Upload
vanny-van-sneidjer
View
57
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH TARIF PAJAK DAN SELF ASSESSMENT SYSTEM
TERHADAP TINDAKAN TAX EVASION
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Seminar Perpajakan
Dosen : Andi, SE., M.Si.
Disusun Oleh :
1.
Anggita Anjani (5552131310)
2.
Rosita Nadyawati (5552131758)
Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Serang
2
2016
i
ABSTRAK
Pajak merupakan pendapatan tertinggi negara yang berasal dari dalam negeri.
Namun pada kenyataanya masih banyak ditemukannya kasus mengenai wajib
pajak yang melanggar kewajiban perpajakannya dengan melakukan penggelapan
pajak. Tujuan dari makalah ini adalah untuk menganalisis pengaruh tarif pajak
dan self assessment system terhadap tindakan tax evasion (penggelapan pajak)..
Kata kunci : Tarif pajak, self assessment system, penggelapan pajak, tax evasion
ii
DAFTAR ISI
Abstrak.........................................................................................................i
Daftar isi.......................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................4
1.3 Tujuan....................................................................................................4
Bab II Pembahasan
2.1 Pajak.......................................................................................................5
2.2 Tarif Pajak..............................................................................................6
2.3 Self Assesment System............................................................................8
2.4 Tax Evasion ...........................................................................................9
2.4.1 Penyebab Tax Evasion ................................................................11
2.4.2 Dampak Tax Evasion ..................................................................12
Kesimpulan..................................................................................................15
Daftar Pustaka .............................................................................................16
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkembang yang dalam pembiayaan
pembangunan nasionalnya mengandalkan salah satu sumber pendapatan
terbesar negara yaitu dari sektor pajak. Perekonomian suatu negara khususnya
negara berkembang tidak dapat dilepaskan dari berbagai kebijakan ekonomi
makro yang dilakukan oleh negara. Suatu negara membutuhkan dana untuk
membiayai segala kegiatan yang dilakukannya baik pengeluaran rutin maupun
pengeluaran pembangunan dalam menjalankan roda pemerintahan. Salah satu
pemasukan terbesar adalah dari sektor pajak. Pajak dari waktu ke waktu
semakin menjadi andalan utama penerimaan pajak di Indonesia.
Yossi Friskianti dan Bestari Dwi Handayani (2014) menyatakan bahwa
pada tahun 1983, terjadi reformasi perpajakan dimana sistem perpajakan di
Indonesia berubah dari official assessment system menjadi self assessment
system. Reformasi perpajakan ini dimaksudkan supaya wajib pajak dengan
kesadaran sendiri dan sukarela melaksanakan kewajiban perpajakannya. Oleh
karena itu, sistem ini akan berjalan dengan baik apabila masyarakat memiliki
tingkat kesadaran perpajakan secara sukarela (voluntary tax compliance) yang
tinggi (Suminarsasi, 2011:1, dalam Irma Suryani Rahman, 2013).
Menurut Theo Kusuma Ardyaksa dan Kiswanto (2014) Pajak mempunyai
kecenderungan dan karakteristik hubungan yang searah, dimana ada satu
pihak yang mempunyai kewajiban untuk membayar, namun pihak yang
satunya lagi (pemerintah) tidak mempunyai kewajiban apapun untuk
memberikan jasa timbal balik apapun kepada pembayar. Hal ini akan
menyebabkan kecenderungan para pembayar pajak (wajib pajak) untuk
mencari cara supaya dapat mengurangi beban pajak terutang yang akan
dibayarkannya kepada negara. Fenomena ini terjadi disebabkan karena sudut
2
pandang pembayar pajak merasa membayar pajak dapat mengurangi laba dan
kenikmatan yang diperolehnya dari hasil kerja kerasnya, sehingga dengan
adaya hal ini memunculkan ide untuk merencanakan pengurangan beban pajak
yang harus dibayarkan.
Realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh) tahun 2013 sebesar
Rp.265,50 triliun atau mencapai 94,58% dari target Rp.280,70 triliun atau
mengalami kenaikan yang sangat drastis sebanyak 56,84% jika dibandingkan
dengan realisasi tahun 2012, adapun di tahun 2012 realisasi penerimaan pajak
penghasilan (PPh), yaitu sebesar Rp.94 triliun atau hanya mencapai 37,74%
dari target Rp.249,04 triliun. Hal ini menjelaskan bahwa di tahun 2012 terjadi
penurunan yang sangat signifikan apabila dibandingkan lagi dengan
penerimaan pajak di tahun 2011 dan 2010, dengan rincian penerimaan tahun
2011 yaitu penerimaan pajak penghasilan (PPh), yaitu sebesar Rp. 198,52
Triliun dari Rp.235,24 Triliun dengan pencapaian sebesar 84% dan pada tahun
2010 penerimaan pajak penghasilan (PPh), yakni sebesar Rp.176,14 Triliun
dari target Rp.156,15 Triliun dengan pencapaian sebesar 88,65%. Di tahun
2013 penerimaan pajak penghasilan mengalami kenaikan sebesar 94,58%
dengan jumlah penerimaan sebesar Rp.265,50 Triliun dari target Rp. 280,70
triliun dan kembali mengalami kenaikan bahkan melampaui target yaitu
jumlah penerimaan sebesar Rp.301,75 triliun dari target Rp.293,53 triliun atau
melewati 2,64% dari target yang ditentukan. (Direktorat Jenderal Pajak, 2015,
dalam Fransiska, 2015).
Menurut Fransiska (2015) meskipun mengalami kenaikan yang sangat
drastis dari tahun sebelumnya, tetapi penerimaan pajak tahun 2013 hanya
sekitar 94,58% dari target pajak yang ada, Kondisi ini menimbulkan
kecurigaan adanya kegiatan penggelapan yang mungkin dilakukan oleh
petugas pajak ataupun oleh wajib pajak itu sendiri. Menurut Suminarsasi dan
Supriyadi (2014), salah satu indikasi adanya penggelapan pajak dapat dilihat
dari tidak tercapainya target penerimaan pajak, dan faktanya dari tiap tahun
realisasi penerimaan pajak terutama PPh tidak mencapai target. Upaya untuk
3
mendapatkan penerimaan atau pemungutan pajak yang optimal dibutuhkan
adanya sistem pemungutan pajak.
Tingginya keinginan untuk memperoleh laba yang besar, hampir seluruh
perusahaan akan melakukan perencanaan pajak. Perencanaan Pajak (Tax
Planing) bertujuan untuk mengurangi jumlah beban pajak yang harus
dibayarkan. Perencanaan pajak terbagi menjadi dua yaitu penghindaran pajak
(Tax Avoidance) dan Penggelapan Pajak (Tax Evasion) Meskipun memiliki
tujuan yang sama yaitu mengurangi beban pajak yang dibayarkan, akan tetapi
kedua hal ini memiliki pebedaan yang sangat mecolok.
Menurut Izzah (2008), dalam Rahman (2013) adanya perlakuan tax
evasion dipengaruhi oleh berbagai hal seperti tarif pajak terlalu tinggi. Tarif
pajak adalah persentase untuk menghitung pajak terutang. Dalam penetapan
tarif pajak harus berdasarkan keadilan. Menurut Penelitian Permatasari (2013)
jika tarif pajak tinggi maka penggelapan pajak juga akan tinggi. Jika
dihubungkan dengan teori Motivasi (Hilgard dan Atkinson, 1979) maka wajib
pajak akan membuat motivasi penilaiannya sendiri terhadap tarif pajak yg
berlaku. Jika mereka merasa tarif pajak yang berlaku terlalu tinggi maka akan
berbanding lurus dengan tingkat penggelapan pajak (Theo, 2014).
Peningkatan tarif pajak dimaksudkan untuk memberikan peningkatan
pendapatan, namun yang terjadi justru sebaliknya. Semakin tinggi tarif pajak
semakin besar tingkat penggelapan pajak, sehingga pendapatan semakin
menurun.
Beberapa penelitian tentang tax evasion telah dilakukan, seperti penelitian
yang dilakukan Yossi Friskianti dan Bestari Dwi Handayani (2014) tentang
pengaruh self assessment system, keadilan, teknologi perpajakan, dan
ketidakpercayaan kepada pihak fiskus terhadap tindakan tax evasion. Hasil
penelitian ini menunjukan variabel self assessment system, keadilan, teknologi
perpajakan, secara parsial tidak berpengaruh terhadap tindakan tax evasion.
4
Sedangkan ketidakpercayaan kepada pihak fiskus secara parsial berpengaruh
terhadap tindakan tax evasion.
Penelitian yang dilakukan oleh Inggrid Permatasari dan Herry Laksito
(2013) tentang minimalisasi tax evasion melalui tarif pajak, teknologi dan
informasi perpajakan, keadilan sistem perpajakan, dan ketepatan
pengalokasian pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa tarif pajak berpengaruh positif secara signifikan terhadap tax evasion,
dan teknologi dan informasi pajak, keadilan sistem pajak dan ketepatan
pengalokasian pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif signifikan secara
parsial dan simultan terhadap tax evasion.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka didapatkan rumusan masalah sbb:
“Bagaimanakah tarif pajak dan self assessment system berpengaruh terhadap
tindakan tax evasion?”
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui pengaruh tarif pajak dan
self assessment syetem terhadap tax evasion
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pajak
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.16
Tahun 2009). Selain itu, beberapa pengertian pajak berdasarkan pendapat para
ahli antara lain sebagai berikut. (Pujianto, 2014)
Pengertian pajak menurut Soemahamidjaja, adalah iuran wajib berupa
uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma
hukum, guna menutupi biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa
kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. (Pudyamoko, 2008:2)
Soemitro mengatakan bahwa “pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak
rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaraan rutin “surplus”-
nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama dalam
membiayai public investment”. (Suandy, 2008:2)
Menurut Smeets, (Pudyamoko, 2008:4) “pajak adalah prestasi kepada
pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat
dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal
yang individual, maksudnya untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.
Menurut Pujianto (2014) dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh
para ahli di atas, dapat disimpulkan :
1) Pajak adalah kewajiban rakyat kepada negara dan bersifat memaksa,
2) Pajak merupakansebagian kekayaan yang diserahkan untuk membiayai
pengeluaran rutin negara,
6
3) Rakyat sebagai wajib pajak tidak menerima imbalan jasa secara
langsung dari negara, tapi berupa pembangunan untuk kesejahteraan
umum.
Saat ini, ada lima jenis pajak yang dikelola di Indonesia, yaitu; pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, bea materai,
dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pungutan kepada wajib pajak
inilah yang diharapkan membiayai pengeluaran negara. (Pujianto, 2014)
2.2 Tarif Pajak
Menurut Ayu (2009), dalam Ardyaksa (2014) tarif pajak adalah prosentase
perhitungan yang harus dibayar oleh wajib pajak. Penentuan mengenai pajak
yang terutang sangat ditentukan oleh tarif pajak dari berbagai jenis pajak, baik
dari pajak pusat maupun pajak daerah. Sebenarnya tarif pajak masih tergolong
kedalam ketentuan materil di hukum pajak bersama-sama dengan wajib pajak
dan objek pajak. Keberadaan tarif pajak digunakan untuk menghitung pajak
terhutang. Meskipun tarif pajak digunakan untuk mengetahui jumlah pajak
terhutang, tidak berarti mengesampingkan fungsi hukum pajak yang berupa
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Menurut Permatasari (2013),
dalam Ardyaksa (2014) tarif pajak diukur menggunakan indikator sebagai
berikut: prinsip kemampuan dalam membayar pajak, tarif pajak yang
diberlakukan di Indonesia.
Menururt Mardiasmo (2009:9), dalam Rahman (2013) pajak dipungut
berdasarkan tarif. Ada empat macam tarif pajak, yaitu tarif proposional, tarif
tetap, tarif progresif, dan tarif degresif.
a. Tarif Proposional
Tarif berupa persentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang
dikenakan pajak, sehingga besarnya pajak yang terutang proposional
terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
b. Tarif Tetap
7
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah
yang dikenai pajak, sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
c. Tarif Progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang
dikenai pajak semakin besar.
d. Tarif Degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah dikenai
pajak semakin besar.
Tarif pajak merupakan ukuran atau standar pemungutan pajak, dalam
hubungannya dengan pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam UU PPh
maka tarif yang diterapkan adalah tarif progresif sebagaimana diatur dalam
pasal 17 ayat (1) UU PPh. Sedangkan untuk pajak pertambahan nilai berlaku
tarif pajak proporsional yaitu 10%. (Rahman, 2013)
Penelitian Kurniawati (2014) menyatakan bahwa salah satu syarat
pemungutan pajak adalah keadilan, baik keadilan dalam prinsip maupun
dalam pelaksanaannya. Pemerintah dapat menciptakan keseimbangan sosial
dengan adanya keadilan, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Oleh karena itu, penetapan tarif pajak harus berdasarkan pada keadilan karena
pungutan pajak yang dilakukan di Indonesia menggunakan tarif pajak.
Penentuan mengenai pajak yang terutang sangat ditentukan oleh tarif pajak.
Dalam penghitungan pajak yang terutang digunakan tarif pajak yang
kemudian dikalikan dengan dasar pengenaan pajak. Beberapa studi
menunjukkan bahwa tarif pajak yang tinggi memicu penggelapan pajak. Tarif
pajak yang tinggi akan meningkatkan beban pajak sehingga menurunkan
pendapatan dari wajib pajak (Alligham dan Sandmo, 1972). Tetapi, tingkat
tarif pajak mungkin bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi keputusan
masyarakat tentang membayar pajak karena sistem pajak secara keseluruhan
juga memiliki dampak. Jika, tingkat pajak atas penghasilan dari perusahaan
seseorang rendah, tetapi individu menghadapi tarif pajak yang tinggi atas
penghasilan pribadi, mereka akan menganggap beban pajak pribadi sebagai
8
hal yang tidak adil dan memilih untuk melaporkan sebagian penghasilan
pribadi. International Tax Compact (2010) menjelaskan alasan wajib pajak
melakukan tindakan penggelapan dan penghindaran pajak adalah rendahnya
kemauan wajib pajak untuk membayar pajak atau rendahnya moral terhadap
pajak, tingginya biaya kepatuhan yang harus ditanggung oleh wajib pajak,
rendahnya system perpajakan, dan rendahnya tingkat terungkapnya tindakan
penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak dan fiskus. Salah satu
penyebab rendahnya moral terhadap pajak adalah penetapan tarif pajak yang
terlalu tinggi sehingga memberatkan bagi wajib pajak.
2.3 Self Assessment System
Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang, kepercayaan,tanggung jawab kepada wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya
pajak yang harus dibayar. (Diana dan Setiawati, 2009:1, dalam Pujianto, 2014)
a. Pelaksanaan self assessment system
Sehubungan dengan pelaksannan self assessment system pemenuhan
kewajiban perpajakan harus dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Kewajiban
wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakan menurut Rahayu
(2010:101-102), dalam Pujianto (2014) antara lain; 1) mendaftarkan diri di
kantor pelayanan pajak; 2) menghitung dan atau memperhitungkan sendiri
jumlah pajak yangterutang melalui pengisian dengan baik & benar; 3)
menyetor pajak tersebut ke bank persepsi/kantor pos; 4) melaporkan
penyetoran tersebut kepada direktur jenderal pajak
b. Ciri-ciri self assessment system
Adapun ciri-ciri self assessment system, adalah;
Wajib pajak memiliki wewenang untuk menentukan sendiri besarnya
pajak terutang
9
Wajib pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh ataskewajiban
perpajakannya sendiri, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri wajib pajak yang terutang.
Fiskus atau pemerintah dalam hal ini instansi perpajakan melakukan
pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban
perpajakanbagi wajib pajak, melalui pemeriksaan pajak dan penerapan
sanksi pelanggaran dalam bidang pajak sesuai peraturan yang berlaku
(Pujianto, 2014)
Menurut Siahaan (2010:184-185), dalam Rahman (2013) self assessment
system sebagai suatu bentuk sistem hukum yang modern dibidang perpajakan,
dan ini sejalan dengan falsafah bangsa yang meletakkan pembayaran pajak
sebagai bentuk kegotongroyongan nasional sebagaimana yang dimaksud
dalam jiwa Pancasila. Dalam sistem ini pajak terutang bukan karena adanya
SKP (faham formal dalam utang pajak), namun adanya pajak terutang karena
timbulnya subjek memiliki objek pajak (faham material dari timbulnya utang
pajak). Dalam hal ini bukan berarti pengertian faham formal timbulnya utang
pajak (melalui penerbitan SKP) tidak ada, SKP diterbitkan apabila WP
memiliki kesalahan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang
bersifat bukan merupakan perbuatan pidana. Dalam hal kesalahan tersebut
bersifat kekeliruan yang bersifat manusiawi dari WP maka kekeliruan itu
cukup diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) (Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 189/PMK.03/2007 yang mulai berlaku pada 1 Januari 2008).
2.4 Tax Evasion
Berikut defenisi mengenai tax evasion berdasarkan pendapat para pakar,
antara lain; (Pujianto, 2014)
Mortenson mengemukakan bahwa penyelundupan pajak adalah usaha
yang tidak dapat dibenarkan berkenaan dengan kegiatan wajib pajakuntuk
lari atau menghindarkan diri dari pengenaan pajak.
10
Anderson mengatakan bahwa penyelundupan pajak adalah
penyulundupan pajak yang melanggar undang-undang.
Mardiasmo (2008:9) tax evasion adalah “usaha meringankan beban pajak
dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak)”
Definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa, tax evasion merupakan cara ilegal untuk tidak membayar pajak dengan
melakukan tindakan menyimpang (irregular acts) dalam berbagai bentuk
kecurangan (frauds) yang dilakukan dengan sengaja dan dalam keadaan sadar.
Oldman (Zain, 2008:51), dalam Pujianto (2014) memaparkan bahwa
penyelundupan pajak tidak hanya terbatas pada kecurangan dan penggelapan
dalam segala bentuknya, tetapi juga meliputi kelalaian memenuhi kewajiban
perpajakan yang disebabkan oleh;
Ketidaktahuan (ignorance), yaitu wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu
akan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
tersebut.
Kesalahan (error), yaitu wajib pajak paham dan mengerti mengenai
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, tetapi salah hitung
datanya.
Kesalahpahaman (misunderstanding), yaitu wajib pajak salah menafsirkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kealpaan (negligence), yaitu wajib pajak alpa untuk menyimpan buku
beserta bukti-buktinya secara lengkap.
Zain (2008:51), dalam Pujianto (2014) menjelaskan bahwa sejumlah tindakan
yang merupakan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan diantaranya : 1) Tidak menyampaikan SPT; 2) Menyampaikan SPT
dengan tidak benar; 3) Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan NPWP
atau pengukuhan PKP; 4) Tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut atau
dipotong; 5) Berusaha menyuap fiskus.
11
2.1.1 Penyebab Tax Evasion
Rahayu (2010:149), dalam Pujianto (2014) mengatakan “selain faktor
psikologis wajib pajak kurang sadar terhadap kepatuhan pajak, hal lain
yang membuat wajib pajak berusaha menghindar dari pajak diantaranya
kondisi lingkungan, pelayanan fiskus yang mengecewakan, tingginya tarif
pajak dan sistem administrasi yang buruk”. Adapun penyebab terjadinya
tindakan tax evasion, adalah;
1) Kondisi lingkungan
Lingkungan sosial masyarakat menjadi hal yang tak terpisahkan dari
manusia sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu saling bergantung
satu sama lain. Begitu juga dalam dunia perpajakan, manusia akan melihat
lingkungan sekitar yang seharusnya mematuhi aturan perpajakan. Mereka
saling mengamati terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Jika kondisi
lingkungannya baik (taat aturan), masing-masing individu akan
termotivasi untuk mematuhi peraturan perpajakan dengan membayar pajak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2) Pelayanan fiskus yang mengecewakan
Pelayanan aparat pemungut pajak terhadap masyarakat cukup
menentukan dalam pengambilan keputusan wajib pajak untuk membayar
pajak. Mereka menganggap bahwa kontribusinya telah dihargai meskipun
hanya sekedar dengan pelayananyang ramah saja, jika yang dilakukan
tidak menunjukkan penghormatan atas usaha wajib pajak, masyarakat
merasa malas untuk membayar pajak kembali.
3) Tingginya tarif pajak
Pemberlakuan tarif pajak mempengaruhi wajib pajak dalam hal
pembayaran pajak. Pembebanan pajak yang rendah membuat masyarakat
tidak terlalu keberatan untuk memenuhi kewajibannya. Meskipun masih
ingin berkelit dari pajak, mereka tidak akan terlalu membangkang terhadap
12
aturan perpajakan karena harta yang berkurang hanyalah sebagian
kecilnya. Pembebanan tarif yang tinggi, menjadikan masyarakat semakin
serius berusaha untuk terlepas dari jeratan pajak yang menghantuinya.
Wajib pajak ingin mengamankan hartanya sebanyak mungkin dengan
berbagai cara karena mereka tengah berusaha untuk mencukupi berbagai
kebutuhan hidupnya. Masyarakat tidak ingin apa yang telah diperoleh
dengan kerja keras harus hilang begitu saja hanya karena pajak yang
tinggi.
4) Sistem administrasi perpajakan yang buruk
Penerapan sistem administrasi pajak mempunyai peranan penting
dalam proses pemungutan pajak suatu negara. Seandainya sistem yang
diterapkan berjalan jauh dari harapan, masyarakat menjadi berkeinginan
untuk menghindari pajak. Mereka bertanya-tanya apakah pajak yang telah
dibayarnya akan dikelola dengan baik atau tidak. Setelah timbul pemikiran
yang menyangsikan kinerja fiskus seperti itu, kemungkinan besar banyak
wajib pajak yang benar-benar `lari` dari kewajiban membayar pajak.
2.1.2 Dampak Tax Evasion
Menurut Siahaan (2010:110), dalam Rahman (2013), penggelapan pajak
membawa akibat pada pada perekonomian secara makro. Akibat dari
pengelakan pajak sangat beragam dan meliputi berbagai bidang kehidupan
masyarakat, antara lain sebagai berikut:
a. Akibat Pengelakan / Penggelapan Pajak Dalam Bidang Keuangan
Penggelapan/pengelakan pajak (sebagaimana juga halnya dengan
penghindaran diri dari pajak) berarti pos kerugian yang penting bagi
Negara, yaitu dapat menyebabkan ketidakseimbangan anggaran dan
konsekuensi-konsekuensi lain yang berhubungan dengan penaikan tarif
pajak, inflasi, dan sebagainya. Untuk menjamin pemungutan pajak
13
secara tepat, sering dikemukakan falsafah sebagai berikut, “Wajib
Pajak yang mengelakan pajak mungkin mengira bahwa Negara
mengambil sejumlah yang telah ada dikantungnya. Pada hakikatnya
dialah yang mengambil uang dari warga-warga yang oleh Negara
harus diminta pengorbanan lain (untuk mengimbangi kekurangan yang
ditimbulkan oleh Wajib Pajak yang tidak menunaikan kewajibannya
itu)”.
b. Akibat Pengelakan / Penggelapan Pajak Dibidang Ekonomi
Menurut Siahaan (2010:110), adapun akibat dari penggelapan pajak
dalam bidang ekonomi adalah sebagai berikut
1. Pengelakan/penggelapan pajak sangat mempengaruhi persaingan
sehat diantara para pengusaha, sebab suatu perusahaan yang
menggelapkan pajaknya dengan menekan menekan biaya secara tidak
legal, mereka mempunyai posisi yang lebih menguntungkan daripada
saingan-saingan yang tidak berbuat demikian.
2. Pengelakan/penggelapan pajak tersebut merupakan penyebab
stagnasi perputaran roda ekonomi yang apabila perusahaan
bersangkutan berusaha untuk mencapai tambahan dari keuntungannya
dengan penggelapan pajak, dan tidak mengusahakan dengan jalan
perluasan aktivitas atau peningkatan usaha. Untuk menutup-nutupinya
agar jangan sampai terlihat oleh fiskus.
3. Pengelakan/penggelapan pajak termaksud juga menyebabkan
langkanya modal karena para wajib pajak yang menyembunyikan
keuntungannya terpaksa berusaha keras untuk menutupinya agar tidak
sampai terdeteksi oleh fiskus.
Oleh karena itu pengelakan/penggelapan pajak yang dilakukan oleh
para WP pada hakikatnya menimbulkan dampak yang secara tidak
langsung menghambat pertumbuhan dan perluasan usahanya, dengan
mencoba sedemikian rupa untuk meminimalkan jumlah beban pajak
yang dilaporkan di SPT. Hal ini juga mengakibatkan ruang lingkup
14
perputaran modal suatu usaha menjadi tidak leluasa dikarenakan WP
berusaha menyembunyikan laba/keuntungannya sedemikian rupa agar
tidak sampai terdeteksi oleh fiskus.
c. Akibat Pengelakan / Penggelapan Pajak Dalam Bidang Psikologi
Akibat dari penggelapan pajak itu juga dirasakan dalam bidang
psikologi, sebab penggelapan pajak membiasakan Wajib Pajak untuk
melanggar undang-undang. Apabila Wajib Pajak sampai hati
melakukan penipuan dalam bidang fiskal, lambat laun Wajib Pajak
tidak akan segan-segan berbuat sama dalam hal ini. Akibat dari
komplikasi-komplikasi ini pasti menimbulkan dampak yang
mengancam sehubungan dengan tindak penggelapan pajak, seperti:
kemungkinan terungkapnya praktek penipuan tersebut dengan
konsekuensi pembayaran pajak yang berlipat ganda karena meliputi
utang pajak dalam waktu tertentu, ditambah dengan denda dan
kenaikan pajak yang harus dibayarnya. Hal demikian kadang-kadang
terjadi pada saat yang kurang tepat seperti dalam keadaan kekurangan
uang, sakit ataupun mengalami kebangkrutan. Akhirnya tindakan
penggelapan pajak mempunyai pengaruh yang berbahaya terhadap
Wajib Pajak, dengan tidak menyadari akan konsekuensinya, dan
mengira bahwa perbuatan curang semacam itu akan
menguntungkannya secara jangka panjang (Siahaan, 2010:111).
15
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengaruh tarif pajak dan self
assesment system dapat memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan tax
evasion. Semakin tingginya tarif pajak maka semakin tinggi pula keinginan
seseorang untuk melakukan penggelapan pajak. Self assesment system dapat
menjadi celah atau kesempatan bagi wajib pajak untuk melakukan tax evasion.
Self assessment system ini sangat memungkinkan terjadi penyelewengan terhadap
nominal pajak yang harus dibayar. Kelemahan Self Assessment System yang
memberikan kepercayaan pada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutang dalam praktiknya sulit berjalan
sesuai dengan yang diharapkan, bahkan disalahgunakan. Banyaknya keluhan dari
masyarakat yang merasa kurang puas atau pengenaan pajaknya kurang adil dan
kurang mencerminkan ketentuan undang-undang, Selain peraturan yang tidak
berpihak pada wajib pajak, self assessment system ini merupakan sistem
pemungutan pajak sejak era reformasi, yang berprinsip bahwa wajib pajak
menghitung sendiri besaran pajaknya yang terhutang, masih jauh dari harapan
sebagai wajib pajak yang menjadi alasan mengapa masyarakat menolak
membayar pajak. Karena apabila self assessment system dilakukan sesuai
prosedur dan ketentuan yang berlaku maka akan menghasilkan pajak yang
optimal, sebaliknya apabila kepatuhan wajib pajak kurang, maka self assessment
system tidak akan berjalan sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku, hal itu lah
yang menyebabkan terjadinya kecurangan pajak
16
Daftar Pustaka
Friskianti, Y., dan B, D, Handayani. 2014. "Pengaruh Self Assessment System, Keadilan, Keadilan, Teknologi Perpajakan dan Ketidakpercayaan Kepada Pihak Fiskus Terhadap Tindakan Tax Evasion". Accounting Analysis Journal.
Ardyaksa, Theo, K., dan Kiswanto. 2014. "Pengaruh Keadilan, Tarif Pajak, Ketepatan Pengalokasian, Kecurangan, Teknologi dan Informasi Perpajakan Terhadap Tax Evasion". Accounting Analysis Journal
Permatasari, I., dan H. Laksito. 2013. "Minimalisasi Tax Evasion Melalui Tarif Pajak, Teknologi dan Informasi Perpajakan, Keadilan Sistem Perpajakan dan Ketepatan Pengalokasian Pengeluaran Pemerintah". Diponegoro Journal Of Accounting. Volume 2, No.2, Hal 1-10. Semarang: Universitas Diponegoro.
Nurhamidin, Fransisca E.. 2015. "Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi Atas Pelaksanaan Self Assesment System Terhadap Tindakan Tax Evasion di Kota Gorontalo". Jurnal Akuntansi. Universitas Negeri Gorontalo.
Rahman, Irma Suryani. 2013. "Pengaruh Keadilan, sistem Perpajakan, Diskriminasi, dan kemungkinan Terjadinya Kecurangan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak". Skripsi. Jakarta: UIN
Kurniawati, Meiliana dan Agus Arianto. 2014. “Analisis Keadilan Pajak, Biaya Kepatuhan dan Tarif Pajak Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Penggelapan Pajak di Surabaya Barat”. Tax & Accounting Review. Vol. 4, No. 2. Universitas Kristen Petra.
Pujianto, Dwi Indriyani. 2014. “Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Efektifitas Self Assessment System dan Sanksi Pajak dalam Keterkaitannya dengan Tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama Palopo”. Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.