Upload
dr-i-wayan-artika-spd-mhum
View
61
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tulisan ini merupakan salah satu bab dari disertasi saya yang sedang proses bimbingan dan perbaikan. Bab ini mengulas tentang kandungan ideologi Marxis di dalam antologi puisi Lekra yang berjudul "Gugur Merah".
Citation preview
BAB VREPRENTASI IDEOLOGI DALAM GUGUR MERAH
Puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi Gugur Merah semuanya
pernah dimuat di Harian Rakjat selama periode 1954-1965. Antologi ini memuat
452 puisi dari 111 penyair. Persebaran puisi-puisi tersebut berdasarkan tahun
pemuatan di Harian Rakjat dapat dilihat pada tabel 6 dalam lampiran. Di antara
penyair-penyair tersebut, Agam Wispi adalah yang paling banyak karyanya
dimuat (41 judul), di bawahnya, disusul oleh S. Anantaguna (23 judul), F.L.
Risakotta (21 judul), Kusni Sulang (20 judul), S.W. Kuncahjo (19 judul), H.R.
Bandaharo dan A.S. Rahman Hadi (masing-masing 15 judul), Putu Oka (14
judul), Sutikno W.S. (12 judul), Dharmawati (10 judul), dan D.N. Aidit (9 judul).
Selebihnya, antologi ini memuat karya antara 1-8 judul dari seorang penyair.
Penyunting antologi ini tidak menggunakan pertimbangan khusus dalam memilih
karya selain karena didasari oleh keinginan untuk menjangkau sejauh mungkin
puisi-puisi Lekra yang pernah dimuat di Harian Rakjat. Dengan demikian,
penyunting berharap, melalui antologi ini, tradisi puisi Indonesia yang berbasis
realisme sosialis yang telah putus beberapa dekade karena persoalan politik, dapat
disambung kembali.
Dari ”Catatan Penyusun” yang berfungsi sebagai kata pengantar antologi
ini, diketahui bahwa bagi kubu Lekra, puisi adalah karya sastra yang sangat
istimewa karena semaraknya tradisi menulis puisi di kalangan pucuk pimpinan
Lekra dan PKI. Di samping itu, menurut Lekra, puisi adalah bentuk karya sastra
53
yang sudah diakrabi rakyat sebagaimana hal ini masih hidup di dalam tradisi
kesusastraan lama di Nusantara.
Karena puisi-puisi tersebut digunakan untuk kepentingan perjuangan kelas
maka harus menjadi pencerminan konkret dan menyeluruh permasalahan-
permasalahan kehidupan rakyat. Di samping itu, puisi adalah alat untuk
merespons berbagai permasalahan sehingga hubungan antara puisi dengan realitas
sosial kemasyarakatan sangat erat. Sejalan dengan fungsi tersebut, sebelum
penyair menulis puisi, mereka menjalani gerakan turun ke bawah (Turba) untuk
menyerap perasaan, pemikiran, dan aspirasi-aspirasi rakyat.
Dalam bab ini dikemuakan hasil pengkajian puisi dengan menggunakan
Teori New Historicism, dengan metode membaca pararel. Puisi-puisi Gugur
Merah dibaca secara pararel dengan buku Tentang Marxisme (Aidit, 1964). Bab
ini memuat ulasan secara umum guna memberi gambaran yang menyeluruh
mengenai pararelitas puisi dengan teks nonsastra, yang berwujud representasi
ideologi di dalam puisi. Di samping itu, disajikan juga analisis secara khusus
terhadap puisi-puisi yang dipilih untuk memperdalam pemahaman dan dalam
rangka mempertahankan keutuhan puisi. Pararelitas puisi-puisi tersebut tampak
melalui representasi empat pokok/inti ideologi Marxis menurut pandangan Aidit
(1964). Keempat pokok tersebut dijadikan kerangka berpikir dalam pengkajian
puisi-puisi tersebut.
54
4.1 Pencipta Sejarah adalah Massa Rakyat Pekerja
a. Perlawanan Kaum Tani dan Buruh
Puisi-puisi yang terhimpun dalam Gugur Merah menggambarkan
penderitaan, kemiskinan, ketertindasan, kemelaratan kehidupan massa rakyat
pekerja. Hal itu misalnya dikemukakan oleh A. Qadar dalam puisi ”Panen” (hal.
34-35) dan ”Riak Batanghari” (hal. 36-37). Kedua puisi ini menggambarkan
kelaparan yang dialami oleh kaum tani yang disebabkan oleh kaum pengisap di
desa mereka. Di tengah-tengah penderitaan tersebut, rakyat tidak henti-hentinya
melawan keadaan agar terbebas dari derita, kemiskinan, kemelaratan,
ketertindasan. Hal itu misalnya dikemukakan dalam puisi ”Lautan” (karya Rosa
S.B., hal. 619) bahwa rakyat senantiasa melakukan perlawanan dan tidak pernah
dikalahkan. Di samping itu, puisi ini memperingatkan dengan keras bahwa
kemarahan rakyat menjadi pemicu bangkitnya perlawanan mereka.1 Perlawanan
kaum tani terhadap pengisap (penyebab bencana kelaparan) misalnya, dilakukan
dengan cara revolusi.2
Sementara itu, perlawanan kaum buruh diserukan oleh S. Anantaguna
misalnya dalam puisi ”Surat dari Buruh” (hal. 658-659). Perlawanan ini ditujukan
kepada musuh rakyat sesuai dengan keterangan tambahan pada judul puisi
tersebut, ”Kepada Musuh Rakyat”. Sejalan dengan puisi ”Surat dari Buruh”, S.W.
Kuncahjo dalam puisi ”Maju Laju ke Kemenangan Baru!!” (hal. 704-705) juga
mengemukakan perlawanan kaum buruh untuk meraih kebebasan dan dalam
rangka menenuaikan tugas sejarah. Puisi ini menggelorakan semangat perjuangan
1 [...]tapi lautan tak pernah terkalahkan/Rakyat adalah lautan/tak kenal henti berlawan/makin sengit makin bangkit2 [...]petani punya jalan sendiri/jalan revolusi:/padinya tani!/tanahnya tani!
55
kaum buruh yang ditulis dalam kaitan dengan pelaksanaan kongres nasional II
SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Dalam puisi Agam Wispi
yang berjudul ”Surabaya” (hal. 123-124) dikemuakan bahwa perlawanan kaum
buruh dilakukan melalui pemogokan. Alasan perlawanan kaum buruh bahwa
mereka lapar dikemukakan misalnya dalam puisi S.W. Kuncahjo yang berjudul
”Suatu Malam” (hal. 731-732). Walaupun kaum buruh sedang lapar namun
mereka tetap melakukan perlawanan seperti kelaparan yang dirasakan oleh
Djuhainah, seorang buruh dari Banyuwangi. Derita berkepanjangan Djuhainah
yang ”lebih panjang dari jalanraya Anyer-Banyuwangi”, ternyata tidak
menyurutkan niatnya untuk bertahan dan melakukan perlawanan, sebagaimana hal
itu ditulis oleh H.R. Bandaharo dalam puisinya ”Djuhainah Masih Bernyanyi”
(hal. 382).
Perlawanan kaum buruh yang dikemukakan dalam puisi ”Jangan Kauhina”
karya S.W. Kuncahjo (hal. 727) memberi satu fakta bahwa kaum buruh tidak
hanya berjuang menuntut kenaikan upah tetapi juga berjuang melawan
imperialisme dengan kesiapan-siagaan. Perlawanan kaum buruh terhadap
imperialisme dan dalam kerangka Revolusi Indonesia dikemukakan oleh S.W.
Kuncahjo dalam puisi ”Yang Tak Tergoyahkan” (hal. 722-724). Puisi ini ditulis
sebagai persembahan kepada para pejuang yang mengambil alih perusahan-
perusahan Inggris, sebagaimana keterangan pada judul ”untuk para
pejuang/ambillah perusahan-perusahan Inggeris”. Dalam puisi ”Persatuan” karya
Klara Akustia (hal. 410-411) diserukan kepada kaum buruh agar bersatu dan
bahu-membahu dalam melakukan perjuangan.
56
Puisi ”Pensiunan Buruh Tambang” karya Sobron Aidit (hal. 797) tidak
menyerukan perlawanan kaum buruh sebagaimana puisi-puisi bertema buruh
tetapi menceritakan masa tua kaum buruh, ketika tubuh mereka bungkuk karena
kerja keras dan usia namun mereka telah mewariskan hasil kerja kepada dunia.
Melalui puisi tersebut, Sobron Aidit hendak mengatakan bahwa hanya PKI yang
paling peduli nasib kaum buruh dan memperjuangkan perbaikan hidup mereka.
Di samping mengemukakan perlawanan kaum buruh, puisi-puisi yang
merepresentasikan kehidupan massa rakyat pekerja juga mengemukakan
perlawanan-perlawanan kaum tani, misalnya yang dikemukakan oleh A. Qadar
dalam ”Riak Batanghari” (hal. 36-38). Puisi ini dengan sangat lugas
mengemukakan bahwa penderitaan hidup memicu semangat perlawanan kaum
tani terhadap tujuh setan desa, Malaysia, dan setan dunia atau Amerika). Dalam
puisi itu juga dikemukakan perjuangan kaum tani yang berani mati untuk
menegakkan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) dan UUPBH (Undang-
undang Pokok Bagi Hasil).3 Sejalan dengan itu, tujuan perjuangan kaum tani
ditegaskan oleh Kuslan Budiman pada bait terakhir puisinya yang berjudul
”Pengadilan” (hal. 442), ”tegakkan tanah untuk tani!” Puisi ini secara tegas
menuntut agar ada tanah untuk kaum tani. Sementara itu ada wadah bagi
perjuangan kaum tani yaitu melalui organisasi BTI (Barisan Tani Indonesia),4
seperti dikemukakan dalam puisi ”Penyair dari Desa” (karya A.T. Khoswara, hal.
204-205).
3 [...]”yang kerja tak punya apa-apa/[...]rela mati untuk merdeka/untuk uupa/untuk uupbh/ganyang tujuh setan desa/ganyang malaysia/ganyang setan dunia-/Amerika”4 Dalam puisi ”Padi yang Lenyap” (karya Slamet Atmoredjo, hal. 784): [...]tetap dalam BTI mereka bersatu dan berjuang[...]
57
Perlawanan rakyat dalam skala internasional yaitu melawan imperialisme
dan kolonialisme juga muncul dalam beberapa puisi, misalnya dalam puisi ”Lagu”
(hal. 772) karya Sjariffuddin Tandjung. Perlawana tersebut mengandung semangat
Konferensi Asia-Afrika atau Semangat Bandung dalam rangka mencapai
kemerdekaan dan kebebasan dan mengakhiri segala menindasan kaum penjajah di
negara-negara Asia-Afrika. Menurut dua baris terakhir puisi tersebut, rakyat di
Asia-Afrika harus berjuang untuk mendapatkan hak hidupnya.5
Puisi-puisi tersebut menggambarkan penderitaan rakyat yang diakibatkan
oleh penindasan yang dilakukan oleh musuh-musuh rakyat. Untuk membebaskan
diri dari penindasan, rakyat melakukan perlawanan, baik melalui jalan revolusi
maupun dengan pemogokan (bentuk perlawanan kaum buruh yang sangat khas).
Alasan mendasar perlawanan rakyat adalah karena lapar, mendrita, tertindas, dan
tereksploitasi. Sejalan dengan itu, makna perlawanan bagi rakyat antara lain
membebaskan diri dari penderitaan dan memikul tugas sejarah. Puisi-puisi
tersebut menunjukkan peranan massa rakyat pekerja yang sangat menonjol tanpa
dibayang-bayangi oleh tokoh individu. Dengan cara itu, puisi-puisi tersebut
merepresentasikan kekuatan massa rakyat dan karena kekuatan itulah mereka
menentukan jalannya sejarah.
Untuk menunjukkan analisis secara utuh terhadap perlawanan kaum tani,
berikut ini dibicarakan puisi ”Panen” karya A. Kadar. Melalui perulangan baris-
baris yang menggambarkan padi menguning yang terbentang di areal persawahan
yang luas, penyair tengah menegaskan suatu ironi kehidupan kaum tani.
Seharusnya kaum tani berbahagia karena mereka akan memanen padi yang bernas
5 Kehidupan kita adalah juang-/kehidupan itu hak milik rakyat
58
sebagai hasil kerja keras. Namun demikian, yang bekerja keras tidak memiliki
beras dan tangis kaum tani belum juga berhenti. Ironi tersebut seperti kutipan
berikut.
dibentangkan luas padi menguning bernashati ini kian keraspadi merundukpetani menundukpadi bernasyang kerja tak punya beraspanen hari initangis belum juga berhenti
Ironi kehidupan tersebut memicu perlawanan kaum tani. Hal inilah yang
menjadi titik berat puisi tersebut. Ironi kehidupan kaum tani hanyalah realitas bagi
penyair untuk menyerukan perlawanan. Realitas tersebut bukan merupakan tujuan
atau pesan yang ingin disampaikan tetapi untuk menunjukkan bahwa ada realitas
lain di balik realitas tersebut, yaitu realitas yang seharusnya atau realitas yang
dibangun dalam pandangan penyair.
Puisi ini terdiri atas lima bait dan menggunakan gaya repetisi untuk
membangun gradasi nada perlawanan kaum tani, dari rendah bergerak naik dan
berhenti pada titik puncak. Bait pertama menggambarkan latar belakang
kehidupan kaum tani di tengah-tengah sawah yang membentang luas, padi bernas
menguning menjelang panen. Walaupun demikian, kaum tani yang bekerja keras
tidak memiliki beras. Pada bait kedua, nada perlawanan mulai bergetar melalui
pernyataan yang terkesan dingin bahwa hati kaum tani kian keras dan hari-hari
mereka kelam, seperti berikut.
[...]hati ini kian keraspetani bercelana hitamharinya kelamdipeluk padi segenggam.
59
Getaran perlawanan tersebut semakin menguat pada bait ketiga, yang
mengemukakan bahwa kaum tani (Sombok, Senduk, dan Tolo) akan melakukan
perlawanan demi tanah dan padi mereka:
[...]sombok, senduk, tolubeladiri melawan matiditanah sendiridipadi sendiri
Getaran perlawanan kaum tani terasa semakin kuat dan penuh energi pada bait
keempat melalui transformasi makna perlawanan yang semakin jelas, yaitu
revolusi. Revolusi bagi kaum tani adalah jalan untuk mempertahankan padi dan
tanah mereka. Perlawanan tersebut mencapai klimaks pada bait kelima karena di
dalam bait ini penyair menegaskan bahwa musuh revolusi kaum tani adalah kaum
pengisap di desa.
Melalui puisi tersebut penyair memposisikan diri sebagai kaum tani yang
tertindas untuk menyuarakan teriakan perlawanan kepada kaum pengisap di desa.
Kaum tani dihadirkan di dalam puisi itu bersama latar belakang kehidupan mereka
(padi menguning bernas, bercelana hitam), ironi hidup mereka (yang kerja tak
punya beras), dan yang terpenting adalah teriakan perlawanan mereka (beladiri
melawan mati, hati kian keras, revolusi, menghentak keras, brtindak tegas, berani-
berapi) yang disulih oleh penyair sendiri. Penghadiran kaum tani di dalam puisi
tersebut adalah representasi pokok ideologi Marxis, yaitu massa rakyat pekerja
sebagai pembuat sejarah. Dalam puisi-puisi Lekra pokok ini berwujud puisi-puisi
bersubjek rakyat, puisi-puisi yang menghadirkan berbagai aspek kehidupan rakyat
yang tertindas, yang sedang melakukan perlawanan, yang giat bekerja untuk
hidup, yang tengah membangun harapan terhadap hari depan yang lebih baik
60
(sosialisme). Hal itulah yang menjadi ciri khas puisi bercorak kerakyatan yang
diciptakan oleh penyair-penyair Lekra.
b. Pujian kepada Massa Rakyat Pekerja
Sejumlah puisi dalam antologi Gugur Merah mengandung penjelasan
mengenai konsep rakyat sesuai dengan pandangan penyairnya. Hal itu muncul
dalam sejumlah puisi, misalnya puisi ”Lagu” (karya Sjariffuddin Tandjung, hal.
772) yang mengemukakan bahwa rakyat dan sejarah adalah satu padu. Sedangkan
dalam ”Ya Mustaza” (karya Tjarakarakjat, hal. 864) dikemukakan bahwa rakyat
adalah maha tahu karena ”telinga dan matanya disebulatan bumi”. Benni Cung
dalam puisinya, ”Selamat Tinggal Selamat Berjumpa” (hal. 240) dengan tegas
mengungkapkan bahwa ”kebenaran ialah Rakyat”, ”keadilan ialah Rakyat”, dan
”kekuatan ialah Rakyat”. Sedangkan pada puisi ”Bila Engkau Bertanya” (karya
S.W. Kuncahjo, hal. 733-734) dan ”Surabaya” (karya Agam Wispi, hal. 122-131),
rakyat pekerja (buruh dan tani) dijelaskan sebagai sokoguru Revolusi (tiang
penyangga utama).
Karena adanya pemahaman terhadap rakyat sedemikian mulia (menyatu
dengan sejarah, mahatahu, simbol kebenaran, keadilan, dan kekuatan, sokoguru
Revolusi Indonesia) maka pesan puisi-puisi tersebut antara lain kita harus
mencintai rakyat, misalnya seperti rasa cinta seorang penyair yang mendalam
kepada petani (dalam puisi ”Penyair dari Desa”, karya A.T. Khoswara, hal. 204-
205). Di samping dicintai, harkat kaum tani juga harus dibela dan ditegakkan
karena mereka bekerja keras untuk menghasilkan pangan. Melalui puisi tersebut,
A.T. Khoswara menyampaikan makna yang lebih luas bahwa cinta penyair
61
kepada kaum tani, tanah, dan padi adalah jalan untuk mencintai tanah air
Indonesia dan pengabdian kepada revolusinya. Kecintaan, pembelaan, dan
kesetiaan terhadap kaum buruh dan tani juga harus kita wujudkan dalam
kehidupan, seperti yang dilakukan oleh seorang wanita pejuang Komunis, yang
bernama Usani (dalam puisi ”Ziarah ke Makam Usani” karya D.N. Aidit, hal.
297-298) atau Aminahdjamil (dalam puisi ”Aminahdjamil” karya Koe Iramanto,
hal. 426).
Pada bagian ini dibicarakan sebuah puisi, ”Penyair dari Desa” karya A.T.
Khoswara. Puisi ini menghadirkan rakyat (dalam hal ini kaum tani) bukan sebagai
subjek yang diberi suara perlawanan oleh penyair tetapi sebagai objek yang
menerima simpati, pembelaan, pujian kemuliaan. Puisi-puisi seperti ini
merupakan corak lain puisi kerakyatan kubu Lekra. Puisi seperti ini terasa kurang
revolusioner karena subjek di dalam puisi tidak bersuara, melawan, menyerang.
Puisi ”Penyair dari Desa” menggunakan bentuk pantun atau syair, yang tampak
melalui konsistensi jumlah baris per bait. Pengaruh tradisi pantun terasa pada bait
pertama, keempat, dan ketujuh (bait terakhir), melalui persajakan akhir yang
diterapkan oleh penyairnya. Bait-bait lainnya menggunakan gaya syair yang
tampak melalui persajakannya.
Di samping itu, hal menarik lain puisi ini adalah unsur narasinya sangat
kuat, yang menjadikan karya ini bersahaja dalam menyampaikan pesan. Puisi ini
adalah narasi seorang penyair dari desa tentang dirinya, kecintaannya kepada
tanah dan padi, sebagai kerja atau perjuangan sehari-hari, seperti dikutip di bawah
ini.
62
akulah penyair dari desayang cinta tanah dan padikupuja teramat mesradalam juang sehari-hari
Puisi ini adalah pernyataan sikap seorang penyair dalam membela harkat kaum
tani. Sikap tersebut dilandasi oleh pandangan bahwa mencintai dan membela
harkat kaum tani adalah setara dengan mencintai tanah air:
dalam mencintai tanah airpadi tanah dan taniyang jadi perjuangan getirkubela kucinta sampai mati
Karena itulah, penyair mengikrarkan cinta abadi kepada kaum tani yang
merupakan transformasi dari makna pengabdian kepada revolusi. Melalui pilihan
kata yang khas agraris (desa, padi, tanah, bajak, petani) yang digunakan dalam
frekuensi yang tinggi dan merata di seluruh bait terciptalah harmoni. Namun
demikian, kehadiran revolusi sebagai kata terakhir pada bait ketujuh (ada
rentangan jarak makna yang jauh), terasa mengganggu harmoni itu. Namun
demikian, berhadapan dengan kehadiran kata revolusi dominasi diksi agraris
seolah memperoleh kekuatan dan makna baru, yaitu perjuangan kaum tani.
Dengan teori New Historicism keadaan ini dapat dipahami secara lebih mudah,
misalnya dengan menemukan pararelitasnya dengan konsep Presiden Soekarno
mengenai Revolusi Indonesia bahwa ”revolusi Indonesia tanpa landreform adalah
sama saja dengan omong besar tanpa ini” (Soekarno, 1964: 578). Pararelitas
lainnya bisa ditemuakan pada Aidit (1964b: 70) bahwa kaum tani merupakan
mayoritas penduduk Indonesia dan oleh karenanya pada hakikatnya Revolusi
Indonesia adalah revolusi agraria. Hal inilah yang diperjuangkan oleh PKI dalam
63
rangka mencapai kekuasaan di Indonesia. Puisi ternyata turut serta mengambil
bagian di dalam perjuangan tersebut.
4.2 Perjuangan Kelas
Perjuangan kelas telah menjadi tema sentral puisi-puisi dalam Gugur
Merah. Yang menjadi fokus pada bagian ini adalah pertentangan antara kelas
massa rakyat pekerja dan kelas penindas. Kelas penindas terdiri golongan borjuis
(tuan tanah dan petani kaya), lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat,
tengkulak jahat, bandit desa dan penguasa jahat (Kasdi, 2001: 102). Sejalan
dengan itu, pembicaraan pada bagian ini bertumpu pada konflik-konflik kelas.
Melalui puisi-puisi dalam antologi ini diketahui bahwa yang dimaksud
kelas penindas atau pengisap adalah (1) tujuh setan desa (lintah darat, tuan tanah,
kabir atau kapitalis birokrat, pejabat jahat, tukang ijon, bandit desa, dan tengkulak
jahat), (2) kapitalis, imperialis, penjajah. Melalui kajian terhadap puisi-puisi yang
bertema perjuangan kelas, kita memperoleh konsep kelas yang berkembang pada
masa Revolusi, yang terkait erat strategi PKI dalam membangun basis massa. Ada
dua konsep kelas yang tampak dalam puisi-puisi tersebut, yaitu (1) konsep kelas
dalam lingkup negara Indonesia dan (2) konsep kelas dalam lingkup perjuangan
bangsa Indonesia melawan negara-negara penindas (negara imperialis dan
kolonialis) (Aidit, 1964: 50). Kedua konsep kelas tersebut dibahas sebagai
berikut.
a. Perjuangan Kelas dalam Lingkup Negara Indonesia
64
Perjuangan kelas dalam antologi Gugur Merah dikemukakan melalui
serangkain konflik yang dimotori oleh kaum tani melawan tuan tanah. Hal itu
misalnya tampak pada puisi ”Api Juang Menjulang di Desa” karya Toga
Tambunan (hal. 872-873) yang menggambarkan terjadinya konflik antara kaum
tani dengan tuan tanah. Sasaran jangka pendek perjuangan kelas kaum tani
melawan tuan tanah adalah untuk merebut tanah yang hilang/dirampas dan
menyongsong masa depan atau hari kemenangan (masyarakat sosialis). Karena
tuan tanah mengisap kaum tani maka tujuan perjuangan kelas adalah
membebaskan diri dari praktik pengisapan tersebut, seperti dikemukakan dalam
puisi ”Jembrana” karya Hidajat Sastramuljana I.W. (hal. 365) atau dalam puisi
”Telaga” (karya Amarzan Ismail Hamid, hal. 161). Puisi tersebut mengemukakan
optimisme bahwa rakyat pekerja telah berhasil mengusir penindas dari tahtanya.
Perjuangan kelas juga dilakukan oleh kaum nelayan melawan tengkulak
ikan seperti dikemukakan dalam puisi ”Menerjang Maut” karya Achmad Jacub
(hal. 47-48). Puisi ini terdiri atas dua bagian, yaitu bagian yang menyampaikan
pujian kepada nelayan6 dan pemaparan arti laut bagi kehidupan nelayan;7 serta
bagian yang mengemukakan perlawanan kepada tengkulak ikan, inti puisi ini.
Perlawanan serupa juga dilakukan oleh tukang sampan di Sungai Kepajang (di
Asahan) terhadap tuan sampan (pemilik sampan) karena telah menaikkan sewa
(dalam puisi ”Sungai Kepajang” karya Ahmady Hamid, hal. 52).8
6 […]Dialah jantan anak lautan/lahir dipantai, besar dibadai/menari dibuih gelombang putih/tegak diburitan menepis taufan/dalam derita merambah laut/dalam gelita menerjang maut[...]7 […]Laut baginya hati sendiri/warisan turunan berganti-ganti8 […]Karena si Tuan Sampan naikkan sewa ganda-berlipat[…]
65
Bagi massa rakyat pekerja, penguasa atau pemerintah yang menindas
rakyat adalah musuh kelas dan harus dilawan, misalnya melalui protes kepada
penguasa, sebagaimana misalnya dikemukakan dalam puisi ”Melalui Pintu
Terbuka” karya Agam Wispi (hal. 69-71). Alasan protes rakyat dalam puisi
tersebut karena penguasa melupakan jasa-jasa rakyat yang telah ”membelokkan
sungai-sungai”, ”membuat pulau-pulau rangkaian permai”, sebagai bentuk
ungkapan bahwa rakyat telah bekerja keras. Pada puisi yang lain, ”Corat-coret
Dinding” (hal. 76), Agam Wispi mengemukakan protes kepada penguasa karena
harga beras naik sementara harga manusia jatuh terbanting.
Perlawanan kaum tani dan buruh tidak selalu dalam rangka memperolah
tanah garapan atau untuk menuntut kenaikan upah kerja tetapi juga dalam
pengertian yang lebih luas, yaitu melawan negara-negara imperialis (Inggris,
Amerika, Belanda, Spanyol, Perancis). Hal ini dikemukakan dalam puisi
”Menjaga Tanah Air” karya Kusni Sulang (hal. 475-476). Sementara itu, lawan
massa rakyat pekerja juga adalah antek-antek kapitalis atau kaum komprador yang
dikemukakan dalam puisi ”Jakarta” karya Lelono Karyani (hal. 485-486).
Menurut puisi tersebut, ”penghianat-penghianat dan bandit-bandit politik/ala PSI,
Masyumi, Murba/manikebu BPS dan antek-anteknya/kapitalis birokrat dan
komprador-komprador” harus dilawan karena merekalah yang menghamburkan
uang negara, hidup mewah sementara rakyat menderita, dan menjual kehormatan
negara. Jika dibiarkan, mereka akan membawa negara Indonesia ke dalam hari
depan yang gelap. Yang bisa menyelamatkan Indonesia adalah partai yang
menjunjung tinggi massa rakyat pekerja (PKI).
66
Puisi-puisi yang mengemukakan perjuangan kelas yang berwujud
perlawanan atau konflik kelas tampaknya tidak terlepas dari sumber ajaran atau
ideologi berpengaruh kuat. Salah satu sumber kekuatan tersebut adalah tokoh-
tokoh ideologi Marxis, Lenin, yang menyerukan agar kaum terhina bangkit. Di
samping menjadi sumber kekuatan bagi massa rakyat pekerja, Lenin juga adalah
harapan seperti dikemukakan dalam puisi ”Oktober” karya Agam Wispi (hal. 74).
Kekuatan dan harapan sangat penting dalam melakukan perlawanan karena akan
memberi daya perlawanan yang sangat besar sehingga seseorang mampu bertahan
di dalam ”panas kamar neraka”, menghadapi ”baja jeruji baja”, bertahan dalam
”malam kelam”.9
b. Perjuangan Kelas dalam Lingkup Internasional
Konsep kelas dalam perjuangan kelas bersifat dinamis karena konsep tidak
selalu mengacu kepada kelas massa rakyat dalam negara tetapi konsep kelas juga
diterapkan dalam hubungan antarnegara sehingga ada negara sebagai kelas
penindas dan sebagai kelas yang tertindas (Aidit, 1964: 50). Negara-negara
imperialis, kolonialis (Amerika, Spanyol, Inggris, Belanda) adalah penindas yang
harus dilawan. Dalam ruang lingkup ini, konsep perjuangan kelas terintegrasi
dengan konsep nasionalisme, persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping itu,
meskipun tidak menonjol, terkandung pula konsep internasionalisme yang selalu
menjadi acuan gerakan Komunis internasional (lihat McVey, 2010).
Yang menjadi fokus puisi-puisi tersebut adalah akibat buruk praktik-
praktik imperialisme dan kolonialisme, seperti tampak dalam puisi Agam Wispi
9 Puisi “Tak Padam” karya Thaib Adamy (hal. 849)
67
yang berjudul ”Jika Kau sudah Besar, Jutta” (hal. 81-82) yang mengemukan
bahwa kegiatan imperialisme dan kolonialisme terbukti telah membawa
penderitaan.10 Hal inilah yang menjadi alasan melawan dan menghancurkan
imperialisme, seperti dikemukakan dalam puisi ”Hancurkan Imperialis AS!”
karya Lelono Karyani (hal. 488). Di samping perlawanan terhadap imperialisme
dan kolonialisme, puisi ini juga menyampaikan jalan keluar dari penderitaan,
yaitu menawarkan sistem negara sosialis karena ”ditanah air sosialis/hari selalu
manis/hari selalu baru”. Perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme juga
dikemukakan dalam puisi ”Tidak akan Pernah” karya Agam Wispi (hal. 99-105),
yang berisi seruan melawan kegiatan imperialisme dan kolonialisme, khususnya
Amerika dan Spanyol di Kuba. Adanya gerakan Komunis Internasional dapat
digunakan untuk memahami puisi ”Tidak akan Pernah” yang mengusung konsep
(1) setia kawan kepada Kuba karena negeri ini telah mengembangkan sistem
sosialis11 dan (2) perlawanan serta kebangkitan rakyat sedunia terhadap
imperialisme.12 Bagi rakyat yang terjajah di Asia-Afrika, Amerika adalah musuh
utama, sebagaimana dikemukakan dalam puisi ”Yankee Go Home!” (karya Benni
10 Dalam puisi “Jangan Orang Berpangku Tangan” karya Kusni Sulang (hal. 479): [...]perang baru berkobar/dinyalakan Amerika dan kakitangan 11 […]Kuba!/dan pohon-pohon, ditiang-tiang/dinding-dinding Jakarta digoreskan/”Viva Kuba”#diatas segala ingatan dan kenangan/adalah setiakawan bagimu/Kuba!/ditempa derita bersama tekad tertanam dalam-dalam:/siapa melukai Kuba, menyakiti juga/Indonesia[...] Pada puisi “Impresi Thanh-Hoa” (karya Agam Wispi, hal. 133-134) atau pada puisi “Tangan Seorang Buruh Batu Arang” (karya Agam Wispi, hal. 135-136) dikemukakan masing-masing simpati kepada Vietnam dan China (Tiongkok). Simpati kepada Vietnam yang sedang berperang melawan Amerika dikemukakan dalam puisi “Perjuangan” karya Benni Cung (hal. 238) dan dalam puisi ”Vietnam” karya Dharmawati (hal. 274). Pujian kepada rakyat Rusia atau Soviet dalam melaksanakan revolusinya dikemukakan dalam puisi ”Leningrad” karya Boejoeng Saleh (hal. 244).12 […]sudah datang zaman kebangkitan Rakyat-Rakyat sedunia/melemparkan beban perbudakan dari pundaknya/memutus rantai yang membelenggu tangan dan kakinya/bukankah ribuan tahun menghisap besar bagai benalu/membusukkan pohon kehidupan didesa atas tanah yang dirampas?/bukankah berabad-abad bagai kanker modal memeras/dan menghisap besar dikota memucatkan dan mematikan kehidupan?[…]
68
Cung, hal. 240)13 dan puisi ”Tunggu hari Akhirmu Yankee” karya Benni Cung,
(hal. 837-838). Dalam puisi ini Amerika dikatakan ”sungguh busuk air
comberan”, ”perampok”, ”bobrok”, dan ”kebusukan yang paling busuk”. Puisi itu
juga mengungkapan bahwa Amerika adalah ”setan dunia” atau penjahat perang
yang telah menebarkan racun dan mengebom rakyat Vietnam dan Konggo yang
mencintai tanah air mereka sendiri. Kesadaran Asia-Afrika tampaknya telah
berubah menjadi semangat perlawanan dan menjadi ”tanda zaman” untuk
menandai bahwa ”penjajahan telah silam”. Asia-Afrika adalah ”fajar” yang
memberi ”dunia baru”, ”dunia setiakawan dan kecintaan yang satu” bagi umat
manusia di muka bumi. Demikianlah semangat kebangkitan Asia-Afrika yang
diungkapkan dalam puisi ”Setiakawan Kami” karya F.L. Risakota (hal. 342).
Puisi ini menggelorakan optimisme bangsa-bangsa Asia Afrika, sebagai satu kelas
tertindas dalam melawan bangsa-bangsa kelas imperialis dan kolonialis. Melalui
puisi ”Bumi Membara” karya Budhi Santosa Djajadisastra (hal. 257)
dikemukakan bahwa di seluruh muka bumi imprealisme telah dihadapi dengan
perlawanan, tidak terkecuali di Indonesia14 atau di Vietnam. Perjuangan rakyat
Vietnam melawan imperialisme dikemukakan dalam puisi ”Hidup dan Mati”
karya H.R. Bandhaharo (hal. 392-393). Perlawanan bangsa Vietnam terhadap
Amerika telah melahirkan pahlawan-pahlawan rakyat yang gagah berani, seperti
Van Troi,15 seorang nasionalis-Komunis-Budhis yang menjalani siksaan di tiang
gantungan imperialis tanpa rasa takut. Van Troi tidak menyerah karena
13 […]Hancurkan musuh utama:/Amerika!#Merdeka/atau mati/hancurkan Amerika!14 Dalam puisi ”Barisan” karya Dharmawati (hal. 278): [...]ganyang imperialisme, ganyang revisionisme!15 Nama lengkapnya adalah Nguyen Van Troi, seperti disebut pula dalam puisi ”In Memoria Tran Van Dang” karya Sartono (hal. 746-747)
69
”keganasan imperialis tak mampu menutupi kejernihan pikiran dan hatinya”.
Melalui simpati dan pujian kepada Van Troi, puisi ”Hidup Mati” mengecam atau
menyatakan perlawanan terhadap imperialis Amerika di Vietnam.16 Pada tiga
baris terakhir dikemukakan kata-kata kasar yang ditujukan kepada Amerika:,
”setan dunia/musuh manusia/enyahlah dari muka bumi!”. Pahlawan rakyat
Vietnam lainnya adalah Tran Van Dang yang dikemukakan dalam puisi ”In
Memoriam Tran Van Dang” karya Sartono (hal. 746).17
Perlawanan terhadap Amerika juga muncul dalam puisi H.R. Bandaharo
yang lain, ”Menempuh Jalan Rakyat” (hal. 394). Puisi ini adalah pujian kepada
Presiden Soekarno atas sikapnya, ”Saya sekarang menyatakan Indonesia keluar
dari PBB!”. Tindakan ini telah meruntuhkan ”mitos kesucian PBB”. Tindakan ini
pula sebagai wujud sikap Indonesia yang antiimperialisme. Puisi ini mengecam
sepak terjang Amerika di berbagai negara (Konggo, Tanzania, Ghana, Amerika
Latin, Kuba, Panama, Puerto Rico).18 S.W. Kuncahjo dalam puisi berjudul ”Dari
Daerah Dimana Darah Pernah Tumpah” (hal. 716-717) mengemukan akibat buruk
penjajahan Amerika, yaitu ”setiap jengkal tanah bersimbah darah” dan ”disetiap
dada goresan luka bekas jajahan Amerika”. M.A. Simandjuntak dalam puisi
berjudul ”Percikan Api Kemerdekaan” (hal. 502-505) mengemukakan bahwa
16 [...]enyahlah orang-orang A-S!/yang mengumandang jauh keluar batas-batas Vietnam[…]17 […]senyum kepercayaan yang menyungging dibibir, mesra/berani dan hargadiri putra tanahair/senyum Vietnam, keberanian Vietnam/membawa dendam menghantam musuh/Amerika dan boneka bumiputera18 [...]Apa kerja mereka di Afrika,/di Konggo, di Tanzania, di Ghana dan dimana-mana?/Untuk apa mereka di Amerika Latin,/di Kuba, Panama, di Puerto Rico dan disemua pelosok?/Bahkan apa faedah mereka di Eropa dan di bagian lain dunia ini?/Katanya berdagang, tapi dagangannya adalah maut,/Katanya bersahabat, tapi persahabatannya campur tangan,/penipuan dan subversi,/Katanya untuk perdamaian, tapi yang dibawanya adu domba dan/perpecahan,/Katanya untuk kemerdekaan, tapi nyatanya penaklukan baru,/neokolonialisme,/Katanya membantu, tapi bantuannya menjerat leher dan/membelenggu/Katanya membawa kebudayaan, tapi kebudayaannya memabukkan,/pelacuran dan saling tembak,
70
perlawanan terhadap negara-negara imperialis dan kolonialis itu, didasari oleh
”Bandung Spirit!” Dalam puisi tersebut dengan tegas dinyatakan sikap anti-
Amerika karena negara ini adalah ”setan dunia imperilais Amerika Serikat”.19 Di
samping puisi-puisi tersebut, perlawanan bangsa Indonesia terhadap kelas
imperialis dapat dilacak pada pusi-puisi dalam Gugur Merah yang bertema
perebutan Irian Barat, seperti pada puisi ”Hermanus o Hermanus” karya Sutikno
W.S. (hal. 827).
Perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme ternyata tidak hanya
dilakukan dalam lapangan politik dan ekonomi tetapi juga terjadi dalam bidang
kebudayaan, seperti adanya boikot terhadap film-film Amerika. Boikot ini
dilandasi oleh perasaan setiakawan pengarang-pengarang Asia-Afrika yang
bertujuan mengembangkan film ”tanah airku” dan film ”Nefo” (New Emerging
Forces, negara-negara baru yang sedang bangkit untuk menentang kekuatan
negara-negara yang telah mapan sebagai imperialis dan sekutu-sekutunya). Aksi
boikot film-film Amerika ini dikemukakan dalam puisi ”Aksi Boikot” karya Sitor
Situmorang (hal. 758).
Untuk melengkapi uraian di atas, pada bagian ini dikemukakan kajian
terhadap puisi ”Percikan Api Kemerdekaan” karya M.A. Simandjuntak. Puisi ini
terdiri atas empat bagian dan setiap bagian mengungkapkan satu pokok persoalan.
Hubungan antarbagian tersebut dikaburkan oleh berbagai isu perjuangan melawan
imperialisme dan pandangan-pandangan penyairnya terhadap realitas yang sedang
terjadi dan faktor-faktor emosi (kegelisahan dan kebencian terhadap Amerika).
19 Perlawanan terhadap imperialis (Amerika, Inggris, dan Malaysia) dikemukakan dalam puisi “Jangan Kauhina” (karya S.W. Kuncahjo, hal. 726)
71
Karena itu, secara keseluruhan puisi ini menyerupai orasi demonstran yang tidak
berarturan dan lebih mengutamakan teriakan ketimbang isi. Namun demikian, di
balik ketidakteraturan tersebut, sebenarnya puisi ini dibangun di atas kerangka
yang kronologis, yaitu imperialisme menyebabkan penderitaan dan kemerdekaan
bangsa-bangsa di Asia Afrika dirampas, bangsa Asia-Afrika harus bersatu sebagai
bangsa yang senasib, dan revolusi adalah jalan terakhir perlawanan kepada
imperialisme. Dari segi struktur, diksi, gaya bahasa, dan tradisi atau konvensi
sastra yang dianut, puisi ini kurang menarik dibicarakan. Namun demikian, yang
paling penting dari puisi ini adalah suara perlawanannya yang lantang dan sikap
antiimperialisme yang sangat kuat. Suara perlawanan di dalam puisi ini diperkaya
dengan berbagai peristiwa penjajahan yang terjadi di berbagai belahan dunia yang
ditulis ulang dalam puisi ini.
Puisi ini adalah suara penyairnya dan bukan suara melalui subjek, dalam
melakukan kecaman atau protes terhadap praktik-praktik imperialisme Amerika di
Asia Afrika. Penyair berseru di atas semangat Bandung (Bandung Spirit) menolak
imperialisme Amerika:
seperti itulah tangan-tangan perkasa membanting zamannyasuatu gelombang lautberita pagi di pantai kemerdekaandan kitapun membaca suatu makna:
Yankee Go Home!No, imperialisme
Kebencian penyairnya kepada Amerika dinyatakan secara lugas. Sikap tersebut
bercampur dengan pernyataan penyair mengenai perlawanan kaum tani di desa-
desa dan perjuangan kaum buruh menyongsong masa depan. Walaupun
percampuran dua pesoalan yang disajikan dalam satu bagian dan mengganggu
72
kohesi atau kepaduan bagian tersebut, namun melalui ungkapan ”kemerdekaan
tanpa penindasan” terungkap satu maksud bahwa rakyat di Asia Afrika yang
tertindas oleh imperialisme dan kolonialisme serta kaum tani, buruh yang juga
tertindas, bersama-sama tengah berjuang untuk mencapai kemerdekaan melalui
revolusi.
Bagian dua puisi ini dipenuhi oleh berbagai fakta perlawanan rakyat
terhadap imperialisme (di Kalimantan Utara, Kamboja, Vietnam, Laos, Filifina,
Indocina, Korea, dan perlawanan orang Negro di Amerika). Dalam bait ini
penyair menegaskan bahwa yang mereka tuntut adalah kemerdekaan. Maksud
bagian dua puisi ini adalah menyebarkan rasa senasib sebagai bangsa yang
terjajah. Tindak lanjut bagian ini dikemukakan dalam bagian tiga, yaitu seruan
menyatukan diri untuk melakukan perlawanan terhadap imperialisme. Wujud
perlawanan ini adalah revolusi (dikemukakan dalam bagian empat):
sebab revolusi merombak waktusuatu revolusiuntuk sebuah dunia baru.
4.3 Kerja: Produksi Materi
Puisi-puisi yang dibicarakan pada bagian ini menunjukkan (1) makna
bekerja yang menghasilkan materi (benda/jasa) untuk memenuhi kebutuhan pokok
(makan dan pakaian); serta (2) kerja produksi materi yang dipandang sebagai
struktur basis (ekonomi) masyarakat. Sejalan dengan itu, puisi-puisi Gugur Merah
menonjolkan peran massa rakyat sebagai kelas pekerja dan mereka pada
umumnya adalah kaum tani dan buruh. Walaupun pokok ini memaknai kerja
adalah usaha untuk menghasilkan barang sehingga kebutuhan primer manusia
73
dapat dipenuhi namun penghadiran kelas pekerja (kaum tani dan buruh)
tampaknya tidak sejalan dengan tujuan ekonomi mengingat puisi-puisi tersebut
mengandung maksud lain, yaitu (1) untuk menegaskan bahwa buruh, tani, nelayan
sebagai kelas pekerja namun demikian mereka kurang dihormati, (2) untuk
mendidik dan membangun kesadaran agar berpihak dan membela buruh dan kaum
tani, (3) untuk menyerukan pujian kepada buruh dan kaum tani, dan (4) untuk
menggelorakan semangat kerja/perlawanan kaum tani.
a. Kerja Buruh
Kehidupan buruh sebagai kelas pekerja telah menjadi salah satu tema
umum puisi-puisi dalam antologi ini, seperti halnya dalam puisi berjudul ”Buruh”
karya oleh Andang C.Y. (hal. 176) yang mengemukakan bahwa buruh adalah
”satu kisah tentang cinta dan kerja”. Puisi ini hendak mengatakan bahwa kelas
buruh identik dengan kelas pekerja yang amat mencintai pekerjaannya. Dalam
puisi ”Tangan Seorang Buruh Batu Arang” karya Agam Wispi (hal. 83-84)
digambarkan secara tersirat beratnya kerja kaum buruh, seperti ungkapannya,
”adalah batu arang/yang membakar dan dibakar”.
Pada puisinya yang berjudul ”Surabaya” (hal. 122-131) Agam Wispi
memandang Surabaya sebagai kota dengan semangat kerja atau ”surabaya bau
keringat/bau kerja”. Kisah hidup yang sangat berat seorang pekerja diungkapkan
dalam puisi ”Pulang Kerja” karya S. Anantaguna (hal. 673) namun demikian ia
”tak pernah kalah”. Melalui puisi ”Dia....Buruh” karya Putu Oka (hal. 565) kita
memperoleh gambaran yang cukup lengkap mengenai konsep kerja produksi
materi yang dilakoni oleh kaum buruh. Menurut puisi ini, buruh bekerja keras
74
menempa baja yang membara. Hal ini menunjukkan bahwa buruh senantiasa
bekerja keras. Walaupun buruh hidup menderita tetapi mereka tetap berjuang
”karena punya cita/karena keyakinan/karena haridepan yang bahagia”.
Kerja keras buruh kayu jati dikemukakan dalam puisi ”Harga Kayu Jati”
karya Rumambi (hal. 644). Walaupun buruh kayu jati kerja keras namun hanya
memperoleh upah yang hanya cukup untuk mempertahankan hidup anak dan
istrinya. Persoalan yang sama juga diungkapkan dalam puisi ”Anak Buruh” karya
S. Rukiah Kertapati (hal. 648). Walaupun hidup dengan kerja keras tetapi buruh
tetap miskin, ironisme yang sering dikemukakan dalam puisi bertema kehidupan
buruh dan rakyat jelatan.
Dibandingkan dengan persoalan-persoalan hidup buruh yang berkisar di
antara ”kerja keras” namun ”menderita/hidup miskin”, ”tidak menyerah” karena
”ada harapan hari depan”, maka konsep kerja buruh dalam puisi ”Praha” karya
Agam Wispi (hal. 87-88) menunjukkan perbedaan dengan persoalan-persoalan
tersebut. Puisi ini mengemukakan bahwa karena kerja maka makanan (roti)
tersedia dan bukan karena doa agama, ”bukan karena menara gereja/tapi karena
kerja maka rumah/tiada putus roti”. Puisi ini menyindir idealisme agama melalui
konsep kerja karena hanya dengan kerja manusia hidup dan bukan karena
kemegahan menara gereja.
Untuk memberi gambaran secara lebih mendalam, dibicarakan puisi
”Anak Buruh” karya S. Rukiah Kertapati. Puisi ini dapat dikatakan mewakili
corak umum puisi-puisi kerakyatan Lekra yang mengandung struktur: (1)
kesadaran atau simpati terhadap derita, (2) berjuang, dan (3) harapan akan
75
kemenangan. Puisi tersebut menggunakan anak buruh sebagai subjek yang
menyuarakan suara penyair. Bait-bait puisi ini adalah kata-kata narasi sederhana
seorang anak mengenai pekerjaan ayah dan ibunya, penderitaan orang tuanya, dan
pujian kepada orang taunya (buruh):
ayahku menjadi buruhsetiap hari mengeluhkerja beratmeras keringatmencari upaho, tahankan lelah!
ibuku jual sayuranpayah berjalan seharianmembawa bayam, labu, kangkung,kacang, lombok, terong dan jagungbantu ayah cari uango, lupa diri banting tulang!
apabila malam datangayah terlentangdua-dua merenung untungdua-dua merasa payaho, mulialah ibu dan ayah!
kini ayah menderitaibu pedih sengsara[…]
Kutipan di atas memberi gambaran yang sangat jelas tentang derita
kehidupan sebuah keluarga buruh (kerja keras tidak memberi kehidupan yang
sejahtera). Bagi penyair, derita itulah realitas kehidupan buruh. Narasi yang
bersahaja dari seorang anak tersebut, berubah menjadi perlawanan yang terasa
dingin, yang dimulai pada baris ketiga bait keempat ketika ia bersumpah kepada
kedua orang tuanya, bahwa ia akan menjanjikan suatu hari esok:
tapi o, ibu dan ayahtunggulah di hari esok!siaplah di hari esok!
Kesederhanaan dan kelugasan narasi anak-anak terasa hilang pada bait terakhir
puisi karena kalimat-kalimat perlawanan pada enam baris tersebut telah
meluluhkan sosok anak buruh dan narasinya. Terasa ada perbedaan yang sangat
76
jelas antara bait-bait sebelumnya dengan bait kelima (terakhir) dari puisi ini.
Dengan demikian, bait ini menjadikan puisi tersebut memperoleh nuansa
revolusioner yang khas dalam tradisi Lekra:
kembangkan dada serta dunia bakarlah api menyala-nyalaaku bangkit merampasmukemenangan di tanganmu!esok menang!esok menang!
b. Kerja Kaum Tani
Dalam puisi ”Dago” karya Agam Wispi (hal. 89) dikemukakan bahwa
kaum tani adalah pekerja abadi yang bekerja sepanjang hidupnya untuk
menghasilkan pangan. Kaum tani mulai bekerja ketika subuh karena benih telah
siap ditanam, seperti diungkapkan dalam puisi ”Sentuhan Subuh” karya Azis
Akbar (hal. 210-211) karena itu kaum tani identik dengan pekerja keras, misalnya
yang ditunjukkan oleh seorang petani dari Kawung yang bercucuran keringat
ketika bekerja (dalam puisi ”Pengadilan” karya Kuslan Budiman, hal. 441). Di
Kawung keringat kaum tani bercucuran membasahi tanah sawah. Walaupun tanah
garapan bukan miliknya, namun kaum tani tetap bekerja keras, seperti yang
dikemukakan dalam puisi ”Petani Pulang dari Bui” karya S. Anantaguna (hal.
670), dengan ungkapan ”mencangkuli tanah kerja yang punya”. Kerja keras
kaum tani tampak pada cucuran keringatnya akibat ”dipanggang matahari”, yang
tidak pernah berhenti ”mengayunkan cangkul”. Walaupun keringat bercucuran
namun mereka tidak letih karena perasaan yang menggelora di dadanya (”raksasa
menggempur gunung”), yang dikemukakan misalnya dalam puisi ”Bagi Selembar
Tanah” karya Rumambi (hal. 639).
77
Puisi-puisi tersebut tampaknya untuk membangun kesadaran bahwa kaum
tani adalah kelas pekerja keras yang tidak kenal menyerah. Puisi-puisi tersebut
tidak membicarakan kerja petani secara ekonomi tetapi adalah alat bagi penyair
untuk membangun alasan yang kuat mengapa kaum tani harus dibela.
Untuk melengkapi uraian di atas, pada bagian ini disajikan analisis
terhadap puisi ”Sentuhan Subuh” karya Aziz Akbar. Puisi ini menghadirkan
suasana subuh di desa petani. Pada mulanya subjeknya adalah penyair sendiri
tetapi kemudian lenyap, digantikan oleh subjek petani. Dengan demikian, puisi ini
menghadirkan subjek ganda, yaitu penyair dan petani. Penyair hadir di dalam
puisi ini sebagai ”aku”. Harmoni puisi ini terganggu oleh bait kedua yang
mengisahkan kerja keras nelayan dan baris kedua pada bait ketiga yang
membicarakan kerja pande besi:
pasir pantai berjejak-jejak tapak nelayandisirami empasan lidah ombaknelayan telah melaut sebelum fajarberdendang tunggal dikesamaran warna subuhperahuku melayani hidupmeniti-niti puncak gelombang
kudengar dentangan besi menimpa bersorak
Selain bait dan baris tersebut, seluruh puisi ini mengenai kehidupan di sebuah
desa petani. Walaupun demikian, puisi ini tetap mengemukakan semangat kerja
seperti dalam kutipan berikut ini.
”mari ke ladang, dikbenih kita masih remaja menanti hari”
kasih, mana aritaku akan merumput.....
Puisi ini juga menyajikan suatu renungan mengenai cinta, kewajiban,
kebahagiaan, dan kedamaian:
kuraih tubuhmu dari mimpi malam
78
dan debaran jantungku bertanya”adakah gembira yang lebih dari cinta pada hidupcinta pada kewajiban tahu kau, kebahagiaan hidup ini akan hancurjika damai hancur pula
Berhadapan dengan keadaan ini, maka titik berat tetap diberikan kepada pesan
umum puisi ini, yaitu semangat bekerja nelayan, kaum tani, dan tukang besi.
Walaupun demikian, masih ada peluang menggunakan cara pandang lain bahwa
bait tersebut adalah sisipan, inti pemikiran atau pandangan penyair yang
disampaikan melalui subjek (kata-kata petani kepada istrinya), yang bisa pula
menjadi fokus puisi ini. Pada bait itulah penyair menyampaikan pemikirannya
mengenai cinta kepada kewajiban, kebahagiaan dan perdamaian.
c. Kerja Nelayan
Di samping mengemukakan buruh dan kaum tani sebagai kelas yang
bekerja keras, ada pula puisi yang menggambarkan kehidupan dan cara kerja
nelayan, misalnya dalam puisi berjudul ”Nelayan Dilaut Mengarang” karya Azis
Akbar (hal. 208-209). Sebagaimana halnya buruh dan kaum tani yang bekerja
keras, kaum nelayan juga bekerja keras dan mempertaruhkan hidupnya di lautan,
”dalam gulungan gelombang dan dera topan”. Walaupun kerja mereka bukanlah
”menyusur laut tenang” atau tanpa hambatan namun ”selama darah masih merah
dan panas menggelora” nelayan tetap bekerja. Puisi ini mengemukakan kerja
keras nelayan di laut lepas karena mereka mencintai kerja itu sendiri seperti
”merajut kasih dalam gelombang”.
Puisi ”Nelayan Dilaut Mengarang” adalah puisi pujian kepada hidup dan
kerja nelayan. Dari segi kehadiran subjek, puisi ini dapat dibagi menjadi dua,
79
yaitu (1) penyair hadir sebagai subjek dan (2) nelayan sebagai subjek, yang
dihadirkan melalui teknik kutipan langsung. Dua bait pertama adalah gambaran
kerja atau perjuangan serta pujian penyair kepada nelayan. Nelayan berjuang di
laut lepas menghadapi gelombang, topan, dan karang. Karena itu kerja nelayan
sangat berat. Dengan keyakinan, warna darahnya masih merah, dan panas dalam
tubuh masih menggelora, nelayan tetap bertahan. Gambaran kerja berat nelayan
digambarkan melalui kutipan di bawah ini.
membeku kasih nelayan di laut lepasdalam gulungan gelombang dan dera topanpantai-pantai mengabur pandangan di seluruh tepi kabut tebaldan tujuan dipapasi gunung karanglayar kembang... pecah-pecah... serpih demi serpi mencelup laut
nelayan tiada menyusur laut tenangtapi ia yakin pastiwalau badan direnggut laut buasdan luka-luka menganga ditumpas karangselama darah masih merah dan panas menggelora di keseluruhansia-sia maut menjemput.
Gambaran harapan nelayan yang dikemukkan pada bait ketiga puisi ini
menunjukkan bahwa karya ini ada dalam tradisi besar sastra Lekra, yaitu tradisi
sastra yang melakukan transformasi realitas ke dalam teks yang berstruktur:
penderitaan (hidup tertindas), perjuangan atau kerja keras, dan harapan. Harapan
dalam puisi ini adalah seperti berikut.
pada kasihnya ia berpesan aku tiada kan bersenandung di pulau tenangsebelum darahku membeku biruakan kuciptakan istana karang di laut membentangistana nelayan waktu berjuang.
Dua bait terakhir puisi ini mengulangi apa yang telah disampaikan di dalam bait
pertama dan kedua, dengan cara pengungkapan yang berbeda. Puisi sejenis ini
menunjukkan satu corak puisi Lekra, yaitu menyampaikan pujian kepada rakyat
80
yang telah bekerja keras. Di samping itu, puisi ini juga menunjukkan corak puisi
Lekra lainnya, yaitu terikat dengan struktur derita hidup, perjuangan, dan harapan.
Dengan demikian, satu corak sastra Lekra yang tidak tampak di dalam karya ini
adalah revolusioner.
d. Kerja dalam Kerangka Revolusi
Puisi-puisi yang dibahas berikut ini mengemukakan berbagai pandangan
penyair terhadap makna kerja dalam kerangka revolusi. Sejalan dengan itu, kerja
keras massa rakyat, tidak selamanya hanya sebatas dalam rangka
mempertahankan hidup dan menyediakan pangan kepada masyarakat, seperti
yang terungkapk dalam puisi ”Darah Merah Diwajah Duka” karya Roemandung
Drastia E.M. (hal. 598-599), kita memahami makna kerja yang lebih tinggi
tingkatannya, yaitu kerja dalam rangka mencapai tujuan sosial. Hal itu tampak
melalui ungkapan ”pantang mnyerah” dan ”siapa datang ia tantang”, ”rela mati
tengah gelanggang” karena prinsipnya adalah ”sekali juang tetap juang”. Dalam
hal ini, makna kerja sama dengan perjuangan yang membutuhkan tekad bulat
untuk menghadapi segala tantangan dan siap mengorbankan jiwa raga.
Sejalan dengan konsep ”kerja adalah perjuangan hidup dan mati” tersebut,
menyiratkan ajakan becermin kepada kerja keras rakyat dalam rangka revolusi di
Cina, sebagaimana para pekerja di kota Hopei ”membongkar gunung”,
”membongkar tanah tandus” atau pekerja-pekerja berbaju koper biru di Peking
dan Shanghai, yang bekerja sepanjang hari sehingga asap pabrik mengepul dari
beribu cerobong (dalam puisi ”Lagu-lagu Tiongkok Baru” karya Sitor
Situmorang, hal. 763-764). Puisi ini mengaskan bahwa kerja rakyat adalah dalam
81
rangka sebuah revolusi karena ”Revolusi sedang membakar padang” dan
”sosialisme abad ke-20 telah disini” (di China atau Tiongkok). Kerja keras rakyat
dalam rangka revolusi dan mewujudkan masyarakat sosialis, membutuhkan satu
syarat yang utama yaitu rasa setiakawan (dalam, puisi ”Makan Roti Komune”
karya Sitor Situmorang, hal. 765-766).
Konsep kerja yang sejalan dengan konsep tersebut tampak pula dalam
konsep ”kerja sebagai perjuangan” yang dilakukan oleh kaum wanita Komunis
Indonesia (dalam puisi ”Lagu Juang Wanita Sejati” karya Ratnasih, hal. 586-
587). Puisi ini menyerukan ”semangat banteng merah” dalam ”bekerja, belajar
pada massa” untuk mencapai hari esok. Sementara itu, makna kerja yang
dikemukakan dalam puisi ”Merah darah Agung” karya Toga Tambunan (hal. 875)
adalah cinta tanah air dan cinta kepada manusia, ”demi tanah air/dan
manusia/segala cinta/kutumpahkan pada kerja”. Bagi D.N. Aidit, kerja berarti
membela rakyat, sebagaimana diungkapkan dalam puisi ”Aku Ingin Sehat dan
Cerdas” karya R.S. (hal. 625).
Salah satu puisi yang menyinggung tentang kerja, yaitu ”Merah Darah
Agung” karya Toga Tambunan, dianalisis secara utuh dalam bagian ini untuk
melengkapi uraian di atas. Jika judul puisi tersebut dikaitkan dengan isinya, maka
tidak tampak adanya hubungan yang jelas. Isi puisi sama sekali tidak
menunjukkan apa yang dimaksud dengan ”Merah Darah Agung”. Pada bait-bait
awal puisi ini berbicara tentang cinta. Cinta diibaratkan dengan sekuntum bunga
dan tangkainya. Menurut penyair, bunga hanyalah pemberi warna kepada cinta.
Yang terpenting adalah tangkai bunga itu (tangkai cinta) yang berakar di hati:
82
bunga hanyalah pemberi warnatapi tangkai tempat hidupnyajika tangkao berakar dihatitentu cinta tak pernah mati
Puisi ini adalah suatu penjelasan tentang cinta yang bersumber dari pemahaman
penyairnya dan diarahkan kepada objeknya, yaitu perjuangan atau kerja keras
meruntuhkan tembok-tembok tua dan mendirikan bangunan baru di atasnya:
oleh cintaantarkan nyala hati ini pada pertaruhan kita runtuhkan tembok-tembok tuadan dirikan bangunan baru di atasnya
Bait pada kutipan tersebut memiliki pararelitas dengan pandangan Presiden
Soekarno mengenai revolusi, bahwa revolusi adalah menjebol dan membangun,
membangun dan menjebol (Soekarno, 1964: 397). Dengan demikian, objek cinta
puisi tersebut adalah revolusi. Dengan cinta kepada revolusi maka revolusi akan
berjalan terus sampai kepada tujuannya. Di samping cinta kepada revolusi, pada
bait terakhir dikemukakan bahwa wujud cinta penyair kepada tanah air dan
manusia adalah kerja, seperti pada kutipan di bawah ini.
demi tanah airdan manusiasegala cintakutumpahkan pada kerja
Puisi jenis ini dapat dipandang sebagai corak lain puisi tradisi Lekra karena puisi
ini memaparkan suatu konsep konsep untuk memberi penjelasan kepada
masyarakat, dalam hal ini tentang cinta, hubungannya dengan revolusi, tanah air,
manusia, dan kerja. Walaupun demikian, puisi ini tetap berada di tengah arus
utama tradisinya sendiri karena bersinggungan dengan revolusi.
4.4 Masyarakat Sosialis Indonesia
83
Konsep tersebut ditelusuri melalui pembicaraan puisi-puisi berikut ini.
Dalam bait pertama puisi ”Mars ke Sosialisme” karya Klara Akustia (hal. 414-
415) dikemukakan kondisi masyarakat yang memberlakukan sistem perbudakan,
pengisapan kapitalis, berlakunya hak milik (atas alat produksi) secara
perseorangan. Sebaliknya, pada bait ketiga, Klara Akustia menuliskan keadaan
negeri sosialis dengan ungkapan, ”Dunia milik bersama”. Melalui puisi tersebut
terungkap bahwa masyarakat sosialis di Indonesia belum dicapai dan tampaknya
baru sebatas ”pintu kedunia fajar bersinar”. Kemiskinan, kemelaratan hidup, dan
derita kaum lemah terjadi karena adanya pengisapan manusia oleh manusia.
Hanya ada satu jalan untuk mengatasi keadaan tersebut, yaitu sosialisme,
sebagaimana dikemukakan dalam puisi ”Pernyataan” karya Toga Tambunan (hal.
874).20
Sosialisme sebagai bentuk masyarakat yang bebas pengisapan/penindasan
manusia oleh manusia, berlakunya hak milik kemasyarakatan atas alat-alat
produksi, terciptanya masyarakat yang bebas dari kemiskinan dan kemelaratan;
belum dicapai. Masyarakat sosialis hanya sebatas harapan atau cita-cita, yang
diungkapkan dalam berbagai istilah.21 Hal itu menunjukkan bahwa cita-cita
ideologi Marxis yang paling tinggi belum dicapai tetapi akan selalu ada keyakinan
bahwa suatu ketika akan dicapai karena masyarakat sosialis atau sosialisme
20 […]karena kutahu siapa aku sekarang/serta kemiskinan dan sosialisme yang pasti datang/aku berjanji mau jadi komunis yang manis/yang takkan menyerah kalah dipenindasan imperialis
21 (kemenangan akan dicapai, tujuan, harapan, hari selalu baru, tanah air sosialis, impian, demokrasi- kemerdekaan bagi rakyat pekerja, dunia yang baru, derita ini pasti berakhir, suatu hari–permbebasan, jaman kehidupan yang lebih baik, melangkah dijalan kemenangan, imprealisme tak lagi lama, hari datang, jalan kedepan, Kedambaan mau lepas dari lapar, lagu kemenangan memasuki daerah baru, surga bukan lagi hanya dongengan, kemerdekaan).
84
Indonesia tidak terelakkan, sebagaimana dikemuakakan dalam puisi ”Salam”
karya Sutikno W.S. (hal. 835)22 serta dalam puisi ”Makan Roti Komune” karya
Sitor Situmorang (hal. 766). Hal ini hanya dapat dicapai melalui jalan perjuangan
PKI melalui revolusi (”bersama Kawan-Aidit dan PKI”), sebagaimana hal itu
dikemukakan dalam puisi ”Hati Djangan Dibatas Malam” karya Sartono (hal.
748-749) dan puisi ”Aku dan Keyakinan” karya Sobron Aidit (hal. 791).
Cita-cita atau harapan terciptanya masyarakat sosialis identik dengan PKI,
sebagaimana hal itu diungkapkan secara tersurat melalui ungkapan ”panji merah
berikibar” dalam puisi ”Salam” karya Sutikno W.S. yang dianailisis di dalam
bagian ini. Puisi ini adalah pujian, cetusan rasa bangga, dan cinta penyairnya
kepada PKI karena partai tersebut menghembuskan hari baru (sosialisme):
berulang kali kutemui kebanggaan iniketika langit membirupanji merah berkibar di naungannya
tak terucapkanpun kata-kata sekali kutemukan cintabergetar ia seumpama lagumenafaskan hari baru
Pujian atau penghargaan penyairnya juga disampaikan kepada massa yang telah
memilih PKI karena mereka telah menjatuhkan pilihan politik yang tepat. Karena
itu, penyair juga mengemukakan pesan kepada massa agar bersama membangun
keyakinan pada pilihan tersebut bahwa kemenangan akan tercapai, sebagaimana
tampak melalui kutipan di bawah ini.
ah, kawan-kawankepada kalian yang telah menepatkan pilihanapakah yang bisa kusalamkanselain salut dan harapanyakinkan pada diri sendiri tentang kemenangan
dan fajar dari segala fajarlahir dari barisanmu yang besar
22 […]kemenangan dan hari depan/bumi sosialis tak terelakkan
85
kemenangan dan hari depan bumi sosialis tak terelakkan
Puisi ini menegaskan bahwa masyarakat sosialis belum tercapai tetapi jalan untuk
mencapainya sudah ada, yaitu PKI. Keyakinan atau rasa optimis seperti ini adalah
gejala umum dalam puisi-puisi Lekra, yang bersumber dari kesadaran penyair
terhadap fungsi sosialnya di tengah-tengah perjuangan massa rakyat pekerja
dalam membebaskan diri dari hidup menderita atau tertindas. Dengan cara itulah
sastra difungsikan dalam kehidupan nyata dan memperoleh nilai artistik yang
tinggi.
4.6 Representasi Ideologi Marxis dalam Puisi
Berdasarkan kerangka yang digunakan (massa rakyat pekerja sebagai
pencipta sejarah, perjuangan kelas, manusia harus berproduksi atau bekerja, dan
sosialisme) dapat dikemukakan bahwa puisi-puisi antologi Gugur Merah
merepresentasikan ideologi Marxis. Di samping itu, puisi-puisi tersebut juga
menunjukkan pararelitas dengan pandangan Aidit mengenai Mrxisme, yang
dijabarkan dalam teks nonsastra, yaitu buku Tentang Marxisme. Puisi-puisi
tersebut sebagai penjabaran dan sekaligus berfungsi sebagai alat pendidikan
ideologi, pujian kepada partai, dan ruang untuk membangun optimisme dan
harapan. Temuan tersebut berhubungan dengan pandangan bahwa sastra harus
menjadi alat partai, bagian pekerja partai demokratik sosial yang terorganisasi,
metodik, dan bersatu (Barry, 2010: 186). Representasi ideologi Marxis yang
diakomodasi oleh PKI tampak dengan jelas melalui diksi yang digunakan (tabel 1,
86
2, 3, 4, dan 5 dalam lampiran). Diksi yang digunakan dalam puisi-puisi tersebut
adalah sarana utama bagi para penyair dalam rangka mengemukakan tema,
menyatakan sikap (membela massa rakyat pekerja yang tertindas, revolusioner),
membangun harapan, dan mengembangkan nilai-nilai kesetiakawanan di kalangan
bangsa-bangsa terjajah. Karena itu, puisi-puisi Lekra bercorak khas melalui diksi
yang digunakan secara umum. Dengan demikian, diksi menjadi unsur yang sangat
penting dalam puisi-puisi Lekra ketimbang unsur-unsur lainnya (persajakan,
tipografi, gaya bahasa, nada).
Puisi-puisi tersebut juga mengandung tujuan revolusioner dalam rangka
mencapai tujuan politis, yaitu perjuangan menuju masyarakat sosialis. Hal ini
sejalan dengan pendapat Ratna (2007: 372-373) bahwa sastra ideologis dan
propagandis adalah sastra yang bertendens, yang lebih menitikberatkan kepada
fungsi dan manfaat karya dalam rangka melaksanakan niat subjek (pengarang
sebagai anggota masyarakat). Sastra ideologis dikaitkan dengan teori sastra
Marxis yang mengharuskan karya sastra mengandung maksud yang sejalan
dengan kepentingan partai.
Sejalan dengan itu, sastra Marxis tidak semata-mata mengungkapkan
realitas tetapi juga mengemukakan realitas yang seharusnya terjadi, yang
diinginkan bersama. Walaupun sastra Marxis dihasilkan oleh individu tetapi ia
adalah anggota suatu kelas dan karya sastranya adalah suara kelasnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, puisi-puisi yang terhimpun dalam
antologi Gugur Merah tidak hanya mengungkapkan persoalan sosial politik
bangsa Indonesia melalui sudut pandang PKI tetapi juga mengungkapkan realitas
87
yang seharusnya yaitu masyarakat sosialis. Dengan demikian, puisi-puisi tersebut
adalah suara-suara kelas massa rakyat pekerja yang tertindas, disuarakan oleh
penyair-penyair yang menjadi wakil kelas.
88