Upload
dangdung
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Transportasi Makro
Perencanaan sistem transportasi pada umumnya memperkirakan
kebutuhan transportasi dimasa yang akan datang. Dalam perencanaan sistem
transportasi makro terdapat 4 (empat) subsistem transportasi mikro yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Adapun keempat
subsistem tersebut adalah:
1. Sistem kegiatan atau permintaan transportasi ( transport demand )
2. Sistem jaringan atau sarana dan prasarana transportasi ( transport supply)
3. Sistem pergerakan lalu lintas ( traffic flow )
4. Sistem kelembagaan atau institusi ( institutional framework )
2.1.1 Sistem Kegiatan atau Permintaan Transportasi ( Transport Demand )
Sistem kegiatan terkait dengan tata guna lahan yang meliputi permukiman,
pusat pendidikan, perbelanjaan, perkantoran dan lain-lain. Masing-masing tata
guna lahan tersebut, akan menghasilkan pola kegiatan berupa pergerakan orang
maupun barang. Besarnya pergerakan yang terjadi dipengaruhi oleh jenis
kegiatan. Adapun model pergerakan yang dimaksud adalah :
a. Bangkitan Pergerakan ( Trip Generation )
Bangkitan pergerakan adalah tahapan pemodelan yang memperkirakan
jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan
jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu zona atau tata guna lahan (Tamin,
2000). Setiap pergerakan yang terjadi mempunyai asal (zona yang
menghasilkan pelaku perjalanan ) dan tujuan (zona yang menarik pelaku
perjalanan), dapat dilihat pada Gambar 2.1.
5
Trip Production zona a Trip Attraction zona b
Gambar 2.1 Bangkitan Pergerakan
Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan dan tarikan pergerakan berupa
jumlah kendaraan, orang atau angkutan penumpang persatuan waktu.
Bangkitan dan tarikan pergerakan dipengaruhi oleh dua aspek tata guna lahan,
yaitu : jenis tata guna lahan dan jumlah aktivitas (intensitas) pada tata guna
tersebut.
Bangkitan pergerakan bertujuan untuk mendapatkan jumlah
pergerakan yang masuk di suatu zona (Trip Attraction) dan yang
meninggalkan suatu zona (Trip Production). Kedua hal tersebut dianalisis
secara terpisah. Jadi tujuan perencanaan bangkitan adalah untuk mengetahui
besarnya bangkitan perjalanan pada masa sekarang yang dapat bermanfaat
untuk memprediksi pergerakan di masa yang akan datang.
Prediksi pergerakan selam kurun waktu 10 tahun yang akan datang
menggunakan salah satu model pertumbuhan, sehingga diperlukan data jumlah
pergerakan pada masa sekarang dan faktor pertumbuhan ( tingkat kepemilikan
kendaraan dan jumlah penduduk ). Besarnya pergerakan pada masa yang akan
datang dapat dicari dengan menggunakan rumus (Kodoatie R.J)
Tn = To x (1+ r)n..........................…………………………..( 2.1 )
Keterangan : Tn
To
r
n
=
=
=
=
pergerakan pada masa yang akan datang
pergerakan pada masa sekarang
faktor pertumbuhan
tahun rencana
b
a
6
b. Distribusi Perjalanan ( Trip Distribution )
Distribusi perjalanan terjadi karena suatu tata guna lahan tidak dapat
memenuhi kebutuhan penduduknya. Hal ini dipengaruhi oleh adanya pemisah
jarak yang dapat menimbulkan hambatan perjalanan (trip impedance) berupa
nilai jarak, biaya dan waktu.
c. Pemilihan Moda (Mode Choice)
Pemilihan moda dipengaruhi oleh tingkat pelayanan angkutan umum yang
meliputi : tarif, rute, kenyamanan, keamanan dan sebagainya.
d. Pemilihan Rute Perjalanan ( Traffic Assignment / Route Choice )
Merupakan model yang menggambarkan dasar pemilihan rute dari daerah
asal ke tujuan. Pemilihan rute dipengaruhi oleh tingkat pelayanan ruas-ruas
jalan pada rute yang dilalui dan biaya operasional kendaraan yang
dikeluarkan
2.1.2 Sistem Jaringan Transportasi (Transport Supply )
Pergerakan manusia atau barang memerlukan sarana dan prasarana
transportasi. Perangkat keras (hardware) sebagai sarana transportasi yang
diperlukan adalah jaringan jalan yang telah ditetapkan pada masing – masing ruas
jalan antara lain; bahu jalan, lebar jalan, tempat parkir, trotoar, tempat
penyeberangan, halte dan terminal angkutan umum.
Sementara itu, perangkat lunak (software) sebagai prasarana yang
diperlukan adalah undang-undang dan peraturan lalu lintas yang terkait dengan
lalu lintas. Keberadaan sarana transportasi didukung oleh adanya moda
transportasi berupa kendaraan roda dua, roda empat, bus dan armada angkutan
umum. Perangkat penunjang lainnya adalah median, lampu lalu lintas, marka serta
rambu jalan.
2.1.3 Sistem Pergerakan Lalu Lintas ( Traffic Flow )
Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan
pergerakan. Pergerakan tersebut dapat berupa pergerakan manusia maupun barang
dalam bentuk pergerakan pejalan kaki maupun kendaraan, Sistem pergerakan
7
mempengaruhi sistem kegiatan dan jaringan yang ada dalam bentuk aksesbilitas
dan mobilitas.
2.1.4 Sistem Kelembagaan atau Institusi ( Institutional Framework )
Sistem kelembagaan merupakan sistem yang dapat meningkatkan
keterkaitan antar masing-masing subsistem pada transportasi makro. Di Indonesia,
sistem kelembagaan yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah sebagai
berikut :
- Sistem kegiatan ditangani oleh Badan Perencanaan Nasional
(BAPPENAS),Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA),
dan Pemerintah Daerah (PEMDA)
- Sistem jaringan ditangani oleh Departemen Perhubungan (darat, laut dan
udara) dan Bina Marga.
- Polisi Lalu Lintas (POLANTAS) dan Organisasi Angkutan Daerah
(ORGANDA)
Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan
pergerakan manusia ataupun barang. Pada sistem kegiatan atau sistem kebutuhan
transportasi, perubahan tata guna lahan dapat menimbulkan terjadinya bangkitan
pergerakan. Pada sistem penyedia transportasi, ketersediaan fasilitas transportasi
berupa jaringan jalan dan sarana angkutannya sangat menentukan kapasitas
pelayanan jalan. Sistem pergerakan dapat menyebabkan adanya interaksi antara
penyedia transportasi dengan kebutuhan transportasi berupa rasio antara volume
lalu lintas dan kapasitas jalan. Adanya peningkatan rasio tersebut akan
mempengaruhi tingkat pengguna jalan. Hal ini, akan menimbulkan adanya
evaluasi dari pengguna jalan untuk mencari alternatif rute. Sistem kegiatan, sistem
jaringan dan sistem pergerakan akan saling mempengaruhi satu sama lainnya
sehingga dapat menimbulkan pergerakan. Keterkaitan antara sistem tersebut, akan
mendapat pengawasan dari sistem kelembagaan, dapat dilihat pada Gambar 2.2..
8
Gambar 2.2 Keterkaitan antar Subsistem Transportasi (Tamin, 2000)
2.2 Kondisi Geometrik dan Kondisi Lapangan
1. Kondisi Geometrik
Adapun beberapa hal yang terkait dengan kondisi geometrik jalan
adalah sebagai berikut :
Median jalan merupakan daerah yang memisahkan arus lalu lintas
pada suatu segmen jalan
Lebar jalur yaitu lebar jalur jalan yang dilewati arus lalu lintas dan
tidak termasuk bahu
Lebar jalur efektif adalah lebar rata-rata yang tersedia pada
pergerakan lalu lintas setelah dikurangi parkir tepi jalan sementara
yang menghalangi jalan
Lebar bahu merupakan lebar bahu di sisi jalur jalan yang
disediakan untuk kendaraan berhenti sementara, pejalan kaki dan
kendaraan yang bergerak lambat
Lebar bahu efektif merupakan lebar bahu yang tersedia setelah
dikurangi oleh adanya penghalang ( pohon, toko dan bangunan
penghalang lainnya )
9
Trotoar adalah bagian jalan yang disediakan untuk pejalan kaki
Panjang jalan adalah panjang segmen jalan yang diamati sebagai
daerah studi
Jalur gerak yaitu bagian jalan yang direncanakan khusus untuk
kendaraan bemotor yang membebani jalan tersebut
Tipe jalan yaitu potongan melintang jalan ditentukan oleh adanya
jumlah lajur dan arah pada suatu segmen jalan. Adapun jenis –
jenis jalan meliputi :
a. Jalan dua lajur satu arah ( 2/1 )
b. Jalan dua lajur dua arah tak terbagi ( 2/2 UD )
c. Jalan empat lajur dua arah tak terbagi ( 4/2 UD )
d. Jalan empat lajur dua arah terbagi ( 4/2 D )
e. Jalan enam lajur dua arah terbagi (6/2 D)
Jumlah lajur ditentukan dari marka lajur atau dari lebar efektif jalur
(We) untuk segmen jalan. Jumlah lajur suatu jalan dapat dilihat
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jumlah Lajur
Lebar jalur efektif ( m ) Jumlah lajur
5 – 10,5 2
10,5 - 16 4
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum (1997)
2. Kondisi lingkungan
- Ukuran kota merupakan jumlah penduduk yang berada di dalam kota
yang dinyatakan dalam satuan juta jiwa, dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Kelas ukuran kota
Ukuran kota ( juta jiwa ) Kelas Ukuran Kota (City Size)
< 0,1 Sangat kecil
0,1-0,5 Kecil
0,5-1,0 Sedang
1,0 – 3,0 Besar
> 3,0 Sangat besar
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum ( 1997 )
10
- Hambatan samping adalah suatu faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan
lalu lintas pinggir jalan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi
hambatan samping adalah :
Jumlah kendaraan yang berhenti dan parkir (bobot = 1,0 )
Jumlah kendaraan bermotor yang yang keluar dan masuk ke/dari lahan
samping dan jalan sisi (bobot = 0,7 )
Jumlah pejalan yang berjalan dan menyeberang sepanjang segmen jalan
(bobot = 0,5 )
Arus kendaraan yang bergerak lambat, seperti ; becak, delman, sepeda
dan kendaraan lainnya (bobot = 0,4 )
Untuk mendapatkan jumlah berbobot kejadian, dilakukan dengan mengalikan
masing-masingtipe kejadian dengan masing-masing faktor berbobotnya, kemudian
jumlahkansemua tipe kejadian berbobot untuk mendapatkan jumlah berbobot
kejadian.
2.3 Kinerja Ruas Jalan Perkotaan
Kinerja merupakan suatu ukuran kuantitatif mengenai kondisi operasional
dari fasilitas lalu lintas. Adapun beberapa parameter yang digunakan dalam
menentukan kinerja ruas jalan adalah sebagai berikut:
2.3.1 Arus dan Komposisi Lalu Lintas
Arus lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik
pengamatan per satuan waktu yang dinyatakan dalam smp/jam, kend/jam, LHRT
(Laju Harian Rata-rata Tahunan). Nilai arus menentukan komposisi lalu lintas
dengan menggunakan ekivalen mobil penumpang untuk beberapa kendaraan
sebagai berikut :
- Kendaraan ringan (Light Vehicle) meliputi ; mobil penumpang, minibus, pick-
up dan jeep
- Kendaraan berat (Heavy Vehicle) meliputi ; truk besar dan bus
- Sepeda motor (Motorcycle)
Nilai ekivalen mobil penumpang (emp) ditampilkan pada Tabel 2.3.
11
Tabel 2.3 Nilai ekivalen mobil penumpang (emp)
Tipe jalan :
Arus lalu lintas
total dua arah
(kend/jam)
emp
HV
MC
Lebar jalur lalu lintas Wc (m)
≤6 ≥6
Dua-lajur-tak
terbagi
(2/2 UD)
0
≥1800
1,3
1,2
0,5
0,35
0,40
0,25
Empat-lajur-
tak-terbagi
(4/2)
0
≥3700
1,3
1,2
0,40
0,25
2.3.2 Kapasitas
Kapasitas adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat melintas dengan
stabil pada suatu potongan melintang jalan pada kondisi tertentu.
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997), besarnya kapasitas jalan
dapat dihitung dengan rumus :
C = C0 x FCW x FCSP x FCSF x FCCS.................................(2.2)
Keterangan :
C = kapasitas sesungguhnya (smp/jam)
CO = kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = faktor penyesuaian lebar jalan
FCSP = faktor penyesuaian pemisah arah
FCSF = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kreb
FCCS= faktor penyesuaian ukuran kota
a. Kapasitas dasar
Jika kondisi sesungguhnya sama dengan kasus dasar (ideal) tertentu, maka
semua faktor penyesuaian menjadi 1,0 sehingga besarnya kapasitas sama
dengan kapasitas dasar. Nilai kapasitas dasar dapat dilihat pada Tabel 2.4.
12
Tabel 2.4 Kapasitas dasar ( C0 ) untuk jalan perkotaan
Tipe jalan Kapasitas dasar (smp/jam) Keterangan
Empat lajur terbagi/ jalan satu arah 1650 Per lajur
Empat lajur tak terbagi 1500 Per lajur
Dua lajur tak terbagi 2900 Total dua arah
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum (1997)
b. Faktor penyesuaian lebar jalan (FCW )
Kapasitas juga dipengaruhi oleh lebar jalur lalu lintas yang dinyatakan dengan
faktor penyesuaian lebar jalan (FCW ) dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Faktor penyesuaian lebar jalan ( FCW)
Tipe jalan Lebar jalan lalu lintas
Efektif (m) Nilai FCW
Empat lajur terbagi/jalan satu arah
Per lajur
3,0
3,25
3,50
3,75
4,00
0,92
0,96
1,00
1,04
1,08
Empat lajur tak terbagi
Per lajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
0,91
0,95
1,00
1,05
1,09
Dua lajur tak terbagi
Total dua arah
5
6
7
8
9
10
11
0,56
0,87
1,00
1,14
1,25
1,29
1,34 Sumber : Departemen Pekerjaan Umum ( 1997)
13
c. Faktor penyesuaian pemisah arah ( FCSP)
Untuk faktor penyesuaian kapasitas pemisah kapasitas arah (FCSP) dapat
dilihat pada Tabel 2.6. Tabel ini hanya memberikan nilai untuk jalan dua-lajur
dua-arah (2/2) dan empat-lajur dua-arah (4/2) tak terbagi. Sedangkan untuk
jalan terbagi dan satu arah faktor penyesuaian arah bernilai 1,0.
Tabel 2.6 Faktor penyesuaian pemisah arah (FCSP)
Pemisah arah SP%-% 50-50 60-40 70-30 80-20 90-10 100-0
FCSP Dua-lajur
2/2 1,00 0,94 0,88 0,82 0,76 0,70
Empat-lajur
4/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88 0,85
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum ( 1997)
d. Faktor penyesuaian hambatan samping
Faktor hambatan samping disebabkan karena adanya aktivitas di pinggir jalan.
Nilai faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping dibedakan
berdasarkan jalan dengan bahu jalan dengan kreb.
Tabel 2.7 Faktor penyesesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping
dan lebar bahu (FCSF) pada jalan perkotaan
Faktor penyesuaian hambatan
Tipe jalan Kelas hambatan samping samping dan lebar bahu (FCSF)
Lebar bahu (WS)
≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0
Sangat rendah 0,96 0,98 1,01 1,03
Rendah 0,94 0,97 1,00 1,02
4/2 D Sedang 0,92 0,95 0,98 1,00
Tinggi 0,88 0,92 0,95 0,98
Sangat tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96
Sangat rendah 0,96 0,99 1,01 1,03
Rendah 0,94 0,97 1,00 1,02
4/2 UD Sedang 0,92 0,95 0,98 1,00
Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98
Sangat tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95
Sangat rendah 0,94 0,96 0,99 1,01
2/2 UD Rendah 0,92 0,94 0,97 1,00
Atau Sedang 0,89 0,92 0,95 0,98
jalan Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95
satu arah Sangat tinggi 0,73 0,79 0,85 0,91
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum (1997)
14
Tabel 2.8 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping
dan jarak kereb penghalang (FCsF) pada jalan perkotaan
Tipe
Jalan
Kelas
hambatan
sampaing
Faktor penyesuaian untuk hambatan samping
dan jarak kereb-penghalang ( FCSF)
Jarak kereb (WK)
≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0
4/2 D
Sangat rendah 0,95 0,97 0,99 1,01
Rendah 0,94 0,96 0,98 1,00
Sedang 0,91 0,93 0,95 0,98
Tinggi 0,86 0,89 0,92 0,95
Sangat tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92
4/2 UD
Sangat rendah 0,95 0,97 0,99 1,01
Rendah 0,93 0,95 0,97 1,00
Sedang 0,90 0,92 0,95 0,97
Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,93
Sangat tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90
2/2 UD
atau
jalan
satu arah
Sangat rendah 0,93 0,95 0,97 0,99
Rendah 0,90 0,92 0,95 0,97
Sedang 0,86 0,88 0,91 0,94
Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88
Sangat tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82
Sumber: Departemen pekerjaan Umum (1997)
15
Kelas hambatan sampingan pada jalan perkotaan dapat dilihat pada Tabel 2.9
Tabel 2.9 Kelas hambatan sampingan pada jalan perkotaan
Kode
Kelas hambatan
Sampingan
( SFC)
Besarnya kejadian
per 200m/jam
( dua sisi)
Kondisi khusus
VL Sangat rendah < 100
Daerah permungkinan,
jalan dengan jalan
samping
L Rendah 100-299
Daerah permukiman;
beberapa kendaraan
umum dsb
M Sedang 300-499
Daerah industri;
beberapa toko di sisi
jalan
H Tinggi 500-899
Daerah komersil,
aktivitas sisi jalan
tinggi
VH Sangat tinggi >900
Daerah komersil
dengan aktivitas pasar
di pinggir jalan
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum ( 1997)
Sedangkan untuk nilai faktor berbobot untuk tipe hambatan samping dapat
dilihat pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Faktor berbobot tipe hambatan samping
Tipe kejadian hambatan sampingan Symbol Bobot
Pejalan kaki yang berjalan dan menyebrang PED 0,5
Kendaraan lambat SMV 0,4
Kendaraan masuk dan keluar ke/dari lahan samping EEV 0,7
Parkir dan kendaraan berhenti PSV 1,0
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
16
e. Faktor penyesuaian ukuran kota
faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota FCCS dapat dilihat pada Tabel
2.11.
Tabel 2.11 Faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota pada kapasitas jalan
perkotaan
Ukuran kota
( Juta penduduk) FCcs
<0,1
0,1-0,5
0,5-1,0
1,0-3,0
>3
0,86
0,90
0,94
1,00
1,04
Sumber :Departemen Pekerjaan Umum(1997)
2.3.3 Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan (DS) adalah rasio volume kendaraan terhadap kapasitas
yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan prilaku lalu lintas pada
suatu ruas jalan. Nilai derajat kejenuhan menunjukan apakah segmen jalan
tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak
Persamaan derajat kejenuhan adalah
DS=Q/C………………………………………………………(2.3)
Keterangan:
DS : derajat kejenuhan
Q : Arus lalu Lintas (smp/jam)
C : Kapasitas (smp/jam)
2.3.4 Kecepatan
Kecepatan menentukan jarak ditempuh oleh pengemudi dalam waktu
tertentu. Jadi kecepatan merupakan rasio jarak yang ditempuh per satuan waktu.
Persamaan umum derajat kecepatan
V=L/TT…………………………………………………….. (2.4)
17
Keterangan:
V : kecepatan rata-rata ruang kendaraan ringan (km/jam)
L : panjang segmen (km)
TT : waktu tempuh rata-rata kendaraan ringan sepanjang segmen (jam)
Gambar 2.3 Grafik Hubungan antara Kecepatan Dengan Derajat Kejenuhan Sumber : Departemen Pekerjaan Umum ( 1997 )
Klasifikasi utama dalam analisis kecepatan adalah:
- kecepatan sesaat (spot speed) adalah kecepatan sesaat kendaraan pada lokasi
jalan tertentu.
- kecepatan rata-rata ruang (space mean speed) adalah kecepatan rata-rata
kendaraan pada lokasi jalan tertentu.
- kecepatan rata-rata waktu (time mean speed) adalah distribusi kecepatan
kendaraan pada suatu titik pengamatan dijalan.
- kecepatan jalan (running speed) adalah hasil pembagian jarak yang di tempuh
selama kendaraan dalam keadaan bergerak
- kecepataan perjalanan (journey speed) adalah kecepatan efektif kendaraan
menempuh rute tertentu.
18
Dalam pelaksanaan survai ini yang dicatat hanya kendaraan ringan sesuai jumlah
sampel yang dibutuhkan. Oleh karena itu perlu dilakukan sampel data pilot survai
pada lokasi studi.Besarnya sampel yang dibutuhkan dapat ditentukan sebagai
berikut (Dajan,1986)
1. Melakukan survai pendahuluan
2. Berdasarkan besaran parameter data tersebut, dihitung
Nilai rata-rata sampel (mean) n
XiX
_
Standar deviasi (sd) = 1
)( 2
n
XXi
Keterangan:
= nilai rata- rata; Xi = nilai sampel ke I; n = jumlah sampel awal
3. Ketelitian 95% = 5% Z /2 = 1.96 (dari tabel distribusi normal)
4. Pada tingkat ketelitian 95% maka basaran
Acceptable sampling error (Se) = 5% dari sample mean
Acceptable standard error
Se(x) = Se / 1,96
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka besarnya jumlah sampel yang
representatif dihitung dengan persamaan:
2
2'
)(XSe
sdn ……………………………………………………………2.5
N
n
nn
'
'
1
Dimana :
'n = Jumlah sampel representatif untuk populasi tak hingga
n = Jumlah sampel representatif untuk populasi yang hingga
N = Jumlah populasi
2)(XSe = Acceptable standard error dikuadratkan
Sd = Standar deviasi
Langkah-langkah perhitungan statistik diuraikan sebagai berikut :
19
1. Menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi salah satu variabel dari
sampel pendahulunya.
2. Menghitung variannya.
3. Menghitung besarnya acceptable sampling error.
4. Menghitung besarnya acceptable standard error.
5. Menghitung besarnya n ( jumlah sampel representatif ).
Pada analisis kecepatan kendaraan, diperlukan data pilot survai yang besarnya
ditentukan dengan persamaan 2
2'
)(XSe
sdn . Oleh sebab itu terlebih dahulu
dilakukan survai pendahuluan untuk menentukan besar jumlah sampel yang
diperlukan pada daerah studi dengan spesifikasi ketelitian 95 %.
a. Kecepatan Arus Bebas
Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat
arus nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai
kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi kendaraan bermotor lain dijalan.
Kecepataan arus bebas untuk kendaraan ringan telah dipilih sebagai kriteria.
Dasar dalam menentukan kinerja segmen jalan pada arus yang sama dengan nol.
Persamaan umum untuk kecepatan arus bebas adalah sebagai berikut:
FV=(FV0+FVW)x FFVSF x FFVCS…………………………….. (2.6)
Keterangan :
FV : kecepatan arus bebas kendaraan ringan sesungguhnya (km/jam)
FV0 : kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/Jam)
FVW : penyesuaian lebar jalur lalu lintas efektif
FFVSF : faktor penyesuaian kondisi hambatan samping
FFVCS : faktor penyesuaian ukuran kota
20
- Kecepatan arus bebas dasar (FV0)
Untuk nilai kecepatan arus bebas dapat dilihat pada Tabel 2.12.
Tabel 2.12 Kecepatan arus bebas dasar (FV0)
Tipe jalan
Kecepatan arus bebas dasar (km/jam)
Kendaraan
ringan
(LV)
Kendaraan
berat
(HV)
Sepeda
Motor
(MC)
Semua
kendaraan
(rata-rata)
Enam lajur terbagi (6/2
D) atau tiga lajur satu
arah (3/1)
61
52
48
57
Empat lajur terbagi
(4/2D) atau dua lajur
satu arah (2/1)
57
50
47
55
Empat lajur tak terbagi
(4/2 UD)
53
46
43
51
Dua lajur tak terbagi
(2/2UD)
44
40
40
42
Sumber: Departemen Pekerjan Umum(1997)
- Penyesuaian lebar jalur lalu lintas efektif (FVW)
Penyesuaian lebar jalur lalu lintas ditentukan berdasarkan jenis jalan dan lebar
jalur lalu lintas efektif (We), dapat dilihat pada Tabel 2.13. Pada jalan selain
2/2 UD pertambahan dan pengurangan kecepatan bersifat linier sejalan dengan
selisih terhadap lebar lajur standar (3,5 meter), sedangkan pada jalan 2/2 UD
untuk nilai We (2 arah) kurang dari 6 meter.
21
Tabel 2.13 Penyesuaian pengaruh lebar jalur lalu litas (FVw) pada kecepatan
arus bebas kendaraan ringan untuk jalan perkotaan
Tipe jalan
Lebar jalus lalu lintas
efektif (We)
(Meter)
FVW
(km/jam)
Empat lajur terbagi
atau jalan satu arah
Perlajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
-4
-2
0
2
4
Empat lajur tak
terbagi
Perlajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
-4
-2
0
2
4
Dua lajur tak terbagi
Total dua arah
5
6
7
8
9
10
11
-9,5
-3
0
3
4
6
7
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
- Faktor penyesuaian hambatan samping (FFVSF)
Faktor penyesuaian hambatan samping (FFVSF) ditentukan berdasarkan jenis
jalan, kelas hambatan samping, lebar bahu( jarak kereb ke penghalang) efektif.
Faktor penyesuaian akibat pengaruh hambatan samping dan lebar bahu pada
kecepatan arus bebas kendaraan ringan apada jalan perkotaan terutama dengan
bahu dapat dilihat pada Tabel 2.14
22
Tabel 2.14 Faktor penyesuaian pengaruh hambatan sampingan dan lebar
bahu (FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk
jalan perkotaan
Tipe
jalan
Kelas hambatan
samping (SFC)
Faktor penyesuaian untuk hambatan
samping dan lebar bahu
Lebar efektif rata-rata WS (m)
≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0
Empat
lajur
terbagi
(4/2 D)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
1,02
0,98
0,94
0,89
0,84
1,03
1,00
0,97
0,93
0,88
1,03
1,02
1,00
0,96
0,92
1,04
1,03
1,02
0,99
0,96
Empat
lajur
tak
terbagi
(4/2
UD)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
1,02
0,98
0,93
0,87
0,80
1,03
1,00
0,96
0,91
0,86
1,03
1,02
0,99
0,94
0,90
1,04
1,03
1,02
0,98
0,95
Dua
lajur
tak
terbagi
(2/2
UD)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
1,00
0,96
0,90
0,82
0,73
1,01
0,98
0,93
0,86
0,76
1,01
0,99
0,96
0,90
0,85
1,01
1,00
0,99
0,95
0,91
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
23
Table 2.15 Faktor penyesuaian pengaruh hambatan samping dan jarak kereb
Penghalang (FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan
untuk jalan perkotaan
Tipe jalan
Kelas
hambatan
samping (SFC)
Faktor penyesuaian untuk hambatan
samping dan jarak kereb penghalang
Lebar efektif rata-rata Wk (m)
≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0
Empat lajur
terbagi (4/2
D)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
1,00
0,97
0,93
0,87
0,81
1,01
0,98
0,95
0,90
0,85
1,01
0,99
0,97
0,93
0,88
1,04
1,00
0,99
0,96
0,92
Empat lajur
tak terbagi
(4/2 UD)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
1,00
0,96
0,91
0,84
0,77
1,01
0,98
0,93
0,87
0,81
1,01
0,99
0,96
0,90
0,85
1,02
1,00
0,98
0,94
0,90
Dua lajur
tak terbagi
(2/2 UD)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0,98
0,93
0,87
0,78
0,68
0,99
0,95
0,89
0,81
0,72
0,99
0,96
0,92
0,84
0,77
1,00
0,98
0,95
0,88
0,82
Sumber: Departement Pekerjaan Umum (1997)
- Faktor penyesuaian ukuran kota ( FFVCS)
Manual kapasitas jalan Indonesia 1997 menyarankan reduksi terhadap
kecepatan arus bebas dasar dari kota perpenduduk kurang dari 1 juta jiwa dan
kenaikan terhadap kecepatan arus bebas dasar bagi kota berpenduduk lebih
dari 3 juta jiwa. Faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota pada
kapasitas jalan perkotaan dapat dilihat Tabel 2.16.
24
Table 2.16 Faktor penyesuaian untuk pengaruhi ukuran kota pada kapasitas
jalan perkotaan Ukuran kota ( juta
penduduk) FFVCS
< 0,1
0,1-0,5
0,5-1,0
1,0-3,0
>3
0.90
0.93
0.95
1.00
1.03
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
b. Hubungan antara Kecepatan dengan Arus
Prinsip dasar analisis kapasitas jalan adalah kecepatan akan berkurang jika
arus bertambah. Pengurangan kecepaan akibat penambahan arus adalah kecil
pada arus yang lebih tinggi. Pada posisi di dekat kapasitas, pertambahan arus
yang sedikit akan menghasilkan pengurangan kecepatan yang besar.
Hubungan ini di tentukan secara kuantitatif pada kondisi standar memiliki
kualifikasi dan karakteristik lingkungan tertentu. Jika karakteristik jalan lebih
baik dari kondisi standar (misalnya lebar jalur lebih lebar dari jalur normal),
kapasitas menjadi lebih tinggi dan kurva bergeser ke sebelah kanan sehingga
kecepatan lebih tinggi pada arus tertentu atau sebaliknya.
Gambar 2.4 Bentuk Umum Hubungan Kecepatan dan Arus Sumber : Departemen Pekerjaan Umum (1997)
25
Gambar 2.5 Bentuk Umum Hubungan Kecepatan dan Arus pada Kondisi Standar
dan Non Standar
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum (1997)
2.3.6 Tingkat Pelayanan
Tingkat pelayanan adalah ukuran kuantitatif yang mencerminkan persepsi
pengemudi tentang kualitas mengendarai kendaraan. US HCM (1985)
mengklasifikasikan tingkat pelayanan jalan dari tingkat perlayanan A sampai F
diukur dari rasio V/C seperti tertera pada Tabel 2.17 Dimana V adalah arus
(smp/jam) dan C adalah kapasitas (smp/jam)
Tabel 2.17 Hubungan Q/C ratio dengan tingkat pelayanan jalan perkotaan Tingkat Pelayanan
(Level of service )
Q/C Ratio
A 0,00 – 0,19
B 0,20 – 0,44
C 0,45 – 0,74
D 0,75 – 0 84
E 0,85 – 1,00
F -
Sumber : Departemen Perhubungan (1996 )
26
Penjelasan singkat mengenai tingkat pelayanan jalan adalah sebagai berikut :
1. Tingkat Pelayanan A
Kondisi arus lalu lintasnya bebas antara satu kendaraan dengan kendaraan
lainnya, besarnya kecepatan sepenuhnya ditentukan oleh keinginan pengemudi
dan sesuai dengan batasan kecepatan yang telah ditentukan.
2. Tingkat Pelayanan B
Kondisi arus lalu lintasnya stabil, kecepatan operasi mulai dibatasi oleh
kendaraan lainnya dan mulai dirasakan hambatan oleh kendaraan disekitarnya.
3 Tingkat Pelayanan C
Kondisi arus lalu lintas masih dalam batas stabil, kecepatan operasi mulai
dibatasi dan hambatan dari kendaraan lain semakin besar.
4. Tingkat Pelayanan D
Kondisi arus lalu lintas mendekati tidak stabil, kecepatan operasi menurun
relatif cepat akibat hambatan yang timbul, dan kebebasan bergerak relatif
kecil.
5. Tingkat Pelayanan E
Volume lalu lintas sudah mendekati kapasitas ruas jalan, kecepatan kira-kira
lebih rendah dari 40 km/jam, pergerakan lalu lintas kadang lambat.
6. Tingkat Pelayanan F
Pada tingkat pelayanan ini arus lalu lintas berdad dalam keadaan dipaksakan,
kecepatan relatif rendah, arus lalu lintas sering terhenti sehingga menimbulkan
antrian kendaraan yang panjang.