32

DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran
Page 2: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

i

DILAVET ISSN No. 1693-5330 Media Informasi Pengujian dan Diagnostik Laboratorium Veteriner Susunan Redaksi : Pengarah : drh. Azfirman, MP. Penanggung Jawab : drh. Retno Wulan Handayani. Redaktur Pelaksana : drh. Elfa Zuraida, M.Si drh. Ichwan Yuniarto, M,Si. Editor : drh. Elfa Zuraida, M.Si.

Widhiyah Astuti Staf redaksi : Sriyanto, A.Md

Abd. Wahid, SP. Alamat Redaksi : Balai Veteriner Banjarbaru

Jl. Ambulung No.24 Loktabat Selatan Banjarbaru 70712

Telephone : (0511) 4772249 Faximile : (0511) 4773249 Website : http://bvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id Email : [email protected]

Page 3: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

ii | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

Pengantar Redaksi

Pada edisi Kali ini redaksi menyajikan laporan pendahuluan distribusi brucellosis pada sapi di

Kalimantan Selatan tahun 2015 – 2017, dimana Kalimantan Selatan dinyatakan bebas

Brucellosis pada tahun 2009. Penelitian ini dilakukan secara cross-sectional menggunakan

semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif

sederhana untuk melihat gambaran Brucellosis di setiap distrik dan Proporsi kasus positif

masing-masing adalah 0%, 1,19%, dan 7,67%. Kasus Brucellosis di Kalimantan Selatan

meningkat di Kabupaten Kotabaru (1/536; 7/489; 31/120) dan Kabupaten Tanah Laut (0/162;

0/121; 20/78) berdasarkan data dari surveilans aktif dan pasif.

Tulisan kedua memaparkan tentang tingkat cemaran bakteri Staphylococcus aureus pada

daging ayam di rumah potong ayam swasta di Kalimantan selatan tahun 2018. Monitoring

dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap bakteri Staphylococcus aureus

terhadap sampel daging ayam beku yang dikirimkan oleh RPA tersebut secara rutin setiap

bulan. Metode pengujian mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 2897

Tahun 2008 yaitu dengan hitung cawan secara sebar pada permukaan media.

Tulisan ketiga merupakan hasil investigasi kasus kematian sapi potong di desa Batulicin

Irigasi Kecamatan Karang Bintang Kabupaten Tanah Bumbu. Investigasi kasus dilakukan

dengan observasi kondisi peternakan dan lingkungan, wawancara dengan peternak, petugas

dan pengambilan sampel. Pengujian dilakukan secara : hematologi, parasitologi, bakteriologi,

virologi, pengujian mineral, dan aflatoksin. Analisa data dilakukan secara deskriptif terhadap

mortalitas, morbiditas dan case fatality rate.

Banjarbaru, Juni 2019

Redaktur

Page 4: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

iii | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

Daftar Isi

PENGANTAR REDAKSI ............................................................................................................. II

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ III

DISTRIBUSI BRUCELLOSIS PADA SAPI DI KALIMANTAN SELATAN 2015 – 2017 ........................... 1

TINGKAT CEMARAN BAKTERI STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA DAGING AYAM DI RUMAH POTONG AYAM SWASTA DI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2018 ............................................. 9

INVESTIGASI KASUS MALNUTRISI PADA SAPI POTONG DI DESA BATULICIN IRIGASI KECAMATAN KARANG BINTANG KABUPATEN TANAH BUMBU PADA BULAN MARET 2019........................... 18

Page 5: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

1 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

Distribusi Brucellosis pada Sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017

Indra Wijanarko1*, Azfirman2, Wijanarko3, Elfa Zuraida4, Widhiyah Astuti5 1Medik Veteriner Muda pada Laboratorium Bakteriologi Balai Veteriner Banjarbaru, 2Kepala Balai

Veteriner Banjarbaru, 3Medik Veteriner Madya pada Bagian Epidemiologi Balai Veteriner Banjarbaru, 4Penyaji Data pada Bagian Epidemiologi Balai Veteriner Banjarbaru, dan 5Paramedik Veteriner

Terampil pada Bagian Epidemiologi Balai Veteriner Banjarbaru

ABSTRAK

Pendahuluan: Kalimantan Selatan dinyatakan bebas Brucellosis pada tahun 2009, namun program surveilans masih mendeteksi kasus positif berdasarkan uji serologis. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi distribusi dan tren Brucellosis pada sapi di Kalimantan Selatan dari 2015 - 2017.

Metode: Penelitian ini dilakukan secara cross-sectional menggunakan semua data sekunder dari hasil uji surveilans aktif dan pasif tahun 2015 – 2017 yang terekam dalam program Infolab Balai Veteriner Banjarbaru. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran Brucellosis di setiap distrik.

Hasil: Total hasil uji Brucellosis tahun 2015-2017 sebanyak 5711 sampel yang terbagi menjadi 4342 sampel surveilans aktif dan 1369 sampel surveilans pasif. Data sampel aktif tersebut dirinci menjadi 1.810 data di tahun 2015, 1.699 data pada tahun 2016, dan 833 data pada tahun 2017. Proporsi kasus positif masing-masing adalah 0,17%, 0,18%, dan 2,76 %. Data dari surveilans pasif dirinci menjadi 416 data di tahun 2015, 588 data pada tahun 2016, dan 365 data pada tahun 2017. Proporsi kasus positif masing-masing adalah 0%, 1,19%, dan 7,67%. Kasus Brucellosis di Kalimantan Selatan meningkat di Kabupaten Kotabaru (1/536; 7/489; 31/120) dan Kabupaten Tanah Laut (0/162; 0/121; 20/78) berdasarkan data dari surveilans aktif dan pasif.

Kesimpulan: Terjadi peningkatan yang signifikan dari kasus Brucellosis pada sapi di Kalimantan Selatan dari 2015 hingga 2017, sebagian besar dari Kabupaten Kotabaru dan Tanah Laut. Hal ini mungkin disebabkan oleh lalu lintas hewan yang berasal dari daerah yang tidak bebas Brucellosis. Untuk itu direkomendasikan untuk melalukan pembelian sapi yang berusia di atas satu tahun dan berasal dari provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan mempersyaratkan uji Rose Bengal sebelum pengiriman.

Kata kunci: Brucellosis, Sapi, Kalimantan Selatan, Studi Cross-Sectional

Pendahuluan

Brucellosis adalah penyakit zoonosis

pada manusia dan hewan yang

disebabkan oleh bakteri genus Brucella

(OIE, 2018). Ada enam spesies yang

dapat menginfeksi manusia, Brucella

abortus, Brucella militensis, Brucella

suis, Brucella ovis, Brucella neotome

dan Brucella canis (OIE, 2018). Sejak

diidentifikasi di Bandung pada tahun

1925, Brucellosis masih terjadi di

Indonesia (Direktorat Jenderal

Peternakan dan Kesehatan Hewan,

2015). Program Pengendalian

Brucellosis memulai program

pemberantasan dari 1996/1997 melalui

vaksinasi, pengujian dan pemotongan

(Direktorat Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan, 2015).

Kalimantan Selatan dinyatakan dan

diakui bebas dari Brucellosis oleh

Kementerian Pertanian Indonesia pada

tahun 2009 (Direktorat Jenderal

Peternakan dan Kesehatan Hewan,

Page 6: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

2 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

2014b). Program surveilans aktif Balai

Veteriner Banjarbaru, menggunakan

desain Surveilans Berbasis Risiko,

dengan kriteria daerah yang pernah

terdeteksi sebelumnya, populasi tinggi

di daerah berisiko, daerah

perdagangan ternak dan daerah

pelabuhan tradisional. Daerah berisiko

tinggi di Kalimantan Selatan adalah

Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten

Kotabaru, Kabupaten Balangan,

Kabupaten Hulu Sungai Selatan,

Kabupaten Tanah Bumbu, dan Kota

Banjarbaru. Serum sapi dari program

surveilans lain juga diuji.

Surveilans pasif juga dilakukan oleh

Balai Veteriner Banjarbaru untuk

menguji serum sapi dari pelanggan,

seperti petani, importir dan Dinas yang

membidangi Peternakan dan

Kesehatan Hewan dari Kabupaten/kota

di Provinsi Kalimantan Selatan.

Serum sapi diuji menggunakan Rose

Bengal Ujit (RBT) dan Complement

Fixation Ujit (CFT) (Direktorat Jenderal

Peternakan dan Kesehatan Hewan,

2014a). Hasilnya dimasukkan ke dalam

Infolab Balai Veteriner Banjarbaru.

Surveilans masih mendeteksi kasus

positif Brucellosis berdasarkan

pengujian serologis dan telah

mendeteksi peningkatan kasus positif

pada tahun 2017 (Balai Veteriner

Banajrbaru, 2018).

Sampai saat ini belum ada penelitian

yang terkait dengan kasus Brucellosis

di Kalimantan Selatan, terutama yang

mengeksplorasi prevalensi penyakit

dan tren selama 2015 - 2017.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk

mengidentifikasi distribusi dan tren

Brucellosis pada sapi di Kalimantan

Selatan dari 2015 - 2017. Temuan dari

penelitian ini diharapkan dapat

membantu semua Dinas Peternakan

dan Kesehatan Hewan di Kalimantan

Selatan untuk melakukan program

pengendalian Brucellosis yang

mencakup pengujian, pemotongan dan

pemasukan sapi dari daerah yang

bebas dari Brucellosis.

Metode

Penelitian dilakukan secara cross-

sectional menggunakan semua data

sekunder dari hasil uji pengawasan aktif

dan pasif tahun 2015 - 2017 di Provinsi

Kalimantan Selatan yang di rekam

dalam program Infolab di Balai

Veteriner Banjarbaru. Analisis

dilakukan dari bulan Maret hingga Mei

2018.

Kasus positif adalah data serum sapi

yang menunjukkan hasil positif RBT

dan CFT. Kasus negatif adalah data

Page 7: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

3 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

serum sapi yang menunjukkan hasil

negatif RBT atau RBT positif tetapi CFT

negatif.

Data diekstrak dari basis data program

infolab dan data dibersihkan dengan

cara memfilter dan menyortir

menggunakan Excel. Data dianalisa

secara deskriptif sederhana. Analisis

musiman berfokus pada ternak selama

2015 - 2017. Hasil penelitian ini

mencakup proporsi Brucellosis di setiap

kabupaten.

Hasil

Total data sekunder hasil uji Brucellosis

tahun 2015-2017 sebanyak 5.711 ekor

sapi. Dari surveilans aktif, terdapat

1.810 sampel pada 2015, 1.699 sampel

pada 2016, dan 833 sampel pada 2017.

Sementara dari surveilans pasif

terdapat 416 sampel pada 2015, 588

sampel pada 2016, dan 365 sampel

pada 2017.

Tabel 1. Hasil Uji Surveilans Aktif Brucellosis pada sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017.

No Kabupaten/Kota 2015 2016 2017

Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif 1 Balangan 1 122 0 131 0 56 2 Banjar 0 102 0 50 0 0 3 Banjarbaru 0 97 0 144 0 9 4 Banjarmasin 0 104 0 0 0 0 5 Barito Kuala 0 149 0 490 0 77 6 Hulu Sungai Selatan 0 161 1 91 0 46 7 Hulu Sungai Tengah 0 155 0 109 0 50 8 Hulu Sungai Utara 0 76 0 0 0 0 9 Kotabaru 1 309 2 61 17 89 10 Tabalong 0 22 0 184 0 179 11 Tanah Bumbu 1 220 0 187 0 196 12 Tanah Laut 0 162 0 121 6 28 13 Tapin 0 128 0 128 0 80 Jumlah 3 1.807 3 1.696 23 810

Hasil uji surveilans aktif pada tahun

2015 adalah 3 kasus positif, 1 dari

Kabupaten Balangan, 1 dari Kabupaten

Kotabaru dan 1 dari Kabupaten Tanah

Bumbu. Jumlah kasus positif pada

tahun 2016 adalah 3 kasus, 1 dari

Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan 2

dari Kabupaten Kotabaru. Jumlah

kasus positif pada tahun 2017 adalah

23, 17 dari Kabupaten Kotabaru, dan 6

dari Kabupaten Tanah Laut (Tabel 1).

Page 8: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

4 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

Tabel 2. Hasil Uji Surveilans Pasif Brucellosis pada sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017.

No Kabupaten/Kota 2015 2016 2017

Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif

1 Balangan 0 0 0 0 0 0 2 Banjar 0 20 0 0 0 0 3 Banjarbaru 0 16 2 0 0 0 4 Banjarmasin 0 21 0 0 0 125 5 Barito Kuala 0 0 0 0 0 0 6 Hulu Sungai Selatan 0 120 0 160 0 182 7 Hulu Sungai Tengah 0 0 0 0 0 0 8 Hulu Sungai Utara 0 0 0 0 0 0 9 Kotabaru 0 226 5 421 14 0 10 Tabalong 0 0 0 0 0 0 11 Tanah Bumbu 0 13 0 0 0 0 12 Tanah Laut 0 0 0 0 14 30 13 Tapin 0 0 0 0 0 0 Jumlah 0 416 7 581 28 337

Hasil uji surveilans pasif tidak

ditemukan kasus positif pada tahun

2015. Jumlah kasus positif pada tahun

2016 adalah 7, 2 dari Kota Banjarbaru

dan 5 dari Kabupaten Kotabaru. Jumlah

kasus positif pada tahun 2017 adalah

28, 14 dari Kabupaten Kotabaru dan 14

dari Kabupaten Tanah Laut (Tabel 2).

Kasus Brucellosis hasil uji surveilans

aktif dari 2015 - 2017 meningkat,

terutama dari Kabupaten Kotabaru

(0,32%; 3,17%; 16,04%) dan

Kabupaten Tanah Laut (0,00%; 0,00%;

17 ,65%). Namun, jumlah kasus

berkurang di Kabupaten Balangan

(0,81%; 0,00%; 0,00%), Hulu Sungai

Selatan (0,00%, 1,09%, 0,00%) dan

Tanah Bumbu Kabupaten (0,45%;

0,00%; 0,00%) (Gambar 1).

Gambar 1. Grafik Hasil Uji Surveilans Aktif Brucellosis pada Sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017

1;0,81%

1;1,09%

1;0,32%

2;3,17%

17;16,04%

1;0,45%

6;17,65%

0%

5%

10%

15%

20%

2015 2016 2017

P

e

r

s

e

n

t

a

s

e

Grafik Hasil Uji Surveilans Aktif Brucellosis pada Sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017

Balangan

Hulu Sungai Selatan

Kotabaru

Tanah Bumbu

Tanah Laut

Page 9: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

5 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

Kasus brucellosis hasil uji surveilans

pasif dari 2015 - 2017 meningkat,

terutama dari Kabupaten Kotabaru

(0,00%; 0,17%; 100,00%) dan

Kabupaten Tanah Laut (0,00%; 0,00%;

31 , 82%). Namun, jumlah kasus

berkurang di Kota Banjarbaru (0,00%;

100,00%; 0,00%) (Gambar 2).

Gambar 2. Grafik Hasil Uji Surveilans Pasif Brucellosis pada Sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017

Pembahasan

Terjadi peningkatan kasus positif

Brucellosis sejak tahun 2015 sampai

tahun 2017. Proporsi kasus positif

Brucellosis surveilans aktif dari 2015

hingga 2017 masing-masing adalah

0,17%, 0,18%, dan 2,76%. Dan

proporsi kasus Brucellosis positif

surveilans pasif dari 2015 hingga 2017

masing-masing adalah 0,00%, 1,19%,

dan 7,67%. Peningkatan kasus

Brucellosis di Kalimantan Selatan

terutama terjadi di dua kabupaten,

Kotabaru dan Tanah Laut.

Sebagai salah satu wilayah bebas

Brucellosis, seroprevalensi yang

dipersyaratkan oleh OIE untuk daerah

bebas harus lebih rendah dari 0,2%

(OIE, 2011). Seroprevalensi Brucellosis

di Indonesia, terutama dari Jawa Timur

dan Jawa Tengah pada sapi perah

adalah 4,77% (Samkhan et al., 2012),

dan Sulawesi Selatan 19,3% (Hanah et

al., 2013). Sebagai perbandingan,

Seroprevalence of Brucellosis di

Malaysia adalah 2,5% (Anka et al,

2013), di Yordania adalah 6,5%

(Ahmad et al., 2009), Aljazair Barat

2;100,00%

5;1,17%

14;100,00%

14;31,82%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

120%

2015 2016 2017

P

e

r

s

e

n

t

a

s

e

Tahun

Grafik Hasil Uji Surveilans Pasif Brucellosis pada Sapi di Kalimantan Selatan 2015 – 2017

Banjarbaru

Kotabaru

Tanah Laut

Page 10: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

6 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

adalah 8,2% (Aggad dan Boukraa,

2006 ), Ethiopia adalah 1,7% (Rea et

al., 2013), Kamerun 15,9%

(Scolammachia et al., 2010), dan

Zambia 42% (Muma et al., 2013).

Hasil analisa ini merupakan gambaran

proporsi Brucellosis di Kalimantan

Selatan. Angka proporsi diperoleh dari

hasil uji positif sampel surveilans aktif

dan kiriman sampel dari stakeholder

(surveilans pasif) dibagi dengan total

jumlah sampel yang diuji, sehingga

belum menggambarkan seroprevalensi

sesungguhnya di wilayah Kalimantan

selatan. Namun angka proporsi yang

tinggi merupakan indikasi bahwa

beberapa kabupaten kota masih

terinfeksi Brucellosis dan angka

tersebut meningkat tiap tahunnya.

Menurut informasi yang dihimpun dari

Kantor Dinas Peternakan setempat,

penyembelihan telah dilakukan untuk

ternak yang didiagnosis menderita

Brucellosis di Kabupaten Kotabaru dan

Tanah Laut. Ini penting untuk

mengurangi insiden Brucellosis yang

tersebar luas di Kalimantan Selatan.

Tahun ini, pengambilan sampel

dilakukan oleh Balai Veteriner

Banjarbaru untuk terus mendapatkan

situasi saat ini dari Brucellosis di

Kalimantan Selatan.

Keterbatasan penelitian ini adalah

kurang informasi tentang data

responden tentang faktor-faktor risiko

yang mungkin seperti jenis, usia, jenis

kelamin, jumlah ternak, asal hewan.

Penelitian ini mungkin tidak

menggambarkan kondisi sebenarnya

dari status Brovellosis di Kalimantan

Selatan karena beberapa bias, seperti

bias seleksi dari seleksi hewan yang

telah diuji.

Dari penelitian ini, kami menyimpulkan

ada peningkatan yang signifikan dari

kasus Brucellosis di Kalimantan

Selatan. Peningkatan kasus Brucellosis

di Kalimantan Selatan mungkin

disebabkan oleh pemasukan hewan-

hewan yang berasal dari daerah yang

tidak bebas dari Brucellosis. Pasar

ternak local juga dapat menyebabkan

penyebaran Brucellosis ke daerah lain

di Kalimantan Selatan. Kami

merekomendasikan bahwa hanya sapi

berusia di atas satu tahun yang diimpor

dari Nusa Tenggara Timur dan Provinsi

Nusa Tenggara Barat. Uji untuk

Brucellosis wajib dilakukan untuk

semua sapi yang masuk. Harus

dilakukan analisis risiko masuk dan

menyebarnya Brucellosis di Kalimantan

Selatan dan studi analitik faktor-faktor

risiko.

Page 11: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

7 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

Daftar Pustaka

Ahmad M. Al-Majali, Abdelsalam Q. Talafha, Mustafa M. Ababneh, Mohammed M. Ababneh. 2009. Seroprevalence and risk factors for bovine brucellosis in Jordan. Departments of Veterinary Clinical Sciences and Basic Veterinary Medical Science, Faculty of Veterinary Medicine, Jordan University of Science and Technology, Jordan

Anka, S.M., Hassan, L., Adzhar, A., Bejo, S.K., Mohamad, R., Zainal, M.A. 2013. Bovine brucellosis trends in Malaysia between 2000 and 2008. BioMed Central Veterinary Research. BioMed Central Ltd.

Anonim. 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition. Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Anonim. 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc Rahway, New Jersey, USA.

Basri, C. dan Sumiarto, B. Estimauji of Economic Losses of Chronic Disease (Brucellosis) in Livestock Populations in Indonesia. Veterinery Journal. Indonesian Ministry of Research, Technology and Higher Education S.K. No. 36a/E/KPT/2016

Banjarbaru DIC. 2018. Brucellosis Yearly Report in 2017. Indonesian Ministry of Agriculture

Direktur Kesehatan Hewan 2012. Indeks Obat Hewan Indonesia Edisi VIII. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Directorate General Of Livestock and Animal Health. 2012. Indonesia Animal Drugs Indexes 8th Edition. Indonesian Ministry of Agriculture

Directorate General Of Livestock and Animal Health. 2014a. Mammals Disease Manuals. Indonesian Ministry of Agriculture

Directorate General Of Livestock and Animal Health. 2014b. Yearly Report. Indonesian Ministry of Agriculture

Directorate General Of Livestock and Animal Health. 2015. Brucellosis Control and Prevention Guidelines. Indonesian Ministry of Agriculture

Hanah Muflihanah, Mochammad Hatta, Ente Rood, Pauline Scheelbeek, Theresia H Abdoel and Henk L Smits. 2013. Brucellosis seroprevalence in Bali cattle with reproductive failure in South Sulawesi and Brucella abortus biovar 1 genotypes in the Eastern Indonesian archipelago. BMC Veterinary Research 2013, 9:233 http://www.biomedcentral.com/1746-6148/9/233

Page 12: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

8 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

H. Aggad and L. Boukraa, 2006. Prevalence of bovine and human brucellosis in western Algeria: comparison of screening ujits. Eastern Mediterranean Health Journal, Vol. 12, Nos 1/2, 2006

Muma J, Syakalima M, Munyeme M, Zulu V, Simuunza M, Kurata M. 2013. Bovine tuberculosis and brucellosis in traditionally managed livestock in selected districts of Southern Province of Zambia. Veterinary medicine international.

Noor, S.M.I. 2006. Epidemiology and Control of Brucellosis in Dairy Cows on the Island of Java. Veterinary Center of Research. Bogor

Novita, R. Brucellosis: Neglected Zoonosis. Health Research and Development Agency. Indonesian Ministry of Health. 2016

OIE. 2011. Evaluation of veterinary services. OIE Terrestrial animal health code. Chapter 3.2 http://www.oie.int/index.php?id=169&L=0&htmfile=chapitre_1.3.2.htm

OIE 2018. Brucellosis (Brucella abortus, B. Melitensis and B. suis)(Infection with B. abortus, B. melitensis and B. suis). OIE Terrestrial Manual chapter 3.1.4

Rea Tschopp, Birhanu Abera, Sabi Yao Sourou, Emmanuelle Guerne-Bleich, Abraham Aseffa, Alehegne Wubete, Jakob Zinsstag and Douglas Young. 2013. Bovine tuberculosis and brucellosis prevalence in cattle from selected milk cooperatives in Arsi zone, Oromia region, Ethiopia. BMC Veterinary Research 2013, 9:163 http://www.biomedcentral.com/1746-6148/9/163

Scolamacchia F, Handel IG, Fèvre EM, Morgan KL, Tanya VN, Bronsvoort BMdC. Serological patterns of brucellosis, leptospirosis and Q fever in Bos indicus cattle in Cameroon. PLoS One. 2010; 5(1): e8623. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0008623 PMID: 20098670

Page 13: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

9 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

Tingkat Cemaran Bakteri Staphylococcus aureus pada Daging Ayam

Di Rumah Potong Ayam Swasta di Kalimantan Selatan Tahun 2018

Farikhatus Sa’idah1, Adrin Ma’ruf2

1Medik Veteriner Madya pada Laboratorium Kesmavet Balai Veteriner Banjarbaru, 2Calon Medik

Veteriner pada Laboratorium Kesmavet Balai Veteriner Banjarbaru

ABSTRAK

Balai Veteriner Banjarbaru melakukan monitoring terhadap daging ayam beku milik Rumah Potong Ayam (RPA)Swasta di Kalimantan Selatan untuk mengetahui higienitas proses penanganan di tempat pemotongan ayam dan kualitas daging ayam yang diproduksi. Monitoring dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap bakteri Staphylococcus aureus terhadap sampel daging ayam beku yang dikirimkan oleh RPA tersebut secara rutin setiap bulan. Metode pengujian mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 2897 Tahun 2008 yaitu dengan hitung cawan secara sebar pada permukaan media.

Hasil pemeriksaan terhadap bakteri Staphylococcus aureus selama tahun 2018 semuanya berada dibawah ambang batas maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan SNI 7388: 2009 yang mengindikasikan bahwa higienitas proses penanganan pemotongan ayam di RPA cukup baik dan kualitas daging ayam yang diproduksi juga baik. Meskipun demikian diharapkan RPA tersebut secara konsisten tetap melakukan pengiriman sampel secara rutin dan berkala ke laboratorium untuk melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap daging ayam segar yang diproduksinya.

Kata Kunci : Staphylococcus aureus

Pendahuluan

Daging ayam adalah produk dari

peternakan unggas yang sangat

penting untuk pemenuhan

kebutuhan pangan. Tingginya

produksi daging ayam harus diikuti

dengan peningkatan kualitas daging

ayam. Keberadaan mikroorganisme

pada daging ayam biasanya berasal

dari rumah potong atau tempat

pemotongan, tempat pengolahan

(proses), penyimpanan dan pen-

distribusian. Secara umum faktor-

faktor yang dapat menyebabkan

kontaminasi adalah higiene

personal, peralatan yang digunakan,

cara penjualan serta lingkungan

sekitar. Kontaminasi mikro-

organisme pada daging ayam

biasanya disebabkan karena bakteri

Salmonella, Staphylococcus aureus

dan Campylobacter (Bhumia, 2008).

Staphylococcus aureus akan

menghasilkan enterotoksin yang

berperan sebagai mikroorganisme

penyebab intoksikasi makanan. S.

aureus menghasilkan toksin jika

popu-lasinya telah melebihi 105

cfu/gram (Gorman et al, 2002). Pada

kasus keracunan makanan yang

disebabkan oleh Staphylococcus

aureus tidak ditemukan infeksi

ditubuh konsumen secara

menyeluruh dan orang yang

Page 14: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

10 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

mengkonsumsi bakteri Staphylo-

coccus aureus hidup tidak harus

menimbulkan gejala klinis atau sakit.

Dengan demikian pemanasan

makanan tidak mampu mencegah

intoksikasi makanan oleh

Staphylococcus aureus karena

toksinnya tahan terhadap panas

atau heat stable (Cook dan Cook,

2006).

Metode yang digunakan untuk

mendeteksi dan menghitung St.

aureus tergantung dari tujuan

pengujian. Makanan yang diduga

sebagai penyebab keracunan

Staphylococcus aureus biasanya

mengandung jumlah S. aureus yang

sangat tinggi, sehingga tidak di-

butuhkan pengujian dengan

sensitifitas tinggi. Uji dengan

sensitifitas tinggi diperlukan untuk

menguji proses yang tidak bersih

atau kontaminasi setelah proses

pengolahan, mengigat jumlah

Staphylococcus aureus dalam

keadaan tersebut sangat kecil.

Biasanya Staphylococcus aureus

secara umum menggunakan media

penghambat (Lancette dan Bennete,

2001).

Isolasi dengan pengayaan (enrich-

ment) dan pemupukan langsung

pada cawan petri (direct plating)

merupakan metode yang paling

umum digunakan untuk deteksi dan

penghitungan S. aureus pada

makanan. Prosedur pengayaan

dapat bersifat selektif atau non

selektif. Pengayaan non selektif

bermanfaat untuk memulihkan sel-

sel yang rusak (injured cells), yang

mana pertumbuhan sel-sel tersebut

dihambat oleh bahan-bahan toksik

dalam media pengaya selektif

(selective enrichment media).

Penghitungan dengan cara

enrichment isolation atau selective

en-richment isolation dapat

dilakukan melalui penentuan jumlah

atau Most Probable Number (MPN).

Prosedur MPN dapat menggunakan

tiga tabung atau lima tabung untuk

setiap pengenceran (Lancette dan

Bennet, 2001).

Dalam perhitungan menggunakan

prosedur direct plating, sampel

dipupuk pada suatu media selektif

dengan dua cara, yaitu cara sebar

permukaan (surface spreading) dan

penuangan (pour plates). Metode

cara sebar permukaan memiliki

keuntungan bahwa bentuk dan

tampak koloni pada permukaan

media lebih jelas dibandingkan

dengan koloni dalam media pada

pengujian cara tuang. Sedangkan

Page 15: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

11 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

keuntungan cara tuang dapat

menggunakan volume sampel lebih

banyak (Lancette dan Bennet, 2001).

Staphylococcus aureus tidak

tahan panas, namun toksin yang

dihasilkannya tahan panas,

sehingga tidak dapat dihancurkan

dengan pemanasan yang biasa

digunakan pada pemasakan. Toksin

tersebut tidak menyebabkan

perubahan tekstur, warna, bau atau

rasa makanan sehingga tidak dapat

terlihat secara fisik. Kondisi seperti

inilah yang sering kali mengecohkan

konsumen dan menyebabkan

terjadinya staphylococal food

poisoning (SPF). Monitoring ini

bertujuan untuk menguji Staphylo-

coccus aureus pada daging ayam

beku untuk mengetahui higienitas

proses penanganan di tempat

pemotongan ayam dan kualitas

daging ayam yang diproduksi oleh

RPA swasta.

Materi Dan Metode

A. Materi

Daging ayam beku TPU yang

dikirimkan ke Balai Veteriner Banjar-

baru sebagai sampel pasif secara

rutin tiap bulan.

B. Metode

Pengujian identifikasi Staphylo-

coccus aureus dengan metode hitung

cawan secara sebar pada permukaan

media sesuai dengan Standar

Nasional Indonesia Nomor 2897

Tahun 2008 tentang Metode

Pengujian Cemaran Mikroba dalam

Daging, Telur, dan Susu serta Hasil

Olahannya (BSN 2008).

a. Media dan Reagensia

Pengujian :

BPA, Egg yolk tellurite

emultion, BHIB, TSA,

koagulase plasma kelinci

dengan EDTA 0,1 %, BPW 0,1

%.

b. Peralatan :

Plastik steril tahan panas,

cawan petri (diameter 10 cm),

tabung reaksi (volume 15 ml),

sumbat dan rak tabung reaksi,

labu Er-lenmeyer (volume 250

ml), gelas ukur (volume 250 ml

dan 1000 ml), pipet volumetrik

(1 ml, 2 ml, 5 ml dan 10 ml),

bulb karet, botol media

(volume 500 ml dan 1000

ml), gunting, pinset, jarum

inokulasi (ose), stomacher,

pembakar Bunsen, pH meter,

timbangan, magnetic stirer,

Page 16: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

12 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

batang gelas bengkok, pe-

ngocok tabung (vortex), inku-

bator, penangas air

(waterbath), autoklaf, lemari

pendingin, dan freezer.

c. Penyiapan contoh :

- Timbang contoh daging ayam

sebanyak 25 g secara aseptik

kemudian masukkan dalam

wa-dah steril

- Tambahkan 225 ml larutan

BPW steril ke dalam kantong

steril yang berisi contoh, lalu

homo-genkan dengan

stomacher selama 1 menit

sampai dengan 2 menit. Ini

merupakan larutan dengan

pengenceran 10-1, 10-2, 10-3

dan seterusnya

d. Cara Pengujian

- Pengujian selalu disertai

dengan menggunakan kontol

positif

- Pindahkan 1 ml contoh dari 10-

0 ke dalam larutan 9 ml BPW

un-tuk mendapatkan

pengenceran 10-1. Dengan

cara yang sama dibuat

pengenceran 10-2, 10-3 dan

seterusnya

- Tuang 15 ml sampai dengan

20 ml media BPA yang sudah

ditambah dengan egg yolk

tellurite emulsion (5 ml ke

dalam 95 ml media BPA) pada

masing-masing cawan yang

akan digunakan dan biarkan

sampai memadat.

- Pipet 1 ml suspensi dari setiap

pengenceran dan

diinokulasikan masing-masing

0,4 ml, 0,3 ml dan 0,3 ml pada

tiga cawan petri yang berisi

media BPA

- Ratakan suspensi contoh di

atas permukaan media agar

dengan menggunakan batang

gelas dan biarkan sampai

suspensi terserap

- Inkubasikan pada temperatur

35o C selama 45 jam sampai

dengan 48 jam pada posisi

terbalik

- Pilih cawan petri yang

mengandung jumlah koloni 20

sampai dengan 200. Apabila

cawan petri pada

pengenceran terendah berisi

<20 koloni dan atau >200

koloni, maka lanjutkan

penghitungan koloni pada

cawan petri dengan

pengenceran yang lebih tinggi

- Koloni Staphylococcus aureus

mempunyai ciri khas bundar,

licin dan halus, cembung, dia-

Page 17: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

13 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

meter 2 mm sampai dengan 3

mm, berwarna abu-abu

sampai hitam pekat, dikelilingi

zona opak, dengan atau tanpa

zona luar yang terang (clear

zone). Tepi koloni putih dan

dikelilingi daerah yang terang.

Konsistensi koloni seperti

mentega atau lemak jika

disentuh oleh ose. Galur non-

lipolitik memiliki sifat koloni

sama tetapi tidak dikelilingi

zona opak dan zona luar yang

terang

- Catat jumlah masing-masing

koloni yang mempunyai ciri

seperti diatas, selanjutnya

ambil satu atau lebih koloni

dari masing-masing bentuk

yang tumbuh dan lakukan uji

identifikasi

e. Uji Identifikasi

Pengecatan Gram. Ambil

satu atau lebih koloni dari

masing-masing betuk koloni

yang tumbuh dan lakukan

pengecatan gram. Hasil

pengecatan gram akan terlihat

bakteri berbentuk coccus

berwarna ungu (gram positif),

bergerombol seperti anggur

atau terlihat hanya satu bakteri

Uji Koagulase. Ambil satu

koloni atau lebih koloni yang

diduga Staphylococcus aureus

dan masukkan ke dalam 0,2 ml

sampai 0,3 ml BHIB dan

homogenkan selanjutnya

ambil satu ose penuh

(diameter 3,0 mm) suspensi

dari BHIB dan goreskan pada

Agar miring TSA. Inkubasikan

BHIB dab Agar miring TSA

pada temperatur 35 oC selama

18 jam sampai dengan 24 jam.

Kemudian tambahkan 0,5 ml

koagulase plasma kelinci yang

mengandung EDTA ke dalam

suspensi BHIB yang telah

diinkubasi kemudian dihomo-

genkan. Inkubasikan tabung

pada temperatur 35 oC selama

6 jam dan amati setiap jam

terhadap pembentukan gum-

palan. Hasil uji koagulase

positif aureus ditandai dengan

adanya penggumpalan

f. Perhitungan

Hitung koloni-koloni dari cawan petri

yang menunjukkan koloni khas

Staphylococcus aureus dan

menunjukkan hasil koagulase positif,

kemudian dikalikan dengan faktor

pengencerannya. Hasil yang

dilaporkan sebagai jumlah

Page 18: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

14 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

Staphylococcus aureus per mililiter

atau per gram.

Hasil Dan Pembahasan

Sebanyak 12 sampel daging ayam

beku telah dikirimkan RPA ke Balai

Veteriner Banjarbaru selama tahun

2018 dengan jumlah pengiriman satu

sampel setiap bulan. Data jumlah

Staphylococcus aureus yang

didapatkan dibandingkan dengan

persyaratan jumlah maksimum

Staphylococcus aureus yang

tercantum pada SNI 01-7388-2009

tentang Batas Maksimum Cemaran

Mikroba dalam pangan (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil uji S. aureus pada daging ayam dari RPA Tahun 2018

Batas Maksimum Cemaran

Mikroba dalam Pangan menyebutkan

jumlah maksimum Staphylococcus

aureus dalam daging ayam yaitu 1 x

102 cfu/g. Staphylococcus aureus

yang terkandung dalam daging ayam

beku dapat berasal dari ayam itu

sendiri selagi hidup dan dari pekerja

yang menangani proses pemotongan

ayam hingga menjadi karkas di RPU.

Tubuh hewan dan manusia

merupakan habitat yang umum bagi

Staphylococcus aureus. Kontaminasi

karkas ayam oleh Staphylococcus

aureus yang bersumber dari manusia

sering terjadi saat pemrosesan

(Sams, 2001).

Tahap-tahap yang berpotensi

terjadinya pencemaran silang

mikroba pada pemrosesan karkas

ayam di RPU dapat terjadi pada saat

penerimaan dan penggantungan

ayam, penyembelihan, scalding dan

pencabutan bulu, pengeluaran

jeroan, pendinginan, grading dan

pemotongan. Namun pada tahap

scalding peluang pencemaran silang

lebih kecil kejadiannya dibandingkan

tahap-tahap berikutnya. Hal ini terjadi

karena adanya aliran penggantian air

scalding dan suhu yang terjaga tetap

tinggi sesuai kebutuhan untuk

mencegah akumulasi bakteri pada air

dan peralatan scalding. Demikian

juga tahap pendinginan dapat

menekan pencemaran (Nugroho,

2005).

Bulan Jumlah Sampel

Hasil Uji (cfu/g)

Jan 1 < 1 x 101

Feb 1 < 1 x 101

Mar 1 < 1 x 101

Apr 1 < 1 x 101

Mei 1 < 1 x 101

Jun 1 < 1 x 101

Jul 1 < 1 x 101

Ags 1 < 1 x 101

Sep 1 < 1 x 101

Okt 1 < 1 x 101

Nov 1 < 1 x 101

Des 1 < 1 x 101

Page 19: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

15 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

Tingginya jumlah S. aureus yang

melebihi batas cemaran

mengindikasikan buruknya sanitasi

RPU. Selain itu, tingginya cemaran

dapat diakibatkan kurangnya

kebersihan karyawan dalam

menangani daging ayam baik saat

pemrosesan maupun saat pendis-

tribusian. Jumlah Staphylococcus

aureus juga dapat menjadi indikator

untuk mempertimbangkan kualitas

daging ayam beku tersebut. Dari hasil

pemeriksaan terhadap dua belas

sampel tersebut semuanya masih

dibawah ambang batas maksimum

yang telah ditetapkan SNI 01-7388-

2009. Hal ini berarti kualitas daging

ayam beku yang diproduksi dan

diedarkan ke masyarakat tersebut

mempunyai kualitas yang baik.

Keberadaan Staphylococcus aureus

dapat ditekan sejak dari awal rantai

proses yaitu sejak dari peternakan

hingga siap saji. Tindakan yang dapat

dilakukan adalah dengan

menerapkan sanitasi dan higiene

dalam menghasilkan produk.

Sesampainya di RPU maka

pemeriksaan antemortem harus

dilakukan untuk mengetahui ayam

sehat atau sakit, dan dilakukan

tindakan yang perlu untuk menjamin

bahan baku aman dan sehat untuk

proses selanjutnya. Pada proses

penyembelihan, seluruh peralatan

sejak ayam digantung sampai

dikemas harus benar-benar bersih.

Hal ini harus dapat dievaluasi dan

dikoreksi sehingga peluang

pencemaran melalui peralatan dapat

dihindarkan ( Nugroho, 2005)

Apabila sanitasi diterapkan, makanan

atau bahan pangan serta peralatan

dapat terbebas dari kotoran dan

cemaran mikroorganisme atau bahan

kimia yang dapat menyebabkan

penyakit atau keracunan makanan.

Di samping itu, higiene personal

harus diterapkan oleh para individu

yang terkait dalam setiap proses

penyediaan daging ayam, sejak awal

pemotongan unggas hingga daging

ayam siap dikonsumsi oleh

konsumen sehingga kualitas daging

ayam tetap terjaga (Marriott 1997).

Oleh karena itu, selama proses

pengolahan ayam menjadi daging

hingga proses distribusi dan

penjualan ke konsumen tingkat

pencemaran harus dapat diken-

dalikan. Tingkat pencemaran dapat

dikendalikan dengan menerapkan hi-

giene, berdasarkan prinsip HACCP,

untuk menghindari pencemaran

silang, baik di antara produk maupun

Page 20: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

16 | D I L A V E T E d i s i I J u n i 2 0 1 9

antara peralatan dan produk (Bolder

1998).

Kesimpulan

Hasil pemeriksaan terhadap bakteri

Staphylococcus aureus di labo-

ratorium kesmavet Balai Veteriner

Banjarbaru terhadap sampel daging

ayam beku milik RPA swasta berada

dibawah ambang batas maksimum

cemaran mikroba yang ditetapkan

SNI 7388: 2009 yang

mengindikasikan bah-wa higienitas

proses penanganan pemotongan

ayam di PT Ciomas cukup baik dan

kualitas daging ayam yang diproduksi

juga baik.

Saran

Pengiriman sampel secara rutin dan

berkala ke laboratorium tetap

dilakukan secara konsisten untuk

untuk menjamin daging ayam segar

yang diproduksi higienis dan aman.

Page 21: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

17 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9

Daftar Pustaka

Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens: Mechanisms and Pathogenesis. New York: Springer.

Bolder NM. 1998. The Microbiology of the Slaughter and Processing of Poultry. Dalam Davies A, Board R, editor, The Microbiology of the Meat and Poultry. London: Blackie Academic.

BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur, dan susu, serta hasil olahannya. SNI 2897:2008. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. SNI 7388:2009. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Cook LF, Cook KF. 2006. Deadly Disease and Epidemics Staphylococcus aureus Infection. Philadelphia: Chelsea House Pub.

Gorman R, Bloomfield S, Adley CC. 2002. A study of cross-contamination of foodborne pathogens in the domestic kitchen in the Republic of Ireland. Int J Food Microbiol

Lancette GA, Bennet RW. 2001. Staphylococcus aureus and Staphylococcal Enterotoxins. Dalam Downes FP, Ito K, editor, Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods. Ed ke-4. Washington: American Public Health Association.

Marriott NG. 1997. Essentials of Food Sanitation. New York: Chapman and Hall. Nugroho WS. 2005. Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner Staphylococcus , Bakteri

Jahat yang Sering Disepelekan. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sams AR (ed). 2001. Poultry Meat Processing. New York: CRC Pr

Page 22: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

18 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9

Investigasi Kasus Malnutrisi Pada Sapi Potong Di Desa Batulicin Irigasi

Kecamatan Karang Bintang Kabupaten Tanah Bumbu Pada Bulan Maret 2019

Arif Supriyadi1, Widhiyah Astuti2, Hapsari3, Herlina3

1Medik Veteriner Madya pada Laboratorium Virologi Balai Veteriner Banjarbaru, 2Paramedik Veteriner Terampil pada Bagian Epidemiologi Balai Veteriner Banjarbaru, 3Medik Veteriner pada Dinas

Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan

ABSTRAK

Beternak sapi sapi potong merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Keberhasilan beternak sapi potong dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat penting adalah pemberian pakan yang berkualitas dengan jumlah yang tepat. Berdasarkan laporan kasus dari Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan tentang adanya kematian pada 2 ekor sapi potong ditandai dengan gejala ambruk, dan 1 ekor sapi yang ambruk pada satu peternakan di Desa Batulicin Irigasi Kecamatan Karang Bintang Kabupaten Tanah Bumbu, Balai Veteriner melakukan investigasi kasus pada tanggal 19 – 20 Maret 2019 bersama dengan tim dari Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan.

Investigasi kasus dilakukan dengan observasi kondisi peternakan dan lingkungan, wawancara dengan peternak, petugas dan pengambilan sampel. Jenis dan jumlah sampel yang diambil adalah 10 serum, darah, feses, ulas darah, 1 swab dan 2 sampel pakan. Analisa data dilakukan secara deskriptif terhadap mortalitas, morbiditas dan case fatality rate. Berdasarkan pengamatan kondisi peternakan, kondisi sapi dan gejala klinis, sapi - sapi yang mati atau sakit dengan menunjukkan gejala ambruk dan kesulitan melahirkan kemungkinan menderita hipokalsemia dan kekurangan nutrisi. Sapi yang ambruk 3/70 (4,29%), mortalitas 2/70 (2,86%), case fatality rate 2/3 (66,67%). Faktor resiko yang berpengaruh terhadap munculnya kasus adalah kekurangan pakan hijauan dan mineral serta kekurangan tenaga pemelihara yang memberi pakan, merawat sapi dan membersihkan kandang maupun lingkungan.

Kata Kunci : Investigasi, Malnutrisi, Sapi Potong

Pendahuluan

Beternak sapi sapi potong merupakan

salah satu cara untuk meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan bagi

masyarakat. Melalui pembangunan

peternakan akan mewujudkan

ketersediaan daging sebagai sumber

bahan makanan bergizi. Beternak sapi

potong merupakan green industri yang

memanfaatkan rumput, notabenenya

merupakan gulma ataupun limbah

pertanian menjadi sesuatu yang bernilai

tinggi yaitu daging. Produk samping

ternak sapi potong berupa kotoran dan

urin merupakan pupuk organik terbaik.

Jika dikelola dengan baik maka

beternak sapi potong akan bersifat zero

waste.

Keberhasilan beternak sapi potong

dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah

satu faktor yang sangat penting adalah

pemberian pakan yang berkualitas

dengan jumlah yang tepat. Dalam

sistem pemeliharaan yang dilakukan

secara intensif dengan mengkan-

dangkan sapi selama pemeliharaan,

asupan nutrisi sapi sangat bergantung

dari pakan yang diberikan. Sapi tidak

Page 23: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

19 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9

dapat mencari atau mengkonsumsi

pakan lain. Pemberian pakan yang tidak

tepat dan berimbang akan menye-

babkan gangguan pertumbuhan dan

penyakit.

Berdasarkan laporan kasus dari Dinas

Perkebunan dan Peternakan Provinsi

Kalimantan Selatan tentang adanya

kematian pada 2 ekor sapi potong

ditandai dengan gejala ambruk, dan 1

ekor sapi yang ambruk pada satu

peternakan di Desa Batulicin Irigasi

Kecamatan Karang Bintang Kabupaten

Tanah Bumbu, Balai Veteriner

melakukan investigasi kasus pada

tanggal 19 – 20 Maret 2019 bersama

dengan tim dari Dinas Perkebunan dan

Peternakan Provinsi Kalimantan

Selatan. Tujuan investigasi adalah

untuk mengetahui penyebab, status,

faktor resiko dan memberikan saran

pengendalian penyakit.

Materi Dan Metode

Materi

Materi investigasi adalah Peternakan

sapi Bali Desa Batulicin Irigasi

Kecamatan Karang Bintang Kabupaten

Tanah Bumbu. Jenis dan jumlah

sampel yang diambil adalah 10 serum,

darah, feses, ulas darah, 1 swab dan 2

sampel pakan.

Metode

Investigasi kasus dilakukan dengan

observasi kondisi peternakan dan

lingkungan, wawancara dengan

peternak, petugas dan pengambilan

sampel. Pengujian dilakukan secara :

hematologi, parasitologi, bakteriologi,

virologi, pengujian mineral, dan

aflatoksin. Analisa data dilakukan

secara deskriptif terhadap mortalitas,

morbiditas dan case fatality rate

Metode

Investigasi kasus dilakukan dengan

observasi kondisi peternakan dan

lingkungan, wawancara dengan

peternak, petugas dan pengambilan

sampel. Pengujian yang akan dilakukan

adalah. Analisa data dilakukan secara

deskriptif untuk menghitung angka

mortalitas, morbiditas dan case fatality

rate.

Hasil Investigasi

1. Kondisi Peternakan

Peternakan sapi potong yang

mengalami kasus adalah milik Pak

Hanif berada di Desa Batulicin Irigasi

Kecamatan Karang Bintang Provinsi

Kalimantan Selatan. Lokasi Peternakan

berjarak sekitar 500 meter dari Jl.

Transmigrasi (menghubungkan antara

Page 24: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

20 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9

Batu Licin dan Kandangan). Total

populasi sapi yang dipelihara sebanyak

70 ekor terdiri dari Sapi Limousin,

Simental, PO, Bali dan campuran.

Pemeliharaan sapi dilakukan dalam

satu kawasan dengan luas sekitar 1 hA.

Tipe peternakan adalah untuk

pembibitan dan penggemukan dengan

sistem pemeliharaan secara intensif

mengkandangkan sapi total. Fasilitas

peternakan terdiri dari 2 unit kandang

(kandang 1 deret dan kandang 2 deret

kandang dengan lorong di tengah utuk

pemberian pakan), 2 unit gudang

pakan, 2 unit gudang kotoran, tempat

penampungan limbah dan 1 unit kamar

mandi dan toilet. Kandang terbuat dari

semen (dinding, alas, tempat pakan

dan minum) dan atap dari seng.

Jenis pakan yang diberikan adalah

hijauan dan jagung giling. Pemberian

pakan dan minum dilakukan 2 kali

pada pagi dan sore hari. Jagung giling

diberikan pada pagi hari sebelum

pemberian hijauan, sore hari diberi

pakan hijauan. Sistem perkawinan

dilakukan dengan inseminasi buatan

oleh petugas dari Dinas. Pemberian

obat cacing dilakukan secara rutin tiap

6 bulan sekali.

Berdasarkan pengamatan kondisi

peternakan, terlihat bahwa hampir

semua sapi- sapi yang dipelihara

terlihat menderita kekurusan (90%).

Kasus yang paling berat terjadi pada

induk, sapi anak, dan sapi muda,

sedangkan jenis sapi Bali tidak begitu

terlihat kurus, dibandingkan dengan

sapi yang lain. Sapi terlihat kotor dan

kusam karena jarang dimandikan.

Kondisi kandang kurang bersih dan

terlihat lembab pada kandang lorong

karena terlindung oleh pohon di sekitar

kandang.

Malnutrisi merupakan kondisi dimana

hewan mengalami kekurangan nutrisi

yang parah. Kondisi malnutrisi akan

ditunjukkan oleh adanya kekurusan,

alopecia, rambut yang rontok dan kulit

yang kering. Malnutrisi dapat

disebabkan oleh kurangnya asupan

pakan, buruknya absorbs

(malabsorbsi), atau ketidakmampuan

untuk mencerna makanan (maldigesti).

Maldigesti merupakan gangguan

patologis pada proses pencernaan

(enzimatik), sedangkan malabsorbsi

ialah gangguan pada proses

penyerapan dan transportasi nutrisi.

Kondisi maldigesti dapat disebabkan

oleh adanya kerusakan pancreas

(exocrine pancreaticinsufiensy),

sedangkan malabsorbsi dapat

disebabkan oleh kerusakan mukosa,

penurunan luas permukaan usus,

infeksi parasit dalam usus (kecacingan)

Page 25: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

21 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9

dan gangguan sirkulasi enterohepatik

(khan, 2011).

Pada kondisi malabsorbsi, nutrisi pada

pakan yang dicerna tidak akan terserap

sempurna. Kondisi ini dapat di

identifikasi dengan beberapa pengujian

antara lain dengan hitung darah

lengkap (CBC). Pada kondisi

malabsorbsi akan terjadi kondisi

anemia, hypoproteinemia, hypoalbu-

minemia, hypokalemia, hypokalemia,

hypocalcemia, hypomagnesemia, dan

metabolic acidosis. Selain itu pada

kondisi malabsorbsi juga akan terjadi

penurunan kadar triglicerides,

cholesterol, serta alpha dan beta

carotene. Dapat juga dilakukan uji

penyerapan lemak yaitu dengan

melihat kadar lemak dalam feses. Pada

kondisi malabsorbsi biasanya lemak

tidak terserap (Al-Kaade, 2013).

Akibat kurangnya nutrisi, hewan

mengalami penurunan berat badan

(kekurusan) yang parah, serta

kekurangan berbagai macam nutrisi

penting yang dibutuhkan oleh tubuh.

Pada hewan yang mengalami

malnutrisi biasa juga ditunjukkan

adanya diare kronis. Bila terjadi kasus

hypoproteinemia biasanya ditunjukkan

adanya gejala dehidrasi, anemia dan

ascites (edema). Selain itu, kondisi

malnutrisi juga ditandai dengan adanya

kondisi feses yang berlemak (khan,

2011).

Kondisi kekurusan atau kaheksia

merupakan suatu kondisi yang

menggambarkan keadaan penu-

runan bobot badan yang parah.

Umumnya pada kondisi kekurusan

bobot badan lebih rendah 15 sampai

40% dari bobot badan normal. Selain

itu, kondisi kekurusan juga dikaitkan

dengan persediaan cadangan lemak

dalam tubuh. Cadangan lemak pada

hewan yang kurus lebih sedikit dari

hewan normal. Umumnya hewan yang

menderita kekurusan yang berat tidak

hanya mengalami kekurangan energi

tapi biasanya diikut oleh stress, cedera

atau penyakit yang mempercepat

terjadinya penurunan bobot badan

seperti hypermetabolism. Pada

hewan yang mendertia kekurusan

yang berat kerusakan protein otot

terjadi lebih lambat dari perubahan

protein tubuh lainnya. Apabila gejala

klinis sudah menunjukkan hilangnya

otot dalam jumlah yang besar maka

dimungkinkan kondisi tersebut sudah

berada pada kondisi yang berat dan

kronis (Watson & Dunn 2000).

Kronologis

Berdasar informasi dari peternak dan

petugas telah terjadi kematian 2 ekor

sapi induk yang baru melahirkan dan

Page 26: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

22 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9

1 ekor sapi yang ambruk setelah

melahirkan. Sebelum mati, 2 sapi ekor

sapi tersebut mengalami kesulitan

melahirkan disertai dengan ambruk

selama 1 minggu. Kasus kematian

induk pertama terjadi pada awal Bulan

Februari dan yang kedua pada

pertengahan Februari. Kasus yang

ketiga terjadi pada pertengahan bulan

Maret, induk sapi menunjukkan gejala

melahirkan tetapi tidak dapat

mengeluarkan pedet, kemudian

dibantu dengan penarikan dan pedet

dapat dikeluarkan dalam kondisi mati.

Setelah itu induk ambruk dan menderita

prolaps uterus dan rektum.

Penanganan yang dilakukan dengan

memasukkan uterus dan rektum,

pemberian infus kalsium boroglukonat

dan antibiotik. Pada saat investigasi

tanggal 19 Maret sapi masih ambruk

dan terjadi prolaps uterus dan rektum

dengan kondisi tubuh sapi masih lemah

prognosa infausta. Dilihat dari jumlah

kejadian kasus maka morbiditas sapi

ambruk 3/70 (4,29%), mortalitas 2/70

(2,86%), case fatality rate 2/3

(66,67%). Sedangkan pada pedet

yang dilahirkan morbiditas 3/3 (100%),

mortalitas 2/3 (66,67%) case fatality

rate 2/3 (66,67%). Time line dan kurva

epidemik kasus seperti tercantum

dalam tabel 1 dan 2 berikut.

Gambar 1. Timeline kasus malnutrisi pada sapi sakit pada di Desa Batulicin Irigasi

Gambar 2. Kurva epidemik kasus kematian sapi sakit pada di Desa Batulicin Irigasi

7PEB27PEB

15MAR

1 1

0

0

1 1

kematianinduk

kematiananak

Page 27: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

23 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9

Usaha peternakan sapi sudah

dilakukan sejak tahun 2006, kasus

penyakit yang terjadi saat itu

merupakan yang paling parah.

Sebelumnya pernah terjadi sapi yang

ambruk tetapi kemudian sembuh.

Kasus penyakit yang sering terjadi

menurut laporan peternak adalah diare

pada pedet dan dilakukan pengobatan

dan sembuh. Tidak ada program

vaksinasi terhadap SE atau atapun JD.

Pengambilan sampel

Sampel yang diambil adalah adalah 10

serum, darah, feses, ulas darah, 1 swab

dan 2 sampel pakan. Sampel berasal

dari sapi yang terlihat paling sehat, sapi

yang terlihat sakit dan pedet. Pengujian

yang akan dilakukan adalah hematologi,

parasitologi, bakteriologi, virologi,

pengujian mineral, dan aflatoksin.

Sampel dan hasil pengujian terlampir

dalam tabel 2 berikut.

Tabel 1. Jenis sampel yang diambil pada kasus

malnutrisi dan jenis pengujian

No

Jenis

sampel

Jumlah

Jenis

Pengujian

Hasil

pengujian

1 Darah 10 hematologi Anemia

2 Serum 10 Antibodi

BVD

Antibodi

IBR

mineral

Negatif

Negatif

Hipokalsemia

3 Ulas

darah

10 parasit

darah

Negatif

4 Feses 10 parasit

cacing

Nematoda

5 Swab 1 PCR IBR Negatif

6 Pakan 2 aflatoksin Negatif

Peta partisipasif

Komplek peternakan sapi jauh berada di

dekat pemukiman penduduk dengan

dikelilingi pagar tembok. Hanya ada

satu rumah yang berbatasan langsung

dengan peternakan. Penggalian

informasi juga dilakukan terhadap

sekitar peternakan. Berdasarkan

informasi petugas kesehatan lapangan

dalam beberapa bulan terjadi kasus

Bovine Ephemeral Fever (BEF) di

daerah sekitar peternakan. Peta

parsitipatif sepert tercantum dalam

gambar berikut.

Gambar 3. Peta partisipasif lokasi kejadian

kasus malnutisi

Page 28: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

24 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9

2. Hasil Pengujian Laboratorium

2.1. Hasil pengujian Infectious bovine

rhinotracheitis (IBR) dan Bovine Viral

Diarrhea Virus (BVDV)

Kode Sampel

Hewan Jantan/ Betina

IBR PCR

BVD Elisa antibodi

IBR Elisa antibodi

515 Sapi PO Betina Negatif - -

519 Sapi

Limousin Betina Serodubius Seronegatif

217 Sapi

Limousin Betina Seronegatif Seronegatif

anak 1 Sapi

Limousin Jantan Seronegatif Seronegatif

508 Sapi

Limousin Betina Seronegatif Seronegatif

anak 3 (501)

Sapi Limousin

Jantan Seronegatif Seronegatif

515 Sapi PO Betina Seronegatif Seronegatif

510 Sapi PO Betina Seronegatif Seronegatif

517 Sapi

Cross Betina Seronegatif Seronegatif

anak 2 (506)

Sapi Cross

Betina Seronegatif Seronegatif

549 Sapi

Cross Jantan Seronegatif Seronegatif

2.2. Hasil pengujian Brucella abortus

(Metode RBT) dan Pewarnaan Bakteri Tahan

Asam

Kode Sampel Hewan Jantan/Betina

Brucella abortus

RBT

Pewarnaan

Bakteri Tahan Asam

515 Sapi PO Betina

519 Sapi

Limousin Betina Seronegatif Negatif

217 Sapi

Limousin Betina Seronegatif Negatif

anak 1 Sapi

Limousin Jantan Seronegatif Negatif

508 Sapi

Limousin Betina Seronegatif Negatif

anak 3 (501) Sapi

Limousin Jantan Seronegatif Negatif

515 Sapi PO Betina Seronegatif Negatif

510 Sapi PO Betina Seronegatif Negatif

517 Sapi

Cross Betina Seronegatif Negatif

anak 2 (506) Sapi

Cross Betina Seronegatif Negatif

549 Sapi

Cross Jantan Seronegatif Negatif

2.3. Hasil Pengujian Parasit Darah

Kode Sampel

Hewan Jantan/ Betina

Hasil Uji Parasit Darah

519 Sapi

Limousin Betina Negatif

217 Sapi

Limousin Betina Negatif

anak 1 Sapi

Limousin Jantan Negatif

508 Sapi

Limousin Betina Negatif

anak 3 (501)

Sapi Limousin

Jantan Negatif

515 Sapi PO Betina Negatif

510 Sapi PO Betina Negatif

517 Sapi Cross Betina Negatif

anak 2 (506)

Sapi Cross Betina Negatif

549 Sapi Cross Jantan Negatif

2.4. Hasil Pengujian Identifikasi Cacing

Sapi - sapi yang mati atau sakit

dengan menunjukkan gejala ambruk

dan kesulitan melahirkan salah satu

faktor penyebabnya adalah hipokal-

semia dan anemia sesuai dengan hasil

pengujian hematologi. Dugaan sumber

penyebab terjadinya kasus karena

kekurangan pakan. Jika dilihat dari

jenis pakan diberikan berupa kacangan

yang diberikan hampir tiap hari dalam

jangka waktu yang lama menyebabkan

nutrisi yang dikonsumsi sapi juga

minim. Tanaman kacangan kurang

disukai sapi dan mempunyai serat

kasar yang tinggi karena didominasi

oleh batang daripada daun. Jumlah

Page 29: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

25 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9

kacangan yang diberikan juga masih

kurang. Pemberian mineral tidak

diberikan hanya diberikan jagung giling

atau garam dapur. Pemberian jagung

baru diberikan sejak bulan Februari.

Gejala kekurangan pakan juga sangat

terlihat pada mayoritas kondisi sapi

yang sangat kurus, pada pedet terlihat

perut yang buncit yang menunjukkan

terjadinya ascites karena hipopro-

teinemia.

Hasil pemeriksaan parasitologi

diperoleh positif nematoda, menun-

jukkan bahwa sapi terinfeksi parasit

yang menyebabkan penurunan kondisii

tubuh dan kekurusan . Faktor lain yang

menyebabkan memperparah kondisi

sapi adalah kondisi kandang yang

kurang sinar matahari dan sirkulasi

udara karena terlindungi oleh naungan

pohon di sekitar kandang, seperti yang

terjadi pada kandang 2 baris. Selain itu

perawatan sapi yang kurang karena

tenaga pemelihara sapi hanya

dilakukan oleh satu orang untuk 70 ekor

sapi. Akibatnya sapi kurang diberi

pakan, minum, kandang dan sapi

kurang dibersihkan karena keterba-

tasan tenaga pemelihara.

Adanya kekurangan pakan akan

menyebabkan kondisi tubuh sapi kurus,

kurang sehat dan mudah sakit. Pada

sapi yang bunting tua terjadi ambruk,

distokia, retensi plasenta anak yang

dilakirkan dalam kondisi lemah dan

kematian. Ada kemungkinan juga sapi

menjadi rentan terinfeksi BEF. Karena

menurut laporan petugas ada kasus

BEF di sekitar lokasi peternakan.

Penyakit BEF pada umumnya akan

sembuh sendiri dalam waktu tiga hari,

meskipun demikian pada kondisi tubuh

sapi yang lemah (kekurangan pakan,

bunting dan melahirkan) dapat

berakibat fatal.

Kesimpulan Dan Saran

Berdasarkan pengamatan kondisi

peternakan, kondisi sapi dan gejala

klinis, sapi - sapi yang mati atau sakit

dengan menunjukkan gejala ambruk

dan kesulitan melahirkan kemungkinan

menderita hipokalsemia dan keku-

rangan nutrisi. Sapi yang ambruk 3/70

(4,29%), mortalitas 2/70 (2,86%), case

fatality rate 2/3 (66,67%). Faktor resiko

yang berpengaruh terhadap munculnya

kasus adalah kekurangan pakan

hijauan dan mineral serta kekurangan

tenaga pemelihara yang memberi

pakan, merawat sapi dan

membersihkan kandang maupun

lingkungan.

Untuk mengatasi kasus malnutrisi perlu

dilakukan perbaikan manajemen

Page 30: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

26 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9

pemberian pakan. Jenis pakan

kacangan sebaiknya jangan diberikan

terus menerus perlu ditambah atau

diselingi dengan rumput lain. Pakan

yang diberikan dalam jumlah yang

cukup dan perlu di tambahkan dengan

mineral dan konsentrat. Tenaga kerja

perlu ditambah untuk pemeliharaan sapi

kebersihan kandang dan lingkungan.

Pemberian anthelmetika perlu berla-

kukan secara periodik, menyeluruh dan

meningkatkan kebersihan kandang dan

lingkungan.

Pemberian vitamin juga penting

pada pengobatan malnutrisi. Salah satu

vitamin yang penting ialah vitamin B-

Kompleks. Penggunaan Vitamin B

Kompleks bertujuan meningkatkan

sistem pertahanan tubuh, nafsu makan,

dan sistem metabolisme. Vitamin B-

Kompleks mengandung 8 jenis vitamin

B. Vitamin B kompleks berfunsgi penting

sebagai koenzim yang berperan dalam

berbagai metabolisme energi di dalam

tubuh, kofaktor dalam berbagai reaksi

metabolisme asam amino dan berfungsi

manjaga otak dan sistem saraf, serta

dalam pembentukan darah. Pada kasus

ini kondisi malnutrisi menyebabkan

kadar vitamin dalam tubuh menurun

sehingga diperlukan adanya vitamin

tambahan dari luar. Dengan adanya

tambahan vitamin B kompleks

diharapkan nantinya fungsi

metabolisme energi dapat kembali

normal (Plumb 2005).

Page 31: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

27 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9

DAFTAR PUSTAKA

Al-Kaade S. 2013. Exocrine Pancreatic Insufficiency. (Diunduh pada 13 Februari 2013). Tersedia pada http://emedicine.medscape.com/article/2121028-overvuew#showall.

Kahn CM.2011.The Merck Veterinary Manual, Ninth Edition. USA:Merck & Co.Inc

Plumb DC. 2005. Veterinary Drug Handbook 5th Edition.USA: Blackwell Publishing

Watson PJ, Dunn JK. 2000. Weight Loss and Weight Gain. Editor: Dunn JK. Texbook of small animal medicine. London: WB Saunders.

Page 32: DILAVETbvetbanjarbaru.ditjenpkh.pertanian.go.id/fastdownload...semua data sekunder uji surveilans tahun 2015-2017. Data dianalisa secara deskriptif sederhana untuk melihat gambaran

28 | D I L A V E T E d i s i 1 J u n i 2 0 1 9