Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    1/52

    Pneumothorax

    Pneumothorax adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam

    rongga pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga

    paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada.(3)

    Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang

    melapisi paru-paru dan rongga dada.(4)

    Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di

    dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (5). Tersering

    disebabkan oleh ruptur spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran

    udarake rongga torak. Pneumotorak dapat terjadi berulang kali (6).

    Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :

    a) Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal

    dari alveolus akanmemasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini

    disebut sebagai closed pneumothorax. Apabila kebocoran pleura

    visceralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saatinspirasi

    tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya,

    udarasemakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum

    kearah kontralateral danmenyebabkan terjadinya tension pneumothorax

    b) .Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat

    hubungan antara kavumpleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang

    terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea,maka udara cenderung lebih

    melewati lubang tersebut dibanding traktus respiratorius yangseharusnya.

    Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara

    dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan

    kolaps pada paru ipsi lateral.Saat ekspirasi, tekanan rongga dada

    meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang

    tersebut. Kondisi ini disebut sebagai open pneumothorax (3,6,7,9)

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    2/52

    Klasifikasi Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan

    menjadi dua, yaitu (2,5):

    1. Pneumotoraks spontan Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-

    tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,

    yaitu:

    a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara

    tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya atau tanpa penyakit dasar yang

    jelas. Lebih sering pada laki-laki muda sehat dibandingkan wanita.

    Timbul akibat ruptur bulla kecil (12 cm) subpleural, terutama di bagian

    puncak paru.

    b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi

    dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki

    sebelumnya, Tersering pada pasien bronkitis dan emfisema yang

    mengalami ruptur emfisema subpleura atau bulla. Penyakit dasar lain:

    Tb paru, asma lanjut, pneumonia, abses paruatau Ca paru. fibrosis

    kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma,

    dan infeksi paru.

    2. Pneumotoraks traumatik, Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya

    suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan

    robeknya pleura, dinding dada maupun paru (2,5).

    Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,

    yaitu :

    a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi

    karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.

    b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat

    komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis ini pun masih

    dibedakan menjadi dua, yaitu :

    1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental Adalah suatu

    pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    3/52

    kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada

    parasentesis dada, biopsi pleura.

    2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate) Adalah

    suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara

    mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini

    dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan

    tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai

    permukaan paru. (2,5)

    Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat

    diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (8):

    1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax) Pada tipe ini, pleura dalam

    keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga

    tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura

    awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif

    karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru

    belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,

    meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi

    gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.

    2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax), Yaitu pneumotoraks

    dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang

    merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).

    Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar.

    Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan

    tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh

    gerakan pernapasan (8). Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan

    pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif (8). Selain itu, pada saat

    inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi

    mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking

    wound)(2).

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    4/52

    3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax) Adalah pneumotoraks

    dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah

    besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu

    inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan

    selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka (8). Waktu

    ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar . Akibatnya

    tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi

    tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat

    menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (2).

    Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka

    pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu(8)

    :

    1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian

    kecil paru (< 50% volume paru).

    2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar

    paru (> 50% volume paru)

    A. Etiologi

    Etiologi Trauma thorax kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas yang

    umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh

    tikaman dan tembakan. Trauma pada bagian ini juga sering disertai dengan

    cedera pada tempat lain misalnya abdomen, kepala, dan ekstremitas sehingga

    merupakan cedera majemuk. Kelainan yang sering timbul secara umum pada

    setiap trauma thorax baik tajam maupun tumpul yaitu(3)

    :

    a. Kulit : dan jaringan lunak : luka, memar, dan emfisema subkutis

    b. Tulang : fraktur costa, sternum, pernapasan paradoksal.

    c. Pleura :Pneumothorax, hemothoraxhemopneumothorax, kilothorax,

    serothorax

    d. Jaringan paru: traumatic wet lug

    e. Mediastinum: pneumomediastinum, robekan esofagus, robekan bronkus

    f. Jantung: hemoperikardium, luka jantung(3).

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    5/52

    C. Patofisiologi

    Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara

    pleura parietalis danvisceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal

    berisi sedikit cairan serous jaringan.Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan

    negatif. Tekanan negatif pada intrapleura membantu dalam proses respirasi.

    Proses respirasi terdiri dari 2 tahap : fase inspirasi dan fase eksprasi. Padafase

    inspirasi tekanan intrapleura : -9 s/d -12 cmH2O; sedangkan pada fase ekspirasi

    tekananintrapleura: -3 s/d -6 cmH2O. Pneumotorak adalah adanya udara pada

    cavum pleura. Adanya udara pada cavum pleura menyebabkan tekanan negatif

    pada intrapleura tidak terbentuk. Sehingga akan mengganggu padaproses

    respirasi.

    Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan penyebabnya (6,7,9) :

    1. Pneumotorak spontan Oleh karena : primer (ruptur bleb), sekunder

    (infeksi, keganasan), neonatal

    2. Pneumotorak yang di dapat Oleh karena : iatrogenik, barotrauma,

    trauma

    Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis:

    1. Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala shock atau pre-shock

    2. Tension Pnuemotorak : diikuti gejala shock atau pre-schock

    Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya dengan hubungan luar

    menjadi :

    1.Open pneumotorak

    2.Closed pneumotorak

    Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak mempunyai dasar

    patofisiologi yang hampir sama.

    Pneumotorak spontan, closed pneumotorak, simple pneumotorak, tension

    pneumotorak, dan open pneumotorak. Pneumotorak spontan terjadi karena

    lemahnya dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    6/52

    pleura viceralis yang lemah ini pecah, maka akan ada fistel yang menyebabkan

    udara masuk ke dalam cavum pleura. Mekanismenya pada saat inspirasi rongga

    dada mengembang, disertai pengembangan cavum pleura yang kemudian

    menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang, seperti balon yang dihisap.

    Pengembangan paru menyebabkan tekanan intraalveolar menjadi negatif

    sehingga udara luar masuk. Pada pneumotorak spontan,paru-paru kolpas, udara

    inspirasi ini bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak

    negatif. Pada saat inspirasi akan terjadi hiperekspansi cavum pleura akibatnya

    menekan mediastinal ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal

    kembali lagi ke posisi semula.Proses yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal

    flutter (6,7,9).

    Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru

    sisi sebaliknya masihbisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan

    sempurna.

    Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock

    atau shock dikenal dengan simple pneumotorak. Berkumpulnya udara pada

    cavum pleura dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal

    dengan closed pneumotorak .Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan

    balik secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja

    sempurna. Akibatnya bilamana proses ini semakin berlanjut,hiperekspansi

    cavum pleura pada saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan

    saat ekspirasi udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka yang

    bersifat katup tertutup terjadilah penekanan vena cava,shunting udara ke paru

    yang sehat, dan obstruksi jalan napas.Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock

    atau shock oleh karena penekanan vena cava.Kejadian ini dikenal dengan

    tension pneumotorak(6,7,9).

    Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura dengan

    lingkunga luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan

    dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis)atau komplit (pleura parietalis dan

    visceralis). Bilamana terjadi open pneumotorak inkomplit pada saat inspirasi

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    7/52

    udara luar akan masuk ke dalam cavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat

    mengembang karena tekanan intrapleura tidak negatif. Efeknya akan terjadi

    hiperekspansi cavumpleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.

    Saat ekspirasi mediastinal bergeser kemediastinal yang sehat. Terjadilah

    mediastinal flutter. Bilamana open pneumotorak komplit maka saat inspirasi

    dapat terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal ke sisi paru

    yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru

    karena luka yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan

    vena cava,shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas.

    Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan

    vena cava. Kejadian inidikenal dengan tension pneumotorak (6,7,9).

    D. Diagnosis

    Dari anamnesis Sulit bernafas yang timbul mendadak dengan disertai

    nyeri dada yang terkadang dirasakan menjalar ke bahu. Dapat disertai batuk dan

    terkadang terjadi hemoptisis. Perlu ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura

    lain yang mendasari pneumotorak, dan menyingkirkan adan yapenyakit jantung.

    Gejala

    Gejalanya sangat bervariasi, tergantung kepada jumlah udara yang masuk

    ke dalam rongga pleura dan luasnya paru-paru yang mengalami kolaps

    (mengempis)(10)

    .

    Gejalanya bisa berupa:

    -Nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba, dan semakin nyeri jika

    penderita menarik nafas dalam atau terbatuk.

    - Sesak nafas

    - Dada terasa sempit

    - Mudah lelah

    - Denyut jantung yang cepat

    - Warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen.

    Gejala-gejala tersebut mungkin timbul pada saat istirahat atau tidur.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    8/52

    Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:

    - Hidung tampak kemerahan

    - Cemas, stres, tegang

    - Tekanan darah rendah (hipotensi) (10).

    Pemeriksaan fisik Sesak nafas dan takikardi yang dapat disertai sianosis

    pada pneumotorak ventil atau ada penyakit dasar paru.

    Inspeksi : Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper

    ekspansi dinding dada), Pada waktu respirasi, bagian yang sakit

    gerakannya tertinggal, Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat ,

    deviasi trakhea, ruang interkostal melebar,

    Palpasi : Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau

    melebar, Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat , Fremitus

    suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit

    Perkusi : Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak

    menggetar, Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila

    tekanan intrapleura tinggi, Pada tingkat yang berat terdapat gangguan

    respirasi/sianosis, gangguanvaskuler/syok.

    Auskultasi : Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai

    menghilang, Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoninegative (5,8).

    Pemeriksaan Penunjang

    1. Foto Rntgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus

    pneumotoraks antara lain (11):

    a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps

    akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru

    yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler

    sesuai dengan lobus paru.

    b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque

    yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru

    yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat

    ringan sesak napas yang dikeluhkan.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    9/52

    c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium

    intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.

    Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat,

    kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan

    intra pleura yang tinggi.

    d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan

    sebagai berikut (5) :

    1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada

    tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi

    apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga

    udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.

    2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam

    dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari

    pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum

    lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu

    daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang

    mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang

    terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat

    tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.

    3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan

    tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

    Foto R pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan

    anak panah merupakan bagian paru yang kolaps2. Analisa Gas

    Darah

    2. Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi

    meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada

    pasien dengan gagal napas yang berat secara signifikan

    meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

    3. CT-scan thorax

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    10/52

    CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema

    bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra

    dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks

    spontan primer dan sekunder.

    Komplikasi dapat berupa hemopneumotorak, pneumomediastinum

    dan emfisemakutis, fistel bronkopleural dan empiema.

    E. Penatalaksanaan

    E 1. Penatalaksanaan Pneumothoraks (Umum)

    Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk

    mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk

    kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai

    berikut :

    Primary Survey

    Airway

    Assessment :

    perhatikan patensi airway

    dengar suara napas

    perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada

    Management :

    inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan

    jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas

    Observasi dan Pemberian O2

    Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah

    menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut

    akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila

    diberikan tambahan O2 (2). Observasi dilakukan dalam beberapa hari

    dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari .

    Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan

    terbuka (8).

    re-posisi kepala, pasang collar-neck

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    11/52

    lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)

    Breathing

    Assesment

    Periksa frekwensi napas

    Perhatikan gerakan respirasi

    Palpasi toraks

    Auskultasi dan dengarkan bunyi napas

    Management:

    Lakukan bantuan ventilasi bila perlu

    Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension

    pneumotoraks, open pneumotoraks, hemotoraks, flail chest

    Circulation

    Assesment

    Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi

    Periksa tekanan darah

    Pemeriksaan pulse oxymetri

    Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)

    Management

    Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines

    Torakotomi emergency bila diperlukan

    Operasi Eksplorasi vaskular emergency

    Tindakan Bedah Emergency

    1. Krikotiroidotomi

    2. Trakheostomi

    3. Tube Torakostomi

    4. Torakotomi

    5. Eksplorasi vascular

    E 2. Penatalaksanaan Pneumothoraks (Spesifik)

    E 2.a. Pneumotoraks Simpel

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    12/52

    Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang

    progresif.

    Ciri:

    Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)

    Tidak ada mediastinal shift

    PF: bunyi napas , hyperresonance(perkusi), pengembangan dada

    Penatalaksanaan: WSD

    E 2.b. Pneumotoraks Tension

    Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang

    semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension

    ditemukan mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak

    dapat keluar).

    Ciri:

    Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps

    total paru, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral),

    deviasi trakhea , venous return hipotensi & respiratory distressberat.

    Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat,

    takipneu, hipotensi, JVP , asimetris statis & dinamis

    Merupakan keadaan life-threateningtdk perlu Ro

    Penatalaksanaan:

    1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-

    klavikula)

    2. WSD

    E 2.c. Open Pneumothorax

    Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara

    dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks

    akan sama dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound .

    Terjadi kolaps total paru.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    13/52

    Penatalaksanaan:

    1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)

    2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka

    3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra

    toraks lain.

    4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)

    Penatalaksanaan WSD

    Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang

    menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum

    pleura ( rongga pleura).

    TUJUANNYA:

    Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk

    mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut

    Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan

    hanya terisi sedikit cairan pleura / lubrican.

    Perubahan Tekanan Rongga Pleura

    Tekanan Istirahat Inspirasi Ekspirasi

    -Atmosfir 760 760 760

    -Intrapulmoner 760 757 763

    -Intrapleural 756 750 756

    INDIKASI PEMASANGAN WSD :

    Hemotoraks, efusi pleura

    Pneumotoraks ( >25 % )

    Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk

    Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator

    KONTRA INDIKASI PEMASANGAN :

    Infeksi pada tempat pemasangan

    Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol (6,7,9)

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    14/52

    Tindakan Dekompresi

    Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasuspneumotoraks

    yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan inibertujuan untuk

    mengurangi tekanan intra pleura dengan membuathubungan antara

    rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2):

    a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,

    dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan

    berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum

    tersebut(2,8)

    .

    b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :

    1) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke

    dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada

    pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah

    klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar

    dari ujung infus set yang berada di dalam botol(8).

    2) Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari

    gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi

    yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura,

    jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian

    dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya

    dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka,

    akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang

    berada di dalam botol (8).

    3) Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks kateter) steril,

    dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau

    dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan

    melalui celah yang telah dibuatdengan bantuan insisi kulit di sela iga

    ke-4 pada lineamid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior.

    Selainitu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis midklavikula. Setelah

    troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    15/52

    pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks

    yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter

    toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa

    plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya

    berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udaradapat

    dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut (5,8).

    Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura

    tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan

    negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat

    mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan

    intra pleura sudah negative kembali, maka sebelum dicabut dapat

    dilakukuan ujicoba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau

    ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali

    menjadi positif maka pipa belum bias dicabut. Pencabutan WSD

    dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal(2)

    .

    Pengobatan Tambahan

    1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan

    ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru

    diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi

    antibiotik dan bronkodilator (8).

    2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat .

    3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat

    dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti

    emfisema (5).

    Rehabilitasi(8)

    .

    1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan

    pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.

    2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau

    bersin terlalu keras.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    16/52

    3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah

    laksan ringan.

    4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan

    batuk, sesak napas.

    2. STATUS ASMATIKUS

    Status asmatikus adalah kegawatan medis dimana gejala asma tidak membaik pada

    pemberian bronkodilator inisial di unit gawat darurat. Biasanya, gejala muncul beberapa hari

    setelah infeksi virus di saluran napas, diikuti pajanan terhadap alergen atau iritan, atau setelah

    beraktivitas saat udara dingin. Seringnya, pasien telah menggunakan obat-obat antiinflamasi.

    Pasien biasanya mengeluh rasa berat di dada, sesak napas yang semakin bertambah, batuk kering

    dan mengi dan penggunaan beta-agonis yang meningkat (baik inhalasi maupun nebulisasi)

    sampai hitungan menit.

    Prevalensi dan severity kasus asma semakin meningkat, sejalan dengan peningkatan

    kasus asma yang membutuhkan perawatan rumah sakit dan kematian akibat status asmatikus.

    Status asmatikus biasanya lebih sering terjadi pada kelompok dengan sosialekonomi yang

    rendah, karena mereka jarang kontrol ke dr. spesialis, yang meningkatkan resiko status

    asmatikus.

    Pasien yang terlambat mendapatkan perawatan medis, khususnya perawatan dengan

    steroid sistemik, memiliki resiko kematian yang besar. Pasien dengan kondisi penyerta (misal:

    penyakit paru restriksi, CHF, deformitas dinding dada) memiliki resiko kematian yang lebih

    besar karena status asmatikus, demikian juga perokok yang biasanya terkena PPOK.

    Diagnosis

    Gambaranklinis Status Asmatikus :

    Penderitatampaksakitberatdansianosis.

    Sesaknafas, bicaraterputus-putus.

    Banyakberkeringat,

    bilakulitkeringmenunjukkankegawatansebabpenderitasudahjatuhdalamdehidrasiberat.

    Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun

    dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam

    koma.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    17/52

    Merencanakan pengobatan asma akut

    Serangan asma ditandai dengan gejala sesak nafas, batuk, mengi ataupun kombinasi dari gejal

    diatas. Derajat serangan dapat ringan sampai dengan berat yang mengancam nyawa. Serangan

    bersifat akut.

    Tujuan pengobatan asma untuk :

    1. menghilangkan obstruksi dengan segera.

    2. mengatasi hipoksia

    3. mengembalikan fungsi paru ke normal secepat mungkin

    4. mencegah serangan berikutnya

    5. memberikan edukasi agar penderita dan keluarga dapat mengatasi pada awal sebelum dibawa

    ke dokter.

    Klasifikasi derajat beratnya asma

    Pasien asma harus dirujuk bila

    Pasien dengan resiko tinggi untuk kematian karena asma

    Serangan asma beratAPE 120 mmHg

    Pernapasan 30x/menit

    Pulsus paradoxus 18 mmHg

    PEFR >120l/mnt

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    18/52

    Wheezing Ringan berat

    Catatan: bila score lebih dari 4 harus masuk rumah sakit

    Bila adasilent chestmerupakan tanda bahaya

    Mengatasi Keadaan Gawat

    a. Infus RL : D5 = 3: 1 dengan tetesan sesuai kebutuhan rehidrasi.

    b. Oksigen 24 l/m melalui nasal prong.

    c. Aminofilin bolus 5-6 mg / kgBB i.v pelan selama 20-30 menit dilanjutkan maintenance 20

    mg/kgBB/hari diberikan secara drip.

    d. Terbutalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau I.V. atau orciprenalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau

    I.V. pelan (penelitian terakhir tidak berbeda bermakna9)

    e. Hidrocortison sodium suksinat 4 mg / kgBB / 4 jam I.V ( 200 mg / 4 jam I.V. ) bisa juga

    memakai dexamethason 20 mg / 6 jam I.V. selain itu dapat digunakan 160 mg

    methilprednisolon dalam dosis terbagi 4 kali per hari, kortikosteroid diberikan sampai

    membaik secara klinis dan laboratoris. Disamping parenteral diberikan juga Prednison peroral

    3 x 10 mg per hari sampai keadaan membaik diberhentikan secara tappering off.

    f. Antibiotik bila jelas ada infeksi

    Oksitetrasiklin 2 x 100 mg I. M. atau Amoxillin / Ampicillin 2 x 1 g I.V. atau golonganantibiotik yang sesuai dngan sumber infeksinya.

    g. Menilai hasil tindakan dan terapi

    Dengan keadaan klinis ( scoring) dan secara laboratoris yaitu pemeriksaan faal paru, analisa

    gas darah , elektrolit, leukosit dan eosinofil serta monitoring EKG.

    Pemeriksaan selama terapi

    1 Pemeriksaan fisik lengkap

    2 Pemeriksaan radiologi yaitu thoraks foto PA dan lateral

    3 Pemeriksaan EKG

    4 Pemeriksaan faal paru yaitu PEFR, FEV1, FVC

    5 Analisa gas darah

    6 Pemeriksaan elektrolit

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    19/52

    7 Pemeriksaan darah lengkap , urine lengkap, feses lengkap

    8 Pemeriksaan kimia darah

    9 Pemeriksaan berat jenis plasma

    10 Pemeriksaan sputum

    11 Biakan darah bila perlu 18

    12 Kadar aminofillin dalam darah ( 12 jam setelah terapi bolus )

    Pemeriksaan analisis gas darah arteri sebaiknya dilakukan pada :

    Serangan asma akut berat

    Membutuhkan perawatan rumah sakit

    Tidak respon dengan pengobatan/memburuk

    Ada komplikasi antara lain pneumonia, pneuomothorax dll

    Pada keadaan dibawah ini analisis gas darah mutlak dilakukan:

    Mengancam jiwa

    Tidak respon terhadap pengobatan/memburuk

    Gagal napas

    Sianosis, kesadaran menurun dan gelisah

    Tindak lanjut

    Bila terjadi kegagalan terapi

    a. Asidosis respiratorik

    Ventilasi diperbaiki

    Pemberian Nabic

    b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )

    Pemberian O2 4- 6 L/m dengan venturi mask

    c. Gagal napas akut

    alat bantu napas ( ventilator mekanik )

    syarat :

    apneu

    kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis . respiratorik akut

    Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis . respiratorik akut

    Hipoksia refrakter walau sudah diberi O

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    20/52

    Algoritma penatalaksanaan asma di rumah sakit

    Penilaian awalRiwayat dan pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu napas, denyut

    jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1,

    saturasi O2). AGD dan pemeriksaan lain atas indikasi

    Pengobatan awal

    oksigenasi dengan kanul nasal

    inhalasi agonis beta 2 kerja singkat (nebulisasi setiap 20 menitdalam satu jam) atau agonis beta2 injeksi ( terbutalin 0,5 cc

    subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 cc subkutan)

    kortikosteroid sistemik :- serangan asma berat- tidak responsegera dengan bronkodilator- dalam pengobatan kortikosteroid oral

    Respon baik

    Respon baik dan stabildalam 60 menit

    Pemeriksaan fisik

    normal APE>70%

    predikdi/nila terbaik

    Saturasi O2 >90%(95% pada anak)

    Penilaian ulang setelah 1 jam

    Pemeriksaan fisik, saturasi O2 dan pemeriksaan lain atas indikasi

    Serangan asma ringan Serangan asma sedang/ berat Serangan asma mengancm jiwa

    Respon tidak sempurna

    Resiko tinggi distress

    Pemeriksaan fisik :gejala ringansedang

    APE> 50% tetapi

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    21/52

    Farmakologi

    AGONIS BETA ADRENERGIK

    Penggunaan obat reseptor beta 2 adrenergik pada otot polos bronkus menstimulasi enzym

    adenylate cyclase compleks intracelluler, menghasilkan peningkatan produksi cyclic adenosine

    monophosphates (cAMP), hal ini menyebabkan relaksasi otot polos, menghambat degranulasi sel

    mast, dan stimulasi mucociliary transport. Variasi dari beta 2 adrenergik menyebabkan

    perbedaan action, duration of actions, dan efek samping.

    Adrenalin dapat diberikan secara inhalasi dan injeksi 0.1-0,5 ml dari pengenceran 1:1000

    subkutan, telah digunakan sejak lama sebagai terapi awal dari asma. Adrenalin merupakan non

    selektif simpatomimetik yang dapat menstimulus reseptor alfa, beta-1, beta-2. kerugiannya

    adalah stimulasi sistem kardiovaskular, durasi aksi yang 19

    singkat, dan mempercepat terjadinya takifilaksis. Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada

    pasien tua, pada pasien tua, takikardia sebelum perawatan.

    Isoproterenol menstimulasi baik beta-1 dan beta-2 reseptor. Menyebabkan takikardi dan

    hipotensi dalam rangka bronkodilator. Isoproterenol biasanya diberikan aerosol (3 s/d 7 kali

    inspirasi dalam, dalam bentuk solusio 1:1000 atau 1:200) bisa juga diberikan intravena pada

    pasien anak dan dewasa.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    22/52

    Pada pasien asma muda tanpa ada kelainan kardiovaskular terapi awal adalah adrenalin 0,2

    sampai 0,5 ml dari pengenceran 1:1000 sub kutan setiap 20 menit selama 3 kali pemberian,

    lanjutkan dengan 0,5 ml isoproterenol dari pengenceran 1:200 nebuliser setiap 20 menit selama 3

    kali pemberian. Ataupun biasa menggunakan aerosol beta2 agonis (albuterol 2,5 mg,

    metaproterenol 15 mg, terbutalin 1,5-2,5 mg, isoetharine 2-5 mg) diberikan secara nebuliser

    setiap 15 sampai 30 menit. Ketika menggunakan nebuliser encerkan dengan normal saline

    sampai konsentrasi 2 tau 3 cc.

    Semua beta adrenergik mempunyai efek pada kardiovaskular (berupa takikardi, palpitasi,

    aritmia dan hipertensi) dan cerebral (berupa gelisah, tremor, nausea dizziness, dan nervous).

    METHILXANTHINES

    Theofilin dan ethylenediamine salt aminnophyline sangat berguna dalam terapi asma

    akut. Mekanisme aksi dijelaskan dengan inhibitor cytoplasmic enzyme phosphodiesterase yang

    mengkatalisis metabolisme cAMP. Efek utama theofilin adalah relaksasi otot polos bronkhial .

    efek lain memperbaiki kontraksi diafragma, meningkatkan transport mucociliar, menghambat

    pelepasan mediator hipersensitivitas dan menurunkan tekanan arteri pulmonal.

    Theofilin ataupun aminofilin pada akut asma dapat diberikan bolus intravena kemudian

    dilanjutkan dalam drip. Konsentrasi dalam plasma harus dipertahankan pada 10 sampai 20 ug/ml,

    toksikasi akan uncul bila konsentrasi dalam plasma melebihi 20 ug/ml. tanda toksikasi meliputi

    CNS dan GI termasuk gelisah, nyeri kepala, mual dan muntah, diare. Pada konsentrasi aminofilin

    yang sangat tinggi pada plasam dapat menyebabkan aritmia, gangguan kesadaran dan akhirnya

    meninggal.

    Distribusi aminofilin sangat cepat melalui kompartemen extraceluler. Dosis aminofilin 1

    mg/kgBB menaikan konsentrasi dalam serum plasma sebesar 2 ug/ml. Sekitar 85% dari dosis

    theofilin di degradasi di hepar oleh Cytokrom P450 dan selebihnya diekresikan melalui urine.

    Hal yang dapat menurunkan metabolisme adalah usia tua, congestive heart failure, dan gangguan

    fungsi hepar sedangkan obat-obatan yang dapat menurunkan metabolisme aminofilin adalah

    propranolol, erytromisin dan cimetidin. Yang meningkatkan metabolisme adalah kebiasaan

    merokok, dan barbiturat.

    KORTIKOSTEROID

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    23/52

    Kortikosteroid saat ini digunakan secara luas pada asma bila beta agonis dan methyl

    xanthin telah tak mampu. Mekanisme aksi melibatkan efek anti inflamasi, inhibisi asam

    arakhidonat meningkatkan efek beta agonis dan menurunkan permeabilitas endotel vaskular

    sehingga mencegah terjadinya edema.

    Dosis terapi kortikosteroid pada asma kontroversial dan sampai saat ini belum ada kesepakatan.

    Fanta dkk 1 mendemonstrasikan bahwa kortikosteroid infus (hydrocortison, bolus 2 mg/kg bb

    dilanjutkan drip 0,5 mg/kg jam infus) bersama dengan penggunaan bolus aminofilin dan beta 2

    agonis menghasilkan perbaikan yang bermakna dengan pengukuran FEV1 dalam 12 jam

    perawatan.

    Haskell dkk melakukan penelitian bahwa penggunaan Methylprednisolone 15 mg setiap 6

    jam tidak menunjukkan keefektifan tetapi pasien yang mendapat 40mg menunjukkan perbaikan

    yang bermakna pada perawatan hari kedua dan pada pasien yang mendapat 125 mg mendapat

    perbaikan sejak hari pertama.

    Efek samping dari penggunaan kortikosteroid intravena dosis tinggi adalah hiperglikemia

    dan akut psikosis sehingga dihindarkan penggunaan pada penderita diabetes mellitus, perdarahan

    GI track, presdisposisi untuk terjadinya infeksi. Pada terapi jangka lama penggunaan

    kortikosteroid adalah meningkatkan katabolisme, retensi garam dan air, cushing sindroma,

    osteoporosis dan pernah dilaporkan adanya fraktur patologis vertebra dan necrosis kaput femur.

    Olehkarena komplikasi sistemik yang begitu berat maka saat ini mulai dikembangkan preparat

    inhaler ataupun nebuliser untuk menggantikan preparat kortikosteroid sistemik.

    ANTIKHOLINERGIK

    Atropin dan preparat antikolinergik lain mempunyai efek bronkodilator yang rendah.

    Mekanisme yang disuga kuat adalah inhibitor vagal bronkoconstriction. Pak dan rekan meneliti

    pada penderita kronik obstruksi bahwa 0,025-0,05 mg/kg BB atropin inhalasi via nebuliser

    menghasilkan perbaikan jalan nafas tetapi efek samping yang dihasilkan sangatlah besar berupa :

    pengeringan membran mukosa, dysphoria, tachycardia, nyeri kepala dan gangguan buang air

    kencing. Oleh karena efek samping yang begitu besar saat ini dikembangkan Ipatropin bromida

    nebuliser menggantikan atropin karena preparat Ipatropin bromida mempunyai efek samping

    yang lebih kecil.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    24/52

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    25/52

    penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak napas, batuk, dan/atau sputum yang

    diluar batas normal dalam variasi hari ke hari (GOLD, 2009).

    Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus),

    atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, pneumotoraks spontan,

    penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-obatan (obat antidepresan, diuretik) yang

    tidak tepat, penyakit metabolik (diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan

    memburuk atau polusi udara, aspirasi berulang, serta pada stadium akhir penyakit respirasi

    (kelelahan otot respirasi) (PDPI, 2003).

    Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien sering menjalani rawat inap

    akibat eksaserbasi.Menurut penelitian Kessler dkk.(1999) terdapat faktor prediktif eksaserbasi

    yang menyebabkan pasien dirawat inap.Faktor risiko yang signifikan adalah Indeks Massa

    Tubuh yang rendah (IMT44 mmHg, dan tekanan

    arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18 mmHg.

    Lamanya rawat inap setiap pasien bervariasi.Iglesia dkk.(2002) mendapatkan faktor prediktif

    pasien dirawat inap lebih dari 3 hari, yaitu rawat inap pada saat akhir minggu, adanya kor

    pulmonale, dan laju pernapasan yang tinggi.

    Gejala eksaserbasi

    1. Batuk makin sering/ hebat

    2. Produksi sputum bertambah banyak

    3. Sputum berubah warna

    4. Sesak napas bertambah

    5. Keterbatasan aktivitas bertambah6. Terdapat gagal napas akut pada gagal napas kronik

    7. Kesadaran menurun

    Gejala utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum meningkat, dan adanya perubahan

    konsistensi atau warna sputum.Menurut Anthonisen dkk. (1987), eksaserbasi akut dapat dibagi

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    26/52

    menjadi tiga tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II

    (eksaserbasi sedang) apabila hanya memiliki 2 gejala utama, dan tipe III (eksaserbasi ringan)

    apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari,

    demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi

    pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline (Vestbo, 2006).

    Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut

    Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi

    dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian dari eksaserbasi sangat berhubungan dengan

    terjadinya asidosis respiratorik, adanya komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi (GOLD,

    2009). Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang

    ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).Penatalaksanaan eksaserbasi

    akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di

    poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU (PDPI, 2003).

    Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK

    1. Optimalisasi penggunaan obat-obatan

    a. Bronkodilator

    o Agonis 2 kerja singkat kombinasi dengan antikolinergik melalui inhalasi (nebuliser)

    (bukti A)

    o Xantin intravena (bolus dan drip) (bukti B)

    b. Kortikosteroid sistemik (bukti A)

    c. Antibiotik

    o Golongan makrolid baru (Azitromisin, Roksitromisin, Klaritromisin)

    o Golongan kuinolon respirasi

    o Sefalosporin generasi III/IV

    d. Mukolitik

    e. Ekspektoran

    f. Terapi oksigen

    g. Terapi nutrisi

    h. Rehabilitasi fisis dan respirasi

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    27/52

    i. Evaluasi progresifiti penyakit

    j. Edukasi

    Indikasi Rawat :

    1. Peningkatan gejala (sesak, batuk) saat tidak beraktivitas

    2. PPOK dengan derajat berat

    3. Terdapat tanda-tanda sianosis dan atau edema

    4. Disertai penyakit komorbid lain

    5. Sering eksaserbasi

    6. Didapatkan aritmia

    7. Diagnosyik yang belum jelas

    8. Usia lanjut

    9. Infeksi saluran nafas berta

    10.Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik

    Indikasi rawat ICU

    1. Sesak berta setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat

    2. Kesadaran menurun, letargi atau kelemahan otot-otot respirasi

    3. Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO2 < 50 mmHg

    atau PaCO2 > 50 mmHg memerlukan ventilasi mekanis (invasive atau non invasif)

    4. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanis invasive

    5. Ketidakstabilan hemodinamik

    Algoritme penatalaksanaan PPOK eksaerbasi akut di rumah

    dan pelayanan kesehatanprimer / Puskesmas

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    28/52

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    29/52

    ALGORITMA PENATALAKSANAAN PPOK EKSASERBASI

    AKUT DI RUMAH SAKIT

    Bronkodilator

    - Nilai berat gejala (kesadaran, frekuensi napas,pemeriksaan fisis)

    - Analisis gas darah- Foto thorak

    1. Terapi oksigen2. Bronkodilator

    -

    Inhalasi/nebulizera. Agonis 2b. Antikolinergik

    - Intravena : metilxantin, bolus dan drip3. Antibiotic4. Kortikosteroid sistemik5. Diuretik bila ada retensi cairan

    Mengancam jiwa (gagal

    napas akut)

    Tidak mengancam jiwa

    ICU Ruang rawat

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    30/52

    Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK adalah short-acting inhaled B2-

    agonists. Jika respon segera dari obat ini belum tercapai, direkomendasikan menambahkan

    antikolinergik, walaupun bukti ilmiah efektivitas kombinasi ini masih kontroversial.Walaupun

    penggunaan klinisnya yang luas, peranan metilxantin dalam terapi eksaserbasi masih

    kontroversial. Sekarang metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan sebagai terapi lini

    kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari penggunaan short-acting inhaled B2-agonists.

    Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan long-acting inhaled B2-agonists

    dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid selama eksaserbasi (GOLD, 2009).

    Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan peningkatan dosis.Inhaler

    masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang tepat, nebulizer dapat digunakan agar

    bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebulizer yang memakai oksigen

    sebagai kompresor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat

    menyebabkan retensi CO2.Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama dengan bronkodilator

    lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma.Dalam perawatan di rumah sakit,

    bronkodilator diberikan secara intravena dan nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu

    monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (PDPI, 2003).

    Kortikosteroid

    Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi pada penanganan

    eksaserbasi PPOK.Dosis pasti yang direkomendasikan tidak diketahui, tetapi dosis tinggi

    berhubungan dengan risiko efek samping yang bermakna.Dosis prednisolon oral sebesar 30-40

    mg/hari selama 7-10 hari adalah efektif dan aman (GOLD, 2009). Menurut PDPI (2003),

    kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi

    derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat

    diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak memberikan manfaat yang

    lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.

    Antibiotik

    Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada (GOLD, 2009):

    a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan

    volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    31/52

    b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan

    purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut

    c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.

    Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi

    kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per

    drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya

    diberikan kombinasi dengan makrolid, dan bila ringan dapat diberikan tunggal.

    Antibiotik yang dapat diberikan di Puskesmas yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol,

    Eritromisin, dan lini II: Ampisilin kombinasi Kloramfenikol, Eritromisin, kombinasi

    Kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan Eritromisin sebagai Makrolid

    (PDPI, 2003).

    Terapi Oksigen

    Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama, bertujuan untuk

    memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di

    ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa,

    60 mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi

    retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang sedikit sehinggaperlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury

    mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing,

    tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi

    adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).

    Ventilasi Mekanik

    Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat adalah

    mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala. Ventilasi mekanik

    terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan

    negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif dengan oro-tracheal tube

    atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    32/52

    ventilasi mekanik dengan intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa

    Randomized Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten

    menunjukkan hasil positif dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan

    bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi

    pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap (GOLD, 2009).

    Komplikasi

    Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut

    pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik

    ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO250

    mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh

    sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen,demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan

    menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang.

    Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai

    dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P

    pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI,

    2003).

    4. Kardiak Tamponade

    Kardiak Tamponande adalah sindrom klinis yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam

    rongga perikardium, sehingga pengisian ventrikel berkurang. Kardiak Tamponande adalah

    keadaan darurat medis. Keseluruhan risiko kematian tergantung pada kecepatan diagnosis,

    perawatan yang diberikan, dan penyebab yang mendasari tamponade tersebut. Tamponade

    jantung adalah kompresi jantung yang terjadi ketika darah atau cairan menumpuk di ruang antara

    miokardium (otot jantung) dan perikardium (kantung menutupi luar dari jantung).

    Patofisiologi

    perikardium, yang merupakan membran yang mengelilingi jantung, terdiri dari 2 lapisan.

    Perikardium parietal tebal adalah lapisan berserat luar; perikardium viseral tipis adalah lapisan

    serosa bagian dalam. Ruang perikardial biasanya berisi 20-50 mL cairan. Efusi perikardial dapat

    serosa, serosanguineous, hemoragik, atau chylous.

    3 fase perubahan hemodinamik pada tamponade.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    33/52

    1. Tahap I: akumulasi cairan perikardial menyebabkan peningkatan kekakuan ventrikel,

    memerlukan tekanan pengisian yang lebih tinggi. Selama fase ini, tekanan ventrikel kiri

    dan kanan mengisi lebih tinggi dari tekanan intrapericardial.

    2. Tahap II: Dengan akumulasi cairan lebih lanjut, tekanan perikardial meningkat di atas

    tekanan ventrikel mengisi, sehingga curah jantung berkurang.

    3. Fase III: Penurunan lanjut dalam output jantung terjadi, yang karena equilibrium

    perikardial dan ventrikel kiri (LV) mengisi tekanan.

    Proses patofisiologis yang mendasari untuk pengembangan tamponade adalah nyata

    berkurang karena tekanan diastolik mengisi distending transmural tidak cukup untuk mengatasi

    tekanan intrapericardial meningkat. Takikardia adalah respon jantung awal untuk perubahan ini

    untuk mempertahankan curah jantung.

    Aliran balik vena sistemik juga diubah selama tamponade. Karena jantung adalah dikompresi

    seluruh siklus jantung karena tekanan intrapericardial meningkat, aliran balik vena sistemik

    terganggu dan runtuhnya ventrikel kanan dan kanan atrium terjadi. Karena tempat tidur vaskular

    paru adalah sirkuit yang luas dan memenuhi persyaratan, darah preferentially terakumulasi di

    sirkulasi vena, dengan mengorbankan LV mengisi. Hal ini menyebabkan cardiac output

    berkurang dan aliran balik vena.

    Jumlah cairan perikardial diperlukan untuk merusak jantung diastolik mengisi tergantung pada

    tingkat akumulasi cairan dan kepatuhan perikardium. Akumulasi cepat sesedikit 150 mL cairan

    dapat mengakibatkan peningkatan yang ditandai dalam tekanan perikardial dan sangat dapat

    menghambat cardiac output [2], sedangkan 1000 mL cairan dapat terakumulasi selama periode

    yang lebih lama tanpa efek signifikan pada pengisian diastolik jantung . Hal ini disebabkanadaptif peregangan perikardium dari waktu ke waktu. Sebuah perikardium lebih sesuai dapat

    memungkinkan akumulasi cairan yang cukup selama periode yang lebih lama tanpa menghina

    hemodinamik.

    Penyebab

    Dalam kondisi ini, darah atau cairan terkumpul dalam perikardium. Hal ini untuk mencegah

    ventrikel dari memperluas sepenuhnya. Tekanan berlebih dari cairan mencegah jantung dari

    berfungsi normal.

    Tamponade jantung dapat terjadi karena:

    * Membedah aneurisma aorta (toraks)

    * Stadium akhir kanker paru-paru

    * Serangan jantung (infark miokard akut)

    * Jantung operasi

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    34/52

    * Perikarditis disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus

    * Luka ke jantung

    Penyebab potensial lainnya termasuk:

    * Tumor jantung

    * Hypothyroidism

    * Kegagalan ginjal

    * Penempatan garis pusat

    * Terapi radiasi dada

    * Terbaru prosedur jantung invasif

    * Operasi jantung terbuka terbaru

    * Eritematosus sistemik lupus

    Gejala

    * Kecemasan, kegelisahan

    * Nyeri dada

    o Memancar ke leher, bahu, punggung, atau perut

    o Sharp, menusuk

    o diperparah dengan bernapas dalam atau batuk

    * Kesulitan bernapas

    * Ketidaknyamanan, kadang-kadang lega dengan duduk tegak atau bersandar ke depan

    * Pingsan, pusing

    * Pucat, abu-abu, atau kulit biru* Palpitasi

    * Cepat pernapasan

    * Pembengkakan pada perut atau daerah lain

    Gejala lainnya yang mungkin terjadi dengan gangguan ini:

    * Pusing

    * Mengantuk

    * Tekanan darah rendah

    * Lemah atau tidak ada pulsa

    Ujian dan Tes

    Tidak ada tes laboratorium khusus yang mendiagnosa tamponade. Echocardiogram biasanya

    digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    35/52

    Tanda:

    * Tekanan darah bisa turun (pulsus paradoks) ketika orang menghirup dalam-dalam

    * Pernapasan dapat cepat

    * Denyut jantung dapat lebih dari 100 (normal adalah 60 sampai 100 denyut per menit)

    * Suara jantung adalah pingsan selama pemeriksaan dengan stetoskop

    * Pembuluh darah abnormal Leher dapat diperpanjang (buncit), tetapi tekanan darah mungkin

    rendah

    * Pulsa perifer mungkin lemah atau tidak ada

    Pemeriksaan lainnya mungkin termasuk:

    * Dada CT atau MRI dada

    * Dada x-ray

    * Angiografi koroner* EKG

    Pengobatan

    Tamponade jantung adalah kondisi darurat yang membutuhkan rawat inap.

    Cairan di sekitar jantung harus dikuras. Pericardiocentesis adalah prosedur yang

    menggunakan jarum untuk mengeluarkan cairan dari kantung perikardial, jaringan yang

    mengelilingi jantung.

    Suatu prosedur untuk memotong dan menghapus bagian dari perikardium

    (pericardiectomy bedah atau jendela perikardial) juga dapat dilakukan. Cairan diberikan untuk menjaga tekanan darah normal sampai pericardiocentesis dapat

    dilakukan. Obat-obat yang meningkatkan tekanan darah juga dapat membantu

    mempertahankan kehidupan pasien.

    Pasien dapat diberikan oksigen. Hal ini mengurangi beban kerja pada jantung dengan

    mengurangi permintaan jaringan untuk aliran darah.

    Penyebab tamponade harus diidentifikasi dan diobati.

    Prognosis

    Tamponade adalah hidup-mengancam jika tidak diobati. Hasilnya sering baik jika kondisi inisegera diobati, tetapi tamponade mungkin akan kembali.

    Kemungkinan Komplikasi

    Gagal jantung

    Edema paru

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    36/52

    Kematian

    5. Infark Miokard Akut (IMA)

    Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yangmenyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah

    terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh

    darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran

    darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot

    jantung, dikatakan mengalami infark.12

    Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial

    Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas

    angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.11

    Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner

    menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah

    ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler,

    dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan

    akumulasi lipid.11

    Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis

    kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat diubah,sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar serum

    lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak

    jenuh, kolesterol, serta kalori.13

    Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA. Penelitian angiografi

    menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan oleh trombosis arteri koroner.

    Gangguan pada plak aterosklerotik yang sudah ada (pembentukan fisura) merupakan

    suatu nidus untuk pembentukan trombus.

    Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi,

    sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri

    koroner.

    Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika

    fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Gambaran patologis klasik pada

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    37/52

    STEMI terdiri atas fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga

    STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.

    Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit

    pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan

    tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu, aktivasi trombosit

    memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Reseptor mempunyai

    afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang terlarut (integrin)

    seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul

    multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbedasecara simultan, menghasilkan

    ikatan platelet dan agregasi setelah mengalami konversi fungsinya.

    Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel endotel yang

    rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin menjaditrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang

    terlibat akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas agregat trombosit dan

    fibrin.

    Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri

    koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi, arteritis

    trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

    A. Klasifikasi IMA

    Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar EKG 12 sandapan menjadi

    - Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner yang

    menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan

    miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.

    - Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian dari arteri

    koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada

    elevasi segmen ST pada EKG.

    B. Gejala dan Tanda IMA

    Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang terasa

    berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher, rahang,

    epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMAsering

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    38/52

    didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada

    IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan

    aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin,

    nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian

    kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini

    terutama terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien

    berusia lanjut.

    C. Diagnosis IMA

    Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan anamnesis

    nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal pada 2

    sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas.Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat

    diagnosis.

    D. Pemeriksaan Fisik

    Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat

    (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada

    substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI.

    E. Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana

    pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi.

    Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK)

    MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn

    digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot

    skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB.

    Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan gejala

    IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim

    diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    39/52

    1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam

    10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan

    kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.

    2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada

    infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi

    setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

    Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK),

    Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah

    leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset

    nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.

    Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri

    dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di

    IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan

    EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat

    kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG

    12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan

    elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior,

    untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan.

    F. Tatalaksana IMA

    Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence based

    berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun

    konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).

    Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,

    menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang

    mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang.Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu

    dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan

    kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada.

    H. Tatalaksana awal

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    40/52

    - Tatalaksana Pra Rumah Sakit

    Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan adanya

    fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala dan lebih

    dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen utama tatalaksana pra

    hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain7,11,16 :

    1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.

    2. Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi

    3. Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta

    staf medis dokter dan perawat yang terlatih.

    4. Melakukan terapi reperfusi

    Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh lamanya

    waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan.Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional

    kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.

    Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedik di

    ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan managemen STEMI

    serta ada kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian

    terapi.

    Tatalaksana di ruang emergensi

    Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,

    mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase

    pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari

    pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

    Tatalaksana umum

    1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    41/52

    - Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan

    dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat

    diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.

    - Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif

    pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang

    dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan

    dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-

    162 mg.

    - Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian

    penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol

    5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali

    permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak

    lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan

    dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan

    dengan 100 mg tiap 12 jam.

    Tatalaksana di rumah sakit

    ICCU1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama

    2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam

    karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.

    3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan

    periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg, oksazepam 15-30 mg, atau

    lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari

    4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek menggunakan

    narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering mengakibatkan konstipasi, sehingga

    dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    42/52

    penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200

    mg/hari).

    I. Komplikasi IMA

    1) Disfungsi Ventrikular

    Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan pada

    segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling

    ventricularyang sering mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam

    hitungan bulan atautahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan

    yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca

    infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang

    nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.

    2) Gangguan Hemodinamik

    Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit

    pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan tingkat gagal

    pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.

    3) Syok kardiogenik

    Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi selama

    perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai

    penyakit arteri koroner multivesel.

    4) Infark ventrikel kanan

    Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi

    vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi.

    5) Aritmia paska STEMI

    Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,

    gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi miokard.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    43/52

    6) Ekstrasistol ventrikel

    Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien STEMI dan

    tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik

    ventrikel pada pasien STEMI.

    7) Takikardia dan fibrilasi ventrikel

    Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya dalam

    24 jam pertama.

    8) Fibrilasi atrium

    9) Aritmia supraventrikular

    10) Asistol ventrikel

    11) Bradiaritmia dan Blok

    12) Komplikasi Mekanik

    Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.

    J. Prognosis

    Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA11 :

    1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,

    kongesti paru dan syok kardiogenik

    Tabel 2. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    44/52

    2) Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan

    pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)

    Tabel 3. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut

    3) TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan

    anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang

    mendapat terapi fibrinolitik.

    Tabel 4. TIMI Risk Score untuk STEMI

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    45/52

    Terapi pada pasien STEMI

    Terapi reperfusi

    Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat

    disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI

    berkembang menjadipump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.

    Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi fibrinolitik

    dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam

    90 menit.

    Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting terhadap luas

    infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam menghancurkan trombus

    tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama

    dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka

    kematian.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    46/52

    Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi

    reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko

    perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih

    PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis

    harusmempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi

    merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.

    - Percutaneous Coronary Interventions (PCI)

    Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului fibrinolitik

    disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada

    STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih

    efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan

    dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik.11,16 PCIprimer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun),

    risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam

    jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik.

    Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas

    berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit.

    - Fibrinolitik

    Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to needle time < 30

    menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri

    koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen

    activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan

    memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.

    Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala kualitatif

    sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI)

    grading system :

    1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang

    terkena infark.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    47/52

    2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik

    obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal.

    3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke arah distal

    tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.

    4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan

    aliran normal.

    Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena perfusi penuh pada arteri

    koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi

    luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan laju

    mortalitas,11 selain itu, waktu merupakan faktor yang menentukan dalam reperfusi,

    fungsi ventrikel kiri, dan prognosis penderita. Keuntungan ini lebih nyata bila

    streptokinase diberikan dalam 6 jam pertama setelah timbulnya gejala, dengan anjuran

    pemberian streptokinase sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang semaksimal

    mungkin.

    Indikasi terapi fibrinolitik :

    Kelas I : 1) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien

    STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST > 0,1 mV pada minimal 2 sandapanprekordial atau 2 sandapan ekstremitas

    2) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien STEMI

    dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.

    Kelas II a

    1) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien STEMI

    dengan onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan konsisten dengan infark miokard

    posterior.

    2) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien STEMI

    dengan onset mulai dari < 12 jam sampai 24 jam yang mengalami gejala iskemi yang

    terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial

    yang berdampingan atau minimal 2 sandapan ekstremitas.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    48/52

    Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi

    segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak

    menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG datang dengan

    IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.

    Kontraindikasi terapi fibrinolitik :

    Kontraindikasi absolut

    1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral

    2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)

    3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial

    4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam

    5) Dicurigai diseksi aorta

    6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)

    7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan

    Kontraindikasi relatif1) Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali

    2) Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau TDS>110 mmHg)

    3) Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui patologi

    intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi

    4) Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi besar (

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    49/52

    7) Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya atau reaksi

    alergi sebelumnya terhadap obat ini

    8) Kehamilan

    9) Ulkus peptikum aktif

    10) Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko perdarahan.

    Obat Fibrinolitik

    1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang pernah

    terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya

    antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang

    murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah.

    2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies to Open

    Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar

    15% pada pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih

    mahal disbanding SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.

    3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding

    SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis bolus lebih mudah karena

    waktu paruh yang lebih panjang.

    4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki spesisfisitas fibrin

    dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal

    dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3flow dan komplikasi

    perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.

    Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang manfaatnyasudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti perdarahan. Perdarahan

    diklasifikasikan oleh American College of Surgeons' Advanced Trauma Life Support

    (ATLS) menjadi :

    - Kelas I : melibatkan hingga 15% dari volume darah, tidak ada perubahan dalam tanda-

    tanda vital dan tidak diperlukan resusitasi cairan.

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    50/52

    - Kelas II : melibatkan 15-30% dari volume darah total, ditandai dengan takikardi

    (denyut jantung cepat) dan penyempitan perbedaan antara tekanan darah sistolik dan

    diastolik. Transfusi darah biasanya tidak diperlukan.

    - Kelas III : melibatkan hilangnya 30-40% dari volume sirkulasi darah yang ditandai

    penurunan tekanan darah pasien, peningkatan denyut jantung, hipoperfusi perifer

    (syok). Resusitasi cairan dengan kristaloid dan transfusi darah biasanya diperlukan.

    - Kelas IV : melibatkan hilangnya> 40% dari volume sirkulasi darah. Batas kompensasi

    tubuh tercapai dan resusitasi agresif diperlukan untuk mencegah kematian.

    Terapi lainnya

    ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien dengan

    STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin, clopidogrel,thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular

    Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin

    Receptor Blocker.

    1) Anti trombotik

    Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI berperan dalam

    memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Aspirin

    merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut penelitian ISIS-2 pemberian

    aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%.

    Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis

    pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan

    abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan hasil penurunan

    kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok

    abciximab dan stenting.

    Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractionated

    heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin

    dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan

    serta mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan

    adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    51/52

    (maksimum 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi

    pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.

    Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif,

    riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial

    merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus mendapatkanterapi

    antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan

    terapi warfarin minimal 3 bulan.

    2) Thienopiridin

    Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan

    hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yang menjalani

    reperfusi primer atau fibrinolitik.7,8Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators mempelajari

    pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan

    dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung

    dan pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non fatal).

    Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi

    reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).

    3) Penyekat Beta

    Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat yang

    terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang

    jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena

    memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri,

    mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang

    serius.

    Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk

    yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengankontraindikasi

    (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok

    jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).

    4) Inhibitor ACE

  • 7/21/2019 Diagnosis Banding Kegawatdaruratan Dypsnea

    52/52

    Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan manfaat terhadap

    penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE,

    AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan risiko

    tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau

    fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada

    pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.

    Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor

    ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien

    dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau

    terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.