Upload
phungnhi
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Anak
a. Pengertian
Definisi anak pada Pasal 1 UU No.3 tahun 1997 tentang
Peradilan Anak disebutkan bahwa yang dimaksud dengan seorang anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal tersebut sama juga
dengan pengertian menurut Konvensi Hak Anak (KHA) definisi anak
adalah manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun (Alimul,
2005).
Department of Child and Adolescent Health and Development,
mendefinisikan anak-anak sebagai orang yang berusia di bawah 20
tahun. Pendapat The Convention on the Rights of the Child
mendefinisikan anak usia antara 0–14 tahun, karena di usia inilah risiko
terganggunya perkembangan anak cenderung menjadi besar (Azwar,
2005).
b. Periode pola perkembangan
Tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak terdiri dari :
(Pediatric Nursing, 2009)
1) Masa Prenatal
a) Germinal : konsepsi - 2 minggu
b) Embrio : 2 - 8 minggu
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
c) Fetal : 8 - 40 minggu
2) Masa Bayi
a) Neonatus : lahir - 27/28 hari
b) Bayi : 1 - 12 bulan
3) Masa Kanak-Kanak (1-6 tahun)
a) Toodler : 1 - 3 tahun
b) Prasekolah : 3 - 6 tahun
4) Masa Anak-Anak Tengah (6 - 12 tahun)
5) Masa Anak-Anak Akhir (12 - 18 tahun)
a) Pre Pubertas :12 - 13 tahun
b) Remaja : 13 - 18 tahun
2. Perkembangan Anak Usia Toddler
Perkembangan pada masa usia toddler, petumbuhan fisiknya
relatif lambat dibandingkan dengan masa bayi, tetapi perkembangan
motoriknya lebih cepat. Anak belajar berdiri, berlari, menaiki tangga,
menggenggam dan memotong kertas, kemudian anak akan lebih perhatian
terhadap lingkungannya dibandingkan masa sebelumnya. Menurut
Soetjiningsih perkembangan anak dibagi menjadi 4 kelompok yang disebut
sektor perkembangan yang meliputi :
a. Perkembangan motorik kasar
Perkembangan motorik kasar adalah aspek yang berhubungan
dengan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan sebagian besar
tubuh yang dilakuakan oleh otot-otot yang lebih besar sehingga
memerlukan cukup tenaga (Nursalam, 2005), kemampuan kontrol ini
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
berasal dari berkembangannya reflek-reflek dan aktivitas otot yang
telah muncul sejak bayi dilahirkan. Jika kemampuan ini tidak
berkembang, maka seorang anak akan tetap tinggal tidak berdaya
(Gamayanti, 2009).
1) Usia 1 tahun
Anak usia 1 tahun perkembangan motorik kasarnya seperti :
dapat berdiri sendiri, merangkak naik tangga, berjalan belum
mantap dengan kaki lebar, lengan agak tertekuk dan diletakkan di
atas kepala atau setinggi bahu untuk keseimbangan.
2) Usia 18 bulan
Anak usia 18 bulan perkembangan motorik kasarnya antara
lain berjalan dengan baik dengan kaki sedikit merenggang. Mulai
berjalan dan berhenti dengan aman, berjalan menaiki tangga dengan
bimbingan, merangkak mundur menuruni tangga.
3) Usia 2 tahun
Anak usia 2 tahun perkembangan motorik kasarnya meliputi
berjalan dengan aman, berjalan ke arah bola besar jika ingin
menendangnya, menunggangi mainan besar yang berada dan
mendorong ke depan dengan kaki di lantai.
4) Usia 3 tahun
Anak usia 3 tahun motorik kasarnya adalah naik sepeda roda
tiga dan dapat membelok, dapat berjalan berjingkat.
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
b. Perkembangan motorik halus
Perkembangan motorik halus adalah kemampuan anak untuk
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja
dan dilakukan oleh otot-otot kecil, memerlukan koordinasi yang cermat,
serta tidak memerlukan tenaga
1) Usia 1 tahun
Perkembangan motorik halusnya antara lain anak mampu
mengambil gula kecil antara ibu jari dan jari lain dengan gerakan
menjepit, menunjuk dengan sabar pada obyek yang ingin dilihatnya,
membenturkan kubus.
2) Usia 18 bulan
Perkembangan motorik halusnya meliputi mencorat – coret
dengan spontan bila diberi krayon dan kertas dengan tangan yang
disenangi, menyusun menara dari 3 kubus sesudah diajari
3) Usia 2 tahun
Perkembangan motorik halusnya meliputi meniru garis tegak,
lebih jelas tangan yang disukai, mengenali orang dewasa yang
dikenal pada foto sesudah ditunjukkan sekali.
4) Usia 3 tahun
Motorik halusnya meliputi memotong dengan gunting,
membandingkan 2-3 warna dasar (biasanya menyebut merah dan
kuning dengan benar tetapi masih bingung antara biru dan hijau).
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
c. Perkembangan bahasa
Bahasa merupakan suatu aspek perkembangan yang erat kaitanya
dengan berpikir, karena bahasa merupakan suatu hal yang dipakai untuk
mempresentasikan ide - ide atau apa yang dipikirkanya. Bahasa
merupakan suatu rangkaian kata yang disusun menggunakan tata
bahasa yang komplek, yang merupakan suatu hal sifatnya dipelajari
sekaligus dipengaruhi oleh faktor kematangan. Anak belajar berbahasa
secara otomatis dan kemampuan ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan
dan latihan, karena pada dasarnya belajar bahasa adalah melalui
peniruan maupun pengalaman sehingga anak bisa menyebut benda arau
nama orang disekitarnya
1) Usia 1 tahun
Perkembangan yang dapat dicapai pada anak usia ini adalah
menunjuk orang yang dikenal, binatang, mainan dan lain- lain bila
disuruh, berbicara 2 - 6 kata dengan jelas dan mengerti beberapa
kata lain.
2) Usia 18 bulan
Perkembangan yang dicapai pada usia ini adala anak
menggunakan 6 - 20 kata yang dimengerti dan mengerti lebih
banyak kata, menunjuk rambut, sepatu, hidungnya sendiri atau
milik bonekanya.
3) Usia 2 tahun
Perkembangan yang dapat dicapai pada usia ini adalah anak
menyusun 2 kata atau lebih untuk membentuk kalimat tunggal,
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
menggunakan 50 atau lebih kata yang jelas dan mengerti lebih
banyak lagi.
4) Usia 3 tahun
Perkembangan yang dapat dicapai anak pada usia ini adalah
anak menyebutkan nama lengkap dan jenis kelaminnya,
menanyakan banyak pertanyaan yang dimulai dengan ”apa”,
”dimana” dan ”siapa”.
d. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial anak sebenarnya sudah dimulai sejak awal,
yaitu pada saat seorang bayi telah dapat bereaksi terhadap lingkungan
sosialnya, walaupun masih sangat sederhana, yaitu dengan adanya
reaksi terhadap suara dan mulai memperhatikan wajah orang. Dengan
bertambahnya usia dan kesempatan untuk bersosialisasi bagi anak,
maka tingkah laku lekat juga mengalami perubahan. Kebutuhan anak
untuk berhubungan dengan orang lain akan bertambah. Adanya kontak
sosial dengan lingkungannya akan menghasilkan beberapa tingkah laku
sosial antara lain negatifisme, tingkah laku agresif, bertengkar,
menggoda, mengganggu, persaingan, kerja sama, berkuasa, sikap
mementingkan diri sendiri, sikap simpatik. Bentuk-bentuk tingkah laku
ini nantinya akan besar sekali pengaruhnya dalam kemasakan sosial.
1) Usia 1 tahun
Perkembangan yang dapat dicapai anak pada usia ini adalah
anak dapat minum dari cangkir dengan sedikit bantuan, mengunyah,
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
menaruh kotak kayu keluar masuk mangkuk atau kotak,
menemukan mainan yang disembunyikan dengan cepat.
2) Usia 18 bulan
Perkembangan dapat dicapai anak pada usia ini adalah anak
mengangkat dan memegang cangkir diantara 2 tangan dan minum
tanpa menumpahkan, menunjukkan keinginan berak / BAB dengan
gelisah atau bersuara.
3) Usia 2 tahun
Perkembangan yang dapat dicapai anak pada usia ini adalah
anak dapat mengangkat dan minum dari cangkir dan
mengembalikan ke meja, makan dengan sendok tanpa
menumpahkan, tidak ngompol di siang hari. Bermain dekat anak
lain tetapi tidak bermain bersama mereka
4) Usia 3 tahun
Perkembangan yang dapat dicapai anak pada usia ini adalah
anak dapat makan menggunakan sendok garpu, dapat menarik atau
menaikkan celana, tidak ngompol malam hari, bergabung dalam
permainan dengan anak lain di dalam atau di luar ruangan
3. Hospitalisasi
a. Pengertian
Hospitalisasi didefinisikan sebagai suatu proses dirawat atau
tinggal di rumah sakit yang dapat merupakan pengalaman baru dan
seringkali menakutkan bagi seorang anak (Turkington & Tzeel, 2004).
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
Hospitalisasi adalah proses masuknya seseorang ke rumah sakit sebagai
pasien karena berbagai alasan (Castello, 2008).
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena suatu alasan yang
berencana atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit
menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah.
Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai
kejadian yang menurut beberapa peneliti ditunjukkan dengan
pengalaman yang sangat traumatik dan penuh stress (Supartini, 2004).
Berdasarkan tiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
hospitalisasi adalah suatu proses masuk dan dirawatnya seorang
individu di rumah sakit karena berbagai alasan dan bagi anak hal
tersebut dapat merupakan pengalaman baru yang seringkali
menakutkan.
b. Stressor dan reaksi anak usia prasekolah terhadap hospitalisasi
Penyakit dan hospitalisasi merupakan krisis pertama yang harus
dihadapi anak. Anak-anak terutama pada usia awal sangat rentan untuk
mengalami krisis akibat sakit dan dirawat di rumah sakit. Krisis
tersebut disebabkan karena stres adanya perubahan status kesehatan dan
lingkungan sehari-hari serta keterbatasan mekanisme koping terhadap
stressor yang dimiliki. Reaksi terhadap krisis tersebut dipengaruhi oleh
usia perkembangan, pengalaman anak sebelumnya terhadap penyakit,
perpisahan atau hospitalisasi, kemampuan koping yang anak miliki atau
dapatkan, keparahan penyakit dan ketersediaan sistem pendukung
(Hockenberry & Wilson, 2009).
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
c. Dampak hospitalisasi pada anak prasekolah
Dampak hospitalisasi terhadap anak usia prasekolah menurut Dachi
(2006), antara lain:
1) Cemas akibat perpisahan (separation anxiety)
Kecemasan pada anak yang terjadi akibat perpisahan dengan
orang tua atau orang yang menyayangi merupakan sebuah
mekanisme pertahanan dan karakteristik normal dalam
perkembangan anak. Perilaku utama yang ditampilkan anak sebagai
respon dari kecemasan akibat perpisahan terdiri dari tiga fase, yaitu
fase protes, putus asa dan menolak atau menyesuaikan diri. Fase
protes, anak-anak bereaksi secara agresif terhadap perpisahan
dengan orang tua. Anak menangis dan berteriak memanggil orang
tuanya, menolak perhatian dari orang lain dan sulit dikendalikan.
Selama fase putus asa, tangisan berhenti dan mulai muncul depresi.
Anak menjadi kurang aktif, tidak tertarik untuk bermain atau
terhadap makanan dan menarik diri dari orang lain. Fase ketiga
yaitu menolak atau menyesuaikan diri, anak secara sederhana sudah
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kehilangan yang
dihadapi (Hockenberry & Wilson, 2009).
2) Kehilangan kontrol (loss of control)
Anak yang mengalami hospitalisasi biasanya mengalami
kehilangan kontrol. Kehilangan kontrol dapat menyebabkan
perasaan tidak berdaya sehingga memperdalam kecemasan dan
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
ketakutan. Anak usia toddler dan prasekolah memiliki risiko
tertinggi untuk kehilangan kontrol (Bowden & Greenberg, 2008).
3) Cedera tubuh dan nyeri (bodily injury and pain)
Ketakutan terhadap cedera tubuh dan nyeri sering terjadi
diantara anak-anak. Konsekuensi rasa takut ini dapat mendalam.
Anak-anak yang mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri
karena pengobatan akan merasa lebih takut terhadap nyeri di masa
dewasa dan cenderung menghindari perawatan medis (Hockenberry
& Wilson, 2009).
4) Lingkungan yang asing
Lingkungan yang asing, situasi ruangan rawat di rumah sakit
juga seringkali menakutkan bagi anak. Hal tersebut dapat terjadi
karena anak usia prasekolah sering mengalami takut berkaitan
dengan mutilasi tubuh dan objek serta orang-orang yang
berhubungan dengan pengalaman yang menyakitkan (Muscari,
2005).
4. Kecemasan
a. Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, yang
ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan, rasa takut yang kadang
kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda. Cemas sangat berkaitan
dengan perasaan yang sangat tidak enak, khawatir, gelisah, tidak pasti
dan tidak berdaya yang disertai satu atau lebih gejala badaniah (Stuart
& Sundeen, 2007).
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
Maramis (2004) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan
suatu respon stressor yang merupakan gangguan efek dan emosi. Efek
adalah nada perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan
yang menyertai suatu pikiran dan biasanya berlangsung lama dan
disertai oleh banyak komponen fisiologik.
Menurut Carpenito (2005), cemas berbeda dengan takut,
walaupun hampir sama tetapi terdapat perbedaan yang penting, yaitu :
1) Takut merupakan rasa tidak berani terhadap suatu objek yang
konkrit.
2) Kecemasan menyerang pada tingkat lebih dalam dari pada takut,
yaitu sampai pusat kepribadian.
Hospitalisasi menyebabkan anak harus berpisah dari
lingkungannya yang lama serta orang-orang yang terdekat dengannya.
Anak biasanya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya,
sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan
rasa cemas. Kecemasan juga dapat terjadi pada anak juga akibat
kehilangan kendali atas dirinya dan kehilangan kebebasan dalam
mengembangkan otonominya. Anak akan bereaksi negatif terhadap
ketergantungan yang dialaminya, terutama anak akan menjadi cepat
marah dan agresif (Nursalam, 2008).
b. Gejala kecemasan
Gejala klinis kecemasan menurut Nursalam (2008), adalah :
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
1) Fase protes (phase of protest)
Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit,
dan memanggil ibunya atau menggunakan tingkah laku agresif,
seperti menendang, menggigit, memukul, mencubit, mencoba untuk
membuat orang tuanya tetap tinggal, dan menolak perhatian orang
lain. Secara verbal, anak menyerang dengan rasa marah, seperti
mengatakan “pergi!”. Perilaku tersebut dapat berlangsung dari
beberapa jam sampai beberapa hari.
2) Fase putus asa (Phase of Despair)
Tahap ini dimanifestasikan dengan anak tampak tegang,
tangisnya berkurang, tidak aktif, kurang berminat untuk bermain,
tidak ada nafsu makan, menarik diri, tidak mau berkomunikasi,
sedih, apatis, dan regresi misalnya mengompol atau mengisap jari.
Kondisi anak mengkhawatirkan karena menolak untuk makan atau
bergerak.
3) Fase menolak (Phase of Denial)
Tahap ini ditandai dengan anak secara samar-samar menerima
perpisahan, mulai tertarik pada apa yang ada di sekitarnya, dan
membina hubungan dangkal dengan orang lain. Anak mulai
kelihatan gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah perpisahan yang
lama dengan orang tua.
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
c. Faktor- faktor yang mempengaruhi kecemasan
1) Faktor predisposisi kecemasan
Faktor predisposisi kecemasan dijelaskan oleh beberapa teori
yang telah dikembangkan untuk menjelaskan asal kecemasan, yaitu:
a) Biologi
Model biologis menjelaskan bahwa ekpresi emosi
melibatkan struktur anatomi di dalam otak. Aspek biologis yang
menjelaskan gangguan ansietas adalah adanya pengaruh system
saraf otonom. Dalam sistem saraf otonom stresor dapat
menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui
mekanisme berikut ini: ancaman dipersepsi oleh panca indera,
diteruskan ke korteks serebri, kemudian ke sistem limbik dan
RAS (Reticular Activating System), lalu ke hipotalamus dan
hipofisis. Kemudian kelenjar adrenal mensekresikan katekolamin
dan terjadilah stimulasi saraf otonom (Mudjaddid, 2006).
Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan mempengaruhi
berbagai sistem organ dan menyebabkan gejala tertentu,
misalnya: kardiovaskuler (contohnya: takikardi), muskuler
(contohnya: nyeri kepala), gastrointestinal (contohnya: diare), dan
pernafasan (contohnya: nafas cepat).
b) Psikologis
Dalam pandangan ini dijelaskan bahwa kecemasan adalah
konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian,
yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan implus
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
primitif, sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan
dikendalikan oleh norma budaya. Ego atau keakutan, berfungsi
menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut,
dan fungsi kecemasan adalah meningkatkan ego bahwa ada
bahaya (Stuart, 2007).
Perilaku lekat dan perpisahan ringan terlihat sebagai sesuatu
yang sesuai dengan respon adaptif terhadap stresor pada situasi
yang penuh dengan tekanan pada kanak-kanak. Anak yang
mengalami pengalaman yang hebat dengan gejala yang berlebihan
dalam mengatasi perpisahan, ego yang belum matang tidak terlalu
kuat untuk mengatasi konflik (Dongoes, Townsend &
Moorhouse, 2007).
c) Stimulus
Kecemasan juga berhubungan dengan stimulus atau
rangsangan, jika anak kurang stimulasi akan mengalami hambatan
perkembangan dan pertumbuhan serta kesulitan berinteraksi
dengan orang lain. Stimulasi yang diberikan pada anak selama
tiga tahun pertama (golden age) akan memberikan pengaruh yang
sangat besar bagi perkembangan otaknya. Stimulasi kecerdasan
multiple merupakan berbagai jenis kecerdasan yang dapat
dikembangkan pada anak, antara lain verbal-linguistic dan
logical-mathematical menyusun balok, merangkai, menghitung
mainan, bermain puzzle, dan bermain komputer (Stuart, 2007).
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
2) Faktor presipitasi kecemasan
Faktor presipitasi adalah faktor-faktor yang dapat menjadi pencetus
terjadinya kecemasan (Stuart, 2007). Faktor pencetus tersebut
adalah:
a) Faktor Genetik
Biasanya faktor genetik pada wanita lebih banyak dari pada
pria dan lebih dari satu keluarga yang terkena. Gangguan panik
memiliki komponen genetik yang sama dan terdapat lebih banyak
dari pada wanita (Hurlock, 2008).
b) Faktor sifat
Kecemasan merupakan hasil frustasi yaitu segala sesuatu
yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Para ahli perilaku menganggap ansietas
merupakan sesuatu dorongan yang dipelajari berdasarkan
keinginan untuk menghindarkan rasa sakit. Teori ini meyakini
bahwa manusia yang pada awal kehidupannya dihadapkan pada
rasa takut yang berlebihan akan menunjukkan kemungkinan
ansietas yang berat pada kehidupan masa dewasanya (Smeltzer &
Bare, 2006).
c) Jumlah stimulus
Intensitas cemas yang dialami setiap individu kemungkinan
memiliki jumlah stimulus yang berbeda sesuai dengan genetik.
Orang tua yang memiliki jumlah stimulus dan gangguan
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
kecemasan akan beresiko tinggi untuk memiliki anak dengan
gangguan kecemasan.
3) Penilaian terhadap stressor
a) Kognitif
Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik
proses piker maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu
memperhatikan, konsentrasimenurun, mudah lupa, menurunnya
lapang persepsi, dan bingung.
b) Afektif
Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk
kebingungan dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap
kecemasan.
c) Psikologi
Kecemasan dapat mempengaruhi aspek interpersonal
maupun personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi
koordinasi dan gerak refleks. Kesulitan mendengarkan akan
mengganggu hubungan dengan orang lain. Kecemasan dapat
membuat individu menarik diri dan menurunkan keterlibatan
dengan orang lain (Muscari, 2005).
d) Sosial budaya
Seseorang yang mempunyai falsafah hidup yang jelas dan
keyakinan agama yang kuat umumnya lebih sukar mengalami
stres.
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
d. Klasifikasi tingkat Kecemasan
Menurut Stuart dan Sundeen (2007), manifestasi cemas dapat
meliputi aspek fisik, emosi, kognitif, dan tingkah laku. Respon terhadap
ancaman dapat berkisar dari kecemasan ringan, sedang, berat dan panik.
1) Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan
kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada
dan meningkatkan lahan persepsinya. Gejala adanya kecemasan
ringan dapat berupa rasa tegang di otot dan kelelahan, terutama di
otot-otot dada, leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk
berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku dan akibatnya
akan menimbulkan nyeri dan spasme di otot dada, leher dan
punggung. Ketegangan dari kelompok agonis dan antagonis akan
menimbulkan tremor dan gemetar yang dengan mudah dapat dilihat
pada jari-jari tangan (Tucker, 2007).
2) Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang merupakan tahap persepsi pada lingkungan
yang semakin menurun. Individu lebih memfokuskan pada hal-hal
yang lebih penting pada saat ini dan mengesampingkan hal yang
lain. Gejala yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat,
kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan
otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi
menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan
konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak
sabar, mudah lupa, marah dan menangis (Stuart & Sundeen, 2007).
3) Kecemasan Berat
Kecemasan berat merupakan tahap persepsi pada lingkungan
menjadi sangat menurun. Individu cenderung memikirkan hal yang
kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu
berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan. Gejala
yang muncul pada kecemasan berat diantaranya yaitu mengeluh
pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur atau insomnia, sering
kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau
belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan
untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya,
bingung dan disorientasi.
4) Kecemasan Sangat Berat atau Panik
Kecemasan sangat berat atau panik ditandai dengan persepsi
individu yang sudah sangat sempit sehingga tidak dapat
mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa
walaupun sudah diberi pangarahan dan tuntunan. Keadaan ini terjadi
karena peningkatan aktifitas motoriktidak sejalan dengan kehidupan
dan jika berlangsung terus dalam waktu lama dapat terjadi kelelahan
yang sangat berat bahkan kematian. Tanda dan gejala yang terjadi
pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi,
pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami
halusinasi dan delusi (Stuart, 2007).
e. Respon Kecemasan
Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang, respon
kecemasan menurut Suliswati (2005) antara lain:
1) Respon Fisiologis terhadap kecemasan
Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah
dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun
parasimpatis). Serabut saraf simpatis mengaktifkan tanda-tanda vital
pada setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan tubuh
(Muscari, 2005). Anak yang mengalami gangguan kecemasan akibat
perpisahan akan menunjukkan sakit perut, sakit kepala, mual,
muntah, demam ringan, gelisah, kelelahan, sulit berkonsentrasi, dan
mudah marah (Pott & Modleco, 2007).
2) Respon Psikologis terhadap kecemasan
Respon perilaku akibat kecemasan adalah tampak gelisah,
terdapat ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat,
kurang koordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal,
melarikan diri dari masalah, menghindar, dan sangat waspada
(Stuart, 2007).
3) Respon Kognitif
Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik
proses pikir maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu
memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
lapang persepsi, bingung, sangat waspada, kehilangan objektivitas,
takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut pada
cedera atau kematian dan mimpi buruk (Stuart, 2007).
4) Respon Afektif
Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk
kebingungan, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada, khawatir,
mati rasa, rasa bersalah atau malu, dan curiga berlebihan sebagai
reaksi emosi terhadap kecemasan (Stuart, 2007).
f. Pengukuran kecemasan
1) CMFS (Child Medical Fear Scale)
Menurut Tsai (2007), stress hospitalisasi anak saat ini dapat
dikaji dengan menggunakan Child Medical Fear Scale (CMFS) dan
Hospital Stres Scale (HSS). CMFS ini sering digunakan dalam
penelitian-penelitian keperawatan (Broom & Bobley, 2003 dalam
Tsai 2007). HSS memiliki skala stress 0-100, dimana jika anak
memiliki skor 49,6 artinya anak memiliki stres sedang (Bosser, 2004
dalam Tsai 2007).
2) STAIC (State-Trait Inventory for Children)
Kecemasan anak juga dapat dikaji dengan State-Trait
Inventory for Children (STAIC) dari Spielberger (1973). Menurut
Tsai (2007), STAIC telah banyak digunakan dalam penelitian untuk
mengukur kecemasan pada anak usia sekolah.
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
3) MASC (Multidimentional Anxiety Scale for Children)
Multidimentional Anxiety Scale for Children (MASC), juga
dapat digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan anak usia 10-15
tahun (Olason, Sighvatsson, Smari, 2008).
4) T-MAS (Taylor Manifest Anxiety Scale)
Mengukur tingkat kecemasan pasien digunakan alat ukur T-
MAS (Taylor Manifest Anxiety Scale). T-MAS merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur intensitas kecemasan melalui observasi
yang disusun oleh Janet Taylor (Mulyani, 2004). Menurut Kaplant
dan Sadock’s (2002) skala pengukuran kecemasan secara umum
pada anak prasekolah adalah modifikasi pengukuran kecemasan pada
orang dewasa disesuaikan dengan kondisi anak. Alat ini berisi 34
pertanyaan observasi intensitas kecemasan pada anak prasekolah
dengan jawaban ya skor (1) dan tidak (0). Dari 34 pertanyaan
tersebut skor yang diperoleh antara 0-34. Skor yang diperoleh
kemudian dikategorikan menurut Arikunto (2010) meliputi cemas
berat 26-34, cemas sedang 16-25, cemas ringan 1-15 dan tidak
cemas 0. Peneliti memilih T-MAS untuk mengukur kecemasan anak
prasekolah, keuntungan memakai T-MAS yaitu waktu pemeriksaan
yang cepat dan hanya memerlukan waktu selama 10-15 menit.
5. Terapi Bermain
a. Pengertian
Terapi merupakan penerapan sistematis dari sekumpulan prinsip
belajar terhadap suatu kondisi atau tingkah laku yang dianggap
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
menyimpang, dengan tujuan melakukan perubahan. Perubahan yang
dimaksud bisa berarti menghilangkan, mengurangi, meningkatkan, atau
memodifikasi suatu kondisi atau tingkah laku tertentu (Adriana, 2011).
Bermain adalah aktivitas yang dapat dilakukan anak sebagai
upaya stimulasi pertumbuhan dan perkembangannya. Kegiatan bermain
merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan
sosial. Bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena
dengan bermain, anak-anak akan berkata-kata atau berkomunikasi,
belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang
dilakukannya dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Supartini, 2004).
Berdasarkan pengertian terapi dan bermain diatas maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan terapi bermain adalah suatu
perlakuan dan pengobatan yang ditujukan kepada penyembuhan satu
kondisi yang mengalami hospitalisasi selama dirumah sakit yang
dilakukan dengan sukarela oleh pasien dengan cara bermain apa yang
disukai untuk memperoleh kesenangan, kepuasan dan dapat
mengekspresikan diri.
b. Fungsi Bermain
Fungsi bermain bagi anak terdiri dari : (Nursalam, 2005)
1) Perkembangan sensori dan motorik
Menurut Hartini (2004) fungsi bermain pada anak dapat
dikembangkan dengan melakukan rangsangan pada sensorik dan
motorik dalam mengekplorasikan alam disekitarnya.
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
2) Membantu perkembangan kognitif
Anak belajar mengenal warna, bentuk atau ukuran, tekstur
dari berbagai macam objek, angka, dan benda. Anak belajar untuk
merangkai kata, berpikir abstrak dan memahami hubungan ruang
seperti naik, turun, dibawah dan terbuka. Aktivitas bermain juga
dapat membantu perkembangan keterampilan dan mengenal dunia
nyata atau fantasi (Aziz, 2005).
3) Meningkatkan kemampuan sosialisasi anak
Proses sosialisasi dapat terjadi melalui permainan, misalnya
pada saat anak akan merasakan kesenangan terhadap kehadiran
orang lain dan merasakan ada teman yang dunianya sama (Sutarya,
2005).
4) Meningkatkan kreativitas
Bermain juga dapat berfungsi dalam peningkatan kreativitas,
dimana anak mulai belajar menciptakan sesuatu dari permainan
yang ada dan mampu memodifikasi objek yang digunakan dalam
permainan sehingga anak akan lebih kreatif melalui model
permainan ini, seperti bermain bongkar pasang dan mobil-mobilan
(Nursalam, 2005).
5) Meningkatkan kesadaran diri
Bermain pada anak dapat memberi kemampuan untuk
mengekplorasikan tubuh dan merasakan dirinya sadar dengan orang
lain yang merupakan bagian dari individu yang saling berhubungan,
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
anak mau belajar mengatur perilaku serta membandingkan perilaku
dengan orang lain (Nursalam, 2005).
6) Mempunyai nilai terapeutik
Bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan
nyaman sehingga adanya stress dan ketegangan dapat dihindari,
mengingat bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya
(Vessey & Mohan, 1990 dikutip oleh Supartini, 2004).
7) Mempunyai nilai moral pada anak
Bermain juga dapat memberikan nilai moral tersendiri pada
anak. Hal ini dapat dijumpai ketika anak sudah mampu belajar
benar atau salah dari budaya di rumah, di sekolah dan ketika
berinteraksi dengan temannya. Ada beberapa permainan yang
memiliki aturan-aturan yang harus dilakukan dan tidak boleh
dilanggar (Soetjiningsih, 2010).
c. Karakteristik Bermain
Karakteristik bermain menurut Whatley & Wong (2009) :
1) Menurut isi
a) Social affektif play
Permainan yang membuat anak belajar berhubungan
dengan orang lain. Contohnya antara lain orang tua berbicara,
memeluk, bersenandung, anak memberi respon dengan
tersenyum, mendengkur, tertawa, beraktivitas dan lain-lain.
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
b) Sense pleasure play (bermain untuk bersenang-senang)
Sense pleasure play yaitu stimulus pengalaman non sosial
yang berasal dari luar. Anak menstimulasi sensori mereka dan
kesenangan. Contohnya antara lainbermain air dan pasir, objek
seperti cahaya, kayu, rasa, benda alam dan gerakan tubuh.
c) Skill-play
Skill play yaitu permainan yang bersifat membina
ketrampilan anak khususnya motorik kasar dan halus. Anak
dapat memindahkan benda-benda dari satu tempat ke tempat
yang lain. Ketrampilan ini merupakan ketrampilan pengulangan
kegiatan permainan yang dilakukan. Contohnya antara
lainbelajar naik sepeda, bermain puzzle dan origami.
d) Dramatic plays
Dramatic plays dikenal sebagai permainan simbolik atau
permainan berpura-pura. Permainan drama memberikan
kerangka bagi tingkah laku matang yang diuji. Contohnya
antara lain berpura-pura melakukan kegiatan keluarga seperti
makan, minum dan tidur serta main dokter-dokteran.
2) Menurut karakteristik sosial
a) Solitary play
Solitary play yaitu anak bermain sendiri. Anak menyukai
kehadiran orang lain tapi tidak ada usaha untuk mendekat atau
berbicara dan berpusat pada aktivitas atau permainannya sendiri.
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
b) Paralel play
Paralel play yaitu bermain yang dilakukan oleh suatu
kelompok balita atau prasekolah yang masing-masing
mempunyai permainan yang sama tetapi satu sama lainnya tidak
ada interaksi dan tidak saling tergantung.
c) Asosiasi play
Asosiasi play yaitu bermain dan berakativitas serupa
bersama tetapi tidak ada pembagian kerja, pemimpin atau tujuan
bersama. Anak berinteraksi dengan saling meminjam alat
permainan. Contohnya yaitu permainan yang dilakukan anak
prasekolah misalnya main boneka, masak-masakan, puzzle dan
origami. Pada penelitian ini permainan yang digunakan masuk
dalam Asosiasi play, karena anak lebih dapat bermain bersama-
sama dan dapat berinteraksi dengan yang lain.
d) Cooperatif play
Cooperatif play yaitu bermain dalam kelompok, ada
perasaan kebersamaan atau sebaliknya, terbentuk hubungan
pemimpin dan pengikut. Ada tujuan yang ditetapkan dan ingin
dicapai. Contohnya yaitu bermain sepak bola.
d. Bentuk-bentuk Bermain
Bentuk-bentuk bermain menurut Soetjiningsih (2010) diantaranya
adalah :
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
1) Bermain aktif
a) Bermain mengamati atau menyelidiki (exploratory play)
Perhatian pertama anak pada alat bermain adalah
memeriksa alat permainan tersebut. Anak memperhatikan alat
permainan, mengocok-ngocok apakah ada bunyi, mencium,
meraba, menekan dan kadang-kadang membongkar. Contoh
permainan yaitu puzzle, origami dan permainan bongkar pasang.
b) Bermain musik
Bermain musik dapat mendorong anak untuk
mengembangkan tingkah laku sosialnya, yaitu dengan bekerja
sama dengan teman sebaya dalam mendengarkan musik,
menyanyi atau memainkan alat musik.
c) Bermain drama (dramatic play)
Anak memerankan suatu peranan, menirukan karakter
yang dikagumi dalam kehidupan yang nyata. Pada permainan
ini, contohnya adalah main sandiwara boneka, main rumah-
rumahan dengan saudara-saudaranya atau dengan teman-
temannya.
d) Mengumpulkan atau mengoleksi sesuatu
Kegiatan ini sering menimbulkan rasa bangga, karena
anak mempunyai koleksi lebih banyak daripada teman-
temannya. Disamping itu mengumpulkan benda-benda dapat
mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Anak
terdorong untuk bersikap jujur, bekerja sama dan bersaing.
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
e) Permainan olah raga
Permainan olah raga memungkinkan anak banyak
menggunakan energi fisik sehingga sangat membantu
perkembangan fisiknya. Kegiatan ini mendorong sosialisasi
dengan belajar bergaul dan bekerja sama.
2) Bermain pasif
Bermain pasif menunjukkan bahwa anak hanya melihat dan
mendengar. Bermain pasif ideal apabila anak sudah lelah bermain
aktif dan membutuhkan sesuatu untuk mengatasi kebosanan dan
keletihannya. Contohnya antara lain melihat gambar-gambar di
buku-buku atau majalah, mendengarkan cerita atau musik,
menonton televisi dan lain-lain.
e. Alat permainan
Alat permainan adalah semua alat yang digunakan oleh anak
untuk memenuhi naluri bermainnya dan memiliki berbagai macam sifat
mengelompokkan, memperagakan, membentuk, menyempurnakan
suatu desain atau menyusun sesuai dengan bentuk utuhnya
(Soetjiningsih, 2010).
1) Ciri alat permainan untuk anak usia toddler: (Muscari, 2005)
a) Mengembangkan kemampuan menyamakan dan membedakan
b) Mengembangkan kemampuan berbahasa
c) Mengembangkan kemampuan berhitung, menambah dan
mengurangi
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
d) Merangsang daya imajinasi dengan berbagai cara permainan
berpura-pura
e) Membedakan benda-benda dengan peralatan
f) Menumbuhkan sportivitas
g) Mengembangkan kepercayaan diri dan kreativitas
h) Mengembangkan koordinasi motorik (melompat, memanjat dan
lain-lain).
i) Memperkenalkan pengertian yang bersifat pengetahuan
(terapung dan tenggelam)
j) Memperkenalkan suasana kompetisi dan gotong royong
2) Jenis alat permainan
Jenis alat permainan yang dapat digunakan adalah berbagai
benda di sekitar rumah, buku gambar, majalah anak-anak, alat
gambar dan tulis, kertas untuk melipat, puzzle, menggunting dan
lain-lain. Anak dapat melakukan bermain dengan anak sebaya,
orang tua dan orang lain di lingkungan rumah (Supartini, 2004).
f. Manfaat bermain dalam mengurangi dampak hospitalisasi
Ada banyak manfaat bermain dalam mengurangi dampak
hospitalisasi (Wong, 2009) :
1) Memfasilitasi situasi yang tidak asing
2) Memberi kesempatan untuk membuat keputusan dan control
3) Membantu untuk mengurangi stress terhadap perpisahan
4) Member kesempatan untuk mempelajari tentang fungsi dan bagian
tubuh
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
5) Memperbaiki konsep-konsep yang salah tentang penggunaan,
tujuan peralatan, dan prosedur medis
6) Member peralihan dan relaksasi
7) Membantu anak untuk merasa aman dalam lingkungan yang asing
8) Memberikan cara untuk mengurangi tekanan dan untuk
mengekspresikan perasaan
9) Menganjurkan untuk berinteraksi dan mengembangkan sikap-sikap
yang positif terhadap orang lain
6. Puzzle
a. Konsep dasar puzzle
Puzzle merupakan metode menyusun potongan-potongan gambar
menjadi gambar yang utuh. Gambar adalah sesuatu yang diwujudkan
secara visual dalam bentuk dua dimensi sebagai curahan perasaan dan
pikiran (Hamalik, 2004). Ada beberapa jenis puzzle antara lain yaitu
(Misbah, 2011) :
1) Logic puzzle
Logic puzzle adalah puzzle yang menggunakan logika.
Gambar 2.1.Logic puzzle
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
2) Jigsaw puzzle
Jigsaw puzzle adalah puzzle yang merupakan kepingan-
kepingan dan disebut dengan jigsaw puzzle karena alat untuk
memotong menjadi keping disebut dengan jigsaw.
Gambar 2.2. Jigsaw puzzle
3) Mechanical puzzle
Mechanical puzzle adalah puzzle yang kepingannya saling
berhubungan. Contoh puzzle pada mechanical puzzle adalah some
cube dan Chinese wood knots.
Gambar 2.3. Mechanical puzzle
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
4) Combination puzzle
Combination puzzle adalah puzzle yang dapat diselesaikan
melalui beberapa kombinasi yang berbeda. Contoh Combination
Puzzle adalah Rubik’s cube, Hanoi dan tower.
Gambar 2.4. Combination puzzle
Puzzle yang digunakan dalam penelitian ini adalah Jigsaw Puzzle.
Jigsaw puzzle adalah puzzle yang merupakan kepingan-kepingan.
Puzzlenya berupa bentuk binatang dan mobil. Jenis jigsaw puzzle
merupakan jenis puzzle yang paling sederhana dan mudah dilakukan
untuk anak usia prasekolah. Penggunaan puzzle sebagai alat bermain
mempunyai keunggulan dibanding alat permainan yang lain karena
merangsang perkembangan kognitif, motorik, dan stimulus anak. Hal
ini dapat terlihat pada saat anak bermain akan mencoba melakukan
komunikasi dengan bahasa anak, mampu memahami objek permainan,
mampu belajar warna, memahami bentuk ukuran dan berbagai manfaat
benda yang digunakan dalam permainan sehingga fungsi dari bermain
pada model ini akan meningkatkan perkembangan kognitif selanjutnya.
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
b. Manfaat puzzle
Puzzle memiliki banyak manfaat, antara lain (Misbah, 2011) :
1) Meningkatkan kemampuan berpikir dan membuat anak belajar
berkonsentrasi.
Saat bermain puzzle, anak akan melatih sel-sel otaknya untuk
mengembangkan kemampuan berpikirnya dan berkonsentrasi untuk
menyelesaikan potongan-potongan kepingan gambar tersebut
(Soetjiningsih, 2010).
2) Melatih koordinasi tangan dan mata
Puzzle dapat melatih koordinasi tangan dan mata anak untuk
mencocokkan keping-keping puzzle dan menyusunnya menjadi satu
gambar. Puzzle juga membantu anak mengenal dan menghapal
bentuk (Hawari, 2008).
3) Meningkatkan ketrampilan kognitif
Ketrampilan kognitif (cognitive skill) berkaitan dengan
kemampuan untuk belajar dan memecahkan masalah. Puzzle adalah
permainan yang menarik bagi anak karena anak pada dasarnya
menyukai bentuk gambar dan warna yang menarik. Anak akan
mencoba memecahkan masalah yaitu menyusun gambar saat
bermain puzzle (Misbah, 2011).
4) Memperluas pengetahuan
Anak akan belajar banyak hal, seperti warna, bentuk, angka,
huruf. Pengetahuan yang diperoleh dari cara ini biasanya
mengesankan bagi anak dibandingkan yang dihafalkan. Anak dapat
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
belajar konsep dasar, binatang, alam sekitar, buah-buahan, alphabet
dan lain-lain (Soetjiningsih, 2010).
5) Melatih kesabaran
Bermain puzzle membutuhkan ketekunan, kesabaran dan
memerlukan waktu untuk berfikir dalam menyelesaikan tantangan
(Nursalam, 2008).
6) Belajar bersosialisasi
Dua anak yang bermain bersama-sama tentunya butuh diskusi
untuk merancang kepingan-kepingan gambar dari puzzle tersebut.
Anak yang lebih besar akan merasa senang jika dapat membantu
anak yang lebih kecil (Misbah, 2011).
7. Terapi Musik
a. Pengertian Musik
Musik merupakan suatu bentuk seni yang menyangkut
organisasi otak atau kombinasi dari suara atau bunyi dan keadaan diam
yang dapat menggambarkan keindahan dan ekspresi dari emosi dalam
alur waktu dan ruang tertentu. Musik dapat menyebabkan terjadinya
kepuasan estetis melalui indera pendengaran dan memiliki hubungan
waktu dan menghasilkan komposisi yang memiliki kesatuan dan
kesinambungan (Campbell, 2011).
Musik dapat di definisikan sebagai suara dan diam yang
terorganisasi melalui waktu yang mengalir (dalam ruang), beberapa
kesimpulan sementara dan pertanyaan yang muncul adalah musik
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
berasal dari suara, suara berasal dari vibrasi dan vibrasi adalah esensi
dari segala sesuatu (Amsila, 2011).
Musik adalah bunyi atau nada yang menyenangkan untuk di
dengar. Musik dapat keras, ribut dan lembut yang membuat orang
senang mendengarnya. Orang cenderung untuk mengatakan indah
terhadap musik yang di sukainya. Musik ialah bunyi yang di terima
oleh individu dan berbeda bergantung kepada sejarah, lokasi,budaya
dan selera seseorang (Farida, 2010).
Melalui musik juga seseorang dapat berusaha untuk menemukan
harmoni internal (inner hear). Jadi musik adalah alat yang bermanfaat
bagi seseorang untuk menemukan harmoni di dalam dirinya. Hal ini di
rasakan perlu, karena dengan adanya harmoni di dalam diri seseorang,
ia akan lebih mudah mengatasi stres, ketegangan, rasa sakit dan sebagai
gangguan atau gejolak emosi negativ yang di alaminya. Selain itu
musik melalui suaranya dapat merubah frekuensi yang tidak harmonis
tersebut kembali ke vibrasi yang normal, sehat dan dengan demikian
memulihkan kembali keadaan yang normal (Merrit, 2003).
b. Pegertian Terapi musik
Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan yang menggunakan
musik di mana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki
kondisi fisik, emosi, kognitif dan sosial bagi individu dari berbagai
kalangan usia (Suhartini, 2008). Terapi musik adalah materi yang
mampu mempengaruhi kondisi seseorang baik fisik maupun mental.
Musik memberikan rangsangan pertumbuhan fungsi fungsi otak seperti
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
fungsi ingatan, belajar, mendengar, berbicara serta analisi intelek dan
fungsi kesadaran (Satiadarma, 2004).
c. Terapi Musik Lagu Anak-Anak
Dalam pemberian terapi akademis hendaknya bisa digabungkan
dengan terapi musik agar hasil yang didapatkan jauh lebih baik, hal ini
bisa dilakukan dengan memberikan hafalan huruf, hitungan, nama nama
warna dan anggota badan dalam bentuk lagu atau syair (Agustin, 2005).
Dengan menggunakan lagu anak-anak, anak juga akan ikut
berpatisipasi dalam menyanyikan lagu tersebut, seperti lagu karya Ibu
Sud tahun 1942 yang berjudul Menanam Jagung. Lagu tersebut menjadi
terapi musik dalam proses pembelajaran mereka ketika mulai mengenal
jenis tanaman, lalu menanam hingga memetik hasilnya (Budiman,
2006). Selain itu, penggunaan lagu anak yang berjudul Topi saya
bundar. Lagu ini digunakan terapis untuk mengenalkan bentuk bangun
lingkaran kepada anak. Dengan iringan musik, terapis menjadi lebih
mudah untuk mengenalkan berbagai macam benda kepada anak. Seperti
halnya dengan pengenalan bentuk bangun, anak kesulitan untuk
mengenal warna. Selain menggunakan alat pewarna, terapis
menggunakan lagu anak berjudul Balonku untuk mengenalkan warna
pada anak.
Terapi musik menggunakan lagu anak adalah suatu kegiatan
dalam belajar yang mempergunakan musik untuk mencapai tujuan-
tujuan seperti merubah tingkah laku, menjaga dan memelihara agar
tingkah laku atau kemampuan yang telah dicapai tidak mengalami
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
kemunduran, mengembangkan kesehatan fisik dan mental. Tujuan
digunakannya terapi musik pada gangguan autisme adalah membantu
penyandang autis agar dapat berperilaku wajar dengan menggunakan
suatu pendekatan yang menyenangkan bagi mereka (Yulianti, 2009).
Terapi musik menggunakan lagu anak dapat membuat anak menikmati
hidup dari kondisinya yang terisolasi menjadi berinteraksi dan
meningkatkan perkembangan emosi sosial anak (Yulianti, 2009).
d. Cara Kerja Terapi Musik
Musik bersifat terapeutik artinya dapat menyembuhkan, salah
satu alasannya karena musik menghasilkan rangsangan ritmis yang
kemudian di tangkap melalui organ pendengaran dan di olah di dalam
sistem saraf tubuh dan kelenjar pada otak yang selanjutnya
mereorganisasi interpretasi bunyi ke dalam ritme intenal
pendengarannya. Ritme internal ini mempengaruhi metabolisme tubuh
manusia sehingga prosesnya berlangsung dengan lebih baik. Dengan
metabolisme yang lebih baik tubuh akan mampu membangun sistem
kekebalan yang lebih baik, dan dengan sistem kekebalan yang lebih
baik tubuh menjadi lebih tangguh terhadap kemungkinan serangan
penyakit (Satiadarma, 2002). Sebagian besar perubahan fisiologis
tersebut terjadi akibat aktivitas 2 sistem neuroendokrin yang di
kendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem simpatis dan sistem korteks
adrenal (Prabowo & Regina, 2007).
Hipotalamus juga di namakan pusat stres otak karena fungsi
gandanya dalam keadaan darurat. Fungsi pertamanya adalah
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
mengaktifkan cabang simpatis dan sistem saraf otonom. Hipotalamus
menghantarkan impuls saraf ke nukleus. Nukleus di batang otak yang
mengendalikan fungsi sistem saraf otonom bereaksi langsung pada otot
polos dan organ internal untuk menghasilkan beberapa perubahan tubuh
seperti peningkatan denyut jantung dan peningkatan tekanan darah.
Sistem simpatis juga menstimulasi medula adrenal untuk melepaskan
hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin secara tidak langsung
melalui aksinya pada kelenjar hipofisis melepaskan gula dari hati.
Ardenal Corticotropin Hormon (ACTH) menstimulasi lapisan luar
kelenjar adrenal (korteks adrenal) yang menyebabkan pelepasan
hormon (salah satu yang utama adalah kortisol) yang meregulasi kadar
glukosa dan mineral tertentu (Primadita, 2011).
Salah satu manfaat musik sebagai terapi adalah self-mastery
yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri. Musik mengandung
vibrasi energi, vibrasi ini juga mengaktifkan sel-sel di dalam diri
seseorang, sehingga dengan aktifnya sel-sel tersebut sistem kekebalan
tubuh seseorang lebih berpeluang untuk aktif dan meningkat fungsinya.
Selain itu, musik dapat meningkatkan serotonin dan pertumbuhan
hormon yang sama baiknya dengan menurunkan hormon ACTH
(Satiadarma, 2002). Pemberian intervensi terapi musik klasik membuat
seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera,
melepaskan rasa gembira dan sedih, melepaskan rasa sakit dan
menurunkan tingkat stres, sehingga dapat menyebabkan penurunan
kecemasan (Musbikin, 2009). Hal tersebut terjadi karena adanya
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
penurunan Ardenal Corticotropin Hormon (ACTH) yang merupakan
hormon stres (Djohan, 2005).
e. Tata Cara Pemberian Terapi Musik
Belum ada rekomendasi mengenai durasi yang optimal dalam
pemberian terapi musik. Seringkali durasi yang diberikan dalam
pemberian terapi musik adalah selama 15-20 menit, tetapi untuk
masalah kesehatan yang lebih spesifik terapi musik diberikan dengan
durasi 30 sampai 45 menit. Ketika mendengarkan terapi musik klien
berbaring dengan posisi yang nyaman, sedangkan tempo harus sedikit
lebih lambat, 50 - 70 ketukan/menit, menggunakan irama yang tenang
(Schou, 2007).
8. Pengaruh Terapi Bermain Puzzle Terhadap Penurunan Kecemasan
Bermain adalah salah satu aspek penting dari kehidupan anak dan
salah satu alat yang efektif untuk penatalaksanaan stres, karena sakit dan
dirawat di rumah sakit menimbulkan krisis dalam kehidupan anak, dan
karena situasi tersebut sering disertai stres berlebihan, maka anak-anak
perlu bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka
alami sebagai alat koping dalam menghadapi stres tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Suryanti Marasaoly (2009), tentang
pengaruh terapi bermain puzzle terhadap dampak hospitalisasi pada anak
usia prasekolah di ruang Anggrek 1 Rumah Sakit Popus R.S Sukanto,
mendapatkan hasil penelitian yaitu ada pengaruh yang bermakna antara
intervensi terapi bermain puzzle dengan dampak hospitalisasi.
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
Alfiyanti (2007), meneliti tentang pengaruh terapi bermain puzzle
terhadap tingkat kecemasan anak usia prasekolah selama tindakan
keperawatan di ruang Lukman Rumah Sakit Roemani Semarang, hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara
tingkat kecemasan anak usia prasekolah selama tindakan keperawatan
sebelum dan sesudah dilakukan terapi bermain puzzle.
9. Pengaruh Terapi Musik Terhadap Penurunan Kecemasan
Dalam hal kecemasan anak usia sekolah sudah mampu
mengungkapkan rasa cemasnya baik secara verbal maupun nonverbal.
Mereka mampu mengungkapkan kecemasan dengan berbagai cara (Whaley
and Wong, 2009). Banyak cara untuk menghilangkan dan menurunkan
tingkat kecemasan anak. Beberapa metode mungkin efektif untuk sebagian
tetapi belum tentu untuk yang lain. Perawat harus peka terhadap kebutuhan
dan reaksi tertentu untuk dapat menentukan metode yang tepat dalam
melakukan intervensi keperawatan dalam menurunkan tingkat kecemasan
(Kozier, 2008).
Terapi alternatif atau komplementer yang dapat dilakukan perawat
untuk mengatasi kecemasan klien khususnya untuk klien anak salah
satunya yaitu dengan terapi musik. Terapi musik adalah terapi yang
dilakukan dengan memberikan stimulasi musik, dimana musik tersebut
masuk kedalam pikiran melalui sensasi auditori. Suara atau musik yang
lembut dapat mengurangi stress, persepsi nyeri, cemas dan perasaan
terisolasi (De Laune dan Ladner, 1998)
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
Berdasarkah hasil penelitian oleh Wahyuni (2013) tentang pengaruh
terapi music terhadap penurunan tingkat kecemasan pada pasien anak usia
sekolah (6-12 tahun) yang dirawat ina p di Ruang Marwa. RSU ‘Aisyiyah
Ponorogo, didapatkan hasil bahwa sebelum diberi terapi musik 14,29%
responden mengalami cemas ringan, 71,43% cemas sedang, dan 14,29%
mengalami cemas berat. Sedangkan setelah diberi terapi musik 80,95%
responden mengalami cemas ringan, 4,76% cemas sedang, dan 14,29%
cemas berat. Dari hasil uji statistik t-test (α = 0,05) didapatkan t hitung
(8.604) dengan t tabel (2.086) dan rata-rata penurunan sebesar 4,0476.
Karena t hitung lebih besar dari t table berarti hipotesis diterima, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi musik terhadap penurunan
tingkat kecemasan. Dari hasi temuan diatas disarankan kepada institusi
rumah sakit khususunya bidang keperawatan agar terapi music dapat
diterapkan pada pasien anak yang dirawat inap.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian Rositarini: (2012) tentang
“Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Kecemasan Anak Usia Pra
Sekolah di Shelter Dongkelsari Cangkringan D.I Yogyakarta”. Didapatkan
hasil pengukuran menggunakan paired sample t test, hasil rata-rata skor
kecemasan sebelum dan setelah diberikan terapi musik adalah 9 dengan t
hitung = 4.066 dan P value = 0.000. Berdasarkan nilai tersebut dapat
disimpulkan bahwa anak usia pra sekolah yang mendapatkan terapi musik
mengalami penurunan skor kecemasan.
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
B. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijelaskan oleh maka dibentuk
kerangka teori penelitian sebagai berikut:
Bagan 2.1 Kerangka Teori Sumber: Aidar (2011), Djohan (2005), Musbikin (2009), Satiadarma (2002),
Stuart & Laraia (2007)
Penatalaksanaan kecemasan
Hospitalisasi Pada Anak
Non-farmakologi Farmakologi
1. Terapi Musik Lagu Anak-Anak
2. Terapi Bermain Puzzle
Menyebabkan anak mengalami: 1. Perpisahan 2. Kehilangan 3. Luka pada tubuh dan nyeri
Reaksi anak : 1. Melakukan penolakan
(penolakan pemeriksaan TTV)
2. Mengalihkan perhatian 3. Berupaya aktif 4. Mencari dukungan
Meningkatkan serotonin dan menurunkan hormon ACTH
Kecemasan akibat hospitalisasi
Teori-teori tentang kecemasan: 1. Teori psikoanalitik 2. Teori interpersonal 3. Teori perilaku 4. Teori keluarga 5. Teori biologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan: 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Pengalaman individu
Rileks, rasa aman & sejahtera, melepaskan rasa gembira & sedih, melepaskan rasa sakit & menurunkan tingkat stres
Penurunan tingkat kecemasan pada anak
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan fokus penelitian yang akan diteliti, kerangka
konsep ini terdiri dari variabel bebas (independent) dan variabel terikat
(dependent). Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Variabel Independent
Variabel Dependent Variabel Dependent
Bagan 2.2 Kerangka Konsep
Keterangan :
: Diteliti
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam suatu penelitian berarti jawaban sementara penelitian,
patokan duga, atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam
penelitian tersebut. Setelah melalui pembuktian, maka hipotesis dapat benar
atau salah, bisa diterima bisa ditolak (Notoatmodjo, 2010). Ada dua hipotesis
yaitu hipotesis statistik atau disebut juga hipotesis nol (Ho) dan hipotesis kerja
(Ha) disebut juga dengan hipotesis alternatif. Hipotesa penelitian adalah
jawaban sementara penelitian atau dalil sementara yang sebenarnya akan
Terapi Bermain Puzzle dan Terapi Musik Lagu Anak-Anak
Pretest: Kecemasan pada anak usia prasekolah yang dirawat
Posttest: Kecemasan pada anak usia prasekolah yang dirawat
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
dibuktikan dalam penelitian (Notoatmodjo, 2010). Hipotesis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
Ha : Ada pengaruh terapi bermain puzzle dan mendengarkan musik lagu
anak-anak terhadap tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah yang
dirawat di Ruang Theresia RSU St. Elisabeth Purwokerto tahun 2015.
Ho : Tidak ada pengaruh terapi bermain puzzle dan mendengarkan musik
lagu anak-anak terhadap tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah
yang dirawat di Ruang Theresia RSU St. Elisabrth Purwokerto tahun
2015.
Efektifitas Terapi Bermain..., Umi Lestari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015