Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2. LANDASAN TEORI
Landasan teori dalam penelitian diperlukan sebagai salah satu pedoman
dalam menganalis data dan sebagai landasan pemikiran peneliti dalam meneliti
suatu masalah. Dalam karya ilmiah, landasan teori juga dipergunakan sebagai alat
untuk menjawab rumusan permasalahan yang ada.
2.1. Tipografi
Tipografi adalah seni dan teknik yang terbatas dengan huruf atau font,
seperti: jenis, ukuran, efek dan warnanya. Tipografi juga dapat berarti komposisi
materi dari tipe-tipe huruf (dictionary reference, 2003: online). Pemilihan
tipografi dalam majalah seringkali tidak menjadi perhatian desainer, padahal
tipografi merupakan salah satu elemen penting dalam membentuk teks, dalam hal
ini disebut artikel/ isi bacaan. Dengan tipografi yang terstruktur dan legible, pesan
yang disampaikan pada majalah akan tersampaikan dengan baik. Tipografi yang
digunakan pada majalah hendaknya yang mudah dibaca, sehingga pembaca
majalah tersebut tidak mengalami kesulitan pada saat membaca isi majalah itu.
2.1.1. Asal Mula Tipografi
Cerita tentang tipografi tidak langsung dimulai dengan bagaimana huruf
itu, namun dimulai dari hak dan kemasyarakatan. Tipografi sendiri baru dapat
dikatan eksis selama 550 tahun ini, hal itu merupakan evolusi dari kebutuhan dan
kebiasaan. Selama bertahun-tahun, manusia pertama kali berkomunikasi dengan
suara. Bahasa verbal yang hanya dapat didengarkan namun tidak dapat dilihat
secara visual mempunyai banyak kekurangan dan keterbatasan. Cerita, sejarah dan
banyak informasi lain yang diturunkan turun-temurun seringkali hanya bersifat
sementara karena cerita itu hanya diteruskan mulut ke mulut saja.
Manusia mengenal simbol untuk yang pertama kalinya yaitu sekitar
25.000 B.C (Sebelum Masehi). Simbol, gambar atau pictograf ini sangat mudah
11
dimengerti. Meskipun bentuknya sangat sederhana namun simbol diyakini lebih
mampu bertahan daripada hanya sekedar suara.
Gambar 2.1 Pictograf (Sumber: Danton Sihombing, 2001: 2)
Setelah itu, simbol-simbol yang sederhana itu mengalami perubahan dan
penyempurnaan yang terus-menerus. Simbol yang pada mulanya tidak ada artinya
secara khusus perlahan-lahan berkembang menjadi sebuah gambar atau lukisan-
lukisan yang terdapat di dinding-dinding gua. Contohnya yaitu lukisan gua di
Queensland, Australia; yang merupakan salah satu cara orang Aborigin
berkomunikasi pada mulanya.
Gambar 2.2 Aboriginal Rock Painting (Axel Poignant Archive) 13.000 B.C
(Sumber: Ilene Strizver, 2001: 14)
12
Selang waktu berjalan, manusia mulai berpikir bagaimana sebuah simbol
atau gambar tidak hanya merupakan penyampaian ide saja, namun bagaimana ide
dan aksi itu dapat direpresentasikan sehingga ada komunikasi dengan dua pihak
dan saling mengerti. Manusia pada mulanya sangat sulit mengerti dua macam
komunikasi verbal dan visual secara bersama-sama. Setelah kondisi yang rumit itu
bertambah kompleks, manusia akhirnya berpikir untuk menciptakan suatu
kesepakatan untuk membuat simbol dan bagaimana simbol itu akhirnya dapat
dimengerti.
Yunani merupakan tempat pertama yang menggunakan huruf phonetic
(Phoenician Alphabet). Huruf-huruf phonetic itu diwakilkan dengan simbol-
simbol tertentu, namun simbol yang bukanlah simbol gambar atau pictograf lagi,
melainkan lebih menyerupai tulisan. Dari huruf-huruf phonetic yang sederhana
yang hanya konsonan itu, Yunani mengembangkan berbagai ragam tulisan lagi
dan menambah dengan vokal. Dengan ide tulisan phonetic mereka yang sederhana
itu, mereka dapat menghemat ratusan gambar yang mereka gunakan sebelumnya.
Konsep unik mereka ini mendasari berkembangnya tulisan yang berhubungan
dengan suara/bahasa yang digunakan.
13
Gambar 2.3 Huruf Phonetic Yunani. 1.000 B.C (Sumber: Ilene Strizver, 2001: 14)
Gambar 2.4 Huruf phonetic Yunani, setelah mereka mengerti bagaimana
menulis huruf menjadi garis satu ke garis yang lainnya. (Sumber: Ilene Strizver, 2001: 15)
14
Setelah Yunani, yang mengembangkan huruf sesudah itu yaitu Roma.
Setelah banyak penyempurnaan yang dilakukan, Roma menjadikan huruf itu
menjadi alfabet yang kita kenal sekarang. Dengan memperhitungkan keleluasaan,
cepatan dan efesiensi menulis, Roma menyempurnakan huruf-huruf itu dengan
gerakan natural dari tangan kita.
Gambar 2.5 Huruf Yang Telah Disempurnakan Oleh Roma. (Sumber: Ilene Strizver, 2001: 15)
Gambar 2.6 Huruf Yang Telah Disempurnakan Oleh Roma (alfabet). (Sumber: Ilene Strizver, 2001: 15)
Ada beberapa kasus yang tidak disebutkan yaitu mengenai huruf Cina,
Jepang dan negara-negara Asia yang lain. Meskipun mereka menulis tidak dengan
alfabet namun mereka memberikan kontribusi tentang seni kaligrafi, menulis
15
artistik, indah dan memberikan inspirasi untuk yang berhubungan langsung
dengannya.
Ketika perguruan tinggi pertama kali berdiri di Eropa pada awal
milennium kedua, teknologi cetak belum ditemukan pada masa itu sehingga
sebuah buku harus disalin dengan tangan. Pada tahun 1450, Johann Gesnsfleisch
zum Guttenberg dari Jerman menemukan mesin cetak yang pertama dengan
sistem movable type. Setiap blok huruf yang dibuat oleh Guttenberg disusun
paralel dan memiliki ketinggian yang sama.
Gambar 2.7 Bentukan Huruf Yang Pertama (type mold) Penemuan Johann Guttenberg.
(Sumber: Danton Sihombing, 2001: 6)
2.1.2 Anatomi Huruf
Setiap bentukan huruf yang dalam sebuah alfabet mempunyai karakter
yang berbeda-beda. Setiap karakter dibuat dengan partikel yang berbeda.
Keunikan ini dibuat bukan hanya berdasarkan keindahan saja, tetapi bagaimana
mata manusia dapat mengenali huruf dan mengerti sebuah tulisan. Langkah awal
untuk mengerti tipografi adalah mengenali anatomi huruf. Huruf mempunyai
banyak unsur-unsur pembentuknya, dengan mengenali unsur-unsur pembentuk
huruf ini, maka akan menjadi masukan untuk menganalisis tipografi dalam
penelitian ini.
16
Gambar 2.8 Anatomi huruf. (Sumber: Ilene Strizver, 2001: 35)
17
Berikut ini adalah beberapa terminologi umum yang digunakan untuk
mengenali komponen-komponen fisik yang ada terdapat pada sebuah huruf:
Gambar 2.9 Komponen Fisik Pada huruf (Sumber: Danton Sihombing, 2003: 12)
1. Baseline
Sebuah garis maya lurus horisontal yang menjadi batas dari bagian yang
paling bawah dari setiap huruf besar.
2. Capline
Sebuah garis maya lurus horisontal yang menjadi batas dari bagian yang
paling atas dari setiap huruf besar.
3. Meanline
Sebuah garis maya lurus horisontal yang menjadi batas dari bagian yang
paling atas dari setiap huruf kecil.
4. X-Height
Ukuran tinggi dari badan huruf kecil, atau jarak ketinggian dari baseline
sampai ke meanline. Biasanya untuk mempermudah mengukur X-Height
yaitu dengan menggunakan huruf x.
5. Ascender
Bagian dari huruf kecil yang posisinya tepat berada di antara meanline dan
capline.
6. Descender
Bagian dari huruf kecil yang posisinya tepat berada di bawah baseline.
18
7. Counter (lihat gambar 2.9)
Partikel yang menutup penuh spasi dalam karakter.
8. Serif (lihat gambar 2.9)
Proyeksi keluar dari sebuah karakter huruf. Serif dibagi menjadi 2 yaitu
brackets dan unbrackets, bergantung pada jenis hurufnya.
9. Stem (lihat gambar 2.9)
Garis lurus atau diagonal dalam sebuah huruf.
2.1.3 Tipografi dan Elemen-elemen Visualnya
Untuk memahami tipografi tidak hanya mengenal karakter hurufnya saja,
tetapi juga bagaimana huruf tersebut dapat diolah, dikembangkan dan bagaimana
sebuah huruf dapat memvisualkan bahasa verbal. Banyak pengembangan tipografi
yang telah dilakukan sehingga memperkaya variasi dalam memilih huruf. Namun
dalam memahami tipografi ada hal-hal mendasar yang sering dipergunakan
sebagai variasi dalam tipografi dari dahulu sampai sekarang, yaitu:
1. Italics / kemiringan
Huruf italic ini biasanya disebut huruf yang dicetak miring. Italic ini
sering dipergunakan untuk memberikan penekanan terhadap kata yang
dimaksud, dan juga dapat digunakan untuk menunjukkan istilah bahasa
asing. Huruf italic ini tidak hanya diciptakan sekedar miring, tetapi juga
mempertimbangkan toleransi kenyamanan mata manusia dalam membaca.
Yesterday is a history, Tomorrow is a mystery. Today is a gift. (Author Unknown)
Yesterday is a history, Tomorrow is a mystery. Today is a gift. (Author Unknown)
9.10 Kemiringan Huruf (italics)
2. Boldface / ketebalan huruf
Apabila ditinjau dari ketebalan hurufnya, maka anggota dari keluarga
huruf dapat dibagi menjadi 3 yaitu: light, regular dan bold. Dengan
mengkombinasikan ketiganya, dapat diperoleh banyak variasi huruf yang
menarik. Khusus untuk huruf bold (tebal), biasanya digunakan untuk
menjadi aksentuasi kalimat-kalimat yang penting.
19
Litograph light The text combination can evoke emotional responses or convey information for purposes as varied as motivating a sale to furthering a cause. (Laura Bix, 2001) Litograph regular The text combination can evoke emotional responses or convey information for purposes as varied as motivating a sale to furthering a cause. (Laura Bix, 2001) L itograph BoldLitograph Bold The text combination can evoke emotional responses The text combination can evoke emotional responses o r c o n v e y i n f o r m a t i o n f o r p u r p o s e s a s v a r i e d a s o r c o n v e y i n f o r m a t i o n f o r p u r p o s e s a s v a r i e d a s motivating a salemotivating a sale t o f u r t h e r i n g a c a u s e . t o f u r t h e r i n g a c a u s e . ( L a u r a B i x , 2 0 0 1 )( L a u r a B i x , 2 0 0 1 )
Gambar 2.11 Ketebalan Huruf (boldface)
3. Point size / ukuran tinggi huruf.
Pada tahun 1937, Pierre Fournier seorang pembuat huruf (type founder)
dari Paris menemukan satuan pengukuran huruf yang disebut point.
Sekitar 40 tahun kemudian, ditemukan satuan huruf yang lain oleh
François Ambroise Didot dari Prancis. Dari penemuan-penemuan itu,
acuan yang dipakai dan dikenal sekarang yaitu dengan sistem Anglo-Saxon
dengan perhitungan 72 pt setara dengan 1 inch atau 2,539 cm. (Danton
Sihombing, 2001: 20). Sekarang, point digunakan secara umum untuk
menunjukkan ukuran besar dan tinggi huruf yang biasa disingkat pt.
20
Times New Roman 72 pt (1 inch)
When Times New Roman 18 pt
When creating messages, designers must be careful
to not affect basic letters, thus weakening
communication (Craig, 1980)
Times New Roman 12 pt
When creating messages, designers must be careful to not affect basic letters,
thus weakening communication (Craig, 1980)
Times New Roman 10 pt
When creating messages, designers must be careful to not affect basic letters, thus weakening
communication (Craig, 1980)
Gambar 2.12 Ukuran Tinggi Huruf (point size)
21
4. Underscores (garis bawah)
Garis bawah merupakan cara tipografi sederhana untuk menekankan
sesuatu pada kalimat/ kata yang dimaksud.
Effective designers develop a high level awareness of typeface in order to
construct messages that not only attract readers, but allow them to easily
read and understand the message created. (Laura Bix, 2001)
Effective designers develop a high level awareness of typeface in order to
construct messages that not only attract readers, but allow them to easily
read and understand the message created. (Laura Bix, 2001)
Gambar 9.13 Garis Bawah (underscores)
2.1.4. Jenis Tipografi
Tipografi mempunyai kekuatan untuk menciptakan atau merusak sebuah
karya. Setiap jenis tipografi memiliki identitas yang berbeda-beda, bergantung
pada perasaan, pikiran dan hal-hal yang lain. Menurut Danton Sihombing, 2003;
tipografi merupakan konsep yang abstrak, sama halnya dengan musik. Dengan
tipografi yang berbeda, sebuah desain dapat menampilkan sisi lain dari desain itu.
Jadi dengan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa fungsi tipografi adalah untuk
mengkomunikasikan ide, cerita, dan informasi melalui segala bentuk media.
Dalam Jurnal Nirmana tahun 1999, Vol 1 No 1, hal 6 yang ditulis oleh
Christine Suharto Cenadi menyebutkan:
seorang tipografer harus mengerti bagaimana orang berpikir dan bereaksi terhadap suatu image yang diungkapkan oleh huruf-huruf. Seorang tipografer berusaha untuk mengkomunikasikan ide dan emosi dengan menggunakan bentuk huruf yang telah ada. Tipografi masih dianggap sebagai salah satu elemen kunci dalam Desain Komunikasi Visual, sehingga kurangnya perhatian pada pengaruh dan pentingnya elemen tipografi dalam suatu desain akan mengacaukan desain dan fungsi desain itu sendiri.
Akhir-akhir ini banyak bermunculan jenis-jenis huruf yang baru, dengan
ciri-ciri yang unik, dekoratif dan menarik. Semakin banyak variasinya desainer
22
dapat lebih bebas memilih dan mengkombinasikan huruf. Pengklasifikasian jenis
huruf secara umum menurut Didik Prasetyo, 1999 yaitu sebagai berikut:
1. Serif
Jenis huruf (typefaces) dengan strokes/ekor yang dinamakan serif. Cirinya
yaitu bentuk hurufnya formal karena serif mengekspresikan organisasi dan
intelektualitas, anggun dan konservatif.
Times New Roman 14 pt
The challenge is to make the most effective use of the
enormous flexibility that is inherent in typographic design.
(Bigelow & Day, 1983)
Gambar 2.14 Serif
2. San-serif
Jenis huruf yang tidak memiliki stroke/ekor. Ujungnya bias berbentuk
tumpul (rounded corner) atau tajam. Cirinya yaitu kurang formal, lebih
hangat dan bersahabat. San-serif biasanya sangat cocok sebagai screen-
font (tampilan layar monitor) karena mudah dibaca.
Arial 14 pt
The challenge is to make the most effective use of the
enormous flexibility that is inherent in typographic design.
(Bigelow & Day, 1983)
Gambar 2.15 San-serif
3. Monospace
Setiap huruf yang berjenis monospace mempunyai jarak/lebar yang sama
setiap hurufnya. Huruf W dan I akan mempunyai ruang yang sama.
Cirinya yaitu huruf yang berdasar pada mesin ketik. Jenis monospace
23
banyak digunakan oleh programmer untuk coding dan untuk preformatted
text.
Courier New 14 pt
The challenge is to make the most effective
use of the enormous flexibility that is
inherent in typographic design. (Bigelow &
Day, 1983)
Gambar 2.16 Monospace
4. Decorative / dekoratif
Bentuk huruf yang sangat rumit designnya. Bentuk huruf ini tidak enak
dibaca apabila ditempatkan pada body text, hanya cocok untuk dipakai
secara terbatas. Cirinya adalah banyak ornamen-ornamen pada teks
sehingga mempersulit mata manusia untuk membaca.
Matisse ITC 14 pt
The challenge is to make the most effective use of the
enormous flexibility that is inherent in typographic design.
(Bigelow & Day, 1983)
Gambar 2.17 Decorative/ dekoratif
5. Script
Bentuk huruf yang menyerupai tulisan tangan. Jenis huruf ini sering
disebut jenis Kursif (Cursive). Cirinya yaitu memberikan kesan
keanggunan dan sentuhan pribadi. Namun dalam menggunakan huruf ini
24
sebaiknya tidak di semua bagian, lebih baik digunakan hanya pada bagian-
bagian tertentu saja.
BinghamsHand 14 pt
The challenge is to make the most effective use of
the enormous flexibility that is inherent in typographic
design. (Bigelow & Day, 1983)
Gambar 2.18 Scripts
Klasifikasi huruf juga dapat didasarkan pada latar belakang sejarah
perkembangan tipografi yang diambil dari momentum penting (Deddi Dutto
Hartanto, 2003: 204) , yaitu:
1. Old style (1617)
Cirinya yaitu sudut bawah lengkung, tipis-tebal huruf kontras.
Garamond 2. Transitional (1757)
Cirinya yaitu sudut bawah lengkung, tipis-tebal stroke kontras.
Times New Roman 3. Modern (1788)
Cirinya adalah sudut siku, tipis-tebal ekstrem)
Bodoni 4. Egyptian (1895)
Cirinya yaitu sudut lengkung lebar sama, tipis-tebal sedikit kontras.
Clarendon
25
5. Contemporary (1957)
Cirinya yaitu tidak memiliki serif, tipis-tebal umumnya sama besar.
News Gothic
2.1.5. Keterbacaan
Ada hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam mempelajari desain
tipografi, yaitu tingkat kemudahannya untuk dibaca (legibility). Suatu huruf dapat
dikatakan legible apabila huruf itu dapat dibaca dan dimengerti dengan baik.
Dalam hal ini jenis font juga mempengaruhi tingkat legibility suatu huruf.
Semakin banyak ornamen seperti huruf-huruf dekoratif, tentunya akan semakin
mempersulit orang membaca.
Huruf-huruf yang berserif didesain sedemikian rupa untuk memudahkan mata manusia membaca. Dilihat dari segi fungsinya, serif bertindak sebagai pengait yang secara maya dapat menjembatani ruang antara huruf yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu huruf serif dapat menyebabkan kerja mata menjadi lebih ringan pada saat membaca naskah dalam jumlah yang banyak. (Danton Sihombing, 2001: 59) Berikut ini adalah contoh-contoh huruf yang kurang legible untuk teks,
yaitu seperti:
Thunderbird BT
Abduction
Aerosol Menace
Fillmore
Pants Patrol
Overexposed
Gambar 2.19 Jenis-jenis Huruf Yang Kurang Legible
26
Hal-hal lain yang dapat mempengaruhi legibilitas huruf yaitu interval
huruf dan ukuran huruf. Interval huruf yang terlalu kecil atau terlalu besar akan
mempersulit huruf itu untuk dibaca, sebaiknya menggunakan interval yang
seimbang. Untuk ukuran huruf, sebaiknya menggunakan huruf yang seimbang
dengan layoutnya. Untuk naskah yang panjang sebaiknya menghindari ukuran
huruf yang kecil karena akan melelahkan mata manusia membaca. Sedangkan
untuk display sebaiknya menggunakan huruf yang agak besar supaya mudah
dilihat.
Gambar 2.20 Contoh Huruf Legible
Gambar 2.21 Contoh Huruf Kurang Legible
Gambar 2.20 diatas menunjukkan proporsi huruf yang legible, sesuai
dengan pandangan mata dan sesuai dengan proporsi tempatnya. Sebagai
perbandingan yaitu pada gambar 2.21, dimana huruf yang sama mengalami
27
perubahan ukuran, proporsi dan penempatan. Dengan perubahan itu, huruf “g” di
atas menjadi lebih susah dibaca. Hal ini menunjukkan bahwa huruf “g” pada
gambar 2.21 kurang legible.
Gambar 2.22 Contoh Pemotongan Pada Kata
Pada gambar 2.22 ditunjukkan mengenai pemotongan pada kata “legible”.
Kotak nomor 1 adalah tidak mengalami pemotongan huruf, tetapi pada kotak
nomor 2,3 dan 4 mengalami pemotongan huruf yang berbeda. Kotak nomor 2
mengalami pemotongan pada tengah-tengah kata, kotak nomor 3 di bagian atas
dan kotak nomor 4 di bagian agak ke bawah.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa mata manusia masih dapat
mentolerir pemotongan pada kotak nomor 2. Pada kotak nomor 3 dan 4,
pemotongan tersebut agak mempersulit mata untuk mengenali kata “legible” yang
terpotong.
Dalam menyusun sebuah desain, legibilitas adalah hal perlu
diperhitungkan, karena tujuan teks itu ada karena untuk dibaca dan dimengerti
pesan yang terdapat didalamnya.
2.2. Layout
Layout adalah tata letak elemen-elemen visual pada sebuah media, dalam
hal ini media diwakilkan dengan majalah dan buletin. Layout dapat juga berarti
aksi atau instansi dari menata letak (dictionary reference, 2003, online). Pada
majalah, penataan layout yang baik diperlukan untuk mengarahkan susunan teks
28
dan gambar supaya enak dibaca. Layout dapat juga merupakan visual identity
pada suatu majalah.
2.2.1. Pola Struktur Bentuk Layout
Tata susun atau layout erat kaitannya dengan garis-garis/ grid yang
memberikan batasan maya pada bidang desain. Grid adalah suatu batasan pada
spasi garis horisontal dan vertikal pada suatu bidang, diagram, fotografi, dan
sering digunakan sebagai poin penempatan (dictionary reference, 2003, online).
Dengan adanya grid, desainer lebih mudah menentukan arah susunan obyek-
obyek pada bidang desainnya. Grid juga membuat desain menjadi lebih terstruktur
sehingga memudahkan mata manusia untuk melihat alur suatu desain mulai dari
headlines, sub-headline, bodycopy dan seterusnya. Grid dalam layout dapat
dikelompokkan menjadi 5 bagian, yaitu:
1. Modular Grid
Modular grid adalah sebuah tata susun letak yang membagi bidang desain
menjadi seperti bidang-bidang kotak. Biasanya digunakan untuk
menempatkan foto-foto pada majalah.
Ciri-cirinya: susunan letaknya pada bidang desain mirip kotak-kotak.
Gambar 2.23 Modular Grid (Sumber: Danton Sihombing, 2001: 66)
29
2. Hierarkhi Grid
Hierarkhi grid adalah sebuah tata susun letak yang mengkategorikan
elemen visual berdasarkan grup dan kategorinya. Biasanya digunakan
sebagai layout pada situs (web site) dan katalog.
Ciri-cirinya: bentuk susunannya kompleks (umumnya merupakan
gabungan dari 2 atau lebih tata susun letaknya)
Gambar 2.24 Hierarkhi Grid Projects of: Literature and branding scheme for a creative media and marketing
awards ceremony and conference (Sumber: Roger Walton, 2002: 70)
3. Coloum Grid
Coloum grid adalah sebuah tata susun letak yang membagi bidang dengan
garis kolom-kolom tertentu. Biasanya digunakan untuk layout surat kabar,
majalah, tabloid, dan sebagainya.
30
Ciri-cirinya: susunan letaknya terstruktur pada kolom-kolom yang teratur.
Gambar 2.25 Coloum Grid Projects of: The Substation, a center for the arts
(Sumber: Roger Walton, 2002: 108)
4. Manuscript Grid
Manuscript grid adalah sebuah tata susun letak yang teratur
penempatannya berdasarkan batas kiri dan batas kanan. Biasanya
digunakan untuk layout kartu nama, dan selebaran pengumungan.
Ciri-cirinya: bentuk susunannya terstruktur kiri dan kanan.
31
Gambar 2.26 Manuscript Grid (Sumber: Danton Sihombing, 2001: 122)
5. Ungrid
Dilihat dari namanya, ungrid berarti tidak ada grid atau tanpa grid. Ungrid
adalah penataan letak yang tidak ada aturan grid-nya. Gambar maupun
teks bebas diletakkan dimana saja tanpa ada grid yang membatasi.
Biasanya digunakan sebagai layout poster eksperimental.
Ciri-cirinya: tidak terstruktur dan seakan-akan tidak ada garis yang
mengatur peletakkannya.
32
Gambar 2.27 Ungrid Projects of: Series of posters for the 2000-2001 program of events at the Centre
Dramatique National d’Orléans in France (Sumber: Roger Walton, 2002: 80)
2.2.2. Elemen-elemen Desain pada Layout
Elemen-elemen dan prinsip desain merupakan hal yang sebelumnya harus
diketahui sebelum membuat suatu karya desain. Elemen-elemen desain tidak
hanya terdapat pada gambar, tetapi juga ada ada lukisan, desain grafis, dan
sebagainya. Menurut John Lovett, 1999 ada 7 elemen desain yang penting
diketahui dalam menciptakan suatu karya desain, yaitu:
1. Line / garis
Gambar 2.27 Line
33
2. Shape / bentuk
Gambar 2.29 Shape
3. Direction / arah
Semua garis mempunyai arah, seperti: horizontal, vertical dan oblique.
Horizontal memberikan kesan tenang, damai dan stabil. Vertical
memberikan kesan keseimbangan dan formalitas. Oblique memberikan
kesan dinamis, pergerakan dan aksi.
Gambar 2.30 Direction
4. Size / ukuran
Gambar 2.31 Size
34
5. Texture / tekstur
Semua bidang mempunyai tekstur seperti lembut, soft hard, glossy dan
sebagainya. Tekstur dapat diartikan secara fisik atau visual.
Gambar 2.32 Texture
6. Colour / warna
Gambar 2.33 Colour
7. Value / nilai
Value dapat diartikan sebagai tingkat terang-gelapnya warna. Terkadang
value disebut tone.
Gambar 2.34 Value
35
2.2.3. Prinsip-prinsip Desain pada Layout
John Lovett, 1999 berpendapat bahwa dalam mendesain tidak hanya ada
elemen-elemen desain, tetapi ada prinsip-prinsip desain yang seharusnya diketahui
dan dimengerti. Prinsip-prinsip itu antara lain:
1. Balance / keseimbangan
Gambar 2.35 Balance (Sumber: John Lovett, 1999: online)
2. Gradation / gradasi
Gradasi dapat membantu mata manusia untuk mengikuti alur warnanya
dan dapat membuat desain jadi lebih dinamis.
Gambar 2.36 Gradation (Sumber: John Lovett, 1999: online)
3. Repetition / pengulangan
Pengulangan dengan variasi akan menjadi desain lebih menarik, namun
jangan terlalu banyak pengulangan karena akan membuat desain menjadi
monoton.
4. Contrast / kontras
Di tempat-tempat strategis ada baiknya juga diberikan sedikit kontras.
Namun perlu diperhatikan bahwa kontras yang terlalu banyak akan
36
menghancurkan desain itu sendiri. Kecuali jika memang ingin membuat
desain yang ekstrim pemakaian kontras dapat dilebih-lebihkan.
5. Harmony / harmoni
Salah satu faktor yang dapat membuat mata manusia merasa tenang dan
rileks yaitu keharmonisan dalam desain, dimana elemen-elemen visual
desain yang ada menyatu dengan harmonis.
6. Dominance / dominan
Dominan memberikan kesan menjadi pusat perhatian. Desainer harus
pandai-pandai mengatur bagian mana yang mau ditonjolkan menjadi
dominan dalam karya desainnya.
Gambar 2.37 Dominance (Sumber: John Lovett, 1999: online)
37
7. Unity / kesatuan
Seperti apapun desain yang dibuat, semuanya itu haruslah merupakan
suatu kesatuan, baik itu garis horizontalnya, kekontrasannya, teksturnya
dan lain-lain.
Gambar 2.38 Unity (Sumber: John Lovett, 1999: online)
2.3 Warna
Warna merupakan elemen visual yang penting dalam desain komunikasi
visual. Pemilihan warna juga seringkali diperhatikan oleh desainer, karena hal itu
penting dalam menentukan respon dari pembaca. Warna adalah hal yang pertama
dilihat oleh seseorang dalam melihat suatu bentuk desain. Selain untuk menarik
perhatian, warna juga sering dihubungkan dengan psikologi dan sifat-sifat
manusia
.
38
2.3.1. Asal mula warna
Sudah lebih dari 2000 tahun, manusia mengenal warna dan mencoba
mempelajari warna yang ada di sekitar kita. Pada tahun 1960, seorang ahli
antropologi dari Berlin dan Kay memberikan sumbangsih pada dunia tentang
penamaan warna. Untuk mempermudah penamaan warna-warna dinamakan
dengan bahasa Inggris, seperti: black (hitam), white (putih), red (merah), orange
(orange), yellow (kuning), green (hijau), blue (biru), purple (ungu tua), pink
(merah muda), grey (abu-abu) dan brown (coklat).
Seorang filosofer ternama, Aristotle pada tahun 400 B.C (Sebelum
Masehi), mengelompokkan warna biru dan kuning menjadi warna primer, sesuai
dengan kehidupan yang ada seperti perumpaan matahari dan bulan. Kemudian ia
mengelompokkan warna-warna berdasarkan 4 elemen yaitu fire (api), water (air),
earth (bumi) dan air (udara).
Hippocrates, seorang bapak dari praktek kedokteran, mulai menggunakan
warna untuk pengobatan dan untuk terapi. Misalnya warna white violet yang
menyejukkan dianggap memiliki efek psikologis yang menguntungkan untuk
kesehatan. Pada abad ke 11, Avicenna dari Iran mempercaya teori dari Hipocrates,
dan mengembangkan teori itu untuk membantu pasien untuk lebih sehat.
Pada tahun 1672, Sir Isaac Newton, seorang ilmuwan terkemuka
mempublikasikan teori warna di atas kertasnya. Dan kemudian 40 tahun kemudian
ia menemukan “Opticks” dimana sinar dapat diseparasikan lagi menjadi banyak
warna. Johannes Wolfgang von Goethe sangat tertarik dengan penemuan Newton
ini. Ia menerbitkan buku “Teory of Colours”, dimana ia setuju dengan Newton
bahwa sebuah warna sangat mungkin dapat diseparasikan menjadi warna-warna
yang lain. Hasil penemuannya ini agak mirip dengan penemuan Aristotle, yaitu
”Blue is the first colour to appear out of darkness (and most visible at night) and
yellow is the first colour to appear out of light (and the most visible colour in light
conditions), (Angela Wright, 2000: online).
Sekarang ini teori warna sudah banyak berkembang dalam berbagai
bidang, baik itu dalam desain komunikasi visual, mode, psikologi, kedokteran,
dan di berbagai bidang keilmuan yang lainnya.
39
2.3.2. Teori dan Penamaan Warna
Apabila ditelusuri sebenarnya ada banyak teori-teori tentang warna dan
penamaannya. Menurut John Lovett, ada 12 warna dalam roda warna. Warna-
warna tersebut dikelompokkan menjadi:
a. Primary Colours / warna primer
Terdiri dari: Red (merah), Yellow (kuning) dan Blue (biru).
b. Secondary Colours / warna sekunder
Warna ini merupakan gabungan dari 2 warna primer.
Terdiri dari: Green (hijau), Orange (orange) dan Violet (ungu muda),
dan sebagainya.
c. Tertiary Colours / warna tersier
Warna ini merupakan gabungan dari warna primer dan sekunder.
Terdiri dari: Yellow orange, Blue violet, dan sebagainya.
Di luar warna primer, sekunder dan tersier, ada pula warna komplementer
(complementary colours). Warna-warna tersebut merupakan warna asli yang tidak
tercampur warna hitam dan putih. Warna komplementer merupakan campuran
dari ketiga jenis warna primer, sekunder dan tersier.
Gambar 2.39. 12 part Colour Wheel (Sumber: John Lovett, 1999: online)
40
Sekarang ini banyak variasi pencampuran warna-warna yang kreatif. Baik
itu pencampuran warna primer (primary), sekunder (secondary), tersier (tertiary),
dan kuantener (quantenary) sehingga menghasilkan nama-nama warna baru.
Sekarang warna biru (blue) tidak hanya satu warna saja, namun sudah banyak
ragamnya. Contoh: biru muda, biru langit, biru violet, dan sebagainya.
Abelard, (pada Jurnal Naming Colours, 1998) mengelompokkan dan
memberi nama warna tersier sebagai berikut:
Tabel 2.1 Warna-warna Tersier
(Sumber: Abelard, 1999: online)
raspberry aquamarine
purple lime
cobalt orange
Selain itu, Abelard juga mencampur warna-warna tersebut menjadi 12 warna
kuantener (Quaternary Colours).
Tabel 2.2 Warna-warna Primer, Sekunder, Tersier dan Kuantener (Sumber: Abelard, 1999: online)
colour 1 "Red" (primary) colour 13 "Cyan" (secondary)
colour 2 "Coral" (quaternary) colour 14 "Sky" (quaternary)
colour 3 "Orange" (tertiary) colour 15 "Cobalt Blue" (tertiary)
colour 4 "Tangerine" (quaternary) colour 16 "Indigo" (quaternary)
colour 5 "Yellow" (secondary) colour 17 "Blue-violet" (primary)
colour 6 "Peridot" (quaternary) colour 18 "Plum" (quaternary)
colour 7 "Lime" (tertiary) colour 19 "Purple" (tertiary)
colour 8 "Apple" (quaternary) colour 20 "Mallow" (quaternary)
colour 9 "Green" (primary) colour 21 "Magenta" (secondary)
colour 10 "Leaf" (quaternary) colour 22 "Rhodium" (quaternary)
colour 11 "Aquamarine" (tertiary) colour 23 "Raspberry" (tertiary)
colour 12 "Turquoise" (quaternary) colour 24 "Mulberry" (quaternary)
41
Gambar 2.40. Penamaan Warna-warna. (Sumber: Abelard, 1999: online)
Keterangan:
1 Red 13 Cyan 2 Coral 14 Sky 3 Orange 15 Cobalt Blue 4 Tangerine 16 Indigo 5 Yellow 17 Blue-violet 6 Peridot 18 Plum 7 Lime 19 Purple 8 Apple 20 Mallow 9 Green 21 Magenta 10 Leaf 22 Rhodium 11 Aquamarine 23 Raspberry 12 Turquoise 24 Mulberries
42
Dalam mengerti dan mengaplikasikan warna ke dalam desain komunikasi
visual, psikologi warna dapat digunakan sebagai acuan dan untuk membantu
desainer mendesain sesuatu, sehingga tidak terjadi kesalahan makna dalam
pengaplikasiannya. Berikut di bawah ini adalah korelasi umum warna dan
manusia.
Tabel 2.3 Psikologis Warna dan Manusia (Sumber: Didik prasetyo, 1999: online)
WARNA Respon Psikologi Catatan
Merah Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresi, bahaya
Warna Merah kadang berubah arti jika dikombinasikan dengan warna lain. Merah dikombinakan dengan Hijau, maka akan menjadi simbol Natal. Merah jika dikombinasikan dengan Putih, akan mempunyai arti 'bahagia' di budaya Oriental.
Biru Kepercayaan, Konservatif, Keamanan, Tehnologi, Kebersihan, Keteraturan
Banyak digunakan sebagai warna pada logo Bank di Amerika Serikat untuk memberikan kesan 'kepercayaan'.
Hijau Alami, Sehat, Keberuntungan, Pembaharuan
Warna Hijau tidak terlalu 'sukses' untuk ukuran Global. Di Cina dan Perancis, kemasan dengan warna Hijau tidak begitu mendapat sambutan. Tetapi di Timur Tengah, warna Hijau sangat disukai.
Yellow Optimis, Harapan, Filosofi, Ketidak jujuran, Pengecut (budaya Barat),pengkhianatan.
Kuning adalah warna keramat dalam agama Hindu.
Ungu/Jingga Spiritual, Misteri, Kebangsawanan, Transformasi, Kekasaran, Keangkuhan
Warna Ungu sangat jarang ditemui di alam.
Oranye Energy, Keseimbangan, Kehangantan
Menekankan sebuah produk yang tidak mahal.
Coklat Tanah/Bumi, Reliability, Comfort, Daya Tahan.
Kemasan makanan di Amerika sering memakai warna Coklat dan sangat sukses, tetapi di Kolumbia, warna Coklat untuk kemasan kurang begitu membawa hasil.
Abu Abu Intelek, Masa Depan (kayak warna Milenium), Kesederhanaan, Kesedihan
Warna Abu abu adalah warna yang paling gampang/mudah dilihat oleh mata.
Putih Kesucian, Kebersihan, Ketepatan, Ketidak bersalahan, Setril, Kematian
Di Amerika, Putih melambangkan perkawinan (gaun pengantin putih), tapi di budaya Timur (India dan Cina), warna Putih melambangkan kematian.
Hitam Power, Seksualitas, Kecanggihan, Kematian, Misteri, Ketakutan, Kesedihan, Keanggunan
Melambangkan kematian dan kesedihan di budaya Barat. Sebagai warna Kemasan, Hitam melambangakan Keanggunan (Elegance), Kemakmuran (Wealth) dan Kecanggihan (Sopiscated)
43
2.4. Dekonstruktivisme
Dekonstruksi (deconstruction) adalah sebuah nama yang diberikan oleh
filsuf Prancis Jacques Derrida. Dekonstruksi pada awalnya muncul sebagai kritik
sastra yaitu metode dalam membaca teks, namun sekarang sudah banyak
dikembangkan ke bidang-bidang lain yaitu: arsitektur, desain grafis dan mode.
2.4.1 Hakikat Dekonstruksi
Salah satu dari prosedur analisis dekonstruksi berfokus pada oposisi biner
(binary oppositions) mengenai teks (J. Douglas Kneale, 1997) maksudnya adalah
untuk:
1. Menunjukkan bahwa oposisi-oposisi tersebut terstruktur secara hierarki.
2. Mengembalikan hierarkhi itu sementara waktu
3. Meneliti dan menganalisis kedua oposisi dengan konsep “difference”.
Dari sudut etimologis, dekonstruksi adalah ampas yang selalu ada antara
‘krisis’ dan ‘kritik sastra’ (Christoper Noris, 2003: 19). Yang diperlihatkan yaitu
kenyataan bahwa pergeseran radikal yang terjadi dalam pemikiran interpretatif
selalu datang menghadang batas-batas yang terlihat absurb. Dekonstruksi bermain
di kekaburan batas, pengalaman dan kemungkinan-kemungkinan lain dari
komunikasi ‘normal’ antar manusia.
2.4.2 Ciri-ciri Dekonstruksi
Dekonstruksi tidak mempunyai ciri-ciri visual khusus, dekonstruksi
merupakan cara atau metode membaca teks, sehingga dalam perjalanannya,
dekonstruksi bersifat filosofis (Inyiak Ridwan Muzir, 2002), yaitu unsur-unsur
dilacak oleh dekonstruksi untuk dibongkar, bukanlah argumen yang lemah
ataupun premis yang tidak akurat yang terdapat pada teks, sebagaimana biasanya
dilakukan oleh pemikiran modernisme, melainkan yaitu unsur yang secara
filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi
filosofis.
Dalam pembacaan dekonstruktif, filsafat lebih diartikan sebagai tulisan,
filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran secara langsung.
44
Adapun pembacaan dekonstruktif hanya ingin mencari ketidakutuhan atau
kegagalan tiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
Derrida hanya ingin menumbangkan susunan hierarkhi yang menstrukturkan teks.
2.4.3 Tujuan Dekonstruksi
Tujuan dari dekonstruksi adalah untuk menunjukkan ketidakberhasilan
upaya penghadiran kebenaran absolut. Langkah-langkah dekonstruksi menurut
Rodolphe Gasche (tahun tidak diketahui) yaitu sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi hierarkhi oposisi dalam teks, untuk melihat istilah mana
yang diistimewakan dan mana yang tidak.
2. Oposisi-oposisi itu dibalik dengan saling menunjukkan saling
ketergantungan diantara yang bertentangan/ privilisenya dibalik.
3. Memperkenalkan istilah/gagasan baru yang tidak bisa dimasukkan ke
dalam oposisi lama.
Menurut Derrida (Christoper Norris, 2003: 58) tugas dekonstruksi adalah
untuk menghilangkan ide-ide ilusif yang selama ini mengasa metafisika Barat,
yaitu ide yang mengatakan bahwa rasio dapat lepas dari bahasa sampai kepada
kebenaran, atau metode otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Dalam pengertian ini, tulisan-tulisan Derrida lebih mirip kritik sastra. Tulisan-
tulisannya dibangun berdasarkan asumsi bahwa pola-pola analisis retorikal yang
awalnya diterapkan pada kritik sastra tidak dapat dihindari dalam setiap
pembacaan filsafat.
2.4.4. Latar Belakang Munculnya Paham Dekonstruksi
Dekonstruksi tidak langsung lahir dari pemikiran sesaat saja, namun
merupakan proses panjang dari pemikiran-pemikiran filsuf yang terdahulu. Pada
walnya, dekonstruksi dapat dikatakan sebagai subyek yang membongkar obyek
yang tersusun dari unsur-unsur, untuk itu diperlukan berbagai pengertian
mengenai latar belakangnya dan bagaimana mengerti dekonstruksi pada awalnya,
secara singkat.
45
2.4.4.1 Sosok dan Kiprah Jacques Derrida
Bapak dekonstruktivisme, Jacques Derrida lahir pada tahun 1930 di
keluarga berdarah Sephardic Jews di Prancis. Pada usia 10 tahun, ia mulai
mempunyai pemikiran-pemikiran intelektual. Sayangnya pada saat itu terdapat
diskriminasi oleh gurunya dengan mengatakan “French culture is not made for
little Jews” atau kebudayaan Prancis tidak dibuat untuk seorang Yahudi kecil.
Akibat diskriminasi itu, Derrida kecil terpaksa dikeluarkan dari sekolah.
Kemudian pada usia 19 tahun, ia pindah ke Paris untuk belajar filosofi di école
Normale Supérieure. Pada tahun 1957, ia menikah dengan Marguerite
Aucouturier, seorang psikoanalis.
Karena tulisannya yang dinilai sangat baik, Derrida mendapatkan
beasiswa ke Havard tahun 1956. Setelah lulus pada tahun 1960, ia mengajar
filosofi di Sorbonne, Paris. Dua tahun kemudian Derrida mengeluarkan buku
dengan terjemahannya Husserl’s Origin of Geometry. Pada tahun 1967, ia menulis
3 buku seminar yaitu Speech and Phenomena, Writing dan Difference , and Of
Grammatology yang diterjemahkan dalam 22 bahasa. Derrida menjadi proffesor
tamu di University of California di Irvine pada tahun 1986. Sekarang Derrida
sudah tinggal menetap dan mengajar di Irvine.
Gambar 2.41 Jacques Derrida ; menggebrak dunia lewat dekonstruksinya. (Sumber: Kristine McKeena, 2002: online)
46
Selain merupakan “bapak” dari dekonstruktivisme, Derrida adalah salah
satu orang yang memimpin kehidupan intelektual pada 25 tahun terakhir. Ia
mengeluarkan pendapat-pendapat mengenai sistim analisis dan membuka bias-
bias dan kesalahan asumsi. Dekonstruksi adalah reaksi terhadap modernisme
dalam perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan filsafat. Modernisme
menggangap bahwa kelebihan manusia terletak pada rasionya (Achmad Chusairi,
2000). Dengan begitu manusia mulai terkotak-kotak pemikiran-pemikiran yang
struktruralis. Dengan Derrida berasumsi bahwa manusia seharusnya tidak terpaku
pada struktur-struktur dan pemikiran-pemikiran yang mengekang dan kaku.
2.4.4.2 Strukturalisme dan Poststrukturalisme
Paham dekonstruksi muncul setelah strukturalisme dan post-
strukturalisme. Tokoh-tokoh strukturalisme beberapa diantaranya yaitu Claude
Lévi-Strauss (seorang antropolog Prancis), Ferdinand de Saussure. Pada
strukturalisme, teks muncul pada format (pattern) tertentu, sistem dan struktur-
struktur. Menurut kaum strukturalis, teks adalah fungsi dari sistem, bukan
individual. Maksudnya adalah arti sebuah tanda datang hanya dari relasinya ke
tanda-tanda lain dari sistem. Contohnya seperti sebuah kata yang satu selalu
berkaitan dengan kaya yang lain. Salah satu ide mereka yaitu “Language speaks
us, rather than we speak languange” atau bahasa membicarakan kita, lebih
daripada kita membiacarakan bahasa. Sehingga setiap teks dan setiap kalimat
yang dibicarakan dibuat seolah-olah ‘sudah tertulis’. Dengan pemikiran yang
seperti itu, kaum strukturalis susah untuk berkembang.
Kaum strukturalis mempresentasikan pengalaman utamanya yang
sekarang dikenal sebagai ‘humanis liberal’ tradisi pada kritik sastra. Model
strukturalisme berpendapat bahwa segala sesuatu sudah ada strukturnya, dan
memproduksi kenyataan (reality), (Klages, 2003:online).
Dalam bicara strukturalisme, bahasa dapat ada karena adanya sistem
perbedaan (system of difference) dan inti dari sistem perbedaan ini adalah oposisi
biner (binary opposition) (Muzir, 2002: 9). Oposisi biner ini merupakan inti dari
pemikiran Saussurean, yaitu oposisi antara penanda/petanda, tuturan/tulisan,
47
baik/buruk, benar/salah, jiwa/badan, dan sebagainya. Filsafat Barat menganggap
bahwa istilah pertama lebih unggul atau superior, dari istilah yang kedua.
Bagi Saussure (Ritzer, 2003: 53), bahasa merupakan sistem yang tertutup
(a close stystem) di saat semua bagian terinterelasi (Marks dan de Courtivron,
1981: 3). Maksudnya, dalam oposisi biner yang terpenting adalah hubungan
perbedaan (difference). Jadi contoh kata hot (panas) bukan berasal dari sifat
intrinsik dunia ‘nyata’ namun berasal dari hubungan kata itu dengan oposisi
binernya, yaitu cold (dingin).
Piliang, 2004 mengartikan strukturalisme adalah sebagai gerakan
intelektual yang berkaitan dengan penyingkapan struktur berbagai pemikiran dan
tingkah laku manusia, yang prinsipnya adalah bahwa satu totalitas yang kompleks
hanya dapat dipahami sebagai satu perangkat unsur-unsur yang saling berkaitan.
Strukturalisme dapat dipahami sebagai usaha untuk menemukan struktur
umum yang terdapat dalam aktifitas manusia. Melihat dari sudut pandang ini,
suatu struktur dapat didefinisikan sebagai:
sebuah unit yang tersusun dari beberapa elemen dan selalu ditemukan pada hubungan yang sama dalam suatu ‘aktivitas’ yang tergambar. Unit ini tidak apat dipecah dalam elemen-elemen tunggal, bagi kesatuan struktur tidak terlalu dipahami oleh sifat elemen yang substantif sebagaimana ia tidak terlalu dipahami oleh hubungannya. (Spivak, 1974: iv)
Setelah strukturalisme, munculah kaum poststrukturalisme yang
menentang strukturalisme. Tokoh-tokoh poststruktualisme diantaranya adalah
Michael Foucault dan Jean Baudrillard. Asumsi strukturalis bahwa bahasa
adalah suatu sistem tanda yang terdiri dari keseimbangan antara the signifier/
penanda (referent, yaitu suatu jejak perwakilan visual atau audio) dan the
signified/ petanda (konsep, yaitu arti yang disebabkan oleh tanda). Contohnya
yaitu perbedaan antara ‘style’ dan ‘attitude’. Jika ‘style’ meupakan pembuatan
format yang diasosiasikan dengan sebuah sejarah khusus dan kondisi budaya,
mungkin ‘attitude’ tidak diartikulasikan, hanya keluar dari latar belakang fokus
untuk menspesifikasikan gaya (Ellen Lupton & J. Abott Miller, 1994).
Poststrukturalisme menganggap tanda-tanda mempunyai arti ganda dan berubah-
ubah, maka sifat penanda lebih menonjol daripada petanda.
48
Yasyaf Amir Piliang (2004), mengartikan poststrukturalisme (post-
structuralism) sebagai gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap
strukturalisme, yang membongkar setiap klaim akan oposisi pasangan, hierarkhi
dan validitas kebenaran universal; sebaliknya menjunjung tinggi permainan bebas
tanda serta ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual.
Strategi-strategi poststrukturalisme berlaku sebagai metodologi untuk
debat pada praktek tipografi kontemporer karena pengertian bahasa dan artinya
mencerminkan perubahan-perubahan sosial budaya yang lebih lebar yang
dipengaruhi oleh teknologi digital elektronik. Menurut kaum poststrukturalis,
suatu teks adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda dan menghasilkan
arti, sehingga penting untuk mengklarifikasi apa yang dimaksud oleh anggapan
dalam suatu teks.
2.4.4.3 Logosentrisme
Dalam metode Saussure dalam menyelidiki bahasa, ada oposisi biner
(binary opposition) yang dalam budaya filsafat Barat, menganaktirikan istilah
kedua dengan menganggap bahwa istilah pertama lebih unggul. Maka menurut
Derrida, istilah-istilah tersebut adalah milik ‘Logos’ yaitu ‘kebenaran dari
kebenaran’. Sedangkan istilah yang kedua merupakan representasi palsu dari yang
pertama (Norris, 2003: 10). Tradisi yang demikian ini dinamakan logosentrissme
dan dipergunakan untuk menerangkan asumsi adanya hak istimewa yang
disandang istilah pertama dan ‘pelecehan’ terhadap istilah kedua.
Logosentrisme (Logocentrism) berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘Logos’
yang berarti ‘word’ (kata), ‘reason’ (alasan) atau ‘plan’ (rencana). Dalam bahasa
Inggris penggunaan kata ‘word’ dalam huruf kecil diartikan sebagai ‘kata’, tetapi
‘Word’ dengan huruf besar di awal dapat diartikan sebagai ‘Firman’. Filsafat
Barat mempelajari ‘Logos’ dari Alkitab St.John (Glusberg, 1991: 48) yaitu: “pada
mulanya adalah ‘Word’, dan ‘Word’ itu ada bersama dengan Tuhan, dan ‘Word’
itu adalah Tuhan. Jadi, “Logos” sebagai ‘Word’ berarti Tuhan (kebenaran). Jadi
logosentrisme merupakan ‘kebenaran dari kebenaran’ atau ‘kebenaran mutlak’.
49
Menurut Ellis, 1989; logosentrisme mengandung:
1) Suatu kepercayaan bahwa sesuatu ada dalam ‘realitas’.
2) ‘Realitas’ merujuk pada petanda dengan pesan transedental dari makna
‘the Logos’ yang berdiri sendiri dari apapun bahasa manusia.
3) ‘The Logos’ adalah pondasi semua hal-hal positif yang mungkin dan
sebuah makna.
4) Dalam logosentrisme, macam-macam petanda mengelompokkan
mereka sendiri secara alami ke dalam kategori-kategori yang jelas,
tidak ambigu dan tidak berubah.
5) Kata-kata bahasa spesifik adalah penanda yang simple untuk petanda-
petanda ini, termasuk di dalamnya ‘the Logos’
6) Penanda-penanda bahasa memudahkan kita untuk mengekstrak
petanda keluar dari ‘the Logos’ dan membawa mereka keluar dari
pikiran kita.
7) Berbicara memberikan kita jalan langsung kepada pikiran pembicara,
yang memberikan kita akses langsung juga kepada petanda sebagai
eksistensi mereka didalam, ‘the Logos’.
Ellis (1989) berpendapat bahwa logosentrisme adalah ilusi dimana sebuah
makna kata mempunyai struktur realitas yang asli dan membuat kebenaran
tentang struktur yang langsung ditujukan kepada pikiran.
Kembali kepada pemikiran Derrida (Glusberg, 1991: 30), ia mengatakan
bahwa logosentrisme hanyalah merupakan suatu kepercayaan bahwa akan semua
eksistensi, ada ‘kebenaran’ abstrak yang tertata dalam kategori-kategori absolut
dan tak terhindari. Hal ini eksis hanya dalam ‘Pikiran dan Firman’ Tuhan, tetapi
semua hal-hal yang ‘nyata’ dibentuk dari mereka. Hal ini dapat ditembus hanya
dalam penggunaan bahasa.
2.4.4.4 Postmodernisme dan Hiperealitas Media
Postmodernisme atau yang biasa disebut postmo jika dilihat dari segi
bahasanya yaitu post dan modernisme. Post berarti suatu keadaan yang sudah
lewat, berlalu, dan terpisah. Namun dalam arti yang sesungguhnya,
50
postmodernisme tidak dapat dilihat secara bahasa saja, namun ada beberapa
pandangan yang melatarbelakangi timbulnya postmodernisme.
Dalam memahami postmodernisme, Judith Butler (1995: 51) membedakan
postmodern menjadi berbagai pemahaman seperti:
a) Postmodernitas
Merujuk pada suatu epos -jangka waktu, zaman, masa-sosial dan
politik yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam suatu
pemahaman histories (Kumar, 1995; Crook, Pakulski, dan Walters,
1992)
b) Postmodernisme
Merujuk pada produk cultural (dalam seni, film, arsitektur dan
sebagainya) yang terlihat berbeda dari produk cultural modern (Kumar,
1995; Jameson, 1991)
c) Teori Sosial Postmodern
Merujuk pada bentuk teori sosial yang berbeda daei teori sosial
modern (Best dan Kellner, 1991)
Postmodernitas adalah sebuah sebuah perspektif yang muncul dari
bangkitnya modernitas (Ritzer, 2003: 269), hal ini sebagaimana diindikasikan
sebelumnya, modernisme yang melihat kepada dirinya sendiri dan menilai
kekuatan dan kelemahannya sendiri:
Postmodernitas tidak harus berarti sebuah akhir, pendiskreditan, atau penolakan terhadap modernitas. Postmodernitas tidak lebih (namun tidak kurang) dari pikiran modern yang lama, penuh perhatian dan sadar dalam melihat dirinya, pada kondisi dan karyanya di masa yang telah lalu, tidak sepenuhnya menyukai apa yang ia lihat dan merasakan dorongan untuk berubah. Postmodernitas yang melihat dirinya dari sebuah jarak yang jauh daripada dari dalam, membuat inventarisasi penuh atas semua kemenangan-kemenangan dan kekalahan-kekalahannya, membuat psikoanalisis ata dirinya, menemukan niatan-niatan yang sebelumnya belum pernah diungkapkan, menemukan niatan-niatan yang sebelumnya belum pernah diungkapkan, menemukan apa yang secara mutual dihapuskan dan tidak layak. Postmodernitas adalah modernitas yang hadir dalam pengertian dengan ketidakmungkinannya sendiri; sebuah masyarakat pengawasan diri, sesuatu yang dengan kesadaran membuang apa yang sebelumnya secara tidak sadar pernah dilakukan. (Bauman, 1991: 272)
51
Postmodernisme adalah sebuah ajang permainan terhadap segala sesuatu
yang dibongkar, yang telah didekonstruksi. Tidak ada lagi batas mengenai apa
yang boleh/tidak boleh disampaikan, dipertontonkan, disuguhkan dalam media.
Segala asumsi (termasuk asumsi moral) kini telah didekonstruksi, telah dihancurkan. Tidak ada lagi referensi moral. Seluruh jagad moral telah didekonstruksi. Dan, apa yang tersisa hanyalah puing-puing. Yang tersisa untuk dilakukan adalah bermain dengan puing-puing (moralitas) ini. Bermain denganpuing-puing- itulah postmodernisme. Jean Baudrillard (Piliang, 2004: 352)
Teori sosial postmodern (Pauline Rosenau, 1992) dapat diartikan dalam istilah:
1) Postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan
dengan modernitas.
2) Teoretisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal
dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas dan
sebagainya.
3) Pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena
besar pramodern, seperti ‘emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi,
pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi,
kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman
mistik.
4) Teoretisi postmodern menolak kecenderungan modern yang
meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu, seperti disiplin
akademis, ‘budaya dan kehidupan’, fiksi dan teori, image dan realitas.
5) Banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang
teliti dan bernalar (Nuyen, 1992: 6)
Secara umum, ada perbedaan antara poststrukturalisme dan
postmodernisme. Poststrukturalisme adalah suatu sumber teoretis yang sangat
penting bagi teori sosial postmodern. Jadi ada garis tipis yang memisahkan
poststrukturalisme dengan postmodernisme. Dapat dikatakan poststrukturalisme
merupakan pelopor teori sosial postmodern (Berthens, 1995), karena
poststrukturalisme merupakan untaian-untaian pemikiran yang membentang
dalam perkembangan teori sosial postmodern. Perbedaan lainnya yaitu bahwa
52
poststrukturalis cenderung sangat abstrak dan kurang politis dibandingkan dengan
postmodernisme.
Postmodernisme menggiring umat manusia dalam sebuah paradoks
(Piliang, 2004). Di satu pihak, postmodernisme telah membuka yang kayak
warna, kayak nuansa, kaya citra, namun di sisi yang lain postmodernisme seolah-
olah menjelma menjadi sebuah dunia yang tidak terkendali; manusia tenggelam
dalam keinginannya sendiri dan kehilangan arah tujuannya. Masyarakat
postmodern (yang ditopang oleh kapitalisme) adalah sebuah masyarakat, yang di
dalamnya segala sesuatu berkembang menuju ke satu titik ekstrim (extremity)
menuju sebuah titik yang melampaui (beyond), menuju titik hiper atau post.
Sejak adanya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di awal abad
21, telah mengubah pandangan dunia manusia, khususnya pandangan mengenai
apa yang disebut sebagai realitas. Lewat kemampuan teknologi, diciptakan realitas
yang melampaui, yang disebut hiperealitas (hyper-reality) (Piliang, 2004: 155).
Sejak itu perhatian manusia mulai beralih dari realitas fisik ke realitas yang
melampaui fisik. Hiperealitas adalah satu bentuk dari apa yang disebut modernitas
radikal (radical modernity), yaitu modernitas yang merealisasikan dan
materialisasikan segala sesuatu yang selama ini dianggap utopis.
Hiperealitas adalah sebuah dunia yang di dalamnya terjadi “… proses mendorong sistim atau konsep atau argumen menuju titik ekstrim, di mana orang mendorongnya lebih jauh lagi, sampai pada satu titik setiap sistem, konsep, atau argumen tersebut telah kehilangan logika” (Piliang, 2004: 156). Di dalam hiperealitas, dunia tidak lagi bersifat dialektik, namun menuju ke
arah ekstrim. Segala sesuatu (informasi, produk, dan lain-lain) didorong menuju
sebuah titik, dimana pada batas tertentu, semuanya tidak lagi mempunyai makna
bagi manusia dan kemanusiaan. Hiperealitas media (hyper-reality of media)
digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menjelaskan perekayasaan (distorsi)
makna dalam media. Jadi hiperealitas media menciptakan kondisi yang
sedemikian rupa, sehingga di dalamnya hal yang semu dianggap lebih nyata dari
‘kenyataan’.
Hiperealitas media telah banyak menimbulkan problem dalam masyarakat,
khususnya hal yang berkaitan dengan masalah objektivitas, netralitas dan
53
kredibilitas informasi yang disajikan oleh media (Piliang, 2004: 142). Hiperealitas
media menciptakan berbagai persoalan sosiokultural, antara lain:
1) Disinformasi
Simulakrum informasi yang berlangsung secara terus-menerus dalam
suatu titik dapat menimbulkan kondisi ketidakpastian apada informasi
itu sendiri. Simulakrum (simulacrum) adalah sebuah duplikasi dari
duplikasi , yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara
duplikasi dan asli menjadi kabur. Simulakrum menciptakan krisis
kepercayaan terhadap informasi itu sendiri. Informasi kehilangan
kredibilitas karena tidak lagi mengungkapkan kebenaran.
2) Depolitisasi
Massa yang terperangkap dalam simulacrum politik menyerap realitas-
realitas yang disajikan oleh media secara tidak kritis dan logis,
sehingga realitas-realitas melampaui tersebut, dan membentuk opini
dan sikap politik mereka, yang sesungguhnya telah didistorsi oleh
politik informasi.
3) Banalitas Informasi
Dalam dunia banalitas informasi, apapun dirubah menjadi informasi.
Tidak peduli informasi tersebut tidak menarik, seberapa parahnya
kualitas dan makna dari sesuatu, ia tetap menjadi subyek informasi.
Massa dikepung oleh berjuta tanda dan citra, sehingga ia tidak mampu
lagi menginternalisasikan makna yang dihasilkannya.
4) Fatalitas Informasi
Informasi yang tak terkendali dalam media menciptakan kondisi
fatalitas informasi (fatality of information). Dalam kondisi tersebut,
informasi tidak lagi mempunyai tujuan, fungsi dan makna.
5) Skizofrenia
Oleh Jacques Lacan, skizofrenia dapat diartikan sebagai putusnya
rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan
dan membentuk satu ungkapan atau makna. Semua kata atau penanda
dapat digunakan untuk menyatakan satu konsep petanda, namun yang
54
terjadi adalah kesimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan
suatu konsep.
6) Hipermoralitas
Terjadi kekaburan batas dalam wacana informasi, dimana di dalamnya
tidak ada lagi batas-batas mengenai baik/buruk, benar/salah,
boleh/tidak boleh, berguna/tidak berguna untuk dikomunikasikan
dalam media. Hal ini adalah salah satu konsekuensi dari wacana
kecepatan informasi yaitu kecenderungan dekonstruksi terhadap
masalah kode-kode sosial, moral atau kultural.
2.4.5. Munculnya Dekonstruktivisme
Sejak adanya kritik sastra dekonstruktivisme di pertengahan tahun 1980,
kata ‘dekonstruksi’ langsung melekat pada label arsitektur, desain grafis, produk-
produk, dan pakaian. Menurut Ellen Lupton dan J. Abbott Miller (1994), kata
dekonstruksi bergantung pada history (sejarah) dan theory (teori).
Dekonstruktivisme seolah-olah tertanam pada visual terbaru dan budaya
akademis, namun dekonstruksi menjelaskan tentang strategi pembentukan bentuk
kritis yang dimunculkan melintasi jarak dari artifacts dan practices (praktis),
histori dan kontemporer. Maksudnya adalah dekonstruksi merupakan suatu
terobosan teori filsafat dan prakteknya, setelah itu dekonstruksi menjadi salah satu
perkembangan yang signifikan pada bidang kritik filsafat abad 20 ini (J. Douglas
Kenale, 1997).
Menurut Derrida dalam Of Grammatology (1977), dekonstruksi menolak
projek dari kritik modern; untuk membuka pengertian dari pekerjaan
sastra/literatur dengan belajar cara untuk membentuk dan mengkomunikasikan
pesan humanistik yang penting. Dekonstruksi seolah-olah seperti strategi kritik
yang berdasar pada Marxisme, feminisme, semiotika, dan antropologi yang
berfokus tidak pada tema dan gambar atau obyek tetapi lebih ke arah lingustik dan
sistem institusional dari kerangka/bingkai dalam memproduksi teks.
Dekonstruksi mengambil porsi dalam oposisi dengan nenunjukkan
bagaimana untuk mengembangkan konsep kosong tinggal di dalamnya dan
bermakna positif. Yang di luar (the outside) mendiami yang di dalam (the inside).
55
Contohnya yaitu oposisi antara alam dan kebudayaan. Ide dari ‘alam’ bergantung
pada ide dari ‘kebudayaan’ dan segera ‘kebudayaan’ menjadi bagian dari ‘alam’;
dan faktanya manusia telah memproduksi sebuah konsep ‘alam’ dalam oposisi
‘kebudayaan’.
Tatanan teratur yang telah diusahakan oleh modernisme ingin
dikembalikan ke dalam bentuk-bentuk jamak. Dekonstruksi ingin memilah-milah
tananan tersebut, apabila ada sesuatu yang tertutup (closer) maka harus ada yang
terbuka (discloser).
Label dekonstruksi dikukuhkan dalam “International Symposium on
Deconstruction” oleh Academy Group di Tate Gallery, London pada tanggal 18
April 1988. Dari hasil simposium ini disepakati bahwa ‘dekonstruksi’ bukanlah
sebuah gerakan yang tunggal. Dekonstruksi lebih merupakan sikap, suatu metode
krisis yang majemuk, dan tidak memiliki ideologi atau tujuan formal, kecuali
semangat untuk membongkar kemapanan dan kebakuan.
Derrida memaparkan bahwa dekonstruksi adalah metode membaca teks dengan teliti, sehingga premis-premis yang melandasinya dapat digunakan untuk meruntuhkan argumentasi yang disusun atas premis tersebut. Derrida mengkaitkan metode dekonstruksi dengan kritik terhadap metaphysics of presence. Kritik itu kemudian menjadi asumsi dasar bagai filosof tradisional. Derrida menolak gagasan bahwa ada yang disebut present dalam pengertian suatu ‘saat’ yang terdefinisikan sebagai sekarang/now. (Freddy H.Istanto, 2003: 54)
.
Dalam Jurnal Nirmana Vol. 5 No.1 tahun 2003 artikel Freddy H. Istanto
dipaparkan mengenai prinsip-prinsip Derrida dalam dekonstruksi menurut
Jonathan Culler (dalam Benedikt, 1991) sebagai berikut:
a) Différance
Différance berarti suatu ‘kata dalam kata’ dalam bahasa Prancis,
yang dibentuk sendiri oleh Derrida. Dalam bahasa Inggris, difference
berarti perbedaan. Kata differer ini mempunyai dua arti, yang pertama
sebagai kata kerja intransitif, dan yang kedua sebagai kata kerja transitif
yang artinya menunda, menangguhkan dan mengundurkan waktu (Bertens
1985: 500). Kata différance menggabungkan kedua arti tersebut sehingga
memiliki makna yang mengacu sebagai perbedaan dan penangguhan
56
waktu. Jadi différance berarti ‘berbeda’ dan ‘menunda’ pada saat yang
bersamaan.
Tiga pengertian différance secara harafiah, yaitu:
a.1) The universal system of differences: berbeda
a.2) The process of deferral: menunda, meneruskan
a.3) The sense of differing: berbeda pendapat/tidak setuju
Dengan konsep différance proses dekonstruksi merupakan proses
mendeferensiasikan yang merupakan syarat timbulnya setiap makna pada
sistim struktur.
Dekonstruksi mengandung dimensi waktu (temporization) dan
antara (spacing) (Sumaryono, 1993: 115, Setiawan, 1994: 17). Arti kata
differance hampir sama dengan ‘Ma’ (bahasa Jepang) yang berarti interval
jarak (interval in space) dan interval waktu (interval in time). Maksud
interval waktu adalah peristiwa, tempat, kejadian dalam suatu waktu.
Dalam bahasa Jepang, ‘Ma’ diartikan sebagai:
- Celah diantara batu pijakan, pada saat manusia melangkah dengan
tenangnya
- Ketenangan antara otot-otot suatu lagu ketika irama legato
dinyanyikan
- Suatu posisi dimana pendulum mencapai puncaknya dan berhenti
‘tanpa berhenti’ atau ‘stop without stopping’.
Untuk memahami différance harus ada dua ide yang saling melengkapi/
tanda yang sama namun dipindahkan menuju konteks yang berbeda karena
ada perbedaan fundamental dan universal. Misalnya adalah perbedaan
antara presence dan absence. Disini memang ada perbedaan yang
mencolok seperti warna hitam dan putih, namun disini juga ada
ketergantungannya, seperti tidak ada naik kalau tanpa turun, tidak ada baik
kalau tanpa buruk, dan lainnya. Demikian juga presence tidak memiliki
makna tanpa adanya absence.
57
b) Pembalikan Hirarkhi
Derrida mengikuti pemikiran Heiddeger mengenai pemikiran tentang
‘ada’. Konsep ‘ada’ dari sudut pandang metafisika barat memiliki dua
masalah yaitu:
b.1) ‘Ada’ tidak sesederhana yang dibayangkan, bahkan merupakan
sesuatu yang kompleks. Derrida menolak konsep ‘suatu saat’ yang
selalu diartikan sebagai ‘sekarang’.
b.2) Idealisasi ‘ada’ menyebabkan semua sistim kategori menjadi saling
mendominasi satu dengan yang lain. Jadi ‘ada’ lebih baik daripada
‘tidak ada’ karena dibutuhkan. Dalam hal ini dekonstruksi
bertujuan untuk mengidentifikasi apa yang biasanya disepelekan
sehingga hierarkhi yang terjadi dapat dibatalkan atau diproses
mundur.
c) Pusat dan Marjinal
Pusat seringkali diartikan sebagai inti, yaitu hal-hal penting, sedangkan
marjinal dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting (nomor 2). Pusat dan
marjinal sebenarnya hanyalah masalah posisi dalam geometrika saja.
Untuk memberikan arti pada keduanya, dekonstruksi dapat
mempertentangkan atau menyembunyikannya bahkan merubah tempatnya.
d) Pengulangan (Iterabilitas) dan Makna
Suatu kata atau tanda memperoleh maknanya dalam suatu proses berulang
pada konteks yang berbeda, dimana secara konotatif maupun denotatif
artinya akan memperoleh struktur yang stabil.
Derrida, 1967 menyampaikan suatu pengertian bahwa selalu ada alteritas
yang bersembunyi di belakang tanda; selalu ada yang tersembunyi di balik apa
yang hadir, hal ini dikemukakan juga oleh Spivak:
Untuk melokasikan teks marginal yang diharapkan, untuk menyingkap momen yang tidak dapat dipastikan, untuk membongkar kelonggarannya dengan pengungkit penanda yang positif, untuk membalikkan hierarkhi yang tetap, hanya dengan menggantinya; membongkarnya agar dibangun kembali apa yang sudah senantiasa ditulis. (Spivak, 1974: ixxvii)
58
Dalam penerapan dekonstruksi, Derrida sering menitikberatkan pada hal
yang kecil. Tujuannya adalah melokasikan saat-saat kunci, pertentangan kunci.
(Ritzer, 2003: 205). Dalam menerapkan cara ini dalam teks sesuatu (dan ada) yang
disembunyikan, ditutup. Tetapi dekonstruksi tidak diorientasikan untuk
memastikan kebenaran. Derrida mendekonstruksi agar dapat mendekonstruksi
lagi dan terus-menerus; bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menemukan
kebenaran.
Proses dari dekonstruksi berbasis pada arti tanda yang tidak ditemukan
pada arti yang sesungguhnya dengan melihat apa yang muncul secara fisik. Sarup
menggambar pada perspektif dekonstruksi untuk menjelaskan bahwa ‘arti’ tidak
akan pernah ditemukan hanya dengan melihat satu tanda saja, tetapi dengan
melihat penanda-penanda yang lain yang akan membantu menjelaskan
‘kehadiran’ dan ‘ketidakhadiran’ itu.
2.4.6. Ciri-ciri Majalah Dekonstruktivisme
Dalam era yang serba digital ini, banyak ditemukan media sebagai
penyampaian pesan, salah satunya yaitu majalah. Dari sekian banyak majalah
yang ada, peneliti menemukan beberapa majalah untuk diteliti. Dilihat dari bentuk
dan penataan elemen-elemen visualnya, majalah-majalah tersebut ternyata
mempunyai ciri-ciri paham dekonstruksi. Untuk itulah, peneliti memaparkan teori
singkat mengenai ciri-ciri majalah berpaham dekonstruksi, berdasarkan atas:
2.4.6.1. Tipografi
Dekonstruksi sudah terbentuk sebagai suatu alat penting untuk analisa
tekstual melintasi ilmu-ilmu berbeda. Walter Ong bahkan juga mengusulkan
bahwa dekonstruksi terikat pada tipografi, daripada hanya tulisan sebagaimana
yang diasumsikan tipografer lain.
Desain tipografi majalah selalu didiami oleh arti dari berkas-berkas yang
berubah-ubah untuk, dari dan diantara produsen-produsen, pemilik-pemilik dan
pembaca-pembacanya. Jadi lewat dekonstruksi itu sendiri, suatu proses yang
terinformasi oleh agenda politis dan praktis, sosio-politis dan ideologi
institusional dapat diekspos dari lapisan-lapisan teks yang dalam.
59
Dalam mendekonstruksi praktek tipografi majalah kontemporer, beberapa
konsep kunci akan digunakan. Ini menyangkut: ‘kehadiran’, ‘ketidakhadiran’,
‘berkas-berkas’ dan ‘intertektualitas’. ‘Kehadiran’ dan ‘ketidakhadiran’ umumnya
digunakan dalam konjungsi dengan sesama karena mereka mewaliki pembagian
biner biasa dalam konstruksi filsafat dari budaya Barat. Namun, dekonstruksi
tidak memprioritaskan kehadiran daripada ketidakhadiran pada basis bahwa itu
adalah istilah pertama dari pasangan biner. Biner ini didekonstruksikan untuk
menunjukkan apa yang tidak hadir dalam suatu teks bias menjadi bentuk teks, dan
apa yang hadir tidak akan menjadi seperti demikian, kecuali untuk ketidakhadiran
itu.
Dalam teks tipografi, suatu contoh permainan ‘kehadiran’ dan ‘ketidakhadiran’ dapat diilustrasikan melalui spasi. Derrida, 1977 menulis “ Spasi memotong, menjatuhkan, dan membuat jatuh di dalam ketidaksadaran. Signifikasi ini dibentuk hanya di dalam hampanya perbedaan, diversi dan kebalikan dari apa yang tidak muncul. “
Gambar 2.42 Majalah Blank edisi 6 tahun 2003, halaman 13
Desain tipografi yang bercirikan ‘pemotongan bentuk’ seakan-akan sudah
terfokus pada tipografi “postmodern” dan “dekonstruksi”. Steven Heller, 1997
60
berpendapat bahwa beberapa waktu sebelum dekonstruktivisme muncul dalam
gerakan tipografi, tipografi dari dekonstruktivisme itu sendiri tidak diindikasikan
dengan orientasi desain yang lain.
Ciri-ciri tipografi pada majalah dekonstruktivisme yaitu tidak terstruktur,
yaitu:
1. Hurufnya yang non konvensional
2. Susunan hurufnya tidak teratur
3. Hurufnya sukar dibaca
4. Illegible (tidak legible)
5. Hurufnya banyak ornamen
2.4.6.2. Warna
Warna sebenarnya memegang peranan dalam legibilitas sebuah pesan.
Desainer seharusnya mengerti tentang teori warna dan kekontrasaannya dalam
sebuah layout majalah. Peneliti akan menjabarkan mengenai bagaimana warna
mempengaruhi legibilitas sebuah pesan (message); dalam hal ini dapat diartikan
sebagai layout suatu majalah.
Berdasarkan sebuah penelitian di Michigan State University School of
Packaging, warna teks dalam sebuah background warna mempengaruhi kualitas
pesan tersebut mudah dibaca atau tidak, dan enak dibaca atau tidak. Dalam
penelitian ini diuji-cobakan legibilitas dari 6 macam kekontrasan warna dalam
teks, yaitu:
1. Blue on White (biru dalam putih)
2. Yellow on Red (kuning dalam merah)
3. Blue on Yellow (biru dalam kuning)
4. White on Blue (putih dalam biru)
5. Black on Red (hitam dalam merah)
6. Black on White (hitam dalam putih)
Dari uji coba yang dilakukan oleh desainer di Michigan State University
School of Packaging tersebut, peneliti dapat memberikan kesimpulan sementara
bahwa warna yang berbeda pada background ternyata dapat memberikan kesan
61
yang berbeda pula. Enak atau tidaknya dibaca serta legibilitas hurufnya juga dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.43. Message and Contrast (berdasarkan sumber: Laura Bix, 2003)
Dalam penelitian tersebut, mereka membandingkan menjadi 6 grup
berdasarkan usia yaitu:
1. Grup 1, yang berusia 19-28 tahun
2. Grup 2, yang berusia 29-38 tahun
3. Grup 3, yang berusia 39-48 tahun
4. Grup 4, yang berusia 51-60 tahun
5. Grup 5, yang berusia 61-70 tahun
6. Grup 6, yang berusia lebih dari 71 tahun
62
Setelah melakukan mereka penelitian mengenai indeks legibilitas
berdasarkan grup usia dan kekontrasan warna, mereka mempunyai hasil dengan
rata-rata sebagai berikut:
Gambar 2.44 Average Legibility Index by Age Group. (berdasarkan sumber: Laura Bix, 2003)
Gambar 2.45 Average Legibility Index by Color Contrast. (berdasarkan sumber: Laura Bix, 2003)
Keterangan:
Semakin tinggi nilai legibility index di atas, semakin semakin susah teks (sebagai
subjek) itu dibaca.
63
Dari hasil penelitian Laura Bix, 2003 tersebut diketahui bahwa: teks hitam
diatas putih, biru diatas kuning, putih diatas biru lebih mudah dibaca daripada biru
diatas putih, kuning diatas merah dan hitam diatas merah. Jadi supaya teks dalam
layout warna tetap dapat terbaca, sebaiknya tidak digunakan warna teks biru
diatas putih, kuning diatas merah dan hitam di atas merah.
Gambar 2.46 Warna-warna yang tidak legibel. (berdasarkan sumber: Laura Bix, 2003)
Sedangkan pada majalah dekonstruktivisme, ciri-ciri warnanya tak
terstruktur, maksudnya adalah:
1. Karakter warnanya tak terstruktur
2. Warnanya tidak konsisten
3. Warnanya tidak enak dilihat
4. Warnanya mengganggu isi bacaan
Ciri-ciri warna yang tak terstruktur pada majalah dekonstruktivisme dapat
dihubungkan dengan gambar 2.46 tersebut karena pada gambar tersebut sudah
dapat dikategorikan masuk ciri-ciri majalah dekonstruktivisme. Dalam kata lain,
warna yang tak terstruktur dapat berarti warna yang tidak serasi, tidak seimbang
dan tidak konsisten.
64
2.4.6.3. Layout
Dekonstruksi menolak adanya keteraturan dan kebakuan struktur dari
modernisme dan juga pada poststrukturalisme. Dekonstruksi tidak membatas
istilah mana yang lebih dari istilah yang lain (pada oposisi biner), namun yang
diutamakan adalah saling ketergantungan Berangkat dari pemikiran itu, majalah
yang dekonstruktivisme mempunyai ciri-ciri layout yang tidak terstruktur. Paham
dekonstruksi tidak menyukai adanya struktur-struktur baku dan pemikiran yang
konvensional.
Salah satu ciri dari layout yang tidak terstruktur adalah layout ungrid
(tidak ada garis batasannya). Contohnya dapat dilihat pada gambar 2.27 dan
gambar 2.42. Pada gambar-gambar tersebut tidak ditemukan adanya grid sebagai
garis bantu untuk menyusun layout. Layout yang tak terstruktur juga dapat dilihat
pada contoh gambar 2.27. Layout yang tidak beraturan menyulitkan pembaca
dalam membaca pesan, salah satu contohnya ada pada gambar 2.47 di bawah ini.
Gambar 2.47. Potongan Layout Majalah Surftime volume 4 tahun 2003. Contoh struktur layout yang tidak teratur.
65
Dalam hal ini, bukan berarti pada sebuah layout ungrid pasti berpaham
dekonstruksi, ataupun yang mempunyai grid pasti bukan berpaham dekonstruksi.
Hal ini dilihat dari kadar esensi dan pemaknaan pada desain itu sendiri apakah
memang berpaham dekonstruksi atau hanya bernuansa paham dekonstruksi saja.
Layout yang di-dekonstruksi bukan hanya sekedar di’bongkar’ dan di’bangun’
terus-menerus, namun juga merupakan luapan ‘kegilaan’ dekonstruksi yang tidak
dapat dibantah. Seringkali dekonstruksi tidak dapat dipikir dan dirasiokan dengan
akal pikiran saja, mengapa seperti ini, mengapa seperti itu. Dengan mengenal latar
belakang paham dekonstruksi (pada hal 43), akan lebih memudahkan menelusuri
jejak pemikiran pendekonstruksi dan menganalisis tipografi, warna dan layout
pada majalah berpaham dekonstruksi.