Upload
endah-a-rahmadhani-sugiarto
View
34
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk
skeleton dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa
dan sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut saraf,
menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada
orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12
thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal.1
Tulang belakang merupakan suatu satu kesatuan yang kuat diikat oleh ligamen
di depan dan dibelakang serta dilengkapi diskus intervertebralis yang mempunyai
daya absorbsi tinggi terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifat fleksibel
dan elastis. Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma hebat
sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi ke rumah sakit harus
diperlakukan dengan hati-hati.2,3
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang
belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang, ligamentum longitudinalis
posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk ke kanalis vertebralis
serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah ke medula spinalis dapat ikut
terputus. Cedera medulla spinalis merupakan kelainan yang pada masa kini banyak
memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan di bidang
1
penatalaksanaannya. Jika di masa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan oleh
jatuh dari ketinggian, pada masa kini penyebabnya lebih beraneka ragam seperti
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat ketinggian dan kecelakaan olah raga. Pada
masa lalu, kematian penderita dengan cedera medulla spinalis terutama disebabkan
oleh terjadinya penyulit berupa infeksi saluran kemih, gagal ginjal, pneumoni /
decubitus.4
Trauma tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak berupa ligamen, diskus
dan faset tulang belakang dan medulla spinalis. Penyebab trauma tulang belakang
adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga (22%), terjatuh dari
ketinggian (24%), kecelakaan kerja.2,3
Di U.S., insiden cedera medulla spinalis sekitar 5 kasus per satu juta populasi
per tahun atau sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden cedera medulla spinalis
tertinggi pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Insiden cedera medulla spinalis pada pria
adalah 81,2 %. Sekitar 80 % pria dengan cedera medulla spinalis terdapat pada usia
18-25 tahun. SCIWORA (spinal cord injury without radiologic abnormality) terjadi
primer pada anak-anak. Tingginya insiden cedera medulla spinalis komplit yang
berkaitan dengan SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-anak usia kurang dari 9
tahun.5
Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh kurang dari
5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang
perbaikan adalah nol. Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik. Jika
2
fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali lebih dari 50
%.5
Oleh karena itu, penulis menyusun referat ini untuk mengetahui mekanisme
trauma, diagnosis dan penatalaksanaan dari cedera tulang belakang terutama
thoracolumbal, secara tepat sehingga dapat membantu meningkatkan kualitas dan
harapan hidup penderita.
3
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 38 tahun
Agama : Islam
Suku bangsa : Banjar
Status marital : Menikah
Pendidikan : SMA
Alamat : Lampihong
No. Rekam Medis : 593544
Tanggal masuk RS : 07 April 2015
Tanggal pemeriksaan : 07 April 2015
2. ANAMNESIS : Autoanamnesa
Keluhan Utama : Kelumpuhan pada kedua tungkai
Keluhan Tambahan : Tidak dapat merasakan ketika ingin BAB dan BAK
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke RS. Pambalah Batung dengan keluhan mengalami
kelumpuhan pada kedua tungkai sejak 1 hari yang lalu. Keluhan dialami pasien
setelah pasien terjatuh dari pohon langsat setinggi 6 meter. Pasien terjatuh dengan
posisi terduduk (pantat pertama kali menyentuh tanah). Pasien mengatakan dapat
mengingat peristiwa sebelum dan sesudahnya.
Pasien mengatakan pingsan sekali selama kurang lebih 5 menit dan
merasa nyeri kepala, muntah disangkal. Pasien tersadar saat dilakukan evakuasi. Saat
4
tersadar pasien tidak dapat menggerakkan kakinya dan tidak dapat merasakan kedua
kakinya mulai dari selangkangan ke bawah dan tidak dapat merasakan ingin BAB
maupun BAK sejak dari kejadian. Setelah kejadian pasien dapat bernapas dengan
baik dan tidak mengalami sesak napas
Pasien sempat diurut oleh dukun pijat. Pasien tidak dapat merasakan
sedikitpun rasa raba pada tungkai bawah kiri hingga mata kaki dan keluhan tidak
dapat merasakan ingin BAB dan BAK masih dialami. Riwayat minum – minuman
keras maupun obat penenang disangkal.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat trauma pada 1 hari SMRS. Riwayat Hipertensi maupun
diabetes mellitus disangkal. Riwayat kelemahan pada anggota gerak sebelumnya
disangkal.
RIWAYAT KELUARGA
Riwayat hipertensi, alergi maupun diabetes mellitus disangkal.
RIWAYAT KEBIASAAN/POLA HIDUP
Pasien memiliki kebiasaan makan yang tidak teratur, dan sering bergadang.
Pasien merokok namun tidak minum alkohol, maupun mengonsumsi obat terlarang.
3. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran / GCS : Compos mentis / 15
Tanda – tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x / menit
Pernapasan : 20 x / menit
5
Suhu : 36,8 0C
Kepala : Normochepal
Wajah simetris, tidak tampak nyeri, tidak tampak luka
Palpasi dan perkusi sinus frontalis dan maksilaris tidak
menimbulkan nyeri.
Mata : Struktur okular eksterna simestris, tidak ada lesi.
Conjungtiva anemis -/-; Sklera ikterik -/-, orthoforia
Pupil bulat, isokor, 3mm / 3mm
Visus baik ( lebih dari 1/60 )
Hidung : Struktur hidung externa di tengah
Cavitas nasal dalam batas normal, tidak terdapat perdarahan
pada hidung
Mulut : Mukosa oral tampak basah
Uvula di tengah, lidah tidak terdapat deviasi
Telinga : Struktur telinga eksterna simetris, tidak ada jejas,sekret -/-
Leher : Tidak ada jejas
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Tidak ada pembesaran tiroid
Thoraks
(Paru)
:
:
Inspeksi : Pergerakan dada simetris, tidak ada lesi
Palpasi : Taktil fremitus normal
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi: Suara nafas vesikular, Ronki -/-, Wheezing -/-
(Jantung) : Auskultasi: Bunyi jantung I dan II normal, regular, tidak ada
gallop dan murmur
Abdomen : Inspeksi : abdomen datar, luka pada perut bagian bawah
Auskultasi: bising usus normal
Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen
6
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, hati dan limpa tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, perfusi refill < 2 detik
STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran : GCS = E4 V5 M6 (15)
Tanda Rangsang
Meningeal
: Kaku kuduk -
Brudzinski I -
Brudzinski II -
Laseque -
Kernig -
Pemeriksaan Nervi
Cranialis
1. N I. Olfaktorius
o ND: DBN
o NS: DBN
Kesan Tidak tampak kelainan
2. N II. Optikus
o Pemeriksaan visus DBN
o Pemeriksaan buta warna (tidak dilakukan)
o Pemeriksaan lapang pandang DBN
o Pemeriksaan Funduscopy (tidak dilakukan)
Kesan Tidak tampak kelainan
3. N III. Okulomotorius
o Inspeksi kelopak untuk ptosis : tidak terdapat ptosis di kedua mata
7
o Inspeksi pupil
OD: 4 mm
OS: 4 mm
o Pemeriksaan Refleks Cahaya
OD RC langsung +/+
RC konsensual +/+
OS RC langsung +/+
RC konsensual +/+
o Gerak bola mata ke segala arah
OD: DBN
OS: DBN
Kesan Tidak tampak kelainan
4. N IV. Trokealis
OD: DBN
OS: DBN
Kesan Tidak tampak kelainan
5. N V. Trigeminal
o Sensorik
V1 (opthalmik) : DBN + Refleks kornea DBN
V2 (maksilar) : DBN
V3 (mandibular) : DBN
o Motorik
Menggigit : DBN
Membuka Rahang : DBN
8
Kesan Tidak tampak kelainan
6. N VI. Abdusen
o OD: DBN
o OS: DBN
Kesan Tidak tampak kelainan
7. N VII. Fasialis
o Sensorik : Pengecapan 2/3 anterior lidah : DBN
o Motorik
Mengangkat alis : DBN
Mengernyitkan alis : DBN
Memejamkan mata : DBN
Meringis : DBN
Menggembungkan pipi : DBN
Mencucu : DBN
Kesan Parese N.VII Dextra Central
8. N VIII. Vestibulokoklear
o Vestibule
Nystagmus : DBN
Tes Romberg : tidak dilakukan
Tandem : tidak dilakukan
Post-pointing : DBN
o Koklear
Gesekan jari (AS/AD) : +/+
Rinne : +/+
9
Weber : tidak ada lateralisasi
Kesan Tidak tampak kelainan
9. N IX. Glosofaringeal
o Sensorik : Pengecapan 1/3 posterior lidah (tidak dilakukan)
o Motorik
Tidak ada disfonia atau afonia
Refleks menelan: DBN
Kesan Tidak tampak kelainan
10. N X. Vagus
o Inspeksi uvula : DBN
o Refleks muntah (tidak dilakukan)
Kesan Tidak tampak kelainan
11. N XI. Asesorius
Inspeksi, palpasi, dan kekuatan otot Sternocleidomastoid dan Trapezius:
DBN
Kesan Tidak tampak kelainan
12. N XII. Hipoglosus
o Lidah saat di dalam rongga mulut : DBN
o Lidah saat menjulur : DBN
Kesan Parese N XII Dextra
10
Pemeriksaan
Motorik
Massa otot
D S
Eutrophy Eutrophy
Eutrophy Eutrophy
Tonus
D S
Normotonus Normotonus
Normotoni Normotoni
Kekuatan
D S
5 5 5 5 5 5 5 5
0 0 0 0 0 0 0 0
Refleks fisiologis
D S
BPR
TPR
+2
+2
+2
+2
PTR
ACR
0
0
0
0
Refleks patologis
D S
Hofman - -
Trommer
Babinsky
Chaddok
-
-
-
-
-
-
11
Oppenheim - -
Klonus
D S
Patella - -
Achiles - -
Pemeriksaan
Sensorik
: Rangsang raba
Rangsang nyeri
Rangsang suhu
Propioseptif
Diskriminasi 2 titik
:
:
:
:
:
Anestesi tungkai kanan dan
kiri mulai dari inguinal
Analgesi / hipalgesi
- / -
- / -
- / -
Pemeriksaan Sistem
Saraf Otonom
: BAK
BAB
Berkeringat
:
:
:
Inkontinensia uri
Inkontinensia alvi
normal
Pemeriksaan Fungsi
Luhur
: Memori
Kognitif
Bahasa
Visuospasial
:
:
:
:
DBN
DBN
DBN
DBN
Pemeriksaan
Koordinasi
: Disdiadokokinesia
Tes tunjuk hidung
:
:
DBN
DBN
4. RESUME
12
Seorang laki-laki 28 tahun datang dengan keluhan mengalami kelumpuhan
pada kedua tungkai setelah mengalami kecelakaan jatuh dari pohon langsat setinggi 6
meter 1 hari SMRS. Terdapat pingsan 1 kali selama kurang dari 5 menit tanpa muntah
maupun penurunan kesadaran, tidak terdapat hilang ingatan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kelumpuhan pada kedua tungkai beserta
penurunan rasa raba pada kedua tungkai mulai dari inguinal hingga telapak kaki dan
tidak terdapat rangsang meningeal pada tungkai kiri.
5. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja
Klinis : Paraplegia, hipestesi
Topis : Medula Spinalis Th XII – LI
Etiologi : Trauma
6. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan darah lengkap untuk mengevaluasi perjalanan terapi
Foto Rontgen torako-lumbal AP-Lateral
MRI tulang belakang (torako-lumbal) untuk melihat letak lesi secara akurat.
7. TATALAKSANA
Umum
Penatalaksanaan TTV
Keseimbangan cairan, elektrolit, gizi
Mobilisasi, miring kanan dan kiri, fleksi ekstensi kedua tungkai bawah
Konsultasi ahli bedah syaraf
Konsultasi ahli bedah ortopedi
Khusus
13
Non-farmakologis:
Rehabilitasi. Meningkatkan kemandirian dan rehabilitasi sosial
Edukasi. Agar terus dilakukan mobilisasi agar tidak terjadi kekakuan sendi
Farmakologis:
Obat-obatan Neurotropik
Obat-obatan analgetik
8. PROGNOSIS
Quo ad vitam :
Quo ad functionam :
Quo ad sanationam :
FOLLOW UP
08 April 2014 09 April 2014
S Nyeri pinggang (+)
Inkontinensia uri
Inkontinensia alvi
Paraplegi
Nyeri pinggang (<)
Inkontinensia uri
Inkontinensia alvi
Paraplegi
O KU: tampak sakit sedang
KS: compos mentis
TTV:
TD: 140/80 mmHg
KU: tampak sakit sedang
KS: compos mentis
TTV:
TD: 130/80 mmHg
14
N: 90 x/menit.
S: 36.6 oC.
RR: 24 x/menit.
N: 88 x/menit.
S: 36 oC.
RR: 22 x/menit.
A Paraplegi ec Trauma medulla spinalis Paraplegi ec Trauma medulla spinalis
P IVFD NS 20 tpm
Injeksi :
- Metilprednisolon 125 mg 3x1
- Ranitidin 50mg 3x1
- Citicolin 2 x 1 gr
- Vitamin B komplek injeksi 2 x 1 amp
Oral :
- Vitamin B kompleks 2 x 1 tab
IVFD NS 20 tpm
Injeksi :
- Metilprednisolon 125 mg 3x1
- Ranitidin 50mg 3x1
- Citicolin 2 x 1 gr
- Vitamin B komplek injeksi 2 x 1 amp
Oral :
- Vitamin B kompleks 2 x 1 tab
15
BAB II
FRAKTUR VERTEBRA THORAKOLUMBALIS
II.1. ANATOMI
Vertebra adalah pilar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan melindungi
medulla spinalis. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang tersusun secara
segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra servikalis), 12 ruas tulang
torakal (vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang
sakral yang menyatu (vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea).6
16
Gambar 1. Anatomi Tulang Belakang
Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena
adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior. Pada
pandangan dari samping, pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau lordosis
di daerah servikal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun masing-masing tulang
vertebra berikut diskus intervertebralisnya merupakan satu kesatuan yang kokoh
dengan diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang belakang.
Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal
berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk toraks,
sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar dari
torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya semakin kecil.6
Secara umum, struktur tulang belakang tersusun atas dua yaitu :
1. Korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada di antaranya.
2. Elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas lamina, pedikel,
prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis, ligamentum-ligamentum
supraspinosum dan intraspinosum, ligamentum flavum, serta kapsul sendi.6
Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus neuralis di
belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri, sepasang lamina, 2
17
pedikel, 1 prosesus spinosus, serta 2 prosesus transversus. Beberapa ruas tulang
belakang mempunyai bentuk khusus, misalnya tulang servikal pertama yang disebut
atlas dan ruas servikal kedua yang disebut odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara
korpus di bagian depan dan arkus neuralis di bagian belakang. Kanalis spinalis ini di
daerah servikal berbentuk segitiga dan lebar, sedangkan di daerah torakal berbentuk
bulat dan kecil. Bagian lain yang menyokong kekompakan ruas tulang belakang
adalah komponen jaringan lunak yaitu ligamentum longitudinal anterior, ligamentum
longitudinal posterior, ligamentum flavum, ligamentum interspinosus, dan
ligamentum supraspinosus.6
Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen tulang
dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga pilar.
Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta diskus
intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri yang terdiri
atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis. Tulang belakang dikatakan tidak stabil,
bila kolom vertikal terputus pada lebih dari dua komponen. 6
18
Gambar 2. Sendi dan Ligamen Kolumna Vertebra
Medulla spinalis berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf yang
menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh. Semakin tinggi
kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma yang diakibatkan. Misal,
jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher, hal ini dapat berpengaruh pada
fungsi di bawahnya dan menyebabkan seseorang lumpuh pada kedua sisi mulai dari
leher ke bawah dan tidak terdapat sensasi di bawah leher. Kerusakan yang lebih
rendah pada tulang sakral mengakibatkan sedikit kehilangan fungsi.6
19
Gambar 5. Otot yang Memproduksi Gerakan dari Sendi Intervertebra Torakal dan
Lumbal
II.2. MEKANISME CEDERA
Pada cedera tulang belakang, mekanisme cedera yang mungkin adalah:
1. Hiperekstensi (kombinasi distraksi dan ekstensi)
Hiperekstensi jarang terjadi di daerah torakolumbal tetapi sering pada leher,
pukulan pada muka atau dahi akan memaksa kepala ke belakang dan tanpa
menyangga oksiput sehingga kepala membentur bagian atas punggung.
Ligamen anterior dan diskus dapat rusak atau arkus saraf mungkin mengalami
fraktur. Cedera ini stabil karena tidak merusak ligamen posterior.7
2. Fleksi
Trauma ini terjadi akibat fleksi dan disertai kompresi pada vertebra. Vertebra
akan mengalami tekanan dan remuk yang dapat merusak ligamen posterior.
22
Jika ligamen posterior rusak maka sifat fraktur ini tidak stabil sebaliknya jika
ligamentum posterior tidak rusak maka fraktur bersifat stabil. Pada daerah
cervical, tipe subluksasi ini sering terlewatkan karena pada saat dilakukan
pemeriksaan sinar-X vertebra telah kembali ke tempatnya.7
3. Fleksi dan kompresi digabungkan dengan distraksi posterior
Kombinasi fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi posterior dapat
mengganggu kompleks vertebra pertengahan, di samping kompleks posterior.
Fragmen tulang dan bahan diskus dapat bergeser ke dalam kanalis spinalis.
Berbeda dengan fraktur kompresi murni, keadaan ini merupakan cedera tak
stabil dengan risiko progresi yang tinggi. Fleksi lateral yang terlalu banyak
dapat menyebabkan kompresi pada setengah corpus vertebra dan distraksi pada
unsur lateral dan posterior pada sisi sebaliknya. Jika permukaan dan pedikulus
remuk, lesi bersifat tidak stabil.7
4. Pergeseran aksial (kompresi)
Kekuatan vertikal yang mengenai segmen lurus pada spina servikal atau lumbal akan
menimbulkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan mematahkan lempeng vertebra
dan menyebabkan fraktur vertikal pada vertebra, dengan kekuatan yang lebih besar,
bahan diskus didorong masuk ke dalam badan vertebral, menyebabkan fraktur remuk
(burst fracture). Karena unsur posterior utuh, keadaan ini didefinisikan sebagai
23
cedera stabil. Fragmen tulang dapat terdorong ke belakang ke dalam kanalis
spinalis dan inilah yang menjadikan fraktur ini berbahaya, kerusakan
neurologik sering terjadi.7
5. Rotasi-fleksi
Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi fleksi dan
rotasi. Ligamen dan kapsul sendi teregang sampai batas kekuatannya, kemudian
dapat robek, permukaan sendi dapat mengalami fraktur atau bagian atas dari
satu vertebra dapat terpotong. Akibat dari mekanisme ini adalah pergeseran atau
dislokasi ke depan pada vertebra di atas, dengan atau tanpa kerusakan tulang.
Semua fraktur-dislokasi bersifat tak stabil dan terdapat banyak risiko munculnya
kerusakan neurologik.7
6. Translasi Horizontal
Kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian atas atau bawah dapat bergeser ke
anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat tidak stabil dan sering terjadi kerusakan
syaraf.7
24
II.3. CEDERA THORAKOLUMBAL
Penyebab tersering cedera torakolumbal adalah jatuh dari ketinggian serta kecelakaan
lalu lintas. Jatuh dari ketinggian dapat menimbulkan patah tulang vertebra tipe
kompresi. Pada kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi dan tenaga besar
sering didapatkan berbagai macam kombinasi gaya, yaitu fleksi, rotasi, maupun
ekstensi sehingga tipe frakturnya adalah fraktur dislokasi.6
Terdapat dua tipe berdasarkan kestabilannya, yaitu:
- Cedera stabil : jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian medulla spinalis
anterior, komponen vertebral tidak bergeser dengan pergerakan normal, ligamen
posterior tidak rusak sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan
burst fraktur adalah contoh cedera stabil.
- Cedera tidak stabil : cedera yang dapat bergeser dengan gerakan normal karena
ligamen posteriornya rusak atau robek. Fraktur medulla spinalis disebut tidak stabil
jika kehilangan integritas dari ligamen posterior. Menentukan stabil atau tidaknya
fraktur membutuhkan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan radiografi minimal ada 4
25
posisi yaitu anteroposterior, lateral, oblik kanan dan kiri. Dalam menilai stabilitas
vertebra, ada tiga unsur yamg harus dipertimbangkan yaitu kompleks posterior
(kolumna posterior), kompleks media dan kompleks anterior (kolumna anterior).6
Pembagian kolumna vertebralis adalah sebagai berikut :
1. kolumna anterior yang terbentuk dari ligament longitudinal dan 2/3 bagian anterior
dari corpus vertebra, diskus dan annulus vertebralis.
2. kolumna media yang terbentuk dari 1/3 bagian posterior dari corpus vertebralis,
diskus dan annulus vertebralis.
3. kolumna posterior yang terbentuk dari pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus
tulang posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa.6
Berdasarkan mekanisme cederanya, dapat dibagi menjadi:
1. Fraktur kompresi (Wedge fractures)
Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan
membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang
26
mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh
dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala,
osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian
membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami
fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek
ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya. 8
2. Fraktur remuk (Burst fractures)
Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara langsung, dan
tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinalis.
Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis kearah luar yang
disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. Tepi
tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk
cedera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat
menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisis atau gangguan syaraf parsial.
27
Tipe burst fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan terjadi paralysis
pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst fracture ditegakkan
dengan x-rays dan CT scan untuk mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah
fraktur tersebut merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi.
Biasanya dengan scan MRI, fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan
lunak, kerusakan ligamen dan adanya perdarahan.9
3. Fraktur dislokasi
Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena kompresi, rotasi
atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan sehingga sangat tidak stabil,
cedera ini sangat berbahaya. Terapi tergantung apakah ada atau tidaknya korda atau
akar syaraf yang rusak. Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna
vertebralis dengan kombinasi mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya
28
kompresi, penekanan, rotasi dan proses pengelupasan. Pengelupasan komponen akan
terjadi dari posterior ke anterior dengan kerusakan parah pada ligamentum posterior,
fraktur lamina, penekanan sendi facet dan akhirnya kompresi korpus vertebra
anterior. Namun dapat juga terjadi dari bagian anterior ke posterior. kolumna
vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi fraktur pada prosesus transversus dan
bagian bawah costa. Fraktur akan melewati lamina dan seringnya akan menyebabkan
dural tears dan keluarnya serabut syaraf.2
4. Cedera pisau lipat (Seat belt fractures)
Sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tiba-tiba mengerem
sehingga membuat vertebra dalam keadaan fleksi, dislokasi fraktur sering terjadi pada
thoracolumbar junction.10
Kombinasi fleksi dan distraksi dapat menyebabkan tulang belakang pertengahan
membentuk pisau lipat dengan poros yang bertumpu pada bagian kolumna anterior
vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman, tubuh penderita terlempar kedepan
29
melawan tahanan tali pengikat. Korpus vertebra kemungkinan dapat hancur
selanjutnya kolumna posterior dan media akan rusak sehingga fraktur ini termasuk
jenis fraktur tidak stabil.7
Tabel 1. Klasifikasi Fraktur Stabil dan Tidak Stabil
30
Tipe fraktur Bagian yang terkena Stable vs Unstable
Wedge fractures Hanya Anterior Stable
Burst fractures Anterior dan middle Unstable
Fracture/dislocation injuries Anterior, middle, posterior Unstable
Seat belt fractures Anterior, middle, posterior Unstable
Gambar 6. Klasifikasi Magerl
Terdapat 3 jenis fraktur berdasarkan mekanismenya (mechanism of failure):
1. Type A
Compressive loads
2. Type B
Distraction forces
3. Type C
Multidirectional forces and translation11
II.4. CEDERA MEDULLA SPINALIS
Antara Vertebra Th I dan Th X
31
Segmen korda lumbal pertama pada orang dewasa berada pada tingkat vertebra T10.
Akibatnya, transeksi korda pada tingkat itu akan menghindarkan korda toraks tetapi
mengisolasikan seluruh korda, lumbal dan sakral, disertai paralisis tungkai bawah dan
visera. Akar toraks bagian bawah juga dapat mengalami transeksi tetapi tak banyak
pengaruhnya.7
Di Bawah Vertebra Th X
Korda membentuk suatu tonjolan kecil (konus medularis) di antara vertebra T I dan LI,
dan meruncing pada ruang di antara vertebra LI dan L2. Akar saraf L2 sampai S4
muncul dari konus medularis dan beraturan turun dalam suatu kelompok (cauda
equina) untuk muncul pada tingkat yang berurutan pada spina lumbosakral. Karena itu,
cedera spinal di atas vertebra T10 menyebabkan transeksi korda, cedera di antara
vertebra T10 dan LI dapat menyebabkan lesi korda dan lesi akar saraf, dan cedera di
bawah vertebra Ll hanya menyebabkan lesi akar saraf. 7
Akar sakral mempersarafi:
(1) sensasi dalam daerah "pelana", suatu jalur di sepanjang bagian belakang paha dan
tungkai bawah, dan dua pertiga sebelah luar telapak kaki
(2) tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pergelangan kaki dan kaki
(3) refleks anal dan penis, respons plantar dan refleks pergelangan kaki
(4) pengendalian kencing.7
32
Akar lumbal mempersarafi:
(1) sensasi pada seluruh tungkai bawah selain bagian yang dipasok oleh segmen
sakral
(2) tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pinggul dan lutut
(3) refleks kremaster dan refleks lutut. 7
Bila cedera tulang berada pada sambungan torakolumbal, penting untuk membedakan
antara transeksi korda tanpa kerusakan akar saraf dan transeksi korda dengan
kerusakan akar saraf. Pasien tanpa kerusakan akar saraf jauh lebih baik.7
Lesi Korda Lengkap
Paralisis lengkap dan tidak ada sensasi di bawah tingkat cedera menunjukkan transeksi
korda. Selama stadium syok spinal, bila tidak ada refleks anal (tidak lebih dari 24 jam
pertama) diagnosis tidak dapat ditegakkan dan jika refleks anal pulih kembali dan
defisit saraf terus berlanjut, lesi korda bersifat lengkap. Setiap lesi korda lengkap yang
berlangsung lebih dari 72 jam tidak akan sembuh.7
Lesi Korda Tidak Lengkap
Adanya sisa sensasi apapun di bagian distal cedera (uji menusukkan peniti di daerah
perianal ) menunjukkan lesi tak lengkap sehingga prognosis baik. Penyembuhan
dapat berlanjut sampai 6 bulan setelah cedera. Penyembuhan paling sering terjadi pada
33
sindroma korda centra. Di bawah vertebra Th X, diskrepansi antara tingkat neurologik
dan tingkat rangka adalah akibat transeksi akar yang turun dari segmen yang lebih
tinggi dari lesi korda.12
Sindrom Deskripsi
Anterior cord Lesi yang mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensitivitas
terhadap nyeri, temperature namun fungsi propioseptif masih normal
Brown-
Sequard
Proposeptif ipsilateral normal, motorik hilang dan kehilangan sensitivitas
nyeri dan temperatur pada sisi kontralateral
Central cord Khusus pada regio sentral, anggota gerak atas lebih lemah dibanding
anggota gerak bawah
Dorsal cord
(posterior
cord)
Lesi terjadi pada bagian sensori terutama mempengaruhi propioseptif
Conus
medullaris
Cedera pada sacral cord dan nervus lumbar dengan kanalis neuralis ;
arefleks pada vesika urinaria, pencernaan dan anggota gerak bawah
Cauda
equina
Cedera pada daerah lumbosacral dengan kanalis neuralis yang
mengakibatkan arefleksia vesika urinaria, pencernaan dan anggota gerak
bawah
Tabel 2. Incomplete Cord Syndromes
Grading syste m pada cedera medulla spinalis :
1. Klasifikasi Frankel :
34
Grade A : motoris (-), sensoris (-)
Grade B : motoris (-), sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+) 8
2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
Grade DescriptionA Lengkap: tidak ada sensorik maupun motorik dibawah level
defisit neurologiB Tidak lengkap : sensorik baik namun motorik nya menurun di
bawah level defisit neurologyC Tidak lengkap : sensorik baik dan fungsi motorik dibawah defisit
neurology memiliki kekuatan otot dibawah 3D Tidak lengkap : sensorik baik namun kekuatan otot motoriknya
lebih dari 3 atau sama dengan 3E Fungsi sensorik dan motorik normal
Tabel 3. ASIA Impairment Scale 8
II.5. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN FRAKTUR VERTEBRA
Diagnosis klinik adanya fraktur thorakolumbal didapatkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kecurigaan yang tinggi akan adanya
cedera pada vertebra pada pasien trauma sangat penting sampai kita mengetahui
secara tepat bagaimana mekanisme cedera pasien tersebut. Setiap pasien dengan
35
cedera tumpul diatas klavikula, cedera kepala atau menurunnya kesadaran, harus
dicurigai adanya cedera cervical sebelum curiga lainnya. Dan setiap pasien yang
jatuh dari ketinggian atau dengan mekanisme kecelakaan high-speed deceleration
harus dicurigai ada cedera thoracolumbal. Selain itu patut dicurigai pula adanya
cedera medulla spinalis, jika pasien datang dengan nyeri pada leher, tulang belakang
dan gejala neurologis pada tungkai. 13
Pemeriksaan klinik pada punggung hampir selalu menunjukkan tanda-tanda
fraktur yang tak stabil namun fraktur remuk yang disertai paraplegia umunya bersifat
stabil. Sifat dan tingkat lesi tulang dapat diperlihatkan dengan sinar-X, sedangkan sifat
dan tingkat lesi saraf dengan CT atau MRI. Pemeriksaan neurologik harus dilakukan
dengan amat cermat. Tanpa informasi yang rinci, diagnosis dan prognosis yang tepat
tidak mungkin ditentukan. Pemeriksaan rektum juga harus dilakukan. Pemeriksaan
tentang tanda-tanda shock juga sangat penting. 13
Macam-macam shock yang dapat terjadi pada cadera tulang belakang :
a. Hypovolemic shock yang ditandai dengan takikardia, akral dingin dan hipotensi jika
sudah lanjut.
b. Neurogenic shock adalah hilangnya aktivitas simpatis yang ditandai dengan
hipotensi, bradikardi.
c. Spinal shock : disfungsi dari medulla spinalis yang ditandai dengan hilangnya fungsi
sensoris dan motoris. Keadaan ini akan kembali normal tidak lebih dari 48 jam.13
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan:
36
1. Roentgenography: pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang vertebra, untuk
melihat adanya fraktur ataupun pergeeseran pada vertebra.
2. Computerized Tomography : pemeriksaan ini sifatnya membuat gambar vertebra 2
dimensi . Pemeriksaan vertebra dilakukan dengan melihat irisan-irisan yang
dihasilkan CT scan.
3. Magnetic Resonance Imaging: pemeriksaan ini menggunakan gelombang frekuensi
radio untuk memberikan informasi detail mengenai jaringan lunak di daerah vertebra.
Gambaran yang akan dihasilkan adalah gambaran 3 dimensi . MRI sering digunakan
untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak pada ligament dan discus intervertebralis
dan menilai cedera medulla spinalis.13
II.6. PENANGANAN DAN TERAPI
Pertolongan pertama dan penanganan darurat trauma spinal terdiri atas:
penilaian kesadaran, jalan nafas, pernafasan, sirkulasi, kemungkinan adanya
perdarahan dan segera mengirim penderita ke unit trauma spinal ( jika ada).
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan klinik secara teliti meliputi pemeriksaan
neurologis fungsi motorik, sensorik dan reflek untuk mengetahui kemungkinan
adanya fraktur pada vertebra.2
Terapi pada fraktur vertebra diawali dengan mengatasi nyeri dan stabilisasi untuk
mencegah kerusakan yang lebih parah lagi, semuanya tergantung dari tipe fraktur.
37
1. Braces & Orthotics
Ada tiga hal yang dilakukan yakni,
a. mempertahankan kesejajaran vertebra (alignment)
b. imobilisasi vertebra dalam masa penyembuhan
c. mengatasi rasa nyeri yang dirasakan dengan membatasi pergerakan.
Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi, sebagai contoh; brace rigid
collar (Miami J) untuk fraktur cervical, cervical-thoracic brace (Minerva) untuk
fraktur pada punggung bagian atas, thoracolumbar-sacral orthosis (TLSO) untuk
fraktur punggung bagian bawah, dalam waktu 8 sampai 12 minggu brace akan
terputus, umumnya fraktur pada leher yang sifatnya tidak stabil ataupun mengalami
dislokasi memerlukan traksi, halo ring dan vest brace untuk mengembalikan
kesejajaran.3
38
2. Pemasangan alat dan proses penyatuan (fusion).
Teknik ini adalah teknik pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak stabil. Fusion
adalah proses penggabungan dua vertebra dengan adanya bone graft dibantu dengan
alat-alat seperti plat, rods, hooks dan pedicle screws. Hasil dari bone graft adalah
penyatuan vertebra dibagian atas dan bawah dari bagian yang disambung. Penyatuan
ini memerlukan waktu beberapa bulan atau lebih lama lagi untuk menghasilkan
penyatuan yang solid. 3
39
3. Vertebroplasty & Kyphoplasty
Tindakan ini adalah prosedur invasi yang minimal. Pada prinsipnya teknik ini
digunakan pada fraktur kompresi yang disebabkan osteoporosis dan tumor vertebra.
Pada vertebroplasti bone cement diinjeksikan melalui lubang jarum menuju corpus
vertebra sedangkan pada kypoplasti, sebuah balon dimasukkan, dikembungkan untuk
melebarkan vertebra yang terkompresi sebelum celah tersebut diisi dengan bone
cement.3
Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi :
a. Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup, kateterisasi dan
evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu
b. Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksansia setiap dua hari
c. Monitoring cairan masuk dan cairan yang keluar dari tubuh
d. Nutrsi dengan diet tinggi protein secara intravena
e. Cegah dekubitus
f. Fisioterapi untuk mencegah kontraktur 2
40
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Dari anamnesis didapatkan pasien mengalami kelumpuhan pada kedua tungkai
setelah mengalami kecelakaan sejak 3 bulan lalu dan tidak ada perbaikan hingga
sekarang disertai tidak dapat merasakan keinginan untuk BAB maupun BAK.
Dari hasil pemeriksaan neurologis tidak ditemukan kelainan pada syaraf kranial
namun pada pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan pada kedua tungkai adalah 0 0
0 0 disertai penurunan sensoris serta propioseptif pada kedua tungkai mulai dari
selangkangan hingga ujung jari kaki. Tidak ditemukan refleks fisiologis maupun
patologis pada kedua tungkai.
Dari anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan maka pada pasien ini
mengarah kepada diagnosis paraplegi akibat cedera medula spinalis komplet.
1. Definisi
Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas
neurologis akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National
Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru
cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis
komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka
tetraplegia 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan
penyebab utama cedera medula spinalis.
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini
penting untuk meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya. Teknik yang
paling sering digunakan adalah pemeriksaan sacral sparing. Data di Amerika Serikat
menunjukkan urutan frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula spinalis
42
traumatika sbb : (1) tetraplegi inkomplet (29,5%), (2) paraplegi komplet (27,3%), (3)
paraplegi inkomplet (21,3%), dan (4) tetraplegi komplet (18,5%).
Anatomi Medula Spinalis
Medula spinalis terletak di canalis vertebralis columna vertebralis dan
dibungkus oleh tiga meningen, duramater, arachnoid dan piamater. Perlindungan
dilakukan oleh cairan serebrospinal yang mengelilingi medula spinalis dalam ruang
subarachnoid.
Bagian superior dimulai dari foramen magnum pada tengkorak, tempat
bergabungnya dengan medulla oblongata otak. Medula spinalis berakhir di inferior
regio lumbar. Di bawah, medula spinalis menipis menjadi conus medularis dari
ujungnya yang merupakan lanjutan piamater yaitu filum terminale yang berjalan
kebawah dan melekat di bagia belakang os coccygeus.
Di sepanjang medula spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melali radix
anterior (radix motorik) dan radix posterior (radix sensorik). Masing-masing radix
melekat pada medula spinalis melalui fila radikularia yang membentang di sepanjang
43
segmen-segmen medula spinalis yang sesuai. Mesing-masing radix saraf memiliki
sebuah ganglion radix posterior yaitu sel-sel yang membentuk serabut saraf pusat dan
tepi.
Struktur medula spinalis terdiri dari substansia grisea yang dikelilingioleh
substansia alba. Pada potongan melintang, substansia grisea tampak seperti huruf H
dengan kolumna atau kornu anterior dan posterior substansia grisea yang
dihubungkan dengan commisura grisea yang tipis. Didalamnya terdapat canalis
sentralis yang kecil.
Dermatom
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis.
Ada 8 saraf servikal, 12 saraf torakal, 5 saraf lumbal dan 5 saraf sakral. Masing
masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak.
Sepanjang dada dan perut dermatom seperti tumpukan cakram yang dipersarafi
oleh saraf spinal yang berbeda.Sepanjang lengan dan kaki, pola ini berbeda:
dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota badan. Meskipun pola
44
umum sama pada semua orang, daerah yang tepat dari inervasi merupakan keunikan
untuk individu sebagai sidik jari.
Manfaat Klinik
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan
tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Karena kesakitan terbatas dermatom adalah
gejala bukan penyebab dari dari masalah yang mendasari, operasi tidak boleh
sekalipun ditentukan oleh rasa sakit. Sakit di daerah dermatom mengindikasikan
kekurangan oksigen ke saraf seperti yang terjadi dalam peradangan di suatu tempat di
sepanjang jalur saraf.
2. Klasifikasi
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan
ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.
Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American
Spinal Cord Injury Association(2)yaitu : (1) Central Cord Syndrome, (2) Anterior
Cord Syndrome, (3) Brown Sequard Syndrome, (4) Cauda Equina Syndrome, dan (5)
Conus Medullaris syndrome. Lee(6)menambahkan lagi sebuah sindrom inkomplet
yang sangat jarang terjadi yaitu Posterior Cord Syndrome
45
Tabel 2. Komparasi Karakteristik Klinik Sindrom Cedera Medula Spinalis
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan
laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan pemeriksaan
3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi
AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus-kasus yang tidak
menunjukkan kelainan radiologis,
pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic
Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi
lesi di medula
spinalis akibat cedera/trauma.
Tatalaksana
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula spinalis
komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula spinalis
46
komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama, cenderung
menetap dan prognosisnya buruk.
Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik.
Apabila fungsi sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali
berjalan
adalah lebih dari 50%
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk
cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of
Health di Amerika Serikat(11). Namun demikian penggunaannya sebagai terapi
utama cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum
digunakan sebagai standar terapi. Kajian oleh Brakendalam Cochrane Library
menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi
farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk
digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training pada
pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk
mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan
memperkuat fungsi otot-otot yang ada.
Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki
fungsi ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/
activities of daily living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal
mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien.
Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu program
rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi, elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan
gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai
status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.
Prognosis
47
Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata
harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi normal.
Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera. Penyebab
kematian utama adalah komplikasi disabilitas neurologik yaitu : pneumonia, emboli
paru, septikemia, dan gagal ginjal.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Moore K. Essential Clinical Anatomy. Second Edition. Baltimore: Williams and
Wilkins. 2002
2. Rasjad C. Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Lamumpatue. 2003
3. Roper S. Spine Fracture. In: Dept. Neurosurgery Unversity of Florida. (Last updated:
2003; accesed: 14 April 2012). Available from :
http://www.neurosurgery.ufl.edu/Patients/fracture.shtml
4. Harna. Trauma Medulla Spinalis. (Last updated: 2008; accesed: 14 April 2012). Available
from : http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/17/trauma-medula-spinalis/.
5. Schreiber, D. Spinal Cord Injury. (Last updated: 2004; accesed: 14 April 2012). Available
from : http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview.
6. Jong, W.D, Samsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. 2005; 870-874.
7. Apley,A.Graham. Apley’s System O Orthopaedic And Fracture.Seventh Edition. London:
Butterworth Scientific. 2000; 658-665.
8. Young W. Spinal Cord Injury Level And Classification. (Last updated: 2000; accesed: 14
April 2012). Available from : http://www.neurosurgery.ufl.edu/Patients/fracture.shtml
9. Deblick T. Burst Fracture. (Last updated: 2001; accesed: 14 April 2012). Available from :
http://www.emedicine.medscape.com/specialties
10. Claire M. The Three Column Concept. (Last updated: 2005; accesed: 14 April 2012).
Available from: http://www.spineuniverse/columnconcept.html
11. Rimel R.W. An Educational Training Program for the Care at the Site of Injury of Trauma to
Central Nervous System. 2001; 9:23-28.
49
12. Thomas, V.M. Thoracolumbal Vertebral Fracture. Journal of Orthopaedics. (Last updated:
2004; accesed: 14 April 2012). Available from : http://www.jortho.org/index.html
13. Kuntz C. Spine Fracture. Emedicine Journals. (Last updated: 2004; accesed: 14 April 2012).
Available from : http://www.emedicine.com/orthoped/topic567.htm
50