40
BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella Typhi. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia, demam tifoid bersifat endemik. Penderita dewasa muda sering mengalami komplikasi berat berupa perdarahan dan perforasi usus yang tidak jarang berakhir dengan kematian. 1,2 Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. 3,4 1

Demam Tifoid.docx

Embed Size (px)

DESCRIPTION

asma

Citation preview

Page 1: Demam Tifoid.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella Typhi.

Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang

sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia, demam tifoid bersifat endemik.

Penderita dewasa muda sering mengalami komplikasi berat berupa perdarahan dan

perforasi usus yang tidak jarang berakhir dengan kematian.1,2

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di

Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan

frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di

Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah

penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insiden demam

tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di

daerah rural 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan

760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat

dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan

pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.3,4

Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari

seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan

Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam

tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.2

Peluang kesembuhan demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum,

derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya

pengobatan. Angka kematian pada anak-anak sebesar 2,6%, dan pada orang dewasa

7,4%, dengan rata-rata 5,7%.4

Menurut Standar Kompetensi Dokter oleh Konsil Kedokteran Indonesia pada

tahun 2006, Demam Tifoid merupakan salah satu penyakit dalam Kompetensi 4, yaitu

penyakit yang harus mampu didiagnosis dan ditatalaksana oleh dokter layanan primer

1

Page 2: Demam Tifoid.docx

secara mandiri hingga tuntas,Oleh itu penting bagi dokter untuk dapat mengetahui

mengenai penyakit demam tifoid.

2

Page 3: Demam Tifoid.docx

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

1. Identitas penderita

Nama penderita : An. HN

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 4 tahun 7 bulan

MRS tanggal : 14 Maret 2016

Alamat : Buluran

2. Identitas orang tua / wali

Nama : Ny. SR

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Buluran

2.2 Anamnesis/Alloanamnesis

Aloanamnesa dengan ibu pasien

Tanggal / jam : 14 Maret 2016 / 13.10 WIB

1. Keluhan utama

Pasien datang dengan keluhan demam sejak 7 hari yang lalu.

2. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan demam yang sudah dirasakan sejak 7 hari SMRS.

Demam awalnya dirasakan tidak terlalu tinggi, namun berangsur meningkat tiap

harinya. Demam naik turun. Demam meningkat saat sore hari dan malam hari

dan turun pada pagi hari. Demam turun beberapa saat setelah meminum obat

paracetamol syrup yang diresepkan dari puskesmas, namum kemudian naik

3

Page 4: Demam Tifoid.docx

kembali. Menggigil (-), berkeringat (+), batuk (-), pilek (-), gusi berdarah (-),

ruam merah di kulit (-).

Pasien juga mengeluh mual dan muntah sejak 3 hari SMRS. Frekuensi 2-4

kali/hari. ± 1,5 gelas belimbing. Isi muntahan apa yang dimakan.

Pasien juga mengeluh tidak buang air besar sejak 3 hari SMRS. BAK lancar,

tidak ada keluhan, tidak nyeri dan frekuensi normal.

Pasien juga mengeluh nyeri sendi di seluruh tubuh.

Pasien sering jajan makanan di warung dekat rumahnya.

Riwayat bepergian dalam 2 minggu terakhir ke daerah endemik malaria

disangkal.

3. Riwayat penyakit dahulu

Sebelumnya Os tidak pernah mengalami gejala yang sama dan belum

pernah dirawat di Rumah Sakit sebelumnya.

Riwayat Malaria disangkal

Riwayat DBD disangkal

Riwayat demam tifoid disangkal

4. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit dalam keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.

Riwayat anggota keluarga dan tetangga rumah dengan penyakit malaria

disangkal

Riwayat anggota keluarga dan tetangga rumah dengan penyakit DBD

disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai karyawan swasta, ibu pasien tidak bekerja.

Penghasilan rata-rata tiap bulan Rp. 1.200.000; orang tua pasien menanggung 3

orang anak. Anak dirawat dengan menggunakan BPJS Kesehatan.

Kesan : sosial ekonomi sedang.

6. Riwayat Imunisasi

BCG : 1 kali, usia 0 bulan, scar (+).

4

Page 5: Demam Tifoid.docx

DPT : 4 kali, usia pemberian ibu lupa.

Polio : 5 kali, usia pemberian ibu lupa

Campak : 1 kali, usia pemberian ibu lupa

Hepatitis B : 3 kali, usia 0 bulan dan 1 bulan.

2.3 Pemeriksaan Fisik

1. Antropometri

a. Berat badan : 14 kg

b. Tinggi/panjang badan : 100 cm

Status Gizi :

BB / U : -2 <Zscore> 0 Gizi baik

PB / U : -2 < Zscore > 0 Normal

BB / PB : -2 <Zscore> -1 Normal

Kesan : gizi baik

2. Tanda-tanda vital

a. Keadaan umum : Sakit ringan

b. Kesadaran : Compos mentis

c. GCS : 15 (E4, M6, V5)

d. Tekanan darah : 100/70 mmHg

e. Frekuensi napas : 20 x/menit

f. Frekuensi nadi : 90 x/menit

g. Suhu : 37,1 0C

3. Kepala

a. Kepala : Normocephal, UUB tertutup, kaku kuduk (-).

b. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor.

c. Telinga : Daun telinga elastis, fistel (-), otore (-).

d. Hidung : Rhinorea (-), sekret (-), napas cuping hidung (-).

e. Mulut : Mukosa bibir pucat (-), cleft (-), sianosis (-), lidah kotor (+).

4. Leher

Pembesaran KGB (-).

5

Page 6: Demam Tifoid.docx

5. Thorax

a. Inspeksi

Dinding dada simetris, deformitas (-), retraksi suprasternal (-), retraksi

subkostal (-), retraksi intercostalis (-), pulsasi iktus cordis tak tampak.

b. Palpasi

Gerakan napas simetris, pulsasi iktus cordis teraba di ICS V linea

midclavikula sinistra.

c. Perkusi

Sonor di seluruh lapang paru.

d. Auskultasi

- Cor : S1-S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-).

- Pulmo : vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-).

6. Abdomen

a. Inspeksi : Simetris, soepel.

b. Auskultasi : Bising usus (+) menurun.

c. Perkusi : Timpani (+)

d. Palpasi : Hepar, Lien, dan Renal tidak teraba; massa (-);

nyeri tekan (-), nyeri lepas (-).

7. Ekstremitas :

Superior : CRT <2 detik, akral hangat, ruam kulit (-)

Inferior : Akral hangat, edema (-), ikterus (-), sianosis (-).

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Normal

Darah Rutin

WBC

RBC

11.2

4.81

103/mm3

106/mm3

3.5 – 10.0

3.80 – 5.80

6

Page 7: Demam Tifoid.docx

HGB

HCT

PLT

PCT

13.3

36.3

232

.158

g/dl

%

103/mm3

%

11.0 – 16.5

35.0 – 50.0

150 – 390

.100 – .500

Elektrolit

Natrium (Na)

Kalium (K)

Chlorida (Cl)

Calcium (Ca)

135.87

4.14

101.23

1.16

mmol/L

mmol/L

mmol/L

mmol/L

135 – 148

3,5 – 5,3

98 – 110

1,12 – 1,23

2.5 Diagnosis

Suspek Demam Tifoid

2.6 Diagnosis Banding

Malaria

Infeksi Saluran Kemih

2.7 Terapi

1. IVFD D5 ¼ NS 12,5 tetes/menit

2. Inj. Ceftriaxone 2 x 350 mg

3. Domperidon syrup 3x cth ½

4. Paracetamol syrup 3x 1 ¼

5. Tes Widal

6. DDR

7. Urin Rutin

7

Page 8: Demam Tifoid.docx

2.8 Follow Up

15 Maret 2016 (Hari ke-2)

S : Demam malam hari, mual (+), muntah (-)

O : Tampak sakit ringan, GCS 15 (E4, V5, M6)

TD: 100/70 mmHg RR: 21 x/menit SpO2: 99%

HR: 97 x/menit T: 36,60C

DDR : (-) Tes Widal : O = 1/320

H = negatif

Urin Rutin :

Warna : kuning muda Protein : -

Berat jenis : 1020 Leukosit: 0-3/LPB

pH : 7 Eritrosit : 0-2 /LPB

Epitel : 2-4 LPB

A : Demam Tipoid

P : - Bed Rest

Diet Lunak

IVFD D5 ¼ NS 12,5 gtt/menit

Inj. Ceftriaxone 2 x 350 mg dalam D5% 100 cc habis dalam 1 jam

Paracetamol syr 3 x 1 ¼ (KP)

Domperidon syrup 3x cth ½

16 September 2015 (Hari ke-3)

S : Demam (-), Mual (-), Muntah (-), BAB ada

O : Compos mentis, GCS 15 (E4 V5 M6)

TD: 100/70 mmHg RR: 24 x/menit SpO2: 98%

HR: 85 x/menit T: 36,80C

A : Demam Tipoid

P : -Lanjutkan

8

Page 9: Demam Tifoid.docx

- Darah Rutin

17 Maret 2016 (Hari ke-4)

S : Demam (-), mual (-), muntah (-).

O : Compos mentis, GCS 15 (E4 V5 M6)

TD: 100/70 mmHg RR: 26 x/menit SpO2: 98%

HR: 87 x/menit T: 36,20C Lidah kotor (-)

WBC = 8400

RBC = 5.14 x 10

Hb = 12.3

Ht = 37.7

PLT = 221.000

A : Demam Tipoid

P : Terapi teruskan

18 Maret 2016 (Hari ke-5)

S : Demam (-), mual (-), muntah (-).

O : Compos mentis, GCS 15 (E4 V5 M6)

TD: 90/70 mmHg RR: 24 x/menit SpO2: 99%

HR: 87 x/menit T: 36,00C Lidah kotor (-)

A : Demam Tipoid

P : Pasien pulang

2.9 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

9

Page 10: Demam Tifoid.docx

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi1

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.

Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran

pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai

gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

3.2 Epidemiologi2,3,4

Di beberapa negara penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan, termasuk di Indonesia. Indonesia dan sebagian besar Asia Selatan merupakan daerah endemik demam Tifoid. Anak-anak prasekolah dan yang berusia 5-19 tahun seringkali menjadi penderita penyakit ini akibat perilaku jajan sembarangan yang makanan maupun minuman yang dikonsumsi tidak tejamin kebersihannya.Demam tifoid terjadi pada 16-33 juta manusia setiap tahunnya, dengan meninggal sebanyak 500.000.

10

Page 11: Demam Tifoid.docx

3.3 Etiologi1,2,4

Salmonella, yang termasuk anggota dari famili Enterobacteriaciae, merupakan

bakteri gram negatif yang berbentuk basil (batang). Bakteri ini berukuran 2-3 ± 0,4 -

0,6 μm, bergerak dan merupakan bakteri anaerob fakultatif yang berarti bakteri ini

dapat tumbuh dalam kondisi ada dan tidak adanya oksigen.

Salmonella memiliki 3 antigen yaitu, Antigen Somatik (O), Antigen Flagel

(H), Antigen Vi.

.

3.4 Faktor Risiko3,4

Adapun beberapa hal yang faktor resiko demam tifoid antara lain sebagai berikut:

11

Page 12: Demam Tifoid.docx

1. Sanitasi lingkungan yang buruk2. Personal Hygiene yang buruk3. Menjadikan sungai sebagai septic tank rumah tangga4. Mengkonsumsi makanan (khususnya sayuran) dalam kondisi

mentah dan minum 5. Pasteurisasi susu yang tidak baik6. Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang

tidak baik

3.5 Patogenesis dan Patofisiologi2

Ada dua sumber penularan Salmonella typhi: pasien dengan demam tifoid dan

yang lebih sering karier. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi

terjadinya karier. Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh

manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan

berkembang biak.

Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman

akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di

lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama

oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan

selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah

bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di

dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia

pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh

terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan

kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke

dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya

dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,

dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam lumen usus.

12

Page 13: Demam Tifoid.docx

Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam

sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung

makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella

terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan

gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, sakit kepala, sakit perut,

instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.

Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia

jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reksi hipersensitivitas tipe lambat,

hiperplasia jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi

akibat erosi pembuluh darah sekitar   plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis

dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses

patologis jaringan limfoid ini dapat berkembanghingga ke lapisan otot, serosa usus,

dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel

endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,

kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

3.6 Manifestasi Klinis2,3,4

Masa inkubasi biasanya 7-14 hari, tapi bisa mencapai 3-30 hari.. Gejala-gejala

yang timbul amat bervariasi, dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis sampai

gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Selama masa

inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal seperti penyakit infeksi akut pada

13

Page 14: Demam Tifoid.docx

umumnya, berupa rasa tidak enak badan, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,

mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk, dan epistaksis.

Gejala demam sering didapatkan meningkat perlahan-lahan dan terutama

pada sore hingga malam hari dan menurun pada pagi hari. Dalam minggu kedua

gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam bradikardia relatif (peningkatan suhu

1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 10 kali permenit), lidah kotor yang ditutupi

selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor. Hati dan

limpa membesar dan nyeri pada saat perabaan, meteorismus, gangguan kesadaran

berupa somnolen, stupor, koma, delirium.

Gangguan saluran pencernaan sering menyertai demam tipoid bisa berupa

konstipasi atau diare.

3.7 Pemeriksaan Penunjang2,3,5

Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid adalah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan hematologis

Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anemia normokrom normositik

akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang, lekopenia, limfositosis

relatif, aneosinofilia, dan bila terjadi abses piogenik bisa terjadi leukositosis.

Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.

2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali normal setelah

sembuhnya demam tifoid.Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan

pembatasan pengobatan.

3. Biakan darah

Biakan darah positif pada 40-60% kasus yang diperiksa pada minggu pertama

sakit, sedangkan biakan feses ataupun urin akan positif setelah minggu pertama.

Biakan dari sumsum tulang akan positif pada penyakit stadium lanjut, dan

merupakan pemeriksaan yang paling sensitif. Biakan darah positif memastikan

14

Page 15: Demam Tifoid.docx

demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid.

Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada teknik

pemeriksaan laboratorium, perjalanan penyakit, status vaksinasi, dan pengobatan

anti mikroba.

4. Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).

Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam serum pasien demam

tifoid, juga pada orang yang pernah ketularan Salmonella dan para orang yang

pernah divaksinasi terhadap demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji

widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di

laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin

dalam serum pasien yang disangka menderita demam tifoid. Akibat infeksi oleh

S.typhi, pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu:

a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh

kuman).

b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman).

c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan

titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan

pasien menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer uji Widal akan

meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari.

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,

kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat,

dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul

aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah

sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin

H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.

Pada beberapa pasien, uji Widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang,

walaupun biakan darah positif.Faktor-faktor yang mempengaruhi Uji Widal:

a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien:

15

Page 16: Demam Tifoid.docx

1) Keadaan umum

Gizi buruk menghambat pembentukan antibodi.

2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit

Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pasien sakit satu minggu

dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam penyakit.

3) Pengobatan dini dengan antibiotik

Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat

antimikroba menghambat pembentukan antibodi.

4) Penyakit-penyakit tertentu

Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi

pembentukan antibodi, misalnya pada agamaglobulinemia, leukimia,

dan karsinoma lanjut.

5) Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid

Obat-obat ini menghambat pembentukan antibodi karena supresi sistem

retikuloendotelial.

6) Vaksinasi dengan kotipa atau tipa

Pada seorang yang divaksinansi, titer aglutinin O dan H meningkat.

Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan samapi 1 tahun,

sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2

tahun. Oleh karena itu, titer aglutinin H pada seorang yang pernah

divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

7) Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.

Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun dengan

titer rendah.

8) Reaksi anamnestik

Reaksi anamnestik adalah keadaan dimana terjadi peningkatan titer

aglutinin terhadap S.typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang

bukan demam tifoid pada seseorang yang pernah divaksinasi atau

ketularan Salmonella di masa lalu.

b. Faktor-faktor teknis

16

Page 17: Demam Tifoid.docx

1) Aglutinasi silang

Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan

H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga

menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain. Oleh karena itu,

spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji

Widal.

2) Konsentrasi suspensi antigen

Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji Widal akan

mempengaruhi hasilnya.

3) Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen

Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen

dari strain Salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari

strain lain.

5. Uji Tubex

Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang mudah dan cepat,

hanya membutuhkan waktu singkat untuk dilakukan (kurang lebih 5 menit).Hasil

positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Samonella serogrup D walau

tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhii. Infeksi oleh S.parathphii akan

memberi hasil negatif. Secara imunologi, antigen bersifat imunodominan.

Antigen ini dapat merangsang respons imun secara independen terhadap timus,

dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat

tersebut, respon terhadap antigen berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap

anti dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan

hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan

tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas

untuk mendeteksi infeksi lampau.

6. Uji Typhidot

Dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein membrane

luar Salmonella typhi.Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah

17

Page 18: Demam Tifoid.docx

infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG

terhadap antigen S. typhi.

7. Uji IgM Dipstick

Pemeriksaan ini dapat secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap

S. typhi pada spesimen serum atau whole blood.Uji ini menggunakan strip yang

mengandung atigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan anti IgM (sebagai

kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibody anti IgM yang dilekati

dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan

reagen dan serum pasien, tabung uji.Secara kuantitatif, diberikan penilaian

terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip.

3.8 Diagnosis2,4

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan

gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran.Diagnosis

pasti dapat ditegakkan melalui isolasi S. Typhi dari darah pada 2 minggu sakit, dapat

juga dengan biakan spesimen empedu yang hasilnya cukup memuaskan.

3.9 Diagnosis Banding3

Demam tifoid dapat didiagnosa banding dengan infeksi dengue, malaria,

tuberkulosis, atau influenza. Untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dengue bisa

dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM DNA dengue. DDR (DrikeDruple) merupakan

apusan darah tebal untuk melihat parasit malaria dalam darah.

3.10 Penatalaksanaan2,4,5

1. Perawatan

Tirah baring total selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali.

Seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya berdiri dan berjalan. Pasien

dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada

waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan

ulkus dekubitus.

18

Page 19: Demam Tifoid.docx

2. Diet

Makan lunak, yang mudah dicerna dengan jumlah kalori dan protein sesuai

kebutuhan harian. Tidak boleh mengkonsumsi makanan yang mengandung

banyak serat, tidak merangsang, ataupun yang dapat menimbulkan banyak gas.

3. Medikamentosa

Pemilihan antibiotik pada demam tifoid harus mempertimbangkan hal berikut :

1. Telah dikenal sensitif dan potensial untuk demam tifoid.

2. Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenetrasi dengan

baik ke jaringan serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju

organ sasaran.

3. Berspektrum sempit.

4. Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi dengan baik

oleh penderita termasuk anak dan wanita hamil.

5. Efek samping yang minimal.

6. Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier.

Antibiotika Dosis Kelebihan dan keuntungan

Kloramfenikol

100 mg/kg BB/ hari dibagi

4 dosis/ oral, iv (diberikan

minimal 10 – 12 hari atau

minimal 5 hari bebas

demam). Maximal 2 gr

- Merupakan obat yang

sering digunakan dan

telah lama dikenal

efektif untuk demam

tifoid

- Murah dan dapat diberi

per-oral, sensitivitas

masih tinggi

- Pemberian PO/IV

- Tidak diberikan bila

leukosit <2000/mm³

50-80 mg/Kg BB/Hr dosis - Cepat menurunkan suhu,

19

Page 20: Demam Tifoid.docx

Ceftriakson tunggal selama 5 hari lama pemberian pendek

dan dapat dosis tunggal

serta cukup aman untuk

anak

- Pemberian IV

Ampisilin &

amoksisilin

100 mg/Kg BB/Hr selama

10 hari

- Aman untuk penderita

hamil

- Sering dikmbinasi

dengan kloramfenikol

pada pasien kritis

- Tidak mahal

- Pemberian PO/IV

Kotrimoksasol

TMP 6-10 mg/Kg BB/Hr

atau SMX 30-50 mg/Kg/Hr

selama 10 hari

- Tidak mahal

- Pemberian per oral

Quinolone

Siprofloksasin : 2x500 mg

selama 1 minggu

Ofloksasin : 2x200-400 mg

selama 1 minggu

Plefoksasin : 1x400 mg

selama 1 minggu

Fleroksasin : 1x400 mg

selama 1 minggu

- Pefloksasin dan

fleroksasin lebih cepat

menurunkan suhu

- Efektif mencegah relaps

dan karier

- Pemberian per oral

- Anak : tidak dianjurkan

karena efek samping

pada pertumbuhan

tulang

Cefixim Anak : 15-20 mg/KgBB/

Hr dibagi dalam 2 dosis

selama 10 hari

- Aman untuk anak

- Efektif

- Pemberian per oral

20

Page 21: Demam Tifoid.docx

Tiamfenikol

Anak : 50 mg/Kg BB/Hari

selama 5-7 hari bebas

panas

- Dapat untuk anak dan

dewasa

- Dilaporkan cukup

sensitif pada beberapa

daerah

Sedangkan obat-obatan simtomatik yang digunakan, antara lain:

1. Antipiretika

Dapat diberikan parasetamol 10-20 mg/kgbb

2. Kortikosteroid

Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis

yang menurun secara bertahap (tapering off) selama 5 hari. Hasilnya biasanya

sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat turun

sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi,

karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.

Tabel 3.2 Obat-obatan yang Diberikan pada Komplikasi Penderita Tifoid

Keadaan toksik

Prednison : 1 – 2 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis/ oral atau

Deksametason : 0.5 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis/ iv, oral atau

Hidrokortison : 10 – 15 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis/im

Perdarahan : Transfusi darah

Perforasi : Rujuk bagian bedah

3.11 Komplikasi

Komplikasi sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum,

terutama bila perawatan pasien kurang sempurna.Komplikasi demam tifoid dapat

dibagi dalam:

1. Komplikasi Intestinal

21

Page 22: Demam Tifoid.docx

a. Perdarahan usus. Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk

tukak/luka yang dapat menembus usus dan mengenai pembuluh darah. Bila

ringan ditemukan dengan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila berat

terdapat nyeri perut dan tanda-tanda renjatan.

b. Perforasi usus, terjadi pada minggu ketiga ditandai pekak hati menghilang

terdapat udara antara hati dan diafragma.

c. Ileus paralitik

d. Peritonitis biasanya disertai dengan perforasi tetapi dapat juga tanpa perforasi.

Adanya gejala akut abdomen yaitu nyeri perut yang hebat, defans muscular

dan nyeri tekan.

2. Komplikasi Ekstra-Intestinal

a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis),

miokarditis, trombosis, dan trombophlebitis.

b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan/atau disseminated

intravascular coagulation (DIC) dan sindrom urenia hemolitik.

c. Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistitis.

e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.

g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis

perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis, dan sindroma katatonia.

3.12 Prognosis

Umumnya prognosis pada demam tifoid adalah baik. Prognosis kurang baik

bila terjadi komplikasi.

3.13 Pencegahan

Menurut WHO (2003) terdapat beberapa cara-cara yang lebih spesifik yang

dapat membantu upaya pencegahan demam tifoid, yang secara lengkap akan

dijelaskan dibawah ini:

22

Page 23: Demam Tifoid.docx

1. Air Bersih

Demam tifoid merupakan penyakit yang penjalarannya dapat melalui air

sehingga tindakan pencegahan utama yang didapat dilakukan yakni memastikan

adanya akses ke air bersih.

2. Keamanan Makanan

Makanan yang terkontaminasi merupakan salah satu cara penularan demam

tifoid. Penanganan dan pengolahan makanan yang tepat merupakan hal yang

terpenting. Tindakan kebersihan dasar di bawah ini harus dilakukan selama

epidemi:

a. Mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan atau memakan makanan.

b. Menghindari makanan mentah, kerang dan es.

c. Hanya memakan makanan yang sudah dimasak dan masih panas atau

dipanaskan kembali.

3. Sanitasi

4. Pendidikan Kesehatan

5. Vaksinasi

23

Page 24: Demam Tifoid.docx

BAB IV

ANALISIS KASUS

Seorang anak umur 4 tahun 7 bulan (berat badan sekarang 14 kg) datang

dengan keluhan demam sejak 7 hari yang lalu. Demam dirasakan naik turun. Demam

muncul saat sore hari dan malam hari dan turun pada pagi hari. Menggigil (-),

berkeringat (-), batuk (-), pilek (-), gusi berdarah (-), ruam merah di kulit (-). Demam

merupakan salah satu reaksi tubuh terhadap infeksi pada anak HN. Onset demam

menunjukkan bahwa demam yang dirasakan lebih dari 7 hari, sehingga kemungkinan

diagnosis pada pasien ini adalah malaria, tipoid, dan ISK. Dari onset demam tersebut

disingkirkan kemungkinan diagnosis DBD, Demam dengue, dan cikungunya. Demam

An HN tidak disertai dengan menggigil dan berkeringat, malaria dan ISK bisa

disingkirkan. Dari sifat demam yang naik pada sore hari dan malam hari dan menurun

pada pada pagi hari merupakan sifat demam yang khas pada demam tipoid. An.HN

juga mengeluhkan nyeri sendi yang bisa merupakan gejala prodormal dari demam.

Untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis tersebut maka perlu dilakukan

24

Page 25: Demam Tifoid.docx

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk membantu penegakan diagnosis

pada An. HN. An. HN juga mengeluh tidak BAB sejak 3 hari yang lalu. Pada demam

tifoid bisa ditemukan perubahan pola defekasi berupa diare atau konstipasi. Hal ini

terjadi karena terjadi infeksi salmonella typi pada usus. An. HN memiliki kebiasaan

jajan sembarangan yang merupakan salah satu faktor resiko penularan salmonella

typhi.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan bahwa kesadaran compos mentis dan

tanda-tanda vital pada An. HN relatif normal. Dari pemeriksaan antropometri, berat

badan 14 kg dengan umur 4 tahun 7 bulan menurut Z score termasuk kategori normal.

Pada pemeriksaan ditemukan lidah kotor dan nyeri tekan pada abdomen bagian

umbilikus. Lidah kotor bisa didapatkan pada pasien demam tipoid, HIV, pasien

dengan imunusupresif. Namun kedua manifestasi ini juga belum dapat menunjukkan

gejala yang khas untuk diagnosis spesifik dari suatu penyakit. Namun dari ananmesis

dan pemeriksaan fisik yang didapatkan, hasilnya mendukung ke arah tipoid, malaria

dan ISK. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan

diagnosis pada An. HN.

Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan bahwa uji widal O= 1/320

dan H=negatif. Pada pemeriksaan DDR, plasmodium vivax dan falviparum tidak

ditemukan. Tes widal merupakan salah satu pemeriksaan serologis untuk

menegakkan diagnosis demam tipoid dengan memanfaatkan aglutin yang dibentuk

oleh tubuh terhadap antigen salmonella typi. Semakin tinggi titer yang didapatkan

maka semakin tinggi pula kemungkinana seseorang terinfeksi salmonella typi.

Namun tes widal bukan merupakan gold standar penegakan diagnosis pada demam

tipoid hal ini dikarenakan hasil negatif pada tes widal tidak menentukkan bahwa

seseorang tersebut tidak terinfeksi salmonella typi begitu juga dengan hasil titer yang

tinggi. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi hasil tes widal. Gold

standar pada penegakan diagnosis demam typoid ditemukannya salmonella typi pada

kultur. Selain tes widal dan kultur masih banyak pemeriksaan penunjang lain yang

membantu untuk menegakkan diagnosis demam tipoid diantaranya tes tubex, Uji

Typhidot, dan Uji IgM Dipstick.

25

Page 26: Demam Tifoid.docx

DDR (DrikeDrupple) merupakan pemeriksaan apusan darah tebal untuk

melihat parasit malaria. Selain pemeriksaan DDR untuk melihat parasit malaria dapat

digunakan pemeriksaan Rapid Test Diagnostik. Pada pasien ini hasil DDR negatif

yang menandakan bahwa demam pada pasien bukan disebabkan oleh infeksi malaria.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan darah rutin yang

dilakukan di IGD maka pasien ini dicurigai demam tifoid, kemudian diberikan terapi

awal IVFD D5 ¼ NS 12,5 gtt/mnt, domperidon 3x cth ½ , dan dilakukan rencana

pemeriksaan berupa tes widal dan DDR. Paracetamol merupakan antipiretik dan

analgetik yang sering digunakan dengan dosis 10 mg/KgBB. Domperidon yang

berfungsi mencegah rasa mual dan muntah. Tujuan pemberian domperidon pada

pasien ini adalah untuk mengurangi rasa mual yang dialami pasien. Rencana

pemeriksaan berupa tes widal dan DDR sudah tepat pada pasien ini. Tujuan

dilakukannya tes widal dan DDR pada pasien ini untuk menegakkan diagnosis tipoid

ataupun malaria pada pasien ini.

Setelah hasil tes widal dan DDR keluar maka terapi pada pasien dilanjutkan

ditambah dengan pemberian antibiotik cefriaxone 2x350 mg selama 5 hari.

Cefriaxone merupakan antibiotik golongan chefalosporin generasi ke-3 yang bisa

digunakan untuk terapi demam tifoid selama 5 hari sebagai terapi utama yang

merupakan salah satu antibiotik pilihan dalam pengobatan demam tifoid. Selain itu

juga diberikan diet bubur saring yang secara bertahap akan diteruskan dengan bubur

kasar. Terapi pada demam typoid yang tidak berkomplikasi meliputi 3 hal, yaitu bed

rest, antibiotik, dan simptomatik. Pasein dengan demam typoid memerlukan bedrest

total kemudian berangsur-angsur duduk, kemudian berjalan. Antibiotik utama untuk

demam typoid adalah kloramfenikol selama 10-12 hari atau minimal 5 hari bebas

demam. Namun dewasa ini banyak penelitian yang melaporkan resistensi

kloramfenikol pada demam typoid. Selain kloramfenikol, bisa juga diberikan

antibiotik tiamfenikol, cefixime, quinolon, dan ampicilin dikombinasikan dengan

amoksisilin. Untuk Pasien yang mengalami penurunan kesadaran bisa diberikan

kortikosteroid selama 5 hari. Namun pemberian ini harus berdasarkan indikasi karena

bisa menyebabkan perdarahan intestinal.

26

Page 27: Demam Tifoid.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, dkk. 2000 Ilmu Kesehatan Anak, Penerjemah: A. Samik Wahab. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

2. Widodo D, 2009. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi

Kelima. Jakarta Balai Penerbit FKUI. Hal 2797 – 2806.

3. Soedarmo SS, et al, 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit

Tropis Edisi 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

4. WHO. Diagnosis, treatment, and prevention of thypoid fever. Geneva: WHO;

May 2003.

5. Harrison TR et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed.

Philadelphia: McGrawHill; 2005. p.898-890.

6. Tatang KS, et al, 2000. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak RS Sumber Waras.

Jakarta: UPT. Penerbitan Universitas Tarumanagara.

27

Page 28: Demam Tifoid.docx

28