29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sectio Caesarea 1. Pengertian Sectio Caesarea Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerektomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Padila, 2015). Operasi Caesar atau sering disebut dengan sectio caesarea adalah melahirkan janin melalui sayatan dinding perut (abdomen) dan dinding rahim (uterus). Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan, dengan melahirkan bayi yang berat badan diatasnya 500 gram, melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh (Jitowijono & Kristiyanasari, 2010). 2. Jenis-Jenis Sectio Caesarea Menurut Padila (2015), terdapat dua jenis operasi sectio caesarea antara lain : a. Abdomen (Sectio Caesarea Abdominalis) 1) Sectio Caesarea Klasik (Korporal) Operasi ini dilakukan dengan sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 centimeter. Kelebihan: a) Mengeluarkan janin dengan cepat b) Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik c) Sayatan bisa diperpanjang prokimal atau distal Kekurangan : a) Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealis yang baik b) Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sectio Caesarearepository.poltekkes-tjk.ac.id/806/4/2.pdf · a. Infeksi puerperal Komplikasi ini ada yang bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sectio Caesarea

1. Pengertian Sectio Caesarea

Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan

membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu

histerektomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Padila, 2015).

Operasi Caesar atau sering disebut dengan sectio caesarea adalah

melahirkan janin melalui sayatan dinding perut (abdomen) dan dinding rahim

(uterus). Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan, dengan melahirkan

bayi yang berat badan diatasnya 500 gram, melalui sayatan pada dinding

uterus yang masih utuh (Jitowijono & Kristiyanasari, 2010).

2. Jenis-Jenis Sectio Caesarea

Menurut Padila (2015), terdapat dua jenis operasi sectio caesarea antara

lain :

a. Abdomen (Sectio Caesarea Abdominalis)

1) Sectio Caesarea Klasik (Korporal)

Operasi ini dilakukan dengan sayatan memanjang pada korpus

uteri kira-kira sepanjang 10 centimeter.

Kelebihan:

a) Mengeluarkan janin dengan cepat

b) Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik

c) Sayatan bisa diperpanjang prokimal atau distal

Kekurangan :

a) Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada

reperitonealis yang baik

b) Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri

spontan

7

8

2) Sectio Caesarea Ismika (Profunda)

Operasi ini dilakukan dengan sayatan melintang konkaf pada

segmen bawah rahim kira-kira 10 centimeter.

Kelebihan:

a) Penjahitan luka lebih mudah

b) Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik

c) Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan

penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum

d) Perdarahan tidak begitu banyak

e) Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil

Kekurangan:

a) Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat

menyebabkan uteri uterine pecah sehingga mengakibatkan

perdarahan banyak

b) Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi

b. Vagina (Sectio Caesarea Vaginalis)

Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai

berikut :

1) Sayatan memanjang (longitudinal)

2) Sayatan melintang (transversal)

3) Sayatan huruf t (t insicion)

3. Etiologi

Menurut Jitowijono & Kristiyanasari (2010), ada dua indikasi

dilakukannya operasi sectio caesarea :

a. Indikasi yang Berasal dari Ibu

1) Primigravida dengan kelainan letak

2) Primipara tua disertai kelainan letak

3) Disproporsi safalo pelvic (disproporsi janin / panggul)

4) Sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk

5) Kesempitan panggul

6) Plasenta previa terutama pada primigravida

9

7) Solutsio plasenta tingkat I – II

8) Komplikasi kehamilan (preeklamsiia-eklamsia)

9) Permintaan

10) Kehamilan yang disertai penyakit (jantung, diabetes mellitus)

11) Gangguan perjalanan (kista ovarium, mioma uteri, dan sebagainya).

b. Indikasi yang Berasal dari Janin

1) Fetal distress / gawat janin

2) Mal persentasi dan mal kedudukan janin

3) Prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil

4) Kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi

4. Komplikasi

Kemungkinan masalah yang dapat timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain: a. Infeksi puerperal

Komplikasi ini ada yang bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama

beberapa hari dalam masa nifas, dan bersifat berat seperti peritonitis dan

sepsis.

b. Pendarahan

Pendarahan bisa terjadi jika pada waktu pembedahan atau insisi mengenai

cabang-cabang pembuluh darah arteri, dan terkena atonia uteri.

c. Rupture uteri

Komplikasi ini disebabkan karena kurang kuatnya jaringan parut pada

dinding uterus, sehingga pada kehamilan selanjutnya bisa terjadi rupture uteri.

Kejadian ini lebih banyak ditemukan pada jenis operasi sectio caesarea klasik.

Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kemih, embolisme paru-

paru, tetapi sangat jarang terjadi.

10

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien sectio caesarea menurut Jitowijono &

Kristiyanasari (2010), dibagi menjadi dua yaitu:

a. Perawatan Pre Operasi Sectio Caesarea

1) Persiapan kamar operasi

a) Kamar operasi sudah dibersihkan dan siap untuk dipakai

b) Peralatan dan obat-obatan telah siap semua termasuk kain operasi

2) Persiapan pasien

a) Pasien telah dijelaskan tentang prosedur operasi

b) Informed consent telah ditanda tangani oleh pihak keluarga pasien

c) Perawat memberi support kepada pasien

d) Daerah yang akan dilakukan insisi telah dibersihkan (rambut pubis

di cukur dan sekitar abdomen telah dibersihkan dengan antiseptik)

e) Pemeriksaan tanda-tanda vital dan pengkajian untuk mengetahui

penyakit yang pernah diderita dan mengetahui keadaan umum

pasien

f) Pemeriksaan laboratorium (darah, urine)

g) Pemeriksaan USG

h) Pasien puasa selama 6 jam sebelum dilakukan operasi.

b. Perawatan Post Operasi Sectio Caesarea

1) Analgesik

Perempuan dengan ukuran tubuh rata-rata dapat disuntik 75 mg

Meperidin (intra muskuler) setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk

mengatasi rasa sakit atau dapat disuntikkan 10 mg morfin.

a) Perempuan dengan ukuran tubuh kecil, dosis Meperidin yang

diberikan adalah 50 mg.

b) Perempuan dengan ukuran tubuh besar, dosis yang lebih tepat adalah

100 mg Meperidin.

c) Obat-obatan antiemetic, missal protasin 25 mg biasanya diberikan

bersama-sama dengan pemberian preparat narkotik.

11

2) Tanda-Tanda Vital

Tanda-tanda vital harus diperiksa setiap 4 jam sekali, perhatikan

tekanan darah, nadi, pernafasan, dan jumlah urine serta jumlah darah yang

hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.

3) Terapi Cairan dan Diet

Pemberian 3 liter larutan Ringer Laktat terbukti sudah cukup selama

pembedahan dalam 24 jam pertama berikutnya, tetapi jika output urine

jauh dibawah 30 ml/jam, pasien harus segera di evaluasi kembali paling

lambat pada hari kedua.

4) Vasika Urinarius dan Bising Usus

Kateter dapat dilepaskan setelah 12 jam post operasi atau pada

keesokan paginya setelah operasi. Biasanya bising usus belum terdengar

pada hari pertama setelah pembedahan, pada hari kedua bising usus masih

lemah, dan usus baru aktif kembali pada hari ketiga.

5) Ambulasi

Pada hari pertama setelah pembedahan, pasien dapat bangun dari

tempat tidur sebentar dengan bantuan perawat sekurang-kurangnya dua

kali dalam sehari, dan pada hari kedua pasien dapat berjalan.

6) Perawatan luka

Luka insisi dapat di lihat setiap hari, sehingga baluatan luka yang

efektif digunakan adalah balutan yang tidak banyak menggunakan plester.

Secara normal jahitan kulit dapat diangkat setelah hari ke empat pasca

pembedahan. Pada hari ketiga post operasi pasien dapat mandi tanpa

membahayakan luka insisi.

7) Laboratorium

Secara rutin hematokrit diukur pada pagi hari setelah dilakukan

operasi, untuk mengetahui kehilangan darah yang tidak biasa atau keadaan

lainnya yang menunjukkan hipovolemia.

8) Perawatan Payudara

Pemeberian ASI dapat dimulai pada hari pasca operasi. Jika ibu

memutuskan tidak menyusui, pemasangan Buste Hounder (BH) payudara

12

yang dianjurkan adalah tidak terlalu kencang dan tidak menimbulkan

kompesi yang dapat mengakibatkan nyeri.

9) Memulangkan Pasien dari Rumah Sakit

Seseorang pasien yang baru melahirkan mungkin lebih aman bila

diperbolehkan pulang dari rumah sakit pada hari ke empat dan ke lima

post operasi. Aktivitas ibu dalam minggu pertama harus dibatasi hanya

untuk perawatan bayinya dengan bantuan orang lain.

B. Kosep Nyeri

1. Pengertian Nyeri

Menurut (Smeltzer & Bare, 2002) nyeri adalah pengalaman sensori dan

emosiaonal yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang

aktual atau potensial. Rasa nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari

bantuan perawat kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau

bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan.

Sedangkan menurut International Association for Study of Pain (1979),

mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman

emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan

yang bersifat aktual dan potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-

kejadian di mana terjadi kerusakan (Prasetyo, 2010).

2. Sifat Nyeri

Menurut Mahon (1994) dalam Potter & Perry, 2006, nyeri merupakan

suatu kodisi yang lebih dari sekedar sensasi tungggal yang disebabkan oleh

stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual.

Stimulus nyeri dapat berupa stimulus bersifat fisik dan/atau mental, sedangkan

kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego seorang

individu. Mahon (1994), menemukan empat atribut pasti untuk pengalaman

nyeri, yaitu : nyeri bersifat individu, tidak menyenangkan, merupakan suatu

kekuatan yang mendominasi, dan bersifat tidak berkesudahan.

13

3. Teori-Teori Nyeri

Menurut Potter & Perry (2006), ada beberapa teori yang dapat digunakan

utuk menjelaskan mekanisme transmisi nyeri :

a. The Specificity Theory (Teori Spesifik)

Teori ini menjelaskan bahwa otak menerima informasi mengenai objek

eksternal dan struktur tubuh melalui saraf sensori. Timbulnya sensasi nyeri

berhubungan dengan pengaktifan ujung – ujung serabut saraf bebas oleh

perubahan mekanik, rangsangan kimia, atau temperatur yang berlebihan.

Persepsi nyeri yang dibawa oleh serabut saraf nyeri diproyeksikan oleh

spinotalamik ke spesifik pusat nyeri di talamus.

b. The Intensity Theory (Teori Intensitas)

Menurut teori intensitas nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan

pada reseptor. Setiap rangsangan sensori punya potensi untuk menimbulkan

nyeri jika intensitasnya cukup kuat (Asmadi, 2008).

c. The Gate Control Theory (Teori Kontrol Pintu)

Teori kontrol pintu adalah teori paling sederhana mengenai penjelasan

fisiologi nyeri, yang dikemukaan oleh Melzack dan Well pada tahun 1965.

Dalam teorinya Melzack dan Wall (1965) mengemukakan bahwa impuls nyeri

dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang

sistem saraf pusat. Artinya, impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan

dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan ditutup.

4. Klasifikasi Nyeri

Menurut Asmadi (2008) nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa

golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu

lamanya serangan.

a. Nyeri Berdasarkan Tempatnya

1) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh

misalnya pada kulit, mukosa.

2) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih

dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.

14

3) Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit

organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan kebagian tubuh

didaerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.

4) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem

saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus, dan lain-lain.

b. Nyeri Berdasarkan Sifatnya

1) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang.

2) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta yang dirasakan

dalam waktu yang lama.

3) Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan

kuat. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-15 menit, lalu menghilang,

kemudian timbul lagi.

c. Nyeri Berdasarkan Berat Ringannya

1) Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah.

2) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.

3) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.

d. Nyeri Berdasarkan Waktu Lamanya Serangan

1) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan

berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui

dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka

operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri

koroner.

2) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri

kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan

bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan

periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali

nyeri, dan begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri kronis yang konstan,

artinya rasa nyeri tersebut terus-menerus terasa makin lama semakin

meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan.

Misalnya, pada nyeri karena neoplasma.

15

5. Respon Terhadap Nyeri

Menurut Potter & Perry (2006) ada dua respons terhadap nyeri, yaitu

respons fisiologis dan respons perilaku. Kedua respons ini timbul ketika

seseorang terpapar dengan nyeri, dan masing – masing individu mempunyai

karakteristik yang berbeda dalam merespons nyeri tersebut.

a. Respons Fisiologis Terhadap Nyeri

Respons nyeri fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan

individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju batang otak

dan talamus, sistem saraf otonom menjadi tersimulasi sebagai bagian dari

respons stress. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang

superfisial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”, yang merupakan sindrom

adaptasi umum. Stimulus pada cabang simpatis pada saraf otonom

menghasilkan respons fisiologis.

Apabila nyeri berlangsung terus – menerus, berat, atau dalam, dan secara

tipikal melibatkan organ – organ viseral (seperti nyeri pada infark miokard,

kolik akibat kandung empedu atau batu ginjal), sistem saraf parasimpatis

menghasilkan suatu aksi. Kecuali pada kasus – kasus nyeri traumatik yang

berat, yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu

mencapai tingkat adaptasi, yaitu ketika tanda – tanda fisik kembali normal.

Dengan demikian, seseorang yang mengalami nyeri tidak akan selalu

memperlihatkan tanda – tanda fisik. Berikut ini tabel yang menunjukkan

respons fisiologis terhadap nyeri:

16

Tabel 1. Respons Fisiologis Nyeri

Sumber : Potter & Perry, 2006

Ket : *Nyeri dengan intensitas ringan sampai moderat dan nyeri superficial

**Nyeri yang berat dan dalam

Respons Penyebab atau Efek STIMULUS SIMPATIK* Dilatasi saluran bronkiolus dan peningkatan frekuensi pernapasan

Menyebabkan peningkatan asupan oksigen

Peningkatan frekuensi denyut nadi

Menyebabkan peningkatan transport oksigen

Vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan tekanan darah)

Meningkatkan tekanan darah disertai perpindahan suplai darah dan perifer dan visera ke otot – otot skelet dan otak

Peningkatan kadar glukosa darah Menghasilkan energi tambahan Diaforesis Mengontrol temperatur tubuh selama

stres Peningkatan ketegangan otot Mempersiapkan otot untuk melakukan

aksi Dilatasi pupil Memungkinkan penglihatan yang

lebih baik Penurunan motilitas saluran cerna Membebaskan energi untuk

melakukan aktivitas dengan lebih baik

STIMULUS PARASIMPATIK**

Pucat Menyebabkan suplai darah berpindah ke perifer

Ketegangan otot Akibat keletihan Penurunan denyut jantung dan tekanan darah

Akibat stimulasi vagal

Pernapasan yang cepat dan tidak teratur

Menyebabkan pertahanan tubuh gagal akibat nyeri yang terlalu lama

Mual dan muntah Mengembalikan fungsi saluran cerna Kelemahan atau kelelahan Akibat pengeluaran energi fisik

17

b. Respons Perilaku

Apabila nyeri dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, hal tersebut dapat

mengancam kesejahteraan seseorang, baik secara fisik maupun psikologis.

Beberapa pasien memilih untuk tidak mengekspresikan nyeri yang dirasakan,

karena mereka menganggap bahwa ekspresi tersebut akan membuat orang lain

merasa tidak nyaman atau merupakan salah satu tanda bahwa mereka

kehilangan kontrol terhadap diri mereka sendiri. Pasien yang memiliki

toleransi yang tinggi terhadap nyeri mampu menahan rasa nyeri tanpa bantuan

atau pertolongan dari orang lain.

Sedangkan, seseorang yang memiliki toleransi nyeri yang rendah dapat

mencari upaya untuk menghilangkan rasa nyeri sebelum nyeri terjadi. Gerakan

tubuh dan ekspresi wajah dapat mengindikasikan adanya nyeri, seperti

mengatubkan gigi-gigi, memegang tubuh yang terasa sakit, postur tubuh yang

membungkuk, dan ekspresi wajah yang meringis. Beberapa klien bahkan

menangis atau mengerang kesakitan dan biasanya terlihat gelisah atau

meminta sesuatu secara terus-menerus kepada perawat.

Hal ini menjadi penting bagi seseorang perawat untuk mengenali dan

mengamati respon yang ditunjukkan oleh pasien terutama pada pasien yang

tidak mampu atau tidak bisa melaporkan adanya rasa nyeri yang dirasakan,

contohnya pasien dengan gangguan kognitif. Bagaimanpun, kurang atau tidak

adanya ekspresi nyeri bukan berarti pasien tidak merasakan nyeri. Respons

perilaku nyeri dapat dilihat pada tabel berikut:

18

Tabel 2. Respons Perilaku Nyeri

Respons Perilaku Nyeri pada Klien Vokalisasi 1. Merintih

2. Menangis 3. Sesak napas/terengah-engah 4. Mendengkur

Ekspresi wajah 1. Meringis 2. Menggeletukkan gigi 3. Mengerutkan dahi 4. Menutup mata atau mulut dengan rapat atau

membuka mata atau mulut dengan lebar 5. Menggigit bibir

Gerakan tubuh 1. Gelisah 2. Imobilisasi 3. Ketegangan otot 4. Peningkatan pergerakan tangan dan jari 5. Aktivitas melangkah atau berjalan bolak balik 6. Gerakan ritmik atau gerakan menggosok 7. Gerakan melindungi bagian tubuh tertentu

Interaksi sosial 1. Menghindari percakapan 2. Fokus hanya pada aktivitas untuk menghilangkan

nyeri 3. Menghindari kontak sosial 4. Penurunan rentang perhatian 5. Mengurangi waktu perhatian 6. Mengurangi interaksi dengan lingkungan

Sumber : Potter & Perry, 2006

6. Patofisiologi Nyeri

Menurut Smeltzer & Bare (2002), berdasarkan proses patofisiologi nyeri

terbagi menjadi :

a. Mekanisme Neurofisiologi Nyeri

Sistem saraf yang mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri dalam

transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai sistem nosiseptif. Sensitivitas

dari komponen sistem nosiseptif dapat dipengeruhi oleh sejumlah faktor

yang berbeda diantara individu. Tidak semua orang yang terpajan terhadap

stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama.

19

Sensasi yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa

bagi orang lain. Sebagai contoh, nyeri akibat arthritis kronis dan nyeri

pascaoperatif sering terasa lebih parah pada malam hari. Faktor-faktor

tersebut dapat meningkatkan atau menurunkan sensitivitas komponen yang

berbeda dari sistem nosiseptif yang diuraikan dalam pembahasan berikut.

b. Transmisi Nyeri

Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang

berespons hanya pada stimulus yang kuat dan secara potensial merusak,

sifatnya bisa mekanik, termal, dan kimia. Sendi, otot skelet, fasia, tendon,

dan kornea juga mempunyai reseptor nyeri yang mempunyai potensi untuk

mentransmit stimuli yang menyebabkan nyeri. Namun demikian, organ-

organ internal yang besar (visera) tidak mengandung ujung saraf yang

berespons hanya pada stimuli nyeri.

Nyeri yang berasal dari organ ini diakibatkan dari stimuli reseptor yang

kuat yang mempunyai tujuan lain. Sebagai contoh, inflamasi, regangan,

iskemia, dilatasi, dan spasme organ-organ internal yang dapat

menyebabkan nyeri hebat.

c. Kornu Dorsalis dan Jaras Asenden

Kornus dorsalis dari medula spinalis dianggap sebagai tempat untuk

merespon nyeri, serabut perifer (seperti reseptor nyeri) dan serabut traktus

sensori asenden berakhir disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem

neuronal desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir

pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan

ke korteks serebri.

Agar nyeri dapat dicerna secara sadar, neuron pada sistem asenden

harus diaktifkan. Aktifitas terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri

yang terletak dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron

dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan, menghambat atau

memutuskan transmisi informasi yang menyakitkan atau yang

menstimulasi nyeri dalam jaras asenden.

20

Sering kali area ini disebut sebagai “gerbang”. Kecenderungan

alamiah gerbang adalah untuk membiarkan semua input yang menyakitkan

dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengakibatkan nyeri.

Stimulasi dari neuron inhibitori sistem asenden menutup gerbang untuk

input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri.

7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Menurut beberapa teori faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri

adalah:

a. Pengalaman Masa Lalu

Indivudu yang mempunyai pengalaman multiple dan berkepanjangan

dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri

dibandingkan orang yang hanya mengalami sedikit nyeri. Bagi kebanyakan

orang, bagaimanapun, hal ini tidak selalu benar. Sering kali, lebih

berpengalaman individu dengan nyeri yang sering dialami, makin takut

individu tersebut terhadap pristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan.

Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri; akibatnya, ia

ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah.

Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut menerima pereda nyeri

yang tidak adekuat di masa lalu. Sebaliknya, individu yang tidak pernah

mengalami nyeri hebat tidak mempunyai rasa takut terhadap nyeri (Smeltzer

& Bare, 2002).

b. Ansietas (Kecemasan)

Hubungan antara nyeri dengan kecemasan bersifat kompleks. Kecemasan

terkadang meningkatkan persepsi terhadap nyeri, tetapi nyeri juga

menyebabkan perasaan cemas. Wall dan Melzack (1999) melaporkan bahwa

stimulus nyeri yang mengaktivasi bagiandari sistem limbic dipercaya dapat

mengontrol emosi, terutama kecemasan. Sistem limbik memproses reaksi

emosional terhadap nyeri, apakah dirasa mengganggu atau berusaha untuk

mengurangi nyeri (Potter & Perry, 2010).

21

c. Suku Bangsa

Nilai-nilai dan kepercayaan terhadap budaya mempengaruhi bagaimana

seseorang individu mengatasi rasa sakitnya. Individu belajar tentang apa yang

diharapkan dan diterima oleh budayanya, termasuk bagaimana reaksi terhadap

nyeri (Davidhizar dan Giger,2004;Lasch,2002). Beberapa budaya percaya

bahwa menunjukkkan rasa sakit adalah suatu hal yang wajar.

Sementara budaya yang lain lebih cenderung untuk tertutup. Ada

perbedaan makna dan perilaku yang berhubungan dengan nyeri antara

beragam kelompok budaya. Suatu pemahaman yang baik tentang makna nyeri

berdasarkan budya seseorang akan membantu perawat dalam membuat

rencana asuhan keperawatan yang lebih relevan untuk nyeri yang dialami

(Potter & Perry, 2010).

d. Usia

Usia dapat mempengaruhi nyeri, terutama pada bayi dan dewasa akhir.

Perbedaan tahap perkembangan yang ditemukan diantara kelompok umur

tersebut mempengaruhi bagaimana anak-anak dan dewasa akhir berespon

terhadap nyeri. Anal-anak memiliki kesulitan dalam mengenal/memahami

nyeri dan prosedur-prosedur yang dapat menyebabkan nyeri.

Anak-anak yang belum dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami

kesulitan dalam mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri. Sedangkan

kemampuan orang dewasa dalam menafsirkan nyeri yang dirasakan sangat

sukar. Mereka terkadang menderita banyak penyakit dengan gejala yang

samar-samar/tidak jelas yang terkadang mempengaruhi bagian-bagian tubuh

yang sama. Sehingga, harus dilakukan pengkajian yang lebih rinci dan

mendalam (Potter & Perry, 2010).

e. Jenis Kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam

berespon terhadap nyeri. Penelitian terakhir memperlihatkan hormone seks

pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormone

seks testosteron menaikkan ambang nyeri pada percobaan binatang, sedangkan

pada hormon estrogen menaikkan pengenalan/sensivitas terhadap nyeri.

22

Akan tetapi, toleransi nyeri sesorang bisa dipengaruhi oleh beberapa

faktor diantaranya dipengeruhi oleh personal, sosial, budaya dan lainnya

(Prasetyo, 2010).

f. Makna Nyeri

Sesuatu yang diartikan seseorang sebagai nyeri akan mempengaruhi

pengalaman nyeri dan bagaimana seseorang beradaptasi terhadap kondisi

tersebut. Hal ini kadang erat kaitannya dengan latar belakang budaya

seseorang. Seseorang akan merasakan sakit yang berbeda apabila hal tersebut

terkait dengan ancaman, kehilangan, hukuman, atau tantangan.

Sebagai contoh, wanita yang melahirkan akan merasakan sakit yang

berbeda dibandingkan dengan wanita merasakan nyeri menstruasi (Potter &

Perry, 2010).

g. Perhatian

Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi

nyeri yang dirasakan, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan

dengan respon nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk

menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided

imagery), dan masase. Dengan memfokuskan perhatian dan kosentrasi klien

terhadap stimulus lain, kesadaran mereka akan adanya nyeri menjadi menurun

(Potter & Perry, 2010).

h. Kelemahan (Fatigue)

Kelemahan akan meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri dan

dapat menurunkan kemampuan untuk mengatasi suatu masalah. Apabila

kelemahan terjadi disepanjang waktu istirahat, persepsi terhadap nyeri akan

lebih besar. (Potter & Perry, 2010).

i. Teknik Koping

Teknik koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengatasi

nyeri. Seseorang yang memiliki koping yang baik mereka dapat mengontrol

rasa nyeri yang dirasakan. Tetapi sebaliknya, jika seseorang yang memiliki

koping yang buruk mereka akan merasa bahwa orang lainlah yang akan

bertanggung jawab terhadap nyeri yang dialaminya. Konsep inilah yang dapat

23

diaplikasikan dalam penggunaan analgesik yang dikontrol pasien (patient-

controlled analgesia/PCA) (Potter & Perry, 2010).

j. Keluarga dan Dukungan Sosial

Seseorang yang merasakan nyeri terkadang bergantung kepada anggota

keluarga yang lain atau teman dekat untuk memberikan dukungan, bantuan,

atau perlindungan. Walaupun rasa nyeri masih terasa, tetapi kehadiran

keluarga ataupun teman terkadang dapat membuat pengalaman nyeri yang

menyebabkan stress sedikit berkurang. Kehadiran orang tua sangat penting

bagi anak-anak yang mengalami nyeri (Potter & Perry, 2010).

8. Pengukuran Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri

dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan

individual serta memungkinkan nyeri dalam intesnsitas yang sama dirasakan

sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan

pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respons

fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Penilaian intensitas nyeri dapat

dilakukan dengan menggunakan skala sebagai berikut:

a. Skala Numerik

Skala penilaian numerik (Numeric rating scale, NRS) lebih digunakan

sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Pasien akan menilai nyeri dengan

menggunakan skala 0 – 10. ”0”menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan

”10” menggambarkan nyeri yang hebat. Skala ini paling efektif digunakan saat

mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.

Gambar 1. Skala Nyeri Numerik

Sumber : Potter & Perry (2006)

24

b. Skala Nyeri Deskriptif

Skala nyeri deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri

yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)

merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi

yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Deskripsi ini

diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.

Perawat menunjukkan skala nyeri tersebut dan meminta pasien untuk

memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan

seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa juah nyeri terasa

paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan pasien memilih

sebuah kategori untuk mendiskripsikan nyeri (Potter & Perry, 2006).

Gambar 2. Skala Nyeri Deskriptif

Sumber : Potter & Perry (2006)

c. Skala Nyeri Analog Visual

Skala Analog visual (Visual Analog Scale) adalah suatu garis

lurus/horzontal sepanjang 10cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus –

menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Pasien diminta untuk

menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang

garis tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak

nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau “nyeri

yang paling buruk”.

Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan

jarak yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis

dalam sentimeter (Smelzer & Bare, 2002).

25

Gambar 3. Skala Analog Visual

Sumber : Potter & Perry (2006)

9. Strategi Penatalaksanaan Nyeri

Strategi penatalaksaan nyeri terbagi menjadi dua, yaitu strategi

pelaksanaan nyeri nonfarmakologis dan strategi pelaksanaan nyeri

farmakologis. Adapun beberapa tindakan penatalaksanaan nyeri

nonfarmakologis menurut Potter & Perry (2006) adalah sebagai berikut :

a. Distraksi

Distraksi merupakan tindakan mengalihkan perhatian klien ke hal-hal yang

lain dari nyeri. Dengan demikian, diharapkan pasien tidak terfokuskan pada

nyeri lagi dan dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap nyeri.

Distraksi bekerja memberi pengaruh paling baik untuk jangka waktu yang

singkat. Misalnya, selama pelaksanaan prosedur invasif atau saat menunggu

kerja analgesik.

Distraksi meliputi beberapa aktivitas seperti menyanyi, berdoa,

menceritakan foto atau gambar dengan suara keras, mendengarkan musik, dan

bermain.

c. Relaksasi

Relaksasi merupakan perasaan bebas secara mental dan fisik dari

ketegangan atau stres yang membuat individu memiliki rasa kontrol terhadap

dirinya. Perubahan fisiologis dan perilaku berhubungan dengan relaksasi yang

mencakup: menurunnya denyut jantung, tekanan drah dan kecepatan

pernapasan; meningkatnya kesadaran secara umum; menurunnya kebutuhan

oksigen; perasaan damai; serta menurunnya ketegangan otot dan kecepatan

metabolisme. Teknik relaksasi meliputi meditasi, yoga, Zen, Teknik imajinasi,

dan latihan relaksasi progresif (Potter & Perry, 2006).

26

Teknik relaksasi lainnya yaitu relaksasi autogenik yang termasuk dalam

salah satu penatalaksanaan nyeri non farmakologis. Relaksasi autogenik

merupakan teknik relaksasi yang bersumber dari diri sendiri berupa kata-kata

atau kalimat pendek yang bisa membuat pikiran menjadi tenang. Relaksasi ini

mudah dilakukan dan tidak menimbulkan resiko. Prinsipnya klien harus

mampu berkonsentrasi sambil membaca mantra/doa/zikir dalam hati seiring

dengan ekspansi paru (Asmadi, 2008).

Beberapa latihan dari relaksasi autogenik ini adalah latihan untuk

merasakan berat dan panas pada anggota gerak. Caranya, dengan mengatakan

dalam diri “saya merasakan lengan kanan saya berat” dan “saya rasakan

lengan kanan saya panas dan rileks”. Kemudian, latihan pernapasan atau

pengaturan aktivitas jantung dan paru-paru, dengan mengatakan dalam diri

“pernapasan saya lebih tenang dan denyut jantung saya berdetak lebih

lamba”’. Serta latihan untuk merasakan panas atau dingin pada perut dan dahi,

dengan mengatakan dalam diri “dahi dan perut saya lebih dingin”. Latihan ini

dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat. Efektifnya relaksasi ini

dilakukan selama 20 menit (Gunarsa, 2008).

d. Kompres Dingin dan Panas

Kompres dingin dan panas dapat menghilangkan nyeri dan meningkatkan

proses penyembuhan. Pilihan terapi panas dengan terapi dingin bervariasi

sesuai kondisi klien. Misalnya, kompres panas menghilangkan kekakuan sendi

pada pagi hari akibat artritis, tetapi kompres dingin mengurangi nyeri akut dan

sendi yang mengalami peradangan.

Apabila perawat menggunakan kompres panas atau dingin dalam bentuk

apapun, instruksikan kepada klien untuk menghindari cidera pada kulit dengan

memeriksa suhu dari alat yang digunakan dan menghindari sentuhan langsung

terhadap peralatan yang memberikan sensasi hangat atau dingin pada kulit.

Terutama lebih beresiko pada klien dengan gangguan medulla spinalis atau

gangguan saraf lain, usia lanjut, dan klien yang terlihat bingung.

27

e. Masase/Pijatan

Masase efektif dalam memberikan relaksasi fisik dan mental, mengurangi

nyeri, dan meningkatkan keefektifan pengobatan nyeri. Masase pada

punggung, bahu, lengan, dan/atau kaki selama 3 sampai 5 menit dapat

merelaksasi otot dan memberikan istirahat yang tenang dan nyaman.

f. Stimulasi Saraf Elektris Transkutan/TENS (Transcutaneoous

Elektrical Nerve Stimulation)

Terapi ini dilakukan dengan stimulasi pada kulit menggunakan arus listrik

ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar. Unit TENS terdiri dari

transmiter bertenaga baterai, kabel timah, dan elektroda. Elektroda dipasang

langsung pada area yang dekat dengan lokasi nyeri.

Bersihkan area dari rambut atau preparat kulit sebelum menempelkan

elektroda. pasien dapat menyalakan teransmiter saat nyeri terasa, efeknya

menimbulkan sensasi kesemutan dan berdengung pada area nyeri. Sensasi

kesemutan ini dibiarkan sampai nyeri terasa hilang. TENS efektif untuk

mengontrol nyeri yang disebabkan oleh prosedur pasca operasi.

g. Akupresur

Berdasarkan teori obat Asia, yang mengatakan bahwa suatu kekuatan

kehidupan dalam bentuk energi, bersirkulasi menjadi satu di dalam tubuh.

Akupresur memungkinkan alur energi yang terkongesti untuk meningkatkan

kondisi yang lebih sehat. Perawat ahli terapi mempelajari alur energi atau

meridian tubuh dan memberikan tekanan pada titik-titik tertentu.

Ketika titik tekan disentuh, maka perawat mulai merasakan sensasi ringan

atau denyutan dibawah jari-jari. Mula-mula nadi dibeberapa titik akan terasa

berbeda, tetapi karena terus-menerus dipegang, nadi tersebut akan terasa

seimbang dan teratur. Setelah titik tersebut seimbang, perawat dapat

menggerakan jari-jarinya dengan lembut, dan durasi akupresur yang lengkap

memakan waktu sekitar satu jam.

28

h. Hipnosis

Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh

sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosis-diri

menggunakan sugesti-diri dan kesan tentang perasaan yang rileks dengan

menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondidi-kondisi yang

menghasilkan respon tertentu. Hipnosis-diri sama seperti dengan melamun.

Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stress karena individu

hanya berkonsentrasi hanya pada satu pikiran.

i. Bimbingan Antisipasi

Bimbingan antisipasi adalah memberikan pemahaman kepada pasien

mengenai nyeri yang dirasakan. Pemahaman yang diberikan oleh perawat ini

bertujuan untuk memberikan informasi kepada pasien, dan mencegah salah

interpretasi tentang peristiwa nyeri.

j. Biofeedback

Biofeedback merupakan terapi perilaku yang dilakukan dengan

memberikan individu informasi tentang respon fisiologis (misalnya, tekanan

darah dan ketegangan otot) dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap

respon tersebut. Terapi ini digunakan untuk menghasilkan keadaan yang rileks

dan sangat efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan nyeri kepala migren.

k. Sentuhan Terapeutik

Pendekatan ini menyatakan bahwa pada individu yang sehat, terdapat

ekuilibrium antara aliran energi didalam dan diluar tubuh. Sentuhan terapeutik

meliputi penggunaan tangan untuk secara sadar melakukan pertukaran energi.

Terdapat empat langkah dasar dalam melakukan teknik ini, yaitu pemusatan,

pengkajian, terapi, dan evaluasi. Setiap tahap umumnya melaju kelangkah

berikutnya dan proses secara keseluruhan berlangsung sekitar 25 menit.

l. Imajinasi Terbimbing

Imajinasi terbimbing merupakan teknik membimbing klien untuk

menciptakan kesan dalam pikiran dan berkonsentrasi pada kesan tersebut,

sehingga secara bertahap klien akan kurang merasakan nyeri. Caranya,

perawat meminta klien untuk memikirkan pemandangan atau pengalaman

29

menyenangkan yang dapat meningkatkan penggunaan indra. Kemudian

perawat membantu klien dalam memfokuskan kesan yang dipikirkan dengan

ketenangan dan suara yang lembut tanpa mengganggu klien. Apabila klien

menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah, atau tidak nyaman, perawat harus

menghentikan lantihan dan memulai lagi latihan setelah klien merasa tenang.

C. Konsep Teknik Relaksasi autogenik

1. Pengertian Relaksasi

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketengangan dan

stres. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa

tidak nyaman atau nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri. Teknik relaksasi

dapat digunakan saat individu dalam kondisi sehat atau sakit (Potter & Perry,

2006).

2. Macam- macam Teknik Relaksasi

Teknik relaksasi meliputi meditasi, yoga, Zen, Teknik imajinasi, dan

latihan relaksasi progresif (Potter & Perry, 2006). Teknik relaksasi lainnya

yaitu relaksasi autogenik yang termasuk dalam salah satu penatalaksanaan

nyeri non farmakologis (Asmadi, 2008).

3. Pengertian Teknik Relaksasi Autogenik

Autogenik merupakan salah satu dari teknik relaksasi yang berdasarkan

konsentrasi pasif dengan menggunakan persepsi tubuh (misalnya, tangan

merasa hangat dan berat) yang difasilitasi oleh sugesti diri sendiri. Relaksasi

autogenik merupakan teknik relaksasi yang bersumber dari diri sendiri berupa

kata-kata atau kalimat pendek yang bisa membuat pikiran menjadi tenang.

Relaksasi autogenik membantu individu untuk dapat mengendalikan beberapa

fungsi tubuh seperti pernapasan, tekanan darah, frekuensi jantung dan aliran

darah sehingga tercapailah keadaan rileks. Efektifnya relaksasi ini dilakukan

selama 20 menit (Asmadi, 2008).

30

4. Mekanisme Teknik Relaksasi Autogenik

Latihan autogenik (Autogenic Training) dapat melatih sesorang untuk

melakukan sugesti diri, tujuannya agar seseorang dapat merilekskan otot-

ototnya dan dapat mengendalikan atau mengurangi reaksi emosi yang

bergejola pada dirinya baik pada saraf pusat maupun pada saraf otonom.

Setelah diajarkan teknik ini, seseorang tidak lagi tergantung pada ahli

terapinya, melainkan dapat melakukannya sendiri melalui teknik sugesti diri

(auto-sugestion technique). Beberapa latihan dari relaksasi autogenik ini

adalah latihan untuk merasakan berat dan panas pada anggota gerak.

Caranya, dengan mengatakan dalam diri “saya merasakan lengan kanan

saya berat” dan “saya rasakan lengan kanan saya panas dan rileks”. Kemudian,

latihan pernapasan atau pengaturan aktivitas jantung dan paru-paru, dengan

mengatakan dalam diri “pernapasan saya lebih tenang dan denyut jantung saya

berdetak lebih lamba”’. Serta latihan untuk merasakan panas atau dingin pada

perut dan dahi, dengan mengatakan dalam diri “dahi dan perut saya lebih

dingin”. Latihan ini dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat (Gunarsa,

2008).

Stimulus nyeri pada area luka bedah menyebabkan keluarnya mediator

nyeri yang akan menstimulasi transmisi impuls disepanjang serabut saraf

aferen nosiseptor ke substansia gelatinosa di medula spinalis untuk

selanjutnya melewati thalamus kemudian disampaikan ke kortek serebri dan

diinterprestasikan sebagai nyeri. Relaksasi autogenik akan menghasilkan

impuls yang akan dikirim melalui serabut saraf aferen non-nosiseptor, serabut

saraf non-nosiseptor mengakibatkan substansia gelatinosa tertutup sehingga

stimulus nyeri terhambat dan berkurang. Teori two gate control menyatakan

bahwa terdapat satu substansia gelatinosa lagi di thalamus yang mengatur

impuls nyeri dari nervus trigeminus. Dengan adanya relaksasi, maka impuls

nyeri dari nervus trigeminus akan dihambat dan mengakibatkan tertutupnya

substansia gelatinosa di thalamus, tertututpnya substansia gelatinosa di

thalamus mengakibatkan stimulasi yang menuju korteks serebri terhambat

sehingga intensitas nyeri berkurang.

31

5. Manfaat teknik relaksasi autogenik

Tenik relaksasi dikatakan efektif apabila setiap individu dapat merasakan

perubahan pada respon fisiologis tubuh seperti penurunan tekanan darah,

penurunan ketegangan otot, denyut nadi menurun, perubahan kadar lemak

dalam tubuh, serta penurunan proses inflamasi (Potter & Perry, 2006).

Relaksasi autogenik akan membantu tubuh untuk membawa perintah melalui

autosugesti untuk rileks sehingga dapat mengendalikan pernafasan, tekanan

darah, denyut jantung serta suhu tubuh. Imajinasi visual dan mantra-mantra

verbal yang membuat tubuh merasa hangat, berat dan santai merupakan

standar latihan relaksasi autogenik.

6. Hal yang perlu diperhatikan dalam Teknik Relaksasi Autogenik

a. Tidak dianjurkan untuk anak di bawah 5 tahun.

b. Tidak dianjurkan untuk individu yang kurang motivasi atau yang

memiliki masalah mental dan emosional yang berat.

c. Individu dengan masalah serius, misalnya Diabetes Melitus dan atau

masalah jantung harus dibawah pengawasan dokter atau perawat ketika

melakukannya.

d. Beberapa pasien dapat mengalami kenaikan tekanan darah atau bahkan

ada yang mengalami penurunan tekanan darah secara tajam, jika

merasa gelisah atau cemas selama atau setelah latihan, atau mengalami

efek samping tidak biasa diam, maka harus diberhentikan (Setyawaty,

2010 dalam Sabrina, 2017).

7. Langkah-langkah Teknik Relaksasi Autogenik

Menurut Asmadi (2008) langkah-langkah latihan relaksasi autogenik

sebagai berikut:

a. Persiapan sebelum memulai latihan

1) Tubuh berbaring, kepala disanggah dengan bantal, dan mata

terpejam.

2) Atur napas hingga napas menjadi lebih teratur.

3) Tarik napas sekuat-kuatnya lalu buang secara perlahan-lahan

sambil katakana dalam hati ‘saya merasa damai dan tenang’.

32

b. Langkah pertama : merasakan berat

1) Fokuskan perhatian pada lengan dan bayangkan kedua lengan

terasa berat. Selanjutnya, secara perlahan-lahan bayangkan kedua

lengan terasa kendur, ringan hingga terasa sangat ringan sekali

sambil katakana ‘saya merasa damai dan tenang’.

2) Lakukan hal yang sama pada bahu, punggung, leher, dan kaki.

c. Langkah kedua : merasakan kehangatan

1) Bayangkan darah mengalir keseluruh tubuh dan rasakan hangatnya

aliran darah, sambil mengatakan dalam diri ‘saya merasa hangat

dan tenang’.

2) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.

d. Langkah ketiga : merasakan denyut jantung

1) Tempelkan tangan kanan pada dada kiri dan tangan kiri pada perut.

2) Bayangkan dan rasakan jantung berdenyut dengan teratur dan

tenang, sambil katakana ‘jantung saya berdenyut dengan teratur

dan tenang’.

3) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.

e. Langkah keempat : merasakan pernapasan

1) Posisi tangan tidak berubah.

2) Bayangkan nafas anda terasa sangat longgar dan teratur, sambil

mengatakana dalam diri ‘napasku longgar dan tenang’.

3) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.

f. Langkah kelima : merasakan aliran darah perut

1) Posisi tangan tidak berubah. Rasakan aliran darah dalam perut

mengalir dengan teratur dan terasa hangat, sambil mengatakana

dalam diri ‘darah yang mengalir dalam perutku terasa hangat’.

2) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.

g. Langkah keenam : merasakan dingin di kepala

1) Kedua tangan kembali pada posisi awal.

2) Bayangkan kepala anda terasa sangat dingin, sambil mengatakan

atakan dalam diri ‘kepala saya terasa benar-benar dingin’.

33

3) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.

h. Langkah ketujuh : akhir latihan

Mengakhiri latihan relaksasi autogenik dengan melekatkan

(mengepalkan) tangan bersamaan dengan menarik napas dalam, lalu

membuang napas secara perlanhan-lahan sambil membuka mata dan

melepaskan kepalan tangan.

D. Penelitian Terkait

1. Nita Syamsiah, Endang Muslihat (2014) dengan judul “Pengaruh Terapi

Teknik Relaksasi Autogenik Terhadap Tingkat Nyeri Akut pada Pasien

Abdominal Pain di IGD RSUD Karawang”. Metode penelitian yang

digunakan adalah quasi experiment design dengan rancangan equivalent

time sample design. Responsden berjumlah 30 orang responsden yang

terdiri dari 15 orang responsden kelompok intervensi dan 15 orang

responsden kelompok kontrol. Hasil dari penelitian ini, 15 orang

responsden pada kelompok intervensi mengalami penurunan intensitas

nyeri dari rata-rata pretest 8,53 menjadi posttest 1,00, dan pada 15 orang

responsden kelompok kontrol mengalami penurunan intensitas nyeri dari

rata-rata pretest 8,33 menjadi posttest 3,20.

2. Nurteti Putri Dewi, Sri Utami, Sofia (2018) dengan judul “ Efektifitas

Relaksasi Autogenik Terhadap Dysmenorrheal di SMPN 13 Pekan Baru” .

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain penelitian pre

experiment dengan rancangan one group pretest-posttest. Pengambilan

sampel dengan menggunakan teknik accidental sampling. Responsden

berjumlah 17 orang responsden. Hasil dari penelitian pada kelompok

intervensi mengalami penurunan intensitas nyeri dari rata-rata pretest 5,00

menjadi posttest 4,00.

3. Nung Ati Nurhayati, Septian Andriani (2015) dengan judul “Pengaruh

Teknik Relaksasi Autogenik Terhadap Penurunan Skala Nyeri pada Ibu

Post Operasi Sectio Caesarea di Ruang Perawatan V/VI RS. Dustira

Cimahi”. Metode penelitian yang digunakan eksperimen dengan

34

rancangan one group pretest-posttest design. Pengambilan sampel dengan

menggunakan teknik purposive sampling. Responsden berjumlah 75 orang

responsden. Hasilnya, pada kelompok eksperimen sebelum dilakukan

teknik relaksasi autogenik terdapat 48 responsden (64%) menyatakan nyeri

sedang (skala nyeri 4-6), 27 responsden (36%) menyatakan nyeri berat

(skala nyeri 7-10), setelah dilakukan teknik relaksasi autogenik terdapat 11

responsden (14,7%) menyatakan nyeri ringan (skala nyeri 1-3), 55

responsden (73,3%) menyatakan nyeri sedang (skala nyeri 4-6), dan 9

reponden (12%) menyatakan nyeri berat.

E. Kerangka Teori

Gambar 4. Kerangka Teori Penelitian

Sumber : modifikasi Asmadi (2008), Potter & Perry (2010)

Keterangan :

: tidak diteliti : beroengaruh tidak diteliti

: diteliti : berpengaruh diteliti

Nyeri

Penatalaksanaan untuk penanganan nyeri : a. Farmakologi b. Non farmakologi

1) Distraksi 2) Relaksasi

a) Yoga b) Zen c) Teknik imajinasi d) Relaksasi progresif

3) Kompres dingin dan panas 4) Masase 5) Stimulasi saraf

elektristranskutan 6) Akupresure 7) Hypnosis 8) Bimbingan antisipasi 9) Biofeedback 10) Sentuhan terapeutik 11) Imajinasi terbimbing

Fase post operasi sectio caesarea

e) Relasasi autogenik

Skala nyeri 0 -10

35

F. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan

antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau antara variabel yang satu

dengan variabel yang lain dari maslah yang ingin diteliti, (Notoadmodjo, 2010).

Berdasarkan konsep diatas, maka penulis membuat kerangka konsep sebagai

berikut :

Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian

2.4 Hipotesis

Nyeri Sebelum

Pasca operasi sebelum pemberian terapi relaksasi autogenik

Nyeri Setelah

Pasca operasi setelah pemberian terapi relaksasi aotogenik

Pemberian terapi relaksasi autogenik