yang jarang adalah nausea diare, konstipasi, hipersalivasi,
hipotensi, gejala gangguan otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi,
reaksi hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis melebihi
dosis terapeutik dapat timbul kelemasan otot atau kekakuan, tremor, hipotensi,
sedasi, koma, depresi pernafasan.
3) Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)
Indikasinya untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala skizofrenia.
Kontra indikasinya pada depresi susunan saraf pusat yang hebat, hipersensitif
terhadap fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi
biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek samping yang hebat. Pengobatan
over dosis; hentikan obat berikan terapi simptomatis dan suportif, atasi hipotensi
dengan levarterenol hindari menggunakan ephineprine. Terapi Medis (Kaplan dan
Sadock, 1997) Rang paranoid atau dalam keadaan luapan katatonik memerlukan
trankuilisasi. Ledakan kekerasan yang episodic berespon terhadap lithium (Eskalith),
penghambat–beta, dan carbamazepine (Tegretol). Jika riwayat penyakit
mengarahkan suatu gangguan kejang, penelitian klinis dilakukan untuk menegakkan
diagnosis, dan suatu pemeriksaan dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Jika
temuan adalah positif, antikonvulsan adalah dimulai, atau dilakukan pembedahan
yang sesuai (sebagai contohnya, pada masa serebral). Jika kemarahan disebabkan
oleh alcohol atau sebagian dari gangguan psikomotor pascakejang, tidur yang
ditimbulkan oleh medikasi IV dengan jumlah relative kecil dapat berlangsung selama
berjam-jam. Saat terjaga, pasien seringkali sepenuhnya terjaga dan rasional dan
biasanya memiliki amnesia lengkap untuk perilaku kekerasan.
d. Jika pasien mengancam dan agitasi tetapi tidak ganas, perlakukan dengan penuh
penghormatan: manusiawi, langsung, pasti, tenang, menentramkan. Jangan
menantang, memprovokasi atau secara terang-terangan tidak setuju dengan pasien.
e. Tentukan etiologi kekerasan.
f. Kebanyakan pasien dapat “ditenangkan” dengan dukungan, pengertian dan
medikasi.
B. HALUSINASI
1. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya
rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada
saat kesadaran individu itu penuh / baik (Stuart & Sunden, 1998). Halusinasi adalah
persepsi tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang pasien yang terjadi
dalam keadaan sadar/terbangun. (Maramis,1990). Halusinasi yaitu gangguan persepsi
(proses penyerapan) pada panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar pada pasien
dalam keadaan sadar.
2. Psikodinamika
a. Etiologi
1) Faktor Predisposisi
Faktor prediposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh
baik dari pasien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosial
kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi
jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi
stress (Stuart & Laraia, 2001).
a) Biologis : abnormalitas pada otak seperti lesi pada area frontal, temporal dan
limbic terbukti menyebabkan respon neurobiologist yang maladaptive. Beberapa
kimia otak juga dikaitkan seperti neurotransmitter yang berlebihan dan masalah
pada respon dopamin.
b) Psikologis: teori psikodinamika menggambarkan bahwa halusinasi terjadi karena
adanya isi alam tidak sadar yang masuk alam sadar sebagai suara respon terhadap
konflik psikologis dan kebutuhan yang tidak terpenuhi sehingga halusinasi
merupakan gambaran dan rangsangan keinginan dan ketakutan yang dialami oleh
klien.
c) Sosial budaya: stress yang menumpuk dapat menunjung awitan halusinasi dan
gangguan psikotik lain tetapi diyakini sebagai penyebab utama gangguan.
2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi menurut (Stuart & Laraia, 2001) adalah
a) Eksternal : Faktor yang datang dari luar seperti adanya hubungan yang
bermusuhan
b) Internal : Faktor yang datang dari dalam dirinya seperti adanya tekanan,
perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berguna
b. Tanda dan gejala
Bicara, senyum dan tertawa sendiri, menarik diri dan menghindar dari orang lain. Tidak
dapat membedakan antara keadaan nyata dan tidak nyata tidak dapat memusatkan
perhatian curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya),
takut Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung. (Keliat, 2005).
c. Rentang respon
Respon Adaftif Respon Maladaftif
d. Proses terjadinya halusinasi
(Stuart & Laraia, 2001) membagi halusinasi menjadi empat fase yang terdiri dari:
1) Fase Pertama
Klien mengalami kecemasan, stress, perasaan terpisah dan kesepian, klien mungkin
melamun, memfokuskan pikirannnya kedalam hal-hal menyenangkan untuk
menghilangkan stress dan kecemasannya. Tapi hal ini bersifat sementara, jika
kecemasan datang klien dapat mengontrol kesadaran dan mengenal pikirannya
namun intesitas persepsi meningkat.
2) Fase Kedua
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal,
individu berada pada tingkat listening pada halusinasinya. Pikiran internal menjadi
menonjol, gambar suara dan sensori dan halusinasinya dapat berupa bisikan yang
jelas. Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasinya dengan
memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain atau tempat lain.
3) Fase Ketiga
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol. Klien menjadi lebih
terbiasa dan tidak berdaya dengan halusinasinya. Kadang halusinasinya tersebut
memberi kesenangan dan rasa aman sementara.
4) Fase Keempat
Pikiran logis
Persepsi akurat
Emosi konsisten
Perilaku sesuai
Hubungan sosial
harmonis
Proses pikir terkadang
terganggu
iIlusi
Emosi berlebih/
berkurang
Perilaku tidak sesuai
Menarik diri
Gangguan proses
pikir: waham
Gangguan persepsi
sensori: halusinasi
Kerusakan persepsi
emosi
Perilaku tak
terorganisir
Klien merasa terpaku dan tidak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya.
Halusinasi sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah,
memarahi. Klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk
dengan halusinasinya. Klien hidup dalam dunia yang menakutkan yang
berlangsung secara singkat atau bahkan selamanya.
e. Mekanisme Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat
mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping di lingkungan.
Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan
sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang
berhasil.
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman
yang menakutkan berhubungan dengan respon neurologi seperti:
1) Regresi
Menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali
seperti pada perilaku perkembangan anak/ berhubungan dengan masalah proses
informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas.
2) Proyeksi
Keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada orang
lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri.
3) Menarik diri
Reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis,
reaksi fisik yaitu individu pergi atau menghindar sumber stressor, menunjukkan
perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan
bermusuhan.
f. Jenis- Jenis Halusinasi
1) Halusinasi pendengaran
Klien mendengar suara atau bunyi yang tidak ada hubungannya dengan stimulus
yang nyata atau lingkungan dan orang lain tidak mendengarnya.
2) Halusinasi penglihatan
Klien melihat gambaran yang jelas atau samar-samar tanpa stimulus nyata dan
orang lain tidak melihatnya.
3) Halusinasi penciuman
Klien mencium bau yang muncul dari sumber tertentu tanpa stimulus yang nyata
dan orang lain tidak menciumnya.
4) Halusinasi pengecapan
Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata, biasanya makanan tidak enak.
5) Halusinasi perabaan
Klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa stimulus yang nyata.
g. Pathway Halusinasi dan Resiko Perilaku Kekerasan
Konflik (keluarga, masyarakat dan lingkungan)
Stress psikologik
Hubungan antar manusia yang mengecewakan
Ketidakseimbangan neurotransmiter
Faktor sensorik
Skizofrenia
Gejala positif Defusi gejala negatif
Persepsi pikiran untuk perilaku yang tidak Pikiran dan pembicaraan kacau
Biasa secara menonjol Perilaku Katatonik
Bicara senyum sendiri
Tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata kurangnya dorongan Afek Datar
Untuk beraktivitas Alogia
Perasaan malu terhadap diri sendiri
Mengkritik diri
Harga Diri Rendah
Kurangnya keterampilan pre okupasi dengan
Berhubungan sosial pikiran sendiri
Apatis
Kurang spontan
Menarik diri
Halusinasi Dengar
Resiko Perilaku Kekerasan
C. ALKOHOLIK
1. Definisi
Alkohol merupakan sutau depresan sistem saaf pusat yang secara cepat diabsorpsi
ke dalam aliran darah. Pada awalnya, efeknya adalah relaksasi dan kehilangan inhibisi. Pada
intoksikasi, ditandai dengan bicara yang kacau, sempoyongan, kurang koordinasi, dan
gangguan perhatian, konsentrasi, memori dan penilaian. Beberapa individu menjadi agresif
atau menampilkan perilaku seksual yang tidak tepat ketika terintoksikasi.
Keadaan overdosis atau kelebihan asupan alkohol dalam periode waktu yang
singkatm dapat menyebabkan muntah, tidak sadar, dan depresi pernapasan. Kombinasi ini
dapat menyebabkan pneumonia aspirasi atau obstruksi paru. Hipotensi akibat alkohol dapat
menyebabkan syok kardiovaskular dan kematian. Terapi overdosis alkohol sama dengan
terapi untuk depresan sistem saraf pusat.: bilas lambung atau dialisis untuk mengeluarkan
obat, dan bantuan fungsi pernapasan dan kardiovaskular di unit perawatan intensif.
2. Etiologi
a. Faktor biologi
Anak-anak dari orangtua alkoholik beresiko tinggi mengalami alkoholisme dan
ketergantungan obat. Studi adopsi menunjukkan bahwa angka alkoholisme lebih tinggi
daripada anak laki-laki dari ayah biologis nonalkoholik.
Ingesti zat yang mengubah mood menstimulasi alur dopamin pada sistem limbik
yangmenimbulkan perasaan senang atau “eurofia” yang merupakan pengalaman yang
menguatkan atau positif. Distribusi zat di seluruh otak mengubah keseimbangan
neurotransmitter yang memodulasi respons kesenangan, nyeri, dan penghargaan.
Individu mempunyai alarm internal yang membatasi jumlah konsumsi alkohol
D. DAFTAR PUSTAKA
Berkowitz, L.1994. Agresi I Sebab dan Akibatnya.Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Williams L & Wilkins. 2000. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta : EGC