Upload
buithuan
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Gimu dan giri ..., Renita Indriana, FIB UI, 2013
Gimu dan giri ..., Renita Indriana, FIB UI, 2013
GIMU DAN GIRI DALAM MASYARAKAT JEPANG
Renita Indriana, 0806394684
Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak
Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang memiliki nilai-nilai yang tinggi. Salah satu dari nilai yang ada
dalam masyarakat Jepang adalah gimu dan giri. Nilai-nilai ini telah tertanam sejak zaman feodal dan masih tertanam
dalam masyarakat Jepang modern. Gimu diterjemahkan sebagai kewajiban atau darma (Matsuura,2005:218). Gimu
adalah pembayaran kembali yang maksimal dari kewajiban ini pun dianggap masih belum cukup dan tidak ada batas
waktu pembayarannya (Benedict,1982:125). Gimu dalam memenuhi kewajibannya terhadap pemerintahan, keluarga
yang masih mempunyau ikatan darah. Kata giri diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki arti hutang yang
wajib dibayar atau dilunasi dalam jumlah yang tepat dan sama dengan kebaikan yang diterima seseorang dan ada
batas waktu pembayarannya (Benedict,1982:125). Giri dalam memenuhi kewajibannya terhadap orang yang baru
dikenal atau tidak mempunyai ikatan darah. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah menjelaskan realisasi gimu
dan giri dalam masyarakat Jepang. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode deskriptif,
sehingga dalam pengumpulan data penulis menggunakan data kepustakaan mengenai masalah yang terkait serta
pengumpulan data melalui internet.
Gimu and Giri in Japanese Society
Abstract
Japanese society known as the communities that have high values. One of the values that exist in the Japanese
society is gimu and giri. These values have been embedded since the time of feudal and still embedded in the society
of Japan modern. Gimu subtltled as a duty (Matsuura,2005:218). Gimu is repayment of this obligations maximum
was deemed still not enough and there is no time limit for payment (Benedict,1982:125). Gimu in fulfilling
obligations to the government, the family still has blood ties. In Indonesian giri means debt that must be paid or paid
the right amount and the same kindness and no one receives payment deadline (Benedict,1982:125). Giri in
benevolence people who have known or no have blood ties. The purpose of this paper is to explain the realization
within the gimu and giri in Japan society. The research method used is descriptive writer, so the authors using data
collection of data on issues related literature and data collection by internet.
Keyword: giri, gimu
Gimu dan giri ..., Renita Indriana, FIB UI, 2013
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kepribadian yang tertanam di
masayarakat Jepang sekarang tidak lepas dari
nilai-nilai Jepang pada zaman dahulu. Salah
satu nilai itu adalah gimu dan giri. Gimu dan
giri merupakan pembayaran dari on. Gimu
diterjemahkan sebagai kewajiban atau darma
(Matsuura,2005:218). Gimu adalah
pembayaran kembali yang maksimal dari
kewajiban ini pun dianggap masih belum
cukup dan tidak ada batas waktu
pembayarannya (Benedict,1982:125). Kata
giri diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
memiliki arti hutang yang wajib dibayar atau
dilunasi dalam jumlah yang tepat dan sama
dengan kebaikan yang diterima seseorang dan
ada batas waktu pembayarannya
(Benedict,1982:125).
Nilai on, giri dan gimu ini masih
tertanam pada masayarakat Jepang hingga
sekarang, namun memiliki bentuk yang
berbeda dengan zaman dahulu. Hal ini
menimbulkan perubahan dalam masyarakat
Jepang baik dalam bidang politik, sosial,
budaya, serta ekonomi. Pada masa feodal,
ketika orang Jepang belum banyak
dipengaruhi oleh modernisasi, mereka selalu
diliputi rasa berhutang budi (on) kepada
orang tua, para penguasa, masyarakat dan
negara. Namun, apakah modernisasi
menyebabkan berkurangnya rasa berhutang
budi itu. Oleh karena itu, penulis bermaksud
ingin menulis gimu dan giri dalam
masyarakat Jepang .
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana realisasi gimu dan giri dalam
masyarakat Jepang?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan
realisasi gimu dan giri dalam masyarakat
Jepang.
II. Giri dan Gimu pada masa
Masyarakat Jepang
2.1 Pengertian Gimu (義務)
Menurut kanji yang membentuknya
yaitu kanji gi (義 ) yang berarti keadilan,
kebenaran, moralitas; kemanusiaan, integritas,
kehormatan, kesetiaan, ketaatan serta kanji
mu (務) yang berarti pelayanan, tugas, usaha.
Menurut Kamus Kanji Modern Jepang
Indonesia, kanji gimu (義務 ) berarti tugas
kewajiban tanggung jawab (Nelson, 2008:
725). Gimu diterjemahkan sebagai kewajiban
atau darma (Matsuura,2005:218). Gimu
adalah pembayaran kembali yang maksimal
dari kewajiban ini pun dianggap masih belum
cukup dan tidak ada batas waktu
pembayarannya (Benedict,1982:125). Gimu
juga dikatakan pembalasan kebaikan setulus
hati (Situmorang,1995:66).
2.1.1 Jenis-Jenis Gimu
Dalam buku Pedang Samurai dan
Bunga Seruni (Benedict,1982:125), Benedict
membagi gimu menjadi 2, yaitu: chu dan ko.
Chu
Chu dalam pemerintahan sipil
mendukung apa saja, dari kematian
hingga pajak. Pemungut pajak, petugas
polisi, pajabat-pejabat wajib militer
adalah saluran-saluran memalui mana
seorang hamba (orang Jepang)
menyerahkan chu. Orang Jepang
menggangap patuh kepada hukum
merupakan pembayaran kembali atas
utangnya yang terbesar, yaitu ko on.
Ketika Jepang menyerah pada
tanggal 14 Agustus 1945, dunia dapat
menyaksikan sendiri cara kerja yang
hampir tidak dapat dipercaya. Banyak
orang Barat dengan pengalaman dan
pengetahuan tentang Jepang,
menganggap bahwa Jepang tidak
mungkin menyerah. Kata mereka naïf
untuk membayangkan bahwa tentara-
tentaranya yang tersebar di seluruh
Asia dan Pasifik akan menyerahkan
senjatanya dengan damai. Selama
perang bangsa Jepang pantang mundur
dan mereka adalah bangsa yang suka
berperang. Para ahli Amerika membuat
analisa tanpa memikirkan chu. Kaisar
berbicara dan perang pun berakhir.
Sebelum suaranya berkumandang
melalui radio, penentang-penentang
yang kecewa membentuk barisan
sekeliling istana dan berusaha
mencegah pengumuman itu. Namun,
Gimu dan giri ..., Renita Indriana, FIB UI, 2013
setelah dibacakan sekali saja,
pernyataan itu diterima. Seorang
komandan lapangan pun di Mancuria
atau di Jawa, tidak seorang pun di
Jepang, menentangnya. Bangsa Jepang
“menentramkan hati Kaisar” dengan
mengikuti cara-cara damai.
Jepang bukanlah Barat.
Jepang tidak memakai kekuatan
terakhir di negara-negara Barat, yaitu
revolusi. Mereka tidak membalas
dendam dengan malakukan sabotase
terhadap tentara pendudukan musuh.
Mereka memakai kekuatannya sendiri,
kemampuan untuk menunjuk dirinya
sebagai chu harga pernyerahan tanpa
syarat termahal, sebelum kekuatan
tempurnya dihancurkan. Meskipun
demikian, di mata mereka,
pembayaran yang mahal ini telah
menebus sesuatu yang bernilai
mahatinggi, yaitu hak untuk
mengatakan bahwa Kaisarlah yang
telah memberikan perintah, meskipun
itu adalah perintah menyerah, bahkan
dalam kekalahan pun hukum tertinggi
masih tetap chu.
Ko terhadap orang tua atau oya
on
Ko merupakan pemenuhan on
terhadap orang tua. Ini merupakan
bakti filial terhadap orang tua. Banyak
cerita mengenai ko diceritakan dalam
novel maupun kehidupan
sesungguhnya penuh dengan tugas-
tugas yang berat dari bakti filial ini
setelah seorang pria muda menikah.
Dalam keluarga Jepang, orang tualah
yang memilih istri bagi putranya,
biasanya melalui seorang comblang.
Keluarga, dan bukan sang putra, yang
paling perhatian terhadap baik
tidaknya suatu pilihan. Hal ini
disebabkan karena calon istri akan
tercantum dalam silsilah keluarga dan
akan meneruskan nama keluarga itu
kepada anak-anaknya. Seorang putra
yang baik, untuk membayar on kepada
orang tuanya, tidak dapat
mempersalahkan pilihan orang tuanya.
Setelah menikah, pembayaran kembali
tetap berlangsung, terutama jika putra
itu adalah ahli waris keluarga. Jika
demikian, sudah biasa bahwa ibu
mertua tidak suka dengan menantu
wanitanya. Semua yang dilakukan oleh
menantu wanitanya selalu salah, dan ia
boleh mengusir atau menghancurkan
perkawian itu. Novel-novel Jepang dan
riwayat hidup pribadi cenderung
memberikan tekanan kepada
penderitan suami maupun istri. Suami
harus melaksanakan ko ketika
mematuhi penghancuran perkawian itu.
Mengasuh anak bagi orang
Jepang bergantung pada bakti terhadap
nenek moyangnya. Seseorang
membayar kembali utang-utang
kepada nenek moyangnya dengan cara
meneruskan kepada anak-anaknya.
Bakti filial meletakkan semua
tanggung jawab diatas pundak kepala
keluarga untuk mencari nafkah bagi
anak-anaknya, mendidik anaknya serta
memberikan tempat berlindung bagi
sanak keluarga yang membutuhkan.
“Bekerja demi ko” tidak
selalu bertujuan untuk memperoleh
kasih sayang dalam keluarga, dalam
beberapa kebudayaan adalah
bagaimana yang esensial dari hukum
moral. Namun tidak demikian di
Jepang. “justru karena ia sangat
menghargai keluarga, orang Jepang
tidak menghargai masing-masing
anggotanya ataupun ikatan keluarga
antara mereka”(Benedict,1982:131)
2.2 Pengertian Giri (義理)
Kanji giri (義理) terdiri dari kanji gi
( 義 ) yang berarti keadilan, kebenaran,
Gimu dan giri ..., Renita Indriana, FIB UI, 2013
moralitas; kemanusiaan, integritas,
kehormatan, kesetiaan, ketaatan serta kanji ri
(理) yang berarti prinsip, akal, alasan. Jika
diterjemahan berdasarkan kanji yang
membentuknya, giri ( 義 理 ) berarti rasa
tanggung jawab/ keadilan/ kehormatan/
kesopanan/ berutang budi (Nelson,2008: 724-
725). Berdasarkan kamus Jepang-Indonesia,
giri memiliki banyak arti. Giri dapat
diterjemahkan sebagai rasa kewajiban, atau
keadilan, bahkan basa basi ataupun utang
budi (Matsuura.2005:219). Giri adalah
hutang yang wajib dibayar atau dilunasi
dalam jumlah yang tepat dan sama dengan
kebaikan yang diterima seseorang dan ada
batas waktu pembayarannya
(Benedict,1982:125). Dalam pengertian giri
mengandung unsur keengganan, ini berbeda
dengan gimu. Gimu harus dibayar seseorang
karena adanya ikatan-ikatan yang kuat dan
ketat pada saat ia dilahirkan. Gimu tidak
pernah didefinisikan sebagai “keengganan”.
2.2.1 Jenis-Jenis Giri
Dalam buku Pedang Samurai
dan Bunga Seruni1, membagi giri menjadi 2,
yaitu:
Giri terhadap dunia
Giri terhadap dunia
merupakan hutang kita terhadap
majikan, sanak keluarga jauh, serta
orang-orang yang bukan anggota
keluarga tetapi karena on yang kita
terima dari mereka. Giri mencangkup
semua kewajiban yang menjadi
tanggungan seseorang kepada
keluarga mertua sedangkan gimu
kepada keluarga kandung. Pernikahan
di Jepang adalah kontrak terhadap
keluarga mertua selam hidup
seseorang yang disebut “bekerja
untuk giri” pelaksaan paling berat
1 Pramudji. Op.Cit. hlm 125
bagi istri yang masih muda terhadap
ibu mertuanya, karena pengantin
wanita pergi bermukim di dalam
rumah yang bukan tempat
kelahirannya. Kewajiban suami
terhadap mertuanya berbeda. Salah
satunya adalah ia terpaksa
meminjamkan uang kepada mereka
kalau mereka sedang
membutuhkannya. Jika ia tidak
memenuhi atau menghindari
kewajiban itu maka ia disebut sebagai
“orang yang tidak tahu giri”.
Giri yang dianggap paling
penting dari pada giri terhadap
mertua adalah giri seorang pengikut
terhadap tuannya dan giri terhadap
sesama rekan prajurit. Pada masa
feodal, giri dianggap sebagai
kebajikan yang lebih tinggi dan
berharga daripada chu, yang pada
waktu itu merupakan kewajiban
terhadap Shogun. Salah satu cerita
yang paling tenar adalah tentang
seorang ronin yang besar dan tidak
terkalahkan pada abad ke-12, yaitu
Benkei Sang Pahlawan. Cerita ini
mengkisahkan Benkei yang tidak
memiliki uang tetapi ia orang yang
kuat, ia menakuti para pendeta ketika
ia berlindung di biara-biara dan
membunuh setiap samurai yang lewat
untuk mengumpulkan pedang-
pedangnya agar ia dapat berpakaian
feodal. Akhirnya, ia menentang
seorang samurai yang dikiranya
masih remaja dengan perawakan yang
kecil dan tampan. Namun, ternyata
remaja ini adalah keturunan keluarga
Minamoto, yang merencanakan untuk
merebut kembali ke-Shogun-an bagi
keluarganya. Nama pemuda itu
adalah Yoshitsune Minamoto. Benkei
memberikan giri-nya dan melakukan
seratus tindak kepahlawanan
untuknya.
Gimu dan giri ..., Renita Indriana, FIB UI, 2013
Dalam sepenggal cerita ini
menunjukkan bahwa Benkei yang
memberikan giri-nya kepada
Yoshitsune, walaupun bertentangan
dengan chu kepada Shogun pada
masa itu.
Giri terhadap nama
Giri terhadap nama
seseorang adalah kewajiban untuk
menjaga agar reputasinya tidak
ternoda (Benedict,1982: 152). Salah
satu kewajiban itu adalah tindakan-
tindakan yang tetap menjaga reputasi
baik seseorang tanpa mendasarkan
pada suatu utang tertentu yang
sebelumnya dipunyai orang itu
terhadap orang lain contohnya,
tindakan tidak memperlihatkan rasa
sakit, dan mempertahankan reputasi
dalam profesi.
2.3 Realisasi gimu dan giri dalam
masyarakat Jepang
Realisasi gimu dan giri dalam
masyarakat Jepang dapat direalisasikan dalam
kehidupan nyata. Sebagai contoh realisasi
gimu dan giri dalam masyarakat Jepang dapat
dilihat dalam karya Sastra yang mengambil
latar belakang pada masa ini juga
menunjukkan bahwa adanya perbedaaan
antara gimu dan giri . Salah satu contohnya
terdapat dalam karya sastra Botchan. Berikut
adalah penggalan dalam cerita Botchan:
“Hotta-lah yang mentraktirku
semangkuk es serut, kalau aku tahu ia
memang orang yang bermuka, aku
menyesal sudah menerima pemberian
darinya, meski cuma es serut. Aku
hanya makan satu mangkuk, jadi dia
pasti sudah keluar uang satu setengah
sen, tapi aku akan merasa menyesal
seumur hidup kalau sampai berutang
satu atau setengah sen dari penipu. Aku memutuskan akan mengembalikan
uang es itu hari berikutnya di sekolah.
Memang benar 5 tahun yang
lalu, Kiyo telah meminjamkan 3 yen
yang tidak pernah kukembalikan.
Bukannya aku tidak bisa membayar,
tapi aku tidak ingin melunasinya.
Kiyo tidak pernah menganggapnya
pinjaman ataupun mengincar uangku,
lagi pula aku tidak berniat
mengambalikannya karena itu akan
membuatnya merasa seolah aku
menganggapnya orang asing. Alasan
kenapa aku tidak pernah melunasi utang
itu bukan karena aku membenci Kiyo,
tetapi karena aku menganggapnya
keluarga. Hotta dan Kiyo tidak bisa
dibandingkan, namun apakah itu es
serut rasa buah atau teh manis, bila kau
menerima sesuatu dari orang asing,
itu berarti kau mengakui bahwa
orang itu memiliki bobot dan
karenanya merupakan
perlambangan niat baik terhadapnya.
Jika mambayar bagian yang kau
terima, tentu saja kau bisa
menghapus kewajiban yang datang
bersamanya, namun persaaan
berutang budi kepasa si pemberi jauh
lebih besar daripada seluruh uang
yang ada di dunia. Aku hanyalah
orang biasa tanpa pangkat dan status,
tapi aku manusia bebas dan
berkehendak, dan ketika manusia bebas
memutuskan untuk menghormatimu,
hadiah yang kaumiliki lebih mahal
daripada apapun. Sudah kuputuskan!
Besok aku akan mengganti uangnya
dan menuntaskan utang budi
diantara kami..” (Soseki, 2009: 95)
Dalam karya sastra ini, Botchan
membandingkan gimu dan giri yang
didapatnya dari seorang temannya dengan
Kiyo, yang merupakan orang yang
mengasuhnya semenjak kecil. Botchan
membayar girinya terhadap temannya yang
meminjamkan uang kepadanya. Namun, ia
Gimu dan giri ..., Renita Indriana, FIB UI, 2013
tidak mengembalikan uang yang pernah
dipinjamnya dari Kiyo ketika kecil. Ini
disebabkan karena Botchan tidak ingin
berhubungan lebih jauh dengan temannya,
yang telah menjelek-jelekannya dibelakang.
Lain halnya dengan perasaaanya terhadap
Kiyo. Ia tidak pernah berniat mengembalikan
uang yang pernah dipinjamkan Kiyo, karena
ia merasa bahwa Kiyo adalah bagian dari
dirinya yang sudah dia anggap sebagai
keluarganya sendiri. Perbandingan perasaan
yang dirasakan oleh Botchan terhadap
temannya dan Kiyo inilah yang merupakan
bagian dari ninjo.
IV. Penutup
Pada masa lampau, ketika orang
Jepang belum banyak dipengaruhi oleh
modernisasi, mereka senantiasa diliputi rasa
berhutang budi (on) kepada orang tua,
penguasa, masyarakat dan negara. Karena
adanya rasa berhutang budi, maka orang
Jepang merasa berkewajiban untuk membalas
budi kepada orang tua, penguasa, masyarakat
dan negara. Rasa kewajiban itu dinamakan
gimu. Hal inilah yang memperkuat solidaritas
kelompok dan patriotisme. Selain itu, orang
Jepang selalu merasa berkewajiban untuk
membalas sikap atau kebaikan yang telah
diterima dari orang lain dengan setimpal,
yang disebut sebagai giri. Gimu dan giri
dalam masyarakat dapat direalisasikan dalam
kehidupan masyarakat Jepang, yang dapat
dilihat dari karya sastra Botchan karya Soseki.
Dalam hal ini Botchan membayar girinya
terhadap temannya yang meminjamkan uang
kepadanya. Namun, ia tidak mengembalikan
uang yang pernah dipinjamnya dari Kiyo
ketika kecil. Ini disebabkan karena Botchan
tidak ingin berhubungan lebih jauh dengan
temannya, yang telah menjelek-jelekannya
dibelakang. Lain halnya dengan perasaaanya
terhadap Kiyo. Ia tidak pernah berniat
mengembalikan uang yang pernah
dipinjamkan Kiyo, karena ia merasa bahwa
Kiyo adalah bagian dari dirinya yang sudah
dia anggap sebagai keluarganya sendiri.
BIBLIOGRAPHFY
Allyn, John. The 47 Ronin Story. Terj.
Theresa Dewi. Jakarta: Penerbit
Matahati, 2007.
Benedict, Ruth. The Chrysanthemum and the
sword. Terj. Pramudji. Jakarta: Sinar
Harapan, 1982.
Doi, Takeo. The Anatomy of Dependence.
Terj. Arifin Bey. Jakarta: Gramedia
berkerja sama dengan Yayasan Karti
Sarana, 1992.
Matsuura, Kenji. Kamus Jepang-Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005.
Nelson, Andrew. Kamus Kanji Modern
Jepang Indonesia. Jakarta: Kesaint
Blanc, 2008.
Soseki, Natsumi. Botchan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2009.
Sugiyama, Takie, dan William P.Lebra.
Japanese Culture and Behavior.
Honolulu: An East-West Center Book
Univercity of Hawaii Press, 1983.
Sulyana, Yayan. " Budaya Pemberian dalam
Masyarakat Jepang Telaah atas konsep
on, giri dan ninjo sebagai latar belakang
budaya pemberian dalam masyarakat
Jepang." Tesis. 1994.
Surajaya, I Ketut. "Pengantar Sejarah Jepang
II." Tesis. 1996.
Suryonohadiprojo, Sayidiman. Manusia dan
masyarakat Jepang dalam perjoangan
hidup. UI-Press, 1982.
Gimu dan giri ..., Renita Indriana, FIB UI, 2013
Gimu dan giri ..., Renita Indriana, FIB UI, 2013