65

cdk_073_gizi

  • Upload
    revliee

  • View
    3.333

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 1

Lukisan, karya Sriwidodo

73. Gizi

Daftar Isi :

2. Editorial

4. English Summary

Artikel :

5. Tinjauan Kecukupan Gizi yang Dianjurkan dan Penyakit Degen- eratif serta Implikasinya – Darwin Karyadi

9. Teori Radikal Bebas dalam Gizi dan Kedokteran – Muhilal 12. Pengaruh Gizi terhadap Penyakit Kardiovaskular – Susilowati

Herman 17. Faktor Gizi pada Penyakit Kanker – Herman Sudiman 22. Gizi, Proses Penuaan, dan Umur Panjang – M.A. Husaini 26. Manfaat Suplementasi Vitamin dan Mineral – Darwin Karyadi 29. Uji Toksisitas dan Aktivitas Biologik Ekstrak Bawang Putih – Oen

Liang Hie, Agus Purwanto, Moh Sadikin, Koesparti Siswojo 34. Kolesterol dan Hubungannya dengan Penyakit Kardiovaskular –

Susy Tejayadi 36. Manfaat Beta-Karoten bagi Kesehatan – Usman Suwandi 41. Penanggulangan GAKI melalui Iodisasi Air Minum di Thailand –

Sumengen Sutomo, Djasmidar, Yuyus R 45. Diet yang dapat Merusak Gigi pada Anak-anak – Yuyus Rusiawati 48. Pengaruh JAKIM sebagai Makanan Tambahan Balita terhadap

Berat Badan – Rudi Irawan

56. Informasi Obat : Kalnex®

59. Indeks Cermin Dunia Kedokteran 1991 62. Abstrak 64. RPPIK

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 2

Dalam pelajaran-pelajaran tentang vitamin selalu diterangkan bahwa unsur-unsur non-kalori ini harus terdapat dalam makanan sehari-hari agar tubuh dapat berfungsi dengan baik. Unsur-unsur ini harus diperoleh dari luar oleh karena tubuh tidak dapat membuatnya sendiri.

Kekurangan vitamin akan menimbulkan gangguan fungsi atau perubahan patologis yang dikenal sebagai gejala-gejala defisiensi vitamin.

Disepakati bahwa umumnya vitamin itu berfungsi sebagai bio-katalisator atau ko-enzim yang mempermudah berlangsungnya reaksi-reaksi biokimia.

Untuk menghindari defisiensi hanya diperlukan unsur-unsur vital tersebut dalam jumlah yang kecil sekali, yaitu dalam orde mikrogram atau milligram.

Oleh National Institute of Health dari Amerika Serikat pada tahun 1941 ditetapkan kesatuan RDA (recommended daily allowance) untuk vitamin dan elemen-elemen pelacak (trace elements) dengan pengertian bahwa bila seseorang memakan unsur-unsur tadi dalam jumlah yang dianjurkan, tidak akan terjadi defisiensi akan vitamin atau elemen tersebut.

Pertanyaan yang dewasa ini timbul ialah: apakah tingkat kesehatan tubuh sudah optimal walaupun tidak terdapat gejala-gejala defisiensi???

Untuk menetapkan batas-batas atau patokan-patokan tingkat kesehatan yang optimal memang sulit sekali.

Dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam berbagai cabang ilmu kesehatan, maka diharapkan dalam tingkat kesehatan optimal ini termasuk juga bebas akan penyakit-penyakit degeneratip yang pada umumnya timbul pada usia lanjut. Dalam kelompok penyakit ini termasuk pula beberapa jenis tumor ganas.

Dalam dekade terakhir ini ditemukan radikal-radikal bebas (free radicals) yang dianggap berperan dalam beberapa penyakit degeneratip. Dianggap bahwa produksi radikal bebas yang tak terkendalikan dalam tubuh akan dapat mengoksidasi dan merusak komponen-komponen vital, seperti lapisan lipid dalam membran sel dan makromolekul-makromolekul seperti DNA.

Para peneliti kemudian mencari unsur-unsur dalam makanan yang dapat meredam oksidasi berlebihan ini dan ditemukan bahwa vitamin-vitamin dan elemen pelacak, yang secara kimia bersifat sebagai anti-oksidan, seperti vitamin C, Beta-karoten, vitamin E dan Selenium dapat berperan sebagai pemulung (scavenger) radikal bebas atau dapat menghentikan proses-proses oksidatip yang menjadi reaksi berantai.

Dalam Cermin Dunia Kedoktēran nomor ini oleh pakar pakar gizi akan diuraikan pengertian tentang radikal bebas dan penggunaan vitamin sebagai antioksidan.

OLH

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 3

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra

Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Drg. I. Sadrach Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

DEWAN REDAKSI

KETUA PENGARAH Dr Oen L.H

KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

PEMIMPIN USAHA Dr Hari Tanudjaja

PELAKSANA Sriwidodo

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

– DR. B. Setiawan

– Drs. Oka Wangsaputra

– DR. Ranti Atmodjo

– Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSc.

– Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

– DR. Susy Tejayadi

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge-nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 4

st

English Summary

RDA AND DEGENERATIVE DI- SEASES

Darwin Karyadi

Research and Development Centre for Nutrition, Department of Health, Bogor, Indonesia

The Recommended Dietary Allowances (RDA) are the amounts of dietary essential nutrients that prevent the onset of nutritional deficiency diseases in almost all individuals in the population. The RDA's are useful for: (1) asessing the adequacy of nutritional intake of certain groups of people, (2) setting the plans on giving additional foods to children under five years old and to institution, (3) planning on providing foods at both the re- gional and national levels.

The RDA's, however, have some limitations. They are not relevant when there is a genetic disorder in a person; such as an inability to use amino acids, vita- mins or carbohydrate in the diet. The RDA's cannot be used also in chronic degenerative diseases, infections, special diets needing special medications etc. In cases like this, one needs to study the biochemical individuality of the person in order to know the level of nutrients required to obtain optimum utilization of the nu-trients in the body. The amount of nutrients required by an indivi- dual is influenced by, among other things, several environ-mental conditions such as good sanitation, clean water availabi-

lity, pollution, etc. Pollution coming from ciga-

rette smoking, for example, is known to cause a deficiency of vitamins C, D, B6, iron, manga-nese, copper, selenium, and calcium. In the long run, it can destroy the kidney, cause anae- mia and other things. Causes of other pollution are also discussed in the paper.

Cermin Dunia Kedokt 1991; 73: 5-8

NUTRITION FACTOR IN CARDIO- VASCULAR DISEASE

Susilowati Herman Research and Development Centre for Nutrition, Department of Health, Bogor, Indonesia

The cardiovascular diseases (CVD) has become the primary cause of death since 1986. In an effort to overcome this problem, a lot of efforts in identifying and controlling the risk factors of CVD have been made. The risk factors are classified into two groups; namely: the primary risk factor and the secondary risk factor, most of which are related to diet (nutrition).

Clinical studies have shown that cholesterol intake is the most important factor in determining the level of blood cholesterol. An increase in the level of blood cholesterol or, more appropria-tely, an increase in the ratio of LDL to HDL, will increase the chance of getting CVD.

In an attempt to correlate the fat intake to CVD, it is important

to know on the amount and type of fat consumed. It is known that animal fat has more saturated fatty acids than vegetable fat does. The saturated fat is respon- sible in increasing the cholesterol and triglycerides levels in the blood.

Similarly, animal protein has a stronger effect on cholesterol than vegetable protein does. A diet high in animal protein con-tent is known to accelerate atherosclerosis.

Vitamins A and E are anti-oxidants which can inhibit lipid oxidation. They are important in preventing hiperlipoproteinemia and lowering the risk of athero-genesis. They work synergisti-cally; that is, the effect of lowering CVD is greater when they are both used than when only one of them is used. The protective effect of vitamin E is also greater in the presence of vitamins A, C and carotene.

An increase in the consump-tion of calcium could lead to a reduction in the level of choles-terol. Animal studies show that the incidence of heart and kidney lesion is also increased with an increase in calcium, in-take. The incidence can be lowered with a diet high in mag- nesium. Correlation of other minerals such as sodium and se- lenium to CVD is still not known.

A large consumption of alco- hol is known to cause death in CVD and hypertension. Even-though a small consumption of alcohol is advantageous to the

Continued In p. 56

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 5

Artikel

Tinjauan Kecukupan Gizi yang Dianjurkan dan Penyakit Degeneratif

serta Implikasinya

Darwin Karyadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Departemen Kesehatan RI, Bogor

PENDAHULUAN

Kecukupan gizi yang dianjurkan (Recommended Daily Allowance – RDA) sering dipakai sebagai pedoman untuk ke- perluan aplikasi pangan dan gizi, farmasi kedokteran dan mem-punyai arti penting; namun di balik pemanfaatan yang positif, diamati pula oleh berbagai pakar adanya kelemahan atau kekurangan mengingat cepat berkembangnya ilmu pengetahuan dasar dan terapan gizi dan ilmu-ilmu yang berkaitan. Oleh karena itu, kecukupan gizi yang dianjurkan ditinjau kembali setiap waktu tertentu (biasanya 5 tahun) seperti halnya terjadi di Indonesia, Amerika Serikat, Eropa dan negara lain. Perubahan-perubahan didorong oleh hasil-hasil penelitian mutakhir ter-utama di bidang ilmu gizi eksperimental pada hewan percobaan maupun pada manusia. Masalah lain yang timbul ditinjau dari segi empiris adalah banyaknya penyakit-penyakit degeneratif yang melanda terutama masyarakat kota dan atau modern akibat cepatnya anus urbanisasi dan industrialisasi. Ketidaksesuaian aplikasi praktisnya ditinjau dari sudut kajian RDA, memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian pandangan tentang RDA.

Suatu sisi lain yang beberapa dekade terakhir merupakan indeks penting bagi peningkatan mutu kehidupan adalah ke-sadaran lingkungan hidup yang sangat relevan dengan upaya pencegahan penyakit akut maupun kronis termasuk penyakit degeneratif. Pengendalian kualitas lingkungan hidup sangat strategis dalam rangka memperlambat proses degeneratif dan meningkatkan kemampuan respons imunitas terhadap berbagai penyakit yang melanda masyarakat.

BATAS DAN KEGUNAAN RDA Kecukupan gizi yang dianjurkan (recommended dietary

allowances disingkat RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan untuk mencakup hampir semua orang sehat. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh

umur, jenis kelamin, aktivitas, berat dan tinggi badan, genetika, serta keadaan hamil dan menyusukan. Kecukupan gizi yang dianjurkan agak berbeda dengan kebutuhan gizi (requirement). Yang terakhir ini lebih menggambarkan banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan oleh masing-masing individu, jadi ada yang tinggi dan ada pula yang rendah, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor genetik.

Dalam penghitungan kecukupan gizi yang dianjurkan, pada umumnya sudah diperhitungkan faktor variasi kebutuhan indi-vidual, sehingga angka kecukupan gizi yang dianjurkan se-tingkat dengan kebutuhan rata-rata ditambah dua kali simpangan baku (deviasi standar); dengan demikian kecukupan yang di-anjurkan sudah mencakup lebih dari 97,5% populasi. Untuk beberapa zat gizi, misalnya berbagai vitamin dan mineral, kecukupan gizi yang dianjurkan sudah mencakup pula terciptanya cadangan zat gizi bersangkutan dalam tubuh. Cadangan ini dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan pada waktu konsumsi zat gizi tersebut kurang dari kebutuhan dalam jangka waktu tertentu. Misalnya pada orang dewasa yang konsumsi vitamin A-nya selalu cukup dalam jangka beberapa tahun, di dalam hatinya akan tertimbun cadangan vitamin A yang dapat memenuhi kebutuhan sampai sekitar tiga bulan tanpa konsumsi vitamin A dari luar tubuh.

Kurva 1 berikut ini menggambarkan bagaimana kecukupan bagi sebagian besar penduduk tersebut dicapai.

Nilai D adalah rata-rata kecukupan, sedangkan nilai F adalah rata-rata kecukupan ditambah dua kali simpangan baku yang dihitung dari akar jumlah kuadrat selisih nilai individu dikurangi nilai rata-rata dibagi jumlah observasi. Konsumsi setingkat F sudah mencukupi kecukupan 97,5% dari populasi, sehingga bila kecukupan yang dianjurkan pada tingkat F, hanya sebagian kecil populasi (2,5%) yang kecukupan riilnya sedikit di bawah anjur-an.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 6

Kurva 1. Distribusi Keukupan Gizi Populasi

Konsumsi

Kecukupan yang dianjurkan selalu didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok umur dan jenis ke- lamin. Patokan berat badan ini didasarkan pada berat badan yang mewakili sebagian besar penduduk yang digolongkan sehat. Karena dalam menyusun kecukupan ini lebih didasarkan pada "patokan berat badan", maka dalam penggunaannya bila ada penyimpangan beratbadan yang cukup berarti, angka kecukupan ini perlu disesuaikan dengan berat badan tersebut. Dengan mempertimbangkan angka-angka berat badan yang dikumpul-kan dari berbagai survei gizi dan kesehatan, maka patokan berat badan yang dipakai dalam penyusunan ini adalah seperti yang disepakati dalam hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi 1978, 1983 dan 1988. Data yang dikumpulkan akhir-akhir ini menggambarkan bahwa angka tersebut masih dapat digunakan.

Perlu disadari bahwa pencernaan manusia hanya mampu menyerap molekul yang kecil sehingga protein, lemak, dan karbohidrat harus dihidrolisis menjadi unit yang paling kecil sebelum diserap. Protein dihidrolisis menjadi asam amino, zat pati menjadi glukosa, dan lemak menjadi gliserol dan asam lemak. Karena itu banyaknya zat gizi yang dapat diserap dan dipakai tubuh dipengaruhi juga oleh nilai cerna masing-masing zat gizi. Ada pula zat gizi yang nilai cernanya sangat rendah karena membentuk kompleks dengan zat lain. Zat besi mudah membentuk kompleks dengan asam fitat maupun oksalat yang banyak terdapat dalam sayuran dan serealia, karena itu nilai cernanya atau jumlah yang dapat diserap hanya sekitar 5-10%.

Perlu diketahui bahwa zat-zat gizi saling berinteraksi satu sama lain, yaitu kehadiran suatu zat gizi secara berlebihan atau- pun kekurangan akan mempengaruhi ketersediaan, penyerapan, maupun metabolisme zat gizi yang lain. Misalnya kekurangan vitamin A dapat mempengaruhi status besi dalam tubuh. Keku- rangan vitamin D akan mempengaruhi penyerapan dan meta-bolisme kalsium. Adanya interaksi antara berbagai zat gizi ini memberi gambaran perlunya diupayakan suatu keseimbangan (balance) zat-zat gizi yang dikonsumsi. Semakin bervariasi atau beranekaragam menu kita, maka semakin tcrcapai kese-imbangan dalam interaksi antara zat gizi, yang akan terpenuhi dengan pedoman "empat sehat lima sempurna".

Kegunaan angka kecukupan gizi yang dianjurkan antara lain :

(1) Untuk menilai kecukupan gizi yang telah dicapai me-lalui konsumsi makanan bagi penduduk/golongan masyarakat tertentu yang didapatkan dari hasil survai gizi/makanan. Untuk penilaian ini perlu diperhatikan bahwa untuk perhitungan ke-cukupan dipakai patokan berat badan tertentu, misalnya pria dewasa 55 kg dan wanita dewasa 47 kg. Bila hasil survai me-nunjukkan bahwa rata-rata berat badan menyimpang dari pa-tokan, maka perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian angka kecukupannya. Demikian pula bila skor asam amino dan nilai kecernaan hidangan berbeda dengan skor dan nilai yang dipakai dalam menyusun kecukupan ini, perlu dilakukan penyesuaian. Untuk orang dewasa kecukupan energi dan vitamin yang ada kaitannya dengan penggunaan energi perlu disesuaikan dengan kegiatan.

(2) Untuk perencanaan pemberian makanan tambahan ba- lita maupun perencanaan makanan institusi. Bagi balita gizi kurang, kebutuhan protein dalam gram per kg berat badan sedikit lebih tinggi daripada anak normal untuk mengejar pertumbuhan. Karena itu untuk perhitungan kecukupan akan diberikan khusus kecukupan yang dianjurkan untuk penderita KKP (Kurang Ka-lori-Protein). Untuk perencanaan makanan institusi perlu diper-hatikan jenis kegiatan dan proporsi yang diharapkan dari ma-kanan institusi terhadap kecukupan sehari. Dengan demikian dapat dicapai tingkat konsumsi yang memenuhi kecukupan se-hari demi tercapainya produktivitas yang optimal.

(3) Untuk perencanaan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional. Perhitungan kebutuhan rata-rata energi, pro-tein, dan zat gizi lain pada tingkat regional/nasional perlu diketahui, demikian pula pola makanannya sehingga penyediaan pangan yang mencukupi kebutuhan dapat dirancang. Angka kecukupan yang dianjurkan ini adalah kecukupan tingkat fisiologis sehingga untuk tingkat produksi dan penyediaan perlu diperhitungkan kehilangan yang terjadi dari tingkat produksi sampai mencapai tingkat konsumsi(1,2) .

Selanjutnya perlu diungkapkan keterbatasan RDA yang tidak dapat mencapai kajian relevansinya tentang : a) Kelainan metabolik yang diturunkan (genetik) seperti ketidakmampuan memanfaatkan berbagai asam amino, vitamin dan karbohidrat dalam diet. b) Penyakit menahun seperti penyakit degeneratif, kardiovaskular tertentu, paru-paru dan ginjal. c) Diit khusus dibutuhkan untuk pengobatan tertentu. d) Infeksi. e) Kelahiran prematur dan f) Evaluasi diit individual, karena kecukupan hanya diperuntukkan untuk golongan penduduk(3). Jadi diperlukan interpretasi dan persepsi yang tepat dalam mengartikan RDA ini. KRITERIA KE TUJUH

Walford(4) dalam tinjauan RDA mengamati kontroversi tentang perlunya suplementasi vitamin mineral, karena argu-mentasi bahwa RDA yang disusun akan memenuhi persyaratan gizi. Dirangkaikan dasar-dasar pengetahuan RDA yang me-menuhi enam persyaratan yaitu : 1) Jumlah zat gizi tertentu yang dikonsumsi oleh golongan penduduk yang sehat. 2) Jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah penyakit tertentu, terutama penya- k

rata-rata

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 7

kit defisiensi gizi. 3) Derajat saturasi jaringan atau kecukupan fungsi faali terkait dengan zat gizi tertentu. 4) Studi keseimbang-an zat gizi yang mengukur status gizi, sehubungan dengan konsumsi (intake), kebutuhan minimum atau titik keseimbang-an nol. 5) Studi eksperimental sukarelawan yang mengauskan (deplete) zat gizi tertentu dan dilanjutkan dengan koreksi tanda defisiensi klinis, meresuplai jumlah zat gizi tertentu spesifik tersebut. 6)Ekstrapolasi dari eksperimen hewan percobaan yang dibuat defisiensi zat gizi tunggal tertentu dari diet.

Dengan mengutip pemyataan Ketua Komite Ilmiah Akademi Nasional tentang RDA Dr. Henry Kamin sebagai berikut : "I must admit that we do not have much information about the intake of specific nutrients and remote rather than short-term effects", Walford(4) kemudian menambahkan satu kriteria lagi berdasarkan pernyataan di atas menjadi kriteria ke tujuh. Asumsi yang dikemukakan yaitu dampak kelangsungan hidup (survival), tipe kanker, prevalensi penyakit degeneratif selama rentang hidup (life-span) akan memberi gambaran berbeda bila ditambah satu kriteria lagi. Dengan mempertimbangkan hasil temuan di bidang gerontologi ditambah hasil penelitian suplementasi pada manusia terhadap parameter fungsional seperti kemampuan respons imunitas, pemberian suplementasi gizi tertentu di atas nilai-nilai RDA dapat dipertanggungjawabkan.

SIFAT BIOKIMIA PERORANGAN (BIOCHEMICAL INDIVIDUALITY)

Setiap orang mempunyai keunikan struktur (organ tubuh, jaringan, sel-sel) dan fungsi. Untuk mencapai kesehatan optimal, mengingat karakteristik yang bervariasi, diperlukan zat-zat gizi yang berbeda untuk setiap individu. Sifat yang khas tersebut dikemukakan oleh Roger Williams(5) bahwa fungsi-fungsi ber-beda antara individu berimplikasi kebutuhan berbagai zat gizi yang berbeda pula.

Berbagai pengalaman klinis dan ratusan makalah tentang biochemical individuality mengenai zat-zat gizi asam amino, vitamin dan mineral mengungkapkan perkembangan menuju suave konsep yang dikemukakan oleh DR. Jean Dausset, pe-menang hadiah Nobel tahun 1980 yang disebut "Kompleks histokompatibilitas. dan sistem immunitas terhadap penyakit dan proses degeneratif". Setiap tubuh manusia mempunyai keunikan dengan sifat kompleks histokompabilitas sehingga kebutuhan dukungan kecukupan gizinya berbeda-beda untuk mencapai fungsi optimal. Pernyataan Dausset sebagai berikut : "An inventory of the immunological capacities of each individual will need to be drawn up ..... In this way, preventive medicine of high precision will be possible; a personalized medicine that will be more efficient and less burdensome for the community than the present mass system"(6).

FAKTOR-FAKTOR ATAU DETERMINAN YANG ME-NENTUKAN PENGGUNAAN JUMLAH ZAT GIZI

Utilisasi atau pemanfaatan suatu zat gizi dalam tubuh, organ dan di tingkat sel yang berjumlah billiunan sangat tergantung dari kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi (ada kurang lebih

45 zat gizi yang saling berinteraksi). Kebiasaan makanan yang dibawa sejak kecil sangat terlekat dengan faktor sosio-budaya, derajat ketersediaan biologis zat gizi, keadaan sehat atau sakit, kisaran kebutuhan individual, perilaku hidup (lifestyles), dan faktor polusi yang terkendalikan dan yang tak terkendalikan yang selanjutnya mempengaruhi tubuh atau status gizi dan ke- sehatan. GIZI DAN WAWASAN KESEHATAN LINGKUNGAN

Kebutuhan gizi sangat dipengaruhi oleh kualitas kesehatan lingkungan; sanitasi lingkungan, kebersihan air maupun ke-amanan (safety) pangan dapat menentukan kualitas kehidupan manusia umumnya dan status gizi dan kesehatan khususnya. Dengan isu mutakhir tentang pemanasan bumi dan perubahan iklim, efek radiasi sinar ultraviolet dapat mempengaruhi ke-butuhan gizi tertentu, terutama dari golongan antioksidan untuk menangkal pengaruh negatif radikal bcbas.

Sejak lebih dari dua puluh tahun berselang, dunia kedokter-an di luar negeri telah membuktikan pengaruh merokok terhadap kejadian kanker, penyakit kardiovaskular, bronkhitis, emfisema, dan sindrom berat badan lahir rendah; juga polusi udara karena merokok terutama yang pasif dapat mengauskan cadangan vita-min C yang pada gilirannya dapat menurunkan daya tahan tubuh. Polusi yang tidak terkendalikan akibat pesatnya industrialisasi dan urbanisasi sering dialami dalam kehidupan sehari-hari se-perti kadmium dalam asap rokok, ikan yang mungkin tercemar merkuri, merkuri dalam sepuhan rambut, kosmetik yang tidak aman, Pb dalam uapan gas kendaraan, pestisida, inscktisida, plasticizers yang mengandung PCB (polychlorinated biphenyl) atau polyvinyl chloride (PVC). Masih banyak polutan toksik yang bisa menimbulkan penyakit degeneratif, sebahagian masih asumsi meskipun sudah dibuktikan dengan percobaan hewan, karena sangat tidak mungkin membuktikannya pada manusia.

Sebagai contoh dikemukakan dua contoh berikut ini. Pe-ngaruh kadmium telah dibuktikan dapat menyebabkan defisiensi zat-zat gizi tertentu seperti vitamin C, D, B6, seng, besi, mangan, Cu, selenium dan kalsium(7). Pada jangka pan jang dapat merusak ginjal, kelenjar adrenal dan anemia(8). Penimbunan kadmium dalam tubuh berlangsung lamban di organ ginjal dan hati dan sedikit sekali yang dapat dikeluarkan(9); ternyata vitamin C dan besi dapat mengurangi deposit kadmium tersebut dan zat gizi selenium dan seng dapat berfungsi sebagai proteksi terhadap toksisitas kadmium(10). Contoh lainnya adalah Pb dari uapan gas kendaraan umum dan dari makanan. Polusi Pb yang progresif mengakibatkan anemia, kerusakan ginjal, tiroid, jantung serta degenerasi otak(11). Sumber kontaminasi Pb dalam makanan, terutama dari makanan kaleng yang rusak seperti sup, ikan, daging dan sebagainya dapat mengandung Pb melebihi nilai toleransi maksimal sebesar 150 mcg sehari(12). Defisiensi gizi lebih memperberat pengaruh Pb, terutama bila cadangan seng, besi, kalsium dan fosfor berkurang(13), suplementasi mineral khususnya besi dan seng memulihkan keracunan Pb(13), ke-mudian terungkap pula bahwa suplemen vitamin E dapat mengurangi keracunan Pb(14). Ketahanan tubuh terhadap zat-zat 11

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 8

toksik dari lingkungan perlunya diupayakan melalui status gizi yang optimal.

KESIMPULAN Telah diuraikan tinjauan pengertian, batasan, kegunaan ke-

cukupan gizi yang dianjurkan (RDA). Diamati kemajuan penge-tahuan ilmu gizi serta aplikasinya dan meningkatnya penyakit degeneratif terutama sebagai akitiat urbanisasi, industrialisasi yang cepat, peningkatan polusi lingkungan yang tidak terhindar- kan dan faktor-faktor penghambat konsumsi zat gizi lainnya. Melalui pendekatan dari segi gerontologi dan keamanan ke- cukupan gizi pada rentang hidup (lifespan), sifat biokimia per-orangan yang mencirikan juga kompleks histokompatibilitas tubuh untuk mencegah penyakit degeneratif dapat dijadikan dasar pemecahan masalah pencegahan penyakit degeneratif.

KEPUSTAKAAN

1. Darwin Karyadi, Muhilal. Kecukupan gizi yang dianjurkan. Jakarta: Gramedia. 1985. hal. 3.

2. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Lembaga Ilmu Pengetahuan 9

Indonesia (LIPI). 1988. hal. 112. 3. Hegarty V. Decisions in Nutrition. Times Mirror/Mosby College Publish-

ing, 1988. hal. 47. 4. Walford RL. The 120 year Diet. New York : Simon and Schuster. 1986.

hal. 155. 5. Williams RJ. Biochemical individuality. New York: Wiley. 1956. 6. Dausset J. Science 1981; 213: 1474. 7. Spivey MR. et al. In: Micronutrient Interactions: Vitamins, minerals and

hazardous elements. Levander OA, Cheng L. (eds). Ann. N.Y. Acad. Sci. 1980; 355.

8. Nordberg (ed). Effects and Dose Response Relationship of Toxic Metals. Amsterdam: Elsevier, 1976.

9. Spivey. In: Micronutrient Interactions: Vitamins, Minerals and Hazardous elements. Levander OA, Cheng L. (eds). Ann. N.Y. Acad. Sci. 1980; 355.

10. Mason KB, Young JO. Selenium in Biomedicine. ed. OH. Muth dkk. Wetport Conn., 1967.

11. Petering HG. In: Micronutrient Interactions: Vitamis, Minerals and Hazardous elements. Levander OA, Cheng L (eds). Ann. N.Y. Acad. Sci. 1980; 355.

12. Consumer Report, July 1981. p. 376. 13. Mahaffey KR, Rader JI. In: Micronutrient Interactions: vitamins, minerals

and hazardous elements. Levander OA, Cheng L. (eds). Ann. N.Y. Acad. Sci. 1980; 355.

14. Levander OA, Cheng L. (eds). Micronutrients Interactions: vitamins, minerals and hazardous elements. Ann. N.Y. Acad. Sci. 1980; 355

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 9

Teori Radikal Bebas dalam Gizi dan Kedokteran

Muhilal Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Departemen Kesehatan RI, Bogor

SUMMARY

A free radical is any species capable of independent existence that contains one/more unpaired electrons. One source of the initial production of free radicals is the reduction of molecular oxygen to water which involves several active intermediates producing hydrogen peroxide. The existing iron will react with hydrogen peroxide to produce the hydroxy radical. The hydroxy radical is regarded as potentially the most severe threat to a living system. Targets for attacks are DNA, protein and polyunsaturated fatty acid phospholipids. Examples of diseases caused by free radical attacks are atherosclerosis, cataract, cancer, autoimmune, aging and many others. Minerals and antioxidants necessary as free radical scavengers are Zn, Se, Mn, Cu, vitamin E, beta-carotene and vitamin C. These nutrients should be available in adequate amounts every day in daily diet or by supplementation.

PENDAHULUAN

Kehidupan manusia mutlak memerlukan oksigen. Peran utama oksigein dalam kehidupan manusia adalah dalam proses oksidasi pembentukan energi (aerob). Kekurangan oksigen dalam beberapa menit akan berakibat sangat fatal. Dalam tahap akhir proses oksidasi ini oksigen direduksi untuk membentuk molekul H2O. Proses reduksi oksigen dalam rangkaian elektron transpor di mitochondria ini merupakan contoh salah satu awal yang berpeluang untuk terbentuknya radikal bebas karena ada peluang tidak seluruh oksigen tereduksi men jadi H20 . Tentu saja banyak proses-proses lain yang mempunyai peluang untuk terbentuknya radikal bebas(1,2).

Radikal bebas banyak mendapat perhatian akhir-akhir ini karena dianggap berperan cukup signifikan dalam proses terjadi-nya berbagai penyakit degeneratif, antara lain atherosklerosis, katarak, penyakit jantung, kanker, autoimun dan ketuaan. Karena itu teori radikal bebas dan cara-cara pemunahannya mendapat perhatian cukup besar dalam bidang gizi dan kedokteran akhir-akhir ini. Makalah-makalah dari hasil penelitian maupun telaah

tentang radikal bebas ini semakin banyak meskipun belum seluruhnya terungkap dengan sangat jelas dan sangat terinci. Masalah radikal bebas sudah pernah ditulis dalam CERMIN DUNIA KEDOKTERAN antara lain oleh FD Suyatna dengan judul Radikal Bebas dan Iskemia(3).

Untuk memberi gambaran mengenai radikal bebas, dalam makalah ini akan ditelaah secara singkat tentang definisi radikal bebas, terbentuknya, kerusakan yang dapat ditimbulkannya dan kemungkinan pencegahannya. DEFINISI RADIKAL BEBAS

Radikal bebas (free radical) didefinisikan sebagai suatu atom atau molekul yang mempunyai satu elektron atau lebih yang tanpa pasangan(1). Dengan demikian secara teoritis radikal bebas dapat terbentuk bila terjadi pemisahan ikatan kovalen. Untuk menggambarkan suatu atom atau molekul berupa radikal bebas biasanya diberikan tanda titik di sebelah atas, misalnya OH . Radikal bebas dianggap berbahaya karena menjadi sangat

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 10

reaktif dalam upaya mendapatkan pasangan elektronnya; dapat pula terbentuk radikal bebas baru dari atom atau molekul yang elektronnya terambil untuk berpasangan dengan radikal bebas sebelumnya.

Dalam gerakannya yang tidak beraturan, karena sangat reaktif, radikal bebas dapat menimbulkan kerusakan di berbagai bagian sel. PEMBENTUKAN RADIKAL BEBAS

Awal terjadinya radikal bebas antara lain dari proses reduksi molekul oksigen (zat asam) dalam rangkaian elektron transpor dalam mitochondria atau dalam proses-proses lain yang terjadi secara acak dari berbagai proses kimiawi dalam tubuh yang melibatkan senyawa organik maupun inorganik.

Radikal bebas yang berupa peroksil anion ini akan bereaksi dengan dua proton (2 H+) membentuk hidrogen peroksida (H2O2). Hidrogen peroksida dapat pula terbentuk dari air (H20) yang terkena radiasi (sinar B maupun J) dan karena proses-proses lain. Dengan keberadaan zat besi (Fe2+) hidrogen peroksida tersebut mengalami serangkaian reaksi sehingga terbentuk radikal hidroksil (OH· ) yang sangat reaktif. Radikal bebas yang ter-bentuk ini mempunyai masa paruh yang sangat pendek, tetapi tetap mempunyai potensi besar yang dapat merusak sel. Radikal hidroksil, yang diduga dalam kehidupan kita banyak terbentuk, dianggap lebih berbahaya dibanding bentuk radikal bebas yang lain(1,2).

Pembentukan radikal hidroksil secara teoritis sebagai berikut :

H2O2 + Fe2+ Fe3+ + OH- + OH· (radikal hidroksil)

Reaksi di atas disebut reaksi Fenton karena pertama kali diungkapkan oleh Fenton pada tahun 1894.

Adanya ion Cu+ (cupro) akan pula memberikan reaksi yang sama seperti halnya dengan ferro.

H202 + Cu+ Cu2+ + OH- + OH· (radikal hidroksil)

Tubuh manusia sebenarnya sudah mempunyai proteksi yang luar biasa terhadap peluang adanya ion ferro ini.

Zat besi dalam tubuh sudah terikat oleh berbagai senyawa misalnya oleh transferin dalam serum, oleh feritin dalam sim-panan, oleh haem dalam hemoglobin dan mioglobin dan dalam sel terikat oleh berbagai senyawa yang bersifat kelat (chelating agent). Sehingga keberadaan zat besi bebas untuk mereka yang tidak mengalami kelebihan konsumsi zat besi adalah sangat kecil. Perlu diingat zat besi cukup penting untuk mencegah anemi, memelihara daya tahan tubuh serta produktivitas kerja. Selain itu sudah ada mekanisme dalam tubuh untuk memunah-kan radikal bebas selama zat pemunahnya tersedia. Dengan sendirinya pemunahan radikal bebas mungkin tidak pernah ter- jadi 100%, misalnya mencapai 99,99%. Belum pemah ada yang secara pasti menduga berapa persen maksimal radikal bebas yang dapat dinetralisir dalam tubuh. Penelitian in vivo kiranya tidak (belum ?) akan mampu mengungkapkannya.

Radikal hidroksil dapat juga terbentuk dari peroksida karena adanya ozon (O3).

Contoh lain radikal bebas yang sangat reaktif ialah trichlo- romethyl peroksil (CCl3OO·) yang dapat terbentuk dari oksidasi CCl4.

KERUSAKAN YANG DAPAT TIMBUL Kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh serangan radikal

bebas antara lain :

1) Membran sel Terutama komponen penyusun membran berupa asam

lemak tak jenuh yang merupakan bagian dari fosfolipid dan mungkin juga protein. Perusakan bagian dalam pembuluh darah akan mempermudah pengendapan berbagai zat pada bagian yang rusak tersebut, termasuk cholesterol, sehingga timbul atherosklerosis. Serangan radikal hidroksil pada asam lemak tak jenuh dimulai dengan interaksi oksigen pada rangkaian karbon pada posisi tak jenuh sehingga terbentuk lipid hidroperoksida, yang selanjutnya merusak bagian sel di mana hidroperoksida ini berada(4,5).

2) Kerusakan protein Terjadinya kerusakan protein termasuk oksidasi protein

akan mengakibatkan kerusakan jaringan tempat protein itu berada; sebagai contoh kerusakan protein pada lensa mata mengakibatkan terjadinya katarak(6).

3) Kerusakan DNA (deoxy nucleic acid) Radikal bebas hanya salah satu dari banyak faktor yang

menyebabkan kerusakan DNA. Penyebab lain misalnya virus, radiasi dan zat kimia karsinogen. Sebagai akibat kerusakan DNA ini dapat timbul penyakit kanker(1,2). Kerusakan dapat berupa kerusakan awal, fase transisi dan permanen.

4) Peroksida Iipida Lipida dianggap molekul yang paling sensitif terhadap

serangan radikal bebas sehingga terbentuk lipid peroksida. Ter- bentuknya lipid peroksida yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan lain dianggap salah satu penyebab pula terjadinya berbagai penyakit degeneratif(1,2).

5) Dapat menimbulkan autoimun Autoimun adalah terbentuknya antibodi terhadap suatu sel

tubuh biasa. Pada keadaan normal antibodi hanya terbentuk bila ada antigen yang masuk dalam tubuh(1). Adanya antibodi untuk sel tubuh biasa dapat merusak jaringan tubuh dan sangat ber-bahaya.

6) Proses ketuaan Secara teori radikal bebas dapat dipunahkan oleh berbagai

antioksidan, tetapi tidak pernah mencapai 100%. Karena itu secara pelan dan pasti terjadi kerusakan jaringan oleh radikal bebas yang tidak terpunahkan. Kerusakan jaringan secara pelan ini merupakan proses terjadinya ketuaan. Yang ingin awet muda perlu banyak mengkonsumsi zat gizi yang dapat memunahkan radikalbbebas(1).

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 11

Beauty passes, wisdom remains

KEMUNGKINAN PENCEGAHAN/PEMUNAHAN RA-DIKAL BEBAS

Pencegahan pembentukan radikal bebas yang reaktif dapat dilakukan antara lain dengan : 1) Pemunahan zat awalnya yang berupa peroksida ataupun hasil metabolisme oksigen oleh enzim superoksid dismutase (SOD). Enzim SOD di mitochondria mengandung Mn (mangan), sedangkan dalam sitosol bekerjanya enzim SOD memerlukan bantuan Cu (tembaga) dan Zn (seng).

Dengan demikian pengendalian tahap awal radikal bebas yang terbentuk pada tingkat awal memerlukan bantuan mineral Mn, Cu dan Zn. Selenium (Se) merupakan mineral yang berperan sebagai antioksidan. Ke empat mineral tersebut perlu tersedia cukup dalam makanan kita. 2) Pemunahan dengan menggunakan zat gizi yang juga ber-peran sebagai antioksidan; yang sudah banyak diteliti yakni vitamin E, karoten dan vitamin C.

Vitamin E dan karoten merupakan antioksidan yang larut dalam lemak (tidak polar) sedangkan vitamin C merupakan antioksidan yang larut dalam air (polar). Kedua jenis antioksidan harus selalu ada dalam tubuh.

Hasil berbagai penelitian dengan menggunakan hewan per-cobaan telah mendukung teori bahwa konsumsi antioksidan yang memadai dapat mengurangi peluang terjadinya berbagai pe-nyakit degeneratif termasuk kanker. Demikian pula berbagai hasil kajian secara epidemiologis serta penelitian retrospektif pada manusia memberikan hasil yang serupa. Berbagai pene-litian tersebut telah mengungkapkan : — Peran vitamin E dan vitamin C untuk mengurangi risiko

penyakit kardiovaskular(4,5). — Peran vitamin E dan vitamin C untuk mencegah katarak(6). — Peran beta karotin dalam mencegah kanker(7).

Dalam aplikasi kehidupan sehari-hari berbagai zat gizi yang bersifat antioksidan tersebut banyak terdapat dalam sayuran dan buah-buahan. Bila konsumsi Zn, Se, Cu, vitamin E, vitamin C dan karotin dari makanan sudah mencukupi maka tidak di-perlukan suplemen.

Pemunahan radikal bebas hanya dapat dilakukan bila tepat tempat, tepat waktu dan tepat dosis. Bila antioksidan diperlukan pada membran dari mikrosom sedangkan keberadaannya di sitosol maka antioksidan tersebut tidak tepat tempat. Dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilakukan untuk memunahkan radikal bebas yang terbentuk ialah mengkonsumsi zat gizi yang gg

berperan sebagai antioksidan secukupnya setiap hari, sehingga keberadaan antioksidan tepat tempat, tepat waktu dan tepat dosis terjadi seperti yang diharapkan pada berbagai bagian sel.

Bila kerusakan sudah terjadi, maka antioksidan rupanya tidak mampu memperbaiki tetapi dapat mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut.

Tambahan konsumsi berbagai zat gizi tersebut diatas melalui pil, kapsul dan sebagainya hanya diperlukan bagi mereka yang konsumsi dari makanannya tidak memenuhi kecukupan. Tetapi dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan yang diterbitkan di Indonesia belum ada komposisi Zn, Mn, Cu, Se dan vitamin E, sehingga mereka yang menyadari pentingnya pemunahan radi-kal bebas dapat mengkonsumsi ekstra zat gizi tersebut dari pil ataupun kapsul.

Mengingat adanya dugaan kuat bahwa awal pembentukan radikal bebas adalah dari oksigen maka menjadi pertanyaan apakah bagi yang senang berolahraga, yang otomatis mengkon-sumsi oksigen lebih banyak, mempunyai peluang lebih besar mengalami kerusakan sel akibat banyaknya radikal bebas yang terbentuk? Hasil pengumpulan data oleh Pauling terhadap 461440 pria berumur 45 sampai 90 tahun menggambarkan bahwa angka kematian jauh lebih rendah bagi yang banyak berolahraga(9). Hal ini menggambarkan bahwa tubuh masih mampu memunahkan radikal bebas yang mungkin terbentuk waktu terjadi peningkat-an konsumsi oksigen; meskipun demikian olahraga yang ber-lebihan juga tidak dianjurkan.

KEPUSTAKAAN

1. Halliwell B, Gutteridge JMC. Free radicals in biology and medicine. Oxford: Clorendon Press, 1985.

2. Diplock AT. Antioxidant nutrients and disease prevention: an overview. Am. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 189 S — 193 S.

3. Suyatna FD. Radikal bebas dan iskemia. Cermin Dunia Kedokt. 1989; 57: 25— 8.

4. Esterbauer H, Rothemeder MD, Striegi G, Waeg G. Role of vitamin E in preventing the oxidation of low density lipoprotein. Am. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 314 S — 321 S.

5. Trout DL. Vitamin C and cardiovascular risk factor. Am. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 322 S — 325 S.

6. Roberston J Mc D, Douner AP, Trevithick JR. A possible role of for vitamin C and E in cataract prevention. Am. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 346 S — 351 S.

7. Stahelin HB, Gey KF, Eichholzer M, Ludin E. B carotene and cancer prevention : The Basel Study. Am. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 265 S — 269 S.

8. Ziegler RG. Vegetables, fruit and carotenoids and the risk of cancer. Am. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 251 S — 269 S.

9. Pauling L. How to live longer and feel better. New York: Avon Books, 1986.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 12

Pengaruh Gizi terhadap Penyakit Kardiovaskular

Susllowati Herman Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Departemen Kesehatan RI, Bogor

PENDULUAN Di Indonesia, kedudukan penyakit kardiovaskular sebagai

penyebab kematian semakin meningkat. Pada SKRT (Survai Kesehatan Rumah Tangga) tahun 1972, penyakit ini masih menduduki peringkat ke empat, dan delapan tahun kemudian menjadi peringkat ke tiga(1,2). Enam tahun berikutnya yaitu tahun 1986, penyakit kardiovaskular menjadi pembunuh nomor satu untuk usia di atas 45 tahun(3). Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal Badan Ke-sehatan Dunia (WHO), Hitoshi Nakajima dalam World Health Assembly 1990, bahwa penyakit kardiovaskular merupakan pembunuh nomor satu di dunia. Diperkirakan 12 juta orang me-ninggal setiap tahun karena penyakit kardiovaskular, sementara penyakit kanker 4,8 juta dan diare 5 juta orang(4).

Dalam mengantisipasi kecenderungan penyakit kardio-vaskular yang semakin meningkat dan mengkhawatirkan, WHO telah memprakarsai studi MONICA (Multinational Monitoring of Trends Determinants in Cardiovascular Diseases) yang di-mulai tahun 1984. Studi ini melibatkan sekurang-kurangnya 26 negara, termasuk Indonesia. Upaya-upaya untuk mengidenti- fikasi faktor risiko penyakit kardiovaskular dan kemudian mengendalikan beberapa faktor risiko yang mungkin dapat di-kendalikan, merupakan langkah strategis dalam pencegahan penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular dapat berben- tuk atherosklerosis, penyakit jantung koroner, serangan jantung (heart attack), stroke, hipertensi, kegagalan jantung kongestif dan penyakit vaskuler perifer(5). Makalah ini akan membahas beberapa faktor risiko penyakit kardiovaskular, dan lebih tajam lagi akan dibahas pengaruh gizi terhadap penyakit tersebut.

FAKTOR RISIKO

Faktor risiko diartikan sebagai karakteristik apa saja yang berasosiasi dengan insiden suatu penyakit di atas rata-rata. Garri-aa

son dan Somer, 1985 mengelompokkan faktor risiko penyakit kardiovaskular menjadi dua kelompok yaitu faktor risiko primer dan faktor risiko sekunder. Faktor risiko primer mencakup hiper- tensi, merokok, kholesterol darah meninggi, dan meningginya kholesterol berkerapatan rendah (LDL). Sementara faktor risiko sekunder mencakup obesitas atau kegemukan (berat badan ≥ = 20% dari berat ideal), diabetes, stres, kurang kegiatan fisik (aerobik), keturunan (genetik), jenis kelamin (pria), trigliserida darah meninggi, dan meningkatnya umur(5). Sampai saat ini masih terdapat kontroversi apakah obesitas termasuk faktor risiko primer atau sekunder(6). Faktor risiko, apakah berupa diet, kebiasaan atau bertambahnya umur, merupakan tanda bahaya. Jika diabaikan, akan merupakan predisposisi seseorang ber-peluang lebih besar, cepat atau lambat, menderita penyakit yang dialami orang lain dengan ciri-ciri atau karakteristik yang sama. Jika seseorang mempunyai tiga faktor risiko, peluang menderita penyakit jantung enam kali lebih besar daripada orang lain yang hanya memiliki satu faktor risiko. Secara skematis faktor-faktor risiko tersebut digambarkan pada Gambar 1(5). Faktor risiko seperti genetik, bertambahnya umur, ras dan jenis kelamin (le- laki) tidak dapat dikendalikan. Tampak jelas pada Gambar 1, bahwa sebagian besar faktor risiko berkaitan dengan diet. Akan tetapi pengaturan diet saja tidak menjamin penyakit jantung dapat dicegah. Bagaimanapun, peran gizi dalam beberapa faktor risiko primer dan sekunder, dapat memberi sumbangan dalam pencegahan dan pengobatan penyakit kardiovaskular.

Penyebab penyakit kardiovaskular adalah multifaktorial. Secara umum telah disepakati bahwa kadar kholesterol yang tinggi dalam darah, hipertensi, dan merokok berperanan penting dalam terjadinya atherosklerosis yang merupakan salah satu bentuk penyakit kardiovaskular(7). PERANAN GIZI

Seperti telah dikemukakan sebagian besar faktor risiko aaaaa

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 13

Faktor risiko lainnya : tekanan batin (stress), umur, genetik, gizi-buruk

penyakit jantung, baik faktor risiko primer maupun sekunder, banyak berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan diet. Faktor gizi yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini adalah masukan kholesterol, jumlah dan macam lemak, energi, protein, vitamin A, E dan C, serat makanan dan beberapa mineral khususnya Na, Fe, Ca, Mg, Cu, Zn dan Se. Sementara faktor bukan gizi yang akan dibahas adalah alkohol dan kopi.

Masukan kholesterol Kholesterol dalam darah berasal dari dua sumber, yaitu diet

atau kholesterol eksogen dan hasil sintesis dalam tubuh atau kholesterol endogen. Hanya sekitar 25%—50% kholesterol dari diet yang dapat diabsorbsi, selebihnya dibuang melalui tinja. Jika masukan kholesterol meningkat, sintesis kholesterol akan ditekan.

Studi klinis, epidemiologi maupun studi dengan hewan per- cobaan memperlihatkan bahwa masukan kholesterol merupakan faktor terpenting yang menentukan kadar kholesterol dalam darah. Peningkatan kholesterol dalam darah merupakan faktor risiko yang penting pada penyakit kardiovaskular. Risiko ini terutama berhubungan dengan peningkatan kadar kholesterol berkerapatan rendah (LDL) dalam darah. Sebaliknya penurunan kadar kholesterol berkerapatan tinggi (HDL) juga merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Dengan demikian konsep normal kadar kholesterol total dalam darah hanya mempunyai arti kecil; studi observasi menunjukkan bahwa satu populasi dengan rata-rata kholesterol total dalam darah 10% lebih rendah daripada populasi lain, akan menderita penyakit kardiovaskular sepertiga lebih rendah, dan perbedaan 30% kholesterol total dalam darah diperkirakan menyebabkan perbedaan penyakit kardiovaskular sampai empat kali(8). Rasio LDL-HDL merupa-kan faktor risiko yang lebih penting daripada total kholesterol dalam darah maupun LDL dan HDL secara terpisah(6). Keys dkk pada tahun 1965 dan Hegsted dkk pada tahun yang sama telah mengembangkan suatu formula (rumus) untuk mengestimasi atau memperkirakan perubahan kholesterol dalam darah. Kedua a

rumus tersebut adalah sebagai berikut :

delta Chol = 1,35 (2 delta S — delta P) + 1,52 delta Z(9)

delta chol = 2,16 delta S — 1,65 delta P + 0,0677 delta C — 0,53(10) Delta Chol = estimasi perubahan kholesterol dalam darah (mg/dl) Delta S = perubahan persen energi yang berasal dari lemak jenuh per hari Delta P = perubahan persen energi yang berasal dari lemak tak jenuh ganda Delta Z = perubahan akar kuadrat dari masukan kholesterol dalam mg per

1000 Kilo kalori Delta C = masukan kholesterol (mg/hari).

Rumus atau formula di atas berlaku secara umum, namun se- tiap individu mempunyai respon yang berbeda terhadap masukan kholesterol. Perbedaan respon ini disebabkan pengendalian se-cara genetik dalam metabolisme lemak(11,12). Sebagai konse-kuensinya akan terdapat kelompok orang yang tidak mengalami kenaikan kadar kholesterol dalam darahnya walaupun masukan kholesterol meningkat tajam. Kelompok orang-orang ini dina-makan hiporesponder. Sebaliknya terdapat pula kelompok orang yang mengalami kenaikan kadar kholesterol dalam darah secara tajam, walaupun masukan kholesterolnya hanya meningkat se-dikit. Kelompok ini disebut hiperresponder. Susilowati, 1991 dalam penelitiannya menggunakan tikus percobaan mendapatkan bahwa masukan kholesterol yang tinggi dalam makanan dapat mempengaruhi kadar kholesterol darah dan meningkatkan kholesterol dalam hati secara dramatis(13).

Masukan lemak Dalam mengkaji hubungan antara masukan lemak dengan

penyakit kardiovaskular, perlu diperhatikan proporsi energi berasal dari lemak serta macam lemak yang dikonsumsi.

Berdasarkan sumbernya lemak dapat dibedakan menjadi dua yaitu lemak nabati dan hewani. Secara umum lemak nabati lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh ganda (PUFA = Polyunsaturated fatty acid) maupun tunggal (MUFA = Monounsaturated fatty acid), kecuali lemak yang berasal dari kelapa. Sementara lemak hewani umumnya banyak mengan-dung lemak jenuh (SAFA = Saturated fatty acid), seperti asam miristat (C14), asam palmitat (C16), asam stearat (C18). Meng-konsumsi banyak asam lemak jenuh akan meningkatkan kadar kholesterol dan trigliserida dalam darah. Makanan hewani selain banyak mengandung lemak jenuh juga mengandung kholesterol, sebaliknya makanan nabati yang sedikit mengandung lemak jenuh, juga tidak mengandung kholesterol.

Macam lemak dalam diet merupakan faktor tunggal dalam diet yang paling kuat mempengaruhi konsentrasi kholesterol. Studi di tujuh negara menunjukkan hubungan yang positif antara masukan lemak jenuh dan insiden kardiovaskular selama 10 tahun. Populasi dengan rata-rata masukan lemak jenuh 3% dan 10% dari masukan energi, bercirikan kholesterol total dalam darah 5,17 mmol/l (200 mg/dl), dan tingkat kematian karena penyakit kardiovaskular juga rendah. Jika masukan lemak jenuh di atas 10% dari masukan energi, akan terlihat peningkatan kematian karena penyakit kardiovaskular(8). Di antara berbagai aa

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 14

macam asam lemak jenuh, asam palmitat (C16:0) dan asam miristat (C14:0), mempunyai pengaruh paling kuat terhadap kholesterol total dalam darah. Sementara asam lemak jenuh dengan rantai karbon di bawah 10 atau di atas 18, pengaruhnya kurang kuat terhadap kholesterol total dalam darah. Asam laurat (C12:0) dan asam miristat (C14:0) banyak terdapat pada minyak kelapa, sementara asam palmitat (C16:0) dan asam stearat (C 18:0) banyak terdapat pada kakao.

Peranan asam lemak tak jenuh seperti asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA), asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) baik dari kelompok omega-3 maupun omega-6, dalam pencegahan pe-nyakit kardiovaskular masih tetap belum jelas. Penduduk di negara-negara Mediteranian yang mengkonsumsi lemak di atas 40% dari masukan energi, mempunyai kejadian penyakit kardio- vaskular rendah. Sementara orang-orang Eskimo yang juga meng- konsumsi lemak tinggi, terutama dari jenis lemak omega-3, kejadian penyakit kardiovaskular juga rendah. Perlu diingat bahwa ciri susunan diet orang-orang Eskimo dan Mediteranian adalah rendah asam lemak jenuh. Belum tersedia informasi tentang pengaruh diet yang mengandung asam lemak omega-6 di atas 7% dari masukan energi dalam jangka waktu lama di dalam suatu populasi.

Penelitian klinik dan penelitian menggunakan hewan per-cobaan membuktikan bahwa asam lemak omega-6 yang dipakai untuk menggantikan asam lemak jenuh, dapat menurunkan kholesterol total, LDL, dan HDL dalam darah. Minyak ikan yang kaya asam lemak omega-3 secara taat azas menurunkan trigli-serida darah dan memperpanjang waktu pembekuan darah. Pengaruh asam lemak omega-3 terhadap LDL bervariasi. Data tentang pengaruh asam lemak omega-3 dosis tinggi terhadap kesehatan dalam jangka waktu lama, masih terbatas. Sebuah studi epidemiologi di Belanda menunjukkan bahwa mengkon-sumsi ikan sekurang-kurangnya 30 g dengan frekuensi 1–2 kali per minggu dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskulat(14).

Studi klinik dan studi menggunakan hewan percobaan memberikan indikasi bahwa penggantian asam lemak jenuh dengan asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) dalam diet, berhasil menurunkan kadar kholesterol total dan LDL dalam darah tanpa penurunan HDL(15). Akhir-akhir ini dalam anjuran diet banyak dipakai rasio antara PUFA, SAFA, dan MUFA, 1:1:1(5). Di antara asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA), asam oleat (C18:1) paling banyak dijumpai di alam. Asam ini banyak didapati pada minyak biji zaitun (rape seed oil), minyak biji matahari, minyak biji safflower yaitu tumbuhan yang berasal dari Erasia dengan kandungan antara 65–85%. Dari kelompok asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) omega-6, asam linoleat (C18:1) adalah yang paling banyak dijumpai. Asam lemak ini banyak terdapat pada minyak nabati seperti minyak biji matahari (65%), margarin lunak (60%), minyak jagung (60%) dan minyak kedelai (55%). Sementara asam lemak omega-3 juga didapati pada minyak nabati seperti minyak biji rami (50%), minyak kedelai (10%). Asam lemak omega-3 dengan atom C rantai panjang dan ikatan rangkap 5 (asam eikosapentanoat = EPA) atau 6 (asam dokosaheksanoat = DHA) banyak dijumpai pada ikan.

Masukan energi Masukan energi yang berlebihan baik energi yang berasal

dari karbohidrat, lemak, protein maupun alkohol, dapat mem-pertinggi trigliserida dan kholesterol dalam darah. Dalam mempelajari hubungan antara masukan energi dengan penyakit kardiovaskular, tidak dapat hanya melihat masukan energi saja, melainkan harus diperhatikan proporsi energi yang berasal dari lemak terutama lemak jenuh serta kaitannya dengan obesitas dan aktifitas fisik.

Peranan obesitas dalam etiologi atherosklerosis dan pe-nyakit kardiovaskular masih belum jelas. Adipositas berkorelasi terbalik dengan konsentrasi HDL. Peningkatan jaringan adipos yang berarti pula peningkatan berat badan, akan diikuti penurunan HDL yang selanjutnya risiko mendapatkan penyakit kardio-vaskuler akan meningkat. Obesitas atau kegemukan berkaitan erat dengan gaya hidup tertentu termasuk diet atau makanan yang berlebih serta latihan fisik yang kurang. Dengan demikian pengontrolan berat badan dengan latihan fisik dan diet yang seimbang merupakan upaya yang baik dalam mengurangi atau memperkecil risiko terkena penyakit kardiovaskular.

Protein Dalam penelitian dengan hewan percobaan ditemukan bahwa

diet yang mengandung tinggi protein terutama protein hewani akan mengakselerasi atherosklerosis. Kasein mempunyai efek hiperkholesterolemik dan lebih aterogenik dibandingkan dengan protein kedelai(16

,17). Pada penelitian menggunakan hewan

percobaan, protein kedelai masih mampu menekan kenaikan kholesterol darah walaupun dalam dietnya ditambah 1% kho-lesterol(13). Studi lain yang menggunakan protein kedelai dan protein nabati lain untuk menggantikan kasein, juga memberikan hasil yang sama(18,19). Tampaknya pengaruh macam protein (protein kedelai) terhadap penurunan kholesterol dalam darah lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh asam lemak omega-6 maupun asam lemak omega-3, walaupun terdapat interaksi antara keduanya.

Vitamin A, E dan C Vitamin A dan E berperan dalam melindungi endotelium

dan juga merupakan antioksidan yang dapat melindungi peroksidasi lemak. Vitamin A dan E dapat melindungi kejadian agregasi platelet, mempengaruhi transpor oksigen dan peng-gunaannya, meningkatkan HDL dan meningkatkan kemampuan asam nikotinat dalam menurunkan lipida darah(5). Vitamin A dan E dapat berperan dalam pencegahan primer terhadap kelainan metabolisme yang merupakan penyebab hiperlipoproteinemia, dan dapat pula berperan dalam pencegahan sekunder untuk mengurangi lipida darah yang dapat menyebabkan risiko atero-genesis.

Gey (1991)(20) dalam penelitiannya menyimpulkan adanya korelasi negatif yang kuat antara konsentrasi vitamin E dalam darah dengan kematian karena penyakit jantung iskhemik (PJI), juga ditemukan korelasi negatif yang tidak begitu kuat antara kadar vitamin A dalam darah dengan kematian karena PJI. Jika tiga faktor risiko penyakit kardiovaskular yaitu kholesterol, aa

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 15

hipertensi dan merokok, dikontrol, kombinasi vitamin E dan A mempunyai korelasi negatif yang sedikit lebih kuat dibandingkan dengan vitamin E tersendiri. Dalam kesimpulan akhir dike-mukakan bahwa efek protektif dari vitamin E dapat ditingkatkan oleh vitamin A, karoten, dan vitamin C.

Observasi penggunaan vitamin C dosis tinggi untuk me-nurunkan kholesterol darah pada hewan percobaan (kelinci dan babi) yang diberi diet kholesterol mengilhami suatu ide bahwa vitamin C dapat menurunkan kholesterol darah para penderita hiperkholesterolemia. Untuk mengkaji hal tersebut, dilakukan studi klinik yang tidak terkontrol (uncontrolled clinical trials). Studi klinik tersebut menunjukkan hasil yang bertentangan, yaitu tidak terbukti bahwa vitamin C berhubungan dengan penyakit kardiovaskular(21)

.

Mineral Mengenai peranan garam Natrium (Na) dalam hubungan-

nya dengan penyakit kardiovaskular, terutama hipertensi; sampai saat ini masih belum dicapai kesepakatan bulat. Banyak studi epidemiologi dan studi menggunakan hewan percobaan mengungkapkan adanya hubungan tersebut.

Pada kelinci dan tikus yang menderita defisiensi kalsium, kadar kholesterol dalam darahnya meningkat. Suplementasi kalsium pada hewan percobaan dapat menurunkan lipida darah mendekati atau bahkan lebih rendah daripada kontrol, tetapi juga berasosiasi dengan insidensi lesi jantung dan lesi ginja1(22). Pe-nelitian yang tidak terkontrol terhadap 10 penderita hiperlipide-mia menunjukkan bahwa penambahan 800 mg kalsium per hari (dalam bentuk kalsium karbonat) selama satu tahun, dapat menurunkan kholesterol dalam darah sebanyak 25%. Penelitian lain terhadap sekelompok wanita yang berusia lebih tua, suple-mentasi 750 mg kalsium per hari dapat menurunkan kholesterol darah 36 mg/dl dari rata-rata 266 mg/dl(22).

Magnesium dan kalsium mungkin berinteraksi dengan lemak dalam promosi terjadinya lesi aterosklerotik. Pada hewan per-cobaan, peningkatan insiden lesi jantung dan lesi ginjal ber-asosiasi dengan masukan kalsium yang sangat tinggi, dan ini dapat diturunkan atau bahkan dihilangkan dengan diet tinggi magnesium. Efek protektif ini hanya berlaku jika masukan kal-sium sangat tinggi (0,6% berat), dan hanya berlaku jika terdapat kenaikan kholesterol darah(22).

Pada hewan percobaan, defisiensi tembaga (Cu) berasosiasi dengan kerusakan kardiovaskular dan ketidaknormalan meta-bolisme kholesterol. Dalam satu studi pada manusia, defisiensi Cu akan mengakibatkan kenaikan kholesterol dalam darah. Ke-naikan ini mungkin karena Cu merupakan ko faktor untuk enzim yang terlibat dalam sintesis kholesterol dan degradasi lipo-protein(23).

Peningkatan Zn dalam diet akan meningkatkan kebutuhan Mg(24). Atas dasar ini dibuat postulasi bahwa rasio Zn-Cu yang tinggi pada diet orang Amerika, dapat merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular(25). Suplementasi Zn yang diberikan kepada anak dalam jangka waktu panjang, tidak berasosiasi dengan kenaikan kholesterol dalam darah(22). Meski suplemen-tasi Zn dalam dosis tinggi telah dilaporkan dapat menurunkan aa

kholesterol HDL(26), dosis yang fisiologik tidak mempunyai efek pada lipida darah(27).

Selenium (Se) yang sangat rendah dalam diet orang-orang Cina, telah dihubungkan dengan kejadian kardiomiopati pada anak. Meski peran Se sebagai penyebab belum jelas, studi epidemiologi menunjukkan peranan defisiensi Se dalam pe-nyakit kardiovaskular. Di Amerika Serikat, kematian karena penyakit kardiovaskular ditemukan lebih rendah di daerah yang tanahnya mempunyai kandungan Se tinggi. Hal yang serupa juga ditemukan di Swedia, yaitu kematian karena penyakit kardio-vaskular lebih rendah di daerah yang mendapat air dengan kandungan Se lebih tinggi. Akan tetapi studi lain tidak berhasil mendemonstrasikan adanya perbedaan konsentrasi Se dalam serum dan urin dari penderita hipertensi atau penderita penyakit jantung koroner yang meninggal karena infark miokard dan atherosklerosis dibandingkan dengan kontrol(28). Platelet pada manusia mengandung Se lebih banyak daripada jaringan lainnya. Ini memberikan indikasi bahwa defisiensi Se dapat berpengaruh terhadap thrombosis. Dari studi dikemukakan bahwa defisiensi Se mengurangi aktifitas antioksidan platelet, dan aktifitas ini pulih dengan suplementasi Se.

Dalam studi prospektif di Finlandia(29), didapatkan hubung--an antara konsentrasi Se yang rendah dalam darah dengan manifestasi klinik penyakit kardiovaskular. Pada studi kasus kontrol terhadap populasi yang lain, juga di Finlandia, ditemukan korelasi yang tinggi antara kadar Se dalam darah dengan asam eikosapentanoat (EPA). Dalam studi tersebut, sulit memisahkan efek aterogenik dari Se dan asam lemak omega-3, karena ikan merupakan sumber utama Se dan sekaligus sumber asam lemak omega-3 dalam diet orang-orang Finlandia(30).

Peranan zat besi (Fe) dalam penyakit kardiovaskular men-jadi menarik karena kontribusinya pada aterogenesis dan/atau kerentanan miokardium menjadi ishkemik. Tingginya simpanan zat besi dalam hati merupakan faktor risiko tersendiri atau merupakan kombinasi dengan lipoprotein. Zat besi berperan sebagai katalis dalam hidroksil radikal (OH. ) melalui reaksi Haber-Weiss, dan berperanan penting dalam peroksidasi le-mak(31).

Alkohol dan kopi Hubungan antara konsumsi alkohol dengan penyakit kardio-

vaskular sangat kompleks. Masukan alkohol yang tinggi ber-asosiasi dengan kematian karena penyakit kardiovaskular. Konsumsi alkohol yang tinggi akan meningkatkan trigliserida dalam darah dan tekanan darah. Beberapa studi berhasil menun-jukkan bahwa konsumsi alkohol (etanol) dalam jumlah yang rendah atau sedang, akan meningkatkan HDL dalam darah, dan tentu saja ini menguntungkan bagi pencegahan penyakit kardio-vaskular. Meski tampaknya konsumsi alkohol dalam jumlah rendah atau sedang menguntungkan kesehatan jantung, tetapi tidak dianjurkan kepada masyarakat.

Beberapa studi terhadap sejumlah besar individu telah menunjukkan bahwa meminum kopi dapat meningkatkan kholesterol dalam darah. Mekanisme peningkatan ini masih belum jelas, akan tetapi kopi yang dibuat dengan cara diekstraksi aa

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 16

mempunyai efek yang lebih kecil dibandingkan dengan kopi yang dibuat secara tradisional (kopi tubruk).

Serat makanan Serat makanan mempunyai kemampuan menurunkan

kholesterol dalam darah. Pektin, serat makanan yang banyak di-dapati dalam apel dan buah-buahan lain, dapat menurunkan LDL, kholesterol total, dan menekan sintesis kholesterol dalam usus halus pada binatang percobaan.

Konsumsi karbohidrat terutama sukrosa dapat meningkat-kan trigliserida dalam darah, sementara karbohidrat kompleks (pati/tepung) kurang aterogenik dibandingkan dengan karbo-hidrat lain yang lebih sederhana (mono dan disakarida).

PEDOMAN DIET Seperti telah diutarakan pada bab faktor risiko, yaitu bahwa

tidak semua faktor risiko penyakit kardiovaskular dapat diken-dalikan, maka pengaturan diet merupakan salah satu upaya strategis untuk memperkecil risiko penyakit kardiovaskular. Memperhatikan faktor risiko penyakit kardiovaskular dan pe-ranan gizi dalam mengurangi risiko tersebut, maka prinsip diet yang dapat dianjurkan adalah sebagai berikut : 1. Masukan energi seimbang, dalam arti sesuai dengan ke-

butuhan. 2. Energi yang berasal dari lemak tidak lebih dari 30%. 3. Proporsi PUFA:SAFA:MUFA adalah 1:1:1. 4. Batasi konsumsi alkohol dan kopi. 5. Lebih banyak dan lebih bervariasi menggunakan sayur

dan buah. 6. Batasi penggunaan makanan olahan atau yang diawetkan,

dan perbanyak makanan segar.

KEPUSTAKAAN

1. Pundarika R. National Household Survey. Jakarta. Ministry of Health. 1972.

2. Budiarso RP. dkk. Survei Rumahtangga. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 1980.

3. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 1989. 1990. 4. Setianto B. Penyakit Jantung di tahun 2000, Turun atau Naik? Harian

Kompas, 18 Oktober 1990. Hal. 10. 5. Garrison RH, Somer E. The Nutrition Desk Reference. New Canaan,

Connecticut: Keats Publishing, Inc. 1985. 6. Mc Namara DJ. Coronary Heart Diseases. Present Knowledge in Nutri-

tion. 7. US. Department of Health and Human Services. The Surgeon General's

Report on Nutrition and Health. Rocklin, California. Prima Publishing and Communication. 1988.

8. World Health Organization. Diet, nutrition, and the prevention of chronic aaa

diseases. Tech. Rep. Ser. 797. 1990. 9. Keys A, Grande F, Anderson IT. Serum cholesterol response to changes

in the diet. L Iodine value of dietary fat versus 25 P. II. The effect of cholesterol in the diet. III. Differences among individuals. IV. Particular saturated fatty acids in the diet. Metabolism. 1965; 14: 747-87.

10. Hegsted DM, Mc Gandy RB, Myers ML, Stare FJ. Quantitative effects of dietary fat on serum cholesterol in man. Am. J Clin. Nutr. 1965; 17: 281-95.

11. Katan MB, Beynen AC, De Vries JHM, Nobels A. Existence of consistent hypo- and hyperresponders to dietary cholesterol in man. Am. J. Epide- miol. 1986; 123: 221-34.

12. Grundy SM, Vega GL. Plasma cholesterol responsiveness to saturated fatty acids. Am. J. Clin. Nutr. 1988; 47: 822-4.

13. Susilowati H. The influence of background composition of the diet on the lipemic effect of fish oil versus corn oil in rats. Doctor Dissertation. Post Graduate Faculty, University of Indonesia 1991.

14. Kromhout D, Bosschieter EB, Coulander CL. The inverse relation between fish consumption and 20 year mortality from coronary heart diseases. N. Engl J. Med. 1985; 312: 1205-9.

15. Beynen AC. The role of fat as a determinant of serum cholesterol concentrations. Gizi Indon. 1988; XIII(1): 106-12.

16. Kritchevsky D. Vegetable protein and atherosclerosis. J. Am. Oil. Chem. Soc. 1979; 56: 135-40.

17. Meinertz H, Nilausen K, Faergunan O. Soy protein and casein in choles- terol-enriched diets : effects on plasma lipoproteins in normolipidemic subjects. Am. J. Clin. Nutr. 1989; 50: 786-793.

18. Descovich GC et al. Multicenter study of soybean protein diet for out-patient hypercholesterolemic patients. Lancet, 1980. ii: 709-12.

19. Sirtori CR et al. Clinical experience with the soybean protein diet in the treatment of hypercholesterolemia. Am. J. Clin. Nutr. 1979; 32: 1645-8.

20. Gey KF, Puska P, Jordan P, Moser UK. Inverse correlation between plasma vitamin E and mortality from ischemic heart disease in cross-cultural epidemiology. Am. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 326S-34S.

21. Hodges RE. Vitamin, lecithin, and additives. In: Nutrition, lipids, and coronary heart diseases, ed. R. Levy, B. Rifkin, B. Dennis, N. Emst, p. 175-200. New York: Raven, 1979.

22. Mertz W. Effect of dietary components on lipids and lipoproteins: mineral elements. In: Nutrition, lipids, and coronary heart diseases, ed. R. Levy, B. Rifkin, B. Dennis,N. Ernst, p 175-200. New York: Raven. 1979.

23. Klevay LM et al. Increased cholesterol in plasma in a young man during experimental copper depletion. Metabolism. 1984; 33: 1112-18.

24. Sandstead HH. Copper bioavailability and requirements. Am. J. Clin. Nutr. 1982; 35: 809-14.

25. Klevay LM. Coronary heart disease: the zinc/copper hypotheses. Am. J. Clin. Nutr. 1975; 28: 764-74.

26. Hooper PL, Visconti L, Garry PJ, Johnson GE. Zinc lowers high-density lipoprotein-cholesterol levels. JAMA 1980; 244: 196-61.

27. Crouse SF, Hooper PL, Atterbom HA, Papenfuss RL. Zinc ingestion and lipoprotein values in sedentary and endurance-trained man. JAMA 1984; 252 : 785-87.

28. Thomson CD, Robinson MF. Selenium in human health and disease with emphasis on those aspects peculiar to New Zealand. Am. J. Clin. Nutr. 1980; 33: 303-23.

29. Salonen JT, Huttunen A, Pikkarainen J, Puska P. Association betweencardiovascular death and myocardial infarction in a matched-pair longitu- dinal study. Lancet 1982; 22: 175-79.

30. Miettinen TA, Alfthan G, Huttunen JS, Pikkarainen V, Mattila S, Kumlin T. Serum selenium concentration related to myocardial infarction and fatty acid content of serum lipids. B M J 1983; 287: 517-9.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 17

Faktor Gizi pada Penyakit Kanker Herman Sudiman

Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Departemen Kesehatan R.I., Bogor

PENDAHULUAN Keberhasilan pembangunan dari Pelita I sampai Pelita V

mengakibatkan kesejahteraan masyarakat bertambah baik; de- rajat kesehatan dan gizi masyarakat bertambah baik pula. Kom- posisi penduduk juga mengalami perubahan, ditandai dengan peningkatan jumlah usia lanjut. Akibat peningkatan kesejahteraan, derajat kesehatan dan gizi masyarakat tersebut serta perubahan komposisi penduduk, akan terjadi pula perubahan pola penyakit yaitu berkurangnya penyakit-penyakit menular dan gizikurang di satu pihak, dan bertambahnya penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, diabetes dan kanker di lain pihak. Per-ubahan ini diperkirakan akan terjadi di sekitar tahun 2000(1). Fenomena ini di dalam ilmu kesehatan masyarakat disebut transisi epidemiologi sebagai akibat transisi demografi. Survei Kesehat- an Rumah Tangga (SKRT) tahun 1972, 1980, dan 1986 mem-berikan gambaran perubahan pola penyakit tersebut. Peringkat kematian yang disebabkan karena kanker meningkat dari urutan 11, 9 dan 8(2,3,4).

Meski telah lama diperkirakan bahwa diet merupakan salah satu penyebab penyakit kanker, tetapi sampai awal abad ke 20 bukti-bukti empiris belum dilaporkan. Dari penelitian-penelitian awal diketahui bahwa ada efek pencegahan dari hidangan roti penuh (wholemeal bread), sayuran, dan susu segar. Catatan dari perusahaan asuransi menunjukkan bahwa kegemukan merupakan risiko tinggi terhadap kanker(5). Di Amerika Serikat, lebih dari 450.000 orang meninggal dunia setiap tahun karena penyakit kanker. Sekitar 70-90% dari penyakit kanker tersebut berkaitan dengan lingkungan dan gaya hidup (life style). Kurang Iebih 30% dari kematian tersebut karena rokok. Faktor-faktor keturunan (genetik), radiasi, polusi dan eksposur lainnya memberikan kontribusi 45.000-90.000 kematian. Dari seluruh penyakit kanker yang disebabkan faktor lingkungan, sekitar 40-60% berhubung-

an dengan faktor gizi(6). Dalam tahun 1984, 22% dari seluruh kematian di Amerika Serikat, disebabkan karena kanker. Dan 965.000 kasus baru yang didiagnosis menderita kanker, 483.000 di antaranya meninggal dunia(5). Diperkirakan 60-70% kanker disebabkan karena faktor lingkungan, terutama makanan dan rokok.Tabel 1 memperlihatkan proporsi kematian karena kanker yang berasal dari pelbagai faktor. Tabel I. Proporsl kematian karena kanker yang berasal dari pelbagai

faktor

Persen semua kernatian karena kanker Faktor atau kelompok faktor Estimasi terbaik Selang

1. Merokok 30 25-402. Alkohol 3 2-43. Diet 35 10-70 4. Zat penambah dalam 1 (-5b) -2

makanan (food additives) 5. Perilaku seksual 7 1-13 6. Pekerjaan 4 2-8 7. Polusi 2 1-5 8. Hasil-hasil industri 1 1-2 9. Obat-obatan dan cara-cara 1 0,5-3

pengobatan 10. Faktor-faktor geofisik 3 2-4 11. Infeksi 10? 1-? 12. Tidak diketahui ? ?

b Beberapa faktor (misal fortifikasi makanan) mungkin mempunyai efek pro-tektif

Sumber : Doll,Peto. US Department of Health and Human Nutrition Services, 1988.

Penyakit kanker berkembang melalui proses yang kompleks

(Gambar 1). Pada dasarnya proses yang panjang tersebut dapat

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 18

dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap inisiasi, promosi, dan progresi. Dari tahap inisiasi sampai manifestasi klinis dapat memerlukan waktu 5—20 tahun(4); oleh karena itu penderita sulit mengingat atau diyakinkan tentang faktor-faktor yang merupa-kan karsinogen atau pro-karsinogen. Makalah ini menyajikan telaah ilmiah faktor gizi pada penyakit kanker, dengan meng-gunakan literatur terakhir.

FAKTOR GIZI PADA PENYAKIT KANKER 1) Masukan lemak, energi dan kegemukan

Meski studi tentang hubungan masukan lemak dengan penyakit kanker masih memberikan hasil yang tidak taat azas, tetapi studi yang menggunakan hewan percobaan menunjukkan bahwa masukan lemak merupakan salah satu kunci dalam mencegah, kanker(5). Studi epidemiologi dan studi yang menggunakan hewan percobaan menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi lemak dengan insiden kanker kolon dan kanker payudara(5,6). Kanker lain yang berhubungan dengan masukan lemak adalah kanker rektum(7), kanker indung telur/ovarium(8) dan kanker endometrium(5). Beberapa peneliti berhasil menun-jukkan hubungan antara kenaikan konsumsi lemak dan kegemukan dan kanker payudara hanya ditemukan pada usia yang lebih tua. Tampaknya bukan konsumsi total lemak yang merupakan faktor penting dalam penyakit kanker, tetapi jumlah asam lemak tak jenuh ganda dalam diet lebih berperan. Hal yang harus diperhati-kan dalam mengkaji hubungan antara masukan lemak dengan kanker ialah mācam lemak (lemak jenuh dibandingkan dengan lemak tak jenuh; lemak hewani dibandingkan dengan lemak nabati). Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) lebih mudah ter-

oksidasi dan PUFA yang telah rusak dapat merupakan awal dari proses terjadinya kanker.

Meskipun secara umum lemak baru berperan secara maksi-mum setelah pemberian karsinogen, tampaknya pemaparan diet tinggi lemak perlu waktu yang cukup lama sebelum eksposur karsinogen dapat mempengaruhi inisiasi tumor; pengaruh ini telah didemonstrasikan pada penelitian menggunakan tikus cobaan(9). Efek diet lemak dapat langsung atau tidak langsung. Lemak secara langsung mempengaruhi fungsi-fungsi seluler, termasuk cairan membran, metabolisme prostaglandin, dan sin-tesis radikal lemak peroksida yang potensial mutagenik(10). Efek langsung juga mencakup perubahan-perubahan reseptor hormon (yang mungkin merangsang secara hormonal pertumbuhan tumor), karakteristik pertumbuhan sel, dan beberapa kimiawi intraseluler. Lemak mempengaruhi perubahan-perubahan kom-posisi asam empedu dalam kolon yang dapat mengubah asam empedu secara bakteriologis menjadi zat-zat yang mempromosi tumor atau secara langsung merusak jaringan mukosa.

Efek kholesterol pada insiden kanker sulit ditentukankarena kholesterol berkorelasi kuat dengan lemak hewani dan juga masukan protein hewani. Dalam satu studi didapatkan korelasi yang lebih kuat antara insiden kanker kolon dengan kholesterol daripada dengan lemak(11)

. Di lain pihak, beberapa studi menun-jukkan bahwa kholesterol darah yang terlalu rendah merupakan risiko kanker(12). Masih perlu studi lebih lanjut untuk sampai pada kesimpulan yang pasti tentang korelasi antara masukan kholesterol dengan kholesterol darah dan kanker. Masukan lemak tidak hanya berhubungan dengan kanker tetapi juga dengan penyakit jantung, kegemukan.

Studi-studi dengan menggunakan hewan cobaan dan bebe-rapa studi epidemiologi mendukung hipotesis bahwa masukan total energi mempengaruhi risiko kanker. Pada beberapa studi menggunakan hewan cobaan dapat dilakukan pembandingan antara hewan yang diberi diet normal sebagai kontrol dengan hewan yang dibatasi masukan energinya. Akan tetapi cara se-macam itu tidak dapat dilakukan pada manusia, sehingga masukan energi pada percobaan dengan manusia diukur dengan peng-ukuran tidak langsung, yaitu dengan mengukur berat badan relatif atau indeks berat badan yang diperkirakan mempunyai korelasi kuat dengan kenaikan masukan energi. Studi epidemio- logi yang dilakukan oleh Amstrong dan Doll pada 1975(7) ber-hasil mendapatkan korelasi antara masukan energi total per orang dengan kanker payudara, kolon, rektum, uterus, dan ginjal. Sementara itu studi kasus kontrol yang dilakukan oleh Miller dkk, 1978(13) mendapatkan korelasi positif antara masukan energi dengan kanker payudara, dan peneliti lain yaitu Jain dkk, 1980(14); Lyon dkk, 1987(15) menemukan hubungan antara masukan energi dengan kanker kolorektal.

Hubungan yang positif antara kenaikan indeks massa tubuh (body mass index/BMI) dengan beberapa jenis kanker telah di-laporkan oleh beberapa peneliti seperti hubungan BMI dengan kanker payudara, BMI dengan kanker ginjal, BMI dengan kanker endometrium dan kanker prostat. Akan tetapi peneliti lain tidak menemukan hubungan antara berat badan dengan kenaikan risiko

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 19

kanker payudara, kolon, dan prostat. Pada studi kohort yang dilakukan oleh Asosiasi Kanker Amerika Serikat, kematian karena kanker terendah diobservasi pada pria dengan berat badan 10% di bawah sampai 20% di atas rata-rata berat menurut tingginya. Sementara pada kohort wanita risiko terendah di-dapati pada wanita dengan berat badan 20% di bawah sampai 10% di atas rata-rata berat menurut tingginya. Pada kohort pria yang tidak merokok (berat badan biasanya lebih besar daripada pria perokok) didapatkan hubungan antara berat badan relatif dengan kematian karena kanker, dan hubungan tērsebut hampir linier(18).

Pada studi dengan hewan cobaan, pembatasan masukan energi akan mengurangi insiden beberapa jenis kanker, dan me-ningkatkan umur binatang cobaan tersebut. Masukan energi total dan persen energi yang berasal dari lemak berhubungan dengan risiko kanker, akan tetapi hubungan ini bervariasi untuk jenis kanker yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Boissonneault dkk,1986, menemukan pengaruh energi yang berasal dari lemak terhadap kanker tergantung dari masukan energi total(17).

2) Protein

Hubungan antara konsumsi protein terutama protein hewani dengan insiden beberapa jenis kanker tertentu telah diselidiki dalam studi epidemiologi. Namun korelasi antara konsumsi protein dengan kanker dipengaruhi oleh korelasi yang tinggi antara konsumsi protein dengan zat gizi lain terutama lemak. Dengan demikian pengaruh langsung dari protein belum dapat ditentukan(18). Dālam suatu studi kasus kontrol mengenai kanker payudara, asosiasi positif terbesar adalah asosiasi dengan pro- tein, tinggi lemak, dan rendah serat makanan, tetapi setelah komponen diet diukur secara independen, ternyata lemak mem-punyai asosiasi paling kuat. Studi lain juga menemukan asosiasi positif antara protein dan kanker kolon, tetapi dalam kajian se-lanjutnya ternyata asosiasi antara kanker kolon dengan lemak lebih kuat. Dalam studi kasus kontrol di Australia mengenai kanker usus (bowel), risiko tertinggi didapati pada tinggi protein, tinggi energi, dan rendah serat makanan(19).

Studi menggunakan hewan cobaan menunjukkan pemberian masukan protein secara berlebihan tidak selalu berhubungan secara taat azas dengan kenaikan insiden tumor. Bila hewan diberi makanan secara ad libitum dengan kandungan protein 10-15% kalori, total insiden tumor tidak dipengaruhi(20,21), meski beberapa tumor tertentu seperti bladder papilloma dan tumor payudara ditingkatkan oleh peningkatan masukan protein.

3) Vitamin dan mineral

Dalam makalah ini hanya dibahas vitamin A, karoten, vita-min C, E, zat besi dan selenium. Banyak bukti menunjukkan bahwa makanan yang mengandung banyak vitamin A dan karo- ten dapat mencegah beberapa jenis kanker epitel. Dari beberapa studi epidemiologi, konsentrasi vitamin A dalam darah ber-hubungan dengan kenaikan risiko kanker, tetapi beberapa pene- litian lain tidak menemukan hubungan tersebut. Demikian pula hubungan antara karotenoid dalam darah dengan kanker. Suatu studi kohort berhasil menunjukkan bahwa risiko semua jenis a

kanker dapat diturunkan dengan meningkatkan konsumsi sayuran yang kaya karoten. Bukti paling kuat mengenai peranan vitamin A dalam pencegahan kanker didapat dari studi epidemiologi yang menghubungkan antara konsumsi sayuran yang kaya karo- ten atau makanan yang kaya vitamin A dengan kanker paru(22,23).

Pada hewan cobaan, pemberian vitamin A dosis tinggi dapat mencegah kanker serviks, vagina, kolon, kulit, lambung, tra-cheobronchi, pankreas, dan hati. Karotenoid diperlukan untuk diferensiasi sel normal. Defisiensi karotenoid dapat menyebab- kan proses diferensiasi terhambat. Pada hewan cobaan retinoid mungkin dapat mencegah tahap inisiasi dan promosi dari proses karsinogenesis. Makanan yang kaya vitamin A dapat mencegah pembentukan radikal oksigen dan peroksida lemak, dan beta karoten sangat efisien dalam menetralisir radikal oksigen. Vita- min A, bersama dengan vitamin C, vitamin E, dan selenium dapat menetralisir efek peroksida dan mengurangi karsinogenesis. Vitamin A dan karoten mempunyai efek penghambatan terhadap kanker mulut dan oesofagus terutama pada pengunyah tembakau (tobacco chewer) dan terhadap kanker paru pada perokok(24).

Dari studi pada manusia, dapat ditunjukkan bahwa terdapat asosiasi protektif antara makanan yang kaya vitamin C dengan kanker esofagus;, kanker lambung(24,25). Di dalam saluran pen-cernaan, vitamin C akan memblok pembentukan nitrosamin yang bersifat karsinogenik dari nitrat dan nitrit, serta mencegah oksidasi zat-zat kimia tertentu menjadi bentuk karsinogenik yang aktif. Vitamin C merupakan faktor pembatas reaksi nitrosasi pada manusia, dan ini telah didemonstrasikan pada penderita gastrektomi dan gastritis atropik akuta(26).

Dari beberapa studi berhasil ditunjukkan bahwa efek toksik dari ozon pada paru dapat dicegah secara efisien dengan vitamin E(24). Kadar vitamin E dalam serum mempunyai asosiasi protektif dengan kanker paru(27).

Dalam studi biokimia, vitamin E berfungsi sebagai anti-oksidan yang larut dalam lemak dan sebagai free radical scavenger. Dengan demikian peranan vitamin E dalam efek pencegahan kanker hampir sama dengan vitamin A dan C. Vitamin E, seperti juga vitamin C, dapat mencegah pembentukan nitrosamin secara in vitro. Tetapi hams diingat bahwa vitamin E larut dalam lemak, sehingga efek pencegahannya dipengaruhi oleh kehadiran lemak, sedangkan vitamin C tidak, karena larut dalam air.

Banyak bukti menunjukkan bahwa peningkatan simpanan besi dalam tubuh berhubungan dengan peningkatan risiko kanker. Stevens, dkk dalam penelitiannya menemukan mampu ikat besi (total iron binding capacity) lebih rendah, sedangkan jenuh transferin lebih tinggi pada penderita kanker dibandingkan dengan bukan penderita(28).

Selenium dalam tanaman maupun hewan berbentuk selenat, selenocystin, selenomethionin, dan bentuk-bentuk lain yang belum diidentifikasi. Pengkajian dari angka rata-rata konsumsi selenium per kapita yang berasal dari 27 negara, mendapatkan hubungan terbalik dengan total kematian karena kanker, ke- matian karena leukemia, dan kanker kolon, rektum, payudara, ovanum, dan kanker paru. Dari beberapa studi kasus kontrol didapatkan bahwa penderita kanker mempunyai selenium darah

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 20

yang Iebih rendah daripada kontrol(29). Akan tetapi data pene- litian ini harus diinterpretasikan dengan hati-hati, karena kadar selenium darah yang rendah mungkin merupakan konsekuensi sakit. Studi prospektif dapat menunjukkan bahwa risiko kanker meningkat pada kelompok dengan selenium darah, vitamin E dan vitamin A darah yang rendah. Selenium menghambat transfor- masi neoplastik dalam berbagai organ epitel pada hewan. Bebe- rapa studi menunjukkan efek protektif terhadap kanker hati, payudara, kolon, dan kulit. Akan tetapi dosis yang diberikan sampai menghasilkan efek protektif ini, dalam berbagai peneliti- an sama dengan dosis yang dapat menimbulkan keracunan pada pemberian jangka panjang.

4) Serat makanan Serat makanan meliputi selulosa, hemiselulosa, lignin, gums,

pektin. Sumber utama serat makanan adalah sayuran, buah- buahan dan biji-bijian penuh atau utuh. Dari beberapa studi epidemiologi, didapatkan korelasi antara konsumsi serat ma- kanan dengan risiko kanker kolon. Pada studi dengan manusia, masih belum cukup informasi tentang komponen dari serat makanan dan pengaruh terhadap risiko kanker. Diperkirakan jenis serat memegang peranan penting. Pada beberapa studi lain juga diamati hubungan dengan zat gizi lain, karena walaupun terdapat korelasi yang kuat antara risiko kanker kolon dengan pola makanan tinggi sera, komponen diet lainnya mungkin berpengaruh terhadap korelasi ini.

Dari 19 studi kasus kontrol yang mengukur peran serat makanan pada kanker kolon, tiga studi tidak menemukan peran, tiga studi menemukan hubungannya dengan kenaikan risiko kanker, dan 13 studi menemukan efek protektif serat makanan, khususnya sayuran. Efek protektif dikemukakan dalam dua studi kasus kontrol yang menguji risiko relatif untuk diet tinggi lemak dan rendah lemak. Secara keseluruhan, studi kasus kontrol menyajikan hasil yang beragam, beberapa studi menunjukkan serat makanan mempunyai efek protektif dan lainnya tidak.

Pada studi menggunakan hewan cobaan, juga didapatkan hasil yang tidak taat azas dalam hubungan antara serat makanan dengan kanker kolon. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat karsinogen yang digunakan, komposisi diet, per-bedaan kuantitatif dan kualitatif dalam serta makanan, strain hewan cobaan yang digunakan, dan lama percobaan.

5) Makanan olahan

Cara penyimpanan dan pengolahan makanan bervariasi antar negara, dan perbedaan ini mungkin memberikan kontribusi yang besar dalam variasi beberapa jenis kanker. Pengasapan makanan dapat membentuk senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik (polycyclic aromatic hydrocarbon), beberapa di antaranya di-ketahui bersifat karsinogenik pada hewan. Zat-zat yang bersifat karsinogenik dapat terbentuk pada waktu proses pemasakan dan jumlahnya berhubungan dengan penggunaan suhu tinggi dan jangka waktu pemasakan(30). Misal pemasakan dengan cara pembakaran menggunakan api oven, dapat membentuk senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik pada permukaan makanan yang aa

dibakar tersebut. Pembakaran asam amino dengan gula selama proses pemasakan, menghasilkan berbagai zat kimia yang ber- sifat mutagenik, dan beberapa di antaranya bersifat karsinogenik. Penggaraman dan pengasaman makanan dapat membentuk nitro-samin yang bersifat karsinogenik untuk mulut dan lambung.

Bukti-bukti dari studi epidemiologi menunjukkan masyara- kat yang banyak mengkonsumsi makanan yang diawet dengan diasin, diasam, dan diasap, mempunyai insiden kanker lambung dan esofagus lebih banyak. Kanker esofagus berhubungan dengan konsumsi asinan sayur, ikan asin dan makanan asap. Dari beberapa studi epidemiologi, nitrat, nitrit dan komponen N- nitroso dalam makanan dan air serta makanan yang diasin ber-hubungan dengan kanker lambung.

Kanker esofagus dan kanker lambung juga berhubungan dengan keadaan gizi kurang. Kenyataannya, hampir semua studi mengenai diet dengan kanker lambung, telah menemukan efek protektif dari konsumsi sayuran dan buah-buahan, dan bahkan dalam percobaan in vitro pembentukan komponen N-nitriso dapat ditekan seminim mungkin oleh antioksidan seperti vitamin E dan vitamin C.

PENELITIAN-PENELITIAN YANG DIPERLUKAN

Keberhasilan pembangunan yang mengakibatkan perbaikan ekonomi, kesejahteraan, kesehatan, dan gaya hidup, akan mengubah pola penyakit yaitu berkurangnya penyakit menular dan kurang gizi, seas meningkatnya penyakit-penyakit degene-ratif seperti kanker, jantung, tekanan darah tinggi. Belajar dari pengalaman negara maju, maka sebaiknya sudah dapat diantisi- pasi penelitian-penelitian untuk mencegah penelitian meng-gunakan hewan percobaan, penelitian asosiasi, maupun pene-litian kasus kontrol.

Berikut ini disajikan beberapa topik penelitian yang mungkin penting untuk dilaksanakan. 1) Penyebab gizikurang pada penderita kanker dan efek suple-mentasi gizi terhadap respon pengobatan dan kelangsungan hidup. 2) Efek komponen-komponen khusus seperti lemak, serat makanan, vitamin A, karotenoid pads kanker. 3) Interaksi antara berbagai zat gizi seperi lemak, serat ma- kanan, energi, protein, vitamin dan mineral pada pencegahan dan pengobatan kanker. 4) Pola makanan yang baik untuk mencegah kanker. 5) Penyediaan pangan dan insiden kanker

PEDOMAN DIET Untuk menentukan pedoman diet dalam kaitannya dengan

kanker, harus dipertimbangkan kemungkinan adanya hubungan antar zat gizi terhadap risiko kanker. Zat-zat gizi termaksud adalah lemak, energi, serat makanan, vitamin A dan karoten, serta alkohol. Peranan vitamin C, vitamin E, makanan olahan (penggaraman dan pengasinan), pengasapan perlu diperhatikan. Secara singkat pedoman diet dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Konsumsi lemak sedang (kurang dari 30% total energi). 2. Perbanyak konsumsi berbagai jenis sayuran hijau dan buah- a

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 21

buahan. 3. Masukan energi cukup sehingga mencapai berat badan normal. 4. Batasi alkohol. 5. Kurangi makanan olahan yang menggunakan garam (di-asin), diasap, dan cuka.

KEPUSTAKAAN 1. Lapau B. Pendekatan Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Kontribusi Epide-

miologi dalam rangka mengatasi Masalah Kanker di Indonesia. Medika 1983; 9.

2. Pundarika R. National Household Survey. Jakarta: Ministry of Health. 1972.

3. Buadiarso RP. dkk. Survei Rumahtangga. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 1980.

4. Departemen Kesehatan RI. 1990. Profit Kesehatan Indonesia tahun 1989. 5. US Department of Health and Human Services. The Surgeon General's

Report on Nutrition and Health. Rocklin, California: Prima Publishing and Communication. 1988.

6. Garrison RH, Somer E. The Nutrition Desk Reference. New Canaan, Connecticut; Keats Publishing, Inc. 1985.

7. Amstrong B, Doll R. Environmental factors and cancer incidence and mortality in different countries, with special reference to dietary practices. Internat. J. Cancer. 1975; 15: 617-31.

8. Rose DP, Boyar AP, Wynder EL. International comparisons of mortality rates for cancer of the breast, ovary, prostate, and colon, and per capita food consumption. Cancer. 1986; 58: 2363-71.

9. Dao TL, Chan PC. Effect of duration of high fat intake on enhancement of mammary carcinogenesis in rats. J. Nat. Cancer Inst. 1983; 71: 201-5.

10. Welsch CW. Enhancement of mammary tumorigenesis by dietary fat: review of potential mechanisms. Amer. J. Clin. Nutr. 1987; 45: 192-202.

11. Liu K, Stamler J, Moss D, Garside D, Persky V, Soltero L Dietary cholesterol, fat, and fiber and colon-cancer mortality. Lancet 1979; ii: 782-85.

12. Mc. Michael AJ, Jensen OM, Parkin DM, Zaride DG. Dietary and endogenous cholesterol and human cancer. Epid. Rev. 1984; 6: 196-216.

13. Miller EC, et al. A study of diet and breast cancer. Amer. J. Epid. 1978; 107 (6): 499-509.

14. Jain M, Cook GM, Davis FG, Grace MG, Hove GR, Millem AB. A case-

control study of diet and colo-rectal cancer. Intemat. J. Cancer 1980; 26: 757-68.

15. Lyon JL, et al. Energy intake: its relationship to colon cancer risk. J. Nat. Cancer Inst. 1987; 78: 853-61.

16. Lew EA, Garfinkel L. Variations in mortality by weight among 750,000 men and women. J. Chron. Dir. 1979; 32: 563-76.

17. Boissonneault GA, Elson CE, Pariza MW. Net energy effects of dietary fat on chemically-induced mammary carcinogenesis in F344 rats. J. Nat. Cancer Inst. 1986; 76: 335-38.

18. Palmer S. Diet, nutrition and cancer. Progress in Food and Nutrition Science 1986; 9: 283-341.

19. Pooter JD, Michael AJ. Diet and cancer of the colon and rectum: a case-control study. J. Nat. Cancer Inst. 1986; 76: 557.

20. Ross MH, Bras G. Influence of protein under- and ovemutrition on spontaneous tumor prevalence in the rat. J. Nutr. 1973; 103: 944-63.

21. Tannenbaum A, Silverrstone H. The genesis and growth of tumors. IV. Effects of varying the proportion of protein (casein) in the diet Cancer Res. 1949; 9: 162-73.

22. Shekelle PB. et aL Dietary vitamin A and the risk of cancer in the Western Electric study. Lancet 1981; i: 1185-90.

23. Kvale G, Bjelke E, Gart JJ. Dietary habits and lung cancer risk. Internat. J. Cancer 1983; 31: 397-405.

24. Weisburger JH. Nutritional approach to cancer prevention with emphasis on vitamins, antioxidants, and carotenoids. Am. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 226S-37S.

25. Kolonel LN, Nomura AMY, Hirohata T, Hankin JH, Hinds NW. Asso ciation of diet and place of birth with stomach cancer incidence in Hawaii, Japanese and Caucasians. Am. J. Clin. Nutr. 1981; 34: 2478-85.

26. Tannenbaum SR, Wishnok JS, Leaf CD. Inhibition of nitrosamine forma-tion by ascorbic acid. Am. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 247S-50S.

27. Comstock GW, Helzlsouer KJ, Bush TL. Prediagnostic serum levels of carotenoids and vitamin E as related to subsequent cancer in Washington County, Maryland. Am. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 260S-4S.

28. Stevens RG, Jones DY, Micozzi MS, Taylor PR. Body iron stores and the risk of cancer. N. Engl. J. Med. 1988; 319: 1047-52.

29. Shamberger RJ. et al. Antioxidants and cancer. I. Selenium in the blood of normals and cancer patients. J. Nat. Cancer. Inst. 1973; 50: 863-70.

30. Lijinsky W, Shubik P. Benzo (a) pyrene and other polynuclear hydrocar-bons in charcoal-broiled meat. Science. 1964; 145: 53-55.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 22

Gizi, Proses Penuaan dan Umur Panjang

M.A. Husaini Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Departemen Kesehatan RI, Bogor

PENDAHULUAN

Setiap kita bernapas/menghisap udara, terjadi pembakaran di dalam sel; berarti kita selangkah bertambah tua karena proses degenerasi tak dapat dielakkan. Namun, proses degenerasi dalam perjalanan menuju ketuaan ini dapat dipercepat atau di-perlambat, tergantung antara lain pada apa yang kita makan. Dalam membahas hubungan antara gizi, proses penuaan dan umur panjang, sering diketengahkan teori reaksi radikal bebas, dan teori ini sekarang sedang sangat populer dan banyak diteliti oleh para ahli terutama dalam hubungannya dengan zat-zat gizi yang dikonsumsi setiap hari.

RADIKAL BEBAS DAN PROSES PENUAAN

Reduksi terhadap oksigen menjadi molekul air adalah reaksi fundamental dalam pernapasan, di mana makanan diubah menjadi energi yang berguna untuk keperluan sel-sel dalam tubuh kita. Penambahan berturut-turut sebanyak 4 elektron kepada oksigen akan menghasilkan air dan juga menghasilkan radikal bebas, yang mempunyai potensi merusak sel (Gambar 1)m.

Reaksi radikal bebas sebenarnya adalah suatu mekanisme biokimia yang normal terjadi dalam tubuh kita. Radikal bebas biasanya hanya bersifat intermediat (perantara), dan kemudian cepat diubah menjadi substan lain yang tidak lagi membahaya-kan tubuh kita; misalnya hormon-hormon prostaglandin yang dibentuk melalui suatu seri reaksi radikal bebas, atau reaksi detoksifikasi racun yang masuk ke dalam tubuh yang juga meng- ikutsertakan radikal bebas. Tetapi jika pada kesempatan yang berumur sangat pendek ini, radikal bebas bertemu DNA atau enzim atau asam lemak majemuk tak jenuh (polyunsaturated fats), maka suatu permulaan kerusakan sel dapat terjadi(2).

Gambar 1. Empat elektron reduksi oksigen menjadi air, menghasilkan oksigen bebas.

Gambar 2. Keikut-sertaan zat-zat gizi dalam mengontrol radikal bebas

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 23

Radikal anion superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil adalah 3 macam basil metabolisme yang bila tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan. Substan yang paling reaktif dan berbahaya adalah radikal hidroksil (OH°) yang mempunyai kemampuan merusak sel. Zat gizi yang paling sen- sitif terhadap kerusakan oleh radikal bebas adalah asam lemak majemuk tak jenuh, yang dikenal dengan sebutan lipid peroksidasi. Di luar tubuh, asam lemak dalam makanan yang bereaksi dengan radikal bebas menghasilkan peroksidasi yang disebut tengik. Selain radikal oksigen, polusi kimia juga dapat menimbulkan lipid peroksidasi(2).

Di dalam tubuh, reaksi radikal bebas menyebabkan keru- sakan sel dan lapisan-lapisan pelindung yang mengelilingi sel. Akumulasi kerusakan sel-sel ini dalam waktu lama (bertahun-tahun) menimbulkan tanda-tanda tua seperti bintik-bintik hitam di wajah dan keriput. Jadi proses degeneratif terjadi lewat reaksi radikal bebas ini. KEIKUTSERTAAN ZAT GIZI DALAM REAKSI RA- DIKAL BEBAS

Zat-zat gizi yang ikut dalam proses reaksi radikal bebas adalah vitamin E, vitamin A, vitamin C, selenium, zinc, mangan, copper dan beta karoten. Gambar 2 menunjukkan bagaimana zat-zat gizi ini berinteraksi. Sebagian besar zat-zat gizi ini ber-fungsi sebagai bagian dari enzim. Selenium dibutuhkan untuk mengaktifkan glutathione perozidase; dan dua ensim superoxide dismutase membutuhkan mangan, copper dan zinc(2). Vitamin E mempunyai kemampuan menetralisasi intermediat peroxidasi (radikal bebas) dan mencegah kerusakan molekul-molekul vital dengan cara mengubah radikal menjadi hydroperoxide. Reaksi ini sangat penting untuk mencegah terjadinya lipid peroxidasi yang dapat merusak sel dan membran sel. Dalam melindungi lemak majemuk tak jenuh terhadap reaksi yang menghasilkan radikal yang membahayakan ini, maka vitamin E berfungsi sebagai antioksidan(3).

Salah sate fungsi vitamin C adalah sebagai reducing agent yang dapat mengubah vitamin E yang telah teroksidasi, kembali ke bentuk aktif semula. Sedangkan selenium, melalui enzim glutathione peroxidase, mengubah hidroperoksida dalam mo-lekul asam lemak menjadi asam hidroksi yang tidak lagi ber-bahaya. Metal seperti zinc, mangan dan copper sebagai bagian dari enzim superoxida dismutase menangkap radikal bebas lain-nya yaitu superoxida radikal yang merupakan suatu molekul oksigen dengan ekstra elektron ( O 2

-)(2). Akhir-akhir ini, banyak perhatian para ahli terhadap beta karoten, bukan karena sebagai prekursor vitamin A, tetapi sebagai proteksi tubuh terhadap kerusakan oleh reaksi radikal bebas, meskipun mekanismenya masih belum jelas. VITAMIN DAN MINERAL TERHADAP KESEHATAN MANULA

Banyak faktor yang menentukan panjangnya umur sese-orang. Faktor-faktor ini dapat dikelompokkan menjadi : 1) yang tidak dapat dikontrol oleh individu, misalnya faktor keturunan, lingkungan air dan udara, polusi, dan lain-lain, dan 2) yang dapat aa

dikontrol oleh individu antara lain makanan, merokok, aktifitas fisik, dan lain-lain. Makanan yang cukup bergizi setiap hari dianjurkan untuk dapat memperlambat proses degeneratif dan meningkatkan kemampuan tubuh terhadap penyakit, memper-tahankan badan tidak kelebihan berat.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan antara kecukupan konsumsi zat-zat gizi pada waktu usia muda yang telah lalu dengan keadaan kesehatan pada usia tua sekarang ini. Chope(4) melakukan penelitian terhadap 306 subyek berumur di atas 50 tahun yang mengkonsumsi rendah vitamin A, niacin, dan vitamin C; ditemukan bahwa subyek yang anemik berhubungan erat dengan insidens penyakit saluran pernafasan, dan subyek yang rendah mengkonsumsi vitamin A berhubungan dengan insidens penyakit saraf, peredaran darah, dan pernafasan. Kon-sumsi vitamin B1 yang rendah berkorelasi erat dengan penyakit saraf dan sistem peredaran darah. Kedua macam penyakit ini berkurang apabila intake vitamin B1 ditingkatkan. Penelitian oleh Kirk dan Chieffi(5) membuktikan daya absorpsi zat-zat gizi pada dinding usus halus. Adalah suatu kejadian yang umum dijumpai bahwa pada manula absorpsi zat-zat gizi lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa muda.

Penelitian buta-ganda terhadap 35 manula berusia 65 sam- pai 90 tahun, yang semuanya mempunyai gejala pusing kepala dan pucat, menunjukkan bahwa setelah pemberian vitamin B12, gejala pusing atau pucat hilang pada 89% subyek yang diteliti; sedangkan pada subyek yang mendapat plasebo, rasa pusing masih ditemukan(6).

Osteoporosis adalah penyakit degeneratif yang paling umum dijumpai pada manula, dan keadaan ini ada hubungannya dengan kerapuhan tulang. Smith dan Rizek(7) menemukan sebanyak 80% dari 2000 wanita berumur 65 tahun ke atas di kota Detroit mengalami osteoporosis. Penelitian 3 tahun kemudian mem-buktikan bahwa keadaan ini ada hubungannya dengan demine-ralisasi tulang. Menurut Garn(8), demineralisasi tulang dimulai pada usia 30 tahun; sesudah umur itu, kejadian demineralisasi berjalan uniform. Magnitud dari kehilangan zat tulang lebih besar pada wanita daripada laki-laki. Ada baiknya konsumsi mineral harus lebih banyak pada usia dewasa muda agar dapat disimpan dalam tulang sebagai persiapan menghadapi usia tua.

GIZI DAN UMUR PANJANG

Wanita pada umumnya hidup lebih lama. Umur harapan hidup wanita di Indonesia sekarang ini adalah 61,5 tahun, dan laki-laki 57,9 tahun(9). Perbedaan umur harapan hidup antara wanita dan laki-laki adalah 3½ tahun, sedangkan di Amerika Serikat adalah 7 tahun. Lebih panjangnya umur harapan hidup pada wanita antara lain disebabkan oleh cadangan lemak dalam badan(10). Lebih besarnya persediaan energi dalam jaringan adiposa pada wanita, menyebabkan wanita lebih mampu ber-tahan hidup terutama pada waktu keadaan kurang pangan.

Penelitian pada hewan maupun manusia menunjukkan jumlah makanan yang dikonsumsi nyata mempengaruhi insidens pe-nyakit dan umur panjang. Berg(11) pada penelitiannya terhadap tikus menemukan bahwa konsumsi makanan yang tidak terlalu banyak (terbatas) tidak hanya menyebabkan hidup umur panjang,

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 24

tetapi juga menunjukkan gejala/lesi miokardial, vaskular dan renal yang jarang terdapat dibandingkan dengan tikus yang makannya berlebihan. Tikus yang diberi makan pas-pasan ini disamping deposit lemak dalam badan yang sedikit juga per-tumbuhan tulang lebih lambat dan kematangan seks yang juga terlambat. Mc Cay(12) dalam analisisnya terhadap pengaruh makanan yang dikonsumsi pas-pasan, macam dan jumlah pro-

tein, suplemen zat-zat gizi komersial, dan kegiatan fisik tikus, mendapatkan bahwa faktor yang terutama berhubungan dengan umur panjang adalah jumlah lemak badan.

Berdasarkan catatan pada data asuransi jiwa, ternyata orang berbadan kurus lebih jarang sakit, umur lebih panjang, lebih rendah tekanan darahnya, jarang menderita sakit jantung, dan jarang terkena kanker. Mereka ini umumnya mempunyai berat badan terhadap tinggi badan lebih rendah dari standar.

Obesitas (kegemukan) dapat terjadi apabila pada usia tua kegiatan fisik dan pengeluaran energi menurun/lebih rendah, sedangkan makan tetap banyak seperti pada usia muda sebelum- nya. Hasil penelitian di Cekoslowakia menunjukkan bahwa jumlah orang-orang yang obes jauh lebih banyak dibandingkan dengan penelitian 15 tahun yang lalu terhadap populasi yang sama. Penelitian ini menyimpulkan bahwa makin bertambah usia, makin banyak orang bertambah gemuk baik pada wanita maupun pada laki-laki(10). Hasil penelitian di Amerika meng-ungkapkan bahwa rata-rata berat badan naik sampai umur enam puluhan, dan sesudah itu menurun secara bermakna. Hal ini dapat diartikan bahwa orang-orang gemuk pada usia enam puluhan banyak yang meninggal, sedangkan orang-orang yang masih bertahan hidup sesudah umur 60-an adalah kebanyakan orang- orang yang berbadan kurus. Pada setiap tingkatan umur, wanita mempunyai lemak badan lebih banyak daripada laki-laki. Makin bertambah tua umur, baik wanita maupun laki-laki makin cenderung lebih gemuk.

Hasil penelitian Schlenker dkk.(10) menyokong hipotesis bahwa masa otot bertambah kecil dengan bertambah tuanya usia. Mereka menemukan bahwa potassium dalam badan menurun pada usia dewasa, dan dijumpai kadar potassium pada wanita lebih rendah daripada laki-laki. Reduksi potassium dalam tubuh ini menunjukkan terjadinya perubahan metabolisme seluler atau penggantian masa otot dengan jaringan pengikat.

Jika obes didefinisikan sebagai berakumulasinya jaringan lemak badan, maka dalam hubungannya dengan penyakit dege-neratif, upaya menjaga badan jangan sampai obes adalah suatu cara yang terbaik sebagai persiapan menghadapi hari tua yang sehat. Badan yang tidak gemuk, mempunyai kesempatan hidup 4 tahun lebih panjangl(12). Beberapa indikasi menunjukkan bahwa sejumlah komplikasi terdapat lebih banyak pada orang gemuk daripada orang berbadan normal. Salah satunya adalah disfungsi hati terdapat lebih banyak pada orang gemuk. Arthritis degene- ratif terdapat pada 80% orang-orang yang gemuk. Dan jaringan lemak yang berlebihan, adalah faktor yang berperanan terhadap meningkatnya prevalensi diabetes(10).

Sumber dan jumlah lemak dalam makanan manula dilapor-kan erat hubungannya dengan kejadian penyakit jantung koro- aa

ner. Sampai seberapa jauh pengaruh lemak makanan ini masih belum banyak diketahui, tetapi tampaknya tidak besar. Dengan mengurangi jumlah lemak makanan, kolesterol dalam darah turun tapi hanya bersifat sementara, dan jumlah yang meninggal dunia karena sakit jantung tidak berkurang. Pearce dan Dayton(13) mengungkapkan bahwa pemberian lebih banyak lemak majemuk tak jenuh (polyunsaturated fat) dalam makanan tidak mengubah insidens sakit jantung koroner pada orang-orang berumur 55 tahun ke atas. Bahkan dikhawatirkan bahwa dengan pemberian lemak majemuk tak jenuh selama 5 tahun atau lebih seperti yang diberikan pada penelitian malah memperbesar kemungkinan timbulnya kanker (ingat reaksi radikal babas).

Bender dan Damjo(l4) meneliti pemberian karbohidrat se-derhana (gula) sebagai kontribusi terhadap morbiditas dan mor- talitas pada manula. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa 1) gula meninggikan kolesterol dalam darah sehingga yang ber-sangkutan rawan terhadap sakit jantung, 2) berpengaruh ter- hadap fungsi pankreas sehingga menimbulkan diabetes, dan 3) kemungkinan besar menderita obes. Tentang pengaruh gula terhadap kanker tidak diungkapkan dengan jelas oleh peneliti tersebut.

Meningkatnya konsumsi gula erat hubungannya dengan menurunnya konsumsi serat makanan. Reduksi konsumsi serat ini yang dianggap sebagai penyebab mengapa orang-orang di Barat banyak yang menderita penyakit divertikulosis. Selain itu terjadi pula perubahan kegiatan mikroorganisme dalam usus be- sar yang sebelumnya aktif memecah serat makanan; kemudian setelah orang lebih banyak makan gula dan sedikit serat, maka transit time makanan yang dicerna menjadi lebih panjang (ka-rena sisa makanan sedikit, lama baru dikeluarkan); sehingga keadaan ini mempermudah terjadinya kanker pada usus besar. Penyakit divertikulosis maupun kanker usus besar banyak di-jumpai pada masyarakat maju, tetapi sedikit di kampung-kam- pung di Asia dan Africa(10).

Hasil penelitian Schlenker dkk.(10) terhadap 97 wanita berkulit putih yang sudah pensiun di Amerika Serikat, menunjukkan manula yang konsumsi lemaknya tinggi pada usia muda, lebih dahulu meninggal dunia, dibandingkan dengan manula yang membatasi konsumsi lemak makanan. Para peneliti itu berke-simpulan bahwa makin tinggi konsumsi lemak, makin pendek umur harapan hidup seseorang, sedangkan hubungan antara total intake kalori dengan umur pada waktu meninggal tidak tampak nyata. Jadi konsumsi lemak yang berpengaruh nyata terhadap umur harapan hidup, bukan total kalori.

Kemungkinan mekanisme lain di mana lemak makanan mempengaruhi usia hidup adalah dalam hubungannya dengan penyakit jantung koroner. Dari 52 wanita manula yang diteliti, 28 meninggal dunia karena sakit jantung. Manula yang masih hidup pada penelitian ini, pada waktu lampau mengkonsumsi lemak kurang lebih sama banyaknya dengan manula yang sudah meninggal, tetapi kebiasaan makan mereka sekarang sudah ber- ubah. Mereka mengkonsumsi sedikit lemak tetapi lēbih tinggi protein. Adanya perubahan kebiasaan makan ini yang barangkali merupakan salah satu faktor mengapa mereka hidup lebih lama. a

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 25

KESIMPULAN Hasil-hasil penelitian telah membuktikan bahwa gizi mem-

berikan kontribusi yang nyata terhadap kesehatan dan umur harapan hidup. Seri reaksi radikal bebas pada proses degeneratif menyebabkan orang tampak lebih tua dari umurnya. Proses penuaan ini dapat diperlambat oleh hadirnya vitamin E dan vitamin C sebagai zat antioksidan disertai dengan selenium dan zinc sebagai trace element. Zat-zat gizi tersebut berguna untuk mempertahankan seseorang tetap sehat dan awet muda.

Zat gizi yang diketahui paling berpengaruh terhadap umur panjang adalah lemak makanan. Makin tinggi konsumsi lemak, cenderung makin pendek umur harapan hidup seseorang. Sukrosa (gula) juga ada pengaruhnya terhadap kesehatan manula, ter-mama apabila disertai dengan sedikit konsumsi serat (selulosa, hemiselulosa dan lignin) dalam makanan sehari-hari. Tentang mekanisme lemak, gula, trace element dalam hubungannya dengan kesehatan dan umur panjang belum banyak diungkap- kan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk dapat menjelaskan substan di dalam lemak dan komposisi lemak dalam implikasi terhadap kesehatan dan umur harapan hidup.

KEPUSTAKAAN

1. Buttriss J. Free radicals and nutrition. J. Nutr. Food Sci. 1989; 2: 2-3.

2. Weindruch R, Walford RL The Retardation of Aging and Disease by Dietary Restriction. Illinois : Charles Thomas, 1988. Hal 245-51.

3. Diplock AT. Antioxidant nutrients and disease prevention : an overview. Am. J. Clin. Nut:. 1991: 189S-93S.

4. Chope HD. Relation of nutrition to health in aging persons. Calif. Medi., 1954; 81: 335-40.

5. Kirk JE, Chieffi M. Hypovitaminemia A: Effect of vitamin A admi-nistration on plasma vitamin A concentration, conjunctival changes, dark adaptation, and toad skin. Am. J. Clin. Nutr. 1952; 1: 37-45.

6. Rafsky HA. Special nutritional problems of the aged. Symp. on Problems of Gerontology. New York : Ntl. Vitamin Found. 1974.

7. Smith RW, Rizek J. Epidemiologic studies of osteoporosis in women. Clin. Arthopaed. Related Res. 1966; 45: 31-7.

8. Gam SM. The course of bone gain and the phases of bone loss. Orthopedic. Clin. N. Am. 1972; 3: 503-8.

9. Biro Pusat Statistik. Indikator Kesejahteraan Rakyat. 1990. Hal. 80. 10. Schlenker ED, Feurig JS, Stone LH, Ohlson MA, Mickelson O. Nutrition

and health of older people. Dalam: Labuza TP, Sloan AE, (eds.) Contem-porary Nutrition Controversies. St. Paul: West Publ. 1979; 301-11.

11. Berg BN. Nutrition and longevity in the rat. III. Food restriction beyond 800 days. J. Nutr.. 1961; 74: 23-8.

12. McCay CM, Maynard LA, Sperling G, Sanger VL Nutritional require- ment during the latter half of life. J. Nutr. 1961; 21: 45-50.

13. Pearce ML, Dayton S. Incidence of cancer in men on a diet high in poly unsaturated fat. Lancet 1971; 1: 464-8.

14. Bender AE, Damji KB. Some effects of dietary sucrose. Dalam: Yudkin J, Ederlan J, Hough L, (eds). Sugar: Chemical, Biological and Nutritional Aspects of Sucrose. London: Butterworths, 1971; 115-21.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 26

Manfaat Suplementasi Vitamin dan Mineral

Darwin Karyadi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Departemen Kesehatan R1., Bogor PENDAHULUAN

Seiring kemajuan pembangunan nasional termasuk sektor ekonomi, industri dan kesehatan terutama di kota-kota besar di Indonesia, dari suatu kajian mutakhir tentang kecenderungan pembangunan kesehatan di Indonesia(1), telah terjadi pola pe-rubahan penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif. Konsekuensi dan implikasinya juga luas menyangkut perubahan pelayanan kesehatan dan kedokteran serta sarananya menjelang pergantian abad menuju abad ke 21. Perubahan di atas disebut transisi epidemiologi sebagai akibat transisi demografi.

Kajian dataSurvei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia yang mutakhir(2) memperlihatkan bahwa prevalensi penyakit jantung, kanker meningkat menduduki urutan di atas penyakit-penyakit infeksi yang cenderung menurun. Kemajuan perkem-bangan ilmu gizi serta penerapannyadi Indonesia melalui UPGK dan Posyandu lebih diprioritaskan bagi golongan penduduk dengan masalah gizi utama meliputi penyakit defisiensi seperti penyakit Kekurangan Kalori Protein (KKP), defisiensi vitamin A, anemi defisiensi besi dan penyakit defisiensi yodium; namun dalam Pelita VI antisipasi ke arah sasaran penyakit degeneratif akan lebih mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat.

Pendidikan gizi dan upaya perbaikan pangan dan gizi yang mengacu pada perilaku pola makan yang benar dan baik dicer-minkan melalui slogan Empat Sehat Lima Sempurna, Program Penganekaragaman Menu Makanan Rakyat, Gerakan Kesadaran Pangan dan Gizi Nasional; dari pengalaman empiris, pendekatan teknologi intervensi suplementasi dengan vitamin A, yodium dan Fe merupakan tindakan preventif kesehatan masyarakat yang sudah sejak lebih dari 20 tahun dilaksanakan di Indonesia dan juga di luar negeri. Dengan kemajuan ilmu biologi molekuler dan ilmu gizi, akkhir-akhir ini teori radikal bebas pesat ber- a

kembang yang memberi perspektif baru dalam penerapannya dibidang ilmu gerontologi maupun dalam menunjang penanggu-langan penyakit denegeratif lainnya.

Uraian berikutnya akan mengemukakan alasan-alasan ra-sional penggunaan suplemen yang selalu menjadi pertanyaan tidak saja bagi masyarakat awam, tapi juga di kalangan profesi kedokteran, kesehatan dan gizi.

PENDEKATAN SUPLEMENTASI VITAMIN MINERAL DALAM PROGRAM KESEHATAN MASYARAKAT DAN PROSPEK HASIL PENELITIAN.

Dalam penanggulangan kebutuhan akibat defisiensi vitamin A, diberikan kapsul lunak 200.000 IU vitamin A setiap 6 bulan kepada anak prasekolah 1— 5 tahun sejak tahun 1972, termasuk di daerah pedesaan melalui Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK), Posyandu. Dalam rangka penanggulangan anemi de-fisiensi besi pada kehamilan sejak lama pula melalui UPGK dan Posyandu diberikan pil ferrosulfat dan asam folat dengan takaran 60 mg dan 500 mcg masing-masing setiap hari selama terutama semester ke III kehamilan. Juga dalam penanggulangan de- fisiensi yodium sedang dicari alternatif; di samping injeksi lipiodol diberikan kapsul yodium sebagai suplemen di daerah gondok endemik(3,4). Pengalaman serupa dianjurkan oleh Inter-national Vitamin A Consultative Group (IVACG) dan Interna-tonal Nutritional Anemia Consultative Group (INACG) di negara-negara berkembang dengan dukungan WHO dan USAID(5-8).

Uraian di atas mengemukakan pendekatan suplementasi terutama untuk menanggulangi penyakit difisiensi gizi utama yang biasanya beban biaya ditanggung oleh pemerintah negara berkembang.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 27

Bagaimana gambaran di negara industri maju seperti Amerika, Eropa dalam rangka penanggulangan penyakit dege-neratif ?

Pengalaman empiris di luar negeri mengungkapkan bahwa 40% dari penduduk dewasa di Amerika menggunakan suplemen-tasi vitamin mineral, meskipun penyediaan pangan dan gizi ber-limpah(9). Suatu hal yang kontroversial di kalangan gizi dan kedokteran, apakah suplementasi vitamin mineral selalu di-perlukan ?. Hasil penelitian mutakhir makin banyak meng-indikasikan azas manfaatnya bila digunakan dalam kondisi ter-tentu secara layak dengan indikasi yang tepat di bawah peng-awasan profesi kedokteran dan kesehatan; suplementasi vitamin mineral telah dibuktikan di Inggris dapat mencegah kelainan kongenital bibir sumbing (cleft palate) dan kelainan tabung saraf (neural tube defect)(10), pencegahan penyakit kardiovaskular dan kanker, mencegah proses penuaan, katarak, penyakit Parkin- son(11)

RASIONAL SUPLEMENTASI ZAT-ZAT GIZI Dari pengalaman di dalam negeri dan mengacu pada rujuk-

an luar negeri dapat dikemukakan bahwa rasional penggunaan suplemen sangat bervariasi dari penggunaan untuk tujuan pen-cegahan, pengobatan sampai pada tujuan rehabilitasi suatu kon- disi penyakit; pemberian vitamin A dosis masif oral atau dosis tinggi bisa mencegah kebutaan, tapi juga dapat merupakan pe-ngobatan stadium tertentu xerophthalmia; bahkan cenderung mencegah morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang(4).

Umumnya landasan rasional dapat dirinci sebagai berikut : (1) Mengacu pada kajian ketiga faktor utama yaitu bila aspek individu (host), agen (penyebab) dan lingkungan tidak bisa dikendalikan, maka salah situ pintu masuk (entry point) ialah meningkatkan status individu dengan jalan suplementasi; (2) Suplementasi berfungsi mengatasi defisit RDA yang sudah ada, sebagai pelengkap bukan sebagai substitusi; (3) Dalam situasi tertentu memang mutlak diperlukan seperti diuraikan dalam ka- rangan lain penulis ini tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan zat gizi; (4) Faktor kondisi penyakit, umur, kegiatan merupakan pertimbangan yang sangat penting; (5) Dari pertim-bangan-pertimbangan di atas menentukan jumlah takaran, lama- nya serta keamanan penggunaannya; (6) Khusus tentang pen-cegahan dan dukungan terapi, pertimbangan sifat biochemical individuality dengan histokompabilitasnya merupakan pendekatan khususnya dalam pemecahan masalah penyakit de-generatif(12). INDIKASI TEPAT

Dari uraian di atas indikasi yang tepat menurut kondisi individu ditinjau dari aspek keadan gizi, kondisi penyakit, peri- laku hidup, kualitas lingkungan diarahkan pada penggunaan suplementasi vitamin mineral dengan komposisi zat gizi yang sesuai, takaran dan lama pemberian yang tepat. Secara makro strategi suplementasi terutama pada golongan penduduk yang biologis dan sosio-ekonomi rawan seperti anak prasekolah, wanita a

hamil, manula, kondisi lingkungan yang buruk seperti pekerja barat dengan faktor stres, cabang olahraga yang berat seperti maraton, lingkungan yang tercemar dengan zat-zat polutan yang dapat mempengaruhi keadaan gizi dan kesehatan.

Kategori ke tiga: Individu atau penderita dengan kebutuhan gizi khusus seperti : 1) diet rendah kalori, 2) perokok dan peminum alkohol berat, 3) pengguna medikasi yang lama seperti obat-obat antituberkulosis, antikonvulsi, antimalaria, kontrasepsi steroid, antibiotik, sedatif, obat penurun kolesterol yang dapat menyebabkan defisiensi jenis-jenis vitamin mineral tertentu(13).

Kategori ke empat mendukung pelayanan medis untuk tujuan pemulihan dan penyembuhan sebagai ajuvan di rumah sakit. Pelayanan dietetik perlu diutamakan, namun tidak jarang (30%) penderita masuk rumah sakit dengan keadaan gizi kurang pada kasus di negara makmur seperti Amerika(14), sehingga daya tahan tubuh (imunitas) berkurang dan proses pemulihan terhambat, seperti pada penyembuhan luka(15).

Indikasi yang tepat menurut penilaian profesi kedokteran adalah dasar proses keputusan pemberian suplementasi vitamin mineral.

KESIMPULAN

Perubahan pola penyakit infeksi ke pola penyakit degene- ratif telah diamati di Indonesia. Perkembangan teori radikal bebas memberi perspektif karena hasil-hasil penelitian me- nunjukkan kemungkinan pencegahan penyakit degeneratif melalui penggunaan zat-zat gizi antioksidan.

Diuraikan pula pengalaman empiris suplementasi vitamin aaa

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 28

mineral di Indonesia dan luar negeri untuk tujuan program kesehatan dan gizi masyarakat.

Dikemukakan tujuan penggunaan rasional dan indikasi yang tepat untuk profesi kedokteran.

KEPUSTAKAAN

1. Ministry of Health. National Institute of Health Research & Development. The Assessment of Health Development in Indonesia. Jakarta, November 1990.

2. Prosiding Seminar Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986. Penyunting : L. Ratna Budiarso dkk. Jakarta : Badan Litbangkes, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, 1987.

3 Repelita III - V, Bab kesehatan. 1968-1988-1993. 4. Karyadi D. Vitamin A problems in South East Asia with special reference

to its impact on child health. In : Child Nutrition in Southeast Asia. Eight Nutricia Symposium. HKA. Visser, JG. Bindels (eds.) Dordrecht : Kluwer Academic Publisher, 1990.

5. West KP, Pettiss, T. Control of vitamin A deficiency by the vitamin A periodic oral dosing approach. In : Vitamin A deficiency and its control. J. Christopher Bauenfeind (ed.) London : Academic Press, 1986.

6. International Vitamin A Consultative Group (IVACG). Guidelines for the a

use of vitamin A in emergency and relief operations. International Life Sciences Institute/Nutrition Foundation. Washington, DC. 1988.

7. Vitamin A supplements - A guide to their use in the treatment and prevention of vitamin A deficiency and xerophthalmia. Geneva : WHO, 1988.

8. International Nutrition Anemia Consultative Group (INACG). Guidelines for the Control of Maternal Nutritional Anemia. International Life Institute/ Nutrition Foundation. Washington, DC. 1989.

9. Stanton JL. Vitamin Usage : Rampant or reasonable? Vitamin Issues, 1983; 1.

10. Seller MJ. Periconceptional vitamin supplementation to prevent recurrence of neural tube defects. Lancet 1985; 1 (8442) : 1392-93.

11. Antioxidant vitamin and B-carotene in disease prevention. Proceedings of a Conference held in London, UK, October 2-4,1989. FF. Hater, G Block (eds.) Am. J. Clin. Nutrition 1991; 53 (suppl.) : 1.

12. Karyadi D. Tinjauan Kecukupan Gizi yang dianjurkan (RDA) dan Penyakit Degeneratif serta Implikasinya. Akan dipublikasi 1991.

13. Garrison RH, Somer E. The Nutrition. Desk Reference, Keats. Publ. Inc., New Canaan Connecticut 1990, hal. 119.

14. Bristrian B dkk. Prevalence of malnutrition in general medical patients JAMA 1976; 235 : 1567-70.

15. Pollack SV. Nutritional factors affecting wound healing. J. Dermatol. Surg. Oncol. 1979; 5 : 8.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 29

Uji Toksisitas dan Aktivitas Biologik Ekstrak Bawang Putih

Oen Liang Hie, Agus Purwanto*, Moh. Sadikin, S . Koesparti Siswojo** Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

* Jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu Matematika Ilmu Pasti dan Alam Universitas Indonesia, Kampus Depok ** Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta

Sith Garlicke then hath power to save from death Bear with it though it maketh unsavoury breath And scorne not garlicke like some that thinke It only maketh men winke, drinke and stinks.

Sir John Harrington (1607) PENDAHULUAN

Tidak dapat dipastikan sejak kapan manusia menggunakan bawang putih dalam makanannya, akan tetapi dapat dikatakan bahwa bawang putih sebagai bumbu dapur sudah dikenal sejak manusia mulai mengolah makanannya. Dari catatan-catatan yang berasal dari zaman dahulu, diketahui bahwa selain sebagai bumbu dapur, bawang putih juga dipergunakan sebagai obat(1). Dalam ilmu pengobatan tradisional bawang putih dapat dipakai untuk mengurangi/menyembuhkan berbagai macam gangguan/ penyakit(2,3,4,5,6).

Dalam waktu terakhir ini penggunaan bawang putih lebih terarah yaitu ditujukan untuk memperbaiki keadaan hiper-lipidemia, yaitu kenaikan kadar lipid dalam darah dan hiper-glikemia, yaitu peninggian kadar gula darah, seperti pada diabe- tes mellitus(7,8,9).

Kekhususan umbi herba ini ialah bau tajam dan menusuk yang timbul bila dipotong atau dihancurkan. Kini dapat di-terangkan bahwa integritas struktur sel pada umbi ini berwujud sebagai tidak berbaunya bawang putih dalam keadaan utuh. Rusaknya integritas struktur tersebut akan menyebabkan saling bereaksinya substrat dan enzimnya yang kedua-duanya memang terdapat di dalam sel-sel bawang putih. Sebagai hasil reaksi kimia ini terbentuklah berbagai senyawa atsiri dengan bau tajam yang disukai orang atau oleh sebagian orang malah dihindari(10). Selain bau khas ini selaput lendir (mulut, mata dan lambung) akan terasa panas bila terkena getah yang terbentuk pada pemo-tongan bawang putih. Kedua faktor ini sesungguhnya merupakan kendala bagi seorang yang hendak memakan bawang putih segar (mentah) dalam jumlah besar seperti yang terjadi dalam peng-obatan tradisional. Hingga kini memang belum ada laporan apakah penggunaan bawang putih secara berlebihan mcnye-

Dibacakan pada The International Congress on Traditional Medicine and Medicinal Plants. Denpasar, Bali, 15-17 Oktober 1990.

babkan efek samping yang serius, selain baunya yang dapat mengganggu lingkungan si pemakan.

Oleh kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu farmasi dan teknologi pembuatan obat, ekstrak bawang putih sekarang dapat disajikan dalam bentuk kapsul lunak dan hampir tidak berbau dengan claim khasiat biologiknya masih tetap ada.

Dalam bentuk baru ini maka kedua faktor penghalang ter- sebut dapat disingkirkan. Timbul pemikiran : bila tidak ada lagi faktor-faktor itu, maka terbuka kemungkinan seorang akan memakan kapsul ekstrak bawang putih dalam jumlah yang berlebihan, seperti yang telah terjadi dengan obat-obat lain atas dasar pertimbangan sipemakai : kalau sedikit balk maka kalau banyak akan lebih baik lagi.

TUJUAN

Pertanyaan yang timbul ialah : apa yang akan terjadi bila seorang dengan sengaja memakan sekaligus ekstrak bawang putih jauh di atas dosis yang dianjurkan, misalnya sampai 50 X atau 100 X dosis yang dianjurkan ? Dapat dimengerti bahwa untuk dapat menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan percoba- an. Akan tetapi dapat dipahami juga bahwa percobaan seperti itu sulit atau tidak dapat dilakukan pada manusia. Untuk dapat menjawab pertanyaan tadi maka masih diperlukan hewan coba, seperti tikus.

Dalam percobaan ini hendak diteliti pula apakah ekstrak bawang putih yang dipakai masih memiliki khasiat seperti ba-wang putih mentah yaitu efek hipolipemik dan hipoglikemik.

BAHAN DAN CARA

Telah diketahui bahwa pembebanan dengan karbohidrat seperti sukrosa, dapat menyebabkan hiperglikemia disamping

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 30

hiperlipidemia(11,12.13.14). Sebagai hewan coba, digunakan tikus-tikus putih muda

strain LMR yang dibiakkan oleh Bagian Penelitian Gizi, Unit Diponegoro, Departemen Kesehatan. Oleh karena seluruh per-cobaan sekaligus memerlukan 26 (duapuluh enam) ekor tikus muda dan lembaga tersebut tidak dapat menyediakan jumlah tersebut pada waktu yang sama, maka percobaan dilakukan dengan tikus-tikus dengan 2 golongan umur, yaitu berumur 4 bulan (kelompok kontrol dan kelompok I) dan berumur 6 bulan (kelompok II dan III).

Tikus-tikus dibagi dalam 4 kelompok : Kelompok Kontrol : terdiri atas 5 ekor, berumur 4 bulan

mendapat diet standar dan air minum ad libitum

Kelompok I : terdiri atas 7 ekor, berumur 4 bulan mendapat diet seperti kelompok kontrol ditambah sukrosa 10 g/kgBB/hari

Kelompok II : terdiri atas 6 ekor, berumur 6 bulan mendapat diet seperti kelompok kontrol ditambah sukrosa 10 g/kgBB/hari dan ekstrak bawang putih setara dengan 50 X dosis yang dianjurkan untuk manusia/hari

Kelompok III : terdiri atas 7 ekor, berumur 6 bulan mendapat diet seperti kelompok kontrol ditambah sukrosa 10 g/kgBB/hari dan ekstrak bawang putih setara dengan 100 X dosis yang dianjurkan untuk manusia/hari

Ekstrak bawang putih yang dipergunakan dalam percobaan ini diproduksi oleh PT BINTANG TOEDJOE, dengan nama dagang STARLIC, berbentuk kapsul lunak berisi 1 mg minyak bawang putih yang dilarutkan dalam 274 mg minyak kedele. 1 mg minyak bawang putih ini setara dengan 3 g bawang putih mentah, atau sama dengan satu siung bawang putih yang besar- nya sedang.

Dosis yang dianjurkan untuk orang dewasa : 2—3 kapsul/ hari. Untuk memudahkan perhitungan dianggap berat seorang dewasa sebesar 60 kg. Dosis sebesar 50 X dan 100 X dosis manusia/hari berarti 50 X 3 = 150 kapsul/hari dan 100 X 3 = 300 kapsul/hari. Jumlah ini setara dengan bawang putih mentah sebanyak 50 siung dan 100 siung/hari. Sulit sekali untuk mem-bayangkan seorang memakan bawang putih mentah sebanyak ini, baik untuk sehari saja maupun untuk jangka waktu tertentu.

Pemberian beban karbohidrat berbentuk larutan sukrosa berkadar 1 g/ml dan ekstrak bawang putih dilakukan dengan memakai kanula atau sonde lambung. Cara pemberian seperti ini memerlukan ketrampilan dan kesabaran oleh karena bila salah memasukkan kanula dan temyata tidak masuk lambung (fausse route) maka tikus akan langsung mati (lihat pada kelompok I dan II).

Sebelum percobaan dimulai, tikus-tikus dibiarkan di dalam kandangnya selama 4 hari untuk penyesuaian dengan lingkung- an yang baru.

Percobaan ini dilakukan selama 8 (delapan) minggu agar :

a. Tikus-tikus yang diberi beban sukrosa sudah menunjukkan hiperlipidemia dan hiperglikemia.

b. Bila timbul efek-efek subkronik oleh dosis ekstrak bawang putih yang tinggi ini, dapat diketahui. Pengamatan dilakukan juga atas perubahan-perubahan fisik

seperti kenaikan berat badan, kelainan kulit, bentuk dan jumlah rambut. Selain itu diperhatikan pula pola tingkah laku tikus-tikus selama percobaan ini, seperti pengurangan atau peningkatan aktivitas.

Pada akhir percobaan tikus-tikus dibunuh setelah diambil darahnya melalui punksi jantung. Dipakai heparin untuk men-cegah pembekuan. Plasma yang terkumpul diperiksa kadar glukosa, kolesterol dan trigliseridanya. Glukosa diukur melalui reaksi dengan o-toluidine(15). Kadar kolesterol ditetapkan ber-dasarkan reaksi Lieberman-Burchard(16), sedangkan trigliserida ditetapkan memakai cara yang dilaporkan oleh Mendez, (1975)(17).

Hati diambil dan diperiksa secara histologik di Bagian Histologi, FKUI. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan selama percobaan ini berlangsung (8 minggu) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak bawang putih setiap hari dalam dosis setara 50 X dan 100 X manusia/hari pada tikus- tikus strain LMR : a. Tidak menyebabkan tikus-tikus percobaan tampak sakit atau

kurang lincah. Juga tidak tampak perubahan pada kulit dan rambut. Berat badan tikus-tikus naik cukup baik pada akhir percobaan (Tabel I).

b. Baik pada kelompok kontrol maupun pada kelompok I, II dan III tidak ditemukan perubahan-perubahan histologik pada jaringan hati, yaitu organ pertama dalam tubuh yang bertugas mengolah atau mendetoksikasi zat-zat yang telah diserap oleh usus.

Dan a dan b dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak bawang putih dengan dosis-dosis yang sangat tinggi ini tidak menyebabkan efek-efek akut maupun sub-kronik.

Dua ekor tikus (kelompok I dan II) langsung mati setelah kanula salah masuk dan menembus trakhea (fausse route). Ini telah dibuktikan oleh autopsi.

Hasil kami sesuai dengan yang didapat oleh Ngatijan (1990) dalam laporan uji toksisitas bawang putih pada tikus(18).

Pembebanan sukrosa memang menyebabkan hiperglikemia dan hiperlipidemia pada tikus-tikus percobaan sesuai dengan hasil yang dilaporkan berbagai laboratorium(11.12.13,14,19) Ini me-rupakan bukti penyokong akan eratnya hubungan metabolisme karbohidrat dan lemak.

Kekuatan aktivitas biologik ekstrak bawang putih yang di- peroleh dari bawang putih mentah banyak tergantung dari cara-cara yang telah ditempuh untuk memperoleh ekstrak itu.

Dari percobaan ini terbukti bahwā ekstrak bawang putih yang dipergunakan memiliki aktivitas biologik yang serupa dengan bawang putih mentah yang terwujud sebagai penurunan kadar gula dan lipid dalam darah (kolesterol dan trigliserida) a

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 31

pada tikus-tikus kelompok II dan III (Tabel II). Hasil penurunan kadar gula darah lebih besar pada dosis

100 X. Akan tetapi, dosis setinggi ini tidak menghasilkan efek hipolipemia lebih besar dari dosis 50 X.

Pemberian bawang putih atau ekstraknya pada manusia dalam dosis yang cukup tinggi sesungguhnya sudah dilakukan.

Perhitungan di bawah ini didasarkan anggapan bahwa 1 mg ekstrak bawang putih setara dengan 3 siung bawang putih men-tah yang besarnya sedang, dengan catatan bahwa kekuatan atau aktivitas biologik ekstrak yang diperoleh banyak ditentukan oleh cara-cara ekstraksi yang dipakai.

Pada tahun 1980 Bordia memberikan 1 g bawang putih mentah/kgBB/hari pada sejumlah penderita. Dosis ini setara dengan lebih kurang 20 siung bawang putih. Tidak dilaporkan efek samping pada dosis ini. Dalam 1981 Bordia mengulangi percobaannya dengan memberikan minyak bawang putih (garlic oil) sebanyak 0.25 mg/kgBB/hari selama 2 bulan kepada sejum-lah penderita dengan penyakit jantung koroner, tanpa ditemukan efek-efek samping. Dosis ini setara dengan 45 gram bawang putih mentah atau lebih kurang 15 siung bawang putih/hari(20).

Baktish dan Chughtai (1984) memberikan kepada orang-

orang sehat yang diberi diet berkadar lemak tinggi bersamaan dengan 40 gram (setara dengan 13 siung) bawang putih mentah/ hari selama 7 hari. Mereka juga tidak menemukan efek samping yang serius(9).

Dosis yang telah diberikan kepada manusia oleh peneliti-peneliti tersebut masih jauh di bawah dosis yang setara dengan 50 X dan 100 X dosis yang dianjurkan dan telah diberikan kepada tikus-tikus daiam percobaan ini.

Diperkirakan bahwa peneliti-peneliti tersebut tidak dapat memberikan dosis yang lebih tinggi oleh karena pada waktu itu teknik ekstraksi dan cara penyajian berbentuk kapsul lunak belum sempurna.

Sesungguhnya dosis bawang putih tidak perlu terlalu tinggi oleh karena dilaporkan bahwa penurunan kadar gula dan kadar fraksi-fraksi lemak darah sudah dapat dicapai dengan dosis sesuai dengan dianjurkan(21). KESIMPULAN

Pemberian ekstrak bawang putih dalam dosis setara dengan 50 X dan 100 X dosis yang dianjurkan untuk manusia/hari selama 8 minggu tidak menunjukkan efek-efek toksik akut maupun sub- a

Tabel I . Berat badan tikus (gram) selama percobaan

I I I I I I IV V VI VII VIII IX

Berat badan tikus 1 132,0 135,5 137,5 141,0 144;0 145,5 149,5 146,0 146 kontrol * 2 130,0 135,0 134,5 132,0 133,0 136,0 135,5 135,0 135

3 130,0 138,0 148,0 152,5 154,0 152,0 154,0 152,0 154 4 128,5 135,5 157,0 155,0 162,0 163,0 164,0 162,0 172 5 130,0 135,5 143,5 144,0 152,0 152,0 151,0 153,0 157

Rata-rata 130,1 135,9 144,1 144,9 149,0 149,7 150,8 149,6 152

Berat badan tikus 1 132,5 138,5 137,5 135,5 132,0 133,0 135,5 137,0 137 kelompok I * 2 119,0 126,5 124,5 126,0 124,0 134,0 136,0 144,0 144

3 139,0 141,5 147,0 149,5 158,0 164,0 165,0 168,0 168 4 135,0 143,5 147,0 142,0 149,0 149,0 149,0 157,0 152 5 140,0 147,5 160,0 155,5 148,0 156,5 161,0 162,0 163 6 128,0 135,5 142,5 141,5 138,0 145,0 149,0 155,0 154 7 MATI - - - - - - -

Rata-rata 132,3 138,8 143,1 141,7 141,5 146,9 149,3 153,8 153

Berat badan tikus 1 189,0 192,0 191,0 195,5 195,5 196,0 193,0 195,0 198 kelompok II ** 2 185,0 187,0 197,0 191,5 191,5 193,0 190,0 188,0 189

3 154,0 161,0 161,0 164,0 163,0 166,0 168,0 169,0 170 4 150,5 152,5 153,0 154,5 153,0 159,0 160,0 160,0 163 5 180,0 180,5 184,5 186,0 194,0 189,0 187,0 190,0 190 6 180,0 184,5 187,0 189,0 188,0 188,0 194,0 197,0 193 7 MATI - - - - - - -

Rata-rata 173,1 176,3 178,9 180,1 180,8 181,8 182,0 183,2 184

Berat badan tikus 1 181,5 186,0 190,0 191,0 189,0 195,5 196,0 204,0 210 kelompok III ** 2 176,5 178,0 176,0 177,0 175,0 177,5 178,0 179,5 180

3 182,0 185,0 191,0 189,5 188,0 191,0 192,0 192,0 193 4 183,0 187,0 184,0 186,0 184,0 188,0 190,0 192,0 198 5 161,5 168,0 169,0 164,0 162,0 162,0 164,0 162,0 161 6 156,0 160,0 161,5 160,0 159,0 160,0 163,0 160,0 166 7 175,5 178,0 182,0 180,0 180,5 183,0 185,0 186,0 185

Rata-rata 173,7 177,4 179,1 178,2 176,8 179,6 181,1 182,2 184

Keterangan : * = umur 4 bulan ** = umur 6 bulan

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 32

Tabel II.

GLUKOSA PLASMA

(mg/100 ml)

KOLESTEROL PLASMA

(mg/100 ml)

TRIGLISERIDA PLASMA

(mg/100 ml)

Kelompok kontrol * 1 133,93 85,89 73,16 Diet standar 2 116,07 92,03 67,90

3 151,79 98,16 81,06 4 151,79 116,56 88,85 5 133,93 92,03 86,32

Rata-rata 137,50 96,93 79,46

Kelompok I * 1 198,21 141,10 104,74 Diet standar + sukrosa 2 199,11 147,24 107,37 10 g/KgBB/hari 3 217,86 177,91 110,01

4 200,00 147,24 107,37 5 214,29 165,64 112,64 6 205,36 153,37 110,01 7 MATI - -

Rata-rata 205,81 155,42 108,69

Kelompok II ** 1 196,43 122,70 141,58 Diet standar + sukrosa 2 187,50 116,56 131,06 10 g/KgBB/hari + 3 187,50 110,30 125,80 ekstrak bawang putih 4 176,79 110,30 128,43 50 X dosis/hari 5 175,00 98,16 120,53

6 175,00 110,30 125,80 7 MATI - -

Rata-rata 183,04 111,39 128,87

Kelompok III ** 1 178,57 153,37 181,06 Diet standar + sukrosa 2 146,43 128,83 137,37 10 g/KgBB/hari + 3 169,64 134,97 162,64 ekstrak bawang putih 4 166,07 134,97 167,90 100 X dosis/hari 5 160,71 147,24 157,37

6 157,14 128,83 146,85 7 169,64 134,97 170,53

Rata-rata 164,03 137,60 160,53

Keterangan : * = umur 4 bulan ** = Umur 6 bulan

kronik pada tikus-tikus strain LMR. Oleh FDA dari Amerika Serikat bawang putih memang digolongkan sebagai zat yang practically non-toxic(22).

Ekstrak bawang putih yang telah dipergunakan dalam per-cobaan ini hasil produksi PT BINTANG TOEDJOE, dengan nama dagang STARLIC dan terbukti memiliki aktivitas biologik yang serupa dengan bawang putih mentah dalam menurunkan kadar gula, kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah.

Dari percobaan dengan tikus ini diperoleh kesan bahwa seandainya seorang secara sengaja meminum kapsul ekstrak bawang putih dalam dosis yang jauh melebihi dosis yang di-anjurkan, maka besar kemungkinan tidak akan timbul efek toksik baik akut maupun sub-kronik.

Penggunaan ekstrak bawang putih yang jauh melebihi dosis yang disepakati tidak dianjurkan.

KEPUSTAKAAN

1. Chang IIM, But PPH. (eds). Dasuan, Pharmacology and Application of Chinese Materia Medica, Vol I, 84-92, World Scientific.

2. Jain MK, Apitz-Castro R. Garlic: Molecular basis of the putative "vam-pire-repellant" action and other matters related to heart and blood, TIBS 1987; 12: 252-4.

3. Bordia AK, Ananda MP. Effect of Essential Oil of Garlic on Blood Lipids and Fibrinolytic Activity in Man. In B.K. Gayoe and M.P. Anand (eds), Progress in Vascular Diseases, New Delhi: Arnold Heinmann, 1978; hal 261-4.

4. Foushee DB, Ruffin J, Banerjee U. Garlic as a natural agent for the treatment of hypertension; a preliminary report, Cytobios, 1982; 34: 145-52.

5. Arora R, Arora S, Gupta RK. The Longterm Use of Garlic in Ischemic Heart Disease, Atherosclerosis 1981; 40: 175-9.

6. Elmina EI, Ahmed SA, Mekhawi AG, Mossa JS. The Antimicrobial Activity of Garlic and Onion Extracts, Pharmazie, 1983; 38: 747-8.

7. Bordia A, Bansal HC. Essential Oil of Garlic in Prevention of Athero- sclerosis. Lancet 1973; 29: 1491-2.

8. Jain RC et al. Hypoglycemic Action of Onion and Garlic. Lancet 1973; 29: 1491.

9. Baktish E, Chughtai MID. Influence of Garlic on Serum Cholesterol, Serum Triglycerides, Serum Total Lipid and Serum Glucose in Human Subjects. Die Nahrung 1984; 28: 159-63.

10. Block E. The Chemistry of Garlic and Onion, Scientific American 1985; 252: 94-99.

11. Sebastian KL et al. The Hypolipidemic Effect of Onion (Allium cepa Linn.)

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 33

in Sucrose Fed Rabbits, Indian J. Physiol, Pharmac. 1979; January — March, 27-30.

12. Adama PJK, Augusti KT. Hypoglycemic and Hypolipidemic Effects of Garlic in Sucrose Fed Rabbits, md. J. Physiol. Phannac., 1980; 24: 151—3.

13. Adama PJK, Augusti KT. Hypolipidemic Action of Onion and Garlic Unsaturated Oils in Sucrose Fed Rats Over a Two Months Period, Experientia 1980; 38: 899—901.

14. Zacharias NT et al. Hypoglycemic and Hypolipidemic Effects of Garlic in Sucrose Fed Rabbits, Ind, J. Physiol. Pharmac. 1980; 24(2): 151—3.

15. Pilegi JV, Szustkiewicz PC. In: Clinical Chemisizy: Principles and Tech-niques,eds. Herny,R.J.,et al.,2nd.ed. Harperand Row, 1974; 1285—1288.

16. Burke RW et al. Mechanism of the Liebermann-Burch and ZAK Color Reactions for Cholesterol, Clin. Chem. 1974; 20/7: 797.

17. Mendez J et al. Simple Manual Procedure for the Determination of Serum Triglycerides, Clin. Chem. 1975; 21/6: 768—70.

18. Ngatijan. Efek Bawang Putih (Allium sativum L.) pada Kadar Gula Kelinci dan Uji Toksisitas akutnya pada Rat, Medika 1990; 6(16): 434—8.

19. Augusti KT. Effect of Allyl Propyl Disulfida Isolated from Onion (Allium cepa Linn) on Glucose Tolerance of Alloxan Diabetic Rabbits, Experientia 1974; 30/10: 1119—20.

20. Bordia A. Effect of Garlic on Blood Lipids in Patients with Coronary Heart Disease, Amer. J. Clin. Nutr. 1981; 34: 2100—3.

21. RoserD. Garlic, The Lancet l990; 335: 114—5. 22. Wahjoedi B. Data Toksisitas akut tanaman obat Indonesia, Medika 1987;

13: 1004—7. 23. Boullin DJ. Garlic as platelet inhibitor, Lancet 1981; 776—7. 24. Bordia A, Bansal HC, Arora SK, Singh SV. Effect of the Essential Oils of

Garlic and Onion on Alimentary Hyperlipemia, Atherosclerosis 1975; 21: 15—9.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 34

Kolesterol dan Hubungannya dengan Penyakit Kardiovaskular

Susy Tejayadi Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Bukit Manikam Sakti, Bekasi

ABSTRAK

Kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular meningkat dalam 5 sampai 10 tahun terakhir ini. Salah satu penyebab utama penyakit kardiovaskular ialah koleste-rol. Akan tetapi, kolesterol juga mempunyai beberapa fungsi yang penting dalam tubuh. Tanpa adanya kolesterol, sel-sel saraf tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Masih banyak lagi fungsi kolesterol yang tak kalah pentingnya; antara lain memproduksi empedu, hormon steroid dan vitamin D.

Makanan merupakan salah satu sumber kolesterol, maka jenis makanan yang dikonsumsi mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada korelasi antara jenis makanan yang dikonsumsi dan penyakit kardiovaskular. Maka dari itu, diet yang benar dapat membantu mengurangi risiko terserang penyakit ini.

Kematian yang disebabkan oleh penyakit menular seperti

TBC, cacar dan pneumonia telah menurun secara drastis sejak vaksin dan imunisasi masal membudaya di masyarakat. Pada saat ini, kematian yang diakibatkan oleh penyakit-penyakit tak menular seperti penyakit kardiovaskular (termasuk di dalamnya serangan jantung dan penyumbatan pembuluh darah), kanker, diabetes dan hipertensi (tekanan darah tinggi), semakin me-ningkat. Di Amerika 50% kematian disebabkan oleh penyakit kardiovaskular dan 20% disebabkan oleh kanker. Di Indonesia, dalam 5 sampai 10 tahun terakhir ini, kematian akibat penyakit kardiovaskular meningkat terutama pada usia dewasa dan lanjut(1).

Penyakit kardiovaskular bersumber dari berbagai sebab, tiga yang utama adalah: hipertensi, rokok dan kolesterol.

Seseorang yang mempunyai tekanan darah di atas 165/95 menandakan adanya hipertensi. Penelitian membuktikan bahwa ada korelasi positip antara hipertensi dengan penyakit kardio-vaskular.

Risiko mati dari seorang pengidap penyakit kardiovaskular

dan perokok dua kali lebih besar daripada brang yang tidak merokok dan mengidap penyakit kardiovaskular. Sedangkan orang yang hanya merokok sewaktu-waktu, mempunyai risiko mati antara perokok dan non perokok.

Demikian juga halnya dengan hipertensi, semakin tinggi kadar kolesterol di dalam tubuh seseorang, semakin besar orang tersebut mempunyai risiko terkena penyakit kardiovaskular. Penyebab lain penyakit kardiovaskular antara lain: kegemukan, diabetes, stres, kurang berolah raga, jenis kelamin (pria lebih besar risikonya daripada wanita), usia lanjut dan sebagainya.

Bila kolesterol menjadi salah satu penyebab penyakit kar-diovaskular, lalu mengapa kolesterol dibuat oleh tubuh? Apa gunanya? Dari mana datangnya? Bagaimana mengurangi ke-mungkinan terserang penyakit jantung atau penyakit kardio-vaskular lainnya?

Kolesterol adalah sejenis lemak yang tak dapat dilihat aa

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 35

Everybody wants to live long, but nobody wants to grow old.

dengan mata telanjang. Kolesterol terdapat pada kuning telur, kacang-kacangan, organ-organ tubuh (seperti usus, otak, ginjal dan sebagainya). Kolesterol terdapat dalam jumlah yang terbatas di dalam tubuh dan di dalam makanan bila dibandingkan dengan lemak lainnya; 93% lemak yang terdapat di dalam tubuh dan makanan adalah trigliserida yang dapat berbentuk sebagai lemak jenuh (saturated fats) atau lemak tak jenuh (unsaturated fats).

Lemak jenuh terutama ditemui dalam makanan yang berasal dari binatang; misalnya mentega, daging berlemak, organ-organ tubuh dan susu berlemak (whole milk). Lemak tak jenuh di-jumpai dalam makanan-makanan seperti minyak tumbuh-tum-buhan, padi-padian, alpukat dan makanan lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Lemak jenuh dan kolesterollah yang dapat menambah risiko seseorang terkena penyakit kardiovaskular.

Kolesterol mempunyai fungsi yang sangat penting. Koleste- rol terdapat di bagian luar dari sel-sel saraf dan berfungsi untuk membantu menghantarkan konduksi dan transmisi tanda-tanda elektrik (electric signals). Tanpa adanya kolesterol, sel-sel saraf tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik sehingga koor- dinasi gerak tubuh seseorang maupun kemampuannya untuk berbicara terganggu. Beberapa fungsi kolesterol yang tak kalah pentingnya antara lain memproduksi empedu, hormon steroid dan vitamin D.

Kolesterol berasal dari dua sumber, yaitu dari makanan yang kita makan dan diproduksi sendiri oleh tubuh kita di dalam tubuh (hati). Kolesterol yang berasal dari makanan yang kita makan bukan merupakan sumber utama. Jadi, bila seseorang tidak pernah lagi mengkonsumsi kolesterol, proses-proses di dalam tubuhnya akan tetap berlangsung. Hati membuat sekitar 2000 mg kolesterol perharinya. Ini jauh lebih banyak dari kolesterol yang dikonsumsi yang jumlahnya 500 sampai 750 mg.

Untuk menjaga keseimbangan jumlah kolesterol di dalam tubuh, ada mekanisme yarig mengatur agar jumlah kolesterol yang diproduksi seimbang dengan jumlah kolesterol yang di-produksi di dalam hati. Pada individu yang sehat, mekanisme ini juga menjaga agar kadar kolesterol berada dalam batasan normal. Pada individu-individu tertentu, terutama yang mengkonsumsi kolesterol dalam jumlah yang banyak, mēkanisme ini tidak bekerja secara efektif atau terhenti sama sekali. Bila hal ini tcrjadi, kadar kolesterol di dalam darah naik.

Seperti telah kita ketahui, jenis makanan yang dikonsumsi mempengaruhi kadar kolesterol di dalam darah. Selanjutnya, kadar kolesterol di dalam darah menentukan besar kecilnya risiko seseorang terkena penyakit kardiovaskular. Jadi, dapat a

disimpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara jenis ma-kanan yang dikonsumsi dengan penyakit kardiovaskular. Hal ini dibuktikan pada beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika dan Jepang yang menyimpulkan bahwa jumlah lemak yang dikonsumsi dapat menaikkan kadar kolesterol di dalam darah dan risiko mengalami penyakit kardiovaskular. Pada penelitian di Jepang, orang-orang Jepang yang pindah dari negara asalnya ke Kalifornia mengalami kenaikan kadar kolesterol dalam darah karena diit mereka di Kalifornia lebih banyak mengandung lemak. Akibatnya, risiko mereka terkena penyakit kardiovas-kular bcrtambah.

Untuk mengurangi risiko terserang penyakit kardiovasku-lar, ada beberapa hal yang dapat dilakukan (berdasarkan the United States Dietary Goals) : 1) Menjaga/mempertahankan berat badan yang ideal. 2) Menambah jumlah karbohidrat menjadi 55% dari total ka-lori yang dikonsumsi. 3) Mengurangi jumlah gula menjadi kurang dari 10% dari total kalori yang dikonsumsi. 4) Mengurangi jumlah lemak menjadi kurang dari 30% dari total kalori yang dikonsumsi. 5) Mengurangi lemak jenuh menjadi kurang dari 10% dari total kalori yang dikonsumsi. 6) Mengurangi kolesterol yang dikonsumsi menjadi kurang dari 300 mg/hari. 7) Mengurangi garam yang dikonsumsi menjadi kurang dari 5 g/hari.

Pedoman di atas pada prinsipnya mengubah kebiasaan makan seseorang. Untuk mengubah kebiasaan memang tidak mudah, tetapi bila dibantu dengan rencana yang matang bukan tidak mungkin. Misalnya dengan mengubah kebiasaan yang mudah dahulu. Bila ini sudah berhasil, dapat diikuti dengan mengubah kebiasaan yang sulit diubah. Bila semua ini berjalan dengan baik, si pelaku sendiri yang dapat menikmati buahnya.

KEPUSTAKAAN

1. Harian Suara Pembaruan, 7 Maret 1991. 2. Somer, E. Cholesterol and Nutrition, Health Media of America Inc., San

Diego, CA., 1988.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 36

Manfaat Beta-Karoten bagi Kesehatan

Usman Suwandi Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma, Jakarta

PENDAHULUAN

Hubungan antara diet dan penyakit akut/kronis telah lama mendapat perhatian para ahli nutrisi dan medis. Banyak lembaga penelitian telah mencoba mengevaluasi hubungan antara faktor diet tertentu dengan penyakit tertentu dan berbagai komponen makanan telah ditunjuk sebagai faktor pencegah dan penyebab pada etiogenesis penyakit. Karotenoid merupakan salah satu yang diusulkan sebagai kemo- preventip untuk mengurangi resiko kanker. Usulan ini didasar-kan pada bukti-bukti epidemiologi dan penelitian pada sel dan sistem binatang. Berbagai laporan menyatakan bahwa rendah-nya B-karoten serum berhubungan dengan perkembangan kan- ker paru-paru dan asupan sayuran dan buah dapat mengurangi risiko kanker mulut, faring, laring, esofagus, gaster, kolon, rektum, kandung kemih dan serviks. Sejak itu para peneliti mencoba menguji kebenaran hipotesis bahwa B-karoten dapat berfungsi mengurangi laju kanker pada manusia.

Pigmen karotenoid tersebar luas di alam dan mereka me-mainkan peranan panting dalam melindungi sel dan organisme. Karotenoid seperti lycopen & B-Karoten merupakan senyawa biologis yang penting karena dapat menginaktivasi molekul “excited”, seperti singlet oxygen. Proses ini dinamakan quench- ing (pemadaman). Sifat antioksidan senyawa ini mungkin merupakan dasar peranan karotenoid dalam mencegah kanker. Banyak bukti-bukti menunjukkan bahwa senyawa antioksidan dan vitamin tertentu dapat bekerja sebagai faktor preventip/pro- tektip. Namun penyakit kanker tentu tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi disebabkan oleh multifaktor yang komplek.

Di antara mekanisme yang diperkirakan mempengaruhi karsinogenesis yaitu terutama pembentukan radikal bebas, karena molekut ini dapat merusak DNA, protein, ensim dan membran serta menghasilkan produk toksik. Sistim pertahanan

tubuh terhadap radikal bebas sangat tergantung pada antioksidan dan karotenoid. Selain karotenoid, vitamin dan mikronutrien lain diperkirakan juga berperan pada kanker dan penyakit kronis lain.

B-Karoten merupakan salah satu dari sekitar 500 karotenoid yang ada di alam dan mempunyai aktivitas Vit. A paling tinggi. Dalam metabolisme, diperkirakan 1/3 B-Karoten diabsorpsi dan separuhnya diubah menjadi retinol. Sekitar 1/6 B-Karoten digunakan sebagai retinol (Vit. A). Secara teoritis setiap 30 mg. B-Karoten dapat menghasilkan 5 mg retinol. Jika semua retinol diubah, akan ekivalen dengan 50.000 IU Vit. A, B-Karoten diabsorpsi melalui membran sitoplasma lapisan sel mukosa intestinum, kemudian dapat diubah menjadi Vit. A atau lang-sung ke pembuluh darah. Karoten disimpan di dalam lemak dan terdapat pada berbagai organ dan jaringan seperti epidermis dan dermis kulit, sel darah merah dan putih serta platelet. Absorpsi karotenoid dapat meningkat dengan adanya garam empedu, lipid, protein dan zinc. Kebanyakan spesies binatang tidak mengabsorpsi karotenoid. Namun manusia dapat mengabsorpsi seluruh karotenoid. Rodensia tidak mengabsorpsi, kecuali kalau kandungan karotenoid dalam diet tinggi sekali. Binatang seperti rodensia, kelinci dan babi dikenal sebagai binatang white fat karena tidak mudah mengabsorpsi karotenoid. Namun binatang ini mampu mengubah karotenoid menjadi retinoid secara efek-tip.

Kandungan B-Karoten bervariasi dan dapat terganggu ka-rena diet, perokok, alkoholisme dan sinar UV. Pada perokok kandungan B-Karoten plasma terlihat menurun. Dihipotesakan bahwa pengurangan B-Karoten disebabkan oleh radikal bebas yang terdapat dalam asap rokok. Pada alkoholisme kronis, pe-nurunan mungkin karena asupan diet tidak cukup. Penurunan pada orang yang mengalami iradiasi UV berulang-ulang, mung-kin karena interaksi dengan radikal bebas.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 37

Disamping fungsi tersebut, penelitian pada binatang per-cobaan secara in-vivo dan in-vitro, menunjukkan bahwa B- Karoten dapat melindungi sel fagosit dari kerusakan oksidatip, meningkatkan respon proliferasi limfosit T dan B, merangsang efektor fungsi sel T dan meningkatkan makrofag, meningkatkan daya bunuh sel natural killer dan sitotoksisitas sel T, meningkat-kan produksi interkulin tertentu, antioksidan dan pemadaman (quenching) singlet oxygen.

Ada dua sumber B-Karoten dalam makanan yaitu : 1. B-Karoten terdapat secara alami seperti, wortel, bayam, tomat dan sebagainya. 2. B-Karoten ditambahkan ke dalam makanan sebagai sumber mikronutrien atau pewarna. Sumber utama B-Karoten yaitu wortel, namun jika dikonsumsi dalam jumlah besar akan dapat membahayakan karena me-ngandung substansi nitrosamid, nitrit dan falcarinol. FDA telah menyetujui B-Karoten kristal murni sebagai food additive yang digunakan untuk makanan, obat-obatan dan kosmetik.

B-Karoten dianggap aman untuk dikonsumsi karena tidak mempunyai efek samping merugikan baik pada binatang perco-baan maupun pada manusia. Percobaan pada tikus yang diberi dosis besar sampai 4 generasi berturut-turut tidak menyebabkan efek mengganggu pada pertumbuhannya, konsumsi makanan, jumlah sel darah putih atau komponen darah lainnya dan fungsi reproduksinya. Embriogenisitas dan teratogenisitas tidak terjadi pada tikus yang diberi 1000 mcg/kg/hari selama 2 generasi. Tanda-tanda toksisitas juga tidak terjadi pada anjing yang diberi dosis tinggi selama 3 bulan.

Pada manusia, B-Karoten telah berhasil digunakan untuk menyembuhkan pasien inherited photosensitivities. Pasien yang mengkonsumsi dosis tinggi (30 — 180 mg/hari) untuk terapi tidak mengakibatkan abnormalitas vit. A serum. Di samping itu, sukarelawan normal yang mengkonsumsi 180 mg/hari se-lama 10 minggu tidak memperlihatkan hipervitaminosis A.

B-KAROTEN SEBAGAI ANTIOKSIDAN

Molekul oksigen reaktip mempunyai kemampuan merusak DNA, protein, karbohidrat dan lipid. Jenis reaktip ini antara lain superoxide anion radical, hydrogen peroxide, hydroxyl radical, singlet oxygen. Molekul reaktip terakhir dapat menghasilkan radikal bebas yang tidak stabil pada waktu proses pemindahan energi ke molekul lain. Proses ini dapat berlangsung misalnya di dalam membran sel. Radikal bebas mengandung satu/lebih elektron tak berpasangan yang menyebabkan molekul ini sangat reaktip.

Sekali radikal bebas terbentuk, maka reaksi berantai dapat menghasilkan banyak molekul sejenis. Molekul ini sangat reaktip dan mampu menyebabkan kerusakan set-set tubuh. Kemampuan mereka melakukan reaksi berantai dapat menye-babkan komponen sel teroksidasi dan rusak seandainya tidak ada antioksidan yang menghentikan reaksi mereka. Dalam keadaan demikian antioksidan seperti karotenoid, Vit. E dan C, thiol mempunyai peranan penting. Di samping itu molekul oksigen reaktip ini kelihatannya mempunyai peranan pada berbagai a

proses biologis seperti inflamasi, karsinogenesis, kerusakan radiasi, efek photobiologis dan aging.

Tubuh manusia secara konstan terpapar oleh radikal bebas misalnya bernapas di udara tercemar atau makan makanan yang mengandung prekursor radikal bebas. Selain itu, secara alami ada pembentukan radikal bebas endogen sebagai hasil reaksi biokimia. Jelas bahwa manusia hampir tidak mungkin melepas- kan diri dari serangan molekul reaktip tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa tubuh manusia telah mengembang- kan berbagai mekanisme pertahanan untuk mencegah perusakan dari serangan radikal bebas. Dalam sistem biologis, molekul ini akan sangat berbahaya terutama pada bagian yang mengandung lemak tak jenuh ganda dan bahan lain yang peka terhadap oksidator. Keadaan ini disebabkan produksi radikal bebas akan berlangsung berantai. Walaupun reaksi ini akan berhenti sendiri namun pada saat itu sudah terjadi kerusakan pada lipid tak jenuh yang tergantung pada panjangnya rantai.

Karena lemak tak jenuh merupakan target utama radikal bebas, maka lemak pada membran sel khususnya yang tak jenuh juga merupakan sasaran radikal bebas. Jika reaksi berantai terse- but terjadi dalam membran sel, maka membran dapat rusak atau hancur, sehingga dapat menyebabkan kematian sel. Sedangkan keterlibatan radikal bebas pada karsinogenesis mungkin karena kemampuan mereka merusak gen sehingga kontrol pembelahan sel menjadi tidak terkendali.

Karotenoid tertentu yang mempunyai struktur kimia khusus mampū menetralkan atau memadamkan (quench) reaktivitas singlet oxygen dengan cara menghamburkan energi ke seluruh molekul karotenoid. Supaya dapat memadamkan singlet oxygen tersebut, karotenoid harus mempunyai sedikitnya 9 ikatan rang- kap dengan ikatan tunggal di antara ikatan rangkap. Susunan ikatan kimia ini dinamakan conjugated double bonds. B-Karoten mempunyai 11 ikatan kimia tersebut. Energi dari singlet oxygen dipindahkan ke B-Karoten dan dihamburkan ke semua ikatan tunggal dan rangkap, kemudian dilepas sebagai panas dan mole- kul B-Karoten kembali ke energi semula. Pada saat itu singlet oxygen telah diubah menjadi oksigen normal. B-Karoten tidak rusak oleh pemindahan energi dari singlet oxygen tersebut dan dapat mengulangi proses yang sama dengan singlet oxygen lain. Satu mol B-Karotcn mampu memadamkan sampai 1000 mol singlet oxygen. Kemampuan inilah yang membuat B-Karoten merupakan pemadam (quencher) singlet oxygen yang sangat handal.

Tanaman hijau dalam proses fotosintesis menghasilkan singlet oxygen. Karotenoid tertentu disintesis tanaman untuk melindungi jaringan tanaman dari perusakan singlet oxygen yang sangat reaktip dan salah satunya yaitu B-Karoten yang disintesis untuk melindungi dari fotooksidasi. Kemampuan B-Karoten meredam oksigen aktip dan melindungi sel terhadap kerusakan akibat fotosensitisasi telah menimbulkan gagasan untuk menggunakannya pada terapi manusia. Gagasan ini di-awali oleh Dr. Michelene Mathews–Roth yang mengasumsikan bahwa jika pigmen karotenoid dapat melindungi bakteri dan algae dari bahaya efek cahaya, maka pigmen ini mungkin juga

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 38

dapat melindungi manusia. Semula digunakan bagi penderita erythropoietic photophyria (EPP) yang bila terpapar matahari akan timbul itching, eritema blistering dan nekrosis pada kulit. Ternyata B-Karoten dapat membantu mengurangi gejala pen-derita EPP, walaupun penyakit ini belum bisa diobati.

Sebagai antioksidan dan pemadam singlet oxygen, B-Karo- ten dapat melindungi sel dari efek karsinogenesis radikal bebas. Bukti epidemiologi memperlihatkan bahwa orang yang me-lakukan diet B-Karoten rendah mendapat insiden kanker paru-paru, gaster, kolon, prostat dan serviks lebih besar daripada yang mengkonsumsi B-Karoten lebih besar.

Peranan mikronutrien sebagai antioksidan dan keterlibatan-nya pada etiogenesis penyakit terutama kanker manusia, saat ini mendapat banyak perhatian dan penelitian (Tabel 1).

Di samping B-Karoten, mikronutrien yang telah mendapat perhatian antara lain selenium, Vit. E dan C. Beberapa bukti menunjukkan bahwa asupan selenium cukup besar dapat men-cegah kanker pada binatang dan jumlah selenium protektip diperkirakan 5 ppm. Vit. E merupakan antioksidan larut lemak terutama berperanan untuk melindungi asam lemak tak jenuh ganda pada membran terhadap peroxidasi lipid. Kandungan Vit. E membran sering menentukan kepekaan membran mikrosom, LDL, hepatosit terhadap perusakan agen peroksidasi.

Table 1. Antioxidans and β-carotene clinical trials

Study site Agent Study population Endpoint

Lung

Lung

Lung

Lung

Lung

Oral cavity

All

Colon

Skin

Skin

β-Carotene, retinol

β-Carotene, retinol

β-Carotene

β-Carotene, vitamin E

β-Carotene, retinol

β-Carotene, 13-cis retinoic acid

β-Carotene, aspirin

β-Carotene, vitamin C, vitamin E

β-Carotene

β-Carotene

Cigarette smokers

Men, asbestoses

Men, cigarette smokers

Cigarette smokers

Men, exposed to asbestos

Oral leukoplakia

Physicians

Previous adenoma of the colon

Albines in Tanzania

Previous BCC of skin

Compliance, toxicity

Compliance, toxicity, and incidence of cancer

Biochemical, compliance,DNA analysis and sputum

Incidence of cancer

Bronchial epithelial changes

Recurrence of leukoplakia

Incidence of cancer

Number of new adenomas

Regression of abnormal skin changes

Recurrence of skin cancer

B-KAROTEN MEMNGKATKAN SISTEM IMUN

Imunitas sangat diperlukan untuk melindungi tubuh ter-hadap patogenitas infektor. Sekali infeksi dimusnahkan, sistem kekebalan dapat mengingat dan melindungi tubuh terhadap infektor tersebut. Fungsi lain sistem imun yaitu mencegah kanker.

Seperti telah diketahui beberapa sel sistem imun mampu membunuh sel tumor. Sel-sel sistem imun tersebut antara lain makrofag, cytotoxic T-lymphocyte dan Natural Killer cells. Defisiensi atau kecukupan mikronutrien mempunyai pengaruh pada sistem imun. Di antara mikronutrien, vitamin oksidatip dan B-Karoten mempunyai peranan dalam mempengaruhi sistem imun.

Karotenoid dalam diet dilaporkan dapat merubah aktivitas imunologis binatang, Green dan Mc Llanby menyatakan bahwa infeksi kandung kemih, ginjal dan saluran pencernaan pada tikus yang defisien Vit. A dapat dicegah bila tikus diberi B-Karoten. Tomita et al. menunjukkan bahwa B-Karoten dapat meningkat- kan imunitas mencit terhadap tumor. Mencit yang diberi B-Karoten dan dipapar dengan sel-sel tumor mempunyai tumor lebih kecil daripada yang tidak diberi B-Karoten.

Beberapa laporan menyebutkan bahwa Natural Killer Cells manusia membunuh sel tumor lebih berarti bila diinkubasi ber- sama B-Karoten daripada yang tidak dipapar dengan B-Karoten. Bila binatang diberi B-Karoten, Vit. A dan Canthaxanthin, makrofag juga menunjukkan peningkatan kemampuan mem-bunuh sel tumor. Selain itu sel imun juga dapat menghasilkan faktor-faktor yang dapat membunuh sel tumor secara langsung. Pada percobaan dengan hamster, B-Karoten dan Canthaxanthin dapat memproduksi tumor necrosis factor yang dapat mem-bunuh tumor secara langsung. Table 2. Evidence for carotenoid immunoenhancement

Carotenoid Effect

β-carotene

β-carotene β-carotene bixin β-carotene β-carotene canthaxanthin β-carotene canthaxanthin astaxanthin algae extract

β-carotene + canthaxanthin β-carotene α-carotene

Prevented stress and radiation induced thymus involution and lymphopenia

Increased graft vs. host response Enhanced regression of virally induced tumors

Increased helper T lymphocytes (human) Enhanced T and B cell proliferation

Increased cytotoxic macrophage and T cell activities intumor models

Maintained macrophage receptors for antigens

Increased natural killer cell lysis of tumor cells

B-KAROTEN SEBAGAI KEMOPREVENSI

Pada dekade terakhir, penelitian epidemiologi yang meng-hubungkan karotenoid plasma dengan kanker tertentu semakin meningkat. Bukti-bukti epidemiologi telah memacu para ahli melakukan percobaan klinis dengan menambahkan B-Karoten atau kombinasi dengan mikronutrien lain ke dalam diet sebelum tanda-tanda kanker ditemukan. Mereka berharap hasil penelitian ini akan dapat menentukan apakah penambahan B-Karoten atau mikronutrien lain dapat mencegah perkembangan kanker ter-tentu.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 39

Dalam usaha mencari agen kemopreventip, para ahli telah menghimpun lebih dari 1000 senyawa dengan dasar hasil pu-blikasi yang menyatakan aktivitas penghambatan kanker pada manusia atau binatang. Senyawa tersebut kemudian diseleksi dan disusun prioritasnya berdasarkan pada tingginya efikasi, rendahnya toksitas, banyaknya jenis binatang yang memper-lihatkan respon, macam organ target yang telah dipelajari dan spesifisitas efek kemopreventip terhadap karsinogen yang ber-lainan. Salah satu senyawa yang mendapatkan prioritas tersebut adalah B-Karoten, bahkan senyawa ini telah diusulkan untuk intervention trial pada manusia. Dalam mengembangkan agen kemopreventip ada 5 fase yang perlu dievaluasi antara lain : 1) Penelitian laboratorik preklinis.

Dimulai mengidentifikasi senyawa yang memberi harapan melalui pengujian in-vitro. 2) Penelitian in-vivo.

Menggunakan model binatang untuk mengevaluasi efikasi senyawa terhadap berbagai agen karsinogen pada target spesifik. 3) Evaluasi toksikologi dan safety.

Dilakukan pada binatang untuk mengetahui efek akut, sub akut, sub kronis dan kronis.

Senyawa yang mempunyai efikasi tinggi dan toksisitas rendah, dapat dipersiapkan untuk mulai dievaluasi pada manusia. 4) Uji klinis tahap I dan II pada manusia dapat dilakukan dengan jumlah terbatas. 5) Uji klinis tahap III pada manusia dapat dilakukan untuk senyawa yang memenuhi kriteria efikasi dan keamanan.

Kemopreventip dianggap perlu karena kebanyakan kar-sinogen pada berbagai jaringan akan teraktivasi menjadi jenis reaktip; dan untuk mencegah aktivasi mereka atau meredam bentuk reaktip, diperlukan agen kemopreventip pada lokasi yang sama.

Jadi salah satu tujuan kemopreventip yaitu untuk mencari jaringan di mana akumulasi karsinogen teraktivasi berlangsung. Di samping itu agen kemopreventip harus mempunyai beberapa sifat tertentu seperti tidak toksik, dapat tersedia sebagai nutrien sehingga memungkinkan konsumsi dengan mengatur diet dan harganya tidak mahal. Dengan pertimbangan ini B-Karoten memenuhi kriteria sebagai kemopreventip dan dalam penelitian pada binatang maupun in-vitro, senyawa ini efektip sebagai penghambat karsinogenesis.

B-KAROTEN SEBAGAI ANTIKANKER Kebiasaan/tradisi dapat merubah risiko penyakit, sebagai

contoh 60 tahun yang lalu, kanker gaster merupakan neoplasma utama di USA, tetapi saat ini berkurang secara drastis. Rokok telah dikenal sebagai penyebab kanker paru-paru, demikian pula mengunyah tembakau (chewing) merupakan penyebab utama kanker rongga mulut dan esophagus. Di lain pihak hasil pene- litian epidemiologi mcmperlihatkan bahwa orang yang meng-konsumsi sayuran dan buah-buahan secara teratur mempunyai risiko terkena kanker lebih rendah dibandingkan yang tidak mengkonsumsi. Namun penyebab dan berkembangnya kanker bukan merupakan akibat faktor tunggal melainkan melibatkan proses-proses yang komplek.

Table 3. Chemoprevention intervention studies

Target site organ

Target/risk group Inhibitory agents

Lung

Lung

Lung

Lung

Lung Oral cavity Oral cavity

Colon Colon Colon

Colon Colon Skin Skin Skin Skin

Skin

Cervix

Cervix Breast

All sites

Chronic smokers

Men, Asbestosis

Cigarette smokers

Men exposed to asbestos

Chronic smokers Leukoplakia Leukoplakia

Familial polyposis Previous adenoma of colon Previous adenoma of colon

Previous adenoma of colon Previous adenoma of colon Albinos in Tanzania Previous BCC of skin Actinic keratoses patients Previous SSC or BCC of skin

Previous BCC of skin

Women, mild, moderate dysplasia

Women, cervical dysplasia Women, previous breast cancer

Physicians

Folic Acid Vitamin B-12 β-Carotene Retinol β-Carotene Retinol β-Carotene Retinol 13-cis Retinoic acid 13-cis Retinoic acid β-Carotene 13-cis Retinoic acid Vitamins C and E and fiber Calcium β-Carotene, vitamins C and E

Piroxicam Fiber, calcium β-Carotene β-Carotene Retinol Selenium Retino/ 13-cis Retinoic acid

Retinyl acetate

Folic Acid 4-Hydroxyphenyl retinamide

β-Carotene

B-Karoten saat ini dikenal sebagai prekursor retinol (Vit.

A). Selain itu senyawa ini merupakan antioksidan yang baik dan penangkap (trapping) radikal bebas terutama peroxyl dan hydroxy radical. Sebagai antioksidan, B-Karoten terutama mampu melindungi membran DNA dan komponen sel lain dari ke-rusakan oksidatip. Di samping fungsi tersebut, saat ini telah ber- kembang konsep, bahwa B-Karoten mampu menurunkan risiko kanker tanpa harus diubah terlebih dahulu menjadi vitamin A. Untuk mendukung konsep sebagai agen antikanker, banyak di-lakukan penelitian laboratorium, baik dengan biakan sel bakteri maupun binatang.

Salah satu percobaan dilakukan oleh Santamaria et al., menggunakan bakteri yang peka terhadap mutagen. Mereka melaporkan bahwa B-Karoten dapat melindungi organisme ini terhadap efek mutagenik. Kemampuan anti mutagenik juga di-amati oleh Belisario et al pada S. typhimurium dengan mutagen siklofosfamid. Penambahan B-Karoten 100 – 200 mcg/tabung dapat mencegah timbulnya bakteri mutagen.

Penelitian in vivo kemampuan B-Karoten sebagai anti-kanker juga banyak dilakukan pada berbagai binatang dan ma-nusia. Percobaan Tempel & Basu dengan menginduksi kanker colon mencit dengan dimetilhidrazin memperlihatkan adanya penurunan timbulnya kanker kolon pada mencit yang diberi B- Karoten lebih tinggi. Mathews – Roth melaporkan bahwa pem-

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 40

berian B-Karoten dan Canthaxanthin 6,7 g/kg diet secara oral dapat memperlambat munculnya tumor kulit pada mencit yang diinduksi UV. Mereka juga mencoba memberikan B-Karoten dan canthaxanthin 1 g/kg selama 6 minggu sebelum iradiasi atau 24 minggu sesudah iradiasi. Hasilnya B-Karoten yang diberikan sesudah iradiasi mampu mengurangi jumlah binatang yang ter-kena tumor.

Stick et al melakukan percobaan pada leukoplakia dengan memberi vitamin A atau kombinasi dengan B-Karoten. Asupan diberikan 2 kali seminggu selama 6 bulan. Hasilnya pada pem-berian B-Karoten 180 mcg/minggu, 15% mengalami perbaikan; 27,5% pada pemberian B-Karoten dan vitamin A 100.000 IU/ minggu; dan hanya 3% pada plasebo. PENUTUP

Molekul oksigen reaktip yang terdapat pada jaringan dapat merusak DNA, protein, karbohidrat dan lipid. Ketahanan sel eukariot hidup terhadap perusakan yang disebabkan oleh oksigen teraktivasi merupakan proses yang komplek dan melibatkan agen-agen protektip. Mikronutrien-mikronutrien yang telah dianggap sebagai antioksidan mempunyai fungsi mekanisme protektip tersebut. Mereka meliputi mineral Se, Cu, Zn, Mn, Vitamin E, C dan B-Karoten.

Fig. 1. Biological functions of 13-carotene

Peranan B-Karoten pada binatang dan tanaman antara lain : 1. Quenching singlet oxygen 2. Photoprotection 3. Provitamin A 4. Transfer energi pada proses fotosintesis 5. Photoresponse seperti phototropism

Pada manusia, selain sebagai antioksidan dan provitamin A, B-Karoten juga meningkatkan pertahanan imunitas. Namun demikian sifatnya bervariasi dan dapat terganggu oleh gaya hidup seseorang seperti diet sayur/buah yang jelek, perokok, alkohol, sinar UV dan sebagainya.

B-Karoten tidak bersifat toksik pada manusia. Hal ini ter-lihat pada pasien erythropoietic photoporphyria yang mengkon-sumsi 300 mg/hari selama 20 tahun, hanya mempunyai efek samping pigmentasi kuning/orange pada kulit mereka. Selain itu

juga ada efek samping gangguan gastrointestinal, namun tidak dianggap toksik. B-Karoten mungkin akan terbukti sebagai agen kemopreventip nontoksik yang sangat penting untuk melawan kanker pada manusia.

Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa senyawa ini sangat penting dalam diet manusia. Sumber B-Karoten yang penting antara lain wortel, sweet potato, bayam dan melon, karena kan- dungannya tinggi. Berdnsarkan data epidemiologi & laboratorik, B-Karoten merupakan salah satu faktor nutrisi yang sangat memberi harapan untuk pencegahan kanker, bahkan telah di-pertimbangkan oleh US Dept. of Agrieulturē & the US National Cancer Institute untuk merekomendasikan diet buah-buahan dan sayuran yang mengandung B-Karoten sebesar 5 — 6 mg/hari. Hal ini ditunjang dari hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan bahwa populasi yang mengkonsumsi lebih banyak makanan yang mengandung B-Karoten mempunyai risiko terkena kanker lebih kecil dari pada yang mengkonsumsi lebih sedikit.

Penelitian pada binatang petcobaan, menunjukkan bahwa retinoid dan karotenoid dapat menghambat pembentukan kanker. Beberapa uji klinis memperlihatkan bahwa retinoid mampu menyembuhkan leukoplakia oral. Namun karena sifat toksisi-tasnya dosis yang digunakan sangat terbatas dan membatasi potensi mereka sebagai kemopreventip; sedangkan B-Karoten karena tidak toksik, maka ia merupakan kemopreventip yang memberi harapan. Selain zat tunggal, penelitian menggunakan kombinasi senyawa tidak toksik, juga banyak dilakukan.

KEPUSTAKAAN

1. Bendich A. Carotenoids and the Immune Response. In: 72nd Annual Meeting of the Federation of American Societies for Experimental Bio- logy. Las Vegas: Nevada, 1988: 112-4.

2. Bendich A. The safety of beta carotene. Nutr. Cancer 1988; 11: 207-14. 3. Diplock AT. Antioxidant, nutrients and disease prevention: An overview.

Am. J. Clin Nutr. 1991; 53: 189S-93S. 4. Garewal HS. Potential role of B-Karotene or vitamin A. Am. J. Clin Nutr.

1991; 53: 298S-304S. 5. Krinsky NI. Antioxidant functions of beta-carotene. Vitamin Nutrition

Information Service Vol. 1 No. 5: 1-3. 6. Krisnky NI. Effects of carotenoids in cellular and animal systems. Am. J.

Clin Nutr. 1991; 53: 238S-46S. 7. Krinsky NI. The evidence for the role of carotenes in preventive health.

Clin. Nutr. 1988; 7: 107-12. 8. Lachance P. Dietary intake of carotenes and the caroten gap. Clin. Nutr.

1988; 7: 118-22. 9. Malone WF. Studies evaluating antioxidants and b-carotene as chemopre-

ventatives. AM. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 305S-13S. 10. Mascio PD et al. Antioxidant defense systems: The role of carotenoids,

tocopherols and thiols. Am. J. Clin Nutr. 1991; 53: 194S-200S. 11. Norman KI. The evidence for the role of carotenes in preventive health.

Clin. Nutr. 1988; 7: 108-12. 12. Schmidt K. Antioxidant vitamins and b-carotene: Effects on immuno-

competence. Am,J. Clin. Nutr. 1991; 53: 383S-5S. 13. Stahelin HB et al. B-Carotene and cancer prevention: The basel study. Am.

J. Clin Nutr. 1991; 53: 265S-9S. 14. Stich HF et al. Remission of precancerous lesions in the oral cavity of

tobacco chewers and maintenance of the protective effect of b-carotene or vitamin A. Am. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 298S-304S.

15. Weisburger JH. Nutritional approach to cancer prevention with emphasis on vitamins, antioxidants and carotenoids. Am. J. Clin Nutr. 1991; 53: 226S-37S.

16. Ziegler RG. Vegetables, fruits and carotenoids and the risk of cancer. Am. J. Clin. Nutr. 1991; 53: 251S-9S.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 41

Penanggulangan GAKI melalui lodisasi Air Minum di Thailand

Sumengen Sutomo*, Djasmldar**, Yuyus R** * Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI, Jakarta

** Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Gangguan akibat kekurangan iodium (Gaki) merupakan salah saw masalah ke-sehatan masyarakat yang masih belum dapat ditanggulangi dengan efektif di Indonesia dan Thailand. Penanggulangan Gaki melalui iodisasi air minum di Indonesia belum dilakukan. Di Thailand distribusi garam beriodium dan iodisasi air minum dewasa ini sedang dilaksanakan di 15 propinsi endemik Gaki dan memberikan indikasi efektif menurunkan 34,4 — 94,3% prevalensi Gaki pada anak sekolah dasar.

Iodisasi air minum dilakukan di sekolah-sekolah dasar dan desa menggunakan teknologi sederhana dengan meneteskan larutan KIO3 ke dalam air minum sehingga mencapai kadar 200 ug/liter air. Teknologi sederhana ini mungkin dapat diterapkan untuk meningkatkan efektifitas program pemberian garam beriodium dan suntikan larutan minyak beriodium dalam menanggulangi Gaki di Indonesia.

LATAR BELAKANG

Gangguan akibat kekurangan iodium (Gaki) yang biasa disebut gondok endemik merupakan gangguan kesehatan mulai dari lahir sampai dewasa. Penderita Gaki pada umumnya berasal dari daerah pegunungan dengan tanah, air dan tanaman yang kurang mengandung iodium. Penduduk yang tinggal di daerah ini akibatnya mengalami kekurangan iodium dan menderita Gaki seperti gondok dan kretin.

Gaki merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia dan Thailand. Di Indonesia dengan penduduk sekitar 180 juta, 30 juta tinggal di daerah endemik Gaki, lebih dari 750 ribu men-derita kretin dan 3,5 juta menderita kelainan mental. Pemberan- tasan Gaki melalui distribusi garam beriodium dan suntikan larutan minyak beriodium belum dapat dilakukan secara efektif. Penanggulangan Gaki melalui iodisasi air minum belum di-lakukan di Indonesia.

Penanggulangan Gaki melalui iodisasi air minum telah

dibuktikan sangat efektif di berbagai negara seperti di USA negara bagian Ohio tahun 1917 — 1920, New York tahun 1923, Montana tahun 1927; Inggris di kota Derbishire; Malaysia di Serawak tahun 1981; Thailand tahun 1983 dan Italia di Sicilia tahun 1924. Iodisasi air minum di Thailand sangat efektif dan efisien. Program kombinasi iodisasi air minum dan distribusi garam beriodium di daerah pedesaan Thailand dilaksanakan sejak tahun 1986, sedang distribusi garam beriodium sudah mulai dilakukan lebih dari sepuluh tahun sebelumnya. Iodisasi air menggunakan peralatan dan cara yang sederhana sehingga mudah diterapkan di daerah pedesaan negara yang sedang ber-kembang lain.

Berikut ini disajikan .gambaran pelaksanaan program iodisasi air minum yang dilakukan di daerah pedesaan bebe-rapa propinsi Thailand. Tujuan penyajian ini adalah membantu memberikan masukan kepada para pengambil keputusan serta

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 42

pelaksana program agar dapat memanfaatkan teknologi se-derhana iodisasi air minum. Penyajian ini berdasarkan tinjauan langsung di Thailand selama 11 hari dari tanggal 8 sd. 18 Juli 1990 yang meliputi beberapa aspek termasuk masalah, tujuan, kegiatan dan hasil yang dibahas secara kualitatif dan singkat. MASALAH

Gaki merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sudah diketahui sejak 50 – 60 tahun yang lalu di Thailand. Penduduk yang terancam Gaki terutama yang tinggal di propinsi wilayah bagian utara dan timur laut dengan prevalensi antara 15 – 58%. Pada tahun 1957 Klerks melaporkan prevalensi Gaki 23,5 – 45,5% di 5 propinsi wilayah bagian utara dan tahun 1955 Ra-malingswami melaporkan angka 58% di 2 propinsi wilayah utara, dan 15 – 21% di 2 propinsi wilayah timur laut. Sejak tahun 1962 pemerintah melalui Departemen Kesehatan (Ministry of Public Health) melaksanakan program penanggulangan Gaki melalui distribusi garam beriodium. Tahun 1970 Departemen Kesehatan melaporkan hasil survai di 90 sekolah dasar dari 9 propinsi; prevalensi Gaki dilaporkan telah menurun mencapai 16% pada tahun 1982 dan 10,6% tahun 1985.

Pembangunan nasional telah meningkatkan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan schingga penduduk memperoleh ke-mudahan transportasi, memperoleh kebutuhan sehari-hari dan makanan yang berasal dari lautan. Di lain pihak produksi garam tanpa iodium bertambah banyak dan tersedia lebih murah di daerah endemik Gaki. Pada tahun 1985 dilaporkan bahwa hanya 12% garam beriodium yang dijual untuk konsumsi penduduk sedang sisanya garam tanpa iodium. Kemudian diadakan survai prevalensi Gaki secara nasional. Departemen Kesehatan me-laporkan bahwa prevalensi Gaki di 9 propinsi meningkat kembali dan bervariasi dari 20,6% sampai 70,5%. Propinsi yang endemik berat termasuk propinsi Phrae, Nan, Ciangrai, Tak, dan Pitsanuloke. Sehubungan dengan itu program penanggulangan Gaki melalui distribusi garam beriodium ditingkatkan kembali. Untuk membantu meningkatkan efektifitas program Gaki di-laksanakan alternatif lain berupa iodisasi air minum yang di-mulai pada tahun 1986. Pelaksanaan program ini masih terbatas di beberapa propinsi dengan sasaran anak sekolah dasar dan masyarakat.

TUJUAN Program iodisasi air minum di Thailand bertujuan untuk

mencegah dan memberantas Gaki pada penduduk yang tinggal di daerah yang kekurangan iodium. Sasaran penduduk adalah anak-anak sekolah dan wanita berumur 15 – 45 tahun termasuk mereka yang tinggal di daerah endemik Gaki.

Tujuan khusus yang ingin dicapai antara lain adalah : Semua anak sekolah dasar yang tinggal di daerah endemik Gaki setiap hari minum sekurang-kurangnya 2 gelas air yang telah mengandung iodium; penduduk wanita dan mereka yang tinggal di daerah endemik Gaki minum air yang mengandung iodium.

KEGIATAN Untuk mencapai wjuan tersebut dilakukan berbagai ke-

giatan iodisasi air minum yang dibedakan dalam tahap persiap- an, pelaksanaan iodisasi, pelaporan dan penilaian. Dalam tahap persiapan dikembangkan teknologi sederhana dalam iodisasi air minum menggunakan botol tunggal (single bottle) dan botol rangkap (double bottle). Botol tunggal berupa satu botol, botol rangkap berupa dua botol; masing-masing botol berukuran sama dengan volume 30 ml. Botol tunggal berisi larutan iodium (200 ug iodium per liter air) digunakan untuk mendistribusikan iodium ke dalam air minum dengan perhitungan 2 tetes untuk setiap 10 liter air minum. Botol rangkap terdiri dari satu botol berisi larutan tepung (starch) dan satu botol lain berisi cairan asam HCl atau tidak. Bersamaan dengan ini dikembangkan iodinator untuk mencampur iodium pada garam dan air minum. Teknologi sederhana ini dikembangkan oleh Dokter Rumsai Suwanik dari RS Siriraj, Mahidol University lebih dari 10 tahun. Teknologi sederhana ini kemudian diuji coba di beberapa desa pada sistem penyediaan air minum bagi anak sekolah dan ma-syarakat. Setelah diadakan evaluasi teknologi sederhana ini dapat diterima oleh masyarakat dan berhasil menekan prevalensi Gaki. Kemudian teknologi sederhana ini disampaikan kepada Departemen Kesehatan untuk dilaksanakan terutama di propinsi dengan prevalensi Gaki tinggi.

Dalam fase pelaksanaan Departemen Kesehatan Thailand mengintegrasikan kegiatan iodisasi air minum ke dalam sistem pelayanan kesēhatan masyarakat utama (primary health care). Berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam fase ini termasuk membentuk tim kerja, lokakarya dan seminar, latihan petugas, penyuluhan masyarakat, dan pelaksanaan iodisasi air minum. Pembentukan tim kerja di berbagai jaringan pelayanan kesehatan tingkat pusat, propinsi, distrik, subdistrik, desa dan masyarakat. Tim kerja langsung berada di dalam unit organisasi yang ada sehingga tidak membentuk organisasi baru. Setiap tim memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas dalam menanggulangi masalah Gaki. Lokakarya dan seminar bertujuan untuk memberi- tahukan berbagai pihak termasuk para pengambil keputusan, petugas kesehatan dan pimpinan masyarakat bahwa masalah. Gaki cukup serius, teknologi penanggulangan tersedia sehingga perlu mendapat prioritas.

Dengan cara demikian maka mudah diperoleh komitmen para pengambil keputusan dari berbagai pihak. Latihan petugas dilakukan di tiap tingkatan mulai dari pusat sampai daerah sesuai dengan tingkatan tugas masing-masing. Petugas propinsi mem- peroleh latihan dalam pengelolaan kegiatan di tingkat propinsi, petugas distrik memperoleh latihan dalam pengelolaan kegiatan di tingkat distrik, petugas subdistrik memperoleh latihan dalam pengelolaan kegiatan di tingkat subdistrik, petugas desa mem-peroleh latihan dalam pengelolaan di tingkat desa.

Penyuluhan dilakukan secara menyeluruh mulai dari tingkat pengambil keputusan sampai dengan masyarakat. Penyuluhan menggunakan berbagai macam media seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, ceramah, kunjungan rumah, poster, leaflet dan media lain. Penyuluhan di setiap propinsi dilakukan secara

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 43

terencana, intensif dan terus menerus. Pelaksanaan iodisasi air minum dilakukan di sekolah-

sekolah dasar dan masyarakat. Guru mengikuti seminar, mem-peroleh penerangan dan latihan dalam iodisasi air minum. Anak sekolah memperoleh pendidikan dan penerangan sehingga dengan sadar bersedia minum air yang telah mengandung iodium. Anak sekolah di setiap sekolah diharuskan minum air yang disediakan dan telah memperoleh iodium sekurang-kurangnya 2 kali yaitu pada waktu akan masuk sekolah dan waktu istirahat. Kader desa (village health volunteer) memberi penyuluhan dan melatih komunikator desa mengenai kegiatan iodisasi air minum. Komunikator desa memberi penyuluhan dan melatih ibu rumah tangga melaksanakan iodisasi air minum untuk masing-masing keluarganya. Kemudian diadakan bim-bingan dan supervisi terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh masing-masing tingkatan secara hirarkis dan rujukan.

Laporan kegiatan dilaksanakan mengikuti sistem pelaporan yang telah dikembangkan dalam memberikan pelayanan kese-hatan. Guru mengamati perkembangan Gaki pada anak sekolah dan melaporkan kepada petugas kesehatan di sekolah. Petugas kesehatan menggunakan formulir laporan meneruskan kepada pusat kesehatan pembantu (village health station). Komunikator desa mengamati kejadian dan kegiatan kesehatan di 10 rumah tangga, kemudian melaporkan kepada kader desa dengan for-mulir mingguan. Kader desa melaporkan kepada puskesmas pembantu melalui formulir laporan. Puskesmas pembantu mengadakan kompilasi, rekapitulasi dan melaporkan kepada puskesmas. Laporan dari sekolah dan masyarakat yang telah melalui puskesmas pembantu, dianalisis sederhana kemudian diteruskan ke puskesmas. Hasil analisis ini diteruskan ke Dinas Kesehatan Distrik untuk dianalisis lebih lanjut dan diinterpre-tasi. Hasil ini kemudian diteruskan ke Dinas Kesehatan Propinsi dan selanjutnya ke Bagian Gizi di Departemen Kesehatan. Pe-nilaian laporan ini selanjutnya digunakan untuk memperbaiki kegiatan program lebih lanjut. Selain itu juga dilakukan survai Gaki nasional pada anak sekolah untuk menilai kemajuan pro-gram penanggulangan Gaki.

HASIL Dewasa ini kombinasi program distribusi garam beriodium

dengan iodisasi air minum masih dilaksanakan secara terbatas di beberapa propinsi. Hasil secara keseluruhan belum dilaporkan, akan tetapi data dari laporan maupun survai nasional yang telah dilakukan memberikan indikasi berhasilnya program penanggu-langan Gaki di berbagai propinsi. Departemen Kesehatan Thai- land melaporkan hasil survai dari 90 sekolah di 15 propinsi; diperoleh angka prevalensi Gaki bervaniasi antara 3,1% sd. 49,8%. Beberapa propinsi yang semula prevalensi tinggi telah mengalami penurunan (tabel 1). Dewasa ini pemerintah Thailand melalui Departemen Ke- sehatan masih melaksanakan program penanggulangan Gaki di berbagai propinsi. Program Gaki secara nasional telah direnca- nakan dalam program pembangunan nasional sosial ekonomi yang ke enam dengan sasaran menurunkan prevalensi di 15

Tabel 1. Prevalensi (%) Gaki di beberapa propinsi di Thailand sebelum dan sesudah kombinasi program garam beriodium dan lodisasi air minum

Prevalensi (%) Propinsi (Thailand) 1988 1990 Penurunan (%)

Pat 70,5 12,0 82,9 Pitsanuloke 59,8 9,4 84,3 Kampangpet 54,3 3,1 94,3Petchaboon 45,9 5,2 88,7 Loei 41,0 10,9 73,4 Lampang 32,2 20,0 37,9 Phrae 20,6 9,0 56,3 Chiangrae 69,3 49,8 39,2 Nan 18,3 12,0 34,4

propinsi sampai mencapai kurang dari 10% pada akhir tahun 1993.

PEMBAHASAN

Mengamati kegiatan penanggulangan Gaki di tingkat pusat dan beberapa propinsi di Thailand, dapat diperoleh gambaran faktor yang melatarbelakangi indikasi berhasilnya program pe-nanggulangan Gaki. Faktor tersebut antara lain adalah komitmen pimpinan berbagai sektor yang sangat tinggi, organisasi sistem pelayanan kesehatan primer yang dapat mendukung pelaksana- an kegiatan program, koordinasi serta kerjasama dari berbagai pihak yang sangat baik, penyuluhan kesehatan yang efektif dan partisipasi masyarakat yang tinggi.

Pimpinan berbagai departemen termasuk Departemen Pen- didikan, Dalam Negeri dan Kesehatan dari mulai tingkat ke-bijaksanaan sampai dengan tingkat pelaksana sangat mendukung terselenggaranya kegiatan program. Organisasi sistem pelayan- an kesehatan secara hirarkis dan rujukan mampu memberikan pelayanan kesehatan termasuk iodisasi air minum sampai rumah tangga. Dinas Kesehatan Distrik dipimpin oleh seorang para-medis senior dan bertanggung jawab atas peningkatan kesehatan masyarakat melalui puskesmas, puskesmas pembantu, kader desa dan komunikator. Rumah Sakit Distrik dipimpin oleh se-orang dokter dan bertanggung jawab memberikan pelayanan kuratif serta rehabilitatif melalui sistem rujukan dari puskesmas, puskesmas pembantu, kader desa dan komunikator. Di Distrik dibentuk tim kerja yang bertanggung jawab atas program Gaki di wilayahnya dan dipimpin oleh paramedik dari Dinas Kesehatan Distrik atau dokter dari rumah sakit secara bergantian setiap dua tahun sekali. Koordinasi dan kerjasama antara tenaga Dinas Kesehatan Distrik, rumah sakit dan masyarakat sangat baik se-hingga kegiatan iodisasi air minum dapat terintegrasi dengan baik dan dapat disampaikan pada masyarakat melalui kader desa dan komunikator dengan bimbingan dan supervisi dari petugas kesehatan.

Penyuluhan penanggulangan Gaki diintegrasikan ke dalam berbagai kegiatan kesehatan lain dan dilakukan secara intensif. Bagian Pendidikan Kesehatan di Dinas Kesehatan Propinsi menyelenggarakan siaran radio mengenai penanggulangan Gaki setiap 2 minggu sekali, bersama staf Dinas Kesehatan Distrik

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 44

mengadakan penyuluhan rutin ke desa-desa menggunakan mo- bil unit yang dilengkapi film, video dan alat peraga lain. Kader desa melaksanakan penyuluhan dari kampung ke kampung dan komunikator melaksanakan penyuluhan dari rumah ke rumah. Proses penyuluhan memerlukan waktu yang relatif lama untuk dapat meningkatkan kesadaran dan perilaku masyarakat. Dengan demikian pelayanan kesehatan termasuk teknologi iodisasi air minum dari tingkat pusat dapat disampaikan ke masyarakat melalui sistem rujukan sampai ke rumah-rumah.

Sistem pelayanan kesehatan primer di Indonesia agak ber- beda karena menggunakan jaring-jaring pos pelayanan terpadu (posyandu) sebagai tempat mempertemukan pelayanan ke- sehatan dan kebutuhan masyarakat atas pelayanan kesehatan. Sistem pelayanan semacam ini kurang menjamin tercapainya cakupan pelayanan yang luas karena masih dibutuhkan jarak untuk mencapai rumah tangga. Dalam pengetrapan teknologi iodisasi air minum perlu dipikirkan adanya sistem pelayanan kesehatan primer seperti yang dilakukan oleh kader desa dan komunikator. Konsep kader desa telah banyak dilakukan, dan komunikator dapat menggunakan tenaga PKK atau dasa wisma. Pemanfaatan kedua macam tenaga sukarela sudah banyak di-kembangkan oleh berbagai program kesehatan sehingga mem-berikan harapan untuk dikembangkan dalam program iodisasi air minum.

Kegiatan penyuluhan kesehatan termasuk iodisasi air minum yang sangat efektif mampu memberikan pengertian dan kesadaran masyarakat mengenai bahaya Gaki dalam waktu yang relatif singkat. Melalui pengertian dan kesadaran ini mereka kemudian memberikan komitmen dan partisipasi untuk me- lakukan kebiasaan menggunakan garam beriodium dan melaku- kan iodisasi air minum. Dengan demikian masyarakat dapat secara aktif berpartisipasi menanggulangi Gaki yang selama ini menjadi masalah kesehatan masyarakat. Partisipasi masyarakat a

yang tinggi merupakan faktor mama yang menentukan ber- hasilnya berbagai program kesehatan termasuk penanggulangan Gaki.

KESIMPULAN Dewasa ini Gaki merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat yang masih belum dapat ditanggulangi dengan efektif di Thailand. Upaya penanggūlangan Gaki melalui kombinasi program distribusi garam beriodium dan iodisasi air minum secara bertahap dilakukan di beberapa propinsi sejak tahun 1986. Departemen Kesehatan Thailand melaporkan bahwa pada tahun 1990 dari beberapa propinsi mengalami penurunan antara 34,4 — 94,3% prevalensi Gaki anak sekolah. Program ini masih dilaksanakan di 15 propinsi di wilayah bagian utara dan timur laut, dan ditargetkan prevalensi menjadi kurang dari 10% dalam tahun 1993.

Beberapa faktor yang melatar belakangi keberhasilan pro-gram tersebut antara lain komitmen pimpinan yang kuat, organi- sasi pelayanan kesehatan yang mendukung kegiatan program, koordinasi dan kerjasama antar sektor yang baik, penyuluhan kesehatan yang efektif dan partisipasi masyarakat yang tinggi. Iodisasi air minum merupakan teknologi sederhana yang dapat mendukung program penanggulangan Gaki melalui distribusi garam beriodium. Oleh karena itu kemungkinan pengetrapan kombinasi iodisasi air minum dan distribusi garam beriodium di Indonesia merupakan strategi yang dapat diterapkan dalam menanggulangi masalah Gaki.

KEPUSTAKAAN

1. Nutrition Division, Department of Health Ministry of Public Health. The National IDD Control Project 1989 — 1992; 1990: 1—7.

2. Suwanik R et al. Simple technology provides effective IDD control at the village level. IDD Newsletter 1989; 5(3): 2—11.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 45

Diet yang dapat Merusak Gigi pada Anak-anak

Drg. Yuyus Ruslawati Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Masalah kesehatan gigi di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena prevalensi karies dan penyakit periodontal mencapai 80% dari jumlah penduduk(1). Usaha untuk mengatasinya belum memberikan basil yang nyata bila diukur dengan indikator kesehatan gigi masya-rakat; misalnya prevalensi karies gigi dan penyakit periodontal tidak berbeda pada tahun 1973 dan 1983.

Tingginya prevalensi karies gigi dan penyakit periodontal serta belum berhasilnya usaha untuk mengatasinya, mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor distribusi penduduk, faktor lingkungan, faktor perilaku, dan faktor pelayanan kesehatan gigi yang berbeda-beda pada masyarakat Indonesia(2).

Laporan mengenai karies gigi di Indonesia selama ini adalah pada anak usia sekolah dan dewasa, pada tahun 1973 jumlah gigi dengan karies pada anak sekolah usia 12 tahun rata-rata adalah 3,5 di daerah perkotaan dan 0,7 di daerah pedesaan (Ibnoe Effendi, 1977, Barmes, 1977); pada tahun 1983, 2,65 di daerah perkotaan dan 2,06 di pedesaan(2).

Data hasil penelitian dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta pada Survei Kesehatan Gigi Masyarakat DKI Jakarta pada tahun 1984, menyatakan bahwa 4781 sampel dari 5 wilayah DKI Jakarta ternyata keadaan karies gigi adalah sebagai berikut: pada usia 15 tahun ke atas, penderita karies adalah 91,93% atau yang bebas karies adalah 8,07% dengan DMF-T rata-rata tiap orang 6,65 dan gigi yang ditambal (F) hanya 0,54 tiap orang, sedangkan gigi yang dicabut (M) 2,56 tiap orang.

Indeks karies gigi sulung anak usia prasekolah (def.t) dari hasil penelitian atas 1099 anak menunjukkan bahwa 85,17% anak menderita karies rata-rata def-t adalah 6,03 ± 4,96; def.s adalah 13,25 ± 15,23. Pada penelitian ini hampir sembilan dari sepuluh anak yang diteliti menderita karies dengan perincian bahwa rata-rata harus dicabut satu gigi tiap anak dan yang harus ditambal rata-rata 5 gigi tiap anak(3).

TERJADINYA KARIES GIGI DAN KOMPOSISI GIGI Karies gigi adalah suatu proses kerusakan yang dimulai dari

email (enamel) terus ke dentin dan merupakan suatu penyakit yang berhubungan dengan banyak faktor. Ada 4 faktor utama yang saling mempengaruhi untuk terjadinya karies; ke empat faktor tersebut digambarkan sebagai 4 lingkaran yang saling berinteraksi (multifaktorial). Lingkaran pertama adalah faktor host yang meliputi gigi dan saliva, lingkaran ke dua adalah faktor mikroorganisme, lingkaran ke tiga adalah faktor substrat dan lingkaran ke empat adalah faktor waktu(4). Gambar : Model empat lingkaran faktor utama karies(4)

Selain faktor langsung yang ada di dalam mulut (faktor

dalam) yang berhubungan dengan karies gigi, terdapat faktor-faktor tidak langsung yang disebut faktor risiko luar, yang merupakan faktor predisposisi dan faktor penghambat terjadinya karies. Faktor luar antara lain adalah usia, jenis kelamin, keadaan penduduk dan lingkungan, pengetahuan, kesadaran dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan gigi, misalnya pengetahu- an mengenai jenis makanan dan minuman yang menyebabkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 46

karies. Komposisi gigi terdiri dari enamel di luar dan dentin di

dalam, dengan demikian struktur enamel sangat menentukan terhadap proses terjadinya karies. Struktur enamel gigi terdiri dari susunan kimia kompleks dengan gugusan kristal, yang terpenting adalah hidroksil apatit dengan rumus kimia Ca10 (PO4)6 (OH)2 (Newburn 1978). Permukaan enamel paling luar lebih tahan terhadap karies dibandingkan lapisan enamel di bawahnya karena lebih keras dan padat; pada permukaan enamel terdapat F, Cl, ZM, Pb dan Fe sedangkan karbohidrat dan magnesium lebih sedikit dibandingkan dengan enamel di bawahnya(4)

. DIET YANG DAPAT MERUSAK GIGI

Yang berdiet karbohidrat cenderung mempunyai lebih banyak karies, jenis karbohidrat yang paling kariogenik adalah gula atau sukrosa karena mempunyai kemampuan untuk menolong pertumbuhan bakteri kariogenetik. Mikroorganisme yang aktif menyebabkan karies gigi adalah Streptococcus mutans, Strepto- coccus sanguis, Streptococcus salivarius. Oleh mikroorganisme ini gula diubah menjadi asam yang berperan untuk terjadinya permulaan karies gigi(5,7,8).

Karbohidrat yang dapat menyebabkan karies dentis harus bersifat : 1) Ada dalam diet dalam jumlah yang berarti 2) Siap difermentasikan oleh bakteri kariogenik 3) Larut secara perlahan-lahan dalam mulut.

Karbohidrat yang memenuhi ke tiga syarat tersebut(5,8) : 1) Starch (polisakharida) 2) Sukrosa (disakharida) 3) Glukosa (monosakharida).

Suatu studi epidemiologi mengenai status gigi anak usia 3 sampai 14 tahun dilakukan di panti asuhan Hope Wood Australia selama sepuluh tahun. Di sini anak dibesarkan dari bayi, setelah 12 tahun mereka tinggal di luar panti asuhan. Mereka diberi diet yang tetap nilai nutrisinya, terdiri dari sayuran segar dan mentah, dan kuning telur; diet tanpa daging dan pemberian refined karbohidrat terbatas dan ketat, kecuali pada hari-hari terakhir diberi makanan di antara waktu makan secara terbatas yaitu susu, buah dan sayuran. Prevalensi karies pada anak-anak Hope Wood tersebut pada gigi tetapnya adalah sepersepuluh dari rata-rata anak Australia seumur yang tinggal di luar panti. Rendahnya karies tersebut lebih nyata lagi karena keadaan oral hygiene yang buruk (75% anak menderita penyakit periodontal) dan rendahnya kadar fluor. Tetapi setelah anak dilepas dari Hope Wood dan mendapat diet yang konvensional, laju kariesnya meningkat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diet yang tetap sampai umur 12 tahun tidak mengakibatkan gigi imun terhadap karies(13).

Penelitian Sri Mayangsari 1981 di SD Bangka 3 Bogor terhadap 30 kasus menunjukkan bahwa frekuensi karies tinggi bila rata-rata jumlah konsumsi refined karbohidrat tinggi dan kebersihan mulut kurang. Jumlah konsumsi rata-rata kalsium, fosfor dan fluor juga kurang; mungkin ini juga mempengaruhi a

timbulnya karies gigi pada anak-anak tersebut. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa kejadian karies

sangat berbeda antara kelompok-kelompok penduduk; tetapi diet dipertimbangkan sebagai perbedaan utama antara kelompok-kelompok bangsa meskipun ada juga faktor genetik. Telah dibukti- kan dari berbagai penelitian bahwa gula dalam diet merupakan penyebab utama karies. Suku bangsa yang mengkonsumsi gula lebih tinggi, kariesnya lebih tinggi dibandingkan dengan pen-duduk asli Aborigin, Maori, dan Eskimo yang sebelum mengenal diet modern keadaan kariesnya sangat rendah; tetapi setelah diperkenalkan dengan kebudayaan Eropa & Amerika, karies meningkat.

Gula berfungsi sebagai pemanis dan bahan pengawet, memberikan bau yang harum; hal ini akan menimbulkan daya tarik baik rasa, bau maupun bentuk makanan itu sendiri, sehingga ada kecenderungan orang akan memilih makanan yang bergula. Berhubung sifat kariogenitas maka dipikirkan dan telah di-lakukan penelitian kemungkinan menggunakan bahan pemanis yang lain yang tidak bersifat kariogenik(6). Penelitian Ernest Newbrun (1981) mengenai hubungan makanan mengandung gula dengan karies dapat dilihat dalam tabel 1. Tabel 1. Cariogenicity of Snack-foods-fed Rats ad libitum

Carious LesionsFood Sucrose

Total Sugar

% % Fissine Bucco linguae

Milk chocolate + rice crispie 42 50 29,9 43 Chocolate wafers 30 35 11,2 30 Biscuit whole meal flour 20 22 8,0 5 Biscuit white flour 14 19 10,6 2Bread and jam 7 15 3,0 1,5 Biscuit sugar rice 1 3 2,6 0 Bread and cheese 0,4 3 3,1 0

DIET PADA ERUPSI GIGI Diet dalam kesehatan gigi dapat dilihat dalam beberapa

segi(2), pertama efek makanan di dalam rongga mulut yaitu efek lokal pada waktu makanan dikunyah sebagai tahap awal pen-cernaan; dan yang ke dua diet mempunyai efek sistemik, setelah nutrien di dalam makanan dicerna dan diabsorpsi. Dengan demikian peranan diet dan nutrisi pada karies penting dalam aspek perkembangan, fisologi dan perilaku.

Di dalam diet terdapat mineral yang penting dalam perkem- bangan resistensi gigi terhadap karies. Mineral-mineral tersebut berperan penting pada perkembangan gigi maupun reminerali- sasi dan kolonisasi bakteri pada permukaan gigi. Seperti telah dibuktikan, fluor dalam diet secara dramatik dapat mereduksi karies(5,6).

Mineralisasi email masih berlanjut pada waktu gigi baru erupsi sampai kira-kira antara 1,5 sampai 2 tahun(9). Mineral dalam tahap kristalisasi email adalah dalam keseimbangan yang konstan dengan mineral dari saliva, substansi yang berakumulasi pada gigi terutama pelikel dan plak, cairan gingiva dan mungkin

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 47

cairan email. Keseimbangan ini akan menghasilkan deminerali-sasi dan remineralisasi lapisan email luar, terutama gigi baru erupsi(6). Masa ini merupakan masa kritis perkembangan resis-tensi gigi terhadap karies. Dengan diet yang baik, perawatan gigi yang efektif akan dapat meningkatkan resistensi gigi terhadap karies. Sebaliknya dengan diet kariogenik pada periode tersebut akan meningkatkan perkembangan mikroflora yang kariogenik dan hipomineralisasi email sehingga memudahkan gigi menjadi karies(6,9).

Defisiensi protein dalam diet pada tikus mengakibatkan ukuran gigi yang lebih kecil, keterlambatan erupsi, meningkat-kan memudahkan gigi terserang karies(13).

Pada anak yang menyusu dengan dot botol, pada rahang atas depan akan terdapat karies dan pada umumnya terjadi infeksi bakteri Streptococcus mutan. Dot yang letaknya menempel pada langit-langit mulut menyebabkan cairan susu membasahi semua gigi atas kecuali gigi depan bawah. Bila anak-anak tidur dengan susu dot di dalam mulut, air susu akan memenuhi sampai ke gigi depan atas. Pada saat demikian bakteri pada permukaan gigi akan memfermentasi subtrat. Bila susu mengandung sukrose selain laktose maka Streptococcus mutan akan lebih banyak(7,10,11).

USAHA PENANGGULANGAN Usaha menanggulangi serta memperbaiki kesehatan gigi

anak membutuhkan tenaga kesehatan dan peran serta orang tua dalam peningkatan, pengadaan, dan status gizi. Penyuluhan-penyuluhan kepada ibu hamil di BKIA atau di Posyandu/Puskes-mas tentang higiene mulut dan cara perawatan gigi bayi perlu diberikan sedini mungkin. Diet yang baik harus diberikan kepada anak bayi yang mulai erupsi gigi geligi sekitar 6-7 bulan.

Orang tua perlu diberi pendidikan mengenai hubungan gizi dengan karies dan kemudian dapat diterapkan pada anak. Mem-bawa anak-anak ke puskesmas dan ke dokter gigi untuk pe-rawatan dan pencegahan 3 bulan sekali seyogyanya dibiasakan sejak dini atau balita(13).

KESIMPULAN

Pencegahan karies dapat dilakukan dengan berbagai cara tetap pada dasarnya adalah : 1. Dengan peningkatan resistensi gigi 2. Menurunkan jumlah mikroflora, kariogenik, pengendalian

substrat 3. Mengurangi waktu lamanya subtrat di dalam mulut

Pengendalian substrat adalah dengan pengaturan diet, agar

makanan yang dikonsumsi tidak sempat menjadi substrat mikroflora. Di dalam mulut, diet mempunyai efek lokal dan sistemik. Untuk kesehatan gigi, efek lokal lebih bersifat pember-sih; efek sistemik, mulai dengan pencernaan dan absorbsi nutrien baik sebelum erupsi maupun setelah erupsi, terutama mineral-mineral Ca, P, dan F yang didistribusikan pula pada cairan tubuh dan saliva. Setelah email gigi selesai terbentuk, mineral-mineral tersebut tetap berfungsi dalam maturasi email sebelum dan sesudah gigi erupsi. Komposisi saliva dipengaruhi pula oleh protein di dalam diet.

Sukrosa mempunyai peran yang unik dalam proses terjadi-nya karies, karena bakteri oral dapat menggunakannya untuk metabolisme dengan berbagai cara.

Untuk mengurangi karies gigi perlu dianjurkan saran-saran sebagai berikut : 1) Penyuluhan di BKIA atau Posyandu/Puskesmas tentang

nutrisi dan diet yang baik untuk pencegahan karies. 2) Mengurangi atau membatasi makanan yang kariogenik. 3) Pemeliharaan kebersihan mulut yang paling panting sikat

gigi sebelum tidur dan sikat gigi sesudah sarapan disertai dengan kebiasaan diet yang baik.

KEPUSTAKAAN

1. Ibnoe Effendi, Moller. Prevalensi penyakit gigi dan mulut di 7 kota di Indonesia. Laporan sementara, Direktorat Gigi Departemen Kesehatan RI, 1973.

2. Wibowo D. Laporan survey Kesehatan Gigi dan Mulut, Direktorat Ke-sehatan Gigi, Jakarta, 1984.

3. Isnu Suharsono Suwelo. Fluor dalam air minum di DKI Jakarta dan hubungannya dengan karies. Simposium pencegahan karies gigi dengan fluor, 1987.

4. Newburn E. Etiology of dental caries. Dalam Coldwell RC, Stalland RE (eds). A Textbook of Preventive Medicine, 1977.

5. S Bambang. Pola konsumsi makanan penderita karies dentis di Surakarta. Kumpulan Naskah KPPIKG IV FKG-UI Jakarta, 1979.

6. Michael CA. Nutrition in dental caries. Dental Caries Publisher S. 1980, 271 - 275.

7. Cleaton P. dkk. Dental caries, sucrose intake and oral hygiene in 5 year old South African Indian 1984. Dental Research Institute, South Africa, 1982; 577 - 585.

8. Wei Shy. Diet and Dental Caries., Pediatric Dentistry. 1982, 577 - 85. 9. Chandra RK. Nutrition and Immunity, 1987; 192 - 193. 10. Loesche WI. Nutrition and dental decay in infants. J Clin Nutr 1985. 11. Richardson BD, Jones C, Melness PM, Ransho JM. Infant feeding

practices and nursing. 1981, 243. 12. Beely JA. The teaching of nutrition in UK Dental School 1986; 452 - 453. 13. Sri Harini Sumartono. Pengendalian diet untuk mencegah karies pada

anak. KPPKG VIII 7 – 9 September 1988. FKG-UI, hal. 194 - 5.

Every young man should learn to take criticism. He’ll probably be a parent someday.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 48

Pengaruh JAKIM sebagai Makanan Tambahan Balita

terhadap Berat Badan Dr. Rudi Irawan

Kepala PRM Parado Kab Bima, Nusa Tenggara Barat

ABSTRAK

Sebelum makanan tambahan dengan JA-KI-M (jawawut, kacang ijo, madu) diberikan pada balita, diperlukan suatu penelitian kelayakan penggunaannya baik di Posyandu, di RKBPKK maupun di tempat-tempat lainnya.

Penelitian uji coba ini telah dilakukan di Puskesmas Parado yang meliputi 4 desa (Parado rato, Parado wane, Kuta dan Kanca), kecamatan Monta, Kabupaten Bima, Prop. NTB dengan melibatkan 17 orang kader posyandu dan 7 orang petugas puskesmas (seorang petugas gizi dan 6 orang staf puskesmas), dilaksanakan terhadap 91 anak balita yang diikuti perkembangan dan pertumbuhannya selama 3 bulan (Juli 1988 - Oktober 1988); sedang pemberian makanan tambahan diberikan mulai awal bulan Juni 1988 sampai dengan Oktober 1988.

Lebih dari 90% kader yang telah dilatih sebelumnya melakukan tugas dengan baik, sehingga pelaksanaan bukan merupakan beban yang nyata selama masih tersedianya peralatan penimbangan, pengukur tinggi badan serta kartu (KMS).

JAKIM bermanfaat meningkatkan motivasi ibu dan anak untuk datang ke posyandu sehingga cakupan kunjungan balita meningkat, dan bermanfaat pula untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan balita di posyandu; selain itu ternyata JAKIM juga ber- manfaat menurunkan angka kesakitan/kematian dengan cara meningkatkan kesadaran ibu dari balita tersebut akan pentingnya menjaga kesehatan dengan memakan makanan bergizi, sehingga JAKIM merupakan makanan tambahan yang layak dalam menunjang usaha perbaikan gizi anak balita di Parado pada khususnya.

PENDAHULUAN

Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya merupakan upaya yang sangat komplek dan berperspektif jangka panjang, karena itu penuangannya menghendaki usaha yang berkesi-nambungan dan terpadu. Untuk meningkatkan kualitas manusia diperlukan penggarapan terhadap subyeknya sendiri sedini mungkin, tegasnya pada usia balita. Hal ini didasarkan per-timbangan bahwa usia balita merupakan periode pembentukan

kritis bagi perkembangan pribadi seseorang. Berpedoman pada hal di atas maka perlu suatu usaha untuk

meneliti keadaan tumbuh kembang anak di wilayah kerja Pus-kesmas Parado (meliputi desa Parado rato, Parado wane, Kuta, Kanca), kecamatan Monta, Kabupaten Bima, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Karena gizi anak balita di Parado yang masih kurang (649 anak balita), sehingga menyebabkan angka kema- tian yang tinggi (16%), dan angka kesakitan masih tinggi (40-80

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 49

anak/bulan). Berbagai upaya telah dijalankan melalui Posyandu, pemantauan status gizi, dan penyuluhan pemberian makanan tambahan; tetapi program di atas masih belum bisa diharapkan secara optimal, sehingga terdorong keinginan untuk meneliti JAKIM (jawawut, kacang hijau, madu), sebagai makanan tam-bahan yang banyak didapat di Parado, murah, mudah memasak-nya, enak dimakan dan yang terpenting tinggi nilai gizinya yaitu 973 kalori/100 mg, 32.2 g protein/100 mg, 4.7 g lemak/100 mg. Pada penelitian ini dibatasi hanya pada balita saja, JAKIM cukup potensial untuk digunakan secara luas. TUJUAN PENELITIAN 1. Primer, untuk mengetahui pengaruh pemberian makanan tambahan (PMT) Jakim, terhadap kenaikan berat badan. 2. Sekunder, melatih ibu-ibu kader kesehatan/petugas kese-hatan dalam memantau status gizi dan keadaan kesehatan (morbiditas) anak-anak Balita.

I. BAHAN DAN CARA KERJA

A. LOKASI Penelitian dilakukan di 4 desa di wilayah kerja puskesmas

Parado yaitu : Parado rato, Parado wane, Kuta, Kanca, Keca-matan Monta, Kabupaten Bima, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dan tiap desa tersebut diambil 1 — 2 posyandu, sehingga di-dapatkan 6 posyandu. KRITERIA PEMILIHAN 1. Harus posyandu mantap dengan kader yang aktif. 2. Posyandu yang cakupan balitanya lebih dari 50 anak. 3. Sarana sumber daya (jakim) dan lain-lain tersedia di wilayah posyandu tersebut.

B. BENTUK PENELITIAN Penelitian analitik observasional secara Randomized

Controlled Trial.

C. SUBYEK PENELITIAN Pemilihan subyek secara random sample sebanyak 91 anak

balita dari empat desa tersebut, ditujukan pada balita yang rutin/ rajin datang ke posyandu tiap bulan.

D. CARA KERJA Penelitian ini dimulai pada awal bulan Juni 1988, berupa

pemberian makanan tambahan Jakim, dimonitor perkembang-annya pada kunjungan ke posyandu pada bulan Juli; pemberian makanan tambahan diteruskan sampai bulan September, de-mikian juga monitor diteruskan sampai bulan Oktober 1988.

Pada kunjungan I ke posyandu (bulan Juli) latar belakang orang tua seperti umur, pendidikan dan pekerjaan dicatat. Dicatat pula riwayat persalinan, penyakit yang pernah diderita anak tersebut, semua dilakukan oleh kader. Kemudian dilakukan pe-meriksaan kesehatan balita oleh petugas kesehatan, diberi buku KMS yang sudah diisi penimbangan berat badannya dan di-interpretasikan ke dalam grafik.

Buku KMS balita yang diuji diberi tanda khusus, setiap bulan diharuskan datang ke posyandu dengan membawa buku a

KMS tersebut sekaligus balita ditimbang berat badannya, di-periksa kesehatannya. Terhadap ibunya diberikan penyuluhan mengenai JAKIM dan diberikan bahan mentah JAKIM ūntuk digunakan di rumah. Hasilnya dibuat kurve di dalam grafik misalnya : berat badan di dalam buku KMS; tinggi badan, ling-kar kepala, lingkar lengan atas, lipatan kulit dibuat kurve di buku lain.

Seandainya ada balita yang sakit, disembuhkan dulu dan PMT dilanjutkan asalkan tidak menimbulkan alergi (komplikasi lain) terhadap balita tersebut. Sampai penelitian ini disusun tidak ada drop out/gagal sebelum penelitian selesai.

E. ALAT DAN CARA PENGUKURAN(1,2,3) Hasil tumbuh kembang fisik adalah bertambah besarnya

ukuran antropometrik dan gejala (tanda lain pada rambut, gigi geligi, otot, kulit serta jaringan lemak, darah dan lain-lain. 1. Ukuran Antropometri(1)

Yang bermanfaat dan sering dipakai adalah : 1. a. Berat badan.

b. Tinggi/panjang badan. c. Lingkaran kepala. d. Lingkaran lengan atas. e. Lipatan kulit.

a) Berat badan. Merupakan ukuran antropometri yang terpenting, dipakai

untuk memeriksa kesehatan anak pada setiap kelompok umur. Merupakan indikator tunggal yang terbaik pada waktu ini

untuk keadaan gizi, keadaan tumbuh kembang, karena pening-katan berat adalah hasil dari peningkatan seluruh jaringan tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lain. b) Tinggi badan.

Merupakan ukuran antropometrik kedua yang panting; ke-istimewaannya nilai tinggi badan adalah meningkat terus walau-pun laju tumbuh berubah, oleh karena itu nilai tinggi badan dipakai untuk dasar perbandingan terhadap perubahan relatif, seperti nilai berat dan lingkar lengan atas. c) Lingkar kepala.

Mencerminkan volume intrakranial, dipakai untuk menaksir pertumbuhan otak. d) Lingkar lengan atas.

Mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh di-bandingkan dengan berat badan. Dapat dipakai untuk menilai keadaan gizi pada kelompok usia pra sekolah. e) Lipatan kulit.

Tebalnya lipatan kulit pada daerah trisep dan subskapular merupakan refleksi tumbuh kembang jaringan lemak bawah kulit, yang mencerminkan kecukupan energi. 2. Tanda pemeriksaan fisik(1,2) a) Keseluruhan fisik.

Dilihat bentuk tubuh, perbandingan bagian kepala, tubuh dan anggota.

b) Jaringan otot. Tumbuh kembang otot diperiksa pada lengan atas, pantat dan paha dengan cara cubitan tebal.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 50

c) Jaringan lemak. Diperiksa pada kulit di bawah trisep dan subkapular dengan

cara cubitan tipis. d) Rambut.

Diperiksa tumbuh, warna, diameter (tebal/tipis), sifat (lurus/ keriting) dan akar rambut (mudah dicabut atau tidak). e) Gigi geligi.

Jadwal pertumbuhan gigi geligi susu (saat erupsi), saat tanggal dan pergantian/erupsi gigi geligi permanen. 3. Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi. 4. Buku Patokan (Standard Reference) sebagai pemban-

ding(1,4)

a) Pola Tumbuh kembang. Memperlihatkan variasi normal yang luas, sehingga perlu

cara dan istilah statistik untuk menilai keadaan tumbuh kembang seorang anak.

Terdapat tiga macam cara untuk menunjukkan suatu variasi normal : i) Menggunakan Mean dan SD.

Mean adalah nilai rata-rata ukuran anak yang dianggap normal (sehat); dengan cara ini seorang anak dapat ditentukan posisinya, yaitu : – Mean kurang lebih 1 SD mencakup 66,6% – Mean kurang lebih 2 SD mencakup 95% – Mean kurang lebih 3 SD mencakup 97,7% dari jumlah populasi anak normal. ii) Menggunakan Persentase.

Pada lokakarya antropometri di Indonesia untuk anak prasekolah (Gizi, Depkes 1974) disepakati bahwa : – Nilai 100% untuk berat adalah nilai persentil ke 50 dari Harvard standard. – Variasi normal berada di antara 80% – 110%.

Dalam prakteknya, nilai-nilai tersebut disusun dalam se-buah tabel atau digambarkan dengan kartu pertumbuhan. b) Baku Antropometri Gizi(1,4) i) Baku untuk Tinggi dan Berat menurut Direktorat Gizi Depkes 1973. ii) Baku NCHS (National Centre of Health Statistics) dianjur- kan oleh WHO 1978, untuk berat dan tinggi. iii) Hasil penelitian Sugiono dan Pelenkahu (1964) untuk bayi menggunakan rata-rata untuk berat dan tinggi. iv) Standard NCHS untuk anak 0 – 18 bulan, menggunakan persentil untuk berat, tinggi, lingkar kepala (Nelson 1979). 5. Tata cara penilaian/pemeriksaan(1,5,6)

Pemeriksaan yang dilakukan sama seperti membuat diagno- sis tentang penyakit atau tentang keadaan kesehatan; yaitu : 1) Anamnesis

Untuk memperoleh informasi tentang tumbuh kembang selama dalam kandungan, saat kelahiran, keadaan waktu lahir, kecukupan makanan, penyakit/kelainan yang diderita, keadaan fisik kedua orangtua. 2) Pemeriksaan fisik.

Untuk memperoleh kesan klinis tentang tumbuh kembang, dengan informasi gejala/tanda tumbuh kembang.

3) Pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan antropometrik saja, karena pemeriksaan laboratorium dan radiologi belum ada.

Penilaian kelompok umur(1) 1) Bayi

Landasan tumbuh kembang telah ditentukan dalam kan-dungan dan persalinan; gejala/tanda normal, antara lain me-nyusu/makan dengan baik, tidur nyenyak.

Dalam dua minggu pertama penurunan berat badan fisiolo-gik pada hari ke 5 tidak lebih dari 10%, berat badan lahir dicapai kembali pada hari ke 10 – 14; bila melebihi 30 hari merupakan indikator kecurigaan terhadap penyakit. Laju tumbuh kem- bang sesuai baku patokan.

Gigi geligi mulai erupsi pada usia 7 – 8 bulan, berjumlah 4 – 6 pada usia satu tahun. 2) Anak prasekolah.

Perlu dibagi dalam dua kelompok usia: 1– 3 tahun (Batita) dan 4 – 5 tahun (Balita).

Anak usia 1 – 3 tahun ditandai dengan laju tumbuh fisik bersifat lambat, mantap untuk berat dan tinggi, lingkar kepala melambat pada usia 2 – 3 tahun, gigi geligi susu secara bertahap menjadi lengkap 20 pada usia 2 – 3 tahun.

Usia 4 – 5 tahun aktivitas fisiknya meningkat, laju tumbuh berat badan dan tinggi lambat mantap, mulai terjadi pergantian gigi geligi susu dengan erupsi gigi seri (permanen).

Tabel 1. Lokasi, Janis kelamin serta umur anak yang diuji (n = 91)

Umur

Desa 1- 3 Tabun 4 - 5 Tabun

Laki Perempuan Laki Perempuan

Parado Rato 5 4 15 12 Parado Wane 3 5 8 7Kuta 4 2 7 5 Kanca 2 1 9 2

Jumlah 14 12 39 26 = 91

F. TENAGA LAPANGAN Pelaksanaan penelitian di lapangan dikerjakan oleh kader

dan petugas kesehatan. Setiap kader bertanggung jawab terhadap 4 – 8 anak yang diteliti, sedang petugas kesehatan (seorang petugas gizi dan 6 orang staf PKM) bertanggung jawab terhadap pemeriksaan kesehatan anak yang diteliti serta sebagai konsultan bagi kader; petugas kesehatan dan kader dalam melaksanakan tugas di bawah pengawasan dokter puskesmas. Tabel 2. Lokasi dan Jumlah kader di masing-masing desa, Kecamatan

Monta, Kabupaten Bima

Umur Desa

Pengalaman KerjaKader

20 th 20-29 30-40 1 th 1-2 Parado Rato 2 2 1 1 4 5Parado Wane 1 2 2 1 4 5 Kuta 1 2 1 1 3 4 Kanca 1 1 1 1 2 3

Jumlah 5 7 5 5 13 17

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 51

Tabel 3. Latar belakang kader

Pelaksanaan pengumpulan data dikoordinir petugas gizi dan

disempumakan oleh dokter Puskesmas. Pemilihan kadar diutamakan yang mempunyai sifat sosial,

berdedikasi tinggi, cekatan, ulet bekerja dan kekuatan fisik yang balk sehingga dapat menunjang kegiatan ini dengan balk.

G. LATIHAN UNTUK TENAGA LAPANGAN Kader dan petugas kesehatan yang mengumpulkan data

dilatih selama 2 hari dan penyuluhan rutin setiap turun posyandu bagi kader. Latihan yang diberikan mengenai tata cara peng-ukuran antropometri terhadap anak, cara memberikan penyu-luhan terhadap orang tua dari anak yang diuji coba, cara men-cantumkan basil pengukuran antropometri, interpretasi hasil pengukuran, cara mendapatkan dan mengisi faktor risiko, pen-jelasan tentang pesan kesehatan dan gizi dalam laporan, cara me-manfaatkan/memasak Jakim, variasi masakan/menu dan cara menghidangkannya. Latihan diberikan secara teori dan praktek. Pada hari terakhir dilakukan uji validasi tentang pengukuran antropometri, wawancara dengan anak/ibu dan kebenaran peng- isian laporan; hasil pengisian data oleh kader divalidasi dengan cara membandingkan dengan hasil pengukuran oleh pelatih. Dengan adanya latihan dan uji validasi ini hasil penelitian benar-benar akan dapat dipertanggung jawabkan.

H. BEBERAPA JENIS MAKANAN PADAT/CAIR(1) Makanan ini dapat dibuat dari bahan-bahan yang biasa dan

tersedia di Parado ataupun dari bahan yang banyak dijual di pasaran; oleh karena itu peranan tenaga kesehatan sangat di-perlukan untuk dapat memberikan nasehat kepada para orang tua tentang makanan JAKIM tersebut. 1) Makanan lumat. a) Nasi jawawut pisang uleg. b) Bubur jawawut tepung susu. c) Nasi jawawut tim saring. 2) Makanan lembek. a) Bubur jawawut tirn. b) Pure campur. 3) Minuman cair.

lb) Bubur tepung susu jawawut.

Dibuat dari tepung beras dan jawawut yang sudah ditumbuk halus dicampur dengan susu dan dimasak sampai matang;

Kalori yang dikandung setiap porsi 302,1 kal. lc) Nasi jawawut tim saying.

Campuran lengkap/bubur tim saring. Bahan yang dipakai beras, jawawut, ikan/daging/ayam/

hati, tahu/tempe dan sayur tomat/wortel/bayam/labu siam. Ba- han-bahan tersebut dimasak bersama dengan air sampai matang kemudian disaring.

Kalori yang dikandung setiap porsi 251,1 kal. 2a) Bubur tim.

Bahan dan cara membuatnya sama dengan nasi jawawut tim saring.

Kalori yang dikandung 251,1 kal. 2b) Pure campur.

Bahannya kentang, jawawut, ikan/daging/ayam/hati, tahu, sayur, margarine; cars membuatnya: kentang, jawawut, ikan, tahu, sayur direbus, kemudian dicampur dan ditambah margarine dan dihaluskan.

Kalori yang dikandung setiap porsi 387,5 kal. 3a) Air kacang ijo madu.

Bahannya kacang ijo dan madu dengan air secukupnya; cara membuatnya: kacang hijau/ijo dimasak, kemudian dihidangkan dengan diberi madu secukupnya (2–3 sendok teh).

Kalori yang dikandung setiap porsi 115,6 kal. Cara menghidangkan 1. Makanan lumat/lembek bisa dihidangkan 2–3 kali/lebih perhari, pagi – siang – sore. 2. Minuman cair dihidangkan 3 kali/lebih perhari, pagi – siang – sore.

Dari tabel 4 tampak bahwa JAKIM mengandung kalori, vitamin, elektrolit dan lain-lain sangat besar, sehingga layak kalau disebut makanan yang bergizi.

I. SUPER VISI Dalam 1 bulan supervisi dilakukan 8 kali (2 kali/minggu),

aa Tabel 4. Komposisi Jakim(7)

Bahan Kalori Protein Lemak Karbo-hidrat Ca P Fe Vit. A Vit. B Vit. C Air Ukuran

Jawawut 334 9,7 3,5 73 28 311 6 - 0,5 - 11,9 100 mgKacang ijo 345 22,2 1,2 62 125 320 7 157 0,6 6 10 100 mgMadu 294 0,3 - 79 5 16 1 - - 4 20 100 ml

Salinan dari buku gizi DINKES DATI II BIMA N.T.B.1974

Pendidikan Pekerjaan Umur Lama Tugas Desa

SD SNIP SMA Tani Dagang Lain 20 th 20-29 30-40 1 th 1-2 2 th

P. Rato 1 3 1 2 1 2 2 2 1 1 4 -P. Wane - 4 1 1 1 3 1 2 2 1 4 - Kuta - 2 1. 1 1 2 1 2 1 1 3 - Kanca - 1 2 - - 3 1 1 1 1 2 -

a) Air kacang ijo madu. la) Nasi jawawut pisang uleg. Nasi pisang (ambon) sering diberikanpada bayi berumur lebih dari 30 hari. Nasi, jawawut yang dihaluskan ditumbukdimasak bersama dan pisang diuleg sampaihalus;

Kalori yang dikandung setiap porsi213,7 kal.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 52

Tabel 5. Komposisl bahan kandungan dan serat(4,7)

Kandungan

Energi Protein Lemak Karbo- Vit. A Fe Serat No. Makanan tambahan Komposisi

(kal) (g) (g) hidrat

(g) (SI) (mg) (g)

A. 1

2

3 B.

1

2 C.

MAKANAN LUMAT Nasi jawawut pisang uleg Bubur jawawut tepung susu Nasi jawawut tim saring MAKANAN LEMBEK Bubur jawawut tim (campur lengkap) Pure Campur Air kacang hijau

nasi 50 mg pisang 25 mg jawawut 25 mg tepung 15 mg susu 25mg gula 10 mg air 200 ml beras 25 mg daging 30 mg jawawut 25 mg tempe 15 mg sayur 40 mg air 300 ml beras 25 mg daging 20 mg tempe 15 mg jawawut 25 mg sayur 40 mg kentang 100 mg jawawut 25 mg tahu 25 mg sayur 40 mg k. hijau 25 mg air 200 ml madu 10 ml gula 10 ml

213,7

302,1

251,1

251,1

385,5

115,6

4,9

9,5

12,4

12,4

12,4

5,58

1,24

8,47

4,77

4,77

9,77 0,3

50,75

48,75

63,55

63,55

40,45 23,6

73

-

249,6 249,6 351,5 39,25

1,95

1,45 10,15

10,15

0,15

4,50

7,75

0,01

8,66

8,66

8,66

7,41

pada saat diadakan posyandu di tempat yang bersangkutan. Supervisi ini dikerjakan oleh dokter puskesmas/peneliti, dan bertanggung jawab alas hasil penelitian di tiap posyandu.

Supervisi dilakukan terhadap cakupan sampel, ketelitian pengumpulan data, kelancaran peneliti dan memecahkan masalah yang ada dilakukan bersama kader dan petugas puskesmas.

J. PENGOLAHAN DATA Semua data yang diperoleh diperilcsa lagi terhadap ke-

mungkinan salah, dirangkum berdasarkan tiap posyandu, kemu- dian dirangkum lagi untuk tiap desa lalu dilakukan tabulasi, analisis data maupun grafik secara terperinci dan jelas. Tabel 6. Pengalaman Orang Tua terhadap JAKIM Pengalaman Orang Tua Mudah Sulit

Alasan Sulit N 96 N % Pengertian JAKIM 91 100 - - - Pengolahan JAKIM 89 97,8 2 2,2 sarana kurang Nafsu makan anak 82 90,1 9 9,9 kurang suka, anak Bahan JAKIM

91 100 - - sedang sakit -

Bermanfaat 89 97,8 2 2,2 sarana kurang Kelanjutan 81 89 10 11 sarana, kesibukan

dan lain-lain

Mean 95,78%

Tabel 7. Pengalaman Kader Mengisi Kolom Laporan Pengalaman Kader

Mudah Sulit Alasan Sulit

N % N % Identitas 17 100 - - -Latar belakang 16 94 1 6 orangtua tidak tahu

Riwayat persalinan 17 100 - - persis umur anaknya -

Riwayat penyakit 12 71 5 29 orangtua tidak tahu

Pengertian JAKIM 17 100 - - penyakit anaknya -

Mean 93%

Tabel 8. Pengalaman Kader sebagal Pengumpul Data Pengalaman Kader Mudah Sulit

Alasan Sulit N % N % Mengumpulkan anak 66 73,5 25 26,5 rumah jauh & tersebar

Cara menimbang 91 100 - -

datang tidak tepat jam jadwal lupa dan belum tahu manfaatnya -

Cara mengukur TB 91 100 - - - Cara penyuluhan 84 92,3 7 7,7 faktor pendidikan

Mean 91,45%

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 53

Tabel 9. Kesan Petugas Gizi/Kesehatan Kesan

Ringan Berat Alasan Berat

N % N %

Beban kerja

Pengisian form laporan Pengiriman form laporan

4

6

6

57,1

85,7

85,7

3

1

1

43,9

14,3

14,3

- adanya tambahan tugas

- adanya kenaikan kunjungan ke Pos- yandu

laporan dari kader ter- lambat. laporan dari kader ter- lambat.

Mean 76,16%

Tabel 10. Hasil Penggunaan JAKIM terhadap Beret Badan Balita Penggunaan JAKIM

Sebelum Sesudah Desa Balita Tidak Tidak

Normal Normal

Normal Normal

N % N % N % N %

P. Rato 36 26 71 10 29 1 4 35 96P. Wane 26 17 73 6 27 2 7 21 93 Kuta 18 12 68 6 32 1 6 17 94 Kanca 14 10 74 4 26 1 9 13 91

Mean 71,5% 28,5% 6,5% 93,6%

Keterangan : Data tersebut menggunakan pembanding dari data standard. 1. Direktorat Gizi, DEPKES R.I. 1973.

Tabel berat badan menurut tinggi badan, umur 0 -5 tahun, tidak dibedakan jenis kelamin.

2. Data HARVARD 1959. Berat badan menurut panjang/tinggi badan dan umur untuk anak 0 - 5 tahun, tidak dibedakan jenis kelamin.

Tabel 11. Laporan Puskesmas Parado Periode Juni - Oktober 1988 Desa Juni Juli Agustus September Oktober

S 200 206 214 209 213 K 200 206 214 209 213

P. Rato D 107 116 117 111 118 N 37 49 67 85 101 N/S 18,5 23,7 31,3 40,6 47,4 D/S 53,5 56,3 54,6 53,1 55,3 S 170 172 175 179 173 K 170 172 175 179 173

P. Wane D 96 98 98 111 112 N 30 41 56 75 91 N/S 17,6 23,8 32 41,8 52,6 D/S 56,4 45,3 56 62 64,7 S 152 161 171 167 173 K 152 161 171 167 173

Kuta D 90 94 98 91 101 N 29 34 40 46 56 N/S 19,1 21,1 23,4 27,5 32,4 D/S 59,2 58,4 57,3 54,5 58,4

.

S 152 161 171 167 173 K 152 161 171 167 173

Kanca D 50 59 53 59 69 N 19 23 31 42 56 N/S 14,9 17,5 24,8 32,3 42,9 D/S 39,4 45 42,4 45,4 53

Keterangan : S : Semua balita yang ada di daerah kelompok penimbangan. K : Semua balita yang terdaftar dan mempunyai KMS bulan ini. D : Semua balita yang ditimbang bulan ini. N : Semua balita yang naik timbangannya mengikuti pita warna KMS pada

bulan ini. N/S : Tingkat pencapaian program (T.P.P). D/S : Peran serta masyarakat.

Tabel 12. Laporan Bulanan Kecamatan tentang Penimbangan Balita. (F/IIUGizi/88)

Desa Juni Juli Agustus September Oktober

P. Rato T N

33 37

29 49

24 67

22 85

12 101

P. Wane T N

20 30

20 41

22 56

20 75

11 91

Kuta T N

22 29

20 34

16 40

10 46

10 56

Kanca T N

10 29

9 34

10 40

10 46

5 56

Keterangan : T : Jumlah Balita yang tidak naik berat badannya bulan ini. N : Jumlah Balita yang naik berat badannya bulan ini.

Tabel 13. Perbandingan Rata-rata (X) Berat Badan terhadap Umur antara Standard Harvard, Uji dan Kontrol

Perempuan Laki-laki Umur

(Tahun)

Standard Harvard 3 3 0 8 8 1 9,3 9,6 2

11 11,4 3 12,6 13 4 14,2 14,4 5

Uji 2,8 2,8 0 7,4 7,5 1 8,7 8,8 2 10,2 10,3 3 12,8 13 4 13,4 13,8 5

Kontrol 2,8 2,8 0 7,2 7,3 1 8,5 8,7 2 10 10 3 12,4 12,6 4 13,0 13,4 5

II. HASIL/PEMBAHASAN JAKIM digunakan oleh 17 orang kader, masing-masing 5

orang dari desa Parado Rato, 5 orang dari desa Parado Wane, 4 orang dari desa Kuta dan 3 orang dari desa Kanca.

Dalam penelitian ini tidak disinggung hasil pengukuran

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 54

antropometri Iainnya selain berat badan, karena tidak terdapat peningkatan yang berarti dan belum ditemukan parameter yang baku mengenai ukuran antropometri lainnya.

Pada Tabel 1 diuraikan mengenai anak teruji (sampel) yang diambil berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin; distribusi tersebut tidak merata pada ke 4 desa ini karena pemilihan di-tujukan pada balita yang rutin/rajin datang ke posyandu tiap bulan, seperti dilihat pada buku KMS yang lengkap penim-bangannya, sehingga memudahkan monitoring.

Pada Tabel 2 mengenai lokasi dan jumlah kader, distribusi kader juga tidak merata untuk tiap desa; hal ini disesuaikan dengan banyaknya anak balita yang diteliti pada tiap desa/ posyandu. Sedangkan untuk pemilihan kader selanjutnya dilihat latar belakangnya seperti pendidikan, pekerjaan, umur maupun lama tugas sebagai kader kesehatan. Selain dasar-dasar pemilih- an kader seperti tersebut di atas diutamakan juga yang mem-punyai sifat sosial, berdedikasi tinggi, cekatan, semangat kerja, kekuatan fisik/kesehatannya baik. Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan kader dengan hasil pelaksanaan tugasnya.

Beberapa jenis makanan yang dapat dikombinasikan dengan JAKIM sebenarnya tergantung dari kemampuan improvisasi memasak, dengan harapan anak mau/suka makan sehingga usaha kegiatan ini tercapai.

Pada Tabel 4 diuraikan lebih lanjut dan terperinci kom-posisi JAKIM mengenai kandungan vitamin, mineral, karbo-hidrat, protein, lemak dan lain-lain; karena kandungannya yang tinggi itulah penulis berusaha mencobakan makanan tersebut terutama pada balita dengan harapan meningkatkan program UPGK. Demikian pula pada Tabel 5, diuraikan jenis makanan yang dapat dibuat/dicampur dengan JAKIM sehingga menjadi makanan yang bergizi tinggi dan tidak tertutup kemungkinan untuk dikombinasikan dengan jenis makanan lain.

Tabel 6 menunjukkan pengalaman orang tua dari balita yang dicoba dengan JAKIM. Dari beberapa pertanyaan didapat-kan hasil rata-rata 95,87%; jadi kesimpulannya orang tua ter-sebut sangat menguasai penggunaan JAKIM; program yang mencapai 89% diharapkan bisa berkelanjutan meskipun pem-berian bahan JAKIM sudah dihentikan karen masyarakat di-harapkan bisa mencukupi kebutuhannya sendiri.

Pengalaman kader dalam mengisi kolom laporan seperti tampak pada Tabel 7 memberikan gambaran mengenai ke-mampuan kader dalam mengisi kolom-kolom berdasarkan per-tanyaan yang diajukan oleh kader dan jawaban dari orang tua balita tersebut. Pada umumnya, kader (> 93%) menyatakan mudah mengisi kolom-kolom tersebut, kecuali kolom tentang riwayat penyakit: 71% kader menyatakan mudah dan 29% menyatakan sulit mengisinya. Kesulitan terutama mengenai penyakit apa yang pernah diderita anak tersebut, karena baik orang tua maupun kader kurang mengerti tentang penyakit; juga tergantung pada pendidikan orang tua serta kesadaran berobat pada Puskesmas.

Dari berbagai observasi di lapangan tampak bahwa kader cukup bergairah kerjanya berkat adanya latihan-latihan, kader merasa bangga karena kerjanya membuahkan hasil yang me-

muaskan dan lebih termotivasi untuk kerja lebih teliti/tekun karena mengetahui, menyadari tujuan serta manfaat dari hasil kerjanya ini.

Kader yang lebih pandai dan lebih trampil yang lebih dahulu menguasai teknologi sederhana ini menerangkan pada kader lain dengan cara/bahasa mereka sendiri, sehingga akhirnya semua kader menguasai kemampuan ini dan melakukan kerja dengan baik. Kader juga menguasai jawaban tentang pertanyaan per-kembangan anak. Kader dapat memberikan nasehat yang praktis kepada orang tua balita terutama tentang JAKIM. Karena gairah kerja yang demikian besarnya maka kader berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan gizi anak di wilayah kerjanya. Parado yang mempunyai ketinggian kurang lebih 1200 m dari permukaan laut dengan udara yang cukup sejuk tidak meng-halangi kerja siang hari. Beberapa ketrampilan baru juga mereka dapatkan seperti cara menimbang balita, cara mengukur tinggi badan, cara memberikan penyuluhan dan lain-lain.

Mengumpulkan anak balita untuik diperiksa kesehatannya cukup menyulitkan karena pengantar seperti orang tua perlu memiliki kesadaran kesehatan anaknya; selain itu anak tersebar tempat tinggalnya, sehingga banyak di antara mereka terlalu jauh dengan tempat pemeriksaan kesehatan/posyandu/puskesmas, menyebabkan pengisian KMS tidak rutin setiap bulannya. Ada-nya JAKIM (peragaan membuat makanan dengan JAKIM maupun makanan langsung di tempat) merupakan daya tarik untuk meningkatkan kunjungan di posyandu.

Pada tabel 9 diutarakan kesan petugas kesehatan dalam menjalankan kegiatan; hal ini bertujuan untuk mengetahui ke-sulitan/hambatan dalam bertugas, sehingga bila ada kegiatan lain/serupa dapat lebih lancar. Dengan hasil jawaban 76,16% secara keseluruhan pekerjaan ini dapat dianggap lancar. Se-dangkan kesulitan hanya pada beban kerja dari petugas kese-hatan (43,9%) karena sebagian dari mereka mempunyai pe-kerjaan lain sepulang dari puskesmas (bertani, berdagang dan lain-lain; dengan adanya tambahan tugas ini mereka merasa cukup berat, tetapi secara keseluruhan menunjukkan semangat yang tinggi.

Tabel 10 menunjukkan peningkatan berat badan pada garis normal maupun di atas garis normal sebesar 93,5%. Pada balita yang naik berat badannya tersebut dalam observasi selama 3 bulan itu didapatkan angka kesakitan 6,9%, artinya dari 86 balita yang naik timbangannya hanya 6 orang anak yang menderita sakit antara bulan 7 -10 (3 bulan) itupun hanya penyakit ringan.

Balita yang diperiksa kesehatannya oleh petugas kesehatan diberikan imunisasi, dan semua balita yang teruji diharapkan mendapat imunisasi yang teratur dan lengkap. Dengan demikian JAKIM merupakan sarana yang tepat untuk mendorong balita datang ke posyandu, sehingga selain meningkatkan gizi juga meningkatkan target pencapaian imunisasi.

Tabel 13 merupakan perbandingan rata-rata (X) antara standard Harvard uji (anak balita yang diberi JAKIM) dan kontrol (anak balita yang tidak diberi JAKIM). Meskipun hasil-nya cukup menggembirakan, namun masih ada beberapa balita yang tidak naik timbangannya, hal ini disebabkan adanya be-

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 55

berapa hambatan seperti : 1. Kurangnya pengertian/kesadaran orang tua mengenai ma-

kanan 4 sehat 5 sempurna dan JAKIM sebagai makanan tambahan.

2. JAKIM yang diberikan cuma-cuma hanya untuk seorang anak balita dibagikan oleh orang tuanya kepada saudaranya yang lain, sehingga tidak tercapai target.

3. Transport yang cukup jauh sehingga menyulitkan peme-riksaan kesehatan maupun pengawasan makanan.

4. Anggaran JAKIM yang terbatas. 5. Masih adanya kesulitan/hambatan oleh kader. 6. Pengertian orang tua mengenai kesehatan masih kurang. 7. Kebersihan anak dan lingkungan bermain kurang diperhati-

kan orang tua. 8. Dan beberapa hambatan lainnya. KESIMPULAN 1. Penggunaan JAKIM sebagai makanan tambahan dapat meningkatkan pencapaian program UPGK, terbukti dengan ke-naikan berat badan sesudah pemberian JAKIM mencapai 93,5%. Demikian juga dengan kunjungan ke posyandu yang meningkat kurang lebih 10% sehingga meningkat pula jumlah anak yang ditimbang maupun diimunisasi. 2. Lebih dari 93% jumlah kader tidak mengalami kesulitan mengisi kolom identitas, latar belakang, riwayat persalinan, pengertian tentang JAKIM. Sedangkan pada kolom riwayat penyakit hanya 71% kader menyatakan mudah dan 29% kader menyatakan sulit mengisinya. Hal ini disebabkan karena kader kurang mengerti mengenai penyakit, juga informasi mengenai penyebab dari orang tua si anak tidak jelas. 3. Lebih dari 92% jumlah kader tidak mengalami kesulitan dalam mengukur tinggi badan, menimbang berat badan dan memberikan penyuluhan serta mengisikan grafik berat pada buku KMS, tetapi 26,5% kader mengalami kesulitan dalam hal mengumpulkan anak balita untuk pemeriksaan.

Beberapa hambatan : a. Rumah tempat tinggal anak saling berjauhan, meskipun sudah dibagi perposyandu dan dibagi lagi secara area dalam satu posyandu. b. Orang tua/pengantar belum mempunyai kesadaran akan perlunya datang ke posyandu. c. Pengantar lupa akan jadwal ke posyandu. d. Jadwal pemeriksaan kesehatan/posyandu berubah karena suatu sebab seperti : musim tanam, musim panen dan lain-lain. e. Pemerintab desa kurang aktif dalam menggerakkan ma-syarakat ke posyandu. 4. Pada umumnya kader bergairah kerjanya, karena telah mendapatkan latihan yang menurut mereka sangat sesuai dengan praktek di lapangan, menguasai cara menimbang berat badan, mengukur tinggi badan, mengisi dan menginterpretasikan hasil pencatatan dalam KMS dengan benar. Selain itu mengetahui sedikit mengenai penyakit terutama penyakit anak, dapat meng-identifikasikan anak balita mana yang perlu mendapat pelayanan kesehatan lebih baik, dapat memberikan penyuluhan gizi dan a

kesehatan kepada masyarakat, merasa bangga mendapat tugas kemanusiaan tersebut. 5. Petugas gizi/petugas kesehatan menyatakan mudah mengisi kolom hasil pemeriksaan kesehatan. Kolom ini sengaja untuk diisi oleh petugas kesehatan. Anak balita yang diuji coba dinyatakan 100% baik kesehatannya. Hal ini tidak dimasukkan dalam laporan karena hanya merupakan pemeriksaan kesehatan umum. 7. Semua petugas kesehatan menyatakan tidak mengalami kesulitan dalam mengukur tinggi badan, berat badan anak balita, menimbang dan memasukkan hasil penimbangan ke dalam tabel/grafik. 8. Sebanyak 43,9% petugas kesehatan/gizi menyatakan kegiatan penelitian ini merupakan suatu beban kerja, terutama bagi puskesmas Parado yang mempunyai tenaga sedikit; beban ini lebih ringan bila petugas kesehatan ditambah. 9. Lebih dari 85% jumlah petugas kesehatan menyatakan mudah dan ringan dalam hal pengisian, pengiriman formulir sebagai laporan. SARAN 1. Pelatihan kader seperti dilakukan dalam penelitian ini sangat diperlukan untuk pelaksanaan PMT dengan JAKIM di masyarakat. Jadi seandainya JAKIM akan diprogramkan ke tingkat regional/nasional, maka pelatihan kader dan petugas kesehatan harus termasuk pula di dalamnya. 2. Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam hal pengisian kolom pada formulir yang ada. 3. Pemeriksaan pada kunjungan I, pengukuran antropometri dan pengisian kolom oleh kader relatif memerlukan waktu lama, sehingga sebaiknya petugas kesehatan/gizi menolong atau be-kerjasama dengan kader mengisi kolom, tetapi pada kunjungan berikutnya cukup kader saja yang melakukannya. 4. Hubungan kerjasama kader dan petugas kesehatan perlu ditingkatkan. 5. Perlunya bantuan moril maupun materiil untuk meningkatkan pencāpaian program UPGK sehingga diharapkan mencapai semua populasi anak balita dan bila memungkinkan semua anak pra sekolah.

KEPUSTAKAAN 1. Samsudin, Aryatmo T. Gizi dan Tumbuh Kembang, FKUI Jakarta 1985.

101-117. 2. Sudiyanto. Corak pertumbuhan anak Indonesia dan lingkungan. Simposium

Anak dan Lingkungan 1979, 37. 3. Sugianto M, Sudiyanto, Sularyo T, Sudjarwo R. Berat badan, Tmggi badan,

Lingkar lengan atas anak-anak SD di Kelurahan Utan Kayu, Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) III, Surabaya 1974.

4. Dwi Atmadji Soejoso. Penggunaan Kartu Menuju Sehat dan Denver Developmental Screening test untuk monitoring tumbuh kembang anak. Dalam Continuing Education XIII lmu Kesehatan Anak FK UNAIR R.S.U.D. dr. Sutomo Surabaya, 1985. Hal 27-36.

5. Palmer S, Horn S. Feeding problems in children. Pediatric nutrition in developmental disorders. Springfield USA: Charles C Thomas publ 1978, pp. 107-29.

6. Agusman S, Samsudin. Kesulitan makan pada anak pra sekolah dan usaha mengatasinya, KPPIK IX FKUI 1976.

7. Daftar komposisi bahan makanan, Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes RI 1973.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 56

Informasi Obat

KALNEX® Kapsul, Tablet, Injeksi Komposisi

Tranexamic acid kapsul Tiap kapsul mengandung Tranexamic acid 250 mg

Tranexamic acid tablet. Tiap tablet mengandung Tranexamic acid 500 mg

Tranexamic acid injeksi. Tiap ml injeksi (5 w/v %) mengandung Tranexamic acid 50 mg

Tranexamic acid S injeksi. Tiap ml S injeksi (10 w/v %) mengandung Tranexamic acid 100 mg

Farmakologi ∗ Aktivitas antiplasminik. Kalnex® menghambat aktivitas dari aktivator plasminogen dan plasmin. Aktivitas antiplasminik dari Kalnex® telah dibuktikan oleh berbagai percobaan in vitro dan penentuan dari aktivitas plasmin dalam darah dan aktivitas setempat, setelah diberikan pada tubuh manusia. ∗ Aktivitas hemostatis. Kalnex® mencegah degradasi fibrin, pemecahan platelet. pe-nambahan kerapuhan vaskular dan pemecahan faktor koagulasi. Efek ini dibuktikan secara klinis dengan berkurangnya jumlah perdarahan, mengurangi waktu perdarahan dan periode per-darahan.

Indikasi - Untuk fibrinolisis lokal seperti epistaksis, prostatektomi,

konisasi serviks. - Edema angioneurotik herediter. - Perdarahan abnormal sesudah operasi secara umum. - Perdarahan sesudah operasi gigi pada penderita haemofilia.

Peringatan dan perhatian - Bila diberikan secara intravena; dianjurkan untuk me-

nyuntikkannya perlahan-lahan seperti halnya pemberian/ penyuntikan dengan sediaan kalsium (10 ml/1-2 menit).

- Hati-hati bila digunakan pada penderita insufisiensi ginjal karena risiko akumulasi.

- Pedoman untuk pasien/penderita insufisiensi ginjal berat. Serum creatine Dosis Frekuensi dosis 120-250 umol/l 15 mg/kg 2 x sehari

250-500 umol/1 15 mg/kg setiap 24 jam > 500 umol/l 7,5 mg/kg setiap 24 jam.

− Tranexamic acid tidak diindikasikan pada haematuria yang berasal dari parenkim renal, karena pada kondisi ini sering terjadi presipitasi fibrin dan mungkin memperburuk penyakit.

− Tranexamic acid digunakan pada wanita hamil hanya jika jelas diperlukan.

− Hati-hati pemakaian pada ibu menyusui untuk menghindari risiko pada bayi.

Efek samping − Gangguan-gangguan gastrointestinal, mual, muntah-muntah,

anorexia, pusing, exanthema, dan sakit kepala dapat timbul pada pemberian secara oral. Gejala-gejala ini menghilang dengan pengurangan dosis atau penghentian pengobatannya.

− Injeksi intravena yang cepat dapat menyebabkan dizziness dan hipotensi.

Interaksi obat Larutan injeksi Tranexamic acid jangan ditambahkan pada tran fusi atau untuk injeksi yang mengandung penicillin.

Dosis dan Cara pemberian Kalnex® 250 mg kapsul. Dosis lazim secara oral untuk dewasa: sehari 3 - 4 kali, 1- 2 kapsul. Kalnex® 500 mg tablet. Dosis lazim secara oral untuk dewasa: sehari 3 - 4 kali 1 tablet. Kalnex® 50 mg injeksi. Sehari 1- 2 ampul (5-10 ml) disuntikkan secara intravena atau intramuskular, dibagi dalam 1- 2 dosis. Pada waktu atau setelah operasi, bila diperlukan dapat diberikan intravena sebanyak 2 - 10 ampul (10 - 50 ml) dengan cara infus. Kalnex® 100 mg injeksi. 2,5 - 5 ml disuntikkan secara intravena atau intramuskular, dibagi dalam 1 - 2 dosis. Pada waktu atau sesudah operasi, bila perlu, 5 - 25 ml diberikan intravena dengan cara infus. Dosis Kalnex® harus disesuaikan dengan keadaan pasien, sesuai dengan umur atau kondisi klinisnya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 57

Kemasan

Kalnex® Kapsul (250 mg). Doos isi 10 strip @ 10 kapsul. Reg. No. DKL9111614301A1. Kalnex® Tablet (500 mg). Doos isi 10 strip @ 10 tablet. Reg. No. DKL9111614217A1. Kalnex® injeksi (5 w/v %) 5 ml. Doos isi 10 ampul. Reg. No. DKL9111614143A1. Kalnex® injeksi (10 w/v %) 2,5 ml. Doos isi 10 ampul. Reg. No. DKL9111614143B1.

Keterangan Umum Kalnex® merupakan zat hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau dengan rasa pahit, serta mempunyai struktur kimia se-bagai berikut :

Kalnex® larut dalam air pada 25°C dengan konsentrasi kira-kira 11%, sedikit larut dalam metanol, etanol dan benzene dan sangat sedikit larut dalam eter dan aseton. Simpan di tempat sejuk dan kering.

PT. KALBE FARMA JAKARTA – INDONESIA

VSO

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 58

English Summary

heart, its consumption is still not recommended.

Coffee drinkers have a higher blood cholesterol than the non- coffee drinkers. Fibers, on the other hand, can reduce the blood cholesterol level.

Thus, to develop an ideal diet, one should take into account the role of each nutrient in reducing/ enhancing the risk of CVD. One such diet is recommended in this paper.

Cermin Dunia Kedokt. 1991;73: 12-16 st

NUTRITION FACTOR IN CANCER

Herman Sudiman Research and Development Centre for Nutrition, Department of Health, Bogor, Indonesia

The remarkable growth of Indonesian economy has raised the people's welfare. One con-sequence of this is an increased awareness of health and a longer life expectancy. Because of this, we see less infectious diseases or malnutrition and more chronic degenerative diseases such as cardiovascular, diabetes and cancer. In the United States, 70 - 90% of cancer is a result of life - style and nutrition. This paper reviews the correlation between nutrition and the incidence of cancer.

Fat and processed foods especially smoked and salted foods are known to be carcino-genic. It seems that it is the poly- unsaturated fatty acids and not

the total fat in the diet which is important in cancer. It is known that polyunsaturated fatty acids are easily oxidized and became an initiator for cancer once they are destroyed.

Smoked foods produce poly-cyclic aromatic hydrocarbons, several of which are known to cause cancer in animals. Other hightemperature processing burns down the amino acids and sugars in foods; producing mu- tagenic and carcinogenic chemicals.

Epidemiological studies on the effect of protein consumption, especially animal protein, on several types of cancer incidence were studied. It was found that the effect is influenced by con-sumption of other nutrients such as fat and fibers. Fibers are espe- cially important in reducing the risk of colon cancer. However, more studies need to be done since the results from several stu- dies still vary, depending on the presence of other nutrients in the diet.

Vitamins A, C, E, carotene and selenium are known to be anti-carcinogenic. Vitamins A, C and E can neutralize the peroxides and free radicals produced during fat oxidation. It should be borne in mind though, that vi-tamin E is soluble in oil whereas vitamins A and C are soluble in water.

Some suggestions on the type of research which needs to be conducted in this area are listed

in the paper. Furthermore, this paper have also recommended a diet which can reduce the cancer incidence.

Cermin Dunia Kedokt. 1991;73: 17-21 st

CHOLESTEROL AND CARDIOVAS- CULAR DISEASE (CVD)

Susy Tejayadi

Research and Development Centre, PT. Bukit Manikam Sakti, Jakarta, Indonesia

The death rate due to cardio- vascular diseases has increased in the last 5 to 10 years. One of the major risk factors for cardiovas- cular diseases is cholesterol. In spite of this, cholesterol has several important functions in the body; without it, the nerves could not function properly. Cholesterol is also a building block of bile and plays an important role in the formation of vitamin D and the steroid hormones.

Since food is one source of cholesterol, its consumption certainly regulates the level of blood cholesterol. It can be clearly seen then that there is a link between the types of food we eat and cardiovascular diseases. It is therefore important to have a balanced and proper diet to reduce the risk of getting cardiovascular diseases.

Cermin Dunia Kedokt 1991;73: 34-35 st

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 59

Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran 1991

CDK 66. IMUNISASI II English Summary Eko Rahardjo: Imunisasi Polio dan Permasalahannya Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono, Bambang Herlyanto, Su hary ono Wuryadi: Pengamatan Potensi Vaksin Polio yang Dipakai dalam Pengembangan Program Imunisasi di Indonesia Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono: Sifat Kinetik Virus Polio di Indonesia - Pemeriksaan Ret-40 Matter Virus Polio tipe 1 M. Faried K., Hanny Roespandi, Sri Prihartini: Pengembangan Program Imunisasi di Jawa Timur Muljati Prijanto: Pengawasan Kualitas dan Pengembangan Vaksin Virus Nathaniel F. Pierce: Typhoid Vaccines Muljati Prijanto, Rini Pangastuti, Siti Mariani S.: Gambaran Zat Anti IgG Anti FHA dan Anti Pt pada Bayi setelah Imunisasi dan pada Anak-anak Penderita Pertusis Usman Suwandi: Teknologi Vaksin Rekombinan Kusnindar Atmosukarto: Efektivitas Imunisasi untuk Menurunkan Angka Kematian dan Penyakit PD3I di Indonesia AABN Nuartha: Masalah Gangguan Asam-Basa dan Beberapa Pandangan di Bidang Neurologi Reflinar Rosfein: Kanker Kulit di Limabelas Pusat Patologi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit di Indonesia, tahun 1983 Suhardjo: Uveitis Toxoplasmika Misnadiarly, Cyrus H. Simanjuntak: Frekuensi Mikobakteria Atipik pada Penderita Tuberkulosis Paru di Sumatera Barat Informasi Obat: Intal Abstrak

Antidepresan untuk bulimia Scrip 1990; 1541: 24 Vaksin baru BMJ 1990; 301: 137 Mcnganggur meningkatkan mortalitas BMJ 1990; 301: 407-11 Manfaat diet pads obesitas N Engl J Med 1990; 322: 1051-9 Patogenesis penyakit Alzheimer Scrip 1990; 1529: 27 Kaptopril untuk aterosklerosis Scrip 1990; 1530: 25 Liputan Imunisasi Lancet 1990; 335: 775 Meninggal di mana ? BMJ 1989; 301: 415-7 Kalium untuk hipertensi BMJ 1990; 301: 521-3 Vasokonstriksi pada migren Lancet 1990; 336: 837-9 Aspirin untuk infark miokard Lancet 1990; 336: 827-30 Pengaruh beta karoten pada kanker N Engl J Med 1990; 323: 789-95 Isotretinoin untuk tumor kcpala dan leher N Engl J Med 1990; 323: 795-801

CDK 67. KARDIOVASKULAR English Summary Budi Susetyo Pikir: PEndekatan Rasional (Epidemiologi) Penderita Gawat Jantung Iwan N. Boestan, M. Yogiarto, Iswanto P., Anwar S.: Tatalaksana Payah Jantung Akut Soebijanto Poerwodibroto: Tatalaksana Gawat Jantung pads Anak

4 5 – 9

10 – 14

15 – 17

18 – 21

22 – 25 26 – 27

28 – 30 31 – 33

34 – 37

38 – 45

46 – 49 50 – 52

53 – 54 55 – 56

58 58

58 58

58 58 58 59 59 59 59

59

59

4

5 – 14

15 – 18 19 – 24

Paul Tahalele: Tatalaksana Gawat Darurat Jantung dan Pembuluh Darah dari Segi Bedah Kardiovaskular Jatno Karjono: Penanganan Gawat Darurat Jantung di luar Rumah Sakit Mariani Budisantosa: Pengobatan Infark Miokard Akut Sunoto Pratanu: Krisis Hipertensi Kegiatan Ilmiah

Simposium Dimensi Baru Penatalaksanaan Hipertensi Kongres Nasional VI Perhimpunan Kardiologi Indonesia (KOPERKI VI)

Abstrak Pengaruh kolesterol terhadap penyakit jantung koroner BMJ 1990; 301: 309-14 Asam folat dan schizophrenia Lancet 1990; 336: 392-5 Gejala hipotensi BMJ 1990; 301: 362-5 Diagnostik pseudoseizure Neurology 1990; 40: 756-9 Risiko kejang berulang Pediatric 1990; 85(6): 1076-85 Risiko kejang berulang Neurology 1990; 40: 1163-70 Efek samping antikonvulsan Neurology 1990; 40: 391-4 Faktor risiko penyakit jantung koroner BMJ 1990; 301: 1248-51 Pengaruh merokok terhadap kadar kafein darah BMJ 1989; 298: 1075-6 Pusat melihat warna di otak Nature 1989; 340: 386-9 Pengaruh kopi terhadap risiko kardiovaskular N. Engl J Med 1990; 323: 1026-32

CDK 68. HEPATITIS English Summary Suriadi Gunawan: Hepatitis B dan Pencegahannya melalui Imuni - sasi di Indonesia Imran Lubis: Penyakit Hepatitis Virus Sujono Hadi: Hepatitis dalam Keluarga - Tinjauan Kasus Hans Tandra: Hepatitis pada Kehamilan W. Soemarto: Titer Reseptor Poly-HSA dan HBeAg pada Pengidap HBsAg Sehat dan Hepatitis Menahun Usman Suwandi: Perkembangan Vaksin Hepatitis B Djoko Yuwono, Suharyono W., Imran Lubis: Uji Sensitivitas dan Spesifisitas Entebe RPHA Cell - Suatu Kit Diagnosa untuk Deteksi Hepatitis Bs Antigen Iwan T. Budiarso, RobertTL Pang, Husaini: Uji Kepekaan Bebek Karawang sebagai Hewan Percobaan untuk Bioessasi Aflatoksin Kusnindar Atmosukarto: Masalah Hepatitis B di Indonesia -Berbagai Penelitian Interpreting Hepatitis B Markers A Guntur Hermawan: Komplikasi Obesitas dan Usaha Penang-gulangannya Rosihan Anwar, M Mochtar Tarigan: Allergic Bronchopulmo- nary Aspergillosis - Mycology, Immunology and Clinical Aspects Emiliana Tjitra: Malaria pada Kehamilan Laporan Kasus: Tumor Lidah Abstrak

Jenis-jenis virus hepatitis BMJ 1990; 300: 1475-6 Kortikosteroid untuk esofagitis korosiva N Engl J Med 1990; 323: 637-40

25 – 35

36 – 40 41 – 47 48 – 50

51 – 53

54 – 56

58 58 58 58 58

58 – 59 59

59

59 59

59

4

5 – 7

8 – 10 11 – 15 16 – 17

18 – 21 22 – 25

26 – 28

29 – 32

33 – 36 37

38 – 41

42 – 47 48 – 52 53 – 54

58

58

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 60

Resistensi B. pertussis Bul Penelit Kes 1990; 18(2): 21-5 Penyebab infeksi saluran pernapasan akut Bul Penelit Kes 1990; 18(2): 26-33 Suplementasi vitamin A Lancet 1990; 336: 1342-5 Risiko kanker akibat dioksin N Engl J Med 1991; 324: 212-8 Antibiotik untuk artritis BMJ 1990; 301: 1299-302 Gejala sisa meningitis N Engl J Med 1990; 323: 1651-7 Nafsu makan anak-anak N Engl J Med 1991; 324: 232-5 Pengaruh tiazid terhadap mineral BMJ 1990; 301: 1303-5

CDK 69. PULMONOLOGY UPDATE 1991

English Summary Johan S Masjhur: Peranan Kedokteran Nuklir dalam Penegakan Diagnosis Penyakit Paru Barmawi, M. Rival Samhudi: Perkembangan Baru dalam Terapi Kanker Paru Azhar Tanjung: Pemakaian Obat Anti Tb-Khususnya Pirazinamide pada Tb Sebagai Penyakit Sistemik di Organ Paru dan Esktra Paru Usman Chatib Warsa: Hasil Uji Kepekaan Kuman-kuman pada Infeksi Saluran Pemapasan Bawah di Indonesia Zul Dahian, Soeria Soemantri E.: Metoda Pemilihan Antibiotika pada Terapi Empiris Infeksi Saluran Pernapasan Bawah Akut (ISPBA) Aryanto Suwondo: Metoda Inhalasi sebagai Terapi Masa Kini Penyakit Paru Obstruktif E. Soeria Soemantri: Konsep Baru Patogenesis Asma dan Penerap-annya pada Terapi Hadiarto Mangunnegoro: Diagnosa dan Penatalaksanaan Asma Wiwien Meru Wiyono, Faisal Yunus: Peranan Imunoterapi dalam Pengobatan Asma Bronkial Abstrak

Fungsi paru dan CVD BMJ 1991; 302: 84-7Manfaat MRI BMJ 1991; 302: 78-82Tamarindus sebagai anti obesitas Asian Medical News 5 Dec. 1989: 2Hipnotik nonbenzodiazepin baru DN&P 1989 (Feb.); 2: 1Penerangan di apotik BMJ 1991; 302: 440-3Efek pil anti hamil BMJ 1991; 302: 269-71

CDK 70. KESEHATAN DAN LINGKUNGAN

English Summary Djarismawati: Tinjauan Penelitian Kadar Logam Berat pada Sungai di DKI Jakarta A Tri Tugaswati, Sri Soewasti Soesanto, Djarismawati: Ke-mampuan Tujuh Industri Besar di DKI Jakarta dan Sekitarnya dalam Mengatasi Limbah Cair dengan BOD Tinggi Imran Lubis: Pengaruh Lingkungan terhadap Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut Faisal Yunus: Diagnosis Penyakit Paru Kerja Tjandra Yoga Aditama: Sindrom Gedung Sakit Marbaniati, Dyat Sarsonosidhi: Pengaruh Pola Tanam terhadap Incidence Malaria di Kabupaten Banjamegara Emiliana Tjitra dkk.: Malaria di Kepulauan Seribu Harijani A. Marwoto, Martono: Malaria di Kabupaten Sikka, Flores Dyah Widyaningroem Isbagio: Woolsorter’s Disease Usman Suwandi: Resisten Mikroba terhadap Antibiotik Kusnindar: Tinjauan Derajat Kesehatan Masyarakat di Indonesia dalam masa Pelita I sampai Pelita IV K.M. Arsyad: Tatacara Penanganan Infertilitas Pria Abstrak

Pengobatan non- konvensional N Engl J Med 1991; 324: 1180-5

58

58 59

59 59 59 59

59

4

7 – 11

12 – 17

18 – 23

24 – 26

28 – 35

36 – 39

40 – 49 50 – 54

55 – 57

59 59

59

59 59 59

4

5 – 9

10 – 14

15 – 17 18 – 24 25 – 26

27 – 30 31 – 34

35 – 41 42 – 45 46 – 49

50 – 53 54 – 56

58

Predisposisi asma N Engl J Med 1991; 324: 1168-73 Alergi penisilin ? BMJ 1991; 302: 1051-2 Penyekat Kalsium untuk ensefalopati postiskemik N Engl J Med 1991; 324: 1225-31 Efek karsinogenik Etilenoksid N Engl J Med 1991; 324:1402-7 Zidovudin untuk AIDS N Engl J Med 1991; 324: 1412-6 Mefloquin - anti malaria baru FDA Consumer 4 Sept. 1989 Obat tradisional untuk AIDS Scrip 1990; 1490: 34 Merokok dan Alcohol BMJ 1991; 302: 313-6 Vaksinasi hepatitis B BMJ 1991; 302: 313-6 Kontrasepsi baru Scrip 1991; 1600: 20 Efek samping obat Scrip 1991; 1601: 25

CDK 71. SEMINAR UPAYA PENINGKATAN PELAYANAN RUMAH SAKIT Adhyatma: Sambutan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaHidajat Hardjoprawito: Sambutan Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh IndonesiaNico A Lumenta: Sambutan Ketua Panitia Brotowasisto: Kebijaksanaan Pembangunan Kesehatan pada Tahap Tinggal Landas dan Aspek Kebijaksanaan Pengembangan Rumah Sakit Soemarja Aniroen: Kebijaksanaan Departemen Kesehatan RI dalam Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit Samsi Jacobalis: Peranan Manajemen dalam Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit Darwis Hartono: Indikator Penilaian Penampilan Rumah SakitPetunjuk Penilalan Kerja Rumah Sakit Yos E. Susanto: Peranan Pelayanan Non Profesi Kesehatan di Rumah SakitAmal C. Sjaaf: Struktur Pembiayaan Rumah Sakit A.W. Boediarso: Prinsip-prinsip Penyusunan Anggaran Rencana Tahunan Rumah SakitCatharina Dartini: Prinsip-prinsip Akuntansi Rumah Sakit Sismadi Partodimuljo: Jenis-jenis Laporan Keuangan Rumah Sakit dan Teknik Evaluasi oleh Pengelola Rumah Sakit Hidajat Hardjoprawito: Aspek Pengembangan Sumber Daya Manusia Rumah Sakit Samsi Jacobalis: Peran Masalah Teknologi Tinggi dalam Upaya Peningkatan Pelayanan Rumah Sakit Boenjamin Setiawan: Aspek Pengembangan Farmasi Rumah Sakit CDK 72. SANITASI DAN KESEHATAN English Summary Suwarni, Purnomo, Herry D. Ilahude, Harijani AM. Penelitian Parasit Usus di Sungai Ciliwung: 1. Kebiasaan Penduduk yang Ada Kaitannya dengan Penularan Cacing Usus sepanjang Sungai Ci-liwung Suwarni, Harry D. Ilahude, Harijani AM. Penelitian Parasit Usus di Sungai Ciliwung: 2. Angka Pencemaran Cacing Usus Emiliana Tjitra: Penelitian-penelitian Soil Transmitted Helminths di Indonesia Cyrus H. Simanjuntak: Epidemiologi Disentri Sidik Wasito: Dampak Perbaikan Air Minum terhadap Penyakit Diare Anak dan Hubungannya dengan Tingkat Pendidikan, Pe-ngetahuan tentang Penyakit dan Kelompok Umur Kepala Keluarga Sidik Wasito: Dampak Perbaikan Air Minum terhadap Kesehatan Penduduk Pedesaan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat Pudjarwoto T., Cyrus H. Simanjuntak, Eko Rahardjo, Su- haryono W., Sri Harjining: Infeksi Bakteri Enteropatogen pada Penderita Diare Golongan Umur Balita di Daerah Jawa Barat dan Pola Resistensinya terhadap Antibiotik

58 58

58

58 58

59 59 59 59 59 59

i – iii

iv – v vi – vii

5 – 10

11 – 16

17 – 19 20 – 23 24 – 77

78 – 79 80 – 82

83 – 88 89 – 97

98 – 123

124 – 125

126 – 129

130 – 133

4

5 – 7

8 – 11

12 – 16 17 – 19

20 – 23

24 – 29

30 – 35

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 61

Pudjarwoto Triatmodjo: Pola Resistensi Bakteri Enteropatogen terhadap Lima Jenis Antibiotik Magdarina Destri Agtini: Epidemiologi dan Etiologi Penyakit Periodontal Ondri Dwi Sampurno, Umi Kadarwati, Vincent HS Gan: Dosis Antibiotika dalam Preskripsi Racikan untuk Anak - Suatu Studi Kasus Kartari DS: A Study on Disability in Indonesia Informasi Obat: Albiotin® Abstrak

Perbedaan etnis dalam farmakokinetik nifedipin oral Br J Clin Pharmacol 1991; 31: 399-403 Rokok dan tekanan darah JAMA 1991; 265: 2226-8 SIDS Lancet 1991; 337: 1244-7 Virus schizophrenia ? Lancet 1991; 337: 1248-50 Fungsi kognitif pada penyakit hati Lancet 1991; 337: 1250-3 Pentoxyfylline merangsang motilitas sperma Br J Clin Pharmacol 1991; 31: 711-4 Interaksi citrus juice dengan nifedipin Lancet 1991; 337: 268-9 Efek kardiotoksik anti- depresan Ant J Psychiatr 1991; 148: 371-3 Prognosis karsinoma Payudara Lancet 1991; 337: 1261-4

CDK 73. GIZI English Summary Darwin Karyadi: Tinjauan Kecukupan Gizi yang Dianjurkan dan Penyakit Degeneratif serta Implikasinya

36 – 40

41 – 45

46 – 49 50 – 55

56

58 58 58 58

58 – 59

59

59

59

59

4

5 – 8

Muhilal: Teori Radikal Bebas dalam Gizi dan Kedokteran Susilowati Herman: Pengaruh Gizi terhadap Penyakit Kardio-vaskular Herman Sudiman: Faktor Gizi pada Penyakit Kanker MA Husaini: Gizi, Proses Penuaan dan Umur Panjang Darwin Karyadi: Manfaat Suplementasi Vitamin dan Mineral Oen Liang Hie, Agus Purwanto, Moh.Sadikin, Koesparti Siswojo: Uji Toksisitas dan Aktivitas Biologik Ekstrak Bawang Putih Susy Tejayadi: Kolesterol dan Hubungannya dengan Penyakit Kardiovaskular Usman Suwandi: Manfaat Beta-Karoten bagi Kesehatan Sumengen Sutomo, Djasmidar, Yuyus R.: Penanggulangan GAKI melalui Iodisasi Air Minum di Thailand Yuyus Rusiawati: Diet yang Dapat Merusak Gigi pada Anak-anak Rudi Irawan: Pengaruh Jakim sebagai Makanan Tambahan Balita terhadap Berat Badan Informasi Obat: Kalnex® Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran 1991 Abstrak Diet yang sehat Comprehensive Therapy 1991;17(3):4-11 Niasin pads diabetes melitus JAMA 1990;264:723-6 Vitamin D untuk kanker payudara Scrip 1991;1606:26 Pentoksifilin untuk AIDS ? Scrip 1991;1610:27 Alkohol dan risiko kardiovaskular BMJ 1991;303:553-6 Faktor yang mempengaruhi aterogenesis BMJ 1991;302:756-60 Menghitung Comprehensive Therapy 1991;17(3):12-9 penggunaan enersi Manfaat Comprehensive Therapy 1991;17(3):20-6 trace elements Garam dan hipertensi BMJ 1991; 302:11-5 Menurunkan Comprehensive Therapy 1991;17(3):54-9 berat badan

9 – 11

12 – 16 17 – 21 22 – 25 26 – 28

29 – 33

34 – 35 36 – 40

41 – 44 45 – 47

48 – 56

56

59 – 61 62 62 62 62 62 63 63 63 63 63

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 62

ABSTRAK

DIET YANG SEHAT

Data epidemiologik dan eksperi-mental menyokong pendapat bahwa perubahan tertentu pada diet dapat mem- pengaruhi risiko terkena penyakit ter-tentu, atau membantu mencapai tingkat kesehatan yang lebih baik.

Perubahan diet yang dianjurkan ialah : — Mempertahankan berat badan yang

sesuai. — Jenis makanan yang beragam. — Mengurangi lemak jenuh dan

kolesterol. — Menambah konsumsi karbohidrat

kompleks. — Membatasi garam. — Membatasi gula. — Asupan protein sedang. — Asupan kalsium yang cukup. — Menghindari makanan-makanan

tambahan. — Asupan fluor yang optimal. — Asupan zat besi yang cukup.

Meskipun demikian, mengubah diet seseorang tidaklah mudah; untuk itu diperlukan dokter yang memahami ilmu gizi, nasihat gizi yang benar dan kerja- sama antara petugas kesehatan, industri makanan dan pemerintah; sehingga se- tiap orang mempunyai rasa tanggung jawab dengan menjalani diet yang sehat.

Comprehensive Therapy 1991;17(3):4-11 Hk

NIASIN PADA DIABETES MELLI- TUS

Niasin (asam nikotinat) telah diberi- kan kepada 13 pasien NIDDM yang menderita hiperlipidemi dengan dosis 3 x 1,5 g. sehari selama 8 minggu, atau plasebo secara acak dan silang. Ter-nyata, dibandingkan dengan periode kontrol, asam nikotinat menurunkan kadar kolesterol total sebesar 24%, kadar

trigliserid sebesar45% dan kadar VLDL sebesar 15%; sebaliknya meningkatkan kadar HDL sebesar 34%.

Tetapi pada periode yang sama ditemukan peningkatan kadar glukosa darah sebesar 16%, peningkatan kadar glycosylated Hb sebesar 21% dan tim-bulnya glukosuri pada beberapa pasien; selain itu diamati juga adanya pe-ningkatan kadar asam urat plasma.

Niasin harus digunakan secara hati-hati pada penderita NIDDM.

JAMA 1990; 264: 723-6 Hk

VITAMIN D UNTUK KANKER PAYUDARA

Suatu studi klinis pendahuluan me- nunjukkan bahwa vitamin D mungkin dapat menghambat pertumbuhan kan-ker payudara. Sembilan belas pasien kanker payu-dara yang telah lanjut, diberi calcipo-tirol — suatu derivat vitamin D — secara topikal selama 6 minggu; ternyata tiga penderita menunjukkan pengecilan diameter sebesar 50% dan satu lain-nya menunjukkan efek minimal. Dua pasien harus menghentikan pengobatan karena hiperkalsemi — suatu tanda bahwa preparat tersebut juga diserap dan ma-suk ke jaringan secara sistemik.

Scrip 1991; 1606: 26 Brw

PENTOKSIFILIN UNTUK AIDS ? Setelah terbukti bahwa pentoksifilin

dapat menghambat replikasi virus HIV-1 pada kultur jaringan, obat ter-sebut akan diuji klinis terhadap pasien AIDS di Boston, AS.

Pentoksifilin telah terbukti menu-runkan kadar TNF (tumor necrosis factor) dan diduga bekerja secara tak langsung, yaitu dengan menghambat rangsang sitokin terhadap mekanisme replikasi virus HIV-1.

Scrip 1991; 1610: 27 Brw

ALKOHOL DAN RISIKO KARDIO- VASKULAR

Suatu cohort study telah dilakukan atas penduduk Alameda County, Cali-fornia yang terdiri dari 2225 wanita dan 1845 pria berusia di atas 35 tahun pada tahun 1965. Penelitian ini memban-dingkan antara konsumsi alkohol para penduduk tersebut pada tahun 1965 — 1974 dengan kematian akibat kardio-vaskular dan akibat semua sebab yang terjadi antara tahun 1974 — 1984.

Ternyata di kalangan wanita, risiko kematian akibat semua sebab dan akibat kardiovaskular lebih tinggi di-jumpai di kalangan yang berhenti mi-num alkohol antara tahun 1965 — 1974, dibandingkan dengan mereka yang terus minum (relative risk 1.72, 95% confidence interval 1.11 — 2.66 untuk semua sebab, dan relative risk2.75,95% confidence interval 1.44 — 5.23 untuk akibat penyakit jantung iskemik).

Di kalangan pria yang berhenti minum, perbedaan yang dijumpai tidak bermakna (relative risk 1.32, 95% con- fidence interval 0.87 - 2.01 untuk semua sebab dan relative risk 0.95, 95% confidence interval 0.45 — 2.20 untuk penyakit jantung iskemik); demikian pula di kalangan pria yang tidak minum alkohol (relative risk 1.40, 95% confidence interval 0.98 — 2.00 untuk semua sebab dan relative risk 1.40, 95% confidence interval 0.76 — 2.58 untuk risiko penyakit jantung iskemik).

Hasil penelitian ini masih harus di- telaah lebih lanjut mengingat hetero-genitas populasi yang berkenaan dengan jumlah konsumsi alkohol dan faktor risiko lainnya.

BMJ 1991; 303: 553-6 Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 63

ABSTRAK

FAKTOR YANG MEMPENGA-RUHI ATEROGENESIS

Faktor-faktor yang mempengaruhi aterogenesis telah diteliti pada 126 pria dewasa di Finlandia yang diamati selama 24 bulan melalui pengukuran ketebalan tunika intima media a. carotis commu- nis.

Setelah dua tahun, tunika intima media secara bermakna lebih tebal pada orang-orang yang konsentrasi Cu se-rumnya lebih tinggi (0,16 mm vs. 0.08 mm pada pria dengan kadar Cu < 17,6 umol/1; p = 0,010), pada orang-orang dengan konsentrasi Se rendah (0,15 mm vs. 0,09 mm. pada pria dengan konsen- trasi Se > 1,40 umol/1; p = 0,035), dan pada konsentrasi LDL serum yang tinggi (0,15 mm vs. 0,08 mm. pada pria dengan konsentrasi LDL < 40 mmol/1, p = 0,032).

Hubungan antara konsentrasi LDL dan percepatan aterogenesis lebih jelas terlihat di kalangan pria dengan kadar Cu serum yang tinggi, dan makin ber-makna bila kadar Se serumnya juga rendah.

Data ini menunjukkan adanya efek sinergistik Cu (pro-oksidan), Se (ko- faktor enzim yang menangkap radikal bebas) dan LDL dalam serum atas proses aterogenesis.

BMJ 1991; 302 : 756-60 Brw

MENGHITUNG PENGGUNAAN ENERSI

Resting Energy Expenditure (Peng- gunaan Enersi di saat Istirahat) :

Pria: REE (kcal/hari) = 66,47 + (13,75 x beratbadan) + (5 x tinggibadan) – (6,76 x usia)

Wanita: REE (kcal/hari) = 655,1 + (9,56 x beratbadan) + (1,85 x tinggi-badan) – (4,86 x usia)

Comprehensive Therapy 1991;17(3):12-9 Hk

MANFAAT TRACE ELEMENTS

Berbagai penelitian telah menunjuk- kan adanya peranan trace elements dan ultratrace elements dalam pemeliharaan kesehatan seseorang. Kebutuhan akan zat-zat tersebut meningkat bila terdapat stres – baik metabolik, hormonal, fisio- logik maupun nutrisional; di antaranya yang terpenting ialah kebutuhan akan boron, khrom, tembaga, selenium dan silikon.

Boron diketahui memperbaiki pe-nyerapan kalsium, magnesium dan fosfor; sedangkan khrom mempengaruhi aktivitas insulin. Kadar khrom yang rendah dikaitkan dengan buruknya to-leransi terhadap glukosa, hiperglikemi, hipoglikemi, glukosuri dan resistensi insulin.

Tembaga (Cu) diperlukan sebagai salah satu unsur enzim yang berfungsi mencegah terbentuknya radikal bebas, sehingga defisiensi Cu (konsumsi ku-rang dari 1,5 mg Cu/hari) dihubungkan dengan gangguan kardiovaskular, dan pada binatang menyebabkan hiper-kolesterolemi, hipertensi, hiperurikemi dan gangguan toleransi glukosa.

Selenium (Se) berkaitan erat dengan vitamin E, dan diketahui berperan dalam timbulnya penyakit Koshan – suatu kardiomiopati yang ditandai dengan nekrosis fokal, infiltrasi sel dan fibrosis otot jantung; selain itu juga merupakan kofaktor yang penting bagi enzim glu-tathion peroksidase – suatu enzim 'pe-nangkap' peroksida jaringan.

Silikon diketahui dapat menghambat penimbunan aluminium di jaringan otak tikus; meskipun belum dapat dibuktikan pada manusia, zat ini terus diselidiki pengaruhnya terhadap proses ketuaan.

Comprehensive Therapy 1991;17(3):20-6 Hk

GARAM DAN HIPERTENSI

Analisis data penelitian antara tekan- an darah dan konsumsi natrium yang melibatkan 47000 orang dari 24 1okasi di dunia, menunjukkan bahwa rata-rata tekanan darah masyarakat di negara maju lebih tinggi daripada rata-rata tekanan darah masyarakat negara berkembang.

Meskipun demikian pengaruh natrium terlihat sama di kedua populasi tersebut; perbedaan konsumsi natrium sebesar 100 mmol/24 jam dikaitkan dengan perbedaan tekanan sistolik yang berkisar antara 5 mmHg pada usia 15-19 tahun sampai 10 mmHg pada usia 60- 69 tahun, sedangkan perbedaan tekanan diastolik kira-kira setengahnya.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh natrium lebih besar daripada yang diperkirakan dan makin bertam-bah sesuai dengan bertambahnya usia dan tingkat tekanan darah semula.

BMJ 1991;302 : 911–5 Brw

MENURUNKAN BERAT BADAN

Program penurunan berat badan yang efektif, adalah yang meliputi hal-hal berikut ini : 1. Suatu pembatasan kalori yang efek-

tif. 2. Nasehat gizi yang baik sehingga

pasien dapat memilih makanan yang disukainya.

3. Program olahraga yang dapat mem- pertahankan berat badan yang telah dicapai.

4. Modifikasi perilaku sehingga pasien dapat mengendalikan konsumsi ma- kanannya.

5. Adanya mekanisme support yang terus menerus.

Comprehensive Therapy 1991; 7(3):54-9 Hk

Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 64

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini

1. Zat dalam makanan yang menghalangi penyerapan zat besi

dalam tubuh : a) Asam format. b) Asam fitat. c) Asam asetat. d) Asam malonat. e) Asam sitrat.

2. Polusi industri terutama mengurangi cadangan : a) Vitamin A. b) Vitamin B. c) Vitamin C. d) Vitamin D. e) Vitamin E.

3. Yang termasuk golongan trace element : a) Tembaga (Cu). b) Air raksa (Hg). c) Kadmium (Cd). d) Kalsium (Ca). e) Timahhitam (Pb).

4. Penyakit yang tidak dikaitkan dengan peranan radikal bebas : a) Ketuaan. b) Kanker. c) Infeksi. d) Arteriosklerosis. e) Katarak.

5. Proyek MONICA yang disponsori WHO adalah berkenaan dengan penyakit : a) Kanker. b) Defisiensi. c) Degeneratif. d) Kardiovaskular. e) Infeksi.

6. Kadar kolesterol total dalam darah paling kuat dipengaruhi oleh masukan : a) Asam stearat.

b) Asam laurat. c) Asam linoleat. d) Asam palmitat e) Gliserol

7. Yang tidak bersifat free radical scavenger : a) Vitamin A. b) Vitamin B. c) Vitamin C. d) Vitamin E. e) Semua salah.

8. Konsumsi lemak yang dianjurkan sebaiknya tidak lebih dari : a) 50% b) 40% c) 30% d) 20% e) 10% 9. Suplementasi vitamin A untuk anak-anak prasekolah meng-

gunakan dosis : a) 10.000 U. b) 20.000 U. c) 100.000 U. d) 200.000 U. e) 1.000.000 U.

10. Seseorang lebih rentan terhadap penyakit infeksi bila men-derita defisiensi : a) Kalsium. b) Kalium. c) Natrium. d) Fosfor. e) Besi.

Great men never feel great, small men never feel small