Upload
ngominh
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENAMBAHAN BEBAN
TAGIHAN REKENING LISTRIK RELEVANSINYA DENGAN UNDANG
UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Studi Kasus Di Loket Pembayaran Ulumul Qur’an Semarang Barat)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna
Memeperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.I)
Oleh:
Mujibur Rohman
042311026
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
20011
ii
iii
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian pula skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan sebagai bahan rujukan.
Semarang,14 April 2011
Deklarator,
Mujibur Rohman
NIM: 042311026
v
ABSTRAK
Perusahaan Listrik Negara (PLN) merupakan perusahaan yang memproduksi energi listrik, yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh masyarakat. Usaha PLN ini dilakukan dengan cara jual beli manfaat, yang bendanya tidak nampak (dalam Islam disebut dengan jual beli Mubahat Ammah) dimana pihak PLN (produsen) menjual harga jual tenaga listrik kepada masyarakat (konsumen). Dalam jual beli terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak baik penjual dan pembeli. Adanya rukun dan syarat dalam jual beli yang telah ditetapkan oleh syara’ bukan lain adalah untuk dipenuhinya syarat dan rukun tersebut sehingga jual beli yang dilakukan sah dan bisa dibenarkan oleh syara’.
Adapun penelitian ini bertujuan untuk: (1) Untuk mengetahui praktek penambahan beban tagihan listrik relevansinya dengan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ; (2) Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam tentang penambahan beban listrik relevansinya dengan undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini ialah: (1) Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan atau field research, obyek penelitian ini adalah, loket pembayaran rekening listrik loket PPOB Ulumul Qur’an, kantor LP2K dan rumah warga masyarakat selaku konsumen listrik; (2) metode pengumpulan data menggunakan a. Metode dokumentasi, b. Metode interview, c. Metode observasi; (3) Sumber data meliputi data primer, ialah data yang langsung diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian,
yakni perjanjian Jual beli dan hasil wawancara, lalu data sekunder merupakan data pendukung dari data primer yang berupa buku-buku terkait dengan penelitian. (4) Metode analisis data dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu metode yang dipakai untuk membantu dalam menggambarkan keadaan yang mungkin terdapat dalam situasi tertentu, dan untuk membantu dalam mengetahui bagaimana mencapai tujuan yang diinginkan.
Hasil penelitiannya yaitu: (1) Dalam praktiknya di loket Ulumul Qur’an Semarang, praktek penambahan beban tagihan listrik oleh pihak PLN dalam kebijakannya menambah pungutan sebesar Rp. 1.600,- ternyata dilakukan sepihak, yang tidak dikomunikasikan terlebih dahulu dengan konsumen atau minimal pemberitahuan kepada konsumen. Dalam relevansinya dengan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, jelas-jelas melanggar Pasal 4 huruf c, mengenai hak konsumen, yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Jadi, berpijak pada landasan yuridis tersebut konsumen dapat menggugatnya di Pengadilan Niaga setempat. (2). Perspektif hukum Islam atas Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atas penambahan beban listrik memandang tidak sah dalam konteks jual beli antara pihak PLN dengan konsumen yang seperti ini masuk dalam kategori jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul, kemudian tidak dilakukan sesuai dengan prinsip muamalah antaradlin (suka sama suka) kedua belah pihak tersebut.
vi
MOTTO
��ة وأن ������ا ��� �� إن آ��� �� � وإن آ$ن ذو "��ة !� �ة إ
�'&%�ن
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai Dia berkelapangan dan menyedekahkan (sebagian
atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
(Q. S Al-Baqarah 180).1
1 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. Sari Agung, 2005.
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan sepenuhnya untuk:
1. Bapak dan Ibu tercinta atas belas kasih sayang dan bimbingannya sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
2. Masa depan dan cita-cita penulis.
3. Istri saya yang tercinta, Fita Zuliyaningsih yang senantiasa menemani dan
memberikan senyum keceriaan dan semangat bagi penulis.
4. Mbah K.H Nur Kholis, Bapak Ustadz Syarifudin , Mas Turin serta Asaatidzku
yang telah banyak memberikan ilmu serta pengalaman kepada penulis.
5. Semua sahabat dan temanku tersayang yang tetap setia menemani baik saat
suka maupun duka dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabil’alamin, segala puji kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis berupa kekuatan,
kesabaran dan kemampuan berfikir sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini tanpa ada hambatan yang berarti. Sholawat serta salam penulis haturkan
kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan keluarga-Nya. Berkat limpahan
rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya serta usaha yang sungguh-sungguh,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “TINJAUAN
HUKUM ISLAM TERHADAP PENAMBAHAN BEBAN TAGIHAN
REKENING LISTRIK RELEVANSINYA DENGAN UU NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Study Kasus Di Loket
Pembayaran Ulumul Qur’an Semarang) ”.
Selanjutnya penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak DR. Imam Yahya, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang dan segenap Bapak dan Ibu Dosen serta pegawai
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah mendidik dan
melayani penulis dengan ikhlas.
2. Ibu Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag. dan Ibu Maria Ana Muryani, SH.MH.
selaku dosen pembimbing yang dengan tulus ikhlas dan meluangkan waktu
untuk mengarahkan dan memberi petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
3. Pimpinan Loket Pembayaran listrik Ulumul Qur’an, Ibu Rihlatul khoiriyah,
S.Ag. serta seluruh staff yang telah membantu menyelesaikan skripsi penulis.
ix
4. Bapak dan Ibu serta kakak-kakakku tercinta yang senantiasa memberikan
semangat dan do’a demi tercapainya cita-cita penulis.
5. Istri saya tercinta Fita Zuliyaningsih yang selalu menemani penulis dan
memberikan semangat bagi penulis.
6. Sahabat-sahabatku di Jurusan Hukum Ekonomi Islam (Muamalah) serta semua
pihak yang telah memberikan bantuan dan semangat serta motivasi kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu.
Semoga amal baik mereka diterima oleh Allah SWT dan semoga
mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT baik di dunia
maupun kelak di akhirat. Amiin.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik yang konstruktif dan inovatif dari pihak manapun
sangatlah penulis harapkan sebagai bahan penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya
hanya kepada Allah SWT tempat kembali, disertai harapan semoga skripsi ini
dapat menambah khasanah keilmuan umat Islam dan memberikan manfaat bagi
penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Amiin.
Semarang, 14 April 2011
Penulis
Mujibur Rohman
042311026
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ........................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN DEKLARASI ........................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAK ............................................................................... v
HALAMAN MOTTO ................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................ viii
HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Permasalahan .......................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 7
D. Telaah Pustaka ........................................................................ 8
E. Metode Penelitian ................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 15
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG AKAD
A. Pengertian Akad dan Dasar Hukumnya .................................. . 18
B. Rukun dan Syarat akad……………....................................... . 21
C. Bentuk-bentuk Akad……………………………………. ....... 29
D. Perbuatan mengingkari Perjanjian ............... ........................... 48
E. Tujuan Akad…………………………………….. .................. 49
BAB III PRAKTIK PENAMBAHAN BEBAN TAGIHAN REKENING
LISTRIK DI LOKET ULUMUL QUR’AN SEMARANG BARAT
A. Gambaran Umum Loket Ulumul Qur’an ................................ 54
B. Praktik Penambahan Beban Tagihan Rekening Listrik
Melalui Loket Ulumul Qur’an Semarang Barat ...................... 55
C. Tinjauan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen terhadap Penambahan Beban Tagihan
Rekening di Loket Ulumul Qur’an ........................................... 63
xi
BAB IV ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PENAMBAHAN BEBAN TAGIHAN
REKENING LISTRIK RELEVANSINYA DENGAN UU NO.
8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Analisis terhadap Penambahan Beban Tagihan Rekening
listrik Relevansinya dengan UU No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen ......................................... 72
B. Analisis Tinjauan Hukum Islam terhadap Penambahan
Beban Tagihan Rekening Listrik Relevansinya dengan
UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen............................................................................ 81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 86
B. Saran ........................................................................................ 87
C. Penutup .................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA
BIODATA PENULIS
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam penjelasan UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
konsumen dinyatakan bahwa pembangunan dan perkembangan
perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau
jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan
bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan
informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau
jasa melintasi batas-batas wilayah suatu Negara, sehingga barang dan/atau
jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun dalam
negeri.2
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi
konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk
memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan
keinginan dan kemampuan konsumen.
2 Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Bandung: Rosda Karya, 2000, hlm. 33.
2
Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat
mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak
seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi
objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh
pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian
standar yang merugikan konsumen 3
Perusahaan Listrik Negara (PLN) merupakan perusahaan yang
memproduksi energi listrik, yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh
masyarakat. Usaha PLN ini dilakukan dengan cara jual beli manfaat, yang
bendanya tidak nampak (dalam Islam disebut dengan jual beli Mubahat
Ammah) dimana pihak PLN (produsen) menjual harga jual tenaga listrik
kepada masyarakat (konsumen).
Hubungan kontrak antara PLN (produsen) dengan warga masyarakat
(konsumen) telah dituangkan dan diatur dalam sebuah perjanjian jual beli
tenaga listrik, diantaranya berisi :
a. Syarat-syarat penyambungan tenaga listrik;
b. Biaya penyambungan (BP);
c. Uang jaminan pelanggan (UJL);
d. Batas kepemilikan dan tanggung jawab;
e. Hak dan kewajiban antara PLN dengan warga (konsumen);
f. Pembayaran tagihan rekening listrik bulanan;
3 Ibid., hlm 33-34.
3
g. Sanksi keterlambatan pembayaran rekening bulanan;
h. Pengukuran pemakaian tenaga listrik;
i. Peralihan bangunan;
j. Larangan-larangan;
k. Pemutusan perjanjian;
l. Penyelesaian perselisihan pendapat;
m. Masa berlaku perjanjian.
Di dalam perjanjian jual beli tenaga listrik tersebut jelas nampak
bahwa, konsumen hanya wajib membayar harga jual tenaga listrik yang
tercantum dalam rekening listrik setiap bulan sesuai dengan tagihan PLN.
Rekening listrik tersebut diperhitungkan atas dasar jumlah pemakaian tenaga
listrik. Sedangkan harga satuannya ditentukan berdasarkan TDL (tarif dasar
listrik) Keputusan Pemerintah. Dalam kenyataannya sekarang ini PLN telah
melakukan pungutan lebih pada konsumen. PLN membebani konsumen
dengan menambahkan biaya adminitrasi bank yang besarnya variatif antara
Rp1500 sampai dengan Rp1900, besar kecilnya jumlah biaya ini tergantung
pada kebijakan bank mitra PLN. Biaya tambahan adminitrasi bank tersebut
sebelumnya belum atau tidak tertuang dalam surat perjanjian jual beli tenaga
listrik. Keputusan penambahan biaya administrasi bank ini bersifat sepihak
dan merugikan konsumen. 4 Oleh karena itu hal tersebut jelas melanggar
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang
4 M Issamsudin, Pelanggaran Hak Lewat rekening PLN, Kompas (B), 16 Januari, 2009, hlm.
14.
4
Perlindungan Konsumen,5 yakni pasal 7 huruf b mengenai kewajiban dari
pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Sedangkan kewajiban dari
konsumen pada pasal 5 huruf a ialah membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa,
demi keamanan dan keselamatan;
Pengertian perjanjian diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata pasal 1313 bahwa :”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
lainnya”6
Dalam konteks hukum Islam, perjanjian atau perikatan secara lughat
adalah “akad”. Secara etimologis perjanjian yang dalam bahasa Arab
diistilahkan dengan mu’ahadah, ittifa’, akad atau kontrak dapat diartikan
sebagai perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan yang sengaja
dibuat oleh dua orang berdasarkan persetujuan masing-masing. 7 Dalam
istilah fuqaha perjanjian atau perikatan dikemukakan :
ا ���ا9� 8(67ی عو4�� 3ج� و&" ل�(0ب $ب-یا+ $ط(�را“Perikatan antara ijab dengan kabul secara yang dibenarkan syara’, yang
menetapkan persetujuan kedua belah pihak”.8
5 Ibid, hlm 7.
6 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Cet. 39, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008, hlm. 338. 7 Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi, Pengantar Fiqih Muamalah, Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2001, hal 28. 8 Dr. As-Sanhuri, Nadhariyatul Aqd. Dalam TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh
Muamalah,Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. IV, Edisi II, hlm. 26
5
Segala macam pernyataan akad atau serah terima, dilahirkan dari jiwa
yang saling merelakan untuk menyerahkan barangnya masing-masing kepada
siapa yang melakukan transaksi.9
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia selalu berinteraksi
dengan sesamanya untuk mengadakan transaksi ekonomi. Salah satunya
adalah jual beli, secara bahasa, yaitu jual beli (bai’) berarti “mempertukarkan
sesuatu dengan sesuatu” kata bai’ memiliki cakupan makna kebalikanya
yakni as-syira’ (membeli). Namun demikianlah kata bai’ diartikan sebagai
jual-beli.10
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang
dikemukakan Ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing
definisi adalah sama, yaitu tukar menukar barang dengan cara tertentu atau
tukar menukar sesuatu dengan yang sepadan menurut cara yang dibenarkan.
Jual–beli (al–buyu) adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau
memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat
tukar yang sah) 11 . Landasan syar’i yang menjadi dasar di perbolehkan
transaksi jual beli adalah surat al- Baqarah ayat 275 yang berbunyi
9 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: CV. Diponegoro, Cet. 1,1984,
hlm.74. 10
Ghufran A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002,
hlm. 119. 11
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Perdana Kencana Media,
2005, hlm. 101.
6
¨≅ ymr&uρ ª!$# yì ø‹t7 ø9$# tΠ§�ymuρ (#4θt/Ìh�9$# 4 Artinya: Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba………”12
.
Dalam jual beli terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh
kedua belah pihak baik penjual dan pembeli. Adanya rukun dan syarat dalam
jual beli yang telah ditetapkan oleh syara’ bukan lain adalah untuk
dipenuhinya syarat dan rukun tersebut sehingga jual beli yang dilakukan sah
dan bisa dibenarkan oleh syara’.
Namun tentunya dalam praktik kehidupan sehari-hari, tidak bisa
dihindari adanya beberapa permasalahan yang berkaitan dengan jual beli,
dalam konteks ini penambahan beban tagihan rekening listrik. Dalam praktik
jual beli, seringkali ditemukan beberapa persoalan dimana terdapat kurang
atau tidak dipenuhinya syarat dan atau rukun jual beli. Salah satu diantaranya
adalah karena menganut sistem kepercayaan dan mengikuti kebiasaan yang
terjadi di suatu daerah. Dari sinilah timbul masalah, ada beberapa jual beli
yang dianggap shahih atau sah dan ada jual beli yang dianggap ghairu shahih
atau tidak sah. 13
Berdasarkan kerangka pemikiran dan latar belakang di atas, penulis
tertarik untuk mengkaji dan menelitinya lebih dalam yang dipaparkan suatu
karya ilmiah dalam bentuk Skripsi dengan judul: “Tinjauan Hukum Islam
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV. Naladana, 2002,
hlm.58. 13
Husein Syahatah, dan Athiyah Fayyad, Bursa Efek Tahunan Islam Dan Transaksi Di Pasar
Modal Terj. A. Syukur, Surabaya:Pustaka Progesif, 2004, hlm. 3.
7
Terhadap Penambahan Beban Tagihan Rekening Listrik Relevansinya
dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi
Kasus di Loket Pembayaran Ulumul Qur’an Semarang Barat)”
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana praktek penambahan beban tagihan listrik relevansinya dengan
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang penambahan beban listrik
relevansinya dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penulisan skripsi ini sebenarnya untuk menjawab apa
yang dirumuskan dalam rumusan masalah di atas. Di antara tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui sistem penambahan beban tagihan listrik relevansinya
dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam tentang penambahan beban
listrik relevansinya dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
8
D. TELAAH PUSTAKA
Dalam penelitihan skripsi ini penulis melakukan telaah pustaka
dengan membaca buku, mencermati isi buku yang membahas tentang
perjanjian kerja, akad dalam perjanjian yang berhubungan dengan Undang-
Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan buku-buku
yang berhubungan dengan akad serta beberapa skripsi yang membahas
tentang permasalahan yang terkait dengan Undang-undang No.8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :
Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd menerangkan
bahwa golongan Hanabilah berpendapat bahwa jual beli salam hendaklah
pembayaran dilakukan secara tunai, jika tidak dibayarkan secara tunai maka
itu bukan jual beli. Karena dalam jual beli jika barang sudah diterima oleh
pembeli maka penjual berhak menerima pembayaran, jika terjadi
penangguhan pembayaran dikhawatirkan terjadi riba nasi’ah yaitu riba yang
terjadi karena adanya pelambatan pembayaran. Begitu pula syarat-syarat
dalam hal akad harus dilaksanakan dalam satu majelis, antara keduanya
terdapat persesuaian dan tidak terputus, dan tidak digantungkan dengan
sesuatu yang lainya. Shigat transaksi jual-beli tidak dibatasi dengan periode
waktu tertentu.14
14
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid Terj. Imam Ghazali, Jakarta: Pustaka Amani, 2002, hlm.
717
9
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al- Umm juz 1V menerangkan bahwa
Penangguhan waktu sering terjadi pada perjanjian kerja terutama dengan cara
pemesanan atau dalam islam dikenal dengan jual beli Salam, ini dapat terjadi
karena banyaknya faktor yang menjadi alasan dan latar belakang yang
beragam. Beliau juga menjelaskan bahwa perjanjian ataupun jual beli dengan
menangguhkan waktu sebenarnya kurang baik karena yang nantinya
mengandung unsur penipuan, kalaupun ada penangguhan waktu maka waktu
yang ditangguhkan haruslah jelas, minimal tiga hari setelah penerimaan
barang maka pembayaran haruslah dilaksanakan. 15
Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah menjelaskan dalam jual beli
salam ataupun istishna’ tentang penagguhan waktu pembayran kalangan
Syafi’I berpendapat boleh saja untuk waktu sesaat (waktu sekarang) karena
jika diperbolehkan penangguhan bisa jadi ada resiko penipuan, maka hukum
boleh juga lebih utama. Peneyebutan tempo dalam dalam hadits tersebut
bukan untuk penangguhan, akan tetapi bermakna untuk waktu yang
diketahui. Menurut Syaukani pendapat kalangan Syafi’i adalah benar bahwa
tidak menjadikan penangguhan sebagai landasan mengingat ada dalil yang
mendukungnya, dan bukan lazim berhukum tanpa dalil. Bagi yang
menyatakan bahwa tidak harus berdasarkan penangguhan, dan tidak ada
keringanan kecuali untuk as-salam yang tidak ada bedanya dengan jual beli
hanya masalah tempo waktu yang ditangguhkan. Dengan demikian terdapat
perbedaan kalimat akad yang digunakan. Imam Malik juga menerangkan
15
Ghufran A. Mashadi, Op. cit, hlm. 208.
10
bahwa dibolehkan penetapan batas waktu hingga masa panen, masa potong
dan penyerahan salam diketahui dengan jelas, seperti berapa bulan dan
tahunya.16
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Ketidakjelasan Waktu Penangguhan Pembayaran Dalam Perjanjian Jual Beli
Mebel (Studi Kasus Perjanjian Jual Beli Mebel Antara Pengrajin Visa Jati di
Jepara Dengan PT HM furniture di Semarang), disusun oleh Ana Nuryani
Latifah, dijelaskan bahwa ketidakjelasan waktu penangguhan pembayaran
dalam perjanjian jual beli mebel dikarenakan pihak perusahaan penerima
barang harus menunggu pembayaran dari pihak asing, baru setelah nantinya
pihak eksportir membayar kepada perusahaan penerima barang jadi akan
membayar barang yang sudah dibuat oleh pengrajin. Akan tetapi pihak
perusahaan penerima barang jadi tidak menyebutkan waktu pembayaran
dalam perjanjian jual beli kepada pengrajin, sehingga pengrajin terkatung-
katung menunggu pembayaran yang ditangguhkan dan tidak diketahui secara
jelas waktunya. Dan pada akhirnya berakibat pada resiko penipuan terhadap
pihak pengrajin, yang sangat merugikan pengrajin.
Karya Skripsi yang ditulis oleh Khamidun Fakultas Hukum
UNISSULA tentang “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis
Asuransi Dalam Klausula Buku Menurut UU NO. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen”. Dalam skripsinya ini, penulis lebih menitik
16
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah Terj. Nor Hasanudin, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007. hlm 168-
169.
11
beratkan skripsinya pada praktek perjanjian antara pemegang Polis dengan
perusahaan Asuransi. Apabila perjanjian tersebut sebagai suatu perjanjian
yang menegaskan tentang pemenuhan hak dan kewajiban yang mengikat
pihak penanggung dan tertanggung, maka kedua belah pihak harus mentaati
seluruh isi perjanjian, karma salah satu pihak tidak memenuhi maka dapatlah
dikatakan pihak yang ingkar janji tersebut telah wanprestasi dan berhak
menuntut ganti kerugian, menurut Undang-undang No.8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan konsumen.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan beberapa
metode, hal ini dimaksudkan agar dalam penulisan itu sistematis dan dapat
mencapai tujuan sesuai dengan judul skripsi ini.17
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan atau field research,
yaitu kegiatan yang dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu baik di
lembaga-lembaga dan organisasi masyarakat (sosial) maupun lembaga
pemerintahan. Hal ini dilakukan guna mendapatkan data-data tertentu dan
benar. Lapangan atau obyek penelitian ini adalah Kantor PT.PLN Persero
di wilayah Semarang, loket pembayaran rekening listrik loket PPOB
17
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Di Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, Cet. Ke-6, 1993, hlm. 31.
12
Ulumul Qur’an, kantor LP2K dan rumah warga masyarakat selaku
konsumen listrik.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yaitu suatu cara untuk memperoleh bahan-
bahan keterangan atau kenyataan yang benar sehingga dapat di
pertanggung jawabkan.
Guna memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan:
a) Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,
dokumen peraturan, notulen rapat atau sebagainya.
Metode ini digunakan untuk mendapatkan data yang relevan dengan
topik penelitihan, diantaranya adalah dokumentasi dan transaksi loket
PPOB Ulumul Qur’an, dokumen kontrak kerja antara PLN dengan
konsumen dan yang sejenisnya, data-data tersebut penulis uraikan di
bab II dan III.
b) Metode Interview
Metode interview yakni usaha mengumpulkan informasi dengan
mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk menjawab secara
lisan pula.18 Dengan metode ini diharapkan dapat memperoleh jawaban
secara langsung, jujur dan benar serta keterangan yang lengkap dari
18
Ibid, hlm. 111
13
interview sehubungan dengan obyek penelitian, sehingga dapat
memperoleh informasi yang valid dengan bertanya langsung kepada
interview. Dalam hal ini interviewnya adalah orang yang terlibat dalam
kasus ini sendiri, pengelola dan karyawan Loket Ulumul Qur’an.
Dengan metode ini, penulis gunakan secara bebas terpimpin di mana
sebelum memulai mengajukan pertanyaan, penulis menyiapkan pokok-
pokok penting yang akan dan untuk selanjutnya penulis dalam
mengajukan pertanyaan bebas dengan kalimat sendiri.19 adapun daftar
pertanyaan terlampir.
c). Metode Observasi
metode observasi ialah suatu usaha untuk mengumpulkan data yang
dilakukan secara sistematis, dengan prosedur yang ada. Hal ini
berkaitan dengan mengamati proses transaksi di Loket Ulumul Qur’an.
Adapun observasi dilakukan secara langsung. Metode ini juga
dijadikan tahapan yang digunakan untuk memperoleh data-data dari
sebuah penelitian.
3. Sumber Data
Penelitian ini memiliki dua sumber data yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber data
pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian, 20 yakni perjanjian
19
Ibid, hlm. 116. 20
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 1983,
hlm.84.
14
Jual beli antara: Abdul Kholik (konsumen) dengan PLN (produsen),
dan hasil wawancara.
15
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang berasal dari orang kedua bukan data
yang datang secara langsung, namun data-data ini mendukung
pembahasan penelitian, untuk itu beberapa sumber buku atau data,
yang akan membantu mengkaji secara kritis diantaranya yaitu buku-
buku yang berkaitan dengan tema penelitian tersebut.21
4. Metode Analisis Data
Setelah penulis memperoleh data yang diperlukan dan cukup
memadai, maka data-data tersebut akan penulis analisis dengan
menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu metode yang dipakai
untuk membantu dalam menggambarkan keadaan yang mungkin terdapat
dalam situasi tertentu, dan untuk membantu dalam mengetahui bagaimana
mencapai tujuan yang diinginkan.
Data yang diperoleh dianalisis dan digambarkan secara menyeluruh
dari fenomena yang terjadi pada praktek penambahan beban tagihan listrik
relevansinya dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dalam perspektif hukum Islam.
F. Sistematika Penulisan
Sebelum penulis menuju kepada pembahasan secara terperinci dari
bab ke bab dan dari halaman ke halaman yang lainya, ada baiknya penulis
sajikan gambaran secara singkat tentang sistematika penulisan skripsi ini.
21
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi), Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya Offset, 2006, hlm. 206
16
Dengan demikian diharapkan dapat membantu pembaca untuk bisa
menangkap seluruh cakupan materi yang ada di dalamnya secara integral.
Pembahasan secara keseluruhan dalam skripsi ini terbagi dalam lima
bab. Masing-masing bab memiliki kaitan antar satu dengan yang lainnya.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang akan membahas tentang garis besar
penulisan skripsi ini, oleh karena itu pembicaraan akan terpusat pada
persoalan yang melatar belakangi permasalahan dalam skripsi ini. Agar
pembahasan skripsi ini tidak meluas penulis membuat batasan pokok
permasalahan sehingga penulisan ini akan jelas, dan terarah tujuannya.
Dengan telaah pustaka maka akan diketahui posisi masalah yang akan
diabahas dalam hubungannya dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
para peneliti sebelumnya. Dalam mendapatkan penulisan yang baik dan
terarah, ilmiah, serta sistematis haruslah didukung oleh metode yang sesuai
dan dapat di pertanggung jawabkan. Terakhir dalam bab ini, penulis akan
mengemukakan sistematika penyusunan dengan harapan akan lebih
memepermudah dalam penulisanya. Dengan demikiann dalam bab
pendahuluan ini ada enam sub bab yang akan di bahas yaitu latar belakang
masalah, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penelitian, telaah pustaka,
metode penulisan dan sistematika penulisan skripsi ini. Pada dasarnya bab ini
tidak termasuk dalam materi kajian skripsi, tetapi lebih tepat ditekankan pada
pertanggung jawaban ilmiah dan akademis.
17
Bab II berisi landasan teoritik: Akad, Sesuai dengan judul skripsi ini
maka pembahasan pada bab ini akan terpusat pada tinjauan umum tentang
pengertaian Akad, dasar hukumnya, syarat dan rukun Akad dan ketentuan –
ketentuan lainya.
Bab III berisi praktik penambahan beban tagihan listrik relevansinya
dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.antara Loket
Ulumul Qur’an dan pelanggan (konsumen). Disini penulis mencoba untuk
memahami tentang kondisi loket Ulumul Qur’an, dalam bab ini juga penulis
memahami tentang praktek penambahan beban tagihan rekening listrik dalam
perjanjian jual beli antara pelanggan (konsumen) dengan PLN (produsen)
yang terjadi di tempat penelitian, serta tinjauan hukum Islam tentang
penambahan beban tagihan rekening listrik di loket Ulumul Qur’an
Semarang Barat.
Bab IV Berisi: Tinjauan hukum Islam Terhadap penambahan tagihan
rekening listrik relevansinya dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Bab ini adalah analisis sebagai permasalahan inti
dalam penulisan skripsi. Bab ini terbagi menjadi dua sub bab, yaitu analisis
dalam bab ini akan mengungkapkan analisis tentang sistem penambahan
beban tagihan rekening listrik menurut undang-undang perlindungan
konsumen dan analisis tinjauan hukum Islam tentang penambahan beban
tagihan rekening listrik di loket Ulumul Qur’an Semarang Barat.
Bab V adalah Penutup, yang terdiri dari tiga sub bab, yaitu
kesimpulan, saran-saran dan penutup.
18
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG AKAD
A. Pengertian Akad dan Dasar Hukumnya
Akad berasal dari kata al-‘aqd secara bahasa berarti ikatan, mengikat
(al-rabth) yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan
mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung
dan menjadi seperti seutas tali yang satu .22
Dalam al-Qur’an terdapat dua istilah yang berhubungan dengan
perjanjian yaitu, al-‘aqd (akad) dan al-‘ahdu (janji). Kata l-‘aqdu terdapat
dalam QS. Al-Ma’idah ayat 1 yaitu:
$ yγ •ƒr'≈tƒ š Ï% ©!$# (#þθãΨtΒ#u (#θèù÷ρ r& ÏŠθà) ãèø9$$ Î/
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.(QS.al-Maidah: 1)23
Sedangkan istilah al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian
terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 76 yaitu:
4’n? t/ ôtΒ 4’nû÷ρ r& Íν ωôγ yèÎ/ 4’s+ ¨?$# uρ ¨β Î*sù ©!$# �=Åsムt É) −Gßϑ ø9$#
Artinya:”Bukan demikian, sebenarnya siapa yang menepati janji (yang
dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa.”(QS. Ali Imran: 76).24
Menurut istilah pengertian akad antara lain dikemukakan:
22
Gufron A. Mas’adi, Loc.Cit 23
Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.107 24
Ibid, hlm. 60
19
3&:� .إر�($ط إی-$ب ب0(�ل "&� وج3 �4�وع ی6(8 أث�; !�
Artinya: “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuna syara’ yang berdampak pada obyeknya.” 25
$%>� $0� �?$0 �D �(�ل ا��C او ا �B م ا �اح� ا E�! �F �--%�ع ای-$ب اح�ا
Artinya: “Berkumpulnya serah terima diantara dua pihak atau perkataan
seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak.”
-�G%�: �D ذ H اCر�($ط ا $%>� $0� %�ع اCی-$ب وا 0(�ل اد"$ ی�0م
Artinya: “ Terkumpulnya persyaratan serah terima atau sesuatu yang
menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum.”
ربN اجMاء ا ���ف ب$Cی-$ب وا 0(�ل ش�"$
Artinya:” Ikatan atas bagian-bagian tasharruf menurut syara’ dengan cara
serah terima.”26
Akad seperti yang disampaikan definisi di atas merupakan salah satu
bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan tasharruf. Musthafa az-Zarqa
mendefinisiskan tasharruf adalah segala sesuatu (perbuatan ) yang bersumber
dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat
hukum (hak dan kewajiban). 27 Menurut Musthafa az-Zarqa tasharruf
memiliki dua bentuk, yaitu: 28
a. Tasharruf fi’li (perbuatan). Tasharruf fi’li adalah usaha yang dilakukan
manusia dari tenaga dan badannya, seperti mengelola tanah yang tandus.
25
Hamzah Ya’qub, Op.Cit, hlm. 71 26
Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah, Jakarta , PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 46 27
Ghufron A. Mas’adi, Op cit, hlm. 77 28
Ibid, hlm. 78
20
b. Tasharruf qauli (perkataan). Tasharruf qauli adalah usaha yang keluar
dari lidah manusia. Tidak semua perkataan manusia digolongkan pada
suatu akad. Ada juga perkataan yang bukan akad, tetapi merupakan suatu
perbuatan hukum. Tasharruf qauli terbagi dalam dua bentuk, yaitu
sebagai berikut:
1) Tasharruf qauli aqdi dalah suatu yang dibentuk dari dua ucapan dua
pihak yang saling bertalian, yaitu dengan mengucapkan ijab dan qabul.
Pada bentuk ini ijab dan qabul yang dilakukan para pihak ini disebut
dengan akad yang kemudian akan melahirkan suatu perikatan diantara
mereka.
2) Tasharruf qauli ghoiru aqdi merupakan perkataan yang tidak bersifat
akad atau tidak ada ijab dan qabul. Perkataan ini ada yang berupa
pernyataan dan ada yang berupa perwujudan.
a) Perkataan yang berupa pernyataan yaitu pengadaan suatu hak atau
mencabut suatu hak (ijab saja), seperti ikrar wakaf, ikrar talak,
pemberian hibah. Namun ada juga yang tidak sependapat mengenai
hal ini bahwa ikrar wakaf dan pemberian hibah bukanlah suatu
akad. Meskipun pemberian wakaf dan hibah hanya ada pernyataan
ijab saja tanpa ada pernyataan qabul kedua tasharruf ini tetap
termasuk dalam tasharruf yang bersifat akad.
b) Pernyataan yang berupa perwujudan yaitu dengan melakukan
penuntutan hak atau dengan perkataan yang menyebabkan adanya
nisbat hukum, seperti gugatan, pengakuan di depan hakim,
21
sumpah. Tindakan tersebut tidak bersifat mengikat, sehingga tidak
dapat dikatakan akad, tetapi termasuk perbuatan hukum.29
B. Rukun dan Syarat Akad
Dalam melaksanakan suatu akad, terdapat rukun dan syarat yang harus
dipenuhi. Rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.30 Sedangkan syarat
adalah Sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia
berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum
pun tidak ada.31
Mengenai rukun akad terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ahli fiqih. Di kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya
sighat al-‘aqd, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan syarat akad adalah al-‘aqd
(subjek akad) dan mahallul ‘aqd (objek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain
dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqd (perbuatan
hukum akad). Kedua hal tersebut berada di luar perbuatan akad. Berbeda
halnya dengan pendapat dari kalangan madzhab Syafi’i termasuk imam
Ghazali dan kalangan madzhab Maliki termasuk Syihab Al- Karakhi, bahwa
29
Gemala Dewi, Op.Cit, hlm. 48-49 30
Abdul Azis Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996, hlm. 1510 31
Ibid, hlm. 1691
22
al-‘aqidain dan mahallul aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut
merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad. 32
Menurut jumhur ulama rukun akad adalah al-‘aqidain, mahallul ‘aqd,
sighat al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa Az-Zarqa menambah
maudhu’ul ‘aqd (tujuan akad). Ia tidak menyebut keempat hal tersebut dengan
rukun, tetapi dengan muqawimat ‘aqd (unsur-unsur penegak akad). 33
Sedangkan menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut
merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya
suatu akad.34
1. Pihak-pihak yang berakad (al-‘aqidain)
Al-‘aqidain adalah orang yang melakukan akad, yaitu pembeli
dan penjual disyaratkan dewasa, berakal, baligh. Ulama Malikiyah dan
Hanafiyah mensyaratkan Aqid (orang yang berakad) harus berakal
yakni sudah mumayiz, anak yang agak besar yang pembicaraanya dan
jawaban yang dilontarkan dapat dipahami, serta berumur minimal 7
tahun. Oleh karena itu, dipandang tidak sah suatu akad yang dilakukan
oleh anak kecil yang belum mumayiz, orang gila dan lain–lain. Adapun
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan Aqid harus balig
(terkena perintah syara’) berakal dan telah mampu memelihara agama
dan hartanya. Dengan demikan ulama Hanabilah membolehkan seorang
32
Ghufron A. Ms’adi, Op cit, hlm.79 33
Ibid, hlm. 81 34
Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddiqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 23.
23
anak kecil membeli barang dan tasharruf atas seizin walinya.35 Untuk
lebih jelas tentang persyaratan aqid, berikut ini akan dijelaskan secara
terperinci.
1) Ahli Akad
Secara bahasa ahli adalah suatu kepantasan atau kelayakan.
Sedangkan menurut istilah adalah kepantasan seseorang untuk
menetapkan hak yang telah ditetapkan baginya dan pantas untuk
beraktifitas atas barang tersebut.
Ahli akad terbagi dua, yaitu ahli wujud dan ahli ahli ‘ad (
pemenuhan atau pelaksanaan kewajiban)
a. Ahli Wujud
Yaitu kepantasan atau kelayakan seseorang untuk
menetapkan suatu kemestian yang harus menjadi haknya, seperti
kepantasan menetapkan harga yang harus diganti oleh seorang yang
telah merusak barangnya atau menetapkan harga.36
b. Ahli ‘ada
Ahli ‘ada adalah kelayakan seseorang untuk memenuhi
kewajiban yang telah ditetapkan syara’ seperti shalat, puasa, dan
haji.37.
2) Al Wilayah ( Kekuasaan )
35
Hendi Suhendi, Op.Cit, hlm. 73. 36
Syafi’I Rahmat, Loc.Cit, 37
Ibid, hlm. 56
24
Wilayah menurut bahasa adalah penguasaan terhadap suatu
urusan dan kemampuan menegakkannya. Menurut istilah wilayah
adalah kekuasaan seseorang berdasarkan syara’ yang menjadikannya
untuk melakukan akad dan tasyarruf. Perbedaan antara ahli akad dan
wilayah, antara lain ahli akad adalah kepantasan seseorang untuk
berhubungan dengan akad, sedangkan al wilayah adalah kepantasan
seseorang untuk melaksanakan akad.38
2. Obyek akad (mahallul ‘aqd)
Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenisnya,
ciri-ciri dan ukuranya. Syarat barang yang diserahkan kemudian
haruslah dalam status tanggungan, kriteria barang tersebut menunjukan
kejelasan jumlah dan sifat–sifatnya yang membedakan dengan lainnya
sehingga tidak menimbulkan fitnah dan batas waktu diketahui dengan
jelas. 39
Dalam hal ini ma’qud alaih adalah obyek akad atau benda-
benda yang dijadikan akad yang bentuknya membekas dan tampak.
Barang tersebut dapat berbentuk harta benda seperti barang dagangan,
benda bukan harta seperti dalam akad pernikahan.
Dalam Islam, tidak semua barang dapat dijadikan objek akad,
misalnya minuman keras. Oleh karena itu, fuqaha menetapkan empat
syarat dalam objek akad berikut ini:
1) Ma’qud ’Alaih (Barang) Harus Ada ketika Akad
38
Ibid, hlm. 57
18 Sayid Sabiq Fiqih Sunnah Terj. Nor Hasanudin, Loc.Cit
25
Berdasarkan syarat ini, barang yang tidak ada ketika akad tidak
sah dijadikan objek akad seperti jual beli yang sesuatu yang masih di
dalam tanah atau menjual anak kambing yang masih berada dalam
kandungan induknya. Sebenarnya dalam beberapa hal syara’
membolehkan jual beli atas barang yang tidak ada, seperti menjual buah–
buahan yang masih di pohon setelah tampak buahnya dengan syarat-
syarat tertentu.40
Transaksi salam tidak mensyaratkan barang berada pada pihak
penjual akan tetapi hanya diharuskan ada pada waktu yang ditentukan.
Dalam as salam jika kedua belah pihak tidak menyebutkan
tempat serah terima jual beli pada saat akad, maka jual beli dengan cara as
salam tetaplah sah, hanya saja tempat ditentukan kemudian, karena
penyebutan tempat tidak di jelaskan di dalam hadist. Apabila tempat
merupakan syarat tentu maka Rasulullah SAW akan menyebutkannya,
sebagaimana ia menyebutkan takaran, timbangan dan waktu.41
2) Ma’qud ‘Alaih Harus Masyru’( sesuai dengan ketentuan syara)
Ulama fiqh sepakat bahwa barang yang dijadikan akad harus
sesuai dengan ketentua syara’. Oleh karena itu dipandang tidak sah, akad
atas barang yang diharamkan.
3) Dapat Diberikan Waktu Akad
Disepakati oleh ahli fiqh bahwa barang yang dijadikan akad
harus dapat diserahkan ketika akad. Dengan demikian, ma’qud ‘alaih yang
40
.Syafi’I Rahmat, Op. Cit, hlm. 58 41
Ibid, hlm.170
26
tidak diserahkan ketika akad seperti jual beli burung yang masih ada di
udara tidak di pandang sebagai akad.
Akan tetapi dalam akad tabarru (derma) menurut imam Malik di
bolehkan, seperti hibah atas barang yang kabur, sebab pemberi telah
berbuat kebaikan, sedangkan yang diberi tidak mengharuskanya untuk
menggantikanya dengan sesuatu, sehingga tidak terjadi percekcokan.42
Transaksi salam tidak mensyaratkan barang berada pada pada
pihak penjual akan tetapi hanya diharusakan ada pada waktu yang
ditentukan.43
4) Ma’qud ‘Alaih Harus Diketahui Oleh Kedua Belah Pihak yang Akad
Ulama fiqh menetapkan bahwa ma’qud ‘alaih harus jelas
diketahui oleh kedua pihak yang berakad. Larangan sunnah sangat jelas
dalam jual beli gharar, dan barang yang tidak diketahi oleh pihak yang
berakad.44
5) Ma’qud ‘Alaih Harus Suci
Ulama selain Hanafiyah menerangkan bahwa ma’qud alaih
harus suci tidak najis dan tidak mutanajis. Dengan kata lain ma’qud ‘alaih
yang dijadikan akad adalah segala sesuatu yang suci, yang dapat
dimanfaatkan menurut syara’.45
Dalam akad salam barang yang dipesan harus bisa diserahkan
pada waktu yang ditentukan tidak boleh mundur juga bagaimana cara
21
ibid, hlm. 60 22
Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 170.
23Syafi’I Rahmat, Op.Cit, hlm. 60 45
Ibid, hlm. 61
27
penyerahan barang tersebut apakah barang itu diantar ke rumah pemesan
atau di pasar atau pemesan nantinya yang akan mengambil sendiri barang
tersebut. Dalam pesanan juga tidak boleh adanya khiyar syarat artinya
kalau barangnya sudah ada dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan lantas
tidak cocok akan dikembalikan. Barang yang sudah sesuai dengan
ketentuan harus diterima.46
3. Pernyataan untuk mengikatkan diri ( sighah al-’aqd)
Sighat al-’aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang nelakukan
akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang
dinyatakan oleh salah satu dari seseorang yang berakad yang
mencerminkan kesungguhan kehendak untuk mengadakan akad.47
Para ulama menetapkan tiga syarat dalam ijab dan qabul, yaitu:
a) Ijab dan qabul harus jelas maksudnya, sehingga di pahami oleh
pihak yang melakukan akad
b) Antara ijab dan qabul harus sesuai
c) Antara ijab dan qabul harus bersambung dan berada di tempat yang
sama jika kedua belah pihak hadir, atau berada di tempat yang sudah
diketahui oleh keduanya.48
Segala macam pernyataan akad dan serah terima dilahirkan dari
jiwa yang saling merelakan untuk menyerahkan barangnya masing-
25. Imam Taqiyuddin Abu Baker Ibnu Muhammad Al-Hussaini,Loc.Cit 47
Gemala Dewi, Op-cit, hlm. 63
27.Syafi’I Rahmat, Op. Cit, hlm. 52.
28
masing kepada siapa yang melakukan transaksi. Prinsipnya dalam Al-
Qur’an surat, An-Nisaa’ ayat 29
���ا Q� Cآ&�ا أ��ا �� ب���� ب$ ($OP إC أن ���ن R EیS� ی$ أیT<$ ا��� إن� ا &�3 آ$ن ب�� رح�%$V0��&�ا أن Cو ���� �-$رة "E ��اض
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”.49
(Q.S. An-nisaa’: 29)
Segala macam pernyataan akad dan serah terima, dilahirkan dari
jiwa yang saling merelakan (taradli) untuk menyerahkan barangnya
masing-masing kepada siapa yang melakukan transaksi. Dengan
demikian penyerahan barang itu dapat diartikan sebagai ijabnya,
sekalipun tanpa kalimat penyerahan, dan sebaliknya penerimaan barang
itulah qabulnya, sekalipun tanpa kalimat yang diucapkan.
Ijab dan qabul dapat dilakukan dengan empat cara berikut ini:
a) Lisan
Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam perkataan secara
jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan qabul yang
dilakukan oleh para pihak .
b) Tulisan
Adakalanya suatu perikatan dilakukan secara tertulis. Hal ini dapat
dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung dalam
49
Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 84.
29
melakukan perikatan, atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya
lebih sulit, seperti perikatan yang dilakukan oleh badan hukum.
c) Isyarat
Suatu perikatan tidaklah hanya dilakukan orang normal, orang cacat
pun dapat melakukan suatu perikatan, apabila cacatnya adalah suatu
wicara, maka dimungkinkan akad dilakukan dengan isyarat, asalkan
para pihak yang melakukan perikatan tersebut memiliki pemahaman
yang sama.
d) Perbuatan
Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini perikatan
dapat pula dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan,
tertulis ataupun isyarat. Hal ini dapat disebut ta’athi atau mu’athah
(saling memberi dan menerima) . adanya perbuatan memberi dan
menerima dari pihak yang saling memahami perbuatan perikatan
tersebut dan segala akibat hukumnya. Hal ini sering terjadi pada
proses jual beli di supermarket yang tidak ada proses tawar
menawar.50
C. Bentuk-bentuk Akad
Para ulama fiqih, mengemukakan bahwa pembagian bentuk akad dapat
dilakukan dari berbagai aspek dan sudut pandang yang berbeda-beda. Antara
lain dilihat dari penjelasan berikut ini.
50
Gemala Dewi, Op.cit, hlm.64
30
1. Dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, maka akad terbagi dua,
akad sahih dan tidak sahih.
a. Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi hukum dan syarat-syarat
nya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlaku seluruh akibat hukum
yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang
berakad. Akad sahih menurut ulama’ Hanafi dan Maliki terbagi
menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
1) Akad nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang
dilangsungkan dengan memenuhi hukum dan syarat nya dan tidak
ada penghalang untuk melaksanakannya.
2) Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap
bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan akad itu.
b. Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada
rukun atau syarat-syarat nya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu
tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama’
Hanafi membagi akad yang tidak sahih itu menjadi dua macam, yaitu
sebagai berikut:
1) Akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya
atau ada larangan langsung dari syara’, seperti akadnya orang gila
atau cacat pada sighat akadnya.
31
2) Akad fasid, yaitu akad yang pada dasarnya disyari’atkan, tetapi sifat
yang diakadkan itu tidak jelas, seperti adanya unsur tipuan.51
2. Dilihat dari segi penamaannya, para ulama fiqih membagi akad menjadi
dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh
syara’ serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa-
menyewa, perikatan dan lain-lain.
b. Akad ghair musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh
masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang zaman dan
tempat, seperti istishna’, bai’ al-wafa dan lain-lain. 52
3. Dilihat dari segi disyari’atkannya akad atau tidak, terbagi dua yaitu
sebagai berikut:
a. Akad musyara’ah, yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’,
umpamanyan jual beli, jual harta yang ada harganya dan termasuk juga
hibah, dan rahn (gadai)
b. Akad mamnu’ah, yaitu akad-akad yang dilarang syara’, seperti menjual
anak binatang yang masih dalam kandungan.
4. Dilihat dari sifat bendanya, akad dibagi dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Akad ‘ainiyah, yaitu akad yang disyaratkan kesempurnaannya dengan
melaksanakan apa yang diakadkan itu, misalnya benda yang dijual
diserahkan kepada yang membeli.
51
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, hlm. 108 52
Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy, Op.Cit, hlm. 109
32
b. Akad ghairu ‘ainiyah, yaitu akad yang hasilnya semata-mata
berdasarkan akad itu sendiri.53
5. Dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad. Dari sudut ini dibagi dua
pula:
a. Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu.
Misalnya, pernikahan yang harus dilakukan dihadapan para saksi.
b. Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya, jual beli yang
tidak perlu di tempat yang ditentukan dan tidak perlu dihadapan
pejabat.54
6. Dilihat dari dapat tidaknya dibatalkan akad. Dari segi ini akad dibagi
empat macam:
a. Akad yang tidak dapat dibatalkan, yaitu ‘aqduzziwaj. Akad nikah tidak
dapat dicabut, meskipun terjadinya dengan persetujuan kedua belah
pihak. Akad nikah hanya dapat diakhiri dengan jalan yang ditetapkan
oleh syari’at, seperti talak, khulu’ atau karena putusan hakim.
b. Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak, seperti
jual beli, shulh, dan akad-akad lainnya.
c. Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak
pertama. Misal, rahn dan kafalah.
d. Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggui persetujuan pihak yang
kedua, yaitu seperti: wadi’ah, ‘ariyah, dan wakalah.55
53
Ibid, hlm. 110 54
Ibid, hlm. 111 55
Ibid, hlm. 112
33
7. Dilihat dari segi tukar-menukar hak. Dari segi ini akad dibagi tiga:
a. Akad mu’awadlah, yaitu: akad-akad yang berlaku atas dasar timbal
balik seperti jual beli, sewa-menyewa, shulh dengan harta, atau shulh
terhadap harta dengan harta.
b. Akad tabarru’at, yaitu: akad-akad yang berdasarkan pemberian dan
pertolongan, seperti hibah dan ‘ariyah.
c. Akad yang mengandung tabarru’ pada permulaan tetapi menjadi
mu’awadlah pada akhirnya, seperti qardh dan kafalah.56
8. Dilihat dari segi keharusan membayar ganti dan tidak, maka dari segi ini
dibagi tiga golongan:
a. Akad dhamanah, yaitu tanggung jawab pihak kedua sesudah barang-
barang itu diterimanya, seperti jual beli, qardh menjadi dhamanah
pihak yang kedua sesudah Barang itu diterimanya.
b. Akad amanah yaitu tanggung jawab dipikul oleh yang empunya, bukan
oleh yang memegang barang , missal, syirkah, wakalah.
c. Akad yang dipengaruhi beberapa unsure, dari satu segi yang
mengharuskan dhamanah, dan dari segi yang lain merupakan amanah
yaitu: ijazah, rahn, shulh.
9. Dilihat dari segi tujuan akad dibagi menjadi empat golongan:
a. Yang tujuannya tamlik, seperti, jual beli, mudharabah.
b. Yang tujuannya mengokohkan kepercayaan saja, seperti rahn dan
kafalah.
56
Ibid, hlm. 113
34
c. Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan seperti wakalah, wasiat.
d. Yang tujuannya memelihara, yaitu: wadi’ah.57
10. Dilihat dari segi waktu berlakunya, terbagi dua yaitu sebagai berikut:
a. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang pelaksanaannya tidak
memerlukan waktu yang lama. Misalnya, jual beli dengan harga yang
ditangguhkan, shulh, qaradh dan hibah.
b. Akad mustamirah, dinamakan juga akad zamaniyah, yaitu akad yang
pelaksanaannya memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi dalam
pelaksanaannya. Contoh: ijarah, ‘ariyah, wakalah dan syirkah.
11. Dilihat dari ketergantungan dengan yang lain, akad dari segi ini dibagi dua
juga, yaitu sebagai berikut:
a. Akad asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri, tidak memerlukan adanya
sesuatu yang lain, misalnya jual beli, ijarah, wadi’ah, ‘ariyah.
b. Akad tab’iyah, yaitu akad yang tidak dapat bediri sendiri karena
memerlukan sesuatu yang lain, seperti: rahn dan kafalah.58
12. Dilihat dari maksud dan tujuannya, akad terbagi atas dua jenis, yaitu
sebagai berikut:
a. Akad tabarru’, yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni
semata-mata karena mengharap ridho dan pahala dari Allah, sama
sekali tidak ada unsure mencari “return” ataupun motif. Akad yang
termasuk dalam kategori ini adalah:
57
Ibid, hlm. 114 58
Gemala Dewi, ,Op.Cit, hlm. 63
35
1) Hibah
Hibah adalah akad yang obyeknya mengalihkan hak milik
kepada orang lain secara Cuma-Cuma tanpa adanya bayaran.59
2) wakaf
Secara etimologis, istilah wakaf berasal dari kata waqf,
yang bisa bermakna habs (menahan). Istilah waqf sendiri
diturunkan dari kata waqafa-yaqifu-waqfan, artinya sama dengan
habasa-yahbisu-habsan (menahan).
Dalam syariat, wakaf bermakna menahan pokok dan
mendermakan buah atau dengan kata lain, menahan harta dan
mengalirkan manfaat-manfaatnya di jalan Allah.60
3) Wasiat
Wasiat adalah suatu akad dimana seseorang manusia
mengharuskan di masa hidupnya mendermakan hartanya untuk
orang lain yang diberikan sesudah wafatnya.61
4) Rahn
Secara etimologi kata ar- rahn berarti tetap, kekal dan
jaminan. Akad rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan
barang jaminan atau agunan. Ada beberapa definisi rahn yang
dikemukakan para ulama fiqih.
59
Hasbi ash-Shiddieqy. Op. Cit, hlm. 98 60
Sayyid Sabiq
, Op.Cit, hlm. 161
61 Ibid, hlm. 107
36
Ulama Maliki mendefinisikannya dengan harta yang
dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat
mengikat. Ulama Hanafi mendefinisikannya dengan menjadikan
sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) itu baik,
seluruhnya maupun sebagian. Sedangkan ulama Syafi’i dan
Hambali mendefinisikan rahn dengan menjadikan materi
(barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar
utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar
utangnya itu.62
5) Wakalah
Secara etimologi wakalah berarti, al-hifdh (pemeliharaan)
seperti, firman Allah QS. Ali Imron (3): 173:.. “Cukuplah Allah
menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baiknya
pelindung.” Wakalah juga berarti al-Tafwidh (penyerahan),
pendelegasian, atau pemberian mandat. (QS. Hud (11): 56:
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan
Tuhanmu..”, al-Kahfi (18): 19.
Menurut para fuqada, wakalah berarti : “pemberian
kewenangan atau kuasa kepada pihak lain tentang apa yang harus
dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi
pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.”63
6) Kafalah
62
Gemala Dewi, Loc-cit 63
Ibid hlm. 137,
37
Al-Kafalah menurut bahasa berarti al- Dhaman (jaminan),
hamdalah (beban), dan za’amah (tanggungan). Sedangkan
menurut istilah, para ulama mengemukakan definisi yang
berbeda-beda, antara lain adalah : “Menggabungkan satu dzimah
(tanggung jawab) kepada dzimah yang lain dalam penagihan,
dengan jiwa, utang, atau zat benda”.
Istilah kafalah menurut Mazhab Hanafi adalah
memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam tanggung
jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum. Dengan kata lain
menjadikan seseorang ikut bertanggungjawab atas tanggung
jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah nyawa, utang,
atau barang. Meskipun demikian, penjamin yang ikut
bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berhutang, dan utang
pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin.
Sedangkan menurut Mazhab Maliki, Syafi’I da Hambali, kafalah
adalah menjadikan seseorang penjamin ikut bertanggungjawab
atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan atau pembayaran
utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berhutang.
Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat
dibutuhkan dalam mu’amalah dan agar yang berpiutang tidak
dirugikan karena ketidakmampuan yang berhutang.64
7) Hiwalah
64
Ibid, hlm. 360
38
Hiwalah adalah akad pemindahan utang piutang satu pihak
kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak yang terlibat;
muhil atau madin, pihak yang memberi utang (muhal da’in) dan
pihak yang menerima pemindahan (muhal a’alaih). Di pasar
keuangan konvensiomal praktik hiwalah dapat dilihat pada
transaksi anjak piutang (factoring). Namun kebanyakan ulama
tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas
pemindahan utang atau piutang tersebut.65
8) ‘Ariyah
Menurut etimologi, al-ariyah berarti sesuatu yang
dipinjam, pergi, dan kembali atau beredar. Sedangkan menurut
terminologi fiqih, ada dua definisi yang berbeda. Pertama, Ulama
Maliki dan Hanafi, mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat
sesuatu tanpa ganti rugi. Kedua, Ulama Syafi’i dan Hambali
mendefinisikannya dengan kebolehan memanfaatkan barang
orang lain tanpa ganti rugi. Kedua definisi ini membawa akibat
hukum yang berbeda. Definisi pertama membolehkan peminjam
meminjamkan barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga.
Sedangkan definisi kedua tidak membolehkan. ‘Ariyah
merupakan sarana tolong-menolong antara orang yang mampu
dengan yang tidak mampu.66
9) Al qardh
65
Ibid, hlm. 96 66
Nasrun Haroen, Op.Cit, hlm. 238
39
Secara bahasa al-qardh berarti al-qoth' (terputus). Harta
yang dihutangkan kepada pihak lain dinamakan qardh, karena ia
terputus dari pemiliknya.67 Adapun yang dimaksud dengan utang
piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan
perjanjian dia akan membayar yang sana dengan itu.
Pengertian ” sesuatu “ dari definisi diatas mempunyai
makna yang luas, selain dapat berbentuk orang, juga bisa saja
dalam bentuk barang, asalkan barang tersebut habis karena
pemakaian.68
Utang piutang (al qardh) merupakan salah satu bentuk
muamalah yang berbentuk ta’awun (pertolongan) kepada pihak
lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber ajaran islam (al-
Qur’an dan al-Hadist) sangat kuat menyerukan prinsip hidup
gotong royong seperti ini. Bahkan al-Qur’an menyebut piutang
untuk menolong atau meringankan orang lain yang membutuhkan
dengan istilah “menghutangkan kepada Allah dengan hutang baik
“.69
b. Akad tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan
mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi
semuanya. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah:
1) Murabahah
67
Gufron A. Mas’adi, Loc.Cit 68
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukun Perjanjian Dalam Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 136 69
Gufron A. Mas’adi, Op. Cit, hlm. 171
40
Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak
untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan
permohonan pembelian terhadap satu barang dengan keuntungan
atau tambahan harga dan transparan.70
2) As-Salam atau As-Salaf
As-salam dinamakan juga salaf (pendahuluan) yaitu jual
beli barang dengan kriteria tertentu dengan pembayaran sekarang
namun diterima kemudian.71 Para ahli fiqh menyebut juga Bai’al
Mahawij (karena kebutuhan mendesak) karena merupakan jual
beli barang yang tidak ada di tempat akad, dalam kondisi
mendesak bagi dua pihak yang melakukan akad pembeli (pemilik
uang) membutuhkan barang dan penjual (pemilik barang)
membutuhkan pembayarannya sebelum barang selesai untuk
memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan menanam hingga
panen. Bentuk jual beli ini bagian dari kepentingan dan
kebutuhan.72
Transaksi salam merupakan salah satu bentuk yang telah
menjadi kebisaan di berbagai masyarakat. Orang yang
mempunyai perusahaan sering membutuhkan uang untuk
kebutuhan perusahaan mereka, bahkan sewaktu-waktu kegiatan
perusahaannya terhambat karena kekurangan bahan pokok.
70
Gemala Dewi, Op cit, hlm. 111 71
Ibid, hlm 112 72
Sayyid Sabiq Op.Cit, hlm. 167
41
Sedangkan si pembeli selain akan mendapatkan barang yang
sesuai dengan keinginannya, ia pun sudah menolong kemajuan
perusahaan saudaranya. Maka untuk kepentingan tersebut Allah
mengadakan peraturan salam.73
Definisi salam yang diberikan fuqaha berbeda-beda:
Menurut syafi’iyah salam ialah :
�0' �0(�ض ب%-&Y ا E%6ب Oج�Z�[��S�ص�ف ب� ه�"0�"&�
Artinya: Akad yang disepakati dengan menentukan ciri-ciri
tertentu dengan membayar harganya lebih dahulu,
sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam
suatu majelis akad.74
Menurut Malikiyah salam ialah :
Oج E%6% بD� ی0��م !�3 رأس ا %$ل ی���Qا
Artinya: Suatu akad jual beli yang modalnya dibayar terlebih
dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian.75
Adapun dasar hukum yang disyariatkan jual beli salam
bersumber dari Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma’ ulama.
Dasar hukum yang pertama firman Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 281 yaitu:
�%� !$آ�(�; � Oأج � ���ا إذا ��ای��� ب�یE إR EیS� ی$ أیT<$ ا )٢٨٢: ا (�0ة (
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
73
Gemala Dewi, Op. cit, hlm. 114 74
M. Ali Hasan,Op.Cit, hlm. 143 75
Ibid, hlm. 144
42
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-
Baqarah : 282).76
Ayat di atas jelas hukum mubahnya dan perlunya ada
catatan yaitu kata istilah sekarang dengan data administrasi atau
pembukuan, seperti kwitansi dan buku-buku lainnya yang
diperlukan untuk ketertiban dan terjaminnya lupa atau perbuatan
penipuan, serta dalam jual beli hendaknya waktu untuk
pembayaran itu ditentukan.77
Berkenaan dengan ayat ini, Ibnu Abbas berkata: “saya
bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu
tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitabNya dan diizinkan-
Nya” lalu ia membaca ayat tersebut di atas.78
Dasar hukum di atas sesuai dengan tuntunan syari’ah,
prakteknya dibolehkan pula dengan penangguhan waktu
pembayaran dalam jual beli. Selama kriteria barang tersebut
diketahui dengan jelas dan menjadi tanggungan pihak penjual,
dan pembeli yakin akan dipenuhinya kriteria tersebut oleh
penjual ada waktu yang telah ditentukan. Seperti jual beli yang
terkandung dalam ayat tersebut, sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Abbas bahwa selama itu juga ia tidak termasuk dalam
larangan Nabi SAW.
76
Departemen Agama RI,Op.Citt, hlm. 49 77
Drs. Sudarsono. SH.M.Si, Pokok-pokok Hukum Islam, Cet ke 2, Jakrta: Rineka Cipta,
2001, hlm. 415 78
Syafi’I Antonio, Op.cit. hlm. 109
43
Maksud pelarangan tersebut adalah bahwa seseorang
menjual barang tidak dapat diserahkan kepada pembeli. Karena,
barang yang tidak dapat diserahkan berarti bukan miliknya,
sehingga jual beli tersebut merupakan gharar (menipu).
Sedangkan untuk jual beli barang yang memiliki kriteria tertentu,
ada jaminan dan ada prasangka kuat dapat dipenuhi tepat waktu,
maka bukan termasuk menipu.79
Dasar hukum lainnya adalah hadist yang berkaitan dengan
tradisi penduduk Madinah yang didapati oleh Rasulullah pada
awal hijrah beliau ke sana, yaitu tradisi akad salaf (salam) dalam
buah-buahan jangka waktu satu tahun atau dua tahun, beliau
bersabda:
Eب fا�)" E" g�-ن Eا�(�ن$اب[���" Eح�ث�$ص��]ا�(�ن$اب: آE"��6 ابG ا %�<$ل "E ابE "($س رG9 اf "�<%$�$ل ��م ا �(G ص&� اf "&�3 وس&� ا %�ی�]وه� ی�&�Vن
����E وا B6ث �E اس&l !� شV! k� آ�O : !0$ل , ب$ 6%�ا�'&�م Oاج � �'&�م ووزن �'&�م ا.
Artinya: “Diceritakan oleh Sadaqah dikabarkan oleh Ibnu
Uyaiynah dikabarkan oleh Ibnu Najih mengabarkan
kepada kita dari Abdillah Ibnu Katsir dari Abi Minhal
dari Ibnu Abbas ra. Berkata: Nabi SAW datang ke
Madinah dan melihat penduduk disana melakukan jual
beli salaf pada buah-buahan dengan dua atau tiga
tahun, maka Nabi berkata: barang siapa melakukan
jual beli salaf, hendaknya ia melakukan dengan takaran
79
Nasrun Haroen, Op.Cit, hlm. 111
44
yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka
waktu yang diketahui. (HR. Bukhari).80
Dan juga hadits dari Rifa’ah Bin Rafi’:
On3 وس&� س�&" fا G&ص G)� "E ر!$"]ابE را!D أن ا�(�ور Dب� Oب��; وآ Oج� �p أp�P ؟ �$ل "%O ا� أي ا
)روا; ا (Mار(
Artinya: Dari Rifa’ah bin Rafi’. Sesungguhnya Nabi SAW,
ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik,
Nabi Muhammad SAW menjawab: seseorang bekerja
dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur
(HR. Bazzar)81
Salam, kata as-salaf memiliki pengertian yang sama
dengan as-salam. As-salam berasal dari bahasa penduduk Irak
dan kata as-salaf berasal dari bahasa penduduk Hijaz.
Wawazanin ma’lumin huruf all wawu disini berarti “au”
yakni menggunakan takaran dalam barang-barang yang dapat
ditakar atau menggunakan timbangan dalam barang-barang yang
akan digunakan.82
Menurut Hanafiyah, jual beli salam diperbolehkan dengan
alasan salam, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah
menjadi kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama
yang mengingkarinya.
80
Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardzabah
Bukhari Ju’fi, Shahih Bukhari,Loc.Cit 81
Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, subul as Sulam, Kairo: Syirkah Maktabah
Mustafa al-Halabi, 1990, hlm. 4 82
Drs. Taufik Rahman, Hadits-Hadits Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm, 133
45
Menurut ulama Malakiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah akad
salam sah dengan alasan telah menjadi kebiasaan ummat
manusia dalam bertransaksi, dengan catatan terpenuhinya semua
syarat sebagaimana disebutkan dalam akan salam.83
Transaksi jual beli salam memiliki rukun dan syarat yang
harus dipenuhi sehingga sah hukumnya.
Rukun jual beli salam menurut jumhur ulama terdiri atas:
1. Orang yang berakad, baligh dan berakal
2. Barang yang di pesan harus jelas ciri-cirinya, waktunya,
harganya.
3. Ijab dab qabul.84
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga sah
hukumnya. Diantara syarat-syarat yang dimaksud ada yang
berkaitan dengan penukaran dan ada yang berkaitan dengan
barang yang dijual.
Syarat-syarat penukaran adalah sebagai berikut:
1. Jenisnya diketahui
2. Jumlahnya diketahui
3. Diserahkan di tempat yang sama.
Sedangkan syarat-syarat barang (muslam fih) adalah:
1. Berada dalam tanggungan
83
Dimyaudin Adjuaini, Op.Cit, hlm. 138 84
M. Ali Hasan, Loc. Cit. hlm. 145-146
46
2. Dijelaskan dengan penjelasan yang menghasilkan pengetahuan
tentang jumlah dan ciri-ciri barang yang membedakannya dengan
barang yang lain sehingga tidak lagi sesuatu yang meragukan dan
dapat menghilangkan perselisihan yang mungkin akan timbul.
3. Batas waktu diketahui. 85
Dalam as-salam jika kedua pihak tidak menyebutkan
tempat serah terima jual beli pada saat akad, maka jual beli
dengan cara as-salam tetaplah sah, hanya saja tempat ditentukan
kemudian, karena penyebutan tempat tidak dijelaskan di dalam
hadits. Apabila tempat merupakan syarat tentu maka Rasulullah
SAW akan menyebutkannya, sebagaimana ia menyebutkan
takaran, timbangan dan waktu.86
Dalam akad salam barang yang dipesan harus diserahkan
pada waktu yang ditentukan tidak boleh mundur juga bagaimana
penyerahan barang tersebut apakah barang itu diantar ke rumah
pemesan atau di pasar atau pemesan nantinya yang akan
mengambil sendiri barang tersebut. Dalam pesanan juga tidak
boleh adanya khiyar syarat artinya kalau barangnya sudah ada
dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan lantas tidak cocok akan
dikembalikan. Barang yang sudah sesuai dengan ketentuan harus
diterima.87
85
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,Jakarta; Dar fath Lili’lami al-Arabiy, 2009, hlm. 219 86
Syafi’I Rahmat, Loc. Cit. hlm, 170 87
Iman Taqiyuddin Abu Baker Ibnu Muhammad Al-Hussaini, Kifayatul Akhyar, terj. Ahmad
Rifa’I, Semarang: Toha Putra, 1999, hlm. 196
47
Harga dalam akad salam harus dibayarkan secara kontan
dalam majlis akad, ini menurut Hanafiyah. Sedangkan menurut
jumhur, harga pada kedua akad tersebut harus dibayar tunai
ketika akad berlangsung.88
3) Al-Istishna’
Istishna’ merupakan salah satu bentuk dari jual beli salam,
hanya saja obyeknya yang diperjanjikan berupa manufacture
order atau kontrak produksi. Istishna’ didefinisikan dengan
kontrak penjual dan kontrak pembeli dan pembuat barang. Dalam
kontrak ini pembuat barang (Shani) menerima pesanan dari
pembeli (Mustashni) untuk membuat barang dengan spesifikasi
yang telah disepakati kedua belah pihak yang bersepakat atas
harga sistem pembayaran yaitu dilakukan di muka, melalui
cicilan, atau ditangguhkan sampai waktu yang akan datang.89
4) Ijarah
Ijarah menurut ulama Hanafi adalah transaksi terhadap
suatu manfaat dengan imbalan. Menurut ulama Syafi’i adalah
transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu disebut
mubah, dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Sedangkan, menurut Ulama Maliki dan Hambali adalah
88
Gufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektal, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002,
hlm.145 89
Gemala Dewi, hlm. 114
48
pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu
dengan suatu imbalan. 90
5) Mudharabah
Kata mudharabah diambil dari adh-Dlarrbu Fi al-Ardhi
yang artinya kepergian untuk berdagang.
Mudharabah juga disebut dengan qiradh. Yang mana, kata
qiradh berasal dari kata al-qardh yang artinya al-Qath’u
(pemotongan). Karena orang yang memiliki harta memotong
(mengambil, red) sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan
dan mengambil sebagian dari keuntungannya. Selain itu,
mudharabah juga disebut muamalah, yang maksudnya adalah
akad antara dua pihak yang mengharuskan salah satu dari
keduanya untuk menyerahkan sejumlah uang kepada yang lain
untuk diperdagangkan, dengan ketentuan keuntungannya dibagi
sesuai kesepakatan diantara keduanya. 91
6) Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerjasama antara kedua belah
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-
masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan resiko akan di tanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan.92
90
Ibid, hlm 115 91
Sayyid Sabiq, Loc.Cit, hlm. 276 92
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syar’ah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani
Press, hlm. 90
49
D. Perbuatan mengingkari Perjanjian
Ijab dianggap batal dalam hal-hal berikut:
a. pengucap ijab menarik pernyataannya sebelum qabul;
b. adanya penolakan dari salah satu yang akad;
c. berakhirnya tempat akad, yakni kedua pihak yang aad berpisah;
d. pengucap ijab tidak menguasai lagi hidupnya, seperti meninggal,
gila, dan lain-lain sebelum adanya qabul;
e. rusaknya sesuatu yang sedang dijadikan akad, seperti butanya
hewan yang akan dijual atau terkelupasnya kulit anggur, dan lain-
lain.93
E. Tujuan Akad (Maudhu’ul ‘aqd)
Maudhu’ul akad adalah maksud utama disyariatkanya maudhu akad
pada hakikatnya satu arti dengan maksud asli akad dan hukum akad. Hanya
saja, maksud asli akad di pandang sebelum terwujudnya akad: hukum
dipandang dari segi setelah terjadinya akad; sedangkan maudhu akad berada di
antara keduanya.
Pembahasan ini sangat erat kaitanya dengan hubungan antara dzahir
akad dan batinnya. Diantara para ulama, ada yang memandang bahwa akad
93
Abdul Majid, Pokok-Pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan Dalam Islam,
Bandung: IAIN Sunan Gunungjati, 1986, hlm. 48.
50
yang sahih harus bersesuian antara zahir dan batin akad, akan tetapi sebagian
ulama lainya tidak mempermasalahkan masalah batin atau tujuan akad.94
Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menetapkan beberapa hukum akad
yang dinilai secara zahir sah, tetapi makruh tahrim yaitu:
a. Jual beli yang menjadi perantara munculnya riba.
b. Menjual anggur untuk dijadikan khamar.
c. Menjual senjata untuk menunjang pemberontakan atau fitnah, dan lain-
lain.
Adapun ulama Malikiyah, Hanabilah dan Syiah yang
mempermasalahkan masalah batin akad, berpendapat bahwa suatu akad tidak
hanya dipandang dari segi zahirnya saja, tetapi juga batin. Dengan demikian,
tujuan memandang akad dengan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan
ketentuan syara’ dianggap batal.
Keinginan mengadakan akad terbagi dua, yaitu berikut ini;
a. Keinginan Batin ( Niat atau Maksud)
Keinginan batin dapat terwujud dengan adanya kerelaan dan pilihan
(ikhtiar). Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kerelaan dan pilihan
adalah dua hal yang berbeda sebab ikhtiar dapat dilakukan dengan
keridhaan atau tidak. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, rida
dan pilihan adalah sama.
94
Syafi’I Rahmat, Op. Cit, hlm. 57.
51
b. Keinginan yang Zahir
Keinginan yang dzahir adalah sighat atau lafadz yang
mengungkapkan keinginan batin, apabila keinginan batin dan zahir
itu sesuai, akad dinyatakan sah. Akan tetapi, jika salah satunya tidak
ada, seperti orang yang zahirnya ingin jual beli, akadnya tidak sah
sebab keinginan batinya tidak ada.95
Tentang keinginan akad ini ada beberapa macam cabang yaitu:
a. Gambaran
Dalam akad terkadang hanya tampak zahirnya saja, sedangkan
batinya (tidak tampak). Akad seperti diatas, dalam beberapa hal
dikategorikan tidak sah menurut jumhur ulama, antara lain:
1) Akad ketika gila, tidur, belum mumayiz, dan lain-lain.
2) Tidak menegerti apa yang diucapkan.
3) Akad ketika belajar, atau bersandiwara.
4) Akad karena kesalahan.
5) Akad karena dipaksa.96
b. Kebebasan dalam akad
Para fuqaha memberikan batasan dalam akad yang menyangkut
kebebasan akad dan kebebasan dalam menetapkan syarat dalam
akad.
95 Ibid, hlm. 62
96
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, 146.
52
1) Kebebasan dalam Akad
Para ulama telah sepakat bahwa keridhaan merupakan landasan
dalam akad, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-
Nisa ayat 29 di atas.
2) Kebebasan Bersyarat
Yakni kebebasan dalam memberikan syarat tentang keabsahan
akad. Dalam hal ini, di antara para ulama terbagi atas beberapa
pendapat:
a) Golongan Hanabilah yang berpendapat bahwa syarat akad
mutlak, yakni setiap syarat yang tidak didapatkan keharaman
menurut syara’ adalah boleh.
b) Golongan selain Hanabilah yang berpendapat bahwa dasar
dari syarat akad adalah batasan, yakni setiap syarat yang
tidak menyalahi batasan yang telah ditetapkan syara’
dipandang sah.97
3) Kecacatan Keinginan atau Rida
Kecacatan keiginan atau rida adalah perkara-perkara yang
mengotori keinginan atau menghilangkan keridaan secara
sempurna, yang disebut kecacatan rida. Kecacatan rida terbagi
dalam tiga macam:
1) Pemaksaan;
2) Kesalahan;
97
Ibid, hlm. 147.
53
3) Penipuan
Setiap akad memiliki dampak yaitu dampak khusus dan
dampak umum, dampak khusus adalah hukum akad. Yakni
dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad atau maksud
utamanya dilaksanakannya suatu akad, seperti pemindahan
kepemilikan dalam jual beli dan lain-lain. Dampak umum
adalah segala sesuatu yang mengiringi setiap atau
sebagian besar akad, baik dari segi hukum maupun hasil.98
98
Syafi’i Rahmat, Op. Cit, hlm. 64-66.
54
BAB III
PRAKTIK PENAMBAHAN BEBAN TAGIHAN REKENING LISTRIK
DI LOKET ULUMUL QUR’AN SEMARANG BARAT
D. Gambaran Umum Loket Ulumul Qur’an
Loket Ulumul Qur’an yang beralamat di Jl. Kyai Gilang
Mangkangkulon Semarang merupakan loket pembayaran listrik di sekitar
daerah Tugu, Jrakah, Semarang Barat, Kendal, dan Demak. Loket tersebut
berdiri mulai tahun 1990 oleh pendiri Bp. Ali Imron, yang juga pengasuh
Pondok Pesantren Putri Ulumul Qur’an.99
Loket ulumul Qur’an yang semula didirikan sebenarnya untuk
mempermudah prasarana guna melakukan transaksi pembayaran listrik oleh
masyarakat sekitar selaku konsumen listrik. Tidak dapat dihindari bahwa
semua orang pasti konsumen listrik. Oleh karena itu, pembayarannya pun
dilakukan dua cara, pertama langsung konsumen ke tempatnya dan kedua
melalui online.
Kebutuhan listrik semakin bertambah seiring dengan banyaknya
pendirian bangunan guna mendirikan suatu usaha, PT, CV, atau jenis home
industry lainnya yang bergerak melakukan aktivitas ekonomi. Maka, di loket
ulumul qur’an ini pula konsumen berasal dari badan usaha seperti Perseroan
Terbatas. Hal inilah yang membuat konsumen harus diminimalisir untuk
penggunaan listrik, sebab masuk dalam Corporate Social Responsibility
99
Wawancara dengan Bapak Drs. Sartono, Pegawai Loket Ulumul Qur’an, pada hari
Sabtu, 18 Desember 2010 di Jl. Kyai Gilang Mangkangkulon Semarang.
55
(CSR) yang merespon terhadap lingkungan sekitar, dalam konteks ini
perlistrikan.
Semula loket ulumul qur’an berjalan dengan baik dan lancar, para
konsumen selalu aktif tiap bulan membayar listrik, namun pada tahun 2008
pertengahan terjadilah suatu pelanggaran yang dilakukan oleh pihak PLN
untuk melakukan penagihan tambahan, yakni senilai Rp. 1.600,-. Memang
dipandang kecil minimalnya, namun ketika dikalikan dengan ratusan
pelanggan untuk melakukan pembayaran di loket ulumul qur’an, jumlahnya
semakin besar. Hal inilah yang membuat para konsumen dirugikan oleh pihak
PLN dengan tambahan biaya tersebut.
Tambahan biaya oleh PLN ternyata merata di semua lingkup Kota
Semarang yang tidak hanya merugikan konsumen di satu sisi, namun
pelanggaran atas perlindungan konsumen dilakukannya, sebagaimana yang
tertuang secara eksplisit dalam undang-undang perlindungan konsumen.
Maka, dalam konteks ini, loket di ulumul qur’an sebenarnya yang bertanggung
jawab atas kerugian konsumen yang telah bertransaksi di tempat itu.
E. Praktik Penambahan Beban Tagihan Rekening Listrik Melalui Loket
Ulumul Qur’an Semarang Barat
Perlindungan konsumen menurut Pasal 1 angka 1 adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen yang
diperkuat melalui undang-undang memberikan harapan agar pelaku usaha
56
tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak
konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat
hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang dan
merekapun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah
dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. Permasalahan yang dihadapi
konsumen Indonesia saat ini seperti juga yang dialami konsumen di negara-
negara berkembang lainnya, tidak hanya pada soal cara memilih barang tetapi
jauh lebih komplek, yaitu mengenai kesadaran semua pihak baik dari
pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya
perlindungan konsumen. Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus
menghargai hak-hak konsumen dengan memproduksi barang dan jasa yang
berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku serta
harga yang sesuai.100
Menurut penjelasan umum UU No. 8 Tahun 1999, faktor utama yang
menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi adalah masih
rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya hal ini terkait
erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu keberadaan UU
Perlindungan Konsumen adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi
pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk
melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan
pendidikan konsumen.101
100
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Ed. I, Cet. 6,
Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 54. 101
Lihat: Penjelasan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, hlm. 23.
57
Kinerja perusahaan listrik negara dari waktu ke waktu memang masih
perlu ditingkatkan. PLN bukan saja masih buruk dalam memberikan
pelayanan saluran tenaga listrik, sesuai aturan yang ditandai, dengan masih
sering mati melebihi jumlah ketentuan dan tanpa pemberitahuan lebih lanjut,
melainkan juga buruk dalam pengenaan biaya yang harus dibayar konsumen.
Dari hasil wawancara penulis dengan Bapak Drs. Sartono, Pegawai
Loket di Ulumul Qur’an, bahwa penggunaan rekening listrik bulan Desember
2008 dan bulan November 2008, bila dilihat dengan seksama muncul item
pembayaran yang sangat merugikan konsumen. Setiap rekening listrik PLN
dikenai biaya administrasi bank Rp. 1.600,- yang seharusnya tidak menjadi
kewajiban konsumen. Apalagi, konsumen membayar listrik dikantor PLN,
mobil PLN dan tidak lewat bank.102
Menurut Bapak Drs. Sartono, pungutan demikian banyak tidak ketahui
konsumen, barangkali karena tidak melihat atau tidak peduli sebab nilainya
kecil. Akan tetapi, kalau Rp. 1.600,- dikalikan sekian juta konsumen
konsumen PLN, pasti akan terlihat berapa uang yang didapat dari pungutan
PLN yang tanpa persetujuan konsumen tersebut. PLN dalam hal ini tidak bisa
hanya mendasarkan pada pemberitaan lewat media massa kalau ada
pengenaan biaya administrasi atau online bank. Dalam materi perjanjian
antara konsumen dan PLN, kewajiban membayar administrasi atau online
bank tidak pernah ada. Konsumen pun bebas memilih mau membayar dimana
di kantor PLN, mobil PLN, BKM, koperasi, atau bank.
102
Wawancara dengan Bapak Drs. Sartono, Pegawai Loket Ulumul Qur’an, pada hari
Senin, 20 Desember 2010 di Jl. Kyai Gilang Mangkangkulon Semarang.
58
Sartono mengungkapkan bahwa PLN sebenarnya dapat mencegah
terjadinya kerugian kalau dikelola secara profesional, jujur dan konsekuen
terhadap tugasnya dalam memberi pelayanan sekaligus sebagai perusahaan
milik negara. Sangat naif kalau di satu sisi PLN sering mengaku rugi, tetapi
pola penyejahteraan personelnya berlebihan, yang tentunya akan menyedot
banyak uang PLN sebagai aset negara.
Bila konsumen sekarang dikenakan biaya administrasi bank atau
online bank, itu berarti sebuah tindakan melawan hukum, hak-hak konsumen
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen telah dilanggar oleh PLN.
Konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya
kesadaran dan ketidaktahuan mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen.
Hak-hak yang dimaksud, misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan
penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi. Lebih dari itu
konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang
berimbang dengan pihak pelaku usaha. Kondisi tersebut memperlihatkan
bahwa masalah perlindungan konsumen merupakan masalah yang sangat pelik
karena konsumen tidak hanya dihadapkan pada keadaan untuk memilih apa
yang diinginkan melainkan juga pada keadaan ketika dia tidak dapat
menentukan pilihan.103
Adanya undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak
dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. Undang-Undang
103
Wawancara dengan Bapak Drs. Sartono, Pegawai Loket Ulumul Qur’an, pada hari
Senin, 20 Desember 2010 di Jl. Kyai Gilang Mangkangkulon Semarang.
59
perlindungan konsumen justru bisa mendorong iklim usaha yang sehat serta
mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan
yang ada dengan menyediakan barang/jasa yang berkualitas. Dalam penjelasan
umum UU Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa dalam pelaksanaannya
akan tetap memperhatikan hak dan kepentingan pelaku usaha.
PLN sebagai pelaku usaha menurut pasal 6 UU No. 8 tahun 1999
memang berhak atas pembayaran rekening listrik, tetapi hanya sebanyak yang
sesuai dengan kesepakatan. Sebaliknya, konsumen juga berhak untuk tidak
dilanggar hak-haknya dengan hanya membayar sebatas yang menjadi
kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang ada. Konsumen tidak boleh
dipungut lebih, seperti administrasi bank, kalau tidak ada kesepakatan
sebelumnya. Konsumen yang membayar di bank pun secara normatifnya tidak
perlu dikenai biaya administrasi bank karena bank sudah mendapat
kompensasi keuntungan dari PLN sebagai jasa pengelola pembayaran
rekening listrik dari konsumen.
Bila dalam praktiknya sekarang ini PLN telah melakukan pungutan
lebih kepada konsumen setiap membayar rekening listrik, maka menurut UU
No. 8 tahun 1999, pemungutan biaya lebih tanpa persetujuan harus
dikembalikan. PLN dengan demikian bukan saja telah melanggar hak-hak
konsumen, tetapi juga telah berbuat curang karena memungut biaya yang tidak
seharusnya dibayar konsumen.
Sesuai perjanjian antara PLN dan konsumen, PLN berkewajiban
menyediakan, mendistribusikan, dan menjaga ketersediaan tenaga listrik agar
60
bisa terus-menerus melayani dengan baik kepada masyarakat konsumen.
Kewajiban tersebut dalam praktiknya disertai hak PLN untuk menerima uang
rekening listrik dari konsumen secara tepat waktu yang ditentukan.
Pada konsumen yang tidak membayar sesuai waktu yang ditentukan,
PLN berhak mengenakan denda dan berhak atas uang denda yang dibayar
konsumen yang terlambat membayar. Bila kewajiban membayar rekening
listrik berikut dendanya tak dibayar konsumen hingga batas waktu yang
ditentukan, PLN berhak pula melakukan pemutusa aliran listrik sementara ke
konsumen, maupun pemutusan tetap.
Bapak Sartono menjelaskan apa yang menjadi hak dan kewajiban PLN
dan kosumen sebenarnya sudah jelas dengan esensi dasar, dalam setiap
pungutan didasarkan pada perjanjian yang ada. Dalam hal ini, PLN tidak bisa
menentukan sepihak biaya tertentu tanpa persetujuan konsumen dan tidak bisa
berlindung dibalik aturan tetap mengenai konsumen harus patuh pada
keputusan PLN.
Mengingat masalah pungutan administrasi bank atau online bank Rp.
1.600,- lebih yang harus dibayar konsumen, baik menurut perjanjian maupun
undang-undang perlindungan konsumen adalah produk tidak atas persetujuan
konsumen, maka pungutan itu adalah pungutan liar. Pungutan yang berunsur
pelanggaran hak-hak konsumen dan merupakan perbuatan melawan hukum.
Terdapat perjanjian baku berupa surat perjanjian kerjasama antara
pihak pertama dari PT Salam mandiri giri yang diwakili oleh Sugeng Rihadi
dengan pihak kedua Hadi Maskur, selaku perorangan (konsumen). Terlebih
61
dahulu akan dijelaskan dua pokok, pertama, memperhatikan proses
pelaksanaan pembayaran tagihan bulanan rekening listrik, rekening telepon
dan penjualan voucher elektronik sesuai dengan mekanisme payment point
online bank (PPOB) yang dilakukan bersama oleh PT. PLN (Persero)
Distribusi Jawa Tengah dan DIY dan PT. TELKOM bersama PT Bank BNI 46
Tbk; kedua, memperhatikan perjanjian kerjasama antara PT Bank BNI 46 Tbk
dengan PT Salam Mandala Giri tentang pelayanan pembayaran tagihan
rekening listrik bulanan.
Perjanjian tersebut akhirnya melahirkan suatu perikatan pihak PT PLN
dengan konsumen yang menjadi undang-undang mereka yang telah dibuatnya.
Ketika salah satu pihak melakukan wanprestasi, dalam konteks ini pihak PLN
yang melebihkan tagihan listrik kepada konsumen, maka secara hukum
konsumen berhak menggugat kepada PLN untuk minta ganti kerugian.
Sebagai sebuah perbuatan melawan hukum,104 pungutan yang tidak sah
tersebut harus dihentikan tanpa harus menunggu masyarakat konsumen
memintanya. Apalagi harus menuntut melalui jalur hukum. atas pungutan
yang sudah masuk, karena pungutannya tidak sah, maka harus dikembalikan
kepada konsumen. Maka sebagai sebuah perusahaan yang besar dan kuat,
PLN seharusnya patuh pada aturan perjanjian dalam mengenakan pungutan
dan undang-undang perlindungan konsumen.
104
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam perspektif hukum perdata
secara eksplisit dalam Pasal 1365 BW, yaitu Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut. Lihat: R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Cet. 39, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008, hlm. 346.
62
Berdasarkan kenyataan yang terjadi terlihat bahwa konsumen
mempunyai kedudukan yang lemah dalam sengketa pembelian maka Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dapat
digunakan sebagai landasan hukum terhadap perlindungan konsumen.
Keberadaan UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai landasan hukum
yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembinaan dan pendidikan konsumen, seperti yang tercantum dalam Pasal 1
ayat 1 UU Perlindungan Konsumen yang menyebutkan: “Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen”.105
Untuk lebih memberikan perlindungan hukum bagi konsumen yang
mempunyai sengketa dengan produsen dan sebagai tindak lanjut hak
konsumen berupa hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut dan hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya, maka sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui
mekanisme di dalam peradilan maupun di luar peradilan. Penyelesaian
sengketa konsumen, dimana konsumen yang sangat dirugikan oleh pelaku
usaha melalui peradilan jarang ditempuh oleh konsumen, hal tersebut
didukung pula dengan suatu fakta bahwa faktor utama yang menjadi
105
Lihat: Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
63
mekanisme di dalam peradilan maupun di luar peradilan. Penyelesaian
sengketa konsumen, dimana konsumen yang sangat dirugikan oleh pelaku
usaha melalui peradilan jarang ditempuh oleh konsumen, hal tersebut
didukung pula dengan suatu fakta bahwa factor utama yang menjadi
kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya
yang masih rendah.106
Adanya Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tersebut bukan berarti
bahwa pelanggaran terhadap hak konsumen sudah tidak ada lagi. Meskipun
peraturan tersebut telah diberlakukan, namun penegakkannya perlu mendapat
perhatian khusus karena suatu peraturan yang ada tidak terlaksana apabila
tidak didukung perangkat penegak hukum yang baik.
F. Tinjauan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
terhadap Penambahan Beban Tagihan Rekening Listrik di Loket Ulumul
Qur’an
Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer atau
consument/konsument (belanda), secara harfiah arti kata consumer itu adalah
“(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. Begitu juga
Kamus Bahasa Indonesia-Inggris memberi arti sebagai “pemakai atau
konsumen”,107 dalam UU perlindungan konsumen, diartikan konsumen adalah
setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak
106
Nasution Az., Konsumen dan Hukum; Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 84. 107
Purwono Sastro Amijoyo dan Robert K. Cunningham, Kamus Inggris-Indonesia
Indonesia-Inggris, Ed. Lengkap, Cet. I, Semarang: Grand Media Pustaka, 2007, hlm. 58.
64
untuk diperdagangkan. 108 Pengertian consumer di Amerika Serikat dapat
diartikan lebih luas lagi, yaitu sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”,
baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga
korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula
bahkan oleh korban yang bukan pemakai. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1 mengatakan, bahwa konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Sementara perundang-undangan Australia,
Commonwealth of Australia, Trade Practice Act, 1974 / 1977, pasal 4B ayat
(1) a. Merumuskan konsumen sebagai berikut: “Setiap orang yang
mendapatkan barang atau jasa tertentu dengan harga maksimum A.$ 15.000,-
atau kalau harganya melebihi jumlah itu, barang atau jasa tersebut umumnya
adalah digunakan untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah tangga”. Jadi
unsur-unsur konsumen dengan melihat beberapa pengertian konsumen
tersebut di atas, adalah sebagai berikut : pertama, konsumen dapat terdiri dari
mereka yang menggunakan barang atau jasa untuk tujuan membuat barang
atau jasa lain, atau diperdagangkan kembali (untuk tujuan komersial) disebut
sebagai konsumen antara ; kedua, konsumen dapat pula terdiri dari mereka
yang menggunakan produk akhir untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup
mereka, keluarganya dan atau rumah tangga (bukan diperdagangkan kembali),
yang mana disebut sebagai konsumen akhir.
108
Bintang, Sanusi dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 48.
65
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari Hukum
Konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan
juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen atau dengan
kata lain hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam
hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa
konsumen. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak
pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat
itu tidak seimbang, bahkan Resolusi PBB 39/248 tentang perlindungan
konsumen, mengakui bahwa hak-hak konsumen sering dalam prakteknya tidak
seimbang dengan hak-hak produsen.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8
tahun 1999 mengatakan, “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen”. Dari Pasal 1 angka 1 tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan,
bahwa konsumen adalah setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tidak
diperdagangkan kembali yang pemakaiannya dijamin oleh hukum.
Perlindungan konsumen mempunyai tujuan sebagai berikut :109
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara;
c. menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa ;
109
Elsi Kartika Sari dan Advensi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi, Ed. 2, Cet. 5,
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008, hlm. 160-161.
66
d. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen ;
e. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta ekses untuk
mendapatkan informasi ;
f. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha;
g. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
keselamatan konsumen.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa
perangkat hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk
mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab
perlindungan konsumen bisa mendorong iklim berusaha yang sehat, serta
lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui
penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Sebelum Indonesia
merdeka, sebenarnya sudah ada beberapa peraturan yang berkaitan dengan
perlindungan konsumen. Seperti ; Reglement Industriele Eigendom, S.1912-
545, jo. S. 1913 Nomor 214, Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih),
Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih), dan masih
banyak lagi, namun saat ini sebagian peraturan itu sudah tidak berlaku lagi.
67
Sampai saat ini pengaturan tentang perlindungan konsumen di Indonesia
mengacu pada KUH Perdata yang bertendensi melindungi konsumen, yakni
dalam beberapa pasal buku ke III, bab V, bagian II yang dimulai dari pasal
1365. Begitu juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, juga terdapat
tendensi pengaturan perlindungan konsumen, misalnya tentang pemalsuan,
penipuan, pemalsuan merek, persaingan curang, dan sebagainya. Dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pada dasarnya bukan
merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur perlindungan
konsumen, sebab sampai pada terbentuknya UU ini telah ada beberapa
undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti
UU Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene, UU Nomor 5 Tahun 1984 Tentang
perindustrian, UU Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran, dan masih
banyak lagi (lihat: Penjelasan UU Nomor 8 Tahun 1999), yang masing-masing
memberikan pengertian tentang perlindungan konsumen yang satu sama
lainnya berbeda-beda. Hal ini dikarenakan belum adanya suatu aturan khusus
yang mengatur tentang konsumen itu sendiri, sehingga pada tahun 1999
pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.110
Kewajiban pelaku usaha beriktikad baik dalam melakukan kegiatan
usaha merupakan salah satu asas yang dikenai dalam hukum perjanjian.
Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW.
Bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Sedangkan arrest
110
Ibid., hlm. 163.
68
H.R. harus dilaksanakan di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi
terhadap iktikad baik dalam tahap pra perjanjian, bahkan kesatuan kesesatan
ditempatkan di bawah asas iktikad baik, bukan lagi pada teori kehendak.
Begitu pentingnya iktikad baik tersebut, sehingga dalam perundingan-
perundingan atau perjanjian antara para pihak, yakni PLN dan konsumen
(masyarakat), akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang
dikuasai oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih
lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat
kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing
calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan
penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum
menandatangani kontrak, atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian
yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan iktikad baik.111
Selain perilaku konsumen terhadap pengusaha yang dilindungi,
undang-undang juga memberikan hak-hak bagi konsumen yang seimbang
dengan hak-hak pengusaha. Hak-hak konsumen ini telah diperjuangkan
semenjak tahun 1962 ketika John F. Kennedy dalam Congress on Pretecting
the consumer interest, menyampaikan pesan tentang pentingnya kedudukan
konsumen dalam masyarakat (ekonomi). Menurut F. Kennedy ada empat hak
dasar konsumen, yaitu :112
a. Hak memperoleh keamanan ; b. Hak memilih ;
111
Ibid., hlm. 165. 112
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 35.
69
c. Hak mendapatkan informasi ; d. Hak untuk didengar.
Selain itu Masyarakat Ekonomi Eropa (Europese Economische
Gemeenschap) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai
berikut :113
a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn
gezendheid en veiligheid). b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht of bescherming van zijn
economische belangen). c. Hak mendapatkan gantirugi (recht op schadevergoeding). d. Hak untuk didengar (recht om te worden gehord).
Hak-hak dasar konsumen yang dikemukakan baik oleh Kennedy
maupun yang dikemukakan oleh Masyarakat Ekonomi Eropa adalah hak-hak
dasar yang lahir di Amerika Serikat dan di Eropa. Setelah adanya perhatian
yang begitu besar dari masyarakat dunia tentang perlindungan konsumen,
hingga diadakannya resolusi PBB tentang perlindungan konsumen pada tahun
1985, maka terdapat lima hak yang dimiliki konsumen, yaitu :
a. hak keamanan dan keselamatan; b. hak mendapatkan informasi; c. hak untuk memilih; d. hak didengar pendapat dan keluhannya; e. hak atas lingkungan hidup.
Hak-hak konsumen menurut Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :114
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
113
Ibid., hlm. 37. 114
Lihat: Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
70
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut. f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif. h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Upaya yang lebih efektif bagi penegakan perlindungan konsumen oleh
LPPK dilakukan di luar peradilan, karena tidak membutuhkan prosedur yang
panjang dan kedua belah pihak cenderung ingin menyelesaikan masalah secara
damai dengan saling menguntungkan. Cara yang lazim digunakan oleh LPPK
dalam proses penyelesaian sengketa di luar peradilan dilakukan pada tahap
mediasi. Pelaku usaha memberikan penjelasan dan bersedia memberikan ganti
rugi.
Waktu yang digunakan LPPK Jateng untuk menyelesaikan sengketa
konsumen di luar peradilan sampai pada kesepakatan para pihak rata-rata dua
minggu sampai satu bulan. Cara tersebut dianggap sudah layak sebagai upaya
yang terbaik bagi konsumen, karena konsumen cenderung menginginkan
permasalahan dapat terselesaikan dengan cepat.
71
Sesuai dengan isi perjanjian kerjasama pihak PLN dengan pihak
perorangan, ternyata pihak PLN telah melanggar ketentuan salah satu isi Pasal
perjanjian tersebut mengenai larangan, yakni: Dalam Pasal 9 ayat kesatu:
Dalam pelaksanaan pekerjaan sesuai pasal 1 perjanjian ini, PIHAK
KEDUA baik langsung maupun tidak langsung tidak diperkenankan
memungut biaya tambahan dan/atau dengan alasan apapun dari para
pelanggan di luar apa yang tercetak dalam tanda bukti pembayaran (kwitansi)
tanpa seijin PIHAK KESATU.
Dengan demikian, secara perdata, pihak perorangan bisa menggugat
kepada PLN karena telah melanggar perjanjian di awal dan harus mengganti
kerugian sebesar apa yang telah PLN lakukan.
72
BAB IV
ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENAMBAHAN
BEBAN TAGIHAN REKENING LISTRIK RELEVANSINYA DENGAN
UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
C. Analisis terhadap Penambahan Beban Tagihan Rekening Listrik
Relevansinya dengan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Kebijakan PLN yang mengenakan tambahan biaya bank sebesar Rp.
1.600,- pada rekening pelanggan listrik mulai terjadi Desember 2008. Hal
tersebut terjadi karena sistem pembayaran yang selama ini menggunakan
sistem konvensional berubah menjadi Payment Point On Line Bank
(PPOB)., dimana semua pembayaran tagihan rekening listrik dikelola
sepenuhnya oleh bank yang menjadi mitra PLN. Tempat pembayaran yang
selama ini menjadi tempat untuk membayar rekening listrik sekarang
statusnya merupakan down line bank. Sistem ini menurut pihak PLN
dilakukan dalam rangka meningkatkan akses, keamanan dan kemudahan
bagi pelanggan. Selain itu, bagi PLN sendiri tentunya mendapatkan banyak
manfaat.
Beberapa keluhan yang disampaikan oleh konsumen terhadap
kebijakan PLN idealnya bagus, apapun sistem yang dibangun semestinya
menjadi bagian dari peningkatan kualitas pelayanan bagi pelanggan. Selama
73
ini sebenarnya dengan adanya mobil keliling PLN, konsumen sudah
mendapatkan tambahan pelayanan dari PLN dan sangat diharapkan oleh
konsumen, apalagi jika dilakukan dengan sistem on line. Namun karena
biayanya dibebankan kepada konsumen, maka PPOB yang diselenggarakan
bukanlah pelayanan yang diberikan secara gratis kepada pelanggan,
sehingga harus benar-benar memperhatikan standar pelayanan yang sesuai
dengan harapan konsumen. Beberapa standar tersebut minimal terkait
kenyamanan tempat pembayaran (antrian, ruangan, tempat duduk, dll.),
cover area (keterjangkauan wilayah), identitas payment point, complain
centre dan sebagainya.
Standar pelayanan tersebut merupakan asumsi agar nilai budaya yang
dikeluarkan oleh konsumen sepadan dengan yang didapatkan oleh
konsumen. Sebagai contoh jika konsumen selama ini harus mengeluarkan
transport/waktu untuk membayar rekening karena payment point yang jauh.
Namun jika PPOB yang ada ternyata masih jauh, maka sesungguhnya
konsumen tidak mendapatkan tambahan pelayanan walaupun terkena
tambahan biaya pada setiap rekening.
Selain itu, hal yang harus diperhatikan adalah PLN seharusnya tetap
menyediakan loket khusus yang melayani pembayaran dengan sistem
konvensional tanpa adanya tambahan biaya sehingga konsumen daat
memilih. PPOB mestinya merupakan pilihan dan bukan paksaan bagi
konsumen, artinya bagi konsumen yang ingin membayar di tempat lama
tanpa biaya tambahan juga dilayani sedangkan yang pilih pelayanan PPOB
74
tentu dengan tambahan biaya Rp. 1.600,-/rekening silakan. PLN
menyediakan loket pembayaran dengan sistem konvensional tanpa ada
tambahan biaya di kantor unit pelayanan PLN. Sehingga jika konsumen
tidak ingin terkena tambahan biaya bank harus membayar di loket kantor
unit pelayanan PLN. Idelnya sistem yang konvensional tidak hanya
disediakan satu, namun juga di beberapa titik lainnya walaupun mungkin
tidak sebanyak sebelum ada PPOB, sehingga konsumen dapat lebih leluasa
membuat pilihan.
Hal ini yang harus diperhatikan oleh PLN adalah jangan sampai
biaya bank yang saat ini dikenakan nantinya dapat dengan mudah dinaikkan
oleh pihak bank mitra sehingga semakin tinggi. Kekhawatiran ini didasari
karena pihak PLN tidak mempunyai otoritas untuk menentukan besarnya
biaya bank. Biaya bank sepenuhnya menjadi dominan bank mitra untuk
menentukannya sebagai pengganti biaya operasional sistem yang ada.
Terhadap hal ini, seharusnya pihak PLN maupun perbankan harus transparan
sejauhmana biaya operasional yang diperlukan dalam menerapkan sistem ini
dan konsumen diberi ruang untuk turut menyepakatinya.
Sistem pembayaran rekening listrik melalui bank lewat Payment
Poinyt Banking (PPOB) tak akan mematikan pihak ketiga yang sebelumnya
digandeng PLN seperti misalnya koperasi. Manajer Komunikasi Hukum dan
Administrasi PT PLN (Persero) distribusi Jateng-DIY, Endro Yulianto,
mengatakan kekhawatiran pihak ketiga seperti koperasi unit desa (KUD)
yang tidak akan dilibatkan dalam pembayaran tagihan listrik dengan
75
pengalihan tersebut, tak perlu terjadi. Justru pihak bank yang dgandeng PLN
masih membutuhkan mitra untuk memperlancar proses pembayaran. Tidak
hanya KUD, tapi juga perorangan pun bisa menjadi mitra sehingga bisa
membuka lapangan pekerjaan baru. Tapi itu semua bergantung dengan
masing-masing banknya.
Beberapa pelanggan (konsumen) PLN mengatakan saat membayar
tagihan listrik pada Oktober, pihak konsumen belum dikenakan biaya
administrasi bank Rp. 1.600,-. Namun ketika membayar tagihan November,
dikenakan tagihan administrasi bank Rp. 1.600,-. Angka itu tertulis pada
bukti pembayaran rekening listrik. Besarnya biaya administrasi memang
tidak seberapa, tetapi bila dijumlahkan dengan seluruh pelanggan PLN,
maka nilainya sangat besar.
Saat membayar listrik uang kurang saja ditolak. Lantas mengapa
tiba-tiba pelanggan harus dibebani biaya administrasi. Belum lagi ketika
membayar tagihan terlambat dari tanggal yang telah ditentukan masih
dikenakan denda. Selain itu, bukti pembayarannya juga hanya berupa
secarik kertas putih. Tidak seperti dulu yang berwarna hijau dan dapat logo
PLN.
Pelanggan lain juga mengatakan setiap membayar tagihan listrik,
selalu dikenakan biaya penerangan jalan. Tapi sekarang malah masih
ditambah biaya adminisrasi bank. Padahal setiap bulan selalu membayar
tagihan listrik di kantor kelurahan. Salah seorang warga Tlogosari
menambahkan untuk ukurannya biaya tambahan Rp. 1.600,- memang tidak
76
begitu memberatkan. Namun, bagi mereka yang kurang mampu, tentu cukup
mempengaruhi. Padahal selama ini masih sering terjadi pemadaman listrik.
Lantas uang itu untuk apa dan larinya kemana. Hal tersebut yang harus
transparan ketika berhadapan dengan konsumen.
Dalam pasal 19 undang-Undang Perlindungan Konsumen dijelaskan
bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Memerhatikan
pasal tersebut, telah jelas bahwa pihak PLN ketika memberikan tagihan
sebesar Rp. 1.600,- yang sebenarnya tidak perlu ditarik dari konsumen harus
mengembalikan kerugian akibat mengonsumsi listrik yang selama ini
dinikmati oleh konsumen.
Pihak PLN dalam kebijakannya menambah pungutan sebesar Rp.
1.600,- ternyata dilakukan sepihak, yang tidak dikomunikasikan terlebih
dahulu dengan konsumen atau minimal pemberitahuan kepada konsumen,
secara hukum, konsumen dapat menggugat kasus ini kepada Pengadilan
Niaga. Hal ini terdapat payung hukum (umbrella lex) dalam Undang-
Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf c,
mengenai hak konsumen, yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Mengacu pada
Pasal di atas, maka konsumen berhak mengajukan tuntutan ganti rugi atas
pungutan sebesar yang sebenarnya tidak terlalu banyak, namun jika
dikalikan dengan sejumlah konsumen, jumlahnya menjadi banyak. Hal
77
inilah yang membuat keresahan dari konsumen tentang tagihan listrik
tersebut.
Analisis penulis mengenai PLN sebagai pelaku usaha menurut pasal
6 UU No. 8 tahun 1999, memang berhak atas pembayaran rekening listrik,
tetapi hanya sebanyak yang sesuai dengan kesepakatan. Sebaliknya,
konsumen juga berhak untuk tidak dilanggar hak-haknya dengan hanya
membayar sebatas yang menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian
yang ada. Konsumen tidak boleh dipungut lebih, seperti administrasi bank,
kalau tidak ada kesepakatan sebelumnya. Konsumen yang membayar di
bank pun secara normatifnya tidak perlu dikenai biaya administrasi bank
karena bank sudah mendapat kompensasi keuntungan dari PLN sebagai jasa
pengelola pembayaran rekening listrik dari konsumen.
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen
mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran
mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen
tersebut dapat berupa representasi, peringatan maupun yang berupa instruksi.
Dalam analisis penulis secara umum, kerugian yang dialami oleh
konsumen di Indonesia dalam kaitannya dengan misinterprestasi banyak
disebabkan karena tergiur oleh iklan-iklan atau brosur-brosur produk
tertentu, sedangkan iklan atau brosur tersebut tidak selamanya memuat
informasi yang benar, karena pada umumnya hanya menonjolkan kelebihan
produk yang dipromosikan, sebaliknya kelemahan produk tersebut ditutup-
tutupi.
78
Pimpinan Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen Kota
Semarang, H. Ngargono telah menindaklanjuti perubahan sistem
pembayaran rekening listrik dimana konsumen dibebani biaya bank sebesar
Rp. 1.600,-. Adapun point-point yang disampaikan pertama, konsumen
listrik banyak yang mengeluhkan biaya bank tesebut karena dinilai tidak fair
dimana konsumen yang tidak melakukan pembayaran di bank juga harus
menanggung beban biaya tersebut, kedua, PT PLN (Persero) belum
memberikan sosialisasi terhadap konsumen terkait perubahan sistem
pembayaran rekening listrik.
Sehubungan dengan tuntutan Lembaga Pembinaan dan Perlindungan
Konsumen di atas, maka dalam perspektif Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, pihak PT PLN (Persero) mempunyai kewajiban memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan; dan memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampak bahwa
iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, dalam konteks ini PT PLN
(Persero), karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan
usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk
beriktikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada
tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beriktikad
79
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa. Hal ini
tentu saja disebabkan karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi
konsumen dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi oleh produsen
(pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat
merugikan produsen mulai saat melakukan transaksi dengan produsen.
Informasi yang diperoleh konsumen melalui brosur tersebut dapat
menjadi alat bukti yang dipertimbangkan oleh hakim dalam gugatan
konsumen terhadap produsen. Bahkan tindakan produsen yang berupa
penyampaian informasi melalui brosur-brosur secara tidak benar yang
merugikan konsumen tersebut, dikategorikan sebagai wanprestasi atau
kelalaian, karena brosur dianggap sebagai penawaran dan janji-janji yang
bersifat perjanjian, sehingga isi brosur tersebut dianggap diperjanjikan
dalam ikatan jual beli meskipun tidak dinyatakan dengan tegas.
Adanya Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tersebut bukan berarti
bahwa pelanggaran terhadap hak konsumen sudah tidak ada lagi. Meskipun
peraturan tersebut telah diberlakukan, namun penegakkannya perlu mendapat
perhatian khusus karena suatu peraturan yang ada tidak terlaksana apabila
tidak didukung perangkat penegak hukum yang baik.
Dalam kaitannya dengan perangkat penegak hukum yang baik, maka
penulis menggunakan kerangka analisis Lawrence M. Friedman, sebagaimana
yang dikutip oleh Esmi Warassih 115 bahwa sistem hukum itu merupakan
115
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Cet. I, Semarang: PT
Suryandaru Utama, 2005, hlm. 30.
80
komponen dari struktur hukum (legal structure),116 substansi hukum (legal
substance) 117 dan kultur hukum (legal culture) 118 yang pada dasarnya
bersinergi ketiganya. Struktur berupa SDM apakah aparat hukum ataupun
pegawai di PLN dan loket ulumul qur’an yang mematuhi undang-undang atau
peraturan hukum lainnya, substansi berupa peraturan perundang-undangan,
dalam konteks ini regulasi mengenai perlindungan konsumen dan budaya
hukum (legal culture), yakni nilai-nilai dan kebiasaan yang ada di masyarakat
untuk dijunjung tinggi bersama. Budaya hukum dalam konteks perlindungan
konsumen ini di masyarakat yang harus diketahui oleh pegawai PLN, seberapa
besar kemampuan memahami hak dan kewajiban dari konsumen atau
pemahaman terhadap kearifan-kearifan lokal yang berkembang di masyarakat
sekitar kaitannya dengan penggunaan listrik, proteksi terhadap pengusaha
berkelas dalam upaya menanggulangi bentuk kecurangan apapun yang
dilakukannya. Hal-hal inilah budaya hukum (legal culture) masyarakat
pengguna listrik, apakah kelas menengah ke bawah atau menengah ke atas,
perusahaan atau perorangan.
116
Komponen struktur hukum (legal structure) yakni berupa kelembagaan yang diciptakan
oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya
sistem tersebut. Kelembagaan ini dapat di ranah formulatif (DPR) ataupun dalam ranah aplikatif
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan). Ranah aplikatif inilah yang di
dalam hukum pidana biasa disebut dengan sistem penyelenggaraan hukum pidana (criminal
justice system) terpadu (integrated). 117
Komponen substansi hukum (legal substance) yakni berupa peraturan-peraturan,
keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur. 118
Budaya hukum (legal culture) yakni terdiri dari nilai-nilai (values) dan sikap-sikap yang
mempengaruhi bekerjanya hukum. Budaya hukum ini memiliki fungsi penjembatan antara
peraturan hukum dengan tingkah laku warga masyarakat. Dan komponen tersebut yang menjadi
penting di dalam proses penegakan hukum di masyarakat.
81
D. Analisis Tinjauan Hukum Islam terhadap Penambahan Beban Tagihan
Rekening Listrik Relevansinya dengan UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
Dalam perspektif hukum Islam, perjanjian terdapat dalam QS. Ali
Imran ayat 76 yaitu:
4’n? t/ ôtΒ 4’nû÷ρ r& Íν ωôγ yèÎ/ 4’s+ ¨?$# uρ ¨βÎ* sù ©!$# �=ÅsムtÉ) −Gßϑ ø9$#
Artinya:” Bukan demikian, sebenarnya siapa yang menepati janji
(yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”(QS. Ali Imran: 76).
Menurut hukum perlindungan konsumen, faktor utama yang
menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi adalah
masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya hal ini
terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu
keberadaan UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai landasan hukum
yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembinaan dan pendidikan konsumen.
Syarat sah akad antara pihak PT PLN (Persero) dengan beberapa
konsumen yang penulis jadikan sampling, dalam konteks hukum Islam
yakni segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin dampak
keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, maka akad tersebut akan rusak.
82
Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama’
Hanafiah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam
jual-beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur
kemadaratan, dan syarat-syarat jual-beli rusak (fasid).
Empat syarat diracik pembentuk undang-undang sebenarnya dapat
dikatakan universal, karena dalam hukum Islam, misalnya keabsahan
perjanjian atau akad terukur dengan syarat-syarat yang hampir serupa, atau
lebih ekstrim lagi dengan takaran yang hakekatnya adalah sama.
Suatu akad atau kontrak atau perjanjian dalam hukum Islam sah
apabila memenuhi rukun dan syarat-syarat. Rukun adalah sesuatu yang harus
ada dalam kontrak. Sedang syarat adalah persyaratan yang harus dipenuhi
oleh rukun-rukun tersebut. Rukun akad dalam hukum Islam ialah: a. Sighat,
b. Para pihak, dan c. Obyek perikatan.
Tiap rukun memiliki persyaratan tersendiri. Sighat merupakan
kesepakatan para pihak, terdiri dari ijab (penawaran atau offertie) dan qabul
(penerimaan atau acceptatie). Sighat dalam hukum Islam memiliki tiga
syarat: a. Harus terang pengertiannya, b. Harus bersesuaian antara ijab dan
kabul, c. Memperlihatkan kesungguhan dari pihak yang bersangkutan.
Dari syarat-syarat yang dirumuskan M. Hasby Ash-Shiddieqy di
atas, nampak adanya asas kebebasan berkontrak dan iktikad baik. Iktikad
baik dari para pihak yang terlibat aqad untuk bersungguh-sungguh
melaksanakan aqad (kontrak).
83
Melihat syarat dan rukun akad di atas, maka dalam kasus
penambahan beban tagihan rekening listrik di loket Ulumul Qur’an
perspektif hukum Islam mengalami catatan dalam rukun, yakni tidak
terpenuhinya sighat atau perjanjian untuk memberikan penambahan tagihan
listrik sebesar Rp. 1.600,- yang dibebankan kepada konsumen listrik.
Dengan kecacatan rukun tersebut, maka akan menyebabkan tidak sah ketika
terjadinya sebuah akad, dalam konteks ini berupa barang listrik. Kalau para
pihak sudah terpenuhi, yaitu antara PT PLN (Persero) dengan konsumen
(masyarakat), kemudian obyek perikatan yaitu barang listrik.
Ketika para pihak bertransaksi di bank antara PLN dengan
masyarakat selaku konsumen sudah ditunaikan, namun ternyata ada
penambahan beban tagihan listrik sebesar Rp. 1.600,- yang tanpa ada
pemberitahuan terlebih dahulu, maka secara otomatis pihak konsumen
(masyarakat) akan dirugikan dengan penambahan biaya itu walaupun
besarnya tidak terlalu nampak, namun melihat konsumen yang jumlahnya
banyak, akhirnya besar tambahan biaya dikalikan dengan sejumlah
pelanggan yang sudah lama bertransaksi di loket tersebut untuk membayar
listrik.
Dalam pandangan ulama’ fiqhiyah, telah sepakat atas sahnya jual-
beli yang didasarkan pada keridaan diantara pihak yang melakukan akad,
ada kesesuaian diantara ijab dan qabul, berada di satu tempat, dan tidak
terpisah oleh suatu pemisah. Maka ulama’ fiqhiyah memandang tidak sah
dalam konteks jual beli antara pihak PLN yang memproduksi listrik dengan
84
konsumen (masyarakat) yang seperti ini masuk dalam kategori jual beli tidak
bersesuaian antara ijab dan qabul. Disebut tidak bersesuaian karena terdapat
penambahan beban tagihan sebesar Rp. 1.600,- yang sebelumnya tidak ada
pemberitahuan atau pendek kata terjadi pemutusan sepihak, yakni pihak PT
PLN (Persero). Hal ini jelas dipandang tidak sah menurut kesepakatan
ulama’. Akan tetapi, jika lebih baik, seperti meninggikan harga, menurut
ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama’ Syafi’iyah
menganggapnya tidak sah.
Pandangan hukum Islam pada alinea di atas merupakan jual beli
yang terlarang sebab sighat. Dalam pandangan yang lain, yakni terlarang
sebab ma’qud alaih (barang jualan). Secara umum, ma’qud alaih adalah
harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa
disebut mabi’ (barang jualan) dan harga.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli sah apabila ma’qud alaih
adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan,
dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik
orang lain, dan tidak ada larangan dari syara’.
Melihat kasusnya di loket ulumul qur’an, terdapat penambahan
beban tagihan listrik yang dapat merugikan konsumen, hukum Islam
melihatnya termasuk dalam kategori jual beli gharar, yakni jual beli barang
yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam. Sebab
Rasulullah SAW bersabda:
85
�%G! H ا %$ء !$ن�r 3ور )روا; أح%�(C ���4واا Artinya:
“Janganlah kamu beli ikan di dalam air karena jual beli seperti itu
termasuk gharar (menipu)”. (HR. Ahmad).
Jadi, berdasarkan Hadits Rasulullah SAW di atas, penambahan
beban tagihan listrik masuk dalam kategori gharar, karena tidak diketahui
harga yang sebenarnya, di dalamnya ternyata ada unsur penambahan biaya.
Melihat unsur gharar dalam hal penambahan tagihan listrik
tersebut, maka pihak PLN secara syar’i (hukum Islam) batal demi hukum
dan tidak sah, yang juga berdampak kepada ruginya konsumen (masyarakat)
karena unsur tambahan tersebut. Kecuali di awal ada pemberitahuan bahwa
penambahan tersebut digunakan untuk hal-hal tertentu. Namun berdasarkan
kasus yang penulis teliti di lapangan, yakni di loket Ulumul Qur’an,
Mangkangkulon Kota Semarang, ternyata dilakukan sepihak dan
menguntungan di satu sisi, yakni PT PLN (Persero) dan merugikan di sisi
lain, yakni masyarakat selaku konsumen barang berwujud listrik.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis mengkaji, mengumpulkan, merumuskan dan
menganalisis data-data penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dalam praktiknya di loket Ulumul Qur’an Semarang, sistem penambahan
beban tagihan listrik oleh pihak PLN dalam kebijakannya menambah
pungutan sebesar Rp. 1.600,- ternyata dilakukan sepihak, yang tidak
dikomunikasikan terlebih dahulu dengan konsumen atau minimal
pemberitahuan kepada konsumen. Dalam hubungannya dengan Undang-
Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, jelas-jelas
melanggar Pasal 4 huruf c, mengenai hak konsumen, yaitu hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa. Jadi, berpijak pada landasan yuridis tersebut
konsumen dapat menggugatnya di Pengadilan Niaga setempat.
2. Perspektif hukum Islam atas Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen atas penambahan beban listrik memandang tidak
sah dalam konteks jual beli antara pihak PLN yang memproduksi listrik
dengan konsumen (masyarakat) yang seperti ini masuk dalam kategori jual
beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul, yakni antara pihak konsumen
dengan PLN, kemudian tidak dilakukan sesuai dengan prinsip muamalah
antarodlin (suka sama suka) kedua belah pihak tersebut.
87
B. Saran-saran
Setelah mengetahui lebih rinci terhadap hukum penambahan tagihan
rekening listrik, baik dalam perspektif undang-undang perlindungan
konsumen maupun ditinjau dari hukum Islam, maka sampai disini penulis
memberikan saran-saran guna pelaksanaan tagihan rekening listrik selanjutnya
untuk menciptakan keamanan dari sisi hukum pihak PLN maupun konsumen
(masyarakat), antara lain:
1. PT PLN (Persero) hendaknya melakukan komunikasi dengan pihak
konsumen atas biaya tagihan rekening listrik yang akan dibayarkan, ketika
ada sesuatu hal, dalam kasus ini penambahan biaya bisa dibicarakan
terlebih dahulu.
2. PT PLN (Persero) membuat kotak aduan ketika terdapat keluhan-keluhan
dari kosumen bisa tersalurkan lewat kotak aduan tersebut terkait dengan
pelayanan atas jasa pembayaran rekening listrik.
3. PT PLN (Persero) melakukan evaluasi atas pelayanan yang selama ini
diberikan kepada masyarakat selaku konsumen untuk melakukan
pembayaran tagihan rekening oleh masyarakat.
4. PT PLN (Persero) hendaknya taat terhadap Undang-Undang Perlindungan
Konsumen No. 8 tahun 1999 terkait dengan hak dan kewajiban,
pelayanannya dengan konsumen serta pemberian informasi penting kepada
konsumen.
88
5. Konsumen agar mengerti, memahami dan taat terhadap hak dan kewajiban
sebagai konsumen sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999.
6. Konsumen dapat membentuk organisasi yang menghimpun berbagai
konsumen (pelanggan) atas pembayaran listrik di PLN agar kuat secara
hukum dan kelembagaan ketika terjadi suatu hal di kemudian hari.
C. Penutup
Alhamdulillahi rabbil ‘Alamiin penulis panjatkan syukur yang
sedalamnya atas nikmat, taufiq, hidayah dan inayah kepada Allah SWT
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Shalawat
dan salam penulis ucapkan keharibaan Nabi Muhammad SAW. Dengan
ucapan, tindakan, dan taqrir beliau sebagai pelengkap dan penjelas akan
firman Allah (Al-Qur’an) yang merupakan petunjuk bagi tata kehidupan
manusia untuk mencapai kebahagiaan sejati (fi daraini hasanah wa qina
‘adzabannar).
Semoga skripsi ini dapat memberikan kemanfaatan bagi penulis
khususnya dan khalayak umum pada umumnya. Namun sebagai insan biasa,
penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena
kesempurnaan yang hakiki hanyalah milik Allah SWT. Oleh karena itu saran,
kritik atau gagasan-gagasan membangun serta yang bersifat orientasi kepada
tujuan mencapai ‘kebenaran’ dari pihak manapun sangatlah penulis harapkan.
89
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. Al-Hussaini, Iman Taqiyuddin Abu Baker Ibnu Muhammad, Kifayatul Akhyar, terj. Ahmad Rifa’I, Semarang: Toha Putra, 1999. Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syar’ah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Ed. I, Cet. 6, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Ash-Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Fiqih Muamalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999. As-San’ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani, subul as Sulam, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Halabi, 1990. Bintang, Sanusi dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukun Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika. Dewi, Gemala, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Perdana Kencana Media, 2005. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV. Naladana, 2002. Elsi Kartika Sari dan Advensi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi, Ed. 2, Cet. 5, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008. Friedman, Lawrence M., The Legal System: A Social Sciences Perspective, New York: Russel Sage Foundation, 1986. Haroen, Nasrun, Fiqih Muamalah, jakarta: Gaya Media Pratama, 2007. Husein Syahatah, dan Athiyah Fayyad, Bursa Efek Tahunan Islam Dan Transaksi
Di Pasar Modal Terj. A. Syukur, Surabaya:Pustaka Progesif, 2004, hlm. 3.
90
Issamsudin, M., Pelanggaran Hak Lewat rekening PLN, Kompas (B), 16 Januari, 2009. Mas’adi, Ghufran A., Fiqh Muamalah Konstektual, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi), Bandung: PT.Remaja Rosdakarya Offset, 2006. Nasution Az., Konsumen dan Hukum; Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Di Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Cet. Ke-6, 1993. Purwono Sastro Amijoyo dan Robert K. Cunningham, Kamus Inggris-Indonesia
Indonesia-Inggris, Ed. Lengkap, Cet. I, Semarang: Grand Media Pustaka, 2007. Rusyd, Ibn, Bidayatul Mujtahid Terj. Imam Ghazali, Jakarta: Pustaka Amani, 2002. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek), Cet. 39, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008. Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah Terj. Nor Hasanudin, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Jakarta; Dar fath Lili’lami al-Arabiy, 2009. Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. Sudarsono Pokok-pokok Hukum Islam, Cet ke 2, Jakrta: Rineka Cipta, 2001. Suhendi, Hendi, Fiqih Mu’amalah, Jakarta , PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 1983. Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bandung:
Rosda Karya, 2000.
91
Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Wawancara dengan Bapak Drs. Sartono, Pegawai Loket Ulumul Qur’an, pada hari Sabtu, 18 Desember 2010 di Jl. Kyai Gilang Mangkangkulon Semarang. Wawancara dengan Bapak Drs. Sartono, Pegawai Loket Ulumul Qur’an, pada hari Senin, 20 Desember 2010 di Jl. Kyai Gilang Mangkangkulon Semarang. Wawancara dengan Bapak Drs. Sartono, Pegawai Loket Ulumul Qur’an, pada hari Senin, 20 Desember 2010 di Jl. Kyai Gilang Mangkangkulon Semarang. Ya’qub, Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: CV. Diponegoro, Cet. 1,1984.
92
93
94