44
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Disparitas Putusan Hakim 1. Pengertian Disparitas Putusan Pidana Disparitas Putusan Pidana (disparity of sentencing) yaitu penerapan pidana yang sama terhadap tindak pidana yang sama ( sane offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sfat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas. 1 Menurut penulis kutipan diatas mengenai pengertian disparitas Putusan pidana adalah gambaran dari disparitas itu sendiri sebagai penjelasan awal secara umum, mengenai disparitas Putusan pidana sebagai komparasi/ perbandingan dari beberapa Putusan pidana yang sejenis atau dalam satu aturan yang sama yang dapat diperbandingkan tingkat berbahayanya tanpa dasar pembenaran yang jelas. Menurut Muladi, sumber pertama dari disparitas Putusan adalah dari hukum sendiri. Di dalam sistem hukum positif di Indonesia, hakim mempunyai kebebasan memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki. Terkait dengan perumusan ancaman pidana secara alternative, misalnya, adanya ancaman pidana penjara atau pidana denda. Artinya, hakim memiliki kebebasan untuk memutuskan salah satu pidana yang dirasa paling tepat. Selain itu hakim juga memiliki kebebasan untuk menentukan berat ringanya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan dalam Undang-Undang adalah maksimum dan minimumnya. Disamping minimum dan maksimum umum tersebut,dalam setiap pasal tidak pidananya diancam pidana maksimum yang besaranya berbeda-beda antara satu pasal dengan pasal yang lainya. 2 1 Yusti Probowati Rahayu, Di Balik Putusan Hakim (Kajian Psikologi Hukum Dalam Perkara Pidana). Citra Media, Sidoarjo, 2005, hal. 38-39. 2 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, Hal.56-57.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang ...eprints.umm.ac.id/36216/3/jiptummpp-gdl-chandradew-47630-3-bab2.pdf · adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku

Embed Size (px)

Citation preview

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Disparitas Putusan Hakim

1. Pengertian Disparitas Putusan Pidana

Disparitas Putusan Pidana (disparity of sentencing) yaitu penerapan

pidana yang sama terhadap tindak pidana yang sama (sane offence) atau

terhadap tindak-tindak pidana yang sfat berbahayanya dapat diperbandingkan

(offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.1

Menurut penulis kutipan diatas mengenai pengertian disparitas Putusan

pidana adalah gambaran dari disparitas itu sendiri sebagai penjelasan awal

secara umum, mengenai disparitas Putusan pidana sebagai komparasi/

perbandingan dari beberapa Putusan pidana yang sejenis atau dalam satu

aturan yang sama yang dapat diperbandingkan tingkat berbahayanya tanpa

dasar pembenaran yang jelas.

Menurut Muladi, sumber pertama dari disparitas Putusan adalah dari hukum sendiri. Di dalam sistem hukum positif di Indonesia, hakim mempunyai kebebasan memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki. Terkait dengan perumusan ancaman pidana secara alternative, misalnya, adanya ancaman pidana penjara atau pidana denda. Artinya, hakim memiliki kebebasan untuk memutuskan salah satu pidana yang dirasa paling tepat. Selain itu hakim juga memiliki kebebasan untuk menentukan berat ringanya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan dalam Undang-Undang adalah maksimum dan minimumnya. Disamping minimum dan maksimum umum tersebut,dalam setiap pasal tidak pidananya diancam pidana maksimum yang besaranya berbeda-beda antara satu pasal dengan pasal yang lainya.2

1Yusti Probowati Rahayu, Di Balik Putusan Hakim (Kajian Psikologi Hukum Dalam Perkara Pidana). Citra Media, Sidoarjo, 2005, hal. 38-39. 2Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, Hal.56-57.

18

Menurut penulis berdasarkan kutipan diatas Muladi dalam bukunya

Teori-Teori dan Kebijakan Pidana memberikan pengertian bahwa sumber dari

disparitas berasal pada hukum itu sendiri.Doktrin hukum diatas menempatkan

Pengadilan sebagai titik sentral konsep Negara hukum. Indonesia menganut

konsep Negara hukum sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, bahwa

Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas

kekuasaan belaka (machtstaats).Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat

bahwa disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang

berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya

adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana

sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya

disparitas pemidanaan sangat menentukan.

Disparitas pidana akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan “correction administration”. Terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban “the

judicial caprice”, akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan.3

Menurut Penulis dari kutipan di atas nampak suatu persoalan yang

serius, sebab merupakan suatu indikator dan manifestasi dari kegagalan suatu

sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam Negara hukum dan

sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem

penyelenggaraan hukum pidana. Sesuatu yang tidak diharapkan terjadi

bilamana disparitas tersebut tidak diatasi, yaitu timbulnya demoralisasi dan

3Ibid. Hal 54

19

sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang lebih berat daripada yang

lain dalam kasus yang sebanding.

2. Penyebab terjadinya Disparitas Pidana

Menurut Muladi dan Barda Nawawi, penyebab dari adanya disparitas pidana (Putusan hakim) di mulai dari hukumnya sendiri. Di dalam hukum pidana positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif di dalampengancaman pidana di dalam Undang-Undang.4

Menurut penulis berdasarkan kutipan tersebut disparitas pidana

merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan hakim kepada para

pencari keadilan. Masyarakat tentunya akan membandingkan Putusan hakim

secara general dan menemukan bahwa disparitas telah terjadi dalam

penegakkan hukum di Indonesia.Di Indonesia, disparitas hukuman juga sering

dihubungkan dengan independensi hakim. Model pemidanaan yang diatur

dalam perUndang-Undangan (perumusan sanksi pidana maksimal) juga ikut

memberi andil. Dalam menjatuhkan Putusan, hakim tidak boleh diintervensi

pihak manapun. UU No. 48 Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman

menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim juga wajib

mempertimbangkan sifat biak dan jahat pada diri terdakwa.

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas Putusan.

Tetapi pada akhirnya hakimlah yang paling menentukan terjadinya disparitas.

Misalnya, ada dua orang yang melakukan tindakan pencurian dengan cara

4Muladi danBardaNawawi Arief,Teori-Teori danKebijakanPidana,Ed.I,Cet.3, Bandung:

Alumni,2005,hlm.56.

20

yang sama dan akibat yang hampir sama. Meskipun hakim sama-sama

menggunakan pasal 362 KUHP, bisa jadi hukuman yang dijatuhkan berbeda.

Masalah disparitas pidana masih terus terjadi karena adanya jarak

antara sanksi pidana minimal dengan sanksi pidana maksimal dalam takaran

yang terlalu besar Proses pembentukan Peraturan perUndang-Undangan juga

berpengaruh karena tidakadanya standard untuk merumuskan sanksi pidana.

Upaya untuk meminimalisir disparitas pidana adalah dengan cara membuat

pedoman pemidanaan. Meskipun berat ringannya hukuman menjadi

wewenang hakim tingkat pertama dan banding, tetapi dalam beberapa Putusan

Hakim Agung mengoreksi vonis dengan alasan pemidanaan yang proposional.

Gregorius AryadiPutusan hakim yang rasional adalah Putusan yang diajtuhkan berdasarkan pertimbangan yang rasional, yang mempertimbangkan teori tentang tujuan pemidanaan. Di Indonesia tujuan pemidanaan harus berlandaskan Pancasila, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum pidana. Oleh karena itu Pancasila harus menjiwai tujuan pidana.5

Menurut penulis sesuai kutipan tersebut Pancasila sebagai norma dasar

(gurndnorm) di Indonesia. Maka tujuan pemidanaan harus berlandaskan nilai-

nilai yang terkandung di pancasila untuk melindungi kepentingan orang

perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat.Tujuan hukum pidana di

Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa

kepentingan yang adil bagi seluruh warga Negara.

Dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP disebutkan bahwa Putusan pengadilan

adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka,

5Gregorius Aryadi,1995, Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana, Penerbit UAJY, Yogyakarta, hlm. 69.

21

yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Namun banyak Putusan hakim yang belum mencapai keadilan di dalam

masyarakat karena masihbanyak dijumpai orang yang tidak bersalah dijatuhi

pidana ataupun pidana yang dijatuhkan tidak sesuai dengan kesalahannya.

Dalam Pasal 18 KUHP dijelaskan yang dimaksud pidana kurungan adalah:6

1. Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan palinglama satu tahun.

2. Jika pidana yang disebabkan karena perbarengan atau pengulangan atau karena ketentuan pasal 52, pidana kurungan dapat ditamabah menjadi satu tahun empat bulan.

3. Pidana Kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.

Kondisi ini sangat memprihatinkan dan menuntut semua pihak,

khususnya para penegak hukum agar lebih meningkatkan pengertian,

pemahaman dan ketrampilan profesinya sehingga dapat melaksanakan

tugasnya dengan sebaik-baiknya. Hal ini perlu mendapat perhatian yang cukup

serius mengingat pentingnya peranan aparat penegak hukum dalam proses

peradilan pidana.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:

1. Disparitas antara tindak tindak pidana yang sama 2. Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai tingkat

keseriusan yang sama 3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim 4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim

yang berbeda untuk tindak pidana yang sama7

6Pasal 18 KUHP 7Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan

Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, 8 Maret 2003.

22

Menurut pendapat penulis sesuai dengan kutipan diatas

tersebutpenjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh

hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur

hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan.

Sehubungan dengan kebebasan hakim ini dikatakan oleh sudarto bahwa: kebebasan hakim dalam menetapkan pidana tidak boleh sedemikian rupa, sehingga memungkinkan terjadinya ketidaksamaan yang menyolok, hal mana akan mendatangkan perasaan tidak sreg (onbehagelijk) bagi masyarakat, maka pedoman memberikan pidana dalam KUHP sangat diperlukan, sebab ini akan mengurangi ketidaksamaan tersebut meskipun tidak dapat menghapuskannya sama sekali.8 Menurut penulis sesuai dengan kutipan diatas batasan minimum dan

maksimum dalam memberikan kebebasan kepada hakim dalam memberikan

Putusan. Dengan demikian banyak Putusan yang tidak sama nilai keadilan,

kepastian dan kemanfaatan dari sudut pandang masyarakat. Sehingga

memberikan dampak tidak percayanya masyarakat terhadap penegak hukum

dan proses peradilan. Maka dari itu menurut hemat penulis berdasarkan

kutipan tersebut pedoman hakim sangat di perlukan untuk menentukan

Putusan agar tidak ada perbedaan yang mencolok dari beberapa Putusan yang

sama dan sejenis.

Disamping hal-hal yang bersumber pada hukum, ada hal-hal lain yang

menyebabkan disparitas pidana, yaitu faktor-faktor yang bersumber dari diri

hakim sendiri, baik yang bersifat internal maupun eksternal yang tidak bisa

dipisahkan karena sudah terpbaku sebagi atribut seseorang yang disebut

sebagai human equation (insan peradilan) atau personality of judge dalam arti

8 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, bandung: Alumni, 1977, hal. 61

23

luas yang menyangkut pengaruh pengaruh latar belakang sosial, pendidikan

agama, pengalaman dan perilaku social. Hal-hal itu yang seringkali

memegang peranan penting di dalam menentukan jenis dan beratnya hukuman

daripada sifat perbuatannya sendiri dan kepribadian dari pelaku tindak pidana

yang bersangkutan.

Beberapa faktor yang menjadi pemicu timbulnya disparitas pidana,

faktor penyebab itu antara lain sebagai berikut:

1. Masalah Falsafah Pemidanaan

Dalam KUHP perumusan falsafah pemidanaan yang dianut dalam WvS yang diUndangkan tahun 1881 itu adalah pembalasan (werking der vergelding). Falsafah ini pada tahun 1886 ditinggalkan karena pengaruh aliran klasik baru yang mendapat ilmu yang baru muncul waktu itu yaitu psikologi yang menghendaki agar pidana yang dijatuhkan hakim itu haruslah sesuai pula dengan keperibadian si pelanggar, asas ini kemudian dikenal sebagai asas individualisasi.

Ketentuan mengenai hal tersebut tercantum dalam pasal baru yang disisipkan pada tahun 1927 yaitu pasal 14 a. dalam memori van toelichting dari wvs tersebut dijelaskan :9 “dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejadian harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hak-hak apa saja yang dilanggar- dengan adanya tindak pidana itu, kerugian apakah yang ditimbulkan? Bagaimanakah sepak terjang si pembuat dulu? Apakah kesalahan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama kearah jalan yang sesat ataukah suatu perbuatan yang merupakan suatu pengulangan dari watak-watak jahat yang sebelumnya sudah tampak? Batas antara maksimal dan minimal harus ditetapkan seluas-luasnya, sehingga meskipun semua pertanyaan diatas itu dijawab dengan merugikan terdakwa, maksimal pidana yang biasa itu sudah memadai.“

Menurut penulis Ada beberapa bentuk atau macam falsafah atau tujuan

pemidanaan yaitu berupa pembalasan (aliran klasik) dan berupa pembinaan

9Devi Darmawan, 07 Oktober 2010, PROBLEMATIKA DISPARITAS PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA https://devidarmawan.wordpress.com/2010/10/07/problematika-disparitas-pidana-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia/ diakses pada tanggal 17 september 2016 jam 20.30 wib.

24

dan perbaikan terpidana menurut aliran modern. untuk menghindari terjadinya

disparitas pidana yang menyolok maka sebaiknya dalam KUHP kita yang

akan datang, falsafah pemidanaan ini dirumuskan dengan jelas. Dengan kata

lain falsafah yang kita anut harus dirumuskan secara tertulis dan diaplikasikan

secara konsisten dengan apa yang telah ditegaskan dalam Peraturan

perUndang-Undangan tersebut.

2. Pedoman Pemidanaan

Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana

adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan

pidana.

Salah satu butir dari hasil simposium IKAHI 1975 yang menyatakan:10

“untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap Putusan hakim pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan usaha-usaha agar terdapat penghukuman yang tepat dan serasi. Akan tetapi uniformitas mutlak bukanlah yang dimaksudkan, oleh karena bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, yang perlu hanyalah keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan rasa keadilan si terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/indikator dalam bentuk yang dinamakan checking points yang disusun setelah mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat regional maupun nasional dengan mengikutsertakan ahli-ahli yang disebut behavior scientist.”(Istilah uniformitas pemidanaan ini dirasa dapat menimbulkan pengertian yang kurang sesuai dan oleh karenanya kata ketetapan dan keserasian pemidanaan lebih dipergunakan).

Dalam rangka usaha untuk mengurangi disparitas pidana, maka

didalam konsep rancangan KUHP yang baru buku I tahun 1982, pedoman pemberian pidana itu diperinci sebagai berikut:11

10simposium IKAHI 1975. 11konsep rancangan KUHP yang baru buku I tahun 1982

25

Dalam pemidanaan hakim mempertimbangkan:

Kesalahan pembuat Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana Cara melakukan tindak pidana Sikap batin pembuat Riwayat hidup dan keadaan social ekonomi pembuat Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak

pidana Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang

dilakukan.

Pedoman pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif

mengenai hal hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga

dengan memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional

dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti hasil Putusan yang dijatuhkan

oleh hakim. Tanpa pedoman yang memadai dalam Undang-Undang hukum

pidana dikhawatirkan masalah disparitas pidana dikemudian hari akan menjadi

lebih parah dibandingkan dengan saat ini.

3. Faktor yang bersumber dari diri hakim sendiri

Menyangkut faktor yang bersumber pada diri hakim terutama yang menyangkut profesionalitas dan integritas untuk menaruh perhatian terhadap perkara yang ditangani dengan mengingat tujuan pemidanaan yang hendak dicapai, maka terhadap perbuatan perbuatan pidana yang sama pun akan dijatuhkan pidana yang berbeda beda.12

Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa disparitas dalam

pemidanaan disebabkan oleh hukum sendiri dan penggunaan kebebasan

hakim, yang meskipun kebebasan hakim diakui oleh UU dan memang

nyatanya diperlukan demi menjamin keadilan tetapi seringkali

12Gregorius Aryadi, Op. cit, hal.33

26

penggunannya melampaui batas sehingga menurunkan kewibawaan

hukum di Indonesia.

3. Dampak Disparitas Pidana

Disparitas pemidanaan ini tidak dapat dilepaskan dari sistem

perumusan dan pengancaman pidana dalam perUndang-Undangan yang ada.

Dengan perkataan lain dapat merupakan sumber tidak langsung terjadinya

sumber disparitas pidana. Dan apabila ini dibiarkan akan berakibat timbulnya

sikap apatis, sinis dan ketidakpuasan warga masyarakat dengan melakukan

main hakim sendiri atau mengadakan reaksi langsung terhadap si pelaku

tindak pidana dan aparat penegak hukum, maka Undang Undanglah yang

menjadi sumber tidak langsung terjadinya disparitas pidana.

Disparitas dalam pemidanaan disebabkan oleh hukum sendiri dan

penggunaan kebebasan hakim, yang meskipun kebebasan hakim diakui oleh

UU dan memang nyatanya diperlukan demi menjamin keadilan tetapi

seringkali penggunannya melampaui batas sehingga menurunkan kewibawaan

hukum di Indonesia.

Problematika mengenai disparitas pidana yang telah tumbuh dalam penegakan hukum ini tentu menimbulkan akibat yang tidak bisa dielakkan. Akibat dari disparitas pidana yang menyolok ini, menurut Edward M. Kennedy, sebagaimana juga dikutip Barda Nawawi ialah:13

1. Dapat memelihara tumbuhnya atau berkembangnya perasaan sinis masyarakat terhadap sistem pidana yang ada

2. Gagal mencegah terjadinya tindak pidana 3. Mendorong terjadinya tindak pidana 4. Merintangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap para

pelanggar.

13Barda Nawawi Arief, op.cit, hal. 8

27

Menurut penulis dari pandangan tersebut dapatlah kita ketahui bahwa

akibat dari adanya disparitas pidana tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana

dan semangat dari falsafah pemidanaan. Disparitas pidana semakin

menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, tidak hanya menyakiti rasa

keadilan masyarakat, tetapi juga mendorong masyarakat untuk melakukan

tindakan pidana. Kondisi inilah yang kemudian menjadi bentuk dari kegagalan

penegakan hukum pidana, dimana penegakan hukum malah diartikan sesuatu

yang sepele oleh masyarakat.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Muladi dan Barda NawawiArief bahwa terpidana akan membandingkan dengan terpidana yang lainnya, yang kemudian setelah membandingkannya merasa menjadi korban (victim) “the judicial caprice”, akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan.14

Dari sini akan tampak suatu persoalan yang serius, sebab akan

merupakan suatu indikator dan manifestasi daripada kegagalan suatu sistem

untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus

akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan

hukum pidana (Criminal Justice System).

Problematika mengenai Disparitas pidana dalam penegakkan hukum di

Indonesia memang tidak dapat dihapuskan begitu saja. Yang dapat ditempuh

hanyalah upaya upaya dalam rangka meminimalisasi dispatitas pidana yang

terjadi dalam masyarakat. Dengan berbagai pandangan sarjana dihubungkan

dengan falsafah pemidanaan dan tujuan hukum itu sendiri maka solusinya

dapatlah kita gunakan pandangan dari Muladi yang menyatakan bahwa upaya

14Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 54.

28

terpenting yang harus ditempuh dalam menghadapi problematika disparitas

pidana adalah perlunya penghayatan hakim terhadap asas proporsionalitas

antara kepentingan masyarakat, kepentingan Negara, kepentingan si pelaku

tindak pidana dan kepentingan korban tindak pidana.

Disparitas Putusan hakim atas perkara tindak pidana pencurian

dengan pemberatan dalam Putusannya di atas mendeskripsikan adanya sebab-

sebab atau pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim

dalam setiap menjatuhkan Putusan pidana terhadap terdakwa.

Dalam penelitian ini penulis meneliti dua Putusan yang dapat di

kategorikan sebagai Putusan yang bersifat disparitas. Putusan tersebut dari

pengadilan negeri Kepanjen oleh Hakim yang sama, nilai kerugian yang

hampir sama, Putusan yang berbeda dan hal-hal lain yng mempengaruhi

Putusan hakim tersebut.

B. Tinjauan tentang Putusan Hakim

1. Pengertian Hakim

Hakim adalah orang yang memiliki tugas mengadili, memutus perkara

dengan memberikan vonis atau kePutusan pengadilan, seseorang yang

memiliki tugas dan fungsi untuk mengadili serta mengatur administrasi

pengadilan.15

Menurut Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan Negara

15M. Marwan & Jimmy P. 2009. Kamus Hukum. Surabaya. Reality Publisher. Hal. 244.

29

yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Adapun yang

dimaksud dengan mengadili sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 9 KUHAP

adalah serangkaian tindakakn Hakim untuk menerima, memeriksa dan

memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di

siding pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-

Undang ini.

Sehingga wewenang Hakim utamanya adalah mengadili yang meliputi

kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana. Dalam

hal ini, pedoman pokoknya adalah KUHAP yang dilandasi asas kebebasan,

kejujuran, dan tidak memihak.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No.48/2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman Menyebutkan: “Pengadilan membantu pencari

keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat

tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”

Dari penjelasan pasal-pasal tersebut menurut penulis, bahwa tugas dari

hakim adalah sebagai berikut:

1. Menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara

yang diajukan dipengadilan.

2. Membantu para pencari keadilan dalam menyelesaikan setiap

perkara yang diajukan kepengadilan.

3. Menyelenggarakan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya

ringan.

30

4. Mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk

terselenggarakannya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya

ringan.

Dalam Pasal 5 UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

disebutkan:

(1) Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Hakim dan Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

(3) Hakim dan Hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Berdasarkan ketentuan pasal 5 diatas, penulis berpandangan bahwa

seorang hakim harus memiliki tingkat kejujuran yang tinggi, adil, cakap dalam

ilmu pengetahuan hokum serta berpegang teguh pada kode etik dan pedoman

perilaku hakim.

Jadi, dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, dan kemudian

menjatuhkan Putusan, seorang hakim harus melakukan 3 (tiga) tahap tindakan

di persidangan, yaitu sebagai berikut:

a. Tahap Mengkonstatir Dalam tahap ini, hakim akan mengkonstatir atau melihat

untuk membenarkan ada tidaknya suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Untuk memastikan hal tersebut, maka diperlukan pembuktian, dan oleh karena itu hakim harus bersandarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut hukum, dimana di dalam perkara pidana dapat diketemukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.16

16Ahmad Rifa’i. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta. Sinar Grafika. Hal.54-56

31

Jadi, akan dapat dihindarkan dari dugaan atau kesimpulan yang

dangkal dan gegabah.

Penguasaan hukum pembuktian bagi hakim sangat dibutuhkan oleh

hakim pada tahap ini.

b. Tahap Mengkualifikasi Pada tahap ini Hakim mengkualifisir dengan menilai

peristiwa kongkret yang telah dianggap benar-benar terjadi itu, termasuk hubungan hukum apa atau yang bagaimana atau menemukan peristiwa-peristiwa tersebut. Dengan kata lain mengkualifisir berarti mengelompokkan atau menggolongkan peristiwa kongkret tersebut masuk dalam kelompok atau golongan peristiwa hukum (apakah itu pencurian, penganiayaan, perzinahan, perjudian dan sebagainya).17 Jadi jika peristiwa sudah terbukti dan Peraturan hukumnya jelas dan

tegas, maka penerapan hukumnya akan mudah, tetapi jika tidak jelas atau

tidak tegas hukumnya, maka Hakim bukan lagi harus menemukan hukumnya

saja, tetapi lebih dari itu ia harus menciptakan hukum, yang tentu saja tidak

boleh bertentangan dengan keseluruhan sistem perUndang-Undangan dan

memenuhi pandangan serta kebutuhan masyarakat atau zamannya.

c. Tahap Mengkonstituir Dalam tahap ini hakim menentukan hukumnya terhadap

peristiwa tersebut dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Keadilan dari yang diputuskan oleh Hakim bukanlah produk dari intelektualitas dari Hakim, tetapi merupakan semangat dari Hakim itu sendiri, demikian sebagaimana dikemukakan oleh Sir Alfred Denning, seorang Hakim Inggris yang terkenal, “Dalam mengadili suatu perkara, Hakim harus menentukan hukumnya in

konkreto terhadap peristiwa tertentu, sehingga Putusan Hakim tersebut bisa menjadi hukum (judge made law).”18 Disini hakim menggunakan silogisme, yaitu menarik kesimpulan dari

premis mayor berupa aturan hukumnya (Pasal 363 KUHP) dan premis minor berupa

17Ibid. Hal-55. 18Ibid. Hal-56.

32

perbuatan/tindakan si A yang mencuri barang milik si B, sehingga si B menderita

kerugian. Sebagai konklusinya adalah: A melanggar Pasal 363 KUHP karena mencuri

barang milik si B hingga menderita kerugian.

2. Pengertian Putusan Hakim

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat

negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan

untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para

pihak.19

Menurut Pasal 1 Angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga

disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan

dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

Undang-Undang ini.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 195 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana menentukan bahwa semua Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai

kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.

Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa Putusan hakim adalah

merupakan akhir dari proses persidangan pidana

Untuk tahap pemeriksaan dipengadilan negeri yang diucapkan dalam

sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.

3. Bentuk Putusan Pengadilan

1. Putusan Bebas (vrijspraak/Acquittal)

Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi Putusan bebas atau dinyatakan

bebas dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya

19Setiawan Widagdo. 2012. Kamus Hukum. Penerbit: PT. Prestasi Pustaka raya. Jakarta. Hal. 483.

33

terdakwa tidak dipidana. Dasar hukum Putusan berbentuk Putusan bebas ini

dapat diketahui pada ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menjelaskan

“jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang,

kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag Van Alle

Rechtvervolging)

Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag Van Alle

Rechtvervolging) ini diatur dalam pasal 191 ayat (2) KUHAP. Putusan lepas

dari segala tuntutan hukum ini didasarkan pada kriteria apa yang didakwakan

oleh jaksa penuntut umum kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan

meyakinkan, tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan

yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.

Disini kita lihat hal yang melandasi Putusan lepas dari segala tuntutan

hukum, terletak pada kenyataan, apa yang didakwakan dan yang telah terbukti

tersebut bukan merupakan tindak pidana tetapi merupakan ruang lingkup

hukum perdata atau hukum adat.

3. Putusan Pemidanaan (veroordeling)

Putusan pemidanaan (veroordeling) adalah Putusan yang menjatuhkan

hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa tiada lain daripada Putusan

yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman

pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan.

34

Penjatuhan Putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada

penilaian pengadilan. Ketentuan Putusan pemidanaan ini sesuai dengan

ketentuan pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “jika pengadilan

berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Selain itu,

dari pendapat dan penilaian pengadilan terhadap terdakwa tersebut telah

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas

minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP yaitu

kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim bahwa terdakwalah

pelaku tindak pidanya.

C. Tinjauan Proses Penjatuhan Putusan dan Pemidanaan Oleh Hakim

1. Proses Penjatuhan Putusan Oleh Hakim

Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya Hakim akan menjatuhkan Putusan, yang dinamakan dengan Putusan hakim, yang merupakan pernyataan Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, yang di ucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum, yang bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara pidana.20 Menurut Penulis proses penjatuhan Putusan yang dilakukan hakim

merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan

pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan Putusan

tersebut, seorang hakim harus meyakini apakah seorang terdakwa melakukan

tindak pidana atau tidak, dengan tetap berpedoman dengan pembuktian untuk

20Ahmad Rifa’i, OP. Cit. Hal . 94- 95.

35

menentukan kesalahan dari perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku

pidana.

Proses atau tahapan penjatuhan Putusan oleh hakim, dalam perkara

pidana, menurut Moelyatno, dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai

berikut:

1. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana21

Perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Sehingga pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak.

2. Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana Jika seseorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Menurut Moelyatno, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana untuk membuktikan adanya kesalahan pidana dilakukan oleh terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut.

a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum). b. Diatas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab. b. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan

atau kealpaan. c. Tidak adanya alasan pemaaf.

3. Tahapan Penentuan Pemidanaan

Dalam tahap ini, jika hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah atas perbuatannya. kemudian perbuatan yang melawan hukum itu dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku dengan melihat pasal-pasal didalam Undang-Undang yang dilanggar oleh si pelaku.22

Menurut Penulis tahap menganalisis perbuatan pidana, menganalisis

tanggungjawab pidana dan tahap penentuan pidana adalah suatu proses hakim

untuk menentukan Putusan yang tepat terhadap terdakwa dalam sebuah kasus

pidana. Hakim sebelum menjatuhkan harus melakukan ketiga hal tersebut

21Ibid. Hal . 96-97. 22Ibid. Hal .100.

36

untuk mencapai Putusan yang bersifat sesuai asas keadilan, kepastian dan

kemanfaatan dengan mempertimbangkan factor memperberat dan

meringankan terdakwa.

2. Teori-Teori Penjatuhan Putusan

Menurut Mackenzie,23 ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan Putusan dalam suatu perkara yaitu sebagai berikut:

a. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan tergugat.

b. Teori Pendekatan Seni dan Instuisi

Penjatuhan Putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan Putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu penggugat dan tergugat dalam perkara perdata, dan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu Putusan, lebih ditentukan oleh instink atau instuisi

daripada pengetahuan dari hakim. c. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, kaitannya dengan Putusan-Putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari Putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar instuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

23Ibid. Hal.105- 113.

37

d. Teori Pendekatan Pengalaman.

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dihadapinya, seorang hakim dapat mengetahuinya bagaimana dampak dari Putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana, ataupun dampak yang ditimbulkan dalam Putusan perkara perdata yang berkaitan dengan pelaku, korban dan masyarakat.

e. Teori Ratio Decicendi

Teori didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari Peraturan perUndang-Undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan Putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori Kebijaksanaan

Teori kebijaksanaan ini sebenarnya merupakan teori yang berkenaan dengan Putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Landasan dari teori kebijaksanaan ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa, dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan harus ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnya, aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua, ikut bertanggung jawab membimbing, membina, mendidik, dan melindungi anak agar kelak menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya.

Menurut penulis. Penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak

pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu

sebagai berikut :

1) Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman

suatukejahatan yang dilakukan oleh pelakunya.

2) Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya

jera dan tidak akan melakukan tindak pidana di kemudian hari.

38

3) Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan

tindak pidana sebagaimana dilakukan oleh pelakunya.

4) Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu

kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya

nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan

masyarakat.

Dalam menjatuhkan Putusan, seorang hakim melalui berbagai proses, termasuk proses penalaran hukum yang mana tujuan dari penalaran adalah mencapai kebenaran, begitu pula dalam penalaran hukum muaranya adalah tujuanhukum itu sendiri yaitu keadilan. Ada enam langkah utama penalaran hukum yaitu.24

a. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur

(peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;

b. Menghubungkan (mengsubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumbersumber hukum yang relevan, sehingga ia menetapkan perbuatan hukumdalam peristilahan yuridis (legal term);

c. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijaksanaan yang terkandungdi dalam aturan hukum itu (thepolicies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta)aturan yang koheren;

d. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus; e. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin; f. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian

diformulasikan sebagai Putusan akhir.

Menurut Penulis dengan langkah-langkah seperti di atas, seorang

hakim diharapkan akanmenghasilkan Putusan yang adil atau setidaknya

mendekati keadilan danmempunyai alasan yang logis, sehingga Putusan yang

dibuat seorang hakim dapatdipertanggungjawabkan. Langkah-langkah tersebut

tentunya bukanlah langkah-langkahyang harus berjalan sesuai dengan urutan,

di lapangan bisa jadiseorang hakim mempunyai langkah-langkah yang

24Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta,Yogyakarta. 2013, hlm.157.

39

berbeda dalam melakukanpenalaran hukum, atau bisa jadi langkah-langkah

tersebut dilakukan secara simultan.

3. Pengertian Teori-Teori Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga

tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata "pidana" pada umumnya

diartikan sebagai hukum, sedangkan "pemidanaan" diartikan sebagai

penghukuman.

Aspek pemidanaan merupakan “puncak” dari Sistem Peradilan Pidana

yaitu dengan dijatuhkan Putusan hakim. Secara teoritik, dalam kepustakaan

baik menurut ruang lingkup sistem Anglo-Saxon maupun Eropa Kontinental

terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih

diperdebatkan.

Kebijakan hukum pidana hakikatnya merupakan “usaha untuk

mewujudkan Peraturan perUndang-Undangan pidana agar sesuai dengan

keadaan pada waktu tertentu dan masa mendatang (ius constituendum)”25

Menurut Penulis Peraturan pidana haruslah melihat pada faktor-faktor

masyarakat yang ada, baik menyesuaikan kondisi lingkungan maupun waktu

sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Putusan juga harus di

sesuaikan dengan Peraturan lain yang ada agar tidak bertentangan antar

Peraturan dan Putusan yang ada.

Noyon-Langemeyer sebagaimana dikutip oleh MR. Roeslan Saleh, berpendapat, “Dengan jalan menyatakan sesuatu perbuatan dapat dipidana, maka pembentuk Undang-Undang memberitahukan, bahwa

25ttp://pnkepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=113:pergeseran-perspektif-dan-praktik-dari-mahkamah-agung-republik-indonesia-mengenai-Putusan-pemidanaan&catid=23:artikel&Itemid=36, 4 april 2016 ;

40

dia memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau selanjutnya akan dipandangnya seperti demikian. Dipidananya sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak ada artinya”.26Selanjutnya Roeslan Saleh menambahkan bahwa, “Aturan Pidana itu adalah aturan hukum yang berisikan penilaian, bahwa kelakuan-kelakuan yang berhubungan dengan aturan hukum itu adalah baik dan jelek bagi masyarakat dan karenanya sepatutnyalah jikalau kelakuan demikian boleh dilakukan ataupun tidak boleh dilakukan dalam kehidupan masyarakat”27 Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat

dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung

konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain

dalam masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme.

Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku

kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan

serupa.

Teori Pemidanaan pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: Teori Absolut atau Teori Retributive (Teori Pembalasan) dan Teori Relatif atau Teori Utilitarian (Teori Tujuan). Namun dalam perkembangan selanjutnya, disamping pembagian secara tradisional ada teori ketiga yaitu Teori Gabungan.28

a. Teori Absolut atau Teori Retributive (Teori Pembalasan). Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebgai suatu pembalasan kepada pelaku kejahatan. Jadi, dasar pembenar dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

b. Teori Relatif atau Teori Utilitarian (Teori Tujuan). Menurut Teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolute dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana bukanlah

26Roeslan Saleh, 1981, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Cetakan Ketiga, Yogyakarta, Aksara Baru, hal.7. 27Ibid. Hal. 7. 28Diringkas dari uraianMuladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hal. 11 s/d 17

41

sekedar untuk melakukan pembalasan kepada pelaku tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori ini sering di sebut teori tujuan (Utilitarian Theory). Jadi dasar Pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang melakukan kejahatan melainkan dengan tujuan supaya orang tidak melakukan kejahatan. Bukan quia peccatum est melainkan ne peccetur.

c. Teori Gabungan, pertama kali di ajuakan oleh Pellegrino Rossi (1987-1848). Sekalipun tetap menganggap bahwa Pembalasan sebagai asas dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.

Menurut Penulis, dengan demikian antara teori absolute (Retributive)

dengan teori relative (Utilitarian) memiliki perbedaan karakteristik. Dan yang

ketiga teori gabungan menjadi kombinasi dari dua teori diatas. Kemudian para

penulis lain yang berpendirian bahwa pidana mengandung berbagai kombinasi

tujuan adalah: Binding, Merkel, Kohler, Richard Schmid, dan Beling. Mereka

juga memperhitungkan pembalasan, prevensi general, serta perbaikan sebagai

tujuan pidana. Dan oleh karena itu penulis menggambarkan pada sebuah table

berikut:

TABEL 1. Perbandingan teori Pembalasan (Teori Absolut atau Teori

Retributive), Tujuan (Teori Relatif atau Teori Utilitarian), Gabungan.

TEORI PEMBALASAN TUJUAN GABUNGAN

YANG DICAPAI Kejahatan dibalas dengan hukuman/

menjerakan

Hukuman yang diberikan memperhatikan tujuan pemidanaan

Hukuman bagian dari pembalasan dan Tujuan Pemidanaan

PERHATIANNYA Kejahatan Pelaku

Kepentingan masyarakat

Kejahatan Pelaku dan Kepentingan

42

Masyarakat

HUKUMAN Memperhatikan kadar kejahatan Pelaku

Memperhatikan kadar Kepentingan masyarakat

Memperhatikan kadar kejahatan pelaku dan kepentingan masyarakat

KELEMAHAN Tidak ada pembinaan

Terkadang melupakan kesesuaian hukuman

-

4. Tujuan Pemidanaan

1. Pendapat beberapa Pakar tentang tujuan pemidanaan:29

1. Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick: Sanksi pidana dimaksudkan untuk

a. Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent

recidivism); b. Mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama

seperti ysng di lakukan si terpidana (to deter other from the

performance of similar acts); c. Menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas

dendam (to provide achannelfor the expression of relatiory

motives).

2. Emile Durkheim Fungsi dari pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang di timbulkan atau diguncangkan oleh adanya kejahatan.

3. Fouconnet Penghukuman, dalam arti pemidanaan, dan pelaksanaan pidana pada hakikatnya merupakan penegasan kembali nilai-nilai kemasyarakatan yang telah di langgar dan diubah oleh adanya kejahatan itu.

29I Gede Widhiana Suarda,2012,Hukum Pidana: Materi penghapus, Peringan dan Pemberat

Pidana, Bayumedia Publishing, Malang,hal. 17

43

4. John Kaplan Di samping mengemukakan adanya empat teori mengenai dasar-dasar pembenaran pidana (retribution, deterrence, incapacitation

dan rehabilitation), John Kaplan juga mengemukakan tentang pembenaran yang lain yaitu:30

a. Untuk menghindari balas dendam (avoidance of blood

fends) b. Adanya pengaruh yang bersifat mendidik (the educational

effect) c. Mempunyai fungsi memelihara perdamaian (the peace

keeping fungtion).

5. Roeslan Saleh Pada hakikatnya, pidana adalah perlindungan terhadap masyarakat (segi prevensi) dan pembalasan terhadap seseorang yang melanggar hukum (segi pembalasan). Di samping itu, Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana di harapkan sebagai pembawa kerukunan dan suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang di terima kembali di masyarakat.

6. Sahetapy SedangkanMenurut Prof. Sahetapy dalam disertasinya, menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan pembebasan. Pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah di tempuhnya. Makna membebaskan tidak identic dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus di bebasan dari alam pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan harus pula di bebaskan dari kenyataan sosial di mana ia terbelenggu. Menurut Sahetapy, tidak dapat di sangkal bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur penderitaan. Tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertoba dengan penuh keyakinan.31 Menurut Penulis, Dari uraian di atas menunjukkan bahwa

kedudukan dari tujuan pemidanaan adalah sebagai salah satu kunci penting

dalampenjatuhan pidana itu sendiri. Dapat juga dikatakan bahwa

30Ibid. Hal. 18-19 31Ibid. Hal. 20

44

penjatuhan pidana haruslah memperhatikan tujuan pemidanaan.

Pentingnya perhatian atas tujuan pemidanaan juga terdapat pada

Rancangan KUHP Baru dengan dirumuskanya secara tegas tentang tujuan

pemidanaan dalam Buku Kesatu RUU KUHP. Pasal 51 Buku Kesatu RUU

KUHP tahun 2005 menyatakan bahwa:

1. Pemidaan Bertujuan:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan

menegakkan norma hukum demi pengayoman

masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan

pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan

berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh

tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan

merendahkan martabat manusia.

5. Jenis Sanksi Dalam Hukum Pidana

Ada dua jenis sanksi dalam Hukum Pidana, yaitu:32

32I Gede Widhiana Suarda. Op. Cit. Hal. 22

45

Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan (Straf/Punishment dan

Maatregel/Treatment). Selain itu ada perbedaan antara “jenis sanksi dalam

hukum pidana” dengan “jenis sanksi dalam KUHP”.

Menurut pasal 10 KUHP, jenis sanksi pidana ada 2 yaitu: Pidana

Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana pokok maupun pidana tambahan

memiliki beberapa bentuk. Adapun bentuk dari Pidana Pokok adalah:

1) Pidana Mati;

2) Pidana Penjara;

3) Pidana Kurungan;

4) Pidana Denda; dan

5) Pidana tutupan.

` Sedangkan bentuk-bentuk dari pidana tambahan adalah:

1) Pencabutan Hak-hak tertentu;

2) Perampasan barang-barang tertentu; dan

3) Pengumuman Putusan Hakim.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dilihat adanya 5 (lima) hal yang

terkait dengan persoalan pidana, yaitu:

1) Jenis sanksi dalam hukum pidana, yaitu Sanksi Pidana Dan

Sanksi Tindakan.

2) Jenis sanksi pidana dalam KUHP, yaitu Pidana Pokok dan

Pidana Tambahan.

46

3) Bentuk Sanksi Pidana Pokok dalam KUHP, yaitu: Pidana

Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan, Pidana Denda, dan

Pidana Tutupan.

4) Bentuk Sanksi Pidana Tambahan Dalam KUHP, yaitu:

Pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan barang-barang

tertentu, dan pengumuman Putusan Hakim.

5) Bentuk Sanksi Tindakan dalam KUHP, yaitu penempatan

di rumah sakit jiwa untuk pelaku yang sakit jiwa, sementara

untuk pelaku anakadalah:

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua

asuh;

b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti

pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau

c. Menyerahkan kepada Departement Sosial, atau

Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di

bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

M. Sholehuddin dalam disertasinya menggambarkan table tentang

keterkaitan antara sanksi pidana pokok, pidana tambahan, dan sanksi tindakan

dalam KUHP.33

TABEL. 2. Table tentang keterkaitan antara sanksi pidana pokok, pidana tambahan, dan sanksi tindakan dalam KUHP.

Pasal KUH

P

SANKSI PIDANA SANKSI TINDAKAN

33M. Sholehudin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya), Raja Grafindo Persada, Jakart, 2003. Hal. 277.

47

Pidana Pokok Pidana Tambahan

10 a. Mati b. Penjara c. Kurungan d. Denda e. Tutupan

a. Pencabutan hak-hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu

c. Pengumuman Putusan hakim

44 (2)

Perintah menempatkan di RSJ

45 a. Mengembalikan kepada Ortu, Wali atau Ortu asuh

b. Diserahkan kepada pemerintah untuk dididik

Menurut Penulis pembagian jenis sanksi dalam hokum pidana biasa

disebut system dua jalur (Double Track System). Artinya sanksi dalam

perUndang-Undangan pidananya tidak hanya memuat jenis sanksi pidana,

tetapi juga jenis sanksi tambahan. Namun sanksi tindakan masih

diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak mampu bertanggungjawab dan

anak di bawah umur.

Selain Pidana Pokok, Pidana Tambahan dan Tindakan, dalam KUHP

juga dikenal adanya “Pidana Bersyarat” dan “Pelepasan

Bersyarat/Pembebasan Bersyarat. Pidana Bersyarat diatur dalam Pasal 14 a

sampai dengan Pasal 14 f KUHP merupakan warisan Belanda, tetapi dalam

perkembangan zaman terdapat perbedaan antara keduanya. Ketentuan tentang

48

pidana bersyarat masih tetap terikat pada Pasal 10 KUHP, hanya saja batas

pidana itu tidak akan lebih dari satu tahun penjara atau kurungan.

Pidana bersyarat, dikenal adanya syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah terpidana bersyarat tidak akan melakukan delik apapun dalam kurun waktu yang ditentukan, sedangkan syarat khususnya akan ditentukan oleh hakim. Pengawasan pelaksanaanya di lakukan oleh jaksa selaku pelaksana eksekusi.34

Pelepasan/pembebasan bersyarat adalah pelepasan kepada seorang

terpidana setelah menjalani pidananya dalam kurun waktu tertentu. Yang telah

termaktub dalam ketentuan pasal 15 KUHP.

Maksud dari pelepasan bersyarat adalah sama dengan pidana

bersyarat, yaitu mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk menjadi

warga Negara yang baik dan berguna.35

Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa kePutusan untuk

memberikan pelepasan bersyarat di keluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia (dulu Menteri Kehakiman) setelah mendengar pendapat

penuntut umum dan tentu juga pejabat Lembaga Permasyarakatan yang lebih

mengetahui tingkah laku terpidana selama menjalani pidana penjaranya.

D. Tinjauan Tindak Pidana Pencurian

1. Pengertian Pencurian

Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya

dirumuskan dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, adalah

berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi:15 “Barang 34Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, Hal. 36. Periksa pula pasal 15 KUHP 35Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Praditya Paramita, Jakarta, 1993, Hal. 45

49

siapa mengambil sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang

lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancamkarena

pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda

paling banyak Rp. 900; (sembilan ratus rupiah)”.

Adapun unsur-unsur tindak pidana pencurian ada 2 (dua), yaitu:36 a. Unsur-unsur subyektif terdiri dari:

1) Perbuatan mengambil 2) Obyeknya suatu benda 3) Unsur keadaan yang meyertai atau melekat pada benda yaitu benda tersebut sebagian atau keseluruhan milik orang lain.

b. Unsur obyektifnya, terdiri dari: 1) Adanya maksud 2) Yang ditujukan untuk memiliki 3) Dengan melawan hukum.

Suatu perbuatan atau peristiwa baru dapat dikualifikasikan sebagai

pencurian apabila terdapat unsur tersebut di atas.

A. Unsur subyektif

1) Unsur perbuatan mengambil

Perbuatan mengambil yang menjadi unsur subyektif di dalam delik

pencurian seharusnya ditafsirkan setiap perbuatan untuk membawa sesuatu

benda di bawah kekuasaanya yang nyata dan mutlak. Jadi di dalam delik

pencurian dianggap sudah selesai jika pelaku melakukan perbuatan

“mengambil” atau setidak-tidaknya ia sudah memindahkan suatu benda dari

tempat semula. Dalam praktek sehari-hari dapat terjadi seorang mengambil

suatu benda, akan tetapi karena diketahui oleh orang lain kemudian barang

36 R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya. 1981, hal. 376.

50

tersebut dilepaskan, keadaan seperti ini sudah digolongkan perbuatan

mengambil.

2) Unsur benda

Pengertian benda yang dimaksud di dalam Pasal 362 KUHP adalah

benda berwujud yang menurut sifatnya dapat dipindahkan. Di dalam

kenyataan yang menjadi obyek pencurian tidak hanya benda berwujud yang

sifatnya dapat dipindahkan oleh karena itu pengertian benda tersebut

berkembang meliputi setiap benda baik itu merupakan benda bergerak

maupun tidak bergerak, baik berupa benda benda berwujud maupun tidak

berwujud dan benda-benda yang tergolong res nullius dalam batas-batas

tertentu. Pengertian benda menurut Pasal 362 KUHP memang tidak

disebutkan secara rinci, sebab tujuan pasal ini adalah untuk melindungi harta

kekayaan orang.

3) Unsur-unsur atau seluruhnya milik orang lain

Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain cukup sebagian

saja. Siapakah yang diartikan dengan orang lain dalam unsur sebagian atau

seluruhnya milik orang lain. Orang lain itu diartikan sebagai bukan petindak.

Dengan demikian maka pencurian dapat terjadi terhadap benda-benda milik

badan hukum, missal milik negara.

B. Unsur-unsur obyektif

1) Maksud dan tujuan

Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni unsur maksud

(kesengajaan sebagai maksud), berupa unsur kesalahan dalam pencurian dan

51

unsur memiliki, kedua unsur ini dapat dibedakan dan tidak terpisahkan.

Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu ditujukan untuk

memilikinya. Dari penggabungan dua unsur itulah yang menunjukkan bahwa

dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan

beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan

alasan pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan melawan

hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya

(subyektif) saja.

2) Menguasai bagi dirinya sendiri

Pengertian menguasai bagi dirinya sendiri yang terdapat pada Pasal

362 KUHP maksudnya adalah “menguasai sesuatu benda seakan-akan ia

pemilik dari benda tersebut”. Pengertian seakan-akan di dalam penjelasan

tersebut memiliki arti bahwa pemegang dari benda itu tidak memiliki hak

seluas hak yang dimiliki oleh pemilik benda yang sebenarnya.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian

Tindak pidana pencurian dalam Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai:

mengambil barang, seluruhnya atau sebagian kepunyaan atau milik orang lain

dengan tujuan memiliki barang tersebut secara melawan hukum. Yang

menjadi unsur-unsur dari tindak pidana pencurian tersebut ialah:

a. Barangsiapa (Subyek Hukum);

Yang termasuk barangsiapa disini ialah subyek hukum. Adapun yang dimaksud dengan subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Yang dapat

52

memperoleh hak dan kewajiban dari hukum hanyalah manusia atau orang. Jadi, manusia atau orang merupakan subyek hukum.37

Dalam hukum pidana yang menjadi subyek hukum ialah mereka yang

melakukuan suatu tindak pidana baik dilakukan oleh dua orang atau lebih.

Dalam Pasal 55 KUHP yang dapat dihukum sebagai orang yang

melakukan tindak pidana dibagi menjadi 4 macam, yakni:38

1) Orang yang melakukan (pleger). Orang ini bertindak sendirian untuk mewujudkan segala anasir

atau elemen dari tindak pidana. Dalam tindak pidana yang dilakukan dalam jabatan, misalnya orang lain itu harus pula memenuhi elemen status sebagai pegawai negeri.

2) Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam tindak pidana ini, pelakunya paling sedikit ada dua

orang, yakni yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan pelaku utama itu sendiri yang melakukan tindak pidana, tetapi dengan bantuan orang lain yang merupakan alat saja. Meskipun demikian ia dianggap dan dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana, sedangkan orang yang disuruh tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

3) Orang yang turut melakukan (medepleger) “Turut melakukan” diartikan disini ialah “melakukan bersama-

sama”. Dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang, yakni yang melakukan dan turut melakukan. Dalam tindakannya,keduanya harus melakukan perbuatan pelaksanaan (keduanya harus melakukan tindak pidana itu). Tetapi apabila pelaku kedua itu hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya membantu, maka pelaku kedua itu tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang turut melakukan, tetapi hanya sebagai orang yang “membantu melakukan” sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 56 KUHP.

4) Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan dan sebagainya, dengan sengaja menghasut supaya melakukan perbuatan itu (uitlokker). Orang itu harus dengan sengaja menghasut orang lain, sedang hasutannya harus memakai salah satu dari cara-cara seperti dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat dan sebagainya yang disebutkan dalam pasal itu, artinya tidak boleh memakai cara lain. Seperti halnya dengan “menyuruh melakukan”,

37 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengatar, Liberty, Yogyakarta. 1999, hal. 67. 38Sugandhi, Op. Cit., hal. 68.

53

pelakunya paling sedikit harus ada dua orang, yakni orang yang menghasut dan yang dihasut, hanya bedanya pada “menghasut supaya melakukan”, orang yang dihasut itu dapat juga dihukum sebagai pelaku, sedang pada “menyuruh melakukan” orang yang disuruh itu tidak dapat dihukum.

Berdasarkan uraian di atas kiranya dapat kita simpulkan perbedaan

mendasar dari “turut melakukan” tindak pidana dengan “membantu

melakukan” tindak pidana. Dalam “turut melakukan” ada kerja sama yang

disadari antara para pelaku dan mereka bersama-sama melaksanakan

kehendak tersebut, para pelaku memiliki tujuan dalam melakukan tindak

pidana tersebut. Sedangkan dalam “membantu melakukan”, kehendak dari

orang yang membantu melakukan hanyalah untuk membantu pelaku utama

mencapai tujuannya, tanpa memiliki tujuan sendiri.

b. Perbuatan mengambil

Yang dimaksud dengan mengambil dalam Pasal 362 KUHP ialah

memindahkan penguasaan nyata terhadap suatu barang ke dalam penguasaan

nyata sendiri dan penguasaan nyata orang lain.39

Kata mengambil dalam arti sempit terbatas pada menggerakan tangan

dan jari-jari, memegang barangnya, dan mengalihkannya ke tempat lain.

Mengambil untuk dikuasainya, maksudnya pada waktu pencuri mengambil

barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaanya. Pengambilan atau

pencurian itu sudah dapat dikatakan selesai, apabila barang tersebut sudah

berpindah tempat, maka orang tersebut belum dapat dikatakan mencuri, akan

tetapi ia baru akan melakukan percobaan pencurian.

39S.R. Sianturi, Tindak Pidana di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Menurut Uraiannya, Alumni AHAEM PETEHAEM, Jakarta. 1983, Pasal 362.

54

c. Yang diambil harus sesuatu barang;

Sesuatu barang yaitu segala sesuatu yang berwujud termaksud

binatang (manusia tidak termaksud) misalnya uang, baju dan sebagainya.40

Yang dimaksud dengan barang pada tindak pidana ini adalah setiap

benda bergerak yang mempunyai nilai ekonomi, karena jika tidak ada nilai

ekonominya, sukar dapat diterima akal bahwa seseorang akan membentuk

kehendaknya untuk mengambil sesuatu barang yang memiliki nilai ekonomi.

3. Unsur Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan

Tindak pidana pencurian dengan pemberatan diatur dalam Pasal 363

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :

1. Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun : 1) Pencurian ternak; 2) Pencurian pada waktu kebakaran, peletusan, banjir, gempa bumi

atau gempa laut, peletusan gunung berapi, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru – hara, pemberontakan atau bahaya perang;

3) Pencurian waktu malam dalam sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada di situ tiada dengan setahunya atau tiada dengan kemauannya yang berhak;

4) Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama; 5) Pencurian yang dilakukan, untuk dapat masuk ke tempat kejahatan

atau untuk dapat mengambil barang yang akan dicuri itu dengan jalanmembongkar, memecah atau memanjat atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian-pakaian palsu.

2. Jika pencurian yang diterangkan dalam Nomor 3 disertai dengan salah sathal tersebut dalam Nomor 4 dan 5, maka dijatuhkan pidana penjaraselama-lamanya sembilan tahun”41 Menurut penulis pencurian dalam pasal ini ancaman hukuman lebih

berat. Pencurian dengan pemberatan ialah pencurian biasa (Pasal 362),

40 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor 1976, Pasal 362. Hal. 62 41KUHP Pasal 363.

55

Bedanya bahwa pencurian yang dimaksud dalam Pasal 363 ini ditambah

dengan Ketentuan bentuk dan cara melakukan perbuatan, waktu serta jenis

barang yang dicuri sehingga dinilai memberatkan kualitas pencurian, maka

perlu ancaman pidananya lebih berat daripada pencurian biasa. Delik tersebut

keadaan objektif memberatkan pidana meskipun perbuatan itu tidak diliputi

kesengajaan (Dolus ; dengan kepastian, tujuan dan kemungkinan, Culpa ;

levis/berat dan lata/ringan).

Delik pencurian dengan keadaan yang memberatkan juga disebut delikyang dikualifisir.42 Pencuriandengan kualifikasi seperti yang diatur dalam Pasal 363 KUHP di atas mempunyaiarti yang sama dengan kata pencurian sebagai pencurian dalam bentuk pokok dandengan demikian juga mempunyai unsur-unsur yang sama, masing-masingyakni:43

a. Unsur subjektif ; dengan maksud untuk menguasai secara melawan

hukum. b. Unsur objektif ;

1) Barangsiapa 2) Mengambil 3) Sebuah benda 4) Yang sebagian atau seluruhnya merupakan kepunyaan orang lain.

Unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian yang diaturdalam Pasal 363 ayat 1 angka 2 KUHP ialah karena tindak pidana tersebut telahdilakukan pelaku:44

a. Pada waktu terjadi kebakaran; b. Pada waktu terjadi ledakan; c. Pada waktu terjadi bahaya banjir; d. Pada waktu terjadi gempa bumi atau gempa laut; e. Pada waktu terjadi letusan gunung berapi; f. Pada waktu ada kapal karam; g. Pada waktu ada kapal terdampar; h. Pada waktu terjadi kecelakaan kereta api; i. Pada waktu terjadi suatu pemberontakan; j. Pada waktu terjadi huru-hara;

42Suharto RM. , Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Obyektif sebagai Dasar Dakwaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, Hal. 72. 43P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 39. 44Ibid, Hal. Hal 42.

56

k. Pada waktu terjadi bahaya perang. Unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian

yang diatur dalam Pasal 363 ayat 1 angka 3 KUHP ialah karena tindak pidana pencurian telah dilakukan pada malam hari, yakni:45

a. Di dalam sebuah tempat kediaman; b. Di atas sebuah pekarangan tertutup yang diatasnya

terdapat sebuah tempat kediaman; c. Dilakukan oleh seseorang yang berada disana tanpa

sepengetahuan atau bertentangan dengan keinginan orang yang berhak.

Unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian yang diaturdalam Pasal 363 ayat 1 angka 4 KUHP ialah karena tindak pidana pencurianseperti yang dimaksud oleh Pasal 362 KUHP telah dilakukan oleh dua orang ataulebih secara bersama-sama.46

Unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian yang diaturpada Pasal 363 ayat 1 angka 5 KUHP ialah karena untuk dapat memperoleh jalanmasuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat mencapai benda yang akandiambilnya itu, pelaku telah melakukan pembongkaran, perusakan, pemanjatanatau telah memakai kunci palsu, perintah palsu, atau seragam palsu.47 Menurut penulis unsur-unsur tersebut menjadi dasar pertimbangan

hakim untuk menentukan suatu Putusan. Menjadi syarat sah dari pasal yang di

gunakan oleh hakim dalam suatu Putusan. Atas perbuatannya, terdakwa

dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana Pencurian dalam keadaan memberatkan.

Pencurian dalam Pasal 363 KUHP disertai dengan salah satu

keadaanseperti berikut :

a. Barang yang dicuri itu adalah hewan. Hewan sebagaimana diterangkan dalam Pasal 101 ialah semua

jenis binatang yang memamah biak (kerbau, lembu, kambing, dan sebagainya), binatang yang berkuku satu (kuda, kedelai) dan babi.Kucing, anjing, ayam, itik, dan angsa tidak termasuk hewan, karena tidak memamah biak, tidak berkuku satu, dan bukan pula sejenis babi.

45Ibid. Hal. 43. 46Ibid. Hal. 45 47Ibid. Hal. 48

57

b. Pencurian itu dilakukan pada waktu sedang terjadi bermacam-macambencana, seperti kebakaran, peletusan, banjir, gempa bumi atau gempalaut, peletusan gunung berapi, kapal karam, kapal terdampar,kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang.

Pencurian yang dilakukan dalam waktu seperti ini

diancamhukuman lebih berat, karena pada waktu semua orang

sedangmenyelamatkan jiwa dan raganya serta harta bendanya, si

pelakumempergunakan kesempatan itu untuk melakukan kejahatan,

yangmenandakan bahwa orang itu adalah rendah budinya. Tentang

kapalini dapat dilihat pada Pasal 95 KUHP dan tentang

pemberontakandapat di lihat pada Pasal 96 KUHP.

Pencurian yang dilakukan dalam waktu seperti ini perludibuktikan, bahwa antara terjadinya bencana dengan pencurian itu adakaitan yang erat, sehingga dapat dikatakan bahwa pencuri tersebutmempergunakan kesempatan itu untuk mencuri. Berbeda hal nyaseorang pencuri yang melakukan pencurian di dalam sebuah rumah dibagian kota, yang kebetulan di bagian kota itu terjadi kebakaran.Tindak pidana ini tidak dapat digolongkan dengan pencurian yangdimaksud oleh pasal ini, karena disini si pencuri tidak sengaja menggunakan kesempatan peristiwa kebakaran yang terjadi padawaktu itu.48

c. Pencurian itu dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah ataudi

pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang

yangada di situ tiada dengan setahunya atau tiada dengan

kemauannyayang berhak.

Waktu malam sebagaimana dimaksud oleh Pasal 98

KUHP,adalah waktu antara matahari terbenam dan terbit kembali.

48Pasal. 96 KUHP

58

Makna rumah disini ialah bangunan yang dipergunakansebagai

tempat tinggal siang dan malam. Gudang dan toko yang tidakdidiami

pada waktu siang dan malam, tidak termasuk dalampengertian rumah,

sebaliknya gubug, gerbong kereta api dan petakpetakkamar di dalam

perahu, apabila didiami siang dan malam,termasuk dalam pengertian

rumah.

Pengertian pekarangan tertutup di sini ialah dataran tanah yangpada sekelilingnya ada pagarnya (tembok, bambu, pagar tumbuhtumbuhanyang hidup) dan tanda-tanda lain yang dapat dianggapsebagai batas. Untuk dapat dituntut dengan pasal ini, si pelaku padawaktu melakukan pencurian itu harus masuk ke dalam rumah ataupekarangan tersebut. Apabila hanya menggaet saja dari jendela, tidakdapat digolongkan dengan pencurian yang dimaksud di sini.49

d. Pencurian itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-

sama.

Supaya dapat dituntut menurut pasal ini, maka dua orang

ataulebih itu harus bertindak bersama-sama sebagaimana dimaksud

olehPasal 55 KUHP, yakni :

1). Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turutmelakukan perbuatan itu;

2). Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakaikekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karenamemberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengajamenghasut supaya perbuatan itu dilakukan, namun dalam hal ini orangyang boleh diminta pertanggungjawaban kepadanya hanyalahperbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.50

49Pengertian rumah pasal 98 KUHP 50KUHP Pasal 55.

59

Pada persekutuan dimana pencurian dilakukan beberapa

orangdan tiap-tiap pelaku dalam perbuatannya mempunyai kedudukan

yangmungkin berbeda-beda, tetapi yang penting jumlah orang pada

saatdilakukan pencurian itu terdiri dari dua orang atau lebih,

ancamanpidananya tetap sama.

e. Untuk dapat masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat

mengambilbarang yang akan dicuri itu, pencurian tersebut melakukan

denganjalan membongkar, memecah atau memanjat atau memakai

anak kuncipalsu, perintah palsu atau pakaian-pakaian palsu.

Pengertian membongkar adalah mengadakan perusakan

yangagak besar, misalnya membongkar tembok, pintu, jendela

dansebagainya, dalam hal ini harus ada sesuatu yang rusak, pecah

dansebagainya. Apabila pencuri hanya mengangkat daun pintu

dariengselnya dan tidak terdapat kerusakan apa – apa, tidak

dapatdiartikan membongkar.

Pengertian memecah ialah membuat kerusakan yang

agakringan, misalnya memecah kaca jendela dan sebagainya.

Mengenai memanjat, terdapat pengaturannya dalam Pasal 99KUHP. Menurut arti kata sesungguhnya, memanjat ialah membawadiri ke suatu ketinggian tertentu, dengan menggunakan atau tanpasesuatu alat seperti tangga, tali, dan alat-alat lain yang dipakai untukmembawa diri ke atas. Tetapi dalam Pasal 99 KUHP memanjattermasuk pula.51

1. Masuk ke dalam rumah melalui lubang yang telah ada yangsedianya tidak untuk jalan masuk atau jalan ke luar;

2. Masuk ke dalam rumah melalui lubang dalam tanah yang sengajadigali;

51Pengertian memanjat dalam Pasal 99.

60

3. Masuk ke dalam rumah melalui selokan atau parit yang gunanyasebagai penutup jalan.

Mengenai anak kunci palsu, terdapat pengaturannya dalamPasal 100 KUHP. Pengertian anak kunci palsu ialah segala macamanak kunci yang tidak diperuntukkan membuka kunci dari sesuatubarang yang dapat dikunci, seperti almari, peti dan sebagainya, olehyang berhak atas barang itu. Demikian juga anak kunci duplikat yangpenggunaannya bukan oleh yang berhak, dapat dikatakan anak kuncipalsu.52

Pengertian perintah palsu ialah perintah yang dibuatsedemikian

rupa, seolah-olah perintah itu asli dan dikeluarkan olehyang berwajib,

padahal tidak asli. Dimisalkan disini, seorang pencurimengaku dirinya

sebagai pegawai PLN dan membawa suratketerangan dari petinggi

PLN, akhirnya ia dapat masuk ke dalamrumah, padahal sebenarnya itu

adalah perintah palsu.

Pakaian palsu ialah pakaian yang dikenakan oleh orang

yangtidak berhak untuk itu, misalnya seorang pencuri yang

mengenakan pakaian seragam polisi, dapat masuk ke dalam rumah

seseorang kemudian mencuri barang, yang dimaksudkan pakaian palsu

di sini tidak saja pakaian jabatan pemerintah, tetapi boleh juga pakaian

seragam perusahaan swasta.

Hal-hal yang tersebut di atas ini lah yang menjadi unsur-unsur

yang harusdipenuhi agar dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana

pencurian dengan pemberatan. Sebagaimana penelitian ini yang

menyangkut pada disparitas Putusan tindak pidana pencurian dengan

pemberatan no : 80 /Pid.B/2015/PN.Kpn. dan no : 108

/Pid.B/2015/PN.Kpn.

52pengertian anak kunci palsu dalam Pasal 100.