Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Sistem Rujukan Berjenjang di Indonesia
Permasalahan kesehatan menjadi fokus utama pemerintah dalam
memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat yang tercantum di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 34
ayat (3) yaitu “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Karena
kesehatan merupakan kebutuhan primer manusia untuk menjalankan fungsi
dan peranannya sehingga mampu memperoleh kesejahteraan, dan menjadi
hak bagi setiap warga negara. Namun ketidak merataan akses pelayanan
kesehatan di setiap daerah menyebabkan tidak banyak masyarakat yang
mendapatkan fasilitas pelayanan yang memadai. Sehingga pada tahun 2000
dikeluarkanlah konsep pengembangan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang
kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Yang kemudian didalamnya
terdapat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai salah satu dari beberapa
program unggulan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia.
Istilah jaminan kesehatan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2016 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
34
(disingkat Perpres Jamkes)28
menjelaskan bahwa dalam pasal 1 angka 1
Perpres Jamkes adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan dan
perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah.29
Jaminan kesehatan nasional diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, serta bersifat pelayanan
perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencangkup pelayanan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.30
Selain itu melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang
dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena menderita
sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, dan memasuki usia
lanjut atau pensiun. Sehingga untuk mendukung pelaksanaan program
tersebut pemerintah membentuk suatu badan penyelenggara sistem jaminan
sosial nasional yang kemudian disahkan pada tanggal 29 oktober 2011 dan
dirumuskan kedalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
28
Andika wijaya, Hukum Jaminan Sosial Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018),
halaman 47. 29
Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2016 tentang
perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan. 30
Nugrahen Hermien i, Tri Wiyatini, & Irmanita Wiradona, Kesehatan Masyarakat dalam
Determinan Sosial Budaya, (Jogjakarta: Grup penerbit CV Budi Utama 2018), halaman 183.
35
BPJS Kesehatan hadir sebagai sebuah badan hukum pemerintah yang
memiliki tugas khusus yaitu menyelenggarakan jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri
Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis
Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat
biasa. Dan bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian
jaminan kesehatan yang layak bagi setiap peserta dan/ atau anggota
keluarganya. Badan publik ini terbentuk berdasarkan hasil transformasi dari
PT Askes (Persero) yang pelaksanaannya mulai diberlakukan pada tanggal 1
Januari 2014.
Untuk mengatur mekanisme penyelenggaraannya sistem rujukan,
kementrian kesehatan Republik Indonesia kemudian mengeluarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Kemudian untuk
membantu dalam pelaksanaannya tentang sistem rujukan berjenjang
Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui Menteri Kesehatan
yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan Nasional.
Sistem rujukan berjenjang memiliki arti penting meliputi alih tanggung
jawab meningkatkan pelayanan ke tempat yang lebih tinggi sehingga
36
penangannya menjadi lebih adekuat.31 Dalam pelaksanaannya sistem rujukan
berjenjang mengatur pelimpahan tugas secara timbal balik vertikal maupun
horizontal, dari fasilitas kesehatan tingkat pertama ke fasilitas kesehatan
tingkat lanjut secara berjenjang. Sistem rujukan berjenjang wajib dilaksanakan
oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial, dan seluruh
fasilitas kesehatan (Kemenkes Republik Iindonesia, 2013). Sistem rujukan
rujukan berjenjang pelayanan kesehatan dalam arti luas merupakan upaya dari
Pemerintah untuk menjamin terlaksananya pelayanan keseahatan yang baik
bagi masyarakat secara berjenjang sehingga pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dapat ditingkatkan memenuhi konsep yang lebih menyeluruh dan
tepat sasaran. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 tentang
Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, pelayanan kesehatan
perorangan terdiri dari 3 tingkatan, yaitu pelayanan kesehatan tingkat
pertama, pelayanan kesehatan tingkat kedua dan pelayanan kesehatan tingkat
ketiga. Dalam pelaksannannya sebagaimana dijelaskan dalam pasal 4 ayat (1)
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, pelayanan sistem
rujukan dilaksanakan secara berjanjeng, sesuai dengan kebutuhan medis
mulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama hingga pelayanan kesehatan
tingkat lanjut.
31
Ida Bagus Gde Manuaba, Kapita selekta penatalaksanaan rutin obstetri, ginekologi,
dan KB, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001), halaman 46.
37
Pada dasarnya, dalam prosedur pelaksanaanya fasilitas pemberi pelayanan
kesehatan pengirim rujukan harus dijelaskan alasan-alasan rujukan sebagai
berikut:
a) Alasan rujukan kepada para pasien atau keluarga;
b) Komunikasi dengan fasilitas kesehatan yang dituju sebelum merujuk;
c) Surat rujukan hasil diagnosis pasien di lampirkan;
d) Pencatatan pada register dan pembuatan laporan rujukan;
e) Stabilisasi keadaan umum pasien, dan dipertahankan selama dalam
perjalanan;
f) Pendampingan pasien oleh tenaga kesehatan;
g) Surat rujukan kepada pihak-pihak yang berwenang di fasilitas pelayanan
kesehatan diserahkan di tempat rujukan;
h) Surat rujukan pertama harus berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan
primer, kecuali dalam keadaan darurat; dan
i) Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Askes, Jamkesmas, Jamkesda,
SKTM dan badan penjamin kesehatan lainnya tetap berlaku.
Adapun prosedur sarana kesehatan penerima rujukan adalah:
a) Untuk menerima rujukan pasien dan membuat tanda terima pasien;
b) Untuk mencatat kasus-kasus rujukan dan membuat laporan penerimaan
rujukan;
c) Untuk mendiagnosis dan melakukan tindakan medis yang diperlukan,
serta melaksanakan perawatan disertai catatan medik sesuai ketentuan;
38
d) Untuk memberikan informasi medis kepada pihak sarana pelayanan
pengirim rujukan;
e) Untuk membuat surat rujukan kepada sarana pelayanan kesehatan lebih
tinggi dan mengirim tembusannya. kepada sarana kesehatan pengirim
pertama;
f) Untuk membuat rujukan balik kepada fasilitas pelayanan perujuk bila
sudah tidak memerlukan pelayanan medis spesialistik atau subspesialistik
dan setelah kondisi pasien;
Macam-macam rujukan menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri
dari:
a) Rujukan internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar
unit pelayanan di dalam institusi tersebut. Misalnya dari jejaring
puskesmas (puskesmas pembantu) ke puskesmas induk.
b) Rujukan eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit
dalam jenjang pelayanan kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas
rawat jalan ke puskesmas rawat inap) maupun vertikal (dari puskesmas
ke rumah sakit umum daerah).
Menurut lingkup pelayanannya, sistem rujukan terdiri dari :
a) Rujukan medik adalah rujukan pelayanan yang terutama meliputi
upaya penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya,
merujuk
b) Pasien puskesmas dengan penyakit kronis seperti (jantung koroner,
hipertensi, diabetes mellitus) ke rumah sakit umum daerah.
39
c) Rujukan kesehatan adalah rujukan pelayanan yang umumnya
berkaitan dengan upaya peningkatan promosi kesehatan (promotif) dan
pencegahan (preventif). Contohnya, merujuk pasien dengan masalah
gizi ke klinik konsultasi gizi (pojok gizi puskesmas), atau pasien
dengan masalah kesehatan kerja ke klinik sanitasi puskesmas.
d) Rujukan secara konseptual terdiri atas:
1. Rujukan upaya kesehatan perorangan yang pada dasarnya
menyangkut masalah medik perorangan yang antara lain
meliputi:
a. Rujukan kasus untuk keperluan diagnostik, pengobatan,
tindakan operasional dan lain-lain.
b. Rujukan bahan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium
klinik yang lebih lengkap.
c. Rujukan ilmu pengetahuan antara lain dengan mendatangkan
atau mengirim tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk
melakukan tindakan, memberi pelayanan, ahli pengetahuan dan
teknologi dalam meningkatkan kualitas pelayanan.
2. Rujukan upaya kesehatan masyarakat pada dasarnya menyangkut
masalah kesehatan masyarakat yang meluas meliputi:
a) Rujukan sarana berupa antara lain bantuan laboratorium
dan teknologi kesehatan.
b) Rujukan tenaga dalam bentuk antara lain dukungan tenaga ahli
untuk penyidikan sebab dan asal- usul penyakit atau
40
kejadian luar biasa suatu penyakit serta penanggulangannya
pada bencana alam, gangguan kamtibmas, dan lain-lain.
c) Rujukan operasional berupa antara lain bantuan obat, vaksin,
pangan pada saat terjadi bencana, pemeriksaan bahan
(spesimen) bila terjadi keracunan massal, pemeriksaan air
minum penduduk, dan sebagainya.
d) Dari puskesmas ke instansi lain yang lebih kompeten baik
intrasektoral maupun lintas sektoral.
e) Bila rujukan di tingkat kabupaten atau kota masih belum
mampu menanggulangi, bisa diteruskan ke provinsi atau pusat.
Seperti yang telah diuraikan di atas, dalam pengaturan sistem rujukan
berjenjang di Indonesia terdapat dua pengaturan yang mengatur yaitu secara
khusus tentang sistem rujukan perorangan di atur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan dan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan
Nasional.
Sejak dilaksanakan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2014,
sebagai upaya pemerintah untuk menjamin kesehatan pada masyarakat
Indonesia banyak perubahan yang terjadi dalam sistem pelayanan kesehatan.
Jaminan kesehatan nasional (JKN) telah meningkatkan akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan. Targetnya adalah semua warga negara
tercangkup ke seluruh sistem pelayanan kesehatan.
41
Jaminan kesehatan nasional (JKN) menerapkan sistem pelayanan
kesehatan berjenjang.32
Dimana sistem tersebut terdiri dari fasilitas kesehatan
tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) yang
terdiri dari pelayanan kesehatan tingkat kedua (sekunder) dan pelayanan
kesehatan tingkat ketiga (tersier).33
Pasien yang ingin mendapatkan pelayanan
kesehatan harus menyesuaikan dengan sistem berjenjang tersebut. Pasien
tidak bisa langsung mendapatkan pelayanan di FKTL, namun melewati
proses berjenjang dengan sistem rujukan.34
Dalam pelaksanaanya, berdasarkan buku panduan praktis BPJS (2014)
ada beberapa ketentuan umum sistem rujukaan, antara lain sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum Sistem Rujukan Berjenjang
a. Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:
1) Pelayanan kesehatan tingkat pertama;
2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
3) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
b. Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan
dasar yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.
c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan
spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi
32
Thabrany, H, Setiawan, E. Report of the Study on Referral Care. (Jakarta: Universitas
Indonesia 2016). 33
Darmawan, RI, Thabrany, H. Refleksi Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada
Pelayanan Dokter Gigi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Kota Tangerang Tahun 2017.
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Volume 06, Nomor 04, Desember 2017. 34
Dahlan, M, Setyopranoto, I, Trisnantoro, L. Evaluasi Implementasi Program Jaminan
Kesehatan Nasional terhadap Pasien Stroke di RSUP Dr. Sardjito. Jurnal Kebijakan Kesehatan
Indonesia, Voluem 06, Nomor 02, Juni 2017.
42
spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan
spesialistik.
d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan
subspesialistik yang dilakukan oleh dokter subspesialis atau dokter gigi
subspesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan
subspesialistik.
e. Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan
sistem rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang
tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh
BPJS Kesehatan.
g. Fasilitas Kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka
BPJS Kesehatan akan melakukan recredentialing terhadap kinerja
fasilitas kesehatan tersebut dan dapat berdampak pada kelanjutan
kerjasama
h. Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.
i. Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat
memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien
karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang
sifatnya sementara atau menetap.
43
j. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat
pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau
sebaliknya.
k. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke
tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:35
1) pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau
subspesialistik;
2) perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan
dan/ atau ketenagaan.
l. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke
tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila :
1) Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan
pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi
dan kewenangannya;
2) Kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau
kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut;
3) Pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani
oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk
alasan kemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka panjang;
35
Taufan Bramantoro Pengantar Klasifikasi dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan:
Penjelasan Praktis dari undang-undang dan peraturan mentri kesehatan, (Surabaya:Pusat Penebit
dan Percetakan UNAIR, 2017), halaman 2.
44
dan/atau Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana,
prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.
2. Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang
a. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang
sesuai kebutuhan medis, yaitu:
1) Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas
kesehatan tingkat pertama.
2) Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat
dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua.
3) Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya
dapat diberikan atas rujukan dari faskes primer.
4) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat
diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.
b. Kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes
tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan
rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia
di faskes tersier.
Gambar 4.1 sistem rujukan berjenjang
45
Sistem rujukan berjenjang juga dilakukan sebagai upaya untuk mengendalikan
mutu dan biaya pelayanan dalam sistem JKN.36
Selain itu, sistem rujukan
berjenjang secara tidak langsung dapat memperbaiki fasilitas kesehatan di semua
tingkatan. Selain itu terjadinya pemerataan dalam infrastruktur pelayanan
kesehatan di Indonesia. Tujuannya adalah pelayanan kesehatan di semua FKTP
menjadi lebih baik dan optimal.37
Dalam JKN, FKTP menjadi garda depan dalam sistem pelayanan kesehatan.
Sehingga tuntutan terhadap fasilitas pelayanan prima menjadi penting dilakukan
oleh FKTP. Untuk mendukung pelayanan tersebut, pemerintah mendukung
pembiayaan melalui sistem kapitasi.
Kapitasi merupakan sistem pembiayaan yang dihitung berdasarkan jumlah
kepesertaan JKN pada FKTP. Meski demikian, masih banyak tantangan yang
dihadapi. Dukungan pembiayaan dan kepesertaan masih belum optimal.
Tingginya permintaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tidak didukung
oleh sistem pembiayaan yang baik. Akibatnya, setiap tahun, pembiayaan untuk
JKN mengalami defisit.
Dampaknya adalah pelayanan kesehatan menjadi terganggu. Banyak kasus
dimana fasilitas kesehatan tidak mampu memberikan pelayanan yang baik karena
minimnya infrastruktur pendukung untuk pelayanan. Padahal, permintaan
terhadap pelayanan kesehatan meningkat setiap tahunnya. Sudah lazim terjadi
36
Hardhantyo, M, Armiatin, Utarini, A, Djasri, H. Audit Mutu. “Layanan Rujukan Primer
Guna Mengurangi Jumlah Rujukan ke Layanan Sekunder: Studi Kasus pada Provinsi DKI
Jakarta”. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Voluem 05, Nomor 04, Desember 2016, (online),
(https://jurnal.ugm.ac.id/jkki/article/download/30526/18410, di akses 27 Januari 2020) 2016. 37
Abidin. “Pengaruh Kualitas Pelayanan BPJS Kesehatan terhadap Kepuasan Pasien di
Puskesmas Cempae Kota Parepare”. Jurnal MKMI, Vol. 12, No. 2, Juni 2016, (online),
(http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v12i2, di akses 27 Januari 2020) 2016.
46
antrian panjang dari pasien yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan. Di
FKTL, kondisinya lebih parah lagi. Seringkali pasien yang sudah mendapatkan
surat rujukan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan di FTKL.38
Meski ada yang
mendapatkan pelayanan namun kuotanya dibatasi bagi pasien yang menggunakan
kartu BPJS Kesehatan.
Hal tersebut tentu berdampak terhadap persepsi masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan dalam sistem JKN. Munculnya persepsi negatif dari masyarakat sangat
mempengaruhi kinerja sistem JKN. Harapan untuk memperbaiki sistem pelayanan
kesehatan bisa terhambat akibat buruknya pelayanan kesehatan yang diterima
kepada masyarakat.39
B. Implikasi Mengenai Pengaturan Sistem Rujukan Berjenjang Terhadap
Pelayanan Kesehatan Perorangan.
1. Dampak implikasi pengaturan sistem rujukan
Dampak kebijakan adalah keseruluhan efek yang ditimbulkan oleh suatu
kebijakan dalam kondisi kehidupan nyata Dampak dari suau kebijakan
mempunyai beberapa dimensi dan semuanya harus diperhitungkan ketika
membicarakan evaluasi berikut beberapa dimensi dari suatu dampak
kebijakan:40
38
Tirtaningrum, AD, Sriatmi, A, Suryoputro, A. “Analisis Response Time Penatalaksanaan
Rujukan Kegawatdaruratan Obstetri Ibu Hamil”. Jurnal MKMI, Vol. 14 No. 2, Juni 2018, (online),
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/issue/archive, di akses 27 Januari 2020) 2018. 39
Istiqna, N. “Harapan dan Kenyataan Pasien JKN terhadap Pelayanan Rawat Jalan di
Rumah Sakit Universitas Hasannudin”. Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Desember
2015, (online), (http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v11i4, di akses 27 Januari 2020) 2015. 40
Riko Noviantoro, “Analisis Kebijakan Sistem Zonasi pada Penerimaan Peserta Didik
Baru Tingkat sekolah lanjutan tingkat atas Di Jawa Barat Tahun 2019”, (online).
(https://www.academia.edu/39870428/ANALISIS_KEBIJAKAN_SISTEM_ZONASI_PADA_PP
DB_TINGKAT_SLTA_DI_JAWA_BARAT_TAHUN_2019, diakses pada tanggal 27 Januari
2020), 2019.
47
a. Dampak kebijakan terhadap situasi dan kelompok target atau orang-
orang yang terlibat (intended and unintended consequences)
b. Dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok-kelompok di luar
sasaran atau tujuan kebijakan (extrenalities or spillover effects)
c. Dampak kebijakan pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan di
masa yang akan datang (untuk melihat konsekuensi-konsekuensi yang
ditimbulkan oleh adanya kebijakan berdasarkan dimensi waktu, yakni
masa sekarang atau masa yang akan datang)
d. Biaya lansung yang dikeluarkanuntuk membiayai program-program
kebijakan publik,
e. Biaya tidak lansung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberpa
anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik.
Sebagaiman telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya di Indonesia
telah diatur lebih lanjut tentang pengaturan sistem rujukan pada Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 tentang
Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Dalam Pasal 2 (1)
Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 Pelayanan kesehatan dilaksanakan
secara berjenjang, sesuai kebutuhan medis dimulai dari pelayanan kesehatan
tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan
48
atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan
tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan
tingkat kedua atau tingkat pertama. Bidan dan perawat hanya dapat
melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan
kesehatan tingkat pertama. Sebagaimana di jelaskan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, dengan adanya
sistem rujukan berjenjang pada pelayanan kesehatan perorangan ini setiap
peserta mempunyai hak mendapat pelayanan kesehatan secara lebih
menyeluruh dan tepat sasaran meliputi pelayanan kesehatan Rawat Jalan
Tingkat Pertama (RJTP), pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Lanjut
(RJTL), pelayanan kesehatan gawat darurat dan kekhususan pelayanan
kesehatan lainnya yang ditetapkan oleh peraturan menteri kesehatan Republik
Indonesia. Ketentuan dalam Pasal 4 di atas dapat dikecualikan sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 4 ayat 5 yaitu penjelasan dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) Pasal 4 diatas dikecualikan pada keadaan gawat darurat,
bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan
geografis. Pasien pada fasilitas tingkat pertama dapat langsung dirujuk
kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjut sesuai dengan ketentuan prosedur
yang berlaku. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan
dalam kondisi :
a. Terjadi keadaan gawat darurat;
Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku;
49
b. Bencana;
c. Kreteria bencana alam ditetapkan oleh pemerintah pusat dan atau
Pemerintah Daerah.
d. Kekhususan permasalahan kesehatan fasien;
e. Untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tesebut
hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan
f. Pertimbangan geografsi;
g. Pertimbangan ketersediaan fasilitas.
Dengan adanya pengecualian terhadap 4 ayat (1), (2), (3) Pemerintah
berupaya memaksimalkan pelayanan terhadap pasien BPJS yang dalam
keadaan kekhususan sebagaimana ketentuan diatur dalam Pasal 4 ayat 5
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, pasien yang dalam
keadaan gawat darurat bisa Langsung mendapat penanganan dari Faskes Tingkat
Lanjutan tanpa memerlukan surat rujuk dari fasilitas tingkat pertama terlebih
dahulu. sehingga pasien akan cepat mendapat penanganan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien. Untuk Peserta yang mendapat pelayanan di
fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan harus segera
dirujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan setelah
tertangani dengan baik dengan kondisi pasien yang memungkinkan
untuk dipindahkan. Namun minimnya pengetahuan masyarakat terhadap prosedur
rujukan berjenjang ini mengakibatkan pelayanan yang didapat oleh pasien
kurang optimal. hal ini dikarenakan masih kurangnya sosialisasi dari
50
pemerintah melalui dinas terkait tentang alur prosedur sistem rujukan
berjenjang membuat masrayakat merasa belum puas terhadap pelayanan
kesehatan sistem rujukan berjenjang BPJS.
Meskipun dalam pengaturan sistem rujukan berjenjang yang diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan pemerintah sudah
berupaya untuk memberikan kemudahan kepada setiap peserta BPJS untuk
mendapatkan akses kesehatan sebaik-baiknya, namun pada kenyataannya
pelayanan kesehatan yang didapat oleh masyarakat dinilai masih belum
maksimal. Selain itu lamanya antrean serta penangananan oleh faskes tingkat
pertama maupun ditingkat lanjut menjadi hal yang seringkali dikeluhkan oleh
masyarakat terhadap pelayanan BPJS.
Dalam beberapa kasus salah satunya yang terjadi di Kabupaten
Serang, seorang warga Pontang, Kabupaten Serang, Banten, bernama Kuncung
Sudrajat, meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Dradjat
Prawiranegara Serang. Pasien peserta BPJS Kesehatan itu, diduga meninggal
akibat pelayanan fasilitas kesehatan (Faskes) yang kurang memadai. Pasien
dibawa ke Puskesmas, sebab prosedur BPJS Kesehatan tidak boleh langsung ke
rumah sakit. Pasien terlebih dahulu harus mendapat rujukan dari puskesmas
sebelum mendapat penanganan rumah sakit. Kuncung Sudrajat, kata Imron,
kala itu mengalamai hipertensi dengan kisaran 220 mmHg. “Di puskesmas
mendapat penanganan namun alakadarnya, Keluarga korban juga mendesak
puskesmas untuk segera memberi surat rujukan. Namun sayang, kala itu RSDP
51
Kota Serang mengaku tidak ada ruangan kosong. “Kami bersama keluarga
coba mendesak kembali mengkomunikasikan dengan dokter sekitar terhubung
kemudian dengann dokter puskesmas Tirtayasa kemudian dipaksa dibawa ke
RSDP, namun sayang nyawa pasien tidak dapat diselamatkan lagi.41
Hal ini
menambah panjang daftar permasalahan sistem rujukan berjenjang pada
pelayanan BPJS kesehatan.
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan menjadi acuan pada pelaksanaan prosedur rujukan dalam sistem
rujukan pelayanan kesehatan perorangan yang diharapkan akan memudahkan
masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal. kurangannya
pemahaman dari masyarakat serta kurangnya infrastruktur dan SDM yang
memadai diberapa ke fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun tingkat lanjut
mengakibatkan sistem rujukan berjenjang pada BPJS kesehatan dianggap
belum dapat berjalan dengan baik dan maksimal.
Kurang maksimalnya pelayanan sistem rujukan berjenjang pada BPJS
tidak hanya berdampak pada masyarakat sebagai pasien BPJS namun juga
berdampak kepada ke fasilitas kesehatan contohnya pihak rumah sakit sebagai
mitra dari BPJS kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dengan adanya pemberlakuan sistem rujukan berjenjang bagi pasien Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Jaminan Kesehatan
41
Odik keren, “ Diduga Lambat Ditangani, Pasien BPJS Kesehatan Meninggal di RSDP
Serang”, (online). (https://www.redaksi24.com/diduga-lambat-ditangani-pasien-bpjs-kesehatan-
meninggal-di-rsdp-serang/, di akses pada tanggal 27 Januari 2020), 2019.
52
Nasional (JKN) berdampak pada RSUD yang bertipe B yakni penurunan
jumlah pasien rawat jalan. Otomatis, pendapatan RSUD dengan tipe B ikut
merosot. Sistem rujukan berjenjang pasien BPJS Kesehatan dan JKN
mengharuskan pasien melewati pelayanan atau fasilitas kesehatan (faskes)
tingkat pertama. Seperti puskesmas dan rumah sakit tipe D, baru kemudian ke
rumah sakit tipe C, B, dan A. Hal ini tentu akan merugikan berbagai pihak jika
dalam pengaturan serta pelaksanaan sistem pelayanan tidak berjalan dengan
baik sebagaimana mestinya.
Peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan sejak adanya jaminan
kesehatan nasional (JKN) belum dibarengi dengan perbaikan sistem pelayanan,
terutama dalam pelayanan rujukan. Penerapan sistem rujukan berjenjang
sebenarnya bertujuan untuk mengendalikan mutu pelayanan agar lebih
optimal.42
Meski demikian, pelaksanaannya tidak sesuai harapan. Banyak
permasalahan yang muncul mulai dari lamanya pelayanan serta kurang sarana
dan prasaran yang didapat oleh peserta BPJS hingga defisitnya anggaran
pembiayaan BPJS itu sendiri.
Pada sistem rujukan berjenjang, peranan fasilitas kesehatan tingkat
pertama (FKTP) jadi sangat vital. FKTP jadi fasilitas kesehatan pertama yang
melakukan pelayanan, sebelum nanti dirujuk secara berjenjang. Akibatnya,
jumlah pasien menjadi meningkat. Peningkatan itu tidak diimbangi oleh
peningkatan pelayanan di FKTP, karena infrastrukturnya masih terbatas.
42
Hidayati, P, Hakimi, M, Claramita, M. Analisis Pelaksanaan Rujukan Berjenjang
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Kasus Kegawatdaruratan Maternal Peserta Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial di 3 Puskesmas Perawatan Kota Bengkulu. Jurnal Kebijakan
Kesehatan Indonesia, Voluem 06, Nomor 02, Juni 2017.
53
Hambatan yang paling sering dirasakan lebih banyak dari pasien karena waktu
tunggu pasien untuk mendapatkan pelayanan menjadi lama. Puskesmas juga
masih terbatas menyediakan petugas pelayanan kesehatan. Tidak seimbang
antara jumlah petugas dengan jumlah pasien. Banyak pasien untuk
mendapatkan pelayanan rujukan harus menunggu lama. Padahal, mereka
mengalami penyakit berat. Hal itulah yang menyebabkan tingkat kepuasan
pasien terhadap pelayanan rujukan dinilai masih rendah.
Banyaknya masalah yang muncul soal rujukan berjenjang, salah satunya
seperti pasien yang minta rujukan untuk dirujuk ke FKTL padahal FKTP
misalnya Puskesmas masih bisa menangani, pada akhirnya harus ditolak oleh
FKTL karena sesuai aturannya, tidak semua penyakit yang langsung dirujuk
ke FKTL. Namun, banyak pasien yang tidak mengetahui hal tersebut. Selain
itu, pasien yang meminta rujukan harus hadir dan diperiksa dahulu di FKTP.
Tetapi banyak pasien yang tidak datang, hanya diwakili oleh keluarga untuk
mendapatkan surat rujukan tidak membawa pasien yang sakit, hal ini tentu
pihak FKTP tidak bisa memberikan rujukan karena peraturannya harus ada
pemeriksaan dulu kemudian baru setelah itu pasien dapat dirujuk FKTL secara
vertikal ataupun secara horizontal.
Berdasarkan audit mutu pelayanan, tingkat ketepatan dalam pelaksanaan
rujukan yang diukur dari kesesuaian rujukan yang diberikan kepada pasien
dengan prosedur sistem pelayanan rujukan berjenjang sudah terlaksana sesuai
aturan. Meski demikian, audit mutu terhadap kelengkapan surat rujukan masih
bermasalah.
54
Meskinya surat rujukan diisi semua, namun banyak yang tidak terisi. Ini
mengakibatkan data dan informasi yang diterima di FKTL jadi tidak lengkap.
Padahal, data dan informasi tersebut dibutuhkan oleh petugas kesehatan di
FKTL untuk mengambil tindakan medis dengan tepat dan akurat. Data yang
paling krusial seperti hasil diagnosa, pemeriksaan fisik, anamnesa, dan terapi
yang sudah diberikan merupakan informasi yang seharusnya diisi dalam surat
rujukan. Namun data dan informasi itu yang paling banyak tidak diisi. Tidak
adanya data tersebut menyebabkan petugas kesehatan di FKTL tidak
mendapatkan informasi yang akurat untuk mengambil tindakan kepada pasien.
Harus diakui, pelaksanaan sistem rujukan berjenjang belum berjalan
optimal. Namun berdasar laporan pengelolaan program dan laporan keuangan
jaminan sosial kesehatan pada tahun 2018 menyebutkan tingkat kepuasan
terhadap pelayana BPJS naik sekitar 0,2 % dari tahun 2017 dengan jumlah
tingkat kepuasan peserta di angka 79,7 % dengan cakupan kepesertaan tercapai
208.054.199 jiwa atau bertambah 20.071.250 jiwa dari tahun 2017.43
Bertambahnya kepesertaan BPJS yang setiap tahun meningkat juga
berdampak pada beban pembiaayaan melalui iuran yang di beban kepada
peserta BPJS. Seringkali ditemui permasalahan pada masyarakat peserta BPJS
terkait pembayaran iuran BPJS, masyarakat masih sering menunggak dalam
pembayaran iuran BPSJ hal ini berimplikasi pada beban pembiayaan
oprasional pelayanan BPJS. Tercatat sampai tahun 2019 BPJS di prediksi akan
mengalami defisit anggaran di angaka Rp 28 triliun.
43
laporan pengelolaan program dan laporan keuangan jaminan sosial kesehatan pada tahun
2018
55
Dikutip dari CNN Indonesia, BPJS Kesehatan memperkirakan defisit
keuangan perusahaan akan membengkak sekitar Rp 500 miliar dari proyeksi
awal pada tahun 2019. Pada proyeksi awal, defisit keuangan BPJS diramal
mencapai Rp 28 triliun. Dengan proyeksi terbaru, defisit diramal bengkak
menjadi Rp28,5 triliun pada 2019. Proyeksi pembengkakan tersebut berasal
dari pengalihan (carry over) defisit tahun lalu ditambah beban pembayaran
tagihan rumah sakit sejak awal tahun kemarin.
Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso mengatakan
perusahaan masih memiliki carry over defisit keuangan sebesar Rp 9,1 triliun
dari tahun lalu. Sementara defisit keuangan pada 2019 diperkirakan mencapai
lebih dari Rp19 triliun.44
Secara prosedur tata laksana, sistem rujukan ini sudah baik. Namun,
pelaksanaannya masih bermasalah. Oleh karena itu, perbaikan perlu dilakukan
di FKTP. Tingginya tingkat kunjungan pasien di FKTP harus diimbangi
dengan perbaikan sumber daya manusia dan infrastruktur pelayanan.
Pemerintah perlu meningkatkan sumber daya manusia dan infrastruktur di
FKTP. Perbaikan tersebut tidak hanya kuantitasnya saja namun juga
kualitasnya. Sehingga pelayanannya bisa lebih baik dan tingkat kepuasan
masyarakat menjadi tinggi.
44
Uli, “Defisit BPJS Kesehatan Diramal Bengkak Jadi Rp28,5 T di 2019”, (online).
(https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190822090846-78-423637/defisit-bpjs-kesehatan-
diramal-bengkak-jadi-rp285-t-di-2019, diakses pada tanggal 26 januari 2020), 201
56
Dari uraian pembahasan di atas setidaknya dengan adanya pengaturan
sistem rujukan berjenjang hal ini berdampak langsung kepada pelayanan
kesehatan perorangan, masyarakat, Pemerintah serta kepada fasilitas kesehatan.
Sebagaimana telah dijelas sebelumnya, dampak positif dengan adanya
sistem rujukan berjenjang pada pelayanan kesehatan perorangan ialah setiap
peserta mempunyai hak mendapat pelayanan kesehatan meliputi pelayanan
kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP), pelayanan kesehatan Rawat
Jalan Tingkat Lanjut (RJTL), pelayanan kesehatan gawat darurat dan
kekhususan pelayanan kesehatan lainnya yang ditetapkan oleh peraturan
menteri kesehatan Republik Indonesia. Disisi lain dengan adanya sistem
rujukan berjenjang ini juga mempunya dampak negatif yakni dalam
pelaksanaannya seringkali pasien harus rela menunggu dalam waktu yang lama
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Tingginya antusias masyarakat yang berobat melalui BPJS tidak di
imbangi dengan pemenuhan sarana-prasana infrastruktur oleh Pererintah yang
memadai sebagai sarana pendukung dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan
yang baik mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama hingga fasilitas
kesehatn tingkat lanjut serta sumberdaya manusia yang juga dinilai masih
kurang seimbang dengan jumlah pasien yang ingin berobat.
Dampak terhadap masyarakat secara langsung masyarakat mendapat
kepastian dalam jaminan kesehatan yang dikelola langsung oleh Pemerintah
melalui BPJS, namun dalam pelaksanaan masih belum maksimal. Banyaknya
permasalahan yang dikeluhkan masyakarat terhadap pelayanan kesehatan BPJS
57
pada sistem rujukan berjenjang membuat sistem rujukan berjenjang ini harus di
evaluasi untuk memperbaikan pelayanannya.
Dampak kepada Pemerintah dengan berlakunya sistem rujukan berjejang,
pemerintah telah berupaya menjamin pelayanan kesehatan masyarakat
khusunya sistem rujukan berjenjang pada pelayanan BPJS sebagai bentuk
tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang telah diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Pasal 34 ayat (3) yaitu “Negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak”. Namun disi lain implikasinya negatifnya pada Pemerintah iyalah
adanya defisit anggaran pembiayaan BPJS yang bebannya harus di tanggung
oleh Pemerintah yang tidak sedikit jumlahnnya. Kemudian dampak terhadap
fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas tingkat lanjut berdampak pada
RSUD yang bertipe B yakni penurunan jumlah pasien rawat jalan. Otomatis,
pendapatan RSUD dengan tipe B ikut merosot.
Sistem rujukan berjenjang pasien BPJS Kesehatan dan JKN mengharuskan
pasien melewati pelayanan atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama.
Seperti puskesmas dan rumah sakit tipe D, baru kemudian ke rumah sakit tipe
C, B, dan A. Selain itu lamanya pencairan klaim dari BPJS juga menjadi
keluhan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas tingkat lanjut sehingga
dalam pelayanan pihak fasilitas kesehatan harus menanggung terlebih dahulu
pembiayaan dari peserta BPJS yang sedang berobat. Hal ini berdampak pada
kualitas pelayanan yang di terima oleh peserta BPJS yang di anggap kurang
maksimal.
58
Sedangkan dampak lainya terhadap kebijakan pada keadaan-keadaan
sekarang dan keadaan di masa yang akan datang, Tidak dapat dipungkiri bahwa
dibentuknya sistem rujukan berjenjang adalah sebagai upaya meningkatan
mutu pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung
jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal
yang wajib dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi
kesehatan sosial, dan seluruh fasilitas kesehatan.
Namun seiring dengan itu Pemerintah belum mampu memberikan
perbaikan sarana-prasarana sebagai penunjang dalam pelaksanaan sistem
rujukan berjenjang terutama pada fasilitas kesehatan tingkat pertama baik dari
segi infrastruktur maupun dari sumberdaya manusianya yang memadai. Hal ini
dipandang perlu mendapatperhatian lebih oleh pemerintah disamping
perbaikan terhadap sistem prosedur pelaksnaannya sehingga permasalahan
yang seringkali dikeluhkan oleh para pasien BPJS bisa teratasi. Dengan
demikinan diharapkan dalam pelaksanan pelayanan kesehatannya dapat
berjalan dengan baik dan maksimal. Hal ini berdampak terhadap mutu
pelayanan dan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
BPJS kesehatan sebagai bentuk dari tanggung jawab Pemerintah dalam
mejamin kesejahteraan masyakat sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh
undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 34 ayat
(3) yaitu “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.