Upload
fitriwindasari
View
214
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
asma
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella Typhi.
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia, demam tifoid bersifat endemik.
Penderita dewasa muda sering mengalami komplikasi berat berupa perdarahan dan
perforasi usus yang tidak jarang berakhir dengan kematian.1,2
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insiden demam
tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di
daerah rural 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan
760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat
dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.3,4
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam
tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.2
Peluang kesembuhan demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum,
derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya
pengobatan. Angka kematian pada anak-anak sebesar 2,6%, dan pada orang dewasa
7,4%, dengan rata-rata 5,7%.4
Menurut Standar Kompetensi Dokter oleh Konsil Kedokteran Indonesia pada
tahun 2006, Demam Tifoid merupakan salah satu penyakit dalam Kompetensi 4, yaitu
penyakit yang harus mampu didiagnosis dan ditatalaksana oleh dokter layanan primer
1
secara mandiri hingga tuntas,Oleh itu penting bagi dokter untuk dapat mengetahui
mengenai penyakit demam tifoid.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
1. Identitas penderita
Nama penderita : An. HN
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 4 tahun 7 bulan
MRS tanggal : 14 Maret 2016
Alamat : Buluran
2. Identitas orang tua / wali
Nama : Ny. SR
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Buluran
2.2 Anamnesis/Alloanamnesis
Aloanamnesa dengan ibu pasien
Tanggal / jam : 14 Maret 2016 / 13.10 WIB
1. Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 7 hari yang lalu.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam yang sudah dirasakan sejak 7 hari SMRS.
Demam awalnya dirasakan tidak terlalu tinggi, namun berangsur meningkat tiap
harinya. Demam naik turun. Demam meningkat saat sore hari dan malam hari
dan turun pada pagi hari. Demam turun beberapa saat setelah meminum obat
paracetamol syrup yang diresepkan dari puskesmas, namum kemudian naik
3
kembali. Menggigil (-), berkeringat (+), batuk (-), pilek (-), gusi berdarah (-),
ruam merah di kulit (-).
Pasien juga mengeluh mual dan muntah sejak 3 hari SMRS. Frekuensi 2-4
kali/hari. ± 1,5 gelas belimbing. Isi muntahan apa yang dimakan.
Pasien juga mengeluh tidak buang air besar sejak 3 hari SMRS. BAK lancar,
tidak ada keluhan, tidak nyeri dan frekuensi normal.
Pasien juga mengeluh nyeri sendi di seluruh tubuh.
Pasien sering jajan makanan di warung dekat rumahnya.
Riwayat bepergian dalam 2 minggu terakhir ke daerah endemik malaria
disangkal.
3. Riwayat penyakit dahulu
Sebelumnya Os tidak pernah mengalami gejala yang sama dan belum
pernah dirawat di Rumah Sakit sebelumnya.
Riwayat Malaria disangkal
Riwayat DBD disangkal
Riwayat demam tifoid disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit dalam keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat anggota keluarga dan tetangga rumah dengan penyakit malaria
disangkal
Riwayat anggota keluarga dan tetangga rumah dengan penyakit DBD
disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai karyawan swasta, ibu pasien tidak bekerja.
Penghasilan rata-rata tiap bulan Rp. 1.200.000; orang tua pasien menanggung 3
orang anak. Anak dirawat dengan menggunakan BPJS Kesehatan.
Kesan : sosial ekonomi sedang.
6. Riwayat Imunisasi
BCG : 1 kali, usia 0 bulan, scar (+).
4
DPT : 4 kali, usia pemberian ibu lupa.
Polio : 5 kali, usia pemberian ibu lupa
Campak : 1 kali, usia pemberian ibu lupa
Hepatitis B : 3 kali, usia 0 bulan dan 1 bulan.
2.3 Pemeriksaan Fisik
1. Antropometri
a. Berat badan : 14 kg
b. Tinggi/panjang badan : 100 cm
Status Gizi :
BB / U : -2 <Zscore> 0 Gizi baik
PB / U : -2 < Zscore > 0 Normal
BB / PB : -2 <Zscore> -1 Normal
Kesan : gizi baik
2. Tanda-tanda vital
a. Keadaan umum : Sakit ringan
b. Kesadaran : Compos mentis
c. GCS : 15 (E4, M6, V5)
d. Tekanan darah : 100/70 mmHg
e. Frekuensi napas : 20 x/menit
f. Frekuensi nadi : 90 x/menit
g. Suhu : 37,1 0C
3. Kepala
a. Kepala : Normocephal, UUB tertutup, kaku kuduk (-).
b. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor.
c. Telinga : Daun telinga elastis, fistel (-), otore (-).
d. Hidung : Rhinorea (-), sekret (-), napas cuping hidung (-).
e. Mulut : Mukosa bibir pucat (-), cleft (-), sianosis (-), lidah kotor (+).
4. Leher
Pembesaran KGB (-).
5
5. Thorax
a. Inspeksi
Dinding dada simetris, deformitas (-), retraksi suprasternal (-), retraksi
subkostal (-), retraksi intercostalis (-), pulsasi iktus cordis tak tampak.
b. Palpasi
Gerakan napas simetris, pulsasi iktus cordis teraba di ICS V linea
midclavikula sinistra.
c. Perkusi
Sonor di seluruh lapang paru.
d. Auskultasi
- Cor : S1-S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-).
- Pulmo : vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-).
6. Abdomen
a. Inspeksi : Simetris, soepel.
b. Auskultasi : Bising usus (+) menurun.
c. Perkusi : Timpani (+)
d. Palpasi : Hepar, Lien, dan Renal tidak teraba; massa (-);
nyeri tekan (-), nyeri lepas (-).
7. Ekstremitas :
Superior : CRT <2 detik, akral hangat, ruam kulit (-)
Inferior : Akral hangat, edema (-), ikterus (-), sianosis (-).
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Normal
Darah Rutin
WBC
RBC
11.2
4.81
103/mm3
106/mm3
3.5 – 10.0
3.80 – 5.80
6
HGB
HCT
PLT
PCT
13.3
36.3
232
.158
g/dl
%
103/mm3
%
11.0 – 16.5
35.0 – 50.0
150 – 390
.100 – .500
Elektrolit
Natrium (Na)
Kalium (K)
Chlorida (Cl)
Calcium (Ca)
135.87
4.14
101.23
1.16
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mmol/L
135 – 148
3,5 – 5,3
98 – 110
1,12 – 1,23
2.5 Diagnosis
Suspek Demam Tifoid
2.6 Diagnosis Banding
Malaria
Infeksi Saluran Kemih
2.7 Terapi
1. IVFD D5 ¼ NS 12,5 tetes/menit
2. Inj. Ceftriaxone 2 x 350 mg
3. Domperidon syrup 3x cth ½
4. Paracetamol syrup 3x 1 ¼
5. Tes Widal
6. DDR
7. Urin Rutin
7
2.8 Follow Up
15 Maret 2016 (Hari ke-2)
S : Demam malam hari, mual (+), muntah (-)
O : Tampak sakit ringan, GCS 15 (E4, V5, M6)
TD: 100/70 mmHg RR: 21 x/menit SpO2: 99%
HR: 97 x/menit T: 36,60C
DDR : (-) Tes Widal : O = 1/320
H = negatif
Urin Rutin :
Warna : kuning muda Protein : -
Berat jenis : 1020 Leukosit: 0-3/LPB
pH : 7 Eritrosit : 0-2 /LPB
Epitel : 2-4 LPB
A : Demam Tipoid
P : - Bed Rest
Diet Lunak
IVFD D5 ¼ NS 12,5 gtt/menit
Inj. Ceftriaxone 2 x 350 mg dalam D5% 100 cc habis dalam 1 jam
Paracetamol syr 3 x 1 ¼ (KP)
Domperidon syrup 3x cth ½
16 September 2015 (Hari ke-3)
S : Demam (-), Mual (-), Muntah (-), BAB ada
O : Compos mentis, GCS 15 (E4 V5 M6)
TD: 100/70 mmHg RR: 24 x/menit SpO2: 98%
HR: 85 x/menit T: 36,80C
A : Demam Tipoid
P : -Lanjutkan
8
- Darah Rutin
17 Maret 2016 (Hari ke-4)
S : Demam (-), mual (-), muntah (-).
O : Compos mentis, GCS 15 (E4 V5 M6)
TD: 100/70 mmHg RR: 26 x/menit SpO2: 98%
HR: 87 x/menit T: 36,20C Lidah kotor (-)
WBC = 8400
RBC = 5.14 x 10
Hb = 12.3
Ht = 37.7
PLT = 221.000
A : Demam Tipoid
P : Terapi teruskan
18 Maret 2016 (Hari ke-5)
S : Demam (-), mual (-), muntah (-).
O : Compos mentis, GCS 15 (E4 V5 M6)
TD: 90/70 mmHg RR: 24 x/menit SpO2: 99%
HR: 87 x/menit T: 36,00C Lidah kotor (-)
A : Demam Tipoid
P : Pasien pulang
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi1
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.
Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
3.2 Epidemiologi2,3,4
Di beberapa negara penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan, termasuk di Indonesia. Indonesia dan sebagian besar Asia Selatan merupakan daerah endemik demam Tifoid. Anak-anak prasekolah dan yang berusia 5-19 tahun seringkali menjadi penderita penyakit ini akibat perilaku jajan sembarangan yang makanan maupun minuman yang dikonsumsi tidak tejamin kebersihannya.Demam tifoid terjadi pada 16-33 juta manusia setiap tahunnya, dengan meninggal sebanyak 500.000.
10
3.3 Etiologi1,2,4
Salmonella, yang termasuk anggota dari famili Enterobacteriaciae, merupakan
bakteri gram negatif yang berbentuk basil (batang). Bakteri ini berukuran 2-3 ± 0,4 -
0,6 μm, bergerak dan merupakan bakteri anaerob fakultatif yang berarti bakteri ini
dapat tumbuh dalam kondisi ada dan tidak adanya oksigen.
Salmonella memiliki 3 antigen yaitu, Antigen Somatik (O), Antigen Flagel
(H), Antigen Vi.
.
3.4 Faktor Risiko3,4
Adapun beberapa hal yang faktor resiko demam tifoid antara lain sebagai berikut:
11
1. Sanitasi lingkungan yang buruk2. Personal Hygiene yang buruk3. Menjadikan sungai sebagai septic tank rumah tangga4. Mengkonsumsi makanan (khususnya sayuran) dalam kondisi
mentah dan minum 5. Pasteurisasi susu yang tidak baik6. Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang
tidak baik
3.5 Patogenesis dan Patofisiologi2
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi: pasien dengan demam tifoid dan
yang lebih sering karier. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi
terjadinya karier. Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan
berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya
dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam lumen usus.
12
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.
Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembanghingga ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
3.6 Manifestasi Klinis2,3,4
Masa inkubasi biasanya 7-14 hari, tapi bisa mencapai 3-30 hari.. Gejala-gejala
yang timbul amat bervariasi, dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis sampai
gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Selama masa
inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal seperti penyakit infeksi akut pada
13
umumnya, berupa rasa tidak enak badan, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk, dan epistaksis.
Gejala demam sering didapatkan meningkat perlahan-lahan dan terutama
pada sore hingga malam hari dan menurun pada pagi hari. Dalam minggu kedua
gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam bradikardia relatif (peningkatan suhu
1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 10 kali permenit), lidah kotor yang ditutupi
selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor. Hati dan
limpa membesar dan nyeri pada saat perabaan, meteorismus, gangguan kesadaran
berupa somnolen, stupor, koma, delirium.
Gangguan saluran pencernaan sering menyertai demam tipoid bisa berupa
konstipasi atau diare.
3.7 Pemeriksaan Penunjang2,3,5
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan hematologis
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anemia normokrom normositik
akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang, lekopenia, limfositosis
relatif, aneosinofilia, dan bila terjadi abses piogenik bisa terjadi leukositosis.
Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali normal setelah
sembuhnya demam tifoid.Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan
pembatasan pengobatan.
3. Biakan darah
Biakan darah positif pada 40-60% kasus yang diperiksa pada minggu pertama
sakit, sedangkan biakan feses ataupun urin akan positif setelah minggu pertama.
Biakan dari sumsum tulang akan positif pada penyakit stadium lanjut, dan
merupakan pemeriksaan yang paling sensitif. Biakan darah positif memastikan
14
demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid.
Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada teknik
pemeriksaan laboratorium, perjalanan penyakit, status vaksinasi, dan pengobatan
anti mikroba.
4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam serum pasien demam
tifoid, juga pada orang yang pernah ketularan Salmonella dan para orang yang
pernah divaksinasi terhadap demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji
widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum pasien yang disangka menderita demam tifoid. Akibat infeksi oleh
S.typhi, pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman).
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan
pasien menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer uji Widal akan
meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat,
dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah
sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin
H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Pada beberapa pasien, uji Widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang,
walaupun biakan darah positif.Faktor-faktor yang mempengaruhi Uji Widal:
a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien:
15
1) Keadaan umum
Gizi buruk menghambat pembentukan antibodi.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pasien sakit satu minggu
dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam penyakit.
3) Pengobatan dini dengan antibiotik
Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat
antimikroba menghambat pembentukan antibodi.
4) Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada agamaglobulinemia, leukimia,
dan karsinoma lanjut.
5) Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid
Obat-obat ini menghambat pembentukan antibodi karena supresi sistem
retikuloendotelial.
6) Vaksinasi dengan kotipa atau tipa
Pada seorang yang divaksinansi, titer aglutinin O dan H meningkat.
Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan samapi 1 tahun,
sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2
tahun. Oleh karena itu, titer aglutinin H pada seorang yang pernah
divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
7) Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun dengan
titer rendah.
8) Reaksi anamnestik
Reaksi anamnestik adalah keadaan dimana terjadi peningkatan titer
aglutinin terhadap S.typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang
bukan demam tifoid pada seseorang yang pernah divaksinasi atau
ketularan Salmonella di masa lalu.
b. Faktor-faktor teknis
16
1) Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan
H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga
menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain. Oleh karena itu,
spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji
Widal.
2) Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji Widal akan
mempengaruhi hasilnya.
3) Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen
dari strain Salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari
strain lain.
5. Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang mudah dan cepat,
hanya membutuhkan waktu singkat untuk dilakukan (kurang lebih 5 menit).Hasil
positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Samonella serogrup D walau
tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhii. Infeksi oleh S.parathphii akan
memberi hasil negatif. Secara imunologi, antigen bersifat imunodominan.
Antigen ini dapat merangsang respons imun secara independen terhadap timus,
dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat
tersebut, respon terhadap antigen berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap
anti dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan
hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan
tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas
untuk mendeteksi infeksi lampau.
6. Uji Typhidot
Dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein membrane
luar Salmonella typhi.Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah
17
infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG
terhadap antigen S. typhi.
7. Uji IgM Dipstick
Pemeriksaan ini dapat secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap
S. typhi pada spesimen serum atau whole blood.Uji ini menggunakan strip yang
mengandung atigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan anti IgM (sebagai
kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibody anti IgM yang dilekati
dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan
reagen dan serum pasien, tabung uji.Secara kuantitatif, diberikan penilaian
terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip.
3.8 Diagnosis2,4
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran.Diagnosis
pasti dapat ditegakkan melalui isolasi S. Typhi dari darah pada 2 minggu sakit, dapat
juga dengan biakan spesimen empedu yang hasilnya cukup memuaskan.
3.9 Diagnosis Banding3
Demam tifoid dapat didiagnosa banding dengan infeksi dengue, malaria,
tuberkulosis, atau influenza. Untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dengue bisa
dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM DNA dengue. DDR (DrikeDruple) merupakan
apusan darah tebal untuk melihat parasit malaria dalam darah.
3.10 Penatalaksanaan2,4,5
1. Perawatan
Tirah baring total selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali.
Seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya berdiri dan berjalan. Pasien
dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
ulkus dekubitus.
18
2. Diet
Makan lunak, yang mudah dicerna dengan jumlah kalori dan protein sesuai
kebutuhan harian. Tidak boleh mengkonsumsi makanan yang mengandung
banyak serat, tidak merangsang, ataupun yang dapat menimbulkan banyak gas.
3. Medikamentosa
Pemilihan antibiotik pada demam tifoid harus mempertimbangkan hal berikut :
1. Telah dikenal sensitif dan potensial untuk demam tifoid.
2. Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenetrasi dengan
baik ke jaringan serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju
organ sasaran.
3. Berspektrum sempit.
4. Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi dengan baik
oleh penderita termasuk anak dan wanita hamil.
5. Efek samping yang minimal.
6. Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier.
Antibiotika Dosis Kelebihan dan keuntungan
Kloramfenikol
100 mg/kg BB/ hari dibagi
4 dosis/ oral, iv (diberikan
minimal 10 – 12 hari atau
minimal 5 hari bebas
demam). Maximal 2 gr
- Merupakan obat yang
sering digunakan dan
telah lama dikenal
efektif untuk demam
tifoid
- Murah dan dapat diberi
per-oral, sensitivitas
masih tinggi
- Pemberian PO/IV
- Tidak diberikan bila
leukosit <2000/mm³
50-80 mg/Kg BB/Hr dosis - Cepat menurunkan suhu,
19
Ceftriakson tunggal selama 5 hari lama pemberian pendek
dan dapat dosis tunggal
serta cukup aman untuk
anak
- Pemberian IV
Ampisilin &
amoksisilin
100 mg/Kg BB/Hr selama
10 hari
- Aman untuk penderita
hamil
- Sering dikmbinasi
dengan kloramfenikol
pada pasien kritis
- Tidak mahal
- Pemberian PO/IV
Kotrimoksasol
TMP 6-10 mg/Kg BB/Hr
atau SMX 30-50 mg/Kg/Hr
selama 10 hari
- Tidak mahal
- Pemberian per oral
Quinolone
Siprofloksasin : 2x500 mg
selama 1 minggu
Ofloksasin : 2x200-400 mg
selama 1 minggu
Plefoksasin : 1x400 mg
selama 1 minggu
Fleroksasin : 1x400 mg
selama 1 minggu
- Pefloksasin dan
fleroksasin lebih cepat
menurunkan suhu
- Efektif mencegah relaps
dan karier
- Pemberian per oral
- Anak : tidak dianjurkan
karena efek samping
pada pertumbuhan
tulang
Cefixim Anak : 15-20 mg/KgBB/
Hr dibagi dalam 2 dosis
selama 10 hari
- Aman untuk anak
- Efektif
- Pemberian per oral
20
Tiamfenikol
Anak : 50 mg/Kg BB/Hari
selama 5-7 hari bebas
panas
- Dapat untuk anak dan
dewasa
- Dilaporkan cukup
sensitif pada beberapa
daerah
Sedangkan obat-obatan simtomatik yang digunakan, antara lain:
1. Antipiretika
Dapat diberikan parasetamol 10-20 mg/kgbb
2. Kortikosteroid
Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis
yang menurun secara bertahap (tapering off) selama 5 hari. Hasilnya biasanya
sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat turun
sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi,
karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.
Tabel 3.2 Obat-obatan yang Diberikan pada Komplikasi Penderita Tifoid
Keadaan toksik
Prednison : 1 – 2 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis/ oral atau
Deksametason : 0.5 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis/ iv, oral atau
Hidrokortison : 10 – 15 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis/im
Perdarahan : Transfusi darah
Perforasi : Rujuk bagian bedah
3.11 Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum,
terutama bila perawatan pasien kurang sempurna.Komplikasi demam tifoid dapat
dibagi dalam:
1. Komplikasi Intestinal
21
a. Perdarahan usus. Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk
tukak/luka yang dapat menembus usus dan mengenai pembuluh darah. Bila
ringan ditemukan dengan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila berat
terdapat nyeri perut dan tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi usus, terjadi pada minggu ketiga ditandai pekak hati menghilang
terdapat udara antara hati dan diafragma.
c. Ileus paralitik
d. Peritonitis biasanya disertai dengan perforasi tetapi dapat juga tanpa perforasi.
Adanya gejala akut abdomen yaitu nyeri perut yang hebat, defans muscular
dan nyeri tekan.
2. Komplikasi Ekstra-Intestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, dan trombophlebitis.
b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan/atau disseminated
intravascular coagulation (DIC) dan sindrom urenia hemolitik.
c. Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistitis.
e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis, dan sindroma katatonia.
3.12 Prognosis
Umumnya prognosis pada demam tifoid adalah baik. Prognosis kurang baik
bila terjadi komplikasi.
3.13 Pencegahan
Menurut WHO (2003) terdapat beberapa cara-cara yang lebih spesifik yang
dapat membantu upaya pencegahan demam tifoid, yang secara lengkap akan
dijelaskan dibawah ini:
22
1. Air Bersih
Demam tifoid merupakan penyakit yang penjalarannya dapat melalui air
sehingga tindakan pencegahan utama yang didapat dilakukan yakni memastikan
adanya akses ke air bersih.
2. Keamanan Makanan
Makanan yang terkontaminasi merupakan salah satu cara penularan demam
tifoid. Penanganan dan pengolahan makanan yang tepat merupakan hal yang
terpenting. Tindakan kebersihan dasar di bawah ini harus dilakukan selama
epidemi:
a. Mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan atau memakan makanan.
b. Menghindari makanan mentah, kerang dan es.
c. Hanya memakan makanan yang sudah dimasak dan masih panas atau
dipanaskan kembali.
3. Sanitasi
4. Pendidikan Kesehatan
5. Vaksinasi
23
BAB IV
ANALISIS KASUS
Seorang anak umur 4 tahun 7 bulan (berat badan sekarang 14 kg) datang
dengan keluhan demam sejak 7 hari yang lalu. Demam dirasakan naik turun. Demam
muncul saat sore hari dan malam hari dan turun pada pagi hari. Menggigil (-),
berkeringat (-), batuk (-), pilek (-), gusi berdarah (-), ruam merah di kulit (-). Demam
merupakan salah satu reaksi tubuh terhadap infeksi pada anak HN. Onset demam
menunjukkan bahwa demam yang dirasakan lebih dari 7 hari, sehingga kemungkinan
diagnosis pada pasien ini adalah malaria, tipoid, dan ISK. Dari onset demam tersebut
disingkirkan kemungkinan diagnosis DBD, Demam dengue, dan cikungunya. Demam
An HN tidak disertai dengan menggigil dan berkeringat, malaria dan ISK bisa
disingkirkan. Dari sifat demam yang naik pada sore hari dan malam hari dan menurun
pada pada pagi hari merupakan sifat demam yang khas pada demam tipoid. An.HN
juga mengeluhkan nyeri sendi yang bisa merupakan gejala prodormal dari demam.
Untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis tersebut maka perlu dilakukan
24
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk membantu penegakan diagnosis
pada An. HN. An. HN juga mengeluh tidak BAB sejak 3 hari yang lalu. Pada demam
tifoid bisa ditemukan perubahan pola defekasi berupa diare atau konstipasi. Hal ini
terjadi karena terjadi infeksi salmonella typi pada usus. An. HN memiliki kebiasaan
jajan sembarangan yang merupakan salah satu faktor resiko penularan salmonella
typhi.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan bahwa kesadaran compos mentis dan
tanda-tanda vital pada An. HN relatif normal. Dari pemeriksaan antropometri, berat
badan 14 kg dengan umur 4 tahun 7 bulan menurut Z score termasuk kategori normal.
Pada pemeriksaan ditemukan lidah kotor dan nyeri tekan pada abdomen bagian
umbilikus. Lidah kotor bisa didapatkan pada pasien demam tipoid, HIV, pasien
dengan imunusupresif. Namun kedua manifestasi ini juga belum dapat menunjukkan
gejala yang khas untuk diagnosis spesifik dari suatu penyakit. Namun dari ananmesis
dan pemeriksaan fisik yang didapatkan, hasilnya mendukung ke arah tipoid, malaria
dan ISK. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis pada An. HN.
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan bahwa uji widal O= 1/320
dan H=negatif. Pada pemeriksaan DDR, plasmodium vivax dan falviparum tidak
ditemukan. Tes widal merupakan salah satu pemeriksaan serologis untuk
menegakkan diagnosis demam tipoid dengan memanfaatkan aglutin yang dibentuk
oleh tubuh terhadap antigen salmonella typi. Semakin tinggi titer yang didapatkan
maka semakin tinggi pula kemungkinana seseorang terinfeksi salmonella typi.
Namun tes widal bukan merupakan gold standar penegakan diagnosis pada demam
tipoid hal ini dikarenakan hasil negatif pada tes widal tidak menentukkan bahwa
seseorang tersebut tidak terinfeksi salmonella typi begitu juga dengan hasil titer yang
tinggi. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi hasil tes widal. Gold
standar pada penegakan diagnosis demam typoid ditemukannya salmonella typi pada
kultur. Selain tes widal dan kultur masih banyak pemeriksaan penunjang lain yang
membantu untuk menegakkan diagnosis demam tipoid diantaranya tes tubex, Uji
Typhidot, dan Uji IgM Dipstick.
25
DDR (DrikeDrupple) merupakan pemeriksaan apusan darah tebal untuk
melihat parasit malaria. Selain pemeriksaan DDR untuk melihat parasit malaria dapat
digunakan pemeriksaan Rapid Test Diagnostik. Pada pasien ini hasil DDR negatif
yang menandakan bahwa demam pada pasien bukan disebabkan oleh infeksi malaria.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan darah rutin yang
dilakukan di IGD maka pasien ini dicurigai demam tifoid, kemudian diberikan terapi
awal IVFD D5 ¼ NS 12,5 gtt/mnt, domperidon 3x cth ½ , dan dilakukan rencana
pemeriksaan berupa tes widal dan DDR. Paracetamol merupakan antipiretik dan
analgetik yang sering digunakan dengan dosis 10 mg/KgBB. Domperidon yang
berfungsi mencegah rasa mual dan muntah. Tujuan pemberian domperidon pada
pasien ini adalah untuk mengurangi rasa mual yang dialami pasien. Rencana
pemeriksaan berupa tes widal dan DDR sudah tepat pada pasien ini. Tujuan
dilakukannya tes widal dan DDR pada pasien ini untuk menegakkan diagnosis tipoid
ataupun malaria pada pasien ini.
Setelah hasil tes widal dan DDR keluar maka terapi pada pasien dilanjutkan
ditambah dengan pemberian antibiotik cefriaxone 2x350 mg selama 5 hari.
Cefriaxone merupakan antibiotik golongan chefalosporin generasi ke-3 yang bisa
digunakan untuk terapi demam tifoid selama 5 hari sebagai terapi utama yang
merupakan salah satu antibiotik pilihan dalam pengobatan demam tifoid. Selain itu
juga diberikan diet bubur saring yang secara bertahap akan diteruskan dengan bubur
kasar. Terapi pada demam typoid yang tidak berkomplikasi meliputi 3 hal, yaitu bed
rest, antibiotik, dan simptomatik. Pasein dengan demam typoid memerlukan bedrest
total kemudian berangsur-angsur duduk, kemudian berjalan. Antibiotik utama untuk
demam typoid adalah kloramfenikol selama 10-12 hari atau minimal 5 hari bebas
demam. Namun dewasa ini banyak penelitian yang melaporkan resistensi
kloramfenikol pada demam typoid. Selain kloramfenikol, bisa juga diberikan
antibiotik tiamfenikol, cefixime, quinolon, dan ampicilin dikombinasikan dengan
amoksisilin. Untuk Pasien yang mengalami penurunan kesadaran bisa diberikan
kortikosteroid selama 5 hari. Namun pemberian ini harus berdasarkan indikasi karena
bisa menyebabkan perdarahan intestinal.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, dkk. 2000 Ilmu Kesehatan Anak, Penerjemah: A. Samik Wahab. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Widodo D, 2009. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
Kelima. Jakarta Balai Penerbit FKUI. Hal 2797 – 2806.
3. Soedarmo SS, et al, 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit
Tropis Edisi 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. WHO. Diagnosis, treatment, and prevention of thypoid fever. Geneva: WHO;
May 2003.
5. Harrison TR et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed.
Philadelphia: McGrawHill; 2005. p.898-890.
6. Tatang KS, et al, 2000. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak RS Sumber Waras.
Jakarta: UPT. Penerbitan Universitas Tarumanagara.
27
28