56
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama pada beberapa Negara industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia (Hess OM, 2007). Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun ada Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia (Darmojo B, 2004). Di antara 10 penyakit terbanyak pada sistem sirkulasi darah, stroke tidak berdarahah atau infark menduduki urutan penyebab kematian utama, yaitu sebesar 27 % (2002), 30% ( 2003) , dan 23,2%( 2004). Gagal jantung menempati urutan ke-5 sebagai penyebab kematian yang terbanyak pada sistim sirkulasi pada tahun 2005 (Hardiman A, 2007). Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya gagal jantung di Negara Barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi mempunyai

Lapsus Decomp Cordis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Lapsus Decomp Cordis

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama pada

beberapa Negara industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia

(Hess OM, 2007). Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia

belum ada, namun ada Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa

penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab kematian utama di Indonesia

(26,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa

penyakit jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit

penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia (Darmojo B,

2004). Di antara 10 penyakit terbanyak pada sistem sirkulasi darah, stroke

tidak berdarahah atau infark menduduki urutan penyebab kematian utama,

yaitu sebesar 27 % (2002), 30%( 2003) , dan 23,2%( 2004). Gagal jantung

menempati urutan ke-5 sebagai penyebab kematian yang terbanyak pada

sistim sirkulasi pada tahun 2005 (Hardiman A, 2007).

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya

gagal jantung di Negara Barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi

mempunyai kontribusi untuk terjadinya gagal jantung sebesar 75% yang

termasuk didalamnya bersamaan dengan penyakit jantung koroner. Gagal

jantung dengan sebab yang tidak diketahui sebanyak 20 – 30% kasus

(Hardiman A, 2007).

Penegakkan diagnosis yang baik sangat penting untuk penatalaksanaan

gagal jantung baik akut maupun kronik. Diagnosis gagal jantung meliputi

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan

anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan modal dasar untuk

menegakkan diagnosis.

Penatalaksanaan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara umum/

non farmakologi, farmakologi dan penatalaksanaan intervensi.

Penatalaksanaan ini tergantung penyebab gagal jantung yang terjadi, dan

Page 2: Lapsus Decomp Cordis

2

fasilitas yang tersedia. Dengan penatalaksanaan yang baik diharapkan akan

terwujud pengurangan angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan

gagal jantung.

1.2 Tujuan

Tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui lebih

dalam mengenai congestive heart failure serta untuk memenuhi tugas

kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Malang di RSUD Kanjuruhan kepanjen.

Page 3: Lapsus Decomp Cordis

3

BAB II

STATUS PENDERITA

2.1 Identitas Penderita

Nama : Ny. N

Umur : 63 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Bantur

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

Suku/asal : Jawa

Tanggal periksa : 26 Juli 2013

2.2 Anamnesis

√ : sendiri √ : orang lain

Page 4: Lapsus Decomp Cordis

4

1. Keluhan Utama: Sesak nafas

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan dengan keluhan sesak

nafas yang dirasakan sejak ± 2 minggu yang lalu dan memberat sejak 1

minggu ini. Sesak bertambah berat jika digunakan beraktifitas. Dipakai

jalan sebentar pasien sudah kelelahan dan sesak nafas, dan 3 hari ini

istirahat pun pasien juga sesak sehingga pasien sulit tidur, pasien

membutuhkan 3 – 4 bantal saat tidur agar tidak sesak. Pasien juga

mengeluh dada kirinya terasa berdebar-debar, nyeri sampai menembus

punggung kiri terus menerus dan batuk kering hilang timbul terutama

pada malam hari sejak 2 minggu ini. Selain itu juga kedua kakinya tiba-

tiba membengkak sudah 3 hari ini. BAB dan BAK pasien dalam batas

normal. Selama sakit pasien sudah pernah berobat ke puskesmas tetapi

tidak ada perbaikan, sehingga pasien dibawa ke Rumah sakit oleh

keluarganya.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

- Tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.

- Riwayat hipertensi (+) dan tidak minum obat

- Riwayat asma (-)

- Riwayat alergi makanan (-)

- Penyakit diabetes melitus (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga :

- Hipertensi (+) dari ayah

- Asma (-)

- Penyakit jantung (-)

- Penyakit paru (-)

- DM (-)

- Alergi obat/makanan (-)

- Sakit maag (-)

- Tipes (-)

5. Riwayat Kebiasaan

- Riwayat merokok (-)

Page 5: Lapsus Decomp Cordis

5

- Minum kopi (+)

- Minum alkohol (-)

- Olah raga (+)

- Suka makan yang asin-asin dan jeroan (+)

2.3 AnamnesisSistemik

1. Kulit: kulit gatal (-)

2. Mata: pandangan mata berkunang-kunang (-), penglihatan kabur (-),

ketajaman penglihatan berkurang (-)

3. Hidung: tersumbat (-), mimisan (-)

4. Telinga: pendengaran berkurang (-), berdengung (-), cairan (-)

5. Mulut: sariawan (-), lidah terasa pahit (-)

6. Ternggorokan: sakit menelan (-), serak (-)

7. Leher: sakit tengkuk (-), kaku (-), gondok (-)

8. Mammae: nyeri (-), benjolan (-)

9. Pernafasan: sesak nafas (+), batuk (+), mengi (-)

10. Jantung & peredaran darah: berdebar-debar (+), nyeri dada (+),

ortopneu (-), paroxysmal nocturnal dipsneu (-), dipsnue d’effort (+)

11. Gastrointestinal: nyeri (+), mual (-), muntah (-), diare (-), nafsu

makan menurun (+), kembung (-)

12. Genitourinaria: BAK spontan (+),BAB spontan (+)

13. Neurologik: kejang (-), lumpuh (-), kaki kesemutan (-), sakit kepala (-),

pusing (-)

14. Psikiatrik: emosi stabil (+), mudah marah (-)

15. Muskuluskeletal: kaku sendi (-), nyeri sendi pinggul (-), nyeri tangan

dan kaki (-), nyeri otot (-), lemah (+)

16. Ekstremitas atas dan bawah: bengkak (+), sakit (-), ujung jari, telapak

tangan dan kaki dingin (-)

17. Endokrin: polidipsi (-), polifagi (-), poliuri (-)

18. Darah: kepucatan (-), mudah kebiruan (-)

19. Penyakit yang pernah diderita: TBC (-), alergi (-), asma (-), hipertensi

(+)

Page 6: Lapsus Decomp Cordis

6

20. Makanan: nasi/jagung (+), sayur (+), tahu (+), tempe (+), ikan (+),

telur (+), susu (-)

kwantitas: cukup

2.4 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum: kesadaran compos mentis ( GCS E4V5M6), status gizi

kesan cukup, tampak sesak nafas dan kesakitan

2. Tanda Vital:

Tensi : 150/100 mmHg

Nadi : 110 x / menit

Pernafasan : 30 x /menit

Suhu : 36,5oC

3. Kepala: bentuk mesocephal, luka (-), rambut mudah dicabut, keriput (-),

macula (-), atrofi m. temporalis (-), papula (-), nodula (-)

4. Mata: conjunctiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+),

reflek kornea (+/+), warna kelopak (-), radang (-), mata cowong (-)

5. Telinga: nyeri tekan mastoid (-), secret (-), pendengaran berkurang (-),

cuping telinga dalam batas normal

6. Hidung: napas cuping hidung (-), secret (-), epistaksis (-), deformitas

hidung (-), hiperpigmentasi (-)

7. Mulut: bibir hiperemis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), papil lidah

atrofi (-), tremor (-), gusi berdarah (-), mukosa kering (-)

8. Tenggorokan: tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-)

9. Leher: trakea di tengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran

kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)

10. Thoraks: normochest, simetris, pernapasan abdominothorakal,

retraksi (+), spidernevi (-), sela iga melebar (-)

Cor

Inspeksi : ictus cordis tak tampak

Palpasi : ictus cordis kuat angkat

Perkusi : batas kiri atas : SIC II Linea Para Sternalis Sinistra

batas kanan atas : SIC II Linea Para Sternalis Dextra

Page 7: Lapsus Decomp Cordis

7

batas kiri bawah :SIC VI 1 cm lateral Linea

midclavicula sinistra

batas kanan bawah: SIC V Linea Para Sternalis Dextra

pinggang jantung : SIC II Linea Para Sternalis Sinistra

(batas jantung terkesan membesar)

Auskultasi :Bunyi jantung I–II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo

Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri

Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor / sonor

Auskultasi : vesikuler, suara tambahan ronki (+/+), wheezing (-/-)

11. Abdomen:

Inspeksi : bekas luka (-) , stria (-), bentuk cembung

Palpasi : nyeri tekan (-), tumor (-), hepar: sulit dievaluasi lien:

sulit dievaluasi

Perkusi : meteorismus (-), shifting dullness (-)

Auskultasi : peristaltik usus BU (+) Normal

12. Sistem collumna vertebralis: inspeksi: deformitas (-), skoliosis (-),

kiphosis (-), lordosis (-)

13. Ekstremitas: palmar eritema (-), jari tabuh (-)

- - Odem + + Reflek Fisiologis

+ + + +

+ + Akral hangat - - Reflek Patologis

+ + - -

14. Sistem genetalia: dalam batas normal.

2.5 Pemeriksaan penunjang

1. Foto thoraks

Page 8: Lapsus Decomp Cordis

8

Cor : size (> 50%), site di tengah, shape tidak ada

Lapang paru ada peningkatan radio opaq berbentuk garis

linear

Kesimpulan : Cardiomegali dengan odem pulmonum

2. EKG : LAD LVH, sinus takikardi

Page 9: Lapsus Decomp Cordis

9

3. Laboratorium

Tanggal 26 Juli 2013

Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan

Hemoglobin 15,7 L.13,5-18 P.12-16 g/dl

Hitung Lekosit 14.700 4.000 - 11.000 sel/cmm

Hitung Eritrosit 5,02 4,0 - 5,5 Juta/cmm

Hitung Trombosit 267.000 150.000 - 450.000 sel/cmm

Hematokrit 48,3 L. 40-54 P. 35-47 %

Page 10: Lapsus Decomp Cordis

10

GDS 145 <140 Mg/dl

SGOT 133 L. <43 P. <36 U/l

SGPT 178 L. <43 P. <36 U/l

Ureum 41 20 – 40 mg/dl

Kreatinin 0,72 L. 0,6 - 1,1 P.0,5 - 0,9 mg/dl

LDH 1.088 230 – 460 mmol/L

2.6 Resume

Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan dengan keluhan sesak nafas

yang dirasakan sejak ± 2 minggu yang lalu dan memberat sejak 1 minggu

ini. Sesak bertambah berat jika digunakan beraktifitas. Dipakai jalan

sebentar pasien sudah kelelahan dan sesak nafas, dan 3 hari ini istirahat pun

pasien juga sesak sehingga pasien sulit tidur, pasien membutuhkan 3 – 4

bantal saat tidur agar tidak sesak. Pasien juga mengeluh dada kirinya terasa

berdebar-debar, nyeri sampai menembus punggung kiri terus menerus dan

batuk kering hilang timbul terutama pada malam hari sejak 2 minggu ini.

Selain itu juga kedua kakinya tiba-tiba membengkak sudah 3 hari ini.

Riwayat Penyakit dahulunya, pasien menderita Hipertensi yang tidak

tercontrol. Riwayat penyakit keluarga didapat ayahnya juga menderita

Hipertensi. Riwayat kebiasaan pasien didapat pasien suka mengkonsumsi

kopi, jarang berolah raga, serta suka makan makanan yang asin dan

berlemak.

Pada pemeriksaan fisik di dapatkan tekanan darah 150/100 mmHg, nadi

110 x/menit, RR: 30 x/mnt. Thorax: pada jantung ditemukan batas jantung

kesan membesar. Pada ekstremitas didapatkan pembengkakan pada kedua

tungkai kaki. Pada pemeriksaan penunjang foto thorak didapatkan

kardiomegali dengan odem pulmonum, pada EKG didapatkan LAD dan

LVH, pada pemeriksaan darah didapatkan leukosit (↑), SGOT (↑), SGPT

(↑), LDH (↑).

2.7 Diagnosis

Decompensatio Cordis grade IV + Hipertensi stage I

Page 11: Lapsus Decomp Cordis

11

2.8 Diagnosa Banding

- Penyakit paru : pneumonia, PPOK, infeksi paru berat, emboli paru.

- Penyakit ginjal : gagal ginjal kronik, syndrome nefrotik.

- Penyakit hati : sirosis hepatis.

2.9 Penatalaksanaan

1. Non Medika mentosa

a. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya

b. Tirah baring

c. Posisi setengah duduk (semi fowler)

d. Kurangi intake cairan dan garam

2. Medikamentosa

- O2 2 liter/menit

- IVFD RL 15 tpm

- Inj Furosemide 2 x 1 amp

- Captopril 3 x 12,5 mg (po)

- ISDN 3 x 5 mg (po)

- Spironolacton 2 x 25 mg (po)

- Digoxin 1 x 0,25 mg (po)

2.10 Follow Up

Nama : Ny. N

Diagnosis : Decompensatio Cordis grade IV + Hipertensi stage I

Tanggal S O A P

1. 27/7/2013 Sesak nafas (+), nyeri dada (+), batuk kering (+)

T : 150/80N : 80 x/mntS : 36.8oCRR: 28x/mntThorax:Rh : +/+Extremitas:Edema - - + +

Decompensatio Cordis + Hipertensi

Planning therapyO2 2 liter/menit Infus RL15 tpmParenteral• Furosemid 2 x1 amp

Oral:• Captopril 3x12,5 mg• ISDN 3 x 5 mg• Spironolacton 2x25mg • Digoxin 1 x 0,25 mg

2. 28/47/2013 Sesak nafas (+), batuk kering (+)

T : 130/80N : 85 x/mntRR:

Decompensatio

Planning therapyO2 2 liter/menit Infus RL15 tpm

Page 12: Lapsus Decomp Cordis

12

24x/menitS : 36,3 oCThorax:Rh : + /+Extremitas:Edema - - + +

Cordis + Hipertensi

Parenteral• Furosemid 2 x1 amp• Omeprazol 1 x 1 amp

Oral:• Captopril 3x12,5 mg• ISDN 3 x 5 mg• Spironolacton 2x25mg• Digoxin 1 x 0,25 mg

3. 29/7/2013 Sesak nafas berkurang, batuk kering berkurang, kaki bengkak berkurang

T : 140/90N : 88 x/mntRR: 22 x/mntS : 36,5 oCThorax:Rh : -/ -Extremitas:Edema - - - -

Decompensatio Cordis + Hipertensi

Planning therapyO2 2 liter/menit Infus RL15 tpmParenteral• Furosemid 2 x1 amp• Omeprazol 1 x 1 amp

Oral:• Captopril 3x12,5 mg• ISDN 3 x 5 mg• Spironolacton 2x25mg• Digoxin 1 x 0,25 mg

Page 13: Lapsus Decomp Cordis

13

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan

darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme tubuhatau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan

tekanan pengisian jantung yang tinggi atau kedua-duanya (Shah RVet al.,

2007).

Secara singkat menurut Sonnenblik (1989) gagal jantung terjadi apabila

jantung tidak mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang normal, meskipun

aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal.

3.2 Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi

penting untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di Negara maju penyakit

arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan di

Negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit

katup jantung dan penyakit jantung akibat malnutrisi.7 Secara garis besar

penyebab terbanyak gagal jantung adalah penyakit jantung koroner 60-75%,

dengan penyebab penyakit jantung hipertensi 75%, penyakit katup (10%)

serta kardiomiopati dan sebab lain (10%) (Lip GYHet al., 2000).

Faktor resiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang

dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan

serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan

sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung (Lip GYHet

al., 2000).

Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat

diklasifikasikan dalam enam kategori utama:

1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat

disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak

Page 14: Lapsus Decomp Cordis

14

terkoordinasi (left bundle branch block), berkurangnya kontraktilitas

(kardiomiopati).

2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).

3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.

4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).

5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard

(tamponade).

6. Kelainan kongenital jantung.

Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus:

• Faktor Predisposisi: hipertensi, penyakit arteri koroner, kardiomiopati,

penyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis mitral,

dan penyakit perikardial.

• Faktor Pencetus

Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain:

meningkatnya asupan (intake) garam, ketidak patuhan menjalani

pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut, hipertensi, aritmia

akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan,

dan endokarditis infektif (Prasetyanto H, 2010).

3.3 Patogenesa Gagal Jantung

Page 15: Lapsus Decomp Cordis

15

Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang

dimulai setelah adanya “index event” atau kejadian penentu, hal ini dapat

berupa kerusakan otot jantung, yang kemudian mengakibatkan

berkurangnya miosit jantungyang berfungsi baik, atau mengganggu

kemampuan miokardium untuk menghasilkan daya. Hal ini pada akhirnya

mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi secara normal. Pasien

dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu kesamaan, yaitu

penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari berbagai penyebab

gagal jantung.

Patogenesis pada gagal jantung dapat diterangkan pada Gambar 1.

Gagal jantung dimulai setelah adanya index event yang menghasilkan

penurunan pada kemampuan pompa jantung. Seiring dengan menurunan

pada kapasitas pompa jantung, beragam mekanisme kompensasi diaktifkan

termasuk sistem syaraf adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistim

sitokin. Pada jangka pendek hal ini dapat mengembalikan fungsi jantung

pada batas homoestatik sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun dengan

aktivasi berkelanjutan mekanisme kompensasi ini dapat mengakibatkan

kerusakan organ terminal sekunder pada ventrikel, dengan remodelling

ventrikel kiri yang memburuk dan dekompensasi jantung. Sebagai akibatnya

secara klinis pasien mengalami transisi dari gagal jantung yang tidak

bergejala ke gagal jantung yang bergejala.

Gambar 3.1. Patofisiologi Gagal Jantung (Mann DL, 2008)

Mekanisme Neurohormonal

Page 16: Lapsus Decomp Cordis

16

Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor

arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi

meningkat. Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan

aktifitas pada sistem simpatis, berkurangnya kemampuan sistem

parasimpatik dan simpatik dalam mengontrol denyut jantung, dan

terganggunya regulasi reflek simpatis pada resistensi vaskular. Iskemia

dinding anterior juga memiliki efek tambahan pada eksitasi sistem saraf

simpatik efferent. Gambaran sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada

gagal jantung dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif

ataupun maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat

memelihara tekanan perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung.

Sistem ini menjadi maladaptif apabila menimbulkan peningkatan

hemodinamik melebihi batas ambang normal, menimbulkan peningkatan

kebutuhan oksigen, serta memicu timbulnya cedera sel miokard. Adapun

pengaturan neurohormonal sebagai berikut:

A. Sistem Saraf Adrenergik

Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal

iniakan dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcusaorta,

kemudian dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X,yang akan

mengaktivasi sistem saraf simpatis. Aktivasi systemsaraf simpatis ini akan

menaikkan kadar norepinefrin (NE). Hal iniakan meningkatkan frekuensi

denyut jantung, meningkatkankontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri

dan vena sistemik (Hess OM, 2007).

Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan

tekanan darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang

dapat menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam

jangka pendek aktivasi sistem adrenergic dapat sangat membantu, tetapi

lambat laun akan terjadi maladaptasi (Hess OM, 2007).

Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan

konsentrasi norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas,

Page 17: Lapsus Decomp Cordis

17

mungkin berhubungan dengan “exhaustion phenomenon” yang berasal dari

aktivasi sistem adrenergik yang berlangsung lama (Hess OM, 2007).

Keterangan: Ach:asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat, E=epinephrine, Na+=Natrium, NE=norepinephrine.

Gambar 3.2. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik

pada gagal jantung (Floras JS, 2004)

B. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-

angiotensin aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal,

berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal,

dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan

renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino

dari angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting enzyme akan

melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II.

Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1

(AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses rennin angiotensin aldosteron ini dapat

tergambar pada Gambar 2.2. Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan

vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan

katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi

pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin (Hess OM, 2007).

Page 18: Lapsus Decomp Cordis

18

Gambar 3.3 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (Weber KT dkk, 2001)

Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam

mempertahankan sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika

terjadi ekspresi lama dan berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif

yang dapat menyebabkan fibrosis pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain

itu, juga akan mengakibatkan peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi

korteks adrenal zona glomerulosa untuk memproduksi aldosteron (Hess

OM, 2007).

Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi

dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung

relatif lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan

fibrosis vaskuler dan miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance

vaskuler dan meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron

memicu disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake

norepinefrin yang akan memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi

aldosteron pada sistem kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif

dengan hasil akhir inflamasi pada jaringan (Hess OM, 2007).

Page 19: Lapsus Decomp Cordis

19

C. Stres Oksidatif

Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen

species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari

ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II,

aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi

(tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi

hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan

mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara menurunkan bioavailabilitas

NO (Shah RV et al.,2007).

D. Bradikinin

Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam

pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan

reseptor B1 dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat

ikatan dengan reseptor B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan

vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh ACE

(Shah RV et al.,2007).

E. Remodeling Ventrikel Kiri

Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal menjelaskan

progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif

berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel

kiri di kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting pada

miosit jantung, perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit pada

miokard serta geometri dan arsitektur ruangan ventrikel kiri. Proses

remodeling jantung ini dapat dijelaskan pada gambar 3.3. Remodeling

berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan meningkatkan

rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang overload dengan

tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta,

mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara parallel

menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung,

yang menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban jantung didominasi

dengan peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada

diastolik, yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi

Page 20: Lapsus Decomp Cordis

20

pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang

mengakibatkan hipertrofi eksentrik (Hess OM, 2007).

Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam

perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan

relaksasi jantung. Jalur kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada

jantung yang paling penting. Jalur ini akan terbuka saat depolarisasi

membran sewaktu fase upstroke potensial aksi. Akibatnya terjadi influk

kalsium kedalam sel yang menyebabkan fase plateu dan meningkatnya

kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian menunjukkan adanya

penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya proses fosforilasi

pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas pada influks

kalsium dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh retikulum

sarkoplasmadimana hal ini akan menurunkan kecepatan pengambilan

kalsium sehingga menyebabkan konstraksi dan pengisian jantung

menurun(Hess OM, 2007) dan (Shah RV et al.,2007).

Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung

pada energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses

kontraksi-eksitasi merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi

membran plasma dengan pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga

dapat berikatan dengan troponin C. Saluran ion kalsium dan natrium pada

membran plasma berperan dalam memulai proses kontraksi-eksitasi. Proses

membuka dan menutup saluran kedua ion ini yang akan menjaga potensial

membran (Shah RV et al.,2007).

Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan

saluran ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform

yang terjadi akan mengganti miosin ATPase yang tinggi dan mempengaruhi

struktur membran sehingga mengakibatkan penurunan dalam pompa

kalsium ATPase. Selain itu, adanya kebutuhan energi juga menyebabkan

gangguan pada proses kontraksi-eksitasi pada gagal jantung.

Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada gagal

jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel pada

gagal jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka pada

Page 21: Lapsus Decomp Cordis

21

sel, peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang

berlebih. Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian

menjadi fibrosis. Hal-hal ini memperburuk gagal jantung (Shah RV et

al.,2007).

Gambar 3.3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena

respon terhadap hemodinamik berlebih (Hunter JJ, 1999)

3.4 Klasifikasi

Kemampuan fungsional penderita dengan gagal jantung didapat melalui

anamnesa yang cermat, atau jika memungkinkan melalui test saat aktivitas.

Analisis udara ekspirasi saat beraktivitas adalah pemeriksaan gold-standard

untuk mengukur keterbatasan fisik seseorang. Test ini tidak umum

dilakukan diluar senter-senter transplantasi jantung. Untuk mempermudah

hal klasifikasi fungsional NYHAmengklasifikasikan gagal jantung menjadi

4 kelas fungsional yang dapat ditentukan melalui anamnesa, klasifikasi ini

dapat dilihat pada tabel 1.1.

Page 22: Lapsus Decomp Cordis

22

Berdasarkan klasifikasi NYHA pasien yang dapat berjalan beberapa

ratus meter tanpa gejala namun kesulitan menaiki tangga 2 lantai memiliki

gagal jantung kelas II, sementara pasien yang tidak mampu berjalan jauh

atau kesulitan saat menaiki beberapa anak tangga dapat dimasukan kedalam

kelas III. Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut NYHA tidak dapat

dicampur-adukkan dengan stadium gagal jantung menurut ACC/AHA yang

sebelumnya dibahas. Klasifikasi NYHA didasarkan pada limitasi

fungsional, sementara stadium gagal jantung menurut ACC/AHA

didasarkan pada progresi gagal jantung, terlepas dari status fungsionalnya.

Tabel 1.1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA)

Tahapan Gagal Jantung berdasarkan struktural

dan kerusakan otot jantung.

Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan

aktivitas fisik.

Stage

A

Memiliki risiko tinggi

mengembangkan gagal jantung.

Tidak ditemukan kelainan struktural

atau fungsional, tidak terdapat

tanda/gejala.

Kelas

I

Aktivitas fisik tidak terganggu, aktivitas

yang umum dilakukan tidak

menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau

sesak nafas.

Stage

B

Secara struktural terdapat kelainan

jantung yang dihubungkan dengan

gagal jantung, tapi tanpa tanda/gejala

gagal jantung.

Kelas

II

Aktivitas fisik sedikit terbatasi. Saat

istirahat tidak ada keluhan. Tapi

aktivitas fisik yang umum dilakukan

mengakibatkan kelelahan, palpitasi atau

sesak nafas.

Stage

C

Gagal jantung bergejala dengan

kelainan struktural jantung. Kelas

III

Aktivitas fisik sangat terbatasi. Saat

istirahat tidak ada keluhan. Tapi

aktivitas ringan menimbulkan rasa lelah,

palpitasi, atau sesak nafas.

Stage

D

Secara struktural jantung telah

mengalami kelainan berat, gejala

gagal jantung terasa saat istirahat

walau telah mendapatkan pengobatan.

Kelas

IV

Tidak dapat beraktivitas tanpa

menimbulkan keluhan. Saat istirahat

bergejala. Jika melakukan aktivitas

fisik, keluhan bertambah berat.

Dikutip dari: Mann DL, 2008

3.5 Diagnosis

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan

secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria

mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor

Page 23: Lapsus Decomp Cordis

23

dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan

kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau

sindroma nefrotik (Hess OM, 2007).Kriteria mayor dan minor dari

Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal JantungKriteria Mayor:Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopneaDistensi vena leherRales paruKardiomegali pada hasil rontgenEdema paru akutS3 gallopPeningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kananHepatojugular refluxPenurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan gagal jantungKriteria Minor:Edema pergelangan kaki bilateralBatuk pada malam hariDyspnea on ordinary exertionHepatomegaliEfusi pleuraTakikardi ≥ 120x/menitDikutip dari: Mann DL, 2008

3.5 Pemeriksaan Penunjang

a. Rontgen Thorax

Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet

jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena

pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena

pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura

horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus.Dapat pula

tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih

banyak terkena adalah bagian kanan (Davies MK, 2000; Nieminen MS,

2005).

Tabel 3. Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis

Kelainan Penyebab Implikasi Klinis

Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri,

ventrikel kanan, atria, efusi

perikard

Ekhokardiografi,

doppler

Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta,

kardiomiopati hipertropi

Ekhokardiografi,

doppler

Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian Gagal jantung kiri

Page 24: Lapsus Decomp Cordis

24

ventrikel kiri

Edema interstisial Peningkatan tekanan pengisian

ventrikel kiri

Gagal jantung kiri

Efusi pleura Gagal jantung dengan

peningkatan pengisian tekanan

jika ditemukan bilateral,

infeksi paru, keganasan

Pikirkan diagnosis

non kardiak

Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik Mitral stenosis atau

gagal jantung kronis

Dikutip dari : Mann DL, 2008

b. EKG

Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkangambaran abnormal pada

hampir seluruh penderitadengan gagal jantung, meskipun gambaran

normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yangsering

didapatkan antara lain gelombang Q,abnormalitas ST – T, hipertrofi

ventrikel kiri,bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bilagambaran

EKG dan foto dada keduanyamenunjukkan gambaran yang normal,

kemungkinangagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat

kecil kemungkinannya (Davies MK, 2000).

c. Ekokardiografi

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif

yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi

dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur

dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan

ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal

jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan

murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium,

serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri

(infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau

aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan

fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya

gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli (Davies

MK, et al., 2000).

Tabel 4. Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung

TEMUAN UMUM DISFUNGSI SISTOLIK DISFUNGSI DIASTOLIK

Page 25: Lapsus Decomp Cordis

25

Ukuran dan bentuk ventrikel

Ejeksi fraksi ventikel kiri

(LVEF)

Gerakan regional dinding

jantung, synchronisitas

kontraksi ventrikular

Remodelling LV (konsentrik

vs eksentrik)

Hipertrofi ventrikel kiri atau

kanan (Disfunfsi Diastolik :

hipertensi, COPD, kelainan

katup)

Morfolofi dan beratnya

kelainan katup

Mitral inflow dan aortic

outflow; gradien tekanan

ventrikel kanan

Status cardiac output

(rendah/tinggi)

Ejeksi fraksi ventrikel kiri

berkurang <45%

Ventrikel kiri membesar

Dinding ventrikel kiri tipis

Remodelling eksentrik

ventrikel kiri

Regurgitasi ringan-sedang

katup mitral*

Hipertensi pulmonal*

Pengisian mitral berkurang*

Tanda-tanda meningkatnya

tekanan pengisian ventrikel*

Ejeksi fraksi ventrikel kiri

normal > 45-50%

Ukuran ventrikel kiri

normal

Dinding ventrikel kiri tebal,

atrium kiri berdilatasi

Remodelling eksentrik

ventrikel kiri.

Tidak ada mitral

regurgitasi, jika ada

minimal.

Hipertensi pulmonal*

Pola pengisian mitral

abnormal.*

Terdapat tanda-tanda

tekanan pengisian

meningkat.

Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.

Dikutip dari: Mann DL, 2008

d. Darah lengkap

Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk

menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan

untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal

jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air

sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya

hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat.

Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui

adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis

apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian

angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada

gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria.Hipokalemia dapat terjadi

pada pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat

Page 26: Lapsus Decomp Cordis

26

potassiumsparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantungberat dengan

penurunan fungsi ginjal, penggunaanACE-inhibitor serta obat potassium

sparring. Padagagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin,AST dan

LDH) gambarannya abnormal karenakongesti hati. Pemeriksaan profil

lipid, albuminserum fungsi tiroid dianjurkan sesuai

kebutuhan.Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penandabiologis gagal

jantung dengan kadar BNP plasma100pg/ml dan plasma NT-proBNP

adalah 300 pg/ml (Santoso A, 2007; Davies MK, et al., 2003;

Watson RDS,et al. 2000;Gillespie ND, 2005; Abraham WT

dan Scarpinato L, 2002).

3.6 PenatalaksanaanGagal Jantung

Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditunjukkan pada 5 aspek

(Ganiswarna, 2005).

1. Mengurangi beban kerja jantung

2. Memperkuat kontraktilitas miokard

3. Mengurangi kelebihan garam dan cairan

4. Melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab

5. Faktor-faktor pencetus kelainan yang mendasari.

3.6.1 Terapi

Pendekatan terapi pada gagal jantung dapat berupa terapi tanpa obat-

obatan, pemakaian obat-obatan, pemakaian alat dan tindakan bedah.

T erapi non farmakologi

• Edukasi mengenal gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal

serta upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan

• Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari

• Edukasi pola diet, control asupan garam, air dan kebiasaan alcohol

• Monitoring berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan secara

tiba-tiba

• Mengurangi berat badan pada obesitas

• Hentikan kebiasaan merokok

• Konseling mengenai obat.

Page 27: Lapsus Decomp Cordis

27

Terapi Farmakologi

Terdapat 3 obat yang menunjukkan efektifitas klinik dalam mengurangi

gejala insufisiensi jantung tapi tidak mengembalikan kondisi patologik yang

asli (Ganiswarna, 1995). Tiga golongan tersebut adalah :

Vasodilator

Vasodilator dapat menurunkan secara selektif beban jantung sebelum

kontraksi, sesudah kontraksi atau keduanya (vasodilator yang seimbang)

Vasodilator Parental hendaknya diberikan kepada pasien dengan

kegagalan jantung berat atau tidak dapat diminum obat-obatan oral

misalnya pada pasien setelah operasi.

- Nitrogliserin adalah vasodilator kuat dengan pengaruh pada vena

dan pengaruh yang kuat pada jaringan pembuluh darah arteri.

Penumpukan vena paru dan sistemik dipulihkan melalui efek

tersebut. Obat ini juga merupakan vasodilator koroner yang efektif

sehingga merupakan vasodilator yang lebih disukai untuk terapi

kegagalan jantung pada keadaan infark miokard akut atau angina

tak stabil.

- Natrium nitropusida adalah vasodilator kuat dengan sifat-sifat

venodilator kurang kuat. Efeknya yang menonjol adalah

mengurangi beban jantung setelah kontraksi dan ini terutama

efektif untuk pasien kegagalan jantung yang menderita hipertensi

atau reguitasi katub berat (Kelly dan Fry, 1995).

Vasodilator Oral

- Penghambat ACE

Mengeblok sistem renin angiotensin aldosteron dengan

menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,

memproduksi vasodilator dengan membatasi angiotensin II,

menginduksi vasokonstriksi dan menurunkan retensi sodium

dengan mengurangi sekresi aldosteron (Massie dan Amidon, 2002).

Obat yang serba guna tersebut menurunkan tahanan perifer

sehingga menurunkan afterload, menurunkan resistensi air dan

Page 28: Lapsus Decomp Cordis

28

garam (dengan menurunkan sekresi aldosteron) dan dengan jalan

menurunkan preload (Katzung, 1992).

- Angiotensin reseptor bloker (ARB)

Merupakan pendekatan lain untuk menghambat system RAA

adalah yang akan mengeblok atau menurunkan sebagian besar efek

sistem. Namun demikian agen ini tidak menunjukkan efek

penghambat ACE pada jalur potensial lain yang memproduksi

peningkatan bradikinin, prostaglandin dan nitrit oksida dalam

jantung pembuluh darah dan jaringan lain. Karena itu, ARB dapat

dipertimbangkan sebagai alternatif pendapat ACE pada pasien yang

tidak dapat menerima pendapat ACE (Massie dan Amidon, 2002).

Contoh obat pada golongan ARB yang digunakan dalam terapi

gagal adalah losartan, valsartan, dan kondensartan. Ketiga obat

tersebut tidak memiliki interaksi yang berarti dengan obat-obat lain

(Stokley, 1996).

Beta-Bloker

Untuk terapi kegagalan jantung bersifat kontroversial namun dapat

efek-efek yang merugikan dari katekolamin pada jantung yang

mengalami kegagalan termasuk menekan reseptor beta pada otot jantung

situasi kegagalan jantung (Kelly dan Fry, 1995). Beta bloker digunakan

pada pasien gagal jantung stabil ringan, sedang atuau berat (Massie dan

Amidon, 2002). Obat ini digunakan untuk terapi gagal jantung adalah

karvedilol, bisoprolol dan metoprolol succinate (Hunt et al., 2005).

Antagonis kanal kalsium

Secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah

dan penghambat pemasukan kalsium kedalam sel otot jantung. Kegunaan

pokok obat ini dalam terapi gagal jantung adalah berasal dari

pengurangan iskemia pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang

mendasari. Semua antagonis kalsium mempunyai sifat inotropik negatif

sehingga digunakan secara berhati-hati pada pasien dengan difungsi

ventrikal kiri (Kelly dan Fry, 1995). Obat-obat golongan tersebut

sebaiknya dihindari kecuali untuk dipakai dalam terapi hipertensi dan

Page 29: Lapsus Decomp Cordis

29

anginadan untuk indikasi tersebut hanya amlodipin yang boleh digunakan

pada pasien gagal jantung (Hunt et al., 2005)

Nitrat

Terutama berkhasiat venodilator dan oleh karena ini bermanfaat

untuk menyembuhkan gejala-gejala penumpukan vena dan paru-paru.

Obat-obat golongan ini mengurangi iskemia otot dengan menetralkan

tekanan pengisian ventrikel dan dengan melebarkan arteri koroner secara

langsung (Kelly dan Fry, 1995). Contoh obat golongan ini adalah

Isosorbit mono nitrat (ISMN) dan dinitrat (ISND).

Hidralazin

Hidralazin adalah obat yang murni mengurangi beban jantung

setelah konstraksi yang bekerja langsung pada otot polos arteri untuk

menimbulkan vasodilatasi. Hidralazin terutama berguna dalam

pengobatan reguitasi mitral kronis dan insufisiensi aorta (Kelly dan Fry,

1995). Hidralazin oral merupakan dilator arterioral poten dan

meningkatkan output kardiak pada pasien gagal jantung kongestif

(Massie dan Amidon, 2002).

Diuretik

Tujuan dari pemberian diuretik adalah mengurangi gejala retensi

cairan yaitu meningkatkan tekanan vena jugularis atau edema ataupun

keduanya. Diuretik menghilangkan retensi natrium pada CHF dengan

menghambat reabsorbsi natrium atau klorida pada sisi spesifik di tubulus

ginjal. Bumetamid, furosemid, dan torsemid bekerja pada tubulusdistal

ginjal (Hunt et al., 2005).Pasien dengan gagal jantung yang lebih berat

sebaiknya diterapi dengan salah satu loop diuretik, obat-obat ini memiliki

onset cepat dan durasi aksinya yang cukup singkat. Manfaat dari terapi

diuretik yaitu dapat mengurang edema pulmo dan perifer dalam beberapa

hari bahkan jam. (Hunt et al., 2005).

Obat-obat Inotropik

Obat-obat inotropik positif meningkatkan kontraksi otot jantung dan

meningkatkan curah jantung. Meskipun obat-obat ini bekerja melalui

mekanisme yang berbeda, dalam tiap kasus kerja inotropik adalah akibat

Page 30: Lapsus Decomp Cordis

30

penigkatan konsentrasi kalsium sitoplasma yang memicu kontraksi otot

jantung (Mycek et al., 2001).

• Digitalis

Obat golongan digitalis ini memiliki berbagi mekanisme kerja sebagi

berikut

(a) Pengaturan konsentrasi kalsium sitosol

Terjadi hambatan pada aktivitas pompa proton. Hal ini

menimbulkan peningkatan konsentrasi natrium intra sel, yang

menyebabkan kadar kalsium intra sel yang meningkat

menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi sistolik.

(b) Peningkatan kontraktilitas otot jantung

Pemberian glikosida digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi

otot jantung menyebabkan penurunan volume distribusi aksi, jadi

meningkatkan efisiensi kontraksi. Efek-efek ini menyebabkan

reduksi kecepatan jantung dan kebutuhan oksigen otot jantung

berhenti (berkurang) (Mycek et al., 2001).

Terapi digoksin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi

sistolik ventrikel kiri yang hebat setelah terapi diuretic dan

vasodilator. Digoksin tidak diindikasikan pad pasien dengan gagal

jantung sebelah kanan atau diastolik. Obatyang termasuk dengan

golongan ini adalah digoksin dan digitoksin. Glikosida jantung

mempengaruhi semua jaringan yang dapat dirangsang, termasuk otot

polos dan susunan saraf pusat. Mekanisme efek ini belum diselidiki

secara menyeluruh tetapi mungkin melibatkan hambatan Na+ K+ -

ATPase di dalam jaringan ini (Katzung, 1992).

Agonis β- adrenergic

Stimuli β- adrenergic memperbaiki kemampuan jantung dengan efek

inotropik spesifik dalam fase dilatasi. Hal ini menyebabkan masuknya

ion kalsium ke dalam sel miokard meningkat, sehingga dapat

meningkatkan kontraksi. Contoh obat ini adalah dopamine dan

dobutamin (Mycek et al., 2001).

Inhibitor fosfodiesterase

Page 31: Lapsus Decomp Cordis

31

Inhibitor fosfodiesterase memacu konsentrasi intrasel siklik –AMP.

Ini menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung.

Obat yang termasuk dalam golongan inhibitor fosfodiesterase adalah

amrinon dan mirinon (Mycek et al., 2001).

Antagonis aldosteron

Antagonis aldosteron termasuk spironolakton dan inhibitor konduktan

natrium diktus kolektifus (triamteren dan amilorid). Obat-obat ini sangat

kurang efektif bila digunakan sendiri tanpa kombinasi dengan obat lain

untuk penatalaksanaan pada gagal jantung. Meskipun demikian, bila

digunakan kombinasi dengan Tiazid atau diuretika Ansa Henle, obat-obat

golongan ini efektif dalam mempertahankan kadar kalium yang normal

dalam serum (Kelly dan Fry, 1995). Spironolakton merupakan inhibitor

spesifik aldosteron yang sering meningkat pada gagal jantung kongestif dan

mempunyai efek penting pada retensi potassium. Triamteren dan Amilorid

bereaksi pada tubulus distal dalam mengurangi sekresi potassium (Massie

dan Amidon, 2000).

Page 32: Lapsus Decomp Cordis

32

Page 33: Lapsus Decomp Cordis

33

3.6.2 Algoritma Terapi

Algoritma penatalaksanaan gagal jatung menurut ACC/AHA pratice

Guidelines 2005 berdasarkan stage dapat dilihat pada gambar 1. Pasien

stage A belum mengalami gagal jantung dan tidak memiliki penyakit

jantung struktural, namun beresiko tinggi mengalami gagal jantung. Pasien

stage B memiliki penyakit jantung struktural yang mendasari namun belum

mengalami gagal jantung serta belum ada tanda dan gejala gagal jantung.

Pasien stage C sudah mengalami gagal jantung dilihat dari adanya penyakit

jantung struktural serta tanda dan gejala gagal jantung. Pasien stage D

merupakan perkembangan dari stage C yang bertambah parah karena pasien

mengalami refraktosi gagal jantung pada saat istirahat. Dilihat dari kategori

pasien berdasarkan stage tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasien

didiagnosa gagal jantung jika telah mengalami stage C dan D. Algoritme

penatalaksanaan gagal jantung menurut ACC/AHA practice Guidelines,

Page 34: Lapsus Decomp Cordis

34

2005 terdiri dari 4 stage yaitu stage A, B, C, dan D (Gb.1) (Hunt, et al.,

2005). Sedangkan menurut NYHA (New York Heart Assosiation), gagal

jantung dibagi dalam 4 kelas yaitu 1, 2, 3, dan 4 (Walker and Edwards,

2003)(Susilo F, 2010).

Page 35: Lapsus Decomp Cordis

35

3.7 Hipertensi Menyebabkan Gagal Jantung

Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi

dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti

ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut agar

ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai

sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan

tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left

ventricle hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih

kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi tahanan

terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi tersebut

tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi.

Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas

ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh

penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan

darah. Semua hal tersebut akan merangsang mekanisme kompensasi

neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem RAA

(renin-angiotensin-aldosteron).

Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas

jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis

mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan

permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan

memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu,

stimulasi simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan

mencegah penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan

curah jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh

lainnya. Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal

merangsang ginjal untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi.

Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Penurunan

perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus untuk mensekresi

renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin

I yang selanjutnya oleh angiotensin converting enzyme (ACE) akan diubah

menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya

Page 36: Lapsus Decomp Cordis

36

di pembuluh darah (vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi. Bila

angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1)

maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian

diikat oleh reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC (epithelial

Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+

bersifat retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O.

Hasil akhir semua proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke

jantung akibat adanya peningkatan volume intravaskuler.

Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi

neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium

lanjut, mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang

terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama pada

beberapa Negara industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia,

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya gagal

jantung di Negara Barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi mempunyai

kontribusi untuk terjadinya gagal jantung sebesar 75% yang termasuk

didalamnya bersamaan dengan penyakit jantung koroner.

Penatalaksanaan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara umum/

non farmakologi, farmakologi dan penatalaksanaan intervensi.

Penatalaksanaan ini tergantung penyebab gagal jantung yang terjadi, dan

fasilitas yang tersedia. Dengan penatalaksanaan yang baik diharapkan akan

Page 37: Lapsus Decomp Cordis

37

terwujud pengurangan angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan

gagal jantung.

4.2 Saran

Kami sadar bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna, maka dari

itu kami memerlukan kritik dan kontruksif guna tercapainya kesempurnaan

dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: investigation. BMJ;320:297-300

Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. 2000. ABC ofheart failure: History and epidemiology. BMJ;320:39-42.

Fauci, S Anthony, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th

ed. United states of America: McGraw-Hill,

Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system in Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to Braunwald's Heart Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.

Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2007. h. 2-9.

Page 38: Lapsus Decomp Cordis

38

Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease. Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.

Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and failure. N Engl J Med. 1999; 341:1276

Maggioni AP. 2005. Review of the new ESCguidelines for the pharmacologicalmanagement of chronic heart failure.European Heart Journal Supplements;7(Supplement J):J15-J20.

Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.

Nieminen MS. 2005. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure. Full text the task force on acute heart failure of the european society of cardiology. Eur Heart J.

Prasetyanto H, dkk. 2010. Gagal Jantung Kiri Dengan Gejala Awal Hipertensi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007. Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut.

Setiawati A dan Nafrialdi. 2007. Obat gagal Jantung. Farmakologi Dan Terapi Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. pp: 299-300.

Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.

Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure.

Role of angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 :

88-91.

Sudoyo. W. Aru. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: FK UI

Susilo F. 2010. Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode Tahun 2008. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001; 345:1689

Page 39: Lapsus Decomp Cordis

39