FALSAFAH VAISESIKA DARSANA

Embed Size (px)

Citation preview

FALSAFAH VAISESIKA DARSANA

I. Pengantar Kata-kata visesa yang dijadikan dasar bagi penamaan sitem falsafah ini berarti kekhususan atau partikularitas. Sesuai dengan namanya sistem falsafah ini memusatkan perhatian pada menonjolnya ciri-ciri khusus dari obyek-obyek pengamatan di alam semesta. Sebagai sistem kearifan yang tua dalam jajaran falsafah India, Vaisesika lebih dikenal sebagai falsafah fisika dan metafisika. Sebagai falsafah fisika, darsana ini diawali dengan pembahasan mengenai tujuh kategori benda-benda yang disebut padharta. Dari pembicaraan mengenai metafisika, masalah dengan fisika kemudian beranjak kepada masalah berkenaan membincangkan masalah-masalah

dengan jiwa dan arti spiritual daripada karma dan dharma, yang dtentukan oleh tingkat pengetahuan manusia tentang dunia dan obyek-obyek yang diamatinya dalam kehidupan. Sebagai sistem falsafah fisika, Vaisesika sebenarnya lebih merupakan perumusan terhadap padharta (kategori benda-benda). Pengetahuan tentang padharta sangat penting dasar mencapai kebenaran tertinggi, yaitu pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu. Perumusan terhadap kategori benda-benda itu didasarkan atas perbedaan atau ciri-ciri khusus menggunakan empat metode (pramana) pengetahuan, yaitu Pratyaksa Pramana, Anumana Pramana, Upamana Pramana dan Sabda Pramana. Arti dari perkataan vaisesika sendiri ialah ciri atau

kekhususan yang membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain. Kekhususan yang dimaksud ialah ciri khusus padharta yang dimiliki oleh sesuatu sebagai obyek pengamatan indera dan akal. II. Dasar-dasar Ajaran Pengasas sistem falsafah ini ialah Rsi Kanada alias Uluka. Berdasarkan nama pengasasnya ini maka darsana ini disebut juga dengan nama Ulukya Darsana atau Kebijakatan Sri Uluka. Sri Uluka sendiri mengembangkan sistem falsafahnya dari kitab Rsi Kanada yang bernama Vaisesika Sutra. Peranan Sri Uluka ialah memberikan rumusan yang terperinci dan sistematis atas ajaran Rsi Kanana. Vaisesika Sutra terdiri dari 10 bab uraian yang dimulai dengan penjelasan tentang padharta dan diakhiri dengan pembahasan mengenai dharma dan jivatman. Kesepuluh bab kandungan kitab karangan Rsi Kanada itu ialah sebagai berikut: Bab I membicarakan kategori-kategori atau padharta yang jumlahnya semua ada 7. Bab II membicarakan obyek-obyek pengamatan. Bab III membicarakan jiva dan indera batin. Bab IV membahas tentang jasmani dan unsur-unsur yang menyusun badan jasmani. Bab V membicarkan karma, yaitu kegiatan atau perbuatan seseorang dalam hidupnya.

Bab VI membicarakan dharma atau kebajikan rohani sebagaimana dimaksudkan dalam kitab Veda. Bab VII membicarakan sifat-sifat khusus (visesa) dari segala sesuatu yang ada di alam dunia ini. Bab VIII menguraikan masalah wujud dan bentuk-bentuk pengetahuan. Bab IX menguraikan masalah pemahaman. Bab X membicarakan perbedaan sifat-sifat dari jivatman. Asas-asas perbincangan falsafah yang dikemukakan Rsi Kanada terlihat pada pernyataannya pada bagian awal dari bukunya itu. Ia menekankan bepata pentingnya dharma. Dia mengatakan misalnya: 1.Sekarang akan dijelaskan masalah dharma. 2.Dharma ialah sesgala sesuatu yang lahir dari perbuatan mulia dan kebajikan tertinggi. 3.Kewenangan kitab Veda (berasal dari) kehadirannya sebagai Sabda Ilahi (yang di dalamnya memaparkan persoalan dharma). 4.Kebaikan Tertinggi yang merupakan buah dari dharma tertentu, dihasilkan dari pengetahuan tentang essensi segala sesuatu mencakup substansi dasar kejadian (dvarya), sifat (guna), perbuatan (karma), genus (samanya), jenis (visesa) dan gabungan (abhava, yang melekat pada sesuatu), yaitu penyebab terjadinya persamaan dan perbedaan. Penekanan pada dharma bertolak dari kenyataan bahwa dalam kitab Veda masalah dharma merupakan sesuatu yang sangat penting. Ini terlihat dalam seloka dalam Veda yang berbunyi:

Yato nhyudayanihsreyasa siddhih sa darmah Yang artinya ialah, Dharma memuliakan dan kebaikan tertinggi. Yang dimaksud dengan kebaikan tertinggii ialah mokhsa, pembebasan jiwa dari lingkaran samsara yaitu keterikatan pada benda-benda dan dunia. Tanpa pengetahuan yang disertai kearifan tentang benda-benda, dunia dan kedudukan jiwa manusia, manusia tidak akan dapat melakukan perbuatan yang baik dan dengan demikian tidak menjalankan dharma atau kebajikan spiritual sebagaimana diajarkan oleh kitab Veda. Esensi segala sesuatu dan kategori-kategorinya, yaitu padharta, itulah harus diketahui oleh orang yng ingin menjcapai kebajikan tertinggi. Uraian tentang padharta inilah yang kelak dirinci Sri Uluka dalam sistem falsafahnya. III. Padharta atau Kategori Apakah arti padarhta? Kata-kata ini dibentuk dari kata pada dan artha. Kata-kata pada berarti nama, sedangkan artha artinya ialah obyek pengamatan, yaitu segala sesuatu yang terjangkau pancaindera dan pikiran manusia. Secara harfah padartha berarti makna dari sebuah perkataan, tetapi kemudian diberi arti sebagai permasalahan dari obyek-obyek yang terdapat di dalam suatu pemikiran falsafah atau darsana. Sebuah padartha merupakan sebuah obyek yang sedang dipikirkan atau diamati (artha) dan kemudian kepadanya diberikan nama (pada). Menurut Rsi Kanada dalam Vaisesika Sutra, benda-benda yang terdiri dari substansi tunggal itu besifat kekal, sedangkan merupakan gabungan dari berbagai substansi bersifat sementara. Itulah asas pembcaraan sistem falsafah ini.

Tujuh padartha dalam falsafah Vaisesika dapat dibandingkan dengan 16 kategori yang dinyatakan dalam falsafah Nyaya. Ketujuh padarha atau kategori dasar yang membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain itu ialah sebagai berikut: I. Dvarya, artinya substansi kekal karena bersifat tunggal. Substansi kekal ada sembilan, yaitu : tanah (prthivi), air (apah), api atau sinar (teja), udara atau angin (vayu), angkasa (akasa), waktu (kala), ruang (dis), roh (jiva) dan pikiran (manas). Lima substansi pertama (tanah, air, api, udara dan angkasa) disebut panca mahabhuta atau lima unsur kasar yang mendasari kejadian dan keberadaan obyek-obyek di alam semesta. Tanah, air, api, udara dan manas (pikiran yang diekspresikan) mengambil wujud sebagai atomatom abadi dan apabila dvarya ini bersenyawa dengan dvarya lain maka melahirkan suatu obyek lain yang keberadaannya tdak kekal. Manas berbeda dari jiva, sebab ia tidak mampu meresapi segala sesuatu dan bersifat atom, serta dapat diketahui pada saat orang berpikir. Jiva atau roha adalah sebaliknya, ia dapat meresapi segala sesuatu, namun tidak dapat bercampur dengan substansi lain karena keberadaannya bersifat rohaniah. Begitu pula ruang, waktu dan angkasa tidak dapat bercampur dengan substansi yang lain. Sejak awal semua itu merupakan substansi tunggal yang kekal, walaupun lebih bersifat jasmani berbanding rohani. II. Guna, sifat atau ciri dari subastansi yang ada. Semuanya berjumlah 24: (1) rupa atau warna; (2) rasa; (3) ghanda atau bau; (4) sparsa atau sentuhan, rabaan; (5) samkhya atau jumlah, bilangan; (5) parimana atau ukuran; (7) prthaktva atau keanekaragaman; (8) samyoga atau perpaduan, hubungan, keterkaitan; (9) vibhaga atau keterpisahan; (10) paratva atau keterasingan; (11) aparatva atau kedekatan; (12) gurutva atau bobot; (13) dravatva atau kecairan,

keenceran; (14) sneha atau kekentalan; (15) sabda atau bunyi, suara, ucapan; (16) buddh atau jnana, pemahaman atau pengetahuan; (17) sukha atau kegembiraan, kesenangan, kenikmatan; (18) duhkha atau penderitaan; (19) iccha atau kehendak; (20) dvesa atau kebencian, keengganan; (21) prayatna atau usaha; (22) dharma atau kebajikan, manfaat; (23) adharma atau kekurangan, cacat;(24) samskara atau sifat berbiak atau berkembang dengan sendirinya. III. Karma atau keinginan yang terkandung dalam gerakan atau kegiatan, jumlahnya ada 5 yaitu (1) gerakan ke atas; (2) gerakan ke bawah; (3) gerakan membengkok; (4) gerakan mengembang; dan (5) gerakan menjauh dan mendekat. IV. Samanya atau sifat umum berhubungan dengan kedudukan, lebih tinggi atau lebih rendah; dan jenis kelamin. V. Visesa, atau kekhususan yang merupakan milik 9 dravya. VI. Samavaya atau keterpaduan satu jenis, yaitu keterpaduan antara substansi dengansifatnya, antara jenis kelamin dan pribadi subyek; antara pemikiran dengan obyek pemikiran; kain dengan benang, binatang satu species seperti sapi, kerbau, banteng dan lain sebagainya. Sebenarnya hanya enam kategori yang telah disebutkan pada mulanya diasaskan oleh para filosof Vaisesika. Tetapi kemudian mereka merasa perlu menambahkan kategori ketujuh sebagai landasan pemikiran falsafahnya. Dengan penambahan kategori ketujuh maka landasan pemikiran mereka, khususnya dalam memecahkan masalah-masalah logis dari keberadaan, akan menjadi munasabah. Kategori ke-7 itu disebut abhava.

Abhava, merupakan kategori berkenaan denganada dan tidak adanya suatu obyek, atau lebih tepatnya mengenai keberadaan dan ketak-beradaan suatu obyek. Filosof Vaisesika membagi abhava menjadi empat sebagai berikut: (1). Pragabhava, ketidakadaan sebelumnya dari suatu benda; periuk tidak ada sebelum dibuat tukang periuk. (2) Davansabhava, terhentinya keberadaan periuk setelah dipecahkan. (3) Atyantabhava, ketiadaan timbal balik sebelum dan sesusahnya: udara sejak dulu sampai sekarang tidak berwarna; waktu datang dan pergi.,sejak dulu tak kelihatan dan tak kedengaran, begitu pula sekarang dan nanti. (4) Anyonyabha, ketiadaan mutlak. Periuk tidak memiliki ciri dan sifat yang sama dengan kain. Dalam Vaisesika Sutra Rsi Kanada mengatakan bahwa alam semesta ini terjadi disebabkan adanya suatu kekuatan tersembunyi yang memiliki kecerdasan mengarahkan suatu karma atau kegiatan/perbuatan. Kekuatan tersembunyi itu disebut adrsta. Di sini tampak bahwa sistem falsafah ini tidak membicarakan masalah Tuhan atau kekuatan transenden yang berdiri di sebalakang segala kejadian secara lansgsung. Kegiatan zarrah atau atom misalnya ditelusuri oleh para filosof Vaisesika kepada adsrta, kecerdasan tersembunyi yang menyebabkan atom melakukan gerakan tertentu. Namun demikian para pengikut aliran falsafah ini di kemudian hari merasa perlu menambahkan persoalan ketuhanan disebabkan kitab Veda mengajarkan adanya Tuhan. Dalam perkembangannya itulah kemudian lantas diyakini bahwa Brahman, Tuhan yang Maha Tinggi, merupakan causa effisiensi atau

penyebab efisien dari terjadinya alam semesta. Sedangkan zarrah berfungsi sebagai bahan material yang telah ada sebelum Brahman bertindak melakukan penciptaan. Sebelum terjadinya alam semesta dan segala isinya, zarrah-zarrah itu merupakan unsur-unsur yang berada dalam keadaan kacau, tidak dapat dibayangkan oleh siapa pun. Zarrah-zarrah itu juga tidak memiliki kekuatan dan kepandaian mengatur perjalanan alam dan tidak bisa menata dirinya sebagai kekuatan untuk menata alam. Maka Brahman atau Paramatman kemudian muncul untuk mengendalikan dan menciptakan segala sesuatu dengan mengolah zarrah-zarrah itu menjadi sesuatu yang mimilik tatanan yang pasti. Jadi yang membuat adsrta itu bekerja bukanlah dirinya sendiri, melainkan Barhman. Lima unsur kasar atau panca mahabhuta yang telah ada itu sebenarnya juga merupakan akibat dari kegiatan Brahman. Sebaga penyebab efisien segala sesuatu, Brahman merupakan keberadaan yang mendahului keberadaan yang lain. Keberadaan-Nya ditandai dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya tentang segala sesuatu. Dengan demikian Brahman dapat disebut sebagai Dzat Maha Tinggi dan Maha Tahu. Seperti halnya dalam falsafah Nyaya, dalam falsafah Vaisesika terdapat keyakinan bahwa zarrah-zarrah itu tidaklah terhitung jumlahnya dan bersifat abadi. Dan secara abadi pula, dengan mengulang-ulang dirinya, zarrah-zarrah itu saling berkumpul dan berpadu berkat Brahman melakukan kegiatan untuk mencampurkannya. Setelah berpadu zarrah-zarrah itu bercerai berai dan mengalami kehancuran. Proses itu berlangsung terus menerus dan merubakan akibat dari bekerjanya adrsta yang digerakkan oleh Brahman. Zarrah atau atom merupakan kecerdasan abadi tanpa penyebab, atau dengan perkataan lain terjadi dengan sendirinya.

Setiap zarrah, begitu pula bagian-bagian paling kecil daripada zarrah, tidak dapat diubah dan tidak pula terlihat, sehingga tidak dapat diamati langsung melalui indera biasa. Masing-masing pula memiliki kekhususan atau visesa. Dengan demikian visesa merupakan inti yang kekal dari zarrah-zarrah yang ada di alam semesta. Tampak bahwa asas pemikiran Vaisesika Darsana bercorak dualistik. Mereka memandang bahwa asas kejadian ialah zarrah-zarrah yang telah ada di alam semesta, namun keadaannya masih kacau balau. Brahman muncul sebagai asas kerohanian yang dengan di menggerakkan adrsta, kekuatan potensial tersembunyi

belakang zarrah-zarrah itu. Demikian unsur rohani atau purusha dari kejadian diartikan sebagai Brahman yang menggerakkan adrsta dan unsur prakrti-nya ialah zarah-zarrah yang banyak, yang dapat dibagi menjadi sejumlah kategori sesuai substansi kekalnya. Walaupun para filosof Vaisesika berpendapay bahwa roh dan jasmani, ide dan materi dapat saling berpadu membentuk realitas baru dari obyek-obyek, namun keduanya merupakan dzat yang sepenuhnya berbeda. Pada waktu obyek-obyek mengalami kehancuran, masingmasing kembali kepada dzatnya yang asal. Unsur-unsur bendawi kembali menjadi zarrah-zarrah dengan dvarya dan sifatnya masingmasing.. Ambil contoh ketika seseorang mengalami proses kematian. Badan mengalami proses penyusutan dan penghancuran, lambat laun mengecil dan akhirnya menjadi kian halus. Ini berbeda dengan saatsaa kletika manusia tumbuh dari setitik air mani, yang lambat laun kian membesar dan kasar. Setelah datang masa kematian beruang menyusut dan menjadi halus. Sementara unsur-unsur jasadi kembali kepada dzatnya yang semula, roh tetap abadi dan tidak mengalami penguarangan atau penyusutan sedikit pun. IV. Pokok-pokok Pandangan

Dalam uraian ini dapat dikemukakan beberapa pokok pandangan para filosof Vaisesika, khususnya sebagaimana diajarkan Rsi Kanada dan Sri Uluka, yang dipandang sebagai pengasas awal dan utama sistem falsafah ini, sebagai berikut: 1.Kelahiran manusia dan usianya, beserta tempatnya lahir, keadaan yang dialami dan lingkungan keluarganya, telah ditetapkan oleh adrsta masing-masing. Jadi adrsta berperan sebagai ketentuan atau semacam takdir. Adapun atman (roh perorangan) yang menempati badan seseorang bersifat kekal dan berbeda dari atman orang lain. Roh orang yang satu terpisah dan terasing dari roh orang yang lain. Adalah atman yang memberikan kemampuan batin kepada manusia dalam hidupnya sehingga ia mampu pula memberi tanggapan kepada kehendak, pengetahuan, keinginan, kebencian, kesenangan dan derita yang muncul dalam dirinya. Apabila badan jasmani dibatasi oleh ruang dan waktu, maka badan rohani yang disebut atman itu tidak dibatasi ruang dan waktu. 2.Karena sifat roh yang demikian itu maka bersama-sama pikiran, roh tidak dapat menjadi obyek pengamatan indera. Ia hanya dapat menjadi obyek pengamatan pikiran, melalui isyarat-isyarat yang dihasilkan dari pikiran sendiri. 3.Perpaduan dan kerjasama antara atman dan badan jasmani, antara sarana batin dan pancaindera, dapat terjadi disebabkan kegiatan dharma dan adharma, yaitu kebajikan dan kenistaan. 4. Kesenangan dan penderitaan (dukkha) merupakan hasil atau akibat adanya hubungan antara roh, pikiran, pancaindera dan obyekobyek pengamatan. Jika roh/jiwa dan pikiran tidak memerintahkan indera agar terpaut pada obyek-obyek yang menyebabkan munculnya kesenangan dan penderitaan, maka tidak akan ada kesenangan dan

penderitaan. Dari kesenangan yang diperoleh melalui kenikmatan (kama) atas suatu obyek, maka muncullah keinginan untuk memperoleh obyek itu. Keinginan memperoleh obyek disebut raga, artinya keterikatan. Dari suatu penderitaan, misalnya disebabkan sengatan lebah, hardikan seorang polisi, maka akan muncul rasa benci terhadap penderitaan dan sumber penderitaan. Ini juga disebut raga. 5.Disebabkan kuatnya pengaruh dari pengalaman-pengalaman tertentu yang mendatangkan kesenangan atau penderitaan, seseorang akan menjadi terikat pada obyek-obyek tertentu. Seorang pencinta yang gagal memperoleh cinta dari seorang wanita, akan selalui melihat bayangan orang dicintainya itu pada setiap obyek yang indah. Orang yang pernah dipatuk seekor ular akan merasakan bahwa di mana-mana ada ular. Dengan demikian ingatan itu dibentuk oleh pengalaman dan sangat berpengaruh pada pandangan manusia terhadap sesuatu. 6.Keterikatan kebencian (dvesa) pada dan sesuatu, terutama (moha) keinginan merupakan (raga), dosa

kebingungan

(kesalahan). Hal ini dikarenakan semya perkara itu dapat membuat seseorang terikat pada dunia. 7.Pengetahuan palsu (mythia jnana) timbul sebagai akibat dari kesalahan atau dosa. Untuk menyingkirkan pengetahuan palsu diperlukan kekuatan pengetahuan intuitif tentang Sang Diri (jivatman). Pengetahuan tentang diri hakki ini diperoleh melalui renungan yang dalam (samadhi), pemeriksaan diri (introspeksi) dan meditasi (dhyana). Karena alasan inilah falsafah Samkhya dipasangkan dengan Yoga Darsana yang mengajarkan sistem meditasi dan disiplin diri secara praktis, sedangkan Samkhya sendiri tidak menguraikannya secara rinci.

8.Karena alam dunia mendatangkan banyak dosa dibanding kebajikan, dan juga karena pesonanya menimbulkan pengetahuan palsu, maka alam dunia ini disebut maya (khayali). 9.Alam semesta dicipta berdasarkan dua sebab musabab, yaitu: (a) Nimitta, penyebab efisiensi atau penyebab yang secara efisien menyebabkan terjadinya dunia. Nimitta juga disbut sebagai instrumental dan bersifat kerohanian; (b) Upadana, yaitu penyebab jasmani. Penyebab instrumental (nimitta karana) ialah Isvara (Tuhan) dan penyebab jasmaninya ialah zarrah=-zarrah yang kacau balau dan tidak terhitung banyaknya yang disebut prakrti. Apabila kita umpamakan dengan kendi, maka nimitta karana-nya ialah pembuat kendi dan upadana-nya ialah tanah liat. 10.Pengetahuan atau jnana yang benar disebut prama,

pengetahuan yang salah disebut bhrama. Falsafah Samkhya juga menggolongan pengetahuan menjadi dua macam : pengetahuan yang meragukan (samsaya jnana) dan pengetahuan yang pasti (niscaya jnana). Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pembuktian yang benar dan mendatangkan kebaikan (pramanya grha jnana). Pengetahuan yang salah menimbulkan keburukan dan merupakan mythia jnana. Samkhya adalah sistem falsafah yang mengakui keberadaan Brahman atau Isvara, yaitu Dzat Yang Maha Tinggi. Dalam Vaisesika Sutra bab V dinyatakan misalnya: Ditanyakan apa bukti dari adanya Brahman? Dijawab: Buktinya dinyatakan dalam kitab suci dan disimpulkan melalui penalaran akal. Proses penyimpulan ada empat macam: pratyaksa pramana, anumana pramana, upamana pramana dan sabda pramana. Keberadaan substansi dasar yang empat (tanah, air, api dan udara) itu didahului

oleh keberadaan Dzat yang mengetahui keadaan dan sifat-sifat (dari yang empat itu), karena substansi yang empat itu tidak lain hanyalah akibat yang didahului oleh Dzat yang memiliki penalaran tentang mereka. Contohnya keberadaan periuk didahului oleh adanya seorang pembuat periuk yang mengetahui empat substansi dasar yang dapat diolah menjadi sebuah periuk. Penyimpulan melalui penalaran, yang didahului dengan pengamatan langsung atau pratyaksa pramana, hanya dapat dilakukan apabila semua substansi atau unsur dasar dan kekuatan yang memadukan unsur-unsur itu diketahui. Penutup Perhatian pokok filsafat Vaisesika adalah analisanya yang mendalam tentang alam semesta yang terdiri atas kategori-kategori (padartha). Filsafat Vaisesika merupakan realisme pluralistik, sebuah filsafat identitas dan perbedaan yang menekankan bahwa inti realitas terdiri atas perbedaan atau kebhinekaan. Sebuah kategori disebut padartha dan seluruh alam semesta ini diturunkan menjadi enam padharta. Padartha secara literal berarti objek yang ditandai oleh kata atau makna kata. Semua objek pengetahuan atau semua yang riil berada di bawah padartha. Padartha berarti suatu objek yang dapat dipikirkan (jeneya) dan diberi nama (abhidheya). Ini hanyalah berupa katalog tentang riil sesuatu yang benda beragam yang tanpa dapat diketahui, upaya atau untuk pengungkapan adanya

mensintesakan mereka. Filosof-filosof Vaisesika belakangan menambahkan satu lagi padartha, yaitu abhava, sehingga menjadi berjumlah tujuh padartha, ketidakadaan atau penyangkalan keberadaan (abhava). Ketiga kategori yang pertama dari benda-benda, sifat dan kegiatan, memiliki keberadaan obyektif yang nyata, sedangkan ketiga kategori berikutnya yaitu, keumuman, kekhususan dan keterpaduan merupakan

keberadaan logika yang merupakan hasil dari perbedaan kecerdasan. Rsi Kanada hanya menyebutkan enam kategori sedangkan yang ketujuh ditambahkan oleh penulis berikutnya. Tanah, air, udara, ether, waktu, ruang, jiwa dan pikiran merupakan sembilan drawiya atau benda-benda. Empat pertama dan yang terakhir dianggap berwujud atom-atom dan empat yang pertama tadi bersifat abadi dan juga tidak abadi. Tidak abadi diberbagai persenyawaan dan abadi pada bentuk atom terakhir dan setelah itu mereka seharusnya kembali keasalnya. DAFTAR PUSTAKA: Abdul Hadi W.M. 2004, Asas-Asas Falsafah India, Jakarta: Univ. Paramadina.