7
20 Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, T ahun 2010 1. PENDAHULUAN Kondisi dan fenomena kemiskinan yang mengungkung sebagian besar masyarakat kita hingga kini masih menyimpan banyak  perdebatan. Perdebatan tersebut terutama seputar teori, konsep maupun metode-metode yang menyangkut tentang kondisi kemiskinan di sekitar kita. Perdebatan dimulai dengan penyusunan konsep, indikator, dan langkah- langkah termasuk kebijaksanaan yang harus diambil berhubungan dengan cara mengatasinya , atau dengan bahasa praktisnya penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi makin menjadi kontras, tatkala pihak-pihak yang mengalami atau berada dalam ‘kondisi miskin’ terus bertambah  jumlah maupun tingkat kemiskinannya. Fenomena kemiskinan sendiri berkaitan erat dengan konsep dan permasalahan ketidak adilan dan disintegrasi kelompok, menunjuk pada sebuah jalinan konsep yang memberi sebuah BUDAYA KEMISKINAN DI MASYARAKAT : TINJAUAN KONDISI KEMISKINAN DAN KESADARAN BUDAYA MISKIN DI MASYARAKAT Ketut Sudhana Astika Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Bali ABSTRACT : The culture of poverty is contructed from the situation which categorized people into two categories, under and above poverty line, which also being categorized by specific characteristics including the impact on those groups. The culture of poverty is an adaptation of a gr oup of people on their mar ginal condition, but not for their existence because some of their characteristics and attitudes are more limited on the  present orientation and their inferiority, apathy, and the lack of future planning. Key words : poverty, culture of poverty, community pengertian yang saling berkait satu sama lain. Masing-masing konsep bisa dilihat secara tunggal dengan pengertian tersendiri atau analisis saling keterkaitan atau keterhubungan satu dengan lainnya dalam konteks kausalitas. Kemiskinan bisa terjadi karena adanya ketidak adilan di masyarakat yang dapat mengganggu rasa kebersamaan, atau karena perlakuan yang tidak adil dalam perlakuan/pemerataan, ada masyarakat yang merasa miskin dalam berbagai hal yang berakibat pada pertentangan dan perpecahan. Pola kekuasaan yang ada memungkinkan sebagian kecil atau sekelompok individu merasa dapat perlakuan yang tidak adil dan kesempatan yang sama memperoleh asset dan akses untuk berkembang, berpotensi pada terbentuknya kelompok minoritas yang merasa miskin karena proses pemiskinan yang berlangsung. Kelompok seperti ini akan menjadi akar di masyarakat yang

Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

8/7/2019 Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

http://slidepdf.com/reader/full/budaya-kemiskinan-di-masyarakat 1/7

20

Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010

1. PENDAHULUAN

Kondisi dan fenomena kemiskinan yang

mengungkung sebagian besar masyarakat kita

hingga kini masih menyimpan banyak 

perdebatan. Perdebatan tersebut terutama seputar

teori, konsep maupun metode-metode yang

menyangkut tentang kondisi kemiskinan di

sekitar kita. Perdebatan dimulai dengan

penyusunan konsep, indikator, dan langkah-

langkah termasuk kebijaksanaan yang harus

diambil berhubungan dengan cara mengatasinya,

atau dengan bahasa praktisnya penanggulangan

kemiskinan. Hal ini menjadi makin menjadi

kontras, tatkala pihak-pihak yang mengalami atau

berada dalam ‘kondisi miskin’ terus bertambah

 jumlah maupun tingkat kemiskinannya.

Fenomena kemiskinan sendiri berkaitan erat

dengan konsep dan permasalahan ketidak adilan

dan disintegrasi kelompok, menunjuk pada

sebuah jalinan konsep yang memberi sebuah

BUDAYA KEMISKINAN DI MASYARAKAT :

TINJAUAN KONDISI KEMISKINAN DAN KESADARAN

BUDAYA MISKIN DI MASYARAKAT

Ketut Sudhana Astika

Program Studi Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Udayana, Bali

ABSTRACT :

The culture of poverty is contructed from the situation which categorized people

into two categories, under and above poverty line, which also being categorized byspecific characteristics including the impact on those groups. The culture of poverty

is an adaptation of a group of people on their marginal condition, but not for their 

existence because some of their characteristics and attitudes are more limited on the

 present orientation and their inferiority, apathy, and the lack of future planning.

Key words : poverty, culture of poverty, community

pengertian yang saling berkait satu sama lain.

Masing-masing konsep bisa dilihat secara tunggal

dengan pengertian tersendiri atau analisis saling

keterkaitan atau keterhubungan satu dengan

lainnya dalam konteks kausalitas. Kemiskinan

bisa terjadi karena adanya ketidak adilan di

masyarakat yang dapat mengganggu rasa

kebersamaan, atau karena perlakuan yang tidak 

adil dalam perlakuan/pemerataan, ada

masyarakat yang merasa miskin dalam berbagai

hal yang berakibat pada pertentangan dan

perpecahan.

Pola kekuasaan yang ada memungkinkan

sebagian kecil atau sekelompok individu merasa

dapat perlakuan yang tidak adil dan kesempatan

yang sama memperoleh asset dan akses untuk 

berkembang, berpotensi pada terbentuknya

kelompok minoritas yang merasa miskin karena

proses pemiskinan yang berlangsung. Kelompok 

seperti ini akan menjadi akar di masyarakat yang

Page 2: Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

8/7/2019 Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

http://slidepdf.com/reader/full/budaya-kemiskinan-di-masyarakat 2/7

21

berperilaku menyimpang sehingga terjadilah

penentangan dan konflik dengan dampak yanglebih luas, yaitu disintegrasi masyarakat.

Sebaliknya gejala terjadinya disintegrasi di

masyarakat dengan memudarnya kebersamaan

dan rasa persatuan diantara sesama warga

masyarakat memberi ciri pada melemahnya pola

interaksi sosial, menghilangnya rasa

kebersamaan diantara sesama warga hilangnya

rasa kohesi sosial dan berdampak pada tindak 

ketidak adilan dan berlangsungnya proses

pemiskinan dikalangan warga masyarakat.

2. RAGAM PEMIKIRAN TENTANG

KEMISKINAN

Kemiskinan seperti diungkapkan oleh

Suparlan (1994), dinyatakan sebagai suatu

keadaan kekurangan harta atau benda berharga

yang diderita oleh seseorang atau sekelompok 

orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda

tersebut maka seseorang atau sekelompok orang

itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhan-

kebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya.

Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya

pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat,

upacara-upacara, moral dan etika), atau pada

tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial

(pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi

dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan-

minum, berpakaian, bertempat tinggal atau

rumah, kesehatan dan sebagainya).

Kemiskinan, masih menurut Suparlan

(1994), dengan demikian terserap ke dalam dan

mempengaruhi hamper keseluruhan aspek-aspek 

kehidupan manusia. Kemiskinan yang diderita

oleh sekelompok orang bahkan sebuah

masyarakat, menghasilkan suatu keadaan dimana

warga masyarakat yang bersangkutan merasa

tidak miskin bila berada dan hidup diantara

sesamanya. Karena berbagai kegiatan yangdilakukan dalam kehidupan para warga kelompok 

tersebut dirasakan sebagai suatu hal yang biasa

(sebagai fenomena biasa dalam kehidupan

keseharian mereka). Pada kondisi seperti itu tidak 

ada yang diacu untuk pamer, sehingga diantara

mereka tidak ada perasaan saling berbeda, yang

dapat menimbulkan perasaan malu. Dalam

keadaan demikian, maka kemiskinan terwujud

dalam berbagai cara-cara mereka memenuhi

kebutuhan-kebutuhan mereka untuk dapat hidup.Di kalangan masyarakat/kelompok yang

berada dalam kondisi miskin seperti itu,

berkembang suatu pedoman bagi kehidupan

mereka yang diyakini kebenaran dan

kegunaannya yang dilandasi oleh kemiskinan

yang mereka derita bersama. Pedoman atau kiat-

kiat untuk menghadapi fenomena miskin seperti

itu kemudian melahirkan model-model adaptasi

mereka menghadapi kemiskinan.

Pada era gencarnya prmbangunan di tahun

1970-1980, sebuah seminar ilmiah yang diadakan

oleh Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan

Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS), diadakan di Malang

tanggal 13-17 November 1979, dengan tema dan

hasil yang monumental sampai saat ini, yaitu

‘Kemiskinan Struktural’ (Soemardjan, 1980),

dimana dalam pendapatnya dinyatakan bahwa

kemiskinan struktural tidak menunjuk pada

individual yang miskin karena malas bekerja atau

tidak mendapatkan penghasilan, tetapi lebih

banyak karena struktur sosial masyarakat yang

ada telah membatasi hak-hak mereka untuk 

mendapatkan/menggunakan sumber-sumber

pendapatan yang tersedia untuk mereka.

Pada kondisi seperti itu kelompok 

masyarakat yang berada pada kondisi seperti itu

pada umumnya memiliki kesadaran akan

Budaya Kemiskinan Di Masyarakat .............. ( Ketut Sudhana Astika)

Page 3: Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

8/7/2019 Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

http://slidepdf.com/reader/full/budaya-kemiskinan-di-masyarakat 3/7

22

Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010

nasibnya yang berbeda dengan kelompok/ 

golongan lainnya. Dalam kelompok miskinsecara struktur ini, masih menurut Soemardjan,

ada para petani yang tidak bertanah atau

mempunyai garapan yang sangat kecil, sehingga

tidak mencukupi untuk pemenuhan hidupnya.

Juga golongan mereka yang tidak terdidik dan

terlatih yang disebut ‘unskilled labores’ yang

terhambat untuk memasuki pasar kerja, golongan

miskin itu juga meliputi para pengusaha tanpa

modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah, atau

golongan ekonomi lemah.Pembicaraan tentang kemiskinan penduduk 

perkotaan, diungkap oleh Gavin Jones (dalam

Dorodjatun, 1986), yang menyatakan bahwa

sebagai akibat dari migrasi penduduk pedesaan

ke kota (khususnya kota-kota di Jawa), telah

menambah jumlah penduduk miskin yang ada

karena dua hal yaitu : karena penambahan secara

alamiah (lebih banyak kelahiran dari pada

kematian); dan karena adanya migrasi orang desa

ke kota yang terus bertambah (untuk mencari

pekerjaan). Gavin Jones bahkan berteori bahwa

bagaimanapun orang-orang desa yang bermigrasi

membandingkan bahwa ada peluang atau

kesempatan kerja yang lebih besar dan lebih

panjang dikota, walau harus tinggal

diperkampungan.

Apa yang dinyatakan Gavin Jones,

sebenarnya ditunjang oleh temuan dua peneliti

lainnya. Peneliti pertama, Graeme Hugo (1986)

yang memfokuskan migrasi sirkuler penduduk 

sekitaran Jakarta antara lain penduduk kabupaten

yang berdekatan dengan Jakarta, seperti

Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi.

Perkembangan industri dan pembangunan kota

di Jakarta sangat menarik minat para penduduk 

di desa-desa kabupaten tadi untuk pindah dan

menetap di Jakarta. Dan secara umum para

migrant dalam teori yang dikemukakan oleh

Graeme Hugo, besarnya angka/jumlah migrantsangat tergantung pada jarak daerah asal dan kota

tujuan, sarana transportasi yang tersedia, dan

kondisi perkembangan kota tujuan. Sehingga ia

kemudian mengklasifikasi model migrasi ke kota

yang ada yaitu : ‘pindah, merantau, dan pulang

balik’.

Temuan kedua merupakan penguatan teori

Graeme Hugo yang dilakukan Lea Jellinek 

(1986), dalam tulisannya ‘sistem pondok dan

migrasi sirkuler’, khususnya pada migranpenduduk desa ke kota Jakarta. Jellinek 

menganalogikan ‘pondok’ sebagai sebuah rumah

sederhana tempat menginap di pedesaan. Di

Jakarta para migrant mengartikan dan

memfungsikan ‘pondok’ bukan saja sebagai

tempat menginap, tetapi juga menjadi tempat

usaha dan kegiatan kehidupan lainnya. Karena

itu dalam temuan penelitiannya, ratusan pondok-

pondok yang tersebar di seluruh kota menjadi

berbagai pangkalan, tempat usaha kecil berjalan,

dan ada ribuan pengusaha dengan modal kecil

hidup (umumnya para migrant sirkuler) dalam

‘sistem pondok’ dengan sistem ‘tauke’ yang

terstruktur dan kuat. Pondok juga menampung

pendatang baru dari desa-desa yang sama, dan

menyediakan lapangan kerja sehingga selalu

menarik minat bagi berlangsungnya proses

‘migran sirkuler’.

Sebenarnya temuan-temuan penelitian dari

Gavin Jones, Graeme Hugo maupun Lea Jellinek,

lebih banyak barbicara dan berteori tentang

migarasi dan aspek-aspeknya, tetapi dampak dari

temuan mereka serta teori mereka sangat

berperan dalam berkembangnya jumlah

penduduk kelompok miskin diperkotaan

(khususnya Jakarta), atau model-model yang

mereka temukan telah menjadi ‘model’ yang juga

Page 4: Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

8/7/2019 Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

http://slidepdf.com/reader/full/budaya-kemiskinan-di-masyarakat 4/7

23

melanda kota-kota lain yang berkembang di

Indonesia. Kemiskinan perkotaan telah menjadi‘model’ dari perkembangan kota, dan juga

merupakan masalah bagi pemerintahan dan

manajemen perkotaan. Karena dari cara hidup

para migran di perkotaan inilah telah lahir pola

adaptasi, nilai-nilai yang diyakini, respons dalam

tindakan/sikap, dan pola-pola kelakuan yang khas

penduduk miskin kota yang oleh para ahlinya

disebut dengan kebudayaan kemiskinan.

3. MAKNA KEBUDAYAANKEMISKINAN

Istilah kebudayaan kemiskinan untuk 

pertama kalinya dikemukakan oleh seorang

antropolog Amerika, Oscar Lewis dalam

Suparlan (1984). Kebudayaan dalam pengertian

Oscar Lewis mencakup apa yang diyakini (nilai-

nilai), respons dalam tindakan (sikap), dan

abstraksi-abstraksi dari kelakuan (pola-pola

kelakuan). Tiga kategori inii sebenarnya tidak 

dapat digolongakan sebagai/dalam sebuah

kategori budaya. Karena masing-masing kategori

tersebut dengan unsure-unsurnya terkategorisasi

secara bertimgkat-tingkat menurut ciri-cirinya.

Karena itu kemudian karya-karya Oscar Lewis

dalam mengkaji kebudayaan kemiskinan lebih

bersifat deskriptif dan kasuistik, yang tidak dapat

menghasilkan formula yang dapat digunakan

untuk memecahkan masalah-masalah

kemiskinan. Namun, dengan kelemahan

metodologis yang dimilikinya Oscar Lewis masih

dapat/mampu mengidentifikasi bahwa

kebudayaan kemiskinan itu tidak pernah ada

dalam sebuah masyarakat yang menganut system

kekerabatan yang patrilineal atau matrilineal.

(Suparlan, 2008 : 369).

Selanjutnya menurut Oscar Lewis, dalam

Suparlan (1984), mengidentifikasi bahwa dalam

kebudayaan kemiskinan (terutama di perkotaan),

adalah sebagai konskwensi dari masyarakatdengan kepadatan tinggi, terbatasnya akses-akses

terhadap barang-barang konsumsi, layanan

kesehatan dan sarana pendidikan. Kebudayaan

kemiskinan juga bisa terwujud dalam situasi

ekonomi yang terdeferensiasi, berkembamngnya

system ekonomi uang, buruh upahan, dan sistem

produksi untuk keuntungan.Demikian juga pada

masyarakat yang mempunyai institusi social yang

lemah untuk mengontrol dan memecahkan

masalah sosial dan kependudukan, yangberdampak pada pertumbuhan tinggi dan

pengangguran juga tinggi.

Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu

adaptasi atau penyesuaian dan reaksi kaum

miskin terhadap kedudukan marginal mereka

dalam massyarakat yang berstrata kelas, sangat

individualistis berciri kapitalisme. Sehingga yang

mempunyai kemungkinan besar untuk memiliki

kebudayaan kemiskinan adalah kelompok 

masyarakat yang berstratarendah, mengalami

perubahan social yang drastic yang ditunjukkan

oleh ciri-ciri :

1. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi

kaum miskin kedalam lembaga-lembaga

utama masarakat, yang berakibat munculnya

rasa ketakutan, kecurigan tinggi, apatis dan

perpecahan;

2. Pada tingkat komunitas local secara fisik 

ditemui rumah-rumah dan pemukiman

kumuh, penuh sesak, bergerombol, dan

rendahnya tingkat organisasi diluar keluarga

inti dan keluarga luas;

3. Pada tingkat keluarga ditandai oleh masa

kanak-kanak yang singkat dan kurang

pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa,

atau perkawinan usia dini, tingginya angka

perpisahan keluarga, dan kecenderungan

Budaya Kemiskinan Di Masyarakat .............. ( Ketut Sudhana Astika)

Page 5: Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

8/7/2019 Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

http://slidepdf.com/reader/full/budaya-kemiskinan-di-masyarakat 5/7

24

Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010

terbentuknya keluarga matrilineal dan

dominannya peran sanak keluarga ibu padaanak-anaaknya;

4. Pada tingkat individu dengan ciri yang

menonjol adalah kuatnya perasaan tidak 

berharga, tidak berdaya, ketergantungan

yang tinggi dan rasa rendah diri;

5. Tingginya (rasa) tingkat kesengsaraan,

karena beratnya penderitaan ibu,lemahnya

struktur pribadi, kurangnya kendali diri dan

dorongan nafsu, kuatnya orientasi masa kini,

dan kekurang sabaran dalam hal menundakeinginan dan rencana masa depan,

perasaan pasrah/tidak berguna, tingginya

anggapan terhadap keunggulan lelaki, dan

berbagai jenis penyakit kejiwaan lainnya;

6. Kebudayaan kemiskinan juga membentuk 

orientasi yang sempit dari kelompoknya,

mereka hanya mengetahui kesulitan-

kesulitan, kondisi setempat, lingkungan

tetangga dan cara hidup mereka sendiri saja,

tidak adanya kesadaran kelas walau mereka

sangat sensitif terhadap perbedaan-

perbedaan status;

Dengan enam ciri tersebut sebenarnya sudah

dapat diidentifikasi kelompok masyarakat mana

yang termasuk dalam kategori masyarakat

dengan kebudayaan kemiskinan. Mungkin ciri-

ciri yang dikemukakan oleh Oscar Lewis tersebut

memang lebih banyak dapat dilihat pada ciri

masyarakat miskin perkotaan.

Tokoh-tokoh lain yang juga berbicara

tentang kemiskinan antara lain Chris manning

dan tadjuddin Noer Effendi (1983) yng berbicara

tentang kemiskinan di perkotaan dengan

penekanan pada masalah urbanisasi,

pengangguran dansektor informal perkotan,

membawa analisa mereka pada budaya

kemiskinan yang dilihat dari berbagai dimensi :ekonomi, politik dan social budaya. Dan hasil

seminar HIPIIS di Malang 13-17 Nopember

1079 adalah hasil monumental tentang

‘Kemiskinan Struktural’ yang mana pemikiran

para ahli ilmu sosial tentang kemiskinan

dihimpun oleh Alfian, Mely G. Tan dan Selo

Soemardjan (1980). Mereka menunjukkan

perhatian tentang kemiskinan dari berbagai

aspek.

Dorodjatun Kuntjoro Jakti yangmenghimpun sejumlah hasil penelitian

kependudukan dan masalah kemiskinan dalam

‘Kemiskinan di Indonesia’ (1986), melihat

masalah kemiskianan muncul sebagai dampak 

dari kebijakan pembangunan khususnya

pembangunan desa-kota yang tidak seimbang,

sehingga berdampak pada berkembangnya

fenomena kemiskinan (khususnya di perkotaan).

Pembicaraan secara khusus tentang ciri

kemiskinan yang lain adalah munculnya

fenomena sektor informal perkotaan seperti yang

dibicarakan Prof. Dr. Rusli Ramli,MS dalam

buku Sektor Informal Perkotaan : Pedagang Kaki

Lima (1992). Dikemukakan bahwa dimulai dari

kebijaksanaaan ekonomi, kesempatan kerja yang

terbatas, dan sifat para birokrat kota kepada para

pedagang kaki lima, dan terbentuknya jaringan

sosial antara pedagang kaki lima dengan berbagai

sektor lainnya, yang kemudian memberi wajah

dominan pada sebuah kota. Rusli Ramli juga

membicarakan tentang bagaimana latar belakang

social para pedagang antara lain : pola

orientasinya, organisasi, status perkawinan dan

  jumlah tanggungan, yang menggambarkan

tentang adanya kemiskinan.

Page 6: Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

8/7/2019 Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

http://slidepdf.com/reader/full/budaya-kemiskinan-di-masyarakat 6/7

25

4. KESIMPULAN

Ada banyak tokoh yang berbicara tentangkemiskinan secara individual atau secara

berkelompok, namun diketahui ada kelembagaan

yang secara khusus berbicara tentang kemiskinan

(HIPIIS) dengan konsepnya yang cukup bergema

yaitu konsep kemiskinan struktural.

Pembicaraan tentang teori kemiskinan

khususnya tentang kebudayaan kemiskinan,

sampai kini masih dapat digunakan pemikiran

teori dari Oscar Lewis (1955), yang teorinya

masih dirujuk oleh pemikir setelahnya termasuk antropolog Parsudi Suparlan yang lebih

mengkhususkan perhatiannya pada masalah

antropologi perkotaan.

Teori-teori lain yang berkembang dan

dikembangkan oleh para ahlinya, lebih banyak 

menyatakan bahwa kemiskinan adalah dampak 

dari masalah kependudukan khususnya migrasi

desa-kota yang tidak terkendali. Kemiskinan dan

kebudayaan kemiskinan terbentuk dari suatu

situasi, yang mengelompokkan masyarakat dalam

dua kategori, yaitu miskin dan tidak miskin.

Selain itu, kebudayaan kemiskinan membuat

sebuah kategorisasi dengan ciri-ciri khusus, dan

  juga dampak yang ditimbulkannya pada

kelompok miskin tersebut.

Kebudayaan kemiskinan merupakan

adaptasi dan penyesuaian oleh sekelompok orang

pada kondisi marginal mereka, tetapi bukan untuk 

eksistensinya karena sejumlah sifat dan sikap

mereka lebih banyak terbatas pada orientasi

kekinian dominannya sikap rendah diri, apatis,

dan sempitnya pada perancanaan masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Mely G. Tan, Selo Soemardjan : 1980.

kemiskinan Struktural, Suatu Bunga

rampai; 1980. Jakarta. Yayasan Ilmu-

ilmu social.Doyle, Paul Johnson : Teori Sosiologi, Klasik dan

 Modern (terjemahan : Robert MZ

Lawang). 1986. Jakarta. Penerbit PT

Gramedia.

Hauser, Phillip M.cs : Penduduk dan Masa

  Depan Perkotaan,1985. Jakarta.

Penerbit Yayasan Obor Indonesia.

Kompas, Penerbit Buku Kompas ;  Demokrasi,

Kekerasan, Disintegrasi: 2001. Jakarta.

Penerbit Buku KompasKuntjoro-Jakti, Dorodjatun : Kemiskinan di

 Indonesia; 1986. Jakarta. Yayasan Obor

Indonesia.

Lewis, Oscar : Kisah Lima Keluarga; 1988.

Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Herlianto, : Urbanisasi, Pembangunan, dan

Kerusuhan Kota; 1997. Penerbit Alumni

Bandung.

Manning Chris dan Tadjuddin Noer Effendi :

Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor 

  Informal di Kota; 1983. Yogjakarta

Penerbit PPSK-Univ Gajah Mada.

Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael

Dove : Nelayan dan Kemiskinan, Studi

  Ekonomi Antropologi di Dua Desa

Pantai; 1984. Jakarta. Penerbit Rajawali.

Ramli,Prof.Dr. Rusli : Sektor Informal Perkotaan

Pedagang kaki Lima; 1992. Jakarta.

Penerbit Ind-Hill-Co.

Sairin, Prof. Dr.Syafri : Perubahan Sosial

  Masyarakat Indonesia, Perspektif 

 Antrpologi;2002. Yogjakarta. Penerebit

Pustaka Pelajar.

Sunarto, Kamanto : Pengantar Sosiologi; 1993.

Jakarta. Lembaga Penerbit, Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia.

Budaya Kemiskinan Di Masyarakat .............. ( Ketut Sudhana Astika)

Page 7: Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

8/7/2019 Budaya Kemiskinan Di Masyarakat

http://slidepdf.com/reader/full/budaya-kemiskinan-di-masyarakat 7/7

26

Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010

Suparlan, Dr. Parsudi (penyunting): Kemiskinan

  Di Perkotaan, Bacaan Untuk   Antropologi Perkotaan; 1984. Jakarta.

Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan

Obor Indonesia.

Suparlan, Parsudi : Dari Masyarakat Majemuk 

  Menuju Masyarakat Multikultural;(buku kumpulan tulisan Prof. Parsudi

Suparlan, Ph.D. In Memorium, editor :

Chrysnanda. DL dan Yulizar Syafri);

2008. Jakarta. Penerbit JPKIK.