35
LAPORAN KASUS : Seorang laki-laki usia 62 tahun dengan Decompensatio Cordis NYHA IV dan Anemia Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter Pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Karanganyar Pembimbing : dr. H. Bambang Wuriatmodjo, Sp.PD Diajukan Oleh : Kiki Rizki Amaliah, S.Ked J500.080.100 PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

Case Decomp NYHA IV

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Case Decomp NYHA IV

Citation preview

LAPORAN KASUS :Seorang laki-laki usia 62 tahun dengan Decompensatio Cordis NYHA IV dan Anemia

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian PersyaratanDalam Menyelesaikan Pendidikan Profesi DokterPada Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Karanganyar

Pembimbing : dr. H. Bambang Wuriatmodjo, Sp.PD

Diajukan Oleh :Kiki Rizki Amaliah, S.KedJ500.080.100

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTERFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA2012

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Pasien Tn. RJ, laki-laki berusia 62 tahun. Sawur 1/3, Genengsari, Polokarto. Status perkawinan menikah. Agama islam, suku bangsa jawa Indonesia. Nomer registrasi 18.23.xx. Masuk rumah sakit tanggal 25 Desember 2012

Presentasi Kasus

Seorang pasien datang ke IGD RSUD Karanganyar diantarkan oleh keluarga dengan keluhan sesak napas sejak pagi SMRS. Sesak ini dirasakan sudah lama sekitar 3 tahun, kumat-kumatan. Pasien merasakan sesak saat beraktivitas ataupun istirahat. Pasien juga bercerita bahwa pasien sering terbangun malam hari karena sesak dan batuk, batuk berdahak dan kadang keluar dahaknya berwarna putih. Pasien juga merasa nyaman tidur dengan 3 bantal dibandingkan dengan 1 bantal. Selain itu pasien juga mengeluhkan perut terasa ampeg dan sakit, kepala pusing berputar, mual tetapi tidak muntah, makan dan minum tidak ada keluhan, buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Pasien mengaku sering mondok karena keluhan yang sama. Dan 20 hari sebelumnya pasien juga sehabis mondok di RSUD Karanganyar dengan keluhan yang sama disertai anemia yaitu Hb 3,0 mg/dL dan pada saat dilakukan laboratorium feses ditemukan adanya cacing Ancylostomiasis duodenale. Pasien mengakui memiliki riwayat hipertensi, sudah lebih dari 5 tahun tidak terkontrol, dan pasien menyangkal adanya riwayat diabetes mellitus. Di keluarga pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi, dan diabetes mellitus di keluarganya.Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien cukup, dengan kesadaran compos mentis, kemudian vital sign tinggi badan 150 cm, berat badan 38 kg, status gizi kurang, tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 80 x/menit irama reguler, suhu 36,5C, respiratory rate 24 x/menit, heart rate 80 x/menit irama iregular. Pada pemeriksaan kepala leher conjungtiva tidak anemis dan tidak ikterik, didapatkan peningkatan JVP, dan tidak ditemukan pembesaran kelenjer getah bening parotis, papil lidah tidak atrofi. Pada pemeriksaan thoraks cor ditemukan bunyi jantung 1 dan 2 iregular, bising tidak ditemukan, gallop S3 ditemukan, dan pada perkusi didapatkan kesan jantung melebar ke lateral. Pada pulmo ditemukan suara dasar vesikular, ronki basah basa ditemukan, wheezing tidak ditemukan. Pada abdomen adanya nyeri tekan pada regio epigastrium.Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan adalah laboratorium kimia darah dan EKG. Pada hasil pemeriksaan laboratorium yang didapatkan angka leukosit 5.700, eritrosit 3,59 juta/mm3, hemoglobin 8,7 g/dL, hematocrit 31,7 vol %, MCV 88,3 fL, MCH < 24,7 pg, MCHC < 27,4 g/dL, dan angka trombosit 243.000/mm3. Dari hasil EKG didapatkan ST elevasi di II III AVF, ST depresi di I AVL, poor R wave progresion di V5 V6.

Diagnosis

Decompensatio Cordis NYHA IV dan Anemia Diagnosis anatomis: LVH (Left Ventricular Hypertrophi) Diagnosis fungsiologis: NYHA IV Diagnosis etiologis: Hipertensi

Penatalaksanaan

Pada pasien ini di IGD diberikan terapi :1. Inf. RL 20 tpm2. Inj. Pragesol 1 ampul / 12 jam3. Inj. Furosemid 1 ampul / 8 jam4. Inj. Ranitidin 1 ampul / 12 jam5. ISDN 5 mg 3 x 16. Captopril 25 mg 3 x 1

Prognosis

Quo ad sanam: Dubia ad malam Quo ad vitam: Dubia ad malam Quo ad fungsionam: Dubia ad malam

Follow Up

Hari pertama menjalani rawat inap di Bangsal Mawar I, pasien masih mengeluhkan sesak napas, tetapi sudah tidak memakai bantal tinggi, terkadang masih batuk malam hari, berdahak warna putih, dan susah tidur. Pusing berputar, perut masih terasa sakit dan ampeg, mual tetapi tidak muntah, BAK tidak ada keluhan, belum BAB 4 hari. Pada hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien cukup, keadaran compos mentis, vital sign tekanan darah 160/100, nadi 80 x/menit, respiratory rate 28 x/menit, suhu 36,3C, heart rate 92 x/menit. Pada pemeriksaan fisik kepala leher conjungtiva tidak anemis ataupun ikterik, didapatkan peningkatan JVP, dan tidak ditemukan pembesaran kelenjer getah bening, papil atrofi (-). Pada pemeriksaan thorak, pulmo suara dasar vesikuler, RBB (+), wheezing (-). Cor suara jantung 1 dan 2 murni ireguler, tidak didapatkan bising, gallop S3 (+). Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan pada regio epigatrium, dan tidak didapatkan adanya pembesaran hati ataupun lien. Untuk program terapi inj. Pragesol dan inj. Ranitidin dihentikan. Kemudian mendapat tambahan inj. Omeprazole 1 ampul / 12 jam dan Dulcolax tab 1 x 1.Hari kedua menjalani rawat inap di Bangsal Mawar I pasien masih mengeluhkan sesak napas tetapi sudah berkurang dibanding kemarin, sudah tidak memakai bantal tinggi, batuk malam hari sudah berkurang dan pasien bisa tidur. Pusing berputar (+), lemas (+), perut masih terasa sakit dan ampeg, mual tetapi tidak muntah, BAK tidak ada keluhan, belum BAB 5 hari. Pada hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien lemah, keadaran compos mentis, vital sign tekanan darah 140/90, nadi 82 x/menit, respiratory rate 24 x/menit, suhu 36,5C, heart rate 92 x/menit. Pada pemeriksaan fisik kepala leher conjungtiva tidak anemis ataupun ikterik, didapatkan peningkatan JVP, dan tidak ditemukan pembesaran kelenjer getah bening, papil atrofi (-). Pada pemeriksaan thorak, pulmo suara dasar vesikuler, RBB (+), wheezing (-). Cor suara jantung 1 dan 2 murni ireguler, tidak didapatkan bising, gallop S3 (+). Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan pada regio epigatrium, dan tidak didapatkan adanya pembesaran hati ataupun lien. Untuk program terapi masih dilanjutkan.

Teori

A. DECOMPENSATIO CORDIS1. Definisi Decompensatio cordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung. Atau dapat diartikan sebagai suatu kelainan fungsi ataupun struktural yang mengganggu kemampuan jantung untuk berfungsi (Aziz, dkk., 2006).

2. EtiologiEtiologi pada decompensasi cordis meliputi :2.1 Kerusakan langsung pada jantung (berkurang kemampuan berkontraksi), infark myocarditis, myocarial fibrosis, aneurysma ventricular 2.2 Ventricular overload terlalu banyak pengisian dari ventricle 2.2.1 Overload tekanan (kebanyakan pengisian akhir : stenosis aorta atau arteri pulmonal, hipertensi pulmonari 2.2.2 Keterbatasan pengisian sistolik ventricular 2.2.3 Pericarditis konstriktif atau cardomyopati, atau aritmi, kecepatan yang tinggi, tamponade, mitral stenosis 2.2.4 Ventrucular overload (kebanyakan preload) regurgitasi dari aorta (Barbara,2005).

3. Klasifikasi Berdasarkan hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan dekompensasi dapat dibagi berdasarkan klisifikasi sebagai berikut: 3.1 NYHA I : Pasien dengan tidak memiliki keluhan dengan aktivitas apapun3.2 NYHA II : Pasien mengalami sedikithambatan aktivitas akan tetapi jika ada kegaiatan berlebih akan menimbulkan capek, berdebar, serta sesak 3.3 NYHA III : Pasien mengalami aktivitas jasmani yang sangat terbatas dan hanya merasa sehat jika beristirahat3.4 NYHA IV : Pasien dengan sedikit saja bergerak langsung menimbulkan sesak nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak nafas (Barbara, 2005)

4. Manifestasi KlinisTanda dominan : meningkatnya volume intravaskuler kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat penurunan curah jantung. Manifestasi kongesti dapat berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi.4.1 Gagal jantung kiri Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri krn ventrikel kiri tak mampu memompa darah yang datang dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :4.1.1 Dispnoe terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnu.Bebrapa pasien dapat mengalami ortopnu pda malam hari yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND)4.1.2 Mudah lelah terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme, juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk4.1.3 Kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik4.1.4 Batuk4.2 Gagal jantung kanan 4.2.1 Kongestif jaringan perifer dan viseral4.2.2 Edema ekstrimitas bawah (edema dependen), biasanya edema pitting, penambahan berat badan4.2.3 Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena di hepar4.2.4 Anorexia dan mual. Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga abdomen4.2.5 Nokturia (Junaidi,2001)

5. Diagnosis 5.1 AnamnesisDispnue deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dispnue, lemas, anoreksia dan mual.5.2 Pemeriksaan FisikDidapatkan takikardi, gallop, peningkatan JVP, kardiomegali, ronkhi basah halus dibasal paru, edema. Didapatkan juga asites dengan pasien karena penyakit katup mitral, efusi pleura dan hepatomegali5.3 Pemeriksaan Penunjang5.3.1 EKG untuk melihat kelainan dari perekamann jantung seperti Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia kerusakan ritme seperti takikardi, bradikardi, supraventrikular takikardi dan fibrilasi atrial5.3.2 Foto thorak dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, edema atau efusi fleura yang menegaskan diagnisa CHF5.3.3 Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodilusi darah dari adanya kelebihan retensi air5.3.4 Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau penurunan kontraktilitas ventricular5.4 Kriteria diagnosis 5.4.1 Kriteria MayorParoxysmal nocturnal dyspnue, distensi vena leher, peningkatan JVP, ronkhi, kardiomegali, edema paru akut, gallop, refluks hepatojuguler positif5.4.2 Kriteria Minor Edema ekstermitas, batuk malam, sesak saat aktivitas, hepatomegali, efusi pleura, kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal, takikardi (120x/menit). Dari kriteria mayor dan minor minimal didapatkan 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor untuk dapat menegakkan diagnosis (Junaidi, 2001).

6. Perikarditis, temponade dan infarkPatofisiologi

Stenosis aorta, hipertensiRegargitasi aorta

Preaload meningkatKontraktilitas menurun Afterload meningkat

Pemendekan miokard

Ventrikel kiri gagal memompaGangguan irama (AF)Peningkatan residual

Turbulensi Mekanisme kompensasi gagal

left atrial hipertrofi & tekanan left atrial

Bendungan dan peningkatan tekanan pada vena pulmonalis

edema

Bendungan dan tekanan pada arteri pulmonalis

Peningkatan beban sistolik pada ventrikel kanan

Ventrikel kanan gagal memompa

CO right atrial menurun & tekanan akhir diastolik meningkat

Bendungan vena sistemik & tekanan vena cava

Hambatan arus balik vena & menimbulkan bendungan sistemik

Ventrikel kiri dan kanan gagal memompa

Decompensatio Cordis / Gagal jantung kongestive

Gambar 1. Patofisiologi Congestive Heart Failure (CHF), (Wilson, 2003)6.1 Decomp KiriKongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel kiritidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan sdalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang terjadi meliputi dipsnea, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat (takikardi) dengan bunyi jantung S3, kecemasan dan kegelisahan. Dispnea terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoili yang mengganggu pertukaran gas. Dispnea bahkan dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal. Dapat juga terjadi ortopnu (kesulitan bernapas saat berbaring).Dispnea terjadi akibat penimbunan penimbunan cairan dalam alveoli yang Paroxismal Nokturnal Dispnea (PND) pada pasien yang mengalami dispnea pada malam hari. Hal ini terjadi bila pasien yang sebelumnya duduk lama dengan posisi kaki dan tangan dibawah, pergi berbaring ke tempat tidur. Setelah beberapa jam cairan yang tertimbun di ekstremitas yang sebelumnya berada dibawah mulai diabsorsi, dan ventrikel kiri yang sudah terganggu tidak mampu mengosongkan peningkatan volume denagn adekuat. Akibatnya, tekanan dalam sirkulasi paru meningkat dan cairan berpindah ke alveoli. Batuk, yang berhubungan dengan gagal ventrikel kiri bisa kering dan tidak produktif, tetapi yang paling sering adalah batuk yang menghasilkan sputum berbusa dalam jumlah banyak yang kadang disertai dengan bercakdarah. Mudah lelah, terjadi akibat curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pmbuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi akibatnya meningkatnya energi yang digunakan untuk bernapas dan insomnia yang terjadi akibat distress pernapasan dan batuk. Kegelisahan dan kecemasan, terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernapas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik. 6.2 Decomp KananBila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti visera danjaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena leher, asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritoneum), anoreksi dan mual, nokturia dan lemah. Edema, dimulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secarabertahap bertambah ke atas tungkai dan paha dan akhirnya ke genitalia eksterna dan tubuh bagian bawah. Pitting edema adalah edema yang akan tetap cekung bahkan setelah penekanan ringan dengan ujung jari. Hepatomegali, dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena di hepar. Bila proses ini berkembang, makate kanan dalam pembuluh portal meningkat sehingga cairan terdorong keluarrongga abdomen, suati kondisi yang dinamakan asites. Pengumpulan cairandalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan pada diafragma dan distress pernapasan.

7. Penatalaksaan 7.1 Pemberian DiuretikDigunakan pada pasien dengan retensi air. Pemakaian dapat diberikan intravena atau oral. Furosemid dengan dosisnya 20-40 mg. Bumetamid dengan dosisnya 0,5-1,0 mg. Torasemid dengan dosis 10-20 mg.

7.2 Pemberian Vasodilator7.2.1 ISDN Digunakan untuk mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke volume. Dosis dimulai dengan 1mg/jam dan ditingkatkan hingga 10 mg/jam7.2.2 Sodium NitropusidDigunakan untuk pasien gagal jantung yang berat pada pasien dengan predominan ada peningkatan after load seperti hipertensi atau regurgitasi mitral. Dosis dimulai daro 0,3-5 mg/kg/menit7.2.3 NesitiridDigunakan untuk memperbaiki keluhan sesak nafas, mengurangi pre load, after load dan meningkatkan cardiac output. Pemberian nesiritid lebih baik dibanding ISDN namun penggunaannya belum banyak digunakan secara klinis. Dosisnya 2mg/kg secara bolus (Barbara, 2005).7.3 Pemberian Inotropik 7.3.1 DopaminDigunakan untuk memperbaiki kontraktilitas curah jantung isi sekuncup dan pembuluh koroner. Pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang alpha-adrenergik beta-adrenergik. Pada dosis maximal 10-20 mg/kg BB akan menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja jantung7.3.2 DobutaminDosis sama dengan dopamine, digunakan untuk memperbaiki isi sekuncup, curah jantung,vasokonstriksi dan tachicardi

7.4 Pemberian MorfinMorfin diindikasikan pada stadium awal apabila pasien sesak dan gelisah. Dosis diberikan bolus IV 3 mg setelah dipasang intravenous line (Wilson, 2003).

8 PrognosisAd Vitam : dubia ad malam Ad Sanatiam : dubia ad malamAd Fungsinal: dubia ad malam

B. ANEMIA1. DefinisiAnemia adalah suatu kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Tingkat normal dari hemoglobin umumnya berbeda pada laki-laki dan perempuan. Untuk pria, anemia biasanya didefinisikan sebagai kadar hemoglobin kurang dari 13,5 gram/100 ml dan pada wanita sebagai hemoglobin kurang dari 12,0 gram/100 ml. Definisi ini dapat sedikit berbeda tergantung pada sumber dan referensi laboratorium yang digunakan (Supandiman, 2003).Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 gr/dL dan Ht < 41% pada laki-laki atau Hb < 12 gr/dL dan Ht < 37% pada perempuan (Bakta, dkk., 2009).

2. Etiologi2.1 Anemia akibat kehilangan darahSel darah merah dapat hilang melalui perdarahan, yang dapat terjadi perlahan-lahan selama jangka waktu yang panjang, dan sering bisa tidak terdeteksi. Jenis perdarahan kronis umumnya hasil dari berikut ini:2.1.1 Gastrointestinal kondisi seperti maag, wasir, gastritis (radang lambung), dan kanker.2.1.2 Penggunaan obat anti-inflammatory drugs (NSAID) seperti ibuprofen, aspirin, yang dapat menyebabkan borok dan gastritis.2.1.3 Menstruasi dan persalinan pada wanita, terutama jika perdarahan menstruasi yang berlebihan dan jika ada kehamilan kembar (Bakta dkk., 2009) 2.2 Anemia Akibat Penurunan Produksi Darah atau rusak Red CellDengan jenis anemia, tubuh dapat memproduksi sel darah terlalu sedikit atau sel-sel darah tidak berfungsi dengan benar. Dalam kedua kasus, anemia dapat hasil. Sel darah merah mungkin rusak atau menurun karena kelainan sel darah merah atau kurangnya suatu mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk sel darah merah berfungsi dengan benar. Kondisi yang terkait dengan penyebab anemia adalah sebagai berikut:2.2.1 Anemia sel sabit2.2.2 Anemia defisiensi besi2.2.3 Kekurangan vitamin2.2.4 Sumsum tulang dan masalah sel induk2.2.5 Kondisi kesehatan lainnya (bakta dkk., 2009).

3. Manifestasi KlinisBeberapa pasien dengan anemia tidak memiliki gejala. Lainnya dengan anemia mungkin merasa: 3.1 Lelah 3.2 Mudah lelah3.3 Tampak pucat3.4 Palpitasi (perasaan jantung berdebar-debar) 3.5 Menjadi sesak napas

3.6 Tambahan gejala termasuk: 3.6.1 Rambut rontok 3.6.2 Malaise (badan terasa tidak enak badan) 3.6.3 Memburuknya masalah jantung Perlu dicatat bahwa jika anemia sudah ada sejak lama (anemia kronis), tubuh dapat menyesuaikan diri dengan kadar oksigen rendah dan orang tersebut mungkin tidak merasa berbeda kecuali anemia menjadi parah. Di sisi lain, jika anemia terjadi secara cepat (anemia akut), pasien mungkin mengalami gejala yang signifikan relatif cepat (Supandiman, 2003).

4. Diagnosis Langkah pertama dalam diagnosis apapun adalah pemeriksaan fisik untuk menentukan apakah pasien memiliki gejala anemia dan komplikasi. Karena anemia bisa menjadi gejala pertama dari penyakit serius, menentukan penyebabnya sangat penting. Ini mungkin sulit, khususnya pada orang tua, kurang gizi, atau orang dengan penyakit kronis, anemia dapat disebabkan oleh satu faktor atau lebih. Sebuah riwayat kesehatan, pribadi, dan asupan makanan harus dilaporkan (Simon, 2009).4.1 Hitung darah lengkapTingkat keparahan anemia dikategorikan oleh rentang konsentrasi hemoglobin berikut:4.1.1 Anemia ringan dianggap ketika hemoglobin adalah antara 9,5-13,0 g / dL4.1.2 Anemia Sedang dipertimbangkan ketika hemoglobin adalah antara 8,0-9,5 g / dL4.1.3 Anemia berat dianggap untuk konsentrasi hemoglobin di bawah 8,0 g / dL4.1.4 Hematokrit, rentang anemia untuk hematokrit umumnya jatuh di bawah:4.1.4.1 Anak-anak usia 6 bulan - 5 tahun: Di bawah 33%4.1.4.2 Anak-anak usia 5 tahun - 12 tahun: Di bawah 35%4.1.4.3 Anak-anak usia 12 tahun - 15 tahun: Di bawah 36%4.1.4.4 Dewasa pria: Di bawah 39%4.1.4.5 Dewasa wanita yang tidak hamil: Di bawah 36%4.1.4.6 Ibu hamil Dewasa: Di bawah 33%Pengukuran hemoglobin lain seperti hemoglobin sel hidup rata-rata dan berarti konsentrasi hemoglobin sel hidup (MCHC) juga dapat dihitung. Nilai MCV (MCV) adalah pengukuran ukuran rata-rata sel darah merah. MCV meningkat ketika sel darah merah lebih besar dari normal (makrositik) dan menurun ketika sel darah merah lebih kecil dari normal (mikrositik). Sel makrositik dapat menjadi tanda anemia yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12, sedangkan sel mikrositik adalah tanda kekurangan zat besi anemia atau thalassemia (bakta dkk., 2009)

Diskusi

Dari hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluh sesak nafas. Sesak dirasakan saat penderita berbaring dan tidak melakukan aktivitas apapun (Dypsneu d`effort). Selama tidur, pasien sering terbangun tiba-tiba karena merasa sesak nafas (paroxysmal nocturnal dyspneu).Pada riwayat penyakit dahulu didapatkan riwayat hipertensi pada pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi basah di bagian basal paru, gallop S3, kardiomegali.Kemudian dari hasil pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan adalah laboratorium kimia darah dan EKG. Pada hasil pemeriksaan laboratorium yang didapatkan angka leukosit 5.700, eritrosit 3,59 juta/mm3, hemoglobin 8,7 g/dL, hematocrit 31,7 vol %, MCV 88,3 fL, MCH < 24,7 pg, MCHC < 27,4 g/dL, dan angka trombosit 243.000/mm3. Dari hasil EKG didapatkan ST elevasi di II III AVF, ST depresi di I AVL, poor R wave progresion di V5 V6. Pendekatan diagnosis pada pasien sesak nafas, dapat membedakan sesak nafas kardiak atau pulmonal. Dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Penyakit kausa KardiovaskularNon Kardiovaskular

GEJALAGagal jantung kiri (kongestif)Cor pulmonalInfark miokardiumKelainan katub jantungInfeksi (endokarditis, miokarditis, perikarditis)Emboli paruPenyakit Paru Obstruksi KronikInfeksi pada paru

Sesak napas ++++++++

Nyeri dada >30 menit++-++++-

Paroxismal Nocturnal Dyspnea+-++-++-

Terdengar S3 & S4+--++---

Tidak Bising jantung+---++++

Tidak Demam +++-/+-+-/+-

Tabel 1. Perbedaan sesak napas kardiak dan pulmonal

Menurut Framingham kriteria yang dipakai untuk mendiagnosis Congestive Heart Failure (CHF) yaitu :Kriteria mayorKriteria Minor

Paroxysmal nocturnal dypsneuEdema ekstremitas

Distensi vena leherBatuk malam hari

Ronkhi basah halusDypsneu d`effort

KardiomegaliEfusi pleura

Edema paru akutPenurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

Gallop S3Takikardi (>120/menit)

Peningkatan tekanan vena jugularis

Refluk hepatojugular

Tabel 2. Kriteria Framingham Congestive Heart Failure (CHF) (Panggabean, 2006)Untuk menegakkan diagnosa CHF maka diperlukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor yang terjadi secara bersamaan. Dari kasus di atas didapatkan 2 kriteria mayor yaitu Paroxysmal nocturnal dypsneu dan ronkhi basah halus, sedangkan untuk kriteria minor didapatkan 3 kriteria yaitu takikardia, batuk malam hari dan dypsneu d`effort. Dari penilaian di atas sudah mencukupi untuk mendiagnosa sebagai congestive heart failure.Sesak napas yang dialami pasien seringkali terjadi di malam hari (paroximal nocturnal dyspnea) atau pada saat pasien telentang ketika tidur. Posisi ini meningkatkan volume darah intratorakal dan jantung yang lemah akibat penyakit misalnya gagal jantung, tidak dapat mengatasi peninggian beban ini. Kerja pernapasan meningkat akibat kongesti vaskular paru oleh edema di alveoli yang mengurangi kelenturan paru. Waktu timbulnya lebih lambat dibandingkan dengan ortopnea (kesulitan bernapas ketika berbaring lurus) karena mobilisasi cairan edema perifer dan peninggian volume intravaskuler pusat. PND juga dapat melalui mekanisme berikut : tidur pada malam hari akan menurunkan adrenergic support terhadap fungsi ventrikel. Akibatnya, aliran balik darah meningkat sehingga ventrikel kiri kelebihan beban. Akhirnya timbul kongesti pulmonar akut yang menyebabkan penekanan nokturnal di pusat pernapasan sehingga timbullah dispnea. Pada pasien terjadinya ronki basah basal dikarenakan jika tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru meningkat melebihi tekanan onkotik pembuluh darah maka akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Apabila kecepatannya melebihi kecepatan drainase limfatik maka akan timbul edema interstisial. Bila terjadi peningkatan tekanan lebih lanjut, cairan akan merembes ke alveoli sehingga menimbulkan edema paru. Seperti klarifikasi ronchi basah yaitu bunyi yang terdengar bila terdapat cairan di dalam bronkus atau alveoli. Ronchi terdengar di basal medial paru karena cairan terakumulasi di bagian bawah paru karena pengaruh gaya gravitasi. Sedangkan berdasarkan NYHA (New York Heart Association) klasifikasi fungsional CHF yaitu :Kelas 1Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan

Kelas 2Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan

Kelas 3Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan

Kelas 4Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring

Tabel 3. Klasifikasi fungsional CHF berdasarkan NYHA (New York Heart Association)(Panggabean. 2006)Menurut keterangan pasien, pasien merasakan keluhan semakin berat jika harus beristirahat. Dari keterangan ini didapatkan pasien masuk ke dalam kelas 4. Jadi dapat ditarik kesimpulan diagnosa pasien adalah congestive heart failure kelas 4.Hasil EKG didapatkan kesan iskemik lateroinferior, dan didapatkan adanya R wave progression yang dapat di diagnosis banding dengan LVH, PPOK, RBBB, dan MI anteroseptal. Pada pasien ini secara klinis didaptkan konfigurasi jantung yang melebar ke arah lateral, dicurigai adanya LVH pada pasien ini. Kecurigaan adanya LVH dapat dikonfirmasikan dengan pemeriksaan rontgen thorax agar dapat menilai adanya kardiomegali. LVH sendiri merupkan gagal jantung kiri akibat kelemahan dari ventrikel kiri sehingga dapat meningkatkan tekanan vena pulmonalis yang mengakibatkan terjadinya sesak napas dan ortopneu.Pendekatan diagnosis anemia pada pasien ini secara klinis belum dapat digali dengan baik. Sebaiknya dengan adanya anemia, perlu penggalian anamnesis seperti riwayat perdarahan, riwayat adanya transfusi atau tidak, riwayat penggunaan obat pada pasien, dan lain-lain. Perlu diingat anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit. Penentuan kasus dasar juga penting pada pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada pasien dengan anemia. Dari pasien ini sebelumnya pernah dirawat dengan diagnosis anemia dan kemudian dilakukan pemeriksaan feses dan ditemukan cacing Ancylostoma duodenale. Dan sari hasil laboratorium kimia darah didapatkan hemoglobin 8,7 g/dL, MCV 88,3 fL, MCH < 24,7 pg, MCHC < 27,4 g/dL. Dari hasil tersebut didapatkan MCH < 24,7 pg (27-31), MCHC < 27,4 g/dL (32-37), yaitu suatu anemia hipokromik mikrositer. Maka dapat di diagnosis banding anemia defisiensi besi, anemia defisiensi besi, atau anemia defisiensi vitamin B12.Dari hasil diatas, pasien ini menderita anemia hipokromik mikrositer. Penyebab anemia hipokromik mikrositer adalah: 1. Anemia Defisiensi BesiAnemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesia paling banyak disebabkan oleh infeksi cacing tambang (ankilostomiasis). Infeksi cacing tambang pada seseorang dengan makanan yang baik tidak akan menimbulkan anemia. Bila disertai malnutrisi, baru akan terjadi anemia. Penyebab lain:a. Diet yang tidak mencukupib. Absorpsi yang menurunc. Kebutuhan yang meningkat pada kehamilan, laktasid. Perdarahan pada saluran cerna, menstruasi, donor darahe. Hemoglobinurianf. Penyimpanan besi yang berkurang, seperti pada hemosiderosis paru2. Anemia pada Penyakit KronisPenyakit ini banyak dihubungkan dengan berbagai penyakit infeksi, seperti infeksi ginjal, paru (bronkiektasis, abses, empiema, dll), inflamasi kronik seperti arthritis reumatoid, dan neoplasma seperti limfoma maligna dan nekrosis jaringan.3. Anemia Defisiensi Vitamin B12Kekurangan vitamin B12 bisa disebabkan oleh faktor ekstrinsik dan faktor instrinsik. Akibat faktor intrinsik terjadi karena gangguan absorpsi vitamin yang merupakan penyakitherediter autoimun, sehingga pada pasien mungkin dijumpai penyakit-penyakit autoimun lainnya. Kekurangan vitamin B12 karena faktor intrinsik ini tidak dijumpai di Indonesia. Yang lebih sering dijumpai di Indonesia adalah penyebab intrinsik karena kekurangan masukan B12 dengan gejala-gejala yang tidak berat.Dari pasien ini pernah dilakukan pemeriksaan feses dan ditemukan adanya telur cacing Ancylostoma duodenale. sehingga pada pasien ini anemianya disebabkan karena infeksi Ancylostoma duodenale. Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting yang membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan submukosa jaringan intestinal. Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus cacing menyebabkan tekanan negatif yang menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam kapsul bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol yang menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing tambang akan memperberat kerusakan pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan sekresi berbagai antikoagulan termasuk diantaranya inhibitor faktor VIIa (tissue inhibitory factor). Cacing ini kemudian mencerna sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan enzim hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi dari darah tersebut akan keluar melalui saluran cerna. Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi cacing tambang tergantung pada status besi tubuh dan gizi pejamu, beratnya infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita), serta spesies cacing tambang dalam usus. Infeksi A. duodenale menyebabkan perdarahan yang lebih banyak dibandingkan N. americanus.Pada daerah-daerah tertentu anemia gizi diperberat keadaannya oleh investasi cacing. terutama oleh cacing tambang. Cacing tambang menempel pada dinding usus dan memakan darah. Akibat gigitan sebagian darah hilang dan dikeluarkan dari dalam badan bersama tinja. Jumlah cacing yang sedikit belum menunjukkan gejala klinis tetapi bila dalam jumlah yang banyak yaitu lebih dari 1000 ekor maka. orang yang bersangkutan dapat menjadi anemia.

Kesimpulan

Seorang laki-laki usia 79 tahun dengan diagnosis Decompensatio Cordis NYHA IV dengan Anemia

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Rani A, Sidartawan, Anna, Ika, Nafriadi, Arif. 2006. Gagal Jantung Kronik. PAPDI. Edisi II. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hlm 54-56Bakta, I. M., Suega, K., Dharmayuda T. G., 2009. Anemia Defisiensi Besi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: FKUIGandhahusada S., Henry H., dan Pribadi W., 1998. Parasitologi Kedokteran edisi 3. Jakarta: FKUI PressJunadi P., Atiek S., dan Husna A., 2001. Kapita selekta Kedokteran Media Aesculapius. Fakultas Kedokteran Universita Indonesia. Hal. 206 208Supandiman I. 2003. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik. Q-communication. Jakarta : 6-20Wilson L. M., 2003. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit), Buku 2, Edisi 4, Hal. 704 705 & 753 763

3