41
BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Pengertian Tinjauan Yuridis Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian tinjauan adalah mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya). 1 Menurut Kamus Hukum, kata yuridis berasal dari kata Yuridisch yang berarti menurut hukum atau dari segi hukum. 2 Dapat disimpulkan tinjauan yuridis berarti mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), suatu pandangan atau pendapat dari segi hukum. 1.2 Pengertian Pidana dan Pemidanaan Membahas mengenai pidana tentunya tidak terlepas dari Hukum Pidana itu sendiri oleh karena tanpa hukum niscaya pidana akan diberlakukan secara sewenang- wenang oleh penguasa pada saat memerintah, oleh karena antara hukum pidana maupun pidana berbeda artinya sehingga diperlukan penegasan dalam membedakannya. Adapun Hukum Pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana dan hukuman apa 1 Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa (Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 1470. 2 M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, h. 651.

BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Pengertian Tinjauan Yuridis...2 M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, h. 651. yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • BAB II

    TINJAUAN UMUM

    1.1 Pengertian Tinjauan Yuridis

    Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian tinjauan adalah

    mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), pandangan, pendapat

    (sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya).1 Menurut Kamus Hukum, kata

    yuridis berasal dari kata Yuridisch yang berarti menurut hukum atau dari segi hukum.2

    Dapat disimpulkan tinjauan yuridis berarti mempelajari dengan cermat, memeriksa

    (untuk memahami), suatu pandangan atau pendapat dari segi hukum.

    1.2 Pengertian Pidana dan Pemidanaan

    Membahas mengenai pidana tentunya tidak terlepas dari Hukum Pidana itu

    sendiri oleh karena tanpa hukum niscaya pidana akan diberlakukan secara sewenang-

    wenang oleh penguasa pada saat memerintah, oleh karena antara hukum pidana

    maupun pidana berbeda artinya sehingga diperlukan penegasan dalam

    membedakannya. Adapun Hukum Pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan

    yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana dan hukuman apa

    1 Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa (Edisi

    Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 1470.

    2 M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, h. 651.

  • yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.3 Sedangkan Sudarsono

    mengatakan bahwa pada prinsipnya hukum pidana adalah hukum yang mengatur

    tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan

    tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.4

    Hukum pidana menurut Moelyatno antara lain bahwa hukum pidana adalah

    bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan

    dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

    1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai ancaman pidana bagi siapa yang melanggarnya;

    2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan dapat dikenakan pidana;

    3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang melanggarnya.

    5

    Sedangkan Pompe memberikan definisi bahwa hukum pidana merupakan

    keseluruhan peraturan yang bersifat umum yang isinya adalah larangan dan

    keharusan, terhadap pelanggarannya. Negara atau masyarakat hukum

    mengancam dengan penderitaan khusus berupa pemidanaan, penjatuhan pidana,

    peraturan itu juga mengatur ketentuan yang memberikan dasar penjatuhan dan

    penerapan pidana6

    Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri,

    melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana diadakan untuk

    3 Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.

    92.

    4 Sudarsono, 1994, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, MA dan Peradilan Tata Usaha

    Negara, Rineka Cipta, Jakarta, h. 102.

    5 Moelyatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 1.

    6 Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 22.

  • menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut. norma lain itu misalnya norma

    agama, kesusilaan dan sebagainya.7

    Pidana itu sendiri menurut van Hamel, arti dari pidana atau straf menurut

    hukum positif dewasa ini adalah:

    Een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat genhandhaafd

    rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtrading, van wege den staat

    als handhaver der openbare rechtsorde, door met met de rechtsbedeeling belaste

    gezag uit te spreken.

    Artinya: Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh

    kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai

    penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni

    semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang

    harus ditegakkan oleh negara.

    Menurut Simons, pidana atau straaf itu adalah: Het leed, door de strafwet als

    gevolg aan de overtrading van de norm verbonden, data an den schuldige bij

    rechterlijk vonis wordt opgelegd. Artinya suatu penderitaan yang oleh undang-

    undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang

    dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.8

    7 Riduan Syahrani, Loc. Cit.

    8 PAF Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika,

    Jakarta (selanjutnya disebut PAF Lamintang dan Theo Lamintang I), h. 34.

  • Dari rumusan mengenai pidana di atas dapat diketahui bahwa pidana

    sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka, ini berarti

    pidana bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.

    Pidana dibedakan menjadi pidana formil dan pidana materiil. Demikian

    merupakan pengertian pidana formil dan pidana materiil menurut beberapa ahli /

    pakar hukum diantaranya:

    J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut „Hukum

    pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan

    umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang

    diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara

    bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang

    harus diperhatikan pada kesempatan itu‟.9

    Wirjono Prodjokoro menjelaskan hukum pidana materiil dan hukum pidana

    formil sebagai berikut:

    Isi hukum pidana adalah:

    1. Penunjukan dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum pidana,

    2. Penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan perbuatan yang pembuatnya dapat dihukum pidana,

    3. Penunjukan orang atau badan hukum yang pada umumnya dapat dihukum pidana, dan

    4. Penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan.

    Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh

    karena itu, merupakan suatu rangkaian pengaturan yang memuat cara bagaimana

    badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan

    pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan

    hukum pidana.10

    9 Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Mahakarya Rangkang, Yogyakarta, h. 9.

    10

    Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2.

  • Tirtaamidjaja menjelaskan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil

    sebagai berikut:

    „Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan

    pelanggaran pidana; menetapkan syarat-syarat bagi pelanggaran pidana untuk

    dapat dihukum; menunjukkan orang yang dapat dihukum dan menetapkan

    hukuman atas pelanggaran pidana. Hukum pidana formil adalah kumpulan

    aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materiil

    terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, atau dengan

    kata lain, mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil diwujudkan sehingga

    diperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan keputusan

    hakim‟.11

    Adapun pengertian pemidanaan itu sendiri mendapat penjelasan oleh Sudarto

    yakni:

    Perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman.

    Tentang hal tersebut berkatalah beliau antara lain bahwa: penghukuman itu

    berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan

    hukum atas memutuskan tentang hukumannya (berechten). Menetapkan hukum

    untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, tetapi

    juga hukum perdata. Karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, istilah

    tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana,

    yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan

    pidana oleh hakim. Penghukuman disini mempunyai makna sama dengan

    sentence atau vervoordeling.12

    Pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana

    seseorang terdakwa sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto yang menyebutkan

    bahwa:

    “Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai

    menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berchten)

    11

    Ibid.

    12

    Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 71.

  • menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang

    hukum pidana saja, akan tetapi juga perdata. Kemudian istilah penghukuman

    dapat disempitkan artinya, yaitu kerap kali disinonimkan dengan pemidanaan

    atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim”.13

    1.3 Jenis-Jenis Pidana Menurut KUHP

    Menurut Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab

    Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menegaskan Pidana terdiri atas:

    1. Pidana Pokok: a. Pidana mati; b. Pidana penjara; c. Pidana kurungan; d. Pidana denda; e. Pidana tutupan.

    2. Pidana Tambahan: a. Pencabutan hak-hak tertentu; b. Perampasan barang-barang tertentu; c. Pengumuman putusan hakim.

    1. Pidana Pokok

    Ad. 1 a. Pidana Mati

    Pidana mati adalah pidana yang terberat menurut perundang-undangan

    pidana kita dan tidak lain berupa sejenis pidana yang merampas

    kepentingan umum, yaitu jiwa atau nyawa manusia. Dalam masalah pidana

    mati ini pada dasarnya dapat ditegaskan bahwa “KUHP yang berlaku di

    Indonesia seharusnya konkordan atau sesuai dengan wetboek van strafrecht

    yang berlaku di negara Belanda”. Dikatakan seharusnya karena pada

    kenyataannya di Belanda pada waktu wetboek van strafrecht itu sendiri

    terbentuk pada tahun 1881 orang di negeri Belanda sudah tidak mengenal

    lagi PIDANA MATI, karena lembaga pidana mati itu sendiri telah

    dihapuskan dengan Undang-undang tanggal 17 September 1870 (Stb. 1870

    13

    M. Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Kreasi Wacana,

    Yogyakarta, h. 16

  • No. 182) dengan alasan yang terutama bahwa pelaksanaan atau eksekusi

    pidana mati itu di Negeri Belanda sudah jarang dilakukan karena para

    terpidana hukuman mati hampir selalu telah mendapatkan pengampunan

    atau grasi dari raja. Akan tetapi mereka tetap mempertahankan lembaga

    pidana mati itu di dalam:

    1. KUHP Militer mereka, dengan diancamkan bagi kejahatan-kejahatan: a) Yang telah dilakukan oleh anggota militer dalam keadaan perang; b) Yang telah dilakukan oleh anggota militer untuk kepentingan

    musuh, dan

    2. Bagi beberapa kejahatan yang telah disebutkan di dalam CRIMINEEL WETBOEK;

    3. Dan apabila kejahatan-kejahatan tersebut telah dilakukan di atas kapal yang sedang berada di atas lautan bebas atau sedang berada di atas

    perairan dari negara-negara asing baik dalam keadaan perang maupun

    dalam keadaan damai.

    Utrecht menyatakan, hukuman mati di banyak negeri tidak lagi dikenal.

    Hakim di negeri Belanda tidak lagi menetapkan pidana mati. Sejak tahun

    1870 hukum pidana mengenai hukum penjara seumur hidup sebagai

    hukuman terberat. Hal ini tidak diikuti di daerah koloni, artinya masih

    dipertahankan karena keadaan istimewa di daerah-daerah koloni.14

    Oleh karenanya pidana mati ini masih kontroversial dikarenakan ada

    sebagian orang yang menginginkan pidana mati ini dihapuskan dan sebagian

    lagi menginginkan agar pidana mati dipertahankan.

    Ad. 1 b. Pidana Penjara

    Yang dimaksud dengan pidana penjara adalah suatu pidana berupa

    pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan

    dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan,

    dengan mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan tata tertib yang

    berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu

    tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.

    Pidana penjara sudah dikenal orang sejak abad keenam belas atau abad

    ketujuh belas, tetapi berbeda dengan pidana penjara dewasa ini, pidana

    14

    Tolib Setiady, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 79-80.

  • penjara pada waktu itu dilakukan orang dengan menutup para terpidana di

    menara-menara, di puri-puri, di benteng-benteng lain, khususnya mereka

    yang telah dijatuhi pidana mati, tetapi kemudian juga mereka yang telah

    dijatuhi pidana berupa perampasan kemerdekaan, baik yang untuk

    sementara maupun yang untuk seumur hidup.

    Pidana penjara sebagaimana yang dapat kita jumpai dewasa ini baru mulai

    berkembang sejak dihapuskannya pidana mati atau pidana badan di

    berbagai negara, tetapi perlakuan terhadap para terpidana di dalam rumah-

    rumah penjara seringkali sifatnya adalah tidak manusiawi.

    Banyak usaha yang telah dilakukan orang agar perlakuan yang tidak

    manusiawi terhadap para terpidana segera dapat dihentikan dan diganti

    dengan tindakan-tindakan yang bersifat lebih lunak. Yang paling berjasa

    untuk mengubah pandangan orang terhadap orang-orang terpidana di dalam

    lembaga-lembaga pemasyarakatan adalah seorang berkebangsaan Inggris

    bernama John Howard, yang mempunyai pengaruh bagi pembaharuan di

    seluruh dunia.

    Sejak abad ketujuh belas, dimana-mana orang mulai membangun apa yang

    disebut wekplaatsen atau lembaga-lembaga penertiban dan apa yang

    disebut werkplaatsen atau lembaga-lembaga kerja, mula-mula di

    Amsterdam, kemudian di Hanzesteden, semuanya di negeri Belanda yang

    kemudian disusul dengan lembaga-lembaga yang sejenis hampir di seluruh

    Eropa, antar lain apa yang disebut verbeterhuis atau lembaga untuk

    memperbaiki anak-anak laki-laki di Roma pada tahun 1703 dan apa yang

    disebut tuchthuis atau lembaga penertiban di Gent pada tahun 1775.

    Sejak saat itu orang menghendaki agar pidana penjara mempunyai

    tujuannya yang tersebdiri, yaitu bukan saja dengan maksud untuk menutup

    dan membuat jera para terpidana melainkan juga memperbaiki para

    terpidana, terutama dengan mewajibkan mereka untuk menaati peraturan

    tata tertib dan mendidik mereka secara sistematis untuk melakukan macam-

    macam pekerjaan.

    Dengan tujuan seperti itulah apa yang disebut tuchthuizen, rasphuizen dan

    apinhuizen di Amsterdam dan Hanzesteden itu telah dibangun, yakni

    dengan maksud agar para pengemis, para pemabok, para pelacur dan

    remaja-remaja yang telah mendapat pengaruh dari penjahat dapat

    membiasakan diri dengan melakukan berbagai pekerjaan yang berguna

    bagi mereka, apabila mereka sewaktu-waktu dikembalikan ke tengah-

    tengah kehidupan masyarakat normal.

  • Tuchthuis secara harfiah artinya rumah penertiban. Yang dimaksud dengan

    tuchthuis di atas adalah rumah penjara untuk menjalankan pidana yang

    sifatnya berat, sedangkan rasphuis adalah rumah penjara di mana kepada

    para terpidana diberikan pelajaran tentang bagaimana cara melicinkan

    permukaan dari benda-benda dari kayu dengan menggunakan ampelas.

    Spinhuis adalah rumah penjara dimana kepada para terpidana diberikan

    pelajaran tentang bagaimana caranya memintal benang.15

    Ad. 1 c. Pidana Kurungan

    Niniek Suparni mengemukakan „Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk

    dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terhukum dari pergaulan hidup

    masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman

    penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang’.16

    Sama halnya dengan pidana, pidana kurungan juga merupakan suatu

    pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana yang

    dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga

    pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang tersebut mentaati semua peraturan

    tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan

    dengan suatu tindakan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga

    pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka

    yang melanggar peraturan tersebut.

    Lembaga pidana kurungan sebenarnya berasal dari lembaga

    emprisonnment pour contravention depolice yang terdapat di dalam Code Penal

    15

    PAF Lamintang dan Theo Lamintang I, Op. Cit., h. 55-56. 16

    Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dalam Sistem

    Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23.

  • Perancis. Pidana kurungan mempunyai pengertian yang sama dengan Half di

    Jerman atau dengan arresto di Italia.

    Pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang

    dewasa dan merupakan satu-satunya jenis pidana pokok berupa pembatasan

    kebebasan bergerak yang dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang yang

    telah melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagaimana yang telah diatur di

    dalam Buku ke-III Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Akan tetapi pidana

    kurungan bukan merupakan pidana pokok, yang diancamkan semata-mata bagi

    pelanggaran-pelanggaran, karena di dalam Buku ke-II Kitab Undang-undang

    Hukum Pidana kita juga dapat menjumpai sejumlah kejahatan yang oleh

    pembentuk undang-undang telah diancam dengan pidana kurungan, yakni yang

    telah diancam secara alternatif dengan pidana penjara bagi mereka yang telah

    melakukan culpose delicten atau delik-delik yang telah dilakukan secara tidak

    disengaja.

    Menurut penjelasan di dalam Memorie van Toelichting, dimasukkannya

    pidana kurungan ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah

    terdorong oleh dua macam kebutuhan masing-masing, yaitu:

    a. Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana yang sangat sederhana

    berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak atau suatu verijheidsstraf

    yang sifatnya sangat sederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan, dan

    b. Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana berupa suatu pembatasan

    kebebasan bergerak yang sifatnya tidak begitu mengekang bagi delik-delik

  • yang menurut sifatnya tidak menunjukkan adanya suatu kebobrokan mental

    atau adanya suatu maksud yang sifatnya jahat pada pelakunya, ataupun

    yang juga sering disebut sebagai suatu custodia honesta belaka.

    Custodia honesta seperti itu adalah misalnya apa yang dikenal orang sebagai

    detention di Prancis, sebagai Einschliessung di Prusia, sebagai Festungshalf di

    Jerman, sebagai overtrading di negeri Belanda, ataupun sebagai pelanggaran

    di Indonesia.

    Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya adalah satu dari dan

    selama-lamanya satu tahun.

    Akan tetapi, lamanya pidana kurungan tersebut dapat diperberat hingga satu

    tahun dan empat bulan, yaitu karena terjadinya samenloop, suatu recidive

    atau karena tindak pidana yang bersangkutan telah dilakukan oleh seorang

    pegawai negeri dengan menodai kewajiban jabatannya yang bersifat khusus,

    atau karena pegawai negeri tersebut pada waktu melakukan tindak

    pidananya telah menggunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang ia

    peroleh karena jabatannya.17

    Ad. 1 d. Pidana Denda

    Pidana denda adalah merupakan bentuk pidana denda tertua bahkan

    lebih tua daripada pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Adalah

    merupakan hukuman berupa kewajiban seseorang untuk mengembalikan

    17

    PAF Lamintang dan Theo Lamintang I, Op. Cit., h. 70-71.

  • keseimbangan hukum sebagai penebus dosa dengan pembayaran uang

    sejumlah tertentu.18

    Minimum pidana denda adalah Rp. 0,25 (dua puluh lima sen) x 15.

    Maksimumnya tidak ditentukan secara umum melainkan ditentukan dalam

    pasal-pasal dari tindak pidana yang bersangkutan dalam Buku-II dan buku-III

    KUHP. Di luar KUHP adakalanya ditentukan dalam 1 atau 2 pasal bagian

    terakhir dari perundang-undangan tersebut untuk norma-norma tindak pidana

    yang ditentukan dalam beberapa pasal yang mendahuluinya. Di dalam KUHP

    sebelum dirubah pasal 303 maksimum denda yang tertinggi diancamkan

    terdapat dalam Pasal 403 yaitu Rp. 10.000,00 x 15 = Rp. 150.000 yang nota

    bene merupakan ancaman pidana tunggal. Maksimum pidana denda untuk Pasal

    303 KUHP setelah dirubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1974 jumlah

    dendanya sebesar Rp. 25.000.000 jika terpidana tidak mampu membayar pidana

    denda yang dijatuhkan kepadanya maka dapat diganti dengan pidana kurungan

    dan pidana demikian kemudian disebut sebagai pidana kurungan pengganti.19

    2. Pidana Tambahan

    Pada dasarnya pidana tambahan ini telah diatur secara rinci dalam

    ketentuan Pasal 10 b KUHP sebagai berikut:

    18

    Tolib Setiady, Op. Cit., h. 104. 19

    Ibid., h. 104

  • 1) Pencabutan hak-hak tertentu;

    2) Perampasan barang-barang tertentu;

    3) Pengumuman putusan hakim.

    Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu itu sifatnya adalah

    untuk sementara, kecuali jika terpidana telah dijatuhi dengan pidana penjara

    selama seumur hidup.

    Dapat dipahami bahwa ada kemungkinan untuk mencabut semua hak-

    hak dari terpidana, karena hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan

    hakim menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 ayat (1) huruf d

    UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    (PTPK):

    a) Hak untuk menduduki jabatan-jabatan atau jabatan-jabatan tertentu; b) Hak untuk memasuki angkatan bersenjata; c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan

    aturan-aturan umum;

    d) Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengawas

    atas orang yang bukan anaknya sendiri;

    e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anaknya sendiri.

    Pasal 18 ayat (1) huruf d UU PTPK menyatakan: pencabutan seluruh atau

    sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan

    tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

  • Dalam hal dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya

    pencabutan itu diatur dalam pasal 38 KUHP sebagai berikut:

    a) Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup;

    b) Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu dan atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling

    banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;

    c) Dalam hal pidana denda lama pencabutan paling lama lima tahun;

    Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat

    dijalankan. Dan dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat seseorang

    pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa

    lain untuk pemecatan itu. Selanjutnya hak memegang jabatan pada umumnya

    atau jabtan tertentu dan hak memasuki angkatan bersenjata dapat dicabut dalam

    hal pemidanaan karena kejahatan jabatan atau kejahatan yang melanggar

    kewajiban khusus suatu jabatan atau karena memakai kekuasaan, kesempatan

    atau sarana yang diberikan kepada terpidana karena jabatannya.20

    Pasal 36 menentukan bahwa diluar pasal-pasal dari Buku II KUHP

    pencabutan hak memegang jabatan dapat dilakukan dalam hal ada kejahatan

    jabatan atau dalam hal orang dalam melakukan tindak pidana melanggar

    kewajiban jabatan khusus atau mempergunakan kekuasaan, kesempatan, atau

    sarana yang diberikan kepadanya oleh jabatan.

    20

    Ibid.

  • Ketentuan seperti ini termuat dalam pasal 37 mengenai pencabutan

    kekuasaan bapak, perwalian dan pengampuan atas anaknya sendiri atau orang

    lain, yaitu kemungkinan untuk ini diperluas di luar pasal-pasal yang

    bersangkutan dari buku II KUHP, yaitu apabila mereka melakukan kejahatan

    bersama-sama dengan orang yang ada di bawah kekuasaannya, atau apabila

    mereka melakukan salah satu kejahatan kesusilaan.

    Lembaga pencabutan hak-hak tertentu sebenarnya bukan merupakan

    lembaga yang baru di dalam hukum pidana, karena lembaga tersebut sudah

    dikenal orang sejak berlakunya hukum Romawi dengan nama infamia, yang

    kemudian oleh orang di Prancis telah dimasukkan ke dalam Code Penal mereka

    dengan nama peines infamantas21

    dan yang pada akhirnya oleh para pembentuk

    Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita telah dicantumkan sebagai pidana

    tambahan yang pertama di dalam Pasal 10 KUHP.

    Infamia di dalam Hukum Romawi sebenarnya merupakan suatu lembaga

    hukum berupa usaha untuk mendegradasikan martabat seseorang sebagai

    seorang warga negara yang memang layak untuk dihormati, yakni dengan

    mengaitkan apa yang disebut deminutio existimationis atau pencabutan

    hak-hak tertentu dengan perilakunya yang tercela, misalnya karena orang

    tersebut telah melakukan suatu kejahatan.22

    Menurut hukum Romawi, usaha untuk mendegradasikan martabat

    manusia seperti dimaksudkan di atas, tidak dilakukan melalui suatu putusan

    hakim melainkan dianggap sebagai telah terjadi dengan sendirinya.

    21

    Ibid.

    22

    Ibid.

  • Pendegradasian martabat manusia seperti itu dapat berlaku untuk seumur hidup,

    kecuali apabila yang bersangkutan kemudian mampu untuk memulihkan

    martabatnya sendiri.

    Infamia itu tidak mempunyai tujuan-tujuan yang lain kecuali untuk

    menekan orang menjadi seorang warga negara yang tidak pantas untuk

    dihormati, yakni dengan meniadakan sebagian dari hak-hak perdatanya dan hak-

    haknya menurut hukum publik. Pendegradasian dari martabat seseorang sebagai

    warga negara yang pantas dihormati itu, juga merupakan suatu ciri dari apa

    yang disebut peines infamantes di dalam Code Penal Perancis, yakni yang

    dengan sendirinya dianggap sebagai berlaku bagi setiap orang yang telah

    melakukan sesuatu crime.

    Seperti yang telah diketahui, bahwa menurut hukum pidana yang

    berlaku di Prancis itu orang mengenal tiga jenis tindak pidana, masing-masing

    yaitu crime, delit dan contravention. Tindak pidana yang yang tergolong

    sebagai crime itu ipso jure atau menurut hukum dengan sendirinya dipandang

    sebagai infamantes atau sebagai perilaku-perilaku yang dengan sendirinya

    membuat martabat dari pelakunya menjadi di degradasikan sebagai seorang

    warga negara yang pantas dihormati.

    Ketentuan menurut Code Penal Perancis tersebut memang mengandung

    kelemahan-kelemahan. Sebagai contoh adalah ketentuan pidnaa di dalam Pasal

  • 169 Code Penal yang mengatakan, bahwa penggelapan barang yang mempunyai

    nilai lebih dari tiga ribu franc itu merupakan crime, sedang penggelapan barang

    yang mempunyai nilai kurang dari tiga ribu franc merupakan delic.

    Mereka yang dipandang sebagai infamantes itu menjadi kehilangan hak-

    haknya, misalnya untuk bertindak sebagai hakim, sebagai seorang notaris,

    sebagai seorang pengajar, sebagai seorang anggota dari suatu dewan perwakilan

    dan lain-lainnya.

    Para penyusun KUHP kita ternyata telah berkeberatan terhadap gagasan

    untuk memasukkan lembaga infamantes ke dalam KUHP yang sedang mereka

    susun. Keberatan mereka bukan hanya ditujukan kepada lembaga itu sendiri,

    melainkan juga terhadap pemberlakuan dari lembaga tersebut yang mereka

    anggap sebagai bersifat sewenang-wenang.

    Seperti yang telah diketahui, bahwa lembaga infamantes itu juga berlaku

    bagi para warga negara Belanda, waktu Code Penal Perancis diberlakukan di

    negeri Belanda dan justru dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecth pada

    tahun 1886 itulah, untuk pertama kalinya orang disana tidak lagi mengenal

    lembaga pendegradasian selama seumur hidup yang dianggap sebagai telah

    terjadi dengan sendirinya, yaitu apabila mereka telah melakukan sesuatu tindak

    pidana dan kualifikasi sebagai suatu kejahatan. Alasan yang terutama adalah

    karena pendegradasian selama seumur hidup yang terjadi dengan sendirinya

  • seperti itu, sering kali telah membuat para terpidana menjadi kehilangan mata

    pencaharian mereka, yang kemudian sering kali telah mendorong mereka

    melakukan kejahatan-kejahatan yang baru.

    Pada dasarnya para penyusun KUHP kita telah tidak menolak lembaga

    pencabutan hak-hak, melainkan mereka hanya menginginkan agar jenis-jenis

    hak yang dapat dicabut itu hanyalah hak-hak, yang menurut sifat dan tindak

    pidana yang telah dilakukan oleh seorang itu, ternyata telah disalahgunakan

    oleh orang tersebut. Menurut pendapat mereka, orang seperti itu tidak pantas

    untuk diberikan hak yang ternyata telah digunakannya secara salah.

    Sejak tahun 1886 apa yang disebut infamie legale secara resmi telah

    dicoret dari hukum pidana kita dan hanya tersisa pencabutan dari hak-hak

    tertentu, yang sebenarnya juga telah dimaksud untuk mendegradasikan martabat

    dari seseorang sebagai seorang warga negara. Akan tetapi, pencabutan hak-hak

    seperti itu, oleh undang-undang telah tidak dikaitkan secara imperatif dengan

    sesuatu kejahatan atau dengan sesuatu pidana pokok yang tertentu, melainkan ia

    hanya merupakan suatu pencabutan dari hak-hak tertentu yang hanya dapat

    dijatuhkan oleh, hakim, yakni apabila ia memang memandang perlu untuk

    berbuat demikian.

    Mengenai peristiwa yang bersejarah tersebut, berkatalah Smidt, antara

    lain:

  • Er zullen geen onterende straffen meer zijn, clest le crime qui fait la honte

    et non pas l’echafaud; voorts geen straffen van rechtwege, noch straffen,

    die permanent verlies van rechten beteken.

    Artinya:

    Untuk selanjutnya tidak akan ada lagi pidana-pidana yang bersifat

    merendahkan atau c’est le crime qui fait la honte et non pas l’echafaud,

    dan selanjutnya juga tidak akan ada lagi penjatuhan pidana menurut

    undang-undang atau pemidanaan-pemidanaan yang membuat orang

    kehilangan hak-haknya secara tetap.23

    Pembentuk KUHP kita tidak menentukan dalam hal mana, hakim itu

    diberi kesempatan untuk mempertimbangkan apakah ia juga akan menjatuhkan

    suatu pidana tambahan, disamping pidana pokok yang telah ia jatuhkan bagi

    seorang terdakwa.

    Menurut ketentuan pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat

    dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan, baik berdasarkan

    ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHP maupun berdasarkan

    ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam peraturan-peraturan umum lainnya

    adalah:

    1. Hak untuk menduduki jabatan atau jabatan tertentu; 2. Hak untuk bekerja pada angkatan bersenjata; 3. Hak untuk memilih dan hak untuk dipilih di dalam pemilihan-pemilihan

    yang diselenggarakan menurut peraturan-peraturan umum;

    4. Hak untuk menjadi seorang penasihat atau kuasa yang diangkat oleh hakim, hak untuk menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu

    pengawas dari orang lain, kecuali dari anak-anaknya sendiri;

    5. Hak orang tua, hak perwalian, dan hak pengampuan atas diri dari anak-anaknya sendiri; dan

    6. Hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.

    23

    PAF Lamintang dan Theo Lamintang I, Op. Cit., h. 88.

  • Kewenangan dari hakim untuk mencabut hak dari seorang pegawai

    negeri untuk menduduki sesuatu jabatan tertentu itu menjadi tidak ada, apabila

    dengan sesuatu peraturan umum telah ditunjuk suatu kekuasaan yang lain, yang

    dapat melakukan pencabutan hak seperti itu.

    Pembentukan undang-undang secara khusus telah menentukan di dalam

    pasal 36 KUHP, bahwa pencabutan-pencabutan hak-hak seperti yang dimaksud

    di dalam pasal 35 ayat (1) angka 1 dan 2 KUHP, yakni hak untuk menduduki

    jabatan-jabatan atau jabatan-jabatan tertentu dan hak untuk bekerja pada

    angkatan bersenjata, kecuali dapat dijatuhkan bagi kejahatan-kejahatan yang

    telah diatur di dalam Buku ke-II KUHP. Juga dapat dijatuhkan bagi kejahatan

    atau yang karena kejahatan itu, seorang pegawai negeri yang telah menodai

    kewajiban jabatannya yang bersifat khusus, atau yang untuk melakukan

    kejahatannya seorang pegawai negeri telah menggunakan kekuasaan,

    kesempatan atau sarana-sarana yang telah ia peroleh karena jabatannya.

    Dengan disebutkannya macam-macam hak yang dapat dicabut oleh

    hakim di dalam rumusan pasal 35 ayat (1) KUHP di atas dan UU PTPK

    penjatuhan dari pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dapat saja

    berupa pencabutan dari seluruh atau hanya beberapa hak secara bersama-sama

    sebagai satu pidana tambahan. Penjatuhan dari satu pidana tambahan berupa

    pencabutan dari beberapa hak secara bersama-sama itu dapat dijumpai misalnya

    di dalam ketentuan pidana menurut Pasal 350 KUHP, yang mengatakan bahwa:

  • Bij veroordeling wegens doodslag, wegens moord of wegens een der in de

    artt. 344, 347, en 348 omschreven misdrijven, kan ontzetting van de in art.

    35 no. 1-5 vermelde rechten worden uit gesproken.

    Artinya:

    Pada waktu menjatuhkan pidana karena pembunuhan, karena pembunuhan

    yang direncanakan terlebih dahulu atau karena salah satu dari kejahatan-

    kejahatan yang telah dirumuskan di dalam Pasal 344, 347, dan Pasal 348

    dapat dilakukan pencabutan hak seperti dimaksud di dalam pasal 35 angka

    1 sampai dengan angka 5.24

    Mengenai jabatan dalam pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP, undang-

    undang sendiri telah tidak memberikan penjelasan tentang apa sebenarnya

    dimaksud dengan jabatan di dalam rumusan pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP,

    sedang dari arrest-arrest Hoge Raad atau dari putusan-putusan kasasi

    Mahkamah Agung tidak ada satupun arrest atau putusan kasasi yang telah

    menjelaskan tentang apa sebenarnya dimaksud dengan perkataan tersebut.

    Karena undang-undang sendiri telah tidak memberikan penjelasannya,

    sedangkan yurisprudensi juga tidak dapat membantu kita untuk memperoleh

    penjelasan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan jabatan di

    dalam rumusan Pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP, kita terpaksa melihat ke dalam

    doktrin, yaitu untuk mengetahui tentang apa yang telah dikatakan oleh para

    sarjana hukum mengenai apa yang dimaksud dengan perkataan tersebut.

    Van Hamel mengatakan antara lain:

    Intusschen geldt het woord hier allen van openbare ambten; bediening in

    andere maatschappelijke kringen, b.v. vereenigingen, kerkgenootschappen,

    24

    Ibid., h. 90.

  • zijn beroepen. Aldus amvat het: elke, door het publiekrecht beheershcte

    betrekking welke een bepaalde taak oplegt, die ten behoeve van den Staat

    of van zijne deelen (provincia, gemeente, waterschap) verbuld behoort te

    worden … .

    Artinya:

    Dalam pada itu, yang dimaksud dengan perkataan ini hanyalah jabatan-

    jabatan umum, pelayanan dalam lain-lain lembaga kemasyarakatan

    misalnya dalam perkumpulan-perkumpulan atau dalam lingkungan gereja

    itu merupakan pekerjaan-pekerjaan. Jadi, yang dimaksud di sini adalah

    setiap pekerjaan yang diatur di dalam hukum publik yang telah menetapkan

    suatu kewajiban tertentu, dan yang harus dilaksanakan untuk kepentingan

    negara atau kepentingan bagian-bagiannya (seperti daerah provinsi, daerah

    kabupaten atau pengairan) … .25

    Pompe telah menghubungkan pengertian dari perkataan ambt atau

    jabatan itu dengan pengertian dari perkataan ambtenaar menurut Hoge Raad di

    dalam arrest-nya tanggal 25 Oktober 1915, NJ 1915, halaman 1205, W. 9861

    dengan mengatakan bahwa:

    Ambt is de functie, uitgeoefend door een ambtenaar. Ambtenaar is volgens

    de Hoge Raad degene, die door het (daartoe bevoegde, volgens HR 16

    November 1949 Nr. 138) openbaar gezag is aangesteld tote en openbare

    betrekking om een del van de taak van de Staat of zijn organen te

    verrichten.

    Artinya:

    Jabatan itu merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pegawai

    negeri. Menurut Hoge Raad, pegawai negeri itu adalah mereka yang oleh

    kekuasaan umum (yang berwenang untuk itu, demikian HR 16 November

    1949 No. 138) telah diangkat dalam suatu jabatan umum untuk

    melaksanakan sebagian dari tugas negara atau sebagian dari tugas organ-

    organnya.26

    25

    Ibid.,h. 91.

    26

    Ibid.,h. 91-92.

  • Dengan menunjuk pada arrest dari Hoge Raad tanggal 25 Oktober 1915,

    NJ 1915 halaman 1205, W. 9861, yang oleh Pompe telah dihubungkan dengan

    usahanya untuk memberikan penjelasan mengenai perkataan ambt atau jabatan,

    seperti yang dimaksudkan di atas ternyata Hazewinkel-Suringa telah tidak

    sependapat untuk menghubungkan pengertian dari perkataan ambt atau jabatan

    dengan pengertian dari perkataan ambtenaar atau pegawai negeri menurut Hoge

    Raad tersebut.

    Mengenai hal tersebut berkatalah Hazewinkel-Suringa, antara lain

    behoorthet begrip ambt zich wel aan te sluiten bij de bovengenoemde

    definitie van de HR? Neen het is ruiner: men kan ook een staatstaak

    burgers rustende verplichting; men kan omgekeerd ook aangesteld zijn,

    maar toech geen ambtenaar zijn, omdat men geen del der staatstaak

    verricht, bijv. Notarissen.

    Artinya:

    Apakah pengertian dari perkataan jabatan itu dapat dihubungkan dengan

    rumusan dari HR di atas? Tidak, perkataan jabatan itu mempunyai

    pengertian yang lebih luas: orang dapat saja melakukan suatu tugas

    kenegaraan tanpa ia harus diangkat untuk maksud tersebut, misalnya

    berdasarkan kewajiban yang melekat pada beberapa warga negara tertentu;

    sebaliknya orang dapat juga diangkat tanpa ia harus menjadi seorang

    pegawai negeri, karena ia telah tidak melaksanakan sebagian dari tugas

    kenegaraan, misalnya para notaris.27

    Sehingga dapat disimpulkan pendapat Pompe sepenuhnya telah

    menyamakan pengertian dari perkataan ambt dengan pengertian dari perkataan

    fungsi. Hingga batas tertentu pendapat dari Pompe tersebut adalah memang

    benar, karena baik apa yang disebut ambt maupun apa yang disebut functie

    27

    Ibid., h. 92.

  • sebenarnya merupakan suatu omschreven werkkring atau suatu lingkungan

    pekerjaan yang tertentu, di mana lingkungan pekerjaan yang tertentu itu

    merupakan sebagian dari suatu keseluruhan lingkungan pekerjaan yang lebih

    besar.

    Perbedaan antara ambt dengan functie yakni apabila keseluruhan

    lingkungan pekerjaan yang lebih besar seperti yang dimaksudkan di atas

    merupakan suatu lingkungan pekerjaan untuk melakukan tugas-tugas

    kenegaraan, maka lingkungan pekerjaan yang tertentu biasanya disebut ambt

    atau sebagai suatu jabatan. Adapun apabila keseluruhan lingkungan pekerjaan

    yang lebih besar bukan merupakan suatu lingkungan pekerjaan untuk

    melakukan tugas-tugas kenegaraan, maka lingkungan pekerjaan yang tertertu

    biasanya disebut functie atau suatu fungsi, yang oleh van Hamel telah disebut

    sebagai suatu beroep atau pekerjaan.

    Orang yang melakukan sesuatu ambt biasanya disebut seorang amtenar,

    sedang orang yang melakukan sesuatu functie biasanya disebut sebagai

    functionaris.

    Oleh karena itu, pendapat dari Hazewinkel-Suringa yang mengatakan

    bahwa pengertian dari perkataan ambt tidak dapat dihubungkan dengan

    rumusan dari Hoge Raad mengenai ambtenaar, adalah tidak benar sama sekali

    walaupun contoh-contoh yang telah mereka berikan itu sebagian adalah

  • memang benar. Misalnya seorang anggota hansip atau seorang anggota banpol

    dapat saja melakukan suatu ambt, tanpa mereka perlu diangkat sebagai seorang

    ambtenaar atau sebagai seorang pegawai negeri.

    1.4 Pengertian Hak Memilih Dan Hak Dipilih

    1.4.1 Hak Memilih

    Hak memilih menurut Undang-undang No. 8 Tahun 2012 Tentang

    Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada pasal 19 dan pasal 20

    menyebutkan:

    Pasal 19

    (1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap

    berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin

    mempunyai hak memilih.

    (2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar

    1 (satu) kali oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih.

    Pasal 20

    Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus

    terdaftar sebagai Pemilih kecuali yang ditentukan lain dalam Undang-

    Undang ini.

    Selain dari hal tersebut, baik KUHP maupun perundang-undangan lain

    di luar dari KUHP tidak memberi penjelasan yang rinci mengenai hak memilih

    dan dipilih sehingga pengertian hak memilih dan dipilih diambil dari Kamus

    Besar Bahasa Indonesia.

    Hak memilih menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hak untuk

    memberi suara di pemilihan umum, hak untuk memberi suara dalam masalah

  • politik, khususnya hak atau kekuasaan untuk berperan serta di memilih atau

    menolak rencana undang-undang;28

    1.4.2 Hak Dipilih

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hak dipilih adalah hak untuk

    dipilih dalam pemilihan umum untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan

    Rakyat (DPR) atau Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR).29

    1.5 Hak Memilih Dan Dipilih Dalam HAM

    Hak Asasi Manusia adalah hak yang bersifat mendasar (grounded), pokok

    atau prinsipil.30

    HAM menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang bersifat

    mendasar. Adanya hak pada seseorang berarti bahwa ia mempunyai suatu

    keistimewaan yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai

    dengan keistimewaan yang dimilikinya. Sebaliknya juga, adanya suatu kewajiban

    pada seseorang berarti bahwa diminta darinya suatu sikap yang sesuai dengan

    keistimewaan yang ada pada orang lain.

    28

    Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Op. Cit., h.474-475.

    29

    Ibid., h. 474.

    30

    Pius A Pratanto dan M. Dahlan Al Barry, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, h.

    48.

  • Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia jo., Undang-

    undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa

    Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan

    manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang

    wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan

    setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

    Berdasarkan pengertian HAM dalam definisi ahli dan dalam rumusan undang-

    undang di atas, jelas bahwa HAM di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, yaitu

    memiliki sisi teologis yang cukup kuat. Pernyataan bahwa HAM adalah anugerah dari

    Tuhan yang Maha Esa menunjukkan bahwa HAM adalah suatu pemberian Tuhan

    yang kemudian melekat pada tiap diri manusia.

    Hak asasi manusia merupakan suatu hak yang melekat dalam diri manusia

    karena nilai humanitasnya. Hak asasi manusia pada dasarnya dapat dibagi menjadi

    tiga, yaitu hak klasik berupa hak sipil-politik, hak ekonomi, dan hak sosial-budaya.

    Satjipto Raharjo membagi generasi HAM menjadi tiga, yaitu generasi pertama yang

    meliputi hak sipil dan politik, generasi kedua yang meliputi hak sosial, ekonomi dan

    budaya dan generasi ketiga yang memuat sejumlah hak-hak kolektif.31

    31

    Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia, Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif

    Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama (cetakan pertama), Bandung (selanjutnya disebut Muladi II),

    h. 219-220.

  • Hak memilih dan dipilih merupakan hak yang diatur dalam hak sipil-politik.

    Hak sipil politik merupakan hak yang dimiliki warga negara ketika berhadapan

    dengan entitas negara yang memiliki kedaulatan, hak-hak yang dimiliki warga negara

    sebagai warga sipil dalam sebuah negara dan juga hak politik warga yang memiliki

    kedudukan sama dalam pandangan negara, tidak ada diskriminasi dan sebagainya

    dalam kedudukannya sebagai warga negara maupun sebagai subjek hukum. Vierdag

    mengkategorikan hak sipil dan politik ini sebagai hak negatif (negative right) karena

    untuk merealisasikannya negara harus diam, tidak melakukan tindakan (pasif),

    sehingga perumusannya menggunakan freedom from (bebas dari).32

    Pengaturan mengenai hak memilih dan dipilih dalam perspektif Hak Asasi

    Manusia Indonesia telah mendapat landasan hukum dalam International Covenant on

    Civil and Political Rights (ICCPR) berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun

    2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan

    Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

    Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan:

    1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara

    pihak kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi

    kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini sejauh memang

    sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-

    langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban

    lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung

    32

    Krisdyatmiko, “Konsep Dasar, Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak

    Warga Negara”, makalah disampaikan dalam workshop 11, Penguatan Hukum Adat, HAM dan

    Pluralisme, Hotel Mahkota Plaza, SOE-NTT tanggal 27-28 Februari 2004.

  • diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis

    kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.

    2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16, 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.

    3. Setiap negara pihak kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya

    kepada Negara-negara pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris

    Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa, mengenai ketentuan-ketentuan

    yang dikuranginya dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya.

    Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang

    sama pada berakhirnya pengurangan tersebut.

    Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan:

    1. Bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau

    seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan

    tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun

    yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang

    ditetapkan dalam Kovenan ini.

    2. Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak

    berdasarkan hukum, konvensi, peraturan, atau kebiasaan, dengan dalih

    bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya

    tetapi secara lebih sempit.

    Pasal 25 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan: Hak setiap warga

    negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih

    dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama

    pada jabatan publik di negaranya.

    Hal ini juga dikuatkan dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang

    Hak Asasi Manusia pada Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 73 dan 74 yang

    menegaskan:

  • Pasal 23 ayat (1): setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan

    politiknya.

    Pasal 26 ayat (2): setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa

    diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada

    kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga

    negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 43 ayat (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam

    pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang

    langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan.

    Pasal 73: hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat

    dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang semata untuk menjamin

    pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar

    orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.

    Pasal 74: tidak satu ketentuan pun dalam undang-undang ini boleh diartikan

    bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan

    mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan

    dasar yang diatur dalam undang-undang.

    1.6 Pengertian Pemberantasan

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pemberantasan berarti proses, cara,

    perbuatan memberantas, pencegahan, pengucilan perkembangan, atau pemusnahan

    penyakit.33

    Oleh karena korupsi diibaratkan seperti penyakit ganas yang menular

    sehingga dibutuhkan langkah preemtif, preventif dan represif. Salah satu langkah

    represif sekaligus preventif agar para terpidana korupsi tidak dapat melakukan tindak

    pidana korupsi adalah dengan pencabutan hak memilih dan dipilih sebagai alternatif

    33

    Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., h. 176.

  • solusi agar penyakit tersebut tidak lebih menggerogoti seluruh aspek dari kehidupan

    bangsa ini.

    1.7 Pengertian Tindak Pidana Korupsi

    1.7.1 Pengertian Tindak Pidana

    Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan

    diuraikan pengertian tindak pidana. Pembentuk undang-undang kita

    menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana,

    tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut.

    Dalam bahasa Belanda, straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata,

    yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian

    dari kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah

    perkataan straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.34

    Simons dalam rumusannya mengungkapkan straafbaarfeit adalah

    „tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak

    dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas

    tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang

    dapat dihukum‟35

    .

    34

    Evi Hartanti, Op.cit., h. 5.

    35

    Ibid.

  • Alasan dari Simons mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di

    atas karena:

    a. Untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa di situ terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang di

    mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah

    dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

    b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-

    undang;

    c. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan

    melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.

    Jadi, sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan

    manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada

    dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti

    tersendiri seperti halnya unsur lain.36

    Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat

    dirumuskan sebagai „suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)

    yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang

    pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

    terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.37

    1.7.2 Pengertian Korupsi

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi berarti penyelewengan

    atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan

    36

    Ibid., h. 5-6.

    37

    P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theo Junior Lamintang, 2014, Dasar-dasar Hukum Pidana

    di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut PAF Lamintang dan Theo Lamintang II), h.

    180.

  • sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.38

    Adapun menurut Kamus

    Hukum, korupsi adalah suatu bentuk tindak pidana dengan memperkaya diri

    sendiri dengan melakukan penggelapan yang secara langsung atau tidak langsung

    merugikan keuangan perekonomian negara; perbuatan melawan hukum dengan

    memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan kewenangan,

    kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang

    dapat merugikan orang lain atau negara.39

    Gejala dimana para pejabat, badan-

    badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,

    pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfiah dari korupsi dapat

    berupa:

    a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran;

    b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya;

    c. Korupsi (busuk; suka menerima uang suap (sogok); memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;

    Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang

    sogok dan sebagainya);

    Koruptor (orang yang korupsi);40

    Dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam bahasa Inggris disebut

    corruption, dan dalam sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara

    38

    Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., h. 736.

    39

    M. Marwan dan Jimmy P., Op. Cit., h. 384.

    40

    Evi Hartanti, 2007, Op. Cit, h. 8.

  • Kertagama arti harfiah corrupt menunjukkan kepada perbuatan yang rusak,

    busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan41

    Adapun arti harfiah dari korupsi berasal dari kata „tindak pidana‟ dan kata

    “korupsi”. Tindak pidana merupakan istilah teknis yuridis dari bahasa Belanda

    yakni “stafbaar feit” atau “delict” dengan pengertian sebagai sebuah perbuatan

    yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi

    siapa saja yang melanggarnya. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin: corruptio

    = penyuapan; corruptore = merusak.42

    Menurut Robert Klilgaard, mendefinisikan korupsi dari perspektif

    administrasi negara, mendefinisikan korupsi sebagai „Tingkah laku yang

    menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan

    status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok

    sendiri); atau aturan pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi‟.43

    Dalam Black‟s Law Dictionary, Henry Campbell memposisikan korupsi

    sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu

    keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-

    pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk

    41

    Sudarto, 1996, Hukum dan Hukum Pidana (Cetakan Keempat), Alumni, Bandung, h. 115.

    42

    Lilik Mulyadi, 2000, Tindak Pidana Korupsi, Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan,

    Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1991, Citra

    Aditya Bhakti, Bandung, h. 15.

    43

    Wasingatu Zakiah, 2001, Penegakan Hukum Undang-undang Korupsi, Makalah, Jakarta, h.

    23.

  • mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain,

    bersama dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.44

    World Bank mendefinisikan korupsi sebagai an abuse of public power for

    prívate gains (suatu penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi)

    dengan bentuk-bentuk dari korupsi tersebut antara lain sebagai berikut:

    a. Political Corruption (Grand Corruption), yang terjadi di tingkat tinggi (penguasa, politisi, pengambil keputusan) dimana mereka memiliki suatu

    kewenangan untuk memformulasikan, membentuk dan melaksanakan

    undang-undang atas nama rakyat, dengan memanipulasi institusi politik,

    aturan prosedural dan distorsi lembaga pemerintahan dengan tujuan

    meningkatkan kekayaan dan kekuasaan;

    b. Bureaucratic Corruption (Petty Corruption), yang biasa terjadi dalam administrasi publik seperti di tempat-tempat pelayanan umum;

    c. Electoral Corruption (Vote Buying) dengan tujuan untuk memenangkan suatu persaingan seperti dalam pemilu, pilkada, keputusan Pengadilan,

    jabatan pemerintahan dan sebagainya;

    d. Prívate or Individual Corruption, korupsi yang bersifat terbatas, terjadi akibat adanya kolusi atau konspirasi antara individu atau teman dekat;

    e. Collective or Aggregated Corruption dalam bentuk memberi dan menerima suap (bribery) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

    atas dasar tugas dan kewajibannya;

    f. Corporate Corruption baik berupa corporate criminal yang dibentuk untuk menampung hasil korupsi ataupun corruption of corporation

    dimana seseorang atau beberapa orang memiliki kedudukan penting

    dalam suatu perusahaan melakukan korupsi untuk mencari keuntungan

    bagi perusahaannya tersebut.45

    Secara yuridis formal, pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam

    Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 20, Bab

    44

    Henry Campbell, 2004, Black’s Law Dictionary (Edition VI), West Publishing, St. Paul

    Minesota, USA, h. 371.

    45

    Marwan Effendy, 2013, Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya,

    Referensi, Jakarta (selanjutnya disebut Marwan Effendy I), h. 18.

  • II tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi dari

    Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

    menyatakan:

    Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

    memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

    merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara

    dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

    tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

    200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

    1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

    Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas maka rumusan tindak

    pidana korupsi adalah:

    1. Setiap orang, hal tersebut menunjuk pada subjek hukum pidana. Menurut

    ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang

    dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk

    korporasi.

    2. Unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dirumuskan pada Pasal 2 ayat (1)

    Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah:

    - Secara melawan hukum;

    - Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

    suatu korporasi;

    - Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

  • Dapat disimpulkan sebenarnya secara umum korupsi tidak lain adalah

    tindakan yang tidak sah atau gelap terkait dengan keuangan atau lainnya yang

    dapat dinilai dengan uang yang dilakukan seseorang atau suatu kelompok secara

    melawan hukum untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau kelompok yang

    sekarang disebut dengan korporasi tidak saja merugikan negara tetapi juga

    mencakup sektor swasta, seseorang atau publik karena kekuasaan yang

    dimilikinya.

    1.8 Korupsi sebagai White Collar Crime

    Tindak pidana korupsi dapat digolongkan sebagai the white collar crime

    dikarenakan terdapat beberapa kriteria dari kejahatan korupsi yang memenuhi

    unsur-unsur dalam tipologi white collar crime, adapun tipologi white collar crime

    antara lain:

    White-collar criminality flourishes at points where powerful businessmen

    and professional men come in contract with persons who are weak. In this

    respect, it is similar to stealing candy from a baby. Many of the crimes of the

    lower class, on the other hand, are committed, in the form of burglary and

    robbery, against persons of wealth and power. Because of this difference in

    the comparative power of the victim, the white collar criminals enjoy relative

    immunity.46

    Terjemahan bebasnya:

    46

    Edwin Sutherland, 1973, On Analyzing Crime, University of Chicago Press, United States of

    America, h. 57.

  • Kejahatan kerah putih berkembang pada titik dimana para pebisnis kuat dan

    para profesional berhubungan dengan orang-orang yang lemah. Pada posisi

    ini, sama dengan mencuri permen dari seorang bayi. Banyak tindak pidana

    dari kelas yang lebih rendah, di lain pihak, dilakukan, dalam bentuk

    pencurian dan perampokan, terhadap orang-orang yang memiliki kekayaan

    dan kekuasaan. Karena perbedaan ini dalam perbandingan kekuatan dari

    korbannya, kejahatan kerah putih menikmati imunitas kekerabatan.

    Pada pendapat dari buku Sutherland tersebut dapat disimpulkan secara

    garis besar dan di konkretkan pada contoh nyata dari keadaan Indonesia sekarang

    ini adalah kejahatan kerah putih dilakukan oleh orang-orang yang memiliki posisi

    kelas atas yang mana disertai dengan kekuasaannya kemudian seolah memiliki

    imunitas/kekebalan dari para kerabat-kerabatnya yang melakukan hal-hal yang

    sama, melakukan kegiatan pencurian ataupun perampokan terhadap orang-orang

    lemah seperti halnya kejahatan korupsi yang mengambil uang negara dari rakyat

    yang lemah.

    Menurut Syed Hussein Alatas, secara tipologis, korupsi dapat dibagi

    dalam 7 (tujuh) jenis yang berlainan, antara lain:

    1. Korupsi transaktif (transactive corruption); 2. Korupsi yang memeras (extortive corruption); 3. Korupsi investif (investive corruption); 4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption); 5. Korupsi defensif (defensive corruption); 6. Korupsi otogenik (autogenic corruption); 7. Korupsi dukungan (supportive corruption);47

    Jenis korupsi memeras adalah jenis korupsi dengan keadaan pihak pemberi

    dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam

    dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan hal-hal yang dihargainya.

    47

    Syed Hussein Alatas, 1987, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, h. 9.

  • Korupsi defensif adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan, sebagai

    bentuk mempertahankan diri. Korupsi investif adalah pemberian barang atau

    jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain

    keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.

    Korupsi perkerabatan atau nepotisme adalah penunjukan yang tidak sah

    terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam

    pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang

    mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka,

    secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku. Korupsi

    otogenik yaitu korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya

    hanya seorang. Korupsi dukungan adalah korupsi yang tidak secara langsung

    menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain. Tindakan-

    tindakan yang dilakukan untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang

    sudah ada.48

    Adapun tipologi white collar crime sebagaimana dikutip dari pendapat

    Edelhertz yang mengidentifikasikan antara lain:

    1. Crimes by persons operating on an individual ad hoc basis (for example, income tax violations, credit card frauds, bankruptcy frauds,

    etc.);

    2. Crimes committed in the course of their occupations by those operating inside business, government, or other establishments, in violation of

    their duty of loyalty and fidelity to employers or clients (for example,

    embezzlement, employee larceny, payroll padding, and the like);

    3. Crimes incidental to, and in furtherance of, business operations but not central to the purpose of the business (for example, anti trust violations,

    cimmercial bribery, food and drug violations an do forth);

    4. White-collar crime as a business, or as the central activity. (this will be covered in this text under the label “professional crime”; it refers to

    activities such as medical and health frauds, advance fee swindles, and

    phony contests).49

    48

    Ibid., h. 9-11.

    49

    Frank E. Hagan, 1986, Introduction to Criminology, Theories, Methods, and Criminal

    Behavior, Nelson Hall, Chicago, h. 105.

  • Terjemahan bebasnya adalah:

    1. Kejahatan oleh orang yang beroperasi secara individu untuk suatu tujuan (misalnya, pelanggaran pajak penghasilan, penipuan kartu kredit,

    penipuan kebangkrutan, dan lainnya);

    2. Kejahatan yang dilakukan dalam proses pekerjaan mereka melalui mereka yang beroperasi di dalam bisnis, pemerintah, atau instansi lain,

    dengan melanggar kesetiaan tugas mereka dan kesetiaan kepada

    majikan atau klien (misalnya, penggelapan, pencurian karyawan, gaji

    padding, dan sejenisnya);

    3. Kejahatan terkait dengan, dan sebagai kelanjutan dari, operasi bisnis tetapi tidak sentral untuk tujuan bisnis (misalnya, pelanggaran monopoli,

    penyuapan komersial, pelanggaran obat dan makanan yang dilakukan

    sebagainya);

    4. Kejahatan kerah putih sebagai sebuah bisnis, atau sebagai aktivitas pusat. (ini akan dibahas dalam teks di bawah label "kejahatan

    profesional", mengacu pada kegiatan seperti penipuan medis dan

    kesehatan, penipuan uang muka, dan kontes palsu)

    corruption might be defined as the misuse of entrusted authority for

    personal benefit. business corruption is defined by the involvement of

    private companies, and is usually motivated by corporate profits. Soreide

    (2006) suggest that in contrast to the term political corruption or the term

    petty corruption, where we focus on the interest of politicians or civil

    servant, we usually emphasize the perspective and the interest of the bribers

    when applying term business corruption.50

    korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang

    dipercayakan untuk keuntungan pribadi. korupsi bisnis didefinisikan dengan

    keterlibatan perusahaan swasta, dan biasanya dimotivasi oleh keuntungan

    perusahaan. Soreide (2006) menunjukkan bahwa berbeda dengan korupsi

    politik atau korupsi kecil, di mana kita fokus pada kepentingan politisi atau

    pegawai negeri, kita biasanya menekankan perspektif dan kepentingan

    penyuap ketika menerapkan korupsi bisnis.

    The problem of business corruption can be exemplified by a number of

    scandals. An example is Exxon Mobile in Kazakhstan, where payment were

    made to Kazakh officials to obtain share in the Karachaganak oil and gas

    field. Another example is the Lesotho Dam Project, in which eight

    50

    Peter Gottschalk, 2010, White-Collar Crime, Detection, Prevention and Strategy in Business

    Enterprises, Universal-Publisher, Florida-USA, h. 21.

  • international construction companies were charged with bribery after they

    allegedly paid bribes to win contracts for a large dam project. Yet another

    examples is the Titan corporation’s unofficial payments to the president of

    Benin to get important business advantages (Soriede, 2006).

    Masalah korupsi bisnis dapat dicontohkan oleh sejumlah skandal.

    Contohnya adalah Exxon Mobile di Kazakhstan, di mana pembayaran

    dilakukan untuk pejabat Kazakhstan untuk memperoleh lembar saham di

    bidang minyak dan gas Karachaganak. Contoh lain adalah Proyek

    Bendungan di Lesotho, di mana delapan perusahaan konstruksi internasional

    didakwa dengan penyuapan setelah mereka diduga membayar suap untuk

    memenangkan kontrak untuk proyek bendungan besar. Namun contoh lain

    adalah pembayaran tidak resmi Perusahaan Titan untuk Presiden Benin

    untuk mendapatkan keuntungan bisnis yang penting (Soriede, 2006).