55
60 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Kondisi Geografis Kecamatan Gunung Sindur Kecamatan Gunung Sindur merupakan Kecamatan yang berada di ujung sebelah utara Kabupaten Bogor yang langsung berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan. Kecamatan Gunung Sindur bukanlah merupakan pegunungan yang tinggi seperti yang timbul dibayangan kita saat mendengar namanya, pada kenyataannya topografi permukaan daratan Gunung Sindur relatif datar tidak ada pegunungan dan perbukitan yang tampak. Gambar IV.1 Peta Kecamatan Gunung Sindur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

60

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

1. Kondisi Geografis Kecamatan Gunung Sindur

Kecamatan Gunung Sindur merupakan Kecamatan yang berada di

ujung sebelah utara Kabupaten Bogor yang langsung berbatasan dengan

Kota Tangerang Selatan. Kecamatan Gunung Sindur bukanlah merupakan

pegunungan yang tinggi seperti yang timbul dibayangan kita saat

mendengar namanya, pada kenyataannya topografi permukaan daratan

Gunung Sindur relatif datar tidak ada pegunungan dan perbukitan yang

tampak.

Gambar IV.1

Peta Kecamatan Gunung Sindur

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

61

Luas wilayah Kecamatan Gunung Sindur adalah 4.881 Ha, sebelah

utara berbatasan langsung dengan Kota/Kabupaten lain bahkan Provinsi lain

yaitu Banten, hal inilah yang menyebabkan adanya keanekaragaman

budaya, agama, suku dan bahasa. Adapun batas-batas wilayah Kecamatan

Gunung Sindur adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten

b. Sebelah Barat : Kecamatan Rumpin

c. Sebelah Timur : Kecamatan Parung dan Kota Depok

d. Sebelah Selatan : Kecamatan Parung dan Ciseeng

Tabel IV.1

Wilayah Administrasi Kecamatan Gunung Sindur

Wilayah Administrasi Jumlah

Desa 10

RT 375

RW 92

(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur 2014)

Secara administrasi Kecamatan Gunung Sindur terdiri dari 10 Desa

yaitu Desa Jampang, Desa Cibadung, Desa Cibinong, Desa Cidokom, Desa

Pedurenan, Desa Curug, Desa Rawa Kalong, Desa Pengasinan, Desa

Gunung Sindur dan Desa Pabuaran.

2. Monografi Penduduk

Dengan luas wilayah Kecamatan Gunung Sindur 48,81 Km2 maka

rata-rata tingkat kepadatan penduduknya yaitu 1.764 jiwa/Km2. Desa yang

paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Desa Pedurenan yaitu

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

62

2.506 jika/Km2, sedangkan yang paling rendah adalah Desa Jampang yaitu

758 jiwa/Km2.

Tabel IV.2

Jumlah penduduk, Luas Desa dan Kepadatan Penduduk Kec. Gunung

Sindur Tahun 2013

No Desa Jumlah

Penduduk

Luas Wilayah

(Km2)

Kepadatan

Penduduk/Km2

1 Jampang 4.462 5.89 758.56

2 Cibadung 7.940 5.2 1526.92

3 Cibinong 9.990 4.49 2224.94

4 Cidokom 6.652 2.95 2254.92

5 Pedurenan 7.241 2,89 2505.54

6 Curug 13.046 5.67 2300.88

7 Rawa kalong 8.104 5.25 1543.62

8 Pengasinan 11.383 5.18 2197.19

9 Gunung Sindur 9.986 5.73 1743.76

10 Pabuaran 7.980 5.56 1435,25

Jumlah 86.784 48.81 1778.00

(Sumber : Data Kecamatan Gunung Sindur 2013)

Karena letak Kecamatan Gunung Sindur berdekatan dengan Ibu Kota

Negara dan berbatasan langsung dengan kota Tangerang Selatan maka hal

tersebut berdampak pada pertumbuhan penduduk yang pesat di sebabkan

oleh banyaknya pendatang. Berdasarkan data Kecamatan, jumlah penduduk

di Kecamatan Gunung Sindur berdasarkan jenis kelamin di jabarkan sebagai

berikut :

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

63

Tabel IV.3

Jumlah Penduduk Kecamatan Gunung Sindur Berdasarkan Jenis

Kelamin

No Desa Laki-laki Perempuan Jumlah

Penduduk

1 Jampang 2.241 2.221 4.462

2 Cibadung 3.946 3.994 7.940

3 Cibinong 9.174 4.816 9.990

4 Cidokom 3.378 3.274 6.652

5 Pedurenan 3.784 3.457 7.241

6 Curug 6.832 6.214 13.046

7 Rawa kalong 4.202 3.902 8.104

8 Pengasinan 5.853 5.530 11.383

9 Gunung Sindur 5.125 4.861 9.986

10 Pabuaran 4.131 3.849 7.980

Jumlah 44.284 41.795 86.784

(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur Dalam Angka, 2014)

Sex ratio (perbandingan antara penduduk laki-laki dengan penduduk

perempuan) di Kecamatan Gunung Sindur adalah 106, yang artinya dari 100

penduduk perempuan terdapat 106 penduduk laki-laki. Semua desa di

Kecamatan Gunung Sindur memiliki sex ratio diatas 100, kecuali Desa

Cibadung yang cenderung lebih rendah yaitu 98 yang artinya setiap 100

penduduk perempuan terdapat 98 penduduk laki-laki. Sex ratio terbesar

terdapat di Desa Curug sebesar 110 yang berarti dari setiap 100 penduduk

perempuan terdapat 110 penduduk laki-laki.

3. Kondisi Sosial Budaya

a. Mata Pencaharian Penduduk

Masyarakat Kecamatan Gunung Sindur sebagian besar

berpencaharian sebagai wiraswasta, memiliki peternakan ayam,

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

64

peternakan lele, pabrik tahu/tempe serta budidaya tanaman hias.

Budidaya tanaman hias yang terkenal dan menjadi primadona adalah

budidaya tanaman anggrek baik anggrek yang dijual bunganya maupun

anggrek yang dijual dalam pot.

Tabel IV.4

Produksi Tanaman Hias Kecamatan Gunung Sindur 2013

Nama Tanaman

Hias

Produksi (Pohon /

Tangkai)

Anggrek potong 2.507.680

Anggrek Pot 132.320

Dracaena 28.500

Palem 12.250

Aglaonema 57.000

Phylodendron 86.425

Monstrea 131.595

Anturium Daun 9.930

(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur 2014)

Selain itu dari sektor pertanian atau tanaman pangan seperti padi,

jagung, ubi jalar, ubi kayu dan kacang tanah, tidak kalah memiliki andil

yang besar dalam mensejahterakan masyarakat.

Tabel IV.5

Produksi Tanaman Pangan Kecamatan Gunung Sindur 2013

Tanaman

Pangan

Luas Panen/Ha Produktivitas

kw/ Ha

Produksi /Kw

Padi 550.04 62 3402.48

Jagung 145 44 6380

Ubi Kayu 251 20.4 5120.4

Ubi Jalar 35 14.14 494.9

Kacang .T 36 13.6 489.6

(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur Dalam Angka 2014)

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

65

Walaupun lahan pertanian di Kecamatan Gunung Sindur semakin

sempit tergerus oleh arus modenisasi akibat pembangunan perumahan,

pabrik yang mulai perlahan menjamur dan bangunan lainnya, namun

sektor pertanian masih merupakan salah satu mata pencaharian penduduk

yang utama. Hal ini didukung dengan curah hujan di daerah ini yang relatif

tinggi sehingga membuat berbagai tanaman petani tumbuh subur. Saat

musim kemarau biasanya petani menyiasati dengan menanam umbi-

umbian yang tahan terhadap terik matahari. RSD menjelaskan :

“Walau itungannya kami dekat sekali dengan ibu kota yang identik

dengan kehidupan yang modern tapi sebagian besar masyarakat

masih mencari rejeki dibidang pertanian, ya mau itu nanam

singkong, kentang, cabe, kunyit, jahe, segala macem kembang-

kembangan, sampe rumput gajah juga ada yang dijual per-meter.

bisa jadi karena tanah disini juga subur dan sering hujan jadi mau

nanam apapun ya idup aja.

(Sumber : Wawancara Senin 29 Juni 2015)

Gambar IV.2

Budidaya Tanaman Hias dan Sayur Mayur Kecamatan Gunung Sindur

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

66

Di Kecamatan Gunung Sindur terdapat 17 kelompok tani yang

bergerak dibidang peternakan dan perikanan, 16 perusahaan yang

bergerak di bidang peternakan ayam ras dan peternakan lainnya seperti

bebek, lele, ikan gurame, belut, sapi, babi, dan kambing. Hampir setiap

rumah memiliki hewan ternak baik dalam jumlah besar maupun dalam

jumlah yang kecil atau ternak rumahan.

Gambar IV.3

Beragam Hewan Ternak Sumber Mata Pencaharian Masyarakat

Kecamatan Gunung Sindur

Tidak harus memiliki sawah atau tambak yang luas bagi masyarakat

untuk dapat beternak lele atau jenis ikan lainnya karena mereka bisa

langsung membuat kolam dari semen atau bahkan terpal di dekat rumah,

dengan begitu pengawasan terhadap ternak dari gangguan hewan pemangsa

seperti anjing, kucing bahkan burung bisa diminimalisir karena pemilik bisa

setiap waktu menunggu. Banyaknya peternakan yang ada ditunjang pula

dengan adanya dua instansi pemerintah yaitu Balai pengujian Mutu

Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) dan Pos Pengawasan Lalu Lintas

Ternak yang ada di Kecamatan Gunung Sindur.

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

67

Dalam sektor industri, mayoritas masyarakat Kecamatan Gunung

Sindur membuka usaha pabrik tahu dan makanan ringan. Untuk usaha

pabrik tahu, produsen membaginya kedalam dua hasil produksi yaitu tahu

kuning dan susu tahu (susu kedelai). Tahu tersebut di distribusikan ke

berbagai macam pembeli, ada yang memesan untuk di jual lagi ke luar kota

seperti Jakarta dan Tangerang, ada pula yang dijual untuk masyarakat

setempat.

Gambar IV.4

Produksi Tahu Kuning Khas Kecamatan Gunung Sindur

b. Kepercayaan dan Sarana Ibadah

Letak Kecamatan Gunung Sindur yang berada dibatas Kabupaten

Bogor dan dekat dengan ibu kota membuat Kecamatan Gunung Sindur

memiliki ciri multietnis dan multiagama. Berdasarkan data Kecamatan

Gunung Sindur tahun 2014 agama Islam merupakan agama mayoritas

dengan prosentase 91,03% dari total penduduk. Agama Protestan 3,71 %,

Budha 2,4%, Konghucu 2,18%, Katholik 0,64% dan prosentase terkecil

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

68

yaitu agama Hindu 0,04%. Walaupun agama yang ada sangatlah beragam

namun tidak sama sekali mengurangi solidaritas antar masyarakat,

mereka semua berbaur tidak peduli etnis maupun agama, saling gotong-

royong, bahkan dihari-hari besar keagamaan.

Gambar IV.5

Prosentase Agama di Kecamatan Gunung Sindur

Sarana peribadatan merupakan salah satu fasilitas yang sangat

penting ketersediaannya. Secara umum di Kecamatan Gunung Sindur

terdapat 289 tempat ibadah yang terdiri dari 73 Masjid, 9 Gereja, 6 Wihara

dan 8 Klenteng. Walaupun terdiri dari berbagai etnis dan agama namun

semuanya hidup berdampingan dan harmonis. Berikut penuturan RSD

mengenai keharmonisan umat beragama di Kecamatan Gunung Sindur :

“Dari dulu memang selalu begini, semua agama akur-akur aja.

Kalau di daerah lain sering kan kita dengar speaker masjid aja

bisa jadi masalah, kalau disini alhamdulillah semua saling

Prosentase Agama

lslam 91,03 %

Protestan 3,71 %

Katolik 0,64 %

Hindu 0,04 %

Budha 2,4 %

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

69

menghargai, tidak membeda-bedakan dia orang Tionghoa atau

orang Betawi”

(Sumber : Wawancara Senin 29 Juni 2015)

Tabel IV.6

Sarana Peribadatan di Kecamatan Gunung Sindur

No Desa Masjid Gereja Vihara Klenteng

1 Jampang 5 0 0 0

2 Cibadung 5 1 0 1

3 Cibinong 10 0 1 1

4 Cidokom 6 0 0 0

5 Pedurenan 7 0 1 0

6 Curug 10 4 1 1

7 Rawa kalong 8 0 0 0

8 Pengasinan 7 1 1 0

9 Gunung Sindur 9 0 1 1

10 Pabuaran 6 3 1 4

Jumlah 73 9 6 8

(Sumber : BPS, Posdes 2014)

Meskipun mayoritas masyarakat Kecamatan Gunung Sindur

beragama islam namun keberadaan agama lain sangatlah dihormati, hal ini

terbukti dari banyaknya jumlah klenteng yang merupakan tempat

peribadatan masyarakat Tionghoa di Kecamatan tersebut. Bahkan tidak

jarang saat ada acara atau peringatan hari besar tertentu di klenteng

membuka pengobatan gratis bagi semua masyarakat desa baik yang muslim

maupun non-muslim yang membutuhkan pengobatan.

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

70

Gambar IV.6

Klenteng Ciu Lung Wang yang Berada di Kp. Cikoleang

c. Sarana Pendidikan

Saat ini pendidikan menjadi salah satu hal yang paling penting dan

menjadi perhatian masyarakat Kecamatan Gunung Sindur. Dahulu, awalnya

kemampuan masyarakat untuk mengenyam pendidikan di Kecamatan ini

sangatlah minim. Selain karena kondisi ekonomi yang pas-pasan di tambah

lagi dengan tidak adanya semangat untuk belajar. Sebagai daerah yang

termasuk masih pedesaan, setiap anak setelah lulus sekolah dasar tidak

meneruskan ke bangku sekolah menengah tetapi mereka lebih memilih

membantu orangtua bertani atau bahkan menjadi buruh di pabrik konveksi.

Namun seiring berjalannya waktu pendidikan di Kecamatan

Gunung Sindur mulai digalakan, saat ini tidak ada anak yang tidak

bersekolah. Hal ini sejalan dengan dengan harapan para orang tua agar

generasi penerusnya tidak seperti mereka yang minim pendidikan. Berikut

Penuturan US :

“Awalnya dikit sekali anak yang beruntung karena disekolahkan

orang tuanya, tapi makin kesini makin baik kemajuannya. Malah

kalo kita liat aneh ya zaman sekarang jika ada anak usia sekolah

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

71

tetapi tidak sekolah. Orang tua zaman sekarang mungkin semakin

tau apa yang paling baik. Kalau dulu lebih mentingin untuk beli

sapi atau kambing daripada untuk sekolah. Selain itu dibantu juga

adanya penyuluhan dari pemerintah daerah dan kadang-kadang

dari mahasiswa KKN”

(Sumber : wawancara Jumat 19 Juni 2015)

Saat ini di Kecamatan Gunung Sindur terdapat 37 SDN, 3 SMPN,

1 SMAN dan 1 SMKN. Sedangkan untuk sekolah yang dikelola oleh pihak

swasta antara lain 2 SD, 9 SMP dan 8 SMA / SMK. Selain itu terdapat pula

17 pesantren baik modern maupun Salafiah.

Gambar IV.7

Sekolah Dasar Negeri Pabuaran 02

Baik sekolah negeri maupun swasta yang ada di Kecamatan

Gunung Sindur peminatnya tetaplah sama. Selain negeri dan swasta ada

pula sekolah-sekolah yang berada di naungan Kementrian Agama

Kabupaten Bogor. Diantaranya ada 10 MI, 7 MTs dan 2 MA yang menyebar

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

72

di berbagai desa. Berdasarkan data Kecamatan tahun 2013 murid MI ada

1375 siswa, MTs 1532 siswa dan MA sebanyak 112 siswa.

Tabel IV.7

Sarana Pendidikan Kecamatan Gunung Sindur

No Desa Negeri Swasta

SD SMP SMA SD SMP SMA

1 Jampang 3 0 0 0 0 0

2 Cibadung 5 1 0 0 1 1

3 Cibinong 4 0 0 1 1 2

4 Cidokom 2 0 0 0 1 1

5 Padurenan 3 0 0 0 1 0

6 Curug 4 0 0 0 1 1

7 Rawa Kalong 4 1 1 0 0 0

8 Pengasinan 4 1 0 0 1 1

9 Gunung Sindur 4 0 1 0 1 0

10 Pabuaran 4 0 0 1 1 2

Jumlah 37 3 2 2 9 8

(Sumber : BPS Kecamatan Gunung Sindur, 2014)

d. Sarana Kesehatan

Dalam bidang kesehatan, Kecamatan Gunung Sindur didukung

oleh sarana kesehatan yang meliputi 2 Puskesmas, 3 Puskesmas pembantu

dan 94 Posyandu yang tersebar hampir diseluruh RW. Sarana kesehatan

yang ada tersebut ditunjang dengan tenaga medis yaitu 10 orang dokter

umum, 1 orang dokter gigi, dan 19 orang bidan. Sebagai daerah yang

masih tradisional, dukun bayi (Ibu Paraji) seringkali dibutuhkan jasanya

dalam membantu proses melahirkan, ada sekitar 28 dukun bayi di

Kecamatan Gunung Sindur yang tersebar rata disetiap desa.

Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

73

B. Hasil Penelitian

Dalam sub-bab ini peneliti berusaha untuk mendeskripsikan hasil

penelitian mengenai amalgamasi yang terjadi antara etnis Betawi dengan etnis

Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Kecamatan Gunung

Sindur Kabupaten Bogor merupakan tempat dimana budaya Betawi dan

Tionghoa berbaur. Penduduk asli Kecamatan Gunung Sindur adalah mayoritas

beretnis Betawi dan sedikit orang Sunda sedangkan etnis Tionghoa merupakan

pendatang. Masyarakat Tionghoa yang mendiami Kecamatan Gunung Sindur

sudah datang sejak ratusan tahun yang lalu, berawal dari berdagang, kemudian

mereka berusaha membaur dan beradaptasi dengan mempelajari budaya dan

bahasa sekitar, sampai akhirnya banyak dari mereka yang melakukan

perkawinan campuran dengan etnis pribumi atau lazim kita menyebutnya

dengan sebutan amalgamasi.

Dalam ikatan amalgamasi baik yang didasari atas kepentingan individu

maupun kepentingan kelompok sama-sama memiliki pengaruh yang besar

dalam terjalinnya hubungan yang mengarah pada integrasi masyarakat dan

asimilasi kultural. Hasil penelitian yang akan dideskripsikan dalam sub-bab ini

adalah mengenai amalgamasi yang terjadi antara warga Etnis Betawi dengan

Etnis Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor meliputi

alasan melakukan amalgamasi serta faktor pendukung dan penghambat dalam

amalgamasi baik yang berasal dari pihak pasangan Etnis Betawi maupun

Tionghoa dan bentuk asimilasi yang terlihat dalam keluarga amalgamasi antara

Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

74

etnis Betawi dengan etnis Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur. Berikut

adalah pemaparan hasil penelitian dari masing-masing poin tersebut :

1. Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan Tionghoa di

Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor

Sudah ratusan tahun lamanya masyarakat Etnis Tionghoa mendiami

daerah Gunung Sindur dan hidup bersama-sama dengan penduduk pribumi

yang beretnis Betawi. Walaupun berstatus sebagai pendatang dan minoritas,

tapi masyarakat Etnis Tionghoa tidak hidup terpencil di suatu titik, mereka

tinggal di pusat-pusat perdagangan yang berdekatan dengan aktivitas

masyarakat seperti di dekat pasar, pertokoan, pinggir jalan utama dan

wilayah ramai lainnya yang memudahkan mereka untuk membaur dengan

masyarakat pribumi. Hal ini diperkuat dengan berbagai ritual sosial tegur

sapa, kerjasama dan tolong menolong pada berbagai kegiatan. Kenyataan ini

semakin memungkinkan terjadinya perkawinan campuran atau amalgamasi

antara penduduk asli yang beretnis Betawi dengan penduduk Tionghoa.

Seperti apa yang diceritakan oleh informan 10 :

“Kalau sejarahnya sudah lama sekali ya, orang-orang

Tionghoa itu mulai bermukim disini bahkan sebelum Belanda

datang. Kebanyakan memang laki-laki karena memang tujuan

mereka ingin mengadu nasib dengan menjual barang-barang

dari negaranya, yang dijual juga macem-macem ada keramik,

obat herbal (ramuan-ramuan), kain. Lama-lama mereka makin

dekat dengan orang kita kan, pelajarin budaya kita, bahasa kita,

lama-lama bisa juga dia. Selama proses penyesuaian itu tidak

Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

75

sedikit laki-laki Tionghoa yang nikah sama perempuan asli sini,

keturunannya yang kita sebut sekarang cina peranakan”

(Sumber : Wawancara Senin 29 Juni 2015)

a. Alasan Terjadinya Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan

Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor

1) Amalgamasi Antara Laki-laki Tionghoa dengan Perempuan Betawi

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan beberapa hal yang

menjadi alasan bagi seorang laki-laki Tionghoa menikahi perempuan

Betawi. Alasan yang dituturkan informan berbeda-beda dan mayoritas

disebabkan oleh faktor-faktor non-rasial diantaranya adalah karena

alasan pekerjaan, alasan saling ketergantungan dan alasan ketertarikan

fisik atau suka sama suka. Walaupun sebenarnya ada keyakinan

bahwa baik laki-laki maupun perempuan Tionghoa sama-sama harus

menikahi pasangan satu etnis, namun saat ini sudah banyak sekali

ditemukan orang Tionghoa yang menikah dengan masyarakat pribumi,

terlebih laki-laki Tionghoa. Kaum laki-laki dalam Etnis Tionghoa

dipandang lebih bisa membawa diri jika menikah dengan orang

pribumi, hal tersebut didukung pula oleh banyaknya kaum laki-laki

Tionghoa yang berhirjah ke Indonesia, maka dari itu tidak heran jika

kita lebih sering menemukan kaum laki-laki yang menikah dengan

etnis pribumi dibandingkan kaum perempuan.

Alasan amalgamasi antara laki-laki Betawi dengan perempuan

Tionghoa dilatar belakangi oleh berbagai hal. Salah satunya adalah

Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

76

alasan pekerjaan seperti yang dialami oleh informan ke-5. Sebelum

saling mengenal dan menikah, istri dari informan 5 bukanlah

merupakan penduduk Kecamatan Gunung Sindur, ia pindah karena

alasan pekerjaan dimana orang tuanya saat itu membuka usaha pabrik

tahu di Kecamatan Gunung Sindur. Berikut penuturan informan 5 :

(Istri) : “Memang dari dulu tetanggaan di kampung ini mba,

tapi suami saya malah yang asli sini, kalau saya dulu orang tua

asli Kebayoran tapi pindah kesini buka usaha pabrik tahu

disini, udah lama sekali jadi bisa dibilang sudah sama seperti

orang sini asli, dapet jodohpun orang sini.”

(Sumber : Wawancara Sabtu 23 Mei 2015)

Amalgamasi yang dilandasi oleh pekerjaan juga di alami oleh

informan 4. Dimana suami dan istri bertemu dan kemudian saling

kenal karena sama-sama bekerja di suatu perusahaan roti. Pertemuan

yang intens membuat mereka semakin akrab hingga akhirnya menjalin

hubungan dan berlabuh pada relasi perkawinan. berikut penuturan

informan 4 :

(Suami) : “Kami memang tetangga, dulu saat saya masih kerja

nganter roti ke warung-warung istri saya ini kerja di pabrik

rotinya. Sering ketemu juga sampe akhirnya ada hubungan dan

sampe menikah seperti sekarang ini.”

(Sumber : Wawancara Rabu 20 Mei 2015)

Dari penuturan beberapa informan di atas dapat kita simpulkan

bahwa bidang pekerjaan turut memiliki andil dalam terjadinya

amalgamasi antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan Betawi di

Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

77

Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Selain karena alasan

pekerjaan, dalam penelitian ini ditemukan pula pasangan laki-laki

Tionghoa dengan perempuan Betawi yang menikah karena alasan

ketertarikan fisik atau suka sama suka, seperti yang dituturkan oleh

informan 3 berikut :

(Suami) : “Dulu sekali, kami memang sudah saling mengenal

tapi masih biasa saja belum ada ketertarikan karena memang

usia kami terpaut sangat jauh, saat saya sudah dewasa dia

masih kecil sekali. Sampai akhirnya saya menikah dengan

mantan istri saya hingga kemudian kami bercerai. Saat kondisi

duda itulah kami mulai saling tertarik, istri saya ini juga sudah

dewasa saat itu usianya 20 tahun lebih, saat saya masih kerja

kami juga sering bertemu dan sejak itu juga jadi makin kenal

satu sama lain.”

(Sumber : Wawancara Senin 18 mei 2015)

Selain informan 3, amalgamasi yang didasari oleh alasan

ketertarikan secara fisik juga terjadi pada informan ke 1 dimana pihak

suami menyukai istri saat pertama kali melihat istri menyanyi

gambang kromong di pernikahan kerabatnya, seperti yang di tuturkan

oleh informan 1 berikut :

(Istri) : “Waktu ketemunya dulu ngga disangka-sangka ya pak

ya, kalau bakal jadi pasangan begini, saya dulu kan kerjanya

nyanyi gambang kromong, waktu itu kebetulan lagi ada kerjaan

di daerah Cikoleang, itu ternyata acara pernikahan temennya

suami saya, dan suami saya minta tolong temannya untuk

dikenalkan, dari situ kenalannya dek.”

Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

78

(Suami) : “Ya benar, waktu itu saya langsung suka dan sempat

minta tolong teman untuk di kenalkan hehe.”

(Sumber : Wawancara Jumat 15 Mei 2015)

Selain informan 3 dan informan 1, ketertarikan secara fisik juga

di alami oleh istri dari informan 2 terhadap suaminya yang beretnis

Tionghoa. Perawakan suaminya yang bersih dan selalu berpenampilan

wangi menjadi daya tarik tersendiri baginya. Berikut penuturan istri

dari informan 2 :

(Istri) : “Suami saya cukup pengertian, tidak banyak menuntut,

kadang lebih teliti dan telaten ketimbang saya yang perempuan,

lebih pendiam dibanding saya karena saya cerewet sekali, dan

suami juga bersih. Saya senang walaupun dia laki-laki tapi

perawakannya bersih sekali dan selalu wangi.”

(Sumber : Wawancara Srnin 11 Mei 2015)

Selain didasari oleh alasan latar belakang pekerjaan dan

perasaan suka sama suka, ada juga pasangan informan laki-laki

Tionghoa dengan perempuan Betawi yang melakukan amalgamasi

dengan alasan kepercayaan dan saling ketergantungan antara kedua

belah pihak seperti yang dialami oleh informan 3 berikut :

(Istri) : “Kalau dari orangtua saya awalnya memang tidak

setuju, mereka seperti tidak ikhlas anak gadisnya menikah

dengan seorang duda, tapi lama-lama ya luluh juga karena usia

saya sudah 23 tahun lebih ya, zaman saya dulu usia segitu buat

perempuan udah tua sekali ya kalau belum menikah malah jadi

omong-omongan tetangga di bilang perawan tua”

Page 20: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

79

(Suami) : “Menurut saya istri pilihan saya yang sekarang

tidak ada hubungannya dengan kejelekan sifat mantan istri

saya. saya bisa membedakan dia orang yang baik, lagi pula

kami seiman, jadi apalagi yang harus disangsikan? Saya sadar

semakin lama juga saya akan semakin tua, kalau hidup sendiri

saya ngga akan bisa, jadi saya putuskan untuk menikahi dia,

orang tua lama-lama juga setuju”

(Sumber : Wawancara Senin 18 Mei 2015)

Dari penuturan informan 3 di atas, dapat disimpulkan bahwa

alasan yang mendasari terjadinya amalgamasi pada pasangan tersebut

adalah karena kedua pihak saling tergantung dan saling membutuhkan

satu sama lain, pihak istri yang awalnya tidak mendapat restu dari

orang tua karena ingin menikah dengan seorang duda beretnis

Tionghoa lambat laun menjadi di restui untuk menikah karena saat itu

di tempat tinggalnya yang masih terbilang pedesaan, perempuan

mayoritas menikah di usia muda dan saat itu usia istri sudah terbilang

sangat dewasa, selain itu orang tua mengkhawatirkan adanya cibiran

dari tetangga jika anaknya tidak segera menikah. Sedangkan dari

pihak suami memiliki alasan karena statusnya sebagai duda tidak

membuat ia nyaman karena semua hal dalam hidupnya harus

dilakukan sendiri. Maka ia memutuskan untuk segera menikah dengan

pasangan pilihannya karena ia merasa khawatir tidak ada yang

menjaga dan mengurusnya di masa tua, selain itu ia juga belum

memiliki anak dari perkawinannya yang pertama dan ia berharap di

perkawinannya yang kedua dapat diberikan keturunan. Harapan yang

Page 21: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

80

di inginkan oleh suami informan 3 tersebut di perkuat oleh

pernyataannya bahwa calon istri yang ia pilih seiman dan

berkepribadian baik sehingga dianggap mampu untuk mengurus

segala urusan keluarga.

2) Amalgamasi Antara Laki-laki Betawi dengan Perempuan Tionghoa

Amalgamasi yang terjadi antara laki-laki Betawi dengan

perempuan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur didasarkan pada

alasan kesamaan pekerjaan, ketertarikan secara fisik dan adanya saling

ketergantungan. Amalgamasi yang didasarkan atas alasan pekerjaan di

alami oleh informan 7 dimana keduanya saling kenal karena mereka

merupakan rekan di tempat bekerja, berikut penuturan informan 7 :

(Suami) : “Kami kenal karena dulu kerja satu pabrik, karena

rumah kami dekat makanya sering pulang bareng, makin lama

makin akrab lalu memutuskan untuk berpacaran.”

(Sumber : Wawancara Rabu 10 Juni 2015)

Selain kesamaan tempat kerja, alasan lainnya yang

menyebabkan amalgamasi antara laki-laki Betawi dengan perempuan

Tionghoa adalah karena adanya ketertarikan secara fisik. Perempuan

Tionghoa terkenal dengan kulitnya yang putih bersih. Seperti yang

dikatakan oleh suami informan 8 yang mengatakan bahwa awalnya ia

tertarik dengan sang istri karena kecantikannya sebagai peremuan

Tionghoa, selain memiliki kulit yang bersih, sang istri juga memiliki

dialek mandarin ketika berbicara, hal tersebut yang menjadi daya tarik

tersendiri bagi suami informan 8. Berikut penuturannya :

Page 22: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

81

(Suami) : “Ya sudah cukup saling memahami, selain itu saya

juga senang dan bersyukur bisa menikahi dia, dia cantik, putih,

sikapnya halus, dan satu yang menarik, logat mandarin di setiap

ucapan istri saya jadi hal yang menyenangkan buat saya

dengar, lucu kedengarannya.”

(Sumber : Wawancara Sabtu 13 Juni 2015)

Alasan ketertarikan secara fisik juga disampaikan oleh suami

informan 6 yang mengaku bersyukur karena dapat menikahi istrinya

yang semasa sekolah dulu banyak yang menyukai karena

kecantikannya. Berikut adalah penuturan suami informan 6 :

(Suami) : “Iya karena kami tetangga juga, tapi dari masa

sekolah pun saya memang sudah suka sama dia, dia dulu

banyak yang suka karena cantik dan ikut organisasi, jadi saya

beruntung lah bisa dapetin dia sekarang, tinggal dijaga aja

mudah-mudahan langgeng”

(Sumber : Wawancara Senin 25 Mei 2015)

Selain alasan kesamaan pekerjaan dan ketertarikan secara fisik,

ditemukan pula pasangan amalgamasi antara laki-laki Betawi dengan

perempuan Tionghoa yang berdasarkan pada alasan saling

ketergantungan, seperti apa yang dituturkan oleh informan 8 berikut :

(Suami) : “Untungnya, orang tua saya dan juga mertua sudah

sepenuhnya merestui karena mereka sudah percaya kami

memang pantas hidup bersama, apalagi setelah menikah ini

makin terlihat bahwa istri saya aslinya baik dan giat sekali, tidak

seperti yang mereka kira diawal. Malah saat ini orang tua saya

ngasih kami kepercayaan untuk ngelola toko, istri saya yang

lebih banyak ditoko karena dia ulet sekali.”

(Sumber : Wawancara Sabtu 13 Juni 2015)

Page 23: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

82

Dari penuturan informan 8 di atas kita bisa melihat adanya relasi

saling ketergantungan yang mendasari amalgamasi dimana pihak

orang tua sang suami meminta menantunya untuk meneruskan

mengelola toko milik keluarga karena orang tua sang suami

mengetahui menantunya yang beretnis Tionghoa tersebut ternyata

pandai dalam mengelola bisnis, disamping itu hal tersebut juga

menguntungkan bagi pasangan amalgamasi karena mereka hanya

tinggal meneruskan usaha tersebut saja.

b. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Amalgamasi Antara

Warga Etnis Betawi dengan Etnis Tionghoa di Kecamatan Gunung

Sindur

Dalam keluarga amalgamasi, budaya akan memberikan pengaruh

besar dalam setiap aspek pengalaman manusia ketika melakukan

kegiatan komunikasi dan interaksi dengan pasangan karena budayalah

yang mengatur kita dalam berperilaku. Di sisi lain komunikasi dan

interaksi pula yang membuat suatu budaya bisa berkembang dan

bahkan mengalami suatu pembauran. Bagaimana amalgamasi bisa

terjadi hingga menimbulkan peleburan kebudayaan / asimilasi? Tentu

karena adanya faktor pendukung dalam amalgamasi tersebut berupa

potensi didalam diri masing-masing pasangan pelaku amalgamasi.

Potensi-potensi tersebut bisa berupa sikap saling percaya, saling tukar

menukar, saling bekerjasama, solidaritas, partisipsi dan termasuk

didalamnya nilai dan norma yang mendasari hubungan tersebut.

Page 24: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

83

Di samping faktor pendukung ada pula faktor penghambat dalam

amalgamasi. Faktor penghambat tersebut bisa berasal dari pihak

pasangan amalgamasi maupun keluarga besarnya yang terdiri dari sikap

etnosentrisme, prasangka yang selalu negatif dan sikap stereotip

terhadap pasangan yang berasal dari budaya yang berbeda. Berikut

deskripsi dari masing-masing faktor tersebut :

1) Faktor Pendukung Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan

Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur

Amalgamasi yang terjadi antara Etnis Betawi dengan Etnis

Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor sangat

memicu terjadinya asimilasi atau peleburan kebudayaan dimana

masing-masing dari mereka sama-sama berusaha untuk saling

menghargai dan menyesuaikan budaya pasangannya secara sukarela.

Terlebih dengan bantuan potensi yang dimiliki masing-masing dari

individu pelaku amalgamasi. Potensi tersebut dapat berbentuk rasa

saling percaya, saling toleransi, solidaritas, mampu bersikap egaliter

(menyamakan kedudukan), dan lain sebagainya. Berikut berbagai

potensi pendukung terjadinya amalgamasi yang ditemukan dalam

penelitian terhadap delapan pasangan perkawinan campuran di

Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor :

a) Rasa Saling Percaya

Sikap saling mempercayai di masyarakat yang

memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang

Page 25: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

84

lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan integritas.

Kepercayaan dalam keluarga bisa di artikan juga sebagai sebuah

pengharapan yang muncul agar anggota lainnya berperilaku jujur,

wajar / normal, memiliki toleransi dan kemurahan hati. Adanya

jaminan tentang kejujuran dalam keluarga dapat memperkuat rasa

kepercayaan dalam keluarga tersebut. seperti yang dituturkan oleh

informan 1 saat menghadapi masalah restu orangtua yang tidak

kunjung didapatkan, mereka berbekal saling percaya jika

hubungannya akan tetap berjalan juka mau berusaha :

(Istri) : “Kurang lebih dua tahunan lah kami dalam kondisi

sulit itu, bermodal saling percaya aja waktu itu, kalau

memang bener-bener mau serius ya mungkin memang

harus berusaha, apalagi kondisi kita bener-bener berbeda

saat itu.”

(Sumber : Wawancara Jumat 15 Mei 2015)

Berbeda dengan pasangan informan 1 yang menggunakan

kepercayaan sebagai modal dalam memperjuangkan restu,

informan ke 3 justru menggunakan kepercayaan sebagai tanda

bahwa ia sudah sangat yakin terhadap jodoh yang ia pilih dan ia

percaya bahwa stereotip orang tuanya yang mengatakan orang

Betawi bukan orang yang baik untuk dijadikan pasangan hidup

hanyalah sesuatu yang tidak masuk akal karena menurutnya kita

tidak bisa menilai sifat seseorang berdasarkan etnisnya, semua

Page 26: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

85

kembali ke individu masing-masing. Berikut penuturan informan

3 mengenai kepercayaan :

(Suami) : “....Tapi memang tidak masuk akal saja, orang

tua saya bilang „jangan lah lu cari bini orang Betawi,

kemaren kan udah kerasa asem garemnya berumah tangga

sama orang Betawi gimana‟. Sedangkan saya sendiri

percaya tiap orang kan tabiatnya beda-beda, kita ngga bisa

mematok semua orang Betawi sama. Nyatanya rumah

tangga kami langgeng sampai saya setua ini istri setia

sekali.”

(Sumber : Wawancara Senin 18 Mei 2015)

b) Sikap Toleransi

Selain sikap saling percaya, faktor pendukung dalam

amalgamasi lainnya adalah harus adanya sikap toleransi didalam

keluarga baik dengan keluarga inti maupun keluarga besar.

Biasanya toleransi dalam keluarga amalgamasi berhubungan

dengan agama yang di anut atau berbagai tradisi budaya yang

dilakukan. Seperti yang dijelaskan oleh informan 4 yang berbeda

agama, pihak istri beragama Islam dan pihak suami beragama

Kristen, namun dalam kesehariannya mereka saling menghargai

agama yang dianut masing-masing dan bahkan saling

mengingatkan untuk beribadah, berikut penuturan informan 4 :

(Istri) : “Suami saya luar biasa. Misalnya saat bulan

puasa, suami saya sangat menghormati keadaan saya yang

tidak segar, pekerjaan yang biasanya saya kerjakan sendiri

Page 27: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

86

dibantu, jadi lebih ringan. selain itu Bapak juga tidak

pernah namanya makan minum didepan saya saat saya

puasa, sering mengingatkan saya untuk sholat dan sedekah

walaupun seadanya. Saya yakin dalam agama apapun pasti

arahnya adalah kebaikan”

(Sumber : Wawancara Rabu 20 Mei 2015)

Selain informan 4, informan 8 juga menuturkan bahwa

toleransi merupakan hal yang sangat penting dalam kasus

amalgamasi. Informan 8 mengatakan walaupun dalam keluarga

mereka terdapat dua budaya yang berbeda namun jika mereka

memiliki sikap saling menghargai dan menghormati mereka yakin

semua akan baik-baik saja. Berikut penuturan informan 8 :

(Suami) : “Ya pokoknya walaupun berbeda budaya tetap

harus saling menghargai, apalagi dalam suatu keluarga.

walaupun kita berbeda tapi kan itu hanya etnisnya saja,

kalau kita kompak bukan akan bisa lebih kuat daripada

orang yang satu etnis? kalo saya selama saya dihargai, ya

saya akan balik menghargai. Itu saja.”

(Sumber : Wawancara Sabtu 13 Juni 2015)

c) Sikap Egaliter

Faktor pendukung terjadinya amalgamasi lain yang di

temukan dalam penelitian ini yaitu adanya sikap egaliter yang

dimiliki oleh seorang individu terhadap anggota keluarga lain.

Sikap egaliter bisa diartikan sebagai sikap dimana kita menganggap

bahwa semua orang dari etnis manapun memiliki derajatnya sama.

Sederajat disini seringkali mengalami salah penafsiran, kesamaan

Page 28: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

87

derajat disini bukan berarti orang yang lebih muda merasa sederajat

dengan orang yang lebih tua sehingga bisa seenaknya dan tidak

sopan, dalam keluarga amalgamasi sikap egaliter lebih memandang

bahwa semua etnis itu sebenarnya memiliki derajat yang sama dan

inti dari ajarannya pun sama yaitu mengarah ke kebaikan. Seperti

yang di jelaskan oleh informan ke 3 :

(Istri) : “Dalam mendidik anak tidak melulu memakai tata

cara Betawi atau Tionghoa, saya percaya semua intinya

sama. Sama-sama mengajarkan kebaikan. Mudah-mudahan

anak juga bisa membedakan mana yang baik dan yang

buruk seiring bertambahnya usia.”

(Sumber : Wawancara Senin 18 Mei 2015)

Berbeda dengan informan 3 yang memandang kesamaan

derajat antara budaya Betawi dengan Tionghoa melalui cara

mendidik anak, informan 6 lebih memandang kesamaan derajat

kedua budaya ketika di tanyakan mengenai sifat-sifat orang Betawi

dan orang Tionghoa, berikut penuturan informan 6 :

(Suami) : “kami kan sudah lama membaur, jadi sama saja

sepertinya. Kalau omongan orang Betawi mah males, ga

mau kerja dan lainnya itu. Tapi menurut saya ya sama aja

sih disini juga banyak orang Tionghoa yang hidupnya

susah dan mereka malas juga ngga kerja juga. Katanya kan

kalo jaman dulu orang Tionghoa itu kaya, tapi sekarang

udah sama aja lah, harta benda yang ada juga dari

turunan orangtua. Itu juga abisnya cepet karena dijual-

jualin.

(Sumber : wawancara Senin 25 mei 2015)

Page 29: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

88

Dari penuturan informan 3 dan informan 6 di atas bisa di

simpulkan bahwa baik budaya Betawi maupun budaya Tionghoa

sama-sama mengajarkan kebaikan. dari penjelasan di atas juga kita

bisa melihat bahwa sebenarnya stereotip yang berkembang di

masyarakat tentang suatu etnis tidak berarti apa-apa, semua

kembali lagi pada individunya masing-masing terkait bagaimana ia

bersikap dan membawa diri.

d) Partisipasi

Adanya partisipasi dalam hasil penelitian ini tercermin pada

keikutsertaan seseorang ketika keluarga besar pasangan mereka

merayakan tradisi budaya atau hari besar agamanya meskipun

tradisi tersebut mungkin saja sangat berbeda dengan tradisi yang

biasa ia lakukan dalam keluarganya sendiri. Partisipasi dilakukan

demi terciptanya hubungan baik dan membangun momentum

kekeluargaan walaupun latar belakang mereka sebenarnya

berbeda. Seperti yang di katakan oleh informan 5 berikut ini :

(Istri) : “Hampir semua sepertinya hasil pembauran karena

hidupnya bareng-bareng kan, jadi menyatu aja gitu.

Tetangga juga banyak Tionghoa banyak Betawi juga.

Kalau dari keluarga besar suami merayakan imlek saya

ikut juga merayakan eforianya. Disitulah indahnya jadi

semua rukun.”

(Sumber : Wawancara Sabtu 23 Mei 2015)

Partisipasi juga tergambar sebagai semangat untuk membantu

dan mementingkan kepentingan orang lain. Seperti yang dijelaskan

Page 30: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

89

oleh informan 7 berikut ini dimana suami berasal dari Etnis Betawi

dan istri berasal dari Etnis Tionghoa. Suami ikut membantu saat

perayaan imlek seperti membantu masak, membantu dekorasi dan

lain sebagainya. Sebagai gantinya adik dari pihak istri setiap

menjelang lebaran pasti berkunjung kerumahnya sekedar untuk

membantu membuat kue kering atau membantu keperluan lainnya.

Berikut penjelasan informan7:

(Istri) : “Di keluarga saya misalnya, tradisi imlek ya sudah

tidak seperti dulu lagi, paling jadi ajang kumpul-kumpul

saja, makan bersama, karena kan selain saya juga ada

beberapa anak yang menikah dengan orang islam. Intinya

saya tau tradisi keluarga besar dia, dia juga tau tradisi saya,

saling bantu aja, bantu masak bantu dekorasi dan persiapan

lainnya. Saat lebaran pun sama adik saya seringkali datang

kerumah saya untuk membantu membuat kua atau membantu

persiapan lainnya. Jadi ngga ada pemisah, orang Betawi

ngga boleh ini, orang Tionghoa ngga boleh itu”

(Sumber : Wawancara Rabu 10 Juni 2015)

Selain itu partisipasi juga bisa dilihat dari bentuk solidaritas

antar anggota keluarga amalgamasi. Solidaritas adalah rasa

kebersamaan, rasa saling memiliki, rasa simpati, dan rasa

kekeluargaan yang dimiliki orang-orang didalam suatu kelompok.

Solidaritas bukan hanya dicapai secara fisik dalam sebuah aktivitas

saja tetapi kita juga harus mampu memiliki solidaritas kepada

sesama secara psikologis yang menjadikan segala tindakan kita

Page 31: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

90

menjadi lebih tulus. Bentuk solidaritas dalam keluarga amalgamasi

dalam penelitian ini tercermin dari penjelasan informan 1 :

(Istri) : “Hubungan dengan orangtua dari kedua belah

pihak sangat baik, apalagi saat anak kami beranjak

dewasa, akrab sekali dia dengan kakek neneknya, cucu

perempuan pertama juga mungkin. Kalau keluarga suami

kan di Tangerang, setiap ada acara, hari imlek atau hari-

hari besar lainnya kami pasti datang untuk silaturahmi dan

sekedar bawa kue dari rumah atau bantu-bantu masak

disana, saya pribadi juga sudah tidak ada rasa canggung

sama sekali, sudah seperti keluarga sendiri.”

(Sumber : Wawancara Jumat 15 Mei 2015)

2) Faktor Penghambat Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan

Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur

Latar belakang budaya yang berbeda dalam suatu keluarga

sangat memengaruhi seseorang dalam berhubungan atau

berkomunikasi dengan anggota keluarga lainnya, karena budaya

bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku

komunikatif serta maksud dari sebuah makna yang dimiliki oleh

setiap orang. Latar belakang budaya termasuk didalamnya nilai,

norma, dan tradisi yang berbeda bisa menjadi suatu masalah besar

yang mengakibatkan amalgamasi tidak berlangsung secara lancar.

Masalah yang menghambat terjadinya amalgamasi tersebut muncul

akibat adanya faktor-faktor yang menyebabkan interaksi dan

komunikasi antar etnis seseorang tidak berjalan secara efektif.

Page 32: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

91

Faktor-faktor penghambat tersebut berupa sikap etnosentrisme,

stereotip dan prasangka negatif yang masing-masing ditemukan

dalam penelitian ini, berikut penjabarannya :

a) Etnosentrisme

Sikap etnosentrisme sangat bersifat destruktif dalam

komunikasi antar etnis. Menurut Tubbs dan Moss (2001:254)

etnosentrisme muncul ketika manusia tidak menyadari bahwa

banyak aspek kebudayaan dalam kelompok mereka berbeda

dengan kelompok-kelompok yang lain. Mereka menganggap

bahwa budaya yang mereka miliki merupakan bawaan sejak lahir

sehingga menjadi sesuatu yang mutlak. Ketika budaya menjadi

sudah menjadi standar mutlak maka etnosentrisme bisa kita

artikan sebagai kecenderungan menghakimi nilai adat istiadat,

prilaku, atau aspek-aspek budaya lain dengan menggunakan adat

istiadat sendiri sebagai standar atau ukuran bagi semua.

Sikap etnosentrisme yang di temukan dalam penelitian ini

adalah seperti yang terjadi pada informan 1 ketika menjelang

pernikahan, orang tua dari pihak suami yang beretnis Tionghoa

tidak merestui anaknya menikah dengan perempuan Betawi

karena sikap etnosentrismenya, berikut penuturan informan 1 :

(Suami) : “Sedikit banyak sih tau, tapi saya kurang terlalu

sependapat, gimana juga kan tergantung orangnya, gabisa

dipukul rata gitu kan yah... keluarga sering bilang, kalo

cari jodoh baiknya seadat aja, Tionghoa itu abunya beda

Page 33: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

92

sama yang lain, lebih tinggi. Mungkin maksudnya

keberadaan Tionghoa itu memang sudah lebih lama dari

budaya lain. Kalo orang Betawi terkenalnya malas ya,

sama gengsinya katanya besar, jadi katanya prinsip Betawi

itu “biar tekor asal kesohor” gitu (tertawa).”

(Sumber : Wawancara 15 mei 2015)

Dari penuturan informan 1 diatas bisa disimpulkan bahwa

pihak orang tua suami bersikap etnosentris dengan mengangung-

agungkan budaya Tionghoa yang menurutnya memiliki derajat

yang lebih tinggi dan menganggap budaya lain berada dibawah

budayanya. Lain halnya dengan sikap etnosentris yang

ditunjukan oleh informan 5, ketika ditanyakan mengenai ajaran

budaya apa yang paling ia ingat, informan 5 mengatakan bahwa

etnis Tionghoa lebih unggul di bidang ekonomi di banding etnis

Betawi, berikut penuturan informan 5 :

(Suami) : “Kalau ajaran di Tionghoa keluarga juga nomor

satu, begitupun di dunia kerja kalau ada lowongan

pekerjaan kalau bisa yang dikasih ya sanak saudara dulu,

makanya sering kita lihat di beberapa perusahaan milih

orang Tionghoa itu pegawainya ya keluarga semua.

Menurut saya etnis Tionghoa memang lebih unggul

dibidang ekonomi, lebih di didik untuk rajin dan bekerja

keras. Mungkin itu bedanya dengan orang Betawi ya.”

(Sumber : Wawancara Sabtu 23 Mei 2015)

Page 34: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

93

b) Stereotip

Sama halnya seperti etnosentrisme, stereotip juga muncul

pada tingkat ketidaksadaran. Ketidaksadaran ini mengakar pada

kecenderungan manusia untuk memisahkan antara “kita” dan

“mereka”. Stereotip berarti menggeneralisasi orang-orang

berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai

mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok

budaya (Mulyana, 2005:220). Ada banyak sikap stereotip yang di

temukan dalam penelitian ini, salah satunya seperti yang dikatakan

oleh istri informan 1 yang berasal dari budaya Betawi, walaupun ia

tidak merasa ada masalah dengan budaya Tionghoa namun ia

pernah mendengar dari orang tua yang menilai negatif tentang etnis

Tionghoa. Berikut penuturan dari informan 1:

(Istri) : “Pandangan seperti itu sih biasa memang ada ya

mba, saya sempat terekam sih omongan orang tua, orang

Tionghoa itu pelit, perhitungan sekali, susah membaur

sama masyarakat jadi agak tertutup gitu.”

(Sumber : Wawancara 15 Mei 2015)

Penilaian serupa mengenai etnis Tionghoa juga di sampaikan

oleh orangtua dari pihak istri informan 2 yang beretnis Betawi.

Pada saat menjelang pernikahan mereka susah sekali untuk

mendapatkan restu, ketika ditanyakan kepada orang tua apa

alasannya, orang tua memang tidak menjawab langsung, namun

istri dari informan 2 menuturkan bahwa di lingkungannya,

Page 35: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

94

stereotip mengenai Etnis Tionghoa masih sangat kuat, berikut

penuturan istri informan 2 :

(Istri) : “Ada saat ada pertentangan itu sih bapak ngga

bilang ya karena apa, cuman intinya ngga menyetujui, tapi

memang kalau di lingkungan saya ya ada saja anggapan

orang keturunan Tionghoa itu orangnya pelit, susah

membaur, jadi mau menang sendiri dengan modal uang yang

dia punya.”

(Sumber : Wawancara Senin 11 Mei 2015)

Stereotip sebagai faktor penghambat amalgamasi yang

ditemukan dalam penelitian ini bukan hanya berasal dari etnis

Betawi yang ditujukan pada etnis Tionghoa. Namun ada pula

stereotip yang di tujukan kepada etnis Betawi, seperti yang di

sampaikan oleh suami informan 5 yang berasal dari etnis

Tionghoa, ia mengaku sudah biasa mendengar anggapan-anggapan

negatif tentang etnis Betawi baik dalam keluarga maupun

lingkungan sekitar tetapi ia tidak mau untuk terlalu menanggapi

apalagi menjadikan anggapan-anggapan tersebut sebagai batasan

dalam memilih pendamping hidup.

(Suami) : “Saya juga tidak terlalu menanggapi omongan

atau anggapan-anggapan kayak begitu. Karena apa, yang

ada nanti terbukti kagak, bikin berantem iya. Kan begitu ya?

Ya emang begitu pasti ada lah selentingan-selentingan,

namanya kita hidup berdampingan, yang bilang Betawi

males, Betawi jor-joran kalo punya uang (boros), Betawi

gengsinya gede, tuh seperti itu.”

(Sumber : Wawancara Sabtu 23 Mei 2015)

Page 36: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

95

Tidak hanya informan 5, pihak istri dari informan 7 yang

berasal dari etnis Tionghoa juga mengakui hal yang sama, bahkan

ayahnya sendiri yang menasihati agar ia mencari jodoh orang

Tionghoa saja. berikut penuturan istri dari informan 7 :

(Istri) : “Papa saya sering bilang kalau orang Betawi itu

imagenya jelek. Seperti itu pemalas dan gengsian. Tidak

malu untuk meminta bantuan orang lain, intinya seperti tidak

mau berusaha sendiri jadi kalau bisa cari orang Tionghoa

saja.”

(Sumber : wawancara Rabu 10 Juni 2015)

c) Prasangka

Faktor penghambat dalam amalgamasi antara warga Etnis

Betawi dan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur selanjutnya

yang ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya yaitu

prasangka. Prasangka berarti penilaian berdasarkan pengalaman

terdahulu. Seperti halnya stereotip, prasangka juga umumnya

bersifat negatif dimana penilaian didasarkan pada stereotip yang

salah dan kaku. perbedaan prasangka dengan stereotip yaitu,

stereotip merupakan keyakinan (belief) sedangkan prasangka

merupakan sikap (attitude). Maka hubungan erat antara stereotip

dengan prasangka adalah prasangka merupakan akibat dari

stereotip dan lebih budah diamati dibanding stereotip. Ada

beberapa contoh prasangka yang ditemukan dalam penelitian ini,

salah satunya yang terjadi pada informan 2 berikut :

Page 37: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

96

(Istri) : “Kelihatan banget lah pokoknya dari sikap bapak

saya, ibu saya juga terlihat agak kurang sreg cuman ya

ngga sekeras bapak, dari yang dulu suka ikutan ngobrol

bareng terus jadi ngga, bahkan saya ngga dibolehin buat

ketemu, di wanti-wanti banget lah pokoknya. Ya sempet

frustasi juga, gimanapun saya pacaran udah bertahun-

tahun terus ga dapet restu tiba-tiba kan kaget ya. Ibu saya

tapi lama-lama mulai bisa nerima dan ada dipihak saya,

bantu nenangin, tapi bapak tetep kekeuh”

(Sumber : Wawancara Senin 11 Mei 2015).

Pada penuturan informan 2 diatas kita bisa melihat

perbedaan stereotip dengan prasangka, prasangka sudah masuk

pada tahap tindakan yang dicerminkan oleh perubahan sikap orang

tua pihak perempuan setelah mengetahui bahwa calon menantunya

adalah orang Tionghoa. Selain itu prasangka juga bisa dilihat

melalui tindakan menghindarkan diri dari etnis yang dianggap

tidak pantas, seperti yang di alami oleh pihak suami informan 1

saat menjelang pernikahan dan pihak orang tuanya tidak setuju ia

menikah dengan perempuan Betawi. Bahkan ia sempat hendak

dicarikan jodoh agar menikah dengan sesama Tionghoa. Berikut

penuturan informan 1 :

(Suami) : “Pokoknya menunjukan sikap tidak suka, malah

parahnya dulu saya sempat dicarikan jodoh oleh orangtua

saya yang seiman dan sama-sama orang Tionghoa.”

(Sumber : Wawancara 15 mei 2015)

Page 38: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

97

Untuk lebih memudahkan dalam menggambarkan amalgamasi

yang terjadi antara Warga Etnis Betawi dengan Etnis Tionghoa di

Kecamatan Gunung Sindur yang di temukan dalam hasil penelitian,

maka peneliti mencoba untuk menerangkannya dalam bentuk

matrik seperti berikut ini :

Page 39: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

98

Matrik IV.1

Amalgamasi Antara Warga Etnis Betawi dengan Tionghoa di

Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor

No Faktor

Amalgamasi

Bentuk Deskripsi

1 Pendukung Rasa saling

percaya

- Saling percaya bahwa hubungan tetap bisa

bertahan saat mengalami permasalahan

restu.

- Saling percaya bahwa pasangan yang dipilih

merupakan sosok ideal terlepas dari

stereotip yang menempel.

Sikap

Toleransi

- Menghormati dan menghargai tradisi

ataupun agama pasangan yang berbeda.

- Saling mengingatkan untuk beribadah bagi

pasangan yang berbeda kepercayaan.

Sikap Egaliter - Menganggap bahwa semua etnis memiliki

derajat yang sama.

- Menganggap semua ajaran budaya intinya

adalah sama yaitu mengajarkan kebaikan.

Partisipasi - Ikut merayakan tradisi budaya keluarga

besar pasangan.

- membantu menyiapkan keperluan hari raya

baik itu memasak atau merapihkan rumah.

2 Penghambat Etnosentrisme - Etnis Tionghoa mnganggap abunya lebih

tinggi daripada etnis Betawi.

- Etnis Tionghoa menganggap lebih unggul

dibidang bisnis.

- Etnis Betawi menganggap lebih terbuka

terhadap etnis lain

Stereotip - Etnis Tionghoa pelit

- Etnis Tionghoa tertutup dan sombong

- Etnis Tionghoa lebih memilih membantu

sesama Tionghoa.

- Etnis Betawi malas

- Etnis Betawi boros

- Etnis Betawi gengsinya besar

- Etnis Betawi tidak mau berusaha

Prasangka - Menghindarkan diri dari etnis lain dengan

mencarikan jodoh untuk anak.

- membicarakan stereotip etnis lain kepada

teman, kerabat atau keluarga sesama etnis.

Page 40: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

99

2. Asimilasi dalam Keluarga Amalgamasi Etnis Betawi-Tionghoa di

Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor

Menurut Koentjaraningrat (2002:255) asimilasi merupakan suatu

proses sosial yang terjadi pada golongan manusia dengan latar belakang

kebudayaan yang berbeda setelah bergaul secara intensif dan saling

bertoleransi, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-

golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan

campuran. Pada bagian ini peneliti akan mencoba untuk menguraikan

bagaimana persepsi masing-masing informan tentang asimilasi dan apa saja

bentuk-bentuk asimilasi yang di sebabkan oleh amalgamasi antara etnis

Betawi dan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.

Pada pihak istri dari informan 8 yang merupakan keturunan etnis

Tionghoa mengatakan bahwa ia setuju saja dengan istilah asimilasi, namun

ia juga menegaskan bahwa dalam asimilasi tersebut tidak selalu berarti

kaum minoritas tertindas oleh kaum mayoritas. Ia juga merasa lebih senang

disebut sebagai orang Indonesia daripada orang Tionghoa, ia berpendapat

bahwa nasionalisme seseorang itu bukan dilihat dari agama atau etnisnya

tapi dari seberapa besar kecintaannya pada negara. Berikut penuturan

informan 8 :

(Istri) : “Pembauran sah-sah saja asalkan tidak seperti jaman

orba, kaum minoritas benar-benar tertindas sampai disuruh

ganti nama segala macam. Ngga tau ya saya bangga aja kalau

orang bilang saya orang Indonesia bukan orang Tionghoa. Saya

lahir disini, saya juga keturunan keberapa ngga kenal juga yang

di Tiongkok siapanya saya, saya juga ngga bisa bahasa

Page 41: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

100

mandarin, mungkin saya juga nanti matinya disini. Pembauran

kalo pihak yang mau membaur sudah cocok juga akan terjadi

sendiri ngga usah dipaksa-paksa, ya melalui perkawinan ini

contohnya”

(Sumber : Wawancara Sabtu 13 Juni 2015)

Dari penuturan Informan 8 tersebut dapat kita simpulkan bahwa

amalgamasi merupakan sarana asimilasi yang efektif. Karena melalui

sebuah amalgamasi, asimilasi budaya berlangsung tanpa menyebabkan

pihak-pihak yang terlibat merasa dipaksa untuk membaur.

Berbeda dengan yang dikatakan oleh istri informan 8 yang berasal dari

Etnis Tionghoa, istri informan 2 yang berasal dari Etnis Betawi justru

menilai bahwa masyarakat Tionghoa yang ada di sekitar terlalu menutup

diri terhadap masyarakat pribumi dan hal tersebut yang menyebabkan

masyarakat pribumi menjadi tidak begitu suka dengan orang Tionghoa :

(Istri) : “Ya memang saya liatnya mereka agak tertutup, tapi

nggak tau juga sebabnya apa, atau memang bawaannya seperti

itu. Ya kurang membaur lah intinya. Misalnya ngga kenal sama

tetangga pun ya seenggaknya permisi atau nyapa apa lah gitu

sepantasnya, tapi kebanyakan ngga ya. mungkin itu yang bikin

orang asli sini jadi ngga begitu suka dengan keturunan

Tionghoa, bagaimanapun kan disini mayoritasnya masyarakat

Betawi, harapannya ya lebih menghormati atau mau

bergandengan bersama-sama lah.. tapi tegantung dari

orangnya juga, Cuma kebanyakan ya kayak gitu dek.”

(Sumber : Wawancara Senin 11 Mei 2015)

Page 42: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

101

Berbeda dengan pendapat kedua informan beda budaya sebelumnya di

atas, suami informan 1 yang berasal dari Etnis Tionghoa berpendapat bahwa

asimilasi sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Ia mengakui bahwa ia bukan

murni orang Tionghoa. Amalgamasi yang telah dilakukan oleh generasi

sebelumnya telah membuatnya mewarisi „darah‟ Betawi. Berikut penuturan

suami informan 1 :

(Suami) : “Sebelum saya ya sudah ada yang menikah dengan

orang Betawi, Bapaknya engkong (kakek) saya itu dulu

nikahnya sama orang Betawi asalnya Cisauk. Bibi saya juga

ada yang nikah sama laki-laki Betawi. Bukan saya yang

pertama.

(Sumber : Wawancara 15 Mei 2015)

Suami dari informan 1 juga menuturkan bagaimana cara ia

menempatkan diri didalam lingkungan saat ini dimana mayoritas

masyarakatnya adalah orang Betawi. Berikut penuturan informan 1 :

(Suami) : “Ya yang penting sadar dan bisa menempatkan diri,

kita lagi ada dimana kan kita tau mayoritas orang Betawi, jadi

harus mampu bergaul, kalo ada kegiatan apa, rapat apa, ya

sebisa mungkin saya sempetin jangan sampe lah menutup diri

kaya yang orang-orang nilai tentang kami. Kalau menurut saya

saya cocok dengan orang Betawi, humoris jadi saya senang.”

(Sumber : Wawancara 15 Mei 2015)

Selain itu, asimilasi antara dua kebudayaan yang terlihat dalam

perkawinan campuran juga di benarkan oleh US selaku informan 9 sebagai

pemilik kesenian gambang kromong Gaya Baru :

Page 43: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

102

“Ya bukan Cuma orang Tionghoa aja, kalau dia nikahnya sama

orang Betawi ya tetep nanggap gambang kok, alat-alat juga

ngga cuma orang Tionghoa yang bisa pake, banyak juga

karyawan saya orang Betawinya. ya yang nyanyi ya yang main

musik. sekarang kan udah lebih modern aransemennya, lagunya

juga bahasa indonesia kalau dulu kan bahasa mandarin ya”

(Sumber : Wawancara Jumat 19 Juni 2015)

Gambar IV.8

Kesenian Gambang Kromong dan Tari Cokek

Selain dari segi hiburan, hasil asimilasi antara etnis Betawi dan

Tionghoa yang terlihat dalam prosesi pernikahan adalah digunakannya

petasan renceng dalam prosesi pernikahan di Kecamatan Gunung Sindur.

Hal tersebut merupakan suatu keharusan, petasan di nyalakan saat pihak

besan tiba dikediaman mempelai wanita. Petasan yang digunakan biasanya

berbentuk renceng dan digantung pada sebuah pohon atau tiang bambu. Jika

di telisik lebih jauh ternyata petasan yang terbuat dari bubuk mesiu awalnya

berasal dari negeri Cina seperti yang dijelaskan oleh informan 9 :

“....salah satunya tradisi masang petasan itu, kalau besan

datang baru deh tuh mulai bunyi “jedar-jedor”. Mungkin

banyak yang ngga tau petasan itu asalnya dari Cina dibuatnya

pakai bubuk mesiu, orang cina sering pakai itu waktu perang

zaman dulu. Nah karena dulu rumah warga itu satu sama lain

Page 44: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

103

berjauhan dipakelah petasan buat alat komunikasi supaya

orang-orang tau kalau ada yang sedang pesta/ hajat. Sampai

sekarang kalau ada bunyi petasan berentetan masyarakat sini

udah pasti spontan bilang “itu dirumah siapa yang hajatan?”.

(Sumber : Wawancara Jumat 19 Juni 2015)

Gambar IV.9

Petasan Renceng di Pasang Saat Hajatan Perkawinan

Asimilasi akibat amalgamasi tanpa membeda-bedakan etnis juga

dialami oleh informan 7 dimana suami merupakan keturunan Betawi dan

istri merupakan keturunan Etnis Tionghoa, pihak suami menuturkan

walaupun dahulu saat menjelang perkawinan hubungannya dengan pihak

orang tua istri sempat tidak baik, namun saat ini seiring berjalannya waktu

dan setelah saling mengenal satu sama lain hubungan tersebut menjadi

sangat baik. Walaupun beda budaya tetapi mereka tetap saling bantu dan

kompak. Berikut penuturan suami informan 7 :

(Suami) : “Sekarang beda ngga kayak dulu lagi, kalau kami

kesusahan atau diantara kami ada yang sakit, mertua saya

perhatian sekali. Karena papanya istri saya masih sangat

memegang ajaran Tionghoa, dalam hal kesehatanpun ia selalu

Page 45: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

104

menasihati agar kami minum obat herbal saja. Kalau dateng

kerumah yang di bawa ya rempah jamu godok itu jadi kami ya

terbiasa juga hidup sehat karena di ajarkan mertua”

(Sumber : Wawancara Rabu 10 Juni 2015)

Asimilasi sebagai hasil dari aktivitas pertukaran dalam amalgamasi

yang efektif ditandai dengan sikap saling menghargai satu sama lain. Hal

tersebut yang disebut oleh Kristina Maharani (dalam Sa‟dun, 1999:51)

sebagai konsep asimilasi Salad Bowl yang prinsipnya tetap menjaga

keberagaman etnis, berbeda dengan konsep asimilasi Melting Pot yang

terjadi pada masa orde baru dimana konsep tersebut menuntut peleburan

total kaum minoritas (pendatang) dengan kaum mayoritas (pribumi).

Konsep Salad Bowl menyatakan bahwa pluralisme budaya yang

mengukuhkan kebhinekaan etnis merupakan suatu kemandirian dan

kemerdekaan individu. Seperti yang terjadi pada informan 1 berikut :

(Suami) : “Pembauran dalam kehidupan sehari-hari saya rasa

sangat banyak, dan ngga sedikit juga yang mungkin terjadi

tanpa kita sadari. Contohnya makanan khas Tionghoa seperti

kue keranjang, kita kalau Idul Fitri juga pasti sedia. Banyak,

bahasa-bahasa kadang kita nyebut nominal uang juga ya masih

pakai cara orang Tionghoa kayak misalnya captun, cepeh,

gopeh, goceng, ceban, gocap, cetiaw, itu bahasa Tionghoa tapi

ngga kerasa ya dipake aja buat sehari-hari. Anak saya manggil

sodara yang dari keluarga saya juga kokoh, cicik, encim,

engkong, kayak gitu kan pembauran masuknya, tapi budaya

Betawi juga tetap kami jaga ya.” (Sumber : Wawancara Jumat

15 Mei 2015)

Page 46: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

105

Gambar IV.10

Kue Keranjang Khas Tionghoa Selalu di Sajikan Saat Idul Fitri

Dari semua penuturan informan terkait asimilasi yang terjadi dalam

amalgamasi di atas, dapat disimpulkan bahwa informan dari etnis Tionghoa

sebagai kaum pendatang memaknai asimilasi sebagai suatu proses yang

seharusnya berlangsung alami, mereka setuju bahwa dengan jalan

amalgamasi inilah asimilasi bisa terjadi tanpa adanya unsur pemaksaan

apalagi politisasi. Pergaulan secara intensif yang didasari sikap saling

menghargai dalam keluarga amalgamasi merupakan cara efektif untuk

mencapai titik asimilasi.

Page 47: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

106

Matrik IV.2

Bentuk Asimilasi dalam Keluarga Amalgamasi Etnis Betawi-Tionghoa di

Kecamatan Gunung Sindur

No Bentuk Deskripsi

1 Bahasa Bahasa Betawi Bahasa Tionghoa Arti

Gua

Engkong

Sue

Kongko

Cepe

Gope

Pangkeng

Topo

Goa

Eng-Kon

Soe

Kong-Kou

Cit-Peh

Gou-Peh

Pan-Keng

Toh-Pou

Saya

Kakek

Naas/Sial

Ngobrol

Seratus

Lima Ratus

Ranjang

Lap/Kain Pel

2 Makanan - Kue keranjang khas Tionghoa yang selalu disajikan di setiap hari

Idul fitri oleh masyarakat Betawi.

- Ketupat khas masyarakat pribumi ikut di sajikan saat acara besar

Tionghoa seperti saat perayaan Cap Go Meh atau Imlek.

- Kue Pek Cun / Bak Cang dan Kue Ku / Bak Pao menjadi makanan

sehari-hari baik orang Tionghoa maupun Betawi dan dijajakan oleh

penjual keliling setiap pagi / waktu sarapan

- Saat Imlek masyarakat Betawi ikut mengolah masakan berbahan ikan

bandeng seperti yang dilakukan masyarakat Tionghoa.

3 Tradisi - Tradisi menyambangi makan leluhur sebelum hari raya atau hari

besar lainnya, untuk sekedar mengirim doa atau membersihkan

makam. Dalam tradisi Betawi disebut “Nyekar” dalam Tionghoa di

sebut “Cheng Beng.

4 Kesenian - Gambang Kromong, Tari Cokek, Palang Pintu dan Petasan Besan.

5 Pakaian - Kebaya Encim, baju kebaya Betawi yang di modifikasi dengan

unsur-unsur Tionghoa, dengan ujung bawah baju yang lancip dan

bahan yang sangat halus. Kebaya Encim dulunya hanya di pakai oleh

“Nyai” atau Istri dari lelaki keturunan Tionghoa, namun saat ini

semua kalangan bisa memakainya.

- Baju Sadayan (Baju Si Pitung), baju luaran merah dengan baju dalam

berupa kaos putih polos biasanya di padukan dengan kopiah, kain

sarung di bahu dan golok yang menempel pada ikat pinggang.

Page 48: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

107

C. Pembahasan

Kondisi masyarakat yang multikultural di Kecamatan Gunung Sindur

menjadi suatu hal yang patut dijaga kelestariannya terlebih karena mereka

semua hidup berdampingan dengan harmonis. Hal tersebut tentu akan menjadi

kebanggan dan modal sosial tersendiri karena berarti masyarakat didaerah

tersebut paham akan nilai dan norma yang berlaku dan bisa saling

menghormati dan menghargai satu sama lain. Sudah ratusan tahun masyarakat

Etnis Tionghoa mendiami daerah Gunung Sindur dan hidup bersama-sama

dengan penduduk asli yang beretnis Betawi. Walaupun masyarakat Tionghoa

berstatus sebagai pendatang dan minoritas, tapi mereka tidak hidup terpencil di

suatu titik, mereka tinggal di pusat-pusat perdagangan yang berdekatan dengan

aktivitas masyarakat seperti di dekat pasar, pertokoan, pinggir jalan utama dan

wilayah ramai lainnya yang memudahkan mereka untuk membaur dengan

masyarakat pribumi. Hal ini diperkuat dengan berbagai ritual sosial tegur sapa

dan tolong menolong pada berbagai kegiatan. Kenyataan ini semakin

memungkinkan terjadinya hubungan sosial yang paling intens yaitu

amalgamasi atau perkawinan antar etnis.

Keluarga merupakan skala lembaga yang paling kecil, keluarga

amalgamasi bisa kita sebut sebagai sebuah arena sosial yang menjadi ruang

bagi proses dialog komunikatif antaretnis dalam upaya asimilasi kultural. Di

dalam suatu keluarga amalgamasi, interaksi dan komunikasi antarbudaya

berlangsung terus menerus baik yang disadari atau tidak. Karena latar belakang

budaya masing-masing berbeda, tentunya akan terdapat sistem nilai, norma,

Page 49: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

108

hukum, dan tujuan hidup yang berbeda pula, maka cara dari masing-masing

individu dalam berinteraksi dan berkomunikasi dalam keluarga amalgamasi

akan sangat tergantung oleh budaya yang dibawa dan dipegang olehnya.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori pertukaran sosial

George Caspar Homans untuk menganalisis fokus penelitian yaitu amalgamasi

yang terjadi antara warga etnis Betawi dengan Tionghoa di Kecamatan Gunung

Sindur Kabupaten Bogor. Pertukaran sosial yang dijelaskan oleh Homans

bertumpu pada asumsi bahwa seseorang terlibat dalam suatu perilaku dengan

tujuan untuk meperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Rumus dalam

teori pertukaran ini adalah keuntungan psikis sama dengan suatu ganjaran yang

dikurangi oleh ongkos. Menurut Homans tidak akan ada pertukaran yang

berlangsung jika kedua belah pihak tidak saling menguntungkan. Homans

mengatakan bahwa rahasia pertukaran sosial antara manusia yang efektif

adalah dengan adanya keharusan untuk memberikan perlakuan kepada orang

lain melebihi dari dirinya sendiri dan jika seseorang tersebut telah

mengeluarkan ongkos (usaha) yang lebih kepada orang lain maka seseorang

tersebut akan mendapatkan perlakuan yang lebih berharga (atau setimpal) dari

orang lain tersebut (Homans dalam Zeitlin 1995:100). Dalam kasus

amalgamasi hal tersebut sudah pasti terjadi, terlebih latar belakang budaya

(nilai, norma, dan tradisi) dari masing-masing individu berbeda, maka peneliti

berusaha untuk mengkaji lebih dalam amalgamasi antara etnis Betawi-

Tionghoa yang terjadi di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor dengan

menggunakan teori pertukaran sosial dan proposisi-proposisi fundamentalnya.

Page 50: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

109

Alasan Terjadinya Amalgamasi Antara Etnis Betawi dengan Tionghoa

di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor di dasari oleh tiga alasan,

alasan yang pertama adalah alasan latar belakang pekerjaan dimana pasangan

amalgamasi sama-sama bekerja di tempat yang sama, mereka bertemu secara

intens hingga akhirnya saling akrab dan menjalin hubungan. Alasan yang

kedua didasari oleh keadaan saling ketergantungan antara individu satu dengan

lainnya, hal ini mengandung pengertian bahwa seseorang melakukan

amalgamasi karena mereka saling membutuhkan, dalam penelitian ini alasan

saling ketergantungan yang di temukan adalah adanya kepercayaan dan

keinginan pihak orang tua dari etnis Betawi untuk mewariskan bidang usaha

yang dimilikinya kepada menantunya yang beretnis Tionghoa karena orang

Tionghoa di anggap lebih jeli dalam berbisnis dan dengan begitu usaha tersebut

diyakini akan berkembang pesat, sebaliknya dari sisi pasangan yang beretnis

Tionghoa hal tersebut merupakan suatu kesempatan besar karena ia bisa

menerapkan kemampuannya dalam mengelola bisnis dengan mudah tanpa

harus memulai usaha dari awal. Selain itu ditemukan pula alasan saling

ketergantungan dalam faktor usia, beberapa pasangan memilih untuk menikah

dengan pasangannya karena usianya yang terbilang sudah tidak muda lagi dan

sudah sepantasnya menikah, dalam kasus ini pasangan yang awalnya tidak

direstui oleh pihak orang tua lambat laun mendapatkan restu karena orang tua

menyadari bila anak mereka tidak segera menikah maka akan berdampak pada

masalah lainnya seperti munculnya cibiran dari tentangga yang dapat menjadi

beban tersendiri bagi orang tua. Alasan amalgamasi yang ketiga adalah alasan

Page 51: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

110

ketertarikan fisik yang menyebabkan pasangan menjadi suka sama suka, ada

banyak hal yang mendasari alasan ini, misalnya orang dari Etnis Betawi yang

tertarik dengan orang Tionghoa karena fisiknya yang putih bersih sehingga

senang untuk melihatnya dan ingin dijadikan pasangan atau sebaliknya orang

Tionghoa yang tertarik dengan orang yang beretnis Betawi karena

pembawaannya yang humoris dan luwes sehingga ia merasa tertarik untuk

menjadikan orang tersebut sebagai pasangan hidupnya, hal-hal yang ditemukan

tersebut sangat bergantung pada masing-masing sudut pandang informan.

Dalam pembahasan mengenai alasan terjadinya amalgamasi antara

etnis Betawi dengan Tionghoa di Kecamatan Gunung Sindur ini, peneliti

melihat adanya hubungan pertukaran yang baik dari kedua etnis. Amalgamasi

yang berdasarkan atas alasan latar belakang pekerjaan termasuk ke dalam

proposisi sukses dimana kedua individu sama-sama bekerja pada tempat yang

sama, mereka bertemu sangat sering dan dari intensitas pertemuan tersebut

mereka menjadi saling mengenal satu sama lain. Jika pasangan dengan latar

belakang pekerjaan yang sama berhasil menuju jenjang perkawinan berarti

mereka telah sukses dalam melewati pola keseimbangan antara usaha dan

imbalan, dimana tindakan atau usaha yang dilakukan sama-sama seimbang

dengan ganjaran atau reward yang didapatkan sehingga pasangan tersebut

merasa nyaman dan berlanjut ke jenjang perkawinan

Selanjutnya amalgamasi yang didasari oleh alasan saling

ketergantungan juga merupakan salah satu contoh proposisi sukses yang di

ikuti dengan proposisi stimulus dan proposisi nilai. Termasuk proposisi sukses

Page 52: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

111

karena didalamnya terdapat pertukaran yang saling menguntungkan dimana

kedua pihak bisa saling memenuhi kebutuhannya melalui pertukaran tersebut,

pihak dari etnis Betawi merasa jika anaknya menikah dengan orang Tionghoa

maka usaha bisnisnya akan bisa dikelola dengan baik kedepannya dan

sebaliknya dari sisi pasangan yang beretnis Tionghoa hal tersebut merupakan

suatu kesempatan besar karena ia bisa menerapkan kemampuannya dalam

mengelola bisnis dengan mudah tanpa harus memulai usaha dari awal.

Proposisi sukses juga terjadi pada kasus kedua dimana orang tua dari pihak

perempuan Betawi lambat laun merestui hubungan anaknya dengan orang

Tionghoa karena usianya sudah sangat cukup untuk menikah dan orang tua

khawatir jika tidak segera menikah maka akan timbul cibiran dari tetangga,

sebaliknya dari sisi lelaki Tionghoa hal tersebut merupakan suatu kebetulan

karena ia yang berstatus duda sedang mencari pendamping untuk mengurus

dan mendampinginya hingga masa tua. Proposisi nilai yang tercermin di atas di

ikuti oleh proposisi stimulus, proposisi stimulus disini yaitu cara yang

digunakan oleh seseorang agar tindakannya menghasilkan ganjaran yang sesuai

seperti apa yang seseorang tersebut inginkan dimana hal tersebut merupakan

hasil pembelajaran dimasa lalu. Dalam proposisi stimulus ini pasangan yang

saling tergantung dan saling membutuhkan satu sama lain pasti akan sama-

sama berusaha untuk saling menghargai dan bersikap baik terhadap

pasangannya. Proposisi sukses dan proposisi stimulus diatas di ikuti pula oleh

proposisi nilai dimana seseorang mulai bisa membedakan mana yang penting

untuk ia lakukan dan mana yang seharusnya dihindari hal ini tercermin dari

Page 53: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

112

tindakan pelaku amalgamasi yang menganggap bahwa sikap saling menghargai

dan saling menerima perbedaan merupakan cara terbaik untuk merekatkan

hubungan antara dua etnis yang berbeda tersebut daripada terus terpaku pada

sikap etnosentrisme yang sebelumnya di anut, pelaku amalgamasi telah saling

menyadari bahwa bersikap etnosentris hanya akan membuat jurang perbedaan

menjadi semakin lebar.

Selain alasan terjadinya amalgamasi, peneliti juga berusaha untuk

melihat asimilasi yang terjadi dalam keluarga amalgamasi di Kecamatan

Gunung Sindur dengan menggunakan proposisi Homans. Asimilasi yang

terjadi dalam keluarga amalgamasi termasuk ke dalam proposisi sukses, karena

asimilasi tersebut bisa terjadi karena semua pelakunya memiliki sikap saling

menghargai dan bersikap egaliter atau memandang bahwa semua etnis

memiliki derajat yang sama sehingga pembauran bisa dengan mudah terjadi.

Hal tersebut di ikuti pula oleh proposisi stimulus. Pasangan

amalgamasi yang pernah mengalami masalah susahnya mendapat restu dimasa

lalu saat belum menikah merasa bahwa sikap saling menghargai dan bersikap

egaliter memiliki banyak manfaat karena dengan sikap tersebut ia berhasil

mengantongi restu untuk menikah, maka ia akan terus menerapkan sikap

tersebut saat ia telah berumah tangga dengan harapan segala perbedaan yang

ada akan tersamarkan, hal tersebut di iringi dengan usaha untuk selalu

berpartisipasi dalam acara-acara keluarga, berusaha sebisa mungkin untuk

melibatkan diri dengan keluarga pasangan, saling memberi pemahaman tentang

Page 54: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

113

tradisi dan budaya masing-masing, maka dengan cara seperti itu maka asimilasi

akan dengan mudah tercapai.

Pelaku amalgamasi dalam hal asimilasi secara tidak langsung juga

telah melalui proposisi nilai, dimana ia lebih memilih untuk mendasarkan

tindakannya pada perilaku-perilaku yang mengarah pada penyatuan ketimbang

hal-hal yang destruktif yang dapat merusak hubungan antar kedua etnis.

Pada beberapa kasus, ada beberapa pelaku amalgamasi yang

mengalami proposisi deprivasi atau proposisi kejemuan dalam

memperjuangkan asimilasi, hal ini terjadi karena usaha yang dilakukan tidak

diimbangi dengan ganjaran yang diinginkan. Dalam penelitian ini ditemukan

kasus dimana etnis Tionghoa dianggap oleh etnis Betawi sebagai etnis yang

susah membaur dan tidak bisa hidup bermasyarakat. Seseorang dari etnis

Betawi mengaku bahwa ia telah berusaha terus menerus menciptakan

hubungan yang baik, hal tersebut dilakukan dengan cara menyapa, memberi

senyum ketika berpapasan, dan bahkan membantu ketika orang Tionghoa

tersebut mengalami kesusahan. Namun, ganjaran yang di harapkan bahwa ia

akan balik disapa, disenyumi, di bantu ketika susah tidak kunjung di dapatkan,

maka orang yang Berasal dari etnis Betawi tersebut merasa jenuh akan

usahanya yang tidak dihargai tersebut hingga akhirnya berhenti untuk

berusaha.

Hal ini berlanjut pada proposisi restu agresi dimana jika seseorang

tidak mendapatkan ganjaran seperti apa yang ia harapkan maka ia akan

cenderung afresif dan marah, hasil dari perilaku agresif dan marah tersebut

Page 55: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah

114

justru dirasa lebih bernilai baginya. Hal ini terjadi pada kasus sebelumnya,

dimana orang Betawi yang merasa jenuh karena tindakannya tidak mendapat

balasan seperti yang ia harapkan merubah sikapnya menjadi acuh dan tidak

peduli apapun yang menimpa orang yang beretnis Tionghoa tersebut, hingga

akhirnya orang dari etnis Tionghoa tersebut merasa ada yang salah dalam

dirinya yang menyebabkan pasangannya berubah sikap dan ia berusaha untuk

mengintrospeksi diri serta memperbaiki sikapnya yang selama ini dinilai terlalu

individualis. Dalam hal ini, proposisi restu agresi berusaha untuk melihat

bahwa kekecewaan yang di tunjukan bisa membawa hubungan seseorang ke

arah yang lebih baik karena masing-masing menjadi mengetahui maksud dan

penyebab sikap seseorang berubah. Jika pelaku dari etnis Betawi tidak

menunjukan kekecewaannya, tidak menutup kemungkinan bahwa jarak antara

kedua orang tersebut akan terus ada.