30
Bab 7 BUZZARD'S POINT, kantor cabang FBI untuk Washington dan Distrik Columbia, dinamakan demikian karena digunakan untuk pertemuan para "burung pemangsa" di rumah sakit Perang Saudara setempat. Pertemuan hari ini adalah antara para pejabat manajemen menengah dari DEA, BATF, dan FBI guna membahas nasib Clarice Starling. Starling berdiri sendirian di karpet tebal kantor bosnya. Ia dapat mendengar nadinya berdenyut-denyut di bawah perban di seputar kepala. Lebih keras dari denyut itu ia mendengar suara pria-pria di ruang rapat sebelahnya, yang teredam oleh kaca buram pintunya. Lambang FBI dengan semboyan "Kesetiaan, Keberanian, dan Ke- jujuran", terpasang apik dengan daun keemasan pada kaca. Suara-suara di belakang lambang itu mengeras dan melembut ber- gantian. Clarice dapat mendengar namanya disebut-sebut saat tak ada kata lain yang jelas. Kantor itu mempunyai pemandangan bagus melintasi cekungan kapal pesiar ke arah Fort McNair, di mana para terdakwa pembunuhan atas Lincoln dihukum gantung. Dalam benak Starling terlintas foto-foto Mary Surratt yang berjalan melewati peti matinya sendiri dan naik ke tiang gantungan di Fort McNair. Di atas pintu jebak ia berdiri berkerudung, gaun terikat ketat pada kaki agar tidak terbang tersingkap saat ia jatuh ke dalam kegelapan. Di kamar sebelah, Starling mendengar kursi-kursi bergeser ketika orang-orang di balik pintu itu berdiri. Mereka kini masuk memenuhi kantor. Ada beberapa wajah yang dikenali Starling. Astaga, ada Noonan, asisten direktur seluruh divisi investigasi. 36 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. [email protected] MR. Collection's a

Hannibal 02

  • Upload
    dirkz26

  • View
    18

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hannibal 02

Citation preview

B a b 7

BUZZARD'S POINT, kantor cabang FBI untuk Washington dan Distrik Columbia, dinamakan demikian karena digunakan untuk pertemuan para "burung pemangsa" di rumah sakit Perang Saudara setempat.

Pertemuan hari ini adalah antara para pejabat manajemen menengah dari DEA, BATF, dan FBI guna membahas nasib Clarice Starling.

Starling berdiri sendirian di karpet tebal kantor bosnya. Ia dapat mendengar nadinya berdenyut-denyut di bawah perban di seputar kepala. Lebih keras dari denyut itu ia mendengar suara pria-pria di ruang rapat sebelahnya, yang teredam oleh kaca buram pintunya.

Lambang FBI dengan semboyan "Kesetiaan, Keberanian, dan Ke-jujuran", terpasang apik dengan daun keemasan pada kaca.

Suara-suara di belakang lambang itu mengeras dan melembut ber-gantian. Clarice dapat mendengar namanya disebut-sebut saat tak ada kata lain yang jelas.

Kantor itu mempunyai pemandangan bagus melintasi cekungan kapal pesiar ke arah Fort McNair, di mana para terdakwa pembunuhan atas Lincoln dihukum gantung.

Dalam benak Starling terlintas foto-foto Mary Surratt yang berjalan melewati peti matinya sendiri dan naik ke tiang gantungan di Fort McNair. Di atas pintu jebak ia berdiri berkerudung, gaun terikat ketat pada kaki agar tidak terbang tersingkap saat ia jatuh ke dalam kegelapan.

Di kamar sebelah, Starling mendengar kursi-kursi bergeser ketika orang-orang di balik pintu itu berdiri. Mereka kini masuk memenuhi kantor. Ada beberapa wajah yang dikenali Starling. Astaga, ada Noonan, asisten direktur seluruh divisi investigasi.

36

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

[email protected]

MR. Collection's

a

Dan ada juga rival berat Starling, Paul Krendler dari Kehakiman, dengan leher panjang dan telinga bundar terpasang tinggi-tinggi pada kepala, seperti telinga seekor hyena. Krendler adalah orang yang cepat naik. la senior terkemuka di samping Inspektur Jenderal. Semenjak Starling menangkap pembunuh berantai Buffalo Bill, mendahului dia dalam sebuah kasus terkenal tujuh tahun yang lalu, ia mulai menaburkan racun dalam berkas pribadi Starling pada setiap kesempatan, dan ia berbisik-bisik di dekat telinga Dewan Karier.

Tak seorang pun di antara orang-orang itu pernah bertugas bersama Starling, melaksanakan perintah bersamanya, ditembaki bersamanya, atau-pun membersihkan pecahan kaca dari rambut bersamanya.

Pria-pria itu tidak memandang Starling. Tapi kemudian mereka me-mandangnya bersamaan, seperti segerombolan ternak tiba-tiba memper-hatikan salah seekor anggota yang pincang dalam kawanan.

"Silakan duduk, Agen Starling." Agen Khusus Clint Pearsall, atasan Starling, mempersilakan seraya menggosok-gosok pergelangan tangannya yang gemuk, seakan-akan jam tangannya menyakitinya.

Tanpa beradu pandang ia memberi isyarat ke arah kursi yang meng-hadap jendela. Kursi dalam sebuah interogasi bukanlah tempat ke-hormatan.

Ketujuh pria itu tetap berdiri. Siluet mereka yang hitam terpantul pada jendela yang cerah. Starling tak dapat melihat wajah mereka, tapi di bawah cahaya terang ia bisa melihat kaki-kaki mereka. Lima di antaranya mengenakan sepatu bersol tebal yang disukai orang-orang licik dari daerah yang berhasil naik ke Washington. Yang dua orang lagi memakai sepatu Thorn McAn dengan sol Corfam dan sepatu Florsheim.

Di udara tercium bau semir sepatu yang menjadi hangat karena kaki yang panas.

"Agen Starling, ini Asisten Direktur Noonan. Aku yakin kau tahu siapa dia. Ini John Eldredge dari DEA, lalu Bob Sneed, BATF; Benny Holcomb adalah asisten Wali Kota dan Larkin Wainwright adalah penguji dari kantor Dinas Pertanggungjawaban Profesional," Pearsall menjelaskan. "Paul Krendler—kau mengenal Paul—datang secara tak resmi dari Kantor Inspektur Jenderal Kehakiman. Paul hadir di sini untuk membantu kita. Dia berada di sini, tapi juga tidak berada di sini; hanya untuk membantu kita menjernihkan keruwetan. Bisa dimengerti?"

Starling tahu pepatah yang beredar dalam dinas: seorang penguji federal adalah orang yang datang di medan pertempuran setelah per-tempuran usai, dan ia menusukkan bayonet ke orang-orang yang terluka.

Beberapa siluet kepala itu mengangguk pendek saling memberi salam. Para pria itu menjulurkan leher dan memandangi wanita muda yang mereka kerumuni. Untuk beberapa saat tak ada yang bicara.

Bob Sneed memecah kesunyian. Starling ingat ia seorang dokter tugas

37

keliling yang mencoba menghilangkan bau busuk musibah Ranting Daud di Waco. la kroni Krendler dan dianggap cepat naik juga.

"Agen Starling, kau sudah melihat liputan di koran dan televisi. Kau secara luas telah diidentifikasikan sebagai penembak Evelda Drumgo hingga meninggal. Celakanya kau digambarkan sebagai sosok jahat."

Starling tidak menjawab. "Agen Starling?" "Aku tidak punya urusan dengan berita itu, Mr. Sneed." "Wanita itu sedang menggendong bayi; kau dapat melihat kesulitan

yang timbul karenanya." "Bukan digendong dengan tangan, melainkan dengan gendongan yang

menyilang di dada, tangan dan lengannya berada di bawahnya, tertutup selimut, di situ dia membawa MAC 10."

"Kau sudah melihat protokol autopsi?" tanya Sneed. "Belum," "Tapi kau tak pernah menyangkal menjadi penembaknya." "Apakah Anda mengira aku akan menyangkalnya karena Anda tidak

menemukan selongsong itu?" Starling berpaling pada kepala bironya. "Mr. Pearsall, ini pertemuan yang bersahabat, bukan?"

"Pasti." "Lalu mengapa Mr. Sneed mengenakan perekam? Divisi Teknik telah

meninggalkan pembuatan mikrofon jepitan ini bertahun-tahun silam. Di saku dadanya dia membawa F-Bird untuk merekam. Apa kita sekarang saling membawa kabel ke kantor?"

Wajah Pearsall memerah. Jika Sneed diperlengkapi dengan perekam, itu merupakan jenis pengkhianatan paling buruk. Tapi tak seorang pun mau didengar dalam rekaman tengah memberitahu Sneed untuk mematikannya.

"Kami tidak memerlukan kelancangan atau tuduhan-tuduhan darimu," Sneed berkata dengan wajah pucat karena marah. "Kami semua berada di sini untuk menolongmu."

"Menolongku melakukan apa? Perwakilan Anda menelepon kantor ini dan menugaskanku untuk menolong Anda dalam penggerebekan ini. Aku sudah memberikan dua kesempatan untuk menyerah pada Evelda Drumgo. Di bawah selimut bayinya dia memegang MAC 10. Dia telah menembak John Brigham. Aku berharap dia mau menyerah. Tapi tidak. Dia me-nembakku, dan aku menembaknya. Dia tewas. Mungkin Anda ingin mengecek rekaman di counter sana, Mr. Sneed."

"Kau sudah tahu sebelumnya bahwa Evelda Drumgo ada di sana?" tanya Eldredge ingin tahu.

"Tahu sebelumnya? Agen Brigham memberitahuku di dalam van yang sedang ke sana bahwa Evelda Drumgo sedang memasak obat di dalam laboratorium yang dijaga. Dia menugaskan aku menangani Evelda."

"Ingat, Brigham sudah meninggal," kata Krendler, "demikian pula

38

Burke. Keduanya agen yang sangat baik. Mereka tak ada di sini untuk mengkonfirmasi atau menyangkal apa pun."

Perut Starling agak mulas mendengar Krendler menyebut nama Brigham.

"Aku tidak akan lupa bahwa John Brigham telah tiada, Mr. Krendler. Dia memang agen yang baik, dan dia juga sahabatku. Tapi faktanya dialah yang memintaku menangani Evelda."

"Brigham memberikan tugas itu padamu walau kau dan Drumgo pernah bentrokan sebelumnya," kata Krendler.

"Ayolah, Paul," kata Clint Pearsall. "Bentrokan apa?" tanya Starling. "Sebuah penahanan yang damai. Dia

melawan petugas-petugas lain sebelumnya saat akan ditangkap. Dia tidak melawan ketika aku menahannya sebelum itu, dan kami berbincang sedikit. Dia pintar. Kami saling bersikap sopan. Aku berharap bisa berbuat begitu lagi."

"Apa kau telah membuat pernyataan verbal bahwa kau 'akan me-nanganinya'?" tanya Sneed.

"Aku sekadar mengindahkan perintah-perintah yang diberikan padaku." Holcomb dari kantor Wali Kota dan Sneed saling berunding. Sneed memasang jerat. "Ms. Starling, kami mendapat informasi dari

Officer Bolton dari Kepolisian Washington bahwa kau membuat pernyataan-pernyataan menghasut mengenai Evelda Drumgo di van, dalam perjalanan menuju penggerebekan. Kau mau berkomentar mengenai hal itu?"

"Atas perintah Agen Brigham, aku memberi penjelasan kepada para petugas lain bahwa Evelda mempunyai latar belakang kekerasan, bahwa dia biasanya bersenjata, dan dia positif mengidap HIV. Aku berkata kami akan memberikan kesempatan padanya untuk menyerah secara damai. Aku meminta bantuan fisik guna menaklukkannya bila sampai ke tingkat itu. Tidak begitu banyak sukarelawan untuk pekerjaan itu, sungguh."

Clint Pearsall menahan diri. "Setelah mobil para penembak Crip hancur dan seorang kriminal melarikan diri, kau dapat melihat mobil itu terguncang-guncang dan mendengar bayi menangis di dalamnya."

"Menjerit-jerit," kata Starling. "Aku mengacungkan tangan pada semua orang untuk berhenti menembak, dan aku keluar dari perlindungan."

"Nah, itulah yang melanggar prosedur," kata Eldredge. Starling tidak menghiraukannya. "Aku mendekati mobil dalam posisi

siap, senjata tampak jelas, moncong ke bawah. Marquez Burke sedang sekarat di tanah di antara kami. Seseorang lari memberikan kompres untuknya. Evelda keluar dengan bayinya. Aku memintanya menunjukkan tangannya. Aku mengucapkan kata-kata seperti, 'Evelda, jangan lakukan ini'."

"Dia menembak. Kau juga menembak. Apa dia langsung ambruk?"

39

Starling mengangguk. "Dia jatuh terduduk di jalan, tubuhnya condong ke depan, menutupi bayinya. Dia tewas."

"Kau mengambil bayi itu dan lari ke tempat air. Menunjukkan ke-pedulian," kata Pearsall.

"Aku tidak tahu apa yang kutunjukkan. Sekujur tubuh bayi itu ber-lumuran darah. Aku tidak tahu apakah bayi itu positif HIV atau tidak. Kalau Evelda, memang."

"Dan kau mengira pelurumu mungkin mengenai bayi itu," kata Krendler.

"Tidak. Aku tahu peluru itu melesat ke mana. Bolehkah aku bicara dengan bebas, Mr. Pearsall?"

Ketika Pearsall tidak menatap matanya, Starling meneruskan. "Penggerebekan itu kacau-balau. Menempatkan aku dalam posisi untuk

memilih mati atau menembak wanita yang menggendong bayi. Aku memilih, dan apa yang terpaksa kulakukan membuatku merasa sangat bersalah. Aku menembak wanita yang sedang membawa bayi. Hewan yang lebih rendah pun tidak melakukan itu. Mr. Sneed, Anda boleh mengecek rekaman di counter lagi. Tepat di tempat aku mengakuinya. Aku benci sekali ditempatkan dalam posisi sedemikian itu. Aku benci akan perasaanku sekarang." Kembali terbayang olehnya sosok Brigham yang tertelungkup di jalan, dan Starling tak bisa menahan diri lagi. "Melihat kalian semua melarikan diri dari hal ini membuatku mual."

"Starling..." Dengan cemas Pearsall menatap wajah Starling untuk pertama kalinya.

"Aku tahu kau belum berkesempatan menulis formulir 302-mu," kata Larkin Wainwright. "Bila kami membahasnya nanti..."

"Aku sudah menulisnya, Sir," kata Starling. "Satu salinannya sedang dalam perjalanan menuju Dinas Pertanggungjawaban Profesional. Aku juga membawa satu salinan lagi bila Anda tak mau menunggu. Aku sudah menuliskan segala yang kulakukan dan kulihat di sana. Nah, Mr. Sneed, sejak semula ini semua ada di tangan Anda."

Starling merasa penglihatannya agak terlalu jelas. Ini suatu tanda bahaya, maka dengan sadar ia melembutkan suaranya.

"Penggerebekan ini gagal karena beberapa alasan. Informan BATF berbohong mengenai lokasi si bayi, sebab informan itu sangat ingin menggagalkan penggerebekan—sebelum dia dihadapkan pada dewan juri federal di Illinois. Dan Evelda Drumgo tahu kami akan datang. Dia keluar dengan satu tangan membawa uang dan tangan lainnya membawa metilamin. Pager-nya masih menunjukkan nomor WFUL-TV. Dia me-nerima berita pager itu lima menit sebelum kami tiba. Helikopter WFUL tiba di sana bersamaan dengan kami. Periksa rekaman telepon WFUL ke pengadilan dan lihat siapa yang membocorkan. Pasti seseorang yang kepentingannya bersifat lokal, Tuan-tuan. Bila BATF yang membocorkan,

40

seperti yang mereka lakukan di Waco, atau DEA yang membocorkan, mereka pasti membocorkannya kepada media nasional, bukan kepada TV lokal."

Benny Holcomb berbicara atas nama kota. "Tak ada satu bukti pun bahwa seseorang dalam pemerintahan kota atau dalam Kepolisian Wash­ington membocorkan sesuatu."

"Panggil ke pengadilan dan lihat hasilnya," kata Starling. "Kau memegang pager Drumgo?" tanya Pearsall. "Disegel dalam ruang properti di Quantico." Pager Asisten Direktur Noonan berbunyi. la mengernyit melihat nomor

yang masuk dan minta diri dari ruangan. Tak lama kemudian, ia memanggil Pearsall untuk bergabung dengannya di luar.

Wainwright, Eldredge, dan Holcomb memandang ke luar jendela, ke arah Fort McNair, tangan dimasukkan ke saku. Mereka seperti sedang menunggu di unit perawatan intensif. Paul Krendler menatap mata Sneed dan memintanya mendatangi Starling.

Sneed memegangi punggung kursi Starling dan membungkuk kepada-nya. "Kalau dalam pemeriksaan nanti kau memberi kesaksian bahwa senjatamulah yang menewaskan Evelda Drumgo, selagi kau melaksanakan tugas sementara dari FBI, maka BATF bersedia membatalkan pernyataan bahwa Brigham memintamu... menangani Evelda secara khusus supaya bisa melakukan penahanan terhadapnya secara damai. Pistolmu yang membunuhnya, maka dinasmulah yang harus bertanggung jawab. Tidak akan ada pertandingan saling melecehkan antaragen mengenai peraturan penugasan, dan kami tidak perlu melaporkan pernyataan-pernyataan meng-hasut ataupun bernada permusuhan yang kaubuat dalam van mengenai pribadi macam apa Evelda Drumgo itu."

Starling teringat Evelda Drumgo sesaat, ketika wanita itu keluar dari pintu, dari mobil, melihat sikap kepalanya, dan kendati wanita itu telah melakukan kebodohan dan menyia-nyiakan hidupnya, setidaknya ia telah memutuskan untuk membawa anaknya dan menghadapi para pemburunya, tidak melarikan diri dari hal itu.

Starling mendekatkan diri ke mikrofon pada dasi Sneed dan berkata dengan jelas, "Dengan senang hati aku akan mengatakan pribadi macam apa Evelda, Mr. Sneed. Dia lebih baik daripada Anda."

Pearsall kembali ke kantor tanpa Noonan dan menutup pintu. "Asisten Direktur Noonan telah kembali ke kantornya. Tuan-tuan, aku harus menghentikan pertemuan ini. Aku akan menghubungi Anda masing-masing melalui telepon," katanya.

Kepala Krendler mendongak. Ia tiba-tiba waspada terhadap bau politik. "Kita harus memutuskan beberapa perkara," Sneed memulai. "Tidak." "Tapi..."

41

"Bob, percayalah, kita tak perlu memutuskan apa-apa. Aku akan menghubungimu. Dan, Bob?"

"Ya?" Pearsall mencabut kabel di belakang dasi Sneed dan menariknya

keras-keras hingga kancing kemeja Sneed lepas, dan pita perekat di kulit Sneed juga ikut tercabut. "Kalau kau berani datang padaku dengan perekam lagi, akan kutendang kau keluar."

Tak ada yang menatap Starling saat mereka pergi, kecuali Krendler. Krendler bergerak menuju pintu dengan kaki diseret miring, sehingga

ia tak perlu melihat ke mana ia akan pergi; dengan lehernya yang panjang ia memalingkan wajah kepada Starling, seperti seekor hyena beringsut-ingsut ke pinggiran kawanan ternak, menatap calon korbannya. Pada wajahnya terlintas berbagai ekspresi lapar. Sudah merupakan sifat Krendler untuk menghargai sikap Starling sekaligus mencari-cari ke-lemahan yang bisa melumpuhkannya.

42

B a b 8

ILMU PERILAKU adalah seksi di FBI yang menangani pembunuhan berantai. Dalam kantor-kantornya di bawah tanah, udara terasa sejuk dan tenang. Belakangan ini, para dekorator telah berusaha mencerahkan ruang bawah tanah itu dengan warna-warni. Hasilnya tidak lebih sukses daripada kosmetika rumah pemakaman.

Kantor Kepala Seksi tetap berwarna cokelat dan cokelat kemerahan, dengan tirai-tirai kafe kotak-kotak terpasang di jendela-jendelanya yang tinggi. Di sanalah Jack Crawford duduk menulis pada mejanya, dikelilingi tumpukan berkas yang sangat banyak.

Ada ketukan di pintu. Crawford mengangkat wajah dan melihat pemandangan yang membuatnya senang—Clarice Starling berdiri di pintu.

Crawford tersenyum dan bangkit dari kursi. la dan Starling sering berbincang-bincang sambil berdiri. Itulah salah satu formalitas yang telah mereka sepakati dalam hubungan mereka. Mereka tak perlu berjabat tangan.

"Kudengar Anda menjenguk ke rumah sakit," kata Starling. "Maaf aku tidak bertemu dengan Anda."

"Aku senang mereka membolehkanmu pulang begitu cepat," kata Crawford. "Bagaimana dengan telingamu? Sudah baik?"

"Baik-baik saja, kalau Anda menyukai bunga kol. Mereka bilang sebagian besar bentuknya akan turun." Telinga Starling tertutup rambutnya. la tidak menunjukkannya pada Crawford.

Hening sejenak. "Mereka menjadikanku kambing hitam atas gagalnya penggerebekan

itu, Mr. Crawford. Juga atas kematian Evelda Drumgo dan segalanya.

43

Mereka bagaikan sekawanan hyena. Tapi tiba-tiba mereka berhenti dan menyingkir. Sesuatu telah mengenyahkan mereka."

"Mungkin kau punya malaikat pelindung, Starling." "Mungkin demikian. Anda sendiri, berapa harga yang mesti Anda

bayar, Mr. Crawford?" Crawford menggelengkan kepala. "Tolong tutup pintunya, Starling."

Crawford mengeluarkan Kleenex dari sakunya dan membersihkan kaca-matanya. "Aku pasti akan melakukannya kalau bisa. Tapi sendirian... aku tidak punya pengaruh. Jika Senator Martin masih berdinas, kau akan memperoleh sedikit perlindungan. Mereka menewaskan John Brigham dalam penggerebekan itu—membuangnya begitu saja. Sungguh sangat memalukan bila hal yang sama terjadi padamu, seperti yang dialami John. Rasanya seolah-olah aku yang telah membunuh kau dan John."

Pipi Crawford memerah, dan Starling ingat wajah Crawford yang diterpa angin keras di atas makam John Brigham. Crawford tak pernah bercerita tentang "perang"-nya pada Starling.

"Anda telah melakukan sesuatu, Mr. Crawford." Crawford mengangguk. "Aku memang melakukan sesuatu. Aku tidak

tahu seberapa senangnya kau kalau mendengar ini. Ada pekerjaan." Pekerjaan. Pekerjaan merupakan kata yang bagus dalam kosa kata

pribadi mereka. Itu berarti tugas khusus dan segera, yang akan men-jernihkan suasana. Sedapat mungkin mereka tak pernah bicara tentang birokrasi sentral FBI yang ruwet. Crawford dan Starling mirip para dokter misionaris yang hanya punya sedikit kesabaran terhadap teologi, masing-masing berkonsentrasi terhadap bayi yang mereka hadapi. Mereka tahu, namun tak pernah mengatakan, bahwa Tuhan tak akan melakukan apa pun untuk menolong. Bahwa Tuhan tak akan bersusah payah me-ngirimkan hujan bagi kehidupan lima puluh ribu bayi-bayi Ibo.

"Secara tak langsung, Starling, dewa penolongmu adalah orang yang menulis surat padamu baru-baru ini."

"Dr. Lecter." Starling telah lama mengetahui ketidaksenangan Crawford terhadap nama yang diucapkannya itu.

"Ya, orang yang sama. Selama ini dia berhasil menghindari kita—dia benar-benar menghilang—dan dia menulis surat padamu. Mengapa?"

Sudah tujuh tahun sejak Dr. Lecter, pembunuh yang diketahui telah menghabisi sepuluh orang, lolos dari rumah tahanan di Memphis, dengan proses yang mengambil nyawa lima orang lagi.

Waktu itu seolah-olah Lecter telah menghilang dari muka bumi. Kasus itu tetap terbuka di FBI dan akan tetap terbuka selamanya, atau sampai ia ditangkap lagi. Hal yang sama juga terjadi di Tennessee dan jurisdiksi-jurisdiksi lainnya, tapi tak ada lagi pasukan yang ditugaskan untuk mengejarnya, walau para kerabat korban menangis marah di depan badan pembuat undang-undang Tennessee dan menuntut tindakan.

44

Ada berjilid-jilid konjektur ilmiah tentang mentalitas Lecter, yang kebanyakan ditulis oleh para psikolog yang belum pernah berhadapan sendiri dengan dokter tersebut. Ada pula tulisan para psikiater yang pernah dikritik dan diejek Lecter dalam jurnal-jurnal profesional, dan rupanya mereka merasa sekarang sudah aman untuk keluar. Beberapa di antaranya mengatakan bahwa penyimpangan-penyimpangan Lecter niscaya akan mendorongnya untuk bunuh diri, dan ada kemungkinan sekarang ia sudah mati.

Setidaknya di dunia cyber, minat terhadap Dr. Lecter ternyata masih tetap hidup. Di dunia Internet yang lembap teori-teori Lecter bertunas seperti jamur, dan kepopuleran sang dokter mengalahkan kepopuleran Elvis. Orang-orang yang mengaku sebagai sang dokter memenuhi ruang-ruang obrolan dan sisi gelap Website yang berfosfor; foto-foto kepolisian mengenai kebiadaban Lecter diselundupkan kepada para kolektor informasi rahasia tentang berbagai hal mengerikan. Dalam segi popularitas, mereka hanya tertandingi oleh eksekusi Fou-Tchou-Li.

Ada satu jejak dari sang dokter, setelah tujuh tahun—suratnya kepada Clarice Starling ketika wanita itu diteror oleh sejumlah tabloid.

Tidak ada sidik jari di surat itu, tapi FBI cukup yakin bahwa surat itu asli. Clarice Starling sendiri yakin akan hal itu.

"Mengapa dia melakukan itu, Starling?" Crawford tampaknya hampir marah pada Starling. "Aku tak pernah pura-pura lebih memahaminya daripada para psikiater tolol itu. Nah, jelaskanlah."

"Dia mengira apa yang terjadi padaku akan... menghancurkanku, menghapuskan ilusiku mengenai Biro, dan dia senang melihat kehancuran kepercayaan. Itulah kesukaannya. Seperti puing-puing gereja yang biasa dia kumpulkan. Timbunan puing-puing di Italia ketika gereja runtuh menimpa semua nenek dalam Misa khusus itu, dan seseorang me-nancapkan pohon Natal di puncak timbunan, dia menyukai itu. Aku membuatnya senang, dan dia main-main denganku. Ketika aku me-wawancarainya, dia suka menunjukkan lubang-lubang kekurangan dalam pendidikanku. Dia menganggap aku sangat naif."

Crawford bicara dari pengalaman orang seusianya yang hidup terisolasi ketika ia bertanya, "Apa kau pernah punya pikiran bahwa dia mungkin menyukaimu, Starling?"

"Kurasa aku membuat dia senang. Cuma ada dua kategori baginya: hal-hal yang membuatnya senang, atau yang tidak. Kalau tidak..."

"Apa kau pernah merasa bahwa dia menyukaimu?" Crawford mendesak Starling untuk membedakan antara pikiran dan perasaan, seperti seorang penganut gereja Baptis yang mendesak supaya orang mau dibaptis dengan ditenggelamkan seluruhnya di air.

"Selama perkenalan yang sebenarnya begitu singkat, dia menceritakan hal-hal yang memang benar mengenai diriku. Menurutku mudah sekali

45

menyalahartikan pemahaman dengan empati. Kita semua sangat meng-hendaki empati. Mungkin belajar membuat perbedaan itu adalah bagian dari proses menjadi dewasa. Memang sulit dan tidak enak mengetahui bahwa seseorang dapat memahamimu tanpa menyukaimu. Yang paling buruk adalah bila pemahaman hanya digunakan sebagai alat pemangsa. Aku... aku tak punya gambaran apa-apa tentang perasaan Dr. Lecter terhadap diriku."

"Kalau kau tidak keberatan, hal-hal macam apa yang dia katakan padamu?"

"Dia mengatakan aku ini orang kampung yang ambisius, dan mataku berbinar-binar seperti batu permata imitasi. Dia bilang aku memakai sepatu murahan, tapi aku punya cita rasa, sedikit cita rasa."

"Dan kau merasa apa yang dikatakannya itu benar?" "Yep. Mungkin sekarang pun masih demikian. Mengenai sepatu, aku

sudah memakai sepatu yang lebih bagus." "Menurut perkiraanmu, Starling, mungkinkah dia ingin melihat apakah

kau akan mengkhianatinya kalau dia mengirimkan surat berisi dukungan terhadapmu?"

"Dia sudah tahu aku akan mengkhianatinya. Dia seharusnya tahu itu." "Dia membunuh enam orang setelah pengadilan menjebloskannya

dalam penjara," kata Crawford. "Dia membunuh Miggs di rumah sakit jiwa itu karena Miggs melemparkan sperma ke wajahmu. Dan dia membunuh lima orang lagi selama proses meloloskan diri. Dalam iklim politik yang sekarang, bila dokter itu tertangkap, dia pasti akan disuntik mati." Crawford tersenyum memikirkan hal itu. la telah memelopori studi tentang pembunuh berantai. Kini ia menghadapi masa pensiun wajib, sedangkan monster yang sangat mengganggunya masih tetap bebas berkeliaran. Membayangkan Dr. Lecter mati membuatnya sangat senang.

Starling tahu Crawford menyinggung-nyinggung tentang tindakan Miggs guna membangkitkan perhatiannya, untuk mengingatkannya akan hari-hari mengerikan itu, ketika ia mencoba menginterogasi Hannibal the Cannibal di ruang bawah tanah Rumah Sakit Umum Baltimore untuk Para Kriminal Penderita Sakit Jiwa. Ketika Lecter mempermainkannya sementara seorang gadis meringkuk di sumur Jame Gumb, menunggu kematiannya. Biasanya Crawford membangkitkan perhatian orang yang diajaknya bicara kalau ia sudah mencapai titik seperti sekarang ini.

"Apa kau tahu, Starling, bahwa salah seorang korban awal Dr. Lecter kini masih hidup?"

"Orang kaya itu. Keluarganya menawarkan hadiah." "Ya, Mason Verger. Dia tinggal di Maryland, hidup dengan alat

pernapasan. Tahun ini ayahnya meninggal dan mewariskan usaha pe-ngepakan daging padanya. Verger Tua juga meninggalkan seorang anggota

46

Kongres Amerika Serikat dan seorang anggota Komite Pengawas Kehakiman yang tak dapat hidup berkecukupan tanpa Mason. Mason mengatakan dia memiliki sesuatu yang mungkin dapat membantu kita menemukan si dokter. Dia ingin bicara denganmu."

"Denganku?" "Ya, kau. Itu kehendak Mason. Dan tiba-tiba semua orang sepakat itu

ide yang benar-benar bagus." "Itu kehendak Mason setelah Anda menyarankan kepadanya?" "Mereka akan membuangmu, Starling, mereka akan membersihkan

diri darimu seolah-olah kau adalah kain gombal. Kau akan disia-siakan, seperti John Brigham. Hanya untuk menyelamatkan beberapa birokrat di BATF. Rasa takut. Tekanan. Itulah satu-satunya yang mereka pahami. Aku telah mengutus seseorang untuk mengatakan pada Mason bahwa pengejaran terhadap Lecter akan dirugikan kalau kau sampai dipecat. Apa yang terjadi kemudian, siapa saja yang ditelepon Mason sesudah itu, aku tidak mau tahu. Kemungkinan besar anggota Kongres Vellmore."

Setahun yang lalu, Crawford tak akan bertindak demikian. Starling mencari-cari pada wajah Crawford adanya kegilaan jangka pendek yang kadang-kadang menimpa calon pensiunan. Starling tidak menemukan apa-apa. Tapi Crawford memang tampak letih.

"Keadaan Mason tidak bagus, Starling, dan maksudku bukan hanya soal wajahnya. Cari tahu apa yang dia punyai. Bawa kemari. Kita akan menggunakannya. Akhirnya."

Starling tahu bahwa bertahun-tahun lamanya, sejak ia diwisuda dari Akademi FBI, Crawford berusaha supaya Starling ditugaskan pada Ilmu Perilaku.

Kini, setelah Starling menjadi veteran Biro, veteran pelaksana berbagai tugas sampingan, ia dapat melihat bahwa kejayaan awalnya saat me-nangkap pembunuh berantai Jame Gumb juga merupakan bagian dari kejatuhannya di FBI. Saat itu ia adalah bintang yang sedang menanjak, yang macet di tengah jalan ke atas. Dalam proses penangkapan Gumb, Starling jadi mempunyai sedikitnya satu orang musuh yang berkuasa dan membangkitkan kecemburuan sejumlah rekan pria sebaya. Hal itu dan sikapnya yang sulit bekerja sama telah membuat ia bertahun-tahun berdinas dalam regu-regu penyergap dan regu-regu reaktif menangani perampokan bank, dan bertahun-tahun melaksanakan tugas mengawasi Newark di bawah laras senapan. Akhirnya, karena dinilai lekas marah bila harus bekerja dalam kelompok, ia dijadikan agen teknik, memasang mikrofon dalam telepon dan mobil para gangster dan para pelaku kejahatan porno terhadap anak-anak, sendirian berjaga mendengarkan penyadapan. Dan ia selalu dipinjamkan bila ada anak perusahaan me-merlukan seseorang yang andal dalam penggerebekan. Ia kuat, ulet, dan cekatan, serta hati-hati dengan pistol.

47

Crawford melihat ini sebagai kesempatan untuk Starling. la meng-asumsikan sejak dulu Starling ingin mengejar Lecter. Kebenarannya ternyata lebih rumit.

Crawford kini mengamati Starling. "Kau tak pernah menghilangkan mesiu itu dari pipimu."

Butir-butir mesiu yang terbakar dari revolver mendiang Jame Gumb menandai tulang pipi Starling dengan noda hitam.

"Tak pernah punya waktu untuk itu," kata Starling. "Tahukah kau sebutan orang-orang Prancis untuk beauty spot yang

terpasang tinggi di pipi seperti itu? Dan kau tahu apa artinya itu?" Crawford memang memiliki perpustakaan cukup luas mengenai tato, simbol tubuh, mutilasi ritual.

Starling menggelengkan kepala. "Mereka menyebutnya 'keberanian'," kata Crawford. "Kau dapat mem-

pertahankannya. Jika aku jadi kau, aku akan mempertahankannya."

48

B a b 9

MUSKRAT FARM, kediaman keluarga Verger dekat Sungai Susquehanna di Maryland sebelah utara, mempunyai keindahan yang memikat. Dinasti usahawan pengepakan daging Verger membelinya pada tahun 1930-an, ketika mereka pindah ke timur dari Chicago, supaya lebih dekat dengan Washington, dan mereka memang punya uang untuk itu. Puncak bisnis dan politik telah membuat keluarga Verger mampu memperkaya diri dengan kontrak-kontrak pembelian daging dengan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat sejak zaman Perang Saudara.

Skandal "daging sapi yang dibalsem" dalam Perang Spanyol-Amerika hampir tak menyentuh keluarga Verger. Ketika Upton Sinclair dan para pengungkap korupsi menyelidiki keadaan pabrik-pabrik pengepakan yang berbahaya di Chicago, mereka menemukan bahwa beberapa karyawan Verger tanpa diketahui telah masuk dalam bisnis lemak babi dalam kaleng dan dijual sebagai lemak babi Durham's Pure Leaf Lard, ke-sayangan para pembuat roti. Kesalahan itu tidak menempel pada keluarga Verger, dan kasus itu tidak menghilangkan satu kontrak pun dari pe-merintah.

Keluarga Verger menghindari kesulitan-kesulitan potensial seperti itu dan yang lain-lain dengan memberikan uang kepada para politisi. Satu-satunya kemunduran mereka adalah diloloskannya Undang-undang Pe-meriksaan Daging tahun 1906.

Kini keluarga Verger menyembelih 86.000 ternak setiap harinya, dan sekitar 36.000 ekor babi. Jumlah itu sedikit bervariasi, sesuai musim.

Padang-padang rumput Muskrat Farm yang baru saja disiangi, dengan hamparan lilac-nya yang ditiup angin, sama sekali tidak berbau seperti

49

tempat penyimpanan ternak. Satu-satunya hewan yang berkeliaran adalah kuda-kuda kecil untuk anak-anak yang sedang berkunjung, dan kawanan angsa yang sedang bercengkrama dan mencari makan di padang rumput, pantat mereka bergoyang-goyang, sedangkan kepala menyosor ke rerumputan. Tidak ada anjing. Rumah, gudang, dan tanah dekat dengan pusat hutan nasional seluas enam mil persegi, dan akan tetap demikian dengan izin khusus Departemen Dalam Negeri.

Sebagaimana kebanyakan kediaman orang-orang kaya raya, Muskrat Farm tidak mudah ditemukan bila orang baru pertama kali me-ngunjunginya. Clarice Starling terlewat satu exit pada jalan bebas hambat-an, maka ia berbalik kembali dan menjumpai jalan keluar-masuk untuk perdagangan, sebuah gerbang besar dengan rantai dan gembok terpasang tinggi-tinggi pada pagar yang mengelilingi hutan. Di balik gerbang tampak sebuah jalan untuk pemadam kebakaran dan menghilang dalam pepohonan yang rimbun rindang. Tidak ada kotak telepon. Dua mil lebih jauh, Starling menemukan gardu penjaga, terletak agak ke belakang sekitar seratus meter melalui jalan masuk yang indah. Si penjaga mencatat nama Starling pada clipboard.

Masih ada jalan tambahan sejauh dua mil yang terawat rapi menuju peternakan tersebut.

Starling menghentikan mobil Mustang-nya yang masih menderu untuk memberi jalan bagi sekawanan angsa yang hendak melintas. Ia bisa melihat sejumlah anak menunggang poni Shetland yang gemuk-gemuk, meninggalkan gudang apik seperempat mil dari rumah. Gedung utama di depannya adalah sebuah rumah rancangan Stanford White yang dibangun indah di tengah-tengah perbukitan. Rumah itu tampak kokoh dan subur, sebuah tempat idaman yang menyenangkan. Starling tersentak dibuatnya.

Keluarga Verger cukup punya cita rasa untuk membiarkan rumah itu sebagaimana adanya; hanya ada sebuah tambahan yang belum dapat dilihat Starling: sebuah bangunan sayap modern yang menonjol dari tanah yang meninggi di sebelah timur, seperti anggota tubuh ekstra yang dipasang dalam sebuah eksperimen medis besar-besaran.

Starling memarkir mobil di bawah deretan pilar tengah. Ketika mesin dimatikan, ia dapat mendengar pernapasannya sendiri. Dari spion ia dapat melihat seseorang datang menunggang kuda. Kini, ketika Starling keluar dari mobil, suara tapal kuda bergemeletak di trotoar di samping mobilnya.

Seseorang berbahu bidang, dengan rambut pirang pendek, berayun turun dari pelana. Ia menyerahkan kendali pada seorang pelayan pria tanpa memandangnya. "Tuntun dia pulang," kata penunggang kuda itu dengan suara serak-serak dalam. "Aku Margot Verger." Setelah dipandangi lebih cermat, ternyata penunggang kuda itu seorang wanita. Ia meng-ulurkan tangannya, lurus dari bahu. Jelas bahwa Margot Verger seorang

50

binaragawati. Di bawah leher yang berotot, kaus tenisnya melekat ketat di bahu dan lengannya yang kukuh. Matanya tampak berbinar kering dan seperti kena iritasi, seolah-olah ia menderita kekurangan air mata. la mengenakan celana penunggang kuda dari kain kepar dan sepatu bot tanpa taji.

"Apa yang kaukendarai itu?" tanyanya "Sebuah Mustang tua?" "Buatan tahun '88." "Lima literan? Posenya seperti mencangkung di atas roda." "Ya. Ini Roush Mustang." "Kau menyukainya?" "Sangat." "Bisa apa saja?" "Entahlah. Cukuplah rasanya." "Takut dengannya?" "Menghormatinya. Atau lebih tepatnya, aku menggunakannya dengan

penuh hormat," kata Starling. "Kau tahu tentangnya atau hanya membelinya saja?" "Aku cukup tahu tentangnya untuk membelinya di sebuah lelang

ketika aku melihatnya. Aku mengenalnya lebih lanjut kemudian." "Kira-kira bisa mengalahkan Porsche-ku?" "Tergantung Porsche yang rnana. Miss Verger, aku perlu bicara dengan

kakak Anda." "Lima menit lagi dia sudah akan selesai dirapikan. Kita bisa mulai di

atas sana." Celana penunggang kuda itu berdesit-desit pada paha Margot Verger yang besar ketika ia menaiki tangga. Garis rambutnya sudah mundur cukup banyak, hingga Starling bertanya-tanya apakah Margot minum obat steroid dan memplester klitorisnya.

Bagi Starling, yang menghabiskan kebanyakan masa kanak-kanaknya di sebuah rumah yatim-piatu Lutheran, rumah itu terasa seperti museum, dengan ruangan-ruangan luas, balok-balok langit-langit yang dicat, dan dinding-dinding yang dipasangi potret-potret orang-orang berkesan penting yang telah meninggal. Tempat-tempat di atas tangga dihiasi porselen Cina dan di aula-aulanya terhampar karpet panjang dari Maroko.

Dalam sayap baru kediaman keluarga Verger tampak perubahan gaya secara tiba-tiba. Struktur baru yang fungsional itu dapat dicapai melalui pintu berdaun ganda dari kaca buram yang tidak simetris di ruang yang berkubah.

Margot Verger berhenti di luar pintu. Ia memandangi Starling dengan matanya yang berkilat dan seperti kena iritasi.

"Beberapa orang kesulitan berbicara dengan Mason," kata Margot. "Bila itu mengganggumu atau kau tidak tahan, aku bisa menambahkan kemudian, tentang apa-apa yang lupa kautanyakan."

Ada suatu perasaan yang kita semua mengenalnya, namun belum kita

51

beri nama: yaitu antisipasi menyenangkan karena mampu merasa meleceh-kan. Starling melihat ini pada wajah Margot Verger. la hanya berkata, "Terima kasih."

Starling terkejut menemukan ruangan pertama di sayap itu merupakan ruang bermain yang luas dan lengkap. Dua anak Afrika-Amerika bermain-main di antara boneka-boneka binatang empuk berukuran besar-besar. Seorang sedang naik Bianglala Raksasa dan seorang lagi mendorong sebuah truk di lantai. Berbagai sepeda roda tiga dan gerobak-gerobakan diparkir di sudut-sudut, dan di tengah terdapat palang-palang panjat besar dengan lantai berlapis bantalan tebal di bawahnya.

Di sebuah sudut ruang bermain itu duduk seorang pria bertubuh besar berseragam perawat, sedang membaca majalah Vogue. Beberapa kamera video dipasang pada dinding. Ada yang tinggi-tinggi. Ada yang setinggi mata. Sebuah kamera yang terpasang tinggi di sudut menangkap Starling dan Margot Verger. Lensanya berputar memfokus.

Sekarang perasaan Starling sudah tidak lagi tertusuk kalau melihat anak berkulit cokelat. Tapi ia benar-benar menyadari kehadiran anak-anak itu. Sangat menyenangkan melihat mereka bermain dengan gembira dan tekun, sementara Starling dan Margot Verger melintasi ruangan.

"Mason suka melihat anak-anak," kata Margot. "Tapi mereka takut melihatnya. Semuanya. Kecuali yang kecil-kecil. Maka dia melakukannya dengan cara begini. Sesudah itu mereka menunggang kuda poni. Mereka anak-anak dari tempat penitipan dari panti kesejahteraan anak di Balti­more."

Kamar Mason Verger hanya dapat didatangi melalui kamar mandinya, sebuah fasilitas yang mirip spa dan berukuran seluruh lebar sayap itu. Semuanya tampak seperti rumah sakit. Semuanya terbuat dari baja dan krom serta berkarpet. Shower-shower dengan pintu lebar, bak mandi dari baja antikarat dan alat-alat untuk mengangkat di atasnya, gulungan-gulungan selang berwarna oranye, kamar-kamar mandi uap, dan lemari-lemari kaca besar-besar, penuh dengan salep dari Farmacia of Santa Maria Novella di Firenze. Udara dalam kamar mandi masih mengandung uap karena baru saja digunakan, dan. aroma balsam serta tanaman wintergreen masih mengambang di udara.

Starling dapat melihat cahaya di bawah pintu menuju kamar Mason Verger. Cahaya itu padam ketika Margot menyentuh pegangan pintu.

Sebuah ruang duduk di sudut kamar Mason Verger diterangi cahaya terang benderang. Sebuah karya William Blake, "The Ancient of Days" terpasang tinggi di atas sofa—Tuhan mengukur dengan jangka lengkungnya. Gambar itu diselubungi kain hitam untuk memperingati berpulangnya ayah keluarga Verger belum lama ini. Selebihnya dalam kamar itu gelap gulita.

Dari kegelapan muncul suara mesin yang bekerja secara ritmis, mendesah pada setiap ketukan.

52

"Selamat sore, Agen Starling." Sebuah suara lantang yang diperkeras secara mekanis. Huruf s sibilan hilang dari kata "sore".

"Selamat sore, Mr. Verger," kata Starling, menembus kegelapan. Cahaya dari atas terasa panas menyinari kepalanya. Sore ada di suatu tempat lain. Sore tidak masuk ke sini.

"Silakan duduk." Harus melaksanakan ini. Sekarang juga. Sekarang juga. "Mr. Verger, pembicaraan yang akan kita laksanakan berupa sebuah

pernyataan, dan aku perlu merekamnya. Apakah Anda setuju?" "Pasti." Suaranya keluar di antara dua desah mesin. S sibilan itu lagi-

lagi hilang dalam kata "pasti". "Margot, kurasa kau bisa meninggalkan kami berdua sekarang."

Tanpa memandang Starling, Margot Verger pergi dengan celana pe-nunggang kudanya berdecit-decit.

"Mr. Verger, aku ingin memasang mikrofon ini pada... pakaian atau bantal Anda bila ini tidak mengganggu Anda, atau kupanggil saja perawat untuk memasangkannya jika Anda lebih menyukai demikian."

"Silakan saja." Lagi-lagi huruf s itu tidak terdengar. Mason menunggu tenaga dari embusan napas mesin berikutnya. "Kau dapat melakukannya sendiri, Agen Starling. Aku ada di sini."

Starling tidak langsung menemukan sakelar listriknya. la mengira akan bisa melihat lebih jelas kalau tidak berada di bawah terangnya cahaya, dan ia pun masuk ke dalam kegelapan yang jaraknya satu tangan di depannya, menuju aroma wintergreen dan balsam.

Ia berada lebih dekat pada ranjang Mason Verger daripada yang diperkirakannya ketika Mason menyalakan lampu.

Ekspresi wajah Starling tidak berubah. Tapi tangannya yang memegangi jepitan mikrofon tersentak ke belakang, mungkin satu inci.

Pikiran yang pertama muncul di kepalanya sama sekali terpisah dari perasaan yang timbul di dada dan perutnya—yaitu ketika ia mengamati bahwa keanehan bicara Mason merupakan akibat dari tidak adanya bibir sama sekali. Pikiran berikutnya adalah bahwa Mason tidak buta. Mata birunya yang hanya satu itu menatap Starling dari semacam monokel, dengan tabung yang disambungkan di situ, menjaga supaya mata itu tetap basah, sebab mata itu tidak berpelupuk. Sisa tubuhnya yang lain telah bertahun-tahun yang lalu dikerjakan oleh para ahli bedah semampu mereka, dengan banyak menyelubungkan kulit di atas tulang.

Mason Verger, tanpa hidung dan bibir, tanpa jaringan lunak di wajah-nya, penampilannya seakan hanya gigi, seperti makhluk dari samudra yang amat sangat dalam. Walau kita sudah terbiasa melihat topeng, rasa kaget melihat Mason datang agak kemudian. Rasa kaget itu baru tiba setelah orang menyadari bahwa ini adalah wajah manusia, dengan pikiran di baliknya. Wajah itu mengaduk-aduk perasaan dengan segala gerakannya,

53

artikulasi rahang, putaran bola mata untuk melihat. Melihat wajah lawan bicaranya yang normal.

Rambut Mason Verger bagus, dan anehnya paling menyedihkan untuk dipandang. Hitam dengan bintik-bintik kelabu. Dikepang menjadi ekor kuda yang cukup panjang untuk mencapai lantai bila diurai dari bantal. Hari ini kepangan rambutnya digelung di dada, di atas mesin pernapasan yang mirip tempurung kura-kura. Rambut manusia di bawah rongsokan biru keungu-unguan. Rambut itu berkilauan seperti sisik yang berombak-ombak.

Di bawah selimut, tubuh Mason Verger yang telah lama lumpuh tergolek menyusut di ranjang rumah sakit yang ditinggikan.

Di depan wajahnya terdapat kendali yang tampak seperti alat musik tiup atau harmonika dari plastik bening. la melingkarkan lidahnya seputar salah satu ujung pipa dan mengembus bersamaan dengan embusan berikut dari alat pemapasannya. Ranjang itu memberi respons dengan dengungan, memalingkannya untuk berhadapan dengan Starling, dan menambah letak ketinggian kepalanya.

"Aku bersyukur pada Tuhan atas apa yang telah terjadi," kata Verger. "Peristiwa itu menjadi keselamatanku. Apa kau sudah menerima Yesus, Miss Starling? Apakah kau beriman?"

"Aku dibesarkan dalam lingkungan yang religius, Mr. Verger. Aku memiliki apa pun yang ditimbulkan dari lingkungan semacam itu," kata Starling. "Nah, jika Anda tidak keberatan, aku akan menjepitkan ini pada sarung bantal. Rasanya tidak akan mengganggu di sini, kan?" Suaranya terdengar terlalu tajam dan mirip gaya bicara perawat.

Tangan Starling di sebelah kepala Mason. Sangat tidak menyenangkan melihat daging mereka berdua bersama-sama, begitu pula melihat denyut dalam pembuluh-pembuluh yang telah diselubungkan pada tulang-tulang wajah untuk memasok darah. Pembuluh-pembuluh yang melebar secara teratur itu mirip cacing yang sedang menelan.

Dengan rasa syukur Starling memasang kabel, lalu mundur kembali ke meja dan tape-nya serta mikrofon yang terpisah.

"Ini Agen Khusus Clarice M. Starling, nomor FBI 5143690, merekam pernyataan Mason R. Verger, nomor Jaminan Sosial 475989823, di rumahnya pada tanggal seperti tertera di atas, telah disumpah dan dinyata-kan kebenarannya. Mr. Verger tahu bahwa dia telah memperoleh kekebalan tuntutan dari Kejaksaan Amerika Serikat untuk Distrik Tiga Puluh Enam, dan oleh pihak-pihak berwenang lokal dalam sebuah memorandum gabungan terlampir, yang juga telah disumpah dan dinyatakan kebenarannya.

"Nah, Mr. Verger..." "Aku ingin menceritakan tentang kamp," Mason menyela pada embusan

napas berikutnya. "Pengalaman masa kanak-kanak yang mengasyikkan, yang kuingat kembali."

54

"Kita bisa membicarakan itu nanti, Mr. Verger, tapi menurutku kita..." "Oh, itu bisa kita bicarakan sekarang, Miss Starling. Itu semua sangat

penting. Itulah caraku bertemu dengan Yesus, dan tidak ada ceritaku yang lebih penting daripada itu." la diam sejenak untuk mendesah. "Itu merupakan kamp Kristen yang dibiayai ayahku. Dia membiayai seluruh peserta kamp yang berjumlah seratus dua puluh lima orang di Danau Michigan. Beberapa di antara mereka tidak begitu beruntung dan mereka mau mengerjakan apa saja demi sebatang cokelat. Mungkin aku me-manfaatkan hal itu, mungkin aku kasar terhadap mereka bila mereka tak mau menerima cokelat dan melakukan apa yang kukehendaki—aku tidak menyembunyikan apa pun, sebab sekarang semuanya sudah tidak apa-apa."

"Mr. Verger, mari kita membahas beberapa bahan dengan..." Verger tidak mendengarkan Starling. la hanya menunggu mesin itu

memberinya napas. "Aku mempunyai kekebalan, Miss Starling, jadi sekarang semua itu tidak penting lagi. Aku memperoleh hadiah kekebalan dari Yesus, dari Kejaksaan Amerika Serikat, dari Jaksa Wilayah di Owings Mills. Aku bebas, Miss Starling, dan sekarang semuanya beres. Sekarang aku bersamaNya dan kini segalanya beres. Dialah Yesus yang telah bangkit, dan di kamp itu kami menamakannya The Riz. Tak ada yang mengalahkan The Riz. Kami membuatnya kontemporer. The Riz. Aku mengabdi padaNya di Afrika, haleluya. Aku mengabdi padaNya di Chicago, terpujilah namaNya, dan aku mengabdiNya sekarang, dan Dia akan membangkitkan aku dari ranjang ini dan Dia akan mencampakkan musuh-musuhku dan menggiring mereka di depanku, dan aku akan mendengar ratapan wanita-wanita mereka, dan kini semuanya beres." la tersedak air liur dan berhenti. Pembuluh-pembuluh pada dahinya tampak menghitam dan berdenyut-denyut.

Starling bangkit untuk memanggil perawat, tapi suara Mason meng-hentikannya sebelum Starling mencapai pintu.

"Aku baik-baik saja. Kini semuanya beres." Mungkin pertanyaan langsung lebih baik daripada mencoba meng-

arahkannya. "Mr. Verger, apakah Anda pernah berjumpa dengan Dr. Lecter sebelum pengadilan menugaskan Anda berobat kepadanya? Apakah Anda mengenalnya dalam pergaulan?"

"Tidak." "Anda berdua termasuk anggota Dewan Baltimore Philharmonic." "Tidak. Keanggotaanku karena kami memberi sumbangan. Aku me-

ngirimkan pengacaraku bila ada pemungutan suara." "Anda tidak pernah memberikan pernyataan selama berlangsungnya

proses persidangan Dr. Lecter." Starling telah belajar mengukur waktu pertanyaan, sehingga Mason mempunyai napas untuk menjawabnya.

"Mereka mengatakan punya cukup bahan untuk memenjarakannya

55

enam kali, sembilan kali. Dan dia menggagalkan itu semua dengan pleidoi kurang waras."

"Pengadilan menyatakan dia kurang waras. Dr. Lecter tidak mengajukan pleidoi."

"Apakah menurutmu perbedaan itu penting?" tanya Mason. Dengan pertanyaan itu, Starling untuk pertama kalinya merasakan

pikiran Mason: berliku-liku dan mendalam, berbeda dengan kosa kata yang digunakannya terhadap Starling.

Belut besar yang kini telah terbiasa dengan cahaya itu bangkit dari bebatuan di akuarium. la mulai melingkar-lingkar tak henti-hentinya, mirip pita cokelat beriak-riak berpola indah dengan bintik-bintik buih tak teratur.

Starling sangat menyadari kehadiran belut itu, yang bergerak-gerak di sudut penglihatannya.

"Itu belut Muraena Kidako," kata Mason. "Bahkan ada yang lebih besar lagi dipelihara di Tokyo. Belut ini kedua terbesar.

"Namanya yang umum adalah Brutal Moray. Kau ingin tahu sebabnya?" "Tidak," kata Starling sambil membalik halaman buku catatannya.

"Jadi, dalam proses terapi yang diharuskan oleh pengadilan, Mr. Verger, Anda mengundang Dr. Lecter ke rumah Anda."

"Aku tidak malu lagi. Akan kuceritakan semuanya. Sekarang semuanya sudah berlalu. Aku dibebaskan dari tuduhan pelecehan seksual yang diada-ada itu kalau aku melakukan layanan masyarakat selama lima ratus jam, bekerja di tempat penampungan anjing, dan memperoleh terapi dari Dr. Lecter. Kupikir kalau aku dapat melibatkan dokter itu dalam suatu hal, aku akan memperoleh kelonggaran dalam terapi dan tidak akan dianggap melanggar janji bebas bersyaratku kalau aku tidak selalu muncul untuk terapi, atau jika aku agak teler dalam sesi-sesi tersebut."

"Itu ketika Anda mendiami rumah di Owings Mills." "Ya. Aku sudah menceritakan segalanya pada Dr. Lecter. Tentang

Afrika, Idi, dan segalanya, dan aku berkata ingin menunjukkan beberapa barang milikku."

"Anda ingin menunjukkan apa...?" "Peralatan. Mainan. Di sudut sana itu adalah guillotine portabel yang

kugunakan untuk Idi Amin. Bisa ditaruh di bagian belakang Jeep dan dibawa ke mana-mana, ke desa paling jauh. Bisa dipasang dalam seper-empat jam. Terpidana perlu waktu sekitar sepuluh menit untuk me-miringkannya dengan mesin kerek. Agak lebih lama jika terpidananya wanita atau anak kecil. Aku tidak malu mengenai itu semua, sebab aku telah dibersihkan."

"Dr. Lecter datang ke rumah Anda." "Ya. Aku yang membukakan pintu dengan mengenakan jaket kulit.

Aku menunggu reaksinya, tapi tidak ada apa-apa. Aku khawatir dia takut

56

padaku, tapi tampaknya dia tidak takut. Takut padaku—kata itu terdengar lucu sekarang. Aku mempersilakannya naik ke atas. Kutunjukkan padanya beberapa ekor anjing yang kuambil dari tempat penampungan. Dua ekor anjing yang bersahabat. Kumasukkan mereka ke dalam kurungan, disertai banyak air. Tapi tanpa makanan. Aku sangat ingin tahu apa yang bakal terjadi.

"Kutunjukkan padanya jerat buatanku sendiri. Kau tahu, kan, sebuah asfiksia autoerotik. Kau menggantung dirimu sendiri, tapi tidak sungguhan. Terasa nyaman sementara... kau bisa menangkap?"

"Ya. Aku mengerti." "Nah, dia agaknya tidak mengerti. Dia bertanya padaku bagaimana

cara kerjanya, dan aku bilang aneh sekali sebagai psikiater kau tidak tahu. Dan dia berkata—aku tak akan melupakan senyumannya—dia berkata, Tunjukkan padaku.' Kupikir, 'Kena kau sekarang!'"

"Dan Anda menunjukkan kepadanya?" "Aku tidak malu mengenai hal itu. Kita tumbuh melalui kesalahan-

kesalahan kita. Aku sudah bersih." "Silakan dilanjutkan, Mr. Verger." "Maka aku menurunkan jerat itu di depan cermin besar dan me-

ngalungkannya di leherku; ujung tali pelepas kupegangi. Dan dengan tangan satunya aku bermasturbasi, seraya mengamati reaksinya, tapi aku tidak melihat apa-apa. Biasanya aku bisa membaca wajah orang. Dia duduk di kursi di sudut kamar, bersilang kaki, jari-jarinya terkatup mendekap lutut. Kemudian dia berdiri dan merogoh saku jasnya dengan sangat luwes, mirip James Mason yang mengeluarkan pemantik, dan dia berkata, 'Mau kapsul amil nitrit?' Kupikir, Wow!—dia memberiku satu kapsul sekarang, berarti dia harus memberikan terus untuk selanjutnya, supaya dapat mempertahankan lisensinya. Di sini kan kota resep. Nah, kalau kau membaca laporannya, kau akan tahu urusannya lebih daripada amil nitrit."

"Angel Dust dan beberapa metamfetamin dan sedikit asam," kata Starling.

"Kupikir wah! Dia menuju cermin tempat aku berkaca, menyepak bagian bawahnya, dan mengambil sebuah pecahan. Aku sedang teler. Dia mendekatiku dan memberikan pecahan kaca itu seraya menatap mataku. Dia menyarankan mungkin aku ingin menguliti wajahku dengan pecahan itu. Lalu dia melepaskan anjing-anjing dan kuberi mereka makan wajahku. Perlu waktu lama menyelesaikan pengulitan itu, kata mereka. Aku tak ingat lagi. Dr. Lecter mematahkan leherku dengan jerat itu. Mereka menemukan hidungku kembali ketika mengeluarkan isi perut anjing-anjing itu di tempat penampungan hewan, tapi pemindahan kulit tidak berhasil."

Starling memerlukan waktu lebih lama dari seperlunya guna menyusun kembali kertas-kertas di meja.

57

"Mr. Verger, keluarga Anda menawarkan hadiah setelah Dr. Lecter lolos dari rumah tahanan di Memphis."

"Ya. Sejuta dolar. Satu juta. Kami mengiklankannya ke seluruh dunia." "Anda juga menawarkan akan membayar setiap informasi yang relevan,

bukan sekadar penangkapan dan penahanan yang lazim. Anda mestinya berbagi informasi itu dengan kami. Apakah Anda selalu melakukannya?"

"Tidak juga. Tapi belum pernah ada informasi yang pantas dibagikan." "Bagaimana Anda tahu itu? Apakah Anda melacak sendiri beberapa

petunjuk?" "Sekadar cukup untuk mengetahui bahwa informasi itu tidak bernilai.

Dan mengapa kami hams berbagi—kalian juga tak pernah memberitahukan apa-apa pada kami. Kami mendapat petunjuk dari Kreta yang ternyata bukan apa-apa, dan petunjuk dari Uruguay yang tak pernah dapat kami konfirmasi. Aku ingin Anda tahu, Miss Starling, bahwa ini bukannya pembalasan. Aku sudah memaafkan Dr. Lecter, sebagaimana sang Juru Selamat kita telah memaafkan para prajurit Romawi."

"Mr. Verger, Anda memberitahu kantorku bahwa Anda mungkin mem-punyai sesuatu."

"Lihat di laci meja ujung." Starling mengeluarkan sarung tangan katun putih dari tasnya dan

mengenakannya. Di dalam laci ada amplop besar dari karton manila. Kaku dan berat. la mengeluarkan sebuah foto sinar X dan mengangkatnya ke arah cahaya yang terang. Foto itu foto sebuah tangan kiri yang tampaknya terluka. la menghitung jari-jarinya. Empat, ditambah ibu jari.

"Lihatlah tulang metakarpalnya. Kau tahu apa yang kumaksud?" "Ya." "Hitunglah tulang buku jarinya." Lima buku jari. "Bila dihitung ibu jarinya, orang ini punya enam jari

di tangan kirinya. Seperti Dr. Lecter." "Seperti Dr. Lecter." Sudut di mana seharusnya terdapat nomor kasus foto sinar X dan

asal-usulnya telah digunting. "Ini berasal dari mana, Mr. Verger?" "Rio de Janeiro. Untuk mengetahuinya lebih lanjut, aku harus mem­

bayar. Membayar banyak. Apa kau dapat mengatakan apakah ini tangan Dr. Lecter? Aku perlu tahu kalau aku harus membayar."

"Akan kuusahakan, Mr. Verger. Kami akan berusaha sebaik-baiknya. Apakah Anda menyimpan bungkusan yang memuat foto sinar X ini?"

"Margot menyimpannya dalam sebuah tas plastik. Dia akan mem-berikannya padamu. Kalau kau tidak keberatan, Miss Starling, aku agak lelah dan perlu beberapa perawatan."

"Anda akan mendengar beritanya dari kantor kami, Mr. Verger." Starling belum lama keluar dari kamar itu ketika Mason Verger

58

mengembus pipa paling ujung dan berkata, "Cordell." Perawat pria dari kamar bermain anak-anak masuk dan membacakan kepadanya isi sebuah folder bertanda DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN ANAK, KOTA BAL­TIMORE.

"Apakah itu Franklin? Suruh Franklin masuk," kata Mason sambil mematikan lampu.

Anak kecil itu berdiri sendirian, diterangi cahaya benderang lampu kamar di atas kepala, menyipitkan mata ke dalam kegelapan yang menganga.

Terdengar suara berat menggema, "Apakah kau Franklin?" "Franklin," kata anak kecil itu. "Kau tinggal di mana, Franklin?" "Bersama Mama, Shirley, dan Stringbean." "Apa Stringbean tinggal di sana sepanjang waktu?" "Dia datang dan pergi." "Kaubilang 'Dia datang dan pergi?'" "Yah." "Mama itu bukan benar-benar mamamu, kan, Franklin?" "Dia mama asuhku." "Dia bukan mama asuhmu yang pertama, kan?" "Bukan." "Kau kerasan tinggal di rumah, Franklin?" la berseri-seri. "Kami punya kucing, Puske. Mama memasak kue patty

di kompor." "Sudah berapa lama kau tinggal di rumah Mama itu?" "Tidak tahu." "Kau pernah merayakan ulang tahun di sana?" "Satu kali. Shirley membuat Kool-Aid." "Kau suka Kool-Aid?" "Stroberi." "Kau sayang sama Mama dan Shirley?" "Aku sayang he-eh, dan Puske." "Kau mau tinggal di sana? Kau merasa aman kalau pergi tidur?" "He-eh, aku tidur di kamar bersama Shirley. Shirley sudah besar." "Franklin, kau tak bisa lagi tinggal di sana bersama Mama, Shirley,

dan Puske. Kau haras pergi." "Siapa bilang?" "Pemerintah yang bilang. Mama kehilangan pekerjaan dan izin untuk

rumah asuh. Polisi menemukan rokok mariyuana di rumahmu. Kau tak bisa bertemu mamamu lagi sesudah minggu ini. Kau tak bisa menemui Shirley atau Puske lagi sesudah minggu ini."

"Tidak," kata Franklin. "Atau mungkin mereka tidak menghendaki kau lagi di sana, Franklin.

59

Apa ada yang tidak beres denganmu? Apa kau sakit atau nakal? Apa kaupikir kulitmu terlalu hitam sehingga mereka tidak menyayangimu?"

Franklin menarik kemejanya ke atas dan memandang perutnya yang kecil dan cokelat. Ia menggelengkan kepala. Ia menangis.

"Apa kau tahu apa yang akan terjadi dengan Puske? Siapa nama Puske itu?"

"Puske itu namanya." "Apa kau tahu apa yang akan terjadi dengan Puske? Polisi akan

membawa Puske ke tempat penitipan hewan, lalu dokter akan me-nyuntiknya. Apa kau pernah disuntik di tempat penitipan? Apa perawat menyuntikmu? Dengan jarum mengilap? Mereka akan menyuntik Puske. Puske akan sangat takut bila melihat jarum. Mereka akan menusukkannya dan Puske akan luka, lalu mati."

Franklin memegangi ujung kemejanya dan menahannya di samping wajahnya. Ia memasukkan ibu jarinya ke dalam mulut. Sudah setahun ia tidak mengisap ibu jarinya lagi, sejak Mama melarangnya berbuat demi-kian.

"Kemarilah," kata suara dari kegelapan itu. "Kemarilah dan akan kuberitahu caranya supaya Puske tidak disuntik. Apa kau ingin Puske mendapat suntikan, Franklin? Tidak? Kalau begitu kemarilah, Franklin."

Dengan bercucuran air mata dan mengisap ibu jarinya, Franklin berjalan pelan menuju kegelapan. Ketika ia tinggal berjarak satu meter delapan puluh dari tempat tidur, Mason meniup harmonikanya dan lampu-lampu menyala.

Entah karena memang berpembawaan pemberani, atau karena ingin menolong Puske, atau sedih karena tahu bahwa ia tak bisa lari lagi ke mana pun, Franklin tidak mundur ketakutan. Ia tidak lari. Ia tetap di tempatnya dan memandang wajah Mason.

Mason pasti akan mengernyitkan alis, bila ia punya alis, atas hasil yang mengecewakan ini.

"Kau bisa menyelamatkan Puske supaya tidak disuntik kalau kau sendiri memberinya racun tikus," kata Mason. Huruf r tidak terdengar, tapi Franklin dapat memahaminya.

Franklin menarik ibu jarinya dari mulut. "Kau jahat," kata Franklin, "dan jelek." Ia membalikkan tubuh dan

keluar dari kamar itu melalui ruangan yang penuh gulungan selang, kembali ke ruang bermain.

Mason mengawasinya pada video. Perawat memandangi si bocah. Mengawasinya dengan cermat, seraya

pura-pura membaca Vogue. Franklin tak peduli akan mainan lagi. Ia duduk di bawah jerapah,

menghadap tembok. Begitulah caranya menahan diri supaya tidak mengisap ibu jarinya.

60

Cordell memperhatikannya dengan cermat, ingin tahu apakah ia akan menangis. Ketika melihat bahu bocah itu terguncang-guncang, si perawat mendekatinya dan dengan lembut menghapus air matanya dengan carikan kain steril. Ia memasukkan carikan kain yang basah itu ke dalam gelas martini Mason, lalu mendinginkannya di dalam lemari es ruang bermain itu, di samping air jeruk dan Coke.

61

B a b 10

TIDAK mudah menemukan informasi medis tentang Dr. Lecter. Mengingat pandangannya yang begitu melecehkan lembaga kedokteran serta sebagian besar dokter, tidaklah mengherankan bahwa ia tidak pernah mempunyai dokter pribadi.

Rumah Sakit Umum Baltimore untuk Para Kriminal Penderita Sakit Jiwa, tempat Dr. Lecter dirawat sebelum dipindahkan ke Memphis, kini telah ditutup. Bangunan itu sekarang terbengkalai dan menunggu di-runtuhkan.

Kepolisian Tennessee adalah tempat Dr. Lecter terakhir dititipkan sebelum lolos, tapi mereka menyatakan tidak pernah menerima catatan medisnya. Para petugas polisi yang membawanya dari Baltimore ke Memphis, yang kini telah meninggal, membubuhkan tanda tangan mereka untuk menerima si tahanan, tapi tidak untuk catatan medis apa pun.

Starling menghabiskan waktu satu hari untuk menelepon dan mencari di komputer, kemudian ia mencari bukti-bukti di ruang-ruang arsip di Quantico dan Gedung J. Edgar Hoover. Ia menjelajahi ruang arsip yang berdebu dan berbau tidak enak di Kepolisian Baltimore sepanjang pagi, dan siang harinya bersusah payah menangani Koleksi Hannibal Lecter yang tidak dikatalogisasi di Perpustakaan Hukum Memorial Fitzhugh, di mana waktu terasa berhenti sementara para penjaga berusaha mencari kunci-kunci.

Pada akhirnya Starling tinggal memegangi selembar kertas—hasil pemeriksaan fisik sekilas atas Dr. Lecter ketika ia untuk pertama kalinya ditahan oleh Kepolisian Maryland. Riwayat sejarah medis tidak terlampir.

Inelle Corey, yang juga di-PHK dari Rumah Sakit Umum Baltimore

62

untuk Para Kriminal Penderita Sakit Jiwa, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di Dewan Rumah-rumah Sakit Maryland. la tak mau di-wawancarai Starling di kantor, maka mereka bertemu di kafeteria di lantai dasar.

Starling biasa datang lebih awal kalau punya janji temu, untuk mengamati tempat pertemuan itu dari jauh. Corey sangat tepat waktu. la berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Gemuk dan pucat. Tanpa rias wajah atau perhiasan. Rambutnya hampir mencapai pinggang, seperti ketika masih di SMA. la mengenakan sandal putih dengan kaus kaki Supp.

Starling membeli gula dalam bungkusan kecil-kecil dan menunggu Corey duduk di meja yang telah mereka sepakati.

Mungkin orang beranggapan semua orang Protestan tampak sama saja, padahal ini tidak benar. Seperti halnya seseorang dari Karibia bisa tahu pulau asal rekannya, demikian pula Starling, yang dibesarkan oleh orang-orang Lutheran, berkata pada dirinya sendiri ketika memandangi Corey, Gereja Kristus, mungkin anggota cabang Nazarene, kalau melihat penampilan luarnya.

Starling melepas perhiasannya, sebuah gelang sederhana dan anting-anting emas pada telinganya yang tidak cedera, dan memasukkannya ke dalam tas. Jamnya terbuat dari plastik, jadi tidak apa-apa. Yah, ia tak dapat berbuat lebih banyak mengenai penampilannya selebihnya.

"Inelle Corey? Mau secangkir kopi?" Starling membawa dua cangkir. "Namaku diucapkan Eyenelle. Aku tidak minum kopi." "Akan kuminum kedua-duanya. Mau sesuatu yang lain? Aku Clarice

Starling." "Aku tidak mau apa-apa. Bisa menunjukkan foto kartu identitas?" "Tentu," kata Starling. "Ms. Corey... boleh aku memanggil Anda

Inelle?" Wanita itu angkat bahu.

"Inelle, aku memerlukan bantuan dalam persoalan yang sama sekali tidak melibatkan Anda secara pribadi. Aku cuma memerlukan petunjuk untuk menemukan beberapa catatan dari Rumah Sakit Umum Balti­more."

Inelle Corey berbicara dengan ketegasan berlebihan, untuk meng-ungkapkan perasaan tersinggung atau amarah.

"Kami sudah pernah membahas hal ini dengan dewan pemerintah pada waktu penutupan, Miss..."

"Starling" "Miss Starling. Anda akan menemukan bahwa tak ada satu pasien pun

yang keluar dari rumah sakit itu tanpa folder. Dan tak ada satu folder pun yang keluar dari rumah sakit tanpa persetujuan penyelia. Mengenai mereka yang telah meninggal, Departemen Kesehatan tidak memerlukan

63

folder mereka. Biro Pusat Statistik Kehidupan juga tidak. Dan sejauh yang kuketahui, folder orang-orang yang telah meninggal tetap berada di dalam Rumah Sakit Baltimore, melampaui tanggal aku keluar dari sana, dan aku salah seorang yang paling akhir keluar. Sedangkan catatan pelarian dikirim ke kepolisian kota dan ke kantor sheriff."

"Pelarian?" "Ya, napi-napi yang kabur. Tahanan yang dititipkan kadang-kadang

melarikan diri." "Apakah Dr. Lecter ditangani sebagai pelarian? Apakah menurut per-

kiraan Anda berkas-berkasnya telah dikirim ke bagian penegakan hukum?" "Dia bukan pelarian. Dia tidak pernah ditangani sebagai pelarian

kami. Dia tidak dalam penjagaan kami ketika melarikan diri. Aku pernah ke bawah dan melihat Dr. Lecter satu kali dan menunjukkannya pada saudara perempuanku ketika dia ada di sini bersama anak-anak. Aku jadi merasa sesak dan ngeri bila memikirkannya. Dia memanas-manasi salah seorang dari para napi untuk mencipratkan...," ia merendahkan suara-nya"... sperma pada kami. Istilah kasarnya jism. Anda tahu kata itu?"

"Aku pernah mendengar istilah itu," kata Starling. "Apakah yang melemparkan itu Mr. Miggs? Lemparannya bagus."

"Aku sudah membuangnya jauh-jauh dari ingatanku. Aku ingat Anda. Anda datang ke rumah sakit dan bicara dengan Fred—Dr. Chilton—dan turun ke lantai bawah tanah untuk bertemu Lecter, kan?"

"Ya." Dr. Frederick Chilton adalah direktur Rumah Sakit Umum Baltimore

untuk Para Kriminal Penderita Sakit Jiwa yang hilang ketika sedang berlibur, setelah Dr. Lecter lolos.

"Anda tahu Fred hilang?" "Ya, aku sudah mendengarnya."

Ms. Corey berlinang air mata. "Dia tunanganku," katanya. "Dia hilang, kemudian rumah sakit ditutup. Aku seperti sudah jatuh masih tertimpa tangga. Tanpa gerejaku, aku tak mungkin bisa bertahan."

"Maaf," kata Starling. "Kini Anda mempunyai pekerjaan bagus." "Tapi aku tak punya Fred. Dia orang yang amat sangat baik. Cinta

kami bukan cinta yang bisa dialami orang setiap hari. Dia pernah terpilih sebagai Pemuda Pilihan di Canton, ketika masih SMA."

"Nah, boleh-boleh saja. Inelle, bolehkah aku menanyakan ini: apakah dia menyimpan catatan di kantornya atau di luar, di ruang penerimaan tamu, di mana terdapat meja Anda...."

"Catatan-catatan itu semula ada di lemari-lemari arsip di kantornya. Kemudian, karena terlalu banyak, kami menyimpannya di lemari-lemari besar di ruang penerimaan tamu. Sudah tentu lemari-lemari itu selalu terkunci. Ketika kami pindah, berkas-berkas itu dipindahkan ke klinik metadon untuk sementara, dan banyak berkas tersebar ke mana-mana."

64

"Anda pemah melihat dan menangani berkas Dr. Lecter?" "Sudah tentu." "Apakah Anda ingat ada foto rontgen di dalamnya? Apakah foto-foto

rontgen disimpan bersama catatan medis atau terpisah?" "Bersama catatan medis. Diberkas bersamaan. Foto-foto itu lebih

besar daripada berkas-berkas, sehingga sulit disimpan rapi. Kami punya alat rontgen, tapi tidak memiliki radiolog full-time untuk menyimpan berkas itu tersendiri. Sejujurnya aku tidak ingat apakah ada foto rontgen Dr. Lecter atau tidak. Memang ada rekaman EKG yang digunakan Fred untuk menunjukkan pada orang-orang. Dr. Lecter—aku bahkan tak mau menyebutnya dokter—sedang dipasangi kabel-kabel ke pesawat EKG ketika dia menyerang perawat malang itu. Mengerikan sekali, tensinya tidak banyak naik ketika dia menyerang perawat itu. Sendi bahunya lepas ketika para perawat lain menahannya dan memisahkannya dari wanita itu. Mereka pasti memeriksanya dengan sinar rontgen untuk itu. Menurut pendapatku, mestinya bukan hanya sendi bahunya yang lepas. Dia mesti diberi ganjaran lebih dari itu."

"Kalau ada yang Anda ingat, tempat berkas itu mungkin berada, maukah Anda meneleponku?"

"Kita akan melakukan penyelidikan global?" tanya Ms. Corey, me-nikmati istilah itu. "Tapi rasanya kita tidak akan menemukan apa pun. Banyak berkas yang ditinggalkan begitu saja. Bukan oleh kami, tapi oleh orang-orang klinik metadon."

Cangkir-cangkir kopi itu bertepi tebal dan melipat ke bawah. Starling mengamati Corey pergi dengan langkah berat, lalu ia meminum kopi setengah cangkir dengan serbet terselip di bawah dagu.

Starling sudah berhasil menguasai diri sedikit. Ia tahu ada sesuatu yang membuatnya kesal. Mungkin ketidakpedulian akan penampilan. Atau lebih parah daripada itu, mungkin tidak adanya gaya. Tak peduli akan hal-hal yang enak dipandang mata. Mungkin ia haus akan gaya. Bahkan mungkin gaya norak lebih baik daripada tanpa gaya sama sekali. Itulah pendapatnya, entah orang mau mendengar atau tidak.

Starling mempertanyakan pada dirinya, apakah ia orang yang snob­bish, dan ia merasa tidak banyak yang ia miliki, yang memberinya alasan untuk bersikap demikian. Berpikir tentang gaya, ia jadi teringat Evelda Drumgo yang penuh gaya. Dengan pikiran itu, Starling ingin sekali keluar lagi dari dirinya sendiri.

65