10
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) 3 2 J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012 Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer Handoko Lowis,* Maula N Gaharu** *Universitas Pelita Harapan, Tangerang, **Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center, Jakarta Abstrak: Bell’s palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lain. Insidensi sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap tahun. Berbagai teori mencoba menerangkan abnormalitas yang terjadi, salah satunya adalah keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1. Kontroversi dalam tata laksana masih diperdebatkan, walaupun hampir sebagian besar kasus (85%) sembuh sempurna dalam 1-2 bulan dan rekurensi terjadi pada 8% kasus. Dokter di pelayanan primer diharapkan dapat menegakkan diagnosis Bell’s palsy serta mengobati dengan tepat. J Indon Med Assoc. 2012:62;32-7 Kata kunci: Bell’s palsy, kelemahan wajah, paralisis, layanan primer, HSV tipe 1 Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care Handoko Lowis,* Maula N Gaharu** *Universitas Pelita Harapan, Tangerang, **Neurologist, Jakarta Medical Center Hospital, Jakarta Abstract: Bell’s palsy is a syndrome of facial weakness with lower motor neuron sign caused by idiopathic facial nerve involvement outside the central nervous system, without any other neurological diseases. The incidence of this syndrome is around 23 cases in 100.000 people each year. Various theories try to explain the existing abnormality, one of which involves Herpes Simplex Virus type I. Controversies in the management are still on debate, although most of the cases (85%) completely resolve in 1-2 months and recurrence was found in 8% of cases. Doctors in primary health care are expected to be able to make a prompt diagnosis and treatment for Bell’s palsy. J Indon Med Assoc. 2012:62;32-7 Keywords: Bell’s palsy, facial weakness, paralysis, primary care, HSV type 1 J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012 33 Pendahuluan Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya.1 Sindrom ini pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell.2 Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap tahun.3 Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan

Bells Palsy Word

Embed Size (px)

DESCRIPTION

home work again

Citation preview

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)3 2 J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksanadi Pelayanan PrimerHandoko Lowis,* Maula N Gaharu***Universitas Pelita Harapan, Tangerang,**Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center, JakartaAbstrak: Bells palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motorneuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat,tanpa adanya penyakit neurologik lain. Insidensi sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000orang setiap tahun. Berbagai teori mencoba menerangkan abnormalitas yang terjadi, salahsatunya adalah keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1. Kontroversi dalam tata laksana masihdiperdebatkan, walaupun hampir sebagian besar kasus (85%) sembuh sempurna dalam 1-2bulan dan rekurensi terjadi pada 8% kasus. Dokter di pelayanan primer diharapkan dapatmenegakkan diagnosis Bells palsy serta mengobati dengan tepat. J Indon Med Assoc.2012:62;32-7Kata kunci: Bells palsy, kelemahan wajah, paralisis, layanan primer, HSV tipe 1Bells Palsy, Diagnosis and Management in Primary CareHandoko Lowis,* Maula N Gaharu***Universitas Pelita Harapan, Tangerang,**Neurologist, Jakarta Medical Center Hospital, JakartaAbstract: Bells palsy is a syndrome of facial weakness with lower motor neuron sign caused byidiopathic facial nerve involvement outside the central nervous system, without any other neurologicaldiseases. The incidence of this syndrome is around 23 cases in 100.000 people each year.Various theories try to explain the existing abnormality, one of which involves Herpes SimplexVirus type I. Controversies in the management are still on debate, although most of the cases(85%) completely resolve in 1-2 months and recurrence was found in 8% of cases. Doctors inprimary health care are expected to be able to make a prompt diagnosis and treatment for Bellspalsy. J Indon Med Assoc. 2012:62;32-7Keywords: Bells palsy, facial weakness, paralysis, primary care, HSV type 1J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012 33PendahuluanBells palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipelower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraffasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanyapenyakit neurologik lainnya.1Sindrom ini pertama sekalidideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dandokter bedah bernama Sir Charles Bell.2Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000orang setiap tahun.3 Manifestasi klinisnya terkadangdianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tumoryang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilandistorsi wajah yang akan bersifat permanen. Oleh karena itu,perlu diketahui mengenai Bells palsy oleh dokter pelayananprimer agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpamelupakan diagnosis banding yang mungkin didapatkan.AnatomiSaraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyaikomponen motorik yang mempersarafi semua otot ekspresiwajah pada salah satu sisi, komponen sensorik kecil (nervusintermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3depan lidah, dan komponen otonom yang merupakan cabangsekretomotor yang mempersarafi glandula lakrimalis.2,4Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-pontinmemasuki meatus akustikus internus. Saraf selanjutnyaberada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang untukganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya keGambar 1. Skema dari Saraf Kranialis Ketujuh (fasialis).Cabang motorik ditandai dengan garis warna biru, cabang parasimpatis ditandai dengan garis warna jingga, dan cabangaferen viseral spesial (pengecapan) ditandai dengan garis putus-putus dan titik.muskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani.Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirinmerupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis;foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diametersebesar 0,66 mm.2,4Etiologi dan PatofisiologiTerdapat lima teori2,5,6 yang kemungkinan menyebabkanterjadinya Bells palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri,herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahassebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al7 mengidentifikasigenom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatumseorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelahmengalami Bells palsy.Murakami et al.8 menggunakan teknik reaksi rantaipolimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom virus,dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneuralsekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bellspalsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasusyang berat. Murakami et al.8 menginokulasi HSV dalam telingadan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikustersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan padasaraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanyatemuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atauherpetika dapat diadopsi.4,9 Gambaran patologi dan mikroskopismenunjukkan proses demielinisasi, edema, dangangguan vaskular saraf.9Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan PrimerBells Palsy, Diagnosis dan Tata Taksana di Pelayanan Primer3 4 J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012Manifestasi KlinisBerdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bells palsydapat berbeda.4 Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadigangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua ototekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua matamelakukan rotasi ke atas (Bells phenomenon). Selain itu,mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakuslakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu.Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makananyang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakanwajah dan air liur keluar dari sudut mulut.Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengankorda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akanmenunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoidditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anteriorlidah pada sisi yang sama.Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulusstapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadapsuara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatumakan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi sertadapat melibatkan saraf kedelapan.Pemeriksaan FisikParalisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaanfisik yang lengkap untuk menyingkirkan kelainansepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaangerakan dan ekspresi wajah.2 Pemeriksaan ini akan menemukankelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena.Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasienpada sisi yang terkena memutar ke atas.Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan padatelinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas padasisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinisyang membedakan Bells palsy dengan stroke atau kelainanyang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnyakelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorikekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampumengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.Diagnosis BandingDiagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagimenurut lokasi lesi sentral dan perifer. Kelainan sentral dapatmerupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisiyang sama dan ditemukan proses patologis di hemisferserebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradualdan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker dibagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainanneurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dantrauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basiskranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.1,3,4,9Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatuotitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksiradang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkansuatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukanadanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeridi pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikantiter antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barresaat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainanmiastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupagangguan gerak mata kompleks dan kelemahan ototorbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin (tersering)apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumorkelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulusmandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tandafebris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis,eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.1,3,4,9Pemeriksaan PenunjangBells palsy merupakan diagnosis klinis sehinggapemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkanetiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaanradiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapatdilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang,dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).2,4,5 PemeriksaanMRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma ditulang temporal, otak, glandula parotis, atau untukmengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapatmemvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraffasialis.Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudahdikenal sejak tahun 1970sebagaiprediktor kesembuhan,bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidattindakan dekompresi intrakanikular.10,11 Grosheva et al10melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyainilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi(ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitiantersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue(PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%.Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunanamplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP),pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaanblink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral.11 Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima,meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitasgelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.Tata LaksanaPeran dokter umum sebagai lini terdepan pelayananprimer berupa identifikasi dini dan merujuk ke spesialis saraf(jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada pemeriksaanneurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosisbanding Bells palsy. Jika tidak tersedia, dokter umumdapat menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkandiagnosis banding lain. Terapi yang diberikan dokter umumdapat berupa kombinasi non-farmakologis dan farmakologisseperti dijelaskan di bawah ini.Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan PrimerJ Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012 35Terapi Non-farmakologisKornea mata memiliki risiko mengering dan terpaparbenda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaanair mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur),kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atautarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atasdan bawah).2,5,9Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secarahalus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuatgerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitasdekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namuntindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam14 hari onset.4,5Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukandalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsipasien dengan paralisis fasialis.12,13 Namun, diketahui pulabahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednisondan valasiklovir tanpa terapi fisik.13 Rehabilitasi fasialmeliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi,dan program pelatihan di rumah. Terdapat empatkategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahanpenyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan,dan relaksasi.13-15Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetriwajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulaigerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakanberupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantusecara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per haridan menghindari gerakan wajah berlebih.13-15Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasiendengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampumenginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis.Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunakotot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskulardi depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakanekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untukmembentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan inidilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set perhari.13-15Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yangditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedangsaat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan,dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupamobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif,reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategorifasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakansinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasistrategi meditasi-relaksasi.13-15Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan padapasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karenasinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupamobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif,reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus padastrategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visualatau audio difokuskan untuk melepaskan keteganganpada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2kali per hari.13-15Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidakmengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesisperlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untukmemperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial,dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perludikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik.15Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga HidungTenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabilaterdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakanglandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.Terapi FarmakologisInflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebabpaling mungkin dalam patogenesis Bells palsy. Penggunaansteroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanendari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit.Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam darionset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasilpengobatan.1,2,4,16 Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mgper kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat haritappering off.17-19Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan padapenggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu)berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum,osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadapinfeksi), dan Cushing syndrome.19Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuhmenyebabkan preparat antivirus digunakan dalam penangananBells palsy. Namun, beberapa percobaan kecilmenunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebihefektif dibandingkan kortikosteroid. Penelitian retrospektifHato et al13 mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baikdidapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang hanyaditerapi dengan prednisolon.Axelsson et al20 juga menemukan bahwa terapi denganvalasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. deAlmeida et al21 menemukan bahwa kombinasi antivirus dankortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batassignifikan yang lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja.Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroidpada 48-72 jam pertama setelah onset.4,13,21Namun, hasil analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasiendan Quant et al22 dengan 1145 pasien menunjukkan tidakadanya keuntungan signifikan penggunaan antiviraldibandingkan plasebo dalam hal angka penyembuhaninkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baikdengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirusdibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukanuntuk menentukan keuntungan penggunaan terapiJ Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer36kombinasi.2,22Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kalipemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikandengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalamlima kali pemberian selama 7-10 hari.17,18,23Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalamdarah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.13,17,18Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparatantivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupaadalah mual, diare, dan sakit kepala.19KomplikasiSekitar 5% pasien setelah menderita Bells palsymengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapakomplikasi yang sering terjadi akibat Bells palsy, adalah2,5,9(1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimalyang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulusfasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkandisgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilangpengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasiyang tidak sama dengan stimuli normal), dan (3) reinervasiyang salah dari saraf fasialis.Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan(1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikutigerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasiinvolunter dari sudut mata, kontraksi platysma, ataupengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tearphenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresisakibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnyaair mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan,dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbulkedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapatterjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudianmengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).PrognosisPerjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikankomplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuelepermanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bells palsy sembuhtotal dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaikdalam 3 minggu.11 Sekitar 10% mengalami asimetri muskulusfasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat,serta 8% kasus dapat rekuren.1,2,9Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalahpalsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes,adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan,refleks stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy,bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat),dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.2,4Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalahparalisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total),pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.2,4Kimura et al11 menggunakan blink reflex sebagaiprediktor kesembuhan yang dilakukan dalam 14 hari onset,gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu keduamenandakan prognosis perbaikan klinis yang positif.Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untukmenentukan prognosis, House-Brackmann Facial NerveGrading System dapat digunakan untuk mengukur keparahandari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bellspalsy.KesimpulanBells Palsy merupakan sindrom klinis gangguan saraffasialis yang bersifat perifer. Keterlibatan virus Herpes Simplextipe 1 banyak dilaporkan sebagai penyebab kerusakansaraf tersebut, meski penggunaan preparat antivirus masihmenjadi perdebatan dalam tata laksana. Peranan dokter dipelayanan primer yang diharapkan adalah dapat menegakkandiagnosis Bells palsy, menyingkirkan diagnosis bandingyang ada, serta mengobati dengan tepat.Daftar Pustaka1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheralnerves: Bell palsy. In: Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP,editors. Clinical Neurology. 6th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies,Inc; 2005. p. 182.2. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bells palsy. Eastern Virginia:Medscape. 2010.3. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence andprognosis of Bells palsy in the population of Rochester, Minnesota.Mayo Clin Proc. 1971;46:258.4. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinalcord, peripheral nerve, and muscle. In: Ropper AH, Brown RH,editors. Adam and Victors Principles of Neurology. 8th Ed. USA:The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1180-2.5. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. Cranialnerves and chemical senses. In: Strominger NL, editor. The humannervous system: structure and function. 6th Ed. New Jersey:Humana Press; 2005. p. 253.6. Sabirin J. Bells palsy. In: Hadinoto HS, Noerjanto M, Jenie MN,Wirawan RB, Husni A, Soetedjo, editors. Gangguan gerak.Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1996. p. 163-72.7. Seok JI, Lee DK, Kim KJ. The usefulness of clinical findings inlocalising lesions in Bells palsy: comparison with MRI. J NeurolNeurosurg Psychiatry. 2008;79:418-20.8. Burgess RC, Michaels L, Bale JF Jr., Smith RJ. Polymerase chainreaction amplification of Herpes Simplex Viral DNA from thegeniculate ganglion of a patient with Bells palsy. Ann Otol RhinolLaryngol. 1994;103:775.9. Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashiro Y, Hato N, GyoK, et al. Rapid diagnosis of varicella Zoster Virus in acute facialpalsy. Neurology. 1998;51:1202.10. Ginsberg L. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In: GinsbergL, editor. Lecture Notes-Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.2005. p. 35.11. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic valueof electroneurography and electromyography in facial palsy.Laryngoscope. 2008;118:394-7.12. Hill MD, Midroni G, Goldstein WC, Deeks SL, Low DE, MorrisAM. The spectrum of electrophysiological abnormalities in BellsBells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan PrimerJ Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012 37palsy. Can J Neurol Sci. 2001;28:130-3.13. Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, etal. Valacyclovir and prednisolone treatment for Bells palsy: amulticenter, randomized, placebo-controlled study. Otol Neurotol.2007;28:408-13.14. Lindsay RW, Robinson M, Hadlock TA. Comprehensive facialrehabilitation improves function in people with facial paralysis:a 5-year experience at the Massachussets Eye and Ear Infirmary.Phys Ther. 2010;90:391-7.15. Van Swearingen J. Facial rehabilitation: a neuromuscular reeducation,patient-centered approach. Facial Plast Surg. 2008;24:250-9.16. Hadlock TA, Greenfield LJ, Wernick-Robinson M, Cheney ML.Multimodality approach to management of the paralyzed face.Laryngoscope. 2006;116:1385-9.17. Gilden DH. Clinical practice Bells palsy. N Engl J Med. 2004;351:1323-31.18. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells palsy: diagnosis and management.Am Fam Physician. 2007;76(7):997-1002.19. Chrousos GP. Adrenocorticosteroids & adrenocortical antagonists.In: Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology.9th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2004. p. 641-60.20. Axelsson S, Lindberg S, Stjernquist-Desatnik A. Outcome of treatmentwith valacyclovir and prednisone in patients with Bellspalsy. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2003;112:197.21. de Almeida JR, Al Khabori M, Guyatt GH, Witterick IJ, Lin VY,Nedzelski JM, et al. Combined corticosteroid and antiviral treatmentfor Bells palsy: a systematic review and metaanalysis.JAMA. 2009;302:985-93.22. Quant EC, Jeste SS, Muni RH, Cape AV, Bhussar MK, PelegAY. The benefits of steroids versus steroids plus antivirals fortreatment of Bells palsy: a meta-analysis. BMJ. 2009;339:3354.23. Sullivan FM, Swan IRC, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH,McKinstry B, et al. Early Treatment with Prednisolone orAcyclovir in Bells Palsy. N Eng J Med. 2007;357:1598-607.24. House JW, Brackman DE. Facial nerve grading system.Otolaryngol Head Neck Surg. 1985;93:146-7.KN/FS