79
Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009 V-1 NK RAPBN 2009 BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 5.1.Pendahuluan Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Seiring dengan perubahan dinamika sosial politik, Pemerintah telah melakukan revisi beberapa materi dalam undang-undang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dengan ditetapkannya Undang- undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Substansi perubahan kedua undang-undang tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Dengan demikian diharapkan pembangunan daerah dapat berjalan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi regional, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi fiskal sebagai salah satu instrumen kebijakan Pemerintah mempunyai prinsip dan tujuan, antara lain untuk: (i) mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal im- balance); (ii) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah; (iii) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; (iv) tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian Transfer ke Daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil; (v) dan mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Di samping itu, untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepada daerah diberikan kewenangan memungut pajak (taxing power). Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan Transfer ke Daerah, yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana Transfer ke Daerah. Alokasi dana Transfer ke Daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu dari Rp81,1 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp253,3 triliun pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp293,6 triliun pada tahun 2008, atau tumbuh rata- rata sebesar 20,2 persen per tahun. Selain dana desentralisasi tersebut, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah, yaitu dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Walaupun dana-dana tersebut tidak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun secara nyata dana tersebut dibelanjakan di daerah, baik dalam bentuk belanja fisik maupun nonfisik. Jumlah dana tersebut cukup

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-1NK RAPBN 2009

BAB V

KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DANPENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

5.1.PendahuluanKebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001adalah dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Seiring denganperubahan dinamika sosial politik, Pemerintah telah melakukan revisi beberapa materi dalamundang-undang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dengan ditetapkannya Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan PemerintahanDaerah. Substansi perubahan kedua undang-undang tersebut adalah semakin besarnyakewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah.Dengan demikian diharapkan pembangunan daerah dapat berjalan sesuai dengan aspirasi,kebutuhan, dan prioritas daerah, sehingga dapat memberikan dampak positif bagiperkembangan ekonomi regional, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraanmasyarakat.

Desentralisasi fiskal sebagai salah satu instrumen kebijakan Pemerintah mempunyai prinsipdan tujuan, antara lain untuk: (i) mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusatdan Pemerintah Daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal im-balance); (ii) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjanganpelayanan publik antardaerah; (iii) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber dayanasional; (iv) tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatanpengalokasian Transfer ke Daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil; (v) danmendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Di samping itu, untukmeningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepada daerah diberikankewenangan memungut pajak (taxing power).

Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan Transfer ke Daerah,yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun Dana Perimbanganterdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus(DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana Transfer ke Daerah. Alokasi danaTransfer ke Daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dandesentralisasi fiskal, yaitu dari Rp81,1 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp253,3 triliun padatahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp293,6 triliun pada tahun 2008, atau tumbuh rata-rata sebesar 20,2 persen per tahun.

Selain dana desentralisasi tersebut, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayaiprogram dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah, yaitu danadekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan kegiataninstansi vertikal di daerah. Walaupun dana-dana tersebut tidak masuk dalam AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun secara nyata dana tersebut dibelanjakan didaerah, baik dalam bentuk belanja fisik maupun nonfisik. Jumlah dana tersebut cukup

Page 2: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-2 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN) cukup tinggi. Pada tahun 2008, total dana yang dibelanjakan di daerah telahmencapai 41,3 persen dari total belanja APBN.

Jumlah dana tersebut di atas akan menjadi lebih besar lagi apabila ditambahkan dengandana yang digulirkan dalam rangka program pembangunan daerah dan program pengentasankemiskinan, yaitu program Subsidi dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat(PNPM) yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah. Besarnya dana untuk kedua pro-gram tersebut pada tahun 2008 berturut-turut adalah 23,6 persen dan 0,7 persen dari totalbelanja APBN. Dengan demikian, kurang lebih 65 persen dari total belanja APBN akandibelanjakan di daerah (lihat Grafik V.1).

Selain dana-dana tersebut, daerahjuga mempunyai sumber danasendiri berupa Pendapatan AsliDaerah (PAD) yang pada tahun2007 dan 2008 jumlah keseluruhanuntuk provinsi dan kabupaten/kotamasing-masing sebesar Rp47,3triliun dan Rp54,0 triliun. Jumlahkeseluruhan dana tersebut, baikyang berasal dari APBN maupunyang berasal dari PAD, akan sangatbermanfaat dan menjadi stimulusfiskal bagi perekonomian di daerahdalam rangka mewujudkankesejahteraan masyarakat.Keberhasilan suatu daerah dalammewujudkan kesejahteraanmasyarakat sangat tergantungpada kebijakan masing-masingpemerintahan daerah. Kebijakan

tersebut dapat dilakukan melalui alokasi sumber-sumber pendanaan pada program dankegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), sehingga dapatmenciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin.

Alokasi sumber-sumber pendanaan tersebut akan tercermin pada alokasi belanjanya. Apabilaalokasi belanja daerah dibagi menurut jenis belanjanya, maka selama tahun 2005-2008,porsi belanja pegawai masih menempati peringkat tertinggi yaitu rata-rata 38,0 persen daritotal belanja. Sementara itu, porsi belanja barang mencapai 25,9 persen, belanja modal 25,8persen, dan belanja lainnya 10,3 persen. Sedangkan apabila dibagi menurut fungsi ataubidangnya, maka pada tahun 2007 belanja daerah yang digunakan untuk melaksanakanfungsi pelayanan umum menempati urutan teratas yaitu 35,0 persen dari total belanja daerah.Sedangkan belanja daerah yang digunakan untuk mendanai fungsi pendidikan mencapai23,0 persen, fungsi perumahan dan fasilitas umum 19,0 persen, dan fungsi kesehatan hanya8,0 persen, atau di bawah alokasi untuk fungsi ekonomi yaitu 10,0 persen.

Pemerintah mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan perekonomian daerahdan kesejahteraan masyarakat melalui upaya percepatan penyaluran dana Transfer ke Daerah

Grafik V.1 Alokasi Belanja pada APBN-P Tahun 2008

Pemda (APBD)

-

Melalui K/L

Belanja APBN ke Daerah: (41,3%)

Belanja Pusat di Pusat:

(34,4%) Subsidi:

(23,6%)

Belanja Pusat di Daerah:

(11,8%)

Transfer ke Daerah:

(29,5%)

PNPM: (0,7%)

Dana Vertikal: (69,1%)

Dana TP: (9,3%)

Dana Dekon: (21,6%)

Dana Penyesuaian:

(2,2%) DBH SDA: (14,3%) DBH Pajak:

(12,3%)

Dana Otsus: (2,6%)

DAK: (7,3%) DAU: (61,4%)

Sumber: Departemen Keuangan

Page 3: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-3NK RAPBN 2009

dan mendorong pelaksanaan atau realisasi belanja pemerintah daerah. Untuk itu, Pemerintahterus mendorong agar proses penetapan Peraturan Daerah (Perda) APBD dapat dilakukansecara tepat waktu guna mempercepat realisasi belanja daerah. Hal ini perlu dilakukan karenaketerlambatan penetapan Perda APBD dikhawatirkan akan mengakibatkan penumpukkandana yang belum terpakai, sehingga cenderung ditempatkan ke dalam bentuk investasi jangkapendek, seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) melalui Bank Pembangunan Daerah.

Percepatan penetapan APBD dan realisasi belanja daerah harus dibarengi dengan kualitasbelanja daerah, yang dapat dilakukan antara lain melalui pola penganggaran yang berbasiskinerja, penganggaran dalam kerangka penganggaran jangka menengah, dan sistempelaporan yang akuntabel, sebagaimana telah diatur dalam pedoman pengelolaan keuangandaerah dan standar akuntansi pemerintah.

Percepatan penyaluran dana Transfer ke Daerah, percepatan realisasi belanja daerah, danpeningkatan kualitas belanja daerah diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayananpublik dan pembangunan ekonomi daerah. Namun demikian, peningkatan kualitas pelayananpublik dan pembangunan ekonomi daerah tersebut harus diimbangi juga denganpemerataannya, serta tingkat kesejahteraan masyarakat antardaerah.

Untuk mengukur tingkat pemerataan tersebut di atas, berdasarkan angka Indeks Williamsonyang mengukur tingkat pemerataan PDRB antarprovinsi (tidak termasuk Provinsi DKIJakarta), pada tahun 2002 kesenjangan tingkat aktivitas perekonomian di Indonesia beradapada indeks sebesar 0,722 dan menurun menjadi 0,589 pada tahun 2006. Penurunan angkaIndeks Williamson tersebut mengindikasikan bahwa perkembangan aktivitas perekonomianantarprovinsi di Indonesia semakin menurun tingkat kesenjangannya, meskipun indeksnyamasih relatif tinggi.

Selanjutnya, untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat, dapat digunakan IndeksPembangunan Manusia (IPM). Berdasarkan hasil survei United Nations Development Pro-gram (UNDP), nilai IPM Indonesia pada tahun 2001 sebesar 0,682 dan pada tahun 2005meningkat menjadi sebesar 0,728. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatankesejahteraan masyarakat selama kurun waktu tersebut. Berdasarkan data IPM yang diukuroleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2007 Provinsi DKI Jakarta menempati posisiIPM tertinggi dengan nilai indeks sebesar 76,33, sedangkan Provinsi Papua menempati posisiIPM terendah dengan nilai indeks sebesar 59,91.

Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian dan tingkatkesejahteraan masyarakat tersebut di atas, merupakan indikasi dari dampak peningkatanjumlah dana yang dibelanjakan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasimaupun dana-dana lain di daerah. Akan tetapi, apabila dilihat secara parsial, perkembanganekonomi dan kesejahteraan masyarakat setiap daerah relatif masih berbeda. Meskipun rata-rata nasional persentase penduduk miskin mengalami penurunan, namun masih ada beberapaprovinsi yang justru mengalami peningkatan persentase jumlah penduduk miskin.

Daerah-daerah yang mempunyai alokasi dana per kapita besar, baik melalui mekanismedana desentralisasi, dana dekonsentrasi, dan dana tugas pembantuan, maupun dana instansivertikal, seyogyanya juga mempunyai prestasi yang menggembirakan dalam hal peningkatanpertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, maupun pengurangan jumlahpengangguran. Namun demikian, berdasarkan hasil evaluasi beberapa tahun terakhirmenunjukkan bahwa beberapa daerah yang memperoleh dana per kapita besar ternyata

Page 4: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-4 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

masih memiliki indikator tingkat kesejahteraan yang belum memuaskan dan tingkatpertumbuhan ekonomi yang relatif lambat. Hal ini mengindikasikan bahwa pola belanja dibeberapa daerah masih belum optimal dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakatdan pembangunan ekonomi daerah.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, kebijakan desentralisasi fiskal ke depan perlu diarahkanpada upaya untuk melakukan reformulasi kebijakan transfer dana desentralisasi, penguatantaxing power daerah, dan sinkronisasi dana desentralisasi dengan dana dekonsentrasi dandana tugas pembantuan. Di sisi belanja, upaya peningkatan efektivitas pengeluaran APBDakan dilakukan melalui percepatan penetapan APBD, penerapan APBD yang berbasis kinerja,dan penerapan penganggaran jangka menengah.

Harus diakui bahwa untuk mengejar pembangunan di beberapa daerah yang masih tertinggaldibutuhkan dana yang cukup besar, terutama untuk investasi awal di bidang infrastruktur.Di samping itu, untuk mendukung efektivitas percepatan pembangunan di beberapa daerahtersebut, kebijakan belanja daerah harus lebih diarahkan kepada program-program riil yanglangsung menyentuh kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, keberhasilan desentralisasi fiskaldalam mendorong pembangunan daerah harus didukung pula oleh peran sektor swasta danpenciptaan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi daerah, di samping adanyapengaruh dari dinamika perkembangan ekonomi global.

5.2. Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal diIndonesia

5.2.1. Kebijakan Desentralisasi Fiskal

Sejalan dengan tuntutan demokratisasi dalam bernegara, maka penyelenggaraanpemerintahan juga mengalami perubahan, sistem pemerintahan yang semula lebih condongpada sentralisasi menjadi desentralisasi. Selaras dengan perubahan sistem tersebut, makatata aturan juga mengalami perubahan yang lebih mengarah kepada penyempurnaanpelaksanaan otonomi daerah, melalui pemberian kewenangan yang seluas-luasnya dengantetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berbagai penyempurnaan dilakukan seperti yang tertuang dalam UU Nomor 33 Tahun 2004,yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 25 Tahun 1999, dengan pokok-pokokperubahan bahwa penyediaan sumber-sumber pendanaan untuk mendukungpenyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan kewenangan Pemerintah, Desentralisasi,Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, perlu diatur melalui perimbangan keuangan antaraPemerintah dengan pemerintahan daerah, yang berupa sistem keuangan yang diaturberdasarkan kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar susunan pemerintahan.

Hakikat penyempurnaan utamanya menjaga prinsip money follows function, artinyapendanaan mengikuti fungsi-fungsi pemerintahan sehingga kebijakan perimbangankeuangan mengacu kepada 3 prinsip yakni: (1) perimbangan keuangan antara Pemerintahdengan pemerintahan daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensipembagian tugas antara Pemerintah dan pemerintah daerah; (2) pemberian sumberkeuangan negara kepada pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasididasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah dengan

Page 5: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-5NK RAPBN 2009

memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal; dan (3) perimbangan keuangan antaraPemerintah dan pemerintah daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangkapendanaan penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

Mempertegas perimbangan keuangan sebagai unsur utama dalam kebijakan desentralisasifiskal, maka pelaksanaan tiga paket undang-undang di bidang keuangan negara, yakni UUNomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentangPerbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaandan Tanggung Jawab Keuangan Negara merupakan acuan dasar pelaksanaan UU Nomor33 Tahun 2004, khususnya pengaturan komponen Dana Perimbangan yang terdiri dari DBH,DAU, dan DAK. Dibandingkan dengan pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 1999 makapenyempurnaan yang dimuat dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 antara lain: (i) DBH Pajak,yang meliputi DBH PBB dan DBH BPHTB, ditambah dengan DBH PPh wajib pajak orangpribadi dalam negeri (WPOPDN); (ii) DBH SDA kehutanan, dengan mengakomodir danareboisasi, yang semula merupakan DAK-DR;dan (iii) DBH SDA, yang meliputi SDA minyakbumi, SDA gas alam, SDA pertambangan umum, SDA kehutanan dan SDA perikanan,ditambahkan dengan DBH SDA Panas Bumi.

Pelaksanaan kebijakan perimbangan keuangan dalam tatanan keuangan negara yang semulatermasuk dalam kategori Belanja ke Daerah juga disempurnakan secara bertahap.Penyempurnaan tersebut meliputi pola pembagian DBH yang lebih transparan dan akuntabel,penyempurnaan formulasi DAU yang dilakukan secara konsisten dan mengarah kepadafungsi pemerataan kemampuan keuangan daerah, serta penyempurnaan terhadap penerapankriteria penentuan DAK. Selain itu, penyempurnaan juga dilakukan untuk memenuhiketentuan perbendaharaan negara, sehingga sejak tahun 2008 sebagai pelaksanaanpemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerahdikategorikan sebagai transfer ke daerah. Dengan demikian, diharapkan arah kebijakandesentralisasi fiskal dalam pelaksanaannya menjadi lebih terukur sebagai capaian kinerja,baik Pemerintah maupun pemerintahan daerah.

Pemerintah juga memberikan perhatian yang besar terhadap sumber PAD. Hal inidimaksudkan agar daerah dapat memungut sumber-sumber pendapatannya secara optimalsesuai dengan potensi masing-masing daerah. Namun demikian, pelaksanaanpemungutannya tidak boleh menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan tetap menciptakaniklim yang kondusif bagi para investor. Dalam hubungan ini, Pemerintah dan DPR saat inisedang melakukan perubahan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan RetribusiDaerah untuk memperkuat taxing power daerah dan meningkatkan kepastian hukum dibidang perpajakan daerah.

Sumber-sumber PAD yang sebagian besar terdiri dari pajak daerah dan retribusi daerah diaturoleh undang-undang tersendiri, yang memberikan kewenangan kepada daerah provinsi dankabupaten/kota untuk memungut pajak dan retribusi. Dalam undang-undang tersebut jugadiatur jenis-jenis pajak dan retribusi yang dipungut provinsi dan kabupaten/kota, sehinggadapat dihindari adanya tumpang tindih pemungutan pajak atau satu obyek pajak dikenaidua atau lebih pungutan pajak.

Berbagai kebijakan tersebut diharapkan dapat memperkuat pendanaan daerah dalammenyelenggarakan pembangunan dan pelayanan masyarakat. Namun demikian, apabilaAPBD mengalami defisit, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman. Pelaksanaanpinjaman daerah harus mengikuti kriteria dan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah,

Page 6: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-6 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

seperti pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung ke luar negeri, jumlahpinjaman tidak boleh lebih dari 75 persen penerimaan umum APBD, Debt Service CoverageRatio sekurang-kurangnya 2,5.

Dalam pengelolaan keuangan, daerah diberikan keleluasaan sehingga dapat mengalokasikandananya sesuai dengan kebutuhan daerah dengan tetap mengacu pada peraturanperundangan. Hal ini sejalan dengan alokasi dana transfer Pemerintah yang sebagian besartelah diberikan diskresi sepenuhnya kepada pemerintah daerah. Namun demikian, dalammengelola keuangannya, daerah harus melakukan secara tertib, efisien, ekonomis,transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan. Seluruhpenerimaan dan pengeluaran daerah yang menjadi hak dan kewajiban harusdiadministrasikan dalam APBD. Pengelolaan keuangan daerah selain dilakukan secara efektifdan efisien diharapkan dapat mendukung terwujudnya tata kelola pemerintah daerah yangbaik bersandarkan pada transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif. Dalam pengelolaankeuangan daerah telah dilakukan juga perubahan yang cukup mendasar antara lain mengenaibentuk dan struktur APBD, anggaran berbasis kinerja, klasifikasi anggaran, dan prinsip-prinsip akuntansi.

5.2.2. Pengelolaan Keuangan Daerah

Pengelolaan keuangan daerah meliputi keseluruhan kegiatan perencanaan, penganggaran,pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangandaerah. Pengelolaan keuangan daerah secara umum mengacu pada paket reformasikeuangan negara, yang dituangkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaituUU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentangPerbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan danTanggung Jawab Keuangan Negara, UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem PerencanaanPembangunan Nasional, dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuanganantara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Sebagai subsistem dari pengelolaankeuangan negara dan merupakan kewenangan pemerintah daerah, pelaksanaan pengelolaankeuangan daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 tahun 2005 tentangPengelolaan Keuangan Daerah, yang mengatur secara komprehensif dan terpadu (omnibusregulation) ketentuan-ketentuan dalam bidang pengelolaan keuangan daerah, denganmengakomodasi berbagai substansi yang terdapat dalam berbagai undang-undang di atas.

Dengan adanya peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerahdiharapkan dapat mengharmoniskan pengelolaan keuangan daerah, baik antara pemerintahdaerah dan Pemerintah, serta antara pemerintah daerah dan DPRD, ataupun antarapemerintahan daerah dan masyarakat. Dengan demikian, daerah dapat mewujudkanpengelolaan keuangan secara efektif dan efisien, serta dapat mewujudkan tata kelolapemerintahan yang baik, berdasarkan tiga pilar utama, yaitu transparansi, akuntabilitas,dan partisipatif.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 memuat berbagai kebijakan terkait denganperencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah.Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses penyusunan APBDsemaksimal mungkin dapat menunjukkan latar belakang pengambilan keputusan dalam

Page 7: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-7NK RAPBN 2009

penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan penetapan alokasi, serta distribusi sumberdaya dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karenanya, proses dan mekanismepenyusunan APBD dapat memperjelas jenjang tanggung jawab, baik antara pemerintahdaerah dan DPRD, maupun di lingkungan internal pemerintah daerah.

Pengelolaan keuangan daerah juga menerapkan prinsip anggaran berbasis kinerja. Dokumenpenyusunan anggaran yang disampaikan oleh masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah(SKPD) disusun dalam format Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD dan harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas, tentang tujuan, sasaran, serta korelasi antarabesaran anggaran (beban kerja dan harga satuan) dengan manfaat dan hasil yang ingindicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Dalam hal ini,penerapan anggaran berbasis kinerja mengandung makna bahwa setiap penyelenggaranegara berkewajiban untuk bertanggungjawab atas hasil proses dan penggunaan sumberdayanya.

Aspek lainnya yang penting adalah keterkaitan antara kebijakan perencanaan denganpenganggaran oleh pemerintah daerah sedemikian rupa, sehingga sinkron dengan berbagaikebijakan Pemerintah. Di samping itu, dari sisi pelaksanaan APBD telah diatur mengenaipemberian peran dan tanggung jawab pengelola keuangan, sistem pengawasan pengeluarandan sistem pembayaran, manajemen kas dan perencanaan keuangan, pengelolaan piutangdan utang, pengelolaan investasi, pengelolaan barang milik daerah, larangan penyitaan uangdan barang milik daerah dan/atau yang dikuasai negara/daerah, penatausahaan danpertanggungjawaban APBD, serta akuntansi dan pelaporan.

Pengaturan bidang akuntansi dan pelaporan dilakukan dalam rangka menguatkan pilarakuntabilitas dan transparansi. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang akuntabeldan transparan, pemerintah daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban berupa:(i) Laporan Realisasi Anggaran; (ii) Neraca; (iii) Laporan Arus Kas; dan (iv) Catatan atasLaporan Keuangan. Laporan keuangan dimaksud disusun sesuai dengan Standar AkuntansiPemerintah, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar AkuntansiPemerintah dan PP Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja InstansiPemerintah. Selanjutnya, dalam rangka menilai ketaatan dan kewajaran sebelum dilaporkankepada masyarakat melalui DPRD, laporan keuangan perlu diperiksa terlebih dahulu olehBadan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai UU Nomor 15 Tahun 2004.

Dalam tataran implementasinya, penerapan pengelolaan keuangan daerah telahditindaklanjuti dengan berbagai peraturan teknis sebagai acuan pelaksanaan bagi setiappemerintah daerah, antara lain dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubahdengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007.

Dari aspek tata urutan dan kelengkapan peraturan perundang-undangan, masih banyakdaerah yang belum memiliki peraturan daerah dan peraturan kepala daerah terkaitpengelolaan keuangan daerah, sebagaimana diamanatkan oleh PP Nomor 58 Tahun 2005.Peraturan daerah dan peraturan kepala daerah ini sangat penting sebagai acuan bersamabaik bagi eksekutif, legislatif, pemeriksa, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya.

Page 8: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-8 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

5.2.3. Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal

Seiring dengan perkembangan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, nomenklaturpendanaan desentralisasi dalam APBN juga mengalami perubahan. Sejak tahun 2001 – 2007,nomenklatur untuk pendanaan desentralisasi telah mengalami penyesuaian beberapa kalidalam postur APBN yang semula dikenal dengan istilah Anggaran yang Didaerahkan,kemudian disesuaikan menjadi Belanja Daerah, dan terakhir sampai dengan tahun 2007disesuaikan menjadi Belanja ke Daerah. Mulai tahun 2008 nomenklatur tersebut berubahmenjadi Transfer ke Daerah yang selanjutnya ditetapkan pengaturannya dalam Bagan AkunStandar.

Pada tahun 2001, alokasi transfer ke daerah baru mencakup dana perimbangan. Sejak tahun2002, alokasi Transfer ke Daerah juga mencakup Dana Otonomi Khusus untuk ProvinsiPapua sebagai pelaksanaan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi ProvinsiPapua, dan Dana Penyeimbang (Dana Penyesuaian), yang dialokasikan kepada daerah-daerah yang menerima DAU lebih kecil dari tahun sebelumnya. Mulai tahun 2008,Pemerintah juga mengalokasikan Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe AcehDarussalam (NAD), dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional selama 15 tahun,mulai tahun ke-16 sampai dengan tahun ke-20 setara 1 persen dari pagu DAU nasional,sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Setelah dilaksanakannya kebijakan desentralisasi fiskal, perkembangan alokasi Transfer keDaerah dari tahun 2001-2008 secara nominal terus meningkat, dari Rp81,1 triliun (4,8 persenterhadap PDB) pada tahun 2001 menjadi Rp253,3 triliun (6,4 persen terhadap PDB) padatahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp293,6 triliun (6,3 persen terhadap PDB) pada tahun2008, atau rata-rata tumbuh 20,2 persen per tahun. Alokasi Transfer ke Daerah dapat dilihatpada Grafik V.2. dan Tabel V.1.

Dalam kurun waktu 2001 –2008, dana perimbangan,yang merupakan komponenterbesar dari Transfer keDaerah, yang terdiri atasdana bagi hasil (DBH), danaalokasi umum (DAU), dandana alokasi khusus (DAK),menunjukkan peningkatanyang cukup signifikan, dariRp81,1 triliun (4,8 persenterhadap PDB) pada tahun2001 menjadi Rp244,0 triliun(6,2 persen terhadap PDB)pada tahun 2007, dandiperkirakan mencapaiRp279,6 triliun (6,0 persenterhadap PDB) pada tahun2008, atau rata-rata tumbuh19,3 persen per tahun.

Grafik V.2Tren Tansfer ke Daerah

(Dana Perimbangan, Dana Otsus dan Penyesuaian) Tahun 2001-2008

81,1

94,7

111,1122,9

143,2

222,1

244,0

279,6

14,09,34,07,26,99,2

3,5

0,0

40,0

80,0

120,0

160,0

200,0

240,0

280,0

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

REALISASI APBN Perk Real

Tri

liu

n R

p

OTSUS DAN PENYESUAIAN DANA PERIMBANGAN

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

TRANSFER KE DAERAH 81,1 98,1 120,3 129,7 150,5 226,2 253,3 293,6

% dari thn sebelumnya - 21,1% 22,6% 7,8% 16,0% 50,3% 12,0% 15,9%

Perk real 2008

REALISASI APBN

Keterangan : - Realisasi 2001 s.d 2003 berdasarkan PAN, 2004, 2005, dan 2006 berdasarkan LKPP (audited). - Tahun 2007 menggunakan angka APBN-P 2007 ; - Tahun 2008 angka APBN-P 2008

Sumber : Departemen Keuangan

Page 9: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-9NK RAPBN 2009

Perkembangan alokasidana perimbangan daritahun 2001 - 2008 dapatdilihat pada Grafik V.3.

Sebagaimana diaturdalam UU Nomor 33Tahun 2004, DBHdihitung berdasarkanpersentase tertentu daripenerimaan dalam

negeri yang dibagihasilkan, baik dari penerimaan pajak maupun penerimaan sumber dayaalam. Penerimaan negara yang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke daerahmeliputi Pajak Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak OrangPribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea PerolehanHak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sementara itu, penerimaan negara yang berasaldari SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi SDA minyak bumi, SDA gas bumi, SDApertambangan umum, SDA kehutanan, dan SDA perikanan. Sejak tahun 2006, DBH SDAkehutanan juga mencakup DBH dana reboisasi, yang merupakan pengalihan dari DanaAlokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR).

Sejalan dengan peningkatan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan, realisasi DBH(termasuk pengalihan DAK DR ke dalam DBH SDA Kehutanan) menunjukkan peningkatanyang signifikan, dari Rp20,7 triliun (1,2 persen terhadap PDB) dalam tahun 2001 menjadiRp62,9 triliun (1,6 persenterhadap PDB) pada tahun2007, dan diperkirakanmenjadi Rp78,9 triliun (1,7persen terhadap PDB) padatahun 2008, atau rata-ratatumbuh 21,0 persen per tahun.

Pada Grafik V.4 dapat dilihatbahwa daerah kabupaten/kota yang menerima DBHPajak tertinggi terdapat diprovinsi DKI Jakarta, denganproporsi penerimaan DBHpajak terhadap keseluruhanDBH pajak pada tahun 2007dan 2008, masing-masingmencapai 21,78 persen dan21,63 persen. Sedangkankabupaten/kota yang memperoleh DBH Pajak terendah terdapat di Provinsi Gorontalo,dengan proporsi penerimaan DBH pajak terhadap keseluruhan DBH pajak pada tahun 2007dan 2008, masing-masing sama sebesar 0,31 persen.

2001% thd PDB

2002% thd PDB

2003% thd PDB

2004% thd PDB

2005% thd PDB

2006% thd PDB

2007% thd PDB

2008% thd PDB

I. Dana Perimbangan 81.054,4 4,8 94.656,6 5,1 111.070,4 5,4 122.867,6 5,3 143.221,3 5,1 222.130,6 6,7 243.967,2 6,2 279.567,9 6,0

a. Dana Bagi Hasil *) 20.708,6 1,2 25.497,2 1,4 31.369,5 1,5 37.900,8 1,6 50.479,2 1,8 64.900,3 1,9 62.942,0 1,6 78.858,6 1,7

b. Dana Alokasi Umum 60.345,8 3,6 69.159,4 3,7 76.977,9 3,8 82.130,9 3,6 88.765,4 3,2 145.664,2 4,4 164.787,4 4,2 179.507,1 3,8

c. Dana Alokasi Khusus - - - - 2.723,0 0,1 2.835,9 0,1 3.976,7 0,1 11.566,1 0,3 16.237,8 0,4 21.202,1 0,5

II. Dana Otsus dan - - - - - - - -

Penyesuaian - - 3.547,5 0,2 9.243,9 0,5 6.855,3 0,3 7.242,6 0,3 4.049,4 0,1 9.296,0 0,2 13.986,7 0,3

a. Dana Otonomi Khusus - - 1.175,0 0,1 1.539,6 0,1 1.642,6 0,1 1.775,3 0,1 3.488,3 0,1 4.045,7 0,1 7.510,3 0,2

b. Dana Penyesuaian - - 2.372,5 0,1 7.704,3 0,4 5.212,7 0,2 5.467,3 0,2 561,1 0,0 5.250,3 0,1 6.476,4 0,1

Jumlah 81.054,4 4,8 98.204,1 5,3 120.314,3 5,9 129.722,9 5,6 150.463,9 5,4 226.180,0 6,8 253.263,2 6,4 293.554,6 6,3

Tabel V.1Perkembangan Transfer ke Daerah Tahun 2001 - 2008

(miliar Rupiah)

Perkiraan Realisasi

Catatan : *) Sejak tahun 2001 - 2005, DBH termasuk DAK DR

Sumber: Departemen Keuangan

Uraian

Realisasi APBN

20,7

60,3

-

25,5

69,2

-

31,4

77,0

2,7

37,9

82,1

2,8

50,5

88,8

4,0

64,9

145,7

11,6

62,9

164,8

16,2

78,9

179,5

21,2

0,0

40,0

80,0

120,0

160,0

200,0

240,0

280,0

Tri

liu

n R

p

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

REALISASI APBN Perk Real

Grafik V.3Tren Dana Perimbangan (DBH, DAU dan DAK)

Tahun 2001-2008

DBH DAU DAK

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

DANA PERIMBANGAN

81,1 94,7 111,1 122,9 143,2 222,1 244,0 279,6

% dari thn sebelumnya

- 16,8% 17,3% 10,6% 16,6% 55,1% 9,8% 14,6%

REALISASI APBN Perk real 2008

Keterangan : - Realisasi 2001-2003 berdasarkan PAN; 2004-2007 berdasarkan LKPP (audited). - Tahun 2008 angka perkiraan realisasi; sejak 2001-2005 DBH termasuk DAK DR

Sumber : Departemen Keuangan

Page 10: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-10 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Selanjutnya, padaGrafik V.5 dapatdilihat bahwa untuktahun 2007 dan 2008,daerah kabupaten/kotayang menerima DBHSDA tertinggi terdapat diprovinsi KalimantanTimur, dengan proporsipenerimaan DBH SDAterhadap keseluruhanDBH SDA, masing-masing sebesar 37,44persen dan 38,93 persen.Sedangkan, daerahkabupaten/kota yangmenerima DBH SDA

paling rendah terdapat di Provinsi DI Yogyakarta, dengan proporsi penerimaan DBH SDAterhadap keseluruhan DBH SDA pada tahun 2007 dan 2008, masing-masing sama sebesar0,01 persen.

Selain DBH, peningkatanyang signifikan daritahun ke tahun jugaterjadi pada DAU, terkaitdengan meningkatnyarasio alokasi DAUterhadap PenerimaanDalam Negeri (PDN)neto, dari 25 persendalam periode 2001–2003, menjadi 25,5persen dalam periodetahun 2004-2005, dankemudian menjadi 26,0persen dalam periodetahun 2006-2008.Sejalan denganpeningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam rentang waktu 2001 -2008, realisasi DAU meningkat dari Rp60,3 triliun (3,6 persen terhadap PDB) dalam tahun2001, menjadi Rp164,8 triliun (4,2 persen terhadap PDB) pada tahun 2007, dan diperkirakanmenjadi Rp179,5 triliun (3,8 persen terhadap PDB) pada tahun 2008 atau rata-rata tumbuhsebesar 16,9 persen per tahun.

Pada Grafik V.6, dapat dilihat bahwa pada tahun 2008, wilayah provinsi (termasukkabupaten/kota) yang menerima DAU tertinggi adalah provinsi Jawa Timur, dengan alokasisekitar 11,44 persen dari total DAU.

0,00

1.000,00

2.000,00

3.000,00

4.000,00

5.000,00

6.000,00

7.000,00

8.000,00

mil

iar

rupi

ah

Go

ron

talo

Sulbar

Bab

el

Ben

gkulu

Sulu

t

Yogyakarta

Sulten

gg

Malu

t

NT

B

Sulten

g

Malu

ku

NT

T

Bali

Sum

bar

Lam

pun

g

Kalbar

Kalten

g

Kalsel

Kep R

iau

Jambi

Pap

ua Barat

Pap

ua

Sulsel

NA

D

Ban

ten

Sum

sel

Sum

ut

Jateng

Riau

Kaltim

Jatim

Jabar

DK

I

Grafik V.4Peta Dana Bagi Hasil Pajak

Kabupaten/Kota Se-Provinsi di IndonesiaTahun 2007-2008*)

2007 2008

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %Total 33 31.470,58 100 33 34.483,40 100Tertinggi DKI 6.854,06 21,78 DKI 7.457,53 21,63Terendah Gorontalo 96,77 0,31 Gorontalo 106,04 0,31Rata-Rata 33 953,65 - 33 1.044,95 -

2007 2008Uraian Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %

Total 33 31.470,58 100 33 34.483,40 100Tertinggi DKI 6.854,06 21,78 DKI 7.457,53 21,63Terendah Gorontalo 96,77 0,31 Gorontalo 106,04 0,31Rata-Rata 33 953,65 - 33 1.044,95 -

2007 2008Uraian

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan

Sumber : Departemen Keuangan

0,00

2.000,00

4.000,00

6.000,00

8.000,00

10.000,00

12.000,00

mil

iar

rup

iah

Yogyakarta

Ban

ten

Bali

NT

T

Sulut

Ben

gkulu

Goron

talo

Sum

bar

Sulbar

Jateng

Malu

ku

Sulteng

Sultengg

Sum

ut

Kalbar

Sulsel

Malu

t

NT

B

Bab

el

DK

I

Jatim

Kalten

g

Pap

ua B

arat

Lam

pun

g

Jabar

Kalsel

Jambi

Pap

ua

Kep R

iau

NA

D

Sum

sel

Riau

Kaltim

Grafik V.5Peta Dana Bagi Hasil Sumber Daya AlamKabupaten/Kota Se-Provinsi di Indonesia

Tahun 2007-2008*)

2007 2008

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %Total 33 29.027,57 100 33 28.235,56 100Tertinggi Kaltim 10.866,73 37,44 Kaltim 10.992,07 38,93Terendah Yogyakarta 2,31 0,01 Yogyakarta 1,79 0,01Rata-Rata 33 879,62 - 33 855,62 -

2007 2008Uraian

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan

Sumber : Departemen Keuangan

Page 11: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-11NK RAPBN 2009

Selanjutnya pada TabelV.2 dapat dilihatperkembangan alokasi danproporsi DAU setiappemerintah provinsi padaperiode tahun 2005-2008.Sementara itu, dari TabelV.3 dapat dilihat bahwaberdasarkan konsolidasiDAU kabupaten/kotaseluruh Indonesia yangdikelompokkan menurutprovinsi, daerah yangmenerima DAU tertinggipada tahun 2008 adalahkabupaten/kota se-provinsiJawa Timur. Hal inidikarenakan jumlah

Kabupaten/Kota se-Provinsi Jawa Timur paling banyak dibandingkan dengan Provinsilainnya, sehingga akumulasi total DAU secara keseluruhan tertinggi secara nasional.

0,00

5.000,00

10.000,00

15.000,00

20.000,00

25.000,00

mil

iar

rupi

ah

DK

I

Goron

talo

Kep

Riau

Sulb

ar

Babel

Malu

t

Ben

gkulu

Riau

Yogyakarta

Malu

ku

Kaltim

Sulu

t

Jambi

Pap

ua Barat

Sulten

gg

Ban

ten

Bali

NT

B

Sulten

g

Kalsel

Lam

pun

g

Kalten

g

Sum

sel

NT

T

Kalb

ar

NA

D

Sum

bar

Sulsel

Pap

ua

Sum

ut

Jabar

Jateng

Jatim

Grafik V.6Peta Dana Alokasi Umum Se-Provinsi di Indonesia

Tahun 2007-2008*)

2007 2008

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %Total 33 164.787,40 100 33 179.507,14 100Tertinggi Jatim 18.760,74 11,38 Jatim 20.531,29 11,44Terendah DKI 119,94 0,07 DKI 0,00 0,00Rata-Rata 33 4.993,56 - 33 5.439,61 -

2007 2008Uraian Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %Total 33 164.787,40 100 33 179.507,14 100Tertinggi Jatim 18.760,74 11,38 Jatim 20.531,29 11,44Terendah DKI 119,94 0,07 DKI 0,00 0,00Rata-Rata 33 4.993,56 - 33 5.439,61 -

2007 2008Uraian

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan

Sumber : Departemen Keuangan

1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 271,1 3,1 460,9 3,2 487,9 3,0 557,3 3,12 Provinsi Sumatera Utara 313,7 3,5 539,7 3,7 657,4 4,0 727,9 4,13 Provinsi Sumatera Barat 247,5 2,8 477,0 3,3 546,3 3,3 631,7 3,54 Provinsi Riau 92,2 1,0 92,2 0,6 277,7 1,7 198,4 1,15 Provinsi Jambi 243,6 2,7 374,4 2,6 415,0 2,5 468,8 2,66 Provinsi Sumatera Selatan 242,7 2,7 421,4 2,9 510,2 3,1 545,8 3,07 Provinsi Bengkulu 230,7 2,6 378,0 2,6 405,9 2,5 482,5 2,78 Provinsi Lampung 300,9 3,4 460,9 3,2 509,7 3,1 570,5 3,29 Provinsi DKI Jakarta 768,1 8,7 768,1 5,3 119,9 0,7 0,0 0,0

10 Provinsi Jawa Barat 495,6 5,6 565,8 3,9 933,4 5,7 904,2 5,011 Provinsi Jawa Tengah 550,0 6,2 890,4 6,1 1.050,7 6,4 1.053,5 5,912 Provinsi DI Yogyakarta 238,7 2,7 402,5 2,8 437,4 2,7 511,3 2,813 Provinsi Jawa Timur 454,6 5,1 820,8 5,6 1.091,2 6,6 1.022,9 5,714 Provinsi Kalimantan Barat 312,6 3,5 586,0 4,0 610,9 3,7 728,1 4,115 Provinsi Kalimantan Tengah 287,6 3,2 552,0 3,8 571,3 3,5 670,2 3,716 Provinsi Kalimantan Selatan 230,7 2,6 378,7 2,6 428,0 2,6 466,5 2,617 Provinsi Kalimantan Timur 72,5 0,8 72,5 0,5 235,7 1,4 126,2 0,718 Provinsi Sulawesi Utara 247,9 2,8 404,3 2,8 447,0 2,7 532,9 3,019 Provinsi Sulawesi Tengah 271,8 3,1 477,7 3,3 502,1 3,0 606,5 3,420 Provinsi Sulawesi Selatan 332,7 3,7 509,5 3,5 599,5 3,6 656,7 3,721 Provinsi Sulawesi Tenggara 254,2 2,9 426,4 2,9 461,8 2,8 566,4 3,222 Provinsi Bali 199,9 2,3 353,3 2,4 436,5 2,6 448,2 2,523 Provinsi Nusa Tenggara Barat 249,9 2,8 404,1 2,8 447,7 2,7 511,3 2,824 Provinsi Nusa Tenggara Timur 300,0 3,4 479,4 3,3 553,6 3,4 616,6 3,425 Provinsi Maluku 272,8 3,1 425,1 2,9 476,0 2,9 556,2 3,126 Provinsi Papua 418,9 4,7 810,2 5,6 876,3 5,3 1.002,4 5,627 Provinsi Maluku Utara 226,8 2,6 338,6 2,3 370,7 2,2 451,5 2,528 Provinsi Banten 198,0 2,2 245,3 1,7 330,6 2,0 342,7 1,929 Provinsi Bangka Belitung 187,4 2,1 275,7 1,9 319,4 1,9 391,0 2,230 Provinsi Gorontalo 209,4 2,4 391,4 2,7 291,4 1,8 368,6 2,131 Provinsi Riau Kepulauan 26,0 0,3 178,3 1,2 333,3 2,0 288,9 1,632 Provinsi Papua Barat 128,2 1,4 350,5 2,4 464,9 2,8 578,1 3,233 Provinsi Sulawesi Barat - - 255,2 1,8 279,3 1,7 366,7 2,0

Total 8.876,7 100,0 14.566,3 100,0 16.478,7 100,0 17.950,5 100,0Rata-rata 277,4 441,4 499,4 544,0

Sumber: Departemen Keuangan, data diolah

Tabel V.2.Perkembangan Alokasi dan Proporsi DAU Provinsi Tahun 2005-2008

(miliar Rupiah)20082007

NO. DAERAH2005 2006

Rp.Proporsi

(%)Rp.

Proporsi (%)

Rp.Proporsi

(%)Rp.

Proporsi (%)

Page 12: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-12 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkanpada data dasar perhitungan DAU. Secara historis sejak tahun 2001 hingga tahun 2005,formula DAU terbagi menjadi dua komponen utama, yaitu Alokasi Minimum (AM) danalokasi DAU berdasarkan Kesenjangan Fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponenlumpsum dan proporsional belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut disempurnakanmenjadi Alokasi Dasar (AD) dan Celah Fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebutmerupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antardaerah, denganmempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-masing daerah.

1 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2.830,7 3,5 4.560,0 3,5 5.178,4 3,5 5.791,4 3,72 Provinsi Sumatera Utara 4.509,2 5,6 7.793,9 5,9 8.854,6 6,0 9.676,5 6,23 Provinsi Sumatera Barat 2.590,1 3,2 4.651,7 3,5 5.233,0 3,5 5.880,1 3,84 Provinsi Riau 1.542,5 1,9 1.784,7 1,4 2.352,3 1,6 2.012,1 1,35 Provinsi Jambi 1.561,6 2,0 2.425,0 1,8 2.718,5 1,8 2.912,1 1,96 Provinsi Sumatera Selatan 2.271,4 2,8 3.829,2 2,9 4.437,7 3,0 4.906,2 3,17 Provinsi Bengkulu 879,7 1,1 1.922,9 1,5 2.144,4 1,4 2.385,5 1,58 Provinsi Lampung 2.393,2 3,0 3.800,6 2,9 4.209,1 2,8 4.630,3 3,09 Provinsi DKI Jakarta 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,010 Provinsi Jawa Barat 8.475,5 10,6 12.696,1 9,7 14.800,4 10,0 16.240,9 10,411 Provinsi Jawa Tengah 9.904,7 12,4 14.960,0 11,4 16.406,3 11,1 17.789,1 11,412 Provinsi DI Yogyakarta 1.327,2 1,7 2.050,0 1,6 2.267,0 1,5 2.495,1 1,613 Provinsi Jawa Timur 10.494,0 13,1 15.796,0 12,0 17.669,6 11,9 19.508,4 12,514 Provinsi Kalimantan Barat 2.148,0 2,7 4.068,6 3,1 4.468,9 3,0 4.919,3 3,115 Provinsi Kalimantan Tengah 2.072,4 2,6 3.821,8 2,9 4.280,1 2,9 4.681,3 3,016 Provinsi Kalimantan Selatan 1.741,1 2,2 2.981,7 2,3 3.316,1 2,2 3.647,2 2,317 Provinsi Kalimantan Timur 1.624,1 2,0 2.135,0 1,6 2.759,0 1,9 2.502,8 1,618 Provinsi Sulawesi Utara 1.289,8 1,6 2.355,0 1,8 2.624,6 1,8 2.894,9 1,819 Provinsi Sulawesi Tengah 1.567,8 2,0 2.785,1 2,1 3.106,1 2,1 3.443,5 2,220 Provinsi Sulawesi Selatan 4.443,7 5,6 6.076,8 4,6 6.752,3 4,6 7.439,4 4,821 Provinsi Sulawesi Tenggara 1.216,2 1,5 2.466,4 1,9 2.781,6 1,9 3.139,3 2,022 Provinsi Bali 1.624,6 2,0 2.500,8 1,9 2.856,2 1,9 3.107,0 2,023 Provinsi Nusa Tenggara Barat 1.662,2 2,1 2.594,7 2,0 3.031,2 2,0 3.407,8 2,224 Provinsi Nusa Tenggara Timur 2.605,6 3,3 4.050,0 3,1 4.505,8 3,0 4.960,0 3,225 Provinsi Maluku 1.028,4 1,3 2.037,3 1,6 2.306,0 1,6 2.510,2 1,626 Provinsi Papua 2.894,6 3,6 6.441,7 4,9 6.987,2 4,7 2.504,2 1,627 Provinsi Maluku Utara 664,7 0,8 1.525,6 1,2 1.778,4 1,2 1.927,4 1,228 Provinsi Banten 1.729,8 2,2 2.459,7 1,9 2.930,9 2,0 3.281,7 2,129 Provinsi Bangka Belitung 517,8 0,6 1.192,7 0,9 1.417,5 1,0 1.650,9 1,130 Provinsi Gorontalo 556,8 0,7 1.015,0 0,8 1.129,3 0,8 1.274,2 0,831 Provinsi Riau Kepulauan 628,2 0,8 854,0 0,7 1.123,2 0,8 835,4 0,532 Provinsi Papua Barat 1.093,4 1,4 2.395,8 1,8 2.694,3 1,8 2.880,5 1,833 Provinsi Sulawesi Barat - - 1.070,4 0,8 1.188,5 0,8 1.321,5 0,8

Total 79.889,0 100,0 131.098,2 100,0 148.308,5 100,0 156.556,2 100,0Rata-rata 2.496,5 3.972,7 4.494,2 4.744,1

Rp.

2007

Rp.Proporsi

(%)Rp.

Proporsi (%)

Rp.Proporsi

(%)

Sumber: Departemen Keuangan

Tabel V.3.Perkembangan Alokasi dan Proporsi DAU Kabupaten/Kota per Provinsi Tahun 2005-2008

(miliar Rupiah)2008

Proporsi (%)

NO. DAERAH2005 2006

Page 13: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-13NK RAPBN 2009

Dalam dua tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal (2001-2002), DAK hanya dialokasikanuntuk Dana Reboisasi (DAK DR), yang merupakan bagian 40 persen dari total penerimaanDR. Sejalan dengan UU Nomor 33 Tahun 2004, sejak tahun 2006 DAK DR yang sebelumnyamerupakan bagian dari DAK dikelompokkan ke dalam DBH SDA Kehutanan. Pada tahun2004, DAK Non-DR dialokasikan untuk infrastruktur air bersih serta bidang kelautan danperikanan, dan pada tahun 2005 terdapat penambahan bidang, yaitu pertanian. Selanjutnya,pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang lingkungan hidup.Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang keluarga berencana (KB) danbidang kehutanan. Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepadadaerah diwajibkan menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya10 persen dari besaran alokasi DAK yang diterima.

Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK, realisasi DAK terusmeningkat, dari Rp2,7 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun 2003, menjadi Rp16,2triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp21,2 triliun(0,5 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, atau rata-rata tumbuh sebesar 50,8 persen pertahun. Daerah yang menerima DAK juga terus bertambah dari tahun ke tahun, dari 416kabupaten/kota di 29 Provinsi pada tahun 2003, menjadi 434 kabupaten/kota di 33 provinsipada tahun 2008. Adapun sebaran DAK kabupaten/kota se-provinsi di Indonesia disajikanpada Grafik V.7. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk tahun 2007 dan 2008,

daerah yang menerimaDAK tertinggi adalahJawa Timur denganproporsi masing-masingsama sebesar 7,97persen terhadap totalpenerimaan DAKseluruh daerah.

Selain dana perim-bangan, sejak tahun2002 juga dialokasikanDana Otonomi Khususdan Dana Penyeimbang(penyesuaian) pada posanggaran Belanja keDaerah. Sejalan denganamanat UU Nomor 21Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Papua, dana otonomi khusus dialokasikan untuk provinsi Papua dengannilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional selama 20 tahun, yang diutamakan untukmendanai pendidikan dan kesehatan. Selain itu, diberikan juga dana tambahan untukpembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dan DPRberdasarkan usulan provinsi setiap tahun. Sementara itu sejak tahun 2008, sejalan denganamanat UU Nomor 18 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam,dana otonomi khusus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD dengan nilai setara 2 persendari pagu DAU nasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar1 persen dari pagu DAU nasional.

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

mil

iar

rupi

ah

DK

I

Kep

Riau

Yogyakarta

Sulbar

Riau

Gorontalo

Ban

ten

Babel

Kaltim

Bali

Malut

Jambi

Papua Barat

NTB

Bengkulu

Maluku

Kalsel

Lampun

g

Sumsel

Sulteng

Kalteng

Sultengg

Sulut

Kalbar

Sumbar

NTT

NA

D

Jabar

Sulsel

Sumu

t

Papua

Jateng

Jatim

Grafik V.7Peta Dana Alokasi Khusus

Kabupaten/Kota Se-Provinsi di IndonesiaTahun 2007-2008*)

2007 2008

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %Total 33 17.094,10 100 33 21.202,14 100Tertinggi Jatim 1.362,15 7,97 Jatim 1.690,26 7,97Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00Rata-Rata 33 518,00 - 33 642,49 -

2007 2008Uraian

Sumber : Departemen Keuangan

Page 14: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-14 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Dana penyeimbang (penyesuaian) merupakan dana yang dialokasikan kepada daerah, yangmenerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterima tahun sebelumnya, sedemikian rupasehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima tahun sebelumnya.Pengalokasian dana penyeimbang (penyesuaian) tersebut bertujuan agar penerapan for-mula DAU tidak menimbulkan adanya daerah yang memperoleh DAU lebih kecil dari DAUtahun sebelumnya (hold harmless). Di samping itu, pengalokasian dana penyeimbang(penyesuaian) tersebut juga menampung program-program yang bersifat khusus, sepertidana tunjangan kependidikan, dana infrastruktur sarana dan prasarana, serta dana saranadan prasarana Provinsi Papua Barat. Umumnya komponen dana penyeimbang (penyesuaian)tersebut dialokasikan karena adanya kebijakan tertentu yang sifatnya ad-hoc.

Dalam Grafik V.8 dapat diketahui bahwa realisasi Dana Otsus dan Penyeimbang(Penyesuaian) dalam periode 2002 - 2008 mengalami peningkatan yang signifikan, dariRp3,5 triliun (0,2 persen terhadap PDB) dalam tahun 2002, menjadi Rp9,3 triliun (0,2 persenterhadap PDB) pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp14,0 triliun (0,3 persen terhadapPDB) pada tahun 2008, atau rata-rata tumbuh sebesar 25,7 persen per tahun.

Sumber pendanaan dalam APBDadalah PAD. PAD provinsimenunjukkan kecenderungan naik,dari Rp27,7 triliun pada tahun 2005menjadi Rp33,2 triliun pada tahun2007. Sementara itu, meskipun PADkabupaten/kota meningkat dariRp10,2 triliun pada tahun 2005menjadi Rp14,1 triliun pada tahun2007, namun proporsi PADkabupaten/kota terhadap totalpendapatan kabupaten/kota relatiflebih kecil dibandingkan proporsiPAD provinsi terhadap totalpendapatan provinsi. Pada tahun2007 proporsi PAD provinsi terhadap

total pendapatan provinsi adalah 45,1 persen sedangkan proporsi PAD kabupaten/kotaterhadap total pendapatan kabupaten/kota adalah 6,1 persen.

Perkembangan proporsi totalPAD terhadap total pendapatanAPBD provinsi dan kabupaten/kota dapat dilihat pada GrafikV.9. Pada tahun 2005 proporsitotal PAD terhadap totalpendapatan APBD provinsi dankabupaten/kota mencapai 17,4persen. Selanjutnya pada tahun2006-2008 proporsi tersebutturun dan relatif konstan padakisaran 15,6 persen.

1,2

2,4

1,5

7,7

1,6

5,2

1,8

5,5

3,5

0,6

4,0

5,3

7,5

6,5

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

14,0

Tri

liun

Rp

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

REALISASI APBN Perk Real

Grafik V.8Tren Dana Otsus Dan Penyesuaian

Tahun 2001-2008

OTSUS PENYESUAIAN

REALISASI APBN2002 2003 2004 2005 2006 2007

3,5 9,2 6,9 7,2 4,0 9,3 14,0

- 160,6% -25,8% 5,6% -44,1% 129,6% 50,5%

OTSUS DAN PENYESUAIAN

% dari Th Sebelumnya

Perk real 2008

Keterangan : - Realisasi 2001 s.d 2003 berdasarkan PAN, 2004, 2005, dan 2006 berdasarkan LKPP (audited). - Tahun 2007 menggunakan angka APBN-P 2007 ; - Tahun 2008 angka APBN-P 2008

Sumber : Departemen Keuangan

40.312,03

232.1

68,4

8

44.755,78

284.4

27,3

4

47.339,41

306.

039

,33

53.915,57

346.3

69,3

1

0,00

50.000,00

100.000,00

150.000,00

200.000,00

250.000,00

300.000,00

350.000,00

mil

iar

rup

iah

REALISASI 2005 REALISASI 2006 ANGGARAN 2007 ANGGARAN 2008

Grafik V.9Perbandingan Total PAD Terhadap Total Pendapatan Provinsi dan Kabupaten/Kota Se-Provinsi

di Indonesia Tahun 2005-2008

PAD TOTAL PENDAPATAN

15.74%

100%

100%

15.47%

100%

17.36%

100%

15.57%

Sumber : Departemen Keuangan

Page 15: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-15NK RAPBN 2009

Komposisi PAD tahun 2007,sebagian besar diperoleh daripajak daerah yaitu sebesar70,25 persen. Daerah yangmempunyai PAD tertinggipada tahun 2007 adalahProvinsi DKI Jakarta yaitusebesar Rp10,1 triliun dandaerah yang mempunyaiPAD terendah adalahProvinsi Papua Barat, yaitusebesar Rp70,39 miliar. Petasebaran perolehan realisasiPAD se-provinsi (termasukk a b u p a t e n / k o t a )ditunjukkan pada GrafikV.10.

Pada Grafik V.11 ,menunjukkan bahwa totalbelanja APBD tahun 2007mencapai sebesar Rp339,3triliun. Belanja APBD se-provinsi (termasuk kabupaten/kota) yang dialokasikan untukbidang kesehatan rata-ratamencapai 8,3 persen dan bidangpendidikan 22,8 persen. Dilihatdari belanja perwilayah se-provinsi, rasio tertinggi belanjabidang kesehatan terhadap to-tal belanja APBD adalahwilayah Provinsi Bengkulusebesar 11,3 persen, sedangkanrasio tertinggi untuk bidangpendidikan adalah wilayahProvinsi Jawa Tengah sebesar33,7 persen.

Selanjutnya perbandinganbelanja per bidang/fungsi padabelanja APBD belanja seluruhIndonesia tahun 2005-2007disajikan dalam Grafik V.12Grafik tersebut menunjukkanbahwa belanja bidangpendidikan masih merupakan

0,00

2.000,00

4.000,00

6.000,00

8.000,00

10.000,00

12.000,00

mili

ar r

upia

h

Pap

ua Barat

Sulbar

Malut

Goron

talo

Maluku

Sulten

g

Sulten

gg

Bengku

lu

Babel

Sulut

Kalten

g

Pap

ua

NT

T

NT

B

Jambi

Kalbar

Kep R

iau

Yogyakarta

Lam

pun

g

Sum

bar

NA

D

Kalsel

Sum

sel

Sulsel

Bali

Kaltim

Riau

Ban

ten

Sum

ut

Jateng

Jatim

Jabar

DK

I

Grafik V.10PetaPAD Se-Provinsi di Indonesia

Tahun 2007

Pajak Daerah Retribusi Daerah PAD Lainnya

Nilai % Daerah Nilai % Daerah Nilai Nilai1. Pajak Daerah 33,256.10 70.25 1,007.76 DKI 8,334.27 25.06 Papua Barat 25.46 0.082. Retribusi Daerah 7,018.26 14.83 212.67 Jateng 1,177.21 16.77 Sulbar 14.43 0.213. PAD Lainnya 7,065.05 14.92 214.09 DKI 1,124.41 15.92 Sulbar 23.36 0.33Total PAD (1+2+3) 47,339.41 100.00 1,434.53 DKI 10,084.26 21.30 Papua Barat 70.39 0.15

TERTINGGI TERENDAHTOTALJENIS PAD RATA-2Nilai % Daerah Nilai % Daerah Nilai Nilai1. Pajak Daerah 33,256.10 70.25 1,007.76 DKI 8,334.27 25.06 Papua Barat 25.46 0.082. Retribusi Daerah 7,018.26 14.83 212.67 Jateng 1,177.21 16.77 Sulbar 14.43 0.213. PAD Lainnya 7,065.05 14.92 214.09 DKI 1,124.41 15.92 Sulbar 23.36 0.33Total PAD (1+2+3) 47,339.41 100.00 1,434.53 DKI 10,084.26 21.30 Papua Barat 70.39 0.15

TERTINGGI TERENDAHTOTALJENIS PAD RATA-2

Sumber : Departemen Keuangan

0,00

5.000,00

10.000,00

15.000,00

20.000,00

25.000,00

30.000,00

35.000,00

mil

iar

rup

iah

Sulb

ar

Goron

talo

Malut

Bab

el

Ben

gkulu

Maluku

Yogyakarta

Sulu

t

Sultra

Irjabar

Sulten

g

NT

B

Jambi

Bali

Ban

ten

Kep

Riau

NT

T

Kalsel

Kalb

ar

Kalten

g

Lam

pun

g

Sum

bar

Sum

sel

NA

D

Sulsel

Sum

ut

Papu

a

Riau

Kaltim

Jateng

Jabar

Jatim

Grafik V.11Peta Belanja APBD Per Fungsi Se-Provinsi di Indonesia

Tahun 2007

Kesehatan Pendidikan Adm. Pemerintahan Infrastruktur Lainnya

Rata-rata Tertinggi Daerah Terendah DaerahKesehatan 8,33% 11,26% Bengkulu 5,29% RiauPendidikan 22,82% 33,73% Jateng 9,98% PapuaAdm. Pemerintahan 34,68% 49,91% Papua 27,81% RiauInfrastruktur 18,99% 32,26% Kaltim 9,30% YogyakartaLainnya 15,19% 21,74% Kep Riau 11,25% Jateng

Sumber : Departemen Keuangan

89.937,30

14.200,46

48.605,32

32.982,31

19.297,61

91.463,60

17.621,52

56.632,19

50.416,08

25.308,85

113.596,07

16.739,56

52.997,96

46.617,96

23.614,34

117.148,45

27.793,20

80.336,24

65.039,87

49.025,75

0,00

50.000,00

100.000,00

150.000,00

200.000,00

250.000,00

300.000,00

350.000,00

Milia

r Rp

REALISASI 2005 ANGGARAN 2006 REALISASI 2006 ANGGARAN 2007

Grafik V.12Perbandingan Belanja APBD Per Bidang/Fungsi Belanja Terhadap Total Belanja APBD Se-Provinsi di Indonesia

TAHUN 2005-2007

Bidang Lainnya

Infrastruktur

Pendidikan

Kesehatan

Adm. Pemerintahan

205,022.99 253,565.90

43.9%

6.9%

23.7%

16.1%

9.4%

37.9%

7.3%

23.5%

20.9%

10.5%

44.8%

6.6%

20.9%

18.4%

9.3%

241,442.25 339,343.51

34.5%

8.2%

23.7%

19.2%

14.4%

Sumber : Departemen Keuangan

Page 16: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-16 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

bidang/fungsi terbesar dalam belanja APBD, yaitu 20,9 persen pada realisasi APBD tahun2006 dan 23,7 persen pada APBD tahun 2007. Demikian pula untuk bidang/fungsi kesehatanmengalami peningkatan prosentase yaitu 6,6 persen pada realisasi APBD tahun 2006 dan8,2 persen pada APBD tahun 2007.

Pada Grafik V.13,menunjukkan proporsi belanjaAPBD per jenis belanja se-provinsi (termasuk kabupaten/kota) yang dialokasikan untukbelanja pegawai mencapai 38,5persen, belanja barang dan jasasebesar 18,0 persen, belanjamodal sebesar 30,9 persen, danbelanja lainnya sebesar 12,6persen. Dilihat dari belanja perwilayah se-provinsi, rasiotertinggi belanja pegawaiadalah wilayah Provinsi JawaTimur sebesar 11,1 persen,sedangkan rasio terendahProvinsi Sulawesi Barat sebesar0,6 persen.

Selanjutnya perbandingan jenisbelanja APBD seluruh Indonesiatahun 2005-2008 disajikandalam Grafik V.14. Grafiktersebut menunjukkan bahwabelanja pegawai masihmerupakan komponen terbesardalam belanja APBD, yaitu 38,5persen pada tahun 2007 dan39,4 persen pada tahun 2008.Sedangkan proporsi untukbelanja modal turun dari 30,9persen pada tahun 2007menjadi 28,7 persen pada tahun2008.

5.2.4. Implikasi Desentralisasi Fiskal terhadap Perkembangan Ekonomi Daerah

Pelaksanaan desentralisasi fiskal mempunyai tujuan utama untuk mendukung pendanaanatas urusan-urusan yang telah diserahkan kepada daerah, agar daerah dapat meningkatkanefisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Denganpenyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih baik, diharapkan dapatmemberikan kesempatan bagi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya,sehingga pada gilirannya akan mendorong perkembangan ekonomi melalui pembangunandaerah.

0,00

5.000,00

10.000,00

15.000,00

20.000,00

25.000,00

30.000,00

35.000,00

mil

iar

rupi

ah

Sulb

ar

Go

ron

talo

Bab

el

Malu

t

Malu

ku

Ben

gkulu

Yo

gyakarta

Sulu

t

Sultra

Sulten

g

Papu

a Barat

NT

B

Jamb

i

Bali

Kep

Riau

Kalsel

Kalten

g

Kalb

ar

NT

T

Ban

ten

Lam

pun

g

Sum

bar

Sum

sel

Sulsel

NA

D

Sum

ut

Papu

a

Riau

DK

I

Kaltim

Jateng

Jabar

Jatim

Grafik V.13Peta Belanja APBD Per Jenis Belanja Se-Provinsi di Indonesia

Tahun 2007

Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Belanja Lainnya

Nilai % Daerah Nilai % Daerah Nilai %1. Belanja Pegawai 130,487.67 38.45 3,954.17 Jatim 14,441.71 11.07 Sulbar 789.50 0.612. Belanja Barang dan Jasa 61,204.19 18.04 1,854.67 Jatim 5,723.47 9.35 Gorontalo 378.84 0.623. Belanja Modal 104,747.23 30.87 3,174.16 Kaltim 10,983.94 10.49 Yogyakarta 596.74 0.574. Belanja Lainnya 42,904.42 12.64 1,300.13 Jabar 5,589.87 13.03 Sulbar 117.10 0.27Total Belanja (1+2+3+4) 339,343.51 100.00 10,283.14 Jatim 31,344.52 9.24% Sulbar 2,020.12 0.60

JENIS BELANJATOTAL

RATA-2TERTINGGI TERENDAH

Nilai % Daerah Nilai % Daerah Nilai %1. Belanja Pegawai 130,487.67 38.45 3,954.17 Jatim 14,441.71 11.07 Sulbar 789.50 0.612. Belanja Barang dan Jasa 61,204.19 18.04 1,854.67 Jatim 5,723.47 9.35 Gorontalo 378.84 0.623. Belanja Modal 104,747.23 30.87 3,174.16 Kaltim 10,983.94 10.49 Yogyakarta 596.74 0.574. Belanja Lainnya 42,904.42 12.64 1,300.13 Jabar 5,589.87 13.03 Sulbar 117.10 0.27Total Belanja (1+2+3+4) 339,343.51 100.00 10,283.14 Jatim 31,344.52 9.24% Sulbar 2,020.12 0.60

JENIS BELANJATOTAL

RATA-2TERTINGGI TERENDAH

Sumber : Departemen Keuangan

85.626,20

45.222,90

45.483,46

28.690,43

81.860,95

79.050,75

54.798,85

37.855,34

130.487,67

61.204,19

104.747,23

42.904,42

153.396,26

72.303,53

111.852,75

51.825,29

0,00

50.000,00

100.000,00

150.000,00

200.000,00

250.000,00

300.000,00

350.000,00

400.000,00

Mili

ar R

p

REALISASI 2005 REALISASI 2006 ANGGARAN 2007 ANGGARAN 2008

Tabel V.14Perbandingan Belanja APBD Per Jenis Belanja

Terhadap Total Belanja APBD Se-Provinsi di IndonesiaTahun 2005-2008

Belanja Lainnya **)

Belanja Modal

Belanja Barang

Belanja Pegawai

100%

205,022.99 253,565.90 389,377.83

14.0%

22.2%

22.1%

41.8%

14.9%

21.6%

31.2%

32.3%

12.6%

30.9%

18.0%

38.5%

**) Belanja Lainnya a.l : Bantuan Sosial, Bantuan Keuangan, Hibah, dan Tak Terduga

13.31%

28.73%

18.57%

39.40%

339,343.51

D

Sumber : Departemen Keuangan

Page 17: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-17NK RAPBN 2009

Namun demikian, upaya perbaikan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraanmasyarakat tidak bisa hanya diserahkan kepada kebijakan desentralisasi fiskal semata.Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan daerah merupakan bagian integral daripembangunan nasional yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan didaerah. Pelaksanaan pembangunan daerah yang baik hanya dapat dilakukan apabila terjadikeseimbangan peran dari tiga pilar, yaitu: pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat.Ketiganya mempunyai fungsi dan peran masing-masing dalam mengisi pembangunan.Pemerintahan (eksekutif dan legislatif) memainkan peran untuk menjalankan danmenciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain. Sinkronisasidan koordinasi antar tingkatan pemerintahan yang berbeda harus dapat diwujudkan. Adapunperan sektor swasta adalah mewujudkan penciptaan lapangan kerja dan pendapatan.Masyarakat berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan politik. Ketiga pilartersebut memainkan perannya sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandungdalam tata kelola kepemerintahan yang baik.

Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi regional terdapat beberapaindikator yang dapat digunakan. Salah satu indikator pembangunan ekonomi regional adalahpertumbuhan ekonomi yang dicerminkan oleh pertumbuhan PDRB pada harga konstan.Sebagaimana terlihat pada Grafik V.15 dan Grafik V.16, pertumbuhan ekonomi daerahsangat bervariasi, yang antara lain dipengaruhi oleh investasi, ketenagakerjaan, multipliereffect dari belanja pemerintah dan kegiatan perdagangan daerah. Pada tahun 2006, rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah adalah 4,75 persen. Pada Grafik V.15 terlihat bahwaterdapat 7 provinsi berada di bawah rata-rata dan 26 provinsi berada di atas rata-rata.Sementara itu pada tahun 2007, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah sebesar5,6 persen terdapat 10 provinsi berada di bawah rata-rata dan 23 provinsi berada di atas

-30,0%

-25,0%

-20,0%

-15,0%

-10,0%

-5,0%

0,0%

5,0%

10,0%

15,0%

20,0%

25,0%

30,0%

35,0%

40,0%

Papua

NTB

NA

D

Kaltim

Babel

Yogyakarta

Irjabar

Kalsel

Lampung

NTT

Riau

Sumsel

Kalbar

Bali

Jateng

Malut

Banten

Maluku

Jatim

Kalteng

Jambi

DK

I

Bengkulu

Jabar

Sumbar

Sulut

Sumut

Sulsel

KepR

iau

Sulbar

Gorontalo

Sultra

Sulteng

Grafik V.15Peta Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Menurut Provinsi Tahun 2006**)

Rata-rata Pertumbuhan PDRBProvinsi Tahun 2006= 4.75%

1 Kals e l 4 .8%2 L am p un g 4 .9%3 NT T 5 .1%4 Riau 5 .1%5 Su m s e l 5 .2%6 Kalb ar 5 .2%7 Bali 5 .3%8 Ja te n g 5 .3%9 M alu t 5 .5%

10 Ban te n 5 .5%11 M alu k u 5 .5%12 Ja tim 5 .8%13 Kalte n g 5 .8%

Diata s Rata- r ata Pe r tu m b uh a nEk on o m i Da e r a h

14 Ja m b i 5 .9%15 DKI 5 .9%16 Be n g k u lu 6 .0%17 Ja b ar 6 .0%18 Su m b a r 6 .1%19 Su lu t 6 .2%20 Su m u t 6 .2%21 Su ls e l 6 .7%22 Ke p Riau 6 .8%23 Su lb ar 7 .0%24 G or o n talo 7 .3%25 Su lt r a 7 .7%26 Su lte n g 8 .0%

Dia ta s Rata -r ata Pe r tu m b uh anEk o no m i Dae r ah

1 Pa p u a -1 7.2 %2 N T B 2.2 %3 N A D 2.4 %4 K alt im 2.8 %5 B ab e l 3.5 %6 Y o g yak a r ta 3.7 %7 I r ja b ar 4.6 %

Dib aw a h Rata- r ataPe r tu m b u h an Ek o n o m i Da e r a h

Sumber : BPS

**) Sangat Sementara

Page 18: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-18 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

rata-rata (Grafik V.16). Fluktuasi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di ProvinsiNAD dan Provinsi Papua lebih banyak disebabkan oleh fluktuasi ekspor hasil-hasilpertambangan.

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan semakin tingginya PDRB,di satu sisi membuka peluang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun di sisilain berpotensi meningkatkan laju inflasi daerah. Dalam beberapa tahun terakhir, pergerakanlaju inflasi di daerah dapat terjaga di bawah level 2 (dua) digit. Rata-rata laju inflasi di seluruhdaerah mengalami peningkatan yang cukup signifikan akibat kebijakan kenaikan harga BBMdalam tahun 2005. Laju inflasi tertinggi dalam tahun 2005 terjadi di provinsi NAD, khususnyadi Kota Banda Aceh yang mencapai 41,1 persen. Tingginya laju inflasi tersebut diakibatkanoleh terbatasnya peredaran barang dalam proses rehabilitasi pasca tsunami yang terjadi diProvinsi NAD dan sebagian Provinsi Sumut. Pada tahun 2006 dan 2007 tingginya laju inflasidaerah tersebut secara signifikan dapat dikurangi melalui berbagai kebijakan yangmengutamakan pembangunan sarana dan prasarana fisik. Sementara itu pada tahun 2008,tekanan inflasi diperkirakan akan kembali terjadi seiring dengan adanya kebijakan kenaikanharga BBM dan dampak pergolakan harga pangan internasional yang terjadi pada akhirtahun 2007. Perkembangan laju inflasi di 45 kota dapat dilihat dalam Tabel V.4.

Dalam konteks pembangunan daerah, salah satu faktor yang dapat mempengaruhipertumbuhan ekonomi daerah adalah tingginya daya saing daerah, khususnya yang terkaitdengan kemampuan menciptakan investasi di masing-masing daerah. Dalam rangkameningkatkan investasi tersebut, daerah dapat melakukan upaya-upaya peningkatanpelayanan dan kemudahan-kemudahan bagi investor untuk menciptakan kondisi yangkondusif bagi perkembangan dunia usaha. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan antaralain melalui: (i) kemudahan perizinan usaha, (ii) ketersediaan infrastruktur yang memadai,

Grafik V.16Peta Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Menurut Provinsi Tahun 2007***)

-30,0%

-25,0%

-20,0%

-15,0%

-10,0%

-5,0%

0,0%

5,0%

10,0%

15,0%

20,0%

25,0%

30,0%

35,0%

40,0%

NA

D

Kaltim

Riau

Yogyakarta

Papua

Babel

NTB

NTT

Jateng

Maluku

Lampung

Sumsel

Bali

Malut

Kalsel

Kalbar

Bengkulu

Banten

Kalteng

Jatim

Sulsel

Sumbar

Jabar

DK

I

Sulut

Jambi

Sumut

Irjabar

Kep

Riau

Sulbar

Gorontalo

Sultra

Sulteng

1 Lam pung 5,79%2 Sum se l 5 ,84%3 Ba li 5 ,92%4 M alu t 6 ,01%5 Ka lse l 6 ,01%6 Ka lbar 6 ,02%7 Bengku lu 6 ,03%8 Banten 6 ,04%9 Ka lteng 6 ,06%

10 Jatim 6,11%11 Su lse l 6 ,34%12 Sum bar 6 ,34%

D iatas R ata-R ata P ertum buhanE kon om i Daerah

13 Ja bar 6 ,41%14 DK I 6 ,44%15 Su lu t 6 ,47%16 Jam bi 6 ,82%17 Sum ut 6 ,90%18 Irjab ar 6 ,95%19 Kep R iau 7 ,01%20 Su lbar 7 ,43%21 G oron ta lo 7 ,51%22 Su ltra 7 ,96%23 Su lte ng 7 ,99%

D iatas R ata-R ata P ertum bu hanE konom i D aerah

1 NAD -2 ,79%2 Ka ltim 1,23%3 R iau 3 ,41%4 Yogyakarta 4 ,28%5 Papua 4,28%6 Babe l 4 ,54%7 NTB 4,62%8 NTT 5,06%9 Jateng 5 ,59%

10 M aluku 5 ,62%

D ibaw ah R ata-R ataP ertum b uhan E konom i D aerah

Rata-rata Pertumbuhan PDRBProvinsi Tahun 2007= 5.6%

Sumber: BPS

***) Sangat Sangat Sementara

Page 19: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-19NK RAPBN 2009

baik kualitas maupunkuantitasnya, (iii) adanyakepastian hukum, (iv) jaminankeamanan, (v) kondisi persainganusaha yang sehat, dan (vi)transparansi kebijakan daripemerintah daerah. Walaupunberbagai upaya tersebut belumseluruhnya dilaksanakan olehpemerintah daerah, namunpertumbuhan investasi di beberapadaerah cenderung menunjukkanpeningkatan.

Berdasarkan data BadanKoordinasi Penanaman Modal(BKPM), pada tahun 2007 realisasiPenanaman Modal Asing (PMA)mencapai US$10.349,6 juta dan

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp34.878,7 miliar. Angka ini menunjukkanpeningkatan yang sangat signifikan dibandingkan dengan tahun 2006. Namun demikian,kegiatan investasi secara umum masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.Meskipun data BKPM ini belum mencakup keseluruhan jenis investasi, seperti sektor migas,perbankan, asuransi, porto folio,namun setidaknya hal tersebutmenunjukkan bahwa kegiataninvestasi di luar Pulau Jawa danPulau Sumatera secara relatif belumoptimal, terutama karena masihkurang memadainya infrastruktur didaerah tersebut. Perkembanganrealisasi investasi di Indonesia tahun2005-2007 dapat dilihat dalamTabel V.5.

Kegiatan investasi baik PMA maupunPMDN secara tidak langsung memiliki dampak positif terhadap penurunan tingkatpengangguran di daerah. Tingkat pengangguran rata-rata di Pulau Sumatera dan PulauJawa pada tahun 2008 relatif menurun dibandingkan tahun 2006 dan 2007. Namun, tingkatpengangguran rata-rata provinsi di Pulau Jawa relatif lebih tinggi dibandingkan PulauSumatera. Hal tersebut terjadi sebagai akibat padatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa,yang belum didukung oleh peningkatan lapangan kerja yang memadai. Sementara itu, untukwilayah Nusa Tenggara dan Kalimantan serta Sulawesi, Maluku, dan Papua juga mengalamipenurunan tingkat pengangguran sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2008.Perkembangan tingkat pengangguran per Provinsi dapat dilihat dalam Tabel V.6.

No. Kota 2005 2006 2007 No. Kota 2005 2006 2007

1 Lhokseumawe 17,6 1,9 4,2 24 Jember 16,9 6,8 7,22 Banda Aceh 41,1 9,5 11,0 25 Kediri 16,8 7,8 6,83 Padang Sidempuan 18,5 10,0 5,9 26 Malang 15,7 5,9 5,94 Sibolga 22,4 5,0 7,1 27 Surabaya 14,1 6,7 6,35 Pematang Siantar 19,7 6,1 8,4 28 Serang/Cilegon 16,1 7,7 6,36 Medan 22,9 6,0 6,4 29 Denpasar 11,3 4,3 5,97 Padang 20,1 8,0 6,9 30 Mataram 17,7 4,2 8,88 Pekanbaru 17,1 6,3 7,5 31 Kupang 15,2 9,7 8,49 Batam 14,8 4,6 4,8 32 Pontianak 14,4 6,3 8,610 Jambi 16,5 10,7 7,4 33 Sampit 11,9 7,7 7,611 Palembang 19,9 8,4 8,2 34 Palangkaraya 12,1 7,7 8,012 Bengkulu 25,2 6,5 5,0 35 Banjarmasin 12,9 11,0 7,813 Bandar Lampung 21,2 6,0 6,6 36 Balikpapan 17,3 5,5 7,314 Pangkal Pinang 17,4 6,4 2,6 37 Samarinda 16,6 6,5 9,215 DKI Jakarta 16,1 6,0 6,0 38 Manado 18,7 5,1 10,116 Tasikmalaya 20,8 8,4 7,7 39 Palu 16,3 8,7 8,117 Bandung 19,6 5,3 5,3 40 Makassar 15,2 7,2 5,718 Cirebon 16,8 6,3 7,9 41 Kendari 21,5 10,6 7,519 Purwokerto 14,5 8,4 6,1 42 Gorontalo 18,6 7,5 7,020 Surakarta 13,9 6,2 3,3 43 Ambon 16,7 4,8 5,821 Semarang 16,5 6,1 6,7 44 Ternate 19,4 5,1 10,422 Tegal 18,4 7,7 8,9 45 Jayapura 14,1 9,5 10,323 Yogyakarta 15,0 10,4 8,0

Tabel V.4Laju Inflasi Tahunan di 45 Kota

(dalam persen)

Sumber : BPS

2005 2006 2007 2005 2006 2007I SUMATERA 1.232,4 883,7 1.398,5 13.501,7 4.644,3 10.754,5II JAWA 7.245,7 4.412,8 8.503,5 14.796,6 13.030,8 18.668,9II BALI & NUSA TENGGARA 102,6 109,8 56,7 66,1 104,9 15,7IV KALIMANTAN 181,8 534,6 308,8 1.747,6 2.536,1 1.558,0V SULAWESI 145,3 15,5 79,6 509,0 68,6 3.881,6VI MALUKU 9,1 20,0 0,0 0,9 0,2 0,0VII PAPUA - 0,6 2,5 43,1 403,5 0,0

Total 8.916,9 5.977,0 10.349,6 30.665,0 20.788,4 34.878,7

Sumber : BKPM

PMA (juta US$) PMDN (miliar rupiah

Tabel V.5Perkembangan Realisasi Investasi di Indonesia

Tahun 2005 - 2007

PROVINSINO.

Page 20: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-20 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Page 21: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-21NK RAPBN 2009

Dalam Grafik V.18terlihat bahwa gambarantingkat kemiskinan tidakjauh berbeda dengangambaran capaian IPM.Daerah-daerah denganIPM tinggi, seperti ProvinsiDKI Jakarta dan ProvinsiBali secara relatif jugamempunyai persentasekemiskinan yang rendah,sebaliknya daerah denganIPM rendah seperti ProvinsiPapua dan Provinsi Malukucenderung mempunyaipersentase pendudukmiskin yang cukup tinggi.Secara statistik hubunganyang kuat ini dibuktikandengan angka korelasi antara IPM dengan persentase penduduk miskin cukup tinggi, yaitumencapai -0,7.

Potret perekonomian nasional dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang mengalamipeningkatan daritahun ke tahuntersebut sejalandengan peningkatans u m b e r - s u m b e rpendanaan daerah,yang dilaksanakanmelalui desentralisasifiskal. Meskipunpeningkatan transferdari Pemerintah kedaerah diiringi jugadengan perbaikanindikator tingkatk e s e j a h t e r a a nmasyarakat, namunapabila dilihat darikondisi pada setiapdaerah dan korelasi

antara transfer dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, maka terdapat beberapa hal yangperlu mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah maupun pemerintah daerah. Pertama,indikator tingkat kesejahteraan masyarakat secara nasional menunjukkan perbaikan, namuntidak semua daerah mengalami perbaikan. Dalam Grafik V.18 menunjukkan bahwa dari33 provinsi, terdapat 15 provinsi yang mengalami penurunan persentase penduduk miskin

Grafik V.18Persetase Penduduk Miskin Tahun 2006-2007

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

DK

I

Bali

Kep

ri

Kalsel

Kalten

g

Jambi

Malu

t

Babel

Riau

Ban

ten

Sum

bar

Jabar

Kaltim

Sulsel

Sum

ut

Sulut

Kalbar

Sum

sel

Sulbar

Jateng

Jatim

DIY

Ben

gkulu

Lam

pu

ng

Sultra

NT

B

Sulten

g

NT

T

NA

D

Malu

ku

Goron

talo

Irjabar

Pap

ua

Daerah

Per

sen

tase

Pe

nd

ud

uk

Mis

kin

(%

)

2006 2007Sumber : BPS

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

Papua

NTB

NTT

Irjabar

Kalbar

Sulbar

Malut

Sultengg

Sulteng

Gorontalo

Jatim

Kalsel

Maluku

Bengkulu

Sumsel

Lampung

Sulsel

Babel

Banten

NA

D

Bali

Jateng

Jabar

Jambi

Sumbar

Sumut

Kep R

iau

Kalteng

Kaltim

Riau

Yogyakarta

Sulut

DK

I

2006 2007

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %Total 33 2.256,89 100 33 2.289,87 100Tertinggi DKI 76,07 3,37 DKI 76,33 3,33Terendah Papua 59,11 2,62 Papua 59,91 2,62Rata-Rata 33 68,39 - 33 69,39 -

2006 2007Uraian Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %Total 33 2.256,89 100 33 2.289,87 100Tertinggi DKI 76,07 3,37 DKI 76,33 3,33Terendah Papua 59,11 2,62 Papua 59,91 2,62Rata-Rata 33 68,39 - 33 69,39 -

2006 2007Uraian

Grafik V.17Peta Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Kabupaten/Kota Se-Provinsi IndonesiaTahun 2006-2007

Keterangan: Sejak tahun 2007 Provinsi Irjabar menjadi Provinsi Papua BaratSumber : Departemen Keuangan

Page 22: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-22 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

dan 18 provinsi mengalami peningkatan persentase penduduk miskin. Kedua, peningkatantransfer diiringi dengan perbaikan tingkat kesejahteraan, namun korelasinya sangat rendah.Korelasi antara transfer per kapita dengan persentase penduduk miskin di 33 provinsi selamatahun 2006-2007 menunjukkan angka korelasi kurang dari 0,5 bahkan mendekati 0 (nol).Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan transfer kepada daerah belum berpengaruh secaralangsung kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam Grafik V.19 terlihat bahwa untuk beberapa daerah yang rata-rata transfer perkapitanya tinggi ternyata justru menunjukkan rata-rata persentase penduduk miskin yangtinggi pula. Hal tersebut mengindikasikan bahwa transfer Pemerintah ke daerah masihterkonsentrasi pada daerah-daerah yang tingkat kesejahteraannya masih rendah. Untuk itu,Pemerintah danpemerintah daerahperlu mengupayakanagar dana desentralisasidapat dimanfaatkansecara lebih baik gunam e n i n g k a t k a nk e s e j a h t e r a a nmasyarakat. Dengandemikian diharapkanakan terlihat hubunganyang lebih jelas dan kuatantara pelaksanaandesentralisasi danp e n i n g k a t a nk e s e j a h t e r a a nmasyarakat.

Gambaran yang tidakterlalu berbeda jugadapat dilihat dari pola hubungan antara transfer pemerintah dan pertumbuhan ekonomi.Dalam Grafik V.20 terlihat bahwa pada tahun 2006-2007, daerah yang menerima trans-fer per kapita tinggi adalah daerah yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yangrendah. Kenyataan ini menuntut adanya perhatian yang lebih serius dari Pemerintah danpemerintah daerah agar pola belanja daerah lebih efektif dalam mendorong perekonomiandaerah. Dengan demikian, daerah yang mendapatkan transfer yang lebih tinggi seyogyanyamampu secara riil mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya secara lebih optimal.

Selain pendanaan desentralisasi, pada dasarnya Pemerintah juga mengalokasikan dana untukmendanai kegiatan di daerah, yaitu melalui mekanisme alokasi dana kepada instansi vertikaldi daerah, alokasi Dana Dekonsentrasi dan alokasi Dana Tugas Pembantuan. Walaupunberbagai dana tersebut bukan merupakan sumber pendanaan desentralisasi, namun karenadibelanjakan di daerah maka secara tidak langsung juga mempunyai peranan dalamperekonomian regional.

Pola hubungan antara dana desentralisasi dan alokasi dana dekonsentrasi dan tugaspembantuan menunjukkan adanya korelasi positif yang cukup kuat. Korelasi antara alokasi

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

0

1

2

3

4

5

6

7

Ban

ten

Jab

ar

Jati

m

Jate

ng

DK

I

Lam

pu

ng

Sum

ut

Yog

yaka

rta

NT

B

Bal

i

Sum

sel

Suls

el

NT

T

Sum

bar

Kal

bar

Kal

sel

Jam

bi

Sulu

t

DIY

Sult

eng

Gor

onta

lo

Sult

ra

Ben

gku

lu

Bab

el

NA

D

Kep

ri

Ria

u

Mal

uku

Mal

ut

Kal

ten

g

Pap

ua

Kal

tim

Irja

bar

Pen

du

du

kM

isk

in(%

)

Tra

nsf

er/k

ap

ita

(Rp

juta

)

Daerah

Grafik V.19Perbandingan Transfer per Kapita dengan Persentase Penduduk Miskin

(rata-rata Tahun 2006-2007)

Transfer/Kapita (Rp Juta) Pe nduduk Miskin (%)Sumber: Departemen Keuangan dan BPS, data diolah

Page 23: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-23NK RAPBN 2009

dana desentralisasi perkapita dengan alokasi danadekonsentrasi dan tugaspembantuan per kapitaadalah 0,52 di tahun 2006dan 0,63 di tahun 2007.Hal ini berarti bahwa polaalokasi dana desentralisasim e m p u n y a ikecenderungan yang relatifsama dengan pola alokasidana dekonsentrasi, danatugas pembantuan, dandana instansi vertikal,sehingga daerah yang telah

mendapatkan dana desentralisasi cukup tinggi juga mendapatkan alokasi dana dekonsentrasidan tugas pembantuan yang tinggi.

Di sisi lain, terlihat pada Tabel V.9, wilayah Jawa dan Bali mendapatkan alokasi danadesentralisasi dan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan per kapita paling rendah dalamdua tahun terakhir, namun tingkat kemiskinannya juga rendah yaitu rata-rata sebesar 12,9persen, sementara pertumbuhan ekonomi dalam dua tahun terakhir cukup tinggi, yaitumencapai rata-rata 8,7 persen. Sebaliknya, wilayah Papua dan Maluku dengan alokasi danadesentralisasi dan dana dekonsentrasidan tugas pembantuan per kapita yangtertinggi juga masih mempunyai rata-rata tingkat kemiskinan yang tinggiyaitu mencapai 29,0 persen, sedangkanpertumbuhan ekonominya cukuprendah yaitu hanya mencapai 2,5persen. Hal ini berarti bahwa polabelanja di wilayah Jawa dan Balimempunyai multiplier effect terhadapperbaikan indikator kesejahteraan danpertumbuhan ekonomi yang lebihbesar dibandingkan dengan wilayahPapua dan Maluku.

Untuk mengejar ketertinggalan pembangunan di wilayah-wilayah tertentu, seperti Papuadan Maluku, dibutuhkan dana yang cukup besar, terutama untuk mendanai investasi awaldi bidang infrastruktur. Hal yang perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah danpemerintah daerah adalah upaya untuk menyelaraskan pola alokasi dana ke daerah dengantarget pertumbuhan ekonomi dan target kesejahteraan masyarakat.

-16%

-14%

-12%

-10%

-8%

-6%

-4%

-2%

0%

2%

4%

6%

8%

10%

12%

14%

0

1

2

3

4

5

6

7

BAN

TEN

JABA

R

JATI

M

JATE

NG

DKI

LAM

PUN

G

SUM

UT

DIY

NTB

BALI

SUM

SEL

SULT

RA NTT

RIAU

KALB

AR

KAL

SEL

JAM

BI

SULU

T

SULB

AR

SULT

ENG

GORO

NTA

LO

SULS

EL

BEN

GKU

LU

BAB

AEL

NAD

KEP.

RIA

U

SUM

BAR

MAL

UK

U

MA

LUT

KALT

ENG

PAPU

A

KALT

IM

IRJA

BAR

Pert

umbu

han

PDRB

(%)

Tran

sfer

/cap

ita(

Rp

juta

)

Dae ra h

Grafik V.20Perbandingan Transfer per Kapita dengan Pertumbuhan Ekonomi

(rata-rata Tahun 2006-2007)

Transfer/kapita Pertumbuhan PDRBSumber: Departemen Keuangan dan BPS, data diolah

Total Dana diDaerah/kapita

TingkatKemiskinan

PertumbuhanEkonomi

Wilayah (Rp juta/jiwa) (%) (%)Rata-Rata Tahun

2006-2007Rata-Rata Tahun

2006-2007Rata-Rata Tahun

2006-2007

Sumatera 2,31 15,5% 7,7%

Jawa-Bali 1,42 12,9% 8,7%

Kalimantan, Sulawesi &Nusa Tenggara

Papua dan Maluku 5,33 29,1% 2,5%

Tabel V.9Perbandingan Total Dana yang dialokasikan di Daerah per Kapita

dengan Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi

Sumber: Departemen Keuangan dan BPS, data diolah

2,75 18,1% 8,9%

Page 24: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-24 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

5.3. Permasalahan dan Tantangan

5.3.1. Efektivitas Pemungutan Pajak Daerah dan RetribusiDaerah

Sejalan dengan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalampenyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, kepada provinsi dankabupaten/kota juga diberikan kewenangan untuk memungut pajak dan retribusisebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Berdasarkan undang-undang tersebut, terdapat 11 jenis pajak daerah, yaitu 4 jenis pajakprovinsi dan 7 jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi ditetapkan secara limitatif,sedangkan pajak kabupaten/kota selain yang ditetapkan dalam undang-undang dapatditambah oleh daerah sesuai dengan potensi yang ada dan harus sesuai dengan kriteria pajakyang ditetapkan dalam undang-undang. Adapun penetapan tarif definitif untuk pajak provinsiditetapkan dengan peraturan pemerintah, sedangkan tarif definitif untuk pajak kabupaten/kota diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing daerah, dengan mengacu kepada tariftertinggi untuk masing-masing jenis pajak, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun2000. Selengkapnya jenis dan tarif pajak daerah dapat dilihat dalam Tabel V.10. Pengaturanlebih lanjut mengenai pajak daerah diatur dalam PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang PajakDaerah.

Sementara itu, retribusi daerah dikelompokkan menjadi tiga golongan sesuai dengan jenispelayanan dan perizinan yang diberikan, yaitu: (i) Retribusi Jasa Umum, (ii) Retribusi JasaUsaha, dan (iii) Retribusi Perizinan Tertentu. Yang termasuk golongan jasa umum adalahpelayanan yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah, sedangkan golongan jasa usahaadalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah karena pelayanan sejenis belummemadai disediakan oleh swasta atau dalam rangka optimalisasi pemanfaatan aset daerah,dan golongan perizinan tertentu adalah pelayanan pemberian izin tertentu guna melindungikepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Pemungutan retribusi oleh daerah dapat dilakukan sesuai dengan pelayanan yang diberikankepada masyarakat dan atas pemberian izin tertentu. Tidak semua jasa dan kegiatanpemberian izin dapat dipungut retribusi, hanya jenis jasa dan perizinan tertentu yang menurutpertimbangan sosial ekonomi layak yang dapat dikenakan retribusi.

Dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 juga diatur mengenai prinsip-prinsip umum dalampenetapan tarif sesuai dengan golongan retribusi. Untuk golongan retribusi jasa umum, daerahdiberikan kewenangan yang luas untuk menetapkan tarif sesuai dengan sasaran yang ingindicapai, karena pungutan retribusi jasa umum dapat diarahkan untuk meningkatkanpelayanan, memulihkan biaya, dan mengendalikan pelayanan dengan tetapmempertimbangkan aspek kemampuan masyarakat dan keadilan. Sementara itu, penetapantarif retribusi jasa usaha diarahkan untuk mendapatkan keuntungan. Sedangkan untukgolongan retribusi perizinan tertentu, penetapan tarif selain ditujukan untuk menutup biayaperizinan juga diarahkan untuk menutup biaya eksternalitas dari perizinan tersebut.

Dalam PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, terdapat 27 jenis retribusi daerah,yaitu: (i) 10 jenis retribusi jasa umum, (ii) 13 jenis retribusi jasa usaha, dan (iii) 4 jenis

Page 25: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-25NK RAPBN 2009

Tarif

(%)

1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air (PKB&KAA)

a. Kendaraan Bermotor Bukan Umum/Pribadi dan Kendaraan di atas Air 1,5

b. Kendaraan Bermotor Umum 1

c. Kendaraan Bermotor Alat-alat Berat dan Alat-alat Besar 0,52.

a. Penyerahan Pertama

1) Kendaraan Bermotor Bukan Umum/Pribadi 10

2) Kendaraan di Atas Air 5

3) Kendaraan Bermotor Umum 10

4) Kendaraan Bermotor Alat-alat Berat dan Alat-alat Besar 3

b. Penyerahan Kedua

1) Kendaraan Bermotor Bukan Umum/Pribadi 1

2) Kendaraan di Atas Air 1

3) Kendaraan Bermotor Umum 1

4) Kendaraan Bermotor Alat-alat Berat dan Alat-alat Besar 0,3

c. Penyerahan karena Warisan

1) Kendaraan Bermotor Bukan Umum/Pribadi 0,1

2) Kendaraan di Atas Air 0,1

3) Kendaraan Bermotor Umum 0,1

4) Kendaraan Bermotor Alat-alat Berat dan Alat-alat Besar 0,03

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) 54.

a. Air Bawah Tanah 20

b. Air Permukaan 10

Tarif

Maksimum

(%)

1. Pajak Hotel 10

2. Pajak Restoran 10

3. Pajak Hiburan 35

4. Pajak Reklame 25

5. Pajak Penerangan Jalan 10

6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 20

7. Pajak Parkir 20

Sumber: Departemen Keuangan

Kabupaten/Kota

Jenis Pajak

Tabel V. 10

Jenis dan Tarif Pajak Daerah

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT&AP)

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air (BBN-KB&KAA)

Provinsi

Jenis Pajak

Page 26: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-26 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

retribusi perizinan tertentu. Pemungutan retribusi untuk golongan jasa umum dan perizinantertentu dilakukan berdasarkan kewenangan masing-masing daerah sebagaimana diaturdalam PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antaraPemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.Sementara itu, pemungutan jenis retribusi yang termasuk dalam golongan jasa usahadilakukan sesuai dengan pelayanan yang diberikan oleh daerah. Selain 27 jenis retribusitersebut, daerah juga diberikan kewenangan untuk memungut jenis retribusi baru sesuaidengan kriteria retribusi yang ditetapkan dalam undang-undang. Jenis retribusi selengkapnyadapat dilihat dalam Tabel V.11.

1. Golongan Retribusi Jasa Umum

1. Retribusi Pelayanan Kesehatan;

2. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil;

4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;

5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;

6. Retribusi Pelayanan Pasar;

7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;

8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;

9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;

10. Retribusi Pengujian Kapal Perikanan;

2. Golongan Retribusi Jasa Usaha

1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;

2. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;

3. Retribusi Tempat Pelelangan;

4. Retribusi Terminal;

5. Retribusi Tempat Khusus Parkir;

6. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;

7. Retribusi Penyedotan Kakus;

8. Retribusi Rumah Potong Hewan;

9. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal;

10. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga;

11. Retribusi Penyeberangan di Atas Air;

12. Retribusi Pengelolaan Limbah Cair;

13. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah;

3. Golongan Retribusi Perizinan Tertentu

1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;

2. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;

3. Retribusi Izin Gangguan;

4. Retribusi Izin Trayek;

Sumber: Departemen Keuangan

Jenis Retribusi Daerah

Tabel V. 11

Jenis Retribusi Daerah

Page 27: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-27NK RAPBN 2009

Secara nasional, peranan pajak daerah dan retribusi daerah dalam penerimaan PAD sangatbesar. Di tingkat provinsi, penerimaan pajak dan retribusi rata-rata mencapai 91 persen daritotal PAD, sedang di tingkat kabupaten/kota mencapai lebih dari 75 persen. Dalam tahun2001-2007, PAD provinsididominasi oleh penerimaanpajak, sedangkan dalam PADkabupaten/kota, kontribusipenerimaan pajak tidak jauhberbeda dengan penerimaanretribusi. Peranan pajak danretribusi daerah terhadap PADprovinsi dan kabupaten/kotadapat dilihat pada Tabel V.12.

Apabila dilihat dari jenis pajaknya, pada tahun 2006, Pajak Kendaraan Bermotor dan BeaBalik Nama Kendaraan Bermotor menyumbang 75,8 persen dari total penerimaan pajakprovinsi. Sementara itu, pada tahun yang sama, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Hotel danRestoran menyumbang 78,6 persen dari total penerimaan pajak kabupaten/kota.Perkembangan penerimaan pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota dalam periode 2001 –2006, dapat dilihat pada Tabel V.13.

Sementara itu, penerimaanretribusi daerah di tingkatprovinsi mempunyaiperanan yang sangat kecil,baik terhadap totalpenerimaan PAD maupuntotal penerimaan APBD.Dalam tahun 2006,penerimaan retribusikurang dari 5,24 persen daritotal penerimaan PAD, atausekitar 2,3 persen dari totalpenerimaan APBD. Berbedadengan penerimaanretribusi daerah provinsi,

peranan retribusi daerah kabupaten/kota mencapai sekitar 32,3 persen dari PAD, hampirsama dengan peranan pajak daerah terhadap total penerimaan PAD. Lebih besarnya perananretribusi di kabupaten/kota dibandingkan dengan retribusi di provinsi tersebut sejalan denganlebih besarnya peranan kabupaten/kota dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.Namun demikian, mengingat peranan PAD dalam APBD secara keseluruhan relatif kecil,maka kontribusinya terhadap total APBD juga menjadi relatif kecil, yaitu hanya sekitar 2,1persen. Bila dilihat secara rinci, penerimaan retribusi kabupaten/kota yang bersumber dariretribusi pelayanan kesehatan memberikan kontribusi yang paling dominan, yakni mencapailebih dari 40 persen dari total penerimaan retribusi. Adapun retribusi lainnya yang jugamemberikan kontribusi cukup besar berasal dari retribusi IMB (14 persen), retribusi pasar(4 persen), retribusi persampahan/kebersihan (4 persen), retribusi KTP dan akte catatansipil (3 persen), sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel V.14.

Jenis Penerimaan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Pajak Daerah 85,23 83,09 84,98 87,34 86,83 84,23 85,44

Retribusi Daerah 4,90 4,86 4,67 5,31 4,83 5,24 5,56

Pajak Daerah 43,32 37,72 36,78 40,74 40,03 32,86 34,59

Retribusi Daerah 33,47 31,18 32,52 33,72 35,51 32,32 36,58

Sumber: Departemen Keuangan, data diolah

Tabel V. 12

Provinsi

Kabupaten/Kota

Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap PAD Tahun 2001-2007

(dalam persen)

Jenis Pajak 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Provinsi

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 55,77 45,80 48,62 48,40 46,42 37,46

Pajak Kendaraan Bermotor 42,22 33,49 36,46 35,06 34,50 38,38

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 1,84 14,48 13,46 14,35 17,24 22,56Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan

0,13 0,59 1,46 2,18 1,84 1,59

Pajak Kendaraan Di atas Air 0,00 5,65 0,00 0,00 0,00 0,00

Bea Balik Nama Kendaraan Di atas Air 0,03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Kabupaten/Kota

Pajak Penerangan Jalan 42,77 49,71 53,24 5399,00 53,02 41,44

Pajak Hotel dan Restoran 38,20 31,25 25,75 27,57 29,36 37,27

Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 7,41 7,98 7,68 5,90 5,35 3,48

Pajak Reklame 3,04 3,66 4,79 4,87 5,53 8,12

Pajak Hiburan 2,70 2,77 2,85 2,85 2,78 4,87

Pajak Parkir 0,00 0,00 0,00 0,70 0,82 2,21

Pajak Lainnya 5,89 4,63 5,68 4,11 3,13 2,61

Sumber: Departemen Keuangan, diolah

Penerimaan Pajak Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2001-2006

(dalam persen)

Tabel V. 13

Page 28: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-28 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Dalam rangka meningkatkan PAD, pemerintah daerah cenderung untuk memungut berbagaijenis pajak dan retribusi selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan peraturanpemerintah, meskipun hasilnya kurang signifikan. Sampai dengan akhir tahun 2006, terdapatsekitar 12 jenis pajak baru dan sekitar 280 jenis retribusi baru yang ditetapkan oleh daerah.Pada umumnya, setiap daerah mengenakan lebih dari 10 jenis retribusi baru dengan hasilyang sangat kecil. Penerimaan retribusi yang memberikan hasil yang relatif besar adalahretribusi yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan dan pertambangan, yangsebenarnya telah dikenakan pungutan sejenis oleh Pemerintah. Sebagian besar pungutantersebut, baik pajak maupun retribusi, berkaitan dengan lalu-lintas barang, misalnyapengenaan pajak/retribusi atas pengeluaran dan pemasukan barang, hasil-hasil bumi, hewandan ternak, serta retribusi atas penggunaan jalan umum. Sebagian lainnya adalah retribusiyang berkaitan dengan pelayanan administrasi pemerintahan, seperti penerbitan izin usaha,rekomendasi, legalisasi surat dan administrasi lainnya, yang seharusnya dapat dibiayai daripenerimaan umum daerah.

Pengenaan pajak dan retribusi baru tersebut cenderung mendorong terjadinya ekonomi biayatinggi dan tidak kondusif bagi iklim investasi, karena investor dihadapkan dengan berbagai

Retribusi Daerah 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Retribusi Pelayanan Kesehatan 30,81 33,37 35,51 39,68 39,90 43,38Retribusi Izin Mendirikan Bangunan 11,13 10,78 10,62 11,04 11,72 13,54Retribusi Pelayanan Pasar 9,67 8,73 8,51 6,95 5,74 3,90Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan 4,22 4,02 4,57 3,91 5,20 3,84Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akte Catatan Sipil 5,98 5,77 5,25 4,50 4,78 3,32Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 3,83 4,34 4,85 4,54 4,55 5,11Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor 1,00 2,01 2,61 2,52 2,77 2,79Retribusi Terminal 4,40 4,00 4,06 3,28 2,70 2,07Retribusi Izin Gangguan 2,42 2,79 2,58 2,52 2,68 1,89Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum 3,10 2,78 3,11 2,54 2,54 2,08Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga 2,00 1,74 1,80 1,54 1,31 1,21Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta 0,40 0,51 0,72 0,83 1,06 0,79Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan 1,65 1,39 1,22 1,14 0,98 0,74Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah 0,94 1,17 1,34 1,18 0,74 1,13Retribusi Rumah Potong Hewan 1,00 0,80 0,76 0,72 0,55 0,41Retribusi Izin Trayek 0,42 0,46 0,47 0,42 0,40 0,48Retribusi Tempat Khusus Parkir 0,53 0,49 0,65 0,47 0,35 0,30Retribusi Pengolahan Limbah Cair 0,08 0,11 0,19 0,12 0,28 0,19Retribusi Tempat Pelelangan 0,05 0,09 0,27 0,30 0,26 0,64Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal 0,06 0,24 0,36 0,34 0,21 0,19Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat 0,15 0,13 0,13 0,16 0,18 0,29Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol 0,15 0,51 0,40 0,09 0,12 0,22Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran 0,13 0,14 0,15 0,12 0,12 0,11Retribusi Penyedotan Kakus 0,13 0,14 0,13 0,12 0,10 0,10Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa 0,04 0,04 0,09 0,05 0,05 0,11Retribusi Penyeberangan di atas Air 0,03 0,03 0,03 0,13 0,04 0,03Retribusi Pengujian Kapal Perikanan 0,00 0,06 0,01 0,04 0,01 0,01Retribusi Lainnya 15,67 13,36 9,58 10,74 10,67 11,12

Sumber: Departemen Keuangan, data diolah

(dalam persen)

Tabel V. 14

Penerimaan Retribusi Kabupaten/Kota Tahun 2001-2006

Page 29: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-29NK RAPBN 2009

macam pungutan sehingga dapat meningkatkan biaya pemenuhan perpajakan dan retribusi(compliance cost). Terkait dengan hal tersebut, sebagian besar pajak dan retribusi baru yangbermasalah telah dibatalkan oleh Pemerintah. Pembatalan tersebut dilakukan juga karenatidak memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namundemikian, terdapat beberapa retribusi yang berkaitan dengan pelayanan administrasi, yangpengenaannya tidak bersifat pajak belum dibatalkan, dengan pertimbangan untukmemberikan ruang bagi daerah dalam meningkatkan penerimaan dan meningkatkan kualitaspelayanan administrasi.

Kecenderungan daerah untuk menciptakan jenis pajak dan retribusi baru disebabkan karenaUU Nomor 34 Tahun 2000 telah memberikan ruang bagi daerah untuk menciptakan berbagaijenis retribusi dan pajak baru untuk kabupaten/kota. Ruang ini dimanfaatkan hampir semuadaerah tanpa memperhatikan kriteria sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.Peluang menciptakan pungutan baru mendorong daerah menerapkan kembali berbagaipungutan yang sebelumnya sudah dihapus dengan diberlakukannya UU Nomor 18 Tahun1997, atau menerapkan suatu pungutan yang benar-benar baru. Keadaan ini juga tidakterlepas dari kenyataan bahwa norma-norma ataupun arahan yang digariskan olehPemerintah belum terlalu jelas. Kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang untukmemilih jenis pajak dan retribusi yang baik cenderung dilanggar dan kurang mendapatperhatian daerah.

Bagi sebagian daerah, keinginan untuk mencari sumber pendapatan baru selain yangditetapkan undang-undang sangat dipengaruhi oleh dorongan untuk meningkatkan PAD.Tambahan kebutuhan belanja daerah (marginal expenditure) belum sepenuhnya dapatditutup dengan tambahan pendapatan daerah (marginal revenue), terutama dari sumber-sumber pendapatan yang dapat dikontrol oleh daerah. Ruang bagi daerah untukmeningkatkan penerimaan pajak dan retribusi yang ada sangat terbatas. Peranan pajakprovinsi yang relatif besar memungkinkan provinsi untuk menyesuaikan penerimaannyabila sumber-sumber penerimaan dari transfer tidak memadai. Namun demikian, pemerintahprovinsi tidak memiliki kewenangan untuk menyesuaikan tarif pajaknya. Di tingkatkabupaten/kota, penyesuaian terhadap penerimaan pajak lebih sulit dilakukan karena basispajak yang sangat terbatas, walaupun ruang untuk menyesuaikan tarif diberikan. Padaumumnya kabupaten/kota telah menerapkan tarif maksimum yang ditetapkan dalamundang-undang. Upaya untuk meningkatkan tambahan pendapatan dari retribusi juga sangatterbatas, sehingga retribusi tidak dapat diharapkan menambah PAD.

Sistem pengawasan yang relatif lemah terhadap pelaksanaan pemungutan pajak daerahdan retribusi daerah juga memberikan kontribusi terhadap banyaknya pungutan daerahyang bermasalah. Pengawasan yang bersifat represif yang tidak disertai dengan sanksi ataspelanggaran pemungutan pajak dan retribusi cenderung dimanfaatkan oleh daerah untukmengenakan berbagai pungutan yang tidak memenuhi kriteria. Banyak daerah yang tidakmenyampaikan Perda mengenai pajak daerah dan retribusi daerah kepada Pemerintah untukmenghindari pembatalan.

Pemerintah secara terus menerus melakukan pembinaan kepada daerah untukmenyelaraskan pungutan daerah dengan kebijakan nasional. Evaluasi terhadap Perdamengenai pajak daerah dan retribusi daerah dipercepat melalui berbagai program, antaralain melalui peningkatan koordinasi dengan instansi teknis dan pemerintahan daerah dalamkegiatan penjaringan, evaluasi, rekomendasi, dan pembatalan pungutan daerah yang

Page 30: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-30 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

bermasalah. Dalam tahun 2008, akan dilakukan sosialisasi kebijakan pajak daerah danretribusi daerah kepada seluruh daerah dan akan diterbitkan buku pedoman pajak daerahdan retribusi daerah. Selain itu, sejalan dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004,pengawasan pungutan daerah juga telah dilakukan secara preventif. Rancangan peraturandaerah (Raperda) yang telah mendapat persetujuan dari DPRD, sebelum diundangkan harusdievaluasi terlebih dahulu oleh Menteri Dalam Negeri untuk Perda Provinsi dan oleh Gubernuruntuk Perda kabupaten/kota. Dalam rangka evaluasi tersebut, baik Menteri Dalam Negerimaupun Gubernur berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

Sampai dengan pertengahan Juli 2008, terdapat 10.503 Perda yang mengatur pajak daerahdan retribusi daerah, yang disampaikan oleh daerah kepada Menteri Keuangan. Dari jumlahtersebut, telah dievaluasi sebanyak 7.224 Perda, dengan hasil evaluasi 2.017 Perdadirekomendasikan batal/revisi. Sedangkan untuk Raperda, sampai dengan pertengahan Juli2008, Menteri Keuangan telah menerima 1.836 Raperda. Dari jumlah tersebut telah dievaluasisebanyak 1.816 Raperda, dengan hasil sebanyak 1.199 direkomendasikan untuk ditolak/revisi.Selengkapnya jumlah Perda dan Raperda yang diterima dan dievaluasi dapat dilihat dalamTabel V.15.

Apabila dilihatsecara rinci,sebagian besarperda pungutanbermasalah yangt e l a hdirekomendasikanuntuk dibatalkan/direvisi terdapat di

sektor-sektor perhubungan (319 Perda), kemudian diikuti sektor pertanian (301 Perda),perindustrian dan perdagangan (254 Perda), serta kehutanan (237 Perda). Pungutan daerahyang berlebihan pada sektor-sektor ini akan secara langsung membebani masyarakat yangbergerak di bidang tersebut danmemberikan dampak negatif bagipengembangan kegiatan ekonomimasyarakat. Jumlah Perda yangdirekomendasikan untuk dibatalkanberdasarkan sektor dapat dilihat dalamTabel V.16.

Pungutan daerah yang bermasalahtersebut terdapat di hampir seluruhdaerah. Urutan terbesar kabupaten/kota yang menerbitkan peraturandaerah bermasalah dan telahdirekomendasikan untuk dibatalkan/direvisi adalah kabupaten/kota yangberada di Provinsi Sumatera Utara,Jawa Timur, Jawa Barat, JawaTengah, dan Sulawesi Selatansebagaimana terlihat pada Tabel V.17.

Perda Raperda Perda Raperda Perda Raperda Perda Raperda Perda Raperda

Provinsi 506 66 138 5 2 38 323 23 43 0

Kabupaten 7434 1461 1390 191 101 755 3580 498 2363 17

Kota 2563 309 340 32 46 178 1304 96 873 3

TOTAL 10503 1836 1868 228 149 971 5207 617 3279 20

Sumber: Departemen Keuangan

Tabel V.15Rekapitulasi Penerimaan Perda dan Raperda PDRD Selama Tahun 2001-2008

Daerah

Keterangan: Perda dan Raperda yang diterima sampai Juni 2008

Dalam ProsesDiterimaHasil Evaluasi

Tidak BermasalahBatal Revisi

No. Sektor 2001-2006 2007 2008 Jumlah

1. Administrasi dan Kependudukan 2 29 1 32

2. Energi dan Sumber Daya Mineral 65 104 22 191

3. Perindustrian dan Perdagangan 134 113 7 254

4. Kehutanan 106 103 28 237

5. Kelautan dan Perikanan 53 34 0 87

6. Kesehatan 24 20 3 47

7. Ketenagakerjaan 65 22 14 101

8. Pekerjaan Umum 42 41 14 97

9. Komunikasi dan Informatika 17 5 0 22

10. Koperasi dan UKM 59 1 7 67

11. Lingkungan Hidup 24 18 1 43

12. Budaya dan Pariwisata 47 77 59 183

13. Perhubungan 165 132 22 319

14. Pertanian 224 60 17 301

15. Sumbangan Pihak Ketiga 11 10 0 21

16. Lain-lain 5 4 6 15

Total 1043 773 201 2017

Sumber : Departemen Keuangan

untuk Dibatalkan/Direvisi Berdasarkan Sektor Kegiatan Tahun 2001-2008

Tabel V. 16

Jumlah Perda Pungutan Daerah yang Direkomendasikan

Page 31: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-31NK RAPBN 2009

Dari 2.017 Perda yangdirekomendasikan oleh MenteriKeuangan untuk dibatalkan tersebut,sebanyak 968 Perda telahditindaklanjuti dengan pembatalanoleh Menteri Dalam Negeri.Sementara itu, sebagian Perdatersebut dibatalkan sendiri olehdaerah yang bersangkutan dansebagian lainnya masih dalam prosespembatalan. Jumlah Perda yang pal-ing banyak dibatalkan adalah Perdakabupaten/kota di Provinsi SumateraUtara (103 Perda), kemudian diikutioleh Provinsi Jawa Timur (88 Perda)dan Provinsi Sulawesi Selatan (64Perda). Sebagian besar Perda yangdibatalkan tersebut adalah Perda disektor perindustrian danperdagangan (154 Perda), sektorperhubungan (153 Perda), sektorpeternakan (106 Perda), dan sektorkehutanan (97 Perda). Selengkapnyajumlah Perda yang telah dibatalkanberdasarkan sektor dan wilayahdaerah masing-masing dapat dilihatdalam Tabel V.18 dan Tabel V.19.

Sementara itu, dalam rangka pengawasanpreventif, hasil evaluasi Raperda per sektor danper wilayah memperlihatkan bahwa sektorpekerjaan umum, perhubungan, danperindustrian dan perdagangan merupakan sektordengan jumlah terbanyak Raperda yang ditolak/revisi, yaitu masing-masing 179, 172, dan 141Raperda. Sedangkan berdasarkan wilayah,Sumatera Selatan, Jawa Tengah, KalimantanSelatan, Jawa Barat, dan Kalimantan Tengahmerupakan wilayah dengan jumlah Raperdaditolak/revisi terbanyak, yaitu masing-masing167, 157, 84, 82, dan 76 Raperda. Jumlah Raperdayang ditolak/revisi berdasarkan sektor danwilayah dapat dilihat pada Tabel V.20 danTabel V.21.

No. Wilayah 2001-2006 2007 2008 Jumlah1 Nanggroe Aceh Darussalam 10 22 1 332 Sumatera Utara 99 70 37 2063 Sumatera Barat 48 32 11 914 Riau 41 23 0 645 Kepulauan Riau 6 4 3 136 Jambi 37 15 2 547 Sumatera Selatan 21 19 0 408 Bangka Belitung 11 28 0 399 Bengkulu 21 4 2 2710 Lampung 26 0 0 2611 DKI Jakarta 1 0 0 112 Jawa Barat 65 62 20 14713 Banten 20 17 6 4314 Jawa Tengah 70 46 6 12215 DI Yogyakarta 30 6 6 4216 Jawa Timur 68 82 49 19917 Kalimantan Barat 31 19 8 5818 Kalimantan Tengah 48 49 5 10219 Kalimantan Selatan 41 19 3 6320 Kalimantan Timur 39 24 1 6421 Sulawesi Utara 24 10 0 3422 Gorontalo 21 12 2 3523 Sulawesi Tengah 31 1 17 4924 Sulawesi Selatan 80 30 0 11025 Sulawesi Barat 7 10 0 1726 Sulawesi Tengggara 15 15 0 3027 Bali 27 14 7 4828 Nusa Tenggara Barat 41 35 2 7829 Nusa Tenggara Timur 27 19 0 4630 Maluku 16 12 0 2831 Maluku Utara 5 5 0 1032 Papua 11 44 3 5833 Irian Jaya Barat 5 25 10 40

Total 1043 773 201 2017

Sumber : Departemen Keuangan

Tabel V.17Jumlah Perda Pungutan Daerah yang

Direkomendasikan untuk Dibatalkan/DirevisiBerdasarkan Wilayah, Tahun 2001-2008

No. Sektor 2002-2007 2008 Total1 Perkebunan 57 4 612 Perhubungan 126 27 1533 Koperasi dan UKM 16 37 534 Kehutanan 96 1 975 Industri dan Perdagangan 116 38 1546 ESDM 46 41 877 Budaya dan Pariwisata 6 7 138 Kelautan dan Perikanan 49 7 569 Tenaga Kerja 61 4 6510 Kominfo 12 3 1511 Lingkungan Hidup 19 4 2312 Pertanian 17 0 1713 Peternakan 102 4 10614 Kesehatan 2 2 415 Pekerjaan Umum 4 2 616 Sumbangan Pihak Ketiga 21 0 2117 Lain-lain 24 13 37

Total 774 194 968

Sumber : Departemen Dalam Negeri

Tabel V.18Jumlah Perda yang Dibatalkan Menteri Dalam Negeri

Berdasarkan Sektor, Tahun 2002-2008

Page 32: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-32 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

No. Wilayah 2002-2007 2008 Total1 Nanggroe Aceh Darussalam 14 0 142 Sumatera Utara 74 29 1033 Sumatera Barat 27 8 354 Riau 36 5 415 Kepulauan Riau 4 0 46 Jambi 35 2 377 Sumatera Selatan 25 1 268 Bangka Belitung 9 6 159 Bengkulu 18 1 19

10 Lampung 33 2 3511 DKI Jakarta 1 0 112 Jawa Barat 47 5 5213 Banten 18 0 1814 Jawa Tengah 37 3 4015 DI Yogyakarta 9 3 1216 Jawa Timur 50 38 8817 Kalimantan Barat 26 2 2818 Kalimantan Tengah 36 6 4219 Kalimantan Selatan 22 7 2920 Kalimantan Timur 27 4 3121 Sulawesi Utara 23 2 2522 Gorontalo 10 7 1723 Sulawesi Tengah 28 1 2924 Sulawesi Selatan 57 7 6425 Sulawesi Barat 1 1 226 Sulawesi Tengggara 8 3 1127 Bali 15 4 1928 Nusa Tenggara Barat 32 11 4329 Nusa Tenggara Timur 21 6 2730 Maluku 11 1 1231 Maluku Utara 7 0 732 Papua 6 13 1933 Irian Jaya Barat 7 16 23

Total 774 105 968

Sumber : Departemen Dalam Negeri

Tabel V.19Jumlah Perda yang Dibatalkan Menteri Dalam Negeri

Berdasarkan Wilayah, Tahun 2002-2008

Page 33: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-33NK RAPBN 2009

5.3.2. Penerapan Standar Pelayanan Minimum

Dalam rangka menyediakan pelayanan kepada masyarakat, khususnya pelayanan yangbersifat wajib, pemerintah daerah (kabupaten/kota dan provinsi) mengacu kepada StandarPelayanan Minimum (SPM) yang disusun oleh Pemerintah. SPM adalah ketentuan mengenaijenis dan mutu pelayanan dasar, yang merupakan urusan wajib daerah, yang berhak diperolehsetiap warga secara minimal. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan

Revisi Tolak Jumlah Revisi Tolak Jumlah Revisi Tolak Jumlah Revisi Tolak Jumlah

1 Administrasi dan Kependudukan 15 5 20 39 4 43 29 3 32 83 12 952 ESDM 36 5 41 17 10 27 9 5 14 62 20 823 Perindustrian dan Perdagangan 51 8 59 44 22 66 16 0 16 111 30 1414 Kehutanan 19 10 29 2 10 12 6 7 13 27 27 545 Kelautan dan Perikanan 13 0 13 15 1 16 3 0 3 31 1 326 Kesehatan 26 12 38 52 5 57 27 1 28 105 18 1237 Ketenagakerjaan 11 2 13 2 4 6 3 0 3 16 6 228 Pekerjaan Umum 65 12 77 72 11 83 17 2 19 154 25 1799 Komunikasi dan Informatika 1 4 5 0 0 0 0 1 1 1 5 610 Koperasi dan UKM 6 2 8 0 0 0 0 0 0 6 2 811 Lingkungan Hidup 22 8 30 21 8 29 6 0 6 49 16 6512 Budaya dan Pariwisata 37 7 44 47 8 55 21 3 24 105 18 12313 Perhubungan 53 10 63 67 14 81 27 1 28 147 25 17214 Pertanian 23 4 27 12 5 17 12 2 14 47 11 5815 Sumbangan Pihak Ketiga 0 1 1 3 5 8 0 0 0 3 6 916 Lain-lain 4 0 4 4 6 10 16 0 16 24 6 30

Total 382 90 472 397 113 510 192 25 217 971 228 1199

Sumber : Departemen Keuangan

Tabel V.20Jumlah Raperda Pungutan Daerah yang Direkomendasikan untuk Ditolak/Direvisi

Berdasarkan Sektor Kegiatan, Tahun 2005-2008

2005-2006 2007 2008 JumlahNo. Wilayah

Revisi Tolak Jumlah Revisi Tolak Jumlah Revisi Tolak Jumlah Revisi Tolak Jumlah1 Nanggroe Aceh Darussalam 1 1 2 26 5 31 5 0 5 32 6 382 Sumatera Utara 2 0 2 3 0 3 0 0 0 5 0 53 Sumatera Barat 10 3 13 3 0 3 0 0 0 13 3 164 Riau 28 6 34 26 4 30 5 0 5 59 10 695 Kepulauan Riau 0 0 0 0 8 8 0 0 0 0 8 86 Jambi 18 4 22 14 3 17 12 2 14 44 9 537 Sumatera Selatan 81 14 95 48 11 59 12 1 13 141 26 1678 Bangka Belitung 8 2 10 18 4 22 14 5 19 40 11 519 Bengkulu 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

10 Lampung 2 0 2 11 2 13 8 0 8 21 2 2311 DKI Jakarta 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 012 Jawa Barat 7 1 8 52 9 61 13 0 13 72 10 8213 Banten 1 0 1 0 0 0 6 0 6 7 0 714 Jawa Tengah 39 16 55 63 13 76 26 0 26 128 29 15715 DI Yogyakarta 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 016 Jawa Timur 3 0 3 18 6 24 21 7 28 42 13 5517 Kalimantan Barat 19 2 21 12 12 24 8 0 8 39 14 5318 Kalimantan Tengah 17 5 22 28 14 42 10 2 12 55 21 7619 Kalimantan Selatan 29 8 37 22 4 26 16 5 21 67 17 8420 Kalimantan Timur 36 10 46 6 3 9 17 2 19 59 15 7421 Sulawesi Utara 6 1 7 8 6 14 0 0 0 14 7 2122 Gorontalo 25 3 28 0 0 0 3 0 3 28 3 3123 Sulawesi Tengah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 024 Sulawesi Selatan 16 6 22 8 4 12 4 0 4 28 10 3825 Sulawesi Barat 9 4 13 2 1 3 0 0 0 11 5 1626 Sulawesi Tengggara 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 027 Bali 16 3 19 20 4 24 7 0 7 43 7 5028 Nusa Tenggara Barat 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 129 Nusa Tenggara Timur 0 0 0 5 0 5 5 1 6 10 1 1130 Maluku 9 0 9 0 0 0 0 0 0 9 0 931 Maluku Utara 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 032 Papua 0 0 0 4 0 4 0 0 0 4 0 433 Irian Jaya Barat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Total 382 90 472 397 113 510 192 25 217 971 228 1199

Sumber : Departemen Keuangan

Tabel V.21Jumlah Raperda Pungutan Daerah yang Direkomendasikan untuk Ditolak/Direvisi

Berdasarkan Wilayah, Tahun 2005-2008

2005-2006 2007 2008 JumlahWilayahNo.

Page 34: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-34 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

bahwa SPM diterapkan pada urusan wajib daerah, terutama yang berkaitan denganpelayanan dasar, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota. Pelayanan dasarmerupakan jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhanmasyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan. Menindaklanjuti ketentuandalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan untuk mendorong implementasi SPM, pemerintahtelah menerbitkan PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan PenerapanStandar Pelayanan Minimum.

Pelaksanaan SPM sebagaimana diatur dalam PP Nomor 65 Tahun 2005 dimaksudkan untuk:(1) terjaminnya hak masyarakat untuk menerima suatu pelayanan dasar dari pemerintahdaerah dengan mutu tertentu, (2) menjadi alat untuk menentukan jumlah anggaran yangdibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan dasar, sehingga SPM dapat menjadi dasarmenentukan kebutuhan pembiayaan daerah, (3) menjadi landasan dalam menentukanperimbangan keuangan dan/atau bantuan lain yang lebih adil dan transparan, (4) menjadidasar dalam menentukan anggaran dengan basis kinerja, (5) memperjelas tugas pokokpemerintah daerah dan mendorong terwujudnya check and balance yang efektif, dan (6)mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraanpemerintah daerah.

Sesuai dengan PP Nomor 65 Tahun 2005, penyusunan SPM dilakukan oleh masing-masingmenteri/pimpinan lembaga setelah berkoordinasi dengan tim konsultasi yang terdiri dariunsur-unsur Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara Perencanaan PembangunanNasional, Departemen Keuangan, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara,dan kementerian negara/lembaga terkait sesuai kebutuhan. Sampai saat ini sudah terdapatbeberapa kementerian negara/lembaga yang telah menyusun SPM, antara lain, bidangpendidikan, bidang kesehatan, bidang lingkungan hidup.

Dalam rangka penyusunan SPM, yang perlu diprioritaskan adalah pengaturan mengenaikewenangan/urusan wajib yang harus dilaksanakan sehingga dapat mempertegas pembagiankewenangan antara Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalammemberikan pelayanan publik. Hal ini akan mendorong ketersediaan pelayanan dasar yanglebih baik serta dapat menghindari tumpang tindih pendanaan. Untuk itu pemerintah telahmenerbitkan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan AntaraPemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Pelaksanaan SPM secara luas menghadapi beberapa permasalahan dan tantangan yaitu:(1) kompleksitas penyusunan indikator SPM; (2) ketersediaan dan kemampuan anggaranyang terbatas; dan (3) kompleksitas proses konsultasi publik dalam menentukan norma danstandar tertentu untuk menghindari adanya perbedaan persepsi dalam memberikanpelayanan publik sesuai SPM.

5.3.3. Efektivitas Kebijakan Pengeluaran APBD

Pengeluaran APBD mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaanpenyelenggaraan pemerintah daerah. Efektivitas pengeluaran APBD akan berpengaruhlangsung terhadap efektivitas pelayanan publik, yang pada gilirannya akan menentukankeberhasilan pembangunan daerah. Efektivitas pengeluaran APBD sangat dipengaruhi olehfaktor-faktor internal maupun eksternal pemerintahan daerah, antara lain proses penyusunanAPBD, peran partisipasi masyarakat, dukungan politis dari pihak DPRD, kesinambungan

Page 35: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-35NK RAPBN 2009

dengan APBD sebelum dan sesudah tahun anggaran yang bersangkutan, dan sinergi denganprogram-program Pemerintah.

Proses penyusunan APBD bukan merupakan suatu proses yang sederhana, karena terkaitdengan mekanisme perencanaan yang melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan yangsangat beragam. Proses penyusunan anggaran yang baik tentunya akan meresponkepentingan masyarakat dan mewujudkannya dalam anggaran yang efisien, sehinggamenghasilkan output dan outcome yang sesuai dengan perencanaannya. Tantangan dalamproses penyusunan APBD yaitu bagaimana menciptakan hubungan yang jelas antara input(anggaran dalam APBD) dengan output dan outcome dari program dan kegiatan.

Partisipasi masyarakat dan dukungan politik dari DPRD juga sangat menentukan efektivitaspengeluaran APBD, karena kedua unsur tersebut akan menentukan outcome yang akandicapai dan sekaligus menilai apakah pemerintah daerah telah berhasil mencapainya.Tantangan lainnya adalah kesinambungan, karena pada dasarnya sebagian besar programdan kegiatan tidak akan bisa dilihat dampaknya secara nyata dalam waktu yang singkat,dan juga harus selalu ditunjang dengan program/kegiatan lain yang saling terkait dalamrentang waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu, menjaga kesinambungan dari pro-gram dan kegiatan melalui pola belanja APBD akan menjadi tantangan tersendiri bagipencapaian efektivitas pengeluaran APBD.

Selain permasalahan dan tantangan yang ada di daerah, terdapat beberapa hal yang jugamenjadi kendala di luar proses yang berlangsung di daerah. Tantangan tersebut adalah sinergiantara program nasional dengan kebijakan di daerah. Pengeluaran APBD akan menjadi tidakefektif apabila tidak sejalan dengan program pembangunan nasional, atau sebaliknya. Untukmenilai apakah rencana kerja yang dituangkan dalam program dan kegiatan oleh provinsisudah sesuai dengan program yang dicanangkan oleh Pemerintah, dilakukan evaluasi atasRancangan APBD provinsi oleh Pemerintah. Dalam hal ini diperlukan kesiapan Pemerintahuntuk melakukan evaluasi dan melakukan koreksi bilamana kebijakan Pemerintah yangharus dilaksanakan oleh pemerintah provinsi belum diakomodasi dalam program dan kegiatanbeserta anggarannya yang diusulkan dalam RAPBD yang bersangkutan.

Hal yang sama juga dilakukan oleh gubernur terhadap APBD kabupaten /kota. APBDkabupaten/kota tidak hanya harus sinkron dengan kebijakan nasional, tetapi juga dengankebijakan di tingkat regional di provinsi yang bersangkutan. Kebijakan yang bersifat regionalsekaligus dipadukan dengan kebijakan pada tingkat nasional harus dituangkan dalamkebijakan pengeluaran pada APBD kabupaten/kota. Hal itu menjadi masalah dan sekaligustantangan bagi gubernur dan perangkatnya yang melaksanakan evaluasi.

5.3.4. Efektivitas Proses Penyusunan APBD

Perencanaan daerah diarahkan agar proses penyusunan APBD semaksimal mungkin dapatmenunjukkan latar belakang pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakanumum, skala prioritas dan penetapan alokasi, serta distribusi sumber daya dengan melibatkanpartisipasi masyarakat. Aspek penting dalam penyusunan APBD adalah ketepatan waktudalam penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untukseluruh jenis belanja. Rencana keuangan tahunan tersebut harus pula didasarkan pada prinsippencapaian efisiensi alokasi dana. Penyusunan APBD secara terpadu selaras denganpenyusunan anggaran yang berorientasi pada anggaran berbasis kinerja atau prestasi kerja.

Page 36: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-36 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Disamping langkah-langkah yang harus dilakukan secara internal oleh pemerintah daerah,terdapat beberapa tahapan yang juga harus dilalui dan melibatkan berbagai pihak terkait,seperti penjaringan aspirasi masyarakat, persetujuan DPRD, evaluasi oleh pemerintah provinsibagi kabupaten/kota atau evaluasi oleh Pemerintah bagi provinsi. Baik dalam pembahasandi tingkat internal pemerintah maupun dengan pihak terkait, seperti DPRD, tahapan danjadwal pembahasan harus disepakati agar proses penyusunan APBD dapat diselesaikan tepatpada waktunya. Dalam Gambar V.1. secara rinci dapat dilihat proses penyusunan APBD.

Tantangan terbesar bagi daerah adalah menetapkan APBD secara tepat waktu sehingga dapatmemperlancar proses pelaksanaan anggaran dan dapat memberikan dampak yang positifbagi pelayanan publik. Terdapat beberapa hal yang menjadi kendala dalam proses penyusunanAPBD. Salah satu hal yang seringkali terjadi adalah sulitnya pencapaian kesepakatan dalampembahasan dengan DPRD. Dalam proses demokrasi, perbedaan pendapat memang sangatdimungkinkan, namun hal ini seharusnya tidak menjadi penghambat proses penyusunanAPBD. Selain itu, sering juga terjadi hambatan teknis dalam proses penyusunan APBD, terkaitdengan kompleksitas proses penganggaran berbasis kinerja.

Meskipun proses penyusunan APBD tahun 2008 untuk sebagian besar daerah mengalamiketerlambatan, tetapi Pemerintah telah berhasil mendorong penetapan Perda APBD lebihtepat waktu. Hal ini disebabkan antara lain karena pemberlakuan sanksi penundaan

Gambar V.1.

PROSES PENYUSUNAN RANCANGAN APBD

PPK

DD

PRD

KD

HTA

PDSK

PDD

epda

gri/

Prov

insi

JANUARI - APRIL MEI - AGUSTUS SEPTEMBER - DESEMBER

RPJMD/Dok. Prc lainnya

SE Prioritas Program &

indikasi pagu

Rancangan Awal Kerangka

Ekonomi Daerah

Rencana Kerja Pemerintah

Daerah

Pemutakhiran Data & Proyeksi Ekonomi &

Fiskal

RENSTRA SKPD RENJA SKPD

SE/Pedoman Mendagri

Pembahasan Rancangan KUA &

PPAS

Nota Kesepakatan KUA, Prioritas dan

Plafon

Rancangan KUA & PPAS

Pedoman Penyusunan RKASKPD, KUA,

Prioritas dan Plafon

RKA SKPD

Evaluasi Mendagri/Gubernur

Pembahasan RAPBD

Raperda ttg APBD

Ra PerKDH ttg Penjab

APBDRAPBD dan Lampiran

Lampiran RAPBD (Himpunan RKA-

SKPD)

Pembahasan Tim Anggaran

Pemda

Perda ttg

APBD

PerKDH ttg Penjab APBD

Pembahasan Tim Anggaran

Pemda

Pengesahan

Draft DPASKPD DPASKPD

Musrembang

Proses Penyusunan APBD

Sumber: Departemen Dalam Negeri

Page 37: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-37NK RAPBN 2009

penyaluran DAU apabila daerah tidak menyampaikan Perda APBD kepada Pemerintah secaratepat waktu dan pelaksanaan transfer DAK setelah Perda tentang APBD disampaikan kePemerintah. Saat ini Pemerintah terus melaksanakan kebijakan tersebut yang diharapkanmampu mendorong percepatan penyelesaian APBD. Penyelesaian penetapan APBD dapatdipercepat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, APBD diselesaikan pada bulan September.Pada tahun 2007 menunjukkan percepatannya dan dapat diselesaikan pada bulan Juni,dengan 1 (satu) daerah selesai pada bulan Juli. Sedangkan pada tahun 2008 terjadipeningkatan percepatan yang cukup signifikan yaitu diselesaikan pada bulan Mei, danmenyisakan 1 (satu) daerah yang selesai pada bulan Juni. Pada tahun 2009 nanti semuaperda APBD diharapkan sudah ditetapkan pada akhir bulan Januari 2009 atau paling lambatakhir bulan Februari 2009. Perkembangan penyampaian Perda APBD tahun 2006 sampaitahun 2008 tersebut dapat dilihat pada Grafik V.21.

Penyusunan APBD merupakanbagian dari proses pengelolaankeuangan daerah, sedangkansistem pengelolaan keuangandaerah merupakan subsistem daripengelolaan keuangan negara.Dengan demikian, penyusunanAPBD sangat dipengaruhi olehproses dalam penyusunan APBN,sehingga pada akhirnya efektivitaspenyusunan APBD tidak terlepasdari efektivitas penyusunan APBN.Dalam hal ini, proses penyusunanAPBN bukan sekedardiundangkannya RancanganAPBN menjadi UU APBN, tetapi

termasuk perangkat pelaksanaannya, yang secara langsung menjadi acuan bagi daerah dalammenyusun APBD.

Dengan demikian, masalah dalam proses penyusunan dan penetapan APBD tidak hanyaketepatan waktu pengesahan, tetapi juga sinergi antara Pemerintah dengan pemerintahdaerah, mengingat bahwa APBD sangat tergantung pada APBN. Tantangan bagi Pemerintahadalah sedini mungkin menetapkan alokasi dana yang akan ditransfer ke daerah danmenginformasikannya kepada daerah yang bersangkutan, dengan disertai petunjuk teknis,terutama untuk alokasi dana-dana tertentu, seperti DAK. Dengan demikian, daerah dapatsegera mengalokasikan dana tersebut dalam program dan kegiatan yang dituangkan dalamAPBD.

Penyusunan APBD memang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Walaupundemikian, terdapat hal-hal yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dan hal itulahhendaknya menjadi tantangan bagi Pemerintah untuk memenuhinya sehingga terjadi sinergiyang baik antara Pemerintah dan daerah dalam rangka pembangunan nasional.

2925

118

66

85

188

68

105

9382

125

50 48

110

32 31

12

29

4 1

16

16 2

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

Ju

mla

h A

PB

D

Des ThnSebelum

Jan Peb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sept

Bulan Penyampaian

Grafik V.21 Perkembangan Penyampaian Perda APBD

Provinsi,Kabupaten/Kota Se-Indonesia, Tahun 2006-2008

2006 2007 2008

Sumber : Departemen Keuangan

Page 38: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-38 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

5.3.5. Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Keuangan Negara

Jumlah daerah otonom baru sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2008 telah mengalamipenambahan sebanyak 179 daerah. Sebelum tahun 1999, daerah otonom berjumlah 319daerah (26 provinsi, 234 kabupaten, dan 59 kota), dan pada tahun 2008 telah menjadi 498daerah (33 provinsi, 375 kabupaten, dan 90 kota). Daerah baru tersebut sebagian besardibentuk berdasarkan kriteria kelulusan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 129 Tahun2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, danPenggabungan Daerah. Selain itu, usulan pembentukan daerah juga dapat dilakukan melaluimekanisme Hak Inisiatif dari DPR RI. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, totalnilai kriteria teknis harus lebih besar daripada total nilai minimal sebagai dasar penentuanlulus tidaknya suatu daerah baru, tanpa mempertimbangkan pemenuhan kriteriakemampuan ekonomi dan potensi daerah.

Sementara itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang TatacaraPembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang merupakan revisi PP Nomor129 tahun 2000, telah memperketat persyaratan kelulusan dengan menetapkan nilai mutlakatau nilai minimal yang harus dipenuhi, yaitu: kependudukan, kemampuan ekonomi, potensidaerah, dan kemampuan keuangan. Ketersediaan sarana dan prasarana dalam pelaksanaanpelayanan minimal juga menjadi syarat mutlak dalam penilaian usulan pembentukan daerahbaru. Dengan demikian, kebijakan pemekaran daerah dapat dilakukan dengan lebih selektifdan hati-hati. Grafik V.22 di bawah ini menggambarkan perkembangan jumlah daerahotonom dalam tahun 1999 sampai dengan tahun 2008.

Berdasarkan data KementerianNegara Pembangunan DaerahTertinggal, 80 persen kabupaten baruhasil pemekaran dari tahun 1999sampai dengan tahun 2006 termasukkategori kabupaten tertinggal. Haltersebut menunjukkan bahwa daerahpemekaran tidak memilikikemampuan ekonomi dan keuanganyang memadai untuk menjadidaerah otonom. Dengan demikian,tujuan pembentukan daerah otonombaru untuk meningkatkankesejahteraan masyarakat melaluipeningkatan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat masihmenemui hambatan. Selain itu, berdasarkan hasil evaluasi sementara terhadap 147 daerahotonom baru, diketahui bahwa daerah otonom baru menghadapi berbagai macampermasalahan, antara lain penyerahan pendanaan, personil, peralatan dan dokumen (P3D),batas wilayah, dukungan dana kepada daerah otonom baru, mutasi Pegawai Negeri Sipil(PNS) ke daerah otonom baru, pengisian jabatan, dan rencana tata ruang dan wilayah.

5.3.5.1. Implikasi Pemekaran Daerah terhadap DAU

Dari sisi pendanaan, pemekaran daerah mempunyai implikasi terhadap APBN, yaitupenyediaan DAK bidang prasarana pemerintahan dan pembangunan instansi vertikal. Selain

Grafik V.22Pembentukan Daerah Otonom Baru Tahun 1999 - 2008

2 31 1

34 33

47

21

69

12

42

4

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Ju

mla

h

Provinsi Kabupaten Kota

Sumber : Departemen Keuangan

Page 39: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-39NK RAPBN 2009

itu, pemekaran daerah juga berpengaruh terhadap fungsi pemerataan DAU yang belumoptimal, mengingat peningkatan alokasi DAU akan tersebar secara proporsional kepadaseluruh daerah di Indonesia. Dampak pemekaran terhadap DAU dapat ditinjau dari duaperspektif, yaitu, (i) dampak terhadap DAU daerah induk yang berkurang secara proporsionalberdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, dan belanja PNSD (netralitas fiskal), dan(ii) dampak terhadap seluruh daerah karena porsi pembagian daerah pemekaran secara relatifmengurangi porsi daerah lainnya.

Pada tahun 2007, dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 434 daerah, rata-rata penerimaanDAU adalah sebesar Rp341,73 miliar atau mengalami kenaikan sebesar 39,68 persen

dibandingkan tahun2006. Sedangkanpada tahun 2008dengan jumlahk a b u p a t e n / k o t asebanyak 451 daerah,rata-rata penerimaanDAU adalah sebesarRp358,22 miliar ataumengalami kenaikansebesar 16,49 persendibandingkan tahun2007. Dampakpemekaran daerahterhadap DAU dapatdilihat dalam TabelV.22.

5.3.5.2. Implikasi Pemekaran Daerah terhadap DAK

Untuk membantu penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan di daerah otonom baru,mulai tahun 2003 telah dialokasikan DAK bidang prasarana pemerintahan, yang digunakan

untuk mendukung kelancaranpenyelenggaraan pemerintahandaerah pemekaran dan daerahyang terkena dampak pemekaran.Alokasi DAK bidang prasanapemerintahan mengalamipeningkatan yang cukupsignifikan, dari sebesar Rp88,0miliar untuk 22 daerah padatahun 2003 menjadi Rp362 miliaruntuk 106 daerah pada tahun2008. Perkembangan jumlah DAKbidang prasarana pemerintahandapat dilihat Grafik V.23.

Tahun DAU

Nasional

DAU Kab/Kota (90% DAU Nasional)

Kenaikan DAU (%)

Jumlah Kab/Kota Penerima

DAU

Kenaikan Jumlah Daerah

(%)

Rata-Rata Penerimaan

DAU

Kenaikan (Penurunan)

Rata-Rata

2001 60.345,80 54.311,22 - 336 - 161,64 -

2002 69.159,40 62.243,46 14,61 348 3,57 178,86 17,22

2003 76.977,90 69.280,11 11,31 370 6,32 187,24 8,38

2004 82.130,90 73.917,81 6,69 410 10,81 180,29 (6,96)

2005 88.765,40 79.888,86 8,08 434 5,85 184,08 3,79

2006 145.651,90 131.086,71 64,09 434 - 302,04 117,97

2007 194.787,40 143.308,66 13,14 434 - 341,73 39,68

2008 179.507,15 161.556,43 12,73 451 3,92 358,22 16,49

Sumber : Departemen Keuangan

Tabel V.22Perkembangan Rata-Rata Penerimaan DAU Kabupaten/Kota Tahun 2001-2008

Grafik V.23Besaran DAK Bidang Prasarana Pem erintahan,

T ahun 2003 - 2008

88

228

55

448,6

539

362

2257 63

137106

159

0

100

200

300

400

500

600

2003 2004 2005 2006 2007 2008

Mil

iar

Ru

pia

h

Alokasi DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Jumlah Daerah PenerimaSumber : Departemen Keuangan

Page 40: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-40 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

5.3.5.3. Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Pendanaan Instansi Vertikal

Konsekuensi lain dari pemekaran daerah terhadap keuangan negara adalah penambahankantor-kantor vertikal yang melaksanakan kewenangan Pemerintah melalui penyediaansarana dan prasarana kantor. Dengan dibukanya kantor-kantor tersebut, Pemerintah harusmenyediakan dana untuk sarana dan prasarana gedung kantor, belanja pegawai, dan belanjaoperasional lainnya. Alokasi anggaran instansi vertikal di daerah otonom baru berdasarkanRencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL) tahun 2005 sampaidengan tahun 2008 ditunjukkan dalam Tabel V.23. Berdasarkan Tabel V.23 tersebut dapatdiketahui bahwa jumlah dana APBN yang dialokasikan kepada daerah otonom baru tumbuhsebesar 60,83 persen, dari Rp8.714,0 miliar pada tahun 2005 menjadi sebesar Rp14.015,0miliar pada tahun 2008.

Berdasarkan data tersebut di atas,dapat diketahui bahwa pemekarandaerah mempunyai dampak yangcukup besar terhadap keuangannegara. Untuk itu, Pemerintahmengambil langkah-langkah strategisagar pemekaran daerah dapat benar-benar memberikan manfaat nyatadalam mendukung upaya

peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat melalui:

1. Pemberian kesempatan kepada daerah yang bersedia bergabung membentuk satu daerahotonom baru, dengan memberikan insentif baik fiskal maupun nonfiskal. Insentif fiskaldiberikan dalam rangka meningkatkan kemampuan APBD, sedangkan insentif non-fiskal diberikan dalam bentuk dukungan teknis dan fasilitasi peningkatan kemampuankelembagaan pemerintahan daerah, sumber daya manusia, kepegawaian daerah,pengelolaan keuangan daerah, dan pelayanan publik.

2. Evaluasi terhadap daerah-daerah baru berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2008 tentangPedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Evaluasi tersebut dilakukanguna mengetahui kemampuan daerah otonom baru dan efektivitas dalam memberikanpelayanan kepada masyarakat, serta sebagai dasar pengambilan keputusan bagipenghapusan dan penggabungan daerah. Evaluasi dilakukan terhadap aspekperkembangan penyusunan perangkat daerah, pengisian personil, pengisiankeanggotaan DPRD, penyelenggaraan urusan wajib dan pilihan, pembiayaan,pengalihan aset dan dokumen, pelaksanaan penetapan batas wilayah, penyediaan saranadan prasana pemerintahan, dan pemindahan ibukota bagi daerah yang ibukotanyadipindahkan.

5.3.6. Sinkronisasi antara Dana Desentralisasi dengan DanaDekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan

Pada masa transisi pelaksanaan otonomi daerah, praktek pendanaan program/kegiatan didaerah masih cenderung tumpang tindih (overlapping), dalam arti terdapat satu kegiatanyang didanai dari sumber APBN dan APBD. Tumpang tindih pendanaan tersebut, antara

No. Jenis Belanja 2005 2006 2007 2008

1 Belanja Pegawai 1.202 1.796 2.749 4.306 2 Belanja Barang 2.665 1.054 1.502 1.774 3 Belanja Modal 1.958 2.685 3.737 4.849 4 Belanja Bantuan Sosial 2.889 769 102 3.086

Total 8.714 6.304 8.090 14.015 Sumber : Departemen Keuangan

Tabel V.23Anggaran Instansi Vertikal di Daerah Otonom Baru

Tahun 2005-2008(miliar rupiah)

Page 41: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-41NK RAPBN 2009

lain disebabkan dalam proses penganggaran kurang memperhatikan aspek pembagianurusan/wewenang dan aspek akuntabilitas. Pagu anggaran sektoral pada kementerian negara/lembaga belum dipisahkan secara tepat menurut alokasi dana dekonsentrasi, dana tugaspembantuan, dana untuk kantor vertikal di daerah, dan dana untuk satuan kerja tertentu,sehingga alokasi dana-dana tersebut sulit untuk disinkronkan dengan alokasi danadesentralisasi.

Sejalan dengan adanya reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara (budget reform),yang diikuti dengan reformasi di bidang manajemen pemerintahan melalui penataan urusanpemerintahan, telah dilakukan perbaikan di bidang penganggaran. Berdasarkan PP Nomor20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan PP Nomor 21 Tahun 2004tentang Rencana Kerja Anggaran dan Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL), anggaranuntuk kementerian negara/lembaga dibagi menurut anggaran kantor pusat, anggaran kantordaerah, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Khusus untuk penganggaran dekonsentrasidan tugas pembantuan, selain harus mengikuti ketentuan peraturan pemerintah tersebut,juga harus mengacu pada PP Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan TugasPembantuan dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahanantara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Perubahan sistem penganggaran tersebut merupakan suatu hal yang baru, sehingga diperlukanadanya pemahaman yang tepat dari para perencana, pengguna anggaran dan kuasapengguna anggaran, baik di pusat maupun daerah. Dalam proses perencanaan, programdan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga di daerah, dalambentuk dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan perlu disinkronisasikan dengan pro-gram dan kegiatan yang didanai dari dana desentralisasi. Namun demikian, sinkronisasipendanaan tersebut masih sulit dilakukan, mengingat sebagian kementerian negara/lembagamasih cenderung berpegang pada peraturan perundang-undangan sektoral. Padahal sesuaidengan komitmen untuk melaksanakan otonomi daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 telahmengamanatkan bahwa semua undang-undang sektoral yang berkaitan dengan daerahotonom, wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuanundangundang tersebut.

5.4. Kebijakan Desentralisasi Fiskal ke Depan

5.4.1. Penguatan Taxing Power Daerah

Penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah sampai saat ini relatif kurang memadai untukmembiayai kebutuhan pengeluaran daerah, khususnya kabupaten/kota. Jenis pajak danretribusi yang dipungut oleh kabupaten/kota cukup banyak, namun hanya memberikankontribusi rata-rata kurang dari 10 persen terhadap APBD. Pemberian kewenangan kepadakabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak tidak banyak memberikan dampak padapeningkatan pendapatan daerah. Demikian juga dengan pemberian kewenangan kepadadaerah untuk menciptakan pajak dan/atau retribusi baru dengan kriteria tertentu, juga tidakdapat diharapkan memberikan ruang bagi daerah untuk menyesuaikan pendapatannya.karena sangat sulit untuk menemukan jenis pajak dan retribusi yang memenuhi kriteriatersebut.

Page 42: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-42 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Pemerintah daerah provinsi memiliki penerimaan pajak yang cukup besar sumbangannyaterhadap APBD, namun provinsi tetap mengalami kesulitan untuk membiayai tambahankebutuhan pengeluarannya. Provinsi tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan tarifpajaknya. Penetapan tarif pajak yang seragam untuk provinsi selama ini dilakukan untukmenghindari perang tarif yang berlebihan antardaerah. Perbedaan tarif akan berdampakterhadap pelarian objek, karena objek pajak provinsi relatif lebih tinggi tingkat mobilitasnyadibandingkan dengan pajak kabupaten/kota.

Dengan demikian kewenangan perpajakan yang ada saat ini tidak memberikan peluangbagi daerah untuk menyesuaikan pendapatannya bila dana transfer tidak mencukupi.Pemberian tanggung jawab yang semakin besar kepada daerah akan berdampak terhadapsemakin besarnya tuntutan masyarakat akan pelayanan yang semakin baik, yang tentunyatidak selamanya dapat dipenuhi dari dana transfer. Masyarakat akan selalu menuntutpelayanan yang lebih baik sesuai dengan pajak yang dibayarnya. Untuk meningkatkankemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya dan sekaligus untukmeningkatkan akuntabilitas daerah perlu upaya penguatan perpajakan daerah. Upayapenguatan perpajakan tersebut perlu dikaji secara terus-menerus agar tetap sejalan denganprinsip-prinsip perpajakan, dan sekaligus dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitaspenyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam rangka penguatan taxing power daerah, beberapa kebijakan yang perlu dilakukanantara lain: (i) menyelaraskan perpajakan dan retribusi daerah dengan kewenanganpenyelenggaraan pemerintahan daerah; (ii) memperluas basis pajak daerah dan memberikankeleluasaan dalam penerapan tarif; dan (iii) mempertegas dan memperkuat dasar-dasarpemungutan pajak dan retribusi daerah. Adapun implementasi kebijakan tersebut dapatdilakukan antara lain dengan cara sebagai berikut:

1. Perluasan basis pajak daerah

Perluasan basis pajak daerah, khususnya kabupaten/kota sangat diperlukan, selainmemudahkan daerah untuk menyesuaikan pendapatannya, juga untuk mengurangi greyarea antara perpajakan pusat dan daerah. Basis pajak daerah yang sangat terbatas saatini, menyulitkan daerah untuk menyesuaikan pendapatannya apabila dana transfer tidakmemadai untuk menutup seluruh kebutuhan pengeluaran daerah.

Perluasan basis pajak daerah juga ditujukan untuk meningkatkan keadilan dalamperpajakan. Perluasan objek Pajak Kendaraan Bermotor atas kendaraan pemerintah akanmeningkatkan rasa keadilan bagi masyarakat umum, yang pada gilirannya akanmeningkatkan kepatuhan untuk membayar pajak. Demikian juga dengan perluasan objekpajak hotel, yang mencakup seluruh persewaan di hotel, dan perluasan objek pajakrestoran, yang juga mencakup seluruh usaha katering akan mengurangi grey area,sehingga objek pajak yang ada akan dapat dipungut secara optimal.

2. Penetapan tarif

Pemerintah daerah perlu diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak sesuai dengantarif maksimal yang ditetapkan dalam undang-undang, sehingga memungkinkan daerahmenyesuaikan target pendapatan pajaknya. Dengan demikian, daerah dapatmengoptimalkan pendapatan pajaknya sekaligus memberikan layanan yang lebih baik.Dalam rangka transparansi dan akuntabilitas, pemerintah daerah harus dapat

Page 43: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-43NK RAPBN 2009

memberikan alasan yang kuat tentang besarnya tarif yang ditetapkan dan bukanmelemparkan kesalahan pada peraturan pemerintah.

Pemberian kewenangan penetapan dan penyesuaian tarif pajak daerah dapatmeningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah, karena pemerintah daerah berhubunganlangsung dengan masyarakat setempat, sehingga masyarakat dapat mengawasi danmemberikan reaksi secara langsung atas kebijakan yang mempengaruhi beban pajakyang harus dipikulnya. Selanjutnya, kewenangan daerah dalam menetapkan tarif pajakdapat menciptakan pasar penyediaan layanan masyarakat, sehingga akan mempengaruhipemilihan lokasi tempat tinggal dan kegiatan investasi.

3. Penetapan retribusi daerah

Sejalan dengan perkembangan otonomi daerah dan dengan adanya pengalihan beberapafungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah kepada daerah, maka pemungutanretribusi harus dilakukan secara lebih transparan. Hal ini dimaksudkan agar beban retribusiyang harus dibayar oleh masyarakat dapat lebih jelas dan akuntabel. Pemungutan retribusidaerah harus terkait dengan fungsi pelayanan dan perizinan yang menjadi urusan/kewenangan daerah. Jenis-jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah adalah jenisretribusi yang ditetapkan dalam undang-undang. Penambahan jenis retribusi baru tidaklagi diserahkan kepada daerah tetapi diatur oleh Pemerintah. Penambahan jenis retribusiakan disesuaikan dengan pengaturan mengenai pembagian kewenangan antaraPemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

4. Penambahan jenis pajak daerah

Untuk meningkatkan kewenangan perpajakan daerah juga perlu penambahan jenis pajakbaru bagi daerah. Penambahan jenis pajak baru dilakukan dengan memperhatikankriteria-kriteria pajak daerah yang baik yang secara teori dan praktik telah teruji. Pajakbaru tersebut antara lain Pajak Sarang Burung Walet dan Pajak Lingkungan. Pengenaanpajak atas sarang burung walet didasarkan pada pertimbangan bahwa sarang burungwalet tersebut menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, antara lain berupakebisingan dan aroma yang tidak sedap. Pada dasarnya pengenaan pajak atas sarangburung walet dimaksudkan untuk menginternalisasi biaya yang ditimbulkan akibataktivitas penangkaran sarang burung walet tersebut. Demikian juga dengan kegiatanusaha manufaktur yang dikenakan pajak lingkungan dimaksudkan untukmenginternalisasi dampak negatif dari kegiatan usaha tersebut terhadap lingkungan.Oleh karena itu, hasil penerimaan pajak lingkungan akan digunakan untuk membiayaikegiatan pemeliharaan dan pemulihan lingkungan. Selain itu, pengenaan pajaklingkungan juga dimaksudkan untuk menyederhanakan pungutan retribusi yang terkaitdengan lingkungan yang selama ini dipungut oleh daerah dengan berbagai nama danjenis retribusi.

5. Reformulasi Kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Krisis energi yang melanda perekonomian dunia saat ini, mendorong pemerintahmelakukan reformulasi kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dengan sasaran untukmengurangi subsidi melalui pengurangan konsumsi BBM. Mengingat salah satu

Page 44: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-44 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

konsumen BBM terbesar adalah kendaraan bermotor, maka berbagai langkah perludilakukan untuk membatasi penggunaan kendaraan bermotor, khususnya kendaraanpribadi, tanpa mengurangi tingkat produktivitas masyarakat.

Reformulasi kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dapat dilakukan denganmerumuskan kembali sistem penerapan tarif dan penambahan jenis pungutan daerah,yang dapat mengurangi atau membatasi penggunaan kendaraan bermotor. Reformulasikebijakan tersebut serta implikasinya dapat dilihat pada Tabel V. 24.

Kepada daerah juga perlu diberi peluanguntuk menerapkan tarif progresif,khususnya tarif Pajak KendaraanBermotor. Dengan tarif progresif, daerahdapat mengoptimalkan penerimaanpajak dari masyarakat yangberpendapatan tinggi dan juga dapatdigunakan mengurangi kemacetan lalu-lintas dan konsumsi bahan bakar minyak.Daerah dimungkinkan untukmenetapkan tarif pajak yang lebih besarterhadap kendaraan-kendaraan denganisi silinder yang lebih besar, atau terhadapkepemilikan dua atau lebih kendaraanbermotor.

Langkah-langkah penguatan taxingpower tersebut telah diusulkan oleh

Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rancangan Undang-Undang PajakDaerah dan Retribusi Daerah, yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 34Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Saat ini pembahasan rancanganundang-undang tersebut telah memasuki tahap akhir dan diharapkan dalam tahun iniakan ditetapkan menjadi undang-undang.

Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang saat ini sedangdibahas bersama oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, akan berfungsi sebagaiinstrumen pengaturan pendapatan daerah dan sekaligus sebagai salah satu instrumenkebijakan penghematan energi. Oleh karena itu, akan diupayakan semaksimal mungkinagar amandemen UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat mengakomodir langkah-langkah yang akan ditempuh Pemerintah.

6. Pengawasan

Dengan peningkatan taxing power, daerah harus diawasi secara lebih ketat dalampemungutan pajak dan retribusi. Pengawasan pemungutan pajak dan retribusi daerahdilakukan secara preventif dan represif. Peraturan daerah yang mengatur pajak danretribusi harus dievaluasi oleh provinsi untuk Perda kabupaten/kota dan oleh MenteriDalam Negeri untuk Perda provinsi. Hasil evaluasi Perda tersebut dikoordinasikan denganMenteri Keuangan. Selain itu, kepada daerah juga dikenakan sanksi apabila tidakmenyampaikan Perda kepada Pemerintah, atau bagi daerah yang tetap melaksanakanPerda yang telah dibatalkan.

1 Pajak Kendaraan Bermotor

Menaikkan tarif maksimum dan menerapkan tarif progresif

Memperlambat pertambahan kendaraan bermotor

2 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Menaikkan tarif maksimum dan menerapkan tarif progresif

Memperlambat pertambahan kendaraan bermotor

3 Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

Menaikkan tarif maksimum

Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi

4 Pajak Parkir Menaikkan tarif maksimum

Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi

5 Retribusi Pengendalian Lalu Lintas (congestion charging)

Mengenakan retribusi terhadap pengguna jalan yang macet

Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi

Sumber : Departemen Keuangan

Tabel V.24

Jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Reformulasi Kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

No. Kebijakan Implikasi

Page 45: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-45NK RAPBN 2009

5.4.2. Konsistensi Pelaksanaan Prinsip Money FollowsFunction

Penguatan atas pelaksanaan prinsip money follows function secara konsisten ke depanmemiliki relevansi yang cukup erat dengan penataan kebijakan antara desentralisasikewenangan dengan desentralisasi fiskal. Prinsip money follows function dimaksudkan untukmenyelaraskan besaran kewenangan yang dilimpahkan dengan kebutuhan pendanaan didaerah, sehingga dapat dihindari adanya tumpang tindih pendanaan antara Pemerintahdan pemerintah daerah. Untuk mendukung adanya desentralisasi kewenangan perludilakukan pelimpahan wewenang guna mendistribusikan tanggung jawab dan sumber-sumber keuangan dalam menyediakan pelayanan publik.

Penerapan prinsip money follows function menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 memerlukanmasa transisi, karena penyerahan kewenangan belum dapat langsung diikuti denganpenyerahan sumber dana sesuai beban kewenangannya, karena sampai saat ini belum adastandar yang dapat digunakan untuk menilai secara kuantitatif beban kewenangan dan bebanpendanaan. Prinsip money follows function hanya dapat dilakukan berdasarkan perkiraan(proxy). Konsep ini dapat diterapkan sampai pada tingkat yang lebih rinci apabila telah tersediaSPM dan Standar Analisa Belanja (SAB) pada semua tingkat pemerintahan.

Prinsip money follows function dilakukan dengan memberikan sumber-sumber pendanaanyang jauh lebih besar kepada daerah dan memberikan kewenangan untuk mengelola sumberkeuangan sendiri, dengan didukung oleh perimbangan keuangan antara Pemerintah dandaerah. Kewenangan untuk mengoptimalkan sumber keuangan daerah sendiri dilakukanmelalui peningkatan kapasitas PAD, sedangkan perimbangan keuangan dilakukan melaluipengalokasian dana Transfer ke Daerah.

Pengalihan beban sebagai konsekuensi dari penyerahan kewenangan tidaklah sepenuhnyasejalan dengan penyerahan pendanaannya. Penyerahan personil, peralatan, dan dokumendilaksanakan sesuai dengan fungsi dan satuan kerjanya. Sementara itu pengalihan pendanaandilakukan dengan memberikan transfer dana melalui Dana Perimbangan yang jumlahnyajauh lebih besar dari sumber dana yang ada sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidakada hubungan secara langsung antara beban yang diserahkan dengan besaran dana yangdiserahkan kepada daerah. Dengan demikian, untuk menjaga konsistensi pelaksanaan prinsipmoney follows function, Pemerintah perlu menerapkan SPM dan SAB sehingga terdapathubungan secara langsung dan nyata antara beban yang dilimpahkan dengan dana yangdiserahkan.

5.4.3. Dana Transfer ke Daerah

Dana Transfer ke Daerah merupakan instrumen utama bagi Pemerintah dalammengimplementasikan kebijakan desentralisasi fiskal, melalui dana perimbangan dan DanaOtonomi Khusus (dan Dana Penyesuaian). Kebijakan dana Transfer ke Daerah diharapkandapat menjaga netralitas fiskal secara nasional, yang merupakan bagian tidak terpisahkandalam konsolidasi fiskal antara APBN dan APBD. Sejalan dengan peningkatan total APBN,besaran alokasi dana transfer ke daerah tersebut diarahkan tetap dapat mendukungkesinambungan fiskal nasional dalam kerangka kebijakan ekonomi makro.

Page 46: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-46 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Kebijakan pengalokasian DBH diarahkan untuk mengurangi kesenjangan fiskal vertikalantara Pemerintah dan daerah secara lebih optimal, karena sebagian sumber-sumberpenerimaan pajak yang besar masih dikelola oleh Pemerintah. Sementara itu, terkait denganDBH SDA terdapat beberapa hal yang perlu ditegaskan dalam pengalokasiannya, sebagaimanadiatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 antara lain:

1. Pemerintah menetapkan alokasi dana bagi hasil yang berasal dari sumber daya alam sesuaidengan penetapan dasar perhitungan dan daerah penghasil.

2.Dana bagi hasil yang merupakan bagian daerah disalurkan berdasarkan realisasipenerimaan tahun anggaran berjalan.

3. Realisasi penyaluran dana bagi hasil dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi130 persen dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan.

4. Apabila melebihi 130 persen, kelebihannya dibagikan ke daerah sebagai DAU tambahandengan menggunakan formulasi DAU berdasarkan celah fiskal.

Alokasi DAU selain ditujukan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antardaerah, jugadiharapkan dapat menstimulasi pembangunan daerah. Evaluasi atas perhitungan DAU terusdilakukan secara berkelanjutan dari tahun ke tahun untuk memperoleh hasil pemerataanyang terbaik dengan menggunakan indikator Coefficient of Variation (CV) dan WilliamsonIndex (WI). Untuk meningkatkan keseimbangan antardaerah, penerapan formula DAUmurni (non-holdharmless) berdasarkan formula yang ditetapkan dalam UU Nomor 33 Tahun2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, memungkinkan daerah menerima DAU lebih kecildari tahun sebelumnya, DAU sama dengan nol, atau DAU lebih besar dari tahun sebelumnya.Hal ini dilakukan sejalan dengan konsep dasar DAU sebagai equalizing grant, dimanapenerimaan daerah dari DAU secara proporsional dapat diseimbangkan dengan penerimaandaerah dari DBH dan PAD. Berkaitan dengan itu, dalam APBN 2009 tidak lagi disediakanDana Penyesuaian.

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan terhadap perkembangan DAU, diperoleh hal-hal sebagaiberikut:

1. Meskipun alokasi DAU secara nasional setiap tahun meningkat, peningkatan DAU perdaerah tidak signifikan karena jumlah daerah terus bertambah.

2. Proporsi Alokasi Dasar dalam formula DAU diperkecil setiap tahun agar formula DAUberdasarkan celah fiskal lebih berperan dalam rangka pemerataan keuangan antardaerah.

3. Proporsi celah fiskal dalam formula DAU harus diperbesar peranannya untukmengoptimalkan peran formula murni atau celah fiskal sehingga memberikan manfaatlebih besar kepada daerah-daerah yang kemampuan fiskalnya rendah.

Sementara itu, kebijakan DAK diharapkan mampu mendorong peningkatan kualitaspelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah.Untuk itu dalam mengalokasikan DAK diarahkan dengan mempertajam indikator yangdiperlukan dalam penyusunan kriteria dan penggunaan DAK. Alokasi DAK lebih diarahkanuntuk mendanai bidang-bidang yang menunjang pelayanan dasar masyarakat, sepertiinfrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Selanjutnya arah kebijakan DAK ke depan antaralain:

Page 47: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-47NK RAPBN 2009

1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah yang kemampuan keuangannya relatifrendah, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisikpelayanan dasar yang sudah merupakan urusan daerah;

2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di wilayah pesisir dankepulauan, perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, serta termasukkategori ketahanan pangan;

3. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, yangmerupakan bagian anggaran kementerian negara /lembaga yang sudah menjadi urusandaerah, melalui mekanisme DAK.

Kebijakan dan formulasi Transfer ke Daerah di masa mendatang, selain tetap berdasarkankepada peraturan perundangan, dan terus menyempurnakan peraturan sesuai dengan kondisidan situasi yang terus berkembang, juga dengan memperhatikan hasil evaluasi implementasidesentralisasi fiskal delapan tahun terakhir, dengan mempertimbangkan praktek terbaik (bestpractices) di negara-negara maju yang berlaku secara internasional. Beberapa langkah majuyang telah diraih Indonesia dalam pengalokasian Transfer ke Daerah dalam beberapa tahunterakhir ini, yang akan terus disempurnakan pada waktu yang akan datang adalah pelaksanaandesentralisasi fiskal, yang mengedepankan asas transparansi, akuntabilitas, efisiensi,efektivitas, dan partisipasi masyarakat. Upaya tersebut akan berhasil apabila penyempurnaanimplementasi di daerah dilakukan secara berkesinambungan, sehingga peningkatan alokasiTransfer ke Daerah dari tahun ke tahun dapat meningkatkan pemerataan kemampuankeuangan antara Pusat dan Daerah dan antar daerah, serta mendukung pembangunan daerahdalam rangka mengentaskan kemiskinan (pro poor), memperluas lapangan kerja (pro jobcreation), dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (pro growth).

Kebijakan Transfer ke Daerah yang dapat dijadikan acuan untuk penyempurnaan kebijakandan reformulasi Transfer ke Daerah di masa mendatang antara lain sebagai berikut :

Pertama, penerapan secara konsisten formula DAU murni berdasarkan celah fiskal(NonHoldharmless) dan diberlakukannya pembatasan (capping) proporsi alokasi dasar dalampenghitungan DAU, agar dapat meningkatkan pemerataan kapasitas fiskal antar daerah,serta perbaikan rasio penerimaan pemerintah daerah terhadap kebutuhan pengeluarannyadengan menggunakan indikator indeks williamson.

Kedua, penyempurnaan alokasi DAU dengan menghilangkan perhitungan alokasi dasar (gajiPNS daerah) secara penuh, karena penyaluran dana yang penggunaannya telah ditetapkanakan menurunkan insentif untuk mengurangi kelebihan pegawai dan mencari kombinasimasukan secara optimal (tenaga kerja, modal, bahan baku, dan outsourcing) dalam rangkapenyediaan layanan publik yang berkualitas. Penghapusan cakupan penghitungan gaji PNSdaerah secara penuh ini akan berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi pada pengeluaranpemerintah daerah.

Ketiga, penyempurnaan perhitungan pagu DAU nasional berdasarkan persentase tertentuPDN Neto (sekurang-kurangnya 26% x PDN Neto) dengan mempertimbangkan kondisifiskal nasional dan pengendalian defisit APBN dalam jangka panjang. Penghitungan PDNNeto ke depan akan terus dipertimbangkan dengan memasukkan variabel subsidi BBM dansubsidi lain yang bersifat earmark dan in-out sebagai faktor pengurang dalam rangkaantisipasi dampak kenaikan harga minyak, penciptaan stabilisasi APBN dan APBD, dengantetap menjaga peningkatan secara riil alokasi DAU setiap tahun.

Page 48: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-48 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Keempat, penyempurnaan perhitungan DAU ke depan dengan konsep Fiscal Gap (KebutuhanFiskal dikurangi Kapasitas Fiskal), dimana kebutuhan fiskal tidak lagi menggunakan proxyberdasarkan variabel-variabel kependudukan dan kewilayahan saja, tapi menggunakanpengukuran berdasarkan indeks-indeks tertentu yang disusun dalam Standar PelayananMinimal (SPM) dan Standar Analisa Belanja (SAB) masing-masing Daerah.

Kelima, penerapan prinsip desentralisasi fiskal dari aspek penerimaan (revenue assignment)dapat dimulai dari pengelolaan PBB. Penerimaan PBB diharapkan dapat menjadi instrumenkebijakan penerimaan daerah, mengingat PBB merupakan bagian dari pajak daerah,sebagaimana yang telah dipraktekkan di sebagian besar negara maju. Desentralisasipenerimaan PBB tersebut akan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah,sehingga dimungkinkan adanya peningkatan daya saing antardaerah dalam pengelolaanPBB.

Keenam, kebijakan DAK di masa mendatang diarahkan untuk mengoptimalkan pelaksanaanpengalihan secara bertahap kegiatan dan anggaran kementerian negara/lembaga yangdigunakan untuk melaksanakan urusan daerah ke DAK, serta mendorong pengalokasianDAK yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah, danmengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah (public service provision gap). Halini berarti bahwa kebijakan DAK ke depan juga harus diarahkan untuk mendorongpelaksanaan belanja daerah yang efisien dan efektif ke arah peningkatan pencapaian SPMpelayanan publik, serta mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaranprioritas nasional.

Ketujuh, pelaksanaan secara konsisten PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian UrusanPemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan PemerintahanDaerah Kabupaten/Kota, akan semakin memperbesar pergeseran anggaran kementeriannegara/lembaga yang sudah menjadi urusan daerah ke DAK. Semakin besarnya alokasiDAK tersebut diharapkan dapat mempengaruhi pola belanja daerah yang lebih memihakkepada peningkatan kualitas pelayanan publik.

5.4.4. Harmonisasi Dana Desentralisasi dengan DanaDekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan

Dana desentralisasi yang merupakan transfer dana dari Pemerintah (APBN) kepadapemerintah daerah (APBD), pada dasarnya digunakan untuk mendanai program dankegiatan di daerah, yang mencerminkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangandaerah. Sedangkan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, yang dikelola olehkementerian negara/lembaga digunakan untuk mendanai program dan kegiatan di daerahyang mencerminkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah. Hal iniberarti walaupun digunakan untuk mendanai program dan kegiatan di daerah, pengelolaandan penggunaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan berbeda denganpengelolaan dan penggunaan dana desentralisasi.

Untuk memperjelas pembagian urusan pemerintahan, Pemerintah telah mengeluarkan PPNomor 38 Tahun 2007, yang membagi urusan pemerintahan yang menjadi kewenanganPemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota menurut bidang urusan

Page 49: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-49NK RAPBN 2009

pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan tersebut diharapkan dapat digunakan sebagaiacuan bagi setiap jenjang pemerintahan untuk menentukan alokasi pendanaannya. Urusanpemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah didanai dari APBN, urusanpemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi didanai dari APBD provinsi,dan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota didanaidari APBD Kabupaten/Kota. Selain itu, telah ditetapkan pula PP Nomor 7 Tahun 2008 tentangDekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, yang mengatur mekanisme pengelolaan danadekonsentrasi dan dana tugas pembantuan untuk mendanai program dan kegiatan di daerah.Untuk dana dekonsentrasi, antara lain diatur bahwa alokasinya hanya digunakan untukmendanai kegiatan bersifat nonfisik yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakilPemerintah di daerah. Kegiatan yang bersifat nonfisik tersebut antara lain berupa kegiatankoordinasi, perencanaan, fasilitasi, bimbingan teknis, pelatihan, penyuluhan, supervisi,pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Sementara itu, dana tugas pembantuandialokasikan untuk mendanai kegiatan bersifat fisik yang ditugaskan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala daerah otonom, yang antara lain berupa pengadaan barangseperti bangunan, peralatan dan mesin, jalan, jaringan, irigasi, dan kegiatan fisik lainnya.

Dalam proses penganggarannya, baik dana dekonsentrasi maupun dana tugas pembantuanharus dituangkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) pada masing-masingkementerian negara/lembaga. Rencana anggaran dan lokasi untuk program dan kegiatanyang akan dilimpahkan dan/atau ditugaskan tersebut disusun dengan mempertimbangkanaspek kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah, dan kebutuhanpembangunan di daerah. Pertimbangan terhadap aspek kemampuan keuangan negaradimaksudkan agar alokasi dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan disesuaikandengan kemampuan APBN dalam mendanai urusan Pemerintah. Sementara pertimbanganaspek keseimbangan pendanaan di daerah dimaksudkan agar alokasi dana dekonsentrasidan dana tugas pembantuan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, berupaPAD dan dana transfer, kebutuhan pembangunan daerah, serta prioritas pembangunannasional dan daerah. Dengan demikian diharapkan, sumber dana APBN bisa teralokasi secaraefektif dan efisien, dan tidak terkonsentrasi pada suatu daerah tertentu, sehingga dapatmengurangi kesenjangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi antardaerah.

Indikasi program dan kegiatan yang akan dilimpahkan harus diberitahukan kepada Gubernur,demikian juga yang akan ditugaskan harus diberitahukan kepada kepala daerah otonomsetelah ditetapkannya pagu sementara anggaran kementerian negara/lembaga. Selanjutnya,menteri/pimpinan lembaga wajib menyampaikan peraturan menteri/pimpinan lembagatentang pelimpahan wewenang kepada gubernur dan peraturan menteri/pimpinan lembagatentang penugasan kepada gubernur/bupati/walikota setelah ditetapkannya PeraturanPresiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (RABPP) pada minggu pertamabulan Desember. Penyampaian peraturan ini dimaksudkan agar rencana kegiatan dananggaran dari Pemerintah yang akan dilaksanakan di daerah, dapat segera diketahui olehpemerintah daerah dan dapat digunakan sebagai bahan sinkronisasi dalam penyusunan pro-gram dan kegiatan yang akan didanai dari APBD. Dengan demikian dalam tahappenganggaran, alokasi dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang digunakanuntuk mendanai program dan kegiatan di daerah telah diarahkan agar tidak tumpang tindihdengan program dan kegiatan yang didanai dari APBD.

Page 50: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-50 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Dalam tahap pelaksanaan, gubernur selaku pelaksana dana dekonsentrasi dan gubernur/bupati/walikota selaku pelaksana dana tugas pembantuan, secara periodik wajibmenyampaikan laporan kepada Pemerintah melalui menteri/pimpinan lembaga dan MenteriKeuangan. Selain itu gubernur/bupati/walikota juga wajib melampirkan laporan pelaksanaandana dekonsentrasi dan/atau dana tugas pembantuan dalam laporan pertanggungjawabanpelaksanaan APBD kepada DPRD.

Dengan adanya ketentuan yang lebih jelas dalam pengelolaan dana dekonsentrasi dan danatugas pembantuan tersebut, maka untuk tahun depan perlu terus dilakukan harmonisasiantara dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan dengan dana desentralisasi, baikpada tahap penganggaran maupun pelaksanaannya. Hal ini penting dilakukan mengingatdalam era otonomi daerah alokasi dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan daritahun ke tahun masih cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya alokasi danadesentralisasi. Perkembangan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan dalam periodetahun 2007-2008 dapat dilihat pada Grafik V.24 dan Grafik V.25.

Perkembangan alokasi danadesentralisasi, dana dekonsentrasi dandana tugas pembantuan untuk periodetahun 2005 - 2008 dapat disajikandalam Tabel V.25.

0,00

500,00

1.000,00

1.500,00

2.000,00

2.500,00

3.000,00

3.500,00

Mil

iar

Rp

Kepri

Irjabar

Babel

Sulbar

Gorontalo

Malut

Ben

gkulu

Maluku

Kalteng

Sultra

Sulut

Sulteng

Jambi

Papu

a

Kalsel

Bali

Kaltim

Yogyakarta

Kalbar

NT

B

NA

D

Riau

Sumbar

NT

T

Sumsel

Lam

pung

Banten

DK

I

Sulsel

Sumu

t

Jateng

Jatim

Jabar

Grafik V.24Peta Dana Dekonsentrasi

Kabupaten/Kota Se-Provinsi di IndonesiaTahun 2007-2008

2007 2008Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %

Total 33 24.614,90 100 33 25.212,35 100Tertinggi Jabar 2.920,24 11,86 Jabar 3.226,24 12,80Terendah Sulbar 207,22 0,84 Kepri 188,37 0,75Rata-Rata 33 745,91 - 33 764,01 -

2007 2008Uraian Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %

Total 33 24.614,90 100 33 25.212,35 100Tertinggi Jabar 2.920,24 11,86 Jabar 3.226,24 12,80Terendah Sulbar 207,22 0,84 Kepri 188,37 0,75Rata-Rata 33 745,91 - 33 764,01 -

2007 2008Uraian

Sumber : Departemen Keuangan

Uraian 2005 2006 2007 2008

Dana Desentralisasi

DBH 28,0 48,5 60,5 64,0

DAU 88,7 145,6 164,7 179,5

DAK 4,0 11,6 17,1 21,2

Total 120,7 205,7 242,3 264,7

Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan

Dana Dekonsentrasi 18,0 25,0 24,6 25,2

Dana Tugas Pembantuan 12,1 5,6 9,4 10,8

Total 30,1 30,6 34,0 36,0

Sumber : Departemen Keuangan

Tabel V.25Perkembangan Alokasi Dana Desentralisasi dan Dana Dekonsentrasi

dan Dana Tugas Pembantuan Tahun 2005-2008(triliun Rupiah)

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

700,00

800,00

900,00

1.000,00

Mil

iar

Rp

DK

I

Kep

ri

Irjabar

Babel

Bali

Riau

Goron

talo

Sulb

ar

Yogyak

arta

Ban

ten

Malu

t

Pap

ua

Jambi

Malu

ku

Kaltim

Kalsel

Sultra

Sulten

g

Sulu

t

NT

B

Lam

pung

Kalten

g

Ben

gkulu

Kalb

ar

NA

D

NT

T

Sum

sel

Sum

ut

Sum

bar

Sulsel

Jabar

Jateng

Jatim

Grafik V.25Peta Dana Tugas Pembantuan

Kabupaten/Kota Se-Provinsi di IndonesiaTahun 2007-2008

2007 2008

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %Total 33 9.429,41 100 33 10.832,97 100Tertinggi Jatim 934,94 9,92 Jatim 965,17 8,91Terendah DKI 13,74 0,15 DKI 14,28 0,13Rata-Rata 33 285,74 - 33 328,27 -

2007 2008Uraian Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %

Total 33 9.429,41 100 33 10.832,97 100Tertinggi Jatim 934,94 9,92 Jatim 965,17 8,91Terendah DKI 13,74 0,15 DKI 14,28 0,13Rata-Rata 33 285,74 - 33 328,27 -

2007 2008Uraian

Sumber : Departemen Keuangan

Page 51: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-51NK RAPBN 2009

5.4.5. Prinsip-Prinsip Efisiensi Belanja dalam PelayananPublik

Pelayanan publik pada dasarnya dapat dilakukan oleh berbagai tingkat pemerintahan, baikPemerintah, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. PP Nomor 38 Tahun2007 secara substansif membagi tanggung jawab pemberian pelayanan publik denganmempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaannya. Beberapa prinsip umum yangdipergunakan dalam melakukan efisiensi belanja dalam pelayanan publik adalah sebagaiberikut:

1. Manfaat Skala Ekonomi

Dalam memberikan pelayanan publik perlu mempertimbangkan manfaat ekonomi yangdiperoleh dibandingkan dengan biaya yang diperlukan untuk penyediaan pelayanantersebut.

2. Faktor Eksternalitas

Pelayanan publik yang diselenggarakan suatu pemerintah daerah lebih tepat untukmasyarakat yang berada di wilayah administrasi daerah yang bersangkutan. Apabilapenyelenggaraan pelayanan tersebut untuk lintas daerah, maka penyelenggaraanpelayanan tersebut lebih tepat dilakukan oleh pemerintah yang lebih tinggi.

3. Kesenjangan Potensi Ekonomi dan Kapasitas Administrasi

Tiap daerah memiliki potensi ekonomi dan kapasitas administrasi yang berbeda-beda.Semakin besar perbedaan antardaerah, semakin diperlukan ketelitian dalammendistribusikan pelayanan publik. Perlu dilakukan upaya secara terus menerus untukmengurangi kesenjangan, karena kebijakan desentralisasi administrasi/pemerintahantidak membedakan kesenjangan kapasitas administrasi. Semakin kecil kesenjangan potensiekonomi dan kapasitas administrasi, maka pelayanan masyarakat yang lebih meratalebih mudah diciptakan, demikian pula semakin memadai kemampuan ekonomi dankapasitas administrasi semakin layak suatu daerah menyelenggarakan pelayanan publik.

4. Kecenderungan Masyarakat Terhadap Pelayanan Publik

Semakin bervariasi kecenderungan masyarakat terhadap pelayanan tertentu, maka akansemakin layak pelayanan publik tersebut dilaksanakan oleh tingkat pemerintahan yanglebih dekat ke masyarakat. Sebaliknya, apabila kecenderungan masyarakat relatifhomogen maka produksi/penyediaan dapat dilakukan secara seragam, sehinggapelayanan publik kurang efisien pada pemerintahan yang lebih rendah.

5. Pemeliharaan Stabilitas Ekonomi Makro

Suatu pelayanan publik sebaiknya dilaksanakan oleh Pemerintah, karena apabiladilakukan oleh masing-masing daerah dapat menganggu stabilitas ekonomi nasionaldan menimbulkan ketidakharmonisan di dalam negeri. Hal ini akan merugikan daerah,terutama apabila mekanisme pengawasan dan mekanisme koordinasi antardaerah tidaktersedia secara baik. Dengan demikian, pelayanan publik yang layak diberikan oleh daerahadalah pelayanan-pelayanan yang tidak memiliki dampak atau pengaruh yang luas secaranasional.

Page 52: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-52 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

5.4.6. Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Daerah

5.4.6.1. Pinjaman Pemerintah Daerah

Pemerintah membuka kesempatan bagi pemerintah daerah yang memenuhi persyaratanuntuk melakukan pinjaman sebagai salah satu instrumen pendanaan pembangunan daerah,yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan daerah dalam rangka meningkatkanpelayanan kepada masyarakat. Namun demikian, mengingat adanya konsekuensi kewajibanyang harus dibayar atas pelaksanaan pinjaman pemerintah daerah dimaksud, sepertiangsuran pokok, biaya bunga, denda, dan biaya lainnya, maka Pemerintah menerapkankebijakan yang mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudential management), profesional,dan tepat guna dalam memberikan persetujuan, serta panduan pengelolaan pinjamanpemerintah daerah agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah itu sendiri,serta mengganggu stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional.

Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara PemerintahPusat dan Pemerintahan Daerah, dan PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah,pinjaman pemerintah daerah dapat dilaksanakan dengan berpedoman pada prinsip-prinsipumum sebagai berikut:

1. Pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri,kecuali dalam hal pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karenakegiatan transaksi penjualan obligasi daerah melalui pasar modal dalam negeri.

2. Pemerintah daerah tidak dapat melakukan penjaminan terhadap pinjaman pihak lain.

3. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijaminkan untuk pinjaman,kecuali untuk proyek yang didanai dari obligasi daerah beserta barang milik daerah yangmelekat dalam proyek tersebut.

4. Tidak melebihi batas defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman pemerintah daerahyang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, yang berlaku dan diaturdengan peraturan Menteri Keuangan tersendiri pada setiap tahunnya.

Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari: (i) Pemerintah; (ii)pemerintah daerah lain; (iii) lembaga keuangan bank; (iv) lembaga keuangan bukan bank;dan (v) masyarakat. Untuk pinjaman yang bersumber dari masyarakat dilakukan dalambentuk penerbitan obligasi daerah, sedangkan pinjaman daerah yang bersumber daripemerintah (APBN) diberikan melalui Menteri Keuangan.

5.4.6.2. Penerusan Pinjaman Luar Negeri

Penerusan pinjaman luar negeri (Subsidiary Loan Agreement/SLA) adalah pinjamanpemerintah daerah pada Pemerintah, yang dananya bersumber dari penerusan pinjamanluar negeri. Pinjaman ini merupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untukmendanai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan. Selain diatur dalam PP Nomor54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, mekanisme penerusan pinjaman luar negeri jugamengacu pada:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjamandan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.

Page 53: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-53NK RAPBN 2009

2. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BadanPerencanaan Pembangunan Nasional Nomor: Per. 005/M.PPN/06/2006 tentangTatacara Perencanaan dan Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayaidari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, yang mengatur perencanan dan proses lebihlanjut pengadaan pinjaman/hibah luar negeri oleh Pemerintah.

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2006 tentang Tatacara PemberianPinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri,yang mengatur proses penilaian keuangan dari penerusan pinjaman luar negeriPemerintah kepada pemerintah daerah dalam bentuk pinjaman.

Secara umum permasalahan penerusan pinjaman luar negeri adalah sebagai berikut:

1. Terdapat tunggakan pemerintah daerah atas pembayaran kembali pinjaman.DalamTabel V.26 dapat dilihat jumlah pinjaman yang telah dilakukan dan kinerja pembayarankembali pinjaman luar negeri yang diteruskan kepada pemerintah daerah. Jikadibandingkan dengan data pada tahun 2006, maka terdapat peningkatan jumlahtunggakan di tahun 2007 pada beberapa pemerintah daerah peminjam.

2. Rendahnya kualitas perencanaan dan kesiapan pelaksanaan kegiatan (quality at entry)yang akan didanai dari pinjaman daerah, sehingga menyebabkan terjadinyaketerlambatan pelaksanaan kegiatan. Hal ini dapat disebabkan oleh lemahnya koordinasiantara instansi terkait baik di tingkat pusat maupun daerah.

3. Lemahnya inisiatif pemerintah daerah dalam merencanakan pinjaman pemerintah daerahyang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri. Inisiatif atas usulan kegiatanpenerusan pinjaman luar negeri yang selama ini dilakukan lebih banyak berasal daridepartemen teknis, yang mengkoordinasikan dan mengarahkan daerah untuk melakukanpinjaman. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman dan pengalaman daerah dalampengusulan kegiatan yang akan didanai dari penerusan pinjaman luar negeri.

4. Kurang efektifnya pengawasan dari Pemerintah terhadap aspek pelaksanaan penerusanpinjaman luar negeri.

5. Penerapan sanksi yang tidak tegas terhadap pemerintah daerah yang melanggar ketentuanyang diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun perjanjian pinjaman denganpemerintah.

6. Kurangnya kesadaran dari beberapa pemerintah daerah untuk memenuhi kewajibannya.

2006 2007 2006 2007 2006 2007 Nominal % Nominal %

1 Provinsi 7 9 17 18 172.052,45 137.178,39 1.241,59 0,47 1.511,87 0,56

2 Kabupaten 89 115 118 122 129.036,95 97.711,34 39.300,99 14,90 27.494,53 10,23

3 Kota 38 39 57 57 255.498,47 259.002,55 223.237,79 84,63 239.808,29 89,21

134 163 192 197 556.587,87 493.892,28 263.780,37 100,00 268.814,69 100,00

Sumber : Departemen Keuangan

Tabel V.26Pinjaman dan Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah dari Penerusan Pinjaman

Luar Negeri per akhir Tahun 2006-2007(juta rupiah)

Total

Pinjaman 2006 2007No PemdaJumlah daerah

Jumlah Paket Pinjaman

Jumlah Tunggakan

Page 54: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-54 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

5.4.6.3. Pinjaman Dalam Negeri

Pinjaman dalam negeri adalah pinjaman daerah yang dananya bersumber dari APBN murnidan disalurkan Pemerintah melalui Rekening Pembangunan Daerah (RPD) yang diaturdalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 347a/KMK.07/2000 tentang PengelolaanRekening Pembangunan Daerah. Pinjaman dari dana RPD ini dibatasi hanya untuk pinjamanjangka panjang (maksimal 20 tahun) untuk membiayai kegiatan yang bersifat cost recov-ery, yaitu: pembangunan prasarana air bersih, persampahan, terminal angkutan darat sertaterminal angkutan sungai/danau, pasar, dan rumah sakit umum daerah.

Secara umum permasalahan pinjaman daerah yang dananya bersumber dari RPD adalah:

1. Terdapat tunggakan pemerintah daerah atas pembayaran kembali pinjaman.

Masalah tunggakan pemerintah daerah tersebut dapat dilihat dalam Tabel V.27, yangmenunjukkan jumlah pinjaman yang telah dilakukan dan rendahnya kinerja pembayarankembali pinjaman pemerintah daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber dariRPD. Dalam Tabel V.27 tersebut, terlihat adanya peningkatan jumlah tunggakanpinjaman daerah dari RPD pada tahun 2007, jika dibandingkan dengan tahun 2006.

2. Terbatasnya alokasi dana yang disediakan oleh Pemerintah melalui RPD yang dapatdimanfaatkan oleh pemerintah daerah.

3. Belum tersedianya alokasi dana untuk pinjaman jangka menengah.

Dengan adanya pinjaman jangka menengah yang diatur pada Peraturan PemerintahNomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, maka perlu penyediaan dana dariPemerintah untuk pinjaman yang digunakan untuk pembangunan layanan umum yangtidak menghasilkan penerimaan, seperti pembangunan jalan desa/kota dan perbaikanirigasi, sampai saat ini belum disediakan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, dalam rangkapelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2004, Pemerintah perlu menyediakan dana pinjamanjangka menengah guna membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatanpenyediaan layanan umum yang bersifat tidak menghasilkan penerimaan.

4. Penerapan sanksi yang tidak tegas terhadap pemerintah daerah yang melanggarketentuan, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun perjanjianpinjaman dengan pemerintah.

5. Kurangnya kesadaran dari beberapa pemerintah daerah untuk memenuhi kewajibannya.

2006 2007 2006 2007 2006 2007 Nominal % Nominal %

1 Provinsi 13 9 16 11 4.644,41 2.574,26 1.957,67 0,65 897,05 0,26

2 Kabupaten 47 50 53 55 123.092,74 105.352,46 106.721,71 35,30 108.600,58 31,49

3 Kota 25 22 37 34 76.857,47 91.150,73 193.642,93 64,05 235.382,10 68,25

85 81 106 100 204.594,62 199.077,45 302.322,31 100,00 344.879,73 100,00

Sumber : Departemen Keuangan

Total

Pinjaman 2006 2007No PemdaJumlah daerah

Jumlah Paket Pinjaman

Jumlah Tunggakan

Tabel V.27Pinjaman dan Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah dari RPD

per akhir Tahun 2006-2007(juta rupiah)

Page 55: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-55NK RAPBN 2009

5.4.6.4. Obligasi Daerah

Sebagai tindak lanjut atas amanat UU Nomor 33 Tahun 2004, Pemerintah telah membukapeluang bagi pemerintah daerah untuk menggalang dana pinjaman pemerintah daerah yangbersumber dari masyarakat sebagai salah satu sumber pendanaan daerah. Sumber pendanaantersebut adalah obligasi daerah untuk mendanai investasi sektor publik yang menghasilkanpenerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Dalam rangka pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2004 tersebut, Pemerintah telahmenerbitkan PP Nomor 54 Tahun 2005 yang di dalamnya antara lain diatur mengenaiobligasi daerah. Di dalam PP tersebut, diatur ketentuan umum menyangkut prosedurpenerbitan obligasi daerah beserta pengelolaannya. Untuk operasional dan aturan teknispenerbitan obligasi daerah, pada akhir tahun 2006 Pemerintah telah menetapkan PeraturanMenteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan,Pertanggungjawaban dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah, dan Paket Peraturan KetuaBapepam dan Lembaga Keuangan yaitu No. VIII.G.14, No. VIII.G.15, No. VIII.G.16, No.IX.C.12, No. IX.C.13, dan No. IX.C.14, yang berkaitan dengan penawaran umum obligasidaerah. Selain daripada itu, juga telah dilakukan sosialisasi kepada para pejabat eksekutifdan legislatif pemerintah provinsi, kabupaten/kota, sehingga kebijakan penerbitan obligasidaerah dapat diterima secara utuh oleh pemerintahan daerah.

Dengan telah ditetapkannya berbagai aturan hukum serta kegiatan sosialisasi diharapkanpemerintah daerah dapat memanfaatkan salah satu sumber pendanaan pemerintah daerahdengan melibatkan peran aktif masyarakat. Dengan demikian, diharapkan dapatmeningkatkan kemampuan fiskal daerah dalam pelaksanaan pembangunan.

Melalui penerbitan obligasi, di satu sisi pemerintah daerah mendapatkan dana, namun padasisi lain pemerintah daerah harus dapat meningkatkan kapasitas daerahnya. Hal inidikarenakan dengan diterbitkannya obligasi daerah, pemerintah daerah akan mendapattambahan beban, yaitu kewajiban pembayaran kupon dan pokok obligasi yang harusdianggarkan dalam APBD. Apabila beban APBD tersebut semakin berat, maka akanberpengaruh terhadap kondisi fiskal nasional. Oleh karena itu, sebagai suatu hal yang barudalam konteks pengelolaan keuangan daerah, penerbitan obligasi daerah masih memerlukanperhatian serius, baik dari Pemerintah sebagai penentu kebijakan secara nasional maupunpemerintah daerah sebagai pelaksananya. Untuk itu, Pemerintah akan terus memantau danmelakukan evaluasi dalam rangka penyempurnaan kebijakan di bidang obligasi daerah dimasa yang akan datang.

5.4.6.5. Kebijakan Pinjaman Pemerintah Daerah di Masa yang Akan Datang

Berdasarkan pelaksanaan pinjaman pemerintah daerah di masa lalu, di masa yang akandatang Pemerintah akan menerapkan kebijakan sehingga pelaksanaan pinjaman daerahdapat berjalan lebih baik. Adapun kebijakan yang akan diterapkan adalah:

1. Penerapan sanksi yang tegas atas pelanggaran ketentuan di bidang pinjaman pemerintahdaerah.

Bentuk penerapan sanksi adalah dengan melakukan penundaan dan/atau pemotongandana perimbangan yang seharusnya diterima oleh pemerintah daerah, sebagaimana telahdiatur dan diamanatkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 54 Tahun2005. Selain itu, saat ini Pemerintah sedang mempersiapkan mekanisme pelaksanaansanksi tersebut dalam peraturan Menteri Keuangan.

Page 56: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-56 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

2. Koordinasi yang baik pada tahap perencanaan, penilaian, penatausahaan, danpengawasan pinjaman daerah baik di tingkat Pusat dan daerah.

Bentuk peningkatan kualitas koordinasi dapat dilakukan dengan pengaturan pembagiantugas dan fungsi yang lebih jelas antar instansi terkait di Departemen Keuangan, BadanPerencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), maupun instansi terkait lainnya,sehingga dapat memperbaiki pengaturan kelembagaan dalam pelaksanaan pinjamanpemerintah daerah.

3. Panduan pelaksanaan yang lebih jelas dan terarah untuk pemerintah daerah dalampelaksanaan pinjaman pemerintah daerah.

Pemerintah akan menyusun suatu panduan teknis yang jelas, terinci dan terarah dalampelaksanaan pinjaman pemerintah daerah, yang diiringi dengan bimbingan teknis yangdilakukan Pemerintah kepada pemerintah daerah. Dengan demikian diharapkan akanmemperbaiki kualitas perencanaan kegiatan serta usulan pemerintah daerah kepadaPemerintah.

4. Mengupayakan alokasi dana Pemerintah yang memadai guna mendukung kebutuhanpinjaman pemerintah daerah yang bersumber dari dalam negeri dalam rangkamempercepat kegiatan pembangunan daerah.

5. Memberikan dukungan dan penguatan kepada pemerintah daerah dalam upayamemanfaatkan pinjaman daerah yang bersumber dari masyarakat (obligasi daerah).

5.4.6.6. Hibah Daerah

Pemberian hibah kepada daerah didasarkan kepada UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor1 Tahun 2004, dan UU Nomor 33 Tahun 2004, yang pelaksanaannya diatur secara lebihrinci dalam PP Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah, PP Nomor 2 Tahun2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta PenerusanPinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.02/2006 tentang Tata Cara Pemberian Hibah Kepada Daerah.Hibah yang diberikankepada pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk hubungan keuangan antaraPemerintah dan pemerintah daerah untuk mendukung pelaksanaan kegiatan di daerah,yang pencatatannya dalam APBD dikelompokkan sebagai salah satu komponen lain-lainpendapatan. Hibah bersifat tidak mengikat karena tidak harus dibayar kembali olehpemerintah daerah. Sesuai peraturan perundangan, dalam pelaksanaan pemberian hibahjuga harus mempertimbangkan pembagian tugas dan kewenangan antara Pemerintah danpemerintah daerah. Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan yang merupakan tugas dankewenangan pemerintah daerah seharusnya didanai melalui mekanisme APBD.

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pemberian hibah kepada pemerintahdaerah adalah sebagai berikut:

1. Hibah kepada kepada pemerintah daerah bersifat bantuan untuk menunjang programpembangunan sesuai dengan prioritas dan kebijakan Pemerintah serta merupakan urusandaerah.

Page 57: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-57NK RAPBN 2009

2. Hibah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan dalam negeri,kegiatannya merupakan kebijakan Pemerintah atau dapat diusulkan oleh kementeriannegara/lembaga.

3. Dalam hal Hibah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pinjaman luar negeri,kegiatannya telah diusulkan oleh kementerian negara/lembaga.

4. Hibah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari hibah luar negeri, kegiatannyadapat diusulkan oleh kementerian negara/lembaga dan/atau pemerintah daerah.

5. Hibah diberikan kepada pemerintah daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelahberkoordinasi dengan menteri pada kementerian negara/pimpinan lembaga terkait.

6. Hibah yang bersumber dari dalam negeri (Pemerintah, pemerintah daerah lain, badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, dan kelompok masyarakat/perorangan)dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) antara pemerintah daerahdan pemberi hibah.

7. Hibah yang bersumber dari luar negeri (bilateral, multilateral, dan sumber lainnya)dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Luar Negeri (NPHLN) antara Pemerintahdan Pemberi Hibah Luar Negeri dan hibah tersebut dapat diteruskan oleh Pemerintahkepada pemerintah daerah dan dituangkan dalam Naskah Perjanjian Penerusan Hibah(NPPH) antara Pemerintah dengan pemerintah daerah.

8. Hibah yang bersumber dari pinjaman luar negeri diprioritaskan untuk daerah dengankapasitas fiskal rendah.

Selanjutnya, penyaluran hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilakukan denganpemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah,khususnya untuk hibah yang berbentuk uang, yaitu dengan menggunakan Bagian AnggaranPembiayaan dan Perhitungan (BAPP) yang dikelola oleh Menteri Keuangan selaku BendaharaUmum Negara, dan terpisah dari bagian anggaran yang dikelola kementerian negara/lembaga (K/L). Sedangkan penyaluran hibah dalam bentuk barang dan jasa dapat dilakukandengan penyerahan langsung kepada pemerintah daerah dan kemudian akan dicatat dalammekanisme APBN dan APBD. Dengan demikian, terdapat batasan yang jelas antarapengelolaan keuangan negara dalam mekanisme APBN dengan pengelolaan keuangan daerahdalam mekanisme APBD. Dalam pelaksanaannya selama ini, sejak tahun 2003 sampaidengan tahun 2005, hibah kepada pemerintah daerah (khususnya hibah dalam bentuk uang)adalah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35/KMK.07/2003 tentangPerencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman LuarNegeri Pemerintah kepada Daerah. Terkait dengan hal tersebut agar penyaluran hibah dariPemerintah ke pemerintah daerah dapat dilaksanakan sesuai peraturan perundangan, makasaat ini usulan tersebut akan dituangkan dalam peraturan Menteri Keuangan.

5.4.7. Penganggaran Berbasis Kinerja dan PenganggaranJangka Menengah pada APBD

Dalam upaya memperbaiki proses penganggaran sektor publik telah diterapkan anggaranberbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja menuntut adanya kriteria pengendalian kinerjadan evaluasi, serta tidak adanya duplikasi penyusunan rencana kerja dan anggaran oleh

Page 58: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-58 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Anggaran berbasis kinerja diperlukan untukmendukung tujuan utama kebijakan desentralisasi fiskal yaitu peningkatan kualitaspelayanan publik. Sementara itu, perkembangan dinamis dalam penyelenggaraanpemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang berkesinambungan, gunamenjaga keberlanjutan pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu, penyusunan anggarantahunan dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (MediumTerm Expenditure Framework).

Dengan sistem anggaran berbasis kinerja, penyusunan dan pembahasan APBD dengan DPRDlebih difokuskan pada keterkaitan antara anggaran yang dialokasikan pada tiap SKPD dengancapaian keluaran (output) dan hasil (outcome) yang terukur untuk mencapai sasaran dantujuan pemerintah daerah. Dengan demikian, penganggaran berbasis kinerja dapatmembantu pemerintah daerah dalam meningkatkan akuntabilitasnya.

Pada hakekatnya tujuan penganggaran berbasis kinerja adalah untuk meningkatkan efisiensialokasi dan produktifitas belanja pemerintah. Penganggaran berbasis kinerja sangat bergunadalam melakukan penghematan anggaran jika dilakukan pengetatan program dan kegiatan.Dalam berbagai situasi, ketersediaan anggaran selalu lebih terbatas dibandingkan dengankebutuhan pembelanjaan. Penganggaran berbasis kinerja akan mendorong adanya evaluasidan perancangan ulang kegiatan secara berkala apabila dianggap bahwa kegiatan tertentutidak efisien dan efektif dalam mencapai hasil (outcome) yang diinginkan.

Penganggaran berbasis kinerja juga dapat membantu dalam membandingkan tingkat efisiensidan efektivitas kegiatan yang dilakukan SKPD sejenis di daerah lain. Dengan demikian,penganggaran berbasis kinerja juga dapat mendorong kompetisi antarpemerintah daerahdalam memajukan daerahnya masing-masing.

Perkembangan dinamis dalam penyusunan anggaran berdasarkan kerangka pengeluaranjangka menengah bagi pemerintah daerah secara eksplisit dinyatakan dalam PP Nomor 58Tahun 2005. Dalam peraturan pemerintah tersebut dinyatakan bahwa dalam rangkapenyusunan RAPBD, Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dananggaran SKPD tahun berjalan disertai perkiraan belanja untuk tahun berikutnya setelahtahun anggaran yang sudah disusun. Peraturan Pemerintah tersebut juga menegaskan bahwarencana kerja anggaran SKPD disusun dengan menggunakan pendekatan kerangkapengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu, dan penganggaran berbasiskinerja. Kerangka pengeluaran jangka menengah dilaksanakan dengan menyusun perkiraanyang berisi perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang direncanakanpada tahun berikutnya. Ketentuan dalam peraturan pemerintah ini telah dijabarkan secaralebih rinci dan teknis dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Untuk menerapkan penganggaran dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaranjangka menengah diperlukan kesiapan untuk memahami konsepsi tersebut. Dengan berbagaipersiapan tersebut, baik berupa sosialisasi dan peningkatan sumber daya manusia yangmengelola keuangan, diharapkan penganggaran dengan pendekatan kerangka pengeluaranjangka menengah tersebut dapat diterapkan mulai tahun anggaran 2009.

Page 59: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-59NK RAPBN 2009

5.4.8. Konsolidasi Defisit APBN dengan APBD

Peranan pemerintah dalam menggerakkan roda perekonomian sangat ditentukan olehkebijakan anggaran dalam memberikan ruang gerak bagi aktifitas perekonomian. Pola belanjapemerintah yang ekspansif dan terarah tentunya akan mendorong pertumbuhan ekonomike tingkat yang lebih baik. Namun demikian, dalam rangka pengelolaan fiskal yang hati-hati dan berkesinambungan, pemerintah harus selalu memperhatikan batas-bataskemampuan keuangannya sehingga tidak terjebak pada kondisi defisit anggaran yangberlebihan. Dalam kaitan itulah, maka Pemerintah melakukan pengendalian defisit anggaranyang tidak hanya mencakup APBN, namun juga APBD.

Untuk tahun anggaran 2008, pengendalian defisit APBN dan APBD ditetapkan dalamPeraturan Menteri Keuangan No. 95/PMK.07/2007 tentang Batas Maksimal JumlahKumulatif Defisit APBN dan APBD masing-masing Daerah, dan Batas Maksimal JumlahKumulatif Pinjaman Daerah untuk Tahun Anggaran 2008. Dalam peraturan ini diatur bahwajumlah kumulatif defisit APBD tidak boleh melebihi 0,3 persen dari proyeksi PDB pada APBNtahun 2008. Selain itu, juga diatur bahwa maksimal defisit APBD masing-masing daerahadalah 3 persen dari total pendapatan APBD. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untukmenghindari daerah tidak terjebak dalam utang (debt trap), yang akan meningkatkan risikokestabilan keuangan negara. Namun demikian, dalam kondisi tertentu, seperti keadaandarurat atau luar biasa atau ekspansi perekonomian daerah dalam rangka peningkatanpelayanan publik, daerah dapat menganggarkan defisit lebih dari 3 persen setelahmendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan, dengan tetap memperhatikan ketentuansepanjang total defisit keseluruhan APBD se-Indonesia tidak melebihi 0,3 persen dari proyeksiPDB.

Pada tahun 2008, total defisit APBD adalah Rp43,01 triliun atau 0,96 persen dari PDB, namunapabila tidak memperhitungkan defisit yang dibiayai dari SiLPA dan pencairan dana cadanganmaka justru terdapat total surplus APBD sebesar Rp4,74 triliun atau surplus sebesar 0,11persen dari PDB. Total surplus APBD tersebut mengindikasikan bahwa untuk tahun 2008tidak akan terjadi kondisi yang dapat membahayakan kestabilan keuangan negara sebagaiakibat beban pinjaman daerah.

Meskipun secara keseluruhan APBD mengalami surplus, masih terdapat beberapa daerahyang menetapkan defisit APBD lebih dari 3 persen (perhitungan surplus/defisit dengan tidakmemperhitungkan defisit yang dibiayai dari SiLPA dan Pencairan Dana Cadangan). Hal inimenunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut mempunyai beban defisit cukup besar yangtidak dapat dibiayai oleh SiLPA dan Dana Cadangan. Alternatif lain untuk menutup bebandefisit tersebut adalah dibiayai melalui pinjaman daerah, yang tentunya mempunyai implikasikepada daerah untuk membayar kembali pinjaman tersebut. Oleh karena itu, Pemerintahterus melakukan pemantauan dan evaluasi, utamanya bagi beberapa daerah yangmenganggarkan defisit jauh lebih tinggi dari batas yang telah ditetapkan.

Sebagaimana telah dikemukakan pada BAB II bahwa kumulatif defisit RAPBN dan RAPBDtahun 2009 adalah 1,85 persen dari proyeksi PDB tahun 2009, maka untuk total konsolidasidefisit RAPBD tahun 2009 diperkirakan sebesar 0,35 persen dari proyeksi PDB tahun 2009.Oleh karena itu batas maksimal defisit APBD setiap daerah direncanakan sebesar 3,5 persendari total pendapatan masing-masing RAPBD tahun 2009.

Page 60: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-60 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

5.5. Kebijakan Alokasi Transfer ke Daerah Tahun 2009

5.5.1. Arah Kebijakan Alokasi Transfer Ke Daerah

Tantangan ekonomi dalam tahun 2009 diperkirakan masih akan berlanjut, sebagai akibatmasih memburuknya kondisi ekonomi global. Meskipun demikian, jumlah nominal danayang akan ditransfer Pemerintah ke Daerah melalui RAPBN diupayakan tetap mengalamipeningkatan dari tahun 2008, sebagai wujud nyata dari upaya pemerintah untuk terusmendukung pelaksanaan otonomi daerah secara menyeluruh.

Terkait dengan upaya untuk meningkatkan dana Transfer ke Daerah tersebut, maka dengantetap memperhatikan berbagai peraturan perundang-undangan dan mengacu pada hasilpembahasan antara DPR-RI dan Pemerintah dalam rangka Pembicaraan PendahuluanPenyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2009, kebijakanalokasi Transfer ke Daerah dalam RAPBN Tahun 2009 akan lebih diarahkan untukmendukung program/kegiatan prioritas nasional dengan tetap menjaga konsistensi dankeberlanjutan pelaksanaan desentralisasi fiskal untuk menunjang otonomi daerah yang luas,nyata, dan bertanggung jawab. Kebijakan tersebut akan terus dipertajam untuk:(i) mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan daerah, dan antardaerah; (ii)meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayananpublik antardaerah; (iii) mendukung kesinambungan fiskal nasional dalam mendukungkebijakan ekonomi makro; (iv) meningkatkan kemampuan daerah dalam menggalikemampuan ekonomi daerah; (v) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber dayanasional; dan (vi) meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional denganrencana pembangunan daerah.

Selanjutnya, Pemerintah akan terus berupaya melakukan pembenahan dan peningkatankualitas pengelolaan anggaran yang didesentralisasikan ke daerah. Pemahaman terhadapperbedaan makna antara Belanja ke Daerah dengan Transfer ke Daerah mendorongtimbulnya cara pandang baru dalam pengelolaan anggaran. Berpindahnya kewenanganuntuk menyalurkan dana, dari yang semula oleh pemerintah daerah menjadi oleh Pemerintah(Departemen Keuangan) dimaksudkan untuk mendudukkan pada mekanisme yang sesuaidengan pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah, sebagaimana diatur dalamUU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Proses yang sudah dilaksanakansejak Januari 2008 tersebut, menunjukkan pola baru (new design) dalam hubungan keuanganantara Pemerintah dengan pemerintah daerah, sebagaimana telah ditetapkan dalamPeraturan Menteri Keuangan Nomor 04/PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan danPertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.

Penggunaan anggaran yang didesentralisasikan diharapkan akan memberikan keleluasaanpembelanjaan oleh daerah. Pola baru pengelolaan Transfer ke Daerah akan mampumemecahkan masalah: (i) in-efisiensi birokrasi; (ii) pemborosan dalam penggunaan waktu,dokumen penganggaran, dan penyaluran dana; (iii) in-konsistensi dalam penyaluran masing-masing komponen Transfer ke Daerah; (iv) in-efisiensi dalam penyediaan dokumen sumberdan penyusunan laporan realisasi anggaran transfer; (v) kesulitan dalam penyusunan sisteminformasi keuangan daerah oleh Pemerintah; serta (vi) kesulitan dalam mendapatkan aksesinformasi dana desentralisasi oleh daerah (lihat Boks V.1).

Page 61: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-61NK RAPBN 2009

Boks V.1

New Design Penyaluran Transfer ke Daerah

Pada tahun 2008 pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam rangka otonomi daerah telahmenunjukkan perubahan yang lebih baik. Perubahan pengelolaan anggaran desentralisasi daripola lama ke pola baru yang dimulai sejak Januari 2008 adalah sebagai berikut:

• Perubahan nomenklatur Belanja ke Daerah menjadi Transfer ke Daerah dalam struktur APBN2008;

• Perpindahan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran (PA/KPA) dari pemerintah daerahmenjadi Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK);

• Dalam penyaluran terjadi perubahan kewenangan penerbitan Surat Perintah Membayar oleh467 pemerintah daerah propinsi/kabupaten/kota menjadi oleh DJPK; dan

• Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh Kepala Kantor PelayananPerbendaharaan Negara (KPPN) atas nama Menteri Keuangan di daerah menjadi oleh MenteriKeuangan c.q Direktur Jenderal Perbendaharaan.

Aspek penting yang menjadi pertimbangan perubahan ini, yaitu:

(1) aspek pengelola keuangan negara yang menempatkan Menteri Keuangan sebagai PA danaTransfer ke Daerah yang selanjutnya dikuasakan kepada Direktur Jenderal PerimbanganKeuangan selaku KPA;

(2) aspek transfer dana yang memberikan pemahaman bahwa transfer berbeda dengan belanja.Pengertian transfer hanya sebatas pada pemindahbukuan dana dari Kas Negara ke Kas Daerahtanpa harus menunjukkan prestasi setara dengan dana yang ditransfer;

(3) aspek akuntabilitas pelaporan yang menjamin penyusunan Laporan Realisasi Anggaran (LRA)transfer menjadi lebih efisien dan akuntabel dengan tersedianya dokumen sumber untukpenyusunan laporan pada KPA selaku entitas pelaporan;

(4) aspek legalitas yang menegaskan bahwa dengan cara transfer, maka ketentuan dalam UU No17 Tahun 2003 yang mengamanatkan bahwa pengelolaan keuangan daerah oleh Presidendiserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah, dapatdilaksanakan; dan

(5) aspek efisiensi pengelolaan keuangan yang menjamin efisiensi penggunaan dokumen, tenaga,anggaran, dan waktu dalam melaksanakan transfer dana dari Pemerintah ke daerah.

Perubahan nomenklatur tersebut membawa konskuensi bahwa daerah tidak perlumenyampaikan permintaan atau usulan untuk mendapatkan transfer dana karena Pemerintahbersama DPR telah menetapkan jenis dan besaran transfer untuk setiap propinsi/kabupaten/kota. Selanjutnya Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku KPA melaksanakan transfersecara langsung dari Rekening Kas Negara/Bendahara Umum Negara (BUN) di Bank Indonesia kerekening Kas Umum Daerah yang pada umumnya berada di Bank Pembangunan Daerah ataubank umum lainnya di daerah melalui Surat Perintah Membayar oleh KPA dan SP2D oleh BUN.

Dalam pola baru ini mekanisme penyaluran untuk masing-masing komponen menjadi :

(1) DBH PBB/BPHTB ditransfer sesuai realisasi penerimaan PBB/BPHTB secara mingguan;

(2) DBH PPh ditransfer secara triwulanan. Triwulan I s/d IV masing-masing sebesar 20 persen,sedangkan triwulan IV adalah selisih alokasi definitif dengan triwulan I s/d III

Page 62: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-62 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

(3) DBH SDA ditransfer secara triwulanan sebesar 20 persen untuk triwulan I dan triwulan II,sedangkan triwulan III dan triwulan IV berdasarkan realisasi Penerimaan Negara BukanPajak (PNBP)-nya. Pada komponen ini dimungkinkan kekurangan transfer disalurkan padabulan Januari atau Februari tahun anggaran berikutnya.

(4) DAU ditransfer setiap awal bulan sebesar 1/12 dari besaran alokasi per daerah,

(5) DAK ditransfer secara bertahap sesuai dengan kinerja daerah dalam menyelesaikan PerdaAPBD dan Laporan Penyerapan DAK. Tahap I sebesar 30 persen setelah daerah menyampaikanPerda APBD, tahap II, tahap III, dan tahap IV ditransfer setelah daerah menyampaikanLaporan Penyerapan DAK yang menunjukkan sisa DAK yang telah ditransfer lebih kecil atausama dengan 10 persen.

(6) Dana Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat, serta Propinsi NADditransfer secara triwulanan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Dampak dari pelaksanaan pola baru ini adalah: (a) mempercepat penyelesaian Perda APBD; (b)mendorong pelaksanaan sistem treasury single account dengan disalurkannya semua dana trans-fer melalui satu rekening bank yang ditunjuk daerah; (c) mempercepat pelaksanaan kegiatan/pembangunan daerah dengan semakin cepat tersedianya dana; (d) mengurangi sisa anggaranpada akhir tahun dengan pelaksanaan kegiatan yang lebih awal; (e) mempercepat tersedianyadata realisasi transfer; (f) meningkatkan akuntabilitas penyusunan LRA Transfer ke Daerah; dan(g) meningkatkan akurasi sistem informasi keuangan daerah (SIKD).

Guna mendukung arah kebijakan Transfer ke Daerah tersebut, serta dengan tetapmemperhatikan peraturan perundang-undangan dan kondisi kemampuan keuangan negara,alokasi Transfer ke Daerah dalam RAPBN Tahun 2009 direncanakan mencapai Rp336,2triliun (6,3 persen terhadap PDB). Jumlah alokasi Transfer ke Daerah tersebut, secara nomi-nal, lebih tinggi Rp42,6 triliun dari realisasi Transfer ke Daerah yang diperkirakan dalamtahun 2008 sebesar Rp293,6 triliun (6,3 persen terhadap PDB). Peningkatan transfer ke daerahdalam tahun 2009 tersebut berkaitan denganmeningkatnya dana perimbangan, meskipundana otonomi khusus mengalami penurunan,sehubungan dengan penerapan formula murniDAU, sehingga tidak dialokasikan lagi danapenyesuaian dalam tahun 2009. Sebagianbesar, yaitu sekitar 97 persen, dari alokasibelanja untuk daerah tersebut merupakanalokasi dana perimbangan, dan sisanya sekitar3 persen merupakan alokasi dana otonomikhusus (lihat Grafik V.26)

5.5.2. Dana Perimbangan

Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikankepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.Dalam tahun 2009, kebijakan alokasi dana perimbangan selain diarahkan dengan maksud

Grafik V.26 Alokasi Transfer Ke Daerah, 2009

3%

97% Da n a Ot on om i Kh u su s

Da n a Per im ba n g a n

Page 63: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-63NK RAPBN 2009

untuk membantu daerah dalam membiayai berbagai urusan dan kewenangan pemerintahanyang telah dilimpahkan, diserahkan dan/atau ditugaskan kepada daerah, juga bertujuanuntuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah,serta mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antardaerah.

Selanjutnya, dalam rangka memperbaiki vertical fiscal imbalance dan horizontal fiscal im-balance, dalam tahun 2009 Pemerintah akan melakukan reformulasi Dana Perimbangan.Reformulasi DBH dimaksudkan untuk memperbaiki vertical fiscal imbalance, meskipun hasildari pelaksanaan reformulasi DBH tersebut dapat berakibat memperburuk horizontal fiscalimbalance. Namun demikian, kemungkinan semakin buruknya kesenjangan fiskal dapatdiperkecil dengan pembagian DBH secara merata kepada daerah-daerah yang berada dalamprovinsi yang sama. Dalam upaya memperbaiki vertical fiscal imbalance tersebut, mulaitahun anggaran 2009 kepada daerah-daerah akan diberikan tambahan DBH, yang bersumberdari: (i) tambahan DBH minyak bumi dan gas bumi sebesar 0,5 persen, yang diarahkankhusus untuk pendidikan dasar; dan (ii) DBH cukai hasil tembakau sebesar 2 persen daripenerimaan cukai tembakau, yang pada tahun 2008 masih dialokasikan pada danapenyesuaian dalam bentuk dana alokasi cukai yang besarannya didasarkan kepadakemampuan keuangan negara. Sementara itu, dalam upaya memperbaiki horizontal fiscalimbalance, mulai tahun 2009 juga akan dilaksanakan Capping DBH minyak bumi dan gasbumi, jika realisasi harga minyak mentah Indonesia (ICP) di pasar internasional melebihi130 persen dari asumsi yang ditetapkan dalam APBN, maka kelebihan DBH minyak bumidan gas bumi akan dibagihasilkan kepada daerah sebagai tambahan DAU denganmenggunakan formula DAU atas dasar celah fiskal.

Sementara itu, reformulasi DAU antara lain dilakukan melalui: (i) penetapan PDN Netodengan memperhitungkan beban subsidi BBM dan subsidi pupuk sebagai bentuk sharingthe pain antara Pemerintah dengan pemerintah daerah; (ii) penerapan formula DAU secaramurni tanpa pengecualian (Non-Holdharmless), sehingga tidak perlu penyediaan danapenyeimbang DAU; dan (iii) peninjauan kembali terhadap bobot masing-masing variabelkebutuhan fiskal dan pengaturan kembali perhitungan kapasitas fiskal dalam formula DAU.Selanjutnya, terkait dengan reformulasi DAK, antara lain dilakukan dengan: (i) penajamandan perluasan kriteria DAK agar dapat mewujudkan tujuan DAK, yaitu untuk membantudaerah dalam upaya perbaikan dan penyediaan infrastruktur dasar; serta (ii) mendorongpengalihan secara bertahap anggaran Kementerian/Lembaga (dana dekonsentrasi dan danatugas pembantuan), yang digunakan untuk melaksanakan urusan daerah ke DAK.

Berdasarkan arah kebijakan dana perimbangan dan langkah-langkah untuk mereformulasidana perimbangan, alokasi dana perimbangan dalam RAPBN 2009 direncanakan mencapaiRp327,1 triliun (6,2 persen terhadap PDB),atau secara nominal meningkat Rp47,5triliun dari realisasi dana perimbangan yangdiperkirakan mencapai Rp279,6 triliun (6,0persen terhadap PDB) dalam tahun 2008.Dari jumlah alokasi dana perimbangantersebut, sebesar 31,4 persen merupakanalokasi dana bagi hasil, sebesar 61,7 persenmerupakan alokasi dana alokasi umum, dansebesar 6,8 persen merupakan alokasi danaalokasi khusus (lihat Grafik V.27).

Grafik V.27 Alokasi Dana Perim bangan Dalam RAPBN 2009

31,4%

61,7%

6,8%

DBH DAU

DAKSumber : Departemen Keuangan

Page 64: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-64 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

5.5.2.1 Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikankepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerahdalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Kebijakan pelaksanaan alokasi DBH tahun 2009mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentangPerimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, UU Nomor11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang PenetapanPerpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentangOtonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang, dan UU Nomor 39 Tahun2007 tentang Perubahan UU No 11 Tahun 1995 tentang Cukai, serta PP Nomor 55 Tahun2005 tentang Dana Perimbangan.

Sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari daerah dibagi antara Pemerintah dandaerah dengan prinsip by origin, dengan proporsi yang lebih besar bagi daerah penghasil,serta memperhitungkan porsi pemerataan di wilayah provinsi yang bersangkutan.Berdasarkan jenis penerimaannya, DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam(SDA). Adapun mekanisme Penetapan dan Penyaluran DBH ke masing-masing daerah yangberhak menerima diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dalam rangka peningkatandan penyempurnaan mekanisme penyaluran DBH tahun 2009, maka arah kebijakan dibidang DBH dalam tahun 2009 lebih dititikberatkan untuk mendukung upayapenyempurnaan mekanisme perhitungan alokasi dan penyaluran ke daerah, melaluipeningkatan koordinasi, baik antar-kementerian/lembaga terkait, maupun antara Pemerintahdengan daerah, sehingga tuntutan akurasi dan validasi data dapat terpenuhi.

Dalam RAPBN 2009, alokasi DBH direncanakan mencapai Rp 102,8 triliun (1,9 persenterhadap PDB), atau secara nominal lebih tinggi Rp24,0 triliun dari realisasi DBH tahun2008, yang diperkirakan mencapai Rp78,9 triliun (1,7 persen terhadap PDB). Alokasi DBHtahun 2009 tersebut terdiri dari alokasi DBH perpajakan sebesar 44,5 persen dan alokasiDBH SDA sebesar 55,5 persen.

Dengan ditetapkannya 14 daerah pemekaran yang disusul dengan 12 daerah pemekaranlainnya, maka daerah pemekaran diberikan DBH SDA apabila daerah tersebut sudah berhakatas DAU. Selanjutnya, kepada daerah pemekaran yang merupakan daerah penghasil untukmendapatkan DBH SDA harus ditetapkan sebagai daerah penghasil SDA dengan keputusanmenteri teknis yang bersangkutan, sedangkan bagi daerah bukan penghasil mengikuti sta-tus daerah induknya.

DBH Pajak

DBH Pajak meliputi bagi hasil atas penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dan PPhPasal 25/29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri (WPOPDN), pajak bumi dan bangunan(PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), serta cukai hasil tembakau.Ada dua faktor yang mempengaruhi rencana alokasi DBH pajak dalam RAPBN tahun 2009,yaitu perkiraan penerimaan berdasarkan potensi sumber-sumber perpajakan yang dapatdihimpun dan ketentuan mengenai pembagian DBH perpajakan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2004, serta Pasal 8 PP Nomor 55Tahun 2006, DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN yang merupakan bagiandaerah adalah sebesar 20 persen. Dana bagi hasil dari penerimaan PPh Pasal 21 dan PPHPasal 25/29 WPOPDN yang diserahkan kepada daerah tersebut dibagi dengan imbangan,

Page 65: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-65NK RAPBN 2009

sebesar 60 persen untuk kabupaten/kota dan 40 persen untuk provinsi. Adapun alokasi DBHPPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN untuk masing-masing daerah terdiri atas:(a) alokasi sementara, yang didasarkan atas rencana penerimaan DBH PPh WPOPDN danPPh Pasal 21 dan ditetapkan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yangbersangkutan dilaksanakan; serta (b) alokasi definitif, yang didasarkan atas prognosa realisasipenerimaan DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN dan ditetapkan paling lambatpada bulan pertama triwulan keempat tahun anggaran berjalan.

Sementara itu, penyaluran DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN dilaksanakanberdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDNtahun anggaran berjalan secara triwulanan, dengan perincian sebagai berikut: (a) penyalurantriwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga masing-masing sebesar 20 persen darialokasi sementara; dan (b) penyaluran triwulan keempat didasarkan pada selisih antaraPembagian Definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan pertamasampai dengan triwulan ketiga. Selanjutnya, apabila penyaluran triwulan pertama sampaidengan triwulan ketiga yang didasarkan atas pembagian sementara lebih besar daripadapembagian definitif, maka kelebihan dimaksud diperhitungkan dalam penyaluran tahunanggaran berikutnya.

Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 33 Tahun2004 serta Pasal 5 dan Pasal 6 PP Nomor 55 Tahun 2006, bagian daerah atas PBB ditetapkansebesar 90 persen dari penerimaan PBB (termasuk upah pungut 9 persen), sedangkan sisanyasebesar 10 persen merupakan bagian Pemerintah Pusat, yang seluruhnya juga dikembalikanlagi kepada daerah. Adapun proses penetapan DBH PBB untuk masing-masing daerahdilakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan berdasarkan rencana penerimaan PBB tahunanggaran yang bersangkutan. Penyaluran DBH PBB dilaksanakan berdasarkan realisasipenerimaan PBB tahun anggaran berjalan. Secara umum, penyaluran DBH PBB dilakukandalam tiga mekanisme, yaitu mekanisme untuk (i) bagian daerah; (ii) bagian PemerintahPusat yang dibagikan merata kepada kabupaten/kota; dan (iii) bagian Pemerintah Pusatsebagai insentif kepada kabupaten/kota. Untuk bagian daerah, penyalurannya dilaksanakansecara mingguan, sedangkan untuk bagian Pemerintah Pusat yang dibagikan merata kepadakabupaten/kota dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu bulan April, bulan Agustus, danbulan Nopember tahun anggaran berjalan. Sementara itu, penyaluran PBB bagianPemerintah Pusat sebagai insentif dilaksanakan dalam bulan Nopember tahun anggaranberjalan.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (4) dan (5) UU Nomor 33 Tahun 2004serta Pasal 7 PP Nomor 55 Tahun 2006, bagian daerah atas BPHTB ditetapkan sebesar 80persen dari penerimaan BPHTB, sedangkan sisanya sebesar 20 persen merupakan bagianPemerintah Pusat yang dikembalikan lagi kepada Pemerintah Daerah. Adapun prosespenetapan DBH BPHTB untuk masing-masing daerah dilakukan melalui Peraturan MenteriKeuangan berdasarkan rencana penerimaan BPHTB tahun anggaran yang bersangkutan,sedangkan penyaluran DBH BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan BPHTBtahun anggaran berjalan. Selanjutnya, penyaluran DBH BPHTB dilakukan melalui duamekanisme, yaitu mekanisme untuk: (i) bagian daerah, dan (ii) bagian Pemerintah Pusatyang dibagikan merata kepada kabupaten/kota. Untuk bagian daerah penyalurannyadilaksanakan secara mingguan, sedangkan untuk bagian Pemerintah Pusat penyalurannyadilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu bulan April, bulan Agustus, dan bulan Nopembertahun anggaran berjalan.

Page 66: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-66 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Adapun DBH dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada daerahpenghasil tembakau sebesar 2 persen, sebagaimana diamanatkan UU Nomor 39 Tahun 2007.DBH cukai hasil tembakau tersebut akan digunakan untuk mendanai: (i) peningkatan kualitasbahan baku; (ii) pembinaan industri; (iii) pembinaan lingkungan sosial; (iv) sosialisasiketentuan di bidang cukai; dan/atau (v) pemberantasan barang kena cukai ilegal. Berbedadengan DBH Pajak yang bersifat block grant, DBH cukai hasil tembakau lebih bersifat spe-cific grant, karena penggunaan dananya telah ditentukan. Adapun proses penetapan DBHcukai hasil tembakau untuk masing-masing daerah dilakukan melalui Peraturan MenteriKeuangan, berdasarkan rencana penerimaan cukai hasil tembakau tahun anggaran yangbersangkutan, yang penyalurannya akan dilaksanakan untuk triwulan pertama sampaidengan triwulan ketiga masing-masing sebesar 1/3 dari penetapan dana bagi hasil cukaihasil tembakau.

Berdasarkan pada rencana penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan, dan memperhatikanketentuan-ketentuan mengenai DBH Pajak yang berlaku, maka alokasi DBH Pajak dalamRAPBN 2009 direncanakan mencapai Rp45,7 triliun (0,9 persen terhadap PDB), atau secaranominal lebih tinggi Rp9,4 triliun dari realisasi DBH Pajak tahun 2008 yang diperkirakansebesar Rp36,4 triliun (0,8 persen terhadap PDB). Alokasi DBH pajak dalam RAPBN 2009tersebut terdiri dari: (a) DBH PPh sebesar Rp10,1 triliun, atau lebih tinggi 18,5 persen darirealisasi DBH PPh tahun 2008 yang diperkirakan sebesar Rp8,5 triliun; (b) DBH PBB sebesarRp27,4 triliun, atau lebih tinggi 23,1 persen dari realisasi DBH PBB tahun 2008 yangdiperkirakan sebesar Rp22,3 triliun; (c) DBH BPHTB sebesar Rp7,3 triliun, atau lebih tinggi30,6 persen dari realisasi DBH BPHTB tahun 2008 yang diperkirakan sebesar Rp5,6 triliun;serta (d) DBH cukai hasil tembakau sebesar Rp0,9 triliun.

DBH Sumber Daya Alam

DBH yang bersumber dari sumber daya alam (SDA) terdiri dari SDA pertambangan minyakbumi, SDA pertambangan gas bumi, SDA kehutanan, SDA pertambangan umum, serta SDAperikanan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 huruf e dan huruf f dan Pasal 106 ayat (1) UUNomor 33 Tahun 2004, mulai tahun 2009 alokasi untuk daerah dari bagi hasil minyakbumi dan gas bumi, ditetapkan masing-masing 15,5 persen dan 30,5 persen daripenerimaannya setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. Dengan demikian,sejak tahun 2009 terdapat tambahan alokasi untuk daerah dari bagi hasil minyak bumi dangas bumi sebesar 0,5 persen, sehingga persentase pembagiannya masing-masing sebagaiberikut: (i) SDA pertambangan minyak bumi yang dibagihasilkan dengan imbangan semula85,0 persen untuk Pemerintah dan 15,0 persen untuk daerah dalam tahun 2008, menjadi84,5 persen untuk Pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah dalam tahun 2009; dan (ii)SDA pertambangan gas bumi yang dibagihasilkan dengan imbangan semula 70,0 persenuntuk Pemerintah dan 30,0 persen untuk daerah dalam tahun 2008, menjadi 69,5 persenuntuk Pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah. Adapun penambahan porsi 0,5 persentersebut dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar di daerah, (lihat BoksV.2). Adapun proses penyaluran DBH SDA minyak bumi dan gas bumi dilaksanakan secaratriwulanan. Pada triwulan I dan II, penyaluran dilakukan sebesar 20 persen dari pagu dalamPMK-nya, dan sisanya disalurkan pada triwulan III dan IV, yang penyalurannya dilakukanberdasarkan realisasi penerimaannya.

Page 67: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-67NK RAPBN 2009

Selanjutnya, di samping penambahan porsi 0,5 persen untuk daerah dari bagi hasil minyakbumi dan gas bumi tersebut, mulai dalam tahun 2009 juga akan diterapkan ketentuan Pasal24 UU Nomor 33 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa realisasi penyaluran Dana BagiHasil yang berasal dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi 130 (seratus tigapuluh) persen dari asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang telah ditetapkandalam APBN tahun berjalan. Apabila ICP melebihi 130 persen, maka penyalurannya dilakukanmelalui mekanisme APBN Perubahan. Adapun kelebihan dana bagi hasil yang berasal daripenerimaan sektor pertambangan minyak bumi dan gas bumi, sehubungan dengan realisasiICP melebihi 130 persen dari asumsi ICP yang ditetapkan dalam APBN tahun berjalan,akan dibagihasilkan ke daerah sebagai tambahan DAU dengan menggunakan formulasiDAU berdasarkan celah fiskal. Pengaturan tersebut antara lain bertujuan untuk mengurangikesenjangan pendapatan yang akan terjadi antara daerah penghasil minyak bumi dan gasbumi dengan daerah yang dikategorikan bukan penghasil minyak bumi dan gas bumi (lihatBoks V.3).

Boks V.2

Porsi 0,5 persen DBH Minyak Bumi dan DBH Gas Bumi untukMenambah Anggaran Pendidikan Dasar

Sejak berlakunya UU Nomor 33 Tahun 2004, sampai dengan tahun anggaran 2008 penerimaanpertambangan minyak bumi dan gas bumi yang dibagikan dari wilayah daerah setelah dikurangikomponen pajak dan pungutan lainnya, dilakukan dengan imbangan: (i) minyak bumi 85 persenuntuk Pemerintah dan 15 persen untuk daerah; dan (ii) gas bumi 70 persen untuk Pemerintahdan 30 persen untuk daerah. Mulai tahun anggaran 2009, bagian daerah untuk dua jenis DBHtersebut sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004, masing-masing menjadi 15,5 persen untuk DBH minyakbumi dan 30,5 persen untuk gas bumi.

Sesuai dengan UU tersebut di atas, porsi 0,5 persen dari DBH minyak bumi dan gas bumi untukdaerah dibagi kepada masing-masing daerah dengan rincian sebagai berikut:

(1) dari daerah penghasil propinsi: 0,17 persen untuk propinsi dan 0,33 persen dibagikan secaramerata kepada kabupaten/kota dalam propinsi yang bersangkutan; dan

(2) dari daerah penghasil kabupaten/kota: 0,1 persen untuk propinsi, 0,2 persen untukkabupaten/kota penghasil, dan 0,2 persen dibagikan secara merata kepada kabupaten/kotalainnya dalam propinsi yang bersangkutan.

Dana untuk masing-masing daerah tersebut wajib dialokasikan untuk menambah anggaranpendidikan dasar sesuai dengan kewenangannya. PP Nomor 38 Tahun 2007 secara jelas telahmembagi kewenangan pendidikan dasar antara lain: (i) propinsi melaksanakan kegiatanperencanaan strategis pendidikan dasar sesuai dengan perencanaan strategis pendidikan nasional,sedangkan kabupaten/kota melaksanakan kegiatan perencanaan operasional pendidikan dasarsesuai dengan perencanaan strategis pendidikan tingkat propinsi dan tingkat nasional; dan (ii)propinsi melaksanakan koordinasi pengelolaan, penyelenggaraan pendidikan, pengembangantenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar, sedangkan kabupaten/kota melaksanakan pengelolaan danpenyelenggaraan pendidikan dasar.

Page 68: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-68 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, makabagian daerah dari penerimaan SDA pertambangan umum, penerimaan SDA kehutanan,serta penerimaan SDA perikanan, ditetapkan sebesar 80 persen dari rencana penerimaannya.DBH SDA pertambangan umum berupa royalti dan landrent, yang bersumber dari kegiatan:(i) Kontrak Karya (KK); (ii) Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B);dan (iii) Kuasa Pertambangan (KP). Perhitungan DBH SDA dimulai dari penetapan daerahpenghasil oleh menteri teknis terkait, diikuti dengan penetapan perkiraan alokasi untukmasing-masing daerah berdasarkan rencana penerimaan SDA-nya yang ditetapkan sesuaiasumsi APBN. Berkaitan dengan itu, upaya Pemerintah dalam rangka mengoptimalkanpenerimaan SDA pertambangan umum dilakukan bukan saja oleh departemen teknis terkaitdi pusat, akan tetapi juga melibatkan peranan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalamketentuan perundang-undangan di bidang pertambangan umum. Keterlibatan pemerintahdaerah utamanya dalam pemberian izin kegiatan kuasa pertambangan, di samping itupemerintah daerah juga dilibatkan dalam memonitor penerimaan negara untuk kegiatanPKP2B dan KK, melalui koordinasi yang intensif dengan daerah-daerah penghasilpertambangan umum. Penyempurnaan prosedur dan penatausahaan penerimaan negaradari SDA pertambangan umum diharapkan dapat mengoptimalkan DBH SDA pertambanganumum.

Boks V.3

Pembagian DBH Minyak Bumi dan DBH Gas Bumi Bagian Daerah

dengan Formula DAU

Kenaikan harga minyak mentah dunia yang terjadi selama semester pertama tahun 2008 di luarperkiraan semua pihak. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang melampaui asumsi hargarata-rata ICP dalam APBN Tahun 2008 telah mengakibatkan Pemerintah lebih awal mengajukanusulan perubahan APBN Tahun 2008. Perubahan asumsi harga rata-rata ICP dalam APBN-PTahun 2008, dari US$60 per barel menjadi US$95 per barel telah mengakibatkan pendapatannegara dari PNBP sektor SDA minyak bumi dan gas bumi mengalami peningkatan yang signifikan.

Pada sisi belanja negara, dampak peningkatan PNBP minyak bumi dan gas bumi adalah peningkatanyang cukup signifikan pada DBH SDA minyak bumi dan gas bumi. DBH minyak bumi dan gas bumiyang disalurkan berdasarkan realisasi lifting dan harga rata-rata ICP memungkinkan pagu DBHdalam APBN dilampaui. Konsekuensinya, Pemerintah harus menyediakan anggaran DBH sesuaidengan perhitungan realisasi lifting dan tingkat harga minyak mentah yang dicapai. Kondisitersebut di satu pihak akan membebani APBN, namun di lain pihak akan memberikan kelebihanDBH minyak bumi dan gas bumi kepada daerah, khususnya daerah penghasil minyak bumi dangas bumi, baik dari peningkatan DBH minyak bumi dan gas bumi, maupun peningkatan DBH PBBdari sektor minyak bumi dan gas bumi.

Semakin banyaknya kelebihan yang diperoleh daerah penghasil minyak bumi dan gas bumi akanmengakibatkan semakin besarnya kesenjangan fiskal antara daerah penghasil dengan daerahnon-penghasil. Sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004, dalam hal realisasi harga minyak mentahmelampaui 130 persen dari asumsi harga rata-rata ICP dalam APBN, maka DBH minyak bumi dangas bumi akan disalurkan dengan perhitungan realisasi lifting pada tingkat harga 130 persen dariasumsi harga rata-rata ICP dalam APBN, sedangkan selisihnya dibagikan kepada daerah denganmenggunakan formula DAU. Ketentuan tersebut berlaku mulai tahun anggaran 2009.

Page 69: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-69NK RAPBN 2009

Selanjutnya, bagian daerah dari penerimaan SDA kehutanan yang bersumber dari IHPHdan PSDH masing-masing ditetapkan sebesar 80 persen, sedangkan yang bersumber daridana reboisasi ditetapkan sebesar 40 persen. Sementara itu, bagian daerah dari penerimaanSDA perikanan juga ditetapkan sebesar 80 persen. Seperti halnya penyaluran DBH SDA Migas,penyaluran DBH SDA Pertambangan Umum, SDA Kehutanan, dan SDA Perikanan jugadilaksanakan secara triwulanan, dengan rincian sebagai berikut. Pada triwulan I dan II,penyaluran DBH SDA tersebut dilakukan sebesar 20 persen dari pagu yang ditetapkan dalamPeraturan Menteri Keuangan (PMK), dan sisanya disalurkan pada triwulan III dan IVberdasarkan realisasi penerimaannya.

Sejalan dengan rencana penerimaan yang berasal dari SDA minyak bumi dan gas bumi,SDA pertambangan umum, SDA kehutanan, dan SDA perikanan, serta denganmemperhatikan ketentuan pembagian DBH SDA tersebut, maka dalam RAPBN tahun 2009,alokasi DBH SDA direncanakan Rp57,1 triliun (1,1 persen terhadap PDB), atau secara nomi-nal lebih tinggi Rp14,6 triliun dari realisasi DBH SDA tahun 2008, yang diperkirakan sebesarRp42,5 triliun (0,9 persen terhadap PDB). Lebih tingginya alokasi DBH SDA dalam RAPBN2009 tersebut terutama disebabkan oleh lebih tingginya target penerimaan minyak bumidan gas bumi yang dibagihasilkan seiring dengan naiknya harga minyak mentah Indonesia(ICP) di pasar Internasional dari yang diperkirakan sebesar US$95,0 per barel pada tahun2008 menjadi sebesar US$130,0 per barel pada tahun 2009. Secara rinci, alokasi DBH SDAterdiri dari DBH minyak bumi Rp32,6 triliun, DBH gas bumi Rp17,5 triliun, DBHpertambangan umum Rp5,6 triliun, DBH kehutanan Rp1,4 triliun, dan DBH perikanan Rp0,1triliun.

5.5.2.2 Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yangdialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untukmendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Besaran DAU Nasionalsangat tergantung dari besaran pendapatan dalam negeri (PDN) Neto dalam APBN, danbesaran persentase yang ditetapkan terhadap PDN Neto tersebut. Berdasarkan UU No. 33Tahun 2004, PDN Neto adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajaksetelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. dalamundang-undang tersebut, juga mengamanatkan bahwa jumlah keseluruhan DAU ditetapkansekurang-kurangnya 26 persen dari PDN Neto yang ditetapkan dalam APBN.

Pada APBN tahun 2007 dan tahun 2008, PDN Neto merupakan hasil pengurangan antarapendapatan dalam negeri yaitu hasil penjumlahan antara penerimaan perpajakan danpenerimaan negara bukan pajak, dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkankepada daerah yaitu dana bagi hasil (DBH) serta belanja yang sifatnya earmarked(penggunaanya diarahkan) dan anggaran yang sifatnya in-out (pencatatan anggaran denganjumlah yang sama pada penerimaan dan belanja). Selanjutnya, dalam rangka sharing bebanAPBN dan APBD, PDN Neto dalam RAPBN 2009 juga memperhitungkan besaran subsidiBBM dan subsidi pupuk sebagai faktor pengurang.

Sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004, maka mulai tahun 2008 terdapatperubahan yang signifikan dalam kebijakan pengalokasian DAU, yaitu perhitungan alokasiDAU didasarkan pada formula murni. Dalam APBN 2008, kebijakan tersebut belum dapatdilaksanakan secara murni, namun dalam RAPBN tahun 2009 kebijakan tersebut akan

Page 70: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-70 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

dilaksanakan. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka akan menghasilkan alternatifalokasi DAU sebesar nol (tidak mendapatkan DAU), lebih kecil, sama dengan, dan lebihbesar dari DAU tahun 2008.

Selanjutnya, sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, besaran DAUyang didistribusikan kepada provinsi dan kabupaten/kota dalam RAPBN 2009, sebagaimanatelah dijelaskan sebelumnya akan dibagikan kepada setiap provinsi dan kabupaten/kotadengan mengacu kepada formula yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004dan PP Nomor 55 Tahun 2005, sebagai berikut. DAU yang akan didistribusikan untuk setiapprovinsi dan kabupaten/kota dihitung berdasarkan pada: (i) alokasi dasar (AD), yang dihitungatas dasar jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), yang antara lain meliputi gajipokok ditambah dengan tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturanpenggajian pegawai negeri sipil; dan (ii) Celah fiskal (CF), yaitu selisih antara kebutuhanfiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan Fiskal (Kbf) tercermin dari variabel Jumlah Penduduk,Luas Wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Indeks Pembangunan Manusia, dan PDRBper kapita, sedangkan Kapasitas Fiskal diwakili oleh variabel PAD, DBH Pajak, dan DBHSDA.

Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan pemerataan alokasi dana antardaerah, danmengatasi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah, maka akan terus dilakukanlangkah-langkah untuk meningkatkan akurasi data dasar perhitungan DAU, yang meliputivariabel kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal, serta data alokasi dasar. Untuk mengukurtingkat ekualisasi terbaik antardaerah, digunakan indikator Williamson Index (WI) danCoefficient of Variation (CV) yang merupakan parameter standar pengukuran tingkatpemerataan kemampuan keuangan antardaerah.

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan fungsi DAU sebagai alat guna meminimalkanketimpangan fiskal antardaerah, analisis terhadap tingkat kesenjangan fiskal antardaerahdapat pula diformulasikan melalui penentuan proporsi komponen DAU, yang salah satunya,dapat ditempuh dengan mengurangi proporsi AD dibandingkan dengan CF. Semakin kecilperan AD dalam formula DAU, maka semakin besar peran formula berdasarkan CF yangmemiliki fleksibilitas dalam mengoreksi kesenjangan fiskal antardaerah. Adanya penguatanperan CF dalam formula DAU dengan membatasi AD, dapat menghasilkan tingkatpemerataan yang lebih baik dengan penggunaan tolok ukur kesenjangan fiskal melaluiindikator ekualisasi. Hal ini berarti bahwa semakin kecil angka indikator CV dan WI, makatingkat variasi atau kesenjangan fiskal antardaerah semakin diperkecil dan pemerataankemampuan keuangan antardaerah akan semakin lebih baik.

Untuk meningkatkan tingkat ekualisasi antardaerah, penerapan formula DAU murni ataudikenal sebagai Non-Holdharmless policy dapat mengakibatkan daerah memperoleh DAUlebih kecil daripada DAU yang diterimanya pada tahun sebelumnya, karena daerah tersebutmengalami peningkatan kapasitas fiskal secara signifikan. Hal ini sejalan dengan konsepdasar DAU sebagai equalizing grant, agar penerimaan DAU daerah secara proporsional dapatmenyeimbangkan tingkat penerimaan DBH dan PAD yang merupakan tolok ukurkemampuan keuangan suatu daerah.

Kebijakan Non-Holdharmless ini akan memiliki konsekuensi bagi daerah yang memilikipotensi penerimaan daerah yang relatif tinggi akan mengalami penurunan dalam penerimaanDAU, sehingga distribusi alokasi DAU dari segi pemerataaan keuangan akan memberikanmanfaat (benefit) bagi daerah-daerah marjinal/miskin lainnya (pro-poor). Kebijakan Non-

Page 71: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-71NK RAPBN 2009

Holdharmless tersebut sejalan dengan tujuan untuk memperkecil ketimpangan fiskalantardaerah. Penerapan formula murni ini diharapkan dapat lebih mudah untukdilaksanakan, meskipun tuntutan politis untuk mempertahankan, bahkan terusmeningkatkan perolehan DAU bagi seluruh daerah nampaknya masih cukup tinggi. Untukperkembangan DAU selanjutnya, Pemerintah dapat memberikan sosialisasi yang lebihkomprehensif kepada seluruh pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah tentangurgensi DAU sebagai instrumen untuk meminimalkan horizontal fiscal imbalance, sertaformulasi yang lebih pro-poor.

Berdasarkan arah kebijakan DAU tahun 2009 tersebut, serta rencana pendapatan dalamnegeri dalam RAPBN 2009 sebesar Rp1.123,0 triliun, dikurangi dengan rencana penerimaannegara yang dibagihasilkan kepada daerah sebesar Rp102,8 triliun, rencana PNBP yang akandigunakan kembali oleh kementerian/lembaga penghasil PNBP sebesar Rp16,7 triliun, subsidipajak sebesar Rp26,0 triliun, subsidi BBM sebesar Rp179,1 triliun, subsidi pupuk sebesar Rp18,6triliun, dan dividen interim sebesar Rp3,3 triliun, maka besaran PDN Neto dalam RAPBN2009 adalah sebesar Rp776,5 triliun. Selanjutnya, dengan memperhatikan amanat UU 33Tahun 2004 dan mengacu pada hasil pembahasan antara DPR-RI dan Pemerintah dalamrangka Pembicaraan Pendahuluan Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan danBelanja Negara tahun 2009, maka besaran alokasi DAU dalam RAPBN 2009 yang ditetapkansebesar 26 persen dari PDN Neto direncanakan mencapai Rp201,9 triliun (3,8 persen terhadapPDB). Jumlah tersebut, secara nominal lebih tinggi Rp22,4 triliun jika dibandingkan denganrealisasi DAU yang diperkirakan dalam tahun 2008 sebesar Rp179,5 triliun. Rencana alokasiDAU dalam RAPBN 2009 tersebut, sebesar Rp20,2 triliun (10 persen dari total DAU nasional)akan didistribusikan untuk provinsi dan selebihnya sebesar Rp181,7 triliun (90 persen daritotal DAU nasional) akan didistribusikan kepada kabupaten/kota. Rencana alokasi DAU tahun2009 tersebut akan ditransfer setiap awal bulan sebesar 1/12 dari besaran alokasi per daerah.

Rencana alokasi DAU yang didistribusikan kepada kabupaten/kota tersebut, telahmemperhitungkan alokasi DAU daerah pemekaran. Pada Tahun 2008 telah dialokasikanDAU untuk 17 daerah pemekaran yang pembentukannya telah ditetapkan dengan undang-undang sampai dengan bulan Mei 2007 (Lihat Tabel V.28). Perhitungan DAU daerah

pemekaran pada APBN 2008 belumberdasarkan data dasar yang mandiri,melainkan masih menggunakan datasebelum pemekaran, yang kemudiandiperhitungkan secara proporsionalberdasarkan data penduduk, data luaswilayah, dan data belanja PNS Daerahdari daerah induk dan daerahpemekaran. Pada Tahun 2009, daerahpemekaran tersebut akanmendapatkan DAU denganperhitungan sesuai dengan data dasarperhitungan secara mandiri. Dalamjangka waktu setelah bulan Mei 2007sampai dengan bulan Mei 2008, telahditetapkan daerah pemekaran barusebanyak 14 daerah (lihat Box V.4).

No Daerah Pemekaran Kabupaten Induk Provinsi

1 Kab. Bandung Barat Bandung Jawa Barat

2 Kab. Gorontalo Utara Gorontalo Gorontalo

3 Kab. Bolaang Mongondow Utara Bolaang Mongondow Sulawesi Utara

4 Kab. Minahasa Tenggara Minahasa Selatan Sulawesi Utara

5 Kota Subulussalam Aceh Singkil NAD

6 Kab. Pidie Jaya Pidie NAD

7 Kab. Kayong Utara Ketapang Kalimantan Barat

8 Kab. Konawe Utara Konawe Sulawesi Tenggara

9 Kab. Buton Utara Muna Sulawesi TenggaraKab. Siau Tagulandang Biaro Sangihe Talaud Sulawesi Utara(Kab.Sitaro)

11 Kab. Sumba Barat Daya Sumba Barat NTT

12 Kab. Memberamo RayaSarmi dan Yapen Waropen

Papua

13 Kab. Kotamobago Bolaang Mongondow Sulawesi Utara

14 Kab. Sumba Tengah Sumba Barat NTT

15 Kab. Nagekeo Ngada NTT

16 Kab. Empat Lawang Lahat Sumatera Selatan

17 Kab. Batubara Asahan Sumatera UtaraSumber : Departemen Keuangan

Tabel V.28Daerah Pemekaran yang akan Mendapat DAU 2009

dengan Perhitungan Berdasarkan Data Dasar Secara Mandiri

10

Page 72: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-72 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Boks V.4

DAU untuk Daerah Pemekaran

Implikasi pembentukan daerah otonom baru adalah permasalahan mismacth antara daerah indukdan daerah otonom baru hasil pemekaran (daerah pemekaran), terkait dengan pendanaan,personil, peralatan, dan dokumen (P3D), serta luas dan batas wilayah. Pemekaran daerah tersebutakan berdampak cukup besar terhadap APBN dalam penyediaan dana transfer ke daerah danpendanaan yang bersumber dari instansi vertikal.

Pemekaran daerah dapat mengakibatkan belum optimalnya peningkatan alokasi DAU seluruhdaerah, karena peningkatan jumlah daerah akan berpengaruh kepada semua komponen formulaperhitungan DAU. Untuk meminimalkan dampak pemekaran daerah terhadap perhitungan DAU,maka pada tahun pertama proses perhitungan DAU daerah pemekaran dilakukan melalui tigatahapan sebagai berikut:

. Tahapan Administratif, DAU untuk suatu daerah otonom baru dialokasikan pada tahun anggaranberikutnya, apabila undang-undang pembentukan daerah otonom baru ditetapkan sebelumdimulainya pembahasan RAPBN dalam Rapat Pembicaraan Pendahuluan antara PanitiaAnggaran DPR-RI dan Pemerintah.

· Tahapan Teknis, penghitungan DAU untuk daerah otonom baru dilakukan setelah tersediadata. Apabila sampai dengan Rapat Pembicaraan Pendahuluan , data daerah pemekaran untukperhitungan DAU tidak tersedia secara lengkap, maka penghitungan DAU dilakukan secaraproporsional antara daerah induk dan daerah pemekaran berdasarkan data: (i) jumlahpenduduk; (ii) luas wilayah; dan (iii) belanja pegawai.

· Tahapan Alokasi, hasil penghitungan DAU untuk seluruh daerah termasuk pembagian DAUantara daerah induk dan daerah pemekaran dibahas Pemerintah dan DPR, sedangkan alokasiDAU untuk daerah pemekaran dan induknya ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Pada tahun 2008, daerah pemekaran yang menerima DAU berdasarkan perhitungan secaraproporsional dari daerah induknya sebanyak 17 daerah, sehingga jumlah daerah menjadi 484daerah. Sementara itu, daerah yang diusulkan untuk menjadi daerah otonom baru pada tahun2009 sebanyak 26 daerah seperti pada Tabel V.29 dan Tabel V.30, sehingga keseluruhanjumlah daerah akan mencapai 510 daerah.

No

1 Kab. Padang Lawas Tapanuli Selatan Sumatera Utara 38 Th 2007 14/08/20072 Kab. Padang Lawas Utara Tapanuli Selatan Sumatera Utara 37 Th 2007 14/08/20073 Kab. Pesawaran Lampung Selatan Lampung 33 Th 2007 14/08/20074 Kota Serang Serang Banten 32 Th 2007 14/08/20075 Kab. Kubu Raya Pontianak Kalimantan Barat 35 Th 2007 14/08/20076 Kab. Tana Tidung Bulungan Kalimantan Timur 34 Th 2007 14/08/20077 Kab. Manggarai Timur Manggarai NTT 36 Th 2007 14/08/20078 Kota Tual Maluku Tenggara Maluku 31 Th 2007 14/08/20079 Kab. Memberamo Tengah Jaya Wijaya Papua 3 Th 2008 04/01/200810 Kab. Yalimo Jaya Wijaya Papua 4 Th 2008 04/01/200811 Kab. Lanny Jaya Jaya Wijaya Papua 5 Th 2008 04/01/200812 Kab. Nduga Jaya Wijaya Papua 6 Th 2008 04/01/200813 Kab. Puncak Jaya Wijaya Papua 7 Th 2008 04/01/200814 Kab. Dogiyai Nabire Papua 8 Th 2008 04/01/2008

Sumber : Departemen Keuangan

Daerah Pemekaran

Tabel V.29Daerah Pemekaran dengan Perhitungan DAU Proporsional dari Daerah Induknya

UU Nomor TanggalDaerah Induk Provinsi

Page 73: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-73NK RAPBN 2009

Selanjutnya, terdapat tambahan pembentukan 12 daerah otonom baru yang telahdiundangkan pada bulan Juni 2008, sehingga secara kumulatif total daerah pemekaran barusampai dengan bulan Juni 2008 sejumlah 26 daerah yang akan dialokasikan DAUberdasarkan perhitungan secara proporsional dengan daerah induknya. Namun, mengingatkedua belas daerah pemekaran baru tersebut sedang dalam tahap persiapan pembangunansarana dan prasarana pemerintahan, pembentukan struktur kelembagaan, dan penataanSDM, baik di lingkungan Pemerintah Daerah maupun DPRD setempat, maka alokasi DAUkepada 12 daerah pemekaran tersebut dapat disalurkan apabila telah tersedia perangkat daerahsecara lengkap agar dapat melaksanakan pengelolaan keuangan daerah sesuai peraturanperundangan yang berlaku.

5.5.2.3 Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepadadaerah tertentu untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerahdan sesuai dengan prioritas nasional. Pemberian DAK dimaksudkan untuk membantu daerahtertentu dalam mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakatdalam rangka mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritasnasional.

Pada tahun 2009, kebijakan umum DAK diarahkan untuk membantu daerah-daerah yangkemampuan keuangan daerahnya relatif rendah, dalam rangka penyediaan sarana danprasarana fisik pelayanan dasar masyarakat. Selain itu, alokasi DAK juga dapat diberikankepada seluruh daerah yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlakudiprioritaskan untuk mendapatkan alokasi DAK.

No

1 Kab. Labuhan Batu Selatan Kab. Labuhan Batu Sumatera Utara 24/6/20082 Kab. Labuhan Batu Utara Kab. Labuhan Batu Sumatera Utara 24/6/20083 Kab. Sungai Penuh Kab. Kerinci Jambi 24/6/20084 Kab. Bengkulu Tengah Kab. Bengkulu Utara Bengkulu 24/6/20085 Kab. Kepulauan Anambas Kab. Natuna Kepulauan Riau 24/6/20086 Kab. Lombok Utara Kab. Lombok Barat NTB 24/6/20087 Kab. Bolaang Mongondow Selatan Kab. Bolaang Mongondow Sulawesi Utara 24/6/20088 Kab. Bolaang Mongondow Timur Kab. Bolaang Mongondow Sulawesi Utara 24/6/20089 Kab. Sigi Kab. Donggala Sulawesi Tengah 24/6/2008

10 Kab. Toraja Utara Kab. Tana Toraja Sulawesi Selatan 24/6/200811 Kab. Maluku Barat Daya Kab. Maluku Tenggara Barat Maluku 24/6/200812 Kab. Buru Selatan Kab. Buru Maluku 24/6/2008

Sumber : Departemen Keuangan

Keterangan : *) 12 Daerah pemekaran yang akan menerima DAU sesuai formula DAU, apabila telah tersedia perangkat daerah secara lengkap

Daerah Induk Provinsi

Tabel V.30Daerah Pemekaran dengan Perhitungan DAU Proporsional dari Daerah Induknya *)

Daerah PemekaranDisahkan DPR-RI Tanggal

Page 74: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-74 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Di samping itu, kebijakan umum DAK juga akan diarahkan untuk:

1. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana jalan, irigasi, air minumdan penyehatan lingkungan di kabupaten daerah tertinggal yang terdiri dari: daerahpesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil,daerah rawan bencana, serta daerah yang termasuk kategori daerah ketahanan pangan,dan daerah pariwisata.

2. Menunjang penguatan sistem distribusi nasional, terutama untuk memperlancar arusbarang antar wilayah yang dapat meningkatkan ketersediaan bahan pokok di daerahperdesaan, daerah tertinggal/terpencil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerahpulau-pulau kecil terluar, dan daerah rawan bencana, melalui kegiatan khusus di bidangsarana dan prasarana perdagangan, serta sarana dan prasarana perdesaan.

3. Mendorong peningkatan produktivitas, perluasan kesempatan kerja, angkutan barangdan kebutuhan pokok, serta pembangunan perdesaan, melalui kegiatan khusus di bidangpertanian, perikanan dan kelautan, infrastruktur, perdagangan, serta pembangunanperdesaan.

4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar, sarana dan prasaranadasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, keluarga berencana,infrastruktur, serta sarana dan prasarana perdesaan daerah tertinggal.

5. Menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mencegah kerusakan lingkunganhidup, serta mengurangi risiko bencana melalui kegiatan khusus di bidang lingkunganhidup dan kehutanan.

6. Menyediakan serta meningkatkan cakupan, kehandalan pelayanan prasarana dan saranadasar melalui kegiatan khusus di bidang infrastruktur jalan.

7. Mendukung penyediaan prasarana pemerintahan di daerah pemekaran dan daerah yangterkena dampak pemekaran pemerintahan kabupaten/kota dan provinsi melaluikegiatan khusus di bidang prasarana pemerintahan.

8. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK dengankegiatan yang didanai dari anggaran kementerian negara/lembaga serta kegiatan yangdidanai dari APBD, melalui peningkatan koordinasi pengelolaan DAK di pusat dan daerah.

9. Melanjutkan pengalihan secara bertahap anggaran kementerian negara/lembaga(dekonsentrasi dan tugas pembantuan) yang digunakan untuk melaksanakan urusandaerah ke DAK, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, arah kebijakan untuk masing-masing bidang yang didanai dari DAK adalahsebagai berikut:

1. DAK Bidang Pendidikan, yang diarahkan untuk menunjang pelaksanaan program WajibBelajar (Wajar) Pendidikan Dasar 9 tahun yang bermutu, yang diperuntukkan bagi SD/SDLB, MI/Salafiyah Ula, termasuk sekolah-sekolah setara SD berbasis keagamaanlainnya, baik negeri maupun swasta, yang diprioritaskan pada daerah tertinggal, daerahterpencil, daerah perbatasan, daerah rawan bencana, dan daerah pesisir dan pulau-pulaukecil.

Page 75: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-75NK RAPBN 2009

2. DAK Bidang Kesehatan, yang diarahkan untuk: (i) meningkatkan pelayanan kesehatanterutama dalam rangka mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan AngkaKematian Bayi (AKB); dan (ii) meningkatkan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskinserta masyarakat di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan, melaluipeningkatan jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, khususnya untuk pengadaan,peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas, dan jaringannya termasukposkesdes, dan rumah sakit provinsi/kabupaten/kota untuk pelayanan kesehatan rujukan,serta penyediaan sarana/prasarana penunjang pelayanan kesehatan di kabupaten/kota.

3. DAK Bidang Keluarga Berencana (KB), yang diarahkan untuk meningkatkan daya jangkaudan kualitas pelayanan tenaga lini lapangan Program KB, sarana dan prasaranapelayanan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)/advokasi Program KB; saranadan prasarana pelayanan di klinik KB; dan sarana pengasuhan dan pembinaan tumbuhkembang anak dalam rangka menurunkan angka kelahiran dan laju pertumbuhanpenduduk, serta meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan keluarga.

4. DAK Bidang Infrastruktur Jalan dan Jembatan, yang diarahkan untuk mempertahankandan meningkatkan tingkat pelayanan prasarana jalan provinsi, kabupaten, dan kotadalam rangka memperlancar distribusi penumpang, barang dan jasa, serta hasil produksiyang diprioritaskan untuk mendukung sektor pertanian, industri, dan pariwisata sehinggadapat memperlancar pertumbuhan ekonomi regional.

5. DAK Bidang Infrastruktur Irigasi, yang diarahkan untuk mempertahankan danmeningkatkan tingkat pelayanan prasarana sistem irigasi termasuk jaringan reklamasirawa dan jaringan irigasi desa yang menjadi urusan kabupaten/kota dan provinsikhususnya di daerah lumbung pangan nasional dan daerah tertinggal dalam rangkamendukung program peningkatan ketahanan pangan.

6. DAK Bidang Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi, yang diarahkan untuk meningkatkancakupan dan kehandalan pelayanan air minum dan meningkatkan cakupan dankehandalan pelayanan penyehatan lingkungan (air limbah, persampahan, dan drainase)untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

7. DAK Bidang Pertanian, yang diarahkan untuk meningkatkan sarana dan prasaranapertanian di tingkat usaha tani, dalam rangka meningkatkan produksi guna mendukungketahanan pangan nasional.

8. DAK Bidang Kelautan dan Perikanan, yang diarahkan untuk meningkatkan sarana danprasarana produksi, pengolahan, peningkatan mutu, pemasaran, dan pengawasan, sertapenyediaan sarana dan prasarana pemberdayaan di wilayah pesisir dan pulau-pulaukecil.

9. DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah, yang diarahkan untuk meningkatkankinerja daerah dalam menyelenggarakan pembangunan dan pelayanan publik di daerahpemekaran, dan diprioritaskan untuk daerah yang terkena dampak pemekaran tahun2007-2008, serta digunakan untuk pembangunan/ perluasan/rehabilitasi total gedungkantor/bupati/walikota, dan pembangunan/ perluasan/rehabilitasi total gedung kantorDPRD, dengan tetap memperhatikan kriteria perhitungan alokasi DAK.

10. DAK Bidang Lingkungan Hidup, yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja daerahdalam menyelenggarakan pembangunan di bidang lingkungan hidup melaluipeningkatan penyediaan sarana dan prasarana kelembagaan dan sistem informasi

Page 76: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-76 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

pemantauan kualitas air, pengendalian pencemaran air, serta perlindungan sumber dayaair di luar kawasan hutan.

11. DAK Bidang Kehutanan, yang diarahkan untuk meningkatkan fungsi Daerah AliranSungai (DAS), meningkatkan fungsi hutan mangrove dan hutan pantai, pemantapanfungsi hutan lindung, Taman Hutan Raya (TAHURA), hutan kota, serta pengembangansarana dan prasarana penyuluhan kehutanan termasuk operasional kegiatan penyuluhankehutanan.

12. DAK Bidang Sarana dan Prasarana Perdesaan, yang ditujukan khusus untuk daerahtertinggal, dan diarahkan untuk meningkatkan aksesibilitas dan ketersediaan prasaranadan sarana dasar untuk memperlancar arus angkutan penumpang, bahan pokok, danproduk pertanian lainnya dari daerah pusat-pusat produksi di perdesaan ke daerahpemasaran.

13. DAK Bidang Perdagangan, yang diarahkan untuk menunjang penguatan sistem distribusinasional melalui pembangunan sarana dan prasarana perdagangan yang terutamaberupa pasar tradisional di daerah perbatasan, daerah pesisir dan pulau-pulau kecil,daerah tertinggal/terpencil, serta daerah pasca bencana.

Berdasarkan arah kebijakan dan bidang-bidang yang akan dibiayai DAK tersebut di atas,alokasi DAK direncanakan mencapai Rp22,3 triliun, atau secara nominal lebih tinggi Rp1,1triliun dari realisasi DAK yang diperkirakan dalam tahun 2008 mencapai Rp21,2 triliun.Peningkatan alokasi DAK tersebut sehubungan dengan adanya penambahan anggaran Rp1,0triliun yang digunakan untuk menambah alokasi DAK Bidang Pendidikan, serta penambahan2 bidang baru yaitu DAK Bidang Sarana dan Prasarana Perdesaan, serta DAK BidangPerdagangan, yang pendanaannya berasal dari pengalihan anggaran Kementerian NegaraPembangunan Daerah Tertinggal dan Departemen Perdagangan, masing-masing Rp90,0miliar dan Rp50,0 miliar.

Selanjutnya, penyaluran DAK tahun 2009 tersebut akan ditransfer secara bertahap sesuaidengan kinerja daerah dalam menyelesaikan Perda APBD dan Laporan Penyerapan DAK.Penyaluran tahap I sebesar 30 persen setelah daerah menyampaikan Perda APBD, tahap II,tahap III, dan tahap IV ditransfer setelah daerah menyampaikan Laporan Penyerapan DAKyang menunjukkan sisa DAK yang telah ditransfer lebih kecil atau sama dengan 10 persen.

Namun demikian, untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, daerahpenerima DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10 persen daribesaran alokasi DAK yang diterimanya. Sementara itu, alokasi DAK masing-masing daerahditentukan berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut :

1. Kriteria Umum, yang ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangandaerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja pegawainegeri sipil daerah.

2. Kriteria Khusus, yang dirumuskan berdasarkan: (i) peraturan perundangan yangmengatur tentang daerah-daerah tertentu dan seluruh daerah tertinggal yangdiprioritaskan mendapat alokasi DAK; dan (ii) karakteristik daerah, yang meliputi daerahpesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil,daerah yang termasuk dalam kategori daerah ketahanan pangan, daerah rawan bencana,dan daerah pariwisata.

Page 77: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-77NK RAPBN 2009

3. Kriteria Teknis, yang disusun oleh kementerian negara/lembaga teknis berdasarkanindikator-indikator yang dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana, sertakinerja pelaksanaan kegiatan DAK di daerah.

Selanjutnya, kebijakan DAK untuk daerah pemekaran adalah sebagai berikut: (1) daerahpemekaran dimaksud sudah ditetapkan sebagai penerima alokasi DAU; (2) kelayakan untukmendapatkan DAK mengikuti kelayakan daerah induknya; (3) alokasi untuk masing-masingbidang dilakukan apabila data teknis untuk daerah induk dan daerah pemekarannya sudahtersedia secara terpisah; dan (4) mempertimbangkan kelengkapan perangkat daerahpemekaran.

5.5.3. Dana Otonomi Khusus

Dalam rangka melaksanakan amanat UU No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan PerpuNo.1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang OtonomiKhusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang (lihat Boks V.5) dan UU Nomor 11

Boks V.5UU Nomor 35 Tahun 2008 sebagai Penyempurnaan UU Nomor 21 Tahun 2001.

Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat, yang selanjutnya berubah menjadi Propinsi Papua Barat,memberikan implikasi pada pelaksanaan UU Nomor 21 Tahun 2001. Undang-undang tersebutyang hanya menyebutkan nama Propinsi Papua dapat menimbulkan penafsiran bahwa penerimadana otonomi khusus adalah Propinsi Papua dan seluruh kabupaten/kota di wilayah daratanPapua, sedangkan Propinsi Papua Barat menjadi daerah yang tidak berhak atas dana otonomikhusus.

Implikasinya, selain tidak mendapatkan bagian dari dana otonomi khusus, Propinsi Papua Baratjuga tidak mendapatkan bagian dari dana tambahan otonomi khusus untuk infrastruktur yangdigunakan untuk pembangunan infrastruktur di kabupaten/kota di wilayah propinsi tersebut.Selain itu, Propinsi Papua Barat juga tidak mendapatkan DBH Migas sebesar 70 persensebagaimana diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001, namun demikian mengingat daerahpenghasil migas di daratan Papua umumnya berada di wilayah Propinsi Papua Barat, maka PropinsiPapua Barat mendapat porsi DBH SDA migas sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004 dengan prinsip byorigin.

Dalam perkembangannya, sebelum ditetapkannya UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang PenetapanPerpu No.1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang OtonomiKhusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang, Pemerintah terlebih dahulu berinisiatifmenetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), yaitu Perpu Nomor 1 Tahun2008 dengan maksud untuk mengatasi masalah inkonsistensi dalam pelaksanaan sistemdesentralisasi fiskal. Pada prinsipnya Perpu tersebut mengamanatkan bahwa UU Nomor 21 Tahun2001 berlaku bukan hanya untuk Propinsi Papua beserta seluruh kabupaten/kota, melainkansemua daerah, baik propinsi Papua dan Papua Barat maupun kabupaten/kota yang berada didaratan Papua.

Dengan ditetapkannya Perpu tersebut, mengakibatkan antara lain: (i) dana otonomi khusus yangbesarnya 2 persen dari total DAU Nasional akan dibagi antara Propinsi Papua dan Propinsi PapuaBarat; (ii) tambahan dana otonomi khusus untuk infrastruktur akan diberikan kepada PropinsiPapua dan Propinsi Papua Barat secara terpisah sesuai dengan kesepakatan antara pemerintahdan DPR; dan (iii) DBH migas dialokasikan bagi Propinsi Papua Barat sebesar 70 persen, sedangkanDBH SDA lainnya, kecuali DBH Perikanan, akan dibagi sesuai dengan letak daerah penghasil sesuaiprinsip by origin.

Page 78: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab V

V-78 NK RAPBN 2009

Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka dalam RAPBN 2009 akan dialokasikan danaotonomi khusus sebesar 2 persen dari DAU Nasional untuk Provinsi Papua dan Papua Barat,yang penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pendidikan dan kesehatan, dan 2 persendari DAU Nasional untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang diarahkanpenggunaannya untuk mendanai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur,pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentaskan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan,sosial, dan kesehatan. Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus kepadaProvinsi Papua dan Provinsi Papua Barat akan dialokasikan dana tambahan untukinfrastruktur, yang besarannya disepakati antara Pemerintah dengan DPR, yangpenggunaannya diutamakan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur.

Berkaitan dengan itu, alokasi Dana Otonomi Khusus dalam RAPBN 2009 direncanakanmencapai Rp9,1 triliun, atau secara nominal naik Rp1,6 triliun dari realisasi dana otonomikhusus yang diperkirakan dalam tahun 2008 sebesar Rp7,5 triliun. Alokasi dana otonomikhusus dalam RAPBN 2009 tersebut terdiri dari:

a.Dana Otonomi Khusus untuk Papua sebesar Rp4,0 triliun, atau secara nominal naik Rp0,4triliun jika dibandingkan dengan perkiraan realisasinya dalam tahun 2008 sebesar Rp3,6triliun. Sesuai dengan UU No.35 Tahun 2008, Dana Otonomi Khusus Provinsi Papuatersebut akan dibagikan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat;

b.Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi NAD sebesar Rp4,0 triliun, atau secara nominalnaik Rp0,4 triliun jika dibandingkan dengan perkiraan realisasinya dalam tahun 2008sebesar Rp3,6 triliun; serta

c. Dana Tambahan Infrastruktur Papua sebesar Rp1,0 triliun, atau secara nominal samadengan perkiraan realisasinya dalam tahun 2008. Sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun2008, Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua tersebut akan dibagikan kepada ProvinsiPapua dan Provinsi Papua Barat.

Alokasi Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, serta ProvinsiNAD dalam RAPBN 2009 tersebut akan ditransfer secara triwulanan sesuai dengan ketentuandalam Peraturan Menteri Keuangan.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun 2009 tidak dialokasikan danapenyesuaian, dengan pertimbangan : (i) agar DAU sebagai alat ekualisasi antardaerah dapatberfungsi semestinya; (ii) alokasi dasar sebagai komponen DAU sudah menampungperhitungan tunjangan kependidikan; (iii) dengan berlakunya UU No. 35 Tahun 2008,Provinsi Papua Barat sudah menyandang sebagai daerah otonomi khusus; (iv) danainfrastruktur sarana prasarana akan lebih dipertegas kriterianya, sehingga dapat disatukandengan kriteria DAK; dan (v) dana alokasi cukai merupakan wujud dari DBH cukai hasiltembakau, sehingga pada tahun 2009 akan dilaksanakan sebagai DBH Cukai Hasil Tembakausesuai dengan amanat UU Nomor 39 Tahun 2007. Perbandingan perkiraan realisasi trans-fer ke daerah dalam 2008 dan RAPBN 2009. dapat dilihat pada Tabel V.31.

Page 79: BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN … BAB V.pdf · signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan ... pengaruh dari dinamika ... khususnya pengaturan komponen

Bab VKebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009

V-79NK RAPBN 2009

Perkiraan Realisasi

% thd PDB

RAPBN % thd PDB

I. DANA PERIMBANGAN 279,6 6,0 327,1 6,2

A. DANA BAGI HASIL 78,9 1,7 102,8 1,9 1. Pajak 36,4 0,8 45,7 0,9

a. Pajak Penghasilan 8,5 0,2 10,1 0,2 b. PBB 22,3 0,5 27,4 0,5 c. BPHTB 5,6 0,1 7,3 0,1 d. Cukai - - 0,9 0,0

2. Sumber Daya Alam 42,5 0,9 57,1 1,1 a. Minyak Bumi 22,7 0,5 32,6 0,6 b. Gas Alam 11,5 0,2 17,5 0,3 c. Pertambangan Umum 6,3 0,1 5,6 0,1 d. Kehutanan 1,8 0,0 1,4 0,0 e. Perikanan 0,2 0,0 0,1 0,0

B. DANA ALOKASI UMUM 179,5 3,8 201,9 3,8 C. DANA ALOKASI KHUSUS 21,2 0,5 22,3 0,4

II.14,0 0,3 9,1 0,2

A. DANA OTONOMI KHUSUS 7,5 0,2 9,1 0,2 1. Dana Otsus (Persentase DAU) 7,2 0,2 8,1 0,2

i. Dana Otsus Prov. Papua 3,6 0,1 4,0 0,1 ii. Dana Otsus Aceh 3,6 0,1 4,0 0,1

2. 0,3 0,0 1,0 0,0

B. DANA PENYESUAIAN 6,5 0,1 - -

J U M L A H 293,6 6,3 336,2 6,3

DANA OTONOMI KHUSUS dan PENYESUAIAN

Dana tambahan Otsus

2008 2009

Tabel V.31TRANSFER KE DAERAH, 2008 - 2009

(triliun rupiah)